1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses belajar mendengar bagi bayi dan anak sangat kompleks dan bervariasi karena menyangkut aspek tumbuh kembang, pekembanngan embriologi, anatomi, fisiologi, neurologi dan audiologi. Gangguan pendengaran pada bayi dan anak kadang-kadang disertai keterbelakangan mental, gangguan emosional maupun afasia perkembangan. Umumnya seorang bayi atau anak yang mengalami gangguan pendengaran, lebih dahulu diketahui keluarganya sebagai pasien yang telambat bicara (Suwento dkk, 2007). Periode kritis perkembangan pendengaran dan berbicara dimulai dalam 6 bulan pertama kehidupan dan terus berlanjut sampai usia 2 tahun. Beberapa faktor risiko pada neonatus perlu diketahui untuk mengindentifikasi kemungkinan adanya gangguan pendengaran kongenital atau didapat bayi dengan gangguan pendengaran bilateral yang diintervensi sebelum usia 6 bulan, pada usia 3 tahun akan mempunyai kemampuan berbahasa normal dibandingkan dengan bayi yang baru diintervensi setelah usia 6 bulan (Rundjan dkk, 2005). Perkembangan auditorik pada manusia sangat erat hubungannya dengan perkembangan otak. Neuron di bagian korteks mengalami proses pematangan dalam waktu 3 tahun pertama kehidupan, dan masa 12 bulan pertama kehidupan terjadi perkembangan otak yang sangat cepat. Berdasarkan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Proses belajar mendengar bagi bayi dan anak sangat kompleks dan bervariasi karena
menyangkut aspek tumbuh kembang, pekembanngan embriologi, anatomi, fisiologi,
neurologi dan audiologi. Gangguan pendengaran pada bayi dan anak kadang-kadang
disertai keterbelakangan mental, gangguan emosional maupun afasia perkembangan.
Umumnya seorang bayi atau anak yang mengalami gangguan pendengaran, lebih dahulu
diketahui keluarganya sebagai pasien yang telambat bicara (Suwento dkk, 2007).
Periode kritis perkembangan pendengaran dan berbicara dimulai dalam 6 bulan
pertama kehidupan dan terus berlanjut sampai usia 2 tahun. Beberapa faktor risiko pada
neonatus perlu diketahui untuk mengindentifikasi kemungkinan adanya gangguan
pendengaran kongenital atau didapat bayi dengan gangguan pendengaran bilateral yang
diintervensi sebelum usia 6 bulan, pada usia 3 tahun akan mempunyai kemampuan
berbahasa normal dibandingkan dengan bayi yang baru diintervensi setelah usia 6 bulan
(Rundjan dkk, 2005).
Perkembangan auditorik pada manusia sangat erat hubungannya dengan
perkembangan otak. Neuron di bagian korteks mengalami proses pematangan dalam
waktu 3 tahun pertama kehidupan, dan masa 12 bulan pertama kehidupan terjadi
perkembangan otak yang sangat cepat. Berdasarkan pertimbangan di atas, upaya untuk
melakukan deteksi gangguan pendengaran harus dilakukan sedini mungkin agar habilitasi
pendengaran sudah dapat dimulai pada saat perkembangan otak masih berlangsung
(Soetirto Indro, 2007).
Gangguan pendengaran pada bayi dan anak sulit diketahui sejak awal. Watkin dkk
melaporkan bahwa pada anak tuli berat bilateral hanya 49% orangtua mereka yang
mencurigai kemungkinan adanya gangguan pendengaran tersebut, sedangkan pada anak
dengan gangguan pendengaran ringan sampai sedang atau unilateral hanya 29%. Di
Amerika gangguan pendengaran rata-rata diidentifikasi antara usia 20-24 bulan dan
gangguan pendengaran ringan sampai sedang umumnya tidak terdeteksi sampai usia 48
bulan atau lebih (Rundjan dkk, 2005).
Insidens gangguan pendengaran pada neonatus di Amerika berkisar antara 1-3 dari
2
1000 kelahiran hidup. Sedangkan US Preventive Services Task Force melaporkan bahwa
prevalensi gangguan pendengaran neonatus di Neonatal Intensive Care Unit (NICU) 10-
20 kali lebih besar dari populasi neonatus (Rundjan dkk, 2005).
Insiden gangguan pendengaran pada neonatus berkisar antara 1-6 dari 1000 kelahiran
hidup. Survei Kesehatan Indera Pendengaran tahun 1994-1996 melaporkan insidens
gangguan pendengaran sejak lahir 0,1%. Insidens meningkat sepuluh hingga lima puluh
kali pada neonates risiko tinggi. Neonatus risiko tinggi memiliki satu atau lebih faktor
risiko sebagai penyebab gangguan pendengaran seperti riwayat keluarga dengan tuli
bawaan atau tuli sejak lahir, riwayat infeksi congenital atau perinatal seperti infeksi
TORCH, prematuritas, berat badan lahir sangat rendah (BBLSR) <1500 gram,
hiperbilirubinemia, riwayat sepsis awitan lambat dan meningitis, asfiksia, riwayat distres
pernapasan, pemakaian alat bantu napas, pemakaian obat yang bersifat ototoksik, seperti
antibiotik gentamisin selama lebih dari 5 hari dengan atau tanpa kombinasi dengan
furosemid, riwayat infeksi telinga yang berulang atau menetap, riwayat trauma atau
fraktur tulang temporal, riwayat infeksi campak, dan gondongan (Andriani, 2010).
Gejala awal gangguan pendengaran pada umumnya tidak jelas sehingga program
skrining menjadi cara yang paling efektif untuk deteksi dini. Deteksi dini gangguan
pendengaran dan intervensi segera sangat mempengaruhi prognosis. Untuk deteksi dini,
diperlukan suatu program skrining gangguan pendengaran dengan alat skrining yang
efektif, efisien, dan mudah digunakan serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang
tinggi (Andriani, 2010).
The Centers for Disease Control and Prevention Early Hearing Detection and
Intervention (EHDI) dan The Joint Commitee on Infant Hearing (JCIH),
merekomendasikan skrining gangguanpendengaran pada semua bayi baru lahir sebelum
berusia tiga bulan dan memberikan intervensi sebelum berusia enam bulan agar proses
tumbuh kembang tidak terhambat. Pemeriksaan dengan teknologi elektrofisiologi
merupakan alat skrining yang direkomendasikan karena memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi dalam mendeteksi gangguan pendengaran (Andriani, 2010).
1.2 Tujuan
3
Tujuan tulisan ini untuk membahas pentingnya deteksi dini gangguan pendengaran
pada bayi dengan ulasan beberapa cara skrining.
1.3 Manfaat
Menambah pengetahuan tentang manfaat deteksi dini gangguan pendengaran pada
bayi.
BAB II
4
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Telinga
Untuk memahami tentang gangguan pendengaran, perlu diketahui dan
dipelajari anatomi telinga, fisiologi pendengaran dan cara pemeriksaan pendengaran.
Telinga di bagi atas telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam (Soetirto Indro,
2007).
Gambar 1. Anatomi Telinga.
Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran
timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga
berbentuk huruf S,dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan
dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2 ½-3
cm. Pada sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar
serumendan rambut. Pada dua pertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar
serumen (Soetirto Indro, 2007).
5
Gambar 2. Telinga luar. Bagian-bagian daun telinga.
Telinga Tengah
Telinga tengah terletak di dalam os temporale. Telinga tengah terisi udara
dan berhubungan dengan nasopharynx melalui tuba Eustachii. Ruang ini mengandung
tulang (ossicula) pendengaran, otot pendengaran, saraf dan pembuluh darah. Telinga
tengah berbentuk kubus dengan :
- Batas luar : membran timpani
- Batas depan : tuba eustachius
- Batas bawah : vena jugularis (bulbus jugularis)
- Batas belakang : aditus ad antrum
- Batas atas : Tegmen timpani (meningen/otak)
- Batas dalam : berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi sirkularishorizontal,
kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window), tingkat bundar (round window) dan
promontorium (Soetirto Indro, 2007).
6
Gambar 3. Anatomi telinga tengah.
Membran timpani berbentuk seperti kerucut, dengan bagian atas disebut pars
flaksida, sedangkan bagian bawah pars tensa. Pars flaksida hanya berlapis dua,
yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel
kubus bersilia. Pars tensa mempunyai satu lapis lagi di tengah, yaitu bagian prosesus
longus dan prosesus brevis maleus dengan jaringan ikat di sekitarnya (Soetirto Indro,
2007).
Ujung maleus disebut umbo, dan di ujung umbo ini bermula suatu refleks
cahaya. Refleks cahaya (cone of light) ialah cahaya dari luar yang dipantulkan oleh
membrantimpani. Di membran timpani terdapat 2 macam serabut, sirkuler dan radier.
Serabut inilah yang menyebabkan timbulnya refleks cahaya yang berupa kerucut itu
(Soetirto Indro, 2007).
Membran timpani dibagi dalam 4 kuadran, dengan menarik garis searah
dengan prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo,
sehingga didapatkan bagian depan-atas, atas-belakang, bawah-depan, serta bawah-
belakang, untuk menyatakan letak perforasi membran timpani. Tulang pendengaran di
dalam telinga tengah saling berhubungan. Prosesus longus maleus melekat pada
membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes
(Soetirto Indro, 2007).
7
Gambar 4. Membran timpani.
Telinga Dalam
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah
lingkaran dan vestibulum yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung
atau puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani den
gan skala vestibuli (Soetirto Indro, 2007).
Gambar 5. Telinga dalam.
Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan
membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala
vestibulisebelah atas, skala timpani sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis)
diantaranya. Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media
berisi endolimfa. Hal ini penting untuk pendengaran. Dasar skala vestibuli disebut
sebagai membran vestibuli (Reissner’s membrane) sedangkan dasar skala media
8
adalah membran basalis. Pada membran ini terletak organ Corti. Pada skala media
terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran tektoria, dan pada
membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar
dan Kanalis Corti yang membentuk organ Corti (Soetirto Indro, 2007).
2.2 Fisiologi Pendengaran
Proses pendengaran diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telingadalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea.
Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui
rangkaiantulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya
ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan
tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes
yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibule
bergerak. Getaran diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong endolimfa,
sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran
tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya
defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan
ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel
rambut, sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan
menimbulkan potensi aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus
auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis (Soetirto
Indro, 2007).
Gambar 6. Fisiologi Pendengaran
9
2.3 Perkembangan Wicara
Bersamaan dengan proses maturasi fungsi auditorik, berlangsung pula
perkembangan kemampuan bicara. Kemahiran wicara dan berbahasa pada seseorang
hanya dapat tercapai bila input sensorik (auditorik) dan motorik dalam keadaan
normal (Depkes, 2014)
Perkembangan bicara erat kaitannya dengan tahap perkembangan mendengar,
oleh karenanya dengan memahami tahap perkembangan bicara dapat diperkirakan
adanya gangguan pendengaran. Berdasarkan kenyataan tersebut beberapa hal berikut
ini perlu mendapat perhatian terhadap kemungkinan adanya gangguan pendengaran
pada bayi dan anak (Depkes, 2014).
Tabel 1. Tahap Perkembangan Bicara
Usia Kemampuan
Neonatus Menangis
Mengeluarkan suara mendengkur seperti suara burung
Suara seperti berkumur
2-3 bulan Tertawa dan mengoceh tanpa arti
4-6 bulan Mengeluarkan suara yang merupakan kombinasi huruf hidup dan huruf
mati
Suara berupa ocehan yang berarti seperti “ pa...pa, da...da”
7-11 bulan Dapat menggabung kata/ suku kata yang tidak mengandung arti,
terdengar seperti bahasa asing
Usia 10 bulan mampu meniru suara sendiri
Memahami arti tidak, mengucapkan salam
Mulai memberi perhatian terhadap nyanyian atau musik
12-18 bulan Mampu menggabungkan kata/ kalimat pendek
Mulai mengucapkan kata pertama yang mempunyai arti
Usia 12-14 bulan mengerti instruksi sederhana, menunjukkan bagian
tubuh dan nama mainannya
Usia 18 bulan mampu mengucapkan 6-10 kata
10
Tabel 2. Perkiraan Adanya Gangguan Pendengaran Pada Bayi dan Anak
Usia Kemampuan Bicara
12 bulan Belum dapat mengoceh atau meniru bunyi
18 bulan Tidak dapat menyebutkan 1 kata yang mempunyai arti
24 bulan Perbendaharaan kata kurang dari 20 kata
30 bulan Belum dapat merangkai 2 kata
2.4 Penyebab Gangguan Pendengaran Pada Bayi
Penyebab gangguan pendengaran pada bayi dibedakan berdasarkan saat terjadinya
gangguan pendengaran yaitu pada masa pranatal, perinatal dan potnatal (Suwento,
2007).
2.4.1 Masa Prenatal
a. Genetik herediter
b. Non genetik herediter seperti gangguan/ kelaianan pada masa kehamilan,
kelainan struktur anatomik dan kekurangan zat gizi (misalnya defisiensi
yodium)
Selama kehamilan, periode yang paling penting adalah trimester pertama
sehingga setiap gangguan atau kelainan yang terjadi pada masa tersebut dapat
menyebabkan ketulian pada bayi. Infeksi bakteri maupun virus pada ibu hamil
seperti Toksoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes dan Sifilis
(TORCHS) dapat berakibat buruk pada pendengaran bayi yang akan dilahirkan.
Beberapa jenis obat ototoksik dan teratogenik berpotensi mengganggu
proses organogenesis dan merusak sel-sel rambut koklea seperti salisilat, kina,
neomisin, dihidro streptomisin, gentamisin, barbiturat, thalidomid. Selain itu,
malforasi struktur anatomi telinga seperti atresia liang telinga dan aplasia koklea
juga akan menyebabkan ketulian (Suwento, 2007).
2.4.2 Masa Perinatal
Beberapa keadaan yang dialami bayi pada saat lahir juga merupakan faktor
risiko terjadinya gangguan pendengaran/ ketulian seperti prematur, berat badan
lahir rendah (kurang dari 2500 gram), hiperbilirubinemia, asfiksia (lahir tidak
menangis). Umumnya ketulian yang terjadi akibat faktor prenatal dan perinatal
adalah tuli sensorineural bilateral dengan derajat ketulian berat atau sangat
berat (Suwento, 2007).
11
2.4.3 Masa Postnatal
Adanya infeksi bakteri atau virus seperti rubela, campak, parotis,
infeksi otak (meningitis, ensefalitis), perdarahan pada telinga tengah, trauma
temporal juga dapat menyebabkan tuli saraf atau tuli konduktif (Suwento,
2007).
2.5 Indikator Risiko Tinggi Gangguan Pendengaran
Indikator risiko tinggi gangguan pendengaran dibedakan menjadi 3 kelompok:
a. Sejak lahir – 28 hari
b. Usia 29 hari – 2 tahun
c. Usia 29 hari – 3 tahun untuk bayi yang memerlukan monitoring terhadap gangguan
pendengaran onset lambat, progresif maupun didapat (Depkes, 2014)
Tabel 3. Indikator Risiko Tinggi Gangguan Pendengaran
Sejak lahir – 28 hari
1 Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran sensorineural
2 Infeksi in utero (TORCH)
3 Kelainan kraniofasial
4 Berat badan < 1500 gram
5 Hiperbilirubinemia yang memrlukan transfusi tukar
6 Mendapat pengobatan otototoksik
7 Meningitis bakterialis
8 Skor Apgar 0 – 4 pada menit pertama atau 0-6 pada 5 menit
9 Pemakaian ventilasi mekanik ≥ 5 hari
10 Kelainan yang merupakan bagian suatu sindroma yang melibatkan tuli
sensorineural atau konduktif
Usia 29 hari – 2 tahun
1 Pada pengamatan orang tua / pengasuh terdapat keterlambatan bicara,
bahasa atau perkembangan lain
2 Meningitis bakterialis atau infeksi lain yang berhubungan dengan tuli
sensorineural
3 Trauma kepala disertai penurunan kesadaran dan patah tulang kepala
4 Kelainan yang merupakan bagian suatu sindroma yang berhubungan
12
dengan gangguan pendengaran
5 Pemakaian obat obat ototoksik
6 Otitis media efusi (OME) yang menetap atau berulang kali selama 3
bulan
29 hari – 3 tahun (Dalam hal diperlukan monitoring)
1 Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran sensorineural
2 Infeksi in utero (TORCH)
3 Neurofibromatosis tipe II dan penyakit neurodegeneratif lainnya
4 Terdapat indikasi gangguan pendengaran konduktif: Otitis media efusi