Top Banner
REFLEKSI KASUS SEORANG LAKI-LAKI DENGAN BELL’S PALSY Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu Syarat Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Penyakit Saraf di RSUD RAA SOEWONDO Pati Disusun oleh : Ayu Setyaningrum Iswandari Safitri 01.210.6100 Pembimbing : dr. Hendro Wibowo, Sp. S 1
50

Refkas Bell's Palsy

Dec 05, 2015

Download

Documents

Isamo Ayu

refleksi kasus saraf
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Refkas Bell's Palsy

REFLEKSI KASUS

SEORANG LAKI-LAKI DENGAN BELL’S PALSY

Diajukan untuk

Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu Syarat

Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Penyakit Saraf

di RSUD RAA SOEWONDO Pati

Disusun oleh :

Ayu Setyaningrum Iswandari Safitri

01.210.6100

Pembimbing :

dr. Hendro Wibowo, Sp. S

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG

2015

1

Page 2: Refkas Bell's Palsy

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG 2015

A. IDENTITAS

1. Nama : Tn. AR

2. Umur : 54 tahun

3. Jenis kelamin : Laki-laki

4. No CM : 078238

5. Agama : Islam

6. Pendidikan : -

7. Pekerjaan : PNS

8. Status : Menikah

9. Tanggal Masuk : 23 September 2015

10. Masuk Jam : 10.00 WIB

11. Poli : Saraf

B. ANAMNESA

Anamnesa dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 23 September 2015

jam 10.00 WIB

1. Keluhan Utama : wajah perot sebelah kanan

Riwayat Penyakit Sekarang :

Lokasi : wajah

Onset : ± 2 bulan yang lalu

Kronologis : Pasien mengaku ± 2 bulan yang lalu pada saat bangun tidur tiba-tiba wajah bagian kanan lemah sehingga menjadi perot, pasien sering menggunakan kipas angin dalam kegiatan sehari-hari termasuk saat tidur. Pasien menyangkal adanya lemah sisi tubuh dan bicara pelo, nyeri bagian belakang telinga, gangguan pendengaran, dan gangguan penglihatan saat wajahnya perot. Tidak ada riwayat sakit kepala hebat dan tidak ada riwayat trauma kepala.

2

Page 3: Refkas Bell's Palsy

Kualitas : wajah perot ke kanan disertai kesulitan untuk menutup

mata bagian kanan, mata bagian kanan sering mengeluarkan air mata.

Saat tersenyum bibir sebelah kanan sulit untuk ditarik, dan dahi

bagian kanan tidak dapat dikerutkan. Saat makan makanan

mengumpul di pipi kanan dan saat berkumur air selalu tumpah dari

pipi kanan.

Kuantitas : keluhan tersebut tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.

Faktor yang memperberat : -

Faktor yang memperingan : setelah berobat jalan selama 2

bulan, pasien merasakan ada perbaikan.

Gejala lain : -

2. Riwayat Penyakit Dahulu

- Riwayat Hipertensi : disangkal

- Riwayat Penyakit Jantung : disangkal

- Riwayat Penyakit Paru : disangkal

- Riwayat DM : disangkal

- Riwayat Stroke : disangkal

- Riwayat Kejang : disangkal

- Riwayat penyakit maag : disangkal

- Riwayat alergi obat : disangkal

- Riwayat trauma kepala : disangkal

3. Riwayat Penyakit Keluarga

- Riwayat Hipertensi : disangkal

- Riwayat Penyakit Jantung: disangkal

- Riwayat Penyakit Paru : disangkal

- Riwayat DM : disangkal

- Riwayat Stroke : disangkal

- Riwayat Kejang : disangkal

3

Page 4: Refkas Bell's Palsy

4. Riwayat Sosial Ekonomi

Biaya perawatan dirumah sakit pasien ditanggung BPJS.

C. PEMERIKSAAN FISIK

a. Status Present

Keadaan Umum : compos mentis

Kesadaran : GCS 15 E4M6V5

Vital Sign :

T : 120/90 mmHg

N : 80 x/’

RR : 20 x/’

t : 36,3 oC

TB : 160 cm

BB : 62 kg

b. Status Internus

Kepala : Mesocephale

Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Leher :

o Sikap : Simetris

o Pergerakan : Normal

o Kaku kuduk : (-)

Dada : Hemithorax dextra dan sinistra simetris

Paru : tidak dilakukan

Jantung : tidak dilakukan

Abdomen : tidak dilakukan

Extremitas :

Superior Inferior

Oedem -/- -/-

Varises -/- -/-

c. Status Psikikus

4

Page 5: Refkas Bell's Palsy

o Cara berpikir : realistik

o Perasaan hati : eutimik

o Tingkah laku : normoaktif

o Ingatan : baik

d. Status Neurologikus

1. N.I ( OLFAKTORIUS)

Subjektif : anosmia (-) Dengan bahan : tidak dilakukan

2. N II ( OPTIKUS)

tajam penglihatan : tidak dilakukan

lapang penglihatan : dalam batas normal

melihat warna : dalam batas normal

funduskopi : tidak dilakukan

3. N III ( OKULOMOTORIUS ), N IV (TROKLEARIS ), N VI

(ABDUCENS )

Dx Sx

PERGERAKAN

BOLA MATA

+ +

NISTAGMUS - -

EKSOFTALMUS - -

PUPIL bulat,isokor,ø 3mm bulat,isokor,ø 3mm

REFLEK

KONVERGENSI

+ +

STRABISMUS - -

MELIHAT KEMBAR - -

4. N V ( TRIGEMINUS )

5

Page 6: Refkas Bell's Palsy

Sensibilitas taktil dan nyeri muka : dalam batas normal

Membuka mulut : dalam batas normal

Meringis : dalam batas normal

Menggigit : tidak dilakukan

Reflek kornea : tidak dilakukan

5. N VII (FACIALIS)

Dx Sx

MENGERUTKAN DAHI + menurun +

MENUTUP MATA + menurun +

LIPATAN NASOLABIAL + menurun +

MENGGEMBUNGKAN

PIPI

+ menurun +

MEMPERLIHATKAN

GIGI

+ menurun +

MENCUCUKAN BIBIR + menurun +

PENGECAPAN 2/3

ANTERIOR LIDAH

tidak dilakukan tidak dilakukan

6. N VIII (VESTIBULOCOCHLEARIS)

Dx Sx

JENTIK JARI + +

DETIK ARLOJI + +

SUARA BERBISIK tidak dilakukan tidak dilakukan

TES WEBER tidak dilakukan tidak dilakukan

TES RINNE tidak dilakukan tidak dilakukan

TES SCHWABACH tidak dilakukan tidak dilakukan

7. N IX (GLOSSOPHARINGEUS)

Pengecapan 1/3 posterior lidah : tidak dilakukan

Sensibilitas faring : tidak dilakukan

6

Page 7: Refkas Bell's Palsy

8. N X ( VAGUS )

Arkus faring : tidak dilakukan

Berbicara : dalam batas normal

Menelan : tidak dilakukan

Nadi : dalam batas normal

9. N XI (ACCESORIUS )

Mengangkat bahu : dalam batas normal

Memalingkan kepala : dalam batas normal

10. N XII ( HYPLOGOSSUS )

Pergerakan lidah : dalam batas normal

Tremor lidah : tidak ada

Artikulasi : dalam batas normal

Lidah : dalam batas normal

e. Badan dan Anggota Gerak

1. BADAN

MOTORIK

Respirasi : normal

Duduk : bisa

SENSIBILITAS

Taktil : dalam batas normal

Nyeri : dalam batas normal

Thermi : tidak dilakukan

Diskriminasi 2 titik : dalam batas normal

Lokasi : dalam batas normal

REFLEK

Reflek kulit perut : tidak dilakukan

7

Page 8: Refkas Bell's Palsy

Reflek kremaster : tidak dilakukan

ANGGOTA GERAK ATAS

MOTORIK

Motorik Dx Sx

Pergerakan Bebas Bebas

Kekuatan 5 5

Tonus Normo Normo

Klonus - -

Trofi Eutrofi Eutrofi

SENSIBILITAS

Dx Sx

Taktil dalam batas normal dalam batas normal

Nyeri dalam batas normal dalam batas normal

Thermis Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Diskriminasi 2 titik dalam batas normal dalam batas normal

Lokasi dalam batas normal dalam batas normal

REFLEK

Dx Sx

Biceps +N +N

Triceps +N +N

Radius +N +N

Ulna +N +N

Hoffman - -

Trommer - -

2. ANGGOTA GERAK BAWAH

MOTORIK

8

Page 9: Refkas Bell's Palsy

Motorik Dx Sx

Pergerakan Bebas Bebas

Kekuatan 5 5

Tonus Normo Normo

Klonus - -

Trofi Eutrofi Eutrofi

SENSIBILITAS

Dx Sx

Taktil dalam batas normal dalam batas normal

Nyeri dalam batas normal dalam batas normal

Thermi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Diskriminasi 2 titik dalam batas normal dalam batas normal

Lokasi dalam batas normal dalam batas normal

REFLEK

Dx Sx

Patella +N +N

Achilles +N +N

Babinski - -

Chaddock - -

Oppenheim - -

Gordon - -

Schaeffer - -

Gonda - -

Bing - -

Rossolimo - -

Mendel-Bechtrew - -

Laseque Test Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Patrick Test Tidak dilakukan Tidak dilakukan

9

Page 10: Refkas Bell's Palsy

Kontra patrick Test Tidak dilakukan Tidak dilakukan

f. Koordinasi, Gait, dan Keseimbangan

Cara berjalan : dalam batas normal

Tes Romberg : tidak dilakukan

Disdiadokhokinesis : tidak dilakukan

Ataksia : tidak dilakukan

Rebound phenomenon : tidak dilakukan

Dismetria : tidak dilakukan

g. Gerakan Abnormal

Tremor : -

Atetosis : -

h. Alat Vegetatif

Miksi : +

Defekasi : +

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

-

E. RESUME

Pasien mengaku ± 2 bulan yang lalu pada saat bangun tidur tiba-tiba wajah bagian kanan lemah sehingga menjadi perot, pasien sering menggunakan kipas angin dalam kegiatan sehari-hari termasuk saat tidur. Wajah perot ke kanan disertai kesulitan untuk menutup mata bagian kanan. Saat tersenyum bibir sebelah kanan sulit untuk ditarik, dan dahi bagian kanan tidak dapat dikeutkan. Keluhan tersebut tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Setelah berobat jalan selama 2 bulan, pasien merasakan ada perbaikan.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan kelemahan pada n. VII dextra perifer yaitu kerutan dahi yang tidak simetris, kelopak mata kiri menutup dengan sela mata 3 mm, senyum yang tidak simetris, menggembungkan

10

Page 11: Refkas Bell's Palsy

pipi tidak simetris, memperlihatkan gigi tidak simetris, dan mencucukan bibir tidak simetris.

SKALA EUGO FISCHDinilai kondisi simetris atau asimetris antar sisi sehat dan sisi sakit pada 5 posisi :

Posisi Nilai Presentase (%) SkorIstirahat 20 70 14Mengerutkan Dahi 10 30 3Menutup mata 30 70 21Tersenyum 30 0 0Bersiul 10 70 7

Total 45Penilaian Presentase:

0% : asimetris kompit, tidak ada gerakan volunter30% : simetris, jelek, kesembuhan yang ada lebih dekat ke

simetris komplit daripada simetris normal70% : simetris, cukup, kesembuhan parsial yang cenderung ke

arah normal100% : simetris, normal/ komplit

Hasil Penilaian100 : Normal70-99 : Baik30-69 : Sedang< 30 : Buruk

F. DIAGNOSIS

D/ Klinis : Paresis n. VII dextra perifer

D/ Topis : n. VII dextra

D/ Etiologis : Idiopatik

G. PENGOBATAN

1. Medikamentosa :

Metil prednisolon 2 x 8 mg

Mecobalamin 3 x 500 mg

2. Non Medikamentosa :

11

Page 12: Refkas Bell's Palsy

Fisioterapi

Latihan otot-otot wajah

H. PROGNOSA

Ad sanam : dubia ad bonam

Ad vital : dubia ad bonam

Ad fungsional : dubia ad bonam

I. EDUKASI

1. menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang penyakitnya

2. dianjurkan untuk banyak istirahat dan minum obat teratur

3. kontrol ke dokter secara rutin

4. menghindari faktor resiko (penggunaan kipas angin yang langsung

mengenai wajah, memakai helm ketika berkendara)

5. latihan otot-otot wajah

6. fisioterapi

12

Page 13: Refkas Bell's Palsy

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Kelumpuhan wajah adalah suatu bentuk kecacatan yang

memberikan dampak yang kuat pada seseorang. Kelumpuhan nervus

facialis dapat disebabkan oleh bawaan lahir (kongenital), neoplasma,

trauma, infeksi, paparan toksik ataupun penyebab iatrogenik. Yang paling

sering menyebabkan kelumpuhan unilateral pada wajah adalah Bell’s

palsy. Bell’s palsy ditemukan oleh dokter dari inggris yang bernama

Charles Bell. Bell’s palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau

kelumpuhan yang akut dan idiopatik akibat disfungsi nervus facialis

perifer.

2.2. Struktur anatomi

Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :

a. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali

m. levator palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus

bagian posterior dan stapedius di telinga tengah

b. Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus

salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan

mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan

glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.

13

Page 14: Refkas Bell's Palsy

c. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat

pengecap di dua pertiga bagian depan lidah.

d. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu

dan rasa raba dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang

dipersarafi oleh nervus trigeminus.

Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi

seluruh otot mimik wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus

intermedius Wrisberg yang mengantarkan rasa pengecapan dari 2/3

bagian anteriort lidah dan sensasi kulit dari dinding anterior kanalis

auditorius eksterna. Serabut-serabut rasa pengecapan pertama-tama

melintasi nervus lingual, yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu masuk

ke korda timpani dimana ia membawa sensasi pengecapan melalui nervus

fasialis ke nukleus traktus solitarius. Serabut-serabut sekretomotor

menginervasi kelenjar lakrimal melalui nervus petrosus superfisial major

dan kelenjar sublingual serta kelenjar submaksilar melalui korda tympani.

Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus

abdusens, dan serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan

melewati bagian ventrolateral nukleus abdusens sebelum keluar dari pons

di bagian lateral traktus kortikospinal. Karena posisinya yang berdekatan

(jukstaposisi) pada dasar ventrikel IV, maka nervus VI dan VII dapat

terkena bersama-sama oleh lesi vaskuler atau lesi infiltratif. Nervus fasialis

masuk ke meatus akustikus internus bersama dengan nervus akustikus lalu

14

Page 15: Refkas Bell's Palsy

membelok tajam ke depan dan ke bawah di dekat batas anterior vestibulum

telinga dalam. Pada sudut ini (genu) terletak ganglion sensoris yang

disebut genikulatum karena sangat dekat dengan genu.

Nervus fasialis berjalan melalui kanalis fasialis tepat di bawah ganglion

genikulatum untuk memberikan percabangan ke ganglion pterygopalatina,

yaitu nervus petrosus superfisial major, dan di sebelah yang lebih distal

memberi persarafan ke m. stapedius yang dihubungkan oleh korda

timpani. Lalu nervus fasialis keluar dari kranium melalui foramen

15

Page 16: Refkas Bell's Palsy

stylomastoideus kemudian melintasi kelenjar parotis dan terbagi menjadi

lima cabang yang melayani otot-otot wajah, m. stilomastoideus, platisma

dan m. digastrikus venter posterior.

2.3. Epidemiologi

Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari

paralysis fasial akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori,

Jepang tahun 1986 dan insiden terendah ditemukan di Swedia tahun

1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23

kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s

palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes

mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy

mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan

tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena

daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat

mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50

tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan

kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi daripada wanita tidak

hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.

2.4. Etiologi

Diperkirakan, penyebab Bell’s palsy adalah edema dan iskemia

akibat penekanan (kompresi) pada nervus fasialis. Penyebab edema dan

16

Page 17: Refkas Bell's Palsy

iskemia ini sampai saat ini masih diperdebatkan. Dulu, paparan

suasana/suhu dingin (misalnya hawa dingin, AC, atau menyetir mobil

dengan jendela yang terbuka) dianggap sebagai satu-satunya pemicu Bell’s

palsy. Akan tetapi, sekarang mulai diyakini HSV sebagai penyebab Bell’s

palsy, karena telah diidentifikasi HSV pada ganglion geniculata pada

beberapa penelitian otopsi. Murakami et all juga melakukan tes PCR

(Polymerase-Chain Reaction) pada cairan endoneural N.VII penderita

Bell’s palsy berat yang menjalani pembedahan dan menemukan HSV

dalam cairan endoneural. Virus ini diperkirakan dapat berpindah secara

axonal dari saraf sensori dan menempati sel ganglion, pada saat adanya

stress, akan terjadi reaktivasi virus yang akan menyebabkan kerusakan

local pada myelin.

2.5. Patofisiologi

Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses

inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar

foramen stilomastoideus. Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara

unilateral. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori

menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang

menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi

kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal. Perjalanan

nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang

mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar

17

Page 18: Refkas Bell's Palsy

sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut,

adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan

gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus

fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan

infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks

motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi

yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik

primer.

Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi

dengan kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab

terjadinya Bell’s palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit

di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis

LMN. Pada lesi LMN bias terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os

petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada

cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah

sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena

itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus

rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis

nervus fasialis LMN akan timbul bersamaan dengan tuli perseptif

ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan

lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s

palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster)

yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus

18

Page 19: Refkas Bell's Palsy

ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di

ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga

menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.

Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah

dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura

palpebra tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata

terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa

diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan.

19

Page 20: Refkas Bell's Palsy

Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar

sehingga tertimbun. Gejala-gejala pengiring seperti ageusia dan

hiperakusis tidak ada karena bagian nervus fasialis yang terjepit di

foramen stilomastoideum sudah tidak mengandung lagi serabut korda

timpani dan serabut yang mensyarafi muskulus stapedius.

2.6. Gejala Klinis

Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga

dapat didiagnosa dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak

dapat bergerak. Lipatan-lipatan di dahi akan menghilang dan Nampak

seluruh muka sisi yang sakit akan mencong tertarik ke arah sisi yang sehat.

Gejala kelumpuhan perifer ini tergantung dari lokalisasi kerusakan.

a. Kerusakan setinggi foramen stilomastoideus.

Gejala : kelumpuhan otot-otot wajah pada sebelah lesi.

Sudut mulut sisi lesi jatuh dan tidak dapat diangkat

Makanan berkumpul diantara pipi dan gusi pada sebelah

lesi

Tidak dapat menutup mata dan mengerutkan kening pada

sisi lesi

Kelumpuhan ini adalah berupa tipe flaksid, LMN. Pengecapan dan

sekresi air liur masih baik.

20

Page 21: Refkas Bell's Palsy

b. Lesi setinggi diantara khorda tympani dengan n.stapedeus (didalam

kanalis fasialis).

Gejala: seperti (a) ditambah dengan gangguan pengecapan 2/3 depan

lidah dan gangguan salivasi.

c. Lesi setinggi diantara n.stapedeus dengan ganglion genikulatum.

Gejala: seperti (b) ditambah dengan gangguan pendengaran yaitu

hiperakusis.

d. Lesi setinggi ganglion genikulatum.

Gejala: seperti (c) ditambah dengan gangguan sekresi kelenjar hidung

dan gangguan kelenjar air mata (lakrimasi).

e. Lesi di porus akustikus internus.

Gangguan: seperti (d) ditambah dengan gangguan pada N.VIII.

Yang paling sering ditemui ialah kerusakan pada tempat setinggi

foramen stilomastoideus dan pada setinggi ganglion genikulatum. Adapun

penyebab yang sering pada kerusakan setinggi genikulatum adalah :

Herpes Zoster, otitis media perforata dan mastoiditis.

21

Page 22: Refkas Bell's Palsy

2.7. Penegakan Diagnosis

Diagnosis Bell’s palsy dapat ditegakkan dengan melakukan

anamnesis dan pemeriksaan fisis. Pada pemeriksaan nervus kranialis akan

didapatkan adanya parese dari nervus fasialis yang menyebabkan bibir

mencong, tidak dapat memejamkan mata dan adanya rasa nyeri pada

telinga. Hiperakusis dan augesia juga dapat ditemukan. Harus dibedakan

antara lesi UMN dan LMN. Pada Bell’s palsy lesinya bersifat LMN.

a. Anamnesis.

Hampir semua pasien yang dibawa ke ruang gawat darurat merasa

bahwa mereka menderita stroke atau tumor intrakranial. Hampir

semua keluhan yang disampaikan adalah kelemahan pada salah

satu sisi wajah.

Nyeri postauricular: Hampir 50% pasien menderita nyeri di

regio mastoid. Nyeri sering muncul secara simultan disertai

22

Page 23: Refkas Bell's Palsy

dengan paresis, tetapi paresis muncul dalam 2-3 hari pada

sekitar 25% pasien.

Aliran air mata: Dua pertiga pasien mengeluh mengenai aliran

air mata mereka. Ini disebabkan akibat penurunan fungsi

orbicularis oculi dalam mengalirkan air mata. Hanya sedikit air

mata yang dapat mengalir hingga saccus lacrimalis dan terjadi

kelebihan cairan. Produksi air mata tidak dipercepat.

Perubahan rasa: Hanya sepertiga pasien mengeluh tentang

gangguan rasa, empat per lima pasien menunjukkan penurunan

rasa. Hal ini terjadi akibat hanya setengah bagian lidah yang

terlibat.

Mata kering.

Hyperacusis: kerusakan toleransi pada tingkatan tertentu pada

hidung akibat peningkatan iritabilitas mekanisme neuron

sensoris.

b. Pemeriksaan fisik.

Gambaran paralisis wajah mudah dikenali pada pemeriksaan fisik.

Pemeriksaan yang lengkap dan tepat dapat menyingkirkan

kemungkinan penyebab lain paralisis wajah. Pikirkan etiologi lain

jika semua cabang nervus facialis tidak mengalami gangguan.

Definisi klasik Bell palsy menjelaskan tentang keterlibatan

mononeuron dari nervus facialis, meskipun nervus cranialis

lain juga dapat terlibat. Nervus facialis merupakan satu-satunya

23

Page 24: Refkas Bell's Palsy

nervus cranialis yang menunjukkan gambaran gangguan pada

pemeriksaan fisik karena perjalanan anatomisnya dari otak ke

wajah bagian lateral.

Kelamahan dan/atau paralisis akibat gangguan pada nervus

facialis tampak sebagai kelemahan seluruh wajah (bagian atas

dan bawah) pada sisi yang diserang. Perhatikan gerakan

volunter bagian atas wajah pada sisi yang diserang.

Pada lesi supranuklear seperti stroke kortikal (neuron motorik

atas; di atas nucleus facialis di pons), dimana sepertiga atas

wajah mengalami kelemahan dan dua per tiga bagian bawahnya

mengalami paralisis. Musculus orbicularis, frontalis dan

corrugator diinervasi secara bilateral, sehingga dapat

dimengerti mengenai pola paralisis wajah.

Lakukan pemeriksaan nervus cranialis lain: hasil pemeriksaan

biasanya normal.

Membran timpani tidak boleh mengalami inflamasi; infeksi

yang tampak meningkatkan kemungkinan adanya otitis media

yang mengalami komplikasi.

c. Pemeriksaan laboratorium.

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk

menegakkan diagnosis Bell’s palsy. Namun pemeriksaan kadar

gula darah atau HbA1c dapat dipertimbangkan untuk mengetahui

apakah pasien tersebut menderita diabetes atau tidak. Pemeriksaan

24

Page 25: Refkas Bell's Palsy

kadar serum HSV juga bisa dilakukan namun ini biasanya tidak

dapat menentukan dari mana virus tersebut berasal.

d. Pemeriksaan radiologi.

Bila dari anamneses dan pemeriksaan fisik telah mengarahkan ke

diagnose Bell’s palsy maka pemeriksaan radiologi tidak diperlukan

lagi, karena pasien-pasien dengan Bell’s palsy umumnya akan

mengalami perbaikan dalam 8-10 minggu. Bila tidak ada perbaikan

ataupun mengalami perburukan, pencitraan mungkin akan

membantu. MRI mungkin dapat menunjukkan adanya tumor

(misalnya Schwannoma, hemangioma, meningioma). Bila pasien

memiliki riwayat trauma maka pemeriksaan CT-Scan harus

dilakukan.

2.8. Diagnosa Banding

Kondisi lain yang dapat menyebabkan kelumpuhan nervus fasialis

diantaranya tumor, infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum

(Ramsay Hunt syndrom), penyakit Lyme, AIDS, infeksi Tuberculosa pada

mastoid ataupun telinga tengah, Guillen Barre syndrome.

2.9. Penatalaksanaan

a. Agen antiviral.

Meskipun pada penelitian yang pernah dilakukan masih kurang

menunjukkan efektifitas obat-obat antivirus pada Bell’s palsy, hampir

25

Page 26: Refkas Bell's Palsy

semua ahli percaya pada etiologi virus. Penemuan genom virus

disekitar nervus fasialis memungkinkan digunakannya agen-agen

antivirus pada penatalaksanaan Bell’s palsy. Oleh karena itu, zat

antiviral merupakan pilihan yang logis sebagai penatalaksaan

farmakologis dan sering dianjurkan pemberiannya. Acyclovir 400 mg

selama 10 hari dapat digunakan dalam penatalaksanaan Bell’s palsy.

Acyclovir akan berguna jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset

penyakit untuk mencegah replikasi virus.

Nama obat Acyclovir (Zovirax) – menunjukkan aktivitas hambatan

langsung melawan HSV-1 dan HSV-2, dan sel yang terinfeksi

secara selektif.

Dosis dewasa 4000 mg/24 jam peroral selama 7-10 hari.

Dosis pediatrik < 2 tahun : tidak dianjurkan.

> 2 tahun : 1000 mg peroral dibagi 4 dosis selama 10 hari.

Kontraindikasi Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas.

Interaksi obat Penggunaan bersama dengan probenecid atau zidovudine dapat

memperpanjang waktu paruh dan meningkatkan toksisitas

acyclovir terhadap SSP.

Kehamilan C – keamanan penggunaan selama kehamilan belum pernah

dilaporkan.

Perhatian Hati-hati pada gagal ginjal atau bila menggunakan obat yang

bersifat nefrotoksik.

26

Page 27: Refkas Bell's Palsy

b. Kortikosteroid.

Pengobatan Bell’s palsy dengan menggunakan steroid masih merpakan

suatu kontroversi. Berbagai artikel penelitian telah diterbitkan

mengenai keuntungan dan kerugian pemberian steroid pada Bell’s

palsy. Para peneliti lebih cenderung memilih menggunakan steroid

untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Bila telah diputuskan untuk

menggunakan steroid, maka harus segera dilakukan konsensus.

Prednison dengan dosis 40-60 mg/ hari per oral atau 1 mg/ kgBB/ hari

selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian,

dimana pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit,

gunanya untuk meningkatkan peluang kesembuhan pasien.

Nama obat Prednisone (Deltasone, Orasone, Sterapred) – efek

farmakologis yang berguna adalah efek

antiinflamasinya, yang menurunkan kompresi

nervus facialis di canalis facialis.

Dosis dewasa 1 mg/kg/hari peroral selama 7 hari.

Dosis pediatrik Pemberian sama dengan dosis dewasa.

Kontraindikas

i

Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas; infeksi

virus, jamur, jaringan konektif, dan infeksi kulit

tuberkuler; penyakit tukak lambung; disfungsi

hepatik; penyakit gastrointestinal.

Interaksi obat Pemberian bersamaan dengan estrogen dapat

menurunkan klirens prednisone; penggunaan

dengan digoksin dapat menyebabkan toksisitas

digitalis akibat hipokalemia; fenobarbital, fenitoin,

27

Page 28: Refkas Bell's Palsy

dan rifampin dapat meningkatkan metabolisme

glukokortikoid (tingkatkan dosis pemeliharaan);

monitor hipokalemia bila pemberian bersama

dengan obat diuretik.

Kehamilan B – biasanya aman tetapi keuntungan obat ini dapat

memperberat resiko.

Perhatian Penghentian pemberian glukokortikoid secara tiba-

tiba dapat menyebabkan krisis adrenal;

hiperglikemia, edema, osteonekrosis, miopati,

penyakit tukak lambung, hipokalemia,

osteoporosis, euforia, psikosis, myasthenia gravis,

penurunan pertumbuhan, dan infeksi dapat muncul

dengan penggunaan bersama glukokortikoid.

c. Perawatan mata.

Mata sering tidak terlindungi pada pasien-psien dengan Bell’s palsy.

Sehingga pada mata beresiko terjadinya kekeringan kornea dan

terpapar benda asing. Atasi dengan pemberian air mata pengganti,

lubrikan, dan pelindung mata.

Air mata pengganti: digunakan selama pasien terbangun untuk

mengganti air mata yang kurang atau tidak ada.

Lubrikan digunakan saat sedang tidur. Dapat juga digunakan saat

terbangun jika air mata pengganti tidak cukup melindungi mata.

Salah satu kerugiannya adalah pandangan kabur selama pasien

terbangun.

28

Page 29: Refkas Bell's Palsy

Kaca mata atau pelindung yang dapat melindungi mata dari jejas

dan mengurangi kekeringan dengan menurunkan jumlah udara

yang mengalami kontak langsung dengan kornea.

d. Konsultasi.

Dokter yang menangani pasien ini harus melakukan pemeriksaan

lanjutan yang ketat. Dokumentasi yang dilakukan harus mencakup

kemajuan penyembuhan pasien. Berbagai pendapat muncul mengenai

perlunya rujukan ke dokter spesialis. Indikasi untuk merujuk adalah

sebagai berikut:

Ahli neurologi: bila dijumpai tanda-tanda neurologik pada

pemeriksaan fisik dan tanda-tanda yang tidak khas dari Bell palsy,

maka segera dirujuk.

Ahli penyakit mata: bila terjadi nyeri okuler yang tidak jelas atau

gambaran yang abnormal pada pemeriksaan fisik, pasien harus

dirujuk untuk pemeriksaan lanjutan.

Ahli otolaryngologi: pada pasien-pasien dengan paralisis persisten,

kelemahan otot wajah yang lama, atau kelemahan yang rekuren,

sebaiknya dirujuk.

Ahli bedah: pembedahan untuk membebaskan nervus facialis

kadang dianjurkan untuk pasien dengan Bell palsy. Pasien dengan

prognosis yang buruk setelah pemeriksaan nervus facialis atau

paralisis persisten cukup baik untuk dilakukan pembedahan.

29

Page 30: Refkas Bell's Palsy

2.10. Komplikasi

Hampir semua pasien dengan Bell palsy dapat sembuh tanpa

mengalami deformitas kosmetik, tetapi sekitar 5% mengalami gejala sisa

cukup berat yang tidak dapat diterima oleh pasien.

a. Regenerasi motorik yang tidak sempurna.

Bagian terbesar dari nervus facialis terdiri dari serabut saraf

eferen yang merangsang otot-otot ekspresi wajah. Bila bagian

motorik mengalami regenerasi yang tidak optimal, maka dapat

terjadi paresis semua atau beberapa otot wajah tersebut.

Gangguan tampak sebagai (1) inkompetensi oral, (2) epifora

(produksi air mata berlebihan), dan (3) obstruksi nasal.

b. Regenerasi sensoris yang tidak sempurna.

Dysgeusia (gangguan rasa).

Ageusia (hilang rasa).

Dysesthesia gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sesuai

dengan stimulus normal).

c. Reinervasi aberan dari nervus facialis.

Setelah gangguan konduksi neuron pada nervus facialis

dimulai dengan regenerasi dan proses perbaikan, beberapa

serabut saraf akan mengambil jalan lain dan dapat berhubungan

30

Page 31: Refkas Bell's Palsy

dengan serabut saraf di dekatnya. Rekoneksi aberan ini dapat

menyebabkan jalur neurologik yang tidak normal.

Bila terjadi gerakan volunter, biasanya akan disertai dengan

gerakan involunter (seperti gerakan menutup mata yang satu

diikuti dengan gerakan menutup mata disebelahnya). Gerakan

involunter yang menyertai gerakan volunter ini disebut

synkinesis.

2.11. Prognosis

Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala

sisa. Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah:

a. Usia di atas 60 tahun.

b. Paralisis komplit.

c. Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang

lumpuh.

d. Nyeri pada bagian belakang telinga.

e. Berkurangnya air mata.

Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 %

penderita sembuh dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada

kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai

peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa.

31

Page 32: Refkas Bell's Palsy

Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya memiliki perbedaan

peluang 10-15 persen antara sembuh total dengan meninggalkan gejala

sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita cenderung

meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang

spasme hemifasial.

Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial

dibanding penderita nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh

dibanding yang non DM. Hanya 23% kasus Bell’s palsy yang mengenai

kedua sisi wajah. Bell’s palsy kambuh pada 10-15 % penderita. Sekitar 30

% penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor

kelenjar parotis.

32

Page 33: Refkas Bell's Palsy

DAFTAR PUSTAKA

Monnel, K., Zachariah, S., Khoromi, S. 2009. Bell’s Palsy. Available from :

http://emedicine.medscape.com/article/1146903. Accessed June 1, 2010.

Holland, J. Bell’s Palsy. Brithis Medical Journal. 2008;01;1204.

Ropper AH, Brown RH. Bell’s Palsy Disease Of The Cranial Nerve. Adams and

Victor’s Principles of Neurology, 8th ed. New York : McGraw Hill, 2005.

1181-1184.

Mardjono, M. Sidharta, P. Nervus Fasialis dan Patologinya. Neurologi Klinis

Dasar, 5th ed. Jakarta : PT Dian Rakyat, 2005. 159-163.

Sjahrir, Hasan. Nervus Fasialis. Medan ;Yandira Agung, 2003.

Rohkamm, Reinhard. Facial Nerve Lesions. Color Atlas of Neurology 2nd ed.

George Thieme Verlag: German, 2003. 98-99.

33