Top Banner
BAB I PENDAHULUAN Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh karena toxin dari bakteri Corynebacterium diphteriae. Indonesia termasuk Negara yang endemic difteri dengan insiden tertinggi pada usia 2-5 tahun. Mudah menular dan menyerang terutama saluran napas bagian atas dengan tanda khas berupa pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal. Penyebarannya melalui udara, berupa infeksi droplet, selain itu dapat melalui benda atau makanan yang terkontaminasi. Infeksi ini menyebabkan gejala -gejala lokal dan sistemik, efek sistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi. Masa inkubasi kuman ini antara 2 - 7 hari, penularan terjadi melalui kontak dengan penderita maupun carrier. 7 Difteri merupakan penyakit yang harus didiagnosa dan diterapi dengan segera. Walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia, tetapi kadang- kadang masih ada yang terkena oleh penyakit tersebut. 1
33

Referat Tht

Feb 11, 2016

Download

Documents

tht
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Referat Tht

BAB I

PENDAHULUAN

Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh karena

toxin dari bakteri Corynebacterium diphteriae. Indonesia termasuk Negara yang

endemic difteri dengan insiden tertinggi pada usia 2-5 tahun. Mudah menular dan

menyerang terutama saluran napas bagian atas dengan tanda khas berupa

pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala

umum dan lokal. Penyebarannya melalui udara, berupa infeksi droplet, selain itu

dapat melalui benda atau makanan yang terkontaminasi. Infeksi ini menyebabkan

gejala -gejala lokal dan sistemik, efek sistemik terutama karena eksotoksin yang

dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi. Masa inkubasi kuman ini

antara 2 - 7 hari, penularan terjadi melalui kontak dengan penderita maupun

carrier.7

Difteri merupakan penyakit yang harus didiagnosa dan diterapi dengan

segera. Walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia, tetapi kadang-

kadang masih ada yang terkena oleh penyakit tersebut. Faktor social ekonomi,

pemukiman yang padat, nutrisi yang jelek, terbatasnya fasilitas kesehatan,

merupakan faktor penting terjadinya penyakit ini.Di Indonesia difteri banyak

terdapat di daerah berpenduduk padat dan keadaan lingkungan yang buruk dengan

angka kematian yang cukup tinggi, 50% penderita difteri meninggal dengan gagal

jantung yang merupakan komplikasi. Kejadian luar biasa ini dapat terjadi terutama

pada golongan umur rentan yaitu bayi dan anak. Tapi akhir-akhir ini berkat adanya

Program Pengembangan Imunisasi (PPI) maka angka kesakitan dan kematian

menurun secara drastis. 1,7

1

Page 2: Referat Tht

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk lebih memahami dan

mengenali tonsillitis diftei dengan baik sehingga pasien bisa mendapat penanganan

yang tepat serta edukasi yang baik.

2

Page 3: Referat Tht

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Anatomi Tonsil

Tonsila palatine bersama adenoid, tonsila lingual, lateral band, tonsila

tubaria dan kumpulan jaringan limfoepitel membentuk cincin jaringan limfoid

yang dikenal dengan cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer ini merupakan pertahanan

terhadap infeksi. Tonsila palatina dan adenoid merupakan bagian terpenting dari

cincin Waldeyer. Adenoid akan mengalami regresi pada usia puberitas. Tonsila

palatina adalah massa jaringan limfoid yang terletak di fosa tonsil pada kedua

sudut orofaring bentuknya seperti buah almond. Besarnya tonsila palatina yang

tampak pada pemeriksaan orofaring, tidak menggambarkan besar yang sebenarnya,

karena ada bagian tonsil yang tersembunyi pada fosa tonsilaris. Tonsila palatina

dibatasi dari anterior oleh plika anterior yang dibentuk otot palatoglossus, posterior

oleh plika posterior dibentuk otot palatofaringeus, bagian medial oleh ruang

orofaring, bagian lateral dibatasi oleh otot konstriktor faring superior, bagian

superior oleh palatum mole, bagian inferior oleh tonsila lingual.

Permukaan medial dilapisi oleh epitel skuamos yang mengalami invaginasi

kearah dalam disebut sebagai kripta, jumlahnya 8-20 buah dan membentuk saluran

yang bercabang-cabang. Epitel yang melapisi kripta tersebut adalah tipis, sehingga

daya proteksi terhadap bakteri sangat rendah. Sedangkan permukaan yang

berhubungan dengan fosa tonsilaris diliputi oleh jaringan fibrous berasal dari fasia-

faringealis yang disebut sebagai kapsul dan menutupi 4/5 bagian tonsil. Fowler dan

Tod yang dikutip oleh Ballenger mendapatkn jaringan yang kendor dan lunak

diantara tonsil dan fosa tonsilaris; jaringan ini mudah dipisahkan terutama pada

3

Page 4: Referat Tht

kutus atas tonsila palatine. Keadaan ini merupakan salah satu penyebab seringnya

timbul abses peritonsil di daerah tersebut.

Jaringan tonsil sendiri terdiri dari 3 bagian yaitu:

1. Jaringan ikat trabekula dan retikuler yang merupakan kerangka dari tonsil

dan di dalamnya mengandung pembuluh darah, syaraf dan limfe.

2. Stratum germinativum, berupa folikel-folikel limfoid.

3. Jaringan interfolikuler, terdiri dari sel-sel limfoid.

Secara embriologis tonsil terbentuk pada janin usia 3 bulan dan

pertumbuhan selanjutnya terjadi setelah lahir, begitu da kontak dengan bahan-

bahan pathogen atau allergen yang ada di lingkungannya. Pertumbuhan tonsil

sangat cepat pada umur 1 tahun dan mencapai puncaknya pada umur 3 tahun, atau

pada umur 3 tahun dan mencapai puncaknya pada umur 7 tahun. Kemudian

perlahan-lahan mengecil pada usia pubertas. Pembesaran tonsil yang hebat pada

anak-anak menunjukkan bahwa tonsil tersebut sangat aktif dan tidak menunjukkan

hebatnya derajat infeksi.

4

Page 5: Referat Tht

Gambar 1: Anatomi tonsil

Perdarahan

Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang A.karotis eksterna, melalui

cabang-cabangnya, yaitu:6

A. maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan cabangnya

A. tonsilaris dan A. palatina asenden.

5

Page 6: Referat Tht

A. maksilaris interna dengan cabangnya A. palatine desenden.

A. lingualis dengan cabangnya A. lingualis dorsal.

A. faringeal asenden.

Sumber perdarahan daerah kutub bawah tonsil:

Anterior : A. lingualis dorsal.

Posterior : A. palatina asenden.

Diantara keduanya: A. tonsilaris.

Sumber perdarahan daerah kutub atas tonsil:

A. faringeal asenden

A. palatina desenden.

Gambar 2: Sistem Perdarahan Tonsil 5

Arteri tonsilaris berjalan ke atas pada bagian luar otot konstriktor superior

dan memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri palatina

asenden, mengirimkan cabang-cabangnya melalui otot konstriktor faring

posterior menuju tonsil. Arteri faringeal asenden juga memberikan cabangnya

ke tonsil melalui bagian luar otot konstriktor faring superior. Arteri lingualis

6

Page 7: Referat Tht

dorsal naik ke pangkal lidah dan mengirim cabangnya ke tonsil, plika anterior

dan plika posterior. Arteri palatina desenden atau a. palatina posterior memberi

perdarahan tonsil dan palatum mole dari atas dan membentuk anastomosis

dengan a. palatina asenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang

bergabung dengan pleksus dari faring.6

Aliran getah bening

Aliran getah bening dari daerah tonsil mengalir menuju rangkaian getah bening

servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah otot

sternokleidomastoideus. Aliran ini selanjutnya ke kelenjar toraks dan berakhir

menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening

eferan dan tidak memiliki pembuluh getah bening aferen.

Persarafan

Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V melalui ganglion

sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus.6

Adenoid

Adenoid atau tonsila faringeal adalah jaringan limfoepitel berbentuk triangular

yang terletak pada aspek posterior. Adenoid berbatasan dengan kavum nasi dan

sinus paranasalis pada bagian anterior, kompleks tuba eustachius-telinga

tengah-kavum mastoid pada bagian lateral. Terbentuk sejak bulan ketiga hingga

bulan ketujuh embryogenesis. Adenoid akan terus bertumbuh hingga usia

kurang lebih 6 tahun, setelah itu akan mengalami regresi. Adenoid telah

menjadi tempatkolonisasi kuman sejak lahir. Ukuran adenoid beragam antara

anak yang satu dengan yang lain. Umumnya ukuran maksimum adenoid

tercapai pada usia antara 3-7 tahun. Pembesaran yang terjadi selama usia kanak-

7

Page 8: Referat Tht

kanak muncul sebagai respon multi antigen seperti virus, bakteri, allergen,

makanan dan iritasi lingkungan.

Tonsila lingual

Tonsil lingual merupakan agregasi jaringan limfoid pada 1/3 bagian belakang

lidah. Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh

ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior masa ini

terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yng terbentuk oleh papilla

sirkumvalata.

Klasifikasi

2.2Fisiologi dan Imunologi Tonsil

Pada tonsil terdapat system imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel

membran), makrofag, sel dendrite dan APCs (antigen presenting cells) yang

berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi

sintesis immunoglobulin spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel

plasma dan sel pembawa IgG. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang

diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi.6

Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu:

Menangkap dan mengumpulkan benda asing dengan efektif

Tempat produksi antibodi yang dihasilkan oleh sel plasma yang bersal dari

diferensiasi limfosit B.

Limfosit terbanyak ditemukan dalam tonsil adalah limfosit B. Bersama-sama

dengan adenoid limfosit B berkisar 50-65% dari seluruh limfosit pada kedua

organ tersebut. Limfosit T berkisar 40% dari seluruh limfosit tonsil dan

adenoid. Tonsil berfungsi mematangkan sel limfosit B dan kemudian

8

Page 9: Referat Tht

menyebarkan sel limfosit terstimulus menuju mukosa dan kelenjar sekretori

di seluruh tubuh. Antigen dari luar, kontak dengan permukaan tonsil akan

diikat dan dibawa sel mukosa (sel -M), antigen presenting cells (APCs), sel

makrofag dan sel dendrit yang terdapat pada tonsil ke sel Th di sentrum

germinativum. Kemudian sel Th ini akan melepaskan mediator yang akan

merangsang sel B. Sel B membentuk imunoglobulin Ig M pentamer diikuti

oleh pembentukan IgG dan IgA. Sebagian sel B menjadi sel memori.

Imunoglobulin Ig G dan IgA secara fasif akan berdifusi ke lumen. Bila

rangsangan antigen rendah akan dihancurkan oleh makrofag. Bila

konsentrasi antigen tinggi akan menimbulkan respon proliferasi sel B pada

sentrum germinativum sehingga tersensititasi terhadap antigen,

mengakibatkan terjadinya hiperplasia struktur seluler. Regulasi respon imun

merupakan fungsi limfosit T yang akan mengontrol proliferasi sel dan

pembentukan imunoglobulin. Aktivitas tonsil paling maksimal antara umur

4 sampai 10 tahun. Tonsil mulai mengalami involusi pada saat puberitas,

sehingga produksi sel B menurun dan rasio sel T terhadap sel B relatif

meningkat. Pada Tonsilitis yang berulang dan inflamasi epitel kripta

retikuler terjadi perubahan epitel squamous stratified yang mengakibatkan

rusaknya aktifitas sel imun dan menurunkan fungsi transport antigen.

Perubahan ini menurunkan aktifitas lokal sistem sel B, serta menurunkan

produksi antibodi. Kepadatan sel B pada sentrum germinativum juga

berkurang.6

2.3 Defenisi Tonsilitis Difteri

Tonsillitis difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular,

disebabkan oleh Corynebacterium diphtheria dengan ditandai pembentukan

pseudo-membran pada kulit dan/ atau mukosa.2

9

Page 10: Referat Tht

2.4 Etiologi

Corynebacterium diphtheria merupakan kuman batang gram positif, tidak

bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada

pemanasan 60°, tahan dalam keadaan beku dan kering. Kuman tumbuh secara

aerob, bias dalam media sederhana, tetapi lebih baik dalam media yang

mengandung K-tellurit atau media Loeffler. Pada membrane mukosa manusia

C.diphteriae dapat hidup bersama-sama dengan kuman diphteroid saprofit yang

mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang

diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji,

glukosa, maltose dan sukrosa.1

Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphteriae yaitu tiper gravis,

intermedius, dan mitis, namun dipandang dari sudut antigenisitas sebenarnya

basil ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak

tipe serologic. Hal ini mungkin bisa menerangkan mengapa pada seorang pasien

bisa terdapat kolonisasi lebih dari satu jenis C.Diphteriae. cirri khas

C.diphteriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in vivo

maupun in vitro. Eksotoksin ini merupakan suatu protin dengan berat molekul

62.000 dalton, tidak tahan panas atau cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu

fragmen A (amino terminal) dan fragmen B (karboksi-terminal). Kemampuan

suatu strain untuk membentuk/memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya

bakteriofag , toksin hanya bisa diproduksi oleh C.diphteriae yang terinfeksi oleh

bakteriofag yang mengandung toxigene.1

2.5Epidemiologi

10

Page 11: Referat Tht

Difteri tersebar luas di seluruh dunia. Biasanya menyerang anak umur

kurang dari 10 tahun terbanyak usia 2-5 tahun. Eropa hamper sudah tidak ada

sedangkan di Indonesia di masa lampau banyak sedang kini sudah menurun.4

Angka kejadian menurun secara nyata setelah perang dunia II, setelah

penggunaan toksoid difteri. Demikian pula terdapat penurunan mortalitas yang

berkisar antara 5-10 %. Delapan puluh persen kasus terjadi dibawah 15 tahun,

meskipun demikian dalam suatu keadaan wabah, angka kejadiian menurut umur

tergantung status imunitas populasi setempat. Factor social ekonomi,

pemukiman yang padat, nutrisi yang jelek, terbatasnya fasilitas kesehatan,

merupakan factor penting terjadinya penyakit ini.1

Difteri ditularkan dengan cara kontak dengan pasien atau karier melalui

droplet ketika batuk, bersin atau berbicara. Muntahan/debu bisa merupakan

sarana penularan (vehicles of transmission).2

2.6 Patofisiologi

Kuman C.diphteriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang

biak pada permukaan mukosa saluran nafas atas dan mulai memproduksi toksin

yang merembes ke sekeliling, selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui

pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek toksin pada jaringan tubuh manusia

adalah hambatan pembentukan protein dalam sel. Pembentukan protein dalam

sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA

yang mendapati kedudukan P dan A dalam ribosom. Bila rangkaian asam amino

ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk pelipeptida sesuai

dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini

merupakan pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A ke

11

Page 12: Referat Tht

kedudukan P. proses translokasi ini memerlukan enzim translokase (elongation

factor-2) yang aktif.1

Toksin difteri mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan

fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk, mengakibatkan inaktivasi

enzim translokase melalui proses: NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2

(inaktif) + H2 + Nikotinamid ADP-ribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan

proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida

yang diperlukan, akibatnya sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah

kolonisasi kuman. Sebagai respon, terjadi inflamasi local bersama-sama dengan

jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas.

Produksi toksin semakin banyak, darah infeksi semakin lebar dan terbentuklan

eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membrane yang melekat erat berwarna

kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin,

membrane juga terdiri dari sel radang, eritrosit, dan epitel. Bila dipaksa

melepaskan membrane akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membrane akan

terlepas sendiri pada masa penyembuhan.1

Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan

bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Membrane dan jaringan edematus

dapat menyumbat jalan napas. Gangguan pernafasan/sufokasi bisa terjadi

dengan perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang trakeo-bronkus. Toksin

yang diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan pada setiap organ,

terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteri hanya berpengaruh pada

toksin yang bebas atau yang terabsorsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi

apabila toksin telah melakukan penetrasi ke dalam sel. Setelah toksin terfiksasi

dalam sel, terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi

klinis. Miokarditis biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada

12

Page 13: Referat Tht

umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah

nekrosis toksik dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan

jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada

serat otot dan system konduksi. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan

degenerasi lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati bisa disertai gejala

hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular

akut pada ginjal.1

Cara Penularan

Sumber penularan penyakit difteri adalah manusia, baik sebagai penderita

maupun sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan

penderita pada masa inkubasi atau kontak dengan karier. Caranya melalui

pernafasan atau droplet infection. Masa inkubasi penyakit ini 2-5 hari, masa

penularan penderita 2-4 minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa

penularan carier bisa sampai 6 bulan. Penyakit difteri yang diserang terutama

saluran pernafasan bagian atas.

Kontaminasi barang pribadi yang dipakai bersamaan, seperti handuk,

sendok, gelas yang belum dicuci, mainan dan lain-lain. Orang yang telah

terinfeksi difteri dan belum diobati dapat menulari orng lain yang noimmunized

delama enam minggu, bahkan jika mereka belum menunjukkan gejala apapun.

2.7Gejala Klinis

Gambaran klinik difteri dibagi dalam 3 golongan yaitu gejala umum, gejala

lokal dan gejala akibat eksotoksin.3

13

Page 14: Referat Tht

a) Gejala umum seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu

tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah,

nadi lambat serta keluhan nyeri menelan.

b) Gejala lokal yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak

putih kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk

membrane semu. Membrane ini dapat meluas ke palatum mole, uvula,

nasofaring, laring, trakea, dan bronkus dan dapat menyumbat saluran

napas. Membrane semu ini melekat erat pada dasarnya, sehingga bila

diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini bila

infeksinya berjalan terus, kelenjar limfe leher akan membengkak

sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai leher sapi (bull neck)

atau disebut juga Burgemeester’s hals.

c) Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkaan oleh kuman difteri ini akan

menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi

miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai saraf cranial

menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan dan

pada ginjal menimbulkan albuminuria.

Gambar 3: Detritus dan Bull Neck5

14

Page 15: Referat Tht

2.8Diagnosis dan Diagnosis Banding

Diagnosis tonsillitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan

pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah

membrane semu dan didapatkan kuman Corynebacterium diphteriae.3 Karena

preparat smear kurang dapat dipercaya, sedangkan untuk biakan membutuhkan

waktu beberapa hari. Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara

Flourescent antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli.

Diagnosis pasti dengan isolasi C diphtheriae dengan pembiakan pada media

loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenitas secara in-vivo(marmot) dan in-

vitro (tes Elek).1

2.9Komplikasi

Komplikasi yang sering ditemukan adalah:

Kardiovaskuler: Terjadi pada akhir minggu pertama atau awal minggu

kedua.

o Takikardi (pada awalnya),lalu terjadi inflamasi miokardium akut

(bradikardi);

o Abnormalitas elektrokardiogram: depresi ringan segmen ST, kadang

disertai inverse gelombang T, gangguan konduksi (prognosis buruk);

o Miokarditis. Bunyi jantung 1 melemah, hipertrofi jantung, irama

gallop, murmur sistolik;

o Syok kardiogenik, akibat kerusakan miokardium yang ekstensif;

o Dekompensasi kordis

Urogenital: Nefritis

15

Page 16: Referat Tht

System saraf: toksin difteri mengakibatkan demyelinating

polyneuropathy yang mengenai saraf cranial dan perifer yang dapat

berupa paralisis palatum (perubahan suara, disfagia); paralisis otot

oftalmik (tidak bisa membaca, strabismus, dilatasi pupil, ptosis); paralisis

otot wajah, paralisis nerfus frenikus (batuk, dispnea, pernapasan

torakoabdominal, sianosis); system respirasi (obstruksi, bronco-

pneumonia, atelektasis).8

2.10 Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang

belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang

terjadi minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta

mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria. 1

Pengobatan umum

Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan

tenggorok negative 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap

diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih

2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat.

Pengobatan Khusus

1. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)

Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis

difteria. Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka

kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan

penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini biasa

meningkat sampai 30%. Dosis yang diberikan untuk difteri

16

Page 17: Referat Tht

tonsil adalah 20.000-100.000 unit tergantung dari umur dan

beratnya penyakit.

Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata

terlebih dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi

reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin

a:1000 dalam semprit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan

0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1.000 secara

intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi >

10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan

serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain

diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit

tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi.

Bila uji kulit/mata positif, ADS diberikan dengan cara

desentisasi (Besredka). Bila ujihiprsensitivitas tersebut diatas

negative, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena.

Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat

penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan

pasien, berkisar antara 20.000-120.000 KI. Pemberian ADS

intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa

5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek

samping obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan

selama 2 jam berikutnya Demikian pula perlu dimonitor

terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness)

2. Antibiotik

Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin

melainkan untuk membunuh bakteri dan menghentikan

produksi toksin dan juga mencegah penularan organisme pada

17

Page 18: Referat Tht

kontak. C. diphtheriae biasanya rentan terhadap berbagai agen

invitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin

dan tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap eritromisin pada

populasi yang padat jika obat telah digunakan secara luas. Yang

dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin; eritromisin sedikit

lebih unggul daripada penisilin untuk pemberantasan pengidap

nasofaring. Dosis : Penisilin prokain 25.000-50.000

U/kgBB/hari i.m. , tiap 2 jam selama 14 hari atau bila hasil

biakan 3 hari berturut-turut (-). · Eritromisin 40-50

mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam selama 14 hari. ·

3. Kortikosteroid

Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat

ini pada difteria. Dianjurkan korikosteroid diberikan kepada

kasus difteria yang disertai dengan gejala obstruksi saluran

nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck) dan bila

terdapat penyulit miokarditis.

2.11 Prognosis

Prognosis difteria setelah ditemukan ADS dan antibiotik, lebih baik daripada

sebelumnya, keadaan demikian telah terjadi di negara-negara lain. Kematian

tersering pada anak kurang dari 4 tahun akibat membran difteri. Menurut

Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena

(1) Obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya difteria, (2)

Adanya miokarditis dan gagal jantung, (3) Paralisis difragma sebagai akibat

neuritis nervus nefrikus. Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis

18

Page 19: Referat Tht

sebagai penyulit difteria, pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala

sisa; walaupun demikian pernah dilaporkan kelainan jantung yang menetap.1

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1Kesimpulan

Difteri yang terjadi pada tonsil adalah infeksi mendadak yang disebabkan

oleh bakteri Corynobacterium diphtheria yang dapat berakibat pada jalur

pernafasan, maka dari itu penyakit ini harus cepat terdiagnosa dengan cara

melakukan pemeriksaan-pemeriksaan yang tepat termasuk pemeriksaan

penunjang dan laboratorium untuk mencegah komplikasi-komplikasi yang

dapat mengakibatkan kematian.

Pasien biasanya datang dengan berbagai macam keluhan umum seperti

kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan

lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri menelan. Gejala lokal yang tampak

berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin

meluas dan bersatu membentuk membrane semu yang melekat erat pada

dasarnya dan mudah berdarah, dapat juga meluas ke palatum mole, uvula,

19

Page 20: Referat Tht

nasofaring, laring, trakea, dan bronkus dan dapat menyumbat saluran napas.

Tonsillitis difteri juga menunjukan gejala yang khas yaitu leher sapi (bull neck)

atau disebut juga Burgemeester’s hals. Gejala akibat eksotoksin yang

dikeluarkaan oleh kuman difteri ini akan menimbulkan kerusakan jaringan

tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai decompensatio

cordis, mengenai saraf cranial menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-

otot pernapasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria.

Diagnose laryngitis difteri dapat ditegakkan melalui anamnesa, pemeriksaan

fisik dan pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan seperti pemberian Anti

Difteri Serum harus cepat diberikan untuk mengurangi resiko kematian untuk

membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin dan juga mencegah

penularan organisme pada kontak. Prognosis tonsillitis difteri baik apabila

penatalaksaanaan cepat setelah ditegakkan diagnose.

3.2Saran

Sering kita menemukan penyakit tonsillitis difteri ini pada masyarakat

dimana bisa berakibat fatal terutama pada bayi dan anak-anak karena dapat

menyebabkan terjadinya sumbatan jalan napas, dan komplikasi lain yang

disebabkan oleh bakteri C.diphtheriae diantaranya miokarditis dapat

mengakibatkan payah jantung dan decompensasio cordis, kelumpuhan otot

palatum mole, otot mata untuk akomodasi, otot faring serta otot laring sehingga

menimbulkan kesulitan menelan, suara parau dan kelumpuhan otot-otot

pernapasan. Sehingga bila kita dan masyarakat tidak mengetahuinya prognosis

penyakit ini bisa menjadi buruk. Bila kita dapat mendeteksi dini gejala gejala

tonsillitis difteri kita dapat mencegah komplikasi-komplikasi seperti yang sudah

disebutkan di atas dengan penatalaksanaan yang baik dan adekuat sehingga

dapat mengurangi angka kematian pada bayi dan anak-anak. Oleh karena itu

dibuatnya referat ini semoga bisa bermanfaat bagi kita para dokter muda yang

20

Page 21: Referat Tht

sedang menyelesaikan pendidikan klinis sebagai pengetahuan tentang tonsillitis

difteri dan edukasi kepada masyarakat dapat tersampaikan dengan baik

sehingga penatalaksanaan dapat tepat sasaran dan prognosis semakin baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sumarmoo S. Poorwo Soedarmo, Herry Garna, SriRezeki S. Hadinegoro,

Hindra Irawan Satari. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Edisi ke-2.

Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.2010

2. Arief Mansjoer, Suuprohata, Wahyu Ika Wardhani, Wiwiek Setiowulan.

Kapita Selekta Kedokteran Edisi ke-3. Jakarta. Penerbit buku Kedokteran

EGC

3. Efiaty Arsyad Soepardi, Nurbaiti Iskandar, Jenny Bashirudin, Ratna Dwi

Restuti. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala &

Leher Edisi ke-7. Jakarta. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. 2012

21

Page 22: Referat Tht

4. Diktat Kuliah Ilmu Penyakit THT Fakultas Kedokteran Universitas

Airlangga

5. https://www.google.com/search gambar anatomi tonsil

6. http://repository.unand.ac.id/MIKROBIOLOGI TONSILITIS KRONIS

7. http://www.scribd.com/doc/TONSILITIS-DIFTERI#scribd

8. Chris Tanto, Frans Liwang, Sonia Hanifati, Eka Adi Pradipta. Kapita Selekta

Kedokteran Edisi ke-4. Jakarta. 2014

22