Top Banner
LEMBAR PENGESAHAN Nama mahasiswa : Ula Inda Rahmadhani, S. Ked NIM : 030.10.273 Bagian : Kepaniteraan Klinik Ilmu THT FK Universitas Trisakti Periode : 27 Oktober 2014 – 29 November 2014 Judul : Polip Nasi Pembimbing : dr. Anna Maria Suciaty, Sp.THT Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal : Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT di Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Bogor, November 2014 dr. Anna Maria Suciaty, Sp.THT 1
38

Referat THT

Nov 08, 2015

Download

Documents

referat
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

LEMBAR PENGESAHAN

Nama mahasiswa: Ula Inda Rahmadhani, S. KedNIM: 030.10.273Bagian: Kepaniteraan Klinik Ilmu THT FK Universitas TrisaktiPeriode: 27 Oktober 2014 29 November 2014Judul: Polip NasiPembimbing: dr. Anna Maria Suciaty, Sp.THT

Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal :Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT di Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor.

Bogor, November 2014

dr. Anna Maria Suciaty, Sp.THT

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas segala nikmat, rahmat, dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul Polip Nasi dengan baik dan tepat waktu. Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Ilmu THT Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti di Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor periode 27 Oktober 2014 29 November 2014. Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada dr. Anna Maria Suciaty, Sp.THT selaku pembimbing dalam penyusunan referat ini, serta kepada dr. Tienneke Saboe, Sp.THT yang turut membantu membimbing penulis selama di Kepaniteraan Klinik Ilmu THT Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada rekanrekan anggota Kepaniteraan Klinik Ilmu THT Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor serta berbagai pihak yang telah memberi dukungan dan bantuan kepada penulis.Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna dan tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat berharap adanya masukan, kritik maupun saran yang membangun. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih yang sebesarbesarnya, semoga tugas ini dapat memberikan tambahan informasi bagi kita semua.

Bogor, November 2014 Penulis

Ula Inda Rahmadhani030.10.273

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan .................................................................................................1Kata pengantar ........................................................................................................2Daftar isi ..................................................................................................................3BAB IPendahuluan ....................................................................................4BAB IIAnatomi,Histologi dan Fisiologi Hidung........................................5 BAB IIIPOLIP NASI......................................................................................12Definisi..............................................................................................12Epidemiologi.....................................................................................12Etiologi .............................................................................................13Patofisiologi......................................................................................14Gejala dan tanda................................................................................17Klasifikasi..........................................................................................18Diagnosis...........................................................................................18Penatalaksanaan.................................................................................19Prognosis............................................................................................21BAB IVKesimpulan22Daftar Pustaka .........................................................................................................23

BAB IPENDAHULUAN

Kata polip berasal dari Yunani (Polypous) yang kemudian dilatinkan (polyposis) dan berarti berkaki banyak. Polip nasi ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa. Kebanyakan polip berwarna putih bening atau keabu-abuan, mengkilat, lunak karena banyak mengandung cairan (polip edematosa). Polip yang sudah lama dapat berubah menjadi kekuning kuningan atau kemerah merahan, suram dan lebih kenyal (polip fibrosa). Polip kebanyakan berasal dari mukosa sinus etmoid, biasanya multipel dan dapat bilateral. Polip yang berasal dari sinus maksila sering tunggal dan tumbuh ke arah belakang, muncul di nasofaring dan disebut polip koanal. Polip dapat timbul pada penderita laki-laki maupun perempuan, dari usia anak-anak sampai usia lanjut. Bila ada polip pada anak dibawah usia 2 tahun, harus disingkirkan kemungkinan meningokel atau meningoensefalokel.

BAB IIANATOMI, HISTOLOGI DAN FISIOLOGI HIDUNGHidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung dengan pendarahan serta persarafannya, serta fisiologi hidung. Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (tip), ala nasi, kolumela, dan lubang hidung (nares anterior).

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasalis), prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis os frontal; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor, beberapa pasang kartilago ala minor dan tepi anterior kartilago septum.

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrase. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung.

Dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat ronga sempit yang disebut meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat sinus etmoid terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung.2KOMPLEKS OSTIOMEATAL (KOM)Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosessus unsinatus, infundibulum ethmoid, hiatus semilunaris, bula ethmoid, agger nasi dan resessus frontal. KOM merupakan unti fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drenase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior iaitu sinus maksila, ethmoid anterior dan frontal.Jika terjadi sumbatan pada celah yang sempit ini maka akan terjadi perubahan patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang terkait. 2Pendarahan HidungBagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari a. etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika, sedangkan a. oftalmika berasal dari a. karotis interna.Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a. maksilaris interna, diantaranya ialah ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis.Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmoid, a. labialis superior, a. palatina mayor, yang disebut pleksus Kiessebach (Littles area) letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epitaksis (perdarahan hidung), terutama pada anak.

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial. 2Persarafan HidungBagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatina.Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila (n.V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.Fungsi penghidu berasal dari n.olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. 2HISTOLOGI HIDUNGMukosa HidungRongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius).-Mukosa pernafasanTerdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu (pseudostratified columnar epithelium) yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi epitel skuamosa.Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet.-Mukosa penghiduTerdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia (pseusostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan. 2

FISIOLOGI HIDUNG 2Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah:Fungsi respirasi Untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal. Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring. Aliran udara di hidung ini berbentuk lengkungan atau arkus. Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut lendir sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya. Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37 derajat Celcius. Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas. Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring di hidung oleh rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia dan palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin.

Fungsi penghidu Karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu. Mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum berfungsi sebagai indera penghidu. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.Fungsi hidung untuk membantu indra pencecap adalah untuk membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan seperti perbedaan rasa manis strawberi, jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk membedakan rasa asam yang berasal dari cuka dan asam jawa.

Fungsi fonetik Resonansi suara, membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang. Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).Hidung membantu pembentukan konsonan nasal (m,n,ng), rongga mulut tertutup dan hidung terbuka dan palatum mole turun untuk aliran udara.

Fungsi statik dan mekanik Untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas.

Refleks nasalMukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan nafas berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.

BAB IIIPOLIP NASI

DEFINISIPolip nasi ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa. Polip hidung adalah suatu proses inflamasi kronis pada mukosa hidung dan sinus paranasi yang ditandai dengan adanya massa yang edematous pada rongga hidung8Polip nasi dapat pula didefinisikan sebagai kantong mukosa yang edema, jaringan fibrosus, pembuluh darah, sel-sel inflamasi dan kelenjar.9 Polip nasi muncul seperti anggur pada rongga hidung bagian atas, yang berasal dari dalam kompleks ostiomeatal. Polip nasi terdiri dari jaringan ikat longgar, edema, sel-sel inflamasi dan beberapa kelenjar dan kapiler dan ditutupi dengan berbagai jenis epitel, terutama epitel pernafasan pseudostratified dengan silia dan sel goblet 10

Gambar Polip Hidung

EPIDEMIOLOGIPrevalensi polip nasi pada populasi bervariasi antara 0,2%-4,3%.11,12 Polip nasi dapat mengenai semua ras dan frekuensinya meningkat sesuai usia. Polip nasi biasanya terjadi pada rentang usia 30 tahun sampai 60 tahun dimana dua sampai empat kali lebih sering terjadi pada pria.8,12,13 Di Indonesia studi epidemiologi menunjukkan bahwa perbandingan pria dan wanita 2-3 : 1 dengan prevalensi 0,2%-4,3%.Prevalensi polip nasi dilaporkan 1-2% pada orang dewasa di Eropa dan 4,3% di Finlandia. Dengan perbandingan pria dan wanita 2- 4:1.14 Di Amerika Serikat diperkirakan 0,3% penduduk dewasanya menderita polip nasi, sedangkan di Inggris lebih tinggi lagi, yaitu sekitar 0,2-3%. Frekuensi kejadian polip nasi meningkat sesuai dengan umur, dimana mencapai puncaknya pada umur sekitar 50 tahun. Kejadian polip nasi lebih banyak dialami pria dibanding wanita dengan perbandingan 2,2:1. Polip nasi jarang ditemukan pada anak-anak. Anak dengan polip nasi harus dilakukan pemeriksaan terhadap kemungkinan adanya cystic fibrosis karena cystic fibrosis merupakan faktor resiko bagi anak-anak untuk menderita polip.14 Prevalensi alergi pada pasien polip nasi dilaporkan bervariasi antara 10-64%. Kern et al menemukan polip nasi pada pasien dengan alergi sebesar 25,6% dibandingkan dengan kontrol sebesar 3,9%.10 Settipane dan Chaffe melaporkan 55% dari 211 pasien polip nasi memiliki tes kulit positif. Keith et al melaporkan 52% dari 87 pasien memiliki tes kulit positif.15 Bertolak belakang dengan penelitian di atas yang menunjukkan bahwa alergi lebih sering terdapat pada pasien polip nasi, dilaporkan beberapa penelitian yang menunjukkan hasil yang berbeda. 10

ETIOLOGIBanyak teori yang menyatakan bahwa polip merupakan manifestasi utama dari inflamasi kronis, oleh karena itu kondisi yang menyebabkan inflamasi kronis dapat menyebabkan polip nasi. Beberapa kondisi yang berhubungan dengan polip nasi seperti alergi dan non alergi, sinusitis alergi jamur, intoleransi aspirin, asma, sindrom Churg-Strauss (demam, asma, vaskulitis eosinofilik, granuloma), fibrosis kistik, Primary ciliary dyskinesia, Kartagener syndrome (rinosinusitis kronis, bronkiektasis, situs inversus), dan Young syndrome (sinopulmonary disease, azoospermia, polip nasi) 13 Beberapa mekanisme lain terbentuknya polip nasi juga telah dikemukakan antara lain ketidak seimbangan vasomotor, gas NO, superantigen, gangguan transportasi ion transepitel, gangguan polisakarida, dan ruptur epitel. 13,16Patogenesis polip nasi masih belum diketahui. Perkembangan polip telah dihubungkan dengan inflamasi kronik, disfungsi sistem saraf autonom dan predisposisi genetik. Berbagai keadaan telah dihubungkan dengan polip nasi, yang dibagi menjadi rinosinusitis kronik dengan polip nasi eosinofilik dan rinosinuritis kronik dengan polip nasi non eosinofilik, biasanya neutrofilik. 2,11,12

PATOFISIOLOGISampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai etiologi polip nasi, terdapat sejumlah hipotesis mengenai asal dari polip nasi eosinofilik dan neutrofilik yang berkisar dari predisposisi genetik, variasi anatomi, infeksi kronis, alergi inhalan, alergi makanan, sampai ketidak seimbangan vasomotor. 2Etiologi yang pasti belum diketahui tetapi ada 3 faktor penting terjadinya polip, yaitu: 51. Adanya peradangan kronik yang berulang pada mukosa hidung dan sinus.2. Adanya gangguan keseimbangan vasomotor.3. Adanya peningkatan tekanan cairan interstitial dan edema mukosa hidung.Beberapa hipotesis dari keadaan tersebut antara lain: 2,3,5 AlergiAlergi merupakan faktor yang banyak menjadi sorotan karena tiga hal, yaitu karena sebagian besar polip hidung terdiri dari eosinofil, berhubungan dengan asma, serta temuan klinis pada nasal yang menyerupai gejala dan tanda alergi. Paparan alergen udara menahun, diduga berperan dalam terjadinya polip hidung melalui inflamasi yang terus-menerus pada mukosa hidung. 1Ditemukan sekitar 7% pasien dengan asma memiliki polip hidung.7 Akan tetapi ditemukan bahwa pada pasien non atopik angka kejadian polip hidung juga lebih tinggi yaitu 13%. Akan tetapi studi lain menunjukkan bahwa asma dengan onset yang telat (late onset asthma) akan berkembang menjadi nasal polip sekitar 10-15% Ketidakseimbangan vasomotorTeori ini dikemukakan karena pada banyak kondisi tidak ditemukan adanya tanda-tanda atopi dan tidak ada riwayat pajanan alergen yang ditemukan. Akan tetapi pasien cenderung mengalami rhinitis prodormal sbelum pada akhirnya berkembang menjadi polip hidung. Polip hidung biasanya memiliki vaskularisasi yang kurang dan berkurangnya inervasi vasokonstriktor. Selanjutnya gangguan dalam regulasi vaskular dan peningkatan permeabilitas dapat menyebabkan edema dan pembentukan polip. Bernouli FenomenaFenomena Bernouli terjadi karena adanya penurunan tekanan yang selanjutnya menyebabkan konstriksi. Hal ini akan menimbulkan tekanan negatif dalam KOM, yang mempengaruhi mukosa disekitarnya. Karena tekanan negatif ini kemudian akan terjadi inflamasi mukosa yang selanjutnya menjadi awal terbentuknya polip. Teori Rupture EpithelRupturnya epitel dari mukosa nasal karena alergi atau karena infeksi dapat menyebabkan prolaps dari lamina propria, yang selanjutny akan memebntuk polip. Defek dari faktor ini mungkin semakin memebsar karena karena pengaruh gravitasi atau drainase vena mengalami obstruksi. Akan tetapi dari scanning dengan pengamatan mikroskopik tidak ditemukan adanya defek epitel yang bermakna pada pasien dengan polip hidung Intoleransi aspirinBanyak konsep yang menjelaskan bagaimana patogenesis dari intoleransi aspirin serta hubungannya dengan polip hidung. Terdapat sindrom klinis yang jelas, bagaimana obat-obatan NSAID khususnya aspirin dapat memicu terjadinya rinitis dan serangan asma. Respon Cyclooxygenase (COX) umumnya sangat berbeda pada pasien dengan intolerasi aspirin dibandingkan normal. Dapat dibuktikan bahwa terjadi perubahan pada COX1 dan COX2 yang menghasilkan metabolit tertentu yang akan menstimulasi cysteinyl leukotriene (Cys-LT). Perubahan ini selanjutnya menyebabkan metabolisme asam arachidonat menjadi jalur leukotriene inflamasi tinggi, yang selanjutnya akan mngurangi kadar PGE2 (yang merupakan PG antiinflamasi). Eksperi berlebihan dari LTC4 synthase selanjutnya akan meningkatkan jumlah cyteinyl LTs, menyebabkan respon inflamasi tak terkontrol dan inflamasi kronis. Cystic FibrosisCystic Fibrosis merupakan salah satu penyakit autosomal resesif pada kelompok orang kulit putih. Cystic fibrosis disebabkan karena mutasi gen tunggal pada kromosom 7 yang disebut cystic fibrosis transmembrane regulator (CFTR). Hal ini yang menyebabkan tidak adanya cyclic AMP-regulated chloride chanel yang menyebabkan impermeabilitas klorida dan peningkatan absorpsi natrium. Peningkatan absorpsi natrium dan penurunan sekresi klorida menyebabkan pergerakan air ke sel dan ruang interstitial, selanjutnya menimbulkan retensi ari, pembentukan polip. Defek migrasi protein CFTR juga menyebabkan terjadinya inflamasi kronis sekunder. Nitric OxideNitric Oxide merupakan gas radikal bebas, yang memainkan peran besar dalam terjadinya reaksi imunologis nonspesifik , regulasi dari tone vaskular, pertahanan host dan inflamasi pada berbagai jaringan. Radikal bebas biasanya dipertahankan dalam keadaan siembang oleh antioxidan defense system superoxide dismutase, catalase dan glutahione peroxidase. Ketika radikal bebas ini dapat melebihi kemampuan pertahanan dari antioxidant, maka akan terjadi defek seluler, defek jaringanm dan penyakit kronis. Ditemukan laporan akan meningkatanya kadar nitric oxide dan penurunan scavangeing enzim pada pasien polip hidung dibandingkan dengan kontrol, yang menunjukkan adanya penumpukan radikal bebas pada polip hidung. Infeksi Bagaimana infeksi dapat menjadi faktor yang juga penting terhadap pembentukan polip diduga terkait dengan adanya gangguan pada epitel dengan proliferasi jaringan granulasi. Hal ini biasanya terjadi pada infeksi Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, atau Bacteroides fragilis ( semua jenis patogen yang sering ditemukan pada rinosinusitis). Bagaimana granuloma menginduksi terjadinya polip hidung masih belum benar dipahami. Superantigen HypotensisStaphylococcus aureus ditemukan sekitar 60-70% pada daerah mukus didekat polip masif. Organusme ini selalu memproduksi toxin, Staphylococcus enterotoxin A (SEA), staphylococcus Enterotoxin B (SEB) dan toxic shock syndrome toxin-1 (TSSN-1) yang akan beperan sebagai supetantigen , menyebabkan aktifasi dan ekspansi klonal dan limfosit pada lateral hidung. Aktivasi dari limfosit ini akan menghasilkan sitokein Th1 dan Th2 (IFN-gama, IL-2, IL-4) hal ini akan menyebabkan chronic lymphocytic-eosinophil muchosal disease. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya antibodi spesifik IgE terhadap SEA dan SEB sebanyak 50% pada penderita polip hidung.

GEJALA DAN TANDAGejala utama dari polip nasi adalah sumbatan hidung yang terus menerus namun dapat bervariasi tergantung dari lokasi polip. Pasien juga mengeluh keluar ingus encer dan post nasi drip. Anosmia dan hiposmia juga menjadi ciri dari polip nasi. Sakit kepala jarang terjadi pada polip nasi 11,12 Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior dapat dijumpai massa polipoid, licin, berwarna pucat keabu-abuan yang kebanyakan berasal dari meatus media dan prolaps ke kavum nasi. Polip nasi tidak sensitif terhadap palpasi dan tidak mudah berdarah. 17Pemeriksaan nasoendoskopi memberikan visualisasi yang baik terutama pada polip yang kecil di meatus media. 16. Penelitian Stamberger pada 200 pasien polip nasi yang telah dilakukan bedah sinus endoskopik fungsional ditemukan polip sebanyak 80% di mukosa meatus media, processus uncinatus dan infundibulum.9. Polip nasi hampir semuanya bilateral dan bila unilateral membutuhkan pemeriksaan histopatologi untuk menyingkirkan keganasan atau kondisi lain seperti papiloma inverted. 17 Pada pemeriksaan histopatologi, polip nasi ditandai dengan epitel kolumnar bersilia, penebalan dasar membran, stoma edematous tanpa vaskularisasi dan adanya infiltrasi sel plasma dan eosinofil. Eosinofil dijumpai sebanyak 85% pada polip dan sisanya merupakan neutrofil. 17-19 Berdasarkan penemuan histopatologi, Hellquist HB mengklassifikasikan polip nasi menjadi 4 tipe yaitu : (I) Eosinophilic edematous type (stroma edematous dengan eosinofil yang banyak), (II) Chronic inflammatory or fibrotic type (mengandung banyak sel inflamasi terutama limfosit dan neutrofil dengan sedikit eosinofil), (III) Seromucinous gland type (tipe I+hiperplasia kelenjar seromucous), (IV) Atypical stromal type 13,20

KLASIFIKASIStadium polip berdasarkan pemeriksaan nasoendoskopi menurut Mackay dan Lund, yaitu : Stadium 0: tanpa polip, Stadium 1: polip terbatas di meatus media, Stadium 2: polip di bawah meatus media, Stadium 3: polip masif

DIAGNOSISAnamnesisDari anamnesis didapatkan keluhan-keluhan berupa hidung tersumbat, rinorea, hiposmia atau anosmia. Dapat pula didapatkan gejala sekunder sperti nafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan gangguan aktifitas. 2Pemeriksaan FisikPolip nasi masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior didapatkan massa pucat yang berasal dari meatus media dan mudah digerakkan 2Pemeriksaan Penunjang Naso-endoskopiPada polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat dari rinoskopi anterior, akan tetapi dengan naso endoskopi dapat terlihat dengan jelas. Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius sinus maksila. 2,6 Pemeriksaan RadiologiFoto polos sinus paranasal ( posis waters, AP, Caldwell dan lateral) dapat memperlihatkan adanya penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan didalam sinus, tetapi kurang bermanfaat untuk polip hidung. Pemeriksaan CT scan sangat bermanfaat untuk melihat secara jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks osteomeatal (KOM). CT scan harus diindikasikan pada kasus polip yang gagal diobati dengan terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah endoskopi. 6

PENATALAKSANAAN

Polip nasi sangat mengganggu pada kebanyakan pasien. Penyakit ini sering berulang dan memerlukan pengobatan yang lama sampai bertahun-tahun. Dengan demikian pengobatannya bertujuan untuk mengurangi besarnya atau menghilangkan polip agar aliran udara hidung menjadi lapang dan penderita dapat bernafas dengan baik. Selanjutnya gejala-gejala rinitis dapat dihilangkan dan fungsi penciuman kembali normal. Terdapat beberapa pilihan pengobatan untuk polip nasi mulai dari pemberian obat-obatan, pembedahan konvensional sederhana dengan menggunakan snare polip sampai pada bedah endoskopi yang memakai alat lebih lengkap. Walaupun demikian, angka kekambuhan masih tetap tinggi sehingga memerlukan sejumlah operasi ulang. 21Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi adalah menghilangkan keluhan-keluhan, mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip. Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga polipektomi medikamentosa. Dapat di berikan topikal atau sistemik. Polip eosinofilik memberikan respon yang lebih baik terhadap pengobatan kortikosteroid intranasi dibandingkan polip tipe neutrofilik. Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip yang sangat masif dipertimbangkan untuk terapi bedah 2Tujuan dari penanganan polip nasi adalah untuk mengeliminasi atau secara signifikan mengurangi ukuran polip nasi sehingga meredakan gejala hidung tersumbat, beringus, perbaikan dalam drainase sinus, restorasi penciuman dan pengecapan. 17Secara umum penatalaksaan dari polip hidung yaitu melalui penatalaksaan medis dan operatif.Tatalaksana medis Polip hidung merupakan kelainan yang dapat ditatalaksanai secara medis. Walaupun pada beberapa kasus memerlukan penanganan operatif, serta tatalaksana agresif sebelum dan sesudah operatif juga diperlukan. 2,61. Antibiotik Polip hidung dapat menyebabkan terjadinya obstruksi sinus, yang selanjutnya menimbulkan infeksi. Tatalaksana dengan antibiotik dapat mencegah pertumbuhan dari polip dan mengurangi perdarahan selama operasi. Antibiotik yang diberikan harus langsung dapat memberikan efek langsung terhadap spesies Staphylococcus, Streptococcus, dan bakteri anaerob, yan merupakan mikroorganisme pada sinusitis kronis.62. CorticosteroidTopikal KortikostroidIntranasal/ topikal kortikosteroid merupakan pilihan pertama utnuk polip hidung. Selain itu penggunaan topikal kortikosteroid ini juga berguna pada pasien post operatif polip hidung, dimana pemberiannya dapat mengurangi angka kekambuhan. Pemberian dari kortikosteroid topikal ini dapat dicoba selama 4-6 minggu dengan fluticasone propionate nasal drop 400ug 2x/hari memiliki kemampuan besar dalam mengatasi polip hidung ringan-sedang (derajat 1-2), dimana dapat mengurangi ukuran polip hidung dan keluhan hidung tersumbat. 4Sistemik KortikostreoidPenggunaan dari kortikosteroid sistemik/oral tunggal masih belum banyak diteliti. Penggunaannya umumnya berupa kombinasi dengan terapi kortikostreoid intranasal. Penggunaan fluocortolone dengan total dosis 560 mg selama 12 hari atau 715 mg selama 20 hari dengan pengurangan dosis perhari disertai pemberian budesonide spray 0,2 mg dapat mengurangi gejala yang timbul serta memperbaiki keluhan sinus dan mengurangi ukuran polip. Akan tetapi dari penelitian lain, penggunaan kortikosteroid sistemik tunggal yaitu methylprednisolone 32 mg selama 5 hari, 16 mg selama 5 hari, 8 mg selama 10 hari ternyata dapat memberikan efek yang signifikan dalam mengurangi ukuran polip hidung serta gejala nasal selain itu juga meningkatkan kemampuan penghidu. 43. Terapi lainnyaPenggunanan antihistamin dan dekongestan dapat memberikan efek simptomatik akan tetapi tidak merubah perjalanan penyakitnya. Imunoterapi menunjukkan adanya keuntungan pada pasien dengan sinusitis fungal dan dapat berguna pada pasien dengan polip berulang. Antagonis leukotrient dapat diberikan pada pasien dengan intoleransi aspirin 4

Terapi pembedahanIndikasi untuk terapi pembedahan antara lain dapat dilakukan pada pasien yang tidak memberikan respon adekuat dengan terapi medikamentosa, pasien dengan infeksi berulang, serta pasien dengan komplikasi sinusitis, selain itu pasien polip hidung disertai riwayat asma juga perlu dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan guna patensi jalan nafas. Tindakan yang dilakukan yaitu berupa ekstraksi polip (polipektomi), etmoidektomi untuk polip etmoid, operasi Caldwell-luc untuk sinus maxilla. Unutk pengembangan terbaru yaitu menggunakan operasi endoskopik dengan navigasi komputer dan instrumentasi power 3,6

PROGNOSISUmumnya setelah penatalaksanaan yang dipilih prognosis polip hidung ini baik (dubia ad bonam) dan gejala-gejala nasal dapat teratasi. Akan tetapi kekambuhan pasca operasi atau pasca pemberian kortikosteroid masih sering terjadi. Untuk itu follow up pasca operatif merupakan pencegahan dini yang dapat dilakukan untuk mengatasi kemungkinan terjadinya sinekia dan obstruksi ostia pasca operasi, bagaimana patensi jalan nafas setelah tindakan serta keadaan sinus, pencegahan inflamasi persisten, infeksi dan pertumbuhan polip kembali, serta stimulasi pertumbuhan mukosa normal. Untuk itu sangat penting dilakukan pemeriksaan endoskopi post operatif. Penatalaksaan lanjutan dengan intranasal kortikosteroid diduga dapat mengurangi angka kekambuhan polip hidung. 2,3,6

BAB IVKESIMPULAN

Polip nasi merupakan salah satu penyakit THT yang memberikan keluhan sumbatan pada hidung yang menetap dan semakin lama semakin berat dirasakan. Pada anamnesis pasien, didapatkan keluhan obstruksi hidung, anosmia, adanya riwayat rinitis alergi, keluhan sakit kepala daerah frontal atau sekitar mata, adanya sekret hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior ditemukan massa yang lunak, bertangkai, mudah digerakkan, tidak ada nteri tekan dan tidak mengecil pada pemberian vasokonstriktor lokal. Penatalaksanaan untuk polip nasi ini bisa secara konservatif maupun operatif, yang biasanya dipilih dengan melihat ukuran polip itu sendiri dan keluhan dari pasien sendiri. Pada pasien dengan riwayat rinitis alergi, polip nasi mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk rekuren. Sehingga kemungkinan pasien harus menjalani polipektomi beberapa kali dalam hidupnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Probst R, Grevers G, Iro H. Anatomy, Physiology, and Immunology ofthe Nose, Paranasal Sinuses, anf Face. Dalam: Basic Otorhinolaryngology. New York: Thieme.p.2-13 2. Soepardi EA, et all. Buku Ajar Ilmu Kesehatan telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi Ke-6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.p.118-223. Ahmad Maymane Jahroni. The Epidemiological & Clinical aspect of Nasal Polyps that Require Surgery. Iranian Journal Of Otorhynolaryngology. 2012 ; 2(4). p.72-5 4. Bachort C.Management of Nasal Polyps. Rhinology. 2005:18.p.1-875. Kirtsreesatul Virat. Update on Nasal Polyps: Etiopatogenesis. J Med Assoc Thai. 2005: 88 (12) : 1966-72 6. Assanasen paraya MD. Medical & Surgical Management of Nasal Polyps. Current Option in Otolaryngology & Head and Neck Surgery. 2001. 9:27-36 7. Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL Indonesia. Guideline Penyakit THT-KL di Indonesia. 2007.p.258. Erbek et al. The Role of Allergy in the severity of nasi polyposis. Am J Rhinol 21.2007.p.686-90 9. Tos M, Larsen PL. Nasi polyps: origin, etiology, pathogenesis, and structure. Di dalam Kennedy et al (eds), Diseases of the Sinuses Diagnosis and Management. London: B.C. Decker.2001.p.57-9 10. Fokkens et al. 2007. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasi Polyps. Rhinology Supplement 20:2007.p.6-18 11. Drake-Lee Ab. Nasi Polyps. Kerr AG(Ed) Scott-Browns Otolaryngology. Oxford:Butterworth-Heinemann Pr. 4/10.p.1-1012. Ferguson BJ, Orlandi RR. 2006. Chronic hypertrophic rhinosinusitis and nasi polyposis. Bailey et al (eds) Head & Neck Surgery Otolaryngology. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins.2006.p. 393-8. 13. Kirtreesakul V. Update on nasi polyps: etiopathogenesis. J Med Assoc Thai 88(12);2002.p.1966-72 14. Fransina, Sedjawidada R, Akil A, Perkasa F, Punagi AQ.The Decrease Of Nasi Polyp Size After Cox-2 Inhibitor Treatment In Comparison With Corticosteroid Treatment. FK Hasanuddin. Makassar. 2008.15. Grigoreas et al. Nasi polyps in patients with rhinitis and asthma. Allergy and asthma proc 23;2002.p.169-74 16. Assanasen P, Naclerio RM. Medical an surgical management of nasi polyps. Current Opinion in Otolaryngology & Head and Neck Surgery 9;2001.p.27-36 17. Newton JR, Ah-See KW. A review of nasi polyposis. Therapeutics and Clinical Risk Management 4(2);2008.p.507-12 18. Bernstein JM. Nasi polyps. Di dalam Kennedy et al (eds), Diseases of the sinuses diagnosis and management. London: B.C Decker;2001.p. 69-71. 19. Bachert et al. An up date on the dignosis and treatment of sinusitis and nasi polyposis. Allergy 58;2003.p.176-91 20. Kim JM et al. Clinical and Histologic Features of Antrochoanal Polyps. J Rhinol 9 (1,2) 2002. 21. Munir D. Histopathology Types of Polyposis in Adam Malik Hospital. Majalah Kedokteran Nusantara. Vol. 41. No. 1; 2008

1