Top Banner

of 32

Referat Sinusitis Plus Gambar

Jul 10, 2015

Download

Documents

dtriyanawati
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sinusitis dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di dunia1 Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung dari 7 propinsi2 .Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rhinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69%nya adalah sinusitis (PERHATI, 2006). Kejadian sinusitis umumnya disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sinusitis sering juga disebut dengan rhinosinusitis. Rhinosinusitis adalah penyakit inflamasi yang sering ditemukan dan mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rhinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang berat, sehingga penting bagi dokter umum atau dokter spesialis lain untuk memiliki pengetahuan yang baik mengenai definisi, gejala dan metode diagnosis dari penyakit rhinosinusitis ini. Penyebab utama sinusitis adalah infeksi virus, diikuti oleh infeksi bakteri. Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinus ethmoid dan maksilaris. Bahaya dari sinusitis adalah komplikasinya ke orbita dan intracranial, komplikasi ini terjadi akibat tatalaksana yang inadekuat atau faktor predisposisi yang tidak dapat dihindari. 1

2

Tatalaksana dan pengenalan dini terhadap sinusitis ini menjadi penting karena hal diatas. Terapi antibiotic diberikan pada awalnya dan jika telah terjadi hipertrofi, mukosa polipoid dan atau terbentuknya polip atau kista maka dibutuhkan tindakan operasi (Mangunkusumo&Soetjipto, 2007). 1.2. Tujuan Penulisan Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui definisi, etiologi, epidemiologi, patofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis, penatalaksanaan, dan komplikasi dari sinusitis.

BAB 2

3

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Sinusitis berasal dari akar bahasa Latinnya sinus, akhiran umum dalam kedokteran -itis berarti peradangan karena itu sinusitis adalah suatu peradangan sinus paranasal. Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau infeksi virus, bakteri maupun jamur (Laszlo, 1997). Terdapat empat sinus disekitar hidung yaitu sinus maksilaris (terletak di pipi), sinus ethmoidalis (di antara kedua mata), sinus frontalis (terletak di dahi) dan sinus sphenoidalis (terletak di belakang dahi). Sinusitis adalah peradangan mukosa sinus paranasal yang dapat berupa sinusitis maksilaris, sinusitis etmoid, sinusitis frontal, dan sinusitis sphenoid. Bila yang terkena lebih dari satu sinus disebut multisinusitis, dan bila semua sinus terkena disebut pansinusitis (Mangunkusumo&Soetjipto, 2007). 2.2. Anatomi Sinus paranasal merupakan ruang udara yang berada di tengkorak. Bentuk sinus paranasal sangat bervariasi pada tiap individu dan semua sinus memiliki muara (ostium) ke dalam rongga hidung. Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung. Anatominya dapat dijelaskan sebagai berikut: sinus frontal kanan dan kiri, sinus ethmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila kanan dan kiri (antrium highmore) dan sinus sphenoid kanan dan kiri. Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing

(Pletcher&Golderg, 2003).

4

Secara embriologis, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan perkembangannya pada fetus saat usia 3-4 bulan, kecuali sinus frontalis dan sphenoidalis. Sinus maksilaris dan ethmoid sudah ada saat anak lahir sedangkan sinus frontalis mulai berkembang pada anak lebih kurang berumur 8 tahun sebagai perluasan dari sinus etmoidalis anterior sedangkan sinus sphenoidalis berkembang mulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari postero-superior rongga hidung. Sinussinus ini umumnya mencapai besar maksimum pada usia 15-18 tahun. Sinus frontalis kanan dan kiri biasanya tidak simetris dan dipisahkan oleh sekat di garis tengah (Damayanti&Endang, 2002). Sinus paranasal divaskularisasi oleh arteri carotis interna dan eksterna serta vena yang menyertainya seperti a. ethmoidalis anterior, a. ethmoidalis posterior dan a. sfenopalatina. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus ethmoid posterior dan sinus sphenoid. Fungsi sinus paranasal adalah (Pletcher&Golderg, 2003): a. Membentuk pertumbuhan wajah karena di dalam sinus terdapat rongga udara sehingga bisa untuk perluasan. Jika tidak terdapat sinus maka pertumbuhan tulang akan terdesak. b. Sebagai pengatur udara (air conditioning). c. Peringan cranium. d. Resonansi suara. e. Membantu produksi mukus.

5

(medical-dictionary.thefreedictionary.com) Gambar 2.1 Sinus paranasalis tampak depan dan samping Berdasarkan ukuran sinus paranasal dari yang terbesar yaitu sinus maksilaris, sinus frontalis, sinus ethmoidalis dan sphenoidalis (Shyamal,1996). Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi (Rukmini&Herawati, 2000): a. Grup Anterior : Frontal, maksilaris dan ethmoidalis anterior Ostia di meatus medius Pus dalam meatus medius mengalir kedalam faring b. Grup Posterior : Ethmoidalis posterior dan sinus sphenoidalis Ostia di meatus superior Pus dalam meatus superior mengalir kedalam faring 2.2.1. Sinus Maksilaris

6

a. Terbentuk pada usia fetus bulan IV yang terbentuk dari prosesus maksilaris arcus I. b. Bentuknya piramid, dasar piramid pada dinding lateral hidung, sedang apexnya pada pars zygomaticus maxillae. c. Merupakan sinus terbesar dengan volume kurang lebih 15 cc pada orang dewasa.d. Berhubungan dengan (Pletcher&Golderg, 2003):

1) Cavum orbita, dibatasi oleh dinding tipis (berisi n. infra orbitalis) sehingga jika dindingnya rusak maka dapat menjalar ke mata. 2) Gigi, dibatasi dinding tipis atau mukosa pada daerah P2 Mo1ar. 3) Ductus nasolakrimalis, terdapat di dinding cavum nasi.e. Suplai darah terbanyak melalui cabang dari arteri maksilaris. Inervasi mukosa

sinus melalui cabang dari nervus maksilaris. 2.2.2 Sinus Frontalisa. Sinus frontalis mulai terbentuk sejak bulan keempat fetus, berasal dari sel-sel

resessus frontal atau dari sel-sel infundibulum ethmoid. Sinus ini dapat terbentuk atau tidak.b. Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan dalamnya

2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak simetris kanan dan kiri, terletak di os frontalis. c. Volume pada orang dewasa 7cc.

d. Bermuara ke infundibulum (meatus nasi media).e. Berhubungan dengan (Pletcher&Golderg, 2003) :

7

1) Fossa cranii anterior, dibatasi oleh tulang compacta. 2) Orbita, dibatasi oleh tulang compacta. 3) Dibatasi oleh Periosteum, kulit, tulang diploic. f. Suplai darah diperoleh dari arteri supraorbital dan arteri supratrochlear yang berasal dari arteri oftalmika yang merupakan salah satu cabang dari arteri carotis inernal. Inervasi mukosa disuplai oleh cabang supraorbital dan supratrochlear cabang dari nervus frontalis yang berasal dari nervus trigeminus 2.2.3 Sinus Ethmoid a. Terbentuk pada usia fetus bulan IV. b. Saat lahir, berupa 2-3 cellulae (ruang-ruang kecil), saat dewasa terdiri dari 715 cellulae, dindingnya tipis. c. Bentuknya berupa rongga tulang seperti sarang tawon, terletak antara hidung dan matad. Berhubungan dengan (Pletcher&Golderg, 2003): 1) Fossa cranii anterior yang dibatasi oleh dinding tipis yaitu lamina cribrosa.

Jika terjadi infeksi pada daerah sinus mudah menjalar ke daerah cranial (meningitis, encefalitis dsb). 2) Orbita, dilapisi dinding tipis yakni lamina papiracea. Jika melakukan operasi pada sinus ini kemudian dindingnya pecah maka darah masuk ke daerah orbita sehingga terjadi Brill Hematoma. 3) Nervus Optikus. 4) Nervus, arteri dan vena ethmoidalis anterior dan pasterior.

8

e. Suplai darah berasal dari cabang nasal dari a. sphenopalatina. Inervasi mukosa

berasal dari divisi oftalmika dan maksilari nervus trigeminus 2.2.4 Sinus Sphenoidal a. Terbentuk pada fetus usia bulan III

b. Terletak pada corpus, alas dan Processus os sphenoidalis.

c.

Volume pada orang dewasa 7 cc.

d. Berhubungan dengan (Pletcher&Golderg, 2003):

1) Sinus cavernosus pada dasar cavum cranii. 2) Glandula pituitari, chiasma n.opticum. 3) Tranctus olfactorius.4) Arteri basillaris brain stem (batang otak)

e.

Suplai darah berasal dari arteri carotis internal dan eksternal. Inervasi mukosa berasal dari nervus trigeminus. Pada meatus medius yang merupakan ruang diantara konka superior dan

konka inferior rongga hidung terdapat suatu celah sempit yaitu hiatus semilunaris yakni muara dari sinus maksila, sinus frontalis dan ethmoid anterior. 2.3. Etiologi Sinusitis bisa bersifat akut (berlangsung selama 3 minggu atau kurang) maupun kronis (berlangsung selama 3-8 minggu tetapi dapat berlanjut sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun). Penyebab sinusitis akut:a. Virus

9

Sinusitis akut bisa terjadi setelah suatu infeksi virus pada saluran pernafasan bagian atas (misalnya pilek). b. Bakteri Di dalam tubuh manusia terdapat beberapa jenis bakteri yang dalam keadaan normal tidak menimbulkan penyakit (misalnya Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae). Jika sistem pertahanan tubuh menurun atau drainase dari sinus tersumbat akibat pilek atau infeksi virus lainnya, maka bakteri yang sebelumnya tidak berbahaya akan berkembang biak dan menyusup ke dalam sinus, sehingga terjadi infeksi sinus akut.c. Jamur

Kadang infeksi jamur bisa menyebabkan sinusitis akut. Aspergillus merupakan jamur yang bisa menyebabkan sinusitis pada penderita gangguan system kekebalan. Pada orang-orang tertentu, sinusitis jamur merupakan sejenis reaksi alergi terhadap jamur. d. Peradangan menahun pada saluran hidung. Pada penderita rinitis alergika bisa terjadi sinusitis akut. Demikian pula halnya pada penderita rinitis vasomotor. e. Penyakit tertentu. Sinusitis akut lebih sering terjadi pada penderita gangguan sistem kekebalan dan penderita kelainan sekresi lendir (misalnya fibrosis kistik). Penyebab sinusitis kronis: a. Asma b. Penyakit alergi (misalnya rinitis alergika)

10

c. Gangguan sistem kekebalan atau kelainan sekresi maupun pembuangan lendir. Sinusitis lebih sering disebabkan adanya faktor predisposisi seperti (Tadjudin OA,1992) : a. Gangguan fisik akibat kekurangan gizi, kelelahan, atau penyakit sistemik.b. Gangguan faal hidung oleh karena rusaknya aktivitas silia oleh asap rokok,

polusi udara, atau karena panas dan kering. c. Kelainan anatomi yang menyebabkan gangguan saluran seperti : a) Atresia atau stenosis koana b) Deviasi septum c) Hipertroti konka media d) Polip yang dapat terjadi pada 30% anak yang menderita fibrosis kistik e) Tumor atau neoplasma f) Hipertroti adenoid g) Udem mukosa karena infeksi atau alergi h) Benda asing d. Berenang dan menyelam pada waktu sedang pilek e. Trauma yang menyebabkan perdarahan mukosa sinus paranasal f. Kelainan imunologi didapat seperti imunodefisiensi karena leukemia dan imunosupresi oleh obat. 2.4. Klasifikasi Secara klinis sinusitis dibagi atas (Wikipedia,2011) : a. Sinusitis akut b. Sinusitis subakut

11

c. Sinusitis Kronis Sedangkan (Wikipedia,2011): a. Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung), Segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis b. Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi menjadi 2

menyebabkan sinusitis infeksi pada gigi geraham atas (pre molar dan molar) 2.5. Patofisiologi Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan kelancaran klirens dari mukosiliar didalam komplek osteo meatal (KOM). Disamping itu mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan

(Mangunkusumo&Soetjipto, 2007). Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami oedem, sehingga mukosa yang berhadapan akan saling bertemu. Hal ini menyebabkan silia tidak dapat bergerak dan juga menyebabkan tersumbatnya ostium. Hal ini menimbulkan tekanan negatif didalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi atau penghambatan drainase sinus. Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya cairan serous yang dianggap sebagai sinusitis non bakterial yang dapat sembuh tanpa pengobatan. Bila tidak sembuh maka sekret yang tertumpuk dalam sinus ini akan menjadi media yang poten untuk tumbuh dan multiplikasi bakteri, dan sekret akan berubah menjadi purulen yang disebut sinusitis akut bakterialis yang membutuhkan terapi antibiotik. Jika terapi inadekuat maka keadaan ini bisa berlanjut, akan terjadi

12

hipoksia dan bakteri anaerob akan semakin berkembang. Keadaan ini menyebabkan perubahan kronik dari mukosa yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).

(http://doctorcayoo.blogspot.com/2009/07/sinusitis-5.html)

Gambar 2.2 Patofisiologi Sinusitis

2.6.Diagnosis Penegakan diagnosis sinusitis secara umum: Kriteria Mayor a. Sekret nasal yang purulenb. Drainase faring yang purulen

Kriteria Minor a. Edem periorbital b. Sakit kepala c. Nyeri di wajah d. Sakit gigi

c. Purulent Post Nasaldrip d. Batuk

e. Foto rontgen (Watersradiograph atau e. Nyeri telinga

air fluid level) : Penebalan lebih 50% f. Sakit tenggorok dari antrum g. Nafas berbau

13

f. Coronal CT Scan : Penebalan atau h. Bersin-bersin bertambah sering opaksifikasi dari mukosa sinus i. Demam j. Tes sitologi nasal (smear) : neutrofil dan bakteri k. Ultrasound (Pletcher&Golderg, 2003) Kemungkinan terjadinya sinusitis jika terdapat gejala dan tanda 2 mayor, 1 minor dan 2 kriteria minor. Pemeriksaan Penunjang a. Laboratorium 1. Tes sedimentasi, leukosit, dan C-reaktif protein dapat membantu diagnosis sinusitis akut2. Kultur merupakan pemeriksaan yang tidak rutin pada sinusitis akut, tapi harus

dilakukan pada pasien immunocompromise dengan perawatan intensif dan pada anak-anak yang tidak respon dengan pengobatan yang tidak adekuat, dan pasien dengan komplikasi yang disebabkan sinusitis (Pletcher&Golderg, 2003). b. Imaging1.

Pemeriksaan radiologi yang dapat membantu menegakkan diagnosa

sinusitis dengan menunjukan suatu penebalan mukosa, air-fluid level, dan perselubungan. Pada sinusitis maksilaris, dilakukan pemeriksaan rontgen gigi untuk mengetahui adanya abses gigi. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut (Laszlo, 1997) : a) Posisi Caldwell

14

Posisi ini didapat dengan meletakkan hidung dan dahi diatas meja sedemikian rupa sehingga garis orbito-meatal (yang menghubungkan kantus lateralis mata dengan batas superior kanalis auditorius eksterna) tegak lurus terhadap film. Sudut sinar rontgen adalah 15 kraniokaudal dengan titik keluarnya nasion.

(Alford,2008) Gambar 2.3 Posisi Caldwell b) Posisi Waters Posisi ini yang paling sering digunakan. Maksud dari posisi ini adalah untuk memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak dibawah antrum maksila. Hal ini didapatkan dengan menengadahkan kepala pasien sedemikian rupa sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Bidang yang melalui kantus medial mata dan tragus membentuk sudut lebih kurang 37 dengan film proyeksi waters dengan mulut terbuka memberikan pandangan terhadap semua sinus paranasal.

15

(Putz&Pabst, 2000) Gambar 2.4. Gambaran rontgen posisi waters dengan mulut terbuka

(Alford, 2008) Gambar 2.5 Posisi Waters c) Posisi lateral Kaset dan film diletakkan paralel terhadap bidang sagital utama tengkorak.

16

(Alford, 2008) Gambar 2.6 Posisi lateral2.

CT-Scan, memiliki spesifisitas yang jelek untuk diagnosis sinusitis

akut, menunjukan suatu air-fluid level pada 87% pasien yang mengalami infeksi pernafasan atas dan 40% pada pasien yang asimtomatik. Pemeriksaan ini dilakukan untuk luas dan beratnya sinusitis3.

MRI sangat bagus untuk mengevaluasi kelainan pada jaringan lunak

yang menyertai sinusitis, tapi memiliki nilai yang kecil untuk mendiagnosis sinusitis akut (Pletcher SD, 2003) . Sedangkan untuk menegakkan diagnosis sinusitis menurut klasifikasinya adalah sebagai berikut (Arif et all, 2001) : a. Sinusitis Akut 1. Gejala Subyektif Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernafasan atas (terutama pada anak kecil), berupa pilek dan batuk yang lama, lebih dari 7 hari.

17

Gejala subyektif terbagi atas gejala sistemik yaitu demam dan rasa lesu, serta gejala lokal yaitu hidung tersumbat, ingus kental yang kadang berbau dan mengalir ke nasofaring (post nasal drip), halitosis, sakit kepala yang lebih berat pada pagi hari, nyeri di daerah sinus yang terkena, serta kadang nyeri alih ke tempat lain. a) Sinusitis Maksilaris Sinus maksilaris disebut juga Antrum Highmore, merupakan sinus yang sering terinfeksi oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2) letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret (drenase) dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis maksila, (4) ostium sinus maksila terletak di meatus medius di sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat (Mangunkusumo&Soetjipto, 2002). Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya sesuai dengan daerah yang terkena. Pada sinusitis maksila nyeri terasa di bawah kelopak mata dan kadang menyebar ke alveolus hingga terasa di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan depan telinga (Arif et all, 2001). Wajah terasa bengkak, penuh dan gigi nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non produktif seringkali ada

(Mangunkusumo&Soetjipto,2002). b) Sinusitis Ethmoidalis

18

Sinusitus ethmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali bermanifestasi sebagai selulitis orbita. Karena dinding leteral labirin ethmoidalis (lamina papirasea) seringkali merekah dan karena itu cenderung lebih sering menimbulkan selulitis orbita. Pada dewasa seringkali bersama-sama dengan sinusitis maksilaris serta dianggap sebagai penyerta sinusitis frontalis yang tidak dapat dielakkan. Gejala berupa nyeri yang dirasakan di pangkal hidung dan kantus medius, kadang-kadang nyeri dibola mata atau belakangnya, terutama bila mata digerakkan. Nyeri alih di pelipis ,post nasal drip dan sumbatan hidung (Arif et all, 2001). c) Sinusitis Frontalis Sinusitis frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan infeksi sinus etmoidalis anterior. Gejala subyektif terdapat nyeri kepala yang khas, nyeri berlokasi di atas alis mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang tengah hari, kemudian perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam. Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh dan mungkin terdapat pembengkakan supra orbita. d) Sinusitis Sphenoidalis Pada sinusitis sfenodalis rasa nyeri terlokalisasi di vertex, oksipital, di belakang bola mata dan di daerah mastoid. Namun penyakit ini lebih lazim menjadi bagian dari pansinusitis, sehingga gejalanya sering menjadi satu dengan gejala infeksi sinus lainnya (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002). 2. Gejala Obyektif

19

Jika sinus yang berbatasan dengan kulit (frontal, maksila dan ethmoid anterior) terkena secara akut dapat terjadi pembengkakan dan edema kulit yang ringan akibat periostitis. Palpasi dengan jari mendapati sensasi seperti ada penebalan ringan atau seperti meraba beludru (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002). Pembengkakan pada sinus maksila terlihat di pipi dan kelopak mata bawah, pada sinusitis frontal terlihat di dahi dan kelopak mata atas, pada sinusitis ethmoid jarang timbul pembengkakan, kecuali bila ada komplikasi

(Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002). Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema. Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis ethmoid anterior tampak mukopus atau nanah di meatus medius, sedangkan pada sinusitis ethmoid posterior dan sinusitis sphenoid nanah tampak keluar dari meatus superior. Pada sinusitis akut tidak ditemukan polip,tumor maupun komplikasi sinusitis.Jika ditemukan maka kita harus melakukan penatalaksanaan yang sesuai (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002). Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip). Pada posisional test yakni pasien mengambil posisi sujud selama kurang lebih 5 menit dan provokasi test yakni suction dimasukkan pada hidung, pemeriksa memencet hidung pasien kemudian pasien disuruh menelan ludah dan menutup mulut dengan rapat, jika positif sinusitis maksilaris maka akan keluar pus dari hidung (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002). Pada pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap. Pemeriksaan transiluminasi bermakna bila salah satu sisi sinus yang sakit,

20

sehingga

tampak

lebih

suram

dibanding

sisi

yang

normal

(Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002). Pemeriksaan radiologik yang dibuat ialah posisi waters, PA dan lateral. Akan tampak perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan udara (air fluid level) pada sinus yang sakit (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002). Pemeriksaan mikrobiologik sebaiknya diambil sekret dari meatus medius atau meatus superior. Mungkin ditemukan bermacam-macam bakteri yang merupakan flora normal di hidung atau kuman patogen, seperti pneumococcus, streptococcus, staphylococcus dan haemophylus influensa. Selain itu mungkin juga ditemukan virus atau jamur (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002). b. Sinusitis Subakut Gejala klinisnya sama dengan sinusitis akut hanya tanda-tanda radang akutnya (demam, sakit kepala hebat, nyeri tekan) sudah reda (Endang Mangunkusumo,2002). Pada rinoskopi anterior tampak sekret di meatus medius atau superior. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring. Pada pemeriksaan transiluminasi tampak sinus yang sakit, suram atau gelap

(Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002). c. Sinusitis Kronis Sinusitis kronis berbeda dengan sinusitis akut dalam berbagai aspek, umumnya sukar disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa saja. Harus dicari faktor penyebab dan faktor predisposisinya. Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan mukosa hidung. Perubahan tersebut juga dapat disebabkan oleh alergi dan defisiensi

21

imunologik, sehingga mempermudah terjadinya infeksi, dan infeksi menjadi kronis apabila pengobatan sinusitis akut tidak sempurna. 1. Gejala Subjektif Bervariasi dari ringan sampai berat, terdiri dari : a) Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret pada hidung dan sekret pasca nasal (post nasal drip) yang seringkali mukopurulen dan hidung biasanya sedikit tersumbat. b) Gejala laring dan faring yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorokan. c) Gejala telinga berupa pendengaran terganggu oleh karena terjadi sumbatan tuba eustachius. d) Ada nyeri atau sakit kepala. e) Gejala mata, karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis. f) Gejala saluran nafas berupa batuk dan komplikasi di paru berupa bronkhitis atau bronkhiektasis atau asma bronkhial. g) Gejala di saluran cerna mukopus tertelan sehingga terjadi gastroenteritis. 2. Gejala Objektif Temuan pemeriksaan klinis tidak seberat sinusitis akut dan tidak terdapat pembengkakan pada wajah. Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental, purulen dari meatus medius atau meatus superior, dapat juga ditemukan polip, tumor atau komplikasi sinusitis. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke tenggorok.

22

Dari pemeriksaan endoskopi fungsional dan CT Scan dapat ditemukan etmoiditis kronis yang hampir selalu menyertai sinusitis frontalis atau maksilaris. Etmoiditis kronis ini dapat menyertai poliposis hidung kronis. 3. Pemeriksaan Mikrobiologi Merupakan infeksi campuran oleh bermacam-macam mikroba, seperti kuman aerob S. aureus, S. viridans, H. influenzae dan kuman anaerob Pepto streptococcus dan fuso bakterium. 4. Diagnosis Sinusitis Kronis Diagnosis sinusitis kronis dapat ditegakkan dengan : a) Anamnesis yang cermat b) Pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior c) Pemeriksaan transiluminasi untuk sinus maksila dan sinus frontal, yakni pada daerah sinus yang terinfeksi terlihat suram atau gelap. Transiluminasi menggunakan angka sebagai parameternya Transiluminasi akan menunjukkan angka 0 atau 1 apabila terjadi sinusitis (sinus penuh dengan cairan)d) Pemeriksaan radiologik, posisi rutin yang dipakai adalah posisi Waters, PA

dan

Lateral.

Posisi

Waters,

maksud

posisi

Waters

adalah

untuk

memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak di bawah antrum maksila, yakni dengan cara menengadahkan kepala pasien sedemikian rupa sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Posisi ini terutama untuk melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal dan etmoid. Posisi Posteroanterior untuk

23

menilai sinus frontal dan posisi lateral untuk menilai sinus frontal, sphenoid dan ethmoid. Sinusitis akan menunjukkan gambaran berupa: 1) Penebalan mukosa, 2) Opasifikasi sinus ( berkurangnya pneumatisasi) 3) Gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yang dapat dilihat pada foto waters.e) Pungsi sinus maksilaris

f) Sinoskopi sinus maksilaris, dengan sinoskopi dapat dilihat keadaan dalam sinus, apakah ada sekret, polip, jaringan granulasi, massa tumor atau kista dan bagaimana keadaan mukosa dan apakah osteumnya terbuka. Pada sinusitis kronis akibat perlengketan akan menyebabkan osteum tertutup sehingga drenase menjadi terganggu. g) Pemeriksaan histopatologi dari jaringan yang diambil pada waktu dilakukan sinoskopi. h) Pemeriksaan meatus medius dan meatus superior dengan menggunakan nasoendoskopi. i) Pemeriksaan CT Scan, merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah pada sinusitis dengan komplikasi. CT-Scan pada sinusitis akan tampak : penebalan mukosa, air fluid level, perselubungan homogen atau tidak homogen pada satu atau lebih sinus paranasal, penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada kasus-kasus kronik). Hal-hal yang mungkin ditemukan pada pemeriksaan CT-Scan :

24

a) Kista retensi yang luas, bentuknya konveks (bundar), licin, homogen, pada pemeriksaan CT-Scan tidak mengalami ehans. Kadang sukar membedakannya dengan polip yang terinfeksi, bila kista ini makin lama makin besar dapat menyebabkan gambaran air-fluid level. b) Polip yang mengisi ruang sinus c) Polip antrokoanal d) Massa pada cavum nasi yang menyumbat sinus e) Mukokel, penekanan, atrofi dan erosi tulang yang berangsur-angsur oleh massa jaringan lunak mukokel yang membesar dan gambaran pada CT Scan sebagai perluasan yang berdensitas rendah dan kadang-kadang pengapuran perifer. f) Tumor 2.7.Penatalaksanaan 2.7.1 Sinusitis Akut a. Kuman penyebab sinusitis akut yang tersering adalah Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae11. Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik empirik (2x24 jam). Antibiotik yang diberikan lini I yakni golongan penisilin atau cotrimoxazol dan terapi tambahan yakni obat dekongestan oral + topikal, mukolitik untuk memperlancar drenase dan analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri. Pada pasien atopi, diberikan antihistamin atau kortikosteroid topikal. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan maka diberikan terapi antibiotik lini II selama 7 hari yakni amoksisilin

25

klavulanat/ampisilin sulbaktam, cephalosporin generasi II, makrolid dan terapi tambahan. Jika ada perbaikan antibiotic diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari. b. Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen-polos atau CT Scan dan atau naso-endoskopi.Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan maka dilakukan terapi sinusitis kronik. Tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi diagnosis yakni evaluasi komprehensif alergi dan kultur dari fungsi sinus. c. Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah terjadi komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat karena ada sekret tertahan oleh sumbatan. 2.7.2 Sinusitis Subakuta. Terapinya mula-mula diberikan medikamentosa, bila perlu dibantu dengan

tindakan, yaitu diatermi atau pencucian sinus. b. Obat-obat yang diberikan berupa antibiotika berspektrum luas atau yang sesuai dengan resistensi kuman selama 10 14 hari. Juga diberikan obat-obat simptomatis berupa dekongestan. Selain itu dapat pula diberikan analgetika, anti histamin dan mukolitik. c. Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek (Ultra Short Wave Diathermy) sebanyak 5 6 kali pada daerah yang sakit untuk memperbaiki vaskularisasi sinus. Kalau belum membaik, maka dilakukan pencucian sinus.

26

d. Pada sinusitis maksilaris dapat dilakukan pungsi irigasi. Pada sinusitis

ethmoid, frontal atau sphenoid yang letak muaranya dibawah, dapat dilakukan tindakan pencucian sinus cara Proetz (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002). 2.7.3 Sinusitis Kronis a. Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tata laksana yang sesuai dan diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik mencukupi 10-14 hari. b. Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode akut lini II + terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan, diberikan antibiotik alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada perbaikan teruskan antibiotik mencukupi 10-14 hari, jika tidak ada perbaikan evaluasi kembali dengan pemeriksaan naso-endoskopi, sinuskopi (jika irigasi 5 x tidak membaik). Jika ada obstruksi kompleks osteomeatal maka dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah konvensional. Jika tidak ada obstruksi maka evaluasi diagnosis. c. Diatermi gelombang pendek di daerah sinus yang sakit.d. Pada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang sinusitis

ethmoid, frontal atau sphenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz. e. Pembedahan Radikal Sinus maksila dengan operasi Cadhwell-luc. Sinus ethmoid dengan ethmoidektomi.

Sinus frontal dan sphenoid dengan operasi Killian.

27

Non Radikal bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya dengan membuka dan membersihkan daerah kompleks ostiomeatal. 2.8 Komplikasi CT-Scan penting dilakukan dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan derajat infeksi di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium. Pemeriksaan ini harus rutin dilakukan pada sinusitis refrakter, kronis atau berkomplikasi. a. Komplikasi orbita Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis akut, namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi isi orbita. Terdapat lima tahapan : 1. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat infeksi sinus ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis sering kali merekah pada kelompok umur ini. 2. Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk. 3. Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis. 4. Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan

28

unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang tersering dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah. 5. Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu tromboflebitis septik. Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari : a) Oftalmoplegia. b) Kemosis konjungtiva. c) Gangguan penglihatan yang berat. d) Kelemahan pasien. e) Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus yang berdekatan dengan saraf kranial II, III, IV dan VI, serta berdekatan juga dengan otak. b. Mukokel Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinus, kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya. Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sphenoidalis, kista ini dapat membesar dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral. Dalam sinus sphenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan dengan menekan saraf didekatnya.

29

Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan mukokel meskipun lebih akut dan lebih berat. Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat semua mukosa yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau obliterasi sinus. c. Komplikasi Intra Kranial 1) Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah meningitis akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis. 2) Abses dura, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium, sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan intra kranial. 3) Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.4) Abses otak, setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka

dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak. Terapi komplikasi intra kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase secara bedah pada ruangan yang mengalami abses dan pencegahan penyebaran infeksi. d. Osteomielitis dan abses subperiosteal Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang frontalis adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala sistemik berupa malaise, demam dan menggigil (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).

30

DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkusumo, Endang, Soetjipto D. Sinusitis dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Dan Leher. FKUI. Jakarta 2007. Hal 150-3 2. PERHATI. Fungsional endoscopic sinus surgery. HTA Indonesia. 2006. Hal 1-6 3. Ghorayeb B. Sinusitis. Dalam Otolaryngology Houston. Diakses dari www.ghorayeb.com/AnatomiSinuses.html 4. Damayanti dan Endang. Sinus Paranasal. Dalam : Efiaty, Nurbaiti, editor. Buku Ajar Ilmu Kedokteran THT Kepala dan Leher, ed. 5, Balai Penerbit FK UI, Jakarta 2002, 115 119. 5. Wikipedia. Sinusitis. Diakses dari www.wikipedia.org/wiki/sinusitis 6. Pletcher SD, Golderg AN. 2003. The Diagnosis and Treatment of Sinusitis. In advanced Studies in Medicine. Vol 3 no.9. PP. 495-505 7. Anonim, Sinusitis, dalam ; Arif et all, editor. Kapita Selekta Kedokteran, Ed. 3, Penerbit Media Ausculapius FK UI, Jakarta 2001, 102 106 8. Mangunkusumo, Endang . Nusjirwan, Rifki, Sinusitis, dalam Eviati, nurbaiti, editor, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 2002, 121 125 1. Shyamal, Kumar DE. Fundamental of Ear, Nose and Throat & Head-Neck Surgery. Calcuta: The New Book Stall; 1996. 191-8 2. Rukmini S, Herawati S. Teknik Pemeriksaan Telinga Hidung & Tenggorok. Jakarta: EGC; 2000. 26-48 3. Tadjudin OA. Batuk Kronik Pada Anak Ditinjau Dari Bidang THT. 1992.

31

Http://www.kalbe.co.id [diakses tanggal 30 November 2008] 4. Blogsome. About Sinusitis. 2008. Http://www.mixingblogging.blogspot.com [diakses tanggal 30 November 2008]5. Laszlo I. Radiologi Daerah Kepala dan Leher. Dalam: Penyakit Telinga,

Hidung, Tenggorok, Kepal & Leher Jilid 2. Edisi 13. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997. 2-96. Alford BR. Core Curriculum Syllabus: Nose and Paranasal Sinuses.

Http://www.Bcm.Edu [diakses tanggal: 12 Desember 2008]7. Putz RV, Pabst R. Atlas Anatomi Manusia SOBOTTA Kepala, Leher,

Ekstremitas Atas Jilid 1. Edisi 21. Editor: Suyono YJ. Jakarta: EGC; 2000. 94 8. (medical-dictionary.thefreedictionary.com)

9.

10. (http://the-best-1.com/wp-content/uploads/2010/12/sinus-graphic.gif) 11. Gambar 2: sinus maksilaris

32

12.

13. (edoctoronline.com) (http://doctorcayoo.blogspot.com/2009/07/sinusitis-5.html)