BAB I PENDAHULUAN Sinusitis adalah peradangan pada satu atau lebih mukosa sinus paranasal. 1 Penyakit sinusitis selalu dimulai dengan penyumbatan daerah kompleks ostiomeatal (KOM) oleh infeksi, obstruksi mekanis atau alergi, dan oleh karena penyebaran infeksi gigi. Sinus maksilaris, yang secara anatomi berada di pertengahan antara hidung dan rongga mulut merupakan lokasi yang rentan terinvasi organisme patogen lewat ostium sinus maupun lewat rongga mulut. Sinusitis dentogen dapat mencapai 10% hingga 12% dari seluruh kasus sinusitis maksilaris. Sinusitis dentogen merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronik.Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi rahang atas, sehingga rongga sinus maksila hanya dipisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi, bahkan kadang- kadang tanpa tulang pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal mudah menyebar secara langsung ke sinus atau melalui pembuluh darah dan limfe. Kecurigaan adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksila kronik, bias dilihat dari sinusitis maksila kronis yang mengenai satu sisi dengan ingus purulen dan napas berbau busuk. Untuk 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
Sinusitis adalah peradangan pada satu atau lebih mukosa sinus paranasal.1 Penyakit
sinusitis selalu dimulai dengan penyumbatan daerah kompleks ostiomeatal (KOM) oleh infeksi,
obstruksi mekanis atau alergi, dan oleh karena penyebaran infeksi gigi.
Sinus maksilaris, yang secara anatomi berada di pertengahan antara hidung dan rongga
mulut merupakan lokasi yang rentan terinvasi organisme patogen lewat ostium sinus maupun
lewat rongga mulut. Sinusitis dentogen dapat mencapai 10% hingga 12% dari seluruh kasus
sinusitis maksilaris.
Sinusitis dentogen merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronik.Dasar sinus
maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi rahang atas, sehingga rongga sinus maksila
hanya dipisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi, bahkan kadang-kadang tanpa tulang
pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan
periodontal mudah menyebar secara langsung ke sinus atau melalui pembuluh darah dan limfe.
Kecurigaan adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksila kronik, bias dilihat dari
sinusitis maksila kronis yang mengenai satu sisi dengan ingus purulen dan napas berbau busuk.
Untuk mengobati sinusitisnya, gigi yang terinfeksi harus dicabut atau dirawat, dan pemberian
antibiotik yang mencakup bakteri anaerob.Seringkali perlu dilakukan irigasi sinus maksila.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI SINUS PARANASAL
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi karena
bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang sinus paranasal, mulai dari
yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan
kiri.Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulag-tulang kepala, sehingga terbentuk
rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung.
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan
perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal.
Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang
dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus
sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung.
Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun.
SINUS MAKSILA
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila
bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran
maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.
Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os
maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal
maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar
orbita dan dinding inferiornya ialah prossesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila
berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui
infundibulum etmoid.
2
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan adalah:
a) Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1
dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar M3,
bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi
geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis. b) Sinusitis maksila dapat
menimbulkan komplikasi orbita. c) Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar
sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drainase juga harus
melalui infundibulum yang sempit. d) Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid
anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalang
drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.
Gambar 1: Anatomi sinus paranasal (potongan koronal)
Kompleks Osteo-Meatal (KOM)
3
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus media, ada muara-muara
saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit,
dan dinamakan komples osteo-meatal (KOM) yang terdiri dari infundibulum etmoid yang
terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus fontalis, bula etmoid, dan sel-sel etmoid anterior
dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.
Gambar 2: Kompleks osteomeatal
Sistem mukosiliar
Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan palut
lendir di atasnya. Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju
ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya.
Fungsi sinus paranasal :
4
Sampai saat ini belum ada penyesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal. Tetapi
beberapa teori mengemukakan fungsinya sebagai berikut :
1) Sebagai pengatur kondisi udara.
2) Sebagai penahan suhu.
3) Membantu keseimbangan kepala.
4) Membantu resonansi suara.
5) Peredam perubahan tekanan udara.
6) Membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung
2.2 DEFINISI
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus yang terkena, dapat
dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid.
Yang paling sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan sinusitis etmoid, sinusitis
frontal dan sinusuitis sfenoid lebih jarang.
Sinus maksila disebut juga antrum High more, merupakan sinus yang sering terinfeksi,
oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2) letak ostiumnya lebih tinggi dari
dasar, sehingga aliran sekret atau drainase dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia,
(3) dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat
menyebabkan sinusitis maksila, (4) ostium sinus maksila terletak di meatus medius , disekitar
hiatus semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat.
Sinusitis maksilaris dapat terjadi akut, berulang atau kronis.Sinusitis maksilaris akut
berlangsung tidak lebih dari tiga minggu. Sinusitis akut dapat sembuh sempurna jika diterapi
dengan baik, tanpa adanya residu kerusakan jaringan mukosa. Sinusitis berulang terjadi lebih
sering tapi tidak terjadi kerusakan signifikan pada membran mukosa. Sinusitis kronis
berlangsung selama 3 bulan atau lebih dengan gejala yang terjadi selama lebih dari dua puluh
hari.1,2, 4
5
Gambar 3: Penyebaran infeksi pada sinusitis dentogen
Hubungan anatomi antara gigi dan antrum Highmore:
a) Sinus maksilaris dewasa merupakan suatu rongga berisi udara yang dibatasi oleh bagian
alveolar sinus maksilaris, lantai orbital, dinding lateral hidung dan dinding lateral os
maksila. b) Pada sesetengah individu, pneumatisasi dan perluasan dapat terjadi
sedemikian rupa sehingga hanya sinus mukoperiosteum (membran Schneidarian) yang
tersisa. c) Bisa juga terjadi ekspansi terus sehingga hanya meninggalkan tulang alveolar
antara sinus dan rongga mulut. d) Otot levator labial dan orbicularis oculi di dinding
lateral dari maksila dapat langsung menyebabkan penyebaran infeksi. Dinding lateral ini
lemah dan mudah ditembus dari lantai sinus. Akibatnya, infeksi odontogenik umumnya
terjadi bersamaan dengan infeksi jaringan lunak vestibular/fasia.
6
2.3 ETIOLOGI
Penyebab tersering adalah ekstraksi gigi molar, biasanya molar pertama, dimana sepotong
kecil tulang di antara akar gigi molar dan sinus maksilaris ikut terangkat.Nathaniel Highmore
yang mengemukakan tentang membran tulang tipis yang memisahkan gigi geligi dari sinus pada
tahun 1651, “Tulang yang membungkus antrum maksilaris dan memisahkannya dengan soket
geligi tebalnya tidak melebihi kertas pembungkus”.
Infeksi gigi lain seperti abses apikal atau penyakit periodontal dapat menimbulkan
kondisi serupa. Gambaran bakteriologik sinusitis dentogen ini didominasi terutama oleh infeksi
bakteri gram negatif. Karena itulah infeksi ini menyebabkan pus yang berbau busuk dan
akibatnya timbul bau busuk dari hidung.Prinsip terapi adalah pemberian antibiotik, irigasi sinus,
dan koreksi gangguan geligi.
Etiologi sinusitis dentogen adalah:
a) Penjalaran infeksi gigi, infeksi periapikal gigi maksila dari kaninus sampai gigi molar
tiga atas. Biasanya infeksi lebih sering terjadi pada kasus-kasus akar gigi yang hanya
terpisah dari sinus oleh tulang yang tipis, walaupun kadang-kadang ada juga infeksi
mengenai sinus yang dipisahkan oleh tulang yang tebal. b) Prosedur ekstraksi gigi,
misalnya terdorong gigi ataupun akar gigi sewaktu akan diusahakan mencabutnya, atau
terbukanya dasar sinus sewaktu dilakukan pencabutan gigi. c) Penjalaran penyakit
periodontal yaitu adanya penjalaran infeksi dari membran periodontal melalui tulang
spongiosa ke mukosa sinus. d) Trauma, terutama fraktur maksila yang mengenai prosesus
alveolaris dan sinus maksila. e) Adanya benda asing dalam sinus berupa fragmen akar
gigi dan bahan tambalan akibat pengisian saluran akar yang berlebihan. f) Osteomielitis
akut dan kronis pada maksila. g) Kista dentogen yang seringkali meluas ke sinus maksila,
seperti kista radikuler dan folikuler. h) Deviasi septum kavum nasi, polip, serta
neoplasma atau tumor dapat menyebabkan obstruksi ostium yang memicu sinusitis.
7
Gambar 4: Faktor penyebab terjadinya sinusitis dentogen
Gambar 5: Tampilan abses periodontal dan abses periapikal
8
2.4 EPIDEMIOLOGI
Di Eropa, sinusitis diperkirakan mengenai 10-30% populasi. Di Amerika, lebih dari 30
juta penduduk per tahun menderita sinusitis. Wald di Amerika menjumpai insiden pada orang
dewasa antara 10-15% dari seluruh kasus sinusitis yang berasal dari infeksi gigi.
Ramalinggam di Madras, India mendapatkan bahwa sinusitis maksila tipe dentogen
sebanyak 10% kasus yang disebabkan oleh abses gigi dan abses apikal. Becker et al. dari Bonn,
Jerman menyatakan 10% infeksi pada sinus maksila disebabkan oleh penyakit pada akar gigi.
Granuloma dental, khususnya pada premolar kedua dan molar pertama sebagai penyebab
sinusitis maksila dentogen. Highler dari Minnesota, Amerika Serikat menyatakan 10% kasus
sinusitis maksila yang terjadi setelah gangguan pada gigi.
Data dari sub bagian Rinologi THT FKUI RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
menunjukkan angka kejadian sinusitis yang tinggi yaitu 248 pasien (50%) dari 496 pasien rawat
jalan. Farhat di Medan mendapatkan insiden sinusitis dentogen di Departemen THT-KL/RSUP
H. Adam Malik sebesar 13.67% dan yang terbanyak disebabkan oleh abses apikal yaitu sebanyak
71.43%. Hasil dari penelitian melaporkan bahwa insiden sinusitis dentogen lebih tinggi pada
wanita dan angka kejadian tertinggi pada usia dekade ketiga dan keempat.
9
2.5 PATOFISIOLOGI
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens
mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks osteomeatal. Sinus dilapisi oleh sel
epitel respiratorius. Lapisan mukosa yang melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu
lapisan viscous superficial dan lapisan serous profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel
epitel untuk membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba serta mengandungi zatzat
yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara
pernafasan. Cairan mukus secara alami menuju ke ostium untuk dikeluarkan jika jumlahnya
berlebihan.
Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis terjadinya sinusitis yaitu
apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi ostium sinus akan menyebabkan
terjadinya hipooksigenasi, yang menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel sel
mensekresikan cairan mukus dengan kualitas yang kurang baik. Disfungsi siliaini akan
menyebabkan retensi mukus yang kurang baik pada sinus.
Kegagalan transpor mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor utama
berkembangnya sinusitis. Sinusitis dentogen dapat terjadi melalui dua cara, yaitu:
a) Infeksi gigi yang kronis dapat menimbulkan jaringan granulasi di dalam mukosa
sinus maksilaris, hal ini akan menghambat gerakan silia ke arah ostium dan berarti
menghalangi drainase sinus. Gangguan drainase ini akan mengakibatkan sinus mudah
mengalami infeksi. Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi
karena infeksi bakteri (anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga
jaringan lunak gigi dan sekitarnya rusak (Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar, 2009).
Pulpa terbuka maka kuman akan masuk dan mengadakan pembusukan pada pulpa
sehingga membentuk gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan mengenai selaput
periodontium menyebabkan periodontitis dan iritasi akan berlangsung lama sehingga
terbentuk pus. Abses periodontal ini kemudian dapat meluas dan mencapai tulang
alveolar menyebabkan abses alveolar. Tulang alveolar membentuk dasar sinus
maksila sehingga memicu inflamasi.
10
b) Kuman dapat menyebar secara langsung, hematogen atau limfogen dari granuloma
apikal atau kantong periodontal gigi ke sinus maksila.
Patofisiologi sinusitis adalah sebagai berikut:
Inflamasi mukosa hidung menyebabkan pembengkakan (udem) dan eksudasi, yang
mengakibatkan obstruksi ostium sinus. Obstruksi ini menyebabkan gangguan ventilasi dan
drainase, resorbsi oksigen yang ada di rongga sinus, kemudian terjadi hipoksia (oksigen
odontogenik, dan tumor adenomatoid. d) Tumor ganas termasuk keganasan gingiva,
kistik adenoid dan sarkoma.
Gambar 11: Foto rontgen pasien wanita berusia 45 tahun dengan kista periapikal. Kista ini
timbul dari residu epitelial pada ligamen periodontal yang disebabkan oleh inflamasi.
21
2.9 PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanan sinusitis dentogen:
a) Atasi masalah gigi. b) Penderita dengan sinusitis akut yang disertai demam dan
kelemahan sebaiknya beristirahat ditempat tidur. Diusahakan agar kamar tidur
mempunyai suhu dan kelembaban udara tetap. c) Konservatif, diberikan obat-obatan:
antibiotika, dekongestan, antihistamin, kortikosteroid dan irigasi sinus. d) Operatif.
Beberapa macam tindakan bedah sinus yaitu antrostomi meatus inferior, Caldwell-Luc,
etmoidektomi intra dan ekstra nasal, trepanasi sinus frontal, dan bedah sinus endoskopik
fungsional.
AKUT
22
Foto rontgen panoramamenunjukkan bagian opak
bulat pada sinus maksila kiri dengan pinggir sklerotik
(anak panah).
CT Scan aksial menunjukkan proses
perluasan dengan pinggir sklerotik (panah) pada
sinus maksilaris.
Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik empirik (2x24 jam). Antibiotik yang
diberikan lini I yakni golongan penisilin atau kotrimoksazoldan terapi tambahan yakni obat
dekongestan oral dan topikal, mukolitik untuk memperlancar drainase dan analgetik untuk
menghilangkan rasa nyeri.Pada pasien atopi, diberikan antihistamin atau kortikosteroid topikal.
Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari.
Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen foto polosatau CT Scan dan atau
nasoendoskopi. Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan maka dilakukan terapi
sinusitis kronik. Tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi diagnosis yakni evaluasi
komprehensif alergi dan kultur dari fungsi sinus.
Terapi pembedahaan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah terjadi
komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat karena ada sekret tertahan
oleh sumbatan.
KRONIK
a) Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tatalaksana yang sesuai dan diberi
terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik mencukupi 10-14 hari.1
b) Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode akut lini II +
terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan, diberikan antibiotik
alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada perbaikan diteruskan antibiotik mencukupi
10-14 hari, jika tidak ada perbaikan, evaluasi kembali dengan pemeriksaan
nasoendoskopi, sinuskopi (jika irigasi 5x tidak membaik). Jika ada obstruksi kompleks
osteomeatal maka dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah konvensional. Jika
tidak ada obstruksi maka evaluasi diagnosis. c) Daerah sinus yang sakit bisa dilakukan
diatermi gelombang pendek. d) Jika ada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi
sinus, sedang sinusitis ethmoid, frontal atau sfenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz.
Pembedahan
23
Radikal:
- Sinus maksila dengan operasi Caldwell-luc.
Pengobatan ini dilakukan bila pengobatan koservatif gagal. Terapi radikal dilakukan
dengan mengangkat mukosa yang patologik dan membuat drenase dari sinus yang terkena.
Untuk sinus maksila dilakukan operasi Caldwell-Luc. Pembedahan ini dilaksanakan dengan
anestesi umum atau lokal. Jika dengan anestesi lokal, analgesi intranasal dicapai dengan
menempatkan tampon kapas yang dibasahi kokain 4% atau tetrakain 2% dengan efedrin 1%
diatas dan dibawah konka media. Prokain atau lidokain 2% dengan tambahan ephineprin
disuntika di fosa kanina. Suntikan dilanjutkan ke superior untuk saraf intraorbital. Incisi
horizontal dibuat di sulkus ginggivobukal, tepat diatas akar gigi. Incisi dilakukan di superior
gigi taring dan molar kedua. Incisi menembus mukosa dan periosteum. Periosteum diatas
fosa kanina dielevasi sampai kanalis infraorbitalis, tempat saraf orbita diidentifikasi dan
secara hati-hati dilindungi.1,3,11
Gambar 12. prosedur
Caldwell Luc
24
Pada dinding depan sinus dibuat fenestra, dengan pahat, osteatom atau alat bor. Lubang
diperlebar dengan cunam pemotong tulang kerison, sampai jari kelingking dapat masuk. Isi
antrum dapat dilihat dengan jelas. Dinding nasoantral meatus inferior selanjutnya ditembus
dengan trokar atau hemostat bengkok. Antrostomi intranasal ini dapat diperlebar dengan cunam
kerison dan cunam yang dapat memotong tulang kearah depan. Lubang nasoantral ini sekurang-
kurangnya 1,5 cm dan yang dipotong adalah mukosa intra nasal, mukosa sinus dan dinding
tulang. Telah diakui secara luas bahwa berbagai jendela nasoantral tidak diperlukan. Setelah
antrum diinspeksi dengan teliti agar tidak ada tampon yang tertinggal, incisi ginggivobukal
ditutup dengan benang plain cat gut 00. biasanya tidak diperlukan pemasangan tampon intranasal
atau intra sinus. Jika terjadi perdarahan yang mengganggu, kateter balon yang dapat ditiup
dimasukan kedalam antrum melalui lubang nasoantral. Kateter dapat diangkat pada akhir hari ke-
1 atau ke 2. kompres es di pipi selama 24 jam pasca bedah penting untuk mencegah edema,
hematoma dan perasaan tidak nyaman.
Non Radikal:
Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF).
Bedah sinus endoskopi fungsional merupakan perkembangan pesat dalam bedah sinus.Teknik
bedah ini pertama kali diajukan oleh Messerklinger dan dipopulerkan oleh Stamm-berger dan
Kennedy.BSEF adalah operasi pada hidung dan sinus yang menggunakan endoskopi dengan
tujuan menormalkan kembali ventilasi sinus dan transpor mukosilier. Prinsip BSEF ialah
membuka dan membersihkan KOM sehingga drainase dan ventilasi sinus lancar secara alami.7,11
Indikasi absolut tindakan BSEF adalah rinosinusitis dengan komplikasi, mukosil yang luas,
rinosinusitis jamur alergi atau invasif dan kecurigaan neoplasma. Indikasi relatif tindakan ini
meliputi polip nasi simptomatik dan rinosinusitis kronis atau rekuren simptomatik yang tidak
respon dengan terapi medikamentosa.Sekitar 75-95% kasus rinosinusitis
kronis telah dilakukan tindakan BSEF.
Prinsip tindakan BSEF adalah membuang jaringan yang menghambat KOM dan
memfasilitasi drainase dengan tetap mempertahankan struktur anatomi normal (gambar 3)
25
Gambar 13. Prinsip bedah sinus endoskopi fungsional
(BSEF): membuang jaringan yang menghambat KOM. Teknik bedah sinus endoskopi fungsional
meliputi unsinektomi, etmoidektomi, sfenoidektomi dengan etmoidektomi, bedah resesus
frontalis, antrostomi maksila, konkotomi dan septoplasti.
Komplikasi pasca tindakan BSEF dapat dibedakan menjadi komplikasi awal dan lanjut.
Komplikasi awal meliputi hematoma orbita, penurunan penglihatan, diplopia, kebocoran cairan
serebrospinal, meningitis, abses otak, cedera arteri karotis dan epifora.Komplikasi lanjut yang
dapat terjadi adalah rekurensi, mukosil dan miosferulosis akibat salep yang digunakan dan benda
asing.Komplikasi orbita dan intrakranial juga dapat terjadi sebagai komplikasi lanjut.
2.10 KOMPLIKASI
CT-Scan penting dilakukan dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan derajat infeksi
di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium.Pemeriksaan ini harus rutin dilakukan pada
sinusitis rekuren, kronisatau berkomplikasi.
Komplikasi Orbita
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang
tersering.Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi dari ethmoidalis akut, namun sinus
frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi isi
orbita.
26
Terdapat lima tahapan :
1) Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat infeksi sinus
ethmoidalis di dekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada anak, karena lamina
papirasea yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis seringkali merekah pada
kelompok umur ini. 2) Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif
menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk. 3) Abses subperiosteal, pus terkumpul
diantara periorbita dan dinding tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis. 4)
Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita. Tahap ini
disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius.
Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang tersering dan kemosis konjungtiva
merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah. 5) Trombosis
sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui saluran vena ke dalam
sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu tromboflebitis septik.
Komplikasi Intra Kranial
a) Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat yang mana infeksi dari
sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau langsung dari sinus yang
berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina
kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis. b) Abses dural, adalah kumpulan pus
diantara dura dan tabula interna kranium, seringkali mengikuti sinusitis frontalis. Proses
ini timbul lambat, sehingga pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang
terkumpul mampu menimbulkan tekanan intrakranial. c) Abses subdural, adalah
kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau permukaan otak. Gejala yang
timbul sama dengan abses dura. d) Abses otak, setelah sistem vena, dapat
mukoperiosteumsinus terinfeksi, maka dapat terjadi perluasan metastatik secara
hematogenke dalam otak.
Terapi komplikasi intra kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase secara bedah
pada ruangan yang mengalami abses dan pencegahan penyebaran infeksi.
27
Komplikasi sinusitis yang lain adalah kelainan paru seperti bronkitis kronis dan
bronkiektasi. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut
sinobronkitis. Selain itu, dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronchial yang sukar
dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan
2.11 Prognosis
Prognosis sinusitis tipe dentogen sangat tergantung kepada tindakan pengobatan yang dilakukan
dan komplikasi penyakitnya.Jika, drainase sinus membaik dengan terapi antibiotik atau terapi
operatif maka pasien mempunyai prognosis yang baik.
28
BAB III
KESIMPULAN
3.1 KESIMPULAN
Sinusitis dentogen adalah peradangan mukosa hidung dan satu atau lebih mukosa sinus
paranasal yang disebabkan oleh penyebaran infeksi gigi.10% kasus sinusitis dengan sumber
odontogenik adalah disebabkan oleh rahang atas.1,2 Meskipun sinusitis dentogen adalah kondisi
yang relatif umum, patogenesisnya masih belum jelas serta masih kurangnya konsensus
mengenai gejala klinis, pengobatan, dan pencegahan. Terjadinya sinusitis dentogen dapat terjadi
melalui dua cara, yaitu infeksi gigi yang kronis dapat menimbulkan jaringan granulasi di salam
mukosa sinus maksila, penyebaran secara langsung, hematogen atau limfogen dari granuloma
apikal atau kantong periodontal gigi ke sinus maksila.
Diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan rinoskopi anterior dan
rinoskopi posterior, nasoendoskopi, disertai pemeriksaan penunjang berupa transluminasi, foto
rontgen, CT-Scan dan MRI.
Bila sinusitis disebabkan faktor gigi biasanya pasien mengeluhkan hidung
berbau.Penatalaksanaannya adalah mengatasi masalah gigi, konservatif, diberikan obat-obatan;
antibiotika, dekongestan, antihistamin, kortikosteroid dan irigasi sinus serta operatif.Beberapa
macam tindakan bedah sinus yaitu antrostomi meatus inferior, Caldwell-Luc, etmoidektomi intra
dan ekstra nasal, trepanasi sinus frontal dan bedah sinus endoskopik fungsional.
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Soetjipto Damayanti, Endang Mangunkusumo. Sinus Paranasal. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok, Kepala Leher. Edisi VI. Jakarta, Balai Penerbit FKUI, 2008; 145-53.
2. Boies LR, Adams GL. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi VI. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1997.
3. Mulyarjo, Soejak S. Sinusitis. Naskah Lengkap Perkembangan Terkini Diagnosis dan Penatalaksanaan S. Sinusitis. Surabaya, 2006; 1-63
4. Farhat. Peran Infeksi Gigi Rahang Atas pada Kejadian Sinusitis Maksila di RSUP H. Adam Malik Medan. Dept. Ilmu Kesehatan THT, Bedah Kepala, dan Leher FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan. 2006. p. 386-92
5. Universitas Sumatera Utara. Sinusitis Maksilaris Dentogen. Tersedia dari URL http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31193/4/Chapter%20II.pdf. Diunduh tanggal 8 Februari 2015
6. Itzhak Brook, MD. Acute Sinusitis. Tersedia dari URL http://www.emedicine.com/emerg/topic536.htmEdisi April 2012. Diunduh tanggal 8 Februari 2015
7. Ramalinggam KK. Anatomy and physiology of nose and paranasal sinuses. A Short Practice of Otolaryngology. All India Publishers; 214-31
8. Abdul Rachman Saragih. Rinosinusitis Dentogen.Diambil dari dentika Dental Journal, Vol 12, No 1. 2007. Hal : 81 -84. Tersedia dari URL :http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/121078184.pdf. Diunduh tanggal 9 Februari 2015
9. Mehra P, Murad H. Maxillary Sinus Disease of Odontogenic Origin. Otolaryngologic Clinic of North America. 2004. p. 347-64
10. Henny Kartika. Cara Pemeriksaan Hidung dan Sinus Paranasal. Tersedia dari URLhttp://hennykartika.wordpress.com/2007/12/29/cara-pemeriksaan-hidung-dan-sinus-paranasal/. Diunduh tanggal 9 Februari 2013
11. Bestary, Jaka Budiman. Rossy, Rosalinda. Bedah Endoskopi Fungsional Revisi Pada Rinosinusitis Kronis. Diambil dari Jurnal FK Universitas Andalas/RSUP Dr. M Djamil Padang, Bagian THT Bedah Kepala Leher. Tersedia dari URLhttp://repository.unand.ac.id/17210/1/Bedah_Sinus_Endoskopi_Fungsional_Revisi_pada_Rinosinusitis_Kronis.pdf Diunduh tanggal 9 Februari 2013
12. Bashiruddin J, Soetjipto D, Rifki N. Abses orbita sebagai komplikasi sinusitis maksila dan etmoid akibat infeksi gigi. Kumpulan Naskah Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhati.