Top Banner
ANESTESI UMUM PADA OBESITAS OLEH : Riana Rahmadhany 030.10.235 PEMBIMBING : dr. Lila, Sp.An., M.Kes SMF ANASTESI RSAL DR. MINTOHARDJO JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN
33

Referat Riana

Dec 26, 2015

Download

Documents

rianariana

yaa
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Referat Riana

ANESTESI UMUM PADA OBESITAS

OLEH :

Riana Rahmadhany 030.10.235

PEMBIMBING :

dr. Lila, Sp.An., M.Kes

SMF ANASTESI

RSAL DR. MINTOHARDJO JAKARTA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA

2015

Page 2: Referat Riana

BAB I

PENDAHULUAN

American Society of Anesthesiology (ASA) mulai gencar dalam memberikan informasi

yang jelas kepada masyarakat tentang hal-hal yang menjadi pertimbangan sebelum mereka

menghadapi pisau bedah atau operasi. Masyarakat dahulu tidak terlalu peduli akan bahaya

yang dapat menjadi kesulitan tersendiri untuk anestesi, terkait akan masalah kelebihan berat

badan atau obesitas ini. Begitu banyak komplikasi dari obesitas seperti contoh : diabetes tipe

dua, obstructive sleep apnea, hipertensi atau penyakit kardiovaskular yang dapat memberikan

implikasi signifikan pada pasien yang akan menghadapi operasi dan tindakan anestesi.

Hambatan jalan napas akibat obstructive sleep apnea dapat menurunkan aliran udara masuk

saat inspirasi bahkan terjadi reduksi pada inhalasi O2 ketika seseorang diberikan sedasi

anestesi. Dokter Martin Nitsun, asisten professor sekolah kedokteran Pritzker universitas

Chicago menerangkan bahwa faktor-faktor diatas memang timbul ketika seseorang

mengalami kelebihan berat badan. Pada obesitas terjadi perubahan anatomi yang membuat

manajemen jalan napas akan berbeda dengan mereka tanpa keadaan obesitas. Tindakan

intubasi akan lebih sulit dan dibutuhkan peralatan dan teknik khusus. Dokter anestesi harus

siap dan antisipatif terhadap kesulitan-kesulitan yang mungkin terjadi. Maka sebelum pasien

masuk ruang operasi, ASA merekomendasikan dilakukannya preoperative assesment yang

meliputi anamnesis lengkap tentang riwayat pasien, pemeriksaan fisik hingga pemeriksaan

penunjang yang bermakna pada pasien tersebut. Sehingga pada saat pelaksanaan operasi,

dokter anestesi dapat meminimalisir resiko yang mungkin terjadi dan menurunkan tingkat

terjadinya komplikasi. Motivasi akan pentingnya mengubah gaya hidup hingga menurunkan

berat badan secara bertahap juga menjadi tugas dokter yang menangani atau dokter anestesi

sehingga diharapkan dengan penurunan berat badan, komorbiditas dapat ditekan semaksimal

mungkin.

1.1 OBESITAS DAN MASALAH YANG DIHADAPI

Secara spesifik, yang dikatakan obesitas adalah merupakan suatu keadaan kelebihan

jumlah lemak dalam tubuh, sedangkan overweight adalah kelebihan berat badan bukan hanya

dari jumlah lemaknya namun juga termasuk otot, tulang, dan total air dalam tubuh. Para ahli

sepakat bahwa laki-laki dengan jumlah lemak tubuh lebih dari 25 persen dan wanita lebih

dari 30 persen masuk dalam golongan kelebihan berat badan atau obesitas. Body Mass Index

(BMI) menjadi indikator awal yang membantu professional untuk mencari tahu perkiraan

2

Page 3: Referat Riana

kelebihan berat badan seseorang yang nantinya dihubungkan dengan resiko terjangkit suatu

penyakit. Pada obesitas, seseorang mengkonsumsi kalori lebih dari yang dapat dibakar secara

normal, dalam arti kata mereka makan banyak namun tidak diseimbangkan dengan aktivitas

atau olahraga. Namun ada faktor lain yang juga menjadi predisposisi seseorang menjadi

obesitas. Faktor-faktor tersebut diantaranya):

a. Genetik.

Genetik memainkan peran sangat besar terhadap kejadian obesitas. Pada suatu studi

didapatkan kesimpulan umum yaitu ketika ibu biologis mengalami obesitas, maka

kira-kira 75 persen anak-anaknya akan mengalami obesitas. Sedangkan jika ibu

biologis memang kurus atau tidak mengalami obesitas, kira-kira 75 persen anak-

anaknya juga berbadan kurus. Maka mereka yang memang memiliki “bakat” genetik

seperti ini sudah seharusnya lebih bisa menerima keadaan yang sulit untuk diubah

namun dapat dilakukan manajemen yang baik.

b. Usia.

Ketika seseorang menginjak usia tua, tubuh mengalami penurunan kemampuan untuk

metabolisme makanan atau kalori. Makanan lebih lama diolah, diubah menjadi energi

dan pada akhirnya walaupun jumlah makanan yang dikonsumsi sejak orang tersebut

usia 20 hingga usia tua tidak berubah namun sebenarnya ia tidak memerlukan jumlah

kalori yang sama. Hal ini terlihat jelas ketika mereka yang berusia 20-an

mengkonsumsi banyak kalori namun seimbang dengan aktivitas, pada mereka yang

berusia diatas 40-an dengan jumlah konsumsi kalori yang sama malah bertambah

bobotnya karena aktivitas dan metabolisme tubuh yang sudah menurun secara

alamiah.

c. Gender.

Wanita dikatakan mengalami tendensi lebih sering menjadi overweight dibanding

laki-laki. Laki-laki memiliki kemampuan untuk metabolisme saat istirahat yang

berarti energi juga digunakan saat itu. Sehingga laki-laki membutuhkan jauh lebih

banyak kalori untuk menjaga keseimbangan metabolisme yang menghasilkan energi

itu. Pada wanita, terutama yang sudah mengalami menopause, rasio metabolisme

mereka justru akan menurun, sehingga jelas mereka akan mengalami penambahan

berat badan setelah menopause.

d. Lingkungan.

3

Page 4: Referat Riana

Walaupun genetik merupakan faktor utama pada obesitas, namun pada beberapa

kasus, lingkungan juga merupakan faktor signifikan. Yang termasuk faktor

lingkungan adalah gaya hidup seperti apa yang dimakan dan seberapa aktif seseorang.

e. Aktivitas fisik.

Seseorang yang aktivitas fisiknya tinggi membutuhkan kalori untuk dibakar jauh lebih

besar untuk menyeimbangkan kebutuhan tubuhnya. Sebagai tambahan, aktivitas fisik

rupanya membantu seseorang dengan obesitas untuk ‘menggunakan’ lemak sebagai

sumber energinya. Sehingga ketika lemak tersebut dibakar, berkurang pula bobot

tubuhnya. Dalam 20 tahun terakhir diketahui bahwa mereka yang obesitas memang

mengurangi aktivitas fisiknya dan berlebihan dalam urusan konsumsi kalori atau

makanan berlemak.

f. Penyakit.

Ada beberapa penyakit yang juga berhubungan dengan kejadian obesitas. Diantaranya

hipotiroidisme (kerja hormon tiroid yang menurun sehingga metabolisme tubuh ikut

menurun), suatu penyakit pada otak yang meningkatkan nafsu makan (agak jarang

terjadi), dan depresi.

g. Psikologis.

Kebiasaan makan terkait dengan faktor psikis pada seseorang. Banyak orang

melarikan diri dari rasa sedih, bosan, depresi atau marah dengan makan berlebihan.

Rasa bersalah, diskriminasi, malu, atau ditolak dari lingkungan sosial juga banyak

berpengaruh pada kondisi psikis seseorang yang berhubungan dengan perubahan pola

makan. Binge eating adalah sebagai contoh dimana orang tersebut makan berlebihan

tanpa ia sadari dan pada akhirnya ia akan mencari pengobatan serius karena masalah

ini. Hampir 30 persen orang dengan binge eating terkait faktor psikis menyerah

dengan pergi ke dokter untuk mencari bantuan akan masalah ini.

h. Obat-obatan.

Beberapa obat seperti steroid dan anti-depresan memiliki efek samping penambahan

berat badan.

1.2 CARA PENGUKURAN BMI

Pengukuran berat badan seseorang secara tepat agak sulit. Cara yang paling

mendekati akurat adalah mengukur orang tersebut dibawah air atau di dalam chamber atau

ruangan dengan isi air sehingga dapat diukur jumlah air yang terbuang dan air sebelumnya

untuk mengukur berat badan pasti. Dapat juga digunakan alat X-ray untuk tes yang disebut

4

Page 5: Referat Riana

Dual Energy X-ray Absorptiometry (DEXA) namun di Indonesia sendiri belum dilakukan

karena membutuhkan alat, tenaga dan tempat khusus. Secara sederhana, metode untuk

estimasi jumlah lemak atau body fat adalah dengan mengukur ketebalan lapisan lemak yang

berada dibawah lapisan kulit pada beberapa bagian tubuh. Karena dalam mengukur body fat

dan berat badan pasti seseorang itu sulit, maka selama beberapa dekade, para ahli hanya

bergantung pada tabel berat badan dan tinggi yang merupakan ukuran rata-rata pada semua

orang. Yang menjadi kendala selain tabel ini tidak menggunakan ukuran pasti adalah

dikeluarkannya berbagai macam versi dengan rentang berat badan dan tinggi yang juga

berbeda-beda. Maka BMI saat ini masih menjadi patokan universal untuk mengetahui status

gizi seseorang (normal, obesitas, atau overweight). Body Mass Index (BMI) sangat sederhana

dan digunakan untuk estimasi massa lemak pada seseorang. Pada abad ke-19, seorang ahli

statistik dan antropometris Adolphe Quetelet mengembangkan pengukuran dengan cara ini.

BMI merupakan refleksi dari persentase body fat mayoritas orang dewasa pada populasi besar

dan universal. Walaupun begitu, tingkat akurasi BMI menurun jika digunakan pada

pengukuran ibu hamil atau orang dengan body builder yang massa atau bobot tubuhnya

terpengaruh dari komposisi ‘tambahan’. (4)

BMI = [berat badan (kg)] / [tinggi (dalam meter)]2

BMI Classification

Less than 18.5

18.5–24.9

25.0–29.9

30.0–34.9

35.0–39.9

Over 40.0

underweight

normal weight

overweight

class I obesity

class II obesity

class III obesity

Tabel 1 : BMI menurut WHO (1997)

Beberapa modifikasi (WHO) (4) :

BMI 35.0 atau lebih dengan adanya satu atau lebih kormobiditas dimasukkan kedalam

kelas III BMI.

Untuk orang Asia, ukuran overweight adalah antara 23 dan 29.9, obesitas adalah BMI

> 30. Literatur ilmu bedah membagi kelas III obesitas menjadi beberapa kategori4 :

o BMI > 40.0 dimasukan kedalam kategori obesitas berat (severe)

5

Page 6: Referat Riana

o BMI 40.0 – 49.9 dimasukkan kedalam kategori obesitas morbid

o BMI > 50.0 dimasukkan kedalam kategori super obesitas.

1.3 MASALAH YANG DIHADAPI

Kelebihan berat badan dihubungkan dengan timbulnya berbagai macam penyakit atau

masalah, bisa berupa penyakit kardiovaskular dan respiratori (obstructive sleep apnea),

diabetes mellitus tipe dua, dislipidemia, stroke, penyakit kandung empedu, berbagai macam

jenis kanker, sampai masalah tulang yaitu osteoartritis. Obesitas akan menurunkan

ekspektansi hidup.

6

Page 7: Referat Riana

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 ANESTESI PADA PASIEN OBESITAS

Dalam berbagai macam literatur, anestesi pada pasien obesitas tidak menjadi bahasan

khusus. Akan tetapi, tata laksana anestesi pada pasien obesitas rupanya memiliki kendala

yang patut diperhatikan. Secara umum, ketika datang pasien obesitas kedalam ruang operasi,

dokter anestesi sudah memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapi sebelum,

selama dan sesudah tindakan anestesi. Diantaranya adalah prediksi kesulitan intubasi,

prevensi tromboemboli, prevensi komplikasi pasca operasi seperti atelektasis, penggunaan

obat anestesi seperti analgesik yang dapat diberikan atau obat-obat yang harus dihindari

pemberiannya, manajemen pasien dengan obstructive sleep apnea, kriteria pemindahan ke

ICU dan penanganan mekanisme ventilasi yang harus dilakukan, juga terapi cairan, eletrolit

dan nutrisi. Masalah utama pasien obesitas masih seputar gangguan pada sistem

kardiovaskular, respirasi, dan gastrointestinal. Masalah lain adalah pada ibu hamil dengan

atau tanpa obesitas dan anak-anak yang sedari kecil sudah mengalami obesitas.

2.2 SISTEM KARDIOVASKULAR PADA PENDERITA OBESITAS

Gangguan pada sistem kardiovaskular meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien

obesitas. Manifestasinya berupa penyakit iskemia, hipertensi sampai gagal jantung. Scottish

Health Survey baru-baru ini menemukan prevalensi gangguan pada sistem kardiovaskular 37

persen terjadi pada mereka dengan BMI > 30, 21 persen pada BMI 25 – 30 dan 10 persen

pada BMI < 25. Semua pasien obesitas yang akan dilakukan anestesi harus diinvestigasi lebih

jauh pada premedikasi akan adanya komplikasi kardiovaskular. Bahkan sudah seharusnya

mereka dirujuk ke ahli jantung untuk monitor kesulitan yang mungkin berpengaruh pada

tindakan anestesi yang akan dilakukan.

Manifestasi gangguan sistem kardiovaskular :

Hipertensi.

Hipertensi ringan – sedang terlihat pada 50 – 60 persen pasien obesitas dan hipertensi

berat pada 5 – 10 persen pasien. Terdapat peningkatan tekanan sistolik sebesar 3 – 4

mmHg dan diastolik 2 mmHg tiap kenaikan berat badan 10 kg. Adanya cairan pada

ekstraseluler akan berakibat terjadinya hipervolemia dan peningkatan cardiac output.

7

Page 8: Referat Riana

Meskipun mekanisme pasti terjadinya hipertensi pada pasien obesitas masih belum

diketahui, diduga ada pengaruh faktor genetik, hormonal, renal dan hemodinamik

yang berperan disini. Hiperinsulinemia sebagai karakteristik pada obesitas juga

memberikan kontribusi dengan mengaktifkan sistem saraf simpatik yang

menyebabkan retensi sodium. Sebagai tambahan, resistansi insulin bertanggung jawab

terhadap aktivitas norepinefrin dan angiotensin II.

Iskemia jantung.

Obesitas merupakan faktor resiko terjadinya penyakit iskemia jantung, terutama pada

mereka dengan pusat distribusi lemak pada bagian sentral. Faktor lain seperti

hipertensi, diabetes mellitus, hiperkolesterolemia dan rendahnya HDL (High Density

Lipoprotein) menambah beratnya resiko penyakit ini. Hal yang menarik, 40 persen

pasien obesitas dengan angina tidak memperlihatkan adanya penyakit jantung

koroner, namun angina itu sendiri merupakan gejala langsung dari obesitas.

Volume darah.

Total volume darah pada pasien obesitas bertambah akan tetapi bila dibandingkan

dengan pasien non-obese, pertambahannya lebih rendah karena dominasi darah

tersebut terdistibusi ke organ-organ penuh lemak. Aliran darah dari limpa juga

bertambah sekitar 20 persen sedangkan aliran darah dari otak dan ren normal atau

tidak bertambah.

Aritmia jantung.

Ada berbagai macam faktor presipitasi yang menyebabkan aritmia pada pasien

obesitas, diantaranya : hipoksia, hiperkapnia, ketidakseimbangan elektrolit akibat

terapi dengan diuretik, penyakit jantung koroner, bertambahnya konsentrasi

katekolamin dalam sirkulasi, obstructive sleep apnea, hipertrofi miokard dan

penumpukan lemak dalam sistem konduksi.

Fungsi jantung.

Pada pasien obesitas, terjadi disfungsi dari jantung yang dipercayai merupakan

kelanjutan dari penumpukan lemak dalam sistem konduksi. Dalam suatu studi pada

otopsi, ditemukan adanya penumpukan lemak pada epikardium yang tidak disertai

penumpukan lemak pada miokardium, tampaknya keadaan ini mempengaruhi

ventrikel kanan jantung yang pada akhirnya menyebabkan abnormalitas konduksi dan

aritmia. Ada hubungan sejajar antara bertambahnya berat jantung dengan kenaikan

berat badan seseorang. Yang dikatakan penambahan berat jantung merupakan

8

Page 9: Referat Riana

konsekuensi dari dilatasi dan hipertrofi eksentrik dari ventrikel kiri yang

mempengaruhi ventrikel kanan pula.

Kardiomiopati.

Obesitas berhubungan dengan kejadian bertambahnya volume darah dan cardiac

output akibat kenaikan bobot lemak 20 – 30 ml per kg. Dilatasi ventrikel dan

bertambahnya volume sekuncup menyebabkan peningkatan cardiac output. Dilatasi

ventrikel terjadi akibat bertambahnya stress pada dinding ventrikel kiri yang

menyebabkan hipertrofi. Adanya hipertrofi eksentrik dari ventrikel kiri ini akan

menurunkan compliance dan fungsi diastolik ventrikel kiri. Pada keadaan ini akan

terjadi gangguan pengisian ventrikel, elevasi dari LVEDP dan udem paru. Kapasitas

dilatasi untuk ventrikel memilik batasan, sehingga jika terjadi penebalan dinding

ventrikel kiri maka terjadi kegagalan ventrikel untuk diastolik atau sistolik yang juga

berpengaruh pada ritme jantung.

Gejala klinis

Pada penderita obesitas, kadang tidak ditemukan gejala akibat gangguan

kardiovaskular, hal ini bisa dikarenakan mereka mengurangi gerakan atau aktivitas fisik

sehingga tertutupi semua gejala yang dapat timbul. Seperti misalnya, gejala angina atau

dispneu mungkin hanya terjadi sesekali ketika mereka bergerak lebih aktif dari biasanya.

Banyak dari penderita obesitas sengaja tidur dengan posisi duduk sehingga menyangkal

adanya orthopneu atau dispnoe paroksismal nokturnal. Tapi penderita obesitas dapat kita

minta untuk berjalan di dalam ruangan maka akan terlihat berkurangnya pergerakan atau

ketika diminta untuk tidur dengan posisi supinasi maka akan timbul orthopneu bahkan bisa

berujung pada henti jantung. Penderita obesitas harus diperiksa lebih mendetail akan adanya

gangguan jantung, hipertensi, atau gagal jantung. Tanda gagal jantung juga dapat dilihat dari

kenaikan tekanan vena jugular, penambahan bunyi jantung, gangguan pada paru,

hepatomegali atau ditemukan udem perifer.

Pemeriksaan

Untuk mengetahui kelainan yg terjadi pada jantung, dapat dilakukan pemeriksaan

preoperatif dengan EKG (elektrogardiogram) atau Echocardiograph. Adanya deviasi axis,

atau aritmia dapat terlihat pada kedua gambaran tersebut. Foto thoraks dapat memberikan

gambaran kardiomegali yang jelas namun kadang tampak normal. Echocardiograph mungkin

9

Page 10: Referat Riana

sulit dilakukan namun memberikan informasi yang berguna bagi kita. Konsul kepada ahli

jantung dilakukan sebagai tindak awal dan optimalisasi keadaan pasien preoperatif.

Implikasi anestesi

Pada keadaan dimana terjadi gangguan napas, masalah pada ventrikel mungkin

tertutupi atau lolos dari pengamatan melalui pemeriksaan secara klinis. Namun adanya

penambahan berat badan secara cepat yang ditemukan pada premedikasi dapat

mengindikasikan adanya kegagalan jantung walaupun orang tersebut memang sudah

memiliki bobot yang berat. Durante operasi, kegagalan ventrikel untuk memenuhi kebutuhan

(disfungsi dari diastolik ventrikel) dapat terjadi karena berbagai macam alasan, seperti

pengaruh dari agen anestesi yang sebelumnya diberikan atau hipertensi pulmonal yang

dipresipitasi keadaan hipoksia atau hiperkapnia. Maka seorang dokter anestesi harus bersikap

preventif terhadap hal tersebut dengan mempersiapkan inotropik dan vasodilator untuk

mengembalikan keadaan menjadi normal kembali. Ketika induksi anestesi atau intubasi

dilakukan pada penderita obesitas, performa jantung akan mulai menurun. Dalam suatu

penelitian, ditemukan pada penderita obesitas yang menjalani operasi abdomen, performa

jantung menurun 17 -33 persen setelah induksi dan intubasi dilakukan, keadaan ini menetap

pasca operasi dengan index jantung 13 -23 persen menurun dibandingkan preoperatif. Hal ini

tidak terjadi pada orang normal dimana performa jantung setelah diberikan induksi anestesi

atau intubasi sempat menurun namun kembali normal pascaoperasi. Pengamatan terhadap

tekanan arteri, gas darah dan tekanan vena sentral dapat dilakukan sebagai acuan terhadap

keadaan jantung selama obat anestesi bekerja.

Premedikasi

Opioid dan obat sedatif dapat menyebabkan depresi pernapasan pada orang obesitas. Rute

pemberian obat secara intramuskular dan subkutan dihindari mengingat absorbsinya yang

belum jelas. Semua penderita obesitas diberikan profilaksis terhadap aspirasi asam walaupun

mereka tidak mengeluhkan adanya refluks atau perasaan dada terbakar (heartburn).

Kombinasi H2-bloker (ranitidin 150mg peroral) dan prokinetik (metoklopramid 10mg

peroral) diberikan 12 jam dan 2 jam sebelum operasi untuk menurunkan resiko pneumonitis

akibat aspirasi. Beberapa dokter anestesi bahkan mencoba memberikan 30ml dari 0.3 M sitrat

segera sebelum dilakukan induksi sebagai tambahan. Obat jantung dan steroid tetap diberikan

sampai menjelang operasi, walaupun ada yang merekomendasikan penghentian angiotensin

converting enzyme inhibitors sehari sebelum dilakukan operasi karena efek hipotensi yang

10

Page 11: Referat Riana

mungkin timbul. Pasien obesitas dengan diabetes diberikan regimen dextrosa-insulin dalam

prosedur singkat mengingat kebutuhan insulin yang meningkat pascaoperasi. Karena pasien

obesitas seringkali sulit mobilisasi terutama pascaoperasi dan meningkatkan resiko terjadinya

trombosis vena dalam, maka dapat diberikan heparin dosis rendah secara subkutan dan tetap

dilanjutkan sampai pasien tersebut dapat mobilisasi total. Cara lain : penggunaan legging atau

stoking kompresi. Pada grup ini juga sering terjadi infeksi luka pascaoperasi. Maka dapat

diberikan antibiotik profilaksis namun pemberiannya juga harus di diskusikan dengan ahli

bedah yang menangani.

Posisi dan pemindahan

Kebanyakan meja operasi dirancang hanya untuk pasien dengan berat badan mencapai

120 – 140 kg. Berat badan melebihi kapasitas tersebut, membutuhkan meja operasi dengan

rancangan khusus atau menggunakan dua meja operasi ukuran biasa yang disusun

bersebelahan. Pasien dilakukan anestesi setelah ia nyaman berada di meja operasi tersebut.

Kompresi vena cava inferior harus dihindari dengan cara memposisikan pasien secara lateral

ke kiri dari meja operasi atau meletakan sanggahan dibawah pasien. Terkadang pasien juga

dapat diposisikan secara lateral decubitus untuk mengurangi jumlah tekanan pada dada.

Pasien dipindahkan dari ruangan ke ruang operasi memakai tempat tidur yang mereka

gunakan. Kadang dibutuhkan banyak tenaga dalam proses pemindahan tersebut.

2.3 SISTEM RESPIRASI PADA PENDERITA OBESITAS

Patofisiologi pernapasan pada penderita obesitas

Volume paru-paru

Penurunan kapasitas residu fungsional (Functional Residual Capacity atau FRC),

volume ekspirasi cadangan (Expiratory Reserve Volume atau ERV) dan kapasitas

total dari paru-paru merupakan masalah yang dihadapi penderita obesitas seiring

dengan peningkatan berat badan. Kapasitas residu fungsional menurun akibat

penyempitan saluran napas, ketidakseimbangan perfusi dan ventilasi, shunt dari kanan

ke kiri, dan hipoksemia arteri. Pemberian anestesi dikatakan menurunkan FRC

sebesar 50 persen pada penderita obesitas, sedangkan pada orang normal terjadi

penurunan FRC sebesar 20 persen. Söderberg dan kolega dalam suatu studi

menemukan adanya shunt intrapulmonal dari 10 – 25 persen penderita obesitas yang

dilakukan anestesi dan 2 – 5 persen pada orang normal. Untuk mengatasi hal tersebut,

maka dapat diberikan oksigen dengan volume tidal yang besar ( 15 – 20 ml / kg )

11

Page 12: Referat Riana

walaupun hanya ditemukan kenaikan saturasi oksigen yang minimal. Namun berbeda

halnya dengan tekanan positif pada akhir ekspirasi (Positive End- Expiratory Pressure

atau PEEP) yang meningkat pada FRC dan tekanan oksigen arterial. Defek pada

pertukaran gas dan penambahan shunt preoperatif terlihat ketika dilakukan induksi

anestesi dan intubasi. Penambahan PEEP meningkatkan osigenasi namun menurunkan

cardiac output dan distribusi oksigen. Karena kurangnya FRC, pada penderita obesitas

terjadi kegagalan toleransi ketika terjadi apnoe, selain itu terjadi desaturasi oksigen

segera setelah induksi anestesi. Hal ini karena kecilnya reservoir oksigen dan

meningkatnya pemakaian oksigen. Biasanya FRC berkurang sebagai konsekuensi

reduksi dari ERV dengan tidal volume dalam batas yang normal. Bagaimanapun juga,

pada beberapa penderita obesitas, tidal volume yang tinggi menandai terperangkapnya

gas di dalam paru-paru dan menyertai penyakit saluran napas obstruktif. Volume

ekspirasi paksa dalam satu detik dan kapasitas vital paksa biasanya tidak terpengaruh

namun enam sampai tujuh persen mengalami perbaikan seiring penurunan berat

badan.

Ambilan oksigen dan pelepasan karbondioksida

Ambilan oksigen dan pelepasan karbondioksida meningkat sebagai hasil dari aktivitas

metabolik pada jumlah lemak yang berlebihan dan bertambahnya simpanan pada

jaringan. Aktivitas metabolik basal (Basal Metabolic Activity atau BMA)

berhubungan dengan luasnya permukaan tubuh. Pemberian ventilasi beberapa menit

akan meningkatkan oksigen hingga terjadi normokapnia. Walaupun pada beberapa

penderita obesitas dapat berlanjut respon normal keadaan hipoksemia dan hiperkapnia

yang terjadi. Pada saat olahraga, penggunaan oksigen ini akan meningkat tajam dan

menandai adanya effisiensi yang buruk dari otot pernapasan dibandingkan pada orang

normal.

Pertukaran gas

Preoperatif, penderita obesitas biasanya hanya mengalami sedikit defek pada

pertukaran gas dengan reduksi pada PaO2, meningkatnya perbedaan oksigen alveolar

dengan arterial, dan fraksi shunt. Induksi anestesi akan memperburuk keadaan ini,

maka diperlukan fraksi oksigen jumlah besar untuk memenuhi tahanan oksigen

arterial.

Compliance dan resistensi thorak

Kenaikan berat badan sebanding dengan meningkatnya kesulitan bernapas yang pada

kasus berat bisa menurunkan hingga 30 persen dari pernapasan normal. Walaupun

12

Page 13: Referat Riana

terdapat akumulasi jaringan lemak di dalam dan sekitar dinding dada yang berakibat

tertahannya gerak dinding dada (restriksi), namun pada beberapa penelitian

dikemukakan bahwa hal ini disebabkan peningkatan volume darah dalam paru-paru.

Tertahannya gerak dinding dada juga berhubungan dengan penurunan FRC,

terhimpitnya saluran napas dan kegagalan pertukaran gas. Perubahan compliance dan

resistensi thorak terlihat dengan adanya napas cepat dan dangkal, frekuensi yang

meningkat dan berkurangnya kapasitas paru.

Efisiensi pernapasan

Kombinasi dari tekanan intraabdomen, reduksi dari compliance, dan meningkatnya

kebutuhan metabolik dengan gerakan otot dada, menghasilkan gerak inefisien dari

otot dada tersebut, sehingga pada orang tersebut terjadi usaha bernapas lebih berat.

Penderita obesitas dengan normokapnia pada waktu istirahat menunjukkan 30 persen

peningkatan usaha bernapas dan terkadang terjadi hipoventilasi. Hipoventilasi ini

menjadi empat kali lebih berat pada waktu istirahat.

Kelainan yang terjadi

Gangguan pernapasan yang paling sering terjadi pada penderita obesitas adalah Obstructive

Sleep Apnea (OSA). Predisposisi terjadinya OSA antara lain : laki-laki, usia 30 - 40 tahun,

obesitas dan konsumsi alkohol (saat senja) atau penggunaan sedatif (saat malam). OSA

memiliki karakteristik :

a) Episode apnea atau hipopnea yang lebih sering terjadi saat tidur dan yang

membangunkan pasien tiba-tiba. Episode ini digambarkan sebagai obstruktif apnea

selama 10 detik atau lebih yang menyebabkan penutupan total dari saluran bernapas

dan adanya usaha keras untuk tetap bernapas. Hipopnea tergambarkan sebagai reduksi

dari 50 persen aliran udara yang adekuat yang berujung pada penurunan empat persen

saturasi oksigen pada arterial. Frekuensi episode apnea atau hipopnea tercatat lebih

dari lima kali per jam atau lebih dari 30 kali tiap malam. Yang perlu diperhatikan

adalah sekuele dari keadaan ini berupa : hipoksia, hiperkapnia, hipertensi sistemik

atau pulmonal dan aritmia.

b) Apnea terjadi ketika faring mengalami kolaps saat seseorang tidur. Patensi dari faring

tersebut bergantung pada kerja otot dilator yang mencegah penutupan saluran napas

atas. Tonus otot ini akan menghilang ketika tidur, yang menyebabkan pemendekan

dari saluran napas, sehingga terjadi turbulensi aliran udara sehingga terdengarlah

snoring. Mengorok atau snoring biasanya terdengar lebih keras jika obstruksi makin

13

Page 14: Referat Riana

hebat. Ngorok ini juga diikuti periode sunyi (silence) disaat tidak ada aliran udara

yang masuk dan setelahnya akan terjadi gasping atau choking yang membangunkan

pasien dari tidurnya, bernapas beberapa kali, dan tidur kembali (siklus ini berulang

sepanjang waktu tidur).

c) Efek samping : pada pagi hari, penderita OSA akan sering mengantuk, kehilangan

konsentrasi, masalah dalam memori atau ingatan dan bisa terjadi kecelakaan saat

menyetir atau bekerja. Terkadang penderita mengeluhkan pusing di pagi hari akibat

retensi karbondioksida(CO2) malam harinya dan vasodilatasi serebral.

d) Perubahan fisiologi : hipoksemia, hiperkapnia, vasokonstriksi pulmonal dan sistemik.

Hipoksemia berulang dapat berujung pada polisitemia yang meningkatkan resiko

penyakit jantung iskemia dan penyakit serebrovaskular. Sedangkan vasokonstriksi

pulmonal berujung pada kegagalan ventrikel kanan (right ventricle failure). Bila pada

seseorang diketahui BMI > 30 kg/m2 , ada riwayat hipertensi, apnea selama siklus

tidur, lingkar leher > 16.5 cm, polisitemia, hipoksemia, hiperkapnia, hipertrofi

ventrikel kanan atau abnormalitas EKG, maka perlu dilakukan diagnosis definitif

dengan pemeriksaan polysomnografi untuk memeriksa kemungkinan OSA.

Implikasi anestesi

Premedikasi

Pemeriksaan preoperatif pada penderita obesitas diantaranya memeriksa kemampuan

pasien untuk bernapas dalam dan patensi dari jalan napas. Pemeriksaan penunjang yaitu

pemeriksaan darah lengkap, foto thoraks, gas darah, fungsi paru dan oximetri. Mereka yang

dicurigai OSA disarankan melakukan tes polysomnografi. Pasien juga harus diingatkan

resiko spesifik dari anestesi, kemungkinan dilakukannya intubasi dalam kesadaran penuh,

pemberian ventilasi pascaoperasi bahkan trakeostomi.(9)

Durante anestesi

Induksi anestesi menjadi saat paling berbahaya pada pasien obesitas. Resiko kesulitan atau

gagal intubasi karena adanya obstruksi saluran napas bagian atas dan menurunnya

compliance pulmonal menjadi kekhususan tersendiri. Insuflasi gaster selama anestesi juga

meningkatkan resiko regurgitasi atau aspirasi isi gaster. Pendekatan awal adalah pemilihan

intubasi dalam kesadaran penuh atau tidur dalam yang merupakan pilihan sulit. Hal itu

banyak dipengaruhi pengalaman dokter anestesi yang akan melakukannya. Beberapa penulis

menyarankan intubasi dengan kesadaran penuh terutama jika berat badan sesungguhnya >

14

Page 15: Referat Riana

175 persen berat badan ideal. Apabila terdapat gejala OSA, maka sudah terpikirkan morfologi

jalan napas bagian atas yang sedikit berbeda yang membuat pemakaian ballow dan sungkup

menjadi sulit, sehingga intubasi dalam kesadaran penuh lebih disarankan. Pendekatan lain

adalah penggunaan laringoskop setelah pemberian lokal anestesi pada faring. Intubasi sadar

dengan fiberoptic dapat dipilih ketika struktur laring tidak terlihat jelas. Tidak disarankan

melakukan intubasi blind melalui hidung mengingat kemungkinan epistaksis atau efek

samping lainnya. Teknik teraman dan cepat untuk induksi anestesi menggunakan

succinylcholine dengan diikuti pemberian oksigen yang adekuat sebelumnya. Pasien obesitas

tidak dibolehkan untuk bernapas spontan selama anestesi berlangsung, mencegah terjadinya

hipoventilasi, hipoksia dan hiperkapnia. Posisi litotomi atau Tredelenburg dihindari

mengingat pada posisi ini terjadi reduksi volume paru. Ventilasi kontrol dengan fraksi

oksigen tinggi dibutuhkan untuk mencapai tekanan oksigen arterial yang adekuat, yang

nantinya pemeriksaan serial gas darah diperiksa untuk mengontrol hal ini.

Post anestesi

Komplikasi pulmonal sering terjadi pada penderita obesitas. Pemeriksaan fungsi paru

preoperatif tidak dapat memprediksi keadaan yang sama pascaoperatif. Hal ini karena pada

pasien obesitas sensitivitas terhadap obat sedatif, analgesik opioid dan anestesi meningkat.

Pemberian ventilasi pascaoperasi bermanfaat untuk eliminasi efek obat-obat tersebut, selain

dapat diberikan pada mereka dengan penyakit kardio-respiratori yang telah diketahui

sebelumnya, retensi karbondioksida, dan mereka yang baru menjalani operasi dalam waktu

lama atau mengalami pyrexia pasca operasi. Ekstubasi hanya boleh dilakukan ketika pasien

sadar penuh dan dipindahkan ke Recovery Room dengan posisi duduk 45 derajat. Oksigen

tambahan segera diberikan dan dilatih untuk bernapas seperti biasa.

3.4 SISTEM GASTROINTESTINAL PADA PENDERITA OBESITAS

Kombinasi dari tekanan intraabdomen yang tinggi, tingginya volume dan rendahnya

pH dalam gaster, lambatnya pengosongan gaster dan tingginya faktor resiko hiatus hernia dan

gastro-esofageal refluks dipercayai menempatkan pasien obesitas pada resiko terjadinya

aspirasi asam lambung diikuti pneumonitis aspirasi. Zacchi melakukan studi yang

menunjukkan bahwa pada penderita obesitas tanpa gejala gastro-esofageal refluks dan

lintasan gastro-esofageal ternyata struktur anatominya tidak berbeda dengan orang normal

(baik pada posisi duduk atau berbaring). Walaupun penderita obesitas memiliki volume

dalam gasternya 75 persen lebih besar dari orang normal, melalui studi tersebut juga

15

Page 16: Referat Riana

diketahui bahwa pengosongan gaster justru lebih cepat pada penderita obesitas, terutama pada

intake energi tinggi seperti emulsi lemak. Karena adanya resiko aspirasi asam, maka ada

keharusan diberikannya H2-receptor antagonis, antasid dan prokinetik, juga dilakukannya

induksi yang cepat dengan tekanan pada krikoid dan ekstubasi trakea ketika pasien sadar

penuh. Keadaan pada penderita obesitas yang menjadi perhatian sehubungan dengan sistem

gastrointestinal, diantaranya :

Diabetes mellitus.

Setiap penderita obesitas yang akan menjalani operasi, harus diperiksa gula darahnya,

baik gula darah sewaktu atau dapat juga dilakukan tes toleransi glukosa. Respon

katabolik selama operasi mungkin mengindikasikan pemberian insulin pascaoperasi

untuk mengontrol konsentrasi glukosa dalam darah. Kegagalan dalam menjaga

konsentrasi ini akan berakibat tingginya resiko infeksi pada luka operasi dan infark

miokard pada periode iskemia miokard.

Penyakit tromboembolik.

Resiko trombosis vena dalam pada penderita obesitas dapat disebabkan karena

imobilisasi yang lama. Polisitemia, peningkatan tekanan intraabdomen dengan

peningkatan stasis vena terutama pada ekstremitas bawah, gagal jantung dan

berkurangnya aktivitas fibrinolitik yang menyebabkan tingginya konsentrasi

fibrinogen juga menjadi predisposisi terjadinya keadaan ini. Oleh karena itu pada

penderita obesitas harus ada pengawasan terhadap keadaan-keadaan tersebut.

16

Page 17: Referat Riana

BAB III

RESUME

Overweight didefinisikan sebagai BMI ≥24 kg/m2, obesitas BMI ≥ 30, dan morbit obesitas

(obesitas ekstrim) ≥ BMI 40. 

 

• Obesitas dikaitkan dengan banyak penyakit, termasuk diabetes mellitus tipe II, hipertensi,

penyakit arteri koroner, dan cholelithiasis. (The triad obesitas,  hipertensi, dan

diabetes tipe II adalah sindrom metabolik).

• Oksigen demand, produksi CO2, dan ventilasi alveolar yang tinggi karena tingkat

metabolisme yang sebanding dengan berat badan.

• Jaringan lemak yang berlebihan pada dada menyebabkan berkurang complience dinding

dada meskipun compience paru-paru tetap normal.

• Peningkatan massa abdoment akan menekan diafragma ke arah  cephalad, yang dapat

membatasi volume paru-paru seperti penyakit paru-paru restrictif.

• enurunan volume paru-paru akibat penekanan saat posisi  supine dan posisi

Trendelenburg. Khusus, fungsional residual kapasiti dapat turun di bawah closing

cavasitas . Jika ini terjadi, beberapa alveoli akan menutup selama ventilasi normal

tidal volume, dan akan menyebabkan sebuahmismatch  ventilasi / perfusi.

• Pasien obesitas sering ditemukan hipoksia, hanya sedikit yang hypercapni, sehingga kita

harus waspada terhadap komplikasi akan datang.

• Sindrome Obesitas-hypoventilation (sindrom pickwickian) merupakan komplikasi dari

obesitas ekstrim ditandai dengan hiperkapnia, cyanosis-induced polisitemia, gagal

jantung kanan, dan somnolen.

• Pasien juga  mengalami blunted respiratory drive dan sering mendengkur keras serta

obstruksi jalan napas atas saat tidur (Obstruktiv sleep apnea syndrome  [OSAS].

OSAS juga berhubungan dengan peningkatan komplikasi perioperatif termasuk

hipertensi, hipoksia, aritmia, infark miokard, edema paru, dan stroke.

17

Page 18: Referat Riana

• Kesulitan manajemen jalan  napas selama induksi dan obstruksi jalan napas atas selama

pemulihan harus diantisipasi. Pasien sangat rentan selama periode pasca operasi jika

opioid atau obat penenang lainnya telah diberikan, dan jika pasien ditempatkan

telentang, membuat saluran napas bagian atas lebih rentan terhadap gangguan.

• Untuk pasien yang diketahui atau dicurigai OSAS, Postoperatip harus dipertimbangkan

pemberian continuous positive airway pressure (CPAP) sampai dekter anestesi yakin

bahwa pasien dapat melindungi jalan napas-nya dan menjaga ventilasi spontan tanpa

adanya tanda obstruksi.

• Jantung juga memiliki beban kerja meningkat, cardiac output dan volume darah meningkat

untuk tambahan perfusi penyimpanan lemak. Peningkatan cardiac output (0,1 L /

menit / kg jaringan adiposa) dicapai melalui peningkatan stroke volume-sebagai

kompensasi dari denyut jantung sehingga sering menyebabkanarterial  hipertensi dan

hipertrofi ventrikel kiri.

• Peningkatan aliran darah arteri paru dan vasokonstriksi paru dari hipoksia persisten dapat

menyebabkan hipertensi pulmonal dan cor pulmonale.

• Obesitas juga berkaitan dengan patofisiologi gastrointestinal, termasuk hernia hiatus, reflux

gastroesofagus, lambatnnya pengosongan lambung, dan hyperacidic cairan lambung,

serta peningkatan risiko kanker lambung.

• Infiltrasi lemak di hati juga terjadi dan dapat dikaitkan dengan tes hati abnormal.

PERTIMBANGAN ANASTESI

Preoperative

• Pasien obesitas pada peningkatan risiko untuk pneumonia aspirasi. Rutin pretreatment

dengan antagonis H2 dan metoklopramid harus dipertimbangkan.

• Premedikasi dengan obat depresan pernafasan harus dihindari pada pasien dengan bukti

hipoksia pra operasi, hiperkapnia, atau slep apnea obstruktif.

• Suntikan intramuskular sering tidak dapat diandalkan karena ketebalan dari jaringan

adiposa.

• Evaluasi pra operasi pasien sangat gemuk menjalani operasi besar harus dinilai cadangan

cardiopulmonary dengan radiograf dada, ECG, analisa gas darah arteri, dan tes fungsi

paru.

18

Page 19: Referat Riana

• Fisik klasik tanda-tanda gagal jantung (misalnya, edema sakral) mungkin sulit untuk

diidentifikasi. tekanan darah harus diambil dengan menset sesuai ukuran.

• Tempat akses Intravena dan intraarterial harus diperiksa untuk mengantisipasi kesulitan

teknis. Perhatian khusus harus diberikan pada saluran napas pada pasien obesitas

karena mereka sering sulit untuk intubasi sebagai akibat dari mobilitas terbatas sendi

temporomandobula dan atlantooccipital, jalan napas bagian atas yang menyempit, dan

jarak yang  pendek diantara bantalan lemak rahang bawah dan sternum.

Intraoperative

• Karena risiko aspirasi, pasien obesitas biasanya di  intubasi boleh dengan semua agen

anestesi umum tetapi dengan  durasi yang lebih  pendek.

• Selain itu, ventilasi dikontrol dengan volume pasang besar sering memberikan oksigenasi

lebih baik daripada dangkal, napas spontan.

• Jika intubasi tampaknya akan sulit, awake intubating dengan bronkoskop serat optik sangat

dianjurkan.

• Nafas suara mungkin sulit untuk di dilai; konfirmasi intubasi trakea membutuhkan deteksi

end tidal CO2. Bahkan ventilasi kontrol mungkin memerlukan konsentrasi oksigen

yang relatif tinggi terinspirasi untuk mencegah hipoksia, terutama posisi  lithotomi,

Trendelenburg, atau posisi prone.

• Subdiaphragmatic laparotomi abdominal dapat menyebabkan kerusakan lebih lanjut dari

fungsi paru dan penurunan tekanan darah arteri dengan rusaknnya venous return.

• Penambahan tekanan akhir ekspirasi positif memperburuk hipertensi paru pada beberapa

pasien dengan obesitas ekstrim.

• Anestetik volatil dapat dimetabolisme lebih luas pada pasien obesitas. Ini adalah perhatian

khusus sehubungan dengan defluorination dari halothane. peingkatkan metabolisme

dan kecenderungan untuk hipoksia dapat menjelaskan peningkatan kejadian hepatitis

halothane pada pasien obesitas.

• Anestesi volatil menyebar perlahan-lahan ke lemak yang disimpan yang meningkatkan

19

Page 20: Referat Riana

reservoir lemak memiliki sedikit efek klinis pada waktu bangun, bahkan selama

prosedur pembedahan yang lama. Secara teoritis, cadangan lemak yang besar akan

miningkatkan volume distribusi obat larut lemak (misalnya, benzodiazepine, opioid).

Dengan demikian, loading dosis yang lebih besar akan diperlukan untuk

menghasilkan konsentrasi plasma yang sama. Ini adalah alasan rasional untuk

mendasarkan beberapa dosis obat pada berat badan pada pasien obesitas. Dengan

alasan yang sama, dosis pemeliharaan harus diberikan lebih jarang karena clearance

diharapkan akan lebih lambat dengan volume yang lebih besar distribusi.

• Sebaliknya, obat yang larut dalam air (misalnya, NMBAs) memiliki volume distribusi yang

jauh lebih terbatas, yang seharusnya tidak dipengaruhi oleh cadangan lemak. Dosis

obat ini sehingga harus didasarkan pada berat badan ideal untuk menghindari

overdosis. 

• Kesulitan teknis terkait dengan anestesi regional telah disebutkan. Meskipun dosis

persyaratan untuk anestesi epidural dan spinal sulit diprediksi, pasien obesitas

biasanya membutuhkan anestesi lokal kurang 20-25% karena lemak epiduraldan

distended vena epidural. Tingkat blokade yang  tinggi dengan mudah dapat

membahayakan pernafasan. Anestesi continous epidural memiliki keuntungan

meredakan nyeri dan menurunkan komplikasi pernafasan pada periode pasca operasi.

Pascaoperasi

• Kegagalan pernafasan adalah masalah utama pasca operasi pasien sangat gemuk.

Peningkatan Risiko hipoksia pasca operasi bisa karena  hipoksia pra operasi dan

operasi yang melibatkan thoraks atau abdomen bagian atas (terutama insisi vertikal).

• Extubation harus ditunda sampai dampak NMBAs reverse secara komplek dan pasien

benar-benar sadar.

• Seorang pasien gemuk harus tetap terintubasi sampai tidak ada keraguan bahwa udara yang

memadai dan volume tidal dapat dipertahankan. Ini tidak berarti bahwa semua pasien

obesitas perlu tetap terventilator semalaman di unit perawatan intensif.

• Jika pasien extubasi di ruang operasi, oksigen tambahan harus disediakan selama

transportasi ke ruang pemulihan.

• Modifikasi  posisi duduk 45° akan menurunkan diafragma dan meningkatkan ventilasi dan

oksigenasi.

20

Page 21: Referat Riana

• Risiko hipoksia meluas selama beberapa hari ke periode pasca operasi, dan oksigen

tambahan harus tersedia rutin.

• Lainnya komplikasi pascaoperasi umum pada pasien obesitas meliputi luka infeksi,

trombosis vena dalam dan emboli paru.15

21

Page 22: Referat Riana

BAB IV

KESIMPULAN

Obesitas menjadi kendala tersendiri bagi praktisi medis baik penanganan secara umum

maupun ketika dihadapkan dengan pertimbangan anestesi yang akan dilakukan. Hal ini

karena pada pasien obesitas, tiga masalah utamanya adalah masalah kardiovaskular, respirasi

dan gastrointestinal yang tiap penangannya juga berbeda-beda. Maka bagi seorang dokter,

perlu pemahaman menyeluruh tentang apa yang harus dilakukan untuk keadaan seperti ini.

Dalam kaitan dengan anestesi, yang terpenting adalah setiap pasien yang akan menjalani

operasi atau dilakukan anestesi, perlu dimonitor berat badan, kelainan-kelainan yang

menyertai kondisi pasien atau kemungkinan kendala yang akan dihadapi saat operasi atau

pasca operasi. Pada premedikasi di ruangan atau di OK, pasien dipersiapkan secara baik dan

dilakukan pengamatan akan kelainan metabolik yang mungkin ada. Jika harus diberikan

terapi oral atau lainnya, maka dapat dilakukan konsultasi dengan bagian lain. Proses

pemindahan pasien juga harus diperhatikan. Durante operasi, pemilihan jenis anestesi harus

diperhatikan, apakah nantinya dilakukan intubasi sadar atau tidak, obat-obatan yang boleh

dan tidak boleh diberikan, posisi pasien selama operasi tersebut dan pengamatan akan

metabolik pasien. Pasca operasi tidak boleh dilupakan, mengingat kemungkinan banyaknya

kejadian penurunan keadaan pasien dibanding sebelum operasi. Premedikasi atau durante

operasi atau durante anestesi tidak bisa meramalkan keadaan pasien setelahnya. Bahkan bisa

terjadi efek samping lambat baik dari tindakan yang dilakukan maupun obat-obatan yang

diberikan. Diperlukan kerjasama yang baik, dari dokter dan perawat anestesi, dokter penyakit

dalam maupun dokter bedah sehingga keberhasilan kesemuanya dapat tercapai.

22