Top Banner
REFERAT RHINITIS ALERGI Pembimbing : dr. Susi, Sp.THT Disusun oleh : Winda Rizki Eriani FK UPN Ahmad Danial FK UPN Fenny FK UPH Dwi Rosid FK YARSI KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT RUMAH SAKIT PUSAT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SUBROTO JAKARTA 1
40

Referat Rhinitis Alergi

Feb 16, 2016

Download

Documents

Rezka Octaviano

Rinitis alergi adalah kelainan berupa inflamasi pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Referat Rhinitis Alergi

REFERAT

RHINITIS ALERGI

Pembimbing :

dr. Susi, Sp.THT

Disusun oleh :

Winda Rizki Eriani FK UPN

Ahmad Danial FK UPN

Fenny FK UPH

Dwi Rosid FK YARSI

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT

RUMAH SAKIT PUSAT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT

SUBROTO JAKARTA

PERIODE 24 NOVEMBER – 27 DESEMBER 2014

1

Page 2: Referat Rhinitis Alergi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan

rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan Referat dengan judul “RHINITIS

ALERGI”. Referat ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti ujian kepaniteraan klinik

Pendidikan Profesi Dokter di Bagian Ilmu Penyakit THT Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat.

Referat ini sedikit banyak membahas mengenai penyakit yang menjadi masalah-

masalah di berbagai negara berkembang termasuk Indonesia. Hanya sebagian masalah kecil

yang penulis bahas, namun diharapkan referat ini bisa memberikan sedikit pengetahuan

kepada para pembaca mengenai penyakit ini.

Dalam menyelesaikan tugas ini penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada dr. Susi, Sp.THT selaku dokter pembimbing dan teman-teman Co-Ass yang

telah membantu dalam proses pembuatan referat ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Referat ini banyak terdapat kekurangan dan

juga masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat

membangun dari pembaca. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi teman-teman dan semua

pihak yang berkepentingan bagi pengembangan ilmu kedokteran. Amin.

Jakarta, Desember 2014

Penulis

2

Page 3: Referat Rhinitis Alergi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……………………………………..……………….. i

LEMBAR PENGESAHAN ……………………………………..………… ii

KATA PENGANTAR …………………………………………………… iii

DAFTAR ISI ………………………………………………………………. iv

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………….. 1

I.1. Latar Belakang ………………….…………………………….. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA …………………………………….…. 3

II.1. Anatomi Fisiologi Pankreas…………………………………. 3

II.2Diabetes Melitus………………………………... ..................... 5

II.2.1. Definisi………………………..……………………........... 5

II.2.2. Klasifikasi………………………..…………………….......... 5

II.2.3. Patofisiologi………………………..……………………...... 7

II.2.4. Diagnosis………………………..……………..............….. 9

II.2.5. Terapi………………………..………......……………........ 11

II.3. Buah Pare………………………..……………………............ 16

II.3.1. Jenis-jenis Tanaman Pare………………………..……...... 16

II.3.2. Klasifikasi………………………..……............................ 18

II.3.3. Kandungan Kimia………………………..……...... .......... 18

BAB III PENUTUP ………………………..……………………............. 20

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………….….. 21

3

Page 4: Referat Rhinitis Alergi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rinitis alergi adalah kelainan berupa inflamasi pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.1,2

Rinitis alergi terdapat pada lebih kurang 40 juta penduduk amerika. Rinitis ditemukan di semua ras manusia, pada anak-anak lebih sering terjadi terutama anak laki-laki. Memasuki usia dewasa, prevalensi laki-laki dan perempuan sama. Insidensi tertinggi terdapat pada anak-anak dan dewasa muda dengan rerata pada usia 8-11 tahun, sekitar 80% kasus rinitis alergi berkembang mulai dari usia 20 tahun. Insidensi rinitis alergi pada anak-anak 40% dan menurun sejalan dengan usia sehingga pada usia senja rinitis alergi jarang ditemukan. 1,2

Di Indonesia, angka kejadian rhinitis alergi yang pasti belum diketahui karena sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian multisenter. Prevalensi rhinitis alergi perenial di Jakarta besarnya sekitar 20 %, sedangkan menurut Sumarman dan Haryanto tahun 1999, di daerah padat penduduk kota Bandung menunjukkan 6,98 %, di mana prevalensi pada usia 12-39 tahun. Berdasarkan survei dari ISAAC (International Study of Asthma and Allergies in Childhood), pada siswa SMP umur 13-14 tahun di Semarang tahun 2001- 2002, prevalensi rinitis alergi sebesar 18%.3,4

1.2. Tujuan Penulisan

Penulisan referat ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui anatomi hidung

2. Mengetahui fisiologi hidung

3. Mengetahui Definisi, Klasifikasi, Patofisiologi, dan Pemeriksaan dan

Penatalaksanaan pada penyakit rhinitis alergi.

1.3 Manfaat penulisan

Manfaat penulisan referat ini adalah :

Bagi penulis:

1. Sebagai tugas dalam menyelesaikan Program Pendidikan Profesi Dokter di bagian

Ilmu Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT RSPAD Gatot Subroto Jakarta.

2. Menambah pengetahuan dalam bidang Ilmu Penyakit THT khususnya pada kasus

Rhinitis Alergi.

4

Page 5: Referat Rhinitis Alergi

Bagi pembaca:

Sebagai bahan bacaan untuk menambah pengetahuan dalam bidang Ilmu Penyakit

THT, terutama mengenai kasus Rhinitis Alergi.

5

Page 6: Referat Rhinitis Alergi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II. 1. ANATOMI HIDUNG

II. 1. 1. Anatomi Hidung Luar

Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar

menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas; struktur hidung luar dibedakan

atas tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat digerakkan; di bawahnya

terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan; dan yang paling bawah adalah

lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk hidung luar seperti piramid dengan

bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung

(dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip), 4) ala nasi, 5) kolumela, dan 6) lubang hidung

(nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi

oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau

menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) ,

2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan kerangka

tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah

hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis

lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior

kartilago septum.(5)

Anatomi Hidung Luar

6

Page 7: Referat Rhinitis Alergi

II. 1. 2. Anatomi Hidung Dalam

Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.internum di

sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari

nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior, konka

media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan

meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut meatus media

dan sebelah atas konka media disebut meatus superior.(5)

Anatomi Hidung Dalam

1. Septum Nasi

Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian

posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh

kartilago septum (kuadrilateral), premaksila dan kolumela membranosa; bagian

posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila, krista palatine serta krista

sfenoid.(5)

7

Page 8: Referat Rhinitis Alergi

2. Kavum Nasi

Kavum nasi terdiri dari : (5)

Dasar hidung

Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus

horizontal os palatum.

Atap hidung

Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal,

prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid.

Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh

filament-filamen n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus

olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial

konka superior.

Dinding Lateral

Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila,

os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os

etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina

pterigoideus medial.

Konka

Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka ; celah antara

konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior ; celah antara konka

media dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka media

disebut meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka

suprema) yang teratas. Konka suprema, konka superior, dan konka media

berasal dari massa lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior merupakan

tulang tersendiri yang melekat pada maksila bagian superior dan palatum.

3. Meatus superior

Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara

septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel etmoid

posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa ostium yang

besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid

terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sfenoid.(5)

4. Meatus media

8

Page 9: Referat Rhinitis Alergi

Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih

luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila,

sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media

yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan

sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk

bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang

dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk

tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas

infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh salah

satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior

biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya

bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus

frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal mempunyai

ostium tersendiri di depan infundibulum.(5)

5. Meatus Inferior

Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai

muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di

belakang batas posterior nostril.(5)

6. Nares

Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan

nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap nares

posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum, bagian dalam

oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar oleh

lamina pterigoideus. Di bahgian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus

yang terdiri atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris

merupakan sinus paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang

irregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke

arah apeks prosesus zygomatikus os maksilla. Sinus paranasal adalah rongga-rongga

di dalam tulang kepala yang berisi udara yang berkembang dari dasar tengkorak

hingga bagian prosesus alveolaris dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung

hingga bagian inferomedial dari orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut

terbentuk oleh pseudostratified columnar epithelium yang berhubungan melalui

ostium dengan lapisan epitel dari rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah

mukus yang menghasilkan sel-sel goblet.(5)

9

Page 10: Referat Rhinitis Alergi

7. Kompleks ostiomeatal (KOM)

Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang

berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus paranasal

gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media dan lamina

papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus

unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan

ressus frontal.

Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret

yang keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit

infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal sekret

akan keluar melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai serambi depan

sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung menuju ke

infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus dan konka

media.(5)

Kompleks Ostiomeatal

II. 1. 3. Vaskularisasi Rongga Hidung

Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri ethmoidalis anterior dan

posterior sebagai cabang dari arteri oftalmika. Bagian bawah rongga hidung mendapat

pendarahan dari arteri maxilaris interna. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari

cabang-cabang arteri fasialis. Vena hidung memiliki nama yang sama dan berjalan

berdampingan dengan arterinya. Plexus Kiesselbach merupakan anyaman pembuluh darah

pada septum nasi bagian anterior.(6)

Pembuluh darah yang membentuknya adalah arteri nasalis septum anterior &

posterior, arteri palatina mayor, dan arteri labialis superior. Pecahnya plexus Kiesselbach

biasanya akan menyebabkan epistaksis anterior.(6)

10

Page 11: Referat Rhinitis Alergi

II. 1. 4. Persarafan Rongga Hidung

Rongga hidung bagian depan dan atas mendapat persarafan sensoris dari nervus

nasalis anterior cabang dari nervus ethmoidalis anterior. Rongga hidung bagian lainnya

mendapat persarafan sensoris dari nervus maxilla. Persarafan parasimpatis rongga hidung

berasal dari nervus nasalis posterior inferior & superior cabang dari ganglion

sphenopalatina. Persarafan simpatis berasal dari ganglion cervical superior. Efek

persarafan parasimpatis pada cavum nasi yaitu sekresi mukus dan vasodilatasi. Dalam

rongga hidung, terdapat serabut saraf pembau yang dilengkapi sel-sel pembau. Setiap sel

pembau memiliki rambut-rambut halus (silia olfaktoria) di ujungnya dan selaput lendir

meliputinya untuk melembabkan rongga hidung.(6)

II. 2. FISIOLOGI HIDUNG

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologis

hidung dan sinus paranasal adalah: 1) sebagai jalan nafas; 2) pengatur kondisi udara (air

conditioning); 3) sebagai penyaring dan pelindung; 4) indra penghidu; 5) resonansi suara;

6) proses bicara; 7) refleks nasal.(7)

1. Sebagai jalan nafas

11

Page 12: Referat Rhinitis Alergi

Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi

konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara

ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan

kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian

depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran

dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.(7)

2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)

Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan

udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara : (7)

a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada

musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini

sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.

b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di

bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga

radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah

melalui hidung kurang lebih 37o C.

3. Sebagai penyaring dan pelindung

Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri

dan dilakukan oleh : (7)

Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi

Silia

Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut

lendir dan partikel – partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks

bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.

Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime.

4. Indra penghidu

Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa

olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.

Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau

bila menarik nafas dengan kuat. (7)

5. Resonansi suara

12

Page 13: Referat Rhinitis Alergi

Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung

akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau.(7)

6. Proses bicara

Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana

rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran

udara.(7)

7. Refleks nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran

cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan

refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar

liur, lambung dan pankreas.(7)

13

Page 14: Referat Rhinitis Alergi

II. 3. RINITIS ALERGI

II. 3. 1. DEFINISI

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada

pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta

dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik

tersebut (Von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on

Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa

gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.(8)

II. 3. 2. PATOFISIOLOGI

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap

sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase

yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang

berlangsung sejak kotak dengan allergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic

Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak

6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.(8)

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit

yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen

yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk

fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek

peptide MHC kelas II (Major Histocompability Complex) yang kemudian dipresentasikan

pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti Interleukin 1 (IL

1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2.(8)

14

Page 15: Referat Rhinitis Alergi

Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan

IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B

menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan

masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel

mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang

menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar

dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi

degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator

kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamine. Selain histamine

juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien

D4 (LT D4), Leukotrien C4(LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan

berbagai sitokin. (IL 3, IL 4, IL 5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony

Stimulating Factor) dll. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). (8)

Selain histamine merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan

pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1

(ICAM 1). Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang

menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak

berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah

pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi

seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan

sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-

CSF) dan ICAM 1 pada secret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif

hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti

Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic

Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik

15

Page 16: Referat Rhinitis Alergi

(alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau

yang merangsang , perubahan cuaca dan kelembapan udara yang tinggi.(8)

MEKANISME TERJADINYA NASAL ALLERGY SYNDROME PADA RINITIS

ALERGI

Nasal Allergy Syndrome terdiri dari sneezing, itching, obstruksi nasi dan rhinorrhea.

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan

rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Gatal pada hidung dan bersin-bersin mewakili

gejala karakteristik utama selain obstruksi hidung dan rhinorrhea pada rhinitis alergi. Mukosa

hidung diinervasi oleh saraf sensoris, simpatik dan parasimpatik. Transmisi sinyal saraf

sensoris menghasilkan sensasi gatal dan refleks motorik seperti bersin sedangkan refleks

parasimpatis dan simpatis mengatur sistem kelenjar dan vaskular. Histamine juga akan

menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas

kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat

vasodilatasi sinusoid.(8,9)

MEKANISME HUBUNGAN RINITIS ALERGI DAN ASMA

Meskipun terdapat bukti bahwa rinitis alergi mempengaruhi asma, tetapi mekanisme

yang menghubungkan disfungsi saluran napas atas masih dalam perdebatan. Berbagai teori

diajukan untuk menerangkan hubungan rinitis alergi dan asma antara lain Nasopulmonary

Reflex yaitu refleks sentral yang berasal dari ujung saraf sensorik berjalan menuju susunan

16

Page 17: Referat Rhinitis Alergi

saraf pusat melalui saraf trigeminus, masuk ke serabut eferen lewat saraf vagus dan

menimbulkan kontraksi otot polos bronkus. Lalu meningkatnya inhalasi melalui mulut

terhadap udara dingin, kering atau alergen inhalan akibat dari sumbatan hidung

mengakibatkan mengeringnya sekret dan terjadi spasme bronkus. Drenase post nasal bahan

inflamasi ke saluran napas bawah mengakibatkan penyebaran sel-sel inflamasi melalui

sirkulasi.(10)

II. 3. 3. GAMBARAN HISTOLOGIK

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular bad) dengan

pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mucus. Terdapat juga pembesaran ruang

interseluler dan penebalan membrane basal, serta ditemukan infiltrasi sel sel eosinofil pada

jaringan mukosa dan submukosa hidung.(8)

Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan,

mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus menerus/ persisten

sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi

proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.(8)

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas : (8)

1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya tungau debu

rumah (D. pteronyssinus, D. farinae, B. tropicalis), kecoa, serpihan epitel kulit binatang

(kucing, anjing), rerumputan (Bermuda grass) serta jamur (Aspergillus, Alternaria).(8)

2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi, telur,

coklat, ikan laut, udang kepiting dan kacang-kacangan.(8)

3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan

sengatan lebah.(8)

4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan

kosmetik, perhiasan.(8)

17

Page 18: Referat Rhinitis Alergi

Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga

memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang memberi gejala asma bronkial

dan rinitis alergi.(8)

Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar

terdiri dari : (8)

1. Respons primer :

Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan

dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi

berlanjut menjadi respons sekunder.(8)

2. Respons sekunder :

Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah sistem

imunitas selular atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi

pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau memang sudah ada defek dari sistem

imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respons tertier.(8)

3. Respons tertier :

Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat

sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.(8)

Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi

anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik/sitolitik, tipe 3 atau

reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberkulin (delayed hypersensitivity).(8)

Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai dibidang THT adalah

tipe 1 yaitu rinitis alergi.(8)

18

Page 19: Referat Rhinitis Alergi

II. 3. 4. KLASIFIKASI RINITIS ALERGI

Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu : (8)

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia tidak dikenal rinitis

alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya

spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat ialah

polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada

hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).(8)

2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul intermitten atau

terus menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang

paling sering ialah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan.

Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen diluar rumah

(outdoor). Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya

disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan

fisiologik pada golongan perennial lebih ringan dibandingkan dengan golongan

musimantetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan.(8)

Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO

Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan

sifat berlangsungnya dibagi menjadi(8):

1. Intermiten (kadang-kadang), yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4

minggu.(8)

2. Persisten/ menetap, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.(8)

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi(8):

1. Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai,

berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.(8)

2. Sedang atau berat, yaitu bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas.(8)

19

Page 20: Referat Rhinitis Alergi

II. 3. 5. DIAGNOSIS

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:

1.Anamnesis

Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan

pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja(8). Gejala rinitis

alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan

gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar

debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self

cleaning process). Bersin ini terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang

pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamine. Karena itu perlu ditanyakan adanya

riwayat atopi pada pasien. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak,

hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air

mata keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak-

anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya

gejala yang diutarakan oleh pasien.(8)

2.Pemeriksaan Fisik

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid

disertai adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak

hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik

lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena

stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu

sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung karena gatal, dengan punggung tangan.

Keadaan ini disebut allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan

20

Page 21: Referat Rhinitis Alergi

mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang

disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi,

sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding

posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral

faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).(8)

3.Pemeriksaan Penunjang

In vitro :

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula

pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) seringkali menunjukkan nilai

normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain

rinitis alergi juga menderita asma bronchial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk

prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat

alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio

Imuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan

sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai

pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan

kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (>5sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan,

sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri. (8)

In Vivo :

Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan

atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET), SET dilakukan

untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan allergen dalam berbagai konsentrasi yang

bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat tinggi serta

dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.(8)

Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah

Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku emas dapat

dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”). (8)

Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 5 hari. Karena itu pada

“Challenge Test”, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5

hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan

dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis

makanan.(8)

21

Page 22: Referat Rhinitis Alergi

II. 3. 6. PENATALAKSANAAN

1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen

penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. 11

2. Medikamentosa

a. Antihistamin

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang

bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan

merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini

pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau

tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. 11,12

Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin

generasi 1 (klasik) dan generasi 2 (non-sedatif). Antihistamin generasi 1

bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai

efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk

kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin,

siproheptadin, sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin.

Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar

darah otak. Bersifat selektif mengikat resptor H-1 perifer dan tidak

mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan pada efek pada SSP

minimal (non-sedatif). 11,12

Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta

efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat.

Antihistamin non sedative dapat dibagi menjadi dua golongan menurut

keamananya. Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang

mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan

repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel,

henti jantung dan bahkan kematia medadak (sudah ditarik dari peredaran).

Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan

levosetirisin. 11

22

Page 23: Referat Rhinitis Alergi

Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai

sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan

antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk

beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa. 11

Tabel 1. Antihistamin oral optimal untuk rhinitis alergi

Tabel 2. Efek samping sedasi dari antihistamin

b. Dekongestan

Golongan obat ini tersedia dalam bentuk topikal maupun sistemik.

Onset obat topikal jauh lebih cepat daripada preparat sistemik., namun dapat

menyebabkan rhinitis medikamentosa bila digunakan dalam jangka waktu

lama.12

Obat dekongestan sistemik yang sering digunakan adalah

pseudoephedrine HCl dan Phenylpropanolamin HCl. Obat ini dapat

menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah. Dosis obat ini 15 mg untuk

23

Page 24: Referat Rhinitis Alergi

anak 2-5 tahun, 30 mg untuk anak 6-12 tahun, dan 60 mg untuk dewasa,

diberikan setiap 6 jam. Efek samping dari obat-obatan ini yang paling sering

adalah insomnia dan iritabilitas. 12

c. Antikolinergik

Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromide,

bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor

kolinergik pada permukaan sel efektor. 11

d. Kortikosteroid

Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung

akibat respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering

dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid, flunisolid,

flutikason, mometason, furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal

bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah

pengeluaran protei n sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit,

mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak

hiperresponsif terhadap rangsangan allergen (bekerja pada respon cepat dan

lambat). Preparat sodium kromoglikat topikal bekerja menstabilkan mastosit

(mungkin menghambat ion kalsium) sehingga pelepasan mediator dihambat.

Pada respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan

menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat

dicapai bila diberikan sebagai profilaksis. 11

e. Lainnya

Pengobatan baru lainnya untuk riniris alergi adalah anti leukotrien

(zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan. 11

Menurut penelitian yang dilakukan pada tahun 2006, membuktikan

bahwa pseudoephedrine dan montelukast memiliki efek yang serupa dalam

mengatasi gejala dan memperbaiki kualitas hidup pasien. 13

3. Operatif

Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),

konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila

24

Page 25: Referat Rhinitis Alergi

konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kaeuterisasi

memakai AgNO3 25% atau triklor asetat11

4. Imunoterapi

Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat

dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan

hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG blocking

antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu

intradermal dan sublingual. 11

II. 3. 7. KOMPLIKASI

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah(8) :

1. Polip hidung(8)

Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor

penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.(8)

2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.(8)

3. Sinusitis paranasal.(8)

25

Page 26: Referat Rhinitis Alergi

BAB III

KESIMPULAN

Rinitis Alergi (RA) adalah inflamasi mukosa saluran hidung dan sinus yang

disebabkan alergi terhadap partikel, antara lain: debu, asap, serbuk/tepung sari yang ada di

udara. Gejala utama pada hidung yaitu hidung gatal, tersumbat, bersin-bersin, keluar ingus

cair seperti air bening. Seringkali gejala meliputi mata, yaitu : berair, kemerahan dan gatal.

RA merupakan penyakit umum dan sering dijumpai.

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid

disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak

hipertrofi. Gejala spesifik lain pada anak adalah terdapatnya allergic shiner, allergic salute

dan allergic crease.

Pemeriksaan alergi dengan tes kulit (tes cukit) terhadap berbagai allergen mungkin

dapat menunjang penegakan diagnosis RA.Bila hasil belum dapat mengetahui mungkin

diperlukan tes alergi intra dermal. Pemeriksaan kadar lgE di darah meningkat (tidak spesifik).

Pemeriksaan terhadap lgE spesifik terhadap alergen tertentu.

Pengobatan rhinitis alergi bergantung pada tingkat keparahan penyakit. Namun yang

terpenting adalah dengan menghindari alergen pemicu.

26

Page 27: Referat Rhinitis Alergi

DAFTAR PUSTAKA

1. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Buku Ajar Ilmu Telinga Hidung Tenggorok: Alergi Hidung. Edisi ke-5. Jakarta 2001. Hal 101-6.

2. Ethical Diggest — Semijurnal Farmasi dan Kedokteran. Diagnosis Rhinitis Alergika. Diunduh dari : h t tp://ph y sa l i n . blo g s pot .c o m /2009/1 0 / di a g no s i s - r hini t i s - a l e r g ik a . h t ml. 2009.

3. Lumbanraja PLH. Distribusi Alergen pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU / RSUP H.. Adam Malik Medan. Tesis. Medan : FK USU. 2007.

4. Suprihati. The Prevalence of Allergic Rhinitis and Its Relation to some Risk Factors among 13-14 years old students in Semarang, Indonesia, In : Indonesian Journal of Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery, Vol,XXXV, no 1, Jakarta; 2005 : 64-70.

5. Anatomi dan fisiologi hidung dan sinus paranasal. Available from : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter%20II.pdf . Accesed at : November 25, 2011.

6. Anatomi Hidung. Available from :

http://www.scribd.com/doc/38904487/Anatom i Hidung .Accesed at : November 25,

2011.

7. Anatomi Hidung. Available from :

http://www.scribd.com/doc/52832505/7/AnatomiHidung.Accesed at : November 25,

2011.

8. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Rinitis Alergi. In : Soepardi EA, Iskandae N,

Ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok. 6th ed. Jakarta : Balai

Penerbit FKUI, 2007. p. 128-32.

9. Oliver P, Raap P, Holz M, Hormann K, Klimek L. Pathophisiology of Itching and

Sneezing in Allergic Rhinitis. Dept of Otorhinolaryngology, University Hospital

Mannheim, Germany. Article. Swiss Med Wkly 2009; 139 (3-4). p 35-40.

10. Rinitis Alergi. Available from : http://www.scribd.com/doc/19986753/Rinitis-

Alergi.Accesed at : December 2, 2011.

11. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi ke Enam.

2004. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

12. Oates JA, Wood AJJ. The New England Journal of Medicine: Drug therapy. 1991.

Tersedia di: http://highwire.stanford.edu/. Diunduh pada 8 Januari 2011.

13. Mucha SM, et al. Comparison of Montelukast and Pseudoephedrine in the

Treatnement of Allergic Rhinitis. 2006. Tersedia di: http://highwire.stanford.edu/.

Diunduh pada 8 Januari 2011.

27