BAB IPENDAHULUAN
Paru-paru merupakan unsur elastis yang akan mengempiskan udara
melalui trakea yang dipengaruhi tekanan ruang untuk mempertahankan
keberlangsungan pernafasan. Paru-paru sebenarnya mengapung dalam
rongga toraks, dikelilingi oleh suatu lapisan tipis cairan pleura
yang menjadi pelumas bagi gerakan paru-paru di dalam rongga. Jadi
pada keadaan normal rongga pleura berisi sedikit cairan dengan
tekanan negatif yang ringan. Paru-paru dapat dikembangkempiskan
melalui dua cara, yaitu dengan gerakan naikturunnya diafragma untuk
memperbesar atau memperkecil rongga dada dan dengan depresi dan
elevasi tulang iga untuk memperbesar atau memperkecil diameter
antero-posterior rongga dada.(1)Pneumotoraks adalah keadaan
terdapatnya udara atau gas dalam rongga pleura. Dengan adanya udara
dalam rongga pleura tersebut, maka akan menimbulkan penekanan
terhadap paru-paru sehingga paru-paru tidak dapat mengembang dengan
maksimal sebagaimana biasanya ketika bernafas. Pneumotoraks dapat
terjadi baik secara spontan maupun traumatik. Pneumotoraks spontan
itu sendiri dapat bersifat primer dan sekunder. Sedangkan
pneumotoraks traumatik dapat bersifat iatrogenik dan non
iatrogenik(2).Pada gambaran radiologi, bayangan udara dalam rongga
toraks pada kasus pneumotoraks ditunjukan dengan bayangan
radiolusen tanpa struktur jaringan paru (avascular pattern) dan
batas paru berupa garis radiopak tipis yang berasal dari pleura
viseralis.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
A. EPIDEMIOLOGIInsidensi pneumotoraks sulit diketahui karena
episodenya banyak yang tidak diketahui. Namun, dari sejumlah
penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa pneumotoraks
lebih sering terjadi pada penderita dewasa yang berumur sekitar 40
tahun. Laki-laki lebih sering daripada wanita, dengan perbandingan
5 : 1. (2)Di Amerika Serikat, insidens pneumotoraks spontan primer
pada laki-laki adalah 7,4 kasus per 100.000 orang tiap tahunnya
sementara pada wanita insidensnya adalah 1,2 kasus per 100.000
orang. Sedangkan insidens pneumotoraks spontan sekunder pada
laki-laki adalah 6,3 kasus per 100.000 orang dan wanita 2,0 per
100.000 orang. Pneumotoraks traumatik lebih sering terjadi daripada
pneumotoraks spontan dengan laju yang semakin meningkat
(3).Pneumotoraks spontan primer terjadi pada usia 20 30 tahun
dengan puncak insidens pada usia awal 20-an sedangkan pneumotoraks
spontan sekunder lebih sering terjadi pada usia 60 65 tahun
(3).
B. ANATOMI DAN FISIOLOGIRongga thoraks atau cavitas thoracis
berisi organ vital paru dan jantung. Paru-paru dan pleura mengisi
sebagian besar rongga thoraks dengan jantung di antaranya,
sedangkan aorta descendens serta oeshophagus terletak di belakang
jantung. Pleura terbagi atas 2 lapisan, yaitu: pleura parietalis
dan pleura visceralis. Pleura parietalis merupakan selaput tipis
dari membrana serosa yang melapisi rongga pleura. Pada daerah yang
menghadap mediastinum, pleura ini beralih meliputi paru-paru
sehingga disebut pleura visceralis atau pleura pulmonalis. Pleura
visceralis ini membungkus paru-paru dan melekat erat pada
permukaannya. Ruangan potensial antara kedua lapisan pleura ini
disebut cavitas pleuralis yang hanya berisi lapisan tipis cairan
untuk lubrikasi. (9)Pernapasan berlangsung dengan bantuan gerak
dinding dada. Inspirasi terjadi karena gerak otot pernapasan yaitu
M. intercostalis dan diafragma yang menyebabkan rongga dada
membesar sehingga udara akan terhisap masuk melalui trakea dan
bronkus (8).Jaringan paru dibentuk oleh jutaan alveolus mengembang
dan mengempis bergantung pada membesar atau mengecilnya rongga
dada. Dinding dada yang membesar akan akan menyebabkan paru-paru
mengembang sehingga udara akan terhisap ke dalam alveolus.
Sebaliknya bila M. Intercostalis melemas maka dinding dada akan
mengecil sehingga udara akan terdorong keluar. Sementara itu,
karena adanya tekanan intra abdominal maka diafragma akan terdorong
ke atas apabila tidak berkontraksi. Ketiga faktor ini yaitu
lenturnya dinding thoraks, kekenyalan jaringan paru, dan tekanan
intra abdominal menyebabkan ekspirasi jika M. Intercostalis dan
diafragma kendur dan tidak mempertahankan keadaan inspirasi. Dengan
demikian ekspirasi merupakan kegiatan yang pasif. (8).
Gambar 1. Anatomi Toraks
C. DEFINISIPneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara
atau gas di dalam pleura akibat robeknya pleura atau suatu keadaan
dimana udara terkumpul di dalam kavum pleura sehingga memisahkan
rongga viceralis dengan parietalis yang menyebabkan kolapsnya paru
yang terkena(5).
Gambar 2. Gambaran Pneumotoraks
D. KLASIFIKASIMenurut penyebabnya, pneumotoraks dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu :1. Pneumotoraks spontanYaitu
setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba. Pneumotoraks
tipe ini dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu:a.
Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi secara
tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya. b. Pneumotoraks spontan
sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi dengan didasari oleh
riwayat penyakit paru yang telah dimiliki sebelumnya, misalnya
fibrosis kistik, penyakit paru obstruktik kronis (PPOK), kanker
paru-paru, asma, dan infeksi paru.
2. Pneumotoraks traumatikYaitu pneumotoraks yang terjadi akibat
adanya suatu trauma, baik trauma penetrasi maupun bukan, yang
menyebabkan robeknya pleura, dinding dada maupun paru. Pneumotoraks
tipe ini juga dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu
:a. Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang
terjadi karena jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada,
barotrauma.b. Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks
yang terjadi akibat komplikasi dari tindakan medis. Pneumotoraks
jenis ini pun masih dibedakan menjadi dua, yaitu :1) Pneumotoraks
traumatik iatrogenik aksidentalAdalah suatu pneumotoraks yang
terjadi akibat tindakan medis karena kesalahan atau komplikasi dari
tindakan tersebut, misalnya pada parasentesis dada, biopsi
pleura.2) Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial
(deliberate)Adalah suatu pneumotoraks yang sengaja dilakukan dengan
cara mengisikan udara ke dalam rongga pleura. Biasanya tindakan ini
dilakukan untuk tujuan pengobatan, misalnya pada pengobatan
tuberkulosis sebelum era antibiotik, maupun untuk menilai permukaan
paru.
Berdasarkan jenis fistulanya, maka pneumotoraks dapat
diklasifikasikan ke dalam tiga jenis, yaitu :1. Pneumotoraks
Tertutup (Simple Pneumothorax)Pada tipe ini, pleura dalam keadaan
tertutup (tidak ada jejas terbuka pada dinding dada), sehingga
tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di dalam rongga
ple\ura awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah menjadi
negatif karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada
kondisi tersebut paru belum mengalami re-ekspansi, sehingga masih
ada rongga pleura, meskipun tekanan di dalamnya sudah kembali
negatif. Pada waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan udara di
rongga pleura tetap negatif.
2. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax), Yaitu pneumotoraks
dimana terdapat hubungan antara rongga pleura dengan bronkus yang
merupakan bagian dari dunia luar (terdapat luka terbuka pada dada).
Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama dengan tekanan udara
luar. Pada pneumotoraks terbuka tekanan intrapleura sekitar nol.
Perubahan tekanan ini sesuai dengan perubahan tekanan yang
disebabkan oleh gerakan pernapasan. (4)Pada saat inspirasi tekanan
menjadi negatif dan pada waktu ekspirasi tekanan menjadi positif.
Selain itu, pada saat inspirasi mediastinum dalam keadaan normal,
tetapi pada saat ekspirasi mediastinum bergeser ke arah sisi
dinding dada yang terluka (sucking wound). (2)3. Pneumotoraks
Ventil (Tension Pneumothorax)Adalah pneumotoraks dengan tekanan
intrapleura yang positif dan makin lama makin bertambah besar
karena ada fistel di pleura viseralis yang bersifat ventil. Pada
waktu inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus serta
percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel
yang terbuka. Waktu ekspirasi udara di dalam rongga pleura tidak
dapat keluar. Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura makin lama
makin tinggi dan melebihi tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul
dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering
menimbulkan gagal napas. (4)
Sedangkan menurut luasnya paru yang mengalami kolaps, maka
pneumotoraks dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu (4) :1.
Pneumotoraks parsialis, yaitu pneumotoraks yang menekan pada
sebagian kecil paru (< 50% volume paru).
2. Pneumotoraks totalis, yaitu pneumotoraks yang mengenai
sebagian besar paru (> 50% volume paru).
E. PATOFISIOLOGIAlveoli disangga oleh kapiler yang mempunyai
dinding lemah dan mudah robek, apabila alveol tersebut melebar dan
tekanan di dalam alveol meningkat maka udara dengan mudah menuju ke
jaringan peribronkovaskular. Gerakan nafas yang kuat, infeksi dan
obstruksi endobronkial merupakan beberapa faktor presipitasi yang
memudahkan terjadinya robekan. Selanjutnya udara yang terbebas dari
alveoli dapat mengoyak jaringan fibrotik peribronkovaskular.
Robekan pleura ke arah yang berlawanan dengan hilus akan
menimbulkan pneumotorak sedangkan robekan yang mengarah ke hilus
dapat menimbulkan pneumomediastinum. Dari mediastinum udara mencari
jalan menuju ke atas, ke jaringan ikat yang longgar sehingga mudah
ditembus oleh udara. Dari leher udara menyebar merata ke bawah
kulit leher dan dada yang akhirnya menimbulkan emfisema subkutis.
Emfisema subkutis dapat meluas ke arah perut hingga mencapai
skrotum.Tekanan intrabronkial akan meningkat apabila ada tahanan
pada saluran pernafasan dan akan meningkat lebih besar lagi pada
permulaan batuk, bersin dan mengejan. Peningkatan tekanan
intrabronkial akan mencapai puncak sesaat sebelum batuk, bersin,
mengejan, pada keadaan ini, glotis tertutup. Apabila di bagian
perifer bronki atau alveol ada bagian yang lemah, maka kemungkinan
terjadi robekan bronki atau alveol akan sangat mudah. (20)
F. DIAGNOSIS1. Gejala KlinisBerdasarkan anamnesis, gejala dan
tanda yang sering muncul adalah (2,4,5) :a. Sesak napas, didapatkan
pada hampir 80-100% pasien. Seringkali sesak dirasakan mendadak dan
makin lama makin berat. Penderita bernapas tersengal,
pendek-pendek, dengan mulut terbuka.b. Nyeri dada, yang didapatkan
pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan tajam pada sisi yang sakit,
terasa berat, tertekan dan terasa lebih nyeri pada gerak
pernapasan.c. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien.d.
Denyut jantung meningkat.e. Kulit mungkin tampak sianosis karena
kadar oksigen darah yang kurang.f. Tidak menunjukkan gejala
(silent) yang terdapat pada 5-10% pasien, biasanya pada jenis
pneumotoraks spontan primer.
2. Pemeriksaan FisisPada pemeriksaan fisik torak didapatkan
(3,4) :a. Inspeksi : 1) Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang
sakit (hiper ekspansi dinding dada)2) Pada waktu inspirasi, bagian
yang sakit gerakannya tertinggal3) Trakea dan jantung terdorong ke
sisi yang sehatb. Palpasi :1) Pada sisi yang sakit, ruang antar iga
dapat normal atau melebar2) Iktus jantung terdorong ke sisi toraks
yang sehat3) Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang
sakitc. Perkusi :1) Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai
timpani dan tidak menggetar2) Batas jantung terdorong ke arah
toraks yang sehat, apabila tekanan intrapleura tinggid. Auskultasi
:1) Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang2)
Suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni
negative
3. Gambaran Radiologia. Foto Thoraks Untuk mendiagnosis
pneumotoraks pada foto thoraks dapat ditegakkan dengan melihat
tanda-tanda sebagai berikut : Adanya gambaran hiperlusen avaskular
pada hemitoraks yang mengalami pneumotoraks. Hiperlusen avaskular
menunjukkan paru yang mengalami pneumothoraks dengan paru yang
kolaps memberikan gambaran radioopak. Bagian paru yang kolaps dan
yang mengalami pneumotoraks dipisahkan oleh batas paru kolaps
berupa garis radioopak tipis yang berasal dari pleura visceralis,
yang biasa dikenal sebagai pleural white line.
Gambar 1. Tanda panah menunjukkan pneumothorax line. (dikutip
dari kepustakaan 7)
Gambar 2. Foto R pneumotoraks (PA), bagian yang ditunjukkan
dengan anak panah merupakan bagian paru yang kolaps.(dikutip dari
kepustakaan 3)
Untuk mendeteksi pneumotoraks pada foto dada posisi supine pada
orang dewasa maka tanda yang dicari adalah adanya deep sulcus sign.
(11) Normalnya, sudut kostofrenikus berbentuk lancip dan rongga
pleura menembus lebih jauh ke bawah hingga daerah lateral dari
hepar dan lien. Jika terdapat udara pada rongga pleura, maka sudut
kostofrenikus menjadi lebih dalam daripada biasanya. Oleh karena
itu, seorang klinisi harus lebih berhati-hati saat menemukan sudut
kostofrenikus yang lebih dalam daripada biasanya atau jika
menemukan sudut kostofrenikus menjadi semakin dalam dan lancip pada
foto dada serial. Jika hal ini terjadi maka pasien sebaiknya difoto
ulang dengan posisi tegak. Selain deep sulcus sign, terdapat tanda
lain pneumotoraks berupa tepi jantung yang terlihat lebih tajam.
Keadaan ini biasanya terjadi pada posisi supine di mana udara
berkumpul di daerah anterior tubuh utamanya daerah medial.(11)
Gambar 4. Deep sulcus sign (kiri) dan tension pneumotoraks kiri
disertai deviasi mediastinum kanan dan deep sulcus sign
(kanan).(dikutip dari kepustakaan 7)
Jika pneumotoraks luas maka akan menekan jaringan paru ke arah
hilus atau paru menjadi kolaps di daerah hilus dan mendorong
mediastinum ke arah kontralateral. Jika pneumotoraks semakin
memberat, akan mendorong jantung yang dapat menyebabkan gagal
sirkulasi. Jika keadaan ini terlambat ditangani akan menyebabkan
kematian pada penderita pneumotoraks tersebut. Selain itu, sela iga
menjadi lebih lebar.(6,10) Gambar 5. Pneumotoraks kanan (kiri) dan
tension pneumotoraks (kanan).(dikutip dari kepustakaan 3)
Besarnya kolaps paru bergantung pada banyaknya udara yang dapat
masuk ke dalam rongga pleura. Pada pasien dengan adhesif pleura
(menempelnya pleura parietalis dan pleura viseralis) akibat adanya
reaksi inflamasi sebelumnya maka kolaps paru komplit tidak dapat
terjadi. Hal yang sama juga terjadi pada pasien dengan penyakit
paru difus di mana paru menjadi kaku sehingga tidak memungkinkan
kolaps paru komplit. Pada kedua pasien ini perlu diwaspadai
terjadinya loculated pneumothorax atau encysted pneumothorax.
Keadaan ini terjadi karena udara tidak dapat bergerak bebas akibat
adanya adhesif pleura. Tanda terjadinya loculated pneumothorax
adalah adanya daerah hiperlusen di daerah tepi paru yang berbentuk
seperti cangkang telur. (14)
Foto dada pada pasien pneumotoraks sebaiknya diambil dalam
posisi tegak sebab sulitnya mengidentifikasi pneumotoraks dalam
posisi supinasi. Selain itu, foto dada juga diambil dalam keadaan
ekspirasi penuh. (11)
Gambar 3. Pneumotoraks kanan yang berukuran kecil dalam keadaan
inspirasi (kanan) dan dalam keadaan ekspirasi (kiri).(dikutip dari
kepustakaan 3)
Ekspirasi penuh menyebabkan volume paru berkurang dan relatif
menjadi lebih padat sementara udara dalam rongga pleura tetap
konstan sehingga lebih mudah untuk mendeteksi adanya pneumotoraks
utamanya yang berukuran lebih kecil. Perlu diingat, pneumotoraks
yang terdeteksi pada keadaan ekspirasi penuh akan terlihat lebih
besar daripada ukuran sebenarnya.(11,13)
Emfisema subkutan.(dikutip dari kepustakaan 16)
Bila ada cairan di dalam rongga pleura, maka akan tampak
permukaan cairan sebagai garis datar di atas diafragma; yang biasa
ditemui pada kasus Hidropneumotoraks.
Gambar 9. Hidropneumothoraks.(dikutip dari kepustakaan 17)G.
DIAGNOSIS BANDINGPneumotoraks dapat memberi gejala seperti infark
miokard, emboli paru, dan pneumonia. Pada pasien muda, tinggi,
laki-laki, dan perokok jika setelah difoto diketahui ada
pneumotoraks maka diagnosis umumnya menjurus ke pneumothoraks
spontan primer. Pneumotoraks spontan sekunder kadang-kadang sulit
dibedakan dengan pneumotoraks yang terlokalisasi dari suatu bleb
atau bulla.(2)Dalam radiologi, bleb atau bulla digambarkan sebagai
area yang hiperlusen, dengan dinding bleb atau bulla yang sangat
tipis. Dalam beberapa kasus, dimana bleb atau bulla menyerang 1
lobus paru, dapat memberikan gambaran radiologi yang mirip dengan
pneumotoraks. Untuk membedakannya, dapat dilihat dari daerah yang
hiperlusen apakah pada daerah tersebut terdapat gambaran
vaskularisasi atau tidak. Pada pneumotoraks daerah hiperlusen-nya
tidak terdapat vaskular sehingga biasa disebut hiperlusen
avaskular, sedangkan pada bleb atau bulla terdapat garis-garis
trabekula pada daerah paru yang mengalami bleb atau bulla. Selain
itu, pada bleb atau bulla yang besar, jaringan paru di sekitar
bulla akan mengalami pemadatan yang diakibatkan oleh pendesakan
bulla tersebut kepada jaringan paru. (18)
Gambar 11. Bleb dan bulla paru.(dikutip dari kepustakaan 18)
Gambar 12. Gambaran foto thoraks bulla paru.(dikutip dari
kepustakaan 18)
H. PENATALAKSANAANTujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks
adalah untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura dan menurunkan
kecenderungan untuk kambuh lagi. Pada prinsipnya, penatalaksanaan
pneumotoraks adalah sebagai berikut :1. Observasi dan Pemberian
O2Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga pleura
telah menutup, maka udara yang berada didalam rongga pleura
tersebut akan diresorbsi. Laju resorbsi tersebut akan meningkat
apabila diberikan tambahan O2. Observasi dilakukan dalam beberapa
hari dengan foto toraks serial tiap 12-24 jam pertama selama 2 hari
(2). Tindakan ini terutama ditujukan untuk pneumotoraks tertutup
dan terbuka (4).2. Tindakan dekompresiHal ini sebaiknya dilakukan
seawal mungkin pada kasus pneumotoraks yang luasnya >15%. Pada
intinya, tindakan ini bertujuan untuk mengurangi tekanan intra
pleura dengan membuat hubungan antara rongga pleura dengan udara
luar dengan cara (2) :a. Menusukkan jarum melalui dinding dada
terus masuk rongga pleura, dengan demikian tekanan udara yang
positif di rongga pleura akan berubah menjadi negatif karena
mengalir ke luar melalui jarum tersebut (2), (4).b. Membuat
hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :1) Dapat memakai
infus setJarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke dalam rongga
pleura, kemudian infus set yang telah dipotong pada pangkal
saringan tetesan dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem
penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari
ujung infus set yang berada di dalam botol (2,4).2) Jarum
abbocathJarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan
jarum dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang tetap
di dinding toraks sampai menembus ke rongga pleura, jarum dicabut
dan kanula tetap ditinggal. Kanula ini kemudian dihubungkan dengan
pipa plastik infus set. Pipa infuse ini selanjutnya dimasukkan ke
botol yang berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak
gelembung udara yang keluar dari ujung infuse set yang berada di
dalam botol (2,4).3) Pipa water sealed drainage (WSD)Pipa khusus
(toraks kateter) steril, dimasukkan ke rongga pleura dengan
perantaraan troakar atau dengan bantuan klem penjepit. Pemasukan
troakar dapat dilakukan melalui celah yang telah dibuat dengan
bantuan insisi kulit di sela iga ke-4 pada linea mid aksilaris atau
pada linea aksilaris posterior. Selain itu dapat pula melalui sela
iga ke-2 di garis mid klavikula. Setelah troakar masuk, maka toraks
kateter segera dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian troakar
dicabut, sehingga hanya kateter toraks yang masih tertinggal di
rongga pleura. Selanjutnya ujung kateter toraks yang ada di dada
dan pipa kaca WSD dihubungkan melalui pipa plastik lainnya. Posisi
ujung pipa kaca yang berada di botol sebaiknya berada 2 cm di bawah
permukaan air supaya gelembung udara dapat dengan mudah keluar
melalui perbedaan tekanan tersebut (3), (4).Penghisapan dilakukan
terus-menerus apabila tekanan intrapleura tetap positif.
Penghisapan ini dilakukan dengan memberi tekanan negatif sebesar
10-20 cm H2O, dengan tujuan agar paru cepat mengembang. Apabila
paru telah mengembang maksimal dan tekanan intra pleura sudah
negatif kembali, maka sebelum dicabut dapat dilakukuan uji coba
terlebih dahulu dengan cara pipa dijepit atau ditekuk selama 24
jam. Apabila tekanan dalam rongga pleura kembali menjadi positif
maka pipa belum bisa dicabut. Pencabutan WSD dilakukan pada saat
pasien dalam keadaan ekspirasi maksimal (2).
3. TorakoskopiYaitu suatu tindakan untuk melihat langsung ke
dalam rongga toraks dengan alat bantu torakoskop.
4. Torakotomi 5. Tindakan bedah (4)a. Dengan pembukaan dinding
toraks melalui operasi, kemudian dicari lubang yang menyebabkan
pneumotoraks kemudian dijahitb. Pada pembedahan, apabila ditemukan
penebalan pleura yang menyebabkan paru tidak bias mengembang, maka
dapat dilakukan dekortikasi.c. Dilakukan resesksi bila terdapat
bagian paru yang mengalami robekan atau terdapat fistel dari paru
yang rusakd. Pleurodesis. Masing-masing lapisan pleura yang tebal
dibuang, kemudian kedua pleura dilekatkan satu sama lain di tempat
fistel.6. Penatalaksanaan tambahana. Apabila terdapat proses lain
di paru, maka pengobatan tambahan ditujukan terhadap penyebabnya.
Misalnya : terhadap proses TB paru diberi OAT, terhadap bronkhitis
dengan obstruksi saluran napas diberi antibiotik dan bronkodilator
(4).b. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat
(4).c. Pemberian antibiotik profilaksis setelah setelah tindakan
bedah dapat dipertimbangkan, untuk mengurangi insidensi komplikasi,
seperti emfisema (3). 7. Rehabilitasia. Penderita yang telah sembuh
dari pneumotoraks harus dilakukan pengobatan secara tepat untuk
penyakit dasarnya.b. Untuk sementara waktu, penderita dilarang
mengejan, batuk atau bersin terlalu keras.c. Bila mengalami
kesulitan defekasi karena pemberian antitusif, berilah laksan
ringan.d. Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada
keluhan batuk, sesak napas.
I. PROGNOSISPasien dengan pneumotoraks spontan hampir separuhnya
akan mengalami kekambuhan, setelah sembuh dari observasi maupun
setelah pemasangan tube thoracostomy. Kekambuhan jarang terjadi
pada pasien-pasien pneumotoraks yang dilakukan torakotomi terbuka.
Pasien-pasien yang penatalaksanaannya cukup baik, umumnya tidak
dijumpai komplikasi. Pasien pneumotoraks spontan sekunder
tergantung penyakit paru yang mendasarinya, misalkan pada pasien
PSS dengan PPOK harus lebih berhati-hati karena sangat
berbahaya.
BAB IIIKESIMPULAN
Pneumotoraks merupakan suatu keadaan dimana rongga pleura terisi
oleh udara, sehingga menyebabkan pendesakan terhadap jaringan paru
yang menimbulkan gangguan dalam pengembangannya terhadap rongga
dada saat proses respirasi. Oleh karena itu, pasien dengan
pneumotarks sering mengeluhkan adanya sesak napas dan nyeri dada.
Berdasarkan penyebabnya, pneumotoraks dapat terjadi baik secara
spontan maupun traumatik. Pneumotoraks spontan itu sendiri dapat
bersifat primer dan sekunder. Sedangkan pneumotoraks traumatik
dapat bersifat iatrogenik dan non iatrogenik. Dan menurut fistel
yang terbentuk, maka pneumotoraks dapat bersifat terbuka, tertutup
dan ventil (tension). Dalam menentukan diagnosa pneumotoraks
seringkali didasarkan pada hasil foto rontgen berupa gambaran
radiolusen tanpa adanya corakan bronkovaskuler pada lapang paru
yang terkena, disertai adanya garis putih yang merupakan batas paru
(deep sulcus sign). Dari hasil rontgen juga dapat diketahui
seberapa berat proses yang terjadi melalui luas area paru yang
terkena pendesakan serta kondisi jantung dan trakea. Pada
prinsipnya, penanganan pneumotoraks berupa observasi dan pemberian
O2 yang dilanjutkan dengan dekompresi. Untuk pneumotoraks yang
berat dapat dilakukan tindakan pembedahan. Sedangkan untuk proses
medikasi disesuaikan dengan penyakit yang mendasarinya. Tahap
rehabilitasi juga perlu diperhatikan agar pneumotoraks tidak
terjadi lagi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Ventilasi paru. Dalam :
Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta : EGC; 2007. P.
495-500.2. Hisyam, B. Budiono, Eko. Pneumothoraks spontan. Dalam :
Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus,
Simadibrata. Setiati, Siti (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid II. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006. P.
1063-1068.3. Bascom, R. Pneumothorax. Cited on [26 September 2011].
Available from http://emedicine.medscape.com/article/8275514.
Alsagaff, Hood. Mukty, H. Abdul. Pneumotoraks. Dalam : Dasar-Dasar
Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga University Press. 2009. p.
162-1795. Schiffman, George. Stoppler, Melissa, Conrad.
Pneumothorax (Collapsed Lung). Cited : [26 September 2011].
Available from :
http://www.medicinenet.com/pneumothorax/article.htm6. Ekayuda, I.
Pneumotoraks. Dalam : Radiologi Diagnostik. Edisi Kedua. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI. 2005. P.119-122.7. Alhameed, F.M. Pneumothorax
imaging. Cited on [26 September 2011]. Available from
www.emedicine.com8. Sjamsuhidajat, R. Dinding toraks dan pleura.
Dalam : Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC. 1997. P.404-419.9.
Wibowo, Daniel, S. Paryana, Widjaja. Rongga thorax. Dalam : Anatomi
Tubuh Manusia. Yogyakarta : Graha Ilmu. 2009. P. 209-220.10. Reed,
James, C. Kelainan-kelainan rongga pleura. Dalam : Radiologi
Thoraks. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran. 1995. P.
63-64.11. Ketai, L. H. Pleura and diaphragm. In: Fundamentals of 9
Radiology Second Edition. China. Elsevier Saunders. 2006.
P.172-177.12. Gaillard, Frank. Loculated pneumothorax. Cited on [28
September 2011]. Available from
http://www.radiopedia.org/cases/loculated-pneumothorax13. Felson,
Benjamin. Pneumothorax. In : Chest Roentgenology. Philadelphia : W.
B. Saunders Company. P. 366-372.14. Sutton, David. Pneumothorax. In
: A Textbook of Radiology and Imaging. Vol. 1. 5th edition. London
: Churchill Livingstone. 1992. P. 371-374.15. Radswiki.
Pneumomediastinum. Cited on [28 September 2011]. Available from
http://www.radiopedia.org/cases/pneumomediastinum-416. DSouza,
Donna. Subcutannous emphysema. Cited on [28 September 2011].
Available from
http://www.radiopedia.org/cases/subcutanous-emphysema17. Rao, K, K.
Loculated hydropneumothorax. Cited on [28 September 2011].
Available from
http://www.radiopedia.org/cases/loculated-hydropneumothorax-118.
Massie, J. Robert. Welchons, George A. Pulmonary blebs and bullae.
Cited on [05 Oktober 2011]. Available from
http://www.ncbi.nlm.gov/pmc/articles/PMC1609584/pdf/annsurg01326-0101.pdf19.
Dawes, Laughlin. Subpleural bullae. Cited on [05 Oktober 2011].
Available from
http://www.radiopedia.org/articles/pulmonary-bullae20. Hood
Alsagaff, M. Jusuf Wibisono, Winariani, Buku Ajar Ilmu Penyakit
Paru 2004, LAB/SMF Ilmu Penyakit Paru dan Saluran Nafas FK
UNAIR-RSUD Dr. Soetomo, Surabaya, 2004
2