Top Banner
REFERAT BEDAH PERITONITIS GENERALISATA Disusun Sebagai Tugas Mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) Ilmu Bedah pada Rumah Umum Daerah Kabanjahe Medan Sumatera Utara Pembimbing : dr. Beren Rukur Sembiring, Sp.B Finacs Disusun Oleh : Susan S Fauziah 10310377 RUMAH SAKIT UMUM KABANJAHE PROVINSI SUMATERA UTARA UNIVERSITAS MALAHAYATI BANDAR LAMPUNG TAHUN 2015
44

Referat Peritonitis (Susan)

Dec 11, 2015

Download

Documents

SuzanSFauziah

susan sf
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Referat Peritonitis (Susan)

REFERAT BEDAH

PERITONITIS GENERALISATA

Disusun Sebagai Tugas Mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior (KKS)

Ilmu Bedah pada Rumah Umum Daerah Kabanjahe Medan

Sumatera Utara

Pembimbing :

dr. Beren Rukur Sembiring, Sp.B Finacs

Disusun Oleh :

Susan S Fauziah

10310377

RUMAH SAKIT UMUM KABANJAHE PROVINSI SUMATERA UTARA

UNIVERSITAS MALAHAYATI BANDAR LAMPUNG

TAHUN 2015

Page 2: Referat Peritonitis (Susan)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur bagi Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-

Nya. Sebaik-baiknya shalawat serta salam semoga Allah SWT limpahkan kepada Nabi Besar

Muhammad SAW, beserta seluruh keluaraga dan sahabatnya. Apapun yang tergelar dialam

semesta ini adalah rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul

“ Peritonitis Generalisata”.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih  kepada semua pihak yang telah membantu dalam

penyelesaian makalah ini, sehingga tersusun makalah yang sampai dihadapan pembaca pada saat

ini dan semoga makalah ini mampu menjadi salah satu acuan dalam memberikan kemudahan

untuk memahami maupun mengimplementasikan.

Penulis menyadari sepenuhnya makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karenanya

sangat diharapkan bagi pembaca untuk menyampaikan saran atau kritik yang bersifat membangun demi

tercapainya makalah yang lebih baik untuk selanjutnya. Dan besar harapan penulis semoga

makalah Peritonitis Generalisata ini dapat diterima dan bermanfaat bagi semua pihak yang

membutuhkan.

Terima kasih.

Kabanjahe, September 2015

Penulis

Page 3: Referat Peritonitis (Susan)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................................i

DAFTAR ISI .............................................................................................................................ii

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ..................................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................................1

1.3 Tujuan ...............................................................................................................................2

1.4 Manfaat .............................................................................................................................2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi ..............................................................................................................................3

2.2 Anatomi dan Fisiologi........................................................................................................3

2.3Etiologi ...............................................................................................................................6

2.4 Patofisiologi ......................................................................................................................9

2.5Manifestasi Klinik ............................................................................................................12

2.6Pemeriksaan Penunjang ...................................................................................................17

2.7Tata Laksana …................................................................................................................18

2.8 Komplikasi ......................................................................................................................23

2.9 Prognosis .........................................................................................................................24

BAB III KESIMPULAN .....................................................................................................25

BAB IV DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................26

Page 4: Referat Peritonitis (Susan)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut

(peritonieum).Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan

dinding perut sebelah dalam.Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau

kronik dan patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu

kegawat daruratan  yang biasanya disertai dengan bakterisemia atau sepsis.

Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat

penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus

gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka

tembus abdomen.Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara

inokulasi kecil-kecilan); kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, resistensi yang

menurun, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktor-faktor yang

memudahkan terjadinya peritonitis.

Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap

keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan

mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari kemampuan melakukan

analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Page 5: Referat Peritonitis (Susan)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut

(peritonieum).Peritonieum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan

dinding perut sebelah dalam.Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau

kronik dan patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu

kegawat daruratan  yang biasanya disertai dengan bakterecemia atau sepsis. Akut peritonitis

sering menular dan sering dikaitkan dengan perforasi viskus(secondary peritonitis). Apabila

tidak ditemukan sumber infeksi pada intraabdominal, peritonitis diketagori sebagai primary

peritonitis. (Fauci et al, 2008)

2.2 Anatomi dan Fisiologi

Page 6: Referat Peritonitis (Susan)

Peritoneum merupakan membran yang terdiri dari satu lapis sel mesothel yang dipisah

dari jaringan ikat vaskuler dibawahnya oleh membrane basalis.Ia membentuk kantong tertutup

dimana visera dapat bergerak bebas didalamnya. Peritoneum meliputi rongga abdomen sebagai

peritoneum parietalis dan melekuk ke organ sebagai peritoneum viseralis (Marshall, 2003).

      Luas permukaannya mendekati luas permukaan tubuh yang pada orang dewasa mencapai

1,7m2.Ia berfungsi sebagai membrane semipermeabel untuk difusi 2 arah untuk cairan dan

partikel. Luas permukaan untuk difusi seluas ± 1m2 (Heemken, 1997).

      Pada rongga peritoneum dewasa sehat terdapat ± 100cc cairan peritoneal yang

mengandung protein 3 g/dl.Sebagian besar berupa albumin. Jumlah sel normal adalah

33/mm3 yang terdiri dari 45% makrofag, 45% sel T, 8% sisanya terdiri dari NK, sel B, eosinofil,

dan sel mast serta sekretnya terutama prostasiklin dan PGE2. Bila terjadi peradangan jumlah

PMN dapat meningkat sampai > 3000/mm3 (Marshall, 2003).

      Dalam keadaan normal, 1/3 cairan dalam peritoneum di drainase melalui limfe diafragma

sedang sisanya melalui peritoneum parietalis (Evans, 2001).

      Relaksasi diafragma menimbulkan tekanan negatif sehingga cairan dan partikel termasuk

bakteri akan tersedot ke stomata yaitu celah di mesothel difragma yang berhubungan dengan

lacuna limfe untuk bergerak le limfe substernal. Kontraksi diafragma menutup stomata dan

mendorong limfe ke mediastinum (Hau, 2003).

      Oleh karena itu, sangat penting menjamin berlangsungnya pernapasan spontan yang baik

agar clearance bakteri peritoneum dapat berlangsung (Evans, 2001).

      Dalam keadaan normal, peritoneum dapat mengadakan fibrinolisis dan mencegah

terjadinya perlekatan. Peritoneum menangani infeksi dengan 3 cara:

Page 7: Referat Peritonitis (Susan)

Absorbsi cepat bakteri melalui stomata diafragma

Pompa diafragma akan menarik cairan dan partikel termasuk bakteri kearah stomata.

Oleh karena itu bila terdapat infeksi di peritoneum bagian bawah, bakteri yang turut dalam

aliran dapat bersarang di bagian atas dan dapat menimbulkan sindroma Fitz-Hugh-Curtis, yaitu

nyeri perut atas yang disebabkan perihepatitis yang menyertai infeksi tuba falopii (Evans, 2001).

Peritonitis menyebabkan pergeseran cepat cairan intravaskuler dan intersisiel ke rongga

peritoneum, sehingga dapat terjadi hipovolemia.Empedu, asam lambung, dan enzim pancreas

memperbesar pergeseran cairan ini (Heemken, 1997).

Penghancuran bakteri oleh sel imun

Bakteri atau produknya akan mengaktivasi sel mesothel, netrofil, makrofag, sel mast, dan

limfosit untuk menimbulkan reaksi inflamasi (Iwagaki, 1997).

Selain melepas mediator inflamasi ia dapat mengadakan degranulasi zat vasoaktif yang

mengandung histamine dan prostaglandin. Histamine dan prostaglandin yang dilepas sel mast

dan makrofag menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh peritoneum

sehingga menimbulkan eksudasi cairan kaya komplemen, immunoglobulin, faktor pembekuan,

dan fibrin (Marshall, 2003).

Sudah diketahui bahwa untuk penyembuhan jaringan diperlukan respon mediator pro-

inflamasi di daerah sakit sampai terjadi kesembuhan dimana mulai timbul mediator anti-

inflamasi yang menghentikan proses pro-inflamasi. Keadaan ini menunjukkan adanya

keseimbangan fungsi antara respon pro- dan anti-inflamasi. Tetapi pada keadaan tertentu dapat

terjadi ketidakseimbangan dimana salah satu yaitu: pro-inflamasi atau anti-inflamasi atau bahkan

keduanya sekaligus meningkat hebat diluar kebutuhan penderita. Dalam keadaan ini kedua

Page 8: Referat Peritonitis (Susan)

mediator yang bertentangan dapat menimbulkan kerusakan organ hebat sehingga terjadi

kegagalan organ (Marshall, 2003).

Lokalisasi infeksi sebagai abses

Pada peningkatan permeabilitas venula terjadi eksudasi cairan kaya protein yang

mengandung fibrinogen.Sel rusak mengeluarkan tromboplastin yang mengubah protrombin

menjadi thrombin dan fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin akan menangkap bakteri dan

memprosesnya hingga terbentuk abses. Hal ini dimaksud untuk menghentikan penyebaran

bakteri dalam peritoneum dan mencegah masuknya ke sistemik.Dalam keadaan normal fibrin

dapat dihancurkan antifibrinolitik, tetapi pada inflamasi mekanisme ini tak berfungsi (Evans,

2001).

2.3 Etiologi

Infeksi peritoneal dapat diklasifikasikan sebagai bentuk:

Peritonitis primer (Spontaneus)

Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang langsung dari rongga

peritoneum.Penyebab paling sering dari peritonitis primer adalah spontaneous bacterial

peritonitis  (SBP) akibat penyakit hepar kronis. Kira-kira 10-30% pasien dengan sirosis hepatis

dengan ascites akan berkembang menjadi peritonitis bakterial.

Peritonitis sekunder

Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendicitis, perforasi gaster dan

penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon (paling sering kolon sigmoid) akibat divertikulitis,

volvulus, kanker serta strangulasi usus halus (Brian,2011)

Page 9: Referat Peritonitis (Susan)

Tabel 1. Penyebab Peritonitis Sekunder

Regio Asal Penyebab

Esophagus

Boerhaave syndrome

Malignancy

Trauma (mostly penetrating)

Iatrogenic*

Stomach

Peptic ulcer perforation

Malignancy (eg, adenocarcinoma, lymphoma, gastrointestinal

stromal tumor)

Trauma (mostly penetrating)

Iatrogenic*

Duodenum

Peptic ulcer perforation

Trauma (blunt and penetrating)

Iatrogenic*

Biliary

tract

Cholecystitis

Stone perforation from gallbladder (ie, gallstone ileus) or

common duct

Malignancy

Choledochal cyst (rare)

Trauma (mostly penetrating)

Iatrogenic*

Pancreas Pancreatitis (eg, alcohol, drugs, gallstones)

Trauma (blunt and penetrating)

Page 10: Referat Peritonitis (Susan)

Iatrogenic*

Small

bowel

Ischemic bowel

Incarcerated hernia (internal and external)

Closed loop obstruction

Crohn disease

Malignancy (rare)

Meckel diverticulum

Trauma (mostly penetrating)

Large

bowel and

appendix

Ischemic bowel

Diverticulitis

Malignancy

Ulcerative colitis and Crohn disease

Appendicitis

Colonic volvulus

Trauma (mostly penetrating)

Iatrogenic

Uterus,

salpinx,

and ovaries

Pelvic inflammatory disease (eg, salpingo-oophoritis, tubo-

ovarian abscess, ovarian cyst)

Malignancy (rare)

Trauma (uncommon)

Page 11: Referat Peritonitis (Susan)

Peritonitis tertier

Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman, dan akibat tindakan

operasi sebelumnya

Sedangkan infeksi intraabdomen biasanya dibagi menjadi generalized (peritonitis)

dan localized (abses intra abdomen).

2.4 Patofisiologi

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa.

Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel

menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi.Perlekatan biasanya

menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak

dapat mengakibatkan obstuksi usus (Fauci et al, 2008).

Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami

kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan

kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon

hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak

organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit

oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah

jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia (Fauci et al, 2008).

Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami

oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut

meninggi.Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem

seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan

retroperitoneal menyebabkan hipovolemia.Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan

Page 12: Referat Peritonitis (Susan)

suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen

usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh

menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi (Fauci et al, 2008).

Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi

menyebar, dapat timbul peritonitis umum.Dengan perkembangan peritonitis umum,

aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan

meregang.Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok,

gangguan sirkulasi dan oliguria.Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang

meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus

(Fauci et al, 2008).

Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena

adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha

untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak

disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi

Page 13: Referat Peritonitis (Susan)

obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan

nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada

rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis (Fauci et al, 2008).

Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman S.

Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar. Sebagian

kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai

jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini

komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya

terjadi pada penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala,

batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defansmuskuler, dan keadaan

umum yang merosot karena toksemia (Fauci et al, 2008).

Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum yang mulai di

epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi lambung

dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi

ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut.Nyeri ini timbul mendadak terutama

dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu

dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut menimbulkan nyeri seluruh perut

pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis

kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsangan peritoneum berupa mengenceran zat

asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian

terjadi peritonitis bacteria (Fauci et al, 2008).

Page 14: Referat Peritonitis (Susan)

Pada apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasi

folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi

tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalamibendungan,makin lama mukus

tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan

sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang

mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem

bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti

dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan

akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general (Fauci et al, 2008).

Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen dapat

mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga intra

peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut,

mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses.Rangsangan kimia

onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya

didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala

peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala

karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang biak baru setelah 24 jam timbul

gejala akut abdomen karena perangsangan peritoneum (Fauci et al, 2008).

2.5 Manifestasi Klinis

            Gejala dan tanda biasanya berhubungan dengan proses penyebaran di dalam rongga

abdomen. Bertanya gejala berhubungan dengan beberapa faktor yaitu: lamanya penyakit,

perluasan dari kontaminasi cavum peritoneum dan kemampuan tubuh untuk melawan, usia serta

tingkat kesehatan penderita secara umum (Cole et al,1970).

Page 15: Referat Peritonitis (Susan)

            Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi (1) tanda abdomen yang berasal dari awal

peradangan dan (2) manifestasi dari infeksi sistemik. Penemuan lokal meliputi nyeri abdomen,

nyeri tekan, kekakuan dari dinding abdomen, distensi, adanya udara bebas pada cavum

peritoneum dan menurunnya bising usus yang merupakan tanda iritasi dari peritoneum parietalis

dan menyebabkan ileus. Penemuan sistemik meliputi demam, menggigil, takikardi, berkeringat,

takipneu, gelisah, dehidrasi, oliguria, disorientasi dan pada akhirnya dapat menjadi syok

(Doherty, 2006).

2.5.1 Gejala

Nyeri abdomen

Nyeri abdomen merupakan gejala yang hamper selalu ada pada peritonitis. Nyeri

biasanya datang dengan onset yang tiba-tiba, hebat dan pada penderita dengan perforasi nyerinya

didapatkan pada seluruh bagian abdomen (Doherty, 2006).

Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus, tidak ada henti-

hentinya, rasa seperti terbakar dan timbul dengan berbagai gerakan.Nyeri biasanya lebih terasa

pada daerah dimana terjadi peradangan peritoneum. Menurunnya intensitas dan penyebaran dari

nyeri menandakan adanya lokalisasi dari proses peradangan, ketika intensitasnya bertambah

meningkat diserta dengan perluasan daerah nyeri menandakan penyebaran dari peritonitis

(Schwartz et al, 1989).

Anoreksia, mual, muntah dan demam

Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat diikuti dengan

muntah.Penderita biasanya juga mengeluh haus dan badan terasa seperti demam sering diikuti

dengan menggigil yang hilang timbul.Meningkatnya suhu tubuh biasanya sekitar 38OC sampai

40 OC (Schwartz et al, 1989).

Page 16: Referat Peritonitis (Susan)

Facies Hipocrates

Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates. Gejala ini termasuk ekspresi

yang tampak gelisah, pandangan kosong, mata cowong, kedua telinga menjadi dingin, dan muka

yang tampak pucat (Cole et al,1970).

Penderita dengan peritonitis lanjut dengan fascies Hipocrates biasanya berada pada

stadium pre terminal.Hal ini ditandai dengan posisi mereka berbaring dengan lutut di fleksikan

dan respirasi interkosta yang terbatas karena setiap gerakan dapat menyebabkan nyeri pada

abdomen (Schwartz et al, 1989).

Tanda ini merupakan patognomonis untuk peritonitis berat dengan tingkat kematian yang

tinggi, akan tetapi dengan mengetahui lebih awal diagnosis dan perawatan yang lebih baik,

angka kematian dapat lebih banyak berkurang (Cole et al,1970).

Syok

Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua factor.Pertama akibat

perpindahan cairan intravaskuler ke cavum peritoneum atau ke lumen dari intestinal. Yang

kedua dikarenakan terjadinya sepsis generalisata(Cole et al,1970).

Yang utama dari septicemia pada peritonitis generalisata melibatkan kuman gram

negative diman dapat menyebabkan terjadinya tahap yang menyerupai syok. Mekanisme dari

fenomena ini belum jelas, akan tetapi dari penelitian diketahui bahwa efek dari endotoksin pada

binatang dapat memperlihatkan sindrom atau gejala-gejala yang mirip seperti gambaran yang

terlihat pada manusia (Cole et al,1970).

Page 17: Referat Peritonitis (Susan)

2.5.2 Tanda

Tanda Vital

Tanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan atau komplikasi yang timbul

pada peritonitis.Pada keadaan asidosis metabolic dapat dilihat dari frekuensi pernafasan yang

lebih cepat daripada normal sebagai mekanisme kompensasi untuk mengembalikan ke keadaan

normal.Takikardi, berkurangnya volume nadi perifer dan tekanan nadi yang menyempit dapat

menandakan adanya syok hipovolemik.Hal-hal seperti ini harus segera diketahui dan

pemeriksaan yang lebih lengkap harus dilakukan dengan bagian tertentu mendapat perhatian

khusus untuk mencegah keadaan yang lebih buruk (Schwartzet al, 1989).

Inspeksi

Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya distensi dari

abdomen.Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi abdomen tidak menyingkirkan diagnosis

peritonitis, terutama jika penderita diperiksa pada awal dari perjalanan penyakit, karena dalam

2-3 hari baru terdapat tanda-tanda distensi abdomen. Hal ini terjadi akibat penumpukan dari

cairan eksudat tapi kebanyakan distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik (Cole et al,1970).

Page 18: Referat Peritonitis (Susan)

Auskultasi

Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian. Suara usus dapat bervariasi

dari yang bernada tinggi pada seperti obstruksi intestinal sampai hamper tidak terdengar suara

bising usus pada peritonitis berat dengan ileus. Adanya suara borborygmi dan peristaltic yang

terdengar tanpa stetoskop lebih baik daripada suara perut yang tenang. Ketika suara bernada

tinggi tiba-tiba hilang pada abdomen akut, penyebabnya kemungkinan adalah perforasi dari usus

yang mengalami strangulasi (Cole et al,1970).

Perkusi

Penilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman pemeriksa.Hilangnya

pekak hepar merupakan tanda dari adanya perforasi intestinal, hal ini menandakan adanya udara

bebas dalam cavum peritoneum yang berasal dari intestinal yang mengalami perforasi. Biasanya

ini merupakan tanda awal dari peritonitis (Cole et al,1970).

Jika terjadi pneumoperitoneum karena rupture dari organ berongga, udara akan

menumpuk di bagian kanan abdomen di bawah diafragma, sehingga akan ditemukan pekak hepar

yang menghilang (Schwartz et al, 1989).

Palpasi

Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan abdomen pada kondisi ini.Kaidah

dasar dari pemeriksaan ini adalah dengan palpasi daerah yang kurang terdapat nyeri tekan

sebelum berpindah pada daerah yang dicurigai terdapat nyeri tekan.Ini terutama dilakukan pada

anak dengan palpasi yang kuat langsung pada daerah yang nyeri membuat semua pemeriksaan

tidak berguna.Kelompok orang dengan kelemahan dinding abdomen seperti pada wanita yang

sudah sering melahirkan banyak anak dan orang yang sudah tua, sulit untuk menilai adanya

kekakuan atau spasme dari otot dinding abdomen.Penemuan yang paling penting adalah adanya

Page 19: Referat Peritonitis (Susan)

nyeri tekan yang menetap lebih dari satu titik. Pada stadium lanjut nyeri tekan akan menjadi

lebih luas dan biasanya didapatkan spasme otot abdomen secara involunter. Orang yang cemas

atau yang mudah dirangsang mungkin cukup gelisah, tapi di kebanyakan kasus hal tersebut dapat

dilakukan dengan mengalihkan perhatiannya. Nyeri tekan lepas timbul akibat iritasi dari

peritoneum oleh suatu proses inflamasi. Proses ini dapat terlokalisir pada apendisitis dengan

perforasi local, atau dapat menjadi menyebar seperti pada pancreatitis berat. Nyeri tekan lepas

dapat hanya terlokalisir pada daerah tersebut atau menjalar ke titik peradangan yang

maksimal (Cole et al,1970).

Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot dinding perut melakukan spasme secara

involunter sebagai mekanisme pertahanan.Pada peritonitis, reflek spasme otot menjadi sangat

berat seperti papan (Schwartz et al, 1989).

2.6 Pemeriksaan Penunjang

2.6.1 Laboratorium

Evaluasi laboratotium hanya dilakukan jika adanya hubungan antara riwayat penyakit

dengan pemeriksaan fisik.Tes yang paling sederhana dilakukan adalah termasuk hitung sel darah

dan urinalisis. Pada kasus peritonitis hitung sel darah putih biasanya lebih dari 20.000/mm3,

kecuali pada penderita yang sangat tua atau seseorang yang sebelumnya terdapat infeksi dan

tubuh tidak dapat mengerahkan mekanisme pertahanannya (Cole et al,1970).

Pada perhitungan diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan didominasi oleh

polimorfonuklear yang memberikan bukti adanya peradangan, meskipun jumlah leukosit tidak

menunjukkan peningkatan yang nyata (Schwartz et al, 1989).

Analisa gas darah, serum elektrolit, faal pembekuan darah serta tes fungsi hepar dan

ginjal dapat dilakukan (Doherty, 2006).

Page 20: Referat Peritonitis (Susan)

2.6.2 Radiologi

Pemeriksaan radiologi pada kebanyakan kasus peritonitis hanya mencakup foto thorak

PA dan lateral serta foto polos abdomen. Pada foto thorak dapat memperlihatkan proses

pengisian udara di lobus inferior yang menunjukkan proses intraabdomen. Dengan menggunakan

foto polos thorak difragma dapat terlihat terangkat pada satu sisi atau keduanya akibat adanya

udara bebas dalam cavum peritoneum daripada dengan menggunakan foto polos

abdomen (Cole et al,1970).

Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis, usus halus dan usus besar

mengalami dilatasi, udara bebas dapat terlihat pada kasus perforasi. Foto polos abdomen paling

tidak dilakukan dengan dua posisi, yaitu posisi berdiri/tegak lurus atau lateral decubitus atau

keduanya. Foto harus dilihat ada tidaknya udara bebas. Gas harus dievaluasi dengan

memperhatikan pola, lokasi dan jumlah udara di usus besar dan usus halus (Cole et al,1970).

Page 21: Referat Peritonitis (Susan)

2.7 Tata Laksana

Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit, kontrol

operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik (Doherty, 2006).

2.7.1 Penanganan Preoperatif

Resusitasi Cairan

                        Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum menyebabkan perpindahan

cairan ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum dan ruang intersisial (Schwartz et al, 1989).

                        Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar melalui intravaskular sangat

diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap baik dan status hemodinamik tubuh. Jika terdapat

anemia dan terdapat penurunan dari hematokrit dapat diberikan transfusi PRC (Packed Red

Cells) atau WB (Whole Blood). Larutan kristaloid dan koloid harus diberikan untuk mengganti

cairan yang hilang (Doherty, 2006).

Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan cairan intravaskuler,

tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan cairan kristaloid lebih murah, mudah didapat tetapi

membutuhkan jumlah yang lebih besar karena kemudian akan dikeluarkan lewat

ginjal (Schwartz et al, 1989).

Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari jaringan dan ginjal telah

adekuat dan urin telah diprodukasi (Doherty, 2006).

Antibiotik

Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi bakteri aerob yaitu E.

Coli, golongan Enterobacteriaceae dan Streptococcus, sedangkan bakteri anaerob yang tersering

adalah Bacteriodes spp, Clostridium, Peptostreptococci. Antibiotik berperan penting dalam

Page 22: Referat Peritonitis (Susan)

terpai peritonitis, pemberian antibiotik secara empiris harus dapat melawan kuman aerob atau

anaerob yang menginfeksi peritoneum (Schwartz et al, 1989).

Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan hasil kultur dan dapat

diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas jika masih terdapat tanda infeksi. Jika

penderita baik secara klinis yang ditandai dengan penurunan demam dan menurunnya hitung sel

darah putih, perubahan antibiotik harus dilakukan dengan hati-hati meskipun sudah didapatkan

hasil dari uji sensitivitas (Cole et al,1970).

Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-kondisi seperti: (1) besar

kecilnya kontaminasi bakteri, (2) penyebab dari peritonitis trauma atau nontrauma, (3) ada

tidaknya kuman oportunistik seperti candida. Agar terapi menjadi lebih efektif, terpai antibiotik

harus diberikan lebih dulu, selama dan setelah operasi (Schwartz et al, 1989).

Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram harus segera

diberikan. Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika dipertahankan dalam dosis tinggi dalam

plasma. Kombinasi dari penicillin dan streptomycin juga memberikan cakupan dari bakteri gram

negatif. Penggunaan beberapa juta unit dari peniillin dan 2 gram streptomycin sehari sampai

didapatkan hasil kultur merupakan regimen terpai yang logis. Pada penderita yang sensitif

terhadap penicillin, tetracycline dosis tinggi yang diberikan secara parenteral lebih baik daripada

chloramphenicol pada stadium awal infeksi (Cole et al,1970).

Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan aminoglikosida

sama baiknya jika memberikan cephalosporin generasi kedua(Schwartz et al, 1989).

Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga untuk gram negatif,

metronidazole dan clindamycin untuk organisme anaerob (Doherty, 2006).

Page 23: Referat Peritonitis (Susan)

Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting daripada pemilihan

terapi tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis antibiotikal awal yang kurang adekuat berperan

dalam kegagalan terapi. Penggunaan aminoglikosida harus diberikan dengan hati-hati, karena

gangguan ginjal merupakan salah satu gambaran klinis dari peritonitis dan penurunan pH

intraperitoneum dapat mengganggu aktivitas obat dalam sel. Pemberian antibiotik diberikan

sampai penderita tidak didapatkan demam, dengan hitung sel darah putih yang normal (Doherty,

2006).

Oksigen dan Ventilator

Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada peritonitis cukup

diperlukan, karena pada peritonitis terjadi peningkatan dari metabolism tubuh akibat adanya

infeksi, adanya gangguan pada ventilasi paru-paru. Ventilator dapat diberikan jika terdapat

kondisi-kondisi seperti (1) ketidakmampuan untuk menjaga ventilasi alveolar yang dapat

ditandai dengan meningkatnya PaCO2 50 mmHg atau lebih tinggi lagi, (2) hipoksemia yang

ditandai dengan PaO2 kurang dari 55 mmHg, (3) adanya nafas yang cepat dan dangkal

(Schwartz et al, 1989).

Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik

Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari abdomen, mencegah

muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi jumlah udara pada usus.Pemasangan

kateter untuk mengetahui fungsi dari kandung kemih dan pengeluaran urin.Tanda vital

(temperature, tekanan darah, nadi dan respiration rate) dicatat paling tidak tiap 4 jam.Evaluasi

biokimia preoperative termasuk serum elektrolit, kratinin, glukosa darah, bilirubin, alkali

fosfatase dan urinalisis (Schwartz et al, 1989).

Page 24: Referat Peritonitis (Susan)

2.7.2 Penanganan Operatif

Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya dilakukan untuk

mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum. Tindakan ini berupa penutupan perforasi usus,

reseksi usus dengan anstomosis primer atau dengan exteriorasi. Prosedur operasi yang spesifik

tergantung dari apa yang didapatkan selama operasi berlangsung, serta membuang bahan-bahan

dari cavum peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah, mucus lambung dan membuat

irigasi untuk mengurangi ukuran dan jumlah dari bakteri virulen(Schwartz et al, 1989).

Kontrol Sepsis

Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk menghilangkan semua

material-material yang terinfeksi, mengkoreksi penyebab utama peritonitis dan mencegah

komplikasi lanjut. Kecuali pada peritonitis yang terlokalisasi, insisi midline merupakan teknik

operasi yang terbaik. Jika didapatkan jaringan yang terkontaminasi dan menjadi fibrotik atau

nekrosis, jaringan tersebut harus dibuang. Radikal debridement yang rutin dari seluruh

permukaan peritoneum dan organ dalam tidak meningkatkan tingkat bertahan hidup. Penyakit

primer lalu diobati, dan mungkin memerlukan tindakan reseksi (ruptur apendik atau kandung

empedu), perbaikan (ulkus perforata) atau drainase (pankreatitis akut). Pemeriksaan kultur cairan

dan jaringan yang terinfeksi baik aerob maupun anaerob segera dilakukan setelah memasuki

kavum peritoneum (Doherty, 2006).

Peritoneal Lavage

Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter) dapat

menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta bakteri. Penambahan

antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna bahkan berbahaya karena dapat

memicu adhesi (misal: tetrasiklin, povidone-iodine). Antibiotik yang diberikan cecara parenteral

Page 25: Referat Peritonitis (Susan)

akan mencapai level bakterisidal pada cairan peritoneum dan tidak ada efek tambahan pada

pemberian bersama lavage. Terlebih lagi, lavage dengan menggunakan aminoglikosida dapat

menyebabkan depresi nafas dan komplikasi anestesi karena kelompok obat ini menghambat kerja

dari neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage, semua cairan di kavum peritoneum harus

diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme pertahanan lokal dengan melarutkan benda

asing dan membuang permukaan dimana fagosit menghancurkan bakteri (Doherty, 2006).

Peritoneal Drainage

Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan peritonitis lokal

dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum peritoneal bebas tidak efektif dan tidak

sering dilakukan, karena drainase yang terpasang merupakan penghubung dengan udara luar

yang dapat menyebabkan kontaminasi. Drainase profilaksis pada peritonitis difus tidak dapat

mencegah pembentukan abses, bahkan dapat memicu terbentuknya abses atau fistula. Drainase

berguna pada infeksi fokal residual atau pada kontaminasi lanjutan. Drainase diindikasikan untuk

peradangan massa terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat direseksi (Doherty, 2006).

2.7.3 Pengananan Postoperatif

Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien yang tidak stabil.

Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas hemodinamik untuk perfusi organ-organ vital.,

dan mungkin dibutuhkan agen inotropik disamping pemberian cairan. Antibiotik diberikan

selama 10-14 hari, bergantung pada keparahan peritonitis. Respon klinis yang baik ditandai

dengan produksi urin yang normal, penurunan demam dan leukositosis, ileus menurun, dan

keadaan umum membaik. Tingkat kesembuhan bervariasi tergantung pada durasi dan keparahan

peritonitis. Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih awal dapat menurunkan

resiko infeksi sekunder (Doherty, 2006).

Page 26: Referat Peritonitis (Susan)

2.8 Komplikasi

Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi komplikasi lokal dan

sistemik. Infeksi pada luka dalam, abses residual dan sepsis intraperitoneal, pembentukan fistula

biasanya muncul pada akhir minggu pertama postoperasi. Demam tinggi yang persisten, edema

generalisata, peningkatan distensi abdomen, apatis yang berkepanjangan merupakan indikator

adanya infeksi abdomen residual. Hal ini membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut misalnya CT-

Scan abdomen. Sepsis yang tidak terkontrol dapat menyebabkan kegagalan organ yang multipel

yaitu organ respirasi, ginjal, hepar, perdarahan, dan sistem imun (Doherty, 2006).

2.9 Prognosis

Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%. Faktor-faktor yang

mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe penyakit primer dan durasinya,

keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan

awal pasien. Tingkat mortalitas sekitar 10% pada pasien dengan ulkus perforata atau apendisitis,

pada usia muda, pada pasien dengan sedikit kontaminasi bakteri, dan pada pasien yang

terdiagnosis lebih awal (Doherty, 2006). 

Page 27: Referat Peritonitis (Susan)

BAB III

KESIMPULAN

Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut

(peritonieum). Penyebab paling sering dari peritonitis primer adalah spontaneous bacterial

peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis.Penyebab peritonitis sekunder paling sering

adalah perforasi appendicitis, perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, serta perforasi

kolon. Tanda-tanda peritonitis yaitu demam tinggi dan mengigil, bisa menjadi hipotermia,

takikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri  abdomen yang hebat, dinding perut akan

teras tegang karena iritasi peritoneum.

Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit, kontrol

operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik. Komplikasi postoperatif sering terjadi

dan umumnya dibagi menjadi komplikasi lokal dan sistemik. Faktor-faktor yang mempengaruhi

tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe penyakit primer dan durasinya, keterlibatan

kegagalan organ multipel sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien.

Page 28: Referat Peritonitis (Susan)

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Brian, J. 2011, Peritonitis and Abdominal Sepsis. Diakses pada 6 Juni

2015.http://emedicine.medscape.com/article/180234-overview#aw2aab6b2b4aa

2. Cole et al. 1970. Cole and Zollinger Textbook of Surgery 9th Edition. Appelton-Century

Corp, Hal 784-795

3. Doherty, Gerard. 2006. Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis & Treatment

12ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.

4. Evans, HL. 2001. Tertiary Peritonitis (Recurrent Diffuse or Localized Disease) is not An

Independent Predictor of Mortality in Surgical Patients with Intra Abdominal Infection. Surgical

Infection (Larchmt); 2(4) : 255-63

5. Fauci et al, 2008, Harrison’s Principal Of Internal Medicine Volume 1, McGraw Hill,

Peritonitis halaman 808-810, 1916-1917

6. Hau, T. 2003. Peritoneal Defense Mechanisms. Turk J Med Sci; 33: 131-4

7. Heemken, R. 1997. Peritonitis: Pathophydiology and Local Defense Mechanisms.

Hepatogastroenterology; Jul-Aug; 44(16): 927-36

8. Iwagaki, H. 1997. Clinical Value of Cytokine Antagonists in Infectious Complications.

Res CommunMol Pathol Pharmacol; Apr: 96(1): 25-34

9. Marshall, JC. 2003. Intensive Care Management of Intra Abdominal Infection. Critical

Care Medicine; 31(8) : 2228-37

10. Schwartz et al. 1989. Principle of Surgery 5th Edition. Singapore: Mc.Graw-Hill, Hal

1459-1467