BAB I PENDAHULUAN Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan di rongga perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa tindakan bedah, misalnya pada perforasi, perdarahan intraabdomen, infeksi, obstruksi dan strangulasi jalan cerna dapat menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cernas sehingga terjadilah peritonitis. Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, ataudari luka tembus abdomen. Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara inokulasi kecil-kecilan); kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, resistensi yang menurun, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis. Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap keterlambatan akan menimbulkan penyakit yangberakibat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan di rongga perut
yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini
memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa tindakan bedah, misalnya pada
perforasi, perdarahan intraabdomen, infeksi, obstruksi dan strangulasi jalan cerna dapat
menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cernas
sehingga terjadilah peritonitis.
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat
penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi
ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi,
ataudari luka tembus abdomen.
Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara inokulasi kecil-
kecilan); kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, resistensi yang menurun, dan
adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktor-faktor yang memudahkan
terjadinya peritonitis.
Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap
keterlambatan akan menimbulkan penyakit yangberakibat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari
kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
Dalam penulisan referat ini akan dibahas mengenai penanganan peritonitis. Peritonitis selain
disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen yang berupa inflamasi dan penyulitnya, juga
oleh ileus obstruktif, iskemia dan perdarahan. Sebagian kelainan disebabkan oleh cedera
langsung atau tidak langsung yang mengakibatkan perforasi saluran cerna atau perdarahan.
1
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI PERITONEUM
Anatomi
Peritoneum merupakan selapis sel mesotelium komplek dengan membran basalis
yang ditopang oleh jaringan ikat yang kaya akan pembuluh darah. Peritoneum terdiri dari
peritoneum parietal yang melapisi dinding bagian dalam rongga abdomen, diafragma dan
organ retroperitoneum dan peritoneum visceral yang melapisi seluruh permukaan organ
dalam abdomen. Luas total peritoneum lebih kurang 1,8 m2. Setengahnya ( ± 1 ) m2
berfungsi sebagai membran semipermeabel terhadap air, elektrolit dan makro serta mikro
molekul.Cavum peritoneum merupakan ruangan diantara peritoneum parietalis yang melapisi
dinding abdomen dan lipatan peritoneum viseralis, yang menahan organ abdomen dengan
cavum abdomen. Cavum peritoneum mengandung sejumlah kecil dari cairan serous. Cairan
melumasi peritoneum viseralis dan membuat gerakan dari organ abdomen menjadi lebih bebas.
Cavum peritoneum dibagi menjadi ruang-ruang yang saling berhubungan oleh 11 ligamen
dan mesenterik. Ligamen peritoneal atau mesenterik adalah koronaria,gastrohepatik,
hepatoduodenal, falciformis, gastrokolik, duodenokolik, gastrosplenik,splenorenal, dan
ligamen phrenikocolik dan mesokolon transversum serta mesenterik jeujenalis. Struktur ini
membagi abdomen menjadi sembilan ruang, yaitu subfrenik kanan dan kiri, subhepatik,
supramesenterik dan inframerenterik, paracolic kanan dan kiri, pelvis dan ruang lesser.
Ligamen, mesenterik dan cavum peritoneum ini menunjukkan sirkulasi dari cairan dalam
cavum peritoneum dan dapat berguna untuk memprediksi rute dari penyebaran dari penyakit
infeksi dan keganasan. Sebagai contoh, perforasi duodenum dari penyakit ulkus peptikum
dapat menyebabkan pergerakan dari cairan (abses) ke ruang subhepatik, parakolik gut kanan
dan pelvis.
2
Ligamen dan Mesentrik dari Peritoneum
Cavum peritoneum potongan sagital
3
Vaskularisasi
Peritoneum parietalis dan viseralis berkembang dari lapisan somatopleura dan
splanikopleura masing– masing berasal dari mesoderm. Oleh karena itu peritoneum parietalis
disuplai oleh pembuluh darah dari abdomen dan dinding pelvis. Peritoneum parietalis
divaskularisasi oleh cabang dari pembuluh darah interkostalis, subkostalis, lumbalis, dan
iliaka sedangkan peritoneum viseralis berasal dari pembuluh darah splanikus. Pembuluh
limfe yang bertanggung jawab untuk aliran di peritoneum sebagian besar oleh pembuluh-
pembuluh limfe subdiafragma yang kemudian dialirkan melalui duktuss limfatikus kanan dan
duktus limfatikus thoraks kiri ke sirkulasi vena.Vena– vena pada dinding abdomen dapat
dibedakan dalam kelompok superficial dan profunda. Pada permukaan depan abdomen vena
membentuk jala venous yang luas di dalam jaringan subkutis. Bagian atas abdomen mengalirkan darahnya
ke vena thoracoepigastrica,terus ke arah atas masuk ke dalam vena thoracica lateralis lalu
vena axillaris.Pada bagian bawah abdomen darah dialirkan ke dalam vena epigastrika
superfisialiske bawah untuk selanjutnya masuk ke vena saphena magna lalu ke vena
femoralis ataulangsung ke vena femoralis. Pada permukaan depan abdomen di sekitar
umbilicus terdapat jaringan vena yang disebut pleksus venosus umbilikalis. Pleksus venosus
ini mempunyai hubungan dengan sistem collateralis vena porta melalui vena kecil sepanjang
ligament tereshepatis, disebut vena para umbilicalis. Vena yang profundus terdiri dari vena
epigastrikainferior dan vena circumflexa iliaca profunda yang bermuara ke dalam vena iiaca
eksterna.Vena epigastrica superior bermuara ke dalam vena thoracica interna (mammaria
interna).
4
Vaskularisasi peritoneum
A. mesentrika inferior mempersarafi peritoneum visceralis dan colon
5
Inervasi
Peritoneum di inervasi oleh cabang dari saraf interkostalis 7 –11 yang menginervasi otot
dan kulit dari dinding abdomen. Peritoneum parietalis diinervasi oleh serabut saraf somatik
dan viseral yang cukup sensitif merespon terhadap berbagai stimulus yang diberikan ke kulit.
Peritoneum parietalis anterior merupakan bagian yang paling sensitif, dan peritoneum pelvis
relatif kurang sensitif. Nyeri tekan dan nyeri lepas, nyeri lokal atau peradangan dari
peritoneum parietalis menyebabkan mekanisme pertahanan dari otot abdomen yaitu reflek
spasme dari otot abdomen, tanda tersebut sangat berguna untuk menentukan adanya kelainan
intra abdomen dan tingkat keparahan penyakit. Berbeda dengan peritoneum parietalis,
peritoneum viseralis menerima inervasi afferen hanya dari sistem saraf otonom yang kurang
sensitif. Saraf viseral afferen utamanya respon terhadap tarikan atau regangan, agak kurang
terhadap tekanan dan rupanya tidak mempunyai reseptor yang mampu menghantarkan nyeri
dan sensasi suhu. Rangsangan dirasakan sebagai rasa tidak nyaman yang kurang terlokalisasi,
terkadang dengan karakter seperti nyeri kolik yang tumpul.
6
FISIOLOGI
Permukaan peritoneum licin dan diminyaki oleh sejumlah kecil cairan, dengan
demikian dapat memberikan gerakan yang bebas dari usus untuk melakukan fungsi peristaltiknya. Dalam
keadaan normal, cairan hipotonik, isotonik, dan benda asing mikroskopik diserap oleh
pembuluh darah kapiler dari sistem porta dan sistem limfatik.Kedua jaringan ini penting
sebagai mekanisme pertahanan tubuh. Peritoneum dapat bertahan terhadap infeksi dan bakteri
yang terjadi saat kontaminasi operasi dengan suatu mekanismepertahanan yaitu oleh
fagositosis leukosit polimorfonuklear,. Peritoneum merupakan membrane semipermiabel dua
arah yang mengatur jumlah dari cairan dalam cavum peritoneum. mengasingkan dan
menghilangkan bakteri dari cavum peritoneum dan memfasilitasi migrasidari sel radang
melalui mikrovaskular ke cavum peritoneum. Normalnya terdapat kurang dari100 ml cairan
serous yang steril pada cavum peritoneum. Mikrovili pada permukaan dari mesotelium
meningkatkan meningkatkan absorbsi cairan dalam cavum peritoneum dengan cepat ke
sistem limfatik dan sistem portal serta sirkulasi sistemik. Sirkulasi cairan dalamcavum
peritoneum dilakukan oleh gerakan dari diafragma. Pori-pori intersellular pada peritoneum
yang melapisi bagian inferior dari diafragma pertama kali diperkenalkan oleh von
Recklinghausen pada tahun 1863 dan dinamakan stomata. Pori-pori interselluler
ini,menghubungkan kelenjar limfatik dengan diafragma. Getah bening mengalir dari terusan
kelenjar getah bening diafragma melalui kelenjar getah bening subpleura menuju kelenjar
getah bening regional dan pada akhirnya ke duktus torakikus. Relaksasi diafragma selama
ekshalasi membuka stomata dan tekanan negatif intra thorak menarik cairan dan partikel
termasuk bakteri kedalam stomata. Kontraksi dari diafragma selama inhalasi mendorong
getah bening melalui saluran kelenjar getah bening medistinum menuju duktus
torakikus.Dapat dikatakan bahwa “pompa diafragma” mengatur pergerakan dari cairan
peritoneum kearah cranial ke diafragma dan menuju pembuluh limfe thorak.
7
Respon peritoneum dan cavum peritoneum terhadap infeksi dengan:
(1) Bakteri dengan cepat dipindahkan dari cavum peritoneum melalui stomata diafragma dan
kelenjar getah bening.
(2) Makrofag peritoneum melepaskan mediator pro inflamasi yang meningkatkanmigrasi dari
leukosit ke cavum peritoneum dari mikrovaskular disekitarnya.
(3) Degranulasi dari sel mast peritoneum melepaskan histamin dan zat vasoaktif lainnya
menyebabkan vasodilatasi lokal dan ekstravasasi dari cairan yang kaya protein mengandung
komplemen dan immunoglobulin ke dalam cavumperitoneum.
(4) Protein dalam cairan peritoneum memakan bakteri, sepanjang aktivasi darikaskade
komplemen, meningkatkan fagositosis dan destruksi bakteri oleh neutrofil dan makrofag.
(5) Bakteri menjadi terisolasi dengan bahan-bahan fibrin, dengan cara demikian menyebabkan
terbentuknya abses dan membatasi penyebaran yang menyeluruh dari infeksi.
8
BAB III
PEMBAHASAN
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum- lapisan membrane serosa rongga abdomen
dan meliputi visera merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut
maupun kronis ynag ditandai dengan gejala, diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada
palpasi, defans muscular, dan tanda-tanda umum inflamasi.peritonitis dapat bersifat local
maupun generalisata. Gejala yang terjadi dapat berbeda menurut luasnya keterlibatan, lokasi,
penyebab, atau seberapa cepat onsetnya sebagai akibat dari peradangan. Peritonitis primer disebabkan
infeksi dari bakteri, chlymidia, fungi atau mycobacterium tanpa adanya perforasi dari
traktusgastrointestinal, sedangkan peritonitis sekunder terjadi akibat perforasi dari traktus
gastrointestinal atau hasil dari kontaminasi bakteri yang berasal dari organ dalam
abdomenatau sumber dari luar tubuh. Penyebab yang tersering dari peritonitis sekunder
adalah ulcus pepticum perforata, apendisitis akut perforata, divertikulum colon perforata dan
penyakitradang panggul (pelvic inflammatory disease). Perforasi dapat disebabkan penetrasi
trauma abdomen, dapat dikarenakan iatrogenic karena penggunaan instrumen pada traktus
gastrointestinal, dapat timbul pada prosedur radiologi atau selama periode post operatif
ETIOLOGI
Bentuk peritonitis yang paling sering ialah Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP)
dan peritonitis sekunder. SBP terjadi bukan karena infeksi intra abdomen,tetapi biasanya
terjadi pada pasien yang asites terjadi kontaminasi hingga ke rongga peritoneal menjadi
translokasi bakteri munuju dinding perut atau pembuluh limfe mesenterium, kadang terjadi
penyebaran hematogen jika terjadi bakterimia dan akibat penyakit hati yang kronik.
Semakin rendah kadar protein cairan asites, semakin tinggi risiko terjadinya peritonitis dan
abses. Ini terjadi karena ikatan opsonisasi yang rendah antar molekul komponen asites.
Pathogen yang paling sering menyebabkan infeksi adalah bakteri gram negative E. Coli 40%,
Klebsiella pneumoniae 7%, spesies Pseudomonas, Proteus dan gram lainnya 20% dan bakteri
gram positif yaitu Streptococcus pnemuminae 15%, jenis Streptococcus lain 15%,dan
golongan Staphylococcus 3%, selain itu juga terdapat anaerob dan infeksi campur bakteri.
Peritonitis sekunder yang paling sering terjadi disebabkan oleh perforasi atau nekrosis,
9
(infeksi transmural) organ-organ dalam dengan inokulasi bakteri rongga peritoneal terutama
disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari saluran cerna bagian atas. Peritonitis tersier
terjadi karena infeksi peritoneal berulang setelah mendapatkan terapi SBP atau peritonitis
sekunder yang adekuat, bukan berasal dari kelainan organ, pada pasien peritonisis tersier
biasanya timbul abses atau flagmon dengan atau tanpa fistula. Selain itu juga terdapat
peritonitis TB, peritonitis steril atau kimiawi terjadi karena iritasi bahan-bahan kimia,
misalnya cairan empedu, barium, dan substansi kimia lain atau prses inflamasi transmural
dari organ-organ dalam (Misalnya penyakit Crohn).
PATOFISOLOGI
Setiap kasus dari peritonitis dengan penyebab apapun menyebabkan timbulnya berbagai
tahapan respon. Respon primer yang terjadi pada peradangan peritoneum adalah meliputi
respon terhadap membran peritoneum, saluran cerna, dan cairan tubuh, lalu respon sekunder
memperngaruhi produksi endokrin sekunder, jantung, pernapasan, ginjal dan respon
metabolic.
Respon Primer Pada Peritonitis
Peradangan Membran.
Respon peritoneum terhadap adanya peradangan adalah dengan vasodilatasi
pembuluh darah yang diikuti dengan transudasi. Transudasi cairan rendah protein
yang berasal dari cairan interstitial kedalam cavum abdomen diikuti dengan masuknya
sel polimorfonuklear dari pembuluh darah kedalam cavum abdomen. Transudasi
cairan interstitial kedalam cavum peritoneum melewati peritoneum yang mengalami
peradangan diikuti dengan eksudasi cairan kaya protein. Cairan eksudat ini
mengandung fibrin dan protein plasma dalam jumlah yang sangat besar. Respon ini
dapat membantu untuk membatasi sumber dari kontaminasi peritoneum agar tidak
meluas. Pada awal peritonitis, peritoneum yang mengalami radang absorbsinya sedikit
meningkat. Absorbsi ini lebih terlihat pada makromolekul daripada mikromolekul.
Pada stadium berikutnya, dan peritonitis kronik, absorbsi peritoneum menjadi
menurun. Selama fase awal vaskular dan transudatif,peritoneum bekerja sebagai jalan
dua arah‟, dengan cara ini selain mengeluarkan cairan transudat ke dalam cavum
10
abdomen, peritoneum juga mengabsorbsi toksin dan bahan lainnyayang terdapat di
cairan peritoneum untuk memasuki sistem limfatik dan pembuluh darah,dengan ini
akan menimbulkan gejala sistemik. Perubahan metabolik dari peritoneum yang
mengalami peradangan sama seperti yangterjadi pada peradangan di kulit tapi timbul
lebih cepat. Terjadi peningkatan sintesis dari membran glikoprotein dan proteoglikan.
Konsentrasi asam uronik yang meningkat dapat mencerminkan eksudasi dari protein
plasma pada stadium awal peritonitis. Pada stadium selanjutnya terjadi peningkatan
sintesis glikoaminoglikan akibat aktivasi dari fibroblast dan sel mesotelial.
Respon Usus
Hipermotilitas usus terjadi sebagai respon awal dari usus terhadap iritasi peritoneum
yang bersifat sementara. Setelah beberapa waktu, motilitas usus menurun dan akan
menyebabkan terjadinya ileus paralitik total. Akibatnya akan terjadi distensi usus
karena akumulasi dari udara dan cairan pada lumen usus. Pada keadaan ini terjadi
peningkatan dari sekresi cairan kedalam lumen usus, sedangkan terjadi gangguan dari
absorbsi cairan. Pada peritonitis terjadi penumpukan cairan didalam lumen usus yang
dapat mengakibatkan penurunan cairan ekstraseluler. Pada peritonitis bakterial terjadi
penurunan konsumsi oksigendari usus yang disebabkan adanya bahan-bahan toksik yang
dihasilkan oleh bakteri di absorbsi melalui permukaan dari peritoneum
Hipovolemik
Peritoneum bereaksi terhadap peradangan dengan melakukan dilatasi pembuluh darah
dan membanjiri cavum peritoneum dengan cairan yang menyerupai plasma dari ruang
ekstraselluler, intravaskuler dan bagian interstitial kedalam sebagai suatu cairan
eksudat. Hal ini menyebabkan terjadinya edema pada jaringan ikat longgar dibawah
mesotelium dari visera dan mesenterik akibat cairan ekstraselular yang terperangkap
didalamnya. Usus yang atoni, dan dilatasi juga menyebabkan menumpuknya cairan dalam lumen
yang berasal dari cairan ekstraseluler. Perpindahan cairan ini dapat mengurangi jumlah
dari cairan tubuh terutama volume cairan ekstraselular dan dapat berakibat pada
organ–organ terkait lainnya.
11
Respon Sekunder Pada Peritonitis
Respon Endokrin
Pada peritonitis terjadi rangsangan pada banyak organ endokrin. Adanya peritonitis
menyebabkan respon cepat dari medulla kelenjar adrenal untuk melepaskan epinefrin dan
nor-epinefrin yang mengakibatkan terjadinya vasokonstriksi sisitemik, takikardi dan
meningkatnya eksresi dari kelenjar keringat. Peradangan peritoneum juga menyebabkan
peningkatkan sekresi dari hormon kortikal oleh korteks adrenal pada 2 - 3 hari awal
terjadinya peradangan. Sebagai respon terhadap hipovolemi, sekresi dari hormon
aldosterondan anti diuretik juga ditingkatkan, agar terjadi peningkatan retensi natrium dan air
pada ginjal
12
Respon Jantung
Pengaruh peritonitis pada fungsi jantung mencerminkan adanya penurunan volume cairan
ekstraselluler dan perjalanan dari asidosis. Penurunan volume cairan, menyebabkan
penurunan dari venous return dan cardiac output. Sebagai usaha untuk mempertahankan
cardiac output maka denyut jantung ditingkatkan. Asidosis yang terus berjalan dapat
menyebabkan gangguan pada kontraktilitas jantung dan lebih jauh lagi dapat menurunkan
cardiac output. Gangguan ini terjadi akibat kegagalan transport oksidatif membran selama
adanya asidosis.
Respon Pernafasan
Penurunan dari volume ventilasi diakibatkan oleh distensi dari abdomen yang utamanya
karena ileus paralitik, ditambah dengan pembatasan dari pergerakan diafragma dan interkosta
akibat nyeri, menyebabkan dan gambaran awal dari atelaktasis basiler. Pada awal perjalanan
peritonitis, dapat terjadi peningkatan ventilasi, yang distimulasi oleh keadaan hipoksia dan
oleh karena terjadi akumulasi bahan asam dan produk metabolisme anaerob dari jaringan
tubuh
Respon Ginjal
Pada peritonitis terjadi hipovolemik yang dapat menurunkan jumlah cardiac output dan
sebagai kompensasi, tubuh meningkatkan sekresi dari hormon anti diuretik dan aldosteron
yang bekerja secara sinergis pada ginjal. Aliran darah ke ginjal yang terus menurun
menyebabkan penurunan dari filtrasi glomerulus dan menyebabkan menurunnya
pembentukan urine di tubulus. Volume pengeluaran urine berkurang dan kapasitas ginjal
untuk mengatur pengeluaran dari cairan terganggu. Hal ini dapat memicu terjadinya
asidosismetabolik.
Respon Metabolik
Rata-rata metabolik biasanya meningkat karena terjadi peningkatan kebutuhan oksigen.
Secara bertahap, kapasitas dari paru-paru dan jantung untuk menyalurkan oksigen mulai
berkurang. Sirkulasi yang buruk menyebabkan pergeseran metabolisme di otot dan
di jaringan perifer dari metabolisme aerob menjadi anaerob. Sebagai hasilnya, produk akhir
metabolisme anaerob dari karbohidrat menumpuk dan terjadi lakto asidosis. Penurunan dari
pembuangan larutan asam dari ginjal yang dikarenakan penurunan perfusi ginjal13
ikut berperan terhadap terjadinya asidosis metabolik. Sebagai kompensasi, tubuh melakukan
usaha dengan meningkatkan respirasi untuk mengeluarkan karbon dioksida, akan tetapi usaha
respirasi tersebut meningkatkan kebutuhan perfusi dari otot pernafasan sedangkan
sudahterjadi gangguan sirkulasi. Penyebab lain dari asidosis pada peritonitis dapat
disebabkan oleh bakteri yang menyebabkan infeksi itu sendiri. Bakteri tersebut memproduksi
laktat sebagai hasil dari metabolism. Laktat ini menumpuk pada cairan tubuh dan
menyebabkan terjadinya asidosis. Glikogen dalam hepar yang disimpan digunakan dengan
cepat pada peritonitis.Sekresi insulin oleh sel beta pankreas juga meningkat, akan tetapi
terdapat resistensi insulin relatif terhadap penggunaan glukosa sebagai sumber energi pada
otot, sehingga tetap terjadi defisit energi. Lipolisis juga ikut meningkat pada peritonitis, akan
tetapi lemak tidak digunakan sebagai sumber energi yang efektif pada keadaan ini.
Katabolisme protein terjadipada awal peritonitis dan semakin meningkat sesuai dengan
derajat keparahan
KLASIFIKASI
Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a.Peritonitis bakterial
Primer
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada cavum
peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen. Penyebabnya bersifat
monomikrobial, biasanya E. Coli, Sreptococus atau Pneumococus. Peritonitis
bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu:
1.Spesifik : misalnya Tuberculosis
Dahulu peritonitis tuberkulosa cukup umum terjadi, insiden dari
peritonitistuberkulosa telah menurun seperti semua bentuk dari tuberkulosis pada
manusia selamabeberapa dekade belakangan ini. Saat ini peritonitis tuberkulosa
merupakan penyakit yang jarang, hanya terjadi pada pasien dengan malnutrisi atau
dengan sirosis.Secara primer dapatterjadi karena penyebaran dari fokus di paru,
intestin atau saluran kemih. Peritoneum merupakan tempat ke-enam yang paling
sering ditempati pada tuberkulosis ekstrapulmoner setelah kelenjar getah bening,
14
saluran kencing, tulang dan sendi, serta meningen. Pada kebanyakan kasus, peritonitis
tuberkulosa berasal dari reaktivasi dari peritonitis laten yang sebelumnya berasal dari
fokus pada paru melalui hematogen. Fokus primer dari infeksi dimana keterlibatan
sekunder cavum peritoneum secara klinis tidak jelas terlihat pada peritonitis
tuberkulosa. Walaupun hampir semua penderita yang meninggal dengan peritonitis
tuberkulosa saat autopsi mempunyai fokus tuberkulosis primer, dan hanya sekitar
sepertiga kasus saat ini dapat didiagnosa secara klinis terdapat fokus primer. Secara
klinis, peritonitis tuberkulosa menunjukkan adanya demam, anoreksia, kelemahan dan
menurunnya berat badan. Ascites hampir selalu didapatkan, dan lebih dari setengah
dari penderita mengakibatkan nyeri abdomen yang tumpul dan merata pada semua
bagian abdomen. Gambaran peritoneoskop dari peritonitis tuberkulosa mempunyai
sifat yang khas.Massa fibrous tipikal seperti stalaktit menggantung dari peritoneum
parietalis pada abdomenbagian bawah. Jika laparotomi dilakukan, biopsi peritoneum
harus dikerjakan.
2.Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis
15
Sekunder
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi gastrointestinal
atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak akan menyebabkan
peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme dapat memperberat
terjadinya infeksi ini. Bakterii anaerob, khususnya spesies Bacteroides, dapat
memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi. Bakteri dapat
berasal dari:
- Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam
cavum peritoneal.
- Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang disebabkan
oleh bahan kimia, perforasi usus sehingga feces keluar dari usus.
- Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya
appendisitis.
Pada keadaan normal peritoneum tahan terhadap infeksi bakteri. Faktor-faktor yang
meningkatkan terjadinya penyebaran dari peritonitis adalah
Virulensi bakteri yang mengkontaminasi
Flora normal bakteri biasanya terdapat pada penderita dengan peritonitis
supuratif akut akibat kontaminasi dari traktus gastrointestinal. Bakteri yang paling
sering menyebabkanperitonitis termasuk organisme aerobic seperti Escherichia Coli,
16
spesies bacteiodes anaerob,streptococcus aerob dan anaerob, enterococcus, dan
Clostridia. Gabungan dari bakteri aerobdan anaerob dapat menyebabkan peritonitis
yang lebih berat dan kematian
Luas dan durasi dari kontaminasi
Kontaminasi yang besar dan cepat, seperti pada karsinoma caecum yang mengalamiperforasi
biasanya dengan cepat menyebarkan bakteri kedalam cavum peritoneum.Penyebaran bakteri
timbul sebelum mekanisme pertahanan mempunyai cukup waktu untuk melokalisir.
Menurut eksperimen, bakteri atau bahan cairan radiopaque yang di injeksi padasatu
tempat, dapat menunjukkan penyebaran dapat seluruh cavum peritoneum antara
3sampai 6 jam. Penyebaran ini akibat pergerakan normal dari intestinal, dan oleh
efek penghisapan dari diafragma selama proses respirasi dimana terjadi perbedaan
tekanan negatif di antara ruang subfrenik dan ruang peritoneum lainnya,
menyebabkan aliran keatas daricairan dan bahan lainnya, serta efek dari
gravitasi yang dipengaruhi posisi tubuh. Tingkat keparahan dan perluasan dari
peritonitis akibat perforasi gastro intestinalspontan atau akibat trauma berbeda, tidak
hanya dari ukuran tapi juga dari lokasi terjadinyaperforasi. Keluarnya bahan dari
distal ileum atau caecum mempunyai morbiditas yang lebihtinggi dibanding dengan
perforasi dari traktus gastro intestinal. Pada bagian proksima
b. Peritonitis aseptic (kimia)
Bentuk dari peritonitis terjadi akibat bahan iritan masuk kedalam cavum peritoneum,hal ini
biasanya terjadi karena robeknya organ solid atau berongga dalam abdomen. Reaksi inflamasi
yang aseptik memberikan gejala klinis dan respon umum dari perjalanan fisiologistubuh
akibat peritonitis. Translokasi volume plasma ke dalam cavum peritoneum dengan respon
sistemik sekunder dari hipovolemi merupakan reaksi awal utama. Invasi bakteri
sekunder dapat timbul, terkadang terjadi 12 jam pertama setelah terjadicedera pada
peritoneum, walaupun tidak ada bakteri yang masuk ke cavum peritoneum melalui celah
lubang perforasi atau dari lingkungan luar akibat luka trauma. Gejala biasanya mendadak, nyeri
hebat, nyeri tekan dan kekakuan dari otot abdomen. Nyeri pinggang dapatterjadi jika daerah
retroperitoneal ikut terkena
17
Getah lambung
Getah lambung ini dapat sangat mengiritasi peritoneum dan dapat menyebabkan syok dalam
waktu singkat. Bukan hanya karena adanya kandungan asam hidroklorik, tetapi jugakarena
adanya musin dan enzim pencernaan. Getah lambung berjalan ke cavum peritoneummelalui
ulcus duodenum perforata, bahan ini merupakan bahan steril karena merupakanbarier asam
yang normal dari lambung yang efektif membunuh mikrobakteria yang tertelan
Getah pankreas
Sekresi getah pankreas memasuki cavum peritoneum pada pankreatitis akut atautrauma
pankreas. Pada cara masuk ini yang dikarenakan ruptur duktus pankreatikus atau daripseudo
kista, dengan pengeluaran getah pankreas yang berlebih. Karena getah penkreas larutdi cairan asites,
reaksi peritoneal secara keseluruhanan sangat bervariasi, dari peradangan ringan sampai
berat. Adanya bakteri dan getah pankreas akan menambah hebatnya peritonitisyang terjadi
Empedu
Umumnya, empedu masuk ke cavum peritoneum karena kebocoran akibat ekspolrasidari
duktus koledukus komunis atau operasi lain dari sistem bilier. Ruptur dari kandung empedu
pada cholesisitis akut, perforasi dari karsinoma kantong empedu atau ruptur darikandung
empedu akibat batu empedu karena terjadi nekrosis dari saluran empedu dapatmenyebabkan
cairan empedu masuk ke dalam cavum peritoneum. Walaupun peritonitis empedu diikuti oleh
ruptur dari kandung empedu yang mengalami peradangan, peritonitis bilier dapat terjadi
tanpa diketahui adanya perforasi kandung empedu. Cairan empedu yang steril merupakan
iritan kimia. Biasanya kontaminasi bakteri berhubungan dengan sebab terjadinya ruptur itu
sendiri atau akibat infeksi sekunder.
Darah
Darah intra peritoneal sangat tidak mengiritasi peritoneum.Darah merupakan iritanyang ringan
bagi rongga peritoneal. Adanya bakteri dan benda asing lainnya dapat menyebabkan peradangan. Jika
sel darah merah lisis, sel ini akan mengeluarkan bahan yang bekerja sebagai iritan
hiperosmolar ringan. Ruptur spontan dari arteri organ abdomen, pembuluh darah yang paling
sering mengalami ruptur adalah arteri splanikus dan yang lebih jarang adalah arteri hepatika,
atau gastroepiploika. Ruptur dari lien, hepar atau tumor hepar sering menyebabkan
18
hemoperitoneum akut yang massif. Gejala klinik adalah nyeri abdomendisertai nyeri tekan,
hilangnya bising usus dan gejala lain seperti pada peritonitis. Hitung leukosit dapat
meningkat. Penatalaksanaan termasuk laparotomi dengan segera dan menghentikan sumber
pendarahan
Urin
.Ruptur dari kandung kemih biasanya disebabkan trauma berat. Urin yang steril merupakan
bahan yang sangat mengiritasi peritoneum, dan paparan kimia sering diikutidengan infeksi
sekunder. Urin sendiri sebenarnya tidak terlalu mengiritasi, tetapi bila tercemar dengan
bakteri dapat menyebabkan peritonitis hebat
MANIFESTASI KLINIS
SIMPTOM
Nyeri abdomen
Nyeri abdomen merupakan gejala yang hampir selalu ada pada peritonitis. Nyeri biasanya
datang dengan onset yang tiba-tiba, hebat, dan pada penderita dengan perforasi nyerinya didapatkan pada
seluruh bagian abdomen. Seiring dengan perjalann penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus,
tidak ada henti-hentinya, rasa seperti terbakar, dan timbul dengan berbagai gerakan. Nyeri
biasanya lebih terasa pada daerah dimana terjadi peradangan peritoneum. Menurunnya
intensitas dan penyebaran dari nyeri menandakan adanya lokalisasi dari proses peradangan,
ketika intensitasnya bertambah meningkat disertai dengan perluasan daerah nyeri
menandakan penyebaran dari peritonitis. Pada peritonitis generalisata biasanya nyeri
abdomen dirasakan menyebar dan meluas
19
Anoreksia, mual, muntah, demam
Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat diikuti dengan muntah.
Penderita biasanya juga mengeluh haus dan badan terasa seperti demam seringdengan diikuti
mengigil yang hilang timbul. Meningkatnya suhu tubuh biasanya sekitar 38o C sampai 40o
Syok
Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua faktor. Pertama
akibat perpindahan cairan intravaskular ke cavum peritoneum atau ke lumen dari intestin.
Yang kedua dikarenakan terjadinya sepsis generalisata . Yang utama dari septikemia pada
peritonitis generalisata melibatkan kuman gram negatif ( - ) dimana dapat
menyebabkan terjadinya tahap yang menyerupai syok. Mekanisme dari fenomena ini belum
jelas, akan tetapi dari penelitian diketahui bahwa efek dari endotoksin pada binatang
dapat memperlihatkan sindrom atau gejala -gejala yang mirip seperti gambaran yang terlihat
pada manusia.
TANDA
Vital sign
Vital sign sangat berguna untuk menilai derajat keparahan atau komplikasi yang timbul pada
peritonitis. Pada keadaan asidosis metabolik dapat dilihat dari frekuensi pernafasan yang lebih
cepat daripada normal sebagai mekanisme kompensasi untuk mengembalikan ke keadaaan
normal. Takikardi, berkurangnya volume nadi perifer dan tekanan nadi yang menyempit dapat
menandakan adanya syok hipovolemik . Hal – hal seperti ini harus segera diketahui dan
pemeriksaan yang lengkap harus dilakukan, dengan bagian tertentu mendapat perhatian khusus
untuk mencegah keadaan yang lebih buruk
Inspeksi
Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya distensi dari abdomen.
Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi abdomen tidak menyingkirkan diagnos a peritonitis,
terutama jika penderita di periksa pada awal dari perjalanan penyakit, karena dalam 2 – 3 hari
baru terdapat tanda – tanda distensi abdomen. Hal ini terjadi akiba t penumpukan dari cairan
eksudat tapi kebanyakan distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik.
1. Cole, Warren H., M.D and Zollinger, Robert M., M.D tahun 1970Cole and Zollinger Textook of Surgery 9 th Edition . Appelton – Century Corp, Hal 784-795
2. Doherty, Gerrad M., M.D and Way, Lawrence W., MD 2006 Current Surgical Diagnosis and Treatment 10 th Edition. USA: Appelton & Lange, Hal 453-457
3. Standring, Susan., PhD, DSc tahun 2005 Gray’s Anatomy . USA : Elsevier Churchill Livingstone, Hal 1127-1138
4.Schwartz, Seymour I., M.D. Principle of Surgery 5 th Edition. Singapore: McGraw – Hill, Hal 1459-1467
5. Townsend Jr, Courtney M., M.D tahun 2004 Sabiston Textbook of Surgery 17 th Edition. USA: Elsevier, Hal 1180-1186