BAB IPENDAHULUANA. PengertianDiabetes melitus merupakan penyakit
endokrin yang paling lazim. Frekuensi sesungguhnya sulit di peroleh
karena perbedaan standar diagnosis tetapi mungkin antara 1 dan 2
persen jika hiperglikemi puasa merupakan kriteria diagnosis,
perubahan dalam diagnosis dan klasisfikasi DM terus menerus terjadi
baik oleh WHO maupun American Diabetes Association (ADA).3 Para
pakar di Indonesia pun bersepakat melelui PERKENI (Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia) pada tahun 1993 untuk membicarakan standar
pengelolaan diabetes melitus, yang kemudian juga melakukan revisi
konsensus tersebut pada tahun 1998 dan 2002 yang menyesuaikan
dengan perkembangan baru, serta menurut American Diabetes
Association (ADA) tahun 2010, karakteristik hiperglikemi yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya.1 Hiperglikemi kronik pada diabetes berhubungan dengan
kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ
tubuh, terutama mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembulu darah.
World Health Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa
DM merupakan sesuatu yang tidak dapat di tuangkan dalam satu
jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat di katakana
sebagai suatu kumpulan problem anatomik dan kimiawi akibat dari
sejumlah faktor di mana didapat defisisensi insulin absolut atau
relatif dan gangguan fungsi insulin. Yang di manan beberapa
kepustakaan juga menjelaskan bahwa diabetes melitus merupakan
gangguan metabolism yang secara genetis dan klinis termasuk
heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi
karbohidrat. Jika telah berkembang penuh secara klinis, maka
diabetes melitus di tandai dengan hiperglikemi puasa dan
postprandial, aterosklerotik dan penyakit vaskular mikroangipati
dan neuropati. Manifestasi klinis hiperglikemi biasanya sudah
bertahun tahun mendahului timbulnya kelainan klinis dari penyakit
vaskularnya pasien dengan kelainan dengan toleransi glukosa ringan
(gangguan glukosa puasa dan gangguan toleransi glukosa) dapat tetap
beresiko mengalami komplikasi metabolic diabetes.2
B. EpidemiologiBerbagai penelitian epidemiologi menunjukkan
adanya kecenderungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM
tipe2 di berbagai penjuru dunia. WHO memprediksi adanya peningkatan
jumlah penyandang diabetes yang cukup besar pada tahun-tahun
mendatang. WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di
Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta
pada tahun 2030. Senada dengan WHO, International Diabetes
Federation (IDF) pada tahun 2009, memprediksi kenaikan jumlah
penyandang DM dari 7,0 juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada
tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan angka prevalensi, laporan
keduanya menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM
sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030. Laporan dari hasil
penilitian di berbagai daerah di Indonesia yang dilakukan pada
dekade 1980-an menunjukkan sebaran prevalensi DM tipe2 antara 0,8%
di Tanah Toraja, sampai 6,1% yang didapatkan di Manado. Hasil
penelitian pada rentang tahun 1980-2000 menunjukkan peningkatan
prevalensi yang sangat tajam. Sebagai contoh,pada penelitian di
Jakarta (daerah urban), prevalensi DM dari 1,7% pada tahun 1982
naik menjadi 5,7% pada tahun 1993 dan meroket lagi menjadi 12,8%
pada tahun 2001. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia
tahun 2003, diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia di atas 20
tahun sebanyak 133 juta jiwa. Dengan prevalensi DM sebesar 14,7%
pada daerah urban dan 7,2%, pada daerah rural, maka diperkirakan
pada tahun 2003 terdapat sejumlah 8,2 juta penyandang diabetes di
daerah urban dan 5,5 juta di daerah rural. Selanjutnya, berdasarkan
pola pertambahan penduduk, diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan
ada 194 juta penduduk yang berusia di atas 20 tahun dan dengan
asumsi prevalensi DM pada urban (14,7%) dan rural (7,2%) maka
diperkirakan terdapat 12 juta penyandang diabetes di daerah urban
dan 8,1 juta di daerah rural. Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007 oleh Departemen Kesehatan, menunjukkan bahwa
prevalensi DM di daerah urban Indonesia untuk usia diatas 15 tahun
sebesar 5,7%. Prevalensi terkecil terdapat di Propinsi Papua
sebesar 1,7%, dan terbesar di Propinsi Maluku Utara dan Kalimanatan
Barat yang mencapai 11,1%. Sedangkan prevalensi toleransi glukosa
terganggu (TGT), berkisar antara 4,0% di Propinsi Jambi sampai
21,8% di Propinsi Papua Barat. Data-data diatas menunjukkan bahwa
jumlah penyandang diabetes di Indonesia sangat besar dan merupakan
beban yang sangat berat untuk dapat ditangani sendiri oleh dokter
spesialis/subspesialis atau bahkan oleh semua tenaga kesehatan yang
ada. Mengingat bahwa DM akan memberikan dampak terhadap kualitas
sumber daya manusia dan peningkatan biaya kesehatan yang cukup
besar, maka semua pihak, baik masyarakat maupun pemerintah, sudah
seharusnya ikut serta dalam usaha penanggulangan DM, khususnya
dalam upaya pencegahan. Diabetes melitus merupakan penyakit menahun
yang akan diderita seumur hidup. Dalam pengelolaan penyakit
tersebut, selain dokter, perawat, ahli gizi, dan tenaga kesehatan
lain, peran pasien dan keluarga menjadi sangat penting. Edukasi
kepada pasien dan keluarganya bertujuan dengan memberikan pemahaman
mengenai perjalanan penyakit, pencegahan, penyulit, dan
penatalaksanaan DM, akan sangat membantu meningkatkan keikutsertaan
keluarga dalam usaha memperbaiki hasil pengelolaan. Untuk
mendapatkan hasil pengelolaan yang tepat guna dan berhasil guna,
serta untuk menekan angka kejadian penyulit DM, diperlukan suatu
standar pelayanan minimal bagi penyandang diabetes. Penyempurnaan
dan revisi secara berkala standar pelayanan harus selalu dilakukan
dan disesuaikan dengan baik.5
C. Faktor Resiko DiabetesFaktor risiko diabetes sama dengan
faktor risiko untuk intoleransi glukosa yaitu :Faktor risiko yang
tidak bisa dimodifikasi : Ras dan etnik Riwayat keluarga dengan
diabetes (anak penyandang diabetes) Umur.Risiko untuk menderita
intoleransi glukosa meningkat seiring dengan meningkatnya usia.
Usia > 45 tahun harus dilakukan pemeriksaan DM. Riwayat
melahirkan bayi dengan BB lahir bayi>4000 gram atau riwayat
pernah menderita DM gestasional (DMG). Riwayat lahir dengan berat
badan rendah, kurang dari 2,5 kg. Bayi yang lahir dengan BB rendah
mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding dengan bayi lahir
dengan BB normal.5
Faktor risiko yang bisa dimodifikasi : Berat badan lebih (IMT
> 23 kg/m2). Kurangnya aktivitas fisik. Hipertensi (> 140/90
mmHg). Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida >
250 mg/dL) Diet tak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi gula
dan rendah serat akan meningkatkan risiko menderita prediabetes/
intoleransi glukosa dan DM tipe 2.5
Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes : Penderita
Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang
terkait dengan resistensi insulin, Penderita sindrom metabolik
memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa
darah puasa terganggu (GDPT)sebelumnya. Memiliki riwayat penyakit
kardiovaskular, seperti stroke, PJK, atau PAD (Peripheral Arterial
Diseases).5
Intoleransi Glukosa Intoleransi glukosa merupakan suatu keadaan
yang mendahului timbulnya diabetes. Angka kejadian intoleransi
glukosa dilaporkan terus mengalami peningkatan. Istilah ini
diperkenalkan pertama kali pada tahun 2002 oleh Department of
Health and Human Services (DHHS) dan The American Diabetes
Association (ADA). Sebelumnya istilah untuk menggambarkan keadaan
intoleransi glukosa adalah TGT dan GDPT. Setiap tahun 4-9% orang
dengan intoleransi glukosa akan menjadi diabetes. Intoleransi
glukosa mempunyai risiko timbulnya gangguan kardiovaskular sebesar
satu setengah kali lebih tinggi dibandingkan orang normal.
Diagnosis intoleransi glukosa ditegakkan dengan pemeriksaan TTGO
setelah puasa 8 jam. Diagnosis intoleransi glukosa ditegakkan
apabila hasil tes glukosa darah menunjukkan salah satu dari
tersebut di bawah ini : Glukosa darah puasa antara 100125 mg/dL
Glukosa darah 2 jam setelah muatan glukosa (TTGO) antara 140-199
mg/dL. Pada pasien dengan intoleransi glukosa anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang dilakukan ditujukan untuk mencari faktor
risiko yang dapat dimodifikasi.5
D. Patofisiologi Pasien diabetes melitus tipe 2 memiliki defek
fisiologik. Sekresi insulin abnormal dan resistensi terhadap
insulin pada jaringan sasaran (target). Abnormalitas mana yang
utama tidak di ketahui. Secara deskriptif, tiga fase dapat di
kenali pada urutan klinis yang biasa. Pertama, glukosa plasma masih
normal meskipun terdapat resistensi insulin, pada fase kedua,
resistensi insulin cenderung memburuk sehingga meskipun konsentrasi
insulin meningkat, tampak intoleransi glukosa dalam bentuk
hiperglikemi setelah makan. Pada fase ketiga, resistensi insulin
tidak berubah, tetapi sekresi insulin menurun menyebabkan
hiperglikemi yang nyata dan diabetes yang nyata. Kebanyakan
meyakini bahwa resistensi insulin merupakan hal yang pertama.,
hiperinsulinemia yang kedua jadi sekresi insulin meningkat untuk
mengkompensasi keadaan resistensi. Namun hipersekresi insulin dan
(amilin) menyebabkan resistensi insulin yaitu defek sel pankreas
primer menyebabkan hipersekresi insulin dan sebaliknya hipersekresi
insulin menyebabkan resistensi insulin. Hipotesis yang menjelaskan
melibatkan sintesis lemak yang terstimulus insulin dalam hati
dengan transport lemak (melalui lipoprotein kepadatan sangat
rendah) menyebabkan penyimpanan lemak skunder dalam otot.
Peningkatan oksidasi lemak akan mengganggu ambilan glukosa dan
sintesis glikogen. Penurunan pelepasan insulin yang terlambat dapat
di sebabkan oleh efek toksik glukosa terhadap pulau pankreas atau
akibat defek genetic yang mendasari. Sebagian besar pasien diabete
melitus tipe 2 mengalami obesitas, dan obesitas itu sendiri dapat
menyebabkan resistensi insulin. Namun penderita diabetes melitus
tipe 2 yang tidak mengalam obesitas juga dapat mengalami
hiperinsulinemia dan pengurangan kepekaan insulin, di sini
menjelaskan bawa obesitas bukanlah penyebab satu satunya dari suatu
keasaan resistensi insulin, namun hal ini bukan untuk mengurangi
pentingnya peranan kelebihan lemak, sebab penurunan berat badan
yang sederhana seri ngkali menghasilkan perbaikan besar dalam
pengendalian glukosa darah pada penderita diabetes tipe 2 yang
obesitas.3Sumber Gambar google.comSebagai ringkasan, defek sekresi
insulin dan resistensi insulin merupakan cirikhas diabetes melitus
tipe 2. Mungkin keduanya di perlukan untuk penampakan diabetes,
karena individu yang sangat obes dengan resistensi insulin yang
nyata dapat mempunyai toleransi glukosa normal. Mungkin individu
ini tidak mempunyai lesi sel beta dan dapat menunjukan defek utam
terletak pada sel penghasil insulin. Massa sel beta intak pada
diabetes melitus tipe 2, berlawanan dengan diabetes melitus tipe 1.
Di sini populasi alfa meningkat, menyebabka peningkatan ratio sel
alfa dan beta. Hal ini menyebabkan kelebihan relative glucagon di
banding insulin yang merupakan cirri khas dari diabetes melitus
tipe 2 dan gambaran semua hiperglikemik. Meskipun resistensi
insulin pada diabetes melitus tipe 2 di sertai dengan penurunan
jumlah reseptor insulin, sebagian besar resistensi adalah tipe
pascareseptor. Sudah lama di ketahui bahwa endapat amiloid di
temukan dalam pakreas pasien diabetes melitus tipe 2. Bahan ini
adalah asam amino 37 yang di sebut amilin. Amilin normalnya
terbungkus bersama sama dengan insulin dalam granula sekretori dan
di keluarkan bersama sama sebagai respon terhadap pengeluaran
insuli. Penumpukan amilin amilin dalam pulai pankreas mungkin
merupakan akibat kelebihan produksi sekunder karena resistensi
insulin. Kemungkinan lain, penumpukan amilin dalam pulau pankreas
dapat menyebabkan kegagalan lambat produksi insulin dengan diabetes
melitus tipe 2 yang sudah berjalan lama. Kesimpulan yang paling
aman adalah bahwa peran amilin belum di buktikan.3E. Etiologi a.
Genetik pada pasien pasien dengan diabetes melitus tipe 2,
penyakitnya memiliki pola familia yang kuat. Indeks untuk diabetes
tipe 2 pada kembar monozigot hamper 100%. Resiko berkembangnya
diabetes tipe 2 pada saudara kandung mendekati 40% dan 33% untuk
anak cucunya. Transmisi genetik adalah paling kuat dan contoh
terbaik, yaitu subtype penyakit diabetes yang di turunkan dengan
pola autosmal dominan. Jika orang tua menderita diabetes tipe 2,
rasio diabetes dan non diabetes pada anak adalah 1:1, dan sekitar
90% pasti membawa(carier) diabetes tipe 2. Diabetes tipe 2 di
tandai dengan kelainan sekresi insulin, serta kerja insulin. Pada
awalnya tampak terdapat resistensi dari sel sasaran terhadap kerja
insulin. Insulin mula mula mengikat dirinya kepada reseptor
permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi interaselular yang
menyebabkan mobilisasi pembawa GLUT 4 glukosa dan meningkatnkan
transport glukosa menembus membrane sel. Pada pasien pasien dengan
diabetes melitus tipe 2 terdapat kelainan dalam pengikatan insulin
dengan reseptor. Kelainan ini dapat di sebabkan oleh berkurangnya
jumlah tempat reseptor pada membrane sel yang selnya responsif
terhadap insulin atau akibat ketidak normalan reseptor insulin
interinsik. Akibatnya, terjadi penggabungan abnormal antara
kompleks reseptor insulin dan transport glukosa. Ketidak normalan
post reseptor dapat mengganggu kerja insulin. Pada akhirnya, timbul
kegagalan sel beta dengan menurunya jumlah insulin yang beredar dan
tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemi.3
b. ObesitasSekitar 80% pasien diabetes tipe 2 mengalami
obesitas. Karena obesitas berkaitan dengan resistensi insulin, maka
kelihatanya akan timbul kegagalan toleransi glukosa yang
menyebabkan diabetes tipe 2. Pengurangan berat badan sering kali di
kaitkan dengan perbaikan dalam sensitivitas insulin dan pemulihan
toleransi glukosa.3
F. Diagnosis Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan
kadar glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar
adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa
darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik
dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh
(wholeblood), vena, ataupun angka kriteria diagnostik yang berbeda
sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa
darah kapiler dengan glukometer. Berbagai keluhan dapat ditemukan
pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan
apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah ini: Keluhan
klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya Keluhan lain dapat
berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.5Diagnosis DM
dapat ditegakkan melalui tiga cara: Jika keluhan klasik ditemukan,
maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah cukup
untuk menegakkan diagnosis DM Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126
mg/dL dengan adanya keluhan klasik. Tes toleransi glukosa oral
(TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitif dan
spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun
pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk
dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan
karena membutuhkan persiapan khusus.5
Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa
dapat dilihat pada bagan1. Kriteria diagnosis DM untuk dewasa tidak
hamil dapat dilihat pada tabel-2. Apabila hasil pemeriksaan tidak
memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada hasil yang
diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi
glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO
didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 199 mg/dL
(7,8-11,0 mmol/L). GDPT:Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah
pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100 125 mg/dL
(5,6 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140
mg/dL.5
Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL (11,1
mmol/L) Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat
pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir Atau
Gejala klasik DM + Kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dL (7.0
mmol/L) Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan
sedikitnya 8 jam Atau
Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L) TTGO
yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang
setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam
air.
* Pemeriksaan HbA1c (>6.5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan
menjadi salah satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada
sarana laboratorium yang telah terstandardisasi dengan baik.
Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994): Tiga hari sebelum
pemeriksaan, pasien tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari
(dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan
jasmani seperti biasa Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam
hari) sebelumpemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap
diperbolehkan Diperiksa kadar glukosa darah puasa Diberikan glukosa
75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak), dilarutkan
dalam air 250 mL dan diminumdalam waktu 5 menit Berpuasa kembali
sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah
minum larutan glukosa selesai Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua)
jam sesudah beban glukosa Selama proses pemeriksaan, subjek yang
diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.5
Catatan :Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan
kelainan hasil, dilakukan ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang
berusia >45 tahun tanpa faktor risiko lain, pemeriksaan
penyaringan dapat di lakuakan setiap 3 tahun.
Gambaran klinis Manivestasi diabetes melitus bervariasi dari
pasien ke pasien. Pertolongan medis paling sering dicari karena
gejala yang berkalitan dengan hiperglikemi
(Poliuria,Polidipsia,Polifagia), tetapi kejadian pertama mungkin
berupa dekompensasi metabolik akut yang menyebabkan koma diabetik.
Kadang kadang penampakan awal berupa penyulit degenarif seperti
neuropati tampa hiperglikemi bergejala. Kekacauan metabolic pada
diabetes di sebabkan oleh defisiensi insulin absolute atau relative
dan kelebihan glukagon absolute atau relatif. Normalnya terdapat
peningkatan rasio molar glukagon terhadap insulin yang menyebabkan
dekompensasi metabolik. Perubahan rasio ini dapat di sebabkan oleh
penurunan insulin atau kenaikan konsentrasi glukagon, sendiri
sendiri atau bersama sama. Secara konseptual perubahan respon
biologik terhadap salah satu hormon dapat menyebabkan efek serupa.
Karena itu resistensi insulin dapat menyebabkan efek metabolic
seperti peningkatan rasio glukagon/insulin meskipun rasio kedua
hormone dalam plasma yang di nilai dengan immunoassay tidak jelas
abnormal atau bahkan menurun (glukosa aktif secara biologic,
insulin relative inaktif).3
Penyulit DiabetesPenyulit Akut1. Ketoasidosis diabetik
(KAD)Merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan
peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL),
disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma
keton(+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/mL) dan
terjadi peningkatan anion gap.52. Status Hiperglikemi Hiperosmolar
(SHH)Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat
tinggi (600-1200 mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis,
osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/mL), plasma keton
(+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat.5Catatan:kedua
keadaan (KAD dan SHH) tersebut mempunyai angka morbiditas dan
mortalitas yang tinggi. Memerlukan perawatan di rumah sakit guna
mendapatkan penatalaksanaan yang memadai.53.
HipoglikemiaHipoglikemia dan cara mengatasinya Hipoglikemia
ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg/dL Bila
terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus selalu
dipikirkann kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia
paling sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin.
Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga
harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat
telah habis. Terkadang diperlukan waktu yang cukup lama untuk
pengawasannya (24-72 jam atau lebih, terutama pada pasien dengan
gagal ginjal kronik atau yang mendapatkan terapi dengan OHO kerja
panjang). Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal yang
harus dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya
kemunduran mental bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM
usia lanjut sering lebih lambat dan memerlukan pengawasan yang
lebih lama.5 Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik
(berdebardebar, banyak keringat, gemetar, dan rasa lapar) dan
gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai
koma).5 Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang
memadai. Bagi pasien dengan kesadaran yang masih baik, diberikan
makanan yang mengandung karbohidrat atau minuman yang mengandung
gula berkalori atau glukosa 15-20 gram melalui intra vena. Perlu
dilakukan pemeriksaan ulang glukosa darah 15 menit setelah
pemberian glukosa. Glukagon diberikan pada pasien dengan
hipoglikemia berat.5 Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar,
sementara dapat diberikan glukosa 40% intravena terlebih dahulu
sebagai tindakan darurat, sebelum dapat dipastikan penyebab
menurunnya kesadaran.5Infeksi PenyertaAdanya infeksi pada pasien
sangat berpengaruh terhadap pengendalian glukosa darah. Infeksi
dapat memperburuk kendali glukosa darah, dan kadar glukosa darah
yang tinggi meningkatkan kemudahan atau memperburuk infeksi.
Infeksi yang banyak terjadi antara lain: Infeksi saluran kemih
(ISK) Infeksi saluran nafas: pneumonia, TB Paru Infeksi kulit:
furunkel, abses Infeksi rongga mulut: infeksi gigi dan gusi Infeksi
telinga: otitis eksterna maligna ISK merupakan infeksi yang sering
terjadi dan lebih sulit dikendalikan. Dapat mengakibatkan
terjadinya pielonefritis dan septikemia. Kuman penyebab yang sering
menimbulkan infeksi adalah: Escherichia coli dan Klebsiella.
Infeksi jamur spesies kandida dapat menyebabkan sistitis dan abses
renal. Pruritus vagina adalah manifestasi yang sering terjadi
akibat infeksi jamur vagina. Pneumonia pada diabetes biasanya
disebabkan oleh: streptokokus, stafilokokus, dan bakteri batang
gram negatif. Infeksi jamur pada pernapasan oleh aspergillosis, dan
mucormycosis juga sering terjadi. Penyandang diabetes lebih rentan
terjangkit TBC paru. Pemeriksaan rontgen dada, memperlihatkan pada
70% penyandang diabetes terdapat lesi paru-paru bawah dan kavitasi.
Pada penyandang diabetes juga sering disertai dengan adanya
resistensi obat-obat Tuberkulosis. Kulit pada daerah ekstremitas
bawah merupakan tempat yang sering mengalami infeksi. Kuman
stafilokokus merupa kan kuman penyebab utama. Ulkus kaki terinfeksi
biasanya melibatkan banyak mikro organisme, yang sering terlibat
adalah stafilokokus, streptokokus, batang gram negatif dan kuman
anaerob. Angka kejadian periodontitis meningkat pada penyandang
diabetes dan sering mengakibatkan tanggalnya gigi. Menjaga
kebersihan rongga mulut dengan baik merupakan hal yang penting
untuk mencegah komplikasi rongga mulut. Ada penyandang diabetes,
otitis eksterna maligna sering kali tidak terdeteksi sebagai
penyebab infeksi.5
Penyulit Menahun1. Makroangiopati Pembuluh darah jantung
Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer sering terjadi pada
penyandang diabetes. Biasanya terjadi dengan gejala tipikal
claudicatio intermittent, meskipun sering tanpa gejala. Terkadang
ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul. Pembuluh
darah otak.2. Mikroangiopati: Retinopati diabetik Kendali glukosa
dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko dan memberatnya
retinopati. Terapi aspirin tidak mencegah timbulnya retinopati
Nefropati diabetik Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan
mengurangi risiko nefropati Pembatasan asupan protein dalam diet
(0,8 g/kgBB) juga akan mengurangi risiko terjadinya nefropati.5
3. Neuropati Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah
neuropati perifer, berupa hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi
untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Gejala yang sering
dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan lebih
terasa sakit di malam hari. Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada
setiap pasien perlu dilakukan skrining untuk mendeteksi adanya
polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi sederhana, dengan
monofilamen 10 gram sedikitnya setiap tahun. Apabila ditemukan
adanya polineuropati distal, perawatan kaki yang memadai akan
menurunkan risiko amputasi. Untuk mengurangi rasa sakit dapat
diberikan duloxetine, antidepresan trisiklik, atau gabapentin.
Semua penyandang diabetes yang disertai neuropati perifer harus
diberikan edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus
kaki. Untuk penatalaksanaan penyulit ini seringkali diperlukan
kerja sama dengan bidang/disiplin ilmu lain.5
BAB IIPEMBAHASANI. DEFINISINeuropati diabetik adalah munculnya
gejala dan tanda-tanda disfungsi saraf tepi pada penderita DM,
setelah penyebab lain disingkirkan. Manifestasi ND dapat subklinik
maupun klinik dan sangat bervariasi. Tidak ada ND tunggal. Oleh
karena menyangkut saraf tepi, maka gangguannya dapat melibatkan
saraf aferen (sensorik) dan sistem eferen. Sistem saraf eferen
termasuk sistem somatik dan otonomik. Neuron sistem somatik
menyampaikan informasi dari susunan saraf pusat (SSP) kepada
otot-oto skeletal, sistem otonomik (SO) menyampaikan informasi dari
SSP kepada otot polos, otot jantung, dan kelenjar. Dalam SO banyak
organ tubuh mendapat inervasi kembar. Serabut saraf parasimpatis
mengatur fungsi tubuh untuk lebih istirahat (contoh: mengosongkan
vesica urinaria), sedang serabut simpatis mempersiapkan tubuh untuk
aktivitas fisik.
II. PREVALENSIBerbagai studi melaporkan prevalensi neuropati
diabetik yang bervariasi. Bergantung pada batasan definisi yang
digunakan, kriteria diagnostik, metode seleksi pasien dan populasi
yang diteliti, prevalensi neuropati diabetik berkisar dari 25-50%.
Angka kejadian dan derajat keparahan neuropati diabetik juga
bervariasi sesuai dengan usia, lama menderita DM, kendali glikemik,
juga fluktuasi kadar glukosa darah sejak diketahui DM. Pada suatu
penelitian besar, neuropati simptomatis ditemukan pada 28,5% dari
6.500 pasien DM. Pada studi Rochester, walaupun neuropati
simptomatis ditemukan hanya 13% pasien DM, ternyata lebih besar
dari segalanya ditemukan neuropati dengan pemeriksaan klinis. Studi
lain melaporkan kelainan kecepatan hantar saraf sudah didapati pada
15,2% pasien DM baru, sementara tanda klinis neuropati hanya
dijumpai pada 2,3%.
III.ETIOLOGIKejadian neuropati diabetik berawal dari
hiperglikemia (kadar gula darah yang tinggi, di atas nilai normal)
berkepanjangan. Keadaan ini akan mengaktifkan jalur metabolisme
abnormal yang menghasilkan timbunan produk-produk akhir glukosa
(sorbitol dan advance glycosilation end products/AGEs). Bahan-bahan
tersebut mengganggu transmisi sinyal sel-sel saraf, menurunkan
kemampuan saraf membuang radikal bebas, dan juga merusak sel saraf
secara langsung. Selain itu keadaan hiperglikemia juga mengganggu
peredaran darah ke sistem saraf.
IV. GEJALA DAN TANDA-TANDA NEUROPATI DIABETIKGambaran klinik ND
bermacam-macam dan bervariasi, tergantung saraf yang tersangkut
atau jenis sistem saraf, apakah sensorik, motorik atau otonom.
Sistem saraf sensorik akan terjadi nyeri ND dan abnormalitas
sensorik lain (gejala positif atau gejala negatif, lihat depan).
Gejala dan tanda jenis ND ini terjadi pada neuropati hiperglikemik,
polineuropati distal simetris diabetic (DSDP), neuropati asimetris
dan polineuropati dimielinisasi inflamasi kronik (CIPD).
A. Termasuk DSDP adalah:1. Polineuropati distal simetris
Merupakan manifestasi ND paling banyak terjadi. Pertama kali
menyangkut saraf yang paling panjang (length dependent pattern).
Meski gejala utama abnormalitas sensorik, tetapi fungsi motorik dan
otonom dapat pula tersangkut. Gejala positif dan negatif menjadi
lebih berat pada malam hari. Lokasi anestesia merupakan
predisposisi terjadinya ulkus dan gangren pada kaki. Ada gangguan
persepsi vibrasi.
2. Neuropati serabut kecil Lebih sering terutama menyangkut
serabut sensorik A-delta dan C. Manifestasi sebagai nyeri
parestesia, yang dirasa sebagai burning, stabbing, crushing,
aching, atau kram , yang lebih berat pada malam hari. Refleks tendo
dan propioseptik relatif normal.
3. Neuropati otonom Jarang yang murni otonom. Tanda-tanda
termasuk hipotensi ortostatik, takikardi saat istirahat, kehilangan
aritmia sinus, anhidrosis, disfungsi miksi dan defekasi, pupil
miosis tetapi reaktif.
4. Neuropati kakeksia Cepat terjadi penurunan berat badan dengan
disfungsi otonom, neuropati serabut kecil, nyeri kulit yang berat
dan lama. Lebih sering pada laki-laki yang lebih tua dan sering
terjadi impotensi.
B. Neuropati asimetris (neuropati fokal/multifokal) meliputi:1.
Mononeuropati saraf otak (II, III, IV, VI, VII) Pada N II:
neuropati optik anterior iskemik yang manifes sebagaikehilangan
visus mendadak atau defek lapangan pandang, papil edema,atau
perdarahan retina. Pada N III,IV, VI: nyeri periorbita akut atau
subakut diikuti nyeri nkepala dan diplopia, kelemahan otot orbita
tergantung saraf masingmasing.Pada umumnya terjadi pemulihan
spontan dalam 3-6 bulan. Pada N VII terjadi paresis fasial akut
atau subakut tanpa gangguanpengecap, dapat kambuh atau
bilateral.
2. Mononeuropati somatik Neuropati fokal pada anggota gerak,
disebabkan oleh kompresi atau penjepitan (compression or
entrapment) terutama pada N.medianus (carpal tunnel syndrome),
N.ulnaris, N.peroneus. Gejalanya dapat bilateral.
3. Poliradikulopati Keluhan gejala positif, semula unilateral,
kemudian mungkin terjadi menjadi bilateral, sering terjadi alodinia
dan gejala negatif. Paling banyak diderita pasien umur lebih dari
50 tahun pada DM tipe 2 dan penurunan berat badan yang nyata.
4. Radikulopleksopatia Disebutkan sebagai neuropati motorik
proksimal simetris, amiotrofi diabetik, neuropati femoral diabetik,
neurpatia femoroskiatik atau mielopati diabetik (Bruhn-Garland
Syndrome). Lebih banyak pada pasien laki-laki, lebih dari 50 tahun
yang kurang terkontrol. Pada 50% penderita mengalami penurunan
berat badan yang nyata. Mulai nyeri unilateral pada pangkal paha
belakang , bahu atau leher yang mendadak dan berat.
C. Pada CIPD pasien diabetes Perjalanan gejala lebih kronis
(lebih 180 bulan) berat badan tidak berubah, lebih banyak terjadi
neuropati distal lengan. Dimielinisasi lebih sering pada DM tipe 1,
memberi kesan bahwa faktor autoimun berperan.
D. Neuropatia otonomikGejala neuropati otonom meliputi; Sistem
sudorimotor: kulit kering atau hiperhidrosis bagian badan tertentu
(kepala dan badan atas), gustatory sweating (produksi keringat yang
abnormal lebih) pada muka, kepala, leher, bahu dan dada depan)
bahkan setelah menyantap makanan tidak pedas . Sistem
kardiovaskuler: peningkatan denyut jantung saat istirahat (resting
tachycardia >100 x/menit), dan hipotensi ortostatik. Disfungsi
otonom ini dapat meningkatkan angka kematian akibat silent miocard
ischemia, meningkatkan predisposisi aritmia kordia dan gangguan
keseimbangan simpatis-parasimpatis jantung.
Sistem genitourinal; disfungsi vesica urinaria, meningkatkan
residu urin, vesica urinaria overdistensi, retensi urin dan
inkontinensia urin overflow atau menetes (dribbling) yang
mempermudah terjadinya komplikasi sekunder seperti infeksi salurang
kencing (ISK) dan pielonefritis. Pada pria dapat terjadi gangguan
ereksi (30%-75%) merupakan gejala dini, danejakulasi retrograd
akibat kegagalan menutup bladder neck (simpatis). Pada wanita
terjadi gangguan lubrikasi vaginal, dan kehilangan kemampuan
mencapai klimak.
Pada sistem gastrointestinal dapat terjadi;o Gastropatia
diabetik (>50%), pasien mengalami hipoglikemi setelah makan yang
diikuti puncak hiperglikemia lambat, sebagai akibat ketidaksesuaian
antara masuknya makanan ke dalam usus halus, absorbsi nutrien dan
onset aksi insulin. Gastropati dapat mengakibatkan lingkaran setan
dari masalah kontrol glikemia, status nutrisi yang jelek dan
komplikasi gastrointestinal lebih lanjut.
o Gastroparesis manifes sebagai mual, muntah setelah makan,
kembung (bloating), sendawa (belching), kehilangan nafsu makan dan
cepat kenyang. Gastroparesis dapat mempersulit kontrol kadar gula
darah secara adekuat.
o Konstipasi terjadi pada lebih dari 60% pasien DM, namun
patofisiologi gejala tidak jelas.
o Diarrhoea dapat pula terjadi bahkan diarrhoea yang terjadi
adalah banyak sekali (profuse) dan cair, khasnya terjadi pada malam
hari. Ini dapat menetap untuk keberapa jam atau hari, dan dalam
banyak kasus bergantian dengan konstipasi. Gejala diarrhoea ini
lebih sering terjadi pada DM tipe 1. Pada DM tipe 2 terapi dengan
obat oral anti diabetik (OAD) seperti metformin kemungkinan menjadi
penyebab diarrhoea. Penurunan sensasi rektal atau ketidakmampuan
sfingter ani dapat menimbulkan inkontensia alvi.
VI. PATOFISIOLOGI NEUROPATI DIABETIKFaktor-faktor terpenting
untuk perkembangan ND masih belum jelas, meski diajukan banyak
hipotesis. Penelitian eksperimental terkini memberikan adanya
multifaktorial patogenesis ND. Ada dua pendekatan untuk menjelaskan
patogenesis ND.
Pertama adalah pemeranan yang lebih baik dari patofisiologi,
patobiokimia danabnormalitas struktural yang dihasilkan dalam ND
eksperimental. Pendekatan kedua adalah pelaksanaan intervensi
terapi khusus yang bertujuan untuk mencegah perkembangan perubahan
yang terjadi pada hiperglikemi, menghentikan perkembangannya atau
mengurangi regresinya. Kini ada beberapa mekanisme yang mendukung
patogenesis ND, ialah:
1. Teori metabolikHiperglikemi menyebabkan peningkatan glukosa
ekstraseluler neuron, penting untuk saturasi jalur glikolitik
normal. Glukosa ekstrasel dilangsir ke dalam jalur polyol dan
dirubah menjadi sorbitol dan fruktosa oleh enzim aldose reduktase
dan sorbitol dehidrogenase. Penimbunan sorbitol dan fruktosa
menimbulkan penurunan mioinositol (myo-inositol depletion) dan
menurunkan aktifitas Na+/ K+ membrane, menggagalkan transport
aksonal, kerusakan struktural sarafnya (edema paranodal, atrofi
akson dan degenerasi serabut saraf) yang menyebabkan perambatan
potensi aksi abnormal.
2. Teori vaskulerPada teori ini terjadinya iskemia endoneuronal
adalah akibat peningkatan resistensi vaskuler terhadap
hiperglikemi. Akan terjadi akumulasi Advanced Glycosylation End
products (AGE) pada saraf dan atau vasa darah. Akibatnya
menghasilkan kerusakan kapiler, penghambatan transport aksonal,
penurunan aktifitas Na/ K ATPase ++ akhirnya terjadi degenerasi
aksonal.
3. Teori perubahan neurotrophic supportFaktor neurotropik adalah
penting untuk rumatan, perkembangan dan regenerasi elemen-elemen
yang responsif terhadap sistem saraf. Yang paling banyak dipelajari
adalah nerve growth factor (NGF) disamping neurotrophin-3 dan
insulin-like growth factor I (IGF-I). Protein-protein tersebut
memperkembangkan kehidupan saraf simpatis dan regenerasi serabut
saraf kecil pada sistem saraf tepi, mendukung patogenesis ND yang
mengalami perubahan transport aksonal.
VII. DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDINGDugaan adanya ND sering
hanya berdasarkan hasil anamnesis tentang gejala dan tanda klinis.
Namun sebenarnya perlu pemeriksaan yang lebih lanjut, terutama pada
masing-masing jenis ND, entah ND sensorik, otonom atau motorik yang
berhubungan dengan prognosis yang kurang baik.
Pada DSDP dicari penyebab polineuropati lain, sehingga perlu
pemeriksaan laboratorium patologi klinik, seperti pemeriksaan sel
darah lengkap, elektrolit, ureum, fungsi liver, lipid, kadar
vitamin B12, asam folat, hormon tiroid (T3, T4) dan protein. Dapat
pula pemeriksaan rhematoid faktor dan antibodi kanker pada dugaan
polineuropati amiloid atau tumor medula spinal. Ada lima kriteria
yang diperlukan untuk menegakkan DSDP adalah;1. Pasien jelas
mempunyai DM.2. DM yang menyebabkan hiperglikemia kronik jangka
panjang.3. Pada tungkai polineuropatia sensorimotor lebih
menonjol.4. Ada retinopati dan nefropati yang kurang lebih sama
berat denganpolineuropati.5. Penyebab lain polineuropati
sensorimotor disingkirkan.
Pemeriksaan diagnostik adanya kerusakan saraf adalah dengan
elektromiografi (EMG). Pada DSDP kecepatan hantar saraf tepi (KHST)
dapat normal atau lebih lambat. Bila KHST < 70% pada tungkai
adalah abnormal dan bila terjadi blok KHST mingkin mempunyai
kerusakan abnormal atau disertai demielinisasi. Adanya kelambatan
fokal, pada umumnya terjadi padamononeuropati, seperti pada CTS,
N.peroneus, N.ulnaris, dan N.radialis.
Diagnosis banding mononeuropati kranial adalah Bells Palsy atau
aneurisma intrakranial. Neuropati torakoabdominal dibedakan dengan
herpes zoster, tumor spinal, infark miokard, koksitis akut,
apendiksitis akut, atau divertikulosis. Pada
poliradikulopleksopatia lumbosakral dibedakan dengan tumor medula
spinal, HNP, infiltrasi malignansi pada radiks dan neuropati
inflamasi. Neuropati otonomik kardiovaskular (CAN) mempunyai tiga
stadium pokok yaitu adanya denervasi kardiak, hipotensi ortostatik,
dan intoleransi latihan (cardiac denervation, otrhostatic
hypotension and exercise intolerance). Untuk menegakkan dugaan
adanya CAN ada tiga pemeriksaan ialah variasi RR selama bernafas
dalam (RR- Variation during deep breathing), manuver valsava dan
respon tekanan darah terhadap perubahan posisi berdiri. RR
variation adalah adanya penyimpangan RR interval (jarak antara
gelombang R pada kompleks QRS) pada rekaman elektrokardiografi.
Pemeriksaan ini merupakan gambaran arkus refleks neural sederhana
sedang fungsi manuver Valsava adalah pencerminan arkus reflek
neural kompleks (jalur simpatis-parasimpatis pada jantung, jalur
simpatis ke cabang vaskuler dan baroreseptor dalam dada dan
paru).
Manuver Valsava dilakukan dengan pemasangan EKG selama
pemeriksaan, penderita menggembungkan pipi (menghembus dengan mulut
tertutup) selama 15 detik dan tekanan manometer dipertahankan
meningkat 40 mmHg. Selama penghembusan terjadi takikardi dan
vasokonstriksi perifer, selama pelepasan ada bradikardi dan
peningkatan tekanan darah pada orang normal. Respon tekanan darah
untuk berdiri, ditujukan terutama untuk menilai fungsi simpatis.
Pada hipotensi ortostatik selama berdiri 2 menit terjadi penurunan
tekanan darah sistolik > 20-30 mmHg dan tekanan darah diastolik
> 10 mmHg.
VIII. PENATALAKSANAAN NEUROPATI DIABETIKMeskipun kemajuan dalam
pemahaman tentang penyebab neuropati metabolik, pengobatan yang
ditujukan untuk mengganggu proses-proses patologis telah dibatasi
oleh efek samping dan kurangnya efektivitas. Jadi, dengan
pengecualian kontrol glukosa ketat, pengobatan adalah untuk
mengurangi rasa sakit dan gejala lain dan tidak mengatasi masalah
mendasar.Hanya dua obat yang disetujui oleh FDA untuk neuropati
perifer diabetik adalah duloxetine antidepresi dan pregabalin
anticonvulsant. Sebelum mencoba obat sistemik, orang dengan
neuropati diabetes mungkin periperal lokal meringankan gejala
mereka dengan patch lidokain. Selain pengobatan farmakologis ada
beberapa modalitas lain yang membantu beberapa kasus. Ini telah
ditunjukkan untuk mengurangi rasa sakit dan meningkatkan kualitas
hidup pasien terutama untuk nyeri neuropatik kronis: Stimulasi
interferensial, Akupunktur, Meditasi, Terapi Kognitif, dan latihan
yang ditentukan.
a. Antidepresan trisiklikTCA termasuk imipramine, amitriptyline,
desipramin dan nortriptyline. Obat ini efektif pada penurunan
gejala nyeri tetapi menderita dari efek samping dosis ganda yang
tergantung. Salah satu efek samping penting adalah toksisitas
jantung, yang dapat menyebabkan aritmia yang fatal. Pada dosis
rendah digunakan untuk neuropati, toksisitas jarang, tetapi jika
gejala menjamin dosis yang lebih tinggi, komplikasi lebih umum. Di
antara TCA, amitriptilin yang paling banyak digunakan untuk kondisi
ini, namun desipramin dan nortriptyline memiliki efek samping yang
lebih sedikit.
b. Serotonin reuptake inhibitorSSRI termasuk fluoxetine,
paroxetine, sertraline dan citalopram. Agen ini belum disetujui FDA
untuk mengobati neuropati menyakitkan karena mereka telah ditemukan
untuk menjadi tidak lebih mujarab ketimbang plasebo dalam beberapa
uji coba terkontrol. Efek samping jarang serius, dan tidak
menimbulkan cacat permanen. Mereka menyebabkan sedasi dan berat
berat, yang dapat memperburuk kontrol glukosa darah penderita
diabetes itu. Mereka dapat digunakan pada dosis yang juga
meringankan gejala depresi, concommitent umum neuropati
diabetes.The duloxetine SSNRI (Cymbalta) telah disetujui untuk
neuropati diabetes. Dengan penargetan baik serotonin dan
norepinefrin, itu menargetkan gejala nyeri neuropati diabetes, dan
juga memperlakukan depresi jika ada. Dosis khas adalah antara 60 mg
dan 120 mg.
c. Obat antiepilepsiAED, terutama gabapentin dan pregabalin
terkait, muncul sebagai pengobatan lini pertama untuk neuropati
menyakitkan. Gabapentin lebih baik dibandingkandengan amitriptilin
dalam hal kemanjuran, dan jelas lebih aman. Efek samping utamanya
adalah sedasi, yang tidak berkurang dari waktu ke waktu dan mungkin
sebenarnya memburuk. Perlu diminum tiga kali sehari, dan
kadang-kadang menyebabkan kenaikan berat badan, yang dapat
memperburuk kontrol glikemik pada penderita diabetes. Carbamazepine
(Tegretol) adalah efektif tetapi belum tentu aman untuk neuropati
diabetes. Metabolit pertamanya, oxcarbazepine, aman dan efektif
pada gangguan neuropati lainnya, namun belum diteliti dalam
neuropati diabetes. Topiramate belum diteliti di neuropati
diabetes, tetapi memiliki efek samping menguntungkan menyebabkan
anoreksia ringan dan kehilangan berat badan, dan anekdot
menguntungkan.
d. Perawatan Lain-lipoic, anti-oksidan yang adalah suplemen
non-resep makanan telah menunjukkan keuntungan dalam uji coba
terkontrol secara acak yang membandingkan dosis oral sekali sehari
600 mg sampai 1800 mg dibandingkan dengan plasebo, meskipun mual
terjadi di dosis yang lebih tinggi.
Meskipun belum tersedia secara komersial, C-peptida telah
menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam pengobatan komplikasi
diabetes, termasuk neuropati. Pernah berpikir untuk menjadi berguna
oleh-produk dari produksi insulin, membantu untuk memperbaiki dan
membalikkan gejala utama diabetes.Dalam tahun-tahun terakhir,
perangkat Terapi Energi Foto menjadi lebih banyak digunakan untuk
mengobati gejala neuropatik. Foto Terapi Energi perangkat
memancarkan cahaya inframerah dekat (NIR Terapi) biasanya pada
panjang gelombang 880 nm. Panjang gelombang ini diyakini untuk
merangsang pelepasan Nitric Oxide, merupakan faktor yang diturunkan
endotelium santai ke dalam aliran darah, sehingga vasodilatasi yang
capilaries dan venuoles dalam sistem microcirculatory. Peningkatan
sirkulasi telah terbukti efektif dalam berbagai studi klinis untuk
mengurangi nyeri pada pasien diabetes dan nondiabetes.Foto Terapi
Energi perangkat tampaknya untuk mengatasi masalah yang mendasari
neuropati, mikrosirkulasi yang buruk, yang menyebabkan nyeri dan
mati rasa di kaki.
e. Kontrol glukosa ketatPengobatan manifestasi awal
polineuropati sensorimotor melibatkan memperbaiki kontrol glikemik.
Kontrol ketat glukosa darah dapat membalikkan perubahan neuropati
diabetes, tapi hanya jika neuropati dan diabetes yang terakhir di
awal. Sebaliknya, gejala nyeri neuropati pada penderita diabetes
yang tidak terkontrol cenderung mereda sebagai penyakit dan
kemajuan mati rasa.
IX.PROGNOSISTipe diabetes melitus yang diberikan akan
mempengaruhi diagnosis neuropatidiabetik. Pada NIDDM prognosis
tentu lebih baik daripada tipe IDDM. Lama danberatnya diabetes
melitus serta lama dan beratnya diabetes melitus serta lama
danberatnya keluhan neuropati yang dialami, dan apakah sudah
mengenai saraf otonom,semuanya akan menentukan prognosis neuropati
diabetik.
BAB IIIKESIMPULAN
Neuropati diabetik merupakan salah satu komplikasi kronik DM
dengan prevalensi dan manifestasi klinis amat bervariasi. Dari 4
faktor (metabolik, vaskular, imun dan NGF) yang berperan pada
mekanismes patogenik ND, hiperglikemia berkepanjangan sebagai
komponen faktor metabolik merupakan dasar utama patogenesis ND.
Oleh karena itu, dalam pencegahan dan pengelolaan ND pasien DM,
yang penting adalah diagnosis diikutipengendalian glukosa darah dan
perawatan kaki sebaik-baiknya.
Usaha mengatasi keluhan nyeri pada dasarnya bersifat simtomatis,
dilakukan dengan memberikan obat yang bekerja sesuai mekanisme yang
mendasari keluhan nyeri tersebut. Pendekatan nonfarmakologis
termasuk edukasi sangat diperlukan, mengingat perbaikan total sulit
bisa dicapai.15 |Neuropati Diabetik07120090066 / UPH