Top Banner
PERJALANAN NERVUS CRANIALIS I DAN MANIFESTASI KLINISNYA A. PENDAHULUAN Saraf otak (nervus cranialis) adalah saraf perifer yang berpangkal pada batang otak dan otak. Fungsinya sebagai sensorik, motorik dan khusus. Fungsi khusus adalah fungsi yang bersifat panca indera, seperti penghidu, penglihatan, pengecapan, pendengaran dan keseimbangan. Saraf otak terdiri atas 12 pasang, saraf otak pertama langsung berhubungan dengan otak tanpa melalui batang otak, saraf otak kedua sampai kedua belas semuanya berasal dari batang otak. Saraf otak kedua dan ketiga berpangkal di mesensefalon, saraf otak keempat, lima, enam dan tujuh berinduk di pons, dan saraf otak kedelapan sampai keduabelas berasal dari medulla oblongata. (1) Dari sudut pandang evolusi, penciuman merupakan indera yang paling primitive dan paling penting dibandingkan dengan indera lainnya. Alat indera penciuman ini mempunyai kedudukan utama di kepala, yang sesuai sebagai indera yang dimaksudkan untuk menuntun perilaku. Penciuman mempunyai jalur yang lebih langsung ke otak daripada indera-indera lain. Reseptor pada bagian atas hidung, dalam olfactory ephitelium setiap rongga hidung dihubungkan langsung tanpa sinapsis ke umbi-umbi olfaktori otak, yang terletak di bawah lipatan frontal (frontal lobes). Gangguan penciuman bisa sekunder akibat proses perjalanan penyakit atau 1
28

Referat Neuro Edited

Feb 15, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Referat Neuro Edited

PERJALANAN NERVUS CRANIALIS I

DAN

MANIFESTASI KLINISNYA

A. PENDAHULUAN

Saraf otak (nervus cranialis) adalah saraf perifer yang berpangkal pada batang otak dan

otak. Fungsinya sebagai sensorik, motorik dan khusus. Fungsi khusus adalah fungsi yang bersifat

panca indera, seperti penghidu, penglihatan, pengecapan, pendengaran dan keseimbangan. Saraf

otak terdiri atas 12 pasang, saraf otak pertama langsung berhubungan dengan otak tanpa melalui

batang otak, saraf otak kedua sampai kedua belas semuanya berasal dari batang otak. Saraf otak

kedua dan ketiga berpangkal di mesensefalon, saraf otak keempat, lima, enam dan tujuh berinduk

di pons, dan saraf otak kedelapan sampai keduabelas berasal dari medulla oblongata. (1)

Dari sudut pandang evolusi, penciuman merupakan indera yang paling primitive dan

paling penting dibandingkan dengan indera lainnya. Alat indera penciuman ini mempunyai

kedudukan utama di kepala, yang sesuai sebagai indera yang dimaksudkan untuk menuntun

perilaku. Penciuman mempunyai jalur yang lebih langsung ke otak daripada indera-indera lain.

Reseptor pada bagian atas hidung, dalam olfactory ephitelium setiap rongga hidung dihubungkan

langsung tanpa sinapsis ke umbi-umbi olfaktori otak, yang terletak di bawah lipatan frontal

(frontal lobes). Gangguan penciuman bisa sekunder akibat proses perjalanan penyakit atau bisa

juga sebagai keluhan primer. Daya menghidu yang hilang atau berkurang terjadi pada kira-kira

1% dari mereka yang berusia di bawah 60 tahun dan lebih dari 50 % pada mereka yang berusia

lebih dari 60 tahun.(2)

B. ANATOMI & FISIOLOGI

Sistem pembauan manusia dimulai dari reseptor olfaktorius yang terdiri dari mukosa

olfactorius, fila olfaktori, bulbus olfaktorius, traktus olfaktorius, korteks (paleokorteks) unkus

lobus temporalis, dan area subkalosal3.

Mukosa olfaktorius terletak pada atap masing-masing kavitas nasal dan meluas sampai

konkha nasalis superior serta septum nasi. Pada mukosa ini dijumpai epitel olfaktorius, jaringan

ikat, pembuluh darah, dan kelenjar Bowman.yang memproduksi cairan mukus yang disebut

1

Page 2: Referat Neuro Edited

mukus olfaktorius (berfungsi sebagai pelarut aroma pembauan). Epitel olfaktorius terdiri dari

tiga tipe sel yaitu :

1. Sel olfaktorius

2. Sel penunjang/sel sustentakular

3. Sel basal

Sel olfaktorius adalah neuron-neuron bipolar yang nantinya akan membentuk saraf olfaktorius.

Sel penunjang sebagai penunjang fisik dan metabolic dari sel olfaktorius. Sel basal merupakan

sel punca (stem cell) yang dapat berdiferensiasi sebagai sel olfaktorius atau sel penunjang3.

Prosessus perifer neuron bipolar akan bergabung menjadi suatu fasikulus tak bermielin

yang disebut fila olfaktoria. Pada tiap sisi terdapat sekitar 25 fila yang selanjutnya akan

menembus foramen lamina fibrosa os ethmoid dan bergabung ke dalam bulbus olfaktorius.

Bulbus olfaktorius merupakan tonjolan otak (telesenfalon) yang terdiri dari lima lapisan yaitu :

1. Lapisan glomerular

2. Lapisan pleksiform eksternal

3. Lapisan sel mitral

4. Lapisan pleksiform internal

5. Lapisan sel granuler

Bulbus olfaktorius mengandung sinaps rumit dari sel mitral, sel tufted, dan sel granuler3.

Neuron pertama sistem olfaktorius adalah sel bipolar. Sel mitral dan sel tufted merupakan

neuron kedua sistem olfaktorius. Akson neuron-neuron ini bergabung membentuk traktur

olfaktorius masing-masing terletak di sulkus olfaktorius pada permukaan inferior. Traktur

olfaktorius akan pecah menjadi tiga jalur yaitu :

1. Stria lateralis

2. Stria intermediate

3. Stria medialis

Serabut striae lateralis berjalan di atas limen insula menuju garis semilunaris dan ambiens (area

pre-piriformis), serta berakhir di amygdala. Disinilah awal neuron ketiga sistem olfaktorius yang

berikutnya akan meluas sampai girus parahipokampus (area Broadmann 28/ entorhinal area),

yang merupakan region proyeksi kortikal primer dan pusat asosiasi sistem olfaktorius. Serabut

stria medialis berlanjut ke area di bawah korpus kallosum (area subkalosal) dan area septal.

Disini sistem olfaktorius dihubungkan dengan sistem limbik. Striae intermediate berlokasi di

2

Page 3: Referat Neuro Edited

bawah trigonum olfaktorius. Sejumlah serabut diproyeksikan ke area ini dan nampaknya tidak

terlalu penting/ berarti pada manusia3.

Gambar 1. Skema Nervus I3

3

Page 4: Referat Neuro Edited

4

Page 5: Referat Neuro Edited

Fisiologi penciuman Nervus Olfaktorius

5

Page 6: Referat Neuro Edited

C. ETIOLOGI GANGGUAN PENCIUMAN

Disfungsi olfaktorius dapat dikelompokkan dalam tiga kelas yaitu8 :

Gangguan konduktif atau transport

Gangguan sensorineural akibat kerusakan neuroepitel

Gangguan pada central olfaktorius dikarenakan kerusakan sistem saraf pusat

Terdapat beberapa penyebab dari gangguan olfaktorius yaitu :

1. Gangguan Nasal atau Sinus

Gangguan pada cavum nasal digolongkan dalam gangguan konduksi dan sensorineural.

Pada gangguan konduksi, bau tidak dapat kontak dengan epitel olfaktorius sedangkan

gangguan sensorineural bau dapat melakukan kontak dengan epitel olfaktorius namun

tidak mampu mampu diproses untuk menghasilkan impuls yang akan diteruskan ke

sistem yang lebih tinggi. Contoh nya : poliposis intranasal, sinusitis kronik, dan rhinitis

alergi8.

2. Trauma kepala/ post trauma

Pada umumnya, trauma pada lobus frontal dan lobus oksipital dapat menyebabkan

gangguan penciuman. Disfungsi olfaktorius pada post trauma disebabkan oleh beberapa

mekanisme yaitu :

(1) perubahan dari traktus sinonasal

(2) robekan dari filament nervus olfaktorius

(3) kontusio cerebri dan hemoragik pada region olfaktorius.

Pada trauma kepala, pasien biasanya mengalami hematom, edema, dan avulse pada

olfactory cleft oleh karena trauma pada neuroepitel olfaktorius. Selain itu didapatkan

juga scar dengan formasi sinekia, fraktur os nasal. Hal ini dapat menghalangi partikel

bau untuk sampai ke neuroepitel olfaktorius. Axon dari reseptor olfaktorius sangat

lembut dan masuk melalui foramina kecil dari lamina kribiformis pada basal cranial dan

melakukan sinaps di bulbus olfaktorius. Adanya sobekan ataupun gesekan pada axon

selama proses trauma dapat menyebabkan disfungsi olfaktorius. Hal ini dapat terjadi

disertai dengan fraktur region naso-orbita-ethmoid region, meliputi lamina kribiformis.

Trauma kepala menyebabkan suatu contusion atau perdarahan intraparenkim. Contusion

6

Page 7: Referat Neuro Edited

dari bulbus olfaktorius atau lesi cortical pada region olfaktorius (amygdale, lobus

temporal, lobus frontal) dapat menyebablan anosmia post traumatic.

3. Infeksi saluran nafas atas

Disfungsi olfaktorius yang disebabkan karena infeksi saluran nafas atas terjadi pada 20-

30 % kasus. Dikatakan bahwa gangguan penciuman pada kasus ini sulit untuk ditangani

karena melibatkan kehilangan sensoris dari olfaktorius. Penelitian yang dilakukan oleh

Jafek and Eller pada epitel olfaktorius manusia menunjukkan bahwa hilangnya cilia

olfaktorius pada pasien dengan infeksi saluran nafas atas. Biopsi menunjukkan bahwa

cilia hilang dari dendrite olfaktorius dan hanya sedikit neuron olfaktorius serta axonnya

pada pasien infeksi saluran nafas atas. Hal ini sejalan dengan teori bahwa virus influensi

dapat mempengaruhi aktivitas silia pada epitel respiratori9.

4. Gangguan pada sistem saraf pusat

Pada umumnya, CNS disorder dapat memberikan pengaruh pada sistem olfaktorius.

Kehilangan sensitivitas penciuman merupakan gejala pertama pada penyakir

Alzheimers. Hal ini merupakan tanda dari terjadinya plaq neural, gangguan pada

neurofibrial dan kehilangan sel pada nucleus olfaktorius anterior. Selain itu, penurunan

daya penciuman terjadi pada pasien ini dikarenakan bulbus olfaktorius memiliki

hubungan yang luas dengan area otak yang mengalami kerusakan dikarenakan

Alzheimer Disease.

5. Tumor garis tengah dari fossa kranialis anterior, terutama meningioma sulkus

olfaktorius (fossa etmoidalis), yang dapat menghasilkan trias anosmia, sindrom Foster

Kennedy dan gangguan kepribadian jenis lobus orbitalis (hilangnya inhibisi, seperti pada

paresis umum dan penyakit Pick lobus orbital). Adenoma hipofise yang meluas ke

rostral juga dapat merusak penciuman.

7

Page 8: Referat Neuro Edited

Korelasi anatomi-klinis penyakit pada Nervus 1

D. GEJALA KLINIS

8

Page 9: Referat Neuro Edited

Gangguan penciuman dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu12 :

1. Gangguan kuantitatif : kehilangan atau penurunan kemampuan penciuman (anosmia,

parosmia) atau peningkatan kepekaan penciuman (hiperosmia)

2. Gangguan kualitatif : distorsi atau ilusi dari penciuman (dysosmia atau parosmia)

3. Halusinasi penciuman dan delusi dikarenakan gangguan lobus temporal atau gangguan

psikiatrik

4. Kehilangan kemampuan dalam diskriminasi penciuman.

Anosmia

Anosmia adalah hilangnya suatu penciuman yang dapat disebabkan oleh kelainan-

kelainan yaitu agenesis traktus olfaktorius (cacat bawaan), gangguan mukosa olfaktorius

(rhinitis, tumor hidung), robekan fila olfaktori akibat fraktur lamina kribrosa, destruksi bulbus

dan traktur olfaktorius akibat adanya kontusio kontrakoup, trauma region orbita, infeksi

sekitarnya seperti sinusitis ethmoid, dan inflamasi menings, tumor fossa cranial anterior seperto

meningioma fossa ethmoida/olfactory groove (yang menampilkan trias anosmia, sindrom Foster

Kennedy, dan gangguan personal lobus orbital, adenoma pituitary (yang meluas ke rostral)3.

Anosmia unilateral jarang dikeluhkan oleh pasien dan anosmia bilateral biasanya dikeluhkan

oleh pasien sebagai tidak adanya sensasi pengecapan (ageusia).

Parosmia

Parosmia atau disosmia adalah abnormalitas penciuman dimana seseorang salah persepsi

terhadap sesuatu yang ia cium. Parosmia dapat terjadi pada kasus-kasus skizofrenia, lesi-lesi

unsinatus, dan hysteria3.Parosmia juga dapat terjadi pada gangguan nasopharyngeal seperti

emphyiema sinus nasal dan ozena. Jaringan yang abnormal kemungkinan menjadi sumber bau

yang tidak menyenangkan bagi pasien. Parosmia bisa didapatkan pada pasien di usia muda atau

pertengahan yang memiliki depresi.

Halusinasi olfaktorius

9

Page 10: Referat Neuro Edited

Pasien mengaku dapat mencium bau dimana orang lain tidak mampu menciumnya

disebut dengan phantosmia. Jika pasien mengaku sering mengalami halusinasi dan memberikan

gangguan kepribadian, maka gejala yang dialami diasumsikan sebagai suatu delusi. Gabungan

antara halusinasi olfaktorius dan delusi merupakan suatu gangguan psikiatrik. Pada skizofrenia,

stimulus berasal dari ekstrinsik dan disebabkan oleh seseorang yang menjadi stressor pasien.

Pada depresi, stimulus berasal dari intrinsic dan lebih meluas. Ada beberapa pendapat yang

mempercayai bahwa kelompok amygdala nuclei adalah sumber dari halusinasi.

Agnosia Olfaktorius

Harus dipertimbangkan kelainan dimana aspek persepsi primer dari penciuman (deteksi

bau, adaptasi bau, dan mengenal kualitas berbeda dari bau yang sama) masih baik namun terjadi

ketidakmampuan untuk membedakan bau dan mengenal kualitas bau. Ketidakmampuan untuk

mengidentifikasi atau mendeskripsikan sensasi disebut agnosia. Untuk mengetahui kelainan ini

dibutuhkan tes yang khusus, seperti mencocokkan sampel, identifikasi, dan memberi nama

berbagai macam bau dan mengelompokkan dimana dua bau identik atau berbeda. Perubahan

fungsi dari olfaktorius merupakan karakteristik pasien dengan Psikosis Korsakoff dengan

alkoholik. Sebagian besar pasien Korsakoff terdapat lesi medial nucleus dorsal dari thalamus.

Beberapa penelitian dilakukan pada hewan yang menggambarkan bahwa nucleus dan

hubungannya dengan korteks orbitofrontal member efek gangguan pada diskriminasi bau.

Eichenbaum dan beberapa peneliti menunjukkan bahwa kelainan penciuman dapat terjadi pada

pasien yang pernah menjalani reseksi ekstensif lobus temporal medial bilateral. Operasi ini

dipercaya telah menghilangkan aferen olfaktorius ke korteks frontal dan thalamus, namun belum

ada bukti anatomi untuk hal ini12.

E. DIAGNOSIS

10

Page 11: Referat Neuro Edited

1. Anamnesis

Dari anamnesis, didapatkan beberapa keluhan berupa dalah hilangnya daya penghiduan,

kurang tajamnya penciuman, daya penciuman yang terlalu peka, gangguan penciuman

bilamana tercium bau yang tidak sesuai misalnya minyak kayu putih tercium sebagai bau

bawang goring, penciuman yang tidak menyenangkan atau yang memuakan seperti bacin

, pesing dsb, maka digunakan istilah lain yaitu kakosmia, bila tercium suatu modalitas

olfaktorik tanpa adanya perangsangan. Selain itu, harus diketahui gejala lain yang

mendasari misalnya kejang, gangguan memori, tanda-tanda peningkatan intracranial

(mual, muntah, sakit kepala), adanya demam, rhiore, ketajaman penglihatan13,.

2. Pemeriksaan Fisis13

Pemeriksaan fisis untuk menilai letak kelaianan pada gangguan penciuman dapat

dilakukan evaluasi nasal berupa rhinoskopi anterior dan endoscopy. Dengan cara ini,

maka dapat dievaluasi neuroepitel olfaktorius dan mengetahui jika terjadi hambatan udara

pada neuroepitel. Pada pemeriksaan nasal, mukosa nasal dievaluasi warna, struktur,

edema, imflamasi, eksudat, ulserasi, metaplasia epitel, erosi, ataupun atrofi. Jika

didapatkan rhinore purulen pada cavitas nasi, mungkin terjadi suatu rhinitis. Jika rhinore

berasal dari meatus media, maka mungkin terjadi sinusitis maxillaries dan ethmoidalis

anterior. Jika rhinore berasal dari meatus superior atau recessus sphenoethmoidalis maka

kemungkinan terjadi sinusitis ethmoidal posterior atau sphenoid. Adanya massa, polip,

adhesi, ataupun deviasi septum memiliki potensi dalam penurunan aliran udara menuju

epitel olfaktorius. Jika terjadi alergi, maka mukosa akan terlihat pucat dan edem. Paparan

polutan pabrik yang akut ataupun kronik akan memberikan gambaran metaplasia epitel

berupa edem, inflamasi, eksudat, erosi, ataupun ulserasi. Atrori dari lamina propria

menunjukkan suatu rhitnitis atrofi atau rhinitis medikamentosa. Setelah dilakukan

pemeriksaan rhinoskopi anterior, maka dilakukan tes penciuman.

11

Page 12: Referat Neuro Edited

Pemeriksaan sensoris fungsi penciuman dibutuhkan untuk memastikan keluhan

pasien, mengevaluasi kemanjuran terapi, dan menentukan derajat gangguan permanen.

1. Langkah pertama menentukan sensasi kualitatif

Langkah pertama dalam pemeriksaan sensorik adalah menentukan derajat

sejauh mana keberadaan sensasi kualitatif. Beberapa metode sudah tersedia

untuk pemeriksaan penciuman.

a. Tes Odor stix

Tes Odor stix menggunakan sebuah pena mirip spidol yang menghasilkan

bau-bauan. Pena ini dipegang dalam jarak sekitar 3-6 inci dari hidung pasien

untuk memeriksa persepsi bau oleh pasien secara kasar.

Tes alkohol 12 inci – Satu lagi tes yang memeriksa persepsi kasar terhadap

bau, tes alkohol 12 inci, menggunakan paket alkohol isopropil yang baru saja

dibuka dan dipegang pada jarak sekitar 12 inci dari hidung pasien.

12

Page 13: Referat Neuro Edited

b. Scratch and sniff card

Tersedia scratch and sniff card yang mengandung 3 bau untuk menguji

penciuman secara kasar.

13

Page 14: Referat Neuro Edited

c. The

University of Pennyslvania Smeel Identification Test (UPSIT)

Tes yang jauh lebih baik dibanding yang lain adalah UPSIT; ia sangat

dianjurkan untuk pemeriksaan pasien dengan gangguan penciuman. Tes ini

menggunakan 40 item pilihan-ganda yang berisi bau-bauan scratch and sniff

berkapsul mikro. Sebagai contoh, salah satu itemnya berbunyi “Bau ini paling

mirip seperti bau (a) coklat, (b) pisang, (c) bawang putih, atau (d) jus buah,”

dan pasien diharuskan menjawab salah satu dari pilihan jawaban yang ada.

Tes ini sangat reliabel (reliabilitas tes-retes jangka pendek r = 0,95) dan

sensitif terhadap perbedaan usia dan jenis kelamin. Tes ini merupakan

penentuan kuantitatif yang akurat untuk derajat relatif defisit penciuman.

14

Page 15: Referat Neuro Edited

Orang-orang yang kehilangan seluruh fungsi penciumannya akan mencapai

skor pada kisaran 7-19 dari maksimal 40. Skor rata-rata untuk pasien-pasien

anosmia total sedikit lebih tinggi dibanding yang diperkirakan menurut

peluang saja karena dimasukannya sejumlah bau-bauan yang beraksi melalui

rangsangan trigeminal.

Dalam pemeriksaan fisis, kita juga harus memperhatikan adanya tanda-tanda demensia

(intensi, disfungsi memori, apati, disorientasi) pada pasien dengan gangguan penciuman.

Hal ini dikarenakan penurunan kemampuan penciuman merupakan gejala pertama yang

muncul pada penyakit seperti Alzheimer disease, Huntington corea, multi infarct

dementia, dan Pick Disease. Bukti adanya disorientasi, kejang, dan perubahan mood

dapat meningkatkan dan menurunkan fungsi penciuman pada pasien dengan epilepsy

15

Page 16: Referat Neuro Edited

lobus temporal. Kehilangan kemampuan penciuman dengan ada masalah pada memori

jangka pendek dapat membantu untuk menemukan adanya defisiensi vitamin B1 dan

sindrom Wernicke-Korsakoff. Perubahan kognitif (depresi, bingungm halusinasi) dapat

merupakan tanda bagi anemia defisiensi.

Pemeriksaan optikus sebagai tanda peningkatan tekanan intraocular ataupun

intracranial (papil edem) harus dilakukan dikarenakan tumor di olfactory groove atau

sphenoid ridge dapat menyebabkan Foster Kennedy syndrome, dimana dengan gejala

klinis ipsilateral anosmia atau hiposmia, atrofi opric ipsilateral, dan papiledem

kontrallateral. Pasien dengan Korsakoff sindrom, tidak hanya memiki penurunan dalam

memori dan penciuman tetapi juga dalam mendiskriminasi warna dan persepsi auditori.

Adanya ataksia, apraksia pada pergerakan orolingual, kelainan oculomotor,

masalah koordinasi, gangguan cara jalan, tremor, bradikinersia, dan rigiditas, serta

adanya gangguan dari kemampuan penciuman terjadi pada pasien dengan Huntington’s

chorea dan multiple sclerosis. Penurunan sensori berupa suhu, vibrasi, dan nyeri biasanya

terjadi pada pasien dengan neuropati yang mengalami hiposmia. Dalam hal ini, neuropati

dapat terjadi pada diabetes, gagal hati, serta gagal ginjal. Pada pasien dengan hepatitis,

imunidefisiensi, dan infeksi virus, hiposmia dapat terjadi bersamaan dengan polineuropati

tibe Gullain Barre. Adanya demam dan kaku kuduk dapat membantu untuk

mengidentifikasi adanya infeksi serois seperti meningitis yang dapat menyebabkan

disfungsi kemosensoris.

2. Pemeriksaan Penunjang13

Pemeriksaan laboratorium

Jika penyebab gangguan penciuman tidak jelas, maka pemeriksaan laboratorium

lengkap dapat diindikasikan untuk menemukan suatu proses infeksi, nutrisi, serta

proses hematopoietic. Untuk mengidentifikasi proses autoimun atau inflamasi dapat

dilakukan pemeriksaan sedimen eritrosit.

16

Page 17: Referat Neuro Edited

CT Scan

Sensitivitas dari Computed Tomografi (CT) pada jaringan lunak menjadikan

pemeriksaan ideal pada cavitas sinonasal. Semua cavitas nasal, sinur paranasal,

palatum durum, anterior skull base, orbit, dan nasopharyng dapat terlihat. Potongan

coronal dapat menilai anatomi dari paranasal dan region anterior nasoethmoidal.

Untuk menilai lesi vaskuler, tumor, abses, dan prosessus meningeal dan

parameningeal, CT scan dengan kontras dapat dilakukan.

MRI

MRI lebih baik dari pada CT untuk mengidentifikasi jaringan lunak namun kurang

sensitive untuk kelainan kortikal tulang. MRI dapat mengidentifikasi bulbus

olfaktorius, traktus olfaktorius, dan proses intracranial yang dapat menyebabkan

disfungsi penciuman serta lebih jelas pada potongan coronal.

Neurophisiology test

Adanya keterkaitan antara kehilangan kemampuan penciuman dan demensia pada

pasien Alzheimer’s disease dan multi-infarct dementia, maka neurophysiology test

dilakukan untuk mengidentifikasi adanya demensia. The Mini mental State

Examination adalah alat yang digunakan untuk mengidentifikasi demensia.

Pemeriksaan lain

Pemeriksaan sellular neuroepitel olfaktorius dan biopsy neuroepitel dapat dilakukan.

Pada pemeriksaan ini, jaringan neuroepitel olfakorius diambil di daerah septum

dengan menggunakan forcep atau instrument khusus dan kemudian diperiksa secara

histology. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan adanya metaplasia dari neuroepitel

olfaktorius.

F. PENATALAKSANAAN

Pasien dengan keluhan disfungsi olfaktorius harus menjalani berbagai pemeriksaan untuk

mengetahui penyebab dasarnya karena akan diterapi beradasarkan penyebab nya.

1. Penyakit nasal dan sinus.

Ada beberapa consensus yang menyatakan bahwa pasien dengan rhinitis alergi dan polip

nasal dapat diterpai dengan kortikosteroid sistemik dan kortikosteroid intranasak topical.

17

Page 18: Referat Neuro Edited

Kosrtikosteroid sistemik adalah anti inflamasi potensial yang bekerja dengan mengurangi

produksi mucus sehingga partikel bau dapat mencapai neuroepitel olfaktorius.

2. Trauma kepala/ post trauma

Sistem olfaktorius memiliki kemampuan untu beregenerasi.Namun demikian, pada

beberapa kasus trauma kepala berat, fungsi olfaktorius tidak mengalami perbaikan. Tidak

diketahui secara pasti factor yang dapat menyebabkan hal ini9. Onset regenerasi terjadi

tiga bulan setelah trauma, diatas satu tahun kemungkinan perbaikan sangat tipis.

Perbaikan yang cepat dpat terjadi contohnya pemisahan bekuan darah dan perbaikan yang

lambat dikarenakan regenerasi pada elemen neural. Perbaiakn secara menyeluruh dapat

berlangsung hingga 5 tahun.

3. Infeksi saluran nafas atas

Pada kasus ini , tidak ada pengobatan yang spesifik yang dapat dilakukan. Beberapa studi

menjelaskan bahwa terjadi penyembuhan secara spontan dengan mekanisme yang masih

belum jelas. Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar mengalami perbaikan pada 6

bulan setelah onset. Penggunaan vitamin A dan zinc masih memberikan kontroversi.

Pasien dengan gangguan penciuman dan pengecapan yang diterapi dengan suplemen zinc

tidak memberikan perbaikan.

4. Gangguan pada sistem saraf pusat

Pada kasus dimana tumor merupakan penyebab primer, maka pengangkatan tumor

dengan tujuan memperbaiki jalur olfaktorius merupakan terapi yang tepat. Terapi pada

meningioma adalah eksisi total, termasuk perlekatan pada dura.

Pada pasien psikiatrik, haloperidol dapat mengontrol halusinasi dan parosmia.

Intervensi bedah dapat dilakukan yaitu eksisi dari mukosa olfaktorius pada pasien dengan

unilateral phantosmia. 9

G. PROGNOSIS

Disfungsi olfaktorius yang disebabkan oleh proses inflamasi seperti rhinosinusitis kronik dan

rhinitis alergi dilaporkan memiliki prognosis baik dengan angka penyembuhan 68-86%.

18

Page 19: Referat Neuro Edited

Prognosis dari penyembuhan sistem olfaktorius yang disebabkan oleh trauma kepala lumayan

buruk, hanya 10-38%, dilaporkan hanya 4 dari 17 (24%) pasien anosmia menunjukkan

penyembuahan yang sedikit pada fungsi olfaktorius dengan munggunakan kortikosteroid

sistemik atau topical. Hendrik 91998) menganalisa insidensi dari dsifungsi olfaktorius dari 32

kauss, 8% disebabkan oleh trauma kepala.

DAFTAR PUSTAKA

1. Mardjono M, Sidharta P. Sarafotak dan Patologinya. Dalam: Neurologi Klinis Dasar.

Penerbit PT. Dian Rakyat. Jakarta. 2000: hal. 114 – 82.

2. Septinur. Anosmia. Available from :

http://septinur.blogspot.com/2010_01_01_archive.html). Acessed : 13/11/2011.

3. Satyanegara. Ilmu Bedah Saraf. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta . 2010 : hal. 29-

31; 111-112

4. Netter, Frank H dkk. Atlas of Neuroanatomy and Neurophysiology. Comtan. USA. 2002

5. Guyton and Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Penerbit Buku Kedokteran

EGC. Jakarta. 2007 :hal. 697-700.

6. Monkhouse, Stanley. Cranial Nerves Functional Anatomy. Cambridge university Press.

2006. United States of America. 2006: hal.106-8

7. Barker, Roger dkk. Neuroscience at a Glance. Blackwell Science. United States of

America. 2000 : hal.68

8. Shen Jing. Olfactory Dysfunction and Disorder.Available from :

http://www.utmb.edu/otoref/grnds/Olfactory-2003-1126/Olfactory-2003-1126.htm.

Acessed : 6/12/2011.

9. Gatchum Helen. Anosmia. Available from : Shen Jing. Olfactory Dysfunction and

Disorder.Available from :

http://www.utmb.edu/otoref/grnds/Olfactory-2003-1126/Olfactory-2003-1126.htm.

Acessed : 6/12/2011.

10. Lindsay,Kenneth dkk. Neurology and Neurosurgery Illustrated. Third Edition. Churcill

Livingstone. London. 1997: Hal 137

19

Page 20: Referat Neuro Edited

11. Suherti. Parese Nervus Olfaktorius. Available from :

http://dokmud.wordpress.com/2009/10/23/parese -nervus-olfaktorius.html.

Acessed:13/11/2011

12. Irwandi. Sistem Olfaktorius. Available from :

http://dokterirwandigafima.blogspot.com/2010/07/anatomi-nervus-i.html.

Acessed:13/11/2011

13. Wilkinson Iain. Essential Neurology. Fourth Edition. Blackwell Publishing. USA. 2005:

hal. 112

14. Ropper Alan, Robert. Principles of Neurology. Eight Edition. McGraw-Hill. NewYork:

2005: hal.195-9

15. Goetz Christopher. Textbook of Clinical Neurology. Second Edition. Sauders. United

States of America L :2007. Hal. 104-9

16. Suarez Jose. Critical Care Neurology and Neurosurgery. Humana Press. New Jersey :

2004. Hal. 51-2

17. Moore, Anne. Neurosurgery Principle and Practice. Springer. London : 2005. Hal.270-5.

18. Kobayashi Masayoshi dan Richard M.Cintanzo. Olfactory Nerve Recovery Following

Mild and Severe Injury and The Efficiacy of Dexamethasone Treatment. Available from :

http://chemse.oxfordjournals.org/content/34/7/573.full. Acessed : 6/12/2011.

20