BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kognitif adalah kemampuan berpikir dan memberikan rasional, termasuk proses mengingat, menilai, orientasi, persepsi dan memperhatikan. Gangguan kognitif erat kaitannya dengan fungsi otak, karena kemampuan pasien untuk berpikir akan dipengaruhi oleh keadaan otak. Tiga unsur tingkah laku manusia terhadap alam sekelilingnya ialah pengamatan, pikiran dan tindakan. Dalam bidang neurologi tiga unsur tersebut tertuang dalam fungsi sensorik, luhur dan motorik. Dalam keadaan sakit, unsur-unsur tadi dapat terganggu. Gangguan tersebut dapat berupa gejala neurologic elementer, misalnya hemiparesis, hemihipestesia, koma, kejang dan sebagainya tetapi dapat pula berupa gejala neurologik luhur, yang merupakan kelainan integratif yang kompleks dari ke tiga fungsi di atas. Yang dimaksud dengan fungsi luhur atau fungsi kognitif adalah fungsi-fungsi: 1. bahasa 2. persepsi 3. memori 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kognitif adalah kemampuan berpikir dan memberikan rasional, termasuk
proses mengingat, menilai, orientasi, persepsi dan memperhatikan. Gangguan kognitif
erat kaitannya dengan fungsi otak, karena kemampuan pasien untuk berpikir akan
dipengaruhi oleh keadaan otak.
Tiga unsur tingkah laku manusia terhadap alam sekelilingnya ialah
pengamatan, pikiran dan tindakan. Dalam bidang neurologi tiga unsur tersebut
tertuang dalam fungsi sensorik, luhur dan motorik. Dalam keadaan sakit, unsur-unsur
tadi dapat terganggu. Gangguan tersebut dapat berupa gejala neurologic elementer,
misalnya hemiparesis, hemihipestesia, koma, kejang dan sebagainya tetapi dapat pula
berupa gejala neurologik luhur, yang merupakan kelainan integratif yang kompleks
dari ke tiga fungsi di atas.
Yang dimaksud dengan fungsi luhur atau fungsi kognitif adalah fungsi-fungsi:
1. bahasa
2. persepsi
3. memori
4. emosi
Dalam neurologi, gejala elementer dan luhur dipergunakan untuk menetapkan
adanya kerusakan di otak, baik tentang lokalisasi maupun luas lesinya. Kedua fungsi
tersebut sama pentingnya dalam penetapan diagnosis.
Seperti halnya gejala elementer, maka gejala fungsi Iuhur ini dapat dipakai
untuk menetapkan diagnosis dan rehabilitasi pasien dengan penyakit otak. Pada
kerusakan difus dan berat dari otak, maka semua fungsi-fungsi luhur tersebut dapat
terkena dan hasilnya adalah suatu demensia atau retardasi mental. Tetapi pada
kerusakan yang fokal, maka biasanya hanya satu atau beberapa dari fungsi ini
1
terganggu. Justru pada kerusakan otak yang fokal inilah, gejala luhur mempunyai
peranan penting. Pada pasien dengan kelainan tingkah laku, perlu ditentukan apakah
kelainan ini disebabkan oleh kerusakan otak (brain damage) ataukah sesuatu yang
fungsional (kasus psikiatrik).
Penelusuran gangguan fungsi luhur inilah yang dapat membedakan kedua
kemungkinan tadi.
2
BAB 11
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fungsi Luhur
Fungsi luhur merupakan sifat khas manusia. Fungsi luhur yang khas bagi
manusia itu mencakup aktifitas yang memiliki hubungan dengan kebudayaan, bahasa,
ingatan dan pengetahuan. Fungsi luhur pada manusia berkembang melalui
mekanisme neuronal yang memungkinkan penyadaran dan pengenalan segala sesuatu
yang berasal dari dunia luar dirinya, sehingga menjadi pengalaman yang dapat
dimanfaatkan untuk mengeksperesikan dirinya terhadap dunia luar.
Gambar 1. Formatio Retikulatis
Sumber : http://www.michaeljuhl.dk/Skovweb
3
Gambar 2. Formatio Retikularis pada Batang otak
Sumber : http://www.catsclem.nl/medisch/medheh.htm
2.1.1 Memori
Memori menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Memori membuat kita
mampu menginterpretasi dan bereaksi terhadap persepsi yang baru dengan mengacu
kepada pengalaman lampau. Evaluasi yang akurat dan tepat dari fungsi memori
merupakan salah satu bidang yang paling penting dalam evaluasi neuropsikologi pada
manula. Pada usia lanjut perubahan memori dapat disebabkan oleh factor neurologic,
psikiatrik atau proses menua.
Gangguan memori merupakan keluhan yang paling sering dijumpai pada
pasien dengan sindrom mental organic. Mereka mungkin lupa tanggal, bulan, lupa
rincian pekerjaannya atau gagal mengingat janji yang diluar kegiatan rutin sehari-
hari. Mengetahui adanya gangguan memori dapat menolong pasien terhindar dari
kerugian yang besar pada pribadinya.
Memperhatikan dengan seksama hasil tes memori sering dapat
mengungkapkan adanya gangguan organic sebelum terlihat adanya kelainan pada
pemeriksaan neurologi rutin baku. Hal ini disebabkan oleh berbagai penyakit organic
mengakibatkan berbagai jenis gangguan memori, misalnya : deficit memori yang
4
terisolasi pada sindrom Korsakoff, gangguan memori yang disertai in-atensi dan
agitasi pada keadaan konfusi kacau, atau gangguan memori baru disertai disfungsi
kognitif umum pada demensia. Pada tiap kelainan ini, mekanisme patofisiologi
gangguan memori berbeda-beda. Memori verbal dapat terganggu pada lesi unilateral
hemisfer kiri, dan memori visual non-verbal dapat terganggu pada lesi hemisfer
kanan yang unilateral.
Tidak semua gangguan memori disebabkan oleh kelainan organic. Factor
psikiatrik, terutama depresi dan ansietas dapat juga mempengaruhi fungsi memori dan
kognitif. Sering keluhan disfungsi memorik pada usia lanjut lebih berkaitan dengan
keadaan afektif daripada factor neurologic.
Proses memori terdiri dari beberapa tahapan. Pertama-tama informasi diterima
oleh modalitas sensorik khusus (misalnya raba, auditif, atau visual), dan kemudian
diregistrasi. Sekali input memori telah diterima, dan diregistrasi, informasi ini
disimpan sebentar di memori jangka pendek (memori kerja). Langkah kedua terdiri
dari penyimpanan dan mempertahankan informasi ke dalam bentuk yang lebih
permanen (memori jangka panjang). Proses penyimpanan ini dapat ditingkatkan oleh
repetisi atau oleh penggabungan dengan informasi lain yang sudah berada di dalam
simpanan. Penyimpanan merupakan proses aktif yang membutuhkan upaya melalui
praktek dan latihan. Langkah akhir pada proses memori ialah memanggil kembali
(recall) atau menjumput (retrieval) informasi yang disimpan. Langkah menjumput
merupakan proses aktif, memobilisasi informasi yang telah disimpan. Tiap tahapan
pada seluruh proses memori bertumpu pada integritas langkah-langkah sebelumnya.
Bila ada interupsi dalam urutannya, hal ini dapat menghalangi penyimpanan atau
penjumputan suatu memori. Penelitian mengenai memori memberikan kesan bahwa
tiap aspek memori melibatkan substrata atau sistem neurobiologik yang terpisah,
namun saling berkaitan, dan dengan demikian memproduksi gambaran klinik yang
beragam.
5
Dengan kemajuan dalam sistem neuropsikologi, sistem memori telah dibagi
menjadi beberapa komponen :
1. Memori implicit
Respon motorik yang dipelajari yang tidak berhubungan dengan akses
kesadaran, misalnya mengendarai mobil dan keterampilan motorik kompleks
lainnya.
2. Memori eksplisit
Berhubungan dengan akses kesadaran, yang kemudian disubklasifikasikan
lagi menjadi :
- Memori episodic
Misalnya menceritakan kembali detil autobiografi dan kejadian
pengalaman pribadi lainnya yang berhubungan dengan waktu tertentu.
- Memori semantic
Penyimpanan pengetahuan dunia secara umum.
Konsep-konsep lain yang berguna adalah :
1. Memori jangka pendek
Memori yang bertanggung jawab untuk mengingat segera materi verbal atau
spasial dalam jumlah sedikit.
2. Memori anterograd
Penerimaan hal-hal baru.
3. Memori retrograde
Mengingat kembali hal yang telah dipelajari.
Di klinik, memori dibagi atas tiga jenis berdasarkan kurun waktu antara
presentasi stimulus dan penjumputan memori. Kata segera, baru, dan lama biasanya
digunakan untuk menyatakan jenis memori.
Memori segera merupakan pemanggilan setelah rentang waktu beberapa
detik, seperti pada pengulangan deretan angka.
6
Memori baru jangka pendek. Memori baru mengacu pada kemampuan
pasien untuk mengingat kejadian yang baru terjadi, kejadian sehari-hari. Lebih tegas
lagi, memori baru ialah kemampuan untuk mengingat materi yang baru dan
menjumput materi tersebut setelah interval beberapa menit, jam, atau hari.
Memori rimot (jangka panjang). Memori rimot digunakan bagi kemampuan
mengumpulkan fakta atau kejadian yang terjadi bertahun-tahun sebelumnya, seperti
nama guru, atau nama teman satu sekolah dulu.
Anatomi
Dasar anatomis untuk memori episodic adalah sistem limbic (terutama
hipokampus dan thalamus, serta hubungan-hubungannya), sementara memori
semantic terletak pada neokorteks temporal. Memori implicit melibatkan berbagai
struktur termasuk ganglia basalis dan serebelum dan hubungannya dengan korteks
serebri.
Gambar 3. Pusat Memori
Sumber : lecture anatomi SSP blok Neurobihavioural System
Pada pemeriksaan status mental, tiap aspek memori perlu dinilai secara rinci.
Dalam hal ini perlu dinilai memori segera, memori baru dan memori rimot.
7
Beberapa aspek proses memori terjadi pada bangunan neuroanatomi tertentu
atau sistem neuronal. Penelitian patologi anatomi telah banyak mendokumentasikan
bahwa bangunan limbic terlibat dalam penyimpanan jangka panjang dan penjumputan
informasi baru. Namun demikian, bangunan yang berperan untuk pemanggilan
kembali segera dan memori rimot belum dapat ditentukan. Walaupun jejak memori
visual, verbal dan taktil mungkin sekali disimpan di neokorteks, banyak bangunan
subkortikal dibutuhkan untuk proses total dari memori (registrasi, penyimpanan,
penjumputan). Kerusakan pada berbagai sistem kortikal akan mengakibatkan
berbagai pola gangguan fungsi seperti :
1. Amnesia .
Amnesia umumnya melukiskan defek pada fungsi memori. Rentang waktu
amnesia dapat sesingkat mungkin beberapa detik sampai beberapa tahun. Kejadian ini
paling sering dijumpai pasca trauma kepala, tapi dapat juga terjadi setelah jejas otak
mayor (misalnya stroke). Walaupun istilah amnesia digunakan untuk defek memori
dengan spectrum yang luas, paling sering amnesia digunakan untuk melabel pasien
dengan deficit memori yang relative terbatas (terisolasi), misalnya amnesia pasca
trauma, amnesia retrograde.
Amnesia dapat terjadi akut dan sementara atau kronik dan persisten. Amnesia
dapat terjadi tanpa keadaan lain, atau pada konteks adanya deficit kognitif lainnya.
Amnesia anterograd dan retrograde. Ketidakmampuan mempelajari materi
baru setelah jejas otak disebut amnesia anterograd. Amnesia retrograde berarti
amnesia terhadap kejadian sebelum terjadinya jejas atau insult otak.
Amnesia psikogenik. Dalam hal ini pasien memblok suatu kurun waktu
tertentu. Pasien ini tidak menunjukkan deficit memori baru, ia dapat mempelajari
item baru sewaktu periode amnesia dan setelah periode amnesia berlalu, dan tidak
menderita defek pada memori jangka pendek dan jangka panjang bila dites.
Hilangnya memori yang berdasarkan keadaan psikologis mengakibatkan lubang-
8
lubang pada memori terhadap kejadian sewaktu adanya amnesia. Kadang pasien
dapat mengingat sebagian dari periode amnesia yang tidak bermuatan trauma
emosional, namun akan memblok kejadian yang secara emosional traumatic.
Amnesia global sementara (transient global amnesia) adalah suatu kondisi
pada pasien usia pertengahan atau usia lanjut yang tiba-tiba menjadi amnesia berat
dengan hilangnya memori anterograd dan retrograde. Memori retrograde dapat hilang
sampai berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Pasien akan tampak panic, menanyakan
pertanyaan sederhana (misalnya “apa yang terjadi ?”) secara berulang-ulang, tetapi
tanpa adanya gangguan kesadaran atau deficit kognitif lainnya. Perbaikan terjadi
dalam beberapa jam, termasuk amnesia retrograde, sehingga pasien hanya mengalami
amnesia pada periode serangan tersebut. Rekurensi jarang terjadi dan prognosisnya
baik. Dahulu, gangguan ini diperkirakan sebagai manifestasi penyakit
serebrovaskuler, namun etiologinya masih belum diketahui, walaupun gangguan ini
berhubungan dengan migren.
Beberapa pasien dengan episode berulang biasanya mengalami epilepsy yang
berasal dari lobus temporalis (amnesia epilepsik transien).
Sindrom amnestik merujuk pada kegagalan memori yang kronik dan persisten
(anterograd dan retrograd), biasanya irreversible, tetapi dengan fungsi kognitif lain
yang masih baik. hal ini disebabkan oleh kerusakan fokal sistem limbic, misalnya
anoksia hipokampus, kerusakan hipokampus akibat ensefalitis virus herpes simpleks,
infark thalamus, defisiensi vitamin B (sindrom Korsakoff), dan cedera kepala
tertutup. Amnesia berat umumnya merupakan gambaran awal penyakit Alzaimer.
Amnesia sering terjadi secara akut dan sementara pada acute confusional state
bersamaan dengan adanya deficit kognitif lainnya, dan juga amnesia dapat terjadi
secara persisten pada demensia.
9
2.1.2 Fungsi eksekutif, kepribadian dan perilaku.
Fungsi eksekutif sulit didefinisikan dengan tepat, tetapi meliputi kemampuan
untuk membuat rencana, beradaptasi, menangani konsep abstrak, dan menyelesaikan
masalah, digabung dengan aspek perilaku social dan kepribadian, misalnya inisiatif,
motivasi, dan inhibisi.
Lobus frontal hemisfer serebri, terutama area prefrontal, merupakan area yang
penting untuk fungsi eksekutif normal, sementara lobus ventromedial frontal
memiliki peran yang penting dalam kognisi social, kepribadian, dan perilaku.
Gambar 4. Area Frontalis Cerebri
Sumber : lecture anatomi SSP blok Neurobihavioural System
Pasien dengan disfungsi bifrontal dapat menunjukkan hasil yang sangat jelek
pada tes-tes berikut :
- Kelancaran verbal, misalnya dengan membuat daftar belanja yang dibeli
di supermarket, kata-kata yang diawali huruf tertentu.
- Interpretasi peribahasa, menjelaskan maksud konkret peribahasa.
- Perkiraan kognitif, misalnya memperkirakan tinggi suatu gedung.
Dengan kerusakan lobus frontal yang lebih berat, control inhibisi akan hilang,
pasien menjadi mudah tersinggung dan agresif, dengan penurunan perilaku social dan
higien, yang akhirnya mengakibatkan inkontinensia. Sementara beberapa pasien
10
menjadi suka bergurau dan rebut, yang lain mungkin lebih pasif, berbicara dan
bergerak sedikit, dan pada hal yang ekstrem menjadi mutisme akinetik.
Hilangnya inbihisi lobus frontal normal dapat mengakibatkan timbulnya reflex
primitive, dan dua reflex primitive yang paling berguna adalah :
1. Reflex genggam (grasping) : gerakan menggenggam yang involunter yang
dirangsang dengan mengelus talapak tangan pasien, akan lebih jelas jika
perhatian pasien dialihkan.
2. Reflex mengerutkan bibir (pouting) : dirangsang dengan mengetukkan spatula
yang diletakkan di bibir pasien. Jika positif, bibir akan melipat ke arah
spatula.
Kerusakan bifrontal dapat terjadi akibat trauma, tumor, infark, dan penyakit
degenerative fokal.
2.1.3 Bahasa
Dalam berbahasa tercakup berbagai kemampuan, yaitu : bicara spontan,
komprehensi, menamai, repetisi, membaca dan menulis.
Bahasa merupakan instrument dasar bagi komunikasi pada manusia, dan
merupakan dasar dan tulang punggung bagi kemampuan kognitif. Bila terdapat deficit
pada sistem berbahasa, penilaian factor kognitif seperti memori verbal, interpretasi
pepatah dan berhitung lisan menjadi sulit dan mungkin tidak dapat dilakukan.
Kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa sangat penting. Bila
terdapat gangguan, hal ini akan mengakibatkan hambatan yang berarti bagi pasien.
Anak yang sedang berkembang, setelah memiliki kemampuan untuk
mengenal (gnosis) akan belajar memperhatikan dan mengingat perbedaan,
persamaan, dan perbandingan, sehingga ia mulai dapat menafsirkan mana yang berat,
mana yang halus, yang bagus, dan seterusnya. Dengan demikian, pengenalan benda
atau apa saja yang dapat dipegang, diraba dan ditekan dengan mudah dapat dilakukan
secara tepat tanpa melihat. Juga dari bahan apa sesuatu dibuat dapat diketahui dengan
11
jalan perabaan, penekanan, dan pemegangan, yang secara singkat dinamakan
sensibilitas taktil.
Baik perkembangan bahasa maupun sensibilitas taktil terkait pada
perkembangan gerakan tangkas selanjutnya. Hal ini berarti bahwa mekanisme
neuronal yang mendasari proses mental itu beroperasi di hemisferium dominan.
Pada perkembangan ontogenik terjadi mekanisme neuronal yang khas bagi
manusia, yaitu proses lateralisasi. Perkembangan gerakan tangkas, yang bermula
dengan gerakan canggung sampai akhirnya menjadi gerakan yang luwes dan terampil,
ternyata tidak berjalan serasi pada kedua belahan tubuh. Pada kebanyakan orang,
belahan tubuh kanan dapat bergerak lebih terampil, luwes dan tangkas daripada
belahan tubuh kiri.
G
C E H
B F D
A
Gambar 5. Fisiologi Berbahasa
Sumber : Neurologi Klinis Dasar
Semua impuls auditorif disampaikan kepada korteks auditori primer kedua
sisi. Pada hemisfer yang dominan data auditorik tersebut dikirim (A) ke pusat
12
Wernicke. Pengiriman data dari hemisfer yang tak dominan ke pusat Wernicke
dilaksanakan melalui serabut korpus kalosum. Di pusat Wernicke suara dikenal
sebagai symbol bahasa. Kemudian data itu dikirim (E) ke pusat pengertian bahasa. Di
situ symbol bahasa lisan (auditorik) diintegrasikan dengan symbol bahasa visual dan
sifat-sifat lain dari bahasa. Bahasa lisan dihasilkan oleh kegiatan di pusat pengertian
bahasa yang menggalakan (F) pusat pengenalan kata (Wernicke), yang pada
gilirannya mengirimkan (B) pesan ke pusat Broca (yang menyelenggarakan produksi
kata-kata) melalui (C) daerah motorik primer dan melalui lobus frontalis (area
motorik suplementer), yang ikut mengatur produksi aktivitas motorik yang tangkas
dalam bentuk kata-kata yang jelas.
Bahasa visual dikembangkan melalui persepsi visual bilateral. Dari korteks
visual primer kedua sisi data visual disampaikan (H) kepada korteks visual sekunder
di hemisferium yang dominan. Data tersebut dikirim (D) ke pusat Wernicke dan ke
(G) pusat pengintegrasian pengertian bahasa.
Manifestasi dari lesi di berbagai lokasi pada hemisferium yang dominan adalah
sebagai berikut :
Lesi A : word deafness, lesi di pusat Wernicke, afasia sensorik.
Lesi B : afasia konduktif (berbahasa verbal terganggu, tapi masih mengerti lengkap
bahasa verbal, lesi di pusat Broca – afasia motorik).
Lesi C : afemia (afasia motorik dengan utuhnya kemampuan untuk mengerti bahasa
lisan dan tertulis dan mampu berekspresi dengan tulisan). Lesi di daerah motorik
suplementer irama dan lafal bahasa kacau.
Lesi D : aleksia tapi tidak agrafia.
Lesi E : afasia transkortikal, lesi di pusat pengertian bahasa- afasia sensorik
transkortikal.
Lesi F : afasia nominatif
13
Lesi G : agnosia asosiatif tanpa aleksia.
Lesi H : agnosia visual (tidak dapat menyebut nama segala sesuatu yang dilihat).
2.1.3.1 GANGGUAN CARA BERBAHASA
1.Gangguan Artikulasi (disatria)
Disartria (pelo, cadel) merupakan gangguan pada artikulasi, pengucapan kata.
Pada keadaan ini, kemampuan berbahasa seperti gramatika (tata bahasa),
komprehensi dan pemilihan kata tidak terganggu. Disartria disebabkan oleh gangguan
pada control neuromuskuler pada proses artikulasi. Dalam praktek, hal ini biasanya
berarti kesulitan dalam menggerakan palatum, lidah dan bibir sewaktu artikulasi
(berbicara).
2.Disfonia
Disfonia (serak, bindeng) ialah kesulitan dalam fonasi (mengeluarkan bunyi
atau suara). Disfonia terjadi pada gangguan fungsi neuromuskuler yang melibatkan
pita suara atau palatum.
3.Disprosodia
Disprosodi ialah gangguan pada irama bicara. Dalam hal ini, melodi, ritme,
dan intonasi suara terganggu. Sebagai akibatnya pasien bicara secara monoton (irama
datar).
Apraksia oral atau apraksia bukofasial ialah ketidakmampuan melakukan
gerakan terampil dari otot wajah dan otot berbicara sedangkan komprehensi, tenaga
otot, dan koordinasi otot normal. Bila pasien disuruh memperagakan bagaimana cara
menghembuskan geretan yang sedang menyala, pasien yang apraksia mungkin
mengalami kesulitan mengatur bibirnya. Ia mungkin akan menghirup udara pada saat
harus menghembus udara, atau ia mungkin menghembus kuat namun tidak
mengerutkan bibirnya.
14
4.Aleksia
Aleksia adalah kata yang digunakan untuk menyatakan kehilangan
kemampuan membaca yang sebelumnya ia mampu. Aleksia perlu dibedakan dengan
disleksia. Disleksia merupakan gangguan perkembangan membaca pada anak dengan
intelegensi yang normal.
5.Agrafia
Agrafia ialah gangguan pada bahasa yang dinyatakan dalam penulisan. Jadi,
bukan pada bentuk huruf dan tulisan yang buruk.
6.Afasia
Afasia merupakan gangguan berbahasa. Dalam hal ini pasien menunjukkan
gangguan dalam memproduksi dan atau memahami bahasa. Defek dasar pada afasia
adalah pada pemrosesan bahasa di tingkat integrative yang lebih tinggi. Gangguan
artikulasi dan praksis mungkin ada sebagai gejala penyerta. Afasia biasanya berarti
hilangnya kemampuan berbahasa setelah kerusakan otak. Kata afasia perkembangan
(sering disebut sebagai disfasia) digunakan bila anak mempunyai keterlambatan
spesifik dalam memperoleh kemampuan berbahasa. Dalam hal ini, perkembangan
kemampuan berbahasa yang tidak sebanding dengan perkembangan kognitif
umumnya.
Mutisme adalah kegagalan total untuk bersuara, yang mungkin dapat terjadi
pada disfasia berat atau disartria, atau bagian dari penyakit psikiatrik.
Pada lesi di frontal, pasien tidak bicara atau sangat sedikit bicara, dan
mengalami kesulitan atau memerlukan banyak upaya dalam berbicara. Selain itu
gramatikanya miskin (sedikit) dan menyisipkan atau mengimbuh huruf atau bunyi
yang salah, serta terdapat perseverasi. Pasien sadar akan kekurangan dan atau
kelemahannya. Pemahaman terhadap bahasa lisan dan tulisan kurang terganggu
15
dibandingkan dengan kemampuan mengemukakan isi pikiran. Menulis sering tidak
mungkin atau sangat terganggu.
Pada lesi di temporoparietal pasien justru terlalu banyak bicara, cara
mengucapkan baik dan irama kalimat juga baik, namun didapat gangguan berat pada
memformulasi dan menamai sehingga kalimat yang diucapkan tidak mempunyai arti.
Bahasa lisan dan tulisan tidak atau kurang difahami, dan menulis secara motorik
terpelihara, namun isi tulisan tidak menentu. Pasien tidak begitu sadar akan
kekurangannya.
Afasia jenis pertama dinamakan afasia Broca atau afasia motorik atau
ekspresif. Afasia jenis kedua dinamakan afasia Wernicke atau sensorik atau reseptif.
Sindrom afasia dapat dibagi dalam afasia motorik dan sensorik atau afasia
ekspresif dan reseptif. Lesi yang menimbulkan afasia motorik terletak di sekitar
daerah Broca. Afasia motorik terberat ialah jika penderita sama sekali tidak dapat
mengeluarkan kata-kata. Adakalanya hanya dapat mengucapkan “ya” atau “he-ng”
saja, sambil menganggukan kepalanya. Namun demikian, ia masih mengerti bahasa
verbal dan visual. Juga perintah-perintah untuk melakukan sesuatu (praksis) bisa
dilaksanakan sesuai dengan makna perintah. Ketidakmampauan untuk menyatakan
fikirannya dengan kata-kata menjengkelkan penderita. Dan yang lebih-lebih menekan
jiwanya ialah bahwa ia sadar akan apa yang hendak diucapkan, tetapi tidak mampu
mengucapkan kata-kata yang terkandung dalam fikirannya. Jadi bahasa internalnya
masih utuh. Pada afasia motorik, umumnya kemampuan untuk menulis kata-kata
masih tidak terganggu, tetapi bisa juga terjadi adanya agrafia.
Afasia motorik yang ringan ialah afasia nominative atau afasia amnestik.
Afasia ini ditandai dengan kesulitan menemukan nama suatu benda. Penderitanya
tidak bisa menemukan simbolik verbal dari benda yang diperlihatkan kepadanya. Ia
tahu abstraksi dari benda tersebut dalam fikiran, tetapi lafal dari abstraksi itu tidak
bisa dinyatakan. Misalnya penderita diminta untuk menyebutkan nama benda yang
disodorkan kepadanya. Ia bisa menjawab sebagai berikut “ tu….itu….tu…tulis…”.
16
Tetapi ia tidak bisa mengucapkan kata pensil. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa
penyimpanan kata pensil utuh, juga persandian abstraksi masih utuh. Tetapi decoding
dari abstraksi terganggu. Lesi yang dapat menimbulkan afasia nominative itu terletak
di luar area Broca, tetapi juga diluar daerah Wernicke. Memang, lesi tersebut
diketemukan di daerah antara daerah Broca dan Wernicke.
Pada afasia motorik yang terberat, adakalanya kata-kata yang bersifat
ledakan-ledakan emosional masih bisa diucapkan secara spontan misalnya “asu”.
Afasia motorik yang mencerminkan kerusakan terhadap seluruh korteks
daerah Broca ialah afasia pada mana penderita tidak bisa melakukan ekspresi dengan
cara apapun, baik secara verbal maupun visual (afasia motorik kortikal). Afasia
motorik pada mana penderita tidak bisa mengucapkan satu kata apapun, namun masih
bisa mengutarakan fikirannya dengan jalan tulis menulis, bisa timbul akibat lesi di
masa putih daerah Broca. Oleh karena itu, afasia motorik termaksud dinamakan juga
afasia motorik subkortikal. Untuk jenis afasia ini digunakan juga istilah awam “pure
word dumbness” atau “bisu kata-kata yang tulen”. Jika seorang penderita afasia
motorik masih bisa membeo, namun tidak mampu lagi untuk mengeluarkan kata-kata
sebagai cara ekspresi aktifnya, maka afasia motorik semacam itu disebabkan oleh
suatu lesi kortikal yang agak besar di daerah Broca dan Wernicke. Afasia motorik
yang berat dengan masih adanya kemampuan untuk membeo ini dinamakan afasia
motorik transkortikal.
Tergolong dalam afasia motorik adalah juga akalkulia ekspresif dan agrafia
ekspresif, yang berarti hilangnya kemampuan untuk ekspresi dengan menggunakan
simbolik matematika dan huruf.
Pada akalkulia ekspresif dan agrafia ekspresif, ekspresi dengan cara berbahasa
masih bisa, tetapi apabila ekspresi itu diwujudkan dalam bentuk tulisan, penderita
sendiri sadar akan ketidakmampuannya. Lesi yang berkorelasi dengan gangguan
terletak di lobus frontalis yang berdampingan dengan korteks motorik.
17
Afasia sensorik atau afasia persepsif dikenal juga sebagai afasia Wernicke,
kemampuan untuk mengerti bahasa verbal dan visual terganggu atau hilang sama
sekali. Tetapi kemampuan untuk secara aktif mengucapkan kata-kata dan menulis
kata-kata masih ada, kendatipun apa yang diucapkan dan ditulis tidak mempunyai arti
sama sekali. Penderita dengan afasia perseptif tidak mengerti lagi bahasa yang
didengarnya, walaupun ia tidak tuli. Iapun tidak mengerti lagi isi surat yang
dibacanya, walaupun ia tidak buta huruf. Penyimpanan (storage) berikut proses
coding dari apa yang didengar dan ditulis terjadi didaerah antara bagian belakang
lobus temporalis, lobus oksipitalis, dan lobus parietalis. Jika daerah tersebut rusak,
proses coding pun tidak akan menghasilkan apa-apa. Ibaratnya gudang yang bisa
dibuka dengan kunci yang masih kita miliki tetapi isi gudangnya atau gudangnya
sendiri sudah terbakar habis. Derah tersebut dikenal sebagai daerah Wernicke. Dan
daerah itu dapat diumpamakan dengan gudang pengertian. Hancurnya gudang
pengertian berarti hilangnya daya untuk mengerti apa yang dibicarakan atau ditulis.
Hilangnya pengertian berarti juga hilangnya gnosis dan kognisio. Oleh karena kata
dan tulisan yang masih dapat diucapkan dan ditulis oleh seorang penderita tidak lagi
dikenal dan diketahui, maka ia akan berbicara dan menulis suatu bahasa yang tidak
dimengerti oleh dirinya sendiri ataupun orang lain. Adakalanya bahasa baru
(neologisme) mengandung kata-kata yang menyerupai kata-kata yang awajar, tetapi
kebanyakan merupakan ocehan yang tidak mempunyai arti. Ocehan itu dinamakan
jargon afasia.
Semacam afasia sensorik yang ringan, yang dikenal dalam bahasa Inggris
sebagai word deafness (tuli kata-kata), bisa dijumpai. Dalam hal tersebut, penderita
sama sekali tidak mengerti bahasa verbal yang didengarnya, tetapi ia masih bisa
mengerti bahasa tertulis dengan baik. Juga afasia sensorik yang dinamakan buta kata-
kata, pada mana bahasa verbal masih bisa dimengerti, tetapi bahasa visual tidak
mempunyai arti baginya, jarang dijumpai. Tuli kata-kata atau buta kata-kata timbul
akibat lesi kecil di sekitar daerah Wernicke, yang terletak baik di lobus temporalis
ataupun parietal bahkan oksipital.
18
Sebagai varian dari buta kata-kata ialah agrafia, akalkulia, dan aleksia reseptif.
Dalam hal agrafia ekspresif (akibat lesi di sekitar Broca), ekspresi melalui bahasa ikut
terganggu. Jika kemampuan untuk mengerti bahasa verbal masih utuh tetapi daya
untuk mengerti bahasa tertulis hilang, maka kita namakan gejala tersebut agrafia
reseptif. Demikian juga arti istilah akalkulia reseptif, pada mana si penderita masih
bisa mengerti bahasa verbal tetapi tidak dapat mengerti soal-soal yang menyangkut
hitung berhitung. Pada aleksia reseptif, hanya kemampuan untuk mengerti apa yang
dibaca terganggu, sedangkan ia masih mengerti bahasa verbal. Lesi-lesi yang relevan
bagi afasia reseptif fraksional itu terbatas pada girus angularis dan supramarginalis.
Girus yang tersebut pertama terletak di ujung sulkus temporalis superior dan girus
yang tersebut terakhir terletak di ujung fisura serebri lateralis Sylvii.
a
c
B C
b
W
Gambar 6. Lokalisasi dan subklasifikasi sindrom disfasia
Sumber : lecture Notes Neurologi.
Lesi yang terletak anterior dari garis a, yang melalui sulkus sentral
hemisfer dominan, akan menyebabkan disfasia tidak lancar. Bila lesi tejadi di
19
posterior garis a, maka kelancaran berbicara akan dipertahankan. Lesi di
bawah garis b yang melalui fisura Sylvii, akan mempengaruhi komprehensi,
sedangkan lesi di atas garis b, komprehensinya masih baik. Lesi yang berada
di dalam garis c mempenagruhi kemampuan pasien untuk mengulangi frase,
di luar lesi ini kemampuan repetisi dipertahankan. Jadi afasia Broca (B)
merupakan afasia tidak lancar, repetisi terganggu, tetapi komprehensi masih
baik. Gambar diatas menunjukkan afasia konduksi (C) dan afasia Wernicke
(W). Afasia global mempengaruhi semua aspek fungsi bahasa.
Pemeriksaan fisik
1. Kelancaran berbicara
Apakah pasien dapat mengeluarkan frase atau kalimat yang panjang yang
normal (lima atau lebih kata) secara spontan? Jika berbicaranya tidak
lancar, maka tata bicara (sintaks) umumnya juga abnormal.
2. Pengertian / komprehensi
Sejumlah benda dijajarkan di depan pasien, dan pasien diperintahkan
menunjuk benda yang disebutkan oleh pemeriksa, misalnya pulpen, jam
tangan, kunci, apakah pasien mampu melakukannya? Apakah pasien dapat
mengeluarkan perintah yang lebih kompleks? (“Coba anda ambil kunci
dan berikan pulpen kepada saya”). Apakah pasien dapat mengerti konsep
di balik pertanyaan (“Apakah nama debu yang tertinggal setelah rokok
habis?”).
3. Repetisi
Apakah pasien dapat mengulang kata-kata tunggal atau seluruh kalimat
seperti ”jika tidak, dan, atau tetapi?”
4. Menyebutkan nama
Misalnya nama-nama benda sehari-hari, seperti jam tangan, pulpen, dan
benda-benda yang kurang familiar – pena, gesper, kumparan.
5. Selain itu, membaca dan menulis dapat diperiksa secara terpisah.
20
Kerusakan frontal pada berbagai area bahasa yang berbeda dapat disebabkan
oleh trauma, infark, atau tumor. Penyakit otak degenerative (sementara demensia)
jarang menimbulkan deficit seperti ini. Kemampuan menulis terletak di region girus
angularis, yang berada di posterior dari area bahasa mayor. Lesi pada region ini,
selain menyebabkan disgrafia, umumnya juga menyebabkan deficit lainnya seperti
diskalkulia-gangguan dalam komprehensi angka dan tulisan, sehingga menyebabkan
ketidakmampuan berhitung.
7.Apraksia
Apraksia merupakan gangguan didapat pada gerakan motorik yang dipelajari
dan berurutan, yang bukan disebabkan oleh gangguan elementer pada tenaga,
koordinasi, sensorik atau kurangnya pemahaman (komprehensi) atau atensi. Hal ini
merupakan hendaya (impairment) dalam menyeleksi dan mengorganisasi inervasi
motorik yang dibutuhkan untuk melaksanakan suatu aksi.
Apraksia bukanlah gangguan motorik tingkat rendah, namun merupakan defek
dalam perencanaan motorik, yang mencangkup langkah-langkah integrative yang
dibutuhkan pada gerakan terampil atau yang dipelajari. Berbagai jenis apraksia telah
dikemukakan oleh para pakar, tergantung kepada kerumitan (kompleksitas) dan sifat
dari tugas yang dilaksanakan.
Kerusakan pada lobus parietal dominan akan menyebabkan apraksia. Jaras
untuk praksis normal melewati region ini ke area premotorik ipsilateral pada lobus
frontal, dan ke region yang ekuivalen pada hemisfer lainnya melalui korpus kalosum.
1. Apraksia Ideomotor
Merupakan jenis apraksia yang paling sering dijumpai. Penderita tidak
mampu melakukan gerak motorik yang sebelumnya pernah dipelajari, secara
akurat. Pada keadaan ini terdapat ketidakmampuan lobus frontalis untuk
menerjemahkan aksi menjadi gerakan motorik.
21
Gangguan dapat dilihat pada otot bukofasial, ekstremitas atas atau bawah,
atau otot badan. Pasien misalnya tidak mampu melakukan suruhan berikut :
peragakan bagaimana menghembuskan api pada geretan yang sedang menyala!
Peragakan bagaimana minum dengan menggunakan sedotan! Kegagalan ini
dinamakan : apraksia bukofasial. Kesulitan dalam gerakan lengan atau tungkai
dapat dideteksi dengan : peragakan bagaimana menendang bola! Kegagalan ini
dinamakan apraksia anggota gerak. Kesulitan dalam gerakan tubuh dapat
dideteksi dengan : peragakan bagaimana sikap seorang peninju menangkis
serangan lawan! Kegagalan ini disebutkan apraksia gerak tubuh seluruhnya.
Pasien dengan apraksia ideomotor mungkin tidak mampu menutup
(memejamkan) mata atas suruhan, namun ia dapat mengedipkan mata secara
spontan.
Bila suruhan telah dipahami, informasi meluas ke girus supramarginalis
yang letaknya berbatasan, tempat kata (misalnya :hembus lilin yang menyala) di
asosiasikan dengan memori kinetic yang berada di korteks parietal post rolandik.
Memori dari gerakan ini di transfer melalui jaras C ke daerah pre motor tempat
memori bagi pola motorik dicetuskan. Daerah premotor kemudian mengarahkan
neuron pyramid di daerah motor E untuk melaksanakan gerakan (aksi). Lesi di
salah satu titik sepanjang jalur ini dapat mengakibatkan apraksia ideomotorik.
Banyak pasien dengan mempunyai lesi di daerah ini, pada hemisfer yang
dominan, juga menderita afasia. Oleh karenanya dalam menilai apraksia kita
harus teliti, untuk memastikan bahwa pemahaman tidak terganggu dan gangguan
kinerja motorik bukan disebabkan oleh gangguan komprehensi.
2. Apraksia Ideasional
Merupakan gangguan perencanaan motorik yang kompleks, yang lebih tinggi
dari ideomotorik. Hal ini merupakan kegagalan dalam melaksanakan tugas yang
mempunyai berbagai komponen yang berurutan.
22
Pada keadaan ini pasien tidak mampu memformulasikan rancangan aksi (plan
of action). Suruhan melakukan aksi jelas difahami, namun pasien tidak mampu
merencanakan rentetan aktivitas yang dibutuhkan untuk melakukan aksi yang
diminta.
Contoh : pasien disuruh menuangkan air dari teko ke dalam gelas, kemudian
meminum air dari gelas. Pasien mungkin akan gagal menuangkan air ke dalam
gelas, dan mungkin mengangkat gelas ke bibirnya atau mengangkat teko dan
minum langsung dari teko.
Apraksia jenis ini merupakan disabilitas yang kompleks yang biasa dijumpai
pada pasien dengan penyakit otak bilateral. Penyakit kortikal yang difus terutama
yang mengenai lobus parietal. Satu unsur menarik pada kinerja pasien dengan
apraksia ideasional ialah adanya kesan ketidakmampuan mengetahui kegunaan
suatu objek.
3. Apraksia berpakaian
Pasien dengan lesi hemisfer kanan seringkali tidak mampu berpakaian dengan
benar. Istilah ‘apraksia’ digunakan secara tidak tepat dalam konteks ini, karena
problem yang ada bukanlah motorik, tetapi lebih ke masalah visuospasial –
berhubungan dengan orientasi terhadap bagian tubuh atau pakaian.
4. Apraksia kostruksional
Kemampuan konstruksional (praksis konstruksional). Tugas konstruksional
seperti menggambar garis dan bangunan balok sangat berguna dalam mendeteksi
penyakit otak organic dan harus dimasukkan pada tiap pemeriksaan status
mentmal. Ketidakmampuan melaksanakan tugas konstruksional disebut