BAB I PENDAHULUAN Sejak ditemukannya sinar X oleh Wilhem Rontgen pada tahun 1895 telah dilaporkan terjadinya kerusakan jaringan tubuh manusia karena radiasi. Pada permulaan diperkenalkannya terapi radiasi, diketahui terjadinya hiperemis kulit dan terbakarnya jaringan kulit akibat radiasi. Dengan dikembangkannya teknik radiasi super voltase, kerusakan kulit akibat radiasi tidak lagi terjadi walaupun dengan dosis yang lebih tinggi. Namun, timbul masalah baru yaitu terjadinya kerusakan jaringan yang lebih dalam, termasuk saluran cerna. Di lain pihak, hamper 50% pasien kanker mendapatkan terapi radiasi dalam program pengobatannya baik secara tersendiri maupun dalam kombinasi dengan tindakan operasi atau kemoterapi. 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB IPENDAHULUAN
Sejak ditemukannya sinar X oleh Wilhem Rontgen pada tahun 1895 telah dilaporkan
terjadinya kerusakan jaringan tubuh manusia karena radiasi. Pada permulaan
diperkenalkannya terapi radiasi, diketahui terjadinya hiperemis kulit dan terbakarnya
jaringan kulit akibat radiasi. Dengan dikembangkannya teknik radiasi super voltase,
kerusakan kulit akibat radiasi tidak lagi terjadi walaupun dengan dosis yang lebih tinggi.
Namun, timbul masalah baru yaitu terjadinya kerusakan jaringan yang lebih dalam,
termasuk saluran cerna. Di lain pihak, hamper 50% pasien kanker mendapatkan terapi
radiasi dalam program pengobatannya baik secara tersendiri maupun dalam kombinasi
dengan tindakan operasi atau kemoterapi.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi kolon dan rectum
Kolon merupakan tabung muscular berongga dengan panjang sekitar 1,5 m yang
terbentang dari sekum sampai kanalis ani. Diameter kolon lebih besar daripada usus halus.
Rata-rata sekitar 2,5 inchi (sekitar 6,5 cm), makin dekat anus diameternya makin kecil. 1,2
Kolon dibagi menjadi sekum, kolon, dan rektum. Pada sekum terdapat katup ileosekal
dan apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci
pertama dari usus besar. Katup ileosekal mengontrol aliran kimus dari ileum ke sekum. 1,2
Kolon dibagi lagi menjadi kolon ascendens, transversum, descendens, dan sigmoid.
Tempat dimana kolon membentuk kelokan tajam yaitu pada abdomen kanan dan kiri atas
berturut-turut dinamakan fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon sigmoid mulai
setinggi krista iliaka dan berbentuk suatu lekukan berbentuk “S”. Lekukan bagian bawah
membelok ke kiri waktu kolon sigmoid bersatu dengan rektum. Rektum terbentang dari
kolon sigmoid sampai dengan anus. Satu inci terakhir dari rektum terdapat kanalis ani yang
dilindungi oleh sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum sampai kanalis ani
adalah 5,9 inci 1,2
Gambar 1 : Anatomi Kolon
Dinding kolon terdiri dari empat lapisan yaitu tunika serosa, muskularis, submukosa,
dan tunika mukosa akan tetapi usus besar mempunyai gambaran- gambaran yang khas
berupa: lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna tetapi terkumpul dalam tiga pita
yang disebut taenia koli yang bersatu pada sigmoid distal. Panjang taenia lebih pendek
daripada usus sehingga usus tertarik dan berkerut membentuk kantong-kantong kecil yang
2
disebut haustra. Pada taenia melekat kantong-kantong kecil peritoneum yang berisi lemak
yang disebut apendices epiploika. Lapisan mukosa usus besar lebih tebal dengan kriptus
lieberkuhn terletak lebih dalam serta mempunyai sel goblet lebih banyak daripada usus
halus. 1,2
Gambar 2 : Histologi Kolon
Vaskularisasi usus besar diatur oleh arteri mesenterika superior dan inferior. Arteri
mesenterika superior memvaskularisasi kolon bagian kanan (mulai dari sekum sampai dua
pertiga proksimal kolon transversum). Arteri mesenterika superior mempunyai tiga cabang
utama yaitu arteri ileokolika, arteri kolika dekstra, dan arteri kolika media. Sedangkan arteri
mesenterika inferior memperdarahi kolon bagian kiri (mulai dari sepertiga distal kolon
transversum sampai rektum bagian proksimal). Arteri mesenterika inferior mempunyai tiga
cabang yaitu arteri kolika sinistra, arteri hemorroidalis superior, dan arteri sigmoidea. 1,2
Vaskularisasi tambahan daerah rektum diatur oleh arteria sakralis media dan arteria
hemorroidalis inferior dan media. Aliran balik vena dari kolon dan rektum superior melalui
vena mesenterika superior dan inferior serta vena hemorroidalis superior, yaitu bagian dari
sistem portal yang mengalirkan darah ke hati. Vena hemorroidalis media dan inferior
mengalirkan darah ke vena iliaka dan merupakan bagian dari sirkulasi sistemik. Terdapat
anastomosis antara vena hemorroidalis superior, media, dan inferior sehingga peningkatan
tekanan portal dapat mengakibatkan aliran balik ke dalam vena-vena ini dan mengakibatkan
hemorroid. 1,2
3
Gambar 3 : Vaskularisasi kolon
Aliran pembuluh limfe kolon mengikuti arteria regional ke limfenodi preaorta pada
pangkal arteri mesenterika superior dan inferior. Aliran balik pembuluh limfe melalui
sisterna kili yang bermuara ke dalam sistem vena pada sambungan vena subklavia dan
jugularis sinistra. Hal ini menyebabkan metastase karsinoma gastrointestinal bisa ada dalam
kelenjar limfe leher (kelenjar limfe virchow). Aliran balik pembuluh limfe rektum mengikuti
aliran pembuluh darah hemorroidalis superior dan pembuluh limfe kanalis ani menyebar ke
nodi limfatisi iliaka interna, sedangkan aliran balik pembuluh limfe anus dan kulit perineum
mengikuti aliran limfe inguinalis superficialis. 1,2
Gambar 4 : Pembuluh limfe pada kolon
4
Inervasi usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom kecuali sfingter eksternus yang
diatur secara voluntar. Serabut parasimpatis berjalan melalui saraf vagus ke bagian tengah
kolon transversum, dan saraf pelvikus yang berasal dari daerah sakral mensuplai bagian
distal. Serabut simpatis yang berjalan dari pars torasika dan lumbalis medula spinalis
melalui rantai simpatis ke ganglia simpatis preortika. Disana bersinaps dengan post ganglion
yang mengikuti aliran arteri utama dan berakhir pada pleksus mienterikus (Aurbach) dan
submukosa (meissner). 1,2
Perangsangan simpatis menyebabkan penghambatan sekresi dan kontraksi, serta
perangsangan sfingter rektum, sedangkan saraf parasimpatis mempunyai efek yang
berlawanan. Kendali usus yang paling penting adalah aktivitas refleks lokal yang
diperantarai oleh pleksus nervosus intramural (Meissner dan Aurbach) dan interkoneksinya. 1,2
2.1 Fisiologi kolon dan rectum
Fungsi usus besar ialah menyerap air, vitamin, dan elektrolit, ekskresi mucus serta
menyimpan feses, dan kemudian mendorongnya keluar. Dari 700- 1000 ml cairan usus halus
yang diterima oleh kolon, hanya 150-200 ml yang dikeluarkan sebagai feses setiap harinya.
Udara ditelan sewaktu makan, minum, atau menelan ludah. Oksigen dan karbondioksida di
dalamnya di serap di usus, sedangkan nitrogen bersama dengan gas hasil pencernaan dari
peragian dikeluarkan sebagai flatus. Jumlah gas di dalam usus mencapai 500 ml sehari. Pada
infeksi usus, produksi gas meningkat dan bila mendapat obstruksi usus gas tertimbun di
saluran cerna yang menimbulkan flatulensi Terdapat sejumlah bakteri pada kolon, yang
mampu mencerna sejumlah kecil selulosa, dan menghasilkan sedikit nutrien bagi tubuh.
Bakteri juga memproduksi vitamin K dan juga gas, sehingga menimbulkan bau pada feses. 1,2
5
2.3 Kolitis
2.3.1 Definisi
Kolitis adalah suatu peradangan akut atau kronik pada kolon yang berdasarkan penyebab
dapat di klasifikasikan sebagai berikut:3,4
a. Kolitis infeksi, misalnya: shigelosis, kolitis tuberkulosa, kolitis amebik, kolitis
pseudomembran, kolitis karena virus/bakteri/parasit lain.
b. Kolitis non-infeksi, misalnya: kolitis ulseratif, penyakit chron’s, kolitis radiasi,
kolitis iskemik, kolitis mikroskopik, kolitis non spesifik (simple colitis)
1. Kolitis Amebik (Amebiasis Kolon)
Peradangan kolon yang disebabkan protozoa Entamoeba Histolytica. 3,4,5
Epidemiologi
Prevalensi amebiasis di berbagai tempat sangat bervariasi, diperkirakan 10%
populasi terinfeksi. Prevalensi tertinggi didaerah tropis (50-80%). Manusia
merupakan host sekaligus reservoir utama. Penularannya melalui kontaminasi tinja
ke makanan dan minuman, dengan perantara lalat, kecoak, kontak interpersonal, atau
lewat hubungan seksual anal-oral. Sanitasi lingkungan yang jelek, penduduk yang
padat dan kurangnya sanitasi individual mempermudah penularan.3,6
Pasien yang asimtomatik tanpa adanya invasi jaringan, hanya mengeluarkan
kista pada tinjanya. Kista tersebut dapat bertahan hidup diluar tubuh manusia.
Sedangkan pada pasien dengan infeksi amuba akut/kronik yang innvasif selain kista
juga mengeluarkan trofozoid, namun bentuk trofozoid tersebut tidak dapat bertahan
lama diluar tubuh manusia. 3,5,6
Patofisiologi
E.histolytica terdapat dalam dua bentuk yaitu: kista dan trofozoid yang
bergerak. Penularan terjadi melalui bentuk kista yang tahan suasana asam. Didalam
lumen usus halus, dinding kista pecah mengeluarkan trofozoid yang akan menjadi
dewasa dalam lumen kolon. Akibat klinis yang ditimbulkan bervariasi, sebagian
besar asimtomatik atau menimbulkan sakit yang sifatnya ringan atau berat. 3,5,6
Berdasarkan pola isoenzimnya, E.histolytica dibagi menjadii golongan
zymodeme patogenik dan non-patogenik. Walaupun mekanismenya belum
seluruhnya jelas, diperkirakan trofozoid menginvasi dinding usus dengan cara
mengeluarkan enzim proteolitik. Pasien dalam keadaan imunosupresi seperti
6
mengkonsumsi steroid memudahkan invasi parasit ini. Pelepasan bahan toksin
menyebabkan reaksi inflamasi yang menyebabkan destruksi mukosa. Bila proses
berlanjut timbul ulkus yang bentuknya seperti botol undermined, kedalaman usus
mencapai submukosa atau lapisan muskularis. Tepi ulkus menebal dengan sedikit
reaksi radang. Mukosa diantara usus terlihat normal. Ulkus dapat terjadi disemua
bagian kolon, tersering disekum, kemudian kolon asenden dan sigmoid, kadang-
kadang apendiks dan ileum terminalis. 3,5,6
Akibat invasi amuba ke dinding usus timbul reaksi imunitas humoral dan
imunitas cell-mediated amebisidal berupa makrofag lymphokine-activated serta
limfosit sitotoksik CD8. Invasi yang mencapai lapisan muskularis dinding kolon
dapat menimbulkan jaringan granulasi dan terbentuk massa yang disebut ameboma,
sering terjadi di sekum atau kolon asenden. 3,5,6
Gejala klinis
Gejala klinis pasien amebiasis sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik sampai
berat dengan gejala klinis menyerupai kolitis ulseratif. Beberapa keadaan klinis pasien
amebiasis adalah sebagai berikut: 3,5,6
1. Carier (cyst passer) : ameba tidak mengadakan invasi ke dinding usus , tanpa gejala
atau hanya gejala ringan seperti kembung, flatulensi, obstipasi, kadang-kadang diare.
Sembilan puluh persen pasien sembuh sendiri salam waktu satu tahun, sisanya (10%)
terganggunya fungsi mukosa sal cerna, perubahan flora usus, kehilangan cairan elektrolit,
sepsis (pertumbuhan mikroorganisme fakultatif). Jika dosis dradiasi < 150rad gejala dapat
hilang dengan sendirinya. . 6,7,12,13
Localized irradiation
Dalam fase akut terjadi kerusakan sel-sel epitel mukosa dan sel2 endotel pembuluh
darah saluran cerna yang diikuti dengan edema submukosa akibat terjadinya peningkatan
permiabilitas kapiler. Dalam fase akut jarang ditemukan ulkus. Jika dosis yang diberikan
relatif kecil, semua kerusakan ini akan reversibel tanpa sekuele. 7,13,14
Dengan meningkatnya dosis radiasi dalam fase lanjut akan terjadi ulserasi yang
ekstensif dan persisten serta terjadi pelebaran ireguler dari pembuluh darah kecil yang
disebut sebagai teleangiektasia. Dapat terjadi perubahan epitel yang progresif sssehingga
terjadi atrofi, fibrosis bahkan bisa timbul striktur serta trombosis yang mengakibatkan
iskemi jaringan. Pada kasus-kasus tertentu dapat terjadi fistula bahkan perforasi. Sebagian
22
penulis melaporkan timbulnya efek karsinogenesis sebagai akibat lanjut dari terapi radiasi
namun mekanismenya belum diketahui.15,16
Manifestasi klinis kolitis radiasi dibagi atas gejala akut dan gejala kronik. Gejala
akut dapat berupa mual, muntah, diare dan tenesmus. Umumnya dapat terjadi dalam kurun
waktu 6 minggu setelah selesai radiasi. Sanagat jarang terjadi perdarahan pada fase akut ini.
Keluhan umumnya berkurang dengan pengurangan dosis atau frekuensi pemberian serta
hilang dalam waktu 2-6 bulan. Gejala kronik biasanya terjadi dalam 2 tahun pertama pasca
radiasi, umumnya 6-9 bulan setelah terapi radiasi selesai. Pada beberapa pasien gejala timbul
setelah lebih dari sepuluh tahun pasca radiasi. Gejala yang timbul biasanya berupa
hematoskezia, diare, kolik, tenesmus. 17,18
Pasien dengan perdarahan minimal umumnya tidak memerlukan transfusi darah,
70% diantaranya mengalami remisis spontan. Hanya kira-kira 5% yang memerlukan
tindakan pembedahan. Namun pada pasien dalam kondisi lebih berat memerlukan tindakan
transfusi darah, angka remisi spontan kecil sekali (0-20%) 50% diantaranya memerlukan
tindakan pembedahan dengan tingkat kematian yang tinggi (60%). 16,17
Ada dua mekanisme yang dapat menjelaskan patofisiologi timbulnya keluhan dan
gejala kolitis radiasi yaitu nekrosis mukus dan kerusakan vaskular submukosa. Keluhan ini
biasanya disebabkan kerusakan mukosa, tetapi sebagian lagi dapat diakibatkan oleh
perubahan sfingter ani interna karena kerusakan pada pleksus mienterikus. 6,7
2.5 Diagnosis dan Penatalaksanaan
Diagnosis umumnya ditegakkan berdasarkan anamnesis yang cermat, pemeriksaan
fisik, endoskopi saluran cerna (rektosigmoidoskopi/kolonoskopi) dan pemeriksaan
histopatologi. Jika pemeriksaan endoskopi sulit dilakukan (oleh karena striktur hebat atau
fistula), dilakukan pemeriksaan barium enema. 6,7
Pada pemeriksaan kolonoskopi dapat ditemukan adanya gambaran teleangektasia,
edema, ulkus, striktur bahkan fistula, mukosa yang kaku serta mudah berdarah. 6,7
Klasifikasi Kottmeier
Derajat I keluhan ringan, kelainan mukosa minimal
Derajat II diare yang sering + mucus & darah, kolonoskopi jar nekrosis, ulkus/ stenosis
sedang
Derajat III stenosis berat sehingga dibutuhkan kolonostomi
Derajat IV terdapat fistula
23
Penatalaksanaan kolitis radiasi terutama dengan kerusakan yang berat,sampai saat ini
masih merupakan masalah. Pada umumnya terapi dimulai dengan pemberian steroid enema,
sulfasalazin/mesalazin serta sukralfat enema. Suatu studi prospektif menunjukkan beberapa
keuntungan klinis bila sulfasalazin oral dikombinasikan dengan steroid enema dibandingkan
dengan pemberian sukralfat enema sendiri. Hasil pengobatan akan lebih baik bila
sulfasalazin oral dikombinasikan dengan steroid enema dan sukralfat enema. Akhir-akhir ini
dilaporkan tentang efektifitas terapi oksigen hiperbarik, instilasi formalin serta ablasi laser
per-endoskopi. Saclaiders dan kawan-kawan (1995) melaporkan bahwa pemakaian formalin
secara topikal cukup aman dan efektif untuk pengobatan proktitis hemoragik akibat radiasi. 6,7
Gambar 7 : Perbedaan tatalaksana colitis radiasi akut dan kronik
Terapi hyperbaric oksigen
Hypervaric okssigen dinilai sangat efektif pada kolitis radiasi kronik dan luka yang
sulit sembuh pada regio anorektal. Mekaniasme terapi oksigen hiperbarik adalah
peningkatan gradien oksigen pada jaringan hipoksia yang menstimulasi terbentuknya
pembuluh darah baru yang mengurangi iskemik dan nekrosis jaringan. 6,7
24
Kontrol perdarahan
Kontrol perdarahan pada kolitis radiasi dapat menggunakan terapi koagulasi argon
plasma yang dinilai sebagai prosedur yang simpel dan aman. Jika terapi ini gagal dapat
diberikan terapi pemberian formalin lokal. Cara kedua untuk menghentikan perdarahan
adalah dengan diebrikan talidomid dosis rendah yang mencegah angiogenesis. 6,7
Pembedahan
Pada sepertiga pasien dengan kolitis radiasi kronik membutuhkan operasi dengan
indikasi obstruksi, perforasi, fistula dan perdarahan hebat. 6,7
Pada pengalaman di Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RUPN Cipto Mangunkusumo, pasien-pasien kolitis radiasi derajat I dan II
memberikan respon yang cukup baik pada pengobatan dengan steroid enema
dikombinasikan dengan sukralfat enema dan mesalazin enema. 6
Pada pasien dengan kerusakan berat umumnya pengobatan medikamentosa menemui
kegagalan sehingga tidak jarang harus mengalami pembedahan karena perdarahan yang
tidak dapat dikendalikan, stenosis atau fistula. 6
25
BAB III
KESIMPULAN
Kolitis radiasi adalah peradangan kolon sebagai komplikasi abdominal dan pelvis
akibat terapi radiasi terhadap terapi ginekologi (Ca servik), urologi (Ca prostat, Kandung
Kemih dan testis) dan rectum. Gejala klinis yang timbul bergantung pada dosis radiasi yang
diterima, cara dan frekuensi pemberian, keadaan nutrisi, umur dan adanya penyakit vaskular
serta ada tidaknya operasi saluran cerna sebelumnya. Toksisitas terhadap gastrointestinal
dilaporkan sebagai grade yang bervariasi dari asimtomatik sampai keadaan yang
mengancam jiwa.
Dua mekanisme yang dapat menjelaskan patofisiologi timbulnya keluhan dan gejala
kolitis radiasi yaitu nekrosis mukus dan kerusakan vaskular submukosa. Diagnosis
umumnya ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, endoskopi saluran cerna
(rektosigmoidoskopi/kolonoskopi) dan pemeriksaan histopatologi.
Penatalaksanaan kolitis radiasi dimulai dengan pemberian steroid enema,
sulfasalazin/mesalazin serta sukralfat enema, terapi hyperbaric oksigen, kontrol perdarahan
menggunakan terapi koagulasi argon plasma dan pembedahan
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton & Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC.2. Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2.
Jakarta:EGC.3. Niezam. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.4thed. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2006. P378-3804. Kumar N, Govil A, Puri AS, Gulati R, lain M. Rawal KK, Gupta R. Tuberculosis in
ulcerative colitis : bird in the bush. Trop Gastroenterol. 2005 ; 15 ; 2195. Haque R Huston CD. Hughes M, et al. Amebiasis. N Engl J Med. 2006 ; 348 : 15656. Makmun, Dadang. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.4thed. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. P3817. Abobakr K Shadad, Frank J Sullivan, Joseph D Martin, Laurence J Egan.
Gastrointestinal radiation injury: Symptoms, risk factors and mechanisms. World Journal of Gastroenterology. 2013. Diakses pada 6 Mei 2013
8. Yamada T. Textbook of Gastroenterology. In: Cohen SBS,editor. Radiation injury in the gastointestinal tract. 4 ed. Lippincott: Williams & Wilkins, 2003: 2760-2771
9. Coia LR, Myerson RJ, Tepper JE. Late effects of radiation therapy on the gastrointestinal tract. Int J Radiat Oncol Biol Phys 1995; 31: 1213-1236
10. Emami B, Lyman J, Brown A, Coia L, Goitein M, Munzenrider JE, Shank B, Solin LJ, Wesson M. Tolerance of normal tissue to therapeutic irradiation. Int J Radiat Oncol Biol Phys 1991; 21: 109-122
11. Henderson A, Andreyev HJ, Stephens R, Dearnaley D. Patient and physician reporting of symptoms and healthrelated quality of life in trials of treatment for early prostate cancer: considerations for future studies. Clin Oncol (R Coll Radiol) 2006; 735-743
12. Classen J, Belka C, Paulsen F, Budach W, Hoffmann W, Bamberg M. Radiation-induced gastrointestinal toxicity. Pathophysiology, approaches to treatment and prophylaxis. Strahlenther Onkol 1998; 174
13. Martin E, Pointreau Y, Roche-Forestier S, Barillot I. Normal tissue tolerance to external beam radiation therapy: small bowel. Cancer Radiother 2010; 14: 350-353
14. Andreyev J. Gastrointestinal complications of pelvic radiotherapy: are they of any importance? Gut 2005; 54: 1051-1054
15. Kountouras J, Zavos C. Recent advances in the management of radiation colitis. World J Gastroenterol 2008; 14: 7289-7301’
16. Willett CG. Technical advances in the treatment of patients with rectal cancer. Int J Radiat Oncol Biol Phys 1999; 45:1107-1108
17. Gunnlaugsson A, Kjellén E, Nilsson P, Bendahl PO, Willner J, Johnsson A. Dose-volume relationships between enteritis and irradiated bowel volumes during 5-fluorouracil and oxaliplatin based chemoradiotherapy in locally advanced rectal cancer. Acta Oncol 2007; 46: 937-944
18. Minsky BD, Conti JA, Huang Y, Knopf K. Relationship of acute gastrointestinal toxicity and the volume of irradiated small bowel in patients receiving combined modality therapy for rectal cancer. J Clin Oncol 1995; 13: 1409-1416