BAB I PENDAHULUANCedera kepala merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas pada semua kelompok usia. Saat ini, belum
ada penanganan yang efektif untuk memulihkan efek yang menetap dari
cedera kepala primer, dan penanganan ditujukan untuk mengurangi
efek sekunder dari cedera kepala yang dapat terjadi akibat dari
iskemik, hipoksia dan peningkatan tekanan intra cranial. Memahami
epidemiologi dari cedera kepala berguna untuk tindakan preventif,
perencanaan strategi preventif primer berdasarkan populasi untuk
meningkatkan penanganan yang efektif dan efisien, termasuk
ketentuan fasilitas rehabilitasi bagi mereka yag terkena cedera
kepala. Perubahan neuropatologi terkait dengan sejumlah factor,
termasuk tipe dan keparahan cedera, serta bekes cedera yang dapat
terjadi akibat cedera yang tumpul maupun tajam yang dapat menyeuruh
ataupun local. Patologi dari cedera kepala juga dipengaruhi dari
factor pasien seperti usia, komorbid, alcohol, hipoksia, sepsis dan
penanganan. Penanganan klinis yang cepat dan akurat sangatlah
penting. The rapid and accurate clinical assessment of a
head-injured patient is crucial. Penaganan awal harus selalu
ditujukan pada jalan napas (airway), pernapasan (breathing) dan
sirkulasi (circulation) sesuai dengan prinsip-prinsip ATLS. Yang
terpenting bukan hanya untuk mengodentifikasi cedera kepala yang
mengancam jiwa melainkan juga untuk mencegah cedera kepala
sejunder. Tulang cervical harus diimobilisasi karena ada
kemungkinan terjadi cedera. Level kesadaran dan ukuran serta respon
pupil harus diperiksa berkala pada pasien dengan cedera kepala ini.
Cedera kepala traumatic berdampak pada ribuan orang tiap tahunnya.
Keparahan cedera mulai yang ringan dengan gangguan fungsi kognitif
yang tidak dapat dinilai hingga gangguan kesadaran yang parah
dengan prolong koma dan status vegetative persisten. Pencitraan
cedera kepala tidak hanya bergantung pada mekanisme dan keparahan
cedera, tapi juga pada waktu sejak terjadinya cedera. Tujuan dari
pencitraan ini termasuk untuk pengambilan keputusan terapi,
prognosis dan penelitian patofisiologi cedera kepala. Intracranial
pressure (ICP) juga telah menjadi variable vital pada fungsi
serebral di saat fase akut cedera kepala.
BAB II1
PEMBAHASAN 2.1 DefinisiTrauma kapitis atau cedera kepala adalah
trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung maupun tidak
langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan
fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun
permanen.1
2.2 Epidemiologi-Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala
setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah
tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang sampai di
rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR),
10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah
cedera kepala berat (CKB). Insiden cedera kepala terutama terjadi
pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu
lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala,
20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak
kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi.7 Data epidemiologi di
Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di
Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap,
terdapat 60%-70% dengan CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan
CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%-10%
CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal. Tindakan operasi
pada kasus CKB hanya dilakukan pada sebagian kecil pasien ( 3
bulan
- Hematoma intraparenkhimal
Perdarahan subarakhnoid
Dalam kebanyakan kasus, darah subarachnoid hanya terdeteksi oleh
pemeriksaan CSF, dan pemeriksaan klinis kecil. Dengan cedera yang
lebih serius, ketika vena besar yang melintasi subarahnoid robek,
fokal atau perdarahan subarachnoid luas dapat dideteksi oleh CT.
Meskipun adanya sejumlah besar darah di subarachnoid merupakan
pertanda prognosis yang buruk, komplikasi perdarahan subarachnoid
aneurysmal, seperti hidrosefalus dan iskemia dari vasospasm, tidak
biasa terjadi setelah perdarahan subarakhnoid traumatik. Gejala dan
tanda klinis berupa kaku kuduk, nyeri kepala, dapat terjadi
gangguan kesadaran.
12
Hematoma intraserebral
Adalah perdarahan parenkim otak, disebabkan karena pecahnya
arteri intraserebral mono atau multiple. Biasanya berhubungan
dengan diffuse axonal injury dengan gejala dan tanda klinis: Koma
lama pasca traumatic Disfungsi saraf otonom Demam tinggi
2.5 Diagnosis AnamnesisKeadaan kecelakaan dan kondisi klinis
pasien sebelum masuk ke ruang darurat harus dipastikan dari pasien
(jika mungkin), dan saksi mata. Kekuatan dan lokasi cedera kepala
harus ditentukan setepat mungkin. Pertanyaan khusus juga harus
dibuat mengenai gegar otak; karena pasien amnestic selama gegar
otak, hanya seorang saksi mata secara akurat dapat mengukur durasi
kehilangan kesadaran. Anamnesis mencakup; trauma kapitis dengan
/atau tanpa gangguan kesadaran atau dengan interval lucid,
perdarahan/otorrhea/ rinorrhea serta amnesia traumatika.1,2-
Pemeriksaan Fisik pemeriksaan klinis neurologisPemeriksaan fisik
secara umum dari kepala hingga kaki. Dapat ditemukan
adanya kelainan sesuai dengan dampak cedera pada otak. Tengkorak
harus teraba untuk13
fraktur, hematoma, dan luka. Pasien harus secara menyeluruh
diperiksa tanda-tanda eksternal trauma leher, dada, punggung,
perut, dan anggota badan. perdarahan dari hidung atau telinga
mungkin menunjukkan kebocoran CSF; CSF berdarah dapat dibedakan
dari darah melalui uji halo positif (yaitu, sebuah lingkaran CSF di
bentuk darah ketika jatuh di atas selembar kain putih). Jika tidak
ada campuran darah, CSF dapat dibedakan dari sekresi hidung karena
konsentrasi glukosa CSF adalah 30 mg / dL atau lebih, sedangkan
sekresi lakrimal dan lendir hidung biasanya mengandung kurang dari
5 mg / dL glukosa. Setelah menentukan tingkat kesadaran. Perhatian
khusus harus diberikan pada kemampuan fokus, konsentrasi (misalnya,
menghitung mundur dari 20 ke 1, atau membaca secara terbalik),
orientasi, dan memori. Gerakan mata, ukuran pupil dan bentuk, dan
reaksi terhadap cahaya harus dicatat. Pupil lamban reaktif atau
melebar menunjukkan herniasi transtentorial dengan kompresi saraf
kranial ketiga. Midposition pupil, kurang reaktif, tidak teratur
dapat terjadi karena cedera pada inti oculomotor di tegmentum otak
tengah. Nystagmus sering terjadi gegar otak. Pada pasien koma,
refleks oculocephalic dan oculovestibular harus diuji. Pemeriksaan
motorik harus berfokus pada identifikasi kelemahan, asimetris atau
sikap. Gerakan spontan harus dinilai untuk menilai penggunaan
khusus dari anggota badan pada satu sisi. Jika pasien tidak
sepenuhnya kooperatif, kelemahan dapat dideteksi oleh penilaian
dari asimetri dari tonus atau refleks tendon, atau dengan adanya
suatu pergeseran lengan, respon lokalisasi khusus dengan menggosok
sternum, atau ekstensor plantar refleks.
14
Jika kerusakan terjadi jika terjadi di lobus frontal maka akan
mengalami penurunan fungsi intelektual, personality, dan kelemahan
otot. Pada lobus temporal akan mengalami gangguan bicara,
pendengaran dan memory. Jika di lobus parietal mengalami gangguan
maka pasien akan mengalami gangguan sensibilitas. Jika kerusakan
pada lobus occipital pasien akan mengeluh adanya gangguan
penglihatan dan Pada brain stem merupakan tempat untuk mengatur
laju nadi, pernafasan dan tekanan darah.
15
Dekortikasi menunjukkan cedera pada jalur corticospinal di
tingkat diencephalon atau otak tengah atas. Sikap decerebrasi
berarti cedera pada jalur motor di tingkat yang lebih rendah dari
otak tengah, pons, atau medula.
-
Pemeriksaan Penunjang trauma kepala secara umumLaboratorium
Pemerksaan laboratorium yang dilakukan pada saat pasien pertama
kali masuk ke RS serta saat pemantauan seperti pemeriksaan dara;
Hb, leukosit, trombosit untuk mengetahui factor pemberat yang
menyertai perdrahan. Ureum, kreatinin untuk mengetahui fungsi hati
akibat perdarahan ataupun untuk interfensi obat-obatan yang akan
dieksresikan melalui ginjal. Gula darah sewaktu juga diperlukan
untuk mengetahui factor yang dapat memperberat dampak cedera atau
adanya penykit komorbid. Analisa Gas Darah dan elektrolit juga
sebaiknya diperiksa untuk menilai adanya asidosis atau alkalosis
yang dapat terjadi akibat dampak dari cedera, hipoventilasi misalny
Radiologi
Foto polos kepala Foto polos kepala dengan berbagai posisi
seperti AP, lateral berguna untuk melihat adanya fraktur tengkorak,
tapi tidak menunjukkan jaringan lunak di dalam kepala.1,2
16
CT Scan dan MRI CT adalah pencitraan darurat metode pilihan
untuk cedera kepala. CT lebih informatif daripada rontgen tengkorak
standar dan memberikan sensitivitas untuk mendeteksi darah
intrakranial. Secara umum, semua pasien dengan cedera kepala harus
memiliki CT, kecuali bagi mereka yang diklasifikasikan sebagai
risiko rendah (misalnya, tanpa gegar otak, tanpa kelainan
neurologis pada pemeriksaan, dan tanpa bukti atau kecurigaan dari
patah tengkorak, alkohol atau keracunan obat, atau moderatrisiko
kriteria lain). Kemungkinan mendeteksi intra serebral hemoragik
oleh CT pada pasien ini hanya 1 dalam 10.000. MRI lebih baik untuk
mendeteksi cedera halus otak, terutama untuk lesi fokal, tetapi
pada umumnya tidak digunakan untuk evaluasi darurat kecuali dengan
cepat dan mudah tersedia. gambar CT harus dinilai untuk bukti
adanya hematoma epidural atau subdural, subarachnoid atau
intraventricular, memar parenkim dan perdarahan, edema otak, dan
memar berhubungan dengan diffuse axonal injury.1,2,3,4
Gambar 2.1. CT Scan Epidural Hematom
Gambar 2.1. CT Scan Epidural Hematom
17
Gambar 2.1. CT Scan Arahnoid Hematom2.6 Klasifikasi sesuai
Glasgow Coma Scale (GCS)
Cedera Kepala Ringan:1,5
GCS 13-15 Pingsan < 10 menit Defisit neurologis (-) hanya
gangguan fungsional CT scan Normal
Cedera Kepala Sedang
GCS 9-12 Pingsan > 10 menit s/d < 6 jam Defisit neurologis
(+) CT scan abnormal Cedera Kepala Berat
BCS 3-8 Pingsan > 6 jam Defisit neurologis (+) CT scan
abnormal
Glasgow Koma Scale
18
Mata: Nilai 4 Nilai 63 52 41 3 2 1
Motorik:
Terbuka spontan Dengan perintah verbal Menurut perintah Dengan
nyeri Depat melokalisir nyeri Tidak ada respon nyeri Fleksi
terhadap Fleksi abnormal (dekortikasi) Ekstensi (deserebrasi) Tidak
ada respon
Verbal: Nilai 5 4 3 2 1
Orientasi baik Disorientasi tidak baik Kata-kata tidak tepat,
hanya menangis Mengerang Tidak ada respon
2.7 PenatalaksanaanPenanganan emergensi sesuai dengan beratnya
trauma kapitis (ringan, sedang, berat) berdasarkan urutan: 1.
Survey Primera. Airway (jalan napas)
Bebaskan jalan napas dengan memeriksa mulut, bila terdapat
secret atau benda asing segera dikeluarkan dengan suction atau
swab. Bila perlu dapat digunakan intubasi untuk menjaga patenisasi
jalan napas. Waspadai bila ada fraktur servikal.b. Breathing
(Pernapasan) 19
Pastikan pernapasan adekuat, perhatikan frekwensi, pola napas
dan pernapasan dada atau perut dan kesetaraan pengembangan dada
kanan dan kiri. Bila ada gangguan pernapasan segera cari penyebab,
gangguan terjadi pada sentral atau perifer. Bila perlu, berika
oksigen sesuai kebutuhan. Pertahankan saturasi oksigen O2 > 92%
c. Circulation Jika pasien menunjukkan tanda-tanda ketidakstabilan
hemodinamik, jalur IV harus segera terpasang. Karena autoregulasi
aliran darah serebral sering terganggu pada cedera kepala akut,
harus terus dipantau untuk menghindari hipotensi yang dapat
menyebabkan iskemik otakatau hipertensi yang dapat memperburuk
edema serebral. Pertahankan TD sistolik > 90 mmHg, hindari
pemakaian cairan hipotonis. Vasopresor kerja pendek (misalnya,
phenylephrine dan norepinephrine) dan agen antihipertensi
(misalnya, labetalol dan nicardipine) adalah lebih baik karena
kemampuan mereka untuk menstabilkan tekanan darah dalam kisaran
terapeutik yang sempit. Nitroprusside natrium harus dihindari
karena dapat melebarkan pembuluh cerebral dan meningkatkan
ICP.1.2.d. Disability (mengetahui lateralisasi dan kondisi umum dan
neurologis)
Observasi: Tanda vital: tekanan darah, nadi. Suhu, dan
pernapasan GCS Pupil: ukuran, bentuk dan reflex cahaya Pemeriksaan
neurologis cepat: hemiparese, reflex patologis Luka-luka20
-
Anamnesa: AMPLE (allergies, Medication, Past Illness, Last Meal,
event/Environtment related to the injury)
2. Survey Sekunder Laboratorium Darah: Hb, leukosit, trombosit,
ureum kreatinin, Gula Darah Sewaktu , Analisa Gas Darah dan
elektrolit Urin: perdarahan Radiologi Foto polos kepala CT Scan
otak Foto lain sesuai indikasi Managemen terapi -
Siapkan untuk operasi pada pasien yang mempunyai indikasi
Siapkan ruangan intensif Penanganan luka-luka Pemberian obat sesuai
kebutuhan
-
Penanganan Kasus Cedera Kepala Ringan 1. Pemeriksaan status umum
dan neurologi 2. Perawatan luka-luka 3. Pasien dipulangkan dengan
pengawasan ketat oleh keluarga selama 48 jam. Bila selama dirumah
terdapat hal-hal sebagai berikut: a. pasien cenderung mengantuk b.
sakit kepala yang semakin berat21
c. muntah proyektil Maka pasien harus segera dibawa kembali ke
RS 4. pasien perlu dirawat apabila ada hal-hal berikut ini: a. ada
gangguan orientasi (waktu dan tempat) b. sakit kepala dan muntah c.
tidak ada yang mengawasi di rumah d. letak rumah jauh atau sulit
untk kembali ke RS
Penanganan Kasus Cedera Kepala Sedang dan Berat 1. lanjutkan
penanganan ABC2. pantau tanda vital (suhu, nadi, pernapasan,
tekanan darah), pupil GCS, gerakan
ekstremitas, sampai pasien sadar 3. pantauan dilakukan tiap 4
jam 4. lama pemantauan hingga GCS 15. Perhatian khusus ditujukan
untuk mencegah terjadinya hipotensi. Data Traumatic Coma Data Bank
(TCDB) menunjukkan bahwa hipotensi pada pasien dengan trauma
kranoserebral berat akan meningkatkan angka kematian dari 27% 50%
(Wilkins, 1996). Tatalaksanan tradisional yang meliputi pembatasan
cairan dalam mengurangi terjadinya edema otak, kemungkinan akan
membahayakan pasien, terutama pada pasien yang telah mengaami
banyak kehilangan cairan.1 Hindari terjadi kondisi sebagai
berikut:
Tekanan darah sistolik < 90 mm Hg
Suhu > 38 derajat Celcius Frekuensi nafas > 20 x / menit
5. Cegah kemungkinan terjadinya tekanan tinggi intrakranial22
Posisi kepala ditinggikan 30 Bila perlu dapat diberikan Manitol
20% .Dosis awal 1 gr/kg BB, berikan dalam waktu 1/2 - 1 jam, drip
cepat. Lanjutkan pemberian dengan dosis 0,5 gr/kg BB drip cepat,
1/2 - 1 jam.
Berikan analgetika, dan bila perlu dapat diberikan sedasi jangka
pendek
Atasi komplikasi seperti kejang dengan pemberian profilaksis OAE
selama 7 hari untuk mencegah immediate dan early seizure Pada kasus
risiko tinggi infeksi akibat fraktur basis kranii / fraktur terbuka
berikan profilaksis antibiotika, sesuai dosis infeksi intrakranial
selama 10-14 hari. Gastrointestinal perdarahan lambung Demam DIC:
pasien dengan trauma kapitis tertutup cenderung mengalami
koagulopati akut.
Pemberian cairan dan nutrisi adekuat Roboransia, neuroprotektan
(citicoline), nootropik sesuai indikasi
Indikasi Operasi1. EDH (epidural hematoma)
>40 cc + midline shifting pada temporal / frontal / parietal
dgn fungsi batang otak masih baik
23
> 30 cc pada fossa posterior dengan tanda-tanda penekanan
batang otak atau hidrosefalus dengan fungsi batang otak masih
baik
EDH progresif EDH tipis dengan penurunan kesadaran bukan
indikasi operasi.
2. SDH (subdural hematoma)
SDH luas (> 40 cc / > 5 mm) dengan GCS > 6, fungsi
batang otak masih baik SDH tipis dengan penurunan kesadaran bukan
indikasi operasi SDH dengan edema serebri / kontusio serebri
disertai midline shift dengan fungsi batang otak masih baik
3. ICH (perdarahan intraserebral) pasca trauma
Penurunan kesadaran progresif Hipertensi dan bradikardi dan
tanda-tanda gangguan nafas (Cushing reflex) Perburukan defisit
neurologi fokal
4. Fraktur kranii dengan laserasi serebri 5. Fraktur kranii
terbuka (pencegahan infeksi intra-kranial)6. Edema serebri berat
yang disertai tanda peningkatan TIK, dipertimbangan operasi
dekompresi
DAFTAR PUSTAKA
1. Soertidewi Lyna,dkk. Konsensus Nasional; Penanganan Trauma
Kapitits dan TrauamaSpinal. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia. Jakarta 2006, hlm:1 18.
24
2. Rowland, et all. Merritt's Neurology, 11th Edition. Nelson.
Columbia University College of Physicians and Surgeons,
Neurological Institute, New York Presbyterian Hospital, Columbia
University Medical Center, New York. New York 2005, Pg.485500.
3. Whitfield Peter C, et al. Head Injury; A Multy Diciplinary
Approach. CambridgeUniversity Press. Cambridge.2009
4. Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinis. Himpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia.Yogyakarta.2008. hlm. 261-262.
5. Dewanto G, dkk. Diagnosisi dan Tatalaksana Penyakit Saraf.
IKAPI. Jakarta. 2006.Hlm.12 19.
6. Snell S Richard. Clinical Anatomy by System.Lippincont
Williams and Wilkins. NewYork. 2007. Pg.212-222.
7. Turner DA. Neurological evaluation of a patient with head
trauma. Dalam :Neurosurgery 2nd edition. New York: McGraw Hill,
1996.
25