REFERAT Gangguan Keseimbangan Asam Basa dan Elektrolit Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepanitraan Klinik Senior Pada Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Malikussaleh Rumah Sakit Umum Cut Meutia Aceh Utara Nama : Putri Azka Rinanda, S.Ked NIM : 090610041 Preseptor : Dr. Suhaemi, SpPD, Finasim Bagian : Ilmu Penyakit Dalam
107
Embed
Referat Gangguan Keseimbangan Asam Basa Dan Eletrolit
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
REFERAT
Gangguan Keseimbangan Asam Basa
dan Elektrolit
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepanitraan Klinik Senior Pada Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Program Studi Pendidikan Dokter
Universitas Malikussaleh Rumah Sakit Umum Cut Meutia Aceh Utara
Nama : Putri Azka Rinanda, S.Ked
NIM : 090610041
Preseptor : Dr. Suhaemi, SpPD, Finasim
Bagian : Ilmu Penyakit Dalam
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER UNIVERSITAS MALIKUSSALEH BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM CUT MEUTIA ACEH UTARA TAHUN AJARAN
2013/2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya penyusunan referat
yang berjudul “Gangguan Keseimbangan Asam Basa Dan Elektrolit” dapat saya
selesaikan penulisannya dalam rangka memenuhi salah satu tugas sebagai ko-
asisten yang sedang menjalani kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Penyakit
Dalam di Rumah Sakit Umum Cut Meutia.
Dalam menyelesaikan tugas ini, saya mengucapkan terima kasih kepada
Dr. Suhaemi, Sp.PD, Finasim selaku pembimbing dalam penulisan referat dan
sebagai pembimbing selama menjalani kepaniteraan ini. Apabila terdapat
kekurangan dalam menyusun referat ini, saya akan menerima kritik dan saran.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.
Lhokseumawe, Mei 2014
Putri Azka Rinanda, S. Ked
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang................................................................................ 1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 4
2.1 Asam Basa...................................................................................... 4
primer/hiperaldosteronisme primer (adenoma kelenjar adrenal). Anion yang
tak dapat direabsorbsi yang berikatan dengan natrium berlebihan dalam
tubulus (bikarbonat, beta hidroksibutirat, hippurat) menyebabkan lumen
duktus koligentes lebih bermuatan negatif dan menarik kalium masuk kedalam
lumen lalu dikeluarkan dengan urin, pada hipomagnesemia, poliuria (polidipsi
primer, diabetes insipidus) dan salt-wasting nephrophaty (sindrom barter atau
gitelman, hiperkalsemi). 12,14,18,21
Pengeluaran kalium berlebihan melalui keringat dapat terjadi bila
dilakukan latihan berat pada lingkungan yang panas sehingga produksi
keringat mencapai 10L. 18
c. Gejala Klinis
Kelemahan otot, perasaan lelah, nyeri otot, restless legs sindrom
merupakan gejala otot yang timbul pada kadar kalium kurang dari 3meq/L.
penurunan yang lebih berat dapat menimbulkan kelumpuhan.
Aritmia berupa timbulnya fibrilasi atrum, takikardi ventrikular merupakan
efek hipokalemia pada jantung. Hal ini terjadi akibat perlambatan repolarisasi
ventrikel pada kejadian hipokalemia yang menimbulkan peningkatkan arus re-
entry.
Efek hipokalemi pada ginjal dapat berupa timbulnya vakuolisasi pada
tubulus proksimal dan distal. Juga terjadi gangguan pemekatan urine sehingga
menimbulkan poliuri dan polidipsi. Hipokalemi juga akan meningkatkan produksi
HN4 dan produksi bikarbonat di tubulus proksimal yang akan menimbulkan
alkalosis metabolik. 14,18
d. Diagnostik
Pada keadaan normal, hipokalemi akan menyebabkan eksresi kalium
melalui ginjal turun hingga kurang dari 25 meq/hari sedang ekresi kalium dalam
urine lebih dari 40meq/hari menandakan adanya pembuangan kalium berlebihan
melalui ginjal.
Eksresi kalium yang rendah melalui ginjal disertai dengan adanya asidosis
metabolic merupakan penanda adanya pembuangan kalium berlebihan melalui
saluran cerna seperti diare akibat infeksi atau penggunaan pencahar.
Eksresi kalium berlebihan melalui ginjal dengan disertai asidosis
metabolickmerupakan petanda adanya ketoasidosis diabetic atau adanya RTA
(Renal Tubular Acidosis) baik yang distal maupun yang proksimal.
Eksresi kalium urine yang rendah disertai alkalosis metabolik, petanda dari
muntah kronik ataupun pemberian diuretic lama.
Eksresi kalium dalam urine tinggi disertai alkalosis metabolic dan tekanan
darah yang rendah petanda dari sindrom bartter. 14,18
e. Pemeriksaan Penunjang
. Kadar K dalam serum
Kadar K, Na, Cl dalam urin 24 jam
Kadar Mg dalam serum
Analisis gas darah
Elektrokardiografi 14,18
Gambar 3. Gambaran EKG pada gangguan kalium
f. Penatalaksanaan
Kalium biasanya dapat dengan mudah digantikan dengan mengkonsumsi
makanan yang banyak mengandung kalium atau dengan mengkonsumsi garam
kalium (kalium klorida) per-oral. Kalium dapat mengiritasi saluran pencernaan,
sehingga diberikan dalam dosis kecil, beberapa kali sehari. 14,18
Diberikan kalium oral atau bila perlu parental sampai sebanyak 3
mEq/kgBB/24 jam. Pada sindrom Bartter atau kehilangan K eksesif melalui urin,
kalium dapat diberikan sampaik mEq/I/hari per oral. Pemberian kalium per infus
tidak boleh melebihi 40 mEq/I 14,18
Pemberian kalium lebih disenangi dalam bentuk oral karena lebih mudah.
Pemberian 40-60 mEq dapat menaikkan kadar kalium sebesar 1-1,5 mEq/L,
sedangkan pemberian 135-160 mEq dapat menaikkan kadar kalium sebesar
2,5-3,5 mEq/L.
Bila ada intoksikasi digitalis, aritmia, atau kadar K serum < 3 mEq/L, koreksi
K secara intravena 20 mEq/jam dalam 50-100 cc larutan dekstrosa 5%.
Bila kadar kalium dalam serum > 3 mEq/L, koreksi K cukup per oral.
Monitor kadar kalium tiap 2-4 jam untuk menghindari hiperkalemia terutama
pada pemberian secara intravena.
Pemberian K intravena dalam bentuk larutan KCl disarankan melalui vena
yang besar dengan kecepatan 10-20 mEq/jam, kecuali disertai aritmia atau
kelumpuhan otot pernafasan, diberikan dengan kecepatan 40-100 mEq/jam.
KCl dilarutkan sebanyak 20 mEq dalam 100 cc NaCl isotonik.14,18
2.4.3 Kalsium
A. Fisiologi kalsium
Tubuh orang dewasa mengandung 1–2 kg kalsium, lebih dari 99% terdapat
di dalam tulang. Kalsium dalam tulang terikat dalam bentuk Kristal hidroksiapatit.
Selebihnya, terdapat di dalam sel dan cairan ekstraseluler. Kalsium ekstraseluler
terdapat dalam tiga bentuk, yaitu kalsium terikat protein, terutama albumin (50%),
bentuk bebas/terion (45%), dan bentuk kompleks terutama terikat fosfat, sitrat,
bikarbonat dan laktat (5%).1-3 Ion kalsium berperan penting dalam fisiologi
intraseluler maupun ekstraseluler. Ion kalsium intraseluler merupakan regulator
penting fungsi sel, antara lain proses kontraksi otot, sekresi hormon, metabolisme
glikogen dan pembelahan sel. Secara fisiologi, ion kalsium ekstraseluler berperan
sebagai kofaktor pada proses pembekuan darah, misalnya untuk faktor VII, IX, X
dan protrombin, memelihara mineralisasi tulang, berperan pada stabilisasi
membran dengan berikatan pada lapisan fosfolipid, dan menjaga permeabilitas
membran plasma terhadap ion natrium.2,4 Metabolisme kalsium diatur tiga
hormon utama yaitu hormon paratiroid (PTH),kalsitonin dan hormon sterol (1,25
dihidroksikolekalsiferol/ vitamin D). Kadar kalsium normal 4–5,6 mg/dL (1–1,4
mmol/L). 22
Keseimbangan kalsium merupakan hubungan timbal balik antara absorsi
usus, eksresi dalam urine dan faktor hormonal. Absorbsi kalsium terjadi diusus
halus terutama di duodenum dan jejunum proksimal. 22
B. Gangguan Keseimbangan Kalsium
1. Hiperkalsemia
a. Definisi
Hiperkalsemia (kadar kalsium darah yang tinggi) adalah suatu keadaan
dimana konsentrasi kalsium dalam darah lebih dari 10,5 mgr/dL darah. 14,18
b. Etiologi
Terdapat tiga dasar mekanisme patofisiologi yang berkontribusi terhadap
kejadian hiperkalsemia yaitu : peningkatan absorpsi kalsium dari traktus
gastrointestinal, penurunan ekskresi kalsium ginjal, dan peningkatan resorpsi
kalsium tulang.
Hiperparatiroidisme primer
Hiperparatiroidisme primer merupakan penyebab tersering hiperkalsemia.
Didapatkan pada semua umur, lebih sering pada usia > 50 tahun. Kejadiannya
mencapai 4/100.000 populasi per tahun dan wanita tiga kali lebih sering. Penyakit
ini akibat peningkatan sekresi hormon paratiroid; tersering disebabkan oleh
adenoma kelenjar paratiroid (85%) biasanya jinak dan soliter. Penyebab yang
jarang yaitu hiperplasia keempat kelenjar paratiroid (15%) dan yang sangat jarang
adalah karsinoma kelenjar paratiroid (<1%). Patofisiologi yang mendasari yaitu
sekresi hormone paratiroid berlebihan yang berperan meningkatkan resorpsi
tulang oleh osteoklas, meningkatkan absorpsi kalsium intestinal, dan
meningkatkan reabsorpsi kalsium tubular ginjal. Sering pula dijumpai penurunan
kadar fosfat serum karena PTH menghambat reabsorpsi fosfat pada tubulus
proksimal. Umumnya hiperparatiroidisme primer asimptomatik. Peningkatan
produksi hormon paratiroid menimbulkan kelainan tulang yang disebut osteitis
fibrosa cystica, ditandai oleh resorpsi subperiosteal falang distal, kista tulang, dan
tumor coklat di tulang-tulang panjang. Batu ginjal didapatkan pada 15-20%
penderita hiperparatiroidisme, dan sebaliknya sekitar 5% penderita dengan batu
ginjal mengalami hiperparatiroidisme. Batu ginjal paling sering terbentuk dari
kalsium oksalat, dan merupakan faktor utama patogenesis hiperkalsiuria.15,16
Krisis hiperkalsemia merupakan kasus jarang, ditandai dengan kadar kalsium
>15mg/dl dengan gejala hiperkalsemia berat. Mekanisme krisis tersebut belum
jelas, tetapi dehidrasi, penyakit penyerta, dan mungkin infark dari suatu adenoma
paratiroid pada beberapa penderita berperan. 18
Intoksikasi vitamin A
Vitamin A dosis besar (50000 - 100000 IU/hr) kadang-kadang
menyebabkan hiperkalsemia. Kadar kalsium meningkat 3 - 3,5 mmol/L (12–14
mg/dL) akibat peningkatan resorpsi tulang oleh osteoklas. Didapatkan pada
pemberian derivat retinoic acid untuk terapi akne, neuroblastoma dan keganasan
lainnya. 18
Imobilisasi
Imobilisasi menyebabkan hiperkalsemia pada penderita yang mengalami
peningkatan resorpsi tulang; termasuk anak dan remaja, penderita Paget’s disease
tulang, HPT ringan dan sekunder, dan keganasan dengan hiperkalsemia ringan.
Pasien-pasien tersebut juga berisiko osteopenia. 18
Gagal ginjal
Hiperkalsemia akibat gagal ginjal akut terjadi terutama pada penderita
dengan rhabdomiolisis. Awalnya, hiperfosfatemia menyebabkan deposisi kalsium
pada jaringan lunak, mengakibatkan hipokalsemia dan HPT sekunder. Selanjutnya
ginjal mulai melindungi dengan reentri/ masuknya kembali garam kalsium ke
dalam sirkulasi yang dihubungkan dengan kadar PTH tinggi sehingga
menyebabkan transien hiperkalsemia. 18
keganasan
Kanker juga menyebar (bermetastasis) ke tulang, menghancurkan sel-sel
tulang dan melepaskan kalsium tulang ke dalam darah. Hal ini sering terjadi pada
kanker prostat, payudara dan paru-paru. Mieloma multipel (kanker yang
melibatkan sumsum tulang) juga dapat menyebabkan penghancuran tulang dan
mengakibatkan hiperkalsemia. Kanker yang lain juga meningkatkan konsentrasi
kalsium darah, dengan mekanisme yang belum sepenuhnya dapat dimengerti. 18
Sindrom susu-alkali
Sindrom ini meliputi hiperkalsemia, gagal ginjal dan asidosis metabolik.
Disebabkan oleh ingesti kalsium bersama natrium secara berlebihan, kalsium
karbonat berlebihan dalam preparat antasid dan pemakaiannya untuk pencegahan
osteoporosis. 18
c. Gejala Klinis
Gejala paling awal dari hiperkalsemia biasanya adalah konstipasi
(sembelit), kehilangan nafsu makan, mual-muntah dan nyeri perut. Ginjal
mungkin secara abnormal akan menghasilkan air kemih dalam jumlah banyak.
Akibat pembentukkan air kemih yang berlebihan ini, cairan tubuh akan berkurang
dan akan terjadi gejala dehidrasi. Hiperkalsemia yang sangat berat sering
menyebabkan gejala kelainan fungsi otak seperti kebingungan, gangguan emosi,
delirium (penurunan kesadaran), halusinasi, kelemahan dan koma. Dapat juga
diikuti dengan irama jantung yang abnormal dan kematian. Hiperkalsemia
dihubungkan dengan peningkatan iritabilitas kontraktilitas miokard. Perubahan
elektrokardiografi ditandai dengan konduksi yang lambat: P-R memanjang,
kompleks QRS melebar, interval Q-T memendek, dan segmen S-T memendek
atau tidak ada.6 Apabila kadar kalsium mencapai 16 mg/dL (>8,0 mEq/L atau
3,99 mmol/L), T wave melebar, peningkatan sekunder interval Q-T. Peningkatan
konsentrasi kalsium, meningkatkan bradiaritmia dan bundle branch block. AV
block komplit atau inkomplit dapat terjadi jika konsentrasi kalsium serum sekitar
18 mg/dL (9,0 mEq/L atau 4,49 mmol/L) dan memicu complete heart block,
asistole, dan cardiac arrest.5 Hiperkalsemia mengakibatkan peningkatan
sensitivitas efek farmakologik dari digitalis, seperti digoksin. Pada penderita
hiperkalsemia menahun bisa terbentuk batu ginjal yang mengandung kalsium.
Bila terjadi hiperkalsemia berat dan menahun, kristal kalsium akan terbentuk di
dalam ginjal dan menyebabkan kerusakan yang menetap. 17,18
d. Diagnosis
Diagnosis hiperkalsemia paling sering didapatkan secara kebetulan pada
pemeriksaan darah penderita asimptomatik. Kadar kalsium serum normal adalah
8- 10 mg/dL (2 - 2,5 mmol/L) dan kadar ion kalsium normal yaitu 4 - 5,6 mg/ dL
(1 - 1,4mmol/L). Meskipun pemeriksaan kadar ion kalsium tidak dilakukan rutin,
kadarnya dapat diperkirakan berdasarkan kadar kalsium serum; biasanya akurat
kecuali apabila terdapat hipoalbuminemia.5,6 Hiperkalsemia ringan adalah jika
kadar kalsium serum total 10,5 - 12 mg/dL (2,63 - 3 mmol/L) atau kadar ion
kalsium 5,7–8 mg/dL(1,43–2 mmol/L), umumnya asimptomatik. Pada
hiperkalsemia sedang, manifestasi multiorgan dapat terjadi. Kadar kalsium >14
mg/dL (3,5 mmol/L) dapat mengancam jiwa. Beberapa faktor dapat
mempengaruhi jumlah kalsium terikat protein. Hipoalbuminemia dapat
menurunkan dan sebaliknya hiperalbuminemia dapat meningkatkan jumlah
kalsium serum terikat albumin (termasuk kadar kalsium serum total) tanpa
mempengaruhi kadar kalsium serum terion. Konsentrasi kalsium biasanya
berubah 0,8 mg/dL pada setiap perubahan 1,0 g/dL konsentrasi plasma albumin.
Koreksi kadar kalsium serum total terhadap perubahan albumin serum : Total
kalsium + 0,8 x (4,5 – kadar albumin). 12,14,18
Keasaman tubuh juga mempengaruhi ikatan protein. Asidosis mengurangi
dan alkalosis meningkatkan ikatan protein, dengan demikian mengubah kadar
kalsium serum terion. Setiap peningkatan pH 0,1 unit, kadar kalsium serum terion
menurun 0,1 mEq/L (= 0,2 mg/dL), dan sebaliknya. 14,18
e. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tergantung kadar kalsium darah dan ada tidaknya gejala.
Jika kadar kalsium <12 mg/dL, tanpa gejala, biasanya tidak perlu tindakan
terapeutik. Jika kadar kalsium 12-14 mg/dL disertai gejala hiperkalsemia,
diperlukan terapi agresif, tetapi jika tidak disertai gejala, cukup diterapi dengan
hidrasi adekuat 3000 – 6000 mL cairan NaCl 0,9% pada 24 jam pertama.
Perbaikan volume cairan ekstraseluler ke normal akan meningkatkan ekskresi
kalsium urin sebesar 100-300mg/hari. Perbaikan gejala klinis, seperti status
mental dan mual muntah tampak < 24 jam pertama. Namun rehidrasi merupakan
terapi intervensi sementara dan jarang mencapai kadar normal jika digunakan
sendiri. Jika terapi sitoreduktif definitive (operasi, radiasi, atau kemoterapi)
terhadap penyakit dasar tidak dilakukan, terapi hipokalsemik seharusnya
digunakan dalam jangka lama untuk mencapai kontrol. 18
Setelah hidrasi tercapai, dengan kadar kalsium masih tinggi, dapat diberi
loop diuretic (furosemide 20-40 mg/IV/2 jam). Loop diuretic akan bekerja
menghambat reabsorpsi kalsium dan natrium di ansa Henle, meningkatkan
ekskresi kalsium urin, juga natrium, kalium, klorida, magnesium, dan air. Penting
memantau status hemodinamik secara intensif untuk mencegah kelebihan cairan
dan dekompensasi jantung, dengan mengukur volume urin secara serial dan
pemeriksaan elektrolit untuk mencegah kondisi yang dapat mengancam jiwa,
seperti hipofosfatemia, hipokalemia, dan hipomagnesemia. 18
Penatalaksanaan dengan:
Meningkatkan eksresi kalsium melalui ginjal
Dilakukan dengan pemberian larutan NaCl isotonis. Pemberian cairan ini
akan meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang umumnya rendah akibat
pengeluaran urine yang berlebihan disebabkan induksi oleh hiperkalsemia, dan
muntah-muntah akibat hiperkalsemia. 18
Menghambat reabsorbsi tulang
- Kalsitonin- menghambat reabsorbsi tulang dengan cara menghambat
maturasi osteoklas. Diberikan intramuscular atau subkutan setiap 12
jam dengan dosis 4IU/kgBB.
Bifosfonat- menghambat aktivitas metabolic osteoklas dan juga
bersifat sitotoksik terhadap osteoklas.
- Gallium nitrat- menghambat reabsorbsi tulang oleh osteoklas dengan
menghambat pompa proton ATPase dependen pada membrane
osteoklas.18
Mengurangi absorbs kalsium dari usus
- Glukokortikoid (prednisone, 20-40 mg/hari) mengurangi produksi
kalsitriol oleh paru dan kelenjar limfe yang diaktivasi produksinya oleh
sel mononuclear. Kalsium serum dapat turun dalam 2-5 hari.
Hemodialisis/dialysis peritoneal
Dialysis efektif menurunkan kadar kalsium dengan memakai diasilat bebas
kalsium. Merupakan pilihan terakhir terutama untuk hipekasemia berat khususnya
disertai insufisiensi ginjal atau pada gagal jantung dimana pemberian cairan
dibatasi. 18
2. Hipokalsemia
a. Definisi
Hipokalsemia (kadar kalsium darah yang rendah) adalah suatu keadaan
dimana konsentrasi kalsium di dalam darah kurang dari 8,8 mg/dL darah. 14,18
b. Etiologi
Konsentrasi kalsium darah bisa menurun sebagai akibat dari berbagai
masalah. Hipokalsemia paling sering terjadi pada penyakit yang menyebabkan
hilangnya kalsium melalui air kemih untuk waktu yang lama atau kegagalan untuk
memindahkan kalsium dari tulang. 14,17
Sekitar 40% kalsium dalam darah berikatan dengan protein-protein di
dalam darah, terutama albumin. Hanya kalsium yang tidak berikatan dengan
protein yang dapat mempengaruhi fungsi tubuh. Dengan demikian, hipokalsemia
menyebabkan gangguan hanya jika kadar kalsium bebas (yang tidak berikatan)
rendah. Hipokalsemia juga dapat disebabkan oleh pemakaian obat-obat tertentu,
seperti rifampicin, phenytoin, phenobarbital, calcitonin, dan obat kortikosteroid.
Hormon paratiroid menstimulasi tulang untuk melepaskan kalsium ke dalam
darah, membuat ginjal membuang kalsium dalam jumlah yang lebih sedikit pada
air kemih, menstimulasi saluran pencernaan untuk menyerap kalsium lebih
banyak, dan membuat ginjal mengaktifkan vitamin D yang membuat saluran cerna
mampu menyerap lebih banyak kalsium. 14,17,18
c. Gejala Klinis
Kadar kalsium-ion normal adalah 4-5,2 mg/dl atau 1-1,3 mmol/L. gejala
hipokalsemi belum timbul bila kadar kalsium-ion lebih dari 3,2 mg/dl atau lebig
dari 0,8 mmol/L atau kalsium total sebesar 8-8,5 mg/dl. Gejala hipolasemia baru
timbul bila kadar kalsium-ion kurang dari 2,8 mg/dl atau kurang dari 0,7 mmol/ L
tau kadar kalsium-total ≤ 7mg/dl. Hipokalsemia bisa tidak menimbulkan gejala.
Seiring dengan berjalannya waktu, hipokalsemia dapat mempengaruhi otak dan
menyebabkan gejala-gejala neurologis seperti:
- kebingungan
- kehilangan ingatan (memori)
- delirium (penurunan kesadaran)
- depresi
- halusinasi
Gejala-gejala tersebut akan menghilang jika kadar kalsium kembali
normal. Kadar kalsium yang sangat rendah (kurang dari 7 mgr/dL) dapat
menyebabkan nyeri otot dan kesemutan, yang seringkali dirasakan di bibir, lidah,
jari-jari tangan dan kaki. Pada kasus yang berat bisa terjadi kejang otot
tenggorokan (menyebabkan sulit bernafas) dan tetani (kejang otot keseluruhan).
Bisa terjadi perubahan pada sistem konduksi listrik jantung, yang dapat dilihat
pada pemeriksaan EKG. Dapat ditemukan tanda Chovtex atau tanda Trousseau,
bradukardi dan interval Q-T yang memanjang. 14,17,18
d. Diagnosa
Konsentrasi kalsium yang abnormal biasanya pertama kali ditemukan pada
saat pemeriksaan darah rutin. Karena itu hipokalsemia seringkali dapat
terdiagnosis sebelum gejala-gejalanya muncul. Selain mengukur kadar kalsium
total, juga perlu untuk mengukur kadar albumin di dalam darah sehingga dapat
ditentukan apakah kadar kalsium bebas di dalam darah rendah. Pemeriksaan darah
juga dilakukan untuk mengevaluasi fungsi ginjal dan mengukur kadar magnesium,
fosfat, hormon paratiroid, dan juga vitamin D. Untuk menentukan penyebabnya,
perlu diketahui riwayat lengkap dari keadaan kesehatan penderita, pemeriksaan
fisik lengkap, serta pemeriksaan darah dan air kemih lainnya. 14,17,18
e. Penatalaksanaan
Pengobatan yang diberikan bila timbul gejala adalah pemberian kalsium
intravena sebesar 100-200 mg kalsium-elemental atau 1-2 gram kalsium glukonas
dalam 10-20 menit. Lalu diikuti dengan infus klasium glukonas dalam larutan
dekstrose atau Nacl isotonis dengan dosis 0,5-1,5mg kalsium elemental/KgBB
dalam 1 jam. Kalsium infuse kemudian dapt ditukar dengan kalsium oral dan
kalsitriol 0,25-0,5 ig/hari. Pada keadaan hipokalsemia kronik disertai
hipoparatirod, diberi kalsium karbonat 250 mg kalsium elemental/650 mg tablet.
18
2.4.4. Magnesium
A. Fisiologi Magnesium
Magnesium merupakan kation intraseluler yang penting, berfungsi sebagai
kofaktor berbagai jalur enzim. Hanya 1–2% dari total magnesium tubuh yang
disimpan di cairan ekstraseluler, 67% terdapat di tulang, dan sisanya 31% ada di
intraseluler.14
Kadar magnesium normal dalam serum adalah 1.7–2.1 mEq/L.4
Sedangkan kebutuhan asupan magnesium ialah 0.2–0.5 mEq/kgBB/hari.14,17
B. Gangguan Keseimbangan Magnesium
1. Hipermagnesium
a. Definisi
Peningkatan kadar magnesium plasma hampir selalu berhubungan dengan
kelebihan intake (antasida atau laksatif yang mengandung magnesium), kerusakan
ginjal (GFR < 30 mL/menit), atau keduanya. Hipermagnesemia iatrogenik juga
terjadi selama terapi magnesium sulfat pada hipertensi gestational yang
berpengaruh pada ibu dan janin. Penyebab lainnya berupa insufisiensi adrenal,
hipotiroidisme, rhabdomiolisis, dan pemberian lithium. 14,18
b. Manifestasi Klinis Hipermagnesemia
Hipermagnesemia simptomatik biasanya meliputi manifestasi neurologis,
neuromuskular, dan jantung. Hiporefleksia, sedasi dan kelemahan otot skeletal
merupakan tanda hipermagnesemia. Hal ini terjadi akibat kegagalan pelepasan
asetilkolin dan penurunan sensitivitas motor end-plate terhadap asetilkolin di otot.
Vasodilatasi, bradikardi, dan depresi miokardium dapat berakhir dengan hipotensi
pada level > 10 mmol/dL (>24 mg/dL). Tanda EKG tidak konsisten tetapi
termasuk pemanjangan interval P–R dan pelebaran kompleks QRS.
Hipermagnesemia dapat menyebabkan henti napas. 14,18
c. Pengobatan Hipermagnesemia
Semua sumber intake magnesium (kebanyakan akibat antasida) sebaiknya
dihentikan. Kalsium intravena (1 g kalsium glukonat) dapat secara sementara
mengantagonis sebagian besar efek dari hipermagnesemia. Loop diuretic yang
disertai dengan ½-normal saline dalam dekstrosa 5% dapat meningkatkan ekskresi
magnesium. 14,18
2. Hipomagnesemia4
a. Definisi
Hipomagnesemia penting diperhatikan pada pasien yang sakit.
Hipomagnesemia umumnya berhubungan dengan defisiensi dari komponen
intraseluler seperti kalium dan fosfor. Defisiensi magnesium disebabkan oleh
intake yang tidak adekuat, penurunan absorpsi gastrointestinal, dan peningkatan
ekskresi ginjal. β-adrenergik agonis dapat menyebabkan hipomagnesemia transien
di mana ion magnesium diambil oleh jaringan adiposa. Obat-obatan yang dapat
menyebabkan pengeluaran magnesium oleh ginjal meliputi etanol, teofilin,
diuretik, cisplatin, siklosporin, dan amfoterisin-B. 14,18
b. Manifestasi Klinis Hipomagnesemia
Kebanyakan pasien dengan hipomagnesemia tidak menunjukkan gejala,
tetapi anoreksia, kelemahan, fasikulasi, parestesia, konfusi, ataksia, dan kejang
dapat menonjol. Hipomagnesemia biasanya berhubungan dengan hipokalsemia
(kerusakan sekresi hormon paratiroid) dan hipokalemia (akibat pembuangan oleh
ginjal). Manifestasi jantung meliputi iritabilitas listrik dan potensiasi intoksikasi
digoxin; kedua faktor ini diperburuk oleh hipokalemia. Hipomagnesemia juga
berhubungan dengan peningkatan insiden fibrilasi atrium. Pemanjangan interval
P–R dan QT dapat nampak seiring dengan hipokalsemia.14,18
c. Pengobatan Hipomagnesemia
Hipomagnesemia asimptomatik dapat diterapi per oral (magnesium sulfat
heptahidrat atau magnesium oksida) atau intramuskular (magnesium sulfat).
Menifestasi serius seperti kejang harus diterapi dengan magnesium sulfat
intravena, 1–2 g (8–16 mEq atau 4–8 mmol) diberikan secara lambat selama 15–
60 menit. 14,18
2.4.5 Klorida
1. Fisiologi Klorida
Klorida, anion utama dari cairan ekstraseluler, ditemukan lebih banyak
pada kompartemen interstitial dan cairan limfoid daripada dalam darah. Klorida
juga merupakan bagian dari cairan sekresi lambung dan pankreas, keringat,
kantung empedu, dan air liur. Natrium dan klorida merupakan komposisi elektrolit
terbesar dalam cairan ekstraseluler dan berperan dalam menentukan tekanan
osmotik. Klorida diproduksi dalam lambung, yang dikombinaksikan dengan
hidrogen untuk membentuk adam hidroklorida. Kontrol klorida tergantung dari
intake klorida, ekskresi, dan absorpsi ion tersebut dari ginjal. Klorida dalam
jumlah kecil dibuang dalam feses.17,23
Kadar klorida dalam serum mencerminkan pengenceran atau pemekatan
yang terjadi di cairan ekstrseluler serta menunjukkan secara langsung proporsi
konsentrasi natrium. Osmolalitas serum paralel dengan kadar klorida. Sekresi
aldosteron meningkatkan reabsorpsi natrium, yang juga meningkatkan reabsorpsi
klorida. Pleksus koroid, yang mensekresi cerebrospinal fluid di otak, bergantung
pada natrium dan klorida untuk menarik air dan membentuk proporsi dari
cerebrospinal fluid.17,23
Bikarbonat memiliki hubungan dengan klorida. Saat klorida berpindah
dari plasma menuju sel darah merah (disebut dengan chloride shift), bikarbonat
berpindah kembali ke plasma. Ion hidrogen terbentuk, yang kemudian membantu
pelepasan oksigen dari hemoglobin. 6
Ketika kadar salah satu dari elektrolit ini terganggu (natrium, bikarbonat,
dan klorida), kedua elektrolit lainnya pun akan terpengaruh. Klorida berperan
dalam menjaga keseimbangan asam basa dan bekerja sebagai buffer dalam
pertukaran oksigen dan karbondioksida dalam sel darah merah. Klorida diperoleh
dari makanan seperti garam dapur. Kadar normal klorida dalam serum ialah 97–
107 mEq/L.6 Sedangkan kebutuhan asupan klorida ialah 1–2 mEq/kgBB/hari.17
2.Gangguan Keseimbangan Klorida
A. Hiperkloremia
a. Etiologi
Kadar klorida serum yang tinggi dapat mengakibatkan hiperkloremia
asidosis metabolik oleh karena iatrogenik pemberian klorida seperti larutan NaCl
0.9%, larutan NaCL 0.45%, atau larutan Ringer Laktat. Kondisi ini dapat pula
disebabkan oleh kehilangan ion bikarbonat dari ginjal dan saluran pencernaan
yang diikuti dengan peningkatan ion klorida. Ion klorida dalam bentuk garam
asam terakumulasi, dan asidosis terjadi dengan menurunnya ion bikarbonat.
Trauma kepala, peningkatan produksi keringat, kelebihan hormon
mineralokortikoid, dan penurunan filtrasi ginjal dapat menuju peningkatan kadar
klorida serum. 14
b.Manifestasi Klinik Hiperkloremia
Tanda dan gejala dari hiperkloremia hampir menyerupai asidosis
metabolik; hipervolemia dan hipernatremia. Takipneu; kelemahan; letargi; napas
yang dalam dan cepat; kemampuan kognitif yang menurun; dan hipertensi dapat
terjadi. Jika tidak diterapi, hiperkloremia dapat menuju pada penurunan cardiac
output, disaritmia, dan koma. Kadar klorida yang tinggi diikuti dengan kadar
natrium yang tinggi serta retensi cairan. 14
c. Pengobatan Hiperkloremia
Koreksi penyakit yang menyebabkan hiperkloremia serta mengembalikan
keseimbangan elektrolit, cairan, dan asam-basa sangatlah penting. Larutan
hipotonik intravena dapat diberikan untuk mengembalikan keseimbangan. Larutan
Ringer Laktat dapat diberikan supaya laktat diubah menjadi bikarbonat di hati,
sehingga dapat meningkatkan kadar bikarbonat dan mengoreksi asidosis. Natrium
bikarbonat intravena dapat diberikan untuk meningkatkan kadar bikarbonat yang
menuju pada ekskresi ginjal terhadap ion klorida akibat kompetisi bikarbonat dan
klorida untuk berikatan dengan natrium. Diuretik dapat diberikan untuk
mengeliminasi klorida. Natrium, klorida, dan cairan dibatasi.
2.Hipokloremia6
A. Definisi
Hipokloremia dapat terjadi akibat drainase tube gastrointestinal, suction
lambung, pembedahan lambung, muntah berat, dan diare. Pemberian larutan
intravena dengan kadar klorida rendah, intake natrium yang rendah, penurunan
kadar natrium, alkalosis metabolik, transfusi masif darah, terapi diuretik, luka
bakar, dan demam dapat menyebabkan hipokloremia. Pemberian aldosteron,
ACTH, kortikosteroid, bikarbonat, dan laksatif dapat menyebabkan penurunan
kadar klorida serum. Saat klorida menurun (biasanya karena penurunan volume),
ion natrium dan bikarbonat ditahan oleh ginjal untuk menyeimbangkan
kehilangan klorida. Bikarbonat terakumulasi di cairan ekstraseluler, yang
meningkatkan pH dan berujung pada hiperkloremia asidosis metabolik.
b.Manifestasi Klinik Hipokloremia
Tanda dan gejala dari hipokloremia berhubungan dengan
ketidakseimbangan asam-basa dan elektrolit. Tanda dan gejala dari hiponatremia,
hipokalemia, dan alkalosis metabolik dapat terjadi. Alkalosis metabolik
merupakan gangguan akibat kelebihan intake alkali atau kehilangan ion hidrogen.
Hipereksibilitas otot, tetani, kelemasan, dan kram otot juga dapat terjadi.
Hipokalemia dapat menyebabkan hipokloremia sehingga terjadi disritmia jantung.
Selain itu, oleh karena rendahnya kadar klorida paralel dengan rendahnya kadar
natrium, kadar air dapat menjadi berlebihan. Hiponatremia dapat menyebabkan
kejang dan koma. 12
c.Pengobatan Hipokloremia
Terapi meliputi koreksi penyebab hipokloremia serta ketidakseimbangan
asam-basa dan elektrolit. Larutan normal saline (NaCl 0.9%) atau ½ normal saline
(NaCl 0.45%) diberikan intravena untuk menggantikan klorida. Jika pasien
menerima diuretik (loop, osmotik, atau thiazid), dapat dihentikan atau diberikan
diuretik tipe lain. 12
Amonium klorida, sebuah agen yang bersifat asam, dapat diberikan untuk
mengatasi alkalosis metabolik; dosisnya tergantung dari berat pasien dan kadar
klorida serum. Agen ini dimetabolisasi oleh hati dan berefek sekitar 3 hari.
Amonium klorida ini sebaiknya dihindari pada pasien dengan gangguan fungsi
hati dan ginjal.12
BAB 3
KESIMPULAN
Pengaturan keseimbangan ion hydrogen dalam beberapa hal sama dengan
pengaturan ion-ion lain dalam tubuh. Sebagai contoh, untuk mencapai
homeostasis, harus ada keseimbangan antara asupan dan produksi ion hydrogen
dan pembuangan ion hydrogen dari tubuh. Dan seperti pada ion-ion lain, ginjal
memainkan peranan kunci dalam pengaturan konsentrasi ion hydrogen. Terdapat
juga mekanisme penyangga asam basa yang melibatkan darah, sel-sel, dan paru-
paru yang perlu untuk mempertahankan konsentrasi ion hydrogen normal dalam
cairan ekstraseluler dan intraseluler
Elektrolit merupakan substansi berupa ion dalam larutan yang dapat
mengkonduksi muatan listrik di dalam tubuh. Keseimbangan elektrolit dalam
tubuh sangat esensial untuk menjalankan fungsi normal dari sel dan organ tubuh.
Elektrolit yang umumnya diperiksa oleh dokter dengan tes darah meliputi
natrium, kalium, kalsium, magnesium, dan klorida.
Elektrolit serum meliputi: natrium, elektrolit bermuatan positif yang
membantu keseimbangan cairan dalam tubuh dan berhubungan dengan fungsi
neuromuskular; kalium, komponen utama cairan intraseluler yang membantu
regulasi fungsi neuromuskular dan tekanan osmotik; kalsium, kation yang
mempengaruhi kerja neuromuskular dan membantu pertumbuhan tulang serta
koagulasi darah; magnesium, mempengaruhi kontraksi otot serta aktivitas
intraseluler; klorida, elektrolit bermuatan negatif yang membantu regulasi tekanan
darah.
Terapi dari gangguan elektrolit tergantung dari penyakit yang
mendasarinya serta jenis elektrolit yang terlibat. Jika gangguan ini disebabkan
oleh kurangnya konsumsi atau intake cairan yang tidak tepat, perubahan
nutrisional dapat dianjurkan. Jika pengobatan seperti diuretik mencetuskan
gangguan elektrolit ini, maka penghentian atau pengaturan terapi obat dapat
memperbaiki kondisi tersebut secara efektif. Terapi penggantian cairan atau
elektrolit, baik melalui oral alatu intravena, dapat mengembalikan penurunan
elektrolit menjadi normal.
Dokter seharusnya berhati-hati dalam pemberian obat yang mempengaruhi
kadar elektrolit serta keseimbangan asam-basa tubuh. Individu dengan penyakit
ginjal, masalah tiroid, dan kondisi lainnya yang dapat mencetuskan gangguan
elektrolit sebaiknya diedukasi tentang tanda dan gejala gangguan elektrolit ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Boyce JA. (2008). "acidosis and alcalosis". Current Molecular Medicine (5): 335–4
2. Heinz E.(1996). Acidosis and alcalosis and hipocalemia, pp. 211–332
3. Sacher R.A. dan Mcpherson R.A,M‘Pengaturan Asam-Basa dan Elektrolit’ pada: Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium, edisi kedua, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2002, hh.320-340.
4. D, Munajat Y, Nur MB, Madjid SA, Siregar P, Aniwidyaningsih, W, dkk. Gangguan Keseimbangan Air, Elektrolit dan Asam Basa. Edisi 2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2010
5. Wang X. (2004). "Alkalosis". Current Opinions in Plant Biology 7 (3): 329–36
6. Cumming SR, Black D, Nevitt M, Browner W, Cauley J, Ensrud K, et acidosis. Lancet 1993;341:72-75.
7. Eyster KM. (2007). " Acidosis and alcalosis and hipocalemia". Advances inPhysiology Education 31: 5–16.
8. Behrman, kliegman, Arvin. ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi 15, Volume 3. Jakarta. EGC, 2000.
9. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ketiga,Jilid kedua. Penerbit Media Aesculapius fakultas kedokteran Universitas Indonesia,2000
10. http://www.mayoclinic.com/health/asidosis/ DS00346/DSECTION Accessed on October 28th 2010
11. Sherwood, Lauralee. (2004). Human physiology: From cells to systems. 5th ed. California: Brooks/ Cole-Thomson Learning, Inc.
12. Wilson L.M, ‘Keseimbangan Cairan dan Elektrolit serta Penilaiannya’ dalam: Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi ke-4, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1995, hh. 283-301.
13. Sacher R.A. dan Mcpherson R.A, ‘Pengaturan Asam-Basa dan Elektrolit’ pada: Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium, edisi kedua, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2002, hh.320-340.
14. Darwis D, Moenajat Y, Nur B.M, Madjid A.S,Siregar P, Aniwidyaningsih W, dkk, ’FisiologiKeseimbangan Air dan Elektrolit’ dalamGangguan Keseimbangan Air-Elektrolit danAsam-Basa, Fisiologi, Patofisiologi, Diagnosisdan Tatalaksana, ed. ke-2, FK-UI, Jakarta,2008, hh. 29-114.
15. Matfin G. and Porth C.M, ‘Disorders of Fluidand Electrolyte Balance’ In: PathophysiologyConcepts of Altered Health States, 8thEdition, McGraw Hill Companies USA, 2009,pp. 761-803.
16. Scott M.G., LeGrys, V.A. and Klutts J,‘Electrochemistry and Chemical Sensors andElectrolytes and Blood Gases’’ In: Tietz TextBook of Clinical Chemistry and MolecularDiagnostics, 4th Ed. Vol.1, Elsevier SaundersInc., Philadelphia, 2006, pp. 93-1014.
17. Guyton A.C and Hall J.E, dalam: Buku AjarFisiologi Kedokteran Edisi ke-11, PenerbitBuku Kedokteran EGC, Jakarta, 2008, hh.307-400.
18. Siregar P, ‘Gangguan Keseimbangan Cairandan Elektrolit’ dalam: Buku Ajar Ilmu PenyakitDalam, Edisi ke-5, Interna publishing,Jakarta, 2009, hh. 175-189.
19. O’Callaghan C, ’Sains Dasar Ginjal danGangguan Fungsi Metabolik Ginjal’ At aGlance Sistem Ginjal, Edisi Kedua, PenerbitErlangga, Jakarta, 2009, hh. 22-68.http://jurnal.fk.unand.ac.id 85Jurnal Kesehatan Andalas. 2012; 1
20. Stefan Silbernagl and Florian Lang, Teks danAtlas Berwarna Patofisiologi, Penerbit BukuKedokteran EGC, 2007, hh. 92-125.
21. Fischbach F, Dunning M.B, Talaska F, BarnetM, Schweitzer T.A, Strandell C, et al, ‘Chlorida, Potassium, Sodium’ In: A Manual of Laboratory and Diagnostic Test, 8th Ed.,Lippincot Wiliams and Wilkins, 2009, pp. 997-1009.
22. Ganong W.F, ’Fungsi Ginjal dan Miksi’ pada Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi ke-22, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta,2005, hh. 725-756.
23. Priest G, Smith B and Heitz, ’9180 ElectrolyteAnalyzer Operator’s Manual’ 1st Ed, AVLScientifi Corporation, USA, 1996, pp. 1-120.