REFERAT “DIABETES MELITUS” PEMBIMBING: Dr. Femiko M. Sitohang, Sp.PD DISUSUN OLEH: Suci Ananda Putri, S. Ked 030.09.243 KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
REFERAT
“DIABETES MELITUS”
PEMBIMBING:Dr. Femiko M. Sitohang, Sp.PD
DISUSUN OLEH:
Suci Ananda Putri, S. Ked
030.09.243
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD KOTA BEKASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 15 JULI 2013 – 28 SEPTEMBER 2013
LEMBAR PENGESAHAN
Makalah referat dengan judul “Diabetes Melitus” telah diterima dan disetujui pada
Tanggal 3 Agustus 2013 sebagai salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik
Ilmu Penyakit Dalam Periode 15 Juli 2013 – 28 September 2013 di RSUD Kota Bekasi.
Bekasi, 4 September 2013
dr. Femiko Sitohang, Sp.PD
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan
hidayah-Nyalah penulis dapat menyelesaikan tugas referat dalam Kepaniteraan Klinik
Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Kota Bekasi, mengenai “DIABETES MELITUS”.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang dihadapi.
Namun, penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain
berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan semua pihak sehingga kendala-kendala yang
penulis hadapi dapat teratasi. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih sebesar-besarnya kepada dr. Femiko Sitohang Sp.PD sebagai dokter
pembimbing dalam pembuatan referat ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih terdapat kekurangan.
Oleh karena itu, penulis terbuka terhadap kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak. Semoga referat ini dapat bermanfaat dan dapat membantu teman sejawat serta para
pembaca pada umumnya dalam memahami Diabetes melitus.
Bekasi, 7 September 2013
2
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ..............................................................................................1
KATA PENGANTAR ......................................................................................................2
DAFTAR ISI ....................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................4
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................4
1.2 Tujuan Penulisan ........................................................................................................4
BAB II DIABETES MELITUS.........................................................................................5
2.1 Definisi........................................................................................................................5
2.2 Epidemiologi ..............................................................................................................5
2.3 Fisiologi Insulin dan Homeostasis Glukosa................................................................6
2.4 Etiopatogenesis dan Klasifikasi...................................................................................7
2.5 Patofisiologi...............................................................................................................11
2.6 Gambaran Klinis........................................................................................................11
2.7 Diagnosis...................................................................................................................12
2.8 Komplikasi.................................................................................................................13
2.8.1 Komplikasi akut............................................................................................13
2.8.2 Komplikasi kronik........................................................................................15
2.9 Penatalaksanaan.........................................................................................................16
2.9.1 Evaluasi Medis pada Pertemuan Pertama.....................................................16
2.9.2 Evaluasi Medis Secara Berkala.....................................................................18
2.9.3 Pilar Penatalaksanaan DM............................................................................18
2.10 DM pada Keadaan Khusus......................................................................................32
2.10.1 DM pada Stroke..........................................................................................32
2.10.2 DM pada Infeksi Sekunder .........................................................................32
2.10.3 DM pada TBC.............................................................................................33
2.10.4 DM pada Acute Coronary Syndrome..........................................................34
2.10.5 DM pada Hiperkoagubilitas........................................................................34
2.11 Prognosis.................................................................................................................35
BAB III KESIMPULAN.................................................................................................36
BAB IV DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................37
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit gangguan metabolic menahun yang
lebih dikenal sebagai pembunuh manusia secara diam-diam atau “silent killer”.
Sering kali manusia tidak menyadari bahwa dirinya telah menyandang diabetes dan
ketika mengetahuinya, semua sudah terlambat karena komplikasi yang ditimbulkan.
Diabetes dikenal juga sebagai “mother of disease” yang merupakan induk/ibu dari
penyakit-penyakit lain, seperti hipertensi, penyakit jantung dan pembuluh darah,
stroke, gagal ginjal dan kebutaan.
Di antara penyakit degeneratif, diabetes melitus adalah salah satu di antara
penyakit tidak menular yang akan meningkat jumlahnya di masa datang. Diabetes
sudah merupakan salah satu ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada abad
21. WHO membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000 jumlah pengidap diabetes di
atas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang dan dalam kurun waktu 25 tahun
kemudian, pada tahun 2025, jumlah itu akan meningkat menjadi 300 juta orang.
Meningkatnya prevalensi diabetes mellitus di beberapa negara berkembang,
akibat peningkatan kemakmuran di negara bersangkutan, akhir-akhir ini banyak
disoroti. Peningkatan pendapatan per kapita dan perubahan gaya hidup terutama di
kota-kota besar, menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degenerative, seperti
penyakit jantung koroner (PJK), hipertensi, hiperlipidemia, diabetes dan lain-lain.
Data epidemiologis di negara berkembang memang masih belum banyak. Oleh
karena itu, angka prevalensi yang dapat ditelusuri terutama berasal dari negara maju.
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui definisi, epidemiologi,
patogenesis, patofisiologi, gambaran klinis, pemeriksaan penunjang, diagnosis,
komplikasi dan terapi dari diabetes melitus.
4
BAB II
DIABETES MELITUS
2.1 DEFINISI
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau keduanya.1
2.2 EPIDEMIOLOGI
Pada tahun 2000, World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa
dari statistik kematian di dunia, 57 juta jiwa kematian terjadi setiap tahunnya
disebabkan oleh penyakit tidak menular dan diperkirakan bahwa sekitar 3,2 juta jiwa
per tahun penduduk dunia meninggal akibat DM. Selanjutnya, pada tahun 2003
WHO memperkirakan 194 juta jiwa atau 5,1% dari 3,8 miliar penduduk dunia yang
berusia 20-79 tahun menderita DM dan pada 2025 akan meningkat menjadi 333 juta
jiwa. WHO memprediksi Indonesia, bahwa ada kenaikan dari 8,4 juta diabetisi pada
tahun 2000, akan meningkat menjadi sekitar 21,3 juta diabetes pada tahun 2030. Hal
ini akan menjadikan Indonesia menduduki rangking ke-4 dunia setelah Amerika
Serikat, China dan India dalam prevalensi diabetes.
Pada tahun 2005 WHO telah mencatat bahwa 70% angka kematian dunia
disebabkan oleh penyakit tidak menular. Yaitu, 30% karena penyakit jantung dan
pembuluh darah, kanker 13%, penyakit kronis lainnya 9%, saluran pernapasan
kronik (7%), kecelakaan (7%) dan 2% disebabkan karena DM. Kontribusi DM
terhadap penyakit jantung dan pembuluh darah sebagai penyebab kematian utama
tersebut sangat besar. Hasil telaah para pakar diabetes menyimpulkan bahwa
penyakit hipertensi pada diabetes di Indonesia meningkat dari 15% menjadi 25% dan
40%-50% dari penderita penyakit jantung adalah diabetes. Sedangkan komplikasi
kronik lainnya, seperti stroke, kebutaan, penyakit ginjal kronik, luka kai yang sulit
sembuh, dan impotensi merupakan masalah besar bagi kelangsungan hidup dan
produktivitas manusia yang mengakibatkan beban biaya kesehatan yang sangat
mahal.
Hasil riset kesehatan dasar (RISKESDAS) tahun 2007 menunjukkan bahwa
secara nasional, prevalensi DM berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan gejala
adalah 1,1%. Sedangkan prevalensi nasional DM berdasarkan hasil pengukuran gula
5
darah pada penduduk umur > 15 tahun yang bertempat tinggal di perkotaan adalah
5,7%. Riset ini juga menghasilkan angka Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) secara
nasional berdasarkan hasil pengukuran gula darah yaitu pada penduduk berumur >
15 tahun yang bertempat tinggal di perkotaan sebesar 10,2%.2
2.3 FISIOLOGI INSULIN DAN HOMEOSTASIS GLUKOSA
Homeostasis glukosa yang normal diatur oleh tiga proses yang saling
berhubungan, yaitu, (1) produksi glukosa di hepar, (2) pengambilan glukosa dan
penggunaannya oleh jaringan perifer, terutama oleh otot skeletal, dan (3) kerja
insulin dan regulasi hormon berlawanan (glukagon).
Fungsi metabolik utama dari insulin adalah untuk meningkatkan kadar
transpor glukosa ke dalam sel-sel tertentu, seperti sel otot skeletal (termasuk sel
miokard), dan adiposit yang secara kolektif menggambarkan 2/3 dari total berat
tubuh. Pengambilan glukosa di jaringan perifer, terutama di otak, sangat bergantung
pada insulin. Di dalam sel otot, glukosa akan disimpan dalam bentuk glikogen atau
dioksidasi untuk menghasilkan ATP (adenosin trifosfat). Dalam jaringan lemak,
glukosa disimpan terutama dalam bentuk lemak. Selain meningkatkan sintesis lipid
(lipogenesis), insulin juga menghambat degradasi lipid (lipolisis) di adiposit. Serupa
dengan lipid, insulin meningkatkan pengambilan asam amino dan sintesis protein,
serta menghambat degradasi protein. Jadi, dapat disimpulkan bahwa efek metabolik
insulin adalah anabolisme, yakni meningkatkan sintesis dan mengurangi degradasi
glikogen, lipid dan protein. Selain efek metabolik tersebut, insulin juga memiliki
fungsi mitogenik, termasuk inisiasi sintesis DNA, stimulasi perkembangan dan
diferensiasi sel pada sel-sel tertentu.
Insulin menurunkan produksi glukosa oleh hepar. Insulin dan glukagon
memiliki efek yang berlawanan pada homeostasis glukosa. Selama puasa, kadar
insulin yang rendah dan kadar glukagon yang tinggi memudahkan glukoneogenesis
dan glukogenolisis hepatik, serta menurunkan sintesis glikogen sehingga mencegah
terjadinya hipoglikemi. Oleh karena itu, kadar glukosa plasma puasa ditentukan
terutama oleh output glukosa hepatik. Saat makan, kadar insulin meningkat dan
kadar glucagon menurun sebagai respon terhadap kadar glukosa yang tinggi dalam
darah. Pencetus utama pelepasan insulin adalah kadar glukosa yang tinggi dalam
darah yang mencetuskan sintesis insulin di sel β pankreas. Zat lain, termasuk
hormon-hormon intestinal dan asam amino tertentu (leusin dan arginin),
6
menstimulasi pelepasan insulin, tetapi tidak produksinya. Di jaringan perifer (otot
skeletal dan jaringan adipose), insulin yang disekresi berikatan dengan reseptor
insulin, mencetuskan beberapa respon intraselular yang menyebabkan pengambilan
glukosa dan penggunaan glukosa post-prandial oleh sel, dengan begitu mengatur
homeostasis glukosa. Abnormalitas pada tahapan tertentu dari proses sintesis dan
sekresi insulin oleh sel β pankreas sampai interaksi reseptor insulin di jaringan
perifer dapat menyebabkan fenotipe diabetik.3
2.4 ETIOPATOGENESIS DAN KLASIFIKASI
Walau semua tipe diabetes melitus ditandai dengan keadaan hiperglikemi,
penyebab terjadinya hiperglikemi bisa bermacam-macam. Kasus terbanyak yang
ditemui adalah diabetes melitus tipe 1 dan diabetes melitus tipe 2.. Adapun
klasifikasi diabetes mellitus berdasarkan etiologinya adalah sebagai berikut1,3:
Diabetes melitus tipe 1
Beberapa mekanisme yang berkontribusi dalam destruksi sel-β sehingga
mengurangi jumlahnya dan akhirnya menimbulkan gejala klinis pada diabetes
adalah sebagai berikut:
- Limfosit T menyerang antigen sel-β dan menyebabkan kerusakan sel. Sel
T tersebut adalah sel T CD4+ dari subset Th1 yang menyebabkan
kerusakan jaringan dengan cara aktivasi makrofag dan sel limfosit T
sitotoksik CD8+ yang secara langsung menghancurkan sel-β dan juga
mensekresi sitokin-sitokin yang dapat mengaktivasi makrofag.
- Sitokin-sitokin lokal yang merusak sel-β, seperti IFN-γ yang dihasilkan
oleh sel T, TNF dan IL-1 yang diproduksi oleh makrofag yang diaktivasi
saat reaksi imun terjadi.
- Autoantibodi terhadap antigen sel-β, termasuk insulin dan glutamic acid
decarboxylase juga dapat terdeteksi dalam darah pada 70-80% pasien dan
dapat berkontribusi dalam merusak pulau-pulau Langerhans.
Predisposisi genetik yang berhubungan dengan DM tipe 1 terutama pada
kelainan kromosom, sedangkan gen yang berhubungan dengan kelainan ini
belum diketahui. Dari multiple lokus yang berhubungan dengan penyakit ini,
lokus terpenting adalah MHC kelas II (HLA) lokus yang terdapat pada setengah
penderita DM tipe 1 dan setengahnya lagi merupakan campuran dari berbagai
macam kelainan gen.
7
Seperti pada penyakit autoimun lainnya, kerentanan genetik dan pengaruh
lingkungan, seperti infeksi, diduga berperan penting dalam patogenesis DM tipe
1. DM tipe 1 biasanya berkembang mulai dari masa kanak-kanak, bermanifestasi
pada masa pubertas dan progresif seiring dengan bertambahnya umur. Orang-
orang dengan DM tipe 1 bergantung pada suplemen insulin eksogen dan sering
mengalami komplikasi serius, seperti ketoasidosis dan koma.
Diabetes melitus tipe 2
Bervariasi, mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi
insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama
resistensi insulin.
Pengaruh lingkungan, seperti gaya hidup tidak aktif dan kebiasaan makan
memiliki peranan penting, terutama jika didapati adanya obesitas. Meskipun
demikian, faktor genetik memegang pernan penting dibandingkan pada DM tipe
1 dengan hubungannya yang melibatkan gen diabetogenik multipel. Risiko
seseorang untuk menderita DM tipe 2 jika didapati riwayat keluarga langsung
(first-degree) adalah 20-40% dibandingkan dengan populasi umum yang
memiliki risiko 5-7%. Tidak seperti DM tipe 1, DM tipe 2 tidak berkaitan
dengan pengaruh gen terhadap toleransi dan regulasi imun. Selain itu, tidak ada
bukti adanya proses autoimun pada DM tipe 2.
Karakteristik defek metabolik pada DM tipe 2, yaitu:
Penurunan kemampuan jaringan perifer untuk merespon terhadap insulin
(resistensi insulin).
Resistensi insulin adalah resistensi terhadap efek insulin dalam ambilan,
metabolisme, atau penyimpanan glukosa. Resistensi insulin sering
8
terdeteksi 10-20 tahun sebelum onset DM tipe 2 pada individu yang
memiliki faktor predisposisi. Resitensi insulin merupakan gambaran khas
pada kebanyakan DM tipe 2 pada individu dengan obesitas. Adapun
mekanisme resitensi insulinnya adalah:
- Peran asam lemak bebas
Pada individu obese, terdapat peningkatan kadar trigliserida intraselular
di otot dan hepar, diperkirakan karena kelebihan asam lemak bebas
yang bersirkulasi yang dideposit pada organ tersebut. Trigliserida
intraselular dan produk asam lemak bebas ini adalah inhibitor terhadap
sinyal insulin sehingga terjadi keadaan resistensi insulin. Efek
lipotoksik dari asam lemak bebas ini dimediasi melalui penurunan
aktivitas protein yang berperan dalam penghantaran sinyal insulin.3
- Peran adipositokin
Jaringan adipose tidak hanya tempat untuk penyimpanan lemak, tetapi
juga sebagai organ endokrin fungsional yang melepas hormon-hormon
tertentu akibat stimulus ekstraselular atau akibat perubahan status
metabolik. Beberapa jenis protein dilepaskan ke sirkulasi oleh jaringan
adiposit dan secara kolektif disebut adipositokin. Beberapa diantaranya
adalah leptin, adiponektin, dan resistin. Perubahan kadarnya
berhubungan dengan resistensi insulin. Sebagai contoh, kadar
adiponektin menurun pada obesitas dan resistensi insulin
menggambarkan bahwa dalam kondisi fisiologis, sitokin ini
berkontribusi terhadap sensitivitas insulin di jaringan perifer.
Kebalikannya, kadar resistin justru meningkat pada obesitas dan
berperan dalam terjadinya resistensi insulin.3
Diabetes melitus tipe lain:
Defek genetik pada fungsi sel-β
- Kromosom 12, HNF-α dahulu MODY 3
- Kromosom 7, glukokinase dahulu MODY 2
- Kromosom 20, HNF-α dahulu MODY 1
- Kromosom 13, insulin promoter factor (IPF) dahulu MODY 4
- Kromosom 17, HNF-1β dahulu MODY 5
- Kromosom 2, Neuro D1 dahulu MODY 6
9
- Mutasi DNA mitokondria
Defek genetik kerja insulin
- Resistensi insulin tipe A
- Sindrom Rabson Mandenhall
- Diabetes lipoatrofik
Defek eksokrin pankreas kerusakan difus pada pankreas
- Pankreatitis
- Trauma/pankreatektomi
- Neoplasma
- Fibrosis kistik
- Hemokromatosis
- Pankreatopati fibro kalkulus
Endokrinopati
- Akromegali
- Sindroma Cushing
- Feokromositoma
- Hipertiroidisme
- Somatostatinoma
- Aldoseteronoma
Infeksi
- Congenital rubella
- CMV
Obat-obatan
- Vacor
- Pentamidin
- Asam nikotinat
- Glukokortikoid
- Hormon tiroid
- Diazoxid
Sindrom genetik terkait diabetes
- Sindrom Down
- Sindrom Klinefelter
- Sindrom Turner
10
- Sindrom Wolfram’s
- Ataksia Friedreich’s
- Hutington Chorea
- Sindrom Laurence Moon Biedl
- Distrofi miotonik
- Porfiria
- Sindrom prader Willi
Imunologi
- Sindroma “Stiffman”
- Antibodi anti-reseptor insulin
Diabetes melitus gestasional (GDM)
Merupakan intolerensi glukosa dengan berbagai tingkatan yang onsetnya
pertama kali terjadi pada kehamilan dan sebelumnya tidak terdeteksi. Kehamilan
membuat seseorang dalam keadaan resistensi insulin dan hiperinsulinemia yang
dapat menjadi predisposisi beberapa wanita untuk mengalami diabetes. GDM
terjadi ketika fungsi pankreas tidak cukup untuk mengatasi lingkungan
diabetogenik kehamilan.4
2.5 PATOFISIOLOGI
Berbagai macam etiologi, faktor risiko dan faktor predisposisi akan
menyebabkan terjadinya kekurangan insulin secara relatif atau absolut. Kadar insulin
yang rendah akan menyebabkan penggunaan glukosa oleh jaringan menurun.
Akibatnya, kadar glukosa dalam darah akan meningkat menyebabkan keadaan
hiperglikemia. Selain itu, terjadi peningkatan lipolisis di jaringan lemak dan
katabolisme protein di jaringan otot karena glukosa tidak dapat digunakan sebagai
sumber energi. Hal ini akan memicu timbulnya gejala polifagi pada penyandang
DM.
Lipolisis yang terjadi menghasilkan asam lemak bebas, sedangkan
katabolisme protein akan menghasilkan asam amino. Asam lemak bebas akan
mengalami ketogenesis, sedangkan asam amino akan mengalami glukoneogenesis
dengan bantuan hormone glucagon. Kedua proses ini terjadi di hepar. Jika
ketogenesis yang terjadi berlebihan, akan timbul keadaan ketoasidosis yang dapat
11
menyebabkan terjadinya koma diabetikum. Pada urin akan didapatkan kadar keton
yang meningkat.
Glukoneogenesis yang berlebihan akan memperparah keadaan hiperglikemia
sehingga akan banyak glukosa yang lolos dari ginjal. Tidak semua glukosa yang
difiltrasi oleh ginjal dapat diabsorpsi kembali. Glukosa yang tidak diabsorpsi
tersebut akan menarik air sehingga akan timbul keadaan poliuria pada penderita DM.
Karena banyak cairan tubuh yang dikeluarkan, penderita akan mudah merasa haus
(polidipsi). Jika cairan yang keluar terlampau banyak, volume cairan intravaskuler
akan berkurang. Hal ini akan mempercepat terjadinya koma diabetikum.3
2.6 GAMBARAN KLINIS
Gejala yang sering muncul pada individu dengan DM adalah5:
- Poliuria
- Polidipsia
- Polifagia
- Penurunan berat badan
- Kelelahan
- Lemas
- Penglihatan buram
- Infeksi superfisial berulang
- Penyembuhan luka yang lama
- Parestesia
2.7 DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis yang digunakan untuk mendiagnosis DM adalah apabila
memenuhi satu dari hal berikut4,5,6:
Gejala klasik DM ditambah glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dLa
Glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dLb
Glukosa darah 2 jam post-prandial ≥ 200 mg/dL selama pemeriksaan Tes
Toleransi Glukosa Oral (TTGO)c
Hemoglobin A1c > 6.5%a Sewaktu tidak tergantung oleh waktu setelah makan terakhir.b Puasa tidak ada input kalori minimal 8 jam sebelum pengambilan sampel.
12
c Tes harus dilakukan menggunakan 75 gram glukosa anhidros yang dilarutkan
dalam air.
Kategori intermediet5:
Glukosa puasa terganggu (GPT), jika glukosa darah puasa 100 - 125 mg/dL
Toleransi glukosa terganggu (TGT), jika glukosa darah 140 – 199 mg/dL 2
jam setelah 75 gram glukosa anhidros yang dilarutkan dalam air.
Individu dengan GPT atau TGT tidak menderita DM, namun memiliki risiko
untuk mengalami DM tipe 2 dan penyakit kardiovaskular di kemudian hari.
Skrining dengan pemeriksaan glukosa darah puasa direkomendasikan setiap 3
tahun untuk individu yang berumur > 45 tahun, atau dewasa muda yang memiliki
BMI > 25 kg/m2 dan memiliki satu atau lebih faktor risiko berikut5:
Riwayat keluarga menderita DM (first-degree)
Inaktif secara fisik
Ras/etnis tertentu, seperti Afika-Amerika, Latin, Amerika Natif, Asia-
Amerika)
GPT, TGT atau hemoglobin A1c 5.7–6.4%
Riwayat diabetes gestasional atau melahirkan bayi > 4 kg
Hipertensi (tekanan darah ≥ 140/90 mmHg)
Kolesterol HDL ≤ 35 mg/dL dan/atau trigliserida ≥ 250 mg/dL.
Sindrom ovarium polikistik atau acanthosis nigricans
Riwayat penyakit vaskular.
2.8 KOMPLIKASI
2.8.1 Komplikasi Akut
Ketoasidosis diabetik (KAD)
KAD terjadi akibat defisiensi insulin relatif atau absolut ditambah
dengan peningkatan kadar hormon kontra-regulator seperti glukagon,
katekolamin, kortisol dan hormone pertumbuhan. Penurunan rasio insulin
terhadap glukagon menyebabkan terjadinya glukoneogenesis, glikogenolisis
dan pembentukan badan keton di hepar, disertai dengan peningkatan
penghantaran substrat dari lemak dan otot (asam lemak bebas, asam amino)
ke hepar. Keadaan hiperglikemia sangat bervariasi dan tidak menentukan
berat ringannya KAD. Adapun gejala dan tanda klinis KAD dapat
13
dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu akibat hiperglikemia dan akibat
ketosis.7
Kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan konsentrasi hormone
kontra regulator terutama epinefrin, mengaktivasi hormone lipase sensitive
pada jaringan lemak. Akibatnya lipolisis meningkat sehingga terjadi
peningkatan produksi benda keton dan asam lemak bebas secara berlebihan.
Akumulasi benda keton oleh sel hati dapat menyebabkan metabolik asidosis.7
Hanya insulin yang dapat menginduksi transport glukosa ke dalam
sel, memberi signal untuk proses perubahan glukosa menjadi glikogen,
menghambat lipolisis pada sel lemak (menekan pembentukan asam lemak
bebas), menghambat glukoneogenesis pada sel hati serta mendorong proses
oksidasi melalui siklus Krebs dalam mitokondria sel. Melalui proses oksidasi
tersebut akan dihasilkan adenine trifosfat (ATP) yang merupakan sumber
energI utama sel. Resistensi insulin juga berperan dalam memperberat
keadaan defisiensi insulin relatif.7
Ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-
600 mg/dL), disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma
keton (+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/mL) dan terjadi
peningkatan anion gap.8
Status Hiperglikemik Hiperosmolar (SHH)
Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi
(600-1200 mg/dL) tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma
meningkat (330-380 mOs/mL), plasma keton (+/-), anion gap normal atau
sedikit meningkat.8
Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60
mg/dL. Bila terdapat penurunan kesadaran pada penderita DM harus selalu
dipikirkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering
disebabkan oleh penggunaan sulfonylurea (dapat berlangsung lama, perlu
pengawasan sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis)
dan insulin. Pengawasan 24-72 jam atau lebih, terutama pada pasien dengan
gagal ginjal kronik atau yang mendapat terapi dengan OHO kerja panjang.
Gejala hipoglikemia:
14
- Gejala adrenergik berdebar-debar, banyak keringat, gemetar, dan
rasa lapar.
- Gejala neuro-glikopenik pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai
koma.
Pengelolaan:
- Pasien dengan kesadaran masih baik diberikan makanan yang
mengandung karbohidrat atau minuman yang mengandung gula
berkalori atau glukosa 15-20 gram melalui intravena. Pemeriksaan
ulang glukosa tiap 15 menit setelah pemberian glukosa.
- Hipoglikemia berat diberikan glukagon.
- Pasien dengan penurunan kesadaran diberikan glukosa 40%
intravena.8
2.8.2 Komplikasi Kronik
Makroangiopati
- Pembuluh darah jantung
- Pembuluh darah otak
- Pembuluh darah tepi.
Gejala tipikal claudicatio intermittent, meskipun sering tanpa gejala.
Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul.8
Mikroangiopati
- Retinopati diabetic
- Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko
dan memberatnya retinopati. Terapi aspirin tidak mencegah timbulnya
retinopati.
- Nefropati diabetic
- Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko
nefropati.
- Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8 g/kgBB) juga akan
mengurangi risiko terjadinya nefropati.8
Neuropati
- Neuropati perifer, berupa hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi
untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi
15
- Gejala yang sering dirasakan: kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri
dan lebih terasa sakit di malam hari.
- Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan
skrining untuk mendeteksi adanya polineuropati distal dengan
pemeriksaan neurologi sederhana, dengan monofilament 10 gram
sedikitnya setiap tahun.
- Apabila ditemukan adanya polineuropati distal, perawatan kaki yang
memadai akan menurunkan risiko amputasi.
- Untuk mengurangi rasa sakit dapat diberikan duloxetine, antidepresan
trisiklik, atau gabapentin.
Semua penyandang diabetes yang disertai neuropati perifer harus
diberikan edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki. Untuk
penatalaksanaan penyulit ini seringkali diperlukan kerja sama dengan
bidang/disiplin ilmu lain.8
2.9 TATALAKSANA8
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penyandang diabetes. Tujuan jangka pendeknya adalah menghilangkan keluhan dan
tanda DM, mempertahankan rasa nyaman dan mencapai target pengendalian glukosa
darah. Tujuan jangka panjangnya adalah mencegah dan menghambat progresivitas
penyulit mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati. Sedangkan tujuan akhirnya
adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah,
tekanan darah, berat badan, dan profil lipid melalui pengelolaan pasien secara
holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku.
2.9.1 Evaluasi Medis pada Pertemuan Pertama
Riwayat penyakit:
- Gejala yang timbul.
- Hasil pemeriksaan laboratorium terdahulu, meliputi: glukosa darah, A1c
dan pemeriksaan khusus terkait DM.
- Pola makan, status nutrisi, dan riwayat perubahan berat badan.
- Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda.
16
- Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap, termasuk
terapi gizi medis dan penyuluhan yang telah diperoleh tentang perawatan
DM secara mandiri, serta kepercayaan yang diikuti dalam bidang terapi
kesehatan.
- Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan,
perencanaan makan dan program latihan jasmani.
- Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetic, hiperosmolar
hiperglikemia, hipoglikemia).
- Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus
urogenitalis, serta kaki.
- Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik (komplikasi pada
ginjal, mata, saluran pencernaan, dll).
- Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah.
- Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner,
obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan
endokrin lain).
- Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM.
- Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan dan status ekonomi.
- Kehidupan seksual, penggunaan kontrasepsi dan kehamilan.
Pemeriksaan fisik:
- Pengukuran tinggi badan, berat badan, dan lingkar pinggang.
- Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam
posisi berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik,
serta ankle brachial index (ABI) untuk mencari kemungkinan penyakit
pembuluh darah arteri tepi.
- Pemeriksaan funduskopi.
- Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid.
- Pemeriksaan jantung.
- Evaluasi nadi, baik secara palpasi maupun dengan stetoskop.
- Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari.
- Pemeriksaan kulit (achantosis nigricans dan bekas tempat penyuntikan
insulin) dan pemeriksaan neurologis.
- Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe lain.
17
Evaluasi laboratoris/ penunjang lain:
- Glukosa darah puasa dan 2 jam post-prandial.
- HbA1c
- Profil lipid pada keadaan puasa (kolestreol total, HDL, LDL, dan
trigliserida).
- Kreatinin serum.
- Albuminuria.
- Keton, sedimen, dan protein dalam urin.
- Elektrokardiogram.
- Foto thorax.
Rujukan:
Sistem rujukan perlu dilakukan pada seluruh pusat pelayanan kesehatan
yang memungkinakan dilakukan rujukan. Rujukan meliputi:
- Rujukan ke bagian mata.
- Rujukan untuk terapi gizi medis sesuai indikasi.
- Rujukan untuk edukasi kepada educator diabetes.
- Rujukan kepada perawat khusu kaki (podiatrist), spesialis perilaku
(psikolog) atau spesialis lain sebagai bagian dari pelayanan dasar.
- Konsultasi lain sesuai kebutuhan.
2.9.2 Evaluasi Medis Secara Berkala
Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam sesudah makan,
atau pada waktu-waktu tertentu lainnya sesuai dengan kebutuhan.
Pemeriksaan A1c dilakukan setiap 3-6 bulan sekali.
Secara berkala dilakukan pemeriksaan:
- Jasmani lengkap
- Mikroaluminuria
- Kreatinin
- Albumin/globulin dan ALT
- Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, dan trigliserida
- EKG
- Foto thorax
- Funduskopi
2.9.3 Pilar Penatalaksanaan DM
18
a. Edukasi
Hal-hal yang perlu diedukasikan kepada penyandang diabetes:
- Mengikuti pola makan sehat.
- Mengikuti kegiatan jasmani.
- Menggunakan obat diabetes dan obat-obat pada keadaan khusus secara
aman dan teratur.
- Melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan
memanfaatkan data yang ada.
- Melakukan perawatan kaki secara berkala.
- Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi keadaan sakit
akut dengan tepat.
- Mempunyai keterampilan mengatasi masalah yang sederhana, dan mau
bergabung dengan kelompok penyandang diabetes serta mengajak
keluarga untuk mengerti pengelolaan penyandang diabetes.
- Mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada.
Edukasi perubahan perilaku (oleh Tim Edukator Diabetes)
Prinsip yang perlu diperhatikan pada proses edukasi diabetes adalah:
- Memberikan dukungan dan nasehat yang positif, serta hindari terjadinya
kecemasan.
- Lakukan pendekatan untuk mengatasi masalah dengan melakukan
simulasi.
- Diskusikan program pengobatan secara terbuka, perhatikan keinginan
pasien. Berikan penjelasan secara sederhana dan lengkap tentang
program pengobatan yang diperlukan oleh pasien dan diskusikan hasil
pemeriksaan laboratorium.
- Lakukan kompromi dan negosiasi agar tujuan pengobatan dapat diterima.
- Berikan motivasi dengan memberikan penghargaan.
- Libatkan keluarga/pendamping dalam proses edukasi.
- Perhatikan kondisi jasmanai dan psikologis serta tingkat pendidikan
pasien dan keluarganya.
- Gunakan alat bantu audio visual.
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat
Edukasi yang diberikan kepada pasien meliputi pemahaman tentang:
19
Materi edukasi pada tingkat awal:
- Meateri tentang perjalanan penyakit DM
- Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara
berkelanjutan.
- Penyulit DM dan risikonya.
- Intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta target pengobatan.
- Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan obat hipoglikemik
oral atau insulin serta obat-obatan lain.
- Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah
atau utin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak
tersedia).
- Mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit atau
hipoglikemia.
- Pentingnya latihan jasmani yang teratur
- Masalah khusus yang dihadapi, seperti: hiperglikemia pada kehamilan.
- Pentingnya perawatan kaki
- Cara menggunakan fasilitas perawatan kesehatan.
Materi edukasi pada tingkat lanjut adalah:
- Mengenal dan mencegah penyulit akut DM.
- Pengetahuan mengenai penyulit menahun DM.
- Pentalaksanaan DM selama menderita penyakit lain.
- Makan di luar rumah.
- Rencanan untuk kegiatan khusus.
- Hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi mutakhir
tentang DM.
- Pemeliharaan/perawatan kaki
b. Terapi nutrisi medis
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama
dengan anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang
seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing
individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan
makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada
mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.
20
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
Karbohidrat
- Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
- Pembatasan karbohidrat total < 130 g/hari tidak dianjurkan.
- Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.
- Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat
makan sama dengan makanan keluarga yang lain.
- Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
- Pemanis alternative dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak
melebihi batas aman konsumsi harian.
- Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam
sehari. Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau
makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
Lemak
- Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energy.
- Lemak jenuh < 7% kebutuhan kalori.
- Lemak tidak jenuh ganda < 10%, selebihnya dari lemak tidak jenuh
tunggal.
- Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung
lemak jenuh dan lemak trans, antara lain daging berlemak dan susu
penuh (whole milk).
- Anjuran konsumsi kolesterol < 200 mg/hari.
Protein
- Dibutuhkan sebesar 10-20% total asupan energy.
- Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi, dll),
daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak,
kacang-kacangan, tahu dan tempe.
- Pada pasien dengan nefropati, perlu penurunan asupan protein menjadi
0.8 g/kgBB per hari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya
bernilai biologic tinggi.
Natrium
21
- Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan
anjuran untuk masyarakat umum, yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau
sama dengan 6-7 gram (1 sendok teh) garam dapur.
- Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg.
- Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan
pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.
Serat
- Seperti halnya masyarakt umum, penyandang diabetes dianjurkan
mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan buah, dan syuran, serta
sumber karbohodrat yang tinggi serat karena mengandung vitamin,
mineral, serat dan bahan lain yang baik untuk kesehatan.
- Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/hari.
Pemanis alternatif
- Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak
berkalori. Termasuk pemanis berkalori adalah gula alkohol dan fruktosa.
- Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol, dan
xylitol.
- Dalam penggunaannya, pemanis berkalori perlu diperhitungkan
kandungan kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
- Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena
efek samping pada lemak darah.
- Pemanis tak berkalori yang masih dapat digunakan antara lain, aspartam,
sakarin, acesulfame potassium, sukralose, dan neotame.
- Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman.
Kebutuhan Kalori
Kebutuhan kalori basal = 25-30 kalori/kgBB ideal +/- faktor-faktor tertentu
(jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll).
Perhitungan Berat Badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang
dimodifikasi:
- BBI = 90% x (TB dalma cm – 100) x 1 kg
Bagi pria yang TB < 160 cm dan wanita yang TB < 150 cm, rumus
dimodifikasi menjadi:
BBI = (TB dalam cm – 100) x 1 kg
22
BB Normal : BB ideal ± 10%
Kurus : < BBI – 10%
Gemuk : > BBI + 10%
- BBI berdasarkan BMI
Rumus: BMI = BB (kg) : TB (m2)
Klasifikasi:
BB kurang : < 18,5
BB normal : 18,5 – 22,9
BB lebih : ≥ 23,0
Dengan risiko : 23,0 – 24,9
Obes I : 25,0 – 29,9
Obes II : > 30
Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori, antara lain:
- Jenis kelamin
Kebutuhan kalori wanita : 25 kal/kgBB
Kebutuhan kalori pria : 30 kal/kgBB
- Umur
> 40 tahun : kebutuhan kalori – 5%
40 – 59 tahun : kebutuhan kalori – 10%
60 – 69 tahun : kebutuhan kalori – 20%
> 70 tahun : kebutuhan kalori – 20%
- Aktivitas fisik atau pekerjaan
Keadaan istirahat : kebutuhan kalori + 10%
Aktivitas ringan : kebutuhan kalori + 20%
Aktivitas sedang : kebutuhan kalori + 30%
Aktivitas sangat berat : kebutuhan kalori + 50%
- Berat badan
Kegemukan: kebutuhan kalori – 20 s/d 30%
Kurus : kebutuhan kalori + 20 s/d 30%
Untuk tujuan penurunan BB, jumlah kalori yang diberikan paling sedikit:
1000 – 1200 kkal per hari wanita
1200 – 1600 kkal per hari pria
23
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas
dibagi dalam 3 porsi besar.
Makan pagi : 20%
Makan siang : 30%
Makan sore : 25%
Makanan ringan di antaranya (2-3 porsi): 10 – 15%
c. Latihan jasmani
Kegiatan jasmanai sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4
kali seminggu selama kurang lebih 30 menit).
d. Intervensi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan
latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral
dan obat suntik.
Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
Berdasarkan cara kerjanya, OHO di bagi menjadi 5 golongan:
1. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue)
- Sulfonilurea
Efek utama: meningkatkan sekresi insulin oleh sel-β pankreas.
Pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan
kurang.
Diminum 15 – 30 menit sebelum makan
GenerikSediaan (mg/tab)
Dosis Harian
Frekuensi/hari
Glibenclamid 2.5 – 5 2.5 – 15 1 – 2
Glipizid 5 – 10 5 – 20 1 – 2
24
Glikazid80
30 - 60
80 – 320
30 – 120
1 – 2
1
Glikuidon 30 30 – 120 2 – 3
Glimepirid 1-2-3-4 1 – 6 1
- Glinid
Cara kerja sama dengan sulfonylurea dengan penekanan pada
peningkatan sekresi insulin fase pertama. Obat ini diabsorpsi
dengan cepat setelah pemberian secara oral dan dieksresi
secara cepat melalui hati. Pemberian obat tidak tergantung
pada waktu makan.
GenerikSediaan (mg/tab)
Dosis Harian
Frekuensi/hari
Repaglinid 1 1.5 – 6 3
Nateglinid 120 360 3
2. Peningkat sensitivitas terhadap insulin
- Tiazolidindion
Efek utama: menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer.
Kontraindikasi: gagal jantung kelas I – IV (memperberat
edema/ retensi cairan) dan gangguan faal hati.
Perlu pemantauan faal hati secara berkala.
GenerikSediaan (mg/tab)
Dosis Harian
Frekuensi/hari
Pioglitazone 15 – 30 15 – 45 1
3. Penghambat glukoneogenesis
- Biguanid (Metformin)
Efek utama: mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis) dan memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama digunakan pada penyandang diabetes gemuk.
Kontraindikasi: gangguan faal ginjal (serum kreatinin > 1,5
mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien yang cenderung
25
mengalami hipoksemia (mis: penyakit serebro-vaskular,
sepsis, renjatan, gagal jantung).
Efek samping: mual.
Pemberian: saat atau setelah makan.
GenerikSediaan (mg/tab)
Dosis Harian
Frekuensi/hari
Metformin 500 – 850 250 – 3000 1 – 3
Metformin
XR
500 -750
500 500 – 2000
1
1
4. Penghambat absorpsi glukosa
Cara kerja: mengurangi absorpsi glukosa di usus halus.
Efek: menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Efek samping: kembung dan fatulens.
Pemberian bersamaan dengan suapan pertama saat makan.
GenerikSediaan (mg/tab)
Dosis Harian
Frekuensi/hari
Acarbose 50 – 100 100 – 300 3
5. DPP-IV inhibitor
Glukagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormone
peptide yang dihasilkan oleh sel L mukosa usus. Peptide ini
disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang masuk ke
dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang kuat
pelepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi
glucagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim
dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) menjadi GLP-1-(9,36)-amide yang
tidak aktif.
Pemberian bersama makan atau sebelum makan
Cara pemberian OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan
secara bertahap sesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikan
sampai dosis optimal.
Suntikan
1. Insulin
Indikasi pemberian:
26
- Penurunan berat badan yang cepat.
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis.
- Ketoasidosis diabetik.
- Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik.
- Hiperglikemia dengan asidosis laktat.
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal.
- Stress berat (infeksi sitemik, operasi besar, IMA, stroke).
- Kehamilan dengan DM/ diabetes mellitus gestasional yang
tidak terkendali dengan perencanaan makan.
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat.
- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO.
Jenis dan lama kerja insulin:
Sediaan InsulinAwal Kerja
(Onset)
Puncak Kerja (Peak)
Lama Kerja (Duration)
Kemasan
Insulin Prandial (Meal-related)Insulin short actingRegular (Actrapid®, Humulin®)
30 – 60 menit
30 – 90 menit
3 – 5 jamVial,
pen/cartridgeInsulin analog rapid acting
Insulin Lispro (Humalog®)5 – 15 menit
30 – 90 menit
3 – 5 jamPen/
cartridge
Insulin Glulisine (Apidra®)5 – 15 menit
30 – 90 menit
3 – 5 jam Pen
Insulin Aspart (Novorapid®)5 – 15 menit
30 – 90 menit
3 – 5 jam Pen, vial
Insulin intermediate acting
NPH (Insulatard®, Humulin® N)2 – 4 jam
4 – 10 jam 10 – 16 jamVial,
pen/cartridge
Insulin Long ActingInsulin Glargine (Lantus®) 2 – 4 jam No peak 18 – 26 jam PenInsulin Detemir (Levemir®) 2 – 4 jam No peak 22 – 24 jam PenInsulin Campuran70% NPH 30% regular (Mixtard®, Humulin® 30/70)
30 – 60 menit
Dual 10 -16 jamPen/
cartridge70% Insulin Aspart Protamin 30% Insulin Aspart (Novomix® 30)
10 – 20 menit
Dual 15 – 18 jam Pen
27
75% Insulin Lispro Protamin 30% Insulin Lispro (HumalogMix® 25)
5 – 15 menit
Dual 16 – 18 jamPen/
cartridge
Efek samping terapi insulin:
- Hipoglikemia
- Reaksi imunologi, dapat menimbulkan alergi insulin atau
resistensi insulin.
Dasar pemikiran terapi insulin:
- Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi
prandial. Terapi insulin diupayakan mampu meniru pola
sekresi insulin yang fisiologis.
- Defisiensi insulin mungkin berupa defisisiensi insulin basal
yang menyebabkan hiperglikemia pada keadaan puasa, insulin
prandial yang menyebabkan keadaan hiperglikemi setelah
makan atau keduanya.
- Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan
koreksi terhadap defisiensi yang terjadi.
- Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan
glukosa darah basal (puasa, sebelum makan). Hal ini dapat
dicapai dengan terapi oral maupun insulin. Insulin yang
digunakan adalah insulin basal (insulin kerja sedang atau
panjang)
- Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat
dilakukan dengan menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari bila
sasaran terapi belum tercapai.
- Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai,
sedang HbA1C belum mencapai target, maka dilakukan
pengendalian glukosa darah prandial (meal-related)
menggunakan insulin kerja cepat (rapid acting) atau insulin
kerja pendek (short acting).
- Kombinasi insulin basal dan prandial dapat diberikan subkutan
dalam bentuk 1 kali insulin basal + 1 kali insulin prandial
28
(basal plus), atau 1 kali basal + 2 kali prandial (basal 2 plus),
atau 1 kali basal + 3 kali prandial (basal bolus).
- Insulin basal dapat dikombinasi dengan OHO untuk
menurunkan glukosa darah prandial seperti golongan obat
peningkat sekresi insulin kerja pendek (golongan glinid) atau
penghambat penyerapan karbohidrat dari lumen usus
(acarbose).
- Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan
kebutuhan pasien dan respons individu, yang dinilai dari hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah harian.
2. Agonis GLP-1/incretin mimetic
Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang pelepasan insulin
yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat
badan yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin
ataupun sulfonilurea. Efek lainnya adalah menghambat pelepasan
glucagon yang diketahui berperan pada proses glukoneogenesis.
Efek samping: rasa sebah dan muntah.
Perbandingan OHO dan Suntikan
Golongan Obat Efek
Samping
Utama
Reduksi
HbA1C
Keuntungan Kerugian
Sulfonilurea BB naik,
hipoglikemia
1,0 –
2,0%
Sangat efektif Meningkatkan berat
badan, hipoglikemia
(glibenklamid dan
klorpropamid)
Glinid BB naik,
hipoglikemia
0,5 –
1,5%
Sangat efektif Meningkatkan berat
badan, pemberian
3x/hari, harganya
mahal dan
hipoglikemia
Metformin Dispepsia,
diare,
asidosis
1,0-2,0% Tidak ada kaitan
dengan berat
badan
Efek samping
gastrointestinal,
kontraindikasi pada
29
laktat insufisiensi renal
Penghambat
glukosidase-alfa
Flatulens,
tinja lembek
0,5-0,8% Tidak ada kaitan
dengan berat
badan
Sering menimbulkan
efek gastrointestinal,
3x/hari dan mahal
Tiazolidindion Edema 0,5-1,4% Memperbaiki
profil lipid,
berpotensi
menurunkan
infark miokard
(pioglitazone)
Retensi cairan, CHF,
fraktur, berpotensi
menimbulkan infark
miokard dan mahal.
DPP-4 inhibitor Sebah,
muntah
0,5-0,8% Tidak ada kaitan
dengan berat
badan
Penggunaan jangka
panjang tidak
disarankan, mahal
Inkretin analog/
mimetic
Sebah,
muntah
0,5-1,0% Penurunan berat
badan
Injeksi 2x/hari,
penggunaan jangka
panjang tidak
disarankan, dan
mahal.
Insulin Hipoglikemi,
BB naik
1,5-3,5% Dosis tidak
terbatas,
memperbaiki
profil lipid dan
sangat elektif
Injeksi 1-4 kali/hari,
harus dimonitor,
meningkatkan berat
badan, hipoglikemia
dan analognya
mahal.
Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah.
Terapi dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed combination dalam
bentuk tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang
mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum
tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau
kombinasi OHO dengan insulin, biasanya insulin basal (insulin kerja menengah atau
insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dosis awal
30
insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian
dievaluasi dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila kadar
gula darah sepanjang hari masih tidak terkendali, OHO dihentikan dan diberikan
terapi kombinasi insulin.
Penilaian hasil terapi
- Pemeriksaan kadar glukosa darah dengan tujuan untuk mengetahui apakah
sasaran terapi telah tercapai dan untuk melakukan penyesuaian dosis obat,
bila belum tercapai sasaran terapi yang ditambah dengan pemeriksaan
glukosa 2 jam post-prandial.
- Pemeriksaan HbA1C (hemoglobin terglikosilasi/glikohemoglobin) untuk
menilai perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tidak untuk menilai hasil
pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan ini dianjurkan setiap 3 bulan,
minimal 2 kali dalam setahun.
Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)
PGDM dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan insulin atau pemicu sekresi
insulin. Waktu pemeriksaan yang dianjurkan adalah pada saat sebelum makan, 2 jam
setelah makan, menjelang waktu tidur dan di antara siklus tidur atau ketika
mengalami gejala seperti hypoglycemic spells.
Pemeriksaan Glukosa Urin
Hanya digunakan pada pasien yang tidak dapat atau tidak mau memeriksa glukosa
darah.
Pemantauan Benda Keton
Pemeriksaan ini cukup penting terutama pada penyandang DM tipe 2 yang terkendali
buruk (kadar glukosa darah >300 mg/dL), penyandang diabetes yang sedang hamil.
Tes benda keton urin mengukur kadar asetoasetat, sementara benda keton yang
penting adalah asam beta hidroksibutirat. Kadar normal asam beta hidroksibutirat
adalah < 0,6 mmol/L, ketosis jika > 1,0 mmol/L, indikasi adanya KAD jika > 3,0
mmol/L. Pemeriksaan glukosa darah dan benda keton secara mandiri dapat
mencegah terjadinya komplikasi akut DM, terutama KAD.
Kriteria Pengendalian DM
Terkendali baik: kadar glukosa darah, lipid, HbA1C, status gizi, dan tekanan darah
mencapai target yang diharapkan.
31
Pasien berumur lebih dari 60 tahun dengan komplikasi, sasaran kendali dapat lebih
tinggi. Untuk kadar glukosa darah puasa 100-125 mg/dL dan post-prandial 145-180
mg/dL. Begitu juga dengan kadar lipid, tekanan darah dan lain-lain.
2.10 DM PADA KEADAAN KHUSUS
2.10.1 DM pada Stroke
Risiko terjadinya stroke pada penyandang DM adalah sebanyak 2 – 4 kali
dibandingkan pada orang yang tidak menyandang DM. Risiko stroke yang tinggi
mungkin dikarenakan interaksi yang kompleks antara berbagai komponen
hemodinamik dan metabolik pada sindrom diabetes. Selain banyak faktor risiko
yang diakui terkait dengan stroke akut (misalnya hipertensi, dislipidemia, fibrilasi
atrium), faktor risiko tertentu disebabkan diabetes juga telah dilaporkan, seperti
resistensi insulin, obesitas sentral, gangguan toleransi glukosa dan
hiperinsulinemia. Baik secara individu maupun kolektif, faktor ini dihubungkan
dengan peningkatan risiko penyakit stroke.
Manajemen hiperglikemi pada stroke akut (24 jam pertama setelah gejala
onset stroke timbul) masih kontroversi. Beberapa studi menunjukkan bahwa
penggunaan insulin untuk menjaga glukosa 4,0-7,5 mmol / L dalam 24 jam
pertama setelah awal gejala stroke timbul tidak menguntungkan dibandingkan
dengan perawatan biasa dan mungkin, pada kenyataannya, berbahaya dengan
peningkatan hipoglikemia. Oleh karena itu, tidak ada target glukosa khusus untuk
pasien diabetes dengan stroke. Namun, rekomendasi kadar glukosa darah untuk
mayoritas pasien rawat inap yang tidak dalam keadaan kritis dipertahankan di
bawah 10,0 mmol / L.9
2.10.2 DM pada Infeksi Sekunder
Infeksi dapat memperburuk kendali glukosa darah, dan kadar glukosa darah
yang tinggi meningkatkan kemudahan dan memperburuk infeksi.
Infeksi yang banyak terjadi antara lain:
Infeksi saluran kemih
Paling sering terjadi dan lebih sulit dikendalikan. Dapat mengakibatkan
terjadinya pielonefritis dan septicemia.
Kuman penyebab: E. coli dan Klabsiella.
32
Infeksi jamur spesies kandida dapat menyebabkan sistitis dan abses renal.
Pruritus vagina adalah manifestasi yang sering terjadi akibat infeksi jamur
vagina.
Infeksi saluran nafas: pneumonia, TB Paru
Penyebab pneumonia pada DM biasanya: streptokokus, stafilokokus dan
bakteri batang gram negative. Infeksi jamur oleh aspergilus dan
mucormycosis.
Penderita DM rentan terjangkit TBC paru. Pemeriksaan rontgen dada
memperlihatkan pada 70% penyandang diabetes terdapat lesi paru bawah dan
kavitasi. Pada penyandang DM juga sering disertai dengan resistensi OAT.
Infeksi kulit: furunkel, abses
Kuman utama: stafilokokus. Lainnya: streptokokus, batang gram negative
dan kuman anaerob.
Infeksi rongga mulut: infeksi gigi dan gusi
Angka kejadian periodonsitis meningkat pada penyandang DM dan sering
menyebabkan tanggalnya gigi. Menjaga kebersihan mulut merupakan
langkah pencegahan utama.
Infeksi telinga: otitis eksterna maligna
2.10.3 DM pada TBC
DM merupakan salah satu faktor risiko terpenting dalam hal terjadinya
perburukan TB paru. Peningkatan prevalensi DM di Indonesia disertai dengan
peningkatan prevalensi TB paru. Peningkatan prevalensi ini cenderung lebih
tinggi seiring dengan bertambahnya usia.
Kemungkinan penyebab meningkatnya insiden tuberkulosis paru pada
pengidap diabetes dapat berupa defek pada fungsi sel-sel imun dan mekanisme
pertahanan pejamu. Mekanisme yang mendasari terjadinya hal tersebut masih
belum dapat dipahami hingga saat ini, meskipun telah terdapat sejumlah hipotesis
mengenai peran sitokin sebagai suatu molekul yang penting dalam mekanisme
pertahanan manusia terhadap TB. Selain itu, ditemukan juga aktivitas bakterisidal
leukosit yang berkurang pada pasien DM, terutama pada mereka yang memiliki
kontrol gula darah yang buruk. Meningkatnya risiko TB pada pasien DM
diperkirakan disebabkan oleh defek pada makrofag alveolar atau limfosit. T.
Wang et al. mengemukakan adanya peningkatan jumlah makrofag alveolar matur
(makrofag alveolar hipodens) pada pasien TB paru aktif. Namun, tidak ditemukan
33
perbedaan jumlah limfosit T yang signifikan antara pasien TB dengan DM dan
pasien TB saja. Proporsi makrofag alveolar matur yang lebih rendah pada pasien
TB yang disertai DM, seperti yang ditemukan dalam penelitian ini, dianggap
bertanggungjawab terhadap lebih hebatnya perluasan TB dan jumlah bakteri
dalam sputum pasien TB dengan DM.
Tatalaksana TB paru pada pasien dengan DM sama dengan yang tidak
menyandang DM, yakni pengobatan menggunakan OAT. Keadaan yang perlu
diperhatikan ialah pemberian rifampisin pada pasien DM yang menggunakan obat
oral antidiabetes, khususnya sulfonilurea karena dapat mengurangi efektivitas
obat tersebut dengan cara meningkatkan metabolisme sulfonilurea. Sehingga pada
pasien DM, pemberian sulfonilurea harus dengan dosis yang ditingkatkan.11
2.10.4 DM pada ACS
Diabetes (bersama-sama dengan abnormalitas lipid, merokok dan
hipertensi) adalah 1 dari 4 faktor risiko independen untuk terjadinya infark
miokard. Sekitar 15% sampai 35% dari pasien yang dirawat dengan sindrom
koroner akut (ACS) menyandang diabetes, dan sebanyak 15% lagi terdiagnosis
diabetes. Dibandingkan dengan individu tanpa diabetes, pasien dengan diabetes
memiliki:
- Peningkatan risiko 3 kali lipat untuk menderita ACS,
- Kejadian koroner akut 15 tahun lebih cepat,
- Peningkatan risiko kematian 2 kali lipat dalam jangka pendek dan jangka
panjang.
- Peningkatan insiden iskemik post-infark, gagal jantung dan syok kardiogenik
berulang.10
Skrining:
Pada pasien tanpa gejala, skrining rutin untuk penyakit arteri koroner (CAD) tidak
dianjurkan, asal faktor risiko diobati.
Tatalaksana:
- Pada pasien dengan CVD, pertimbangkan terapi dengan ACE-inhibitor dan
gunakan terapi aspirin dan statin (jika tidak ada kontraindikasi) untuk
mengurangi risiko kejadian kardiovaskular. Pada pasien yang sebelumnya
pernah mengalami MI, β-blocker harus dilanjutkan selama minimal 2 tahun
setelah serangan tersebut.
34
- Hindari pengobatan thiazolidinedione pasien dengan gejala gagal jantung.
- Metformin dapat digunakan pada pasien dengan CHF terkontrol, jika fungsi
ginjal normal. Penggunaan metformin harus dihindari pada pasien CHF yang
tidak atau dirawat di rumah sakit.6
2.10.5 DM pada Hiperkoagubilitas
Terapi aspirin 75-160 mg/hari diberikan sebagai strategi pencegahan
sekunder bagi penyandang diabetes dengan riwayat pernah mengalami penyakit
kardiovaskular dan yang mempunyai risiko kardiovaskular lain.
Aspirin tidak dianjurkan pada pasien dengan usia < 21 tahun seiring dengan
peningkatan kejadian sindrom Reye.8
2.11 PROGNOSIS
Ad vitam : dubia
Ad sanationam : ad malam
Ad functionam : dubia
35
BAB III
KESIMPULAN
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
keduanya. Diperkirakan bahwa sekitar 3,2 juta jiwa per tahun penduduk dunia meninggal
akibat DM. WHO memprediksi Indonesia, bahwa ada kenaikan dari 8,4 juta diabetisi pada
tahun 2000, akan meningkat menjadi sekitar 21,3 juta diabetes pada tahun 2030. Hal ini
akan menjadikan Indonesia menduduki rangking ke-4 dunia setelah Amerika Serikat,
China dan India dalam prevalensi diabetes.
Diagnosis dapat ditegakkan menggunakan kriteria ADA dengan parameter gejala
klinis, glukosa darah sewaktu, glukosa darah puasa, TTGO dan kadar HbA1C dalam
darah. Ada 4 pilar dalam penatalaksanaan DM, yaitu edukasi, nutrisi medik, latihan
jasmani dan farmakologis. Terapi farmakologis dapat menggunakan obat-obat antidiabetik
oral dan insulin. Diabetes dapat menimbulkan komplikasi berupa komplikasi akut dan
kronis. Jika penyandang DM dapat menerapkan 4 pilar penatalaksanaan DM dengan baik,
prognosis akan lebih baik dibandingkan dengan tidak terkontrol.
36
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Purnamasari D. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. In: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam 5th ed. Jakarta: Interna Publishing;2009. p.1880
2. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2008. Pedoman Pengendalian
Diabetes Melitus dan Penyakit Metabolik. Jakarta: Depkes RI;2008. p. 1
3. Maitra A. The Endocrine System. In: Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Mitchell
RN. Robbins Basic Pathology. 8th ed. China: Saunders Elsevier;2007. p.776-87
4. Powers AC. Diabetes Mellitus. In: Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E,
Hauser SL, Jameson JL, et al. Harrison’s Principles Internal Medicine. 17 th ed.
USA: McGraw-Hill;2008
5. Baumann GP. Diabetes Mellitus. In: Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald
E, Hauser SL, Jameson JL, et al. Harrison’s Manual of Medicine. 18 th ed. USA:
Mc-Graw Hill;2013. p.1137-44
6. American Diabetes Association. Standards of Medical Care in Diabetes-2013.
Diabetes care, Vol. 36, Suppl. I;2013
7. Soewondo P. Ketoasidosis Diabetik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 5 th ed. Jakarta:
Interna Publishing;2009. p.1906-7
8. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus: Pengelolaan dan Pencegahan
Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia. 2011
9. Sharma M, Gubitz GJ. Canadian Diabetes Association Clinical Practice Guidelines
Expert Committee: Clinical Practice Guidelines Management of Stroke in
Diabetes. Can J Diabetes 37 (2013) S124-S125
10. Tardif JC, L’Allier PL, Fitchett DH. Canadian Diabetes Association Clinical
Practice Guidelines Expert Committee: Management of Acute Coronary
Syndromes. Can J Diabetes 37 (2013) S119-S123
11. Cahyadi A, Venty. Tuberkulosis Paru pada Pasien Diabetes Mellitus. J Indon Med
Assoc, Vol: 61(4), April 2011
37