Top Banner
BAB I. PENDAHULUAN Sampai tiga-empat dekade yang lalu, penentuan saat kematian relatif sederhana. Seseorang yang sudah berhenti bernafas, tidak teraba denyut jantungnya, dinyatakan mati (Jacobalis, 1997). Namun dengan kemajuan teknologi medis sejak beberapa puluh tahun terakhir ini, saat ini fungsi vital dapat dipertahankan secara “buatan”, meskipun fungsi otak telah berhenti. Hal tersebut pada akhirnya berimplikasi terhadap definisi kematian secara medis, yang kemudian memunculkan suatu konsep kematian batang otak sebagai penanda kematian. Kematian didefinisikan sebagai hilangnya fungsi otak (Wijdicks, 2001). Brain death, atau dalam bahasa Indonesia disebut mati otak atau mati batang otak, meliputi hingga sekitar 50% dari semua kasus di Hongkong, dan 60% dari mati otak diakibatkan oleh perdarahan intrakranial. Sisanya disebabkan oleh tumor dan infeksi (Gunther et al., 2011), Di Amerika, penyebab utama brain death adalah cedera kepala dan perdarahan subarachnoid. Batang otak dapat mengalami cedera oleh lesi primer ataupun karena peningkatan tekanan pada kompartemen supratentorial atau infratentorial yang mempengaruhi suplai darah atau 1
38

Referat Brain Death

Dec 10, 2015

Download

Documents

Maps

Referat Brain Death
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Referat Brain Death

BAB I. PENDAHULUAN

Sampai tiga-empat dekade yang lalu, penentuan saat kematian

relatif sederhana. Seseorang yang sudah berhenti bernafas, tidak teraba

denyut jantungnya, dinyatakan mati (Jacobalis, 1997). Namun dengan

kemajuan teknologi medis sejak beberapa puluh tahun terakhir ini, saat ini

fungsi vital dapat dipertahankan secara “buatan”, meskipun fungsi otak

telah berhenti. Hal tersebut pada akhirnya berimplikasi terhadap definisi

kematian secara medis, yang kemudian memunculkan suatu konsep

kematian batang otak sebagai penanda kematian. Kematian didefinisikan

sebagai hilangnya fungsi otak (Wijdicks, 2001).

Brain death, atau dalam bahasa Indonesia disebut mati otak atau

mati batang otak, meliputi hingga sekitar 50% dari semua kasus di

Hongkong, dan 60% dari mati otak diakibatkan oleh perdarahan

intrakranial. Sisanya disebabkan oleh tumor dan infeksi (Gunther et al.,

2011), Di Amerika, penyebab utama brain death adalah cedera kepala

dan perdarahan subarachnoid. Batang otak dapat mengalami cedera oleh

lesi primer ataupun karena peningkatan tekanan pada kompartemen

supratentorial atau infratentorial yang mempengaruhi suplai darah atau

integritas struktur otak. Cedera hipoksia lebih mempengaruhi korteks dari

pada batang otak (Lazar et al., 2001)

Kriteria untuk Brain death atau mati otak sendiri berevolusi seiring

waktu. Pada tahun 1979, Mollaret dan Goulon memperkenalkan istilah

“irreversible coma” , untuk mendeskripsikan keadaan dari 23 orang pasien

yang berada dalam kondisi koma, kehilangan kesadaran, refleks batang

otak, respirasi, serta menunjukkan hasil elektroensefalogram yang datar.

Pada tahun 1988, komite ad hoc di Harvard Medical School meninjau

ulang definisi Brain death dan mendefinisikan koma ireversibel atau

kematian otak, sebagai tidak adanya respon dan reseptivitas, pergerakan

1

Page 2: Referat Brain Death

2

dan pernapasan, reflex batang otak, serta adanya koma yang

penyebabnya telah diidentifikasi. Pada tahun 1991, President’s

Commission for the Study of Ethical Problems in Medicine and Biomedical

and Behavioral Research mempublikasikan panduan berkaitan dengan

Brain death .Pada tahun 1996, The Conference of Medical Royal Colleges

di Inggris menyatakan bahwa Brain death adalah hilangnya fungsi batang

otak yang komplet dan ireversibel

Menurut Peraturan Pemerintah RI no 18 tahun 1991 tentang bedah

mayat klinis dan bedah mayat anatomis serta transplantasi alat atau organ

tubuh manusia, meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh

ahli-ahli kedokteran yang berwenang bahwa fungsi otak, pernapasan dan

denyut jantung seseorang telah berhenti. Diagnosis mati batang otak

(MBO) dan petunjuknya dapat dilihat pada pernyataan IDI tentang MBO.

Diagnosa MBO mempunyai 2 komponen utama. Komponen pertama

terdiri dari pemenuhan prasyarat-prasyarat dan komponen kedua adalah

tes klinis fungsi batang otak.

Konsep kematian batang otak akan menimbulkan implikasi yang

sangat kompleks, baik dari aspek bioetik, formulasi sosial, filosofi kultural

dan religius, maupun aspek hukum (Brocks, 1999). Karena itulah

diperlukan telaah yang baik mengenai definisi dan penegakan diagnosis

mati otak bagi seorang dokter.

Page 3: Referat Brain Death

3

Page 4: Referat Brain Death

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Mati

Thomas Furlow menyebutkan kematian sebagai suatu proses, yaitu

proses penarikan diri (process of withdrawl). Pada proses itu, manusia

dianggapnya menarik diri, berturut-turut dari kehidupan sosial, kemudian

dari kehidupan intelektual, dan terakhir dari kehidupan biologis. Sesuai

dengan hipotesisnya, maka kematian pun dbedakan menjadi kematian

sosial, kematian intelektual dan kematian biologis (Jacobalis, 1997).

Mati klinis adalah henti napas (tidak ada geraka napas spontan)

ditambah henti sirkulasi (jantung) total dengan semua aktivitas otak

terhenti, tetapi tidak ireversibel (Indries, 1997). Pada masa dini kematian

inilah, permulaan resusitasi dapat diikuti dengan pemulihan semua fungsi

organ vital termasuk fungsi otak nomal, asal diberikan terapi yang optimal.

Mati seluler (mati molekuler) atau mati biologis ialah suatu

kematian organ atau jaringan tubuh yang timbul beberapa saat setelah

kematian somatis. Mati biologis (kematian semua organ) selalu mengikuti

mati klinis bila tidak dilakukan resusitasi jantung paru (RJP) atau bila

upaya resusitasi dihentikan. Mati biologis merupakan proses nekrotisasi

semua jaringan. Daya tahan hidup masing-masing organ atau jaringan

berbeda-beda, sehingga terjadinya kematian seluler pada tiap organ tidak

bersamaan. Mati biologis dimulai dengan neuron otak yang menjadi

nekrotik setelah kira-kira 1 jam tanpa sikulasi, diikuti oleh jantung, ginjal,

paru, dan hati yang menjadi nekrotik selama beberapa jam atau hari

(Indriati et al., 2003).

Mati serebral (kematian kortek) adalah kematian akibat kerusakan

kedua hemisfer otak yang irreversible kecuali batang otak dan serebelum,

4

Page 5: Referat Brain Death

5

sedangkan kedua sistem lainnya yaitu sistem pernapasan dan

kardiovaskuler masih berfungsi dengan bantuan alat (Gunther et al., 2011)

Mati sosial (status vegetatif yang menetatap/ Persistent Vegetative

States) merupakan kerusakan berat ireversibel pada pasien yang tetap

tidak sadar dan tidak responsif, tetapi mempunyai elektroensefalogram

(EEG) aktif dan beberapa reflek yang utuh. Pada keadaan vegetatif

mungkin terdapat daur sadar-tidur (Widjick, 2001).

Brain death atau mati otak (MO, kematian otak total) adalah mati

serebral ditambah dengan nekrosis sisa otak lainnya, termasuk

serebelum, otak tengah, dan batang otak (Lazar et al., 2001).

2.2 Definisi Brain Death

Walaupun mudah dimengerti sebagai suatu konsep, namun

mendefinisikan kematian otak dalam kata-kata adalah sulit. Sampai saat

ini, terdapat beberapa definisi dari batang otak.

Definisi mati otak yang pertama adalah dari komite ad hoc Harvard

tahun 1968. Kematian otak didefinisikan oleh beberapa hal. Definisi

pertama, adanya otak yang tidak berfungsi lagi secara permanen, yang

ditentukan dengan tidak adanya resepsi dan respon terhadap rangsang,

tidak adanya pergerakan napas, dan tidak adanya refleks-refleks, yakni

respon pupil terhadap cahaya terang, pergerakan okuler pada uji

penggelengan kepala dan uji kalori, refleks berkedip, aktivitas postural

(misalnya deserebrasi), refleks menelan, menguap, dan bersuara, refleks

kornea, refleks faring, refleks tendon dalam, dan respon terhadap

rangsang plantar. Definisi yang kedua adalah data konfirmasi yakni EEG

yang iselektris. Kedua tes tersebut dilakukan ulang 24 jam setelah tes

pertama, tanpa adanya hipotermia (suhu kurang dari 32,2O C) atau

depresan sistem saraf pusat seperti barbiturat. Penentuan tersebut harus

dilakukan oleh seorang dokter (Jacobalis, 1997)

Pada panduan Australian and New Zealand Intensive Care Society

(ANZICS) yang dipublikasikan pada tahun 1993, mati otak didefinisikan

Page 6: Referat Brain Death

6

sebagai berhentinya semua fungsi otak secara ireversibel. Kematian otak

terjadi saat terjadi hilangnya kesadaran yang ireversibel, dan hilangnya

respon refleks batang otak dan fungsi pernapasan pusat secara

ireversibel, atau berhentinya aliran darah intrakranial secara ireversibel.

Menurut Uniform Determination of Death Act, yang dikembangkan

oleh National Conference of Commissioners on Uniform State Laws,

President’s Commission for the Study of Ethical Problems in Medicine and

Biomedical and Behavioral Research, seseorang dinyatakan mati otak

apabila mengalami (1) terhentinya fungsi sirkulasi dan respirasi secara

ireversibel, dan (2) terhentinya semua fungsi otak secara keseluruhan,

termasuk batang otak, secara ireversibel. Terhentinya fungsi sirkulasi dan

respirasi dinilai dari tidak adanya denyut jantung dan usaha napas, serta

pemeriksaan EKG dan uji apnea. Terhentinya fungsi otak dinilai dari

adanya keadaan koma serta hilangnya fungsi batang otak berupa

absennya refleks-refleks.

Definisi mati otak di Amerika (New York State De Department of

Health, 2005). kematian otak didefinisikan sebagai hilangnya semua

fungsi otak secara ireversibel, termasuk batang otak. Tiga temuan penting

dalam kematian otak adalah koma, hilangnya refleks batang otak, dan

apnea.

Di Indonesia, seorang pasien yang telah ditetapkan mengalami

kematian batang otak berarti secara klinis dan legal-formal telah

meninggal dunia. Hal ini seperti dituangkan dalam pernyataan IDI tentang

mati, yaitu dalam Surat Keputusan PB IDI No.336/PB IDI/a.4 tertanggal 15

Maret 1988 yang disusulkan dengan Surat Keputusan PB IDI

No.231/PB.A.4/07/90. Dalam fatwa tersebut dinyatakan bahwa seorang

dikatakan mati, bila fungsi pernafasan dan jantung telah berhenti secara

pasti atau irreversible, atau terbukti telah terjadi kematian batang otak

2.3 Etiologi

Page 7: Referat Brain Death

7

Penyebab kematian otak yang utama adalah sedera kepala

traumatic, cerebrovascular accidents, dan cedera hipoksik iskemi setelah

henti jantung. Waktu antara cedera ke diagnosis mati otak bervariasi dari

jam samapai beberapa hari, tergantung tingkat keparahan dan respon

terhadap terapi (Shemie et al., 2003).

Penyebab umum kematian otak lainnya termasuk, overdosis obat,

tenggelam, tumor otak primer, meningitis, pembunuhan dan bunuh diri.

Dalam kepustakaan lain, hipoglikemia jangka panjang disebut sebagai

penyebab kematian otak.

2.4. Patofisiologi

Patofisiologi penting terjadinya kematian otak adalah peningkatan

hebat tekanan intrakranial (TIK) yang disebabkan perdarahan atau edema

otak. Jika TIK meningkat mendekati tekanan darah arterial, kemudian

tekanan perfusi serebral (TPS) mendekati nol, maka perfusi serebral akan

terhenti dan kematian otak terjadi (Lazar, 2001).

Aliran darah normal yang melalui jaringan otak pada orang dewasa

rata-rata sekitar 50 sampai 60 mililiter per 100 gram otak per menit. Untuk

seluruh otak, yang kira-kira beratnya 1200 – 1400 gram terdapat 700

sampai 840 ml/menit. Penghentian aliran darah ke otak secara total akan

menyebabkan hilangnya kesadaran dalam waktu 5 sampai 10 detik. Hal

ini dapat terjadi karena tidak ada pengiriman oksigen ke sel-sel otak yang

kemudian langsung menghentikan sebagian metabolismenya. Aliran

darah ke otak yang terhenti untuk tiga menit dapat menimbulkan

perubahan-perubahan yang bersifat irreversibel (Guyton 1996).

Sedikitnya terdapat tiga faktor metabolik yang memberi pengaruh

kuat terhadap pengaturan aliran darah serebral. Ketiga faktor tersebut

adalah konsentrasi karbon dioksida, konsentrasi ion hidrogen dan

konsentrasi oksigen. Peningkatan konsentrasi karbon dioksida maupun

ion hidrogen akan meningkatkan aliran darah serebral, sedangkan

penurunan konsentrasi oksigen akan meningkatkan aliran (wilson, 1994).

Page 8: Referat Brain Death

8

Faktor-faktor iskemia dan nekrotik pada otak oleh karena

kurangnya aliran oksigen ke otak menyebabkan terganggunya fungsi dan

struktur otak, baik itu secara reversible dan ireversibel. Percobaan pada

binatang menunjukkan aliran darah otak dikatakan kritis apabila aliran

darah otak 23/ml/100mg/menit (Normal 55 ml/100mg/menit). Jika dalam

waktu singkat aliran darah otak ditambahkan di atas 23 ml, maka

kerusakan fungsi otak dapat diperbaiki. Pengurangan aliran darah otak di

bawah 8-9 ml/100 mg/menit akan menyebabkan infark, tergantung

lamanya. Dikatakan hipoperfusi jika aliran darah otak di antara 8 dan 23

ml/100 mg/menit.

Jika jumlah darah yang mengalir ke dalam otak regional tersumbat

secara parsial, maka daerah yang bersangkutan langsung menderita

karena kekurangan oksigen. Daerah tersebut dinamakan daerah iskemik.

Di wilayah itu didapati: 1) tekanan perfusi yang rendah, 2) PO2 turun, 3)

CO2 dan asam laktat tertimbun. Autoregulasi dan kelola vasomotor dalam

daerah tersebut bekerja sama untuk menanggulangi keadaan iskemik itu

dengan mengadakan vasodilatasi maksimal (Gunther et al., 2011).

Pada umumnya, hanya pada perbatasan daerah iskemik saja bisa

dihasilkan vasodilatasi kolateral, sehingga daerah perbatasan tersebut

dapat diselamatkan dari kematian. Tetapi pusat dari daerah iskemik

tersebut tidak dapat teratasi oleh mekanisme autoregulasi dan kelola

vasomotor. Di situ akan berkembang proses degenerasi yang ireversibel.

Semua pembuluh darah dibagian pusat daerah iskemik itu kehilangan

tonus, sehinga berada dalam keadaan vasoparalisis. Keadaan ini masih

bisa diperbaiki, oleh karena sel-sel otot polos pembuluh darah bisa

bertahan dalam keadaan anoksik yang cukup lama. Tetapi sel-sel saraf

daerah iskemik itu tidak bisa tahan lama. Pembengkakan sel dengan

pembengkakan serabut saraf dan selubung mielinnya (udem serebri)

merupakan reaksi degeneratif dini. Kemudian disusul dengan diapedesis

eritosit dan leukosit. Akhirnya sel-sel saraf akan musnah. Yang pertama

Page 9: Referat Brain Death

9

adalah gambaran yang sesuai dengan keadaan iskemik dan yang terakhir

adalah gambaran infark (Guyton 1996).

Adapun pada hipoglikemia, mekanisme yang terjadi sifatnya umum.

Hipoglikemia jangka panjang menyebabkan kegagalan fungsi otak.

Berbagai mekanisme dikatakan terlibat dalam patogenesisnya, termasuk

pelepasan glutamat dan aktivasi reseptor glutamat neuron, produksi

spesies oksigen reaktif, pelepasan Zinc neuron, aktivasi poli (ADP-ribose)

polymerase dan transisi permeabilitas mitokondria (Cryer, 2007).

2.5 Kriteria Brain Death

Pada tahun 1979 Mollaret dan Goulon memperkenalkan istilah

coma de passé (koma irreversibel) dalam menggambarkan 23 pasien

koma dengan hilangnya kesadaran, refleks batang otak, respirasi dan

dengan hasil elektroensefalogram yang mendatar. Pada tahun 1968,

sebuah komite Ad hoc pada Fakultas Kedokteran Harvard meninjau

kembali defenisi kematian otak dan kemudian diartikan sebagai koma

ireversibel atau kematian otak adalah tidak adanya respon terhadap

stimulus, tidak ada gerakan napas, tidak adanya refleks batang otak dan

koma yang penyebabnya sudah diketahui, kondisi tersebut menetap

sekurang-kurangnya 6 sampai 24 jam (Reis, 2007).

Pada tahun 1991 Mohandas dan Chou menggambarkan kerusakan

batang otak sebagai komponen penting dari kerusakan otak yang berat.

Konferensi perguruan tinggi Medical Royal dan fakultas-fakultas yang ada

di dalamnya di Kerajaan Inggris pada tahun 1996, menerbitkan sebuah

pernyataan mengenai diagnosis kematian otak dimana kematian otak

diartikan sebagai hilangnya fungsi batang otak secara lengkap dan

ireversibel.

Pernyataan ini memberikan pedoman yang termasuk di dalamnya

perbaikan dalam uji apnea dan memusatkan perhatian pada batang otak

sebagai pusat dari fungsi otak. Tanpa batang otak ini, tidak ada

kehidupan. Pada tahun 1981 komisi presiden untuk studi masalah etik

Page 10: Referat Brain Death

10

dalam kedokteran biomedis juga penelitian tentang perilaku menerbitkan

pedomannya. Dokumen tersebut merekomendasikan kegunaan tes

konfirmasi untuk mengurangi durasi waktu yang dibutuhkan untuk

observasi dan merekomendasikan periode 24 jam bagi pasien dengan

gangguan anoksia dan kemudian menyingkirkan syok sebagai syarat

untuk menentukan kematian otak (Doyle, 2007).

Akhir-akhir ini Akademi Neurologi Amerika memberikan kasus

berdasarkan bukti dan menyarankan adanya pemeriksaan-pemeriksaan

dalam praktek. Laporan ini secara spesifik mengarah kepada adanya

peralatan-peralatan pemeriksaan klinis dan tes konfirmasi validitas serta

adanya deskripsi tentang uji apnea dalam praktek. Sehubungan dengan

dibutuhkannya konsep kematian otak, maupun metode terstruktur suatu

diagnosis, beragam kriteria telah diterbitkan. Beberapa diantaranya:

1. Kriteria Harvard

Kunci perkembangan diagnosis kematian otak diterbitkan “Kriteria

Harvard”, kunci diagnosis tersebut adalah:

a. Tidak bereaksi terhadap stimulus noksius yang intensif

(unresponsive coma).

b. Hilangnya kemampuan bernapas spontan.

c. Hilangnya refleks batang otakdan spinal.

d. Hilangnya aktivitas postural seperti deserebrasi.

e. EEG datar.

Hipotermia dan pemakaian depresan seperti barbiturat harus

disingkirkan. Kemudian, temuan klinis dan EEG harus tetap saat

evaluasi sekurang-kurangnya 24 jam kemudian.

2. Kriteria Minnesota

Pengalaman klinis dengan menggunakan kriteria Harvard yang

disarankan mungkin sangat terbatas. Hal ini menyebabkan Mohandes

dan Chou mengusulkan “Kriteria Minnesota” untuk kematian otak. Yang

dihilangkan dari kriteria ini adalah tidak dimasukkannya refleks spinalis

Page 11: Referat Brain Death

11

dan aktivitas EEG (elektroensefalograf dan masih dipandang sebagai

sebuah pilihan pemeriksaan untuk konfirmasi), elemen kunci kriteria

Minnesota adalah

a. Hilangnya respirasi spontan setelah masa 4 menit pemeriksaan.

b. Hilangnya refleks otak yang ditandai dengan: pupil dilatasi,

hilangnya refleks batuk, refleks kornea dan siliospinalis,

hilangnya doll’s eye movement, hilangnya respon terhadap

stimulus kalori dan hilangnya refleks tonus leher.

c. Status penderita tidak berubah sekurang-kurangnya dalam 12

jam, dan

d. Proses patologis yang berperan dan dianggap tidak dapat

diperbaiki (Dimancescu, 2002).

Pertimbangan utama dalam mendiagnosis kematian otak adalah

sebagai berikut: 1) Hilangnya fungsi serebral, 2) hilangnya fungsi batang

otak termasuk respirasi spontan, dan 3) bersifat ireversibel. Hilangnya

fungsi serebral ditandai dengan berkurangnya pergerakan spontan dan

berkurangnya respon motorik dan vokal terhadap seluruh rangsang visual,

pendengaran dan kutaneus. Refleks-refleks spinalis mungkin saja ada

(Wijdicks, 2001) .

EEG merupakan indikator berharga dalam kematian serebral dan

banyak lembaga kesehatan yang memerlukan pembuktian Electro

Cerebral Silence (ECS), yang juga disebut EEG datar atau isoelektrik.

Dikatakan EEG datar apabila tidak ada perubahan potensial listrik

melebihi 2 mikroVolt selama dua kali 30 menit yang direkam setiap 6 jam.

Perlu ditekankan bahwa tidak adanya respon serebral dan EEG datar

tidak selalu berarti kematian otak. Akan tetapi, keduanya dapat terjadi dan

bersifat reversible pada keadaan hipotermia dan intoksikasi obat-obatan

hipnotik-sedatif (Reis, 2007).

Fungsi-fungsi batang otak dianggap tidak ada jika tidak terdapat

reaksi pupil terhadap cahaya, tidak terdapat refleks kornea, vertibulo-

ocular, orofaringeal atau trakea. Tidak ada respon deserebrasi terhadap

Page 12: Referat Brain Death

12

stimulus noksius dan tidak ada pernapasan spontan. Untuk kepentingan

dalam praktek, apnea absolut dikatakan terjadi pada pasien, jika pasien

tersebut tidak melakukan usaha untuk menolak penggunaan alat respirasi

setidaknya selama 15 menit. Sebagai tes akhir, pasien dapat dilepaskan

dari respirator lebih lama (beberapa menit) untuk memastikan bahwa

PCO2 arteri meningkat di atas ambang untuk merangsang pernapasan

spontan (Doyle, 2007).

Jika hasil pemeriksaan memperlihatkan bahwa semua fungsi otak

hilang, maka pemeriksaan harus diulang dalam waktu 6 jam untuk

memastikan bahwa keadaan pasien bersifat ireversibel. Jika riwayat dan

pengamatan komprehensif yang sesuai terhadap prosedur penggunaan

obat-obatan tidak ada, maka observasi selama periode 72 jam mungkin

dibutuhkan untuk memperoleh reversibilitas walaupun jarang terjadi dalam

praktek, studi perfusi serebral menunjukkan terhentinya sirkulasi

intrakranial secara sempurna menyebabkan terjadinya kematian otak

(Walton, 1997).

2.6 Penetapan Diagnosis Brain Death

Diagnosis kematian batang otak merupakan diagnosis klinis. Tidak

diperlukan pemeriksaan lain apabila pemeriksaan klinis (termasuk

pemeriksaan refleks batang otak dan tes apnea) dapat dilaksanakan

secara adekuat. Apabila temuan klinis yang sesuai dengan kriteria

kematian batang otak atau pemeriksaan konfirmatif yang mendukung

diagnosis kematian batang otak tidak dapat diperoleh, diagnosis kematian

batang otak tidak dapat ditegakkan (NYSDH, 2005).

Menegakkan diagnosis mati matang otak, meliputi tiga langkah,

yaitu (1) evaluasi etiologi dari cedera kepala berat dan mengekslusi

penyebab reversible; (2) penemuan 3 temuan klinis mati otak; (3)

konfirmasi test (Gunther et al., 2011).

Tiga temuan klinis dalam kematian otak adalah koma atau tidak

adanya respon, absennya refleks batang otak, dan apnea. (Doyle, 2007).

Page 13: Referat Brain Death

13

2.6.1 Koma atau tidak adanya respon.

Tidak ada respon pada rangsangan nyeri, dengan stimulasi nyeri

pada penekanan daerah supraorbita, sternum dan dasar kuku.

2.6.2 Absennya refleks batang otak.

a. Pupil.

Pengujian terhadap refleks pupil dilakukan dengan menguji

respon terhadap cahaya yang terang. Kematian otak akan

menunjukkan pupil yang berbentuk bulat, oval, ataupun ireguler.

Kebanyakan pupil pada pasien yang mengalami kematian otak

akan berada pada ukuran 4 hingga 6 mm, namun ukuran dapat

bervariasi dari 4 hingga 9 mm. Yang harus diperhatikan dalam

pengujian ini adalah bahwa banyak obat dapat mempengaruhi

ukuran pupil. Pemberian obat topikal di mata dan trauma kornea

atau bulbus okuli dapat menyebabkan abnormalitas ukuran pupil

dan menyebabkannya menjadi non reaktif.

b. Pergerakan okuler.

Gerakan okuler akan absen setelah dilakukan gerakan memutar

kepala da tes kalorik. Pengujian ini hanya dilaksanakan setelah

dipastikan tidak ada fraktur atau instabilitas dari servikal atau pada

pasien dengan cedera kepala. Pergerakan okuler dilihat dari dua

reflex, yaitu reflex okulosefalik dan tes kalori.

Reflex okulosefalik dirangsang dengan menggerakkan kepala

secara cepat dan tegas dari posisi tengah ke posisi 90 derajat kiri

dan kanan, pada orang normal akan menghasilkan deviasi mata ke

arah berlawanan dengan gerakan kepala. Pergerakan mata vertikal

juga diuji dengan melakukan fleksi leher. Pada kematian otak, tidak

akan ditemukan adanya pembukaan kelopak mata dan pergerakan

mata vertikal dan horizontal.

Page 14: Referat Brain Death

14

Rangsangan kalori adalah suatu tes yang menggunakan

perbedaan temperatur untuk mendiagnosa adanya kerusakan saraf

ke delapan. Jika terjadi kematian batang otak, maka tidak akan

muncul deviasi tonus dari mata sebagai resfleks terhadap

rangsangan yang diberikan. Posisi pasien tidur terlentang, dengan

kepala fleksi 30º, atau duduk dengan kepala ekstensi 60º. Tes ini

terdiri dari dua cara, yaitu tes kalori cara Kobrak dan tes kalori

bitermal. Untuk penegakan diagnosis mati otak, yang

direkomendasikan adalah tes kalori kobrak (UDD,1997).

Tes kalori cara kobrak menggunakan spuit 5 atau 10 mL, ujung

jarum disambung dengan kateter. Perangsangan dilakukan dengan

mengalirkan air es (0ºC), sebanyak 5 mL selama 20 detik ke dalam

liang telinga.Sebagai akibatnya terjadi transfer panas dari telinga

dalam yang menimbulkan suatu arus konveksi dalam endolimfe.

Hal ini menyebabkan defleksi kupula dalam kanalis yang sebanding

dengan gravitasi, dan rangsangan serabut-serabut aferennya.Suatu

cairan dingin yang dialirkan ke liang telinga kanan akan

menimbulkan nistagmus dengan fase lambat ke kanan.

Tes kalori bitermal ditemukan oleh Dick & Hallpike. Pada cara

ini dipakai 2 macam air, dingin dan panas. Suhu air dingin adalah

30ºC, sedangkan suhu air panas adalah 44ºC. Volume air yang

dialirkan ke dalam liang telinga masing-masing 250 mL, dalam

waktu 40 detik .Setelah air dialirkan, dicatat lama nistagmus yang

timbul.Setelah liang telinga kiri diperiksa dengan air dingin,

diperiksa telinga kanan dengan air dingin juga kemudian telinga kiri

dialirkan air panas, lalu telinga kanan.Pada tiap-tiap selesai

pemeriksaan (telinga kiri atau kanan atau air dingin atau air panas)

pasien diistirahatkan selama 5 menit. Tes kalori bitermal ini untuk

melihat dan membandingkan fungsi vestibuler.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan tes kalori

adalah adanya obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan

Page 15: Referat Brain Death

15

respon kalorik, yakni sedatif, aminoglikosida, antidepresan trisiklik,

antikolinergik, obat antiepilepsi, dan agen kemoterapi. Setelah

cedera kepala atau trauma fasial, edema kelopak mata atau

kemosis konjungtiva dapat menghambat pergerakan bola mata.

Bekuan darah atau serumen dapat juga mengurangi respon kalorik,

dan uji dilakukan ulang setelah pemeriksaan inspeksi langsung

tympanum. Fraktur basal dari tulang petrosus dapat menghilangkan

respon kalorik secara unilateral dan dapat diidentifikasi dengan

prosesus mastoideus yang ekimosis (FK Unhas, 2009).

c. Sensasi fasial dan respon motor fasial

Refleks kornea harus diuji dengan swab tenggorok. Refleks

kornea dan refleks rahang harus negatif. Wajah yang mengernyit

saat diberikan rangsang nyeri dapat diuji dengan memberikan

tekanan dalam dengan obyek tumpul pada dasar kuku, tekanan

pada daerah supraorbita, atau tekanan yang dalam pada kedua

kondilus setinggi sendi temporomandibuler.

Yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan ini adalah adanya

trauma fasial yang berat sehingga dapat mengganggu interpretasi

refleks batang otak.

d. Refleks faring dan trakhea

Respon tersedak, yang diuji dengan merangsang faring

posterior dengan laringoskop, harus absen. Tidak adanya refleks

batuk pada suction bronkhial juga harus tampak.

Dalam pemeriksaan ini, harus diperhatikan bahwa pada apsien

yang diintubasi secara oral, respon tersedak mungkin sulit untuk

diamati.

Page 16: Referat Brain Death

16

Gambar 2.1 Pemeriksaan reflex batang otak (Pandhita, 2005)

Manifestasi berikut terkadang tampak dan tidak boleh

diinterpretasikan sebagai bukti fungsi batang otak (AAN, 1995)

a. Gerakan spontan ekstremitas selain dari respon fleksi atau

ekstensi patologis

b. Gerakan mirip bernafas (elevasi dan aduksi bahu,

lengkungan punggung, ekspansi interkosta tanpa volume

tidal yang bermakna)

c. Berkeringat, kemerahan, takikardi

d. Tekanan darah normal tanpa dukungan farmakologis, atau

peningkatan mendadak tekanan darah

e. Tidak-adanya diabetes insipidus

f. Refleks tendo dalam, refleks abdominal superfisial, respon

fleksi triple

g. Refleks babinski

2.6.3 Apnea

Page 17: Referat Brain Death

17

Pada uji apnea, harus diperhatikan beberapa kondisi sebelum

dilakukannya pengujian. Persyaratan-persyaratan berikut ini harus

diperhatikan:

a. suhu inti ≥ 36,5o C

b. tekanan darah sistolik ≥ 90 mm Hg,

c. euvolemia (atau lebih baik apabila balans cairan positif selama

6 jam sebelum pemeriksaan),

d. eukapnea (atau apabila PCO2 arteri ≥ 40 mm Hg), dan

e. normoksemia (atau apabila PO2 arteri ≥ 200 mm Hg).

Tahapan-tahapan dalam melakukan tes apnea adalah sebagai

berikut:

a. Kondisi awal pasien adalah menggunakan ventilator, maka

pasang oksimetri, pre-oksigenasi dan observasi hingga syarat-

syarat terpenuhi

Pre-oksigenasi bertujuan untuk mencapai PO2 arteri ≥

200 mm Hg

Pre-oksigenasi bertujuan untuk mengeliminasi tumpukan

nitrogen, akselerasi transport oksigen, dan mengurangi

resiko hipoksik akibat dilakukannya tes apnea.

Pre-oksigenasi dilakukan selama 30 menit atau sampai

saat syarat terpenuhi (PO2 arteri arteri ≥ 200 mm Hg)

b. Lepas ventilator

c. Pasang nasal kanul setinggi karina dan berikan O2 100% 6-

8lpm

d. Selama proses pemberian O2 6-8lpm melalui nasal kanul, amati

dengan seksama pergerakan respirasi.

e. Setelah pemberian O2 6-8 lpm melalui nasal kanul selama 8-10

menit, pasang kembali oxymetri untuk mengukur PO2 dan

PCO2. Lalu hubungkan kembali dengan ventilator.

f. Bila saat tes apnea tekanan darah sistolik menjadi ≤90 mm Hg,

atau oksimeter pulsa menunjukkan desaturasi, atau terjadi

Page 18: Referat Brain Death

18

aritmia kardia, segera ambil sampel darah, dan lakukan analisa

gas darah arteri. Pasien pun segera di hubungkan kembali

dengan ventilator tanpa harus menunggu 8-10 menit untuk

meminimalisir terjadinya komplikasi tes apnea.

Interpretasi hasil tes apnea adalah:

Tes apnea disebut positif jika tidak ada pergerakan respirasi

dan kadar PCO2 arteri ≥60mmHg (atau terjadi peningkatan

PCO2 ≥20mmHg dari PCO2 awal untuk penderita dengan

riwayat hiperkarbia).

Tes apnea disebut negatif bila teramati adanya gerakan

respirasi.

Tes apnea disebut indeterminan apabila saat proses pemberian

O2 kanul terjadi aritmia atau hipotensi dan hasil BGA

menunjukkan PCO2 < 60 mm Hg, atau peningkatannya < 20

mm Hg. Pada hasil ini diperlukan tes konfirmasi untuk diagnosis

mati batang otak.

Bila tidak ada pergerakan respirasi, PCO2 kurang dari 60 mm

Hg, dan tidak ada aritmia kardia atau hipotensi signifikan, tes

dapat diulang 10 menit kemudian (Wijdicks, 1994. Wijdicks,

2001. Beterhealt,2000. Eduardo,2009).

Komplikasi yang dapat terjadi setelah dilakukannya tes apnea

adalah:

Asidosis (63%)

Hipotensi (24%)

Aritmia kardiak (3%)

Page 19: Referat Brain Death

19

Gambar 2.2. Tes Apnea (Pandhita, 2005)

2.6.4 Tes Konfirmasi

Diagnosis kematian batang otak merupakan diagnosis klinis. Tidak

diperlukan pemeriksaan lain apabila pemeriksaan klinis (termasuk

pemeriksaan refleks batang otak dan tes apnea) dapat dilaksanakan

secara adekuat. Beberapa pasien dengan kondisi tertentu seperti cedera

servikal atau kranium, instabilitas kardiovaskular, atau faktor lain yang

menyulitkan dilakukannya pemeriksaan klinis untuk menegakkan

diagnosis kematian batang otak, perlu dilakukan tes konfirmatif

(Widjicks,2001; NYSDH,2005.

Tes tambahan untuk konfirmasi kematian otak harus memenuhi

kriteria berikut:

a. Tidak boleh ada positif palsu, sehingga saat tes

mengkonfirmasi adanya kematian otak, maka tidak boleh ada

pasien yang sembuh atau memiliki potensi untuk sembuh.

b. Tes harus dapat berdiri sendiri dalam menegakkan apakah

kematian otak benar-benar terjadi atau tidak.

Page 20: Referat Brain Death

20

c. Tes tidak boleh dipengaruhi faktor yang dapat menyesatkan

seperti efek obat atau gangguan metabolik.

d. Tes harus distandarisasi dalam hal teknologi, teknik, dan

klasifikasi hasilnya.

e. Tes harus dapat diperoleh secara umum, aman, dan dengan

mudah dilakukan.

Kondisi-kondisi berikut dapat mempengaruhi diagnosis klinis

kematian batang otak, sedemikian rupa sehingga hasil diagnosis tidak

dapat dibuat dengan pasti hanya berdasarkan pada alasan klinis sendiri.

Pada keadaan ini pemeriksaan konfirmatif direkomendasikan (Widjicks,

2001):

a. Trauma spinal servikal berat atau trauma fasial berat

b. Kelainan pupil sebelumnya

c. Level toksis beberapa obat sedatif, aminoglikosida,

antidepresan trisiklik, antikolinergik, obat antiepilepsi, agen

kemoterapi, atau agen blokade neuromuskular

d. Sleep apnea atau penyakit paru berat yang mengakibatkan

retensi kronis CO2

Pemilihan tes konfirmatif yang akan dilakukan sangat tergantung

pada pertimbangan praktis, mencakup ketersediaan, kemanfaatan, dan

kerugian yang mungkin terjadi (Widjicks, 2001). Beberapa tes konfirmatif

yang biasa dilakukan antara lain:

a. Tes-tes tambahan yang ada saat ini terutama meliputi tes

elektrofisiologis (elektroensefalografi, potensial pacuan

somatosensorik dan potensial pacuan pendengaran batang

otak, dan respon pacuan motorik),

b. Tes aliran darah otak (angiografi serebri empat vasa, tes

kedokteran nuklir aliran darah otak, Doppler transkranial, MRI,

angiografi resonansi magnetik, dan pemeriksaan CT),

c. Pemeriksaan lainnya seperti pemeriksaan metabolisme,

pemeriksaan oksigen vena jugularis, dan tes atropin.

Page 21: Referat Brain Death

21

Saat dilakukan secara kontinyu, pemantauan elektroensefalografi

dapat menunjukkan supresi tegangan secara umum, yang dapat

menunjukkan pada klinisi adanya kematian otak. Namun, EEG telalu

anatomis, dan terbatas secara fisilogis. EEG merekam aktivitas hanya dari

lapisan korteks yan berada tepat di bawah kulit kepala dan tidak merekam

dari struktur subkorteks, seperti batang otak atau thalamus, dan hanya

memberikan cakupan yang terbatas dari permukaan cembung otak besar.

Lebih jauh lagi, tidak semua frekuensi EEG tertangkap sehingga dapat

memberikan hasil datar atau isoelektrik saat ada neuron yang masih hidup

di batang otak atau tempat lain. Hanya ada sedikit penelitian yang menguji

validitas dari EEG dalam kaitannya dengan kematian otak. EEG juga

memiliki kelemahan, dimana dapat terjadi gangguan dari faktor-faktor

yang dapat menyesatkan, seperti terjadinya gambaran yang datar atau

isoelektris saat terjadi overdosis barbiturat atau anestesi yang dalam,

dimana keduanya merupakan kondisi yang reversibel. Sehingga, pada tes

EEG dapat terjadi positif palsu maupun negatif palsu, membuat EEG

menjadi suatu tes yang jauh dari ideal untuk penentuan kematian otak

(Leis, 2007).

Saat diperlukan konfirmasi untuk penentuan kematian otak, tes

aliran darah ke otak dianggap lebih tepat. Tes yang menunjukkan

absennya aliran darah ke otak umumnya diterima sebagai penegakan

kematian otak yang memiliki kepastian, karena konsep bahwa apabila

otak tidak mendapatkan suplai darah selama periode waktu tertentu akan

mati sudah diyakini secara luas. Tentunya kondisi hipotermia dan

hipotensi transien yang reversibel harus disingkirkan. Kematian otak dapat

disertai dengan baik edema jaringan ataupun efek massa yang

menyebabkan tekanan intrakranial menjadi sama atau lebih dari tekanan

darah sistolik dan tekanan darah arteri rata-rata. Konsekuensinya, darah

tidak memasuki kompartemen intrakranial, atau hanya memasuki selama

sistol, mengakibatkan tidak terjadinya perfusi ke jaringan otak, sehingga

menyebabkan kematian sel neuron dan glia otak, tes aliran darah otak

Page 22: Referat Brain Death

22

memberikan metode yang dapat diterima dan dapat berdiri sendiri dalam

menegakkan kematian otak. Tes tersebut tidak disesatkan oleh obat,

gangguan metabolik, atau hipotermia. Syarat sebelumnya adalah bahwa

tekanan darah sistemik harus adekuat, dimana pasien tidak dalam kondisi

syok. Tes aliran darah otak meliputi angiografi empat vasa (karotis dan

vertebral), TCD, MRI, dan MRA, angiografi CT, dan tes kedokteran nuklir.

Tes yang lebih akurat untuk perfusi lebih dipilih, yakni angiografi dan CT

emisi foton tunggal (SPECT), dibandingkan dengan pencitraan sirkulasi

otak dua dimensi (Framnas et al., 2009).

.Tes perfusi jarang memberikan hasil negatif palsu, dimana

ditemukan perfusi struktur arteri atau vena pada pasien yang telah

dikonfirmasi mengalami kematian otak secara patologis dan klinis. Ini

terutama terjadi pada kondisi dimana tekanan intrakranial menurun akibat

mekanisme dekompresi, seperti kraniektomi dekompresif, fraktur

tengkorak, pintasan ventrikuler atau anak dengan tengkorak yang masih

rapuh. Negatif palsu tersebut jarang terjadi. Harus diingat bahwa adanya

aliran darah tidak serta merta mengeksklusi kemungkinan kematian otak.

Harus diingat bahwa dalam melakukan tes konfirmasi kematian otak,

negatif palsu tidak lebih bermasalah daripada positif palsu, karena lebih

berbahaya apabila seseorang secara keliru dinyatakan mengalami

kematian otak daripada bila seseorang dinyatakan tidak mati otak padahal

sesungguhnya telah terjadi kematian otak.

Tes yang menjadi standar emas tes konfirmasi kematian otak

adalah angiografi serebral empat vasa. Tes ini invasive dan harus

dilakukan dengan memndahkan pasien ke departemen radiologi.

Absennya pengisian darah intrakranial dari arteri karotis interna atau

vertebra harus didahului oleh tekanan intrakranial yang melebihi tekanan

darah arteri rata-rata. (Young et al. 2006)

Page 23: Referat Brain Death

23

New York State Department of Health (2005) menyebutkan

langkah-langkah yang diperlukan dalam penetapan kematian batang otak

adalah sebagai berikut:

a. Evaluasi kasus koma

b. Memberikan penjelasan kepada keluarga mengenai kondisi terkini

pasien

c. Penilaian klinis awal refleks batang otak

d. Periode interval observasi

1. sampai dengan usia 2 bulan, periode interval observasi 48 jam

2. usia lebih dari 2 bulan sampai dengan 1 tahun, periode interval

observasi 24 jam

3. usia lebih dari 1 tahun sampai dengan kurang dari 18 tahun,

periode interval observasi 12 jam

4. usia 18 tahun ke atas, periode interval observasi berkisar 6 jam

e. Penilaian klinis ulang refleks batang otak

f. Tes apnea

g. Pemeriksaan konfirmatif bila ada indikasi

h. Persiapan akomodasi yang sesuai

i. Sertifikasi kematian batang otak

j. Penghentian penyokong kardiorespirasi

2.7 Diferensial Diagnosis

Status vegetative menetap ( Persistent Vegetative States ) . Keadaan

ini berbeda dengan mati otak. Fungsi batang otak masih baik. Pada PVS

yang diperkirakan hilang adalah fungsi neokortikal dari otak. Pasien masih

dapat bernafas spontan dan reflex-reflex masih ada. Pasien tidak

sadarkan diri dengan mata terbuka dan pupil melebar. Pada PVS kriteria

Harvard tidak terpenuhi. Pasien PVS masih hidup secara biologis, tetapi

secara intelektual dan sosial sudah mati. Kemungkinan pulih ke keadaan

normal sangat sulit, hanya satu banding seribu (Jacobalis, 1997).

Page 24: Referat Brain Death

24

2.8 Tindakan terhadap Pasien Mati Otak

Tidak ada lagi yang dapat dilakukan pada pasien dengan mati otak

(Jacobalis, 1997). Pasien dengan mati otak adalah manusia yang sudah

mati, Brain death is death. Mati adalah kematian batang otak, sekalipun

elektrokardiografi masih menunjukkan ritme normal (Indries, 1997).

Jika semua criteria mati otak sudah terpenuhi, maka ventilator dan

alat pendukung hidup lainnya dapat dilepas. Dengan begitu, dokter dan

rumah sakit tidak dituntut melakukan pembunuhan. Untuk negara dengan

tindakan transpalntasi yang telah berkembang pesat, diagnosis mati otak

diusahakan secepat mungkin agar organ yang ada pada pasien tersebut

dapat digunakan untuk keperluan transplantasi calon resepien (Jacobalis,

1997).

Page 25: Referat Brain Death

25

Page 26: Referat Brain Death

BAB III. KESIMPULAN

Berbagai teknik yang ditemukan untuk mempertahankan detak

jantung dan pernapasan walaupun pasien telah mati telah memunculkan

persepsi baru tentang definisi kematian sebagai hilangnya fungsi otak dan

bukan fungsi jantung dan paru, dimana kematian dapat ditentukan

berdasarkan kriteria neurologis.

Kriteria untuk kematian otak sendiri berevolusi seiring waktu.

Kematian otak didefinisikan sebagai hilangnya semua fungsi otak secara

ireversibel, termasuk batang otak. Tiga temuan penting dalam kematian

otak adalah koma, hilangnya refleks batang otak, dan apnea. Pada

pasien, perlu diperiksa kondisi-kondisi serta kriteria eksklusi. Karena

umumnya mati otak disebabkan oleh cedera kepala berat, maka perlu

ditemukan kondisi cedera otak berat yang konsisten dengan proses

terjadinya kematian otak, tidak bernafas secara spontan, dan hasil yang

negatif pada pemeriksaan refleks-refleks batang otak. Saat ini masih

banyak kontroversi berkaitan dengan penentuan kematian otak, karena

masih kurangnya literatur atau panduan yang berbasis bukti.

26

Page 27: Referat Brain Death

27

DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Neurology. 1995. Practice parameters for determining brain death in adults (summary statement), Neurology. 45(5):1012-4 Brock DW. 1999. The role of the public in public policy on the definition of death, in: Youngner SJ, Arnold RM, Schapiro R, eds. The definition of death: contemporary controversies. Baltimore: Johns Hopkins University PressFrampas, Videcoq, Kerfiller, Ricolfi. 2009. CT Angiography for Brain Death Diagnosis. Am J Neuroradiol 30:1566-1570Gunther et al. 2011. Determination of Brain Death: An Overview with a Special Emphasis on New Ultrasound Techniques for Confirmatory Testing. The Open Critical Care Medicine Journal,4: 35-43Guyton AC, Hall JE. 1996. Aliran darah serebral, cairan serebrospinal, dan metabolisme otak. dalam: Buku ajar fisiologi kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; hal.975-83.Indriati, Etty. 2003. Mati: Tinjauan Klinis dan Antropologi Forensik. Berkala Ilmu Kedokterran 35(4): 231-239Jacobalis, Samsi. 1997. Hidup dan Kehidupan Manusia. Ebers Papyrus. 3 (1): 33-46Lazar, Shemie, Webster, Dickens. 2001. Bioethics for clinicians: Brain death. CMAJ. 164(6):833-836Luhulima JW. 2002. Anatomi III susunan saraf pusat jilid II. Makassar : bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin; hal.1-2Mardjono M, Sidharta P. 2004. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat; hal.280.New York State Department of Health and New York State Task Force on Life and The Law. 2011. Guidelines for Determining Brain Death, Department of Health, New York New York State Department of Health. 2005. Guidelines for Determining Brain Death, Department of Health, New York Pernyataan Ikatan Dokter Indonesia tentang mati. Surat Keputusan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia SK PB IDI No.336/PB IDI/a.4 tertanggal 15 Maret 1988 Pernyataan Ikatan Dokter Indonesia tentang mati. Surat Keputusan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia SK PB IDI No.231/PB.A.4/07/90 Shemie, Doig, Baletsky. 2003. Advancing toward a modern death: the path from severe brain injury to neurological determination of death. CMAJ. 168(8): 993-995Taveras JM, Wood EH. 1997. Diagnostic neuroradiology volume II. 2nd ed. Baltimore : The William & Wilkins Company; p.650-1.

Page 28: Referat Brain Death

28

Walton JN. 1977. Brains Diseases of the nervous system. 8th ed. New York: Oxford University Press..p.1169-70.Wijdicks. 2001. Current Concepts, The Diagnosis of Brain Death, N Engl J Med. 344 (16) Wilson LM. 1994. Sistem Saraf Dalam Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi Kedua. Jakarta: EGC; hal.902.