Top Banner
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angiofibroma nasofaring (angiofibroma nasopharynx/nasopharyngeal angiofibroma) adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologik jinak namun secara klinis bersifat ganas karena mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak (cranial vault), serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan. 1 Jinak tetapi merupakan tumor pembuluh darah lokal yang agresif dari anak atau remaja laki-laki, pernah juga dilaporkan pada perempuan tetapi sangat jarang. Itulah sebabnya tumor ini disebut juga angiofibroma nasofaring belia (“Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma”). Tetapi istilah juvenile ini tidak sepenuhnya tepat karena neoplasma ini kadang ditemukan juga pada pasien yang lebih tua. 1 Sebutan lain untuk angiofibroma di dalam literatur antara lain: juvenile angiofibroma, juvenile nasopharyngeal angiofibroma, nasal cavity tumor,nasal tumor, benign nasal tumor, tumor hidung (nose tumor), nasopharyngeal tumor, angiofibroma nasofaring belia. Sekarang ada kesepakatan bersama bahwa ini semata-mata penyakit dari laki-laki dan umur rata- rata yang terkena sekitar 14 tahun. Jaraknya,
31

Referat Anj Tht

Feb 16, 2016

Download

Documents

Leroy Christ

ddd
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Referat Anj Tht

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Angiofibroma nasofaring (angiofibroma nasopharynx/nasopharyngeal

angiofibroma) adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologik jinak

namun secara klinis bersifat ganas karena mendestruksi tulang dan meluas ke

jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak (cranial

vault), serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan.1

Jinak tetapi merupakan tumor pembuluh darah lokal yang agresif dari anak

atau remaja laki-laki, pernah juga dilaporkan pada perempuan tetapi sangat jarang.

Itulah sebabnya tumor ini disebut juga angiofibroma nasofaring belia (“Juvenile

Nasopharyngeal Angiofibroma”). Tetapi istilah juvenile ini tidak sepenuhnya

tepat karena neoplasma ini kadang ditemukan juga pada pasien yang lebih tua. 1

Sebutan lain untuk angiofibroma di dalam literatur antara lain: juvenile

angiofibroma, juvenile nasopharyngeal angiofibroma, nasal cavity tumor,nasal

tumor, benign nasal tumor, tumor hidung (nose tumor), nasopharyngeal tumor,

angiofibroma nasofaring belia. Sekarang ada kesepakatan bersama bahwa ini

semata-mata penyakit dari laki-laki dan umur rata-rata yang terkena sekitar 14

tahun. Jaraknya, bervariasi antara umur 7 dan 19 tahun. Angiofibroma Nasofaring

jarang pada pasien lebih dari 25 tahun. Jika remaja putri didiagnosis JNA, maka

sebaiknya menjalani pemeriksaan kromosom atau diagnosis JNA akan terus

dipertanyakan.1,2

Walapun angiofibroma merupakan tumor jinak yang paling sering pada

nasofaring, tetapi jumlahnya kurang dari 0,05% dari tumor kepala

danleher.Insiden dari angiofibroma tinggi dibeberapa bagian dari belahan dunia,

seperti pada Timur Tengah dan Amerika. Rata-rata setiap tahunnya dari satu atau

dua pasien untuk 2000 pasien yang diobati pada Head and Neck Service of The

Memorial Hospital, New York. Di London, tercatat satu kasus JNAper 15000

pasien pada Royal National Throat, Nose and Ear Hospital dimana didapat

kesimpulan bahwa lebih sedikit angiofibroma di London dibanding di New York.

Page 2: Referat Anj Tht

2

Dilaporkan insiden JNA banyak terjadi di Mesir dan India. Insiden rata-rata JNA

adalah 1 dari 5000-60.000 kasus THT.

Tumor ini tidak berkapsul dan sangat vaskuler namun tidak bermetastasis. Eksisi

JNA yang tidak sempurna dapat menyebabkan rekurensi. Walaupun begitu pada

eksisi yang sempurnapun masih meninggalkan sisa jaringan tumor mikroskopik. 3

Gejala klinik yang dapat ditemukan pada juvenile angiofibroma nasofaring

dapat berupa hidung tersumbat (80-90%), merupakan gejala yang paling sering,

diikuti epistaksis (45-60%) yang kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala

(25%) khususnya bila sudah meluas ke sinus paranasal, pembengkakan wajah (10-

18%). Gejala lain seperti anosmia, rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum

serta deformitas pipi juga dapat ditemukan pada penderita angiofibroma

nasofaring. Angiofibroma nasofaring sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus

sangat hati-hati karena sentuhan jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan

perdarahan yang ekstensif. Diagnosis angiofibroma nasofaring ditegakkan

berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologis. Trias

gejala dan tanda klinis dari tumor ini adalah epistaksis masif berulang, sumbatan

hidung dan massa di nasofaring sangat mendukung kecurigaan adanya

angiofibroma nasofaring. 2,3

1.2 Tujuan Penulisan

Ada beberapa tujuan dari penulisan referat ini yaitu untuk mengetahui

pengertian dari Angiofibroma Nasofaring Juvenile, mengetahui penyebab

Angiofibroma Nasofaring Juvenile, mengetahui lokasi Angiofibroma Nasofaring

Juvenile, mengetahui histopatologi Angiofibroma Nasofaring

Juvenile,mengetahui patogenesis Angiofibroma Nasofaring Juvenile, mengetahui

tanda dan gejala klinis Angiofibroma Nasofaring Juvenile, mengetahui

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang Angiofibroma Nasofaring Juvenile,

dan mengetahui penatalaksaan dari Angiofibroma Nasofaring Juvenile

Page 3: Referat Anj Tht

3

1.3 Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan referat ini Bagi Masyarakat adalah Masyarakat dapat

memperoleh tambahan wawasan mengenai Angiofibroma Nasofaring Juvenile

dan bagi Instansi Pelayanan Kesehatan Hasil penulisan referat ini dapat

dijadikan sebagai masukan dan menambah kepustakaan tentang Angiofibroma

Nasofaring Juvenile, penanganannya agar dapat diteliti dan dikembangkan

lebih lanjut. Sedangkan manfaat bagi penulis adalah untuk mengembangkan

wawasan, menyumbangkan pengetahuan guna menyempurnakan ilmu

pengetahuan dan teknologi yang sudah ada di bidang kedokteran khususnya

tentang Angiofibroma Nasofaring Juvenile.

Page 4: Referat Anj Tht

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Nasofaring

Ruang nasofaring yang relatif kecil mempunyai hubungan yang erat

dengan beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting. Nasofaring

berhubungan dengan rongga hidung di anterior melalui koana, dan orofaring di

bagian inferior melalui bagian terbawah dari palatum molle.Sedangkan di bagian

superior dan posterior, nasofaring berhubungan dengan korpus vertebra. Tuba

eustachius memasuki nasofaring di sebelah lateralnya, dan bagian superior dan

posterior muara tuba ini ditutupi oleh kartilago, yang disebut sebagai torus

tubarius. Fossa Rosenmuller (lateral dari resesus nasofaring) terletak di bagian

superior dan posterior torus tubarius dan merupakan predileksi dari karsinoma

nasofaring seperti yang terlihat pada gambar 2.1. Banyak terdapat foramen kranial

yang membawa struktur syaraf dan pembuluh darah penting yang terletak di dekat

nasofaring. Nasofaring diliputi oleh mukosa yang terdiri atas epitel squamous

kompleks atau epitel kolumner pseudokompleks.4

Gambar 2.1 Anatomi nasofaring

Sumber : (J. Rubin et al, 1960)

Page 5: Referat Anj Tht

5

2.2 Definisi

Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara

histologik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan

mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal,

pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan.1,2

2.3 Etiologi

Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori banyak

dikemukakan. Namun teori yang paling dapat diterima adalah bahwa JNA berasal

dari sex steroid-stimulated hamartomatous tissue yang terletak di turbinate

cartilage. Pengaruh hormonal yang dikemukakan ini dapat menjelaskan mengapa

beberapa JNA jarang terjadi (ber-involute) setelah masa remaja (puberty). Banyak

bukti memperlihatkan secara langsung adanya reseptor seks-hormon, seperti

Reseptor Androgen (RA), Reseptor Estrogen (RE), dan Reseptor Progesteron

(RP), pada tumor ini. Bukti ini secara langsung memperlihatkan bahwa reseptor

hormone seks muncul pada angiofibroma dengan menggunakan teknik sensitive

immunocytochemical dan mencatat populasi sel yang memperlihatkan reseptor

tersebut. 24 angiofibroma nasofaring diperoleh dari penyimpanan jaringan, dan

studi imunositokimia menunjukkan dengan antibodi pada RA, RP, dan RE.

Stromal positif dan nukleus endotelial immunostaining, menunjukkan adanya RA

pada 75% dari 24 kasus, 8,3% positif antibodi RP dan negatif dengan antibodi

dengan RE. Hasil membuktikan langsung adanya antibodi dari reseptor androgen

pada angiofibroma. 3,4

Penelitian lain menunjukkan adanya faktor pertumbuhan yang memediasi

proliferasi agresif sel stromal dan angiogenesis. Transforming Growth Factor-1

(TGF-1) atau faktor pertumbuhan pengubah-1 adalah polipeptida yang

disekresikan dalam bentuk inaktif, dipecah untuk menghasilkan bentuk aktif, dan

kemudian tidak diaktifkan dalam jaringan. Transforming Growth Factor-1(TGF-

1) mengaktifkan proliferasi fibroblas dan dikenal sebagai induksi angiogenesis.

Transforming Growth Factor-1(TGF-1)aktif diidentifikasi pada sel nukleus

stromal dan sitoplasma dan pada endotelium kapiler pada semua spesimen

Angiofibroma Nasofaring Juvenile (JNA).3,4

Page 6: Referat Anj Tht

6

Growth factor yang mirip dengan insulin II (IGFII) adalah protein

perangsang pertumbuhan yang terlibat dalam pertumbuhan janin. Growth factor

yang mirip dengan insulin II (IGFII)ditemukan bersamaan dengan pertumbuhan

jaringan tumor pada 53 % dari pasien JNA. Ini juga membuktikan bahwa gen

IGFII mungkin terlibat pada pertumbuhan tumor JNA. 3,4

Hubungan kausal sudah pernah dilaporkan antara JNA dengan familiar

adenomatous polyposis syndrome (FAP). Sindrom ini adalah suatu kondisi

autosomal dominan yang ditandai dengan beberapa adenoma di traktus

gastrointestinal, kecenderungan terjadinya adenokarsinoma dan keganasan-

keganasan lain di ekstrakolon. JNA merupakan salah satu maifestasi FAP

ekstrakolon dengan JNA yang terjadi dengan frekuensi 25 kali lebih tinggi pada

pasien dengan sindrom ini. 3,4

Pengetahuan tentang patologi dari JNA sudah mulai diteliti sejak beberapa

dekade yang lalu. Dengan kemajuan di bidang studi anatomipatologik masih

sedikit penelitian mengenai aspek genetik dan molekular dari JNA. Kebanyakan

penelitian tentang genetika JNA memberikan hasil yang tidak bisa disimpulkan

atau tidak menambah banyak informasi tambahan terhadap pengetahuan tentang

tumor tersebut. 3,4

2.4 Lokasi

Lokasi dari tumor masih menjadi perdebatan. Awalnya dikira muncul dari

akar nasofaring atau dinding anterior dari tulang sfenoid tetapi sekarang dipercaya

muncul dari bagian posterior dari kavum nasi dekat dengan tepi dari foramen

sphenopalatina. Dari sini tumor bertumbuh masuk kedalam kavum nasi,

nasofaring dan kedalam fossa pterygopalatina, berjalan dibelakang dinding

posterior dari sinus maksillaris dimana menekan kedepan dari pertumbuhan

tumor.5

Page 7: Referat Anj Tht

7

2.5 Histopatologi

Secara makroskopik, angiofibroma nampak keras, berlobulasi

membengkak agak lembut, menyesuaikan dengan peningkatan umur. Warnanya

bervariasi dari merah muda sampai putih. Bagian yang terlihat di nasofaring dan

karena itu dibungkus oleh membran mukous tetap berwarna merah muda,

sedangkan bagian yang keluar ke daerah yang berdekatan ekstrafaringeal sering

berwarna putih atau abu-abu. Secara histologik, angiofibroma kebanyakan terdiri

dari jaringan fibrosa padat menyisipkan dengan pembuluh darah dari ukuran

bervariasi dan konfigurasi. 6

Pembuluh darah biasanya mudah pecah dan dilapisi oleh lapisan tunggal

dari endotelium. Karena dindingnya hanya dari lapisan elastik dan lapisan otot

halus, pembuluh darah ini tidak dapat mengalami vasokonstriksi ketika terjadi

trauma, menyebabkan perdarahan yang berlimpah. 6,7

Tumor yang berlangsung lama, cenderung kearah penekanan perlahan dari

sinusoid, jadi batas endotelial sel terdorong saling berlawanan arah seperti kabel,

sementara lainnya terjadi trombosis intravaskular. Komponen fibrosa biasanya

padat dan seluler. Sel stromal, yang melambangkan fibroblas dan atau

miofibroblas, mengelilingi pada nukleus stellata dan kadang-kadang, nekleolus

prominent. Mitosis tidak ada. Mikroskop elektron memperlihatkan karakteristik

dari granula kromatin padat terdistribusi dalam nukleus dari fibroblas. 6,7

Pada gambar 2.2 terdapat gambar reseksi pasca operasi dari JNA. Tampak

sebuah massa yang besar, tidak bertangkai (sessile), berwarna kemerahan yang

sebelumnya berada dalam nasofaring. JNA juga dapat berbentuk bertangkai

(pedunculated) atau polypoid 6

Gambar 2.2

Sumber :(B. Schick., 2005)

Page 8: Referat Anj Tht

8

Kemudian pada gambar 2.3 merupakan Gambaran histologis dari JNA.

Pada gambar tersebut tampak gambaran fibrosit berbentuk bintang (tanda *)

dalam stroma jaringan ikat, dan pembuluh darah berdinding tipis (tanda panah) 6

Gambar 2.3

Sumber : (B. Schick., 2005)

2.6 Patogenesis

Permukaan tumor dilapisi oleh mukosa yang dibawahnya terdapat

anyaman pembuluh darah. Massa tumor terdiri dari jaringan ikat padat dan

gumpalan sel serta terisi pembuluh vena lebar yang menumpuk di bagian pinggir.

Tumor ini tidak bermetastasis tetapi dapat tumbuh mendesak, dapat menginvasi

orbita, sinus paranasal, fossa pterigoid dan temporal atau ke ruang intrakranial.

Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan lateral

koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas dibawah mukosa

sepanjang atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke arah

bawah membentuk tonjolan massa diatap rongga hidung posterior. Perluasan ke

arah anterior akan mengisi rongga hidung, mendorong septum ke sisi kontralateral

dan memipihkan konka. Pada perluasan kearah lateral, tumor melebar kearah

foramen sfenopalatina, masuk ke fisura pterigomaksila dan akan mendesak

dinding posterior sinus maksila. Bila meluas terus, akan masuk ke fossa

intratemporal yang akan menimbulkan benjolan di pipi, dan “rasa penuh” di

wajah. Apabila tumor mendorong salah satu atau kedua bola mata maka akan

tampak gejala yang khas pada wajah, yang akan disebut “muka kodok”.8

Page 9: Referat Anj Tht

9

Perluasan ke intrakranial dapat terjadi melalui fossa infratemporal dan

pterigomaksila masuk ke fossa serebri media. Dari sinus ethmoid masuk ke fossa

serebri anterior atau dari sinus sfenoid ke sinus kavernosus dan fossa hipofise.8

2.7 Gejala klinik

Gejala yang sering ditemukan adalah sumbatan hidung yang progresif (80-

90% kasus) dan epistaksis berulang yang masif (45-60% kasus). Timbul rinorea

kronik diikuti gangguan penciuman, rinolalia, dan anosmia. Tuli atau otalgia

akibat oklusi pada tuba eustachius, dan dapat terjadi otitis media. Sefalgia hebat

terjadi bila tumor sudah meluas ke intrakranial. Dapat pula menyebabkan

deformitas pada muka, disfagi, proptosis dan gangguan visus. Gejala-gejala dini

adalah kongesti dari sumbatan hidung dengan disertai perdarahan. Perdarahan ini

kadang-kadang merupakan komplikasi berat. Suara menjadi datar atau “mati”,

pernafasan dan proses menelan terhalang jika proses berlanjut. Pada stadium

lanjut timbul rasa nyeri dan sekret muko purulen. Jika pertumbuhan tumor

mencapai besar tertentu, maka wajah seperti “muka kodok” jelas terlihat, tulang

maksila merenggang dan tampak eksopthalmus yang menonjol. Sering disertai

“aprosexsia” dan rasa ngantuk.7,8

Gejala lanjut meningkat lebih berat sesuai dengan makin besarnya tumor,

sampai penyerapan jaringan tulang meningkat, kecuali jika tumor meluas ke luar

rongga hidung atau faring, seperti misalnya ke rongga intrakranial. Pada keadaan

ini nekrosis akibat penekanan tulang tidak terlalu besar.7

2.8 Tanda

a. Tampak massa merah keabu-abuan yang terlihat jelas di faring nasal

posterior; nonencapsulated dan seringkali berlobus (lobulated); dapat

tidak bertangkai (sessile) atau bertangkai (pedunculated). Angka kejadian

massa di hidung (nasal mass) ini mencapai 80%.8

b. Mata menonjol (proptosis), langit-langit mulut yang membengkak (a

bulging palate), terdapat massa mukosa pipi intraoral (an intraoral buccal

mucosa mass), massa di pipi (cheek mass), atau pembengkakan zygoma

(umumnya disertai dengan perluasan setempat). Angka kejadian massa di

rongga mata (orbital mass) ini sekitar 15%, sedangkan angka kejadian

untuk mata menonjol (proptosis) sekitar 10-15%.8

Page 10: Referat Anj Tht

10

c. Tanda lainnya termasuk: otitis serosa karena terhalangnya tuba eustachius,

pembengkakan zygomaticus, dan trismus (kejang otot rahang) yang

merupakan tanda bahwa tumor telah menyebar ke fossa infratemporal.

Juga terdapat penurunan penglihatan yang dikarenakan optic nerve tenting,

namun hal ini jarang terjadi. 8

Pada gambar 2.4 tampak foto seorang anak dengan JNA. Perhatikan

penonjolan mata dan bagian tengah wajahnya karena penekanan dari tumor.6

Gambar 2.4.

Sumber : (B. Schick., 2005)

2.9 Diagnosis

2.9.1 Anamnesis

Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang

seperti x-foto polos, Computed Tomography Scan, angiografi atau Magnetic

Resonance Imaging. Gejala yang paling sering ditemukan (>80%) ialah

hidung tersumbat yang progresif dan epistaksis yang berulang dan masif,

infeksi sekunder dapat terjadi pada ruangan di belakang hidung akibat

Page 11: Referat Anj Tht

11

berkurangnya drainase di tempat tersebut. Gejala-gejala lain muncul

tergantung dari luasnya tumor dan arah pembesarannya.4

2.9.2 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi posterior akan terlihat massa

tumor yang konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu sampai

merah muda. Bagian tumor yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh

selaput lendir berwarna keunguan, sedangkan bagian yang meluas ke luar

nasofaring berwarna putih atau abu-abu. Pada usia muda warnanya merah

muda, pada usia yang lebih tua warnanya merah hingga kebiruan, karena

lebih banyak komponen fibromanya. Mukosanya mengalami

hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan adanya ulserasi.4

2.9.2 Pemeriksaan Penunjang

A. Laboratorium

Anemia yang kronis merupakan keadaan yang sering ditemukan

pada keadaan ini.9

B. Biopsi

Pada pemeriksaan histologis, ditemukan jaringan serabut yang

telah dewasa/matang (mature fibrous tissue) yang mengandung

bermacam-macam pembuluh darah yang berdinding tipis. Pembuluh-

pembuluh darah ini dilapisi dengan endothelium, namun mereka

kekurangan elemen-elemen otot yang dapat berkontraksi secara normal.

Inilah yang dapat menjelaskan tentang kecenderungan terjadi

perdarahan. 9

Karena karakteristik klinis dan gambaran radiografi mungkin

banyak klinisi yang merasa perlu untuk melakukan biopsi. Akan tetapi

biopsi dari lesi JNA dapat mengakibatkan perdarahan hebat.

Kebanyakan kasus dari angiofibroma nasofaring juvenile tidak

dianjurkan untuk biopsi sebelum reseksi defenitif. Walaupun

didapatkan gambaran radiologis yang klasik, bagaimanapun, tidak ada

tanda absolut dari angiofibroma. Jika tumor atipikal atau jika gambaran

klinik tidak biasa, seharusnya dipertimbangkan untuk biopsi sebelum

Page 12: Referat Anj Tht

12

tumor direseksi. Bila diperlukan, biopsi dari kasus yang dicurigai

angiofibroma dapat dilakukan di ruang operasi. 9

C. Radiologi

1. Foto Sinar-X

Pada foto sinar-X tumor nampak sebagai massa jaringan lunak

dalam nasofaring. Holman dan Miller menggambarkan karakteristik

dari tumor ini pada foto lateral, yaitu pendorongan prosesus

pterigoideus ke belakang sehingga fissura pterigopalatina membesar.

Akan terlihat juga adanya massa jaringan lunak di daerah nasofaring

yang dapat mengerosi dinding orbita, arjus zigoma dan daerah di

sekitar nasofaring. 9,10

2. Computed Tomography Scan Dan Magnetic Resonance

Imaging

Memperlihatkan perluasan ke sinus sfenoid, erosi dari sayap

sfenoid yang besar, atau invasif dari pterygomaksillaris dan fossa

infratemporal biasanya terlihat. MRI sangat bermanfaat untuk

mengidentifikasi karakteristik jaringan lunak dari lesi JNA sehingga

bisa menguatkan bahwa massa tersebut adalah JNA bukan keganasan

yang lain. 9,10

Lesi juga menunjukkan peningkatan kontras pada Computed

Tomography Scan dan Magnetic Resonance Imaging dan aliran

vaskulerdalam lesi akan teridentifikasi pada Magnetic Resonance

Imaging. Gambaran pembesaran yang hampir homogen dari lesi ini

membedakannya dengan massa vaskuler lain seperti arteriovenous

malformation. Untuk membedakan dengan gambaran jaringan lunak

homogen lainnya seperti peradangan sinus dan mukosa hidung

akandapat jelas dibedakan dengan Magnetic Resonance Imaging. 9,10

Selain itu Computed Tomography scan dan Magnetic

Resonance Imagingdapat menggambarkan dan menjelaskan batas

dari tumor, terutama pada kasus-kasus dari keterlibatan

intrakranial.9,10

Page 13: Referat Anj Tht

13

Pada gambar 2.5a (atas kiri) CT scan coronal dari lesi yang

mengisi rongga hidung kiri dan sinus ethmoidalis. Lesi juga menutup

sinus maksilaris dan mendorong septum nasi berdeviasi ke kanan.10

Pada gambar 2.5b (atas kanan) CT scan axial yang menutup

rongga hidung kanan dan sinus paranasal.10

Pada gambar 2.5c (bawah) CT scan coronal yang menunjukkan

ekspansi lesi ke sinus kavernosus.10

Gambar 2.5a (atas kiri),

Gambar 2.5b (atas kanan),

Gambar 2.5c (bawah).

Sumber : (JP. Windfuhr, 2009)

3. Angiografi

Pada angiografi terlihat gambaran vaskuler yang banyak

(ramai). Lesi vaskuler yang terutama disuplai oleh cabang dari arteri

maxillaris interna. Angiografi terutama dilakukan pada kasus dengan

Page 14: Referat Anj Tht

14

kecurigaan adanya penyebaran intrakranial atau pada pasien dimana

pada penanganan sebelumnya gagal. 9,10

Pada gambar 2.6 merupakan gambaran angiogram JNA sebelum

dilakukannya embolisasi.10

Gambar 2.6.

Sumber : (JP. Windfuhr, 2009)

2.10 Stadium

Sebagai neoplasma dari nasofaring, stadium tumor berdasarkan pada

daerah yang terlibat adalah penting untuk evaluasi individu dan pengobatannya.

Different Staging System diperlukan untuk memilih pendekatan bedah untuk

mengeluarkan JNA, Chandler dkk merekomendasikan sistem stadium untuk

kanker nasofaring oleh AJC :11

Stadium I : Tumor di nasofaring.

Stadium II : Tumor meluas ke rongga hidung dan atau sinus sfenoid.

Stadium III : Tumor meluas kedalam antrum, sinus ethmoid, fossa

pterygomaksillaris, fossa infratemporalis. Orbita dan atau pipi.

Stadium IV : Tumor meluas ke rongga intrakranial.

Klasifikasi Menurut Sessions 11

Stadium IA – Tumor terbatas di nares posterior dan atau ruang nasofaring.

Stadium IB – Tumor meliputi nares posterior dan atau ruang nasofaring

dengan keterlibatan sedikitnya satu sinus paranasal.

Page 15: Referat Anj Tht

15

Stadium IIA – Tumor sedikit meluas ke lateral menuju pterygomaxillary

fossa.

Stadium IIB – Tumor memenuhi pterygomaxillary fossa dengan atau tanpa

erosi superior dari tulang-tulang orbita.

Stadium IIIA – Tumor mengerosi dasar tengkorak (yakni: middle cranial

fossa/pterygoid base); perluasan intrakranial minimal.

Stadium IIIB – Tumor telah meluas ke intrakranial dengan atau tanpa

perluasan ke sinus kavernosus.

Klasifikasi Menurut Fisch 11

Stadium I – Tumor terbatas di rongga hidung dan nasofaring tanpa

kerusakan tulang.

Stadium II – Tumor menginvasi fossa pterigomaksilaris, sinus paranasal

dengan kerusakan tulang.

Stadium III – Tumor menginvasi fossa infratemporal, orbita dan atau regio

parasellar; sisanya di lateral sinus kavernosus.

Stadium IV – Tumors menginvasi sinus kavernosus, regio kiasma optik,

dan atau fossa pituitari.

2.11 Differensial Diagnosis

1. Penyebab lain dari obstruksi nasal, (seperti polip nasal, polip antrokoanal, teratoma, encephalocele, dermoids, inverting papilloma, rhabdomyosarcoma, karsinoma sel skuamous).

2. Penyebab lain dari epistaksis, sistemik atau lokal.

3. Penyebab lain dari proptosis atau pembengkakan orbita.

4. Granuloma piogenik (pyogenic granuloma).

5. Polip koanal (choanal polyp).

6. Polip angiomatosa (angiomatous polyp).

7. Kista nasofaringeal (nasopharyngeal cyst).

8. Kordoma (chordoma).

9. Karsinoma nasofaring.

2.12 Penatalaksaan

2.12.1 Embolisasi

Page 16: Referat Anj Tht

16

Embolisasi pada pembuluh darah tumor mengakibatkan tumor

menjadi jaringan parut dan menghentikan perdarahan. Embolisasi dilakukan

dengan memasukkan suatu zat dalam pembuluh darah untuk membendung

aliran darah. Biasanya agen embolisasi dimasukkan melalui arteri karotis

eksterna lalu ke arteri maksilaris interna. Suplai darah yang cukup masih

bisa didapat dari arteri karotis interna dan arteri-arteri etmoidalis. Dengan

embolisasi saja cukup untuk menghentikan perdarahan hidung, atau dapat

langsung diikuti dengan pembedahan untuk mengangkat tumor. Embolisasi

mampu untuk mengurangi pendarahan saat pembedahan sebanyak 60 –

80%. 9,10

Pada gambar 2.7a (kiri) merupakan gambaran angiografi JNA

sebelum embolisasi dan pada gambar 2.7b (kanan) merupakan gambaran

angiografi sesudah embolisasi. 10

Gambar 2.7a. Gambar 2.7b.

Sumber : (JP. Windfuhr, 2009)

2.12.2 Operasi

Karena lokasi JNA yang bervariasi dan dikelilingi banyak situs-situs

anatomis di basis cranii, pilihan metode pendekatan bedah dilakukan

berdasarkan stadium tumor. Selain itu pengalaman dan pilihan dari tim

operator mungkin berbeda. Pendekatan dengan endoskop disarankan untuk

tumor-tumor yang kecil (tumor stadium I),metode endoskop ini menjadi

metode yang dipilih untuk tumor-tumor tertentu di beberapa RS. 9,10

Page 17: Referat Anj Tht

17

Pendekatan transpalatal digunakan untuk menyingkirkan JNA dari

nasofaring dimana sudah terjadi pembesaran yang terbatas ke arah lateral.

Untuk lesi dengan pembesaran terbatas ini, operator lain mungkin memilih

pendekatan transfacial melalui lateral rhinotomy dan medial maxillectomy.

Teknik midfacial degloving bisa juga digunakan. Lesi dengan penyebaran

yang luas ke luar nasofaring akan memerlukan kombinasi dari pendekatan-

pendekatan pembedahan basis cranii untuk mendapatkan pembukaan yang

cukup untuk mengeluarkan lesi. Pendekatan facial translocation

dikombinasikan dengan Weber-Ferguson incision dan untuk perluasan

koronal digunakan frontotemporal craniotomy dengan midface

osteotomiesuntuk jalan masuk. Pendekatan lateral melalui fossa

infratemporal diperlukan untuk mereseksi tumor yang membesar ke regio

tersebut. 9,10

Terapi medikamentosa dengan diethylstilbestrol 2-3 minggu pre-

operatif untuk mengurangi perdarahan saat operasi. Anestesi yang bersifat

hipotensif juga dipilih untuk lebih baik lagi mengurangi perdarahan. 9,10

Pada gambar 2.8a dan 2.8b merupakan foto operasi pembedahan

JNA dengan pendekatan midfacial degloving. Dengan pendekatan ini bisa

dibuka akses membuka tulang-tulang midfasial tanpa meninggalkan

luka/scar di wajah.Beberapa fraktur fasial dan tumor-tumor midfasial lain

juga bisa ditangani dengan pendekatan ini. Tampak JNA yang sangat besar

sedang diangkat dari ruang post nasal.10

Page 18: Referat Anj Tht

18

Gambar 2.8a dan 2.8b.

Sumber : (JP. Windfuhr, 2009)

2.12.3 Hormonal

Juvenille Nasopharyngeal Angiofibroma berhubungan dengan

pubertas pada pria muda, maka penggunaan terapi hormonal digunakan

sebagai terapi tambahan untuk JNA. Penghambat reseptor testosteron

flutamide dilaporkan mengurangi tumor stadium I dan II sampai 44%.

Walaupun mereduksi tumor dengan hormon, jalan ini tidak digunakan

secara rutin.11

2.12.4 Radioterapi

Radioterapi merupakan terapi pilihan terutama bagi JNA yang

rekuren atau ekspansif ke daerah intrakranial yang mana sulit dicapai

dengan pembedahan atau resiko yang tinggi terjadinya komplikasi terhadap

jaringan sekitar apabila dilakukan pembedahan. Dosis yang biasanya

digunakan sebesar 30 – 40 Gy digunakan dalam fraksi standard untuk

mengontrol lesi. Pembesaran tumor yang signifikan memang berhenti tetapi

tumor tidak lagsung mengecil setelah radioterapi. Karena itu agar efektif

radioterapi sebenarnya harus dibarengi dengan terapi pembedahan.

Page 19: Referat Anj Tht

19

Beberapa institusi melaporkan rata-rata menyembuhkan 80% dengan terapi

radiasi. Penggunaan radioterapi sebagai modalitas utama untuk

penatalaksanaan JNA yang berhasil pernah dilaporkan oleh University

California of Los Angeles (UCLA). Pada 27 pasien yang dilaporkan, tumor

berhasil dikendalikan sebanyak 23 (85%) dan empat pasien akhirnya

mengalami rekurensi setelah dua hingga lima tahun. Komplikasi jangka

panjang dari radioterapi muncul pada empat pasien (15%) yaitu gangguan

pertumbuhan, panhipopituitarisme, nekrosis lobus temporalis, katarak, dan

keratopati radiasi. Selain itu beberapa juga melaporkan keganasan kepala

dan leher sekunder sebagai efek samping dari radioterapi terhadap JNA. 11

Bagaimanapun, menganggap hubungan efek potensial dari radiasi

membuat terapi radiasi tidak berguna dalam banyak kasus. Selain itu perlu

diperhatikan juga efek samping dari radioterapi. Prognosis dari radioterapi

sendiri ditentukan oleh stadium tumor. Lebih baik pada tumor stadium

rendah tapi kurang memberi hasil pada tumor stadium akhir. 11

2.13 Komplikasi

Komplikasi tidak dapat dipisahkan dengan perluasan intrakranial (penyakit

stadium IV), perdarahan yang tak terkontrol dan kematian, dan iatrogenic injury

terhadap struktur vital. Infeksi SSP dan defisit neurologis bisa terjadi apabila

tumor sudah berekspansi ke intrakranial atau pasca operasi basis cranii.12

Komplikasi lainnya meliputi: perdarahan yang banyak (excessive bleeding).

Kebutaan sementara (transient blindness) sebagai hasil embolisasi, namun ini

jarang terjadi. Mati rasa di pipi (anesthesia of the cheek) sering terjadi dengan

insisi Weber-Ferguson. 12

Untuk komplikasi dari radioterapi Osteoradionecrosis dan atau kebutaan

karena kerusakan saraf mata, katarak, Transformasi keganasan (malignant

transformation), gangguan pertumbuhan, panhipopituitarisme, dan nekrosis lobus

temporalis. 12

Page 20: Referat Anj Tht

20

2.14 Prognosis

Berbagai faktor risiko yang berkaitan dengan berulangnya JNA adalah:

keberadaan tumor di fossa pterigoideus dan basisphenoid, erosi clivus, perluasan

intrakranial, suplai makanan dari arteri karotid interna, usia muda, dan ada

tidaknya sisa tumor. 12,13

Embolisasi preoperative menurunkan angka morbiditas dan kekambuhan

(recurrence). Rata-rata kesembuhan untuk pembedahan primer mendekati 100%

dengan reseksi lengkap dariJNA ekstrakranial dan 70% dengan tumor intrakranial.

Rerata kesembuhan 90% berhubungan dengan pembedahan kedua jika terjadi

kekambuhan. 12,13

Page 21: Referat Anj Tht

21

BAB III

RINGKASAN

Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara

histologik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan

mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal,

pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan.

Angiofibroma nasofaring khusus menyerang jenis kelamin laki-laki prepubertas

dan remaja.

Etiologi tumor ini masih belum jelas, ada dua teori yaitu teori asal jaringan

asal dan teori ketidakseimbangan hormonal.Tumor pertama kali tumbuh di bawah

mukosa di tepi sebelah posterior dan lateral koana di atap nasofaring. Tumor akan

tumbuh besar dan meluas dibawah mukosa sepanjang atap nasofaring, mencapai

tepi posterior septum dan meluas ke arah bawah membentuk tonjolan massa

diatap rongga hidung posterior.

Gejala yang sering ditemukan adalah sumbatan hidung yang progresif dan

epistaksis berulang yang masif. Gejala-gejala lain muncul tergantung dari luasnya

tumor dan arah pembesarannya.Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis,

pemeriksaan fisik dan penunjang seperti x-foto polos, CT scan, angiografi atau

MRI. Tindakan operasi merupakan pilihan utama selain terapi hormonal atau

radioterapi.

Rubin J. Rood SR. Myers EN. Johnson JT; The Management of Epistasis. AAO-

HNS Foundation SiPac; 1960