Top Banner
I. PENDAHULUAN Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah, dan leher tergantung ruang mana yang terlibat. Gejala dan tanda klinik dapat berupa nyeri dan pembengkakan. 1 Abses leher dalam adalah terbentuknya pus pada salah satu atau lebih ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal serta telinga tengah dan leher. Abses parafaring yaitu peradangan yang disertai pembentukan pus pada ruang parafaring. Sebelum era antibiotika, 70% dari abses leher dalam merupakan penjalaran infeksi dari tonsil dan faring. Akan tetapi saat ini penyebab abses leher dalam yang sering ditemukan adalah infeksi gigi dan sekitar 20% kasus abses leher dalam dengan sumber infeksi yang tidak ditemukan. 2 II. ANATOMI TENGGOROKAN Secara anatomi leher terdiri dari beberapa fasia dan ruang potensial. Fasia servikal terdiri atas lapisan jaringan fibrosa yang meliputi organ, otot, saraf dan pembuluh darah yang memisahkan area leher menjadi rangkaian ruang-ruang potensial. Fasia ini dibagi atas fasia servikal superfisial dan fasia servikal profunda yang dipisahkan oleh m. platisma. 1
21

referat abses parafaring

Aug 08, 2015

Download

Documents

Laili Khairani
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: referat abses parafaring

I. PENDAHULUAN

Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai

akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus

paranasal, telinga tengah, dan leher tergantung ruang mana yang terlibat. Gejala dan tanda

klinik dapat berupa nyeri dan pembengkakan.1

Abses leher dalam adalah terbentuknya pus pada salah satu atau lebih ruang potensial

diantara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti gigi,

mulut, tenggorok, sinus paranasal serta telinga tengah dan leher. Abses parafaring yaitu

peradangan yang disertai pembentukan pus pada ruang parafaring. Sebelum era antibiotika,

70% dari abses leher dalam merupakan penjalaran infeksi dari tonsil dan faring. Akan tetapi

saat ini penyebab abses leher dalam yang sering ditemukan adalah infeksi gigi dan sekitar

20% kasus abses leher dalam dengan sumber infeksi yang tidak ditemukan. 2

II. ANATOMI TENGGOROKAN

Secara anatomi leher terdiri dari beberapa fasia dan ruang potensial. Fasia servikal

terdiri atas lapisan jaringan fibrosa yang meliputi organ, otot, saraf dan pembuluh darah yang

memisahkan area leher menjadi rangkaian ruang-ruang potensial. Fasia ini dibagi atas fasia

servikal superfisial dan fasia servikal profunda yang dipisahkan oleh m. platisma. . Fasia

servikalis superfisialis terletak tepat dibawah kulit leher berjalan dari perlekatannya di

prosesus zigomatikus pada bagian superior dan berjalan ke bawah ke arah toraks dan aksila

yang terdiri dari jaringan lemak subkutan. Ruang antara fasia servikal superfisial dan

profunda berisi kelenjar limfe superfisial, saraf dan pembuluh darah termasuk vena jugularis

eksterna. Fasia servikal profunda terbagi menjadi 3 bagian yaitu lapisan luar/superfisial,

tengah/media dan dalam/profunda.3,4

Fasia servikalis profunda terdiri dari tiga lapisan yaitu:

1. Lapisan superficial. Lapisan ini membungkus leher secara lengkap, dimulai dari dasar

tengkorak sampai daerah toraks dan aksila. Pada bagian anterior menyebar ke daerah

wajah dan melekat pada klavikula serta membungkus musculus

sternokleidomastoideus, musculus trapezius, musculus masseter, kelenjar  parotis dan

submaksila.3,4

2. Lapisan medial. lapisan ini dibagi atas dua divisi yaitu divisi muskular dan viscera.

Divisi muskular terletak dibawah lapisan superfisial fasia servikalis profunda dan 1

Page 2: referat abses parafaring

menghubungkan muskulus sternohid, muskulus thyroid dan muskulus omohid.

Dibagian superior melekat pada os hyoid dan kartilago tiroid serta dibagian inferior

melekat pada sternum, klavikuladan skapula. Divisi viscera membungkus organ-organ

anterior leher yaitu kelenjar tiroid,trakea dan esofagus. Di sebelah posterosuperior

berawal dari dasar tengkorak bagian posterior sampai ke esofagus sedangkan

bagiananterosuperior melekat pada kartilago tiroid dan os hioid. Lapisan ini berjalan

ke bawah sampai ke toraks, menutupi trakea dan esofagus serta bersatu dengan

perikardium. Fasia bukkofaringeal adalah bagian dari devisi icera yang berada pada

bagian posterior faring dan menutupi muskulus konstriktor dan muskulus

buccinators.3,4

3. Lapisan profunda. Lapisan ini dibagi menjadi dua divisi yaitu divisi alar dan

prevertebra. Divisi alar terletak diantara lapisan media fasia servikalis profunda dan

divisi prevertebra, yang berjalan dari dasar tengkorak sampai vertebratorakal II dan

bersatu dengan divisi viscera lapisan media fasia servikalis profunda. Divisi alar

melengkapi bagian posterolateral ruang retrofaring dan merupakan dinding anterior

dari danger space. Divisi prevertebra berada pada bagian anterior korpus vertebra dan

ke lateral meluas ke prosesus tranversus serta menutupi otot-otot didaerah tersebut.

Berjalan dari dasar tengkorak sampai ke os koksigeus serta merupakan dinding

posterior dari danger space  dan dinding anterior dari korpus vertebra. Ketiga lapisan

fasiaservikalis profunda ini membentuk selubung karotis (carotid sheath)

yang berjalan dari dasar tengkorak melalui ruang faringomaksilaris sampai ketoraks.3,4

2

Page 3: referat abses parafaring

Ruang potensial leher dalam dibagi menjadi ruang yang melibatkan daerah sepanjang leher,

ruangan suprahiod dan ruangan infrahioid.5

1. Ruang yang melibatkan sepanjang leher terdiri dari:

a. Ruang retrofaring 

b. Rruang bahaya ( danger space )

c. ruang prevertebra.

2. Ruang suprahioid terdiri dari:

a. Ruang submandibula

b. Ruang parafaring

c. Ruang parotis

d. Ruang mastikor

e. Ruang peritonsil

f. Ruang temporalis

3. Ruang infrahioida.

a. Ruang pretrakeal

3

Gambar 1. Potongan Sagital Leher3

Page 4: referat abses parafaring

Ruang Parafaring

Ruang parafaring disebut juga sebagai ruang faringomaksila, ruang faringeal lateral,

pterigofaringeal, atau ruang perifaring. Ruang ini berbentuk kerucut terbalik dengan dasarnya

pada bagian superior di dasar tengkorak dan puncaknya pada inferior tulang hyoid. Batas

ruang ini adalah dasar tengkorak di bagian superior (pars petrosus os temporal dan os

sphenoid), os hyoid di inferior, rafe pterygomandibular di anterior, fasia prevertebra di

posterior, fasia bukofaringeal di medial dan lapisan superfisial fasia servikal profunda yang

meliputi mandibula, pterygoid medial dan parotis di lateral. Ruang parafaring berhubungan

dengan beberapa ruang leher dalam termasuk ruang submandibula, ruang retrofaring, ruang

parotis dan ruang mastikator. Ruang parafaring dibagi menjadi 2 bagian yang tidak sama

besarnya oleh prosesus styloid menjadi kompartemen anterior atau muskuler atau prestyloid

dan kompartemen posterior atau neurovaskuler atau poststyloid. Ruang prestyloid berisi

lemak, otot, kelenjar limfe dan jaringan konektif serta dibatasi oleh fossa tonsilar di medial

dan pterygoid medial di sebelah lateral. Ruang poststyloid berisi a. karotis interna, v.

jugularis interna, n. vagus yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut selubung karotis 4

Gambar 2. Bagian-bagian pada Leher5

Page 5: referat abses parafaring

dan saraf kranialis IX, X, XII. Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh suatu lapisan

yang tipis.6,7

III. ABSES PARAFARING

a. Definisi

Abses parafaring adalah kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang parafaring.10,11

b. Epidemiologi

Terdapat 33 kasus abses leher dalam selama Januari 1991-Desember 1993 di bagian

THT FK-UI/RSUPN-CM, usia berkisar antara 15-35 tahun terdiri dari 20 pasien laki-laki dan

13 wanita. Parhiscar dan Har-El (2001) melakukan penelititan retrospektif pada 210 kasus

abses leher dalam dari tahun 1991-1998. Berdasarkan hasil penelitian tersebut didapatkan

jumlah kasus abses parafaring menempati urutan pertama (43%) diikuti abses submandibula

(28%), Ludwig’s Angina (17%) dan abses retrofaring (12%).3 Di Departemen KTHT-KL

RSMH periode 1 Januari 2008-31 Desember 2010 didapatkan 8 infeksi leher dalam yang

terdiri dari 1 abses parafaring (12,5%), 1 abses peritonsil (12,5%), 2 abses retrofaring (25%)

5

Gambar 3. Ruang Parafaring6

Page 6: referat abses parafaring

dan 4 abses submandibula (50%). Periode 1 Januari-31 Agustus 2011 terdapat 7 infeksi leher

dalam yaitu 1 Ludwig’s Angina (14,3%) dan 7 abses sumbandibula (85,7%).8,9

Huang dkk, dalam penelitiannya pada tahun 1997 sampai 2002, menemukan kasus

infeksi leher dalam sebanyak 185 kasus. Abses submandibula (15,7%) merupakan kasus

terbanyak ke dua setelah abses parafaring (38,4), diikuti oleh Ludwig’s angina (12,4%),

parotis (7%) dan retrofaring (5,9%).8,9

Yang dkk, pada 100 kasus abses leher dalam yang diteliti April 2001 sampai Oktober

2006 mendapatkan perbandingan antara laki-laki dan perempuan 3:2. Lokasi abses lebih dari

satu ruang potensial 29%. Abses submandibula 35%, parafaring 20%, mastikator 13%,

peritonsil 9%, sublingual 7%, parotis 3%, infra hyoid 26%, retrofaring 13%, ruang karotis

11%. 8

Di Bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang selama 1 tahun terakhir

(Oktober 2009 sampai September 2010) didapatkan abses leher dalam sebanyak 33 orang,

abses peritonsil 11 (32%) kasus, abses submandibula 9 (26%) kasus, abses parafaring 6

(18%) kasus, abses retrofaring 4 (12%) kasus, abses mastikator 3(9%) kasus, abses pretrakeal

1 (3%) kasus. 9

c. Etiologi

Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara10,11:

1. Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan

analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang terkontaminasi

kuman (aerob dan anaerob) menembus lapisan otot tipis (m. konstriktor faring

superior) yang memisahkan ruang parafaring dari fossa tonsilaris.

2. Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus

paranasal,mastoid dan vertebra servikal dapat merupakan sumber infeksi untuk

terjadinya abses ruang parafaring.

3. Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring atau submandibula.

Ruang potensial ini berbentuk sperti corong dengan dasarnya terletak pada dasar

tengkorak pada setiap sisi berdekatan dengan foramen jugularis dan apeksnya pada kornu

mayor tulang hyoid. Batas bagian dalam adalah ramus asenden mandibula dan perlekatan otot

pterigoideus media dan bagian posterior kelenjar parotis. Batas bagian dorsal terdiri dari

otototot prevertebra. Setiap fosa dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besar oleh

prosesus stiloideus dan perlekatan otot-otot. Bagian anterior (prestiloideus) merupakan

6

Page 7: referat abses parafaring

bagian yang lebih besar. Dan bagian ini dapat terkena proses supuratif sebagai akibat dari

tonsil yang terinfeksi, beberapa bentuk mastoiditis atau petrositis, karies gigi, dan

pembedahan. Bagian posterior yang lebih kecil terdiri dari arteri karotis interna, vena

jugularis, saraf vagus, dan saraf simpatis. Bagian ini dipisahkan dari spatium retrofaring oleh

selaput fasia yang tipis.11

Kuman penyebab abses leher dalam (termasuk abses parafaring) dari berbagai

penelitian merupakan campuran dari berbagai macam kuman, baik aerob, anaerob, maupun

fakultatif anaerob. Kuman aerob dominan Streptococcus viridan, Klebsiella pneumonia,

Staphylococcus aureus. Kuman anaerob dominan Prevotella, Peptostreptococcus,

Fusobacterium dan Bacteroides. Di Rumah Sakit Dr. Djamil Padang pola kuman yang

ditemukan hampir sama dengan berbagai penelitian diatas.8

d. Patofisiologi

Infeksi leher dalam merupakan selulitis flegmonosa dengan tanda-tanda setempat

yang sangat mencolok atau menjadi tidak jelas karena tertutup jaringan yang melapisinya.

Seringkali dimulai pada daerah prastiloid sebagai suatu selulitis, jika tidak diobati akan

berkembang menjadi suatu thrombosis dari vena jugularis interna. Abses dapat mengikuti m.

stiloglosus ke dasar mulut dimana terbentuk abses. 12

Infeksi dapat menyebar dari anterior ke bagian posterior, dengan perluasan ke bawah

sepanjang sarung pembuluh-pembuluh darah besar, disertai oleh trombosis v. jugularis atau

suatu mediastinitis. 12

Infeksi dari bagian posterior akan meluas ke atas sepanjang pembuluh-pembuluh

darah dan mengakibatkan infeksi intracranial atau erosi a. karotis interna.12

e. Gejala Klinis

Gejala dan tanda utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus

mandibula, demam tinggi, odinofagia, torticollis. Jika infeksi meluas dari faring ke ruang ini,

pasien akan menunjukkan trismus yang jelas. Hal ini disebabkan karena kompartemen

prestyloid terdapat kompartemen otot yang berdekatan dengan fossa tonsilaris secara medial

dan m.ptyerigoid interna. Sedangkan dinding faring lateral akan terdorong ke medial, seperti

pada abses peritonsilaris. Infeksi ini sebaiknya selalu dilakukan drainase melalui insisi

vertikal. Dalam melakukan insisi drainase abses peritonsilar harus dilakukan palpasi karena

pulsasi di daerah tersebut dapat menunjukkan adanya aneurisma dari a.karotid interna.

7

Page 8: referat abses parafaring

Pembengkakan di dinding lateral orofaring tanpa adanya inflamasi akut dan trimus tidak

selalu merupakan abses parafaring atau peritonsil, namun harus dicurigai tumor atau

aneurisma. Penyebab infeksi saluran pernafasan mungkin sudah terjadi resolusi ketika pasien

datang sehingga anamnesis onset kejadian penting.10,12,13

f. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala, dan tanda klinik. Bila

meragukan dapat dilakukan pemerksaan penunjang berupa foto rontgen jaringan lunak AP

atau CT scan.1

Gejala klinis berupa demam, nyeri pembengkakan di sekitar angulus mandibula,

pembengkakan dinding lateral faring hingga menonjol ke arah medial. Pemeriksaan

penunjang berupa foto polos jaringan lunak leher dan tomografi komputer. Foto jaringan

lunak leher antero-posterior dan lateral merupakan prosedur diagnostik yang penting. Pada

pemeriksaan foto jaringan lunak leher pada kedua posisi tersebut dapat diperoleh gambaran

deviasi trakea, udara di daerah subkutis, cairan di dalam jaringan lunak dan pembengkakan

daerah jaringan lunak leher.2

8

Gambar 4. Tampakan klinis Abses Parafaring13

Page 9: referat abses parafaring

Keterbatasan pemerikasaan foto polos leher adalah tidak dapat membedakan antara

selulitis dan pembentukan abses. Pemeriksaan foto toraks dapat digunakan untuk

mendiagnosis adanya edema paru, pneumotoraks, pneumomediastinum atau pembesaran

kelenjar getah hilus. Pemeriksaan tomografi komputer dapat membantu menggambarkan

lokasi dan perluasan abses. Dapat ditemukan adanya daerah densitas rendah, peningkatan

gambaran kontras pada dinding abses dan edema jaringan lunak disekitar abses. Pemeriksaan

kultur dan tes resistensi dilakukan untuk mengetahui jenis kuman dan pemberian anitbiotika

yang sesuai.2

g. Diferensial Diagnosis

Parotitis, abses submandibular, dan tumor.10,13

h. Tatalaksana

Untuk terapi diberi antibiotika dosis tinggi secara perenteral terhadap kuman aerob

dan anaerob.10 Biakan kuman membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya,

sedangkan pengobatan harus segera diberikan. Sebelum hasil kultur kuman dan uji sensitifitas

keluar, diberikan antibiotik kuman aerob dan anaerob secara empiris. Dari sebuah penelitian

melaporkan pemberian antibiotik kombinasi pada abses leher dalam, yaitu; Kombinasi

9

Gambar 5. Gambaran CT-Scan; A. Tampak Abses Parafaring (Panah), B. Selulitis pada abses parafaring dengan abses di ruang masseter.13

Page 10: referat abses parafaring

penisilin G, klindamisin dan gentamisin, kombinasi ceftriaxone dan klindamisin, kombinasi

ceftriaxone dan metronidazole, kombinasi cefuroxime dan klindamisin, kombinasi pinisilin

dan metronidazole, masing-masing didapatkan angka perlindungan (keberhasilan) 67,4%,

76,4%, 70,8%, 61,9%. Secara empiris kombinasi ceftriaxone dengan metronidazole masih

cukup baik.8

Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan antibiotika 24-

48 jam dengan cara ekplorasi dalam narkosis. Cara melalui insisi dari intraoral dan atau insisi

ekstranasal.10

Jika terdapat pus, tidak ada cara lain kecuali dengan evakuasi bedah. Sebelumnya

diperlukan istirahat di tempat tidur, kompres panas untuk menekan lokalisasi abses. Terapi

antimikroba sangat perlu, akan lebih baik jika disesuaikan dengan tes sensitivitas, biakan, dan

pewarnaan gram dari pus yang diambil.10,12

Insisi intraoral dilakukan jika timbul penonjolan ke dalam faring. Dilakukan

anestesi sebelum tindakan dan dilanjutkan dengan insisi dan drainase.12

Insisi intraoral dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan memakai

klem arteri eksplorasi dilakukan menembus m. konstriktor faring superior

ke dalam ruang parafaring anterior. Insisi intraoral dilakukan bila perlu dan

sebagai terapi tambahan terhadap insisi eksternal.10

Insisi ekstranasal dilakukan jika suatu abses menonjol ke luar atau tampak

pembengkakan yang jelas.12

Insisi dari luar dilakukan 2 ½ jari di bawah dan sejajar mandibular. Secara

tumpul eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior m.

sternokleidomasteoideus kearah atas belakang menyusuri bagian medial

mandibular dan m. pterigoid interna mencapai ruang parafaringdengan

terabanya prossesus stiloid. Bila nanah terdapat di dalam selubung karotis,

insisi dilakukan veritkal dari pertengahan insisi horizontal ke bawah di

depan m. sternokleidomastoideus (cara Mosher). Berikut ini gambaran

metode pelaksanaan insisi menurut metode Mosher10:

10

Page 11: referat abses parafaring

Drainase dapat dilakukan melalui suatu insisi kecil pada daerah yang berfluktuasi atau

diatas bagian yang paling menonjol dari pembengkakan. Suatu cunam melengkung

dimasukkan ke dalam ruang abses tersebut, kemudian secara hati-hati diperluas dengan

merenggangkan cunam. Suatu insisi lain boleh dilakukan untuk menjaga drainase. Drain

dipasang dan dijahit. Jika ditemukan suatu kavitas yang besar, sekitar drain boleh dimasukan

tampon longgar dengan kassa iodoform. Kassa dikeluarkan setelah 1-2 hari, sedangkan drain

didiamkan selama kira-kira 1 minggu.10,12,13

11

Gambar 6. Bentuk insisi Metode Mosher5,10

Gambar 7. Tampakan arah insisi Metode Moser5,10

Page 12: referat abses parafaring

Patokan yang harus diingat jika diperlukan suatu eksplorasi bedah adalah kartilago

krikoid, ujung kornu mayor os hyoid, prosesus stiloid, tepi dalam M. Sternokleidomastoideus,

dan bila perlu diseksi diteruskan ke venter posterior M. Digastrikus.10,12

i. Komplikasi

Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung (per

kontinuatatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas menyebabkan peradangan

intracranial, ke bawah menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum. Komplikasi yang

paling berbahaya dari infeksi spatium faringomaksilaris adalah terkenanya pembuluh darah

sekitarnya. Dapat terjadi tromboflebitis septic vena jugularis. Bila terjadi periflebitis atau

endoflebitis, dapat timbul tromboflebitis dan septicemia. Dapat juga terjadi perdarahan masif

yang tiba-tiba akibat dari erosi arteri karotis interna. Kompikasi ini dapat member kesan

dengan adanya perdarahan awal yang kecil (perdarahan tersamar).11,14

IV. KESIMPULAN

Abses parafaring terjadi dimana Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan

cara : langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan

analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang terkontaminasi kuman (aerob

dan anaerob) menembus lapisan otot tipis (m. konstriktor faring superior) yang memisahkan

ruang parafaring dari fossa tonsilaris. Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi,

tonsil, faring, hidung, sinus paranasal,mastoid dan vertebra servikal dapat merupakan sumber

infeksi untuk terjadinya abses ruang parafaring. Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil,

retrofaring atau submandibula.

Gejala yang dikeluhkan pasien yaitu nyeri tekan daerah submandibula terutama pada

angulus mandibula, leukositosis dengan pergeseran ke kiri, dan adanya demam. Terlihat

edema uvula, pilar tonsil, palatum dan pergeseran ke medial dinding lateral faring. Sebagai

perbandingan pada abses peritonsil hanya tonsil yang terdorong ke medial. Pada

rontgenogram lateral mungkin tampak pergeseran trakea ke arah anterior. Trismus yang

disebabkan oleh menegangnya M. Pterigoid internus merupakan gejala menonjol, tetapi

mungkin tidak terlihat jika infeksi jauh di dalam sampai prosesus stiloid dan struktur yang

melekat padanya sehingga tidak mengenai M. Pterigoid internus.

12

Page 13: referat abses parafaring

Untuk terapi diberi antibiotika dosis tinggi secara perenteral terhadap kuman aerob

dan anaerob. Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan

antibiotika 24-48 jam dengan cara ekplorasi dalam narkosis. Jika terdapat pus, tidak ada cara

lain kecuali dengan evakuasi bedah. Sebelumnya diperlukan istirahat di tempat tidur,

kompres panas untuk menekan lokalisasi abses. Terapi antimikroba sangat perlu, akan lebih

baik jika disesuaikan dengan tes sensitivitas, biakan, dan pewarnaan gram dari pus yang

diambil.

Komplikasi yang paling berbahaya dari infeksi spatium faringomaksilaris adalah

terkenanya pembuluh darah sekitarnya. Dapat terjadi tromboflebitis septic vena jugularis.

Bila terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul tromboflebitis dan septicemia.

13

Page 14: referat abses parafaring

Daftar Pustaka

1. Meylani, Fitri. Dkk. “Referat Abses Parafaring”. Departemen Ilmu THT RSPAD

Gatot Soebroto Jakarta. 2011. Hal : 7-15.

2. Sari, Diana. Dkk. “Abses Leher Dalam, Abses Parafaring”. Bagian Departemen Ilmu

Penyakit THT-KL, Universitas Sumatera Utara. Hal : 8-13.

3. Snell, Richard S. “Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran : Anatomi Laring”.

Edisi keenam. Jakarta : EGC. 2006. Hal. 805-813.

4. Ballenger JJ. Abses Leher Dalam, Aplikasi Klinis Anatomi Dan Fisiologi Faring dan

Orofaring. Dalam : Penyakit Telinga Hidung Dan Tenggorokan Dan Leher. Edisi 13.

Jilid Satu. Binarupa Aksara. Jakarta; 1994. Hal 295-304

5. Dorothy F., Richard V. S. Surgical Anatomy of the Pharynx and Esophagus. In:

Otolaryngology Basic Science and Clinical Review.Thieme. New York. 2006:pp.

560-561.

6. Soepardi EA, Iskandar N. “Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan

Kepala Leher: Disfonia”. Edisi keenam. Jakarta : Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia; 2008. Hal: 231-234.

7. Simarmata Filia. Abses Submandibula. Dalam: Makalah Kedokteran Fakultas

Kedokteran Universitas Riau. Riau; 2011. Hal : 1-16.

8. Novialdi,  Pulungan M.R. Pola Kuman Abses Leher Dalam. Bagian THT-KL FK

Univ. Andalas/RS. Dr. M. Djamil Padang. Padang. 2011. hal. 1-25.

9. Huang,T.T. et.al. Deep Neck Infection: Analysis Of 185 Cases. In: Med & Health

2007. Wiley InterScience. 2004: Hal. 158-163.

10. Soepardi EA, Iskandar N. “Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan

Kepala Leher: Abses Leher Dalam”. Edisi keenam. Jakarta : Penerbit Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia; 2008. Hal: 226-230.

14

Page 15: referat abses parafaring

11. Keat Jin Lee. Essential otolaryngology: head & neck surgery. McGraw-Hill

Professional. 2003. Hal : 483-490.

12. Ballenger, JJ. “Anatomy of the Larynx, In: Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head

and Neck”. 13th ed. Philadelphia: Lea & Febiger. Hal 230-245.

13. Gadre AK, Gadre KC. Infection of the deep Space of the neck. Dalam: Bailley BJ,

Jhonson JT, editors. Otolaryngology Head and neck surgery. Edisi ke-4. Philadelphia:

JB.Lippincott Company 2006. Hal : 666-681.

14. Adam GL,Boies LR, Higler PA. “Boies Buku Ajar Penyakit THT”. Edisi keenam.

Jakarta : EGC. Hal : 369-377.

15