Page 1
REFERAT
Abses Parafaring
Muhammad Fadillah
H1A007041
Pembimbing : dr. Markus Rambu, Sp.THT-KL
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROK
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2013
1
Page 2
ABSES PARAFARING
I. PENDAHULUAN
Abses leher dalam adalah abses yang terbentuk di dalam ruang potensial di
antara fasia leher akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti infeksi
pada daerah faring dan tonsil, gigi, kelenjar liur, telinga tengah atau bisa juga
akibat trauma pada saluran cerna, limfadenitis, serta penggunaan obat injeksi
secara intravena dan subkutan. Sejak ditemukannya antibiotik, secara signifikan
angka kesakitan dan kematian kasus abses leher dalam menurun secara drastis.
Walaupun demikian, abses leher dalam sampai saat ini masih menjadi salah satu
kasus kegawatdaruratan di bidang THT.1,2
Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus,
Staphylococcus, kuman anaerob Bacteroides atau kuman campuran. Abses leher
dalam dapat berupa abses peritonsil, abses retrofaring, abses parafaring, abses
submandibula dan angina ludovici.1
Abses parafaring adalah abses leher dalam paling sering terjadi kedua
setelah abses peritonsilar. Insidensi kejadian abses parafaring diseluruh dunia
adalah 1 dalam 6-10.000 orang setiap tahun. Abses parafaring ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Ruang
parafaring dapat mengalami infeksi secara langsung akibat tusukan saat
tonsilektomi, limfogen dan hematogen. Gejala klinis berupa demam, nyeri
tenggorok dan disfagia. Pada pemeriksaan fisik didapatkan trismus,
pembengkakan disekitar angulus mandibula, pembengkakan dinding lateral
faring hingga menonjol ke arah medial. Pemeriksaan penunjang berupa foto polos
jaringan lunak leher dan tomografi komputer.1,3,4
Secara umum terapi abses leher dalam terdiri dari medikamentosa dan
drainase. Terapi medikamentosa meliputi pemberian antibiotika baik untuk kuman
aerob maupun anaerob dan simptomatis sesuai keluhan serta gejala klinis yang
2
Page 3
timbul. Drainase abses dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu insisi
eksterna dan intra oral.
II. ANATOMI FARING
Faring adalah suatu kantong fibromuskular yang bentuknya seperti corong,
yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari
dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke-6.
Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan
berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan
laring di bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan
dengan esofagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang
lebih 14 cm. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam ke luar) selaput lendir,
fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal.1
Otot faring tersusun dalam lapisan melingkar dan memanjang.
Otot-otot yang sirkular terdiri dari m.konstriktor faring superior,
media dan inferior. Otot-otot ini terletak ini terletak di sebelah luar dan
berbentuk seperti kipas dengan
tiap bagian bawahnya menutupi
sebagian otot bagian atasnya
dari belakang. Di sebelah depan
otot-otot ini bertemu satu sama
lain dan di belakang bertemu
pada jaringan ikat. Kerja otot
konstriktor ini adalah untuk
mengecilkan lumen faring dan
otot-otot ini dipersarafi oleh
nervus vagus.1,4
Otot-otot faring yang
tersusun memanjang terdiri dari m.stilofaring dan m.palatofaring. M. stilofaring
gunanya untuk melebarkan faring dan menarik laring, sedangkan m.palatofaring
mempertemukan ismus orofaring dan menaikkan bagian bawah faring dan
3
Gambar 1. Struktur muskulus penyusun faring5
Page 4
laring. Kedua otot ini bekerja sebagai elevator, kerja kedua otot ini
penting untuk proses menelan. 1
Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang
tidak beraturan. Yang utama berasal dari cabang arteri karotis eksterna
(cabang faring asendens dan cabang fausial) serta dari cabang arteri
maksila interna yakni cabang palatina superior.1
Gambar.2 Pendarahan faring5
Untuk keperluan klinis
faring dibagi menjadi 3 bagian
utama, yaitu nasofaring,
orofaring, dan laringofaring atau
hipofaring. Nasofaring
merupakan sepertiga bagian atas
faring, yang tidak dapat bergerak
kecuali palatum mole di bagian
bawah. Orofaring terdapat pada
bagian tengah faring, meluas dari
batas bawah palatum mole sampai permukaan lingual epiglotis. Hipofaring
merupakan bagian bawah faring yang menunjukkan daerah saluran napas atas
yang terpisah dari saluran pencernaan bagian atas.1,2
4
Gambar 3. Bagian-bagian Faring6
Page 5
Berdasarkan letaknya, faring dibagi atas :
1) Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, dibagian
bawah adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke
belakang adalah vertebra servikal.1
Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat
dengan beberapa struktur penting misalnya adenoid, jaringan limfoid pada
dinding lareral faring dengan resessus faring yang disebut fosa
rosenmuller, kantong rathke, yang merupakan invaginasi struktur
embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring
diatas penonjolan kartilago tuba eustachius, konka foramen jugulare, yang
dilalui oleh nervus glosofaring, nervus vagus dan nervus asesorius spinal
saraf kranial dan vena jugularis interna bagian petrosus os.tempolaris dan
foramen laserum dan muara tuba eustachius.1
2) Orofaring
Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole,
batas bawahnya adalah tepi atas epiglottis, ke depan adalah rongga mulut
sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal. Struktur yang terdapat di
rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatine, fosa
tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan
foramen sekum. 1
3) Laringofaring (hipofaring)
Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas yaitu dibawah
valekula epiglotis berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelan
minuman atau bolus makanan pada saat bolus tersebut menuju ke sinus
piriformis (muara glotis bagian medial dan lateral terdapat ruangan) dan ke
esofagus, nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis
pada tiap sisi laringofaring. Sinus piriformis terletak di antara lipatan
ariepiglotika dan kartilago tiroid. Batas anteriornya adalah laring, batas
inferior adalah esofagus serta batas posterior adalah vertebra servikal.
5
Page 6
Lebih ke bawah lagi terdapat otot-otot dari lamina krikoid dan di
bawahnya terdapat muara esophagus. 1
Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada
pemeriksaan laring tidak langsung atau dengan laringoskop pada
pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertama yang tampak di
bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua buah
cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan
ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga
“kantong pil” ( pill pockets), sebab pada beberapa orang, kadang-kadang
bila menelan pil akan tersangkut disitu. 1
Dibawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini
berbentuk omega dan perkembangannya akan lebih melebar, meskipun
kadang-kadang bentuk infantil (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa.
Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan
tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung tampak
menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi (proteksi)
glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus
tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus. Nervus laring
superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi
laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian anestesia
lokal di faring dan laring pada tindakan laringoskopi langsung.1
III. RUANG PARAFARING
Ruang parafaring disebut juga sebagai ruang faringomaksila, ruang
faringeal lateral atau ruang perifaring. Ruang ini berbentuk kerucut terbalik
dengan dasarnya pada bagian superior di dasar tengkorak dan puncaknya pada
inferior tulang hyoid. Batas ruang ini adalah dasar tengkorak di bagian superior
(pars petrosus os temporal dan os sphenoid), os hyoid di inferior, rafe
pterygomandibular di anterior, fasia prevertebra di posterior, fasia bukofaringeal
di medial dan lapisan superfisial fasia servikal profunda yang meliputi mandibula,
pterygoid medial dan parotis di lateral. Ruang parafaring berhubungan dengan
beberapa ruang leher dalam termasuk ruang submandibula, ruang retrofaring,
6
Page 7
ruang parotis dan ruang mastikator. Ruang parafaring dibagi menjadi 2 bagian
yang tidak sama besarnya oleh prosesus styloid menjadi kompartemen anterior
atau muskuler atau prestyloid dan komponen posterior atau neurovaskuler atau
poststyloid. Ruang prestyloid berisi lemak, otot, kelenjar limfe dan jaringan
konektif serta dibatasi oleh fossa tonsilar di medial dan pterygoid medial di
sebelah lateral. Ruang poststyloid berisi a. karotis interna, v. jugularis interna, n.
vagus yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut selubung karotis dan saraf
kranialis IX, X, XII. Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh suatu
lapisan yang tipis.4,5,6
Gambar 4. Potongan koronal melalui ruang parafaring.5
IV. FUNGSI FARING
Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, pada waktu menelan,
resonansi suara dan untuk artikulasi. Terdapat 3 fase dalam menelan yaitu fase
oral, fase faringeal dan fase esophageal. Fase oral, bolus makanan dari mulut
menuju ke faring. Gerakan disini disengaja (voluntary). Fase faringeal yaitu pada
waktu transport bolus makanan melalui faring. Gerakan disini tidak disengaja
(involuntary). Fase esofagal, disini gerakannya tidak disengaja, yaitu pada waktu
bolus makanan bergerak secara peristaltik di esofagus menuju lambung. 1
7
Page 8
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot
palatum dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole ke
arah dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan
melibatkan mula-mula m.salpingofaring dan m.palatofaring, kemudian m.levator
veli palatine bersama-sama m.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan
nasofaring m.levator veli palatine menarik palatum mole ke atas belakang hamper
mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan (fold
of) Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat 2 mavam
mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakan m,palatofaring
(bersama m.salpingofaring) dan oleh kontraksi aktif m.konstriktor faring
superior.1
V. ABSES PARAFARING
a. Kekerapan
Abses parafaring adalah abses leher dalam paling sering terjadi kedua
setelah abses peritonsilar. Insidensi kejadian abses parafaring diseluruh
dunia adalah 1 dalam 6-10.000 orang setiap tahun.3
Huang dkk, dalam penelitiannya pada tahun 1997 sampai 2002,
menemukan kasus infeksi leher dalam sebanyak 185 kasus. Abses
submandibula (15,7%) merupakan kasus terbanyak ke dua setelah abses
parafaring (38,4), diikuti oleh angina Ludovici (12,4%), parotis (7%) dan
retrofaring (5,9%).7
Fachruddin melaporkan 33 kasus abses leher dalam selama Januari
1991-Desember 1993 di bagian THT FKUI-RSCM dengan rentang usia
15-35 tahun yang terdiri dari 20 laki-laki dan 13 perempuan. Ruang
potensial yang tersering adalah submandibula sebanyak 27 kasus,
retrofaring 3 kasus dan parafaring 3 kasus. 7
Di sub bagian laring faring FK Unand/RSUP M Djamil Padang
selama Januari 2009 sampai April 2010, tercatat kasus abses leher dalam
sebanyak 47 kasus, dengan abses submandibula menempati urutan ke dua
8
Page 9
dengan 20 kasus dimana abses peritonsil 22 kasus, abses parafaring 5
kasus dan abses retrofaring 2 kasus. 7
b. Etiologi
Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara 1) Langsung,
yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan
analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang telah
terkontaminasi kuman menembus lapisan otot tipis (m.konstriktor faring
superior) yang memisahkan ruang parafaring dari fosa tonsilaris. 2) Proses
supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung,
sinusparanasal, mastoid dan vertebra servikal dapat merupakan sumber
infeksi untuk terjadinya abses ruang parafaring. 3) Penjalaran infeksi dari
ruang peritonsil, retrofaring atau submandibula.1
c. Patologi
Sekali terjadi infeksi dimulai pada jaringan lunak leher, jika tidak
segera terdeteksi, akan meluas ke salah satu ruang fasia leher yang paling
lemah. Dari sana dapat mengalir ke atas, ke bawah atau ke lateral,
mengikuti ruang-ruang fasia. 8
Infeksi leher dalam merupakan selulitis fregmentosa dengan tanda-
tanda setempat yang sangat mencolok atau menjadi tidak jelas karena
tertutup jaringan yang melapisinya. Seringkali dimulai pada daerah
prastiloid sebagai suatu selulitis, jika tidak diobati akan berkembang
menjadi suatu trombosis dari vena jugalaris interna. Abses dapat
mengikuti m.stiloglosus ke dasar mulut dimana terbentuk abses. 8
Infeksi dapat menyebar dari anterior ke bagian posterior, dengan
perluasan ke bawah sepanjang sarung-sarung pembuluh darah besar,
disertai oleh trombosis v.jugularis atau suatu mediastinitis. Infeksi dari
bagian posterior akan meluas ke atas sepanjang pembuluh-pembuluh darah
dan mengakibatkan infeksi intrakranial atau erosi a.karotis interna. 8
9
Page 10
Gambar 5. Skema Perluasan Infeksi pada ruang potensial leher. 7
(PMS = ruang faringo maksilar, VVS = ruang vaskuler visceraal)
d. Manifestasi Klinis
Pada infeksi dalam ruang parafaring terdapat pembengkakan dengan
nyeri tekan di daerah submandibula terutama pada angulus mandibula,
leukositosis dengan pergeseran ke kiri dan adanya demam. Terlihat edem
uvula, pilar tonsil, palatum dan pergeseran ke medial dinding lateral
faring. Sebagai perbandingan pada abses peritonsil, hanya tonsl yang
terdorong ke medial.8
Trismus yang dapat disebabkan oleh meregangnya m.pterigoid
internus merupakan gejala yang menonjol, tetapi mungkin tidak terlihat
jika infeksi jauh di dalam sampai prosesus stiloid dan struktur yang
melekat padanya sehingga tidak mengenai m.pterigoid internus. 8
e. Diagnosis
Diagnosa ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan tanda
klinik. Bila meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa
fotorontgen, jaringan lunak AP atau CT scan.1
Foto jaringan lunak leher antero-posterior dan lateral merupakan
prosedur diagnostik yang penting. Pada pemeriksaan foto jaringan lunak
10
Page 11
leher pada kedua posisi tersebut dapat diperoleh gambaran deviasi trakea,
udara di daerah subkutis, cairan di dalam jaringan lunak dan
pembengkakan daerah jaringan lunak leher.4
Keterbatasan pemerikasaan foto polos leher adalah tidak dapat
membedakan antara selulitis dan pembentukan abses. Pemeriksaan foto
toraks dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya edema paru,
pneumotoraks, pneumomediastinum atau pembesaran kelenjar getah hilus.
Pemeriksaan tomografi komputer dapat membantu menggambarkan lokasi
dan perluasan abses. Dapat ditemukan adanya daerah densitas rendah,
peningkatan gambaran kontras pada dinding abses dan edema jaringan
lunak disekitar abses. Pemeriksaan kultur dan tes resistensi dilakukan
untuk mengetahui jenis kuman dan pemberian antibiotika yang sesuai.1,4,
Gambar 7. Gambaran CT-scan; A. Tampak abses parafaring (panah), B. Selulitis pada abses parafaring dengan abses di ruang masseter.6
f. Tatalaksana
Tatalaksana absen parafaring dilakukan dengan medikamentosa dan
terapi bedah. Terapi medikamentosa meliputi pemberian antibiotika baik
untuk kuman aerob maupun anaerob dan simptomatis sesuai keluhan serta
gejala klinik yang timbul. Terapi bedah dapat dilakukan dengan 2 cara
pendekatan eksternal atau intra oral.4
Jika terdapat pus maka tidak ada cara lain kecuali dengan evakuasi
bedah. Sebelumnya diperlukan tirah baring dan kompres panas untuk
menekan lokalisasi abses. Terapi antimikroba sangat perlu, lebih baik
berdasarkan tes sensitivitas.8
11
Page 12
1. Pemberian antibiotika
Banyak mikroorganisme yang dapat menjadi penyebab infeksi
kepala dan leher, dan berasal dari berbagai sumber. Flora bakteri
campuran sering ditemukan pada hasil kultur. Bakteri gram positif,
streptococcus beta hemolitik dan staphylococcus aureus adalah bakteri
yang paling sering ditemukan. Bakteri gram negatif dan juga anaerob
juga sering ditemukan. Anaerob biasanya ditemukan terutama pada
infeksi-infeksi akibat penyebaran dentogen. Bakteri-bakteri penghasil
beta laktamase ditemukan meningkat frekuensinya pada infeksi kepala
dan leher. 6
Dengan insidensi bakteri gram negatif dan bakteri penghasil beta
laktamase yang tinggi, penisilin bukan lagi merupakan obat pilihan
untuk kasus infeksi ini. Sebelum hasil kultur dan uji sensitifitas
didapatkan, antibiotik yang digunakan adalah yang memiliki spektrum
terhadap bakteri gram positif, gram negatif, anaerob dan penghasil beta
laktamase. Biasanya diberikan kombinasi antibiotik, seperti klindamisin
dan cefuroxime serta ampisilin dan sulbaktam, sebagai pilihan yang
paling baik. 6
2. Drainase abses
Sebagian besar abses leher dalam perlu dilakukan drainase untuk
penyembuhan dan mencegah komplikasi. Tindakan drainase pada abses
parafaring dilakukan dengan dengan pendekatan eksterna dan intra oral.
a. Insisi intraoral
Insisi intra oral dilakukan jika timbul penonjolan ke dalam faring,
dilakukan anestesi sebelum tindakan dan dilanjutkan dengan insisi
dan drainase.
Insisi intra oral dilakukan pada dinding lateral faring harus dilakukan
dengan memakai klem arteri, eksplorasi dilakukan dengan
menembus m. konstriktor faring superior ke ruang parafaring. Insisi
intra oral dilakukan bila perlu dan sebagai terapi tambahan dari
insisi eksternal.1,8
12
Page 13
b. Insisi eksterna
Insisi ekterna jika suatu abses menonjol ke luar atau tampak
pembengkakan yang jelas. Drainase eksterna dilakukan secara teknik
Mosher yaitu insisi seperti huruf “T” yang dilakukan pada 2 jari di
bawah dan sejajar mandibula. Secara tumpul eksplorasi dilanjutkan
dari anterior m. sternokleidomastoideus ke arah kranio-posterior
menyusuri medial mandibula dan m. pterygoid internus mencapai
ruang parafaring dengan meraba prosesus styloideus. Bila nanah
terdapat di selubung karotis, insisi dilanjutkan secara vertikal dari
pertengahan insisi horizontal ke bawah di depan m.
sternokleiodomastoideus.1,4,8,9
g. Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau
langsung (perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat
mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri selubung
karotis mencapai mediastinum, sehingga terjadi mediastinis dan bisa
berlanjut menjadi sepsis.1
Komplikasi yang paling berbahaya dari infeksi spatium
faringomaksilaris adalah terkenanya pembuluh darah sekitarnya. Dapat
terjadi tromboflebitis septik vena jugularis. Juga dapat terjadi perdarahan
masif yang tiba-tiba akibat dari erosi arteri karotis interna.4
Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah sindrom horner dan
obstruksi jalan napas.9
VI. KESIMPULAN
Abses parafaring adalah merupakan salah satu abses leher dalam paling
sering terjadi kedua setelah abses peritonsilar. Ruang parafaring dapat mengalami
infeksi dengan berbagai cara diantaranya dengan cara langsung akibat komplikasi
tonsilektomi, proses supurasi, maupun akibat penjalaran infeksi dari abses leher
dalam yang lain.
13
Page 14
Gejala utama dari abses parafaring ialah trismus, odinfagia, dan demam
tinggi. Dari pemeriksaan fisik dapat ditemukan indurasi atau pembengkakan
disekitar angulus mandibula, dan pembengkakan dinding lateral faring, sehingga
menonjol ke arah medial. Kemudian pemeriksaan penunjang dapat dilakukan
pemeriksaan penunjang berupa fotorontgen, jaringan lunak AP atau CT scan
Tatalaksana absen parafaring dapat dilakukan dengan medikamentosa
dengan antibiotik atau terapi bedah..
VII. DAFTAR PUSTAKA
1. Fachruddin, Darnila. Abses leher dalam. Dalam : Soepardi EA, Iskandar
N, Ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher.
Edisi keenam. Jakarta: FKUI, 2007, h. 226 - 230.
2. Novialdi dan Triana, Wahyu. Abses leher dalam multipel dengan kesulitan
intubasi dan komplikasi fistula faringokutan. Padang: Bagian THT-KL FK
UNAND/RSUP dr.M.Jamil, 2011, h. 1 - 7.
3. Erdogliza M, Sotirovic J, dan Grgurevic U. A severe case of
parapharyngeal abscess treated as a spastic torticollis. Dalam Medical
review. Volume ketiga. Milan: 2011, h. 387-389
4. Adams, L george. Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam:
Adams L, Boies L, Higler P. Boies buku ajar penyakit THT Edisi keenam.
Jakarta: EGC, 1997, h 320-355
5. Probst R, Grevers G dan Iro H. Basic otorhinolaryngology a step by step
learning guide. New York: Thieme, 2006, h 97-130
6. Tom, Lawrence. Disease of oral cavity, Oropharynx and Nasopharynx.
Dalam: Snow J dan Ballenger J. Ballenger’s otorhinolaryngology. Edisi
enam belas. Ontario: Bedecker, 2003, h1020-1047
7. Novialdi dan Asyari, Ade. Penatalaksanaan abses mandibula dengan
penyulit uremia dan infark miokardium lama. Padang: Bagian THT-KL
FK UNAND/RSUP dr.M.Jamil, 2010, h. 1 - 7.
14
Page 15
8. Ballenger, J. Leher, orofaring dan Nasofaring, Dalam Snow J dan
Ballenger J. Ballenger: Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, dan leher
Jilid I. Jakarta: Bina Rupa Aksara, 1991. Hal: 295-324
9. Amar Y dan Manoukian J. Intraoral drainage: Recommended as the initial
approach for the treatment of parapharyngeal abscesses. Canada:
Department of ENT McGill University, 2003, h 676-680
15