BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di negara sedang berkembang maupun di negara maju, penyakit infeksi masih merupakan masalah medis yang sangat penting oleh karena angka kematiannya masih cukup tinggi. Diantara penyakit infeksi yang amat berbahaya adalah infeksi susunan saraf pusat (SSP) termasuk ke dalamnya meningitis dan ensefalitis. Meningitis sinonim dengan leptomeningitis yang berarti adanya suatu infeksi selaput otak yang melibatkan arachnoid dan piamater sedangkan ensefalitis adalah adanya infeksi pada jaringan parenkim otak. Penyakit infeksi susunan saraf pusat memiliki angka kematian di atas 50%, jika seseorang selamat dari infeksi otak umumnya mengalami kecacatan mulai dari lumpuh hingga koma. Susunan saraf pusat merupakan bagian tubuh yang paling terlindungi atau yang paling terakhir kena, jadi kalau otak sudah terkena infeksi akan sangat mungkin mempengaruhi organ lainnya di tubuh dan fungsinya menjadi terganggu. Gejala dari infeksi ini seringkali tidak khas yang secara umum mengalami demam dan sakit kepala. Jika setelah beberapa hari tidak membaik atau ada gejala lanjutan seperti kejang dan sakit kepala yang semakin parah segera lakukan pemeriksaan lebih lanjut. Untuk diagnostik dini memang tidak mudah, karenanya proses 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Di negara sedang berkembang maupun di negara maju, penyakit infeksi masih
merupakan masalah medis yang sangat penting oleh karena angka kematiannya
masih cukup tinggi. Diantara penyakit infeksi yang amat berbahaya adalah infeksi
susunan saraf pusat (SSP) termasuk ke dalamnya meningitis dan ensefalitis.
Meningitis sinonim dengan leptomeningitis yang berarti adanya suatu infeksi
selaput otak yang melibatkan arachnoid dan piamater sedangkan ensefalitis
adalah adanya infeksi pada jaringan parenkim otak.
Penyakit infeksi susunan saraf pusat memiliki angka kematian di atas 50%, jika
seseorang selamat dari infeksi otak umumnya mengalami kecacatan mulai dari
lumpuh hingga koma. Susunan saraf pusat merupakan bagian tubuh yang paling
terlindungi atau yang paling terakhir kena, jadi kalau otak sudah terkena infeksi
akan sangat mungkin mempengaruhi organ lainnya di tubuh dan fungsinya
menjadi terganggu.
Gejala dari infeksi ini seringkali tidak khas yang secara umum mengalami demam
dan sakit kepala. Jika setelah beberapa hari tidak membaik atau ada gejala
lanjutan seperti kejang dan sakit kepala yang semakin parah segera lakukan
pemeriksaan lebih lanjut. Untuk diagnostik dini memang tidak mudah, karenanya
proses pencarian penyebabnya harus progresif agar bisa ditangani dengan baik.
Untuk diagnosis pastinya dilakukan pemeriksaan cairan otak agar bisa diketahui
penyebab pastinya apakah akibat infeksi virus, bakteri, jamur, parasit atau cacing
pita. Jika prosedur ini dilakukan dengan cepat dan progresif maka bisa
mengurangi kecacatan yang timbul.
BAB II
1
PEMBAHASAN
2.1. Infeksi Susunan Saraf Pusat
Virus, bakteri, jamur dan parasit dapat menyebabkan infeksi susunan saraf pusat.
Namun bakteri dan virus merupakan penyebab tersering. Setelah masuk ke dalam
tubuh melalui saluran pencernaan atau pernapasan atau inokulasi kulit (melalui
gigitan serangga atau binatang), organisme infeksius menuju ketempat utama pada
saluran cerna, pernapasan, otot subkutan atau jaringan vaskular untuk bereplikasi.
Kebanyakan organisme tersebut mencapai SSP melalui aliran darah namun terkadang
oraganisme ini mencapai SSP melalui saraf perifer atau langsung masuk akibat
adanya fraktur tengkorak atau mastoid dan sinus yang terinfeksi.1
Gambar 1. Lokasi mayor infeksi susunan saraf pusat.
Gejala dan tanda infeksi SSP bergantung kepada tempat infeksinya bukan dari
organisme infeksiusnya. Organisme infeksius cenderung menentukan lama sakit dan
keparahan dari infeksi. Tanda dan gejala yang perlu kita curigai terjadinya infeksi
SSP antara lain, demam, onset akut atau subakut, nyeri kepala, gejala fokal atau
tersebar, leukositosis, peningkatan LED, dan pasien imunosupresif. 1
Meningitis Ensefalitis Abses OtakUmum Demam
Nyeri kepalaKaku kudukConfusion
DemamNyeri kepala, mual dan muntahPerubahan status mental: confusion, delirium, stupor dan koma
Nyeri kepalaPerubahan status mental: confusion, stupor dan komaKejang: umum atau fokal
2
Meningitis Ensefalitis Abses OtakUmum Kejang: umum atau fokal
asing di dalam sistem saraf pusat (contoh: ventriculoperitoneal shunt), dan penyakit
kronik (gagal jantung kongestif, diabetes, penyalahgunaan alkohol, dan sirosis
hepatik).
Etiologi
Pada individu dewasa imunokompeten, S. pneumonia dan N. meningitidis adalah
pathogen utama penyebab MB, karena kedua bakteri tersebut memiliki kemampuan
kolonisasi nasofaring dan menembus sawar darah otak (SDO). Basil gram negatif
seperti Escherichia coli, Klebsiella spp, Staphylococcus aureus, Staphylococcus
epidermidis, dan Pseudomonas spp biasanya merupakan pe- nyebab MB nosokomial,
yang lebih mudah terjadi pada pasien kraniotomi, kateterisasi ventrikel internal
ataupun eksternal, dan trauma kepala.
Patofisiologi
Infeksi bakteri mencapai sistem saraf pusat melalui invasi langsung, penyebaran
hematogen, atau embolisasi trombus yang terinfeksi. Infeksi juga dapat terjadi melalui
perluasan langsung dari struktur yang terinfeksi melalui vv. diploica, erosi fokus
osteomyelitis, atau secara iatrogenik (pasca-ventriculoperitoneal shunt atau prosedur
bedah otak lainnya).
Transmisi bakteri patogen umumnya melalui droplet respirasi atau kontak langsung
dengan karier. Proses masuknya bakteri ke dalam sistem saraf pusat merupakan
mekanisme yang kompleks. Awalnya, bakteri melakukan kolonisasi nasofaring
dengan berikatan pada sel epitel menggunakan villi adhesive dan membran protein.
Risiko kolonisasi epitel nasofaring meningkat pada individu yang mengalami infeksi
virus pada sistem pernapasan atau pada perokok.
Komponen polisakarida pada kapsul bakteri membantu bakteri tersebut mengatasi
mekanisme pertahanan immunoglobulin A (IgA) pada mukosa inang. Bakteri
kemudian melewati sel epitel ke dalam ruang intravaskuler di mana bakteri relatif
terlindungi dari respons humoral komplemen karena kapsul polisakarida yang
dimilikinya.
Bakteri memasuki ruang subaraknoid dan cairan serebrospinal (CSS) melalui pleksus
5
koroid atau kapiler serebral. Perpindahan bakteri terjadi melalui kerusakan endotel
yang disebabkannya. Seluruh area ruang subaraknoid yang meliputi otak, medula
spinalis, dan nervus optikus dapat dimasuki oleh bakteri dan akan menyebar dengan
cepat. Hal ini menunjukkan meningitis hampir pasti selalu melibatkan struktur
serebrospinal. Infeksi juga mengenai ventrikel, baik secara langsung melalui pleksus
koroid maupun melalui refluks lewat foramina Magendie dan Luschka.
Bakteri akan bermultiplikasi dengan mudah karena minimnya respons humoral
komplemen CSS. Komponen dinding bakteri atau toksin bakteri akan menginduksi
proses inflamasi di meningen dan parenkim otak. Akibatnya, permeabilitas SDO
meningkat dan menyebabkan kebocoran protein plasma ke dalam CSS yang akan
memicu inflamasi dan menghasilkan eksudat purulen di dalam ruang subaraknoid.
Eksudat akan menumpuk dengan cepat dan akan terakumulasi di bagian basal otak
serta meluas ke selubung saraf-saraf kranial dan spinal. Selain itu, eksudat akan
menginfiltrasi dinding arteri dan menyebabkan penebalan tunika intima serta
vasokonstriksi, yang dapat mengakibatkan iskemia serebral. Tunika adventisia
arteriola dan venula subaraknoid sejatinya terbentuk sebagai bagian dari membran
araknoid. Dinding vasa bagian luar sebenarnya sejak awal sudah mengalami proses
inflamasi bersamaan dengan proses meningitis (vaskulitis infeksius).
Selanjutnya, dapat terjadi syok yang mereduksi tekanan darah sistemik, sehingga
dapat mengeksaserbasi iskemia serebral. Selain itu, MB dapat menyebabkan
trombosis sekunder pada sinus venosus mayor dan tromboflebitis pada vena-vena
kortikal. Eksudat purulen yang terbentuk dapat menyumbat resorpsi CSS oleh villi
araknoid atau menyumbat aliran pada sistem ventrikel yang menyebabkan
hidrosefalus obstruktif atau komunikans yang disertai edema serebral interstisial.
Eksudat tersebut juga dapat mengelilingi saraf-saraf kranial dan menyebabkan
neuropati kranial fokal.
Manifestasi Klinik
MB akut memiliki trias klinik, yaitu demam, nyeri kepala hebat, dan kaku kuduk;
tidak jarang disertai kejang umum dan gangguan kesadaran. Tanda Brudzinski dan
Kernig juga dapat ditemukan serta memiliki signifikansi klinik yang sama dengan
kaku kuduk, namun sulit ditemukan secara konsisten. Diagnosis meningitis dapat
menjadi sulit jika manifestasi awal hanya nyeri kepala dan demam. Selain itu, kaku
kuduk tidak selalu ditemukan pada pasien sopor, koma, atau pada lansia.
6
Meningitis meningokokal harus dicurigai jika terjadi perburukan kondisi yang sangat
cepat (kondisi delirium atau sopor dalam hitungan jam), terdapat ruam petechiae atau
purpura, syok sirkulasi, atau ketika ada wabah lokal meningitis. Ruam petechiae
muncul pada sekitar 50% infeksi meningokokal, manifestasi tersebut
mengindikasikan pemberian antibiotik secepatnya.
Meningitis pneumokokal sering didahului oleh infeksi paru, telinga, sinus, atau katup
jantung. Etiologi pneumokokal juga patut dicurigai pada pasien alkoholik, pasca-
splenektomi, lansia, anemia bulan sabit, dan fraktur basis kranium. Sedangkan
etiologi H. influenzae biasanya terjadi setelah infeksi telinga dan saluran napas atas
pada anak- anak.
Etiologi lain sangat tergantung pada kondisi medik tertentu. Meningitis setelah
prosedur bedah saraf biasanya disebabkan oleh infeksi stafilokokus. Infeksi HIV,
gangguan myeloproliferatif, defek tulang kranium (tumor, osteomyelitis), penyakit
kolagen, kanker metastasis, dan terapi imunosupresan adalah kondisi yang
memudahkan terjadinya meningitis yang disebabkan Enterobacteriaceae, Listeria, A.
calcoaceticus, danPseudomonas.
Tanda-tanda serebral fokal pada stadium awal meningitis paling sering disebabkan
oleh pneumokokus dan H. influenza. Meningitis dengan etiologi H. influenza paling
sering menyebabkan kejang. Lesi serebal fokal persisten atau kejang yang sulit
dikontrol biasanya terjadi pada minggu kedua infeksi meningen dan disebabkan oleh
vaskulitis infeksius, saat terjadi sumbatan vena serebral superfisial yang berujung
pada infark jaringan otak. Abnormalitas saraf kranial sering terjadi pada meningitis
pneumokokal, karena invasi eksudat purulen yang merusak saraf yang melalui ruang
subaraknoid.
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis MB ditegakkan melalui analisis CSS, kultur darah, pewarnaan CSS, dan
biakan CSS. Pada prinsipnya, pungsi lumbal harus dikerjakan pada setiap kecurigaan
meningitis dan/atau ensefalitis. Pada pemeriksaan darah, MB disertai dengan
peningkatan leukosit dan penanda inflamasi, dan kadang disertai hipokalsemia,
hiponatremia, serta gangguan fungsi ginjal dengan asidosis metabolik. Pencitraan otak
harus dilakukan secepatnya untuk mengeksklusi lesi massa, hidrosefalus, atau edema
7
serebri yang merupakan kontraindikasi relatif pungsi lumbal. Jika pencitraan tidak
dapat dilakukan, pungsi lumbal harus dihindari pada pasien dengan gangguan
kesadaran, keadaan immunocompromised (AIDS, terapi imunosupresan, pasca-
transplantasi), riwayat penyakit sistem saraf pusat (lesi massa, stroke, infeksi fokal),
defisit neurologik fokal, bangkitan awitan baru, atau papil edema yang
memperlihatkan tanda-tanda ancaman herniasi.
Tekanan pembukaan saat pungsi lumbal berkisar antara 20-50 cmH2O. CSS biasanya
keruh, tergantung dari kadar leukosit, bakteri, dan protein. Pewarnaan Gram CSS
memberi hasil meningokokus positif pada sekitar 50% pasien dengan meningitis
meningokokal akut. Kultur darah dapat membantu, namun tak selalu bisa diandalkan.
Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) bersifat sensitif terhadap
Streptococcus pneumoniae dan Neisseria meningitidis.
Penatalaksanaan
Gambar 2. Algoritma tatalaksana meningitis bakterialis.
MB adalah kegawatdaruratan medik. Pemilihan antibiotik yang tepat adalah langkah
yang krusial, karena harus bersifat bakterisidal pada organisme yang dicurigai dan
dapat masuk ke CSS dengan jumlah yang efektif. Pemberian antibiotik harus segera
dimulai sambil menunggu hasil tes diagnostik dan nantinya dapat diubah setelah ada
8
temuan laboratorik. Pada suatu studi, didapatkan hasil jika pemberian antibiotik
ditunda lebih dari 3 jam sejak pasien masuk RS, maka mortalitas akan meningkat
secara bermakna.
Karakter Pasien Etiologi tersering Pilihan antibiotik
NeonatusStreptococcus grup B, L. monocytogenes, E. coli
Ampicillin plus cefotaxime
Usia 2 bulan-18 tahunN. meningitidis, S. pneumonia, H. influenzae
Ceftriaxone atau cefotaxime, dapat ditambahkan vancomycin
Usia 18-50 tahunS. pneumonia, N. meningitidis
Ceftriaxone, dapat ditambahkan vancomycin
Usia >50 tahunS. pneumonia, L. monocytogenes, bakteri gram negatif
Vancomycin plus ampicillin plus ceftriaxone
Kondisi immunocompromised
S. pneumonia, N. meningitidis, L. monocytogenes, S. aureus, Salmonella spp, basil gram negatif aerob (termasuk P. aeruginosa)
Vancomycin plus ampicillin plus cefepime atau meropenem
Fraktur basis kraniumS. pneumonia, H. influenza, group A beta-hemolytic streptococci
Vancomycin plus cefotaxime atau ceftriaxone
Cedera kepala; pascabedah
otak
Stafilococcus, basil gram
negatif aerob (termasuk P.
aeruginosa)
Vancomycin plus
ceftazidime, cefepime, atau
meropenem
Tabel 2. Terapi empirik pada meningitis bakterialis.
Mikroorganisme Terapi standard Terapi alternatifH. influenza B-laktamase negatif
AmpisilinSefalosporin generasi III; kloramfenikol
H. influenza B-laktamase positif
Sefalosporin generasi III Kloramfenikol; sefepim
N. meningitidis Penisilin G atau ampisilinSefalosporin generasi III; kloramfenikol
S. pneumoniae Sefalosporin generasi III Vankomisin; meropenemEnterobacteriaceae Sefalosporin generasi III Meropenem atau sefepimP. aeruginosa Seftazinim atau sefepim Meropenem; piperisilinL. monocytogenes Ampisilin atau penisilin G Trimetoprim/sulfametoksazol
S. agalactiae Ampisilin atau penisilin GSefalosporin generasi III; vankomisin
9
S. aureus sensitif metisilin Nafsilin atau oksasilin VankomisinS. aureus resisten metisilin Vankomisin Linezolid; daptomisinS.epidermidis Vankomisin
Tabel 3. Terapi spesifik pada meningitis bakterialis.
Pilihan antibiotik empirik pada pasien MB harus berdasarkan epidemiologi lokal, usia
pasien, dan adanya penyakit yang mendasari atau faktor risiko penyerta. Antibiotik
harus segera diberikan bila ada syok sepsis. Jika terjadi syok sepsis, pasien harus
diterapi dengan cairan dan mungkin memerlukan dukungan obat inotropik. Jika
terjadi peningkatan tekanan intrakranial, pertimbangkan pemberian manitol.
Antibiotik empirik bisa diganti dengan antibiotik yang lebih spesifik jika hasil kultur
sudah ada. Durasi terapi antibiotik bergantung pada bakteri penyebab, keparahan
penyakit, dan jenis antibiotik yang digunakan. Meningitis meningokokal epidemik
dapat diterapi secara efektif dengan satu dosis ceftriaxone intramuskuler sesuai
dengan rekomendasi WHO. Namun WHO merekomendasikan terapi antibiotik paling
sedikit selama 5 hari pada situasi nonepidemik atau jika terjadi koma atau kejang
yang bertahan selama lebih dari 24 jam. Autoritas kesehatan di banyak negara maju
menyarankan terapi antibiotik minimal 7 hari untuk meningitis meningokokal dan
haemofilus; 10-14 hari untuk terapi antibiotik pada meningitis pneumokokal.
Terapi dexamethasone yang diberikan sebelum atau bersamaan dengan dosis pertama
antibiotik dapat menurunkan morbiditasdanmortalitassecarabermakna, terutama pada
meningitis pneumokokal. Dexamethasone dapat menurunkan respons inflamasi di
ruang subaraknoid yang secara tak langsung dapat menurunkan risiko edema serebral,
peningkatan tekanan intrakranial, gangguan aliran darah otak, vaskulitis, dan cedera
neuron. Dexamethasone diberikan selama 4 hari dengan dosis 10 mg setiap 6 jam
secara intravena. Sejumlah pakar berpendapat pemberian dexamethasone harus
dihenti- kan jika hasil kultur CSS menunjukkan penyebab MB bukan H. influenzae
atau S. pneumoniae, namun kelompok pakar lain merekomendasikan pemberian dexa-
methasone apapun etiologi MB yang ditemukan. Pemberian dexamethasone pada
pasien MB dengan sepsis berat atau syok sepsis dapat meningkatkan kesintasan. Pada
penelitian lain, pemberian dexamethasone tidak menurunkan angka mortalitas dan
morbiditas secara bermakna.
Pasien MB harus dipantau ketat. Kejadian kejang sering muncul dan terapi anti-
10
konvulsan sering kali diperlukan. Jika kesadaran pasien menurun setelah kejang,
maka pasien terindikasi untuk pemeriksaan elektroensefalografi. Kondisi pasien harus
dipertahankan dalam status normoglikemia dan normovolemia. Proton pump inhibitor
perlu diberikan untuk mencegah stress-induced gastritis. Jika kondisi klinis pasien
belum membaik dalam 48 jam setelah terapi antibiotik dimulai, maka analisis CSS
ulang harus dilakukan. 5
Pada pasien MB dengan hidrosefalus akut, prosedur ventrikulostomi dapat di-
pertimbangkan. Pada pasien dengan pem- besaran sistem ventrikel ringan tanpa
perburukan klinis, resolusi spontan dapat terjadi, sehingga prosedur invasif dapat
ditunda.
Profilaksis
Individu yang mengalami kontak dengan pasien meningitis meningokokal harus
diberi antibiotik profilaksis. Pilihan antibiotik yang biasa diberikan adalah
ciprofloxacin 500 mg dosis tunggal atau rifampicin 2 x 600 mg selama 2 hari.
Profilaksis tidak dibutuhkan jika durasi sejak penemuan kasus meningitis
meningokokal sudah lebih dari 2 minggu. Imunisasi S. pneumoniae, H. influenza dan
N. meningitidis diketahui menurunkan insiden meningitis secara bermakna.
Prognosis
MB yang tidak diobati biasanya berakhir fatal. Meningitis pneumokokal memiliki
tingkat fatalitas tertinggi, yaitu 19-37%. Pada sekitar 30% pasien yang bertahan
hidup, terdapat sekuel defisit neurologik seperti gangguan pendengaran dan defisit
neurologik fokal lain. Individu yang memiliki faktor risiko prognosis buruk adalah
pasien immunocompromised, usia di atas 65 tahun, gangguan kesadaran, jumlah
leukosit CSS yang rendah, dan infeksi pneumokokus. Gangguan fungsi kognitif
terjadi pada sekitar 27% pasien yang mampu bertahan dari MB.
Terapi kortikosteroid jangka panjang
Terapi kortikosteroid sistemik digunakan secara luas untuk mengobati gangguan
autoimun atau inflamasi. Penggunaan kortikosteroid jangka panjang (terutama dalam
dosis tinggi) berhubungan dengan efek samping serius pada berbagai sistem fisiologik
tubuh,termasuk system imun. Efek samping tersebut sebenarnya dapat di-
11
minimalisasi dengan cara memantau kondisi pasien secara seksama dan menggunakan
jenis kortikosteroid dengan potensi dan dosis serendah mungkin.
Kortikosteroid menekan fungsi imun normal dengan menurunkan ekspresi limfosit T,
monosit, makrofag, eosinofil, mastosit, dan sel endotelial. Supresi sitokin bukan satu-
satunya efek kortikosteroid pada respons imun dan antiinflamasi normal.
Kortikosteroid juga dipercaya mengeksitasi produksi sitokin antiinflamasi TGF-ß
(Transforming Growth Factor-β). Kortikosteroid juga mengganggu ekspresi molekul
pengikat pada antigen- precenting cell serta menginduksi apoptosis pada limfosit T
matur dan monosit.
Pengguna kortikosteroid jangka panjang rentan terhadap infeksi karena kortikosteroid
dapat menghambat kerja sistem imun normal dan menekan proses inflamasi. Gejala
infeksi pada pengguna kortikosteroid jangka panjang dapat menunjukkan gejala yang
tidak khas karena adanya inhibisi pelepasan sitokin dan reduksi respons inflamasi.
Untuk mencegah infeksi oportunistik pada pengguna kortikosteroid jangka panjang,
beberapa pakar menganjurkan memulai terapi kortikosteroid dengan dosis dan potensi
serendah mungkin tanpa mengabaikan efikasi. Sebelum memulai terapi kortikosteroid
jangka panjang, pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan sebagai data dasar.
Selanjutnya, pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan setiap 3 bulan (selama
pasien masih dalam terapi kortikosteroid) untuk melihat adanya kemungkinan infeksi
yang belum bermanifestasi spesifik. Setiap pasien juga harus memiliki termometer
pribadi di rumah dan harus segera ke dokter bila suhu meningkat di atas 38°C.
American College of Rheumatology merekomendasikan vaksinasi pneumokokus dan
influenza pada pasien tersebut.5
2.4. Meningitis Tuberkulosa
Meningitis tuberkulosa dapat terjadi melalui 2 tahapan. Tahap pertama adalah ketika
basil Mycobacterium tuberculosis masuk melalui inhalasi droplet menyebabkan
infeksi terlokalisasi di paru dengan penyebaran ke limfonodi regional. Basil tersebut
dapat masuk ke jaringan meningen atau parenkim otak membentuk lesi metastatik
kaseosa foci subependimal yang disebut rich foci. Tahap kedua adalah bertambahnya
ukuran rich foci sampai kemudian ruptur ke dalam ruang subarach- noid dan
mengakibatkan meningitis.6
Meningitis tuberkulosa merupakan bentuk tuberkulosis paling fatal dan menimbulkan
12
gejala sisa yang permanen; oleh karena itu, dibutuhkan diagnosis dan terapi yang
segera. Penyakit ini merupakan tuberkulosis ekstrapulmoner kelima yang sering
dijumpai dan diperkirakan sekitar 5,2% dari semua kasus tuberkulosis ekstrapulmoner
serta 0,7% dari semua kasus tuberkulosis. Gejala klinis saat akut adalah defisit saraf
kranial, nyeri kepala, meningismus, dan perubahan status mental. Gejala prodromal
yang dapat dijumpai adalah nyeri kepala, muntah, fotofobia, dan demam.
Diagnosis
Pembagian stadium meningitis tuberkulosis menurut Medical Research Council of
Great Britain: 7
1) Stadium I
Penderita dengan sedikit atau tanpa gejala klinik meningitis. GCS 15,
tidak didapatkan kelumpuhan dan sadar penuh. Tanpa defisit fokal.
Penderita tampak tak sehat, demam, nyeri kepala ringan, apatis.
2) Stadium II
Ditermukan perubahan mental, kelumpuhan saraf III, IV, VI, GCS 11-14 /
Gejala umum abses otak adalah gejala proses desak ruang ditambah gejala infeksi.
Stadium awal abses otak berupa ensefalitis, yang menimbulkan edema otak dan
peningkatan tekanan intrakranial, menyebabkan gejala mual, nyeri kepala dan
muntah, somnolen dan rasa bingung kadang-kadang disertai delusi dan halusinasi.
Bila penyakit bertambah berat dapat terjadi stupor dan koma. Edema papil mulai
timbul 10-14 hari setelah onset. Pada kasus progresif dapat terjadi herniasi tentoria
atau herniasi tonsil serebelum ditandai dengan fiksasi dan dilatasi pupil dan akhirnya
paralisis pernafasan.
Kapsul mulai terbentuk dalam 10-14 hari. Kapsul fibrosis terbentuk dalam 5-6
minggu. Pembentukan kapsul tersebut diikuti menurunnya gejala karena
berkurangnya ensefalitis dan edema di sekitar abses. Kekambuhan terjadi jika abses
29
berkapsul pecah dan menyebabkan abses satelit; hal tersebut masih dapat terjadi
walaupun telah terbentuk dinding abses fibrosis yang kuat. Sekitar 5-10% abses otak
dapat kambuh.
Berdasarkan patogenesisnya, gejala dan tanda klinis dapat dibagi menjadi empat
stadia yaitu : 1. Stadium inisial, demam tidak terlalu tinggi, rasa mengantuk,
kehilangan konsentrasi, kehilangan nafsu makan, nyeri kepala serta malaise, kadang-
kadang mual dan muntah non proyektil. 2. Stadium laten, secara klinis tidak jelas
karena gejala berkurang, terdapat malaise, kurang nafsu makan dan nyeri kepala yang
hilang timbul.
3. Stadium manifes, kejang fokal atau afasia pada abses lobus temporal, pada abses
serebelum terjadi ataksia atau tremor. Nyeri kepala hebat disertai mual dan muntah
proyektil dianggap khas untuk penyakit intrakranial. 4. Stadium akhir berupa
kesadaran menurun dari sopor sampai koma dan akhirnya meninggal, karena ruptur
abses ke dalam sistem ventrikel dan rongga sub-arakhnoid.
Pemeriksaan Untuk Diagnosa
• Glasgow Coma Scale: untuk menentukan derajat kesadaran penderita
• Rontgen foto kepala, sinus atau mastoid, thorax: untuk mencari sumber
infeksi.
• Ultrasonografi: untuk mendapatkan gambaran lateralisasi
• Angiografi: untuk menentukan lokalisasi abses (34%)
• Electro Encephalo Graphy: menunjukkan adanya lateralisasi oleh abses supraten-
torial
• CT-Scan: untuk menunjukkan lokasi abses dengan tepat dan fase-fase dari abses
tersebut.
Pemeriksaan Laboratorium
• Jumlah leukosit; 10.000-20.000/cm3 (60- 70%)
• Laju endap darah meningkat ; 45mm/jam (75-90%)
• Lumbal pungsi tidak dianjurkan (tidak spesifik untuk abses otak), karena dapat
dengan cepat menunjukkan tanda-tanda herniasi otak.
Komplikasi
• Robeknya kapsul abses kedalam ventrikel atau ke ruangan subarakhnoidal
30
• Penyumbatan Hidrosefalus cairan serebrospinal
• Herniasi tentorial oleh massa abses otak
Prinsip Pengobatan
• Untuk menghilangkan proses infeksi, efek massa dan oedem terhadap otak.
• Pemberian antibiotik yang tepat selama 6-8 minggu untuk mengecilkan abses dan 10
minggu untuk menghilangkan effek massa dari abses otak.
• Tindakan pembedahan (aspirasi maupun eksisi)
Penatalaksanaan
Antibiotik—kombinasi penisilin dan metronidazil/kloramfenikol adalah pilihan
pertama. Kombinasi alternative adalah sefalosporin generasi III seperti:
seftriakson/sefotaksim dan metronidazole. 10-11
- Penisilin G atau sefalosporin generasi III (sefotaksim, seftriakson) dapat digunakan
untuk Streptococci sp. Dosis penisilin G 20-24 juta unit, dan juga 4-6 juta unit.
Kloramfenikol atau metronidazole dapat diberikan secara intravena dengan loading
dose 15 mg/kg diikuti 7,5 mg/kg setiap 6 jam.
- Golongan penisilin resisten beta-laktam (oksasilin, metoilin, nafsilin) dengan dosis
1,5 g setiap 4 jam IV atau vankomisin dosis 1 g setiap 12 jam IV, diberikan untuk
Staphylococcus aureus, infeksi staphylococcus sp. pascaoperasi saraf, trauma atau
endokarditis bakterialis.
- Metronidazol dosis 500 mg setiap 6 jam dapat menembus sawar darah otak dan tidak
dipengaruhi oleh kortikosteroid, tetapi hanya aktif untuk bakteri Streptococcus
anaerob, aerob dan mikroaerofilik.
- Sefalosporin generasi III (sefotaksim, seftriakson) umumnya adekuat untuk
organisme gram-negatif aerob. Jika terdapat Pseudomonas, sefalosporin parenteral
pilihan adalah seftazidim atau sefepim.
- Trimetoprim-sulfametoksasol dosis tinggi 15 mg/kg/hari dari komponen trimetropim
dibagi 3-5 dosis untuk abses otak dengan penyebab Nocardia sp. Dosis dapat
diturunkan setengahnya selama 3-6 bulan pada pasien tanpa penekanan imun dan
selama 1 tahun pada pasien dengan penekanan imun.
Kortikosteroid penggunaannya masih kontroversial. Deksametason 16 mg/hari pada
orang dewasa dan 0,5 mg/kg/hari pada adank, berguna untuk mengurangi edema
serebri. Kerugiannya adalah berkurangnya kemampuan penetrasi antibiotik,
31
berkurangnya pembentukan kapsul, dan meningkatnya nekrosis. Penggunaan
kortikosteroid sebaiknya berdurasi singkat dan dosisnya perlu dikurangi secara
bertahap. 12
BAB III
KESIMPULAN
3.1. Kesimpulan
Infeksi intrakranial dapat melibatkan jaringan otak, ada pula meningitis yang
dapat berupa meningitis viral, meningitis bakteri, meningitis TB, abses serebri,
toxoplasmosis. Virus, bakteri, jamur dan parasit dapat menyebabkan infeksi
susunan saraf pusat. Namun bakteri dan virus merupakan penyebab tersering.
Setelah masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan atau pernapasan atau
inokulasi kulit (melalui gigitan serangga atau binatang), organisme infeksius
menuju ketempat utama pada saluran cerna, pernapasan, otot subkutan atau
jaringan vaskular untuk bereplikasi. Kebanyakan organisme tersebut mencapai
SSP melalui aliran darah namun terkadang oraganisme ini mencapai SSP melalui
saraf perifer atau langsung masuk akibat adanya fraktur tengkorak atau mastoid
dan sinus yang terinfeksi
Penyakit infeksi ini dapat berjalan semakin memburuk dan menimbulkan
kematian bila tidak ditangani dengan baik. Pemberian terapi kausatif yang tepat
merupakan hal penting dalam pengobatan di samping terapi suportif dan
simptomatik.
Gejala dari infeksi ini seringkali tidak khas yang secara umum mengalami
demam dan sakit kepala. Jika setelah beberapa hari tidak membaik atau ada
gejala lanjutan seperti kejang dan sakit kepala yang semakin parah segera
lakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan lumbal pungsi, biopsi, dan CT scan.
Gambaran pola lesi menentukan diagnosis yang tepat dan menentukan
32
tatalaksana terapi selanjutnya. Khususnya, neuroimaging memiliki peran yang
sangat penting pada penyakit-penyakit oportunistik, bukan hanya untuk
penegakan diagnosis, namun juga untuk pemantauan respon terapi terhadap
penyakit. Jika prosedur ini dilakukan dengan cepat dan progresif maka bisa
mengurangi kecacatan yang timbul.
DAFTAR PUSTAKA
1. Davis LE, King MK, Schultz JL. Fundamentals of neurologic disease. Albuquerque: Demos Medical Publishing; 2005. p.133-43.
2. Simon RP, Greenberd DA, Aminoff MJ, editors. Clinical neurology. 7th ed. San Fransisco: McGraw-Hill; 2009. p.349-50.
3. Fishman RA. Lumbar puncture and cerebrospinal fluid examination in Rowland LP et al., editors. Merritt’s neurology. 11th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2005. p.123-4.
4. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan and mikhail’s clinical anesthesiology. 5th ed. San Francisco: McGraw-Hill; 2013. p. 943-72.
5. Meisadona G, Soebroto AD, Estiasari R. Diagnosis dan tatalaksana meningitis bakterialis. CDK. 2015;42(1):15-9.
6. Cermin Dunia Kedokteran. Fluoroquinolone untuk meningitis tuberkulosa. CDK. 2012;39(3);205.
7. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Handout workshop neuro-infeksi. Jakarta. Feb 2011. h.6-8.
8. Parinding IT. Diangnosis dan tatalaksana ensefalitis herpes simpleks. CDK. 2012;39(5);355-7.
9. Japardi I. Infeksi parasit dan jamur pada susunan saraf pusat. USU digital library; 2002. p.1-8. Diakses dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1977/1/bedah-iskandar%20japardi15.pdf, 11 Juli 2015.
10. Sucipta W dan Suardana W. Abses otak otogenik berulang. CDK. 2011;38(4);275-7.
11. Hakim AA. Abses otak. Majalah Kedokteran Nusantara. 2005;38(4);324-7.
12. Dewanto G, Suwono WJ, riyanto B, Turana Y. Panduan praktis diagnosis dan tata
laksana penyakit saraf. Jakarta: EGC; 2011. h.53-4.