Top Banner
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di negara sedang berkembang maupun di negara maju, penyakit infeksi masih merupakan masalah medis yang sangat penting oleh karena angka kematiannya masih cukup tinggi. Diantara penyakit infeksi yang amat berbahaya adalah infeksi susunan saraf pusat (SSP) termasuk ke dalamnya meningitis dan ensefalitis. Meningitis sinonim dengan leptomeningitis yang berarti adanya suatu infeksi selaput otak yang melibatkan arachnoid dan piamater sedangkan ensefalitis adalah adanya infeksi pada jaringan parenkim otak. Penyakit infeksi susunan saraf pusat memiliki angka kematian di atas 50%, jika seseorang selamat dari infeksi otak umumnya mengalami kecacatan mulai dari lumpuh hingga koma. Susunan saraf pusat merupakan bagian tubuh yang paling terlindungi atau yang paling terakhir kena, jadi kalau otak sudah terkena infeksi akan sangat mungkin mempengaruhi organ lainnya di tubuh dan fungsinya menjadi terganggu. Gejala dari infeksi ini seringkali tidak khas yang secara umum mengalami demam dan sakit kepala. Jika setelah beberapa hari tidak membaik atau ada gejala lanjutan seperti kejang dan sakit kepala yang semakin parah segera lakukan pemeriksaan lebih lanjut. Untuk diagnostik dini memang tidak mudah, karenanya proses 1
51

REF Infeksi

Dec 08, 2015

Download

Documents

Tiara Alexander

kfkzjfl
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: REF Infeksi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Di negara sedang berkembang maupun di negara maju, penyakit infeksi masih

merupakan masalah medis yang sangat penting oleh karena angka kematiannya

masih cukup tinggi. Diantara penyakit infeksi yang amat berbahaya adalah infeksi

susunan saraf pusat (SSP) termasuk ke dalamnya meningitis dan ensefalitis.

Meningitis sinonim dengan leptomeningitis yang berarti adanya suatu infeksi

selaput otak yang melibatkan arachnoid dan piamater sedangkan ensefalitis

adalah adanya infeksi pada jaringan parenkim otak.

Penyakit infeksi susunan saraf pusat memiliki angka kematian di atas 50%, jika

seseorang selamat dari infeksi otak umumnya mengalami kecacatan mulai dari

lumpuh hingga koma. Susunan saraf pusat merupakan bagian tubuh yang paling

terlindungi atau yang paling terakhir kena, jadi kalau otak sudah terkena infeksi

akan sangat mungkin mempengaruhi organ lainnya di tubuh dan fungsinya

menjadi terganggu.

Gejala dari infeksi ini seringkali tidak khas yang secara umum mengalami demam

dan sakit kepala. Jika setelah beberapa hari tidak membaik atau ada gejala

lanjutan seperti kejang dan sakit kepala yang semakin parah segera lakukan

pemeriksaan lebih lanjut. Untuk diagnostik dini memang tidak mudah, karenanya

proses pencarian penyebabnya harus progresif agar bisa ditangani dengan baik.

Untuk diagnosis pastinya dilakukan pemeriksaan cairan otak agar bisa diketahui

penyebab pastinya apakah akibat infeksi virus, bakteri, jamur, parasit atau cacing

pita. Jika prosedur ini dilakukan dengan cepat dan progresif maka bisa

mengurangi kecacatan yang timbul.

BAB II

1

Page 2: REF Infeksi

PEMBAHASAN

2.1. Infeksi Susunan Saraf Pusat

Virus, bakteri, jamur dan parasit dapat menyebabkan infeksi susunan saraf pusat.

Namun bakteri dan virus merupakan penyebab tersering. Setelah masuk ke dalam

tubuh melalui saluran pencernaan atau pernapasan atau inokulasi kulit (melalui

gigitan serangga atau binatang), organisme infeksius menuju ketempat utama pada

saluran cerna, pernapasan, otot subkutan atau jaringan vaskular untuk bereplikasi.

Kebanyakan organisme tersebut mencapai SSP melalui aliran darah namun terkadang

oraganisme ini mencapai SSP melalui saraf perifer atau langsung masuk akibat

adanya fraktur tengkorak atau mastoid dan sinus yang terinfeksi.1

Gambar 1. Lokasi mayor infeksi susunan saraf pusat.

Gejala dan tanda infeksi SSP bergantung kepada tempat infeksinya bukan dari

organisme infeksiusnya. Organisme infeksius cenderung menentukan lama sakit dan

keparahan dari infeksi. Tanda dan gejala yang perlu kita curigai terjadinya infeksi

SSP antara lain, demam, onset akut atau subakut, nyeri kepala, gejala fokal atau

tersebar, leukositosis, peningkatan LED, dan pasien imunosupresif. 1

Meningitis Ensefalitis Abses OtakUmum Demam

Nyeri kepalaKaku kudukConfusion

DemamNyeri kepala, mual dan muntahPerubahan status mental: confusion, delirium, stupor dan koma

Nyeri kepalaPerubahan status mental: confusion, stupor dan komaKejang: umum atau fokal

2

Page 3: REF Infeksi

Meningitis Ensefalitis Abses OtakUmum Kejang: umum atau fokal

Hiperrefleks, spastisitas, Babinski positifKaku kuduk ringan

Kelumpuhan N.VIHemiparesisPapiledem

Jarang KejangStupor atau komaPapiledem

Tremor dan dystoniaPapiledema

Kaku Kuduk

Tabel 1. Manifestasi klinis umum pada infeksi susunan saraf pusat.

2.2. Pemeriksaan Cairan Serebrospinal

Pungsi lumbal hanya dilakukan setelah dilakukan evaluasi klinis dan pertimbangan

keuntungan dan bahaya dari prosedur yang akan dilakukan.2 Pemeriksaan cairan

serebrospinal penting dilakukan pada diagnosis banding infeksi SSP, termasuk

meningitis dan ensefalitis, juga perdarahan subarachnoid, keadaan mental confussed,

stroke akut, status epileptikus, malignansi meningeal, penyeakit demyelinisasi dan

vaskulitis SSP.

Pungsi lumbal dikontraindikasikan bila terdapat:2,3

Meningitis bakterialis saat sedang demam tinggi

Infeksi lokal di sekitar daerah tempat pungsi lumbal

Koagulopati atau kelainan perdarahan lainnya

Bila diduga ada tumor intrakranial, terutamanya di fossa posterior

Peningkatan tekanan intrakranial

Gambar 2. Prosedur dan lokasi pungsi lumbal

Komplikasi yang mungkin terjadi adalah herniasi otak atau kompresi korda spinalis,

nyeri kepala, perdarahan subarachnoid, diplopia dan nyeri punggung.4

3

Page 4: REF Infeksi

LCS Bakteri TB Virus Jamur Toksoplasma

Warna (Jernih)

Purulen Jernih Jernih Jernih Jernih

Hitung sel(0-5)

Puluhan-Ribuan >5- Ratusan >5- Puluhan >5-Puluhan ↑

Tekanan(60-200 mmH2O)

↑↑/↑ ↑/N N ↑↑↑ Variasi

Glukosa ↓↓↓/↓↓ ↓↓/↓ ↓/N ↓/N ↓/N

Protein ↑↑↑/↑↑ ↑↑/↑ ↑/N ↑/↑↑ ↑

Dominasi sel PMN MN MN MN MN

Pemeriksaan KulturLeukosit darahCT Scan

Ro ToraksMantoux testCT Scan

SerologiCT Scan

Tinta IndiaCT Scan

SerologiCT Scan

Tabel 2. Hasil pemeriksaan cairan serebrospinal pada infeksi SSP.

2.3. Meningitis Bakterial

Meningitis bakterial (MB) adalah inflamasi meningen, terutama araknoid dan

piamater, yang terjadi karena invasi bakteri ke dalam ruang subaraknoid. Pada MB,

terjadi rekrutmen leukosit ke dalam cairan serebrospinal (CSS). Biasanya proses

inflamasi tidak terbatas hanya di meningen, tapi juga mengenai parenkim otak

(meningoensefalitis), ventrikel (ventrikulitis), bahkan bisa menyebar ke medula

spinalis. Kerusakan neuron, terutama pada struktur hipokampus, diduga sebagai

penyebab potensial defisit neuropsikologik persisten pada pasien yang sembuh dari

meningitis bakterial.5

Epidemiologi

Kasus MB terdistribusi di seluruh belahan bumi. Di negara dengan empat musim, MB

lebih banyak terjadi di musim dingin dan awal musim semi. MB lebih banyak terjadi

pada pria. Insiden MB adalah 2-6/100.000 per tahun dengan puncak kejadian pada

kelompok bayi, remaja, dan lansia. Tingkat insiden tahunan (per 100.000) MB sesuai

patogennya adalah sebagai berikut: Streptococcus pneumonia, 1,1; Neisseria

meningitidis, 0,6; Streptococcus, 0,3; Listeria monocytogenes, 0,2; dan Haemophilus

influenza, 0,2.

Faktor Risiko

Faktor-faktor yang berkaitan dengan peningkatan risiko MB di antaranya adalah

status immunocompromised (infeksi human immunodeficiency virus, kanker, dalam

terapi obat imunosupresan, dan splenektomi), trauma tembus kranial, fraktur basis

4

Page 5: REF Infeksi

kranium, infeksi telinga, infeksi sinus nasalis, infeksi paru, infeksi gigi, adanya benda

asing di dalam sistem saraf pusat (contoh: ventriculoperitoneal shunt), dan penyakit

kronik (gagal jantung kongestif, diabetes, penyalahgunaan alkohol, dan sirosis

hepatik).

Etiologi

Pada individu dewasa imunokompeten, S. pneumonia dan N. meningitidis adalah

pathogen utama penyebab MB, karena kedua bakteri tersebut memiliki kemampuan

kolonisasi nasofaring dan menembus sawar darah otak (SDO). Basil gram negatif

seperti Escherichia coli, Klebsiella spp, Staphylococcus aureus, Staphylococcus

epidermidis, dan Pseudomonas spp biasanya merupakan pe- nyebab MB nosokomial,

yang lebih mudah terjadi pada pasien kraniotomi, kateterisasi ventrikel internal

ataupun eksternal, dan trauma kepala.

Patofisiologi

Infeksi bakteri mencapai sistem saraf pusat melalui invasi langsung, penyebaran

hematogen, atau embolisasi trombus yang terinfeksi. Infeksi juga dapat terjadi melalui

perluasan langsung dari struktur yang terinfeksi melalui vv. diploica, erosi fokus

osteomyelitis, atau secara iatrogenik (pasca-ventriculoperitoneal shunt atau prosedur

bedah otak lainnya).

Transmisi bakteri patogen umumnya melalui droplet respirasi atau kontak langsung

dengan karier. Proses masuknya bakteri ke dalam sistem saraf pusat merupakan

mekanisme yang kompleks. Awalnya, bakteri melakukan kolonisasi nasofaring

dengan berikatan pada sel epitel menggunakan villi adhesive dan membran protein.

Risiko kolonisasi epitel nasofaring meningkat pada individu yang mengalami infeksi

virus pada sistem pernapasan atau pada perokok.

Komponen polisakarida pada kapsul bakteri membantu bakteri tersebut mengatasi

mekanisme pertahanan immunoglobulin A (IgA) pada mukosa inang. Bakteri

kemudian melewati sel epitel ke dalam ruang intravaskuler di mana bakteri relatif

terlindungi dari respons humoral komplemen karena kapsul polisakarida yang

dimilikinya.

Bakteri memasuki ruang subaraknoid dan cairan serebrospinal (CSS) melalui pleksus

5

Page 6: REF Infeksi

koroid atau kapiler serebral. Perpindahan bakteri terjadi melalui kerusakan endotel

yang disebabkannya. Seluruh area ruang subaraknoid yang meliputi otak, medula

spinalis, dan nervus optikus dapat dimasuki oleh bakteri dan akan menyebar dengan

cepat. Hal ini menunjukkan meningitis hampir pasti selalu melibatkan struktur

serebrospinal. Infeksi juga mengenai ventrikel, baik secara langsung melalui pleksus

koroid maupun melalui refluks lewat foramina Magendie dan Luschka.

Bakteri akan bermultiplikasi dengan mudah karena minimnya respons humoral

komplemen CSS. Komponen dinding bakteri atau toksin bakteri akan menginduksi

proses inflamasi di meningen dan parenkim otak. Akibatnya, permeabilitas SDO

meningkat dan menyebabkan kebocoran protein plasma ke dalam CSS yang akan

memicu inflamasi dan menghasilkan eksudat purulen di dalam ruang subaraknoid.

Eksudat akan menumpuk dengan cepat dan akan terakumulasi di bagian basal otak

serta meluas ke selubung saraf-saraf kranial dan spinal. Selain itu, eksudat akan

menginfiltrasi dinding arteri dan menyebabkan penebalan tunika intima serta

vasokonstriksi, yang dapat mengakibatkan iskemia serebral. Tunika adventisia

arteriola dan venula subaraknoid sejatinya terbentuk sebagai bagian dari membran

araknoid. Dinding vasa bagian luar sebenarnya sejak awal sudah mengalami proses

inflamasi bersamaan dengan proses meningitis (vaskulitis infeksius).

Selanjutnya, dapat terjadi syok yang mereduksi tekanan darah sistemik, sehingga

dapat mengeksaserbasi iskemia serebral. Selain itu, MB dapat menyebabkan

trombosis sekunder pada sinus venosus mayor dan tromboflebitis pada vena-vena

kortikal. Eksudat purulen yang terbentuk dapat menyumbat resorpsi CSS oleh villi

araknoid atau menyumbat aliran pada sistem ventrikel yang menyebabkan

hidrosefalus obstruktif atau komunikans yang disertai edema serebral interstisial.

Eksudat tersebut juga dapat mengelilingi saraf-saraf kranial dan menyebabkan

neuropati kranial fokal.

Manifestasi Klinik

MB akut memiliki trias klinik, yaitu demam, nyeri kepala hebat, dan kaku kuduk;

tidak jarang disertai kejang umum dan gangguan kesadaran. Tanda Brudzinski dan

Kernig juga dapat ditemukan serta memiliki signifikansi klinik yang sama dengan

kaku kuduk, namun sulit ditemukan secara konsisten. Diagnosis meningitis dapat

menjadi sulit jika manifestasi awal hanya nyeri kepala dan demam. Selain itu, kaku

kuduk tidak selalu ditemukan pada pasien sopor, koma, atau pada lansia.

6

Page 7: REF Infeksi

Meningitis meningokokal harus dicurigai jika terjadi perburukan kondisi yang sangat

cepat (kondisi delirium atau sopor dalam hitungan jam), terdapat ruam petechiae atau

purpura, syok sirkulasi, atau ketika ada wabah lokal meningitis. Ruam petechiae

muncul pada sekitar 50% infeksi meningokokal, manifestasi tersebut

mengindikasikan pemberian antibiotik secepatnya.

Meningitis pneumokokal sering didahului oleh infeksi paru, telinga, sinus, atau katup

jantung. Etiologi pneumokokal juga patut dicurigai pada pasien alkoholik, pasca-

splenektomi, lansia, anemia bulan sabit, dan fraktur basis kranium. Sedangkan

etiologi H. influenzae biasanya terjadi setelah infeksi telinga dan saluran napas atas

pada anak- anak.

Etiologi lain sangat tergantung pada kondisi medik tertentu. Meningitis setelah

prosedur bedah saraf biasanya disebabkan oleh infeksi stafilokokus. Infeksi HIV,

gangguan myeloproliferatif, defek tulang kranium (tumor, osteomyelitis), penyakit

kolagen, kanker metastasis, dan terapi imunosupresan adalah kondisi yang

memudahkan terjadinya meningitis yang disebabkan Enterobacteriaceae, Listeria, A.

calcoaceticus, danPseudomonas.

Tanda-tanda serebral fokal pada stadium awal meningitis paling sering disebabkan

oleh pneumokokus dan H. influenza. Meningitis dengan etiologi H. influenza paling

sering menyebabkan kejang. Lesi serebal fokal persisten atau kejang yang sulit

dikontrol biasanya terjadi pada minggu kedua infeksi meningen dan disebabkan oleh

vaskulitis infeksius, saat terjadi sumbatan vena serebral superfisial yang berujung

pada infark jaringan otak. Abnormalitas saraf kranial sering terjadi pada meningitis

pneumokokal, karena invasi eksudat purulen yang merusak saraf yang melalui ruang

subaraknoid.

Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis MB ditegakkan melalui analisis CSS, kultur darah, pewarnaan CSS, dan

biakan CSS. Pada prinsipnya, pungsi lumbal harus dikerjakan pada setiap kecurigaan

meningitis dan/atau ensefalitis. Pada pemeriksaan darah, MB disertai dengan

peningkatan leukosit dan penanda inflamasi, dan kadang disertai hipokalsemia,

hiponatremia, serta gangguan fungsi ginjal dengan asidosis metabolik. Pencitraan otak

harus dilakukan secepatnya untuk mengeksklusi lesi massa, hidrosefalus, atau edema

7

Page 8: REF Infeksi

serebri yang merupakan kontraindikasi relatif pungsi lumbal. Jika pencitraan tidak

dapat dilakukan, pungsi lumbal harus dihindari pada pasien dengan gangguan

kesadaran, keadaan immunocompromised (AIDS, terapi imunosupresan, pasca-

transplantasi), riwayat penyakit sistem saraf pusat (lesi massa, stroke, infeksi fokal),

defisit neurologik fokal, bangkitan awitan baru, atau papil edema yang

memperlihatkan tanda-tanda ancaman herniasi.

Tekanan pembukaan saat pungsi lumbal berkisar antara 20-50 cmH2O. CSS biasanya

keruh, tergantung dari kadar leukosit, bakteri, dan protein. Pewarnaan Gram CSS

memberi hasil meningokokus positif pada sekitar 50% pasien dengan meningitis

meningokokal akut. Kultur darah dapat membantu, namun tak selalu bisa diandalkan.

Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) bersifat sensitif terhadap

Streptococcus pneumoniae dan Neisseria meningitidis.

Penatalaksanaan

Gambar 2. Algoritma tatalaksana meningitis bakterialis.

MB adalah kegawatdaruratan medik. Pemilihan antibiotik yang tepat adalah langkah

yang krusial, karena harus bersifat bakterisidal pada organisme yang dicurigai dan

dapat masuk ke CSS dengan jumlah yang efektif. Pemberian antibiotik harus segera

dimulai sambil menunggu hasil tes diagnostik dan nantinya dapat diubah setelah ada

8

Page 9: REF Infeksi

temuan laboratorik. Pada suatu studi, didapatkan hasil jika pemberian antibiotik

ditunda lebih dari 3 jam sejak pasien masuk RS, maka mortalitas akan meningkat

secara bermakna.

Karakter Pasien Etiologi tersering Pilihan antibiotik

NeonatusStreptococcus grup B, L. monocytogenes, E. coli

Ampicillin plus cefotaxime

Usia 2 bulan-18 tahunN. meningitidis, S. pneumonia, H. influenzae

Ceftriaxone atau cefotaxime, dapat ditambahkan vancomycin

Usia 18-50 tahunS. pneumonia, N. meningitidis

Ceftriaxone, dapat ditambahkan vancomycin

Usia >50 tahunS. pneumonia, L. monocytogenes, bakteri gram negatif

Vancomycin plus ampicillin plus ceftriaxone

Kondisi immunocompromised

S. pneumonia, N. meningitidis, L. monocytogenes, S. aureus, Salmonella spp, basil gram negatif aerob (termasuk P. aeruginosa)

Vancomycin plus ampicillin plus cefepime atau meropenem

Fraktur basis kraniumS. pneumonia, H. influenza, group A beta-hemolytic streptococci

Vancomycin plus cefotaxime atau ceftriaxone

Cedera kepala; pascabedah

otak

Stafilococcus, basil gram

negatif aerob (termasuk P.

aeruginosa)

Vancomycin plus

ceftazidime, cefepime, atau

meropenem

Tabel 2. Terapi empirik pada meningitis bakterialis.

Mikroorganisme Terapi standard Terapi alternatifH. influenza B-laktamase negatif

AmpisilinSefalosporin generasi III; kloramfenikol

H. influenza B-laktamase positif

Sefalosporin generasi III Kloramfenikol; sefepim

N. meningitidis Penisilin G atau ampisilinSefalosporin generasi III; kloramfenikol

S. pneumoniae Sefalosporin generasi III Vankomisin; meropenemEnterobacteriaceae Sefalosporin generasi III Meropenem atau sefepimP. aeruginosa Seftazinim atau sefepim Meropenem; piperisilinL. monocytogenes Ampisilin atau penisilin G Trimetoprim/sulfametoksazol

S. agalactiae Ampisilin atau penisilin GSefalosporin generasi III; vankomisin

9

Page 10: REF Infeksi

S. aureus sensitif metisilin Nafsilin atau oksasilin VankomisinS. aureus resisten metisilin Vankomisin Linezolid; daptomisinS.epidermidis Vankomisin

Tabel 3. Terapi spesifik pada meningitis bakterialis.

Pilihan antibiotik empirik pada pasien MB harus berdasarkan epidemiologi lokal, usia

pasien, dan adanya penyakit yang mendasari atau faktor risiko penyerta. Antibiotik

harus segera diberikan bila ada syok sepsis. Jika terjadi syok sepsis, pasien harus

diterapi dengan cairan dan mungkin memerlukan dukungan obat inotropik. Jika

terjadi peningkatan tekanan intrakranial, pertimbangkan pemberian manitol.

Antibiotik empirik bisa diganti dengan antibiotik yang lebih spesifik jika hasil kultur

sudah ada. Durasi terapi antibiotik bergantung pada bakteri penyebab, keparahan

penyakit, dan jenis antibiotik yang digunakan. Meningitis meningokokal epidemik

dapat diterapi secara efektif dengan satu dosis ceftriaxone intramuskuler sesuai

dengan rekomendasi WHO. Namun WHO merekomendasikan terapi antibiotik paling

sedikit selama 5 hari pada situasi nonepidemik atau jika terjadi koma atau kejang

yang bertahan selama lebih dari 24 jam. Autoritas kesehatan di banyak negara maju

menyarankan terapi antibiotik minimal 7 hari untuk meningitis meningokokal dan

haemofilus; 10-14 hari untuk terapi antibiotik pada meningitis pneumokokal.

Terapi dexamethasone yang diberikan sebelum atau bersamaan dengan dosis pertama

antibiotik dapat menurunkan morbiditasdanmortalitassecarabermakna, terutama pada

meningitis pneumokokal. Dexamethasone dapat menurunkan respons inflamasi di

ruang subaraknoid yang secara tak langsung dapat menurunkan risiko edema serebral,

peningkatan tekanan intrakranial, gangguan aliran darah otak, vaskulitis, dan cedera

neuron. Dexamethasone diberikan selama 4 hari dengan dosis 10 mg setiap 6 jam

secara intravena. Sejumlah pakar berpendapat pemberian dexamethasone harus

dihenti- kan jika hasil kultur CSS menunjukkan penyebab MB bukan H. influenzae

atau S. pneumoniae, namun kelompok pakar lain merekomendasikan pemberian dexa-

methasone apapun etiologi MB yang ditemukan. Pemberian dexamethasone pada

pasien MB dengan sepsis berat atau syok sepsis dapat meningkatkan kesintasan. Pada

penelitian lain, pemberian dexamethasone tidak menurunkan angka mortalitas dan

morbiditas secara bermakna.

Pasien MB harus dipantau ketat. Kejadian kejang sering muncul dan terapi anti-

10

Page 11: REF Infeksi

konvulsan sering kali diperlukan. Jika kesadaran pasien menurun setelah kejang,

maka pasien terindikasi untuk pemeriksaan elektroensefalografi. Kondisi pasien harus

dipertahankan dalam status normoglikemia dan normovolemia. Proton pump inhibitor

perlu diberikan untuk mencegah stress-induced gastritis. Jika kondisi klinis pasien

belum membaik dalam 48 jam setelah terapi antibiotik dimulai, maka analisis CSS

ulang harus dilakukan. 5

Pada pasien MB dengan hidrosefalus akut, prosedur ventrikulostomi dapat di-

pertimbangkan. Pada pasien dengan pem- besaran sistem ventrikel ringan tanpa

perburukan klinis, resolusi spontan dapat terjadi, sehingga prosedur invasif dapat

ditunda.

Profilaksis

Individu yang mengalami kontak dengan pasien meningitis meningokokal harus

diberi antibiotik profilaksis. Pilihan antibiotik yang biasa diberikan adalah

ciprofloxacin 500 mg dosis tunggal atau rifampicin 2 x 600 mg selama 2 hari.

Profilaksis tidak dibutuhkan jika durasi sejak penemuan kasus meningitis

meningokokal sudah lebih dari 2 minggu. Imunisasi S. pneumoniae, H. influenza dan

N. meningitidis diketahui menurunkan insiden meningitis secara bermakna.

Prognosis

MB yang tidak diobati biasanya berakhir fatal. Meningitis pneumokokal memiliki

tingkat fatalitas tertinggi, yaitu 19-37%. Pada sekitar 30% pasien yang bertahan

hidup, terdapat sekuel defisit neurologik seperti gangguan pendengaran dan defisit

neurologik fokal lain. Individu yang memiliki faktor risiko prognosis buruk adalah

pasien immunocompromised, usia di atas 65 tahun, gangguan kesadaran, jumlah

leukosit CSS yang rendah, dan infeksi pneumokokus. Gangguan fungsi kognitif

terjadi pada sekitar 27% pasien yang mampu bertahan dari MB.

Terapi kortikosteroid jangka panjang

Terapi kortikosteroid sistemik digunakan secara luas untuk mengobati gangguan

autoimun atau inflamasi. Penggunaan kortikosteroid jangka panjang (terutama dalam

dosis tinggi) berhubungan dengan efek samping serius pada berbagai sistem fisiologik

tubuh,termasuk system imun. Efek samping tersebut sebenarnya dapat di-

11

Page 12: REF Infeksi

minimalisasi dengan cara memantau kondisi pasien secara seksama dan menggunakan

jenis kortikosteroid dengan potensi dan dosis serendah mungkin.

Kortikosteroid menekan fungsi imun normal dengan menurunkan ekspresi limfosit T,

monosit, makrofag, eosinofil, mastosit, dan sel endotelial. Supresi sitokin bukan satu-

satunya efek kortikosteroid pada respons imun dan antiinflamasi normal.

Kortikosteroid juga dipercaya mengeksitasi produksi sitokin antiinflamasi TGF-ß

(Transforming Growth Factor-β). Kortikosteroid juga mengganggu ekspresi molekul

pengikat pada antigen- precenting cell serta menginduksi apoptosis pada limfosit T

matur dan monosit.

Pengguna kortikosteroid jangka panjang rentan terhadap infeksi karena kortikosteroid

dapat menghambat kerja sistem imun normal dan menekan proses inflamasi. Gejala

infeksi pada pengguna kortikosteroid jangka panjang dapat menunjukkan gejala yang

tidak khas karena adanya inhibisi pelepasan sitokin dan reduksi respons inflamasi.

Untuk mencegah infeksi oportunistik pada pengguna kortikosteroid jangka panjang,

beberapa pakar menganjurkan memulai terapi kortikosteroid dengan dosis dan potensi

serendah mungkin tanpa mengabaikan efikasi. Sebelum memulai terapi kortikosteroid

jangka panjang, pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan sebagai data dasar.

Selanjutnya, pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan setiap 3 bulan (selama

pasien masih dalam terapi kortikosteroid) untuk melihat adanya kemungkinan infeksi

yang belum bermanifestasi spesifik. Setiap pasien juga harus memiliki termometer

pribadi di rumah dan harus segera ke dokter bila suhu meningkat di atas 38°C.

American College of Rheumatology merekomendasikan vaksinasi pneumokokus dan

influenza pada pasien tersebut.5

2.4. Meningitis Tuberkulosa

Meningitis tuberkulosa dapat terjadi melalui 2 tahapan. Tahap pertama adalah ketika

basil Mycobacterium tuberculosis masuk melalui inhalasi droplet menyebabkan

infeksi terlokalisasi di paru dengan penyebaran ke limfonodi regional. Basil tersebut

dapat masuk ke jaringan meningen atau parenkim otak membentuk lesi metastatik

kaseosa foci subependimal yang disebut rich foci. Tahap kedua adalah bertambahnya

ukuran rich foci sampai kemudian ruptur ke dalam ruang subarach- noid dan

mengakibatkan meningitis.6

Meningitis tuberkulosa merupakan bentuk tuberkulosis paling fatal dan menimbulkan

12

Page 13: REF Infeksi

gejala sisa yang permanen; oleh karena itu, dibutuhkan diagnosis dan terapi yang

segera. Penyakit ini merupakan tuberkulosis ekstrapulmoner kelima yang sering

dijumpai dan diperkirakan sekitar 5,2% dari semua kasus tuberkulosis ekstrapulmoner

serta 0,7% dari semua kasus tuberkulosis. Gejala klinis saat akut adalah defisit saraf

kranial, nyeri kepala, meningismus, dan perubahan status mental. Gejala prodromal

yang dapat dijumpai adalah nyeri kepala, muntah, fotofobia, dan demam.

Diagnosis

Pembagian stadium meningitis tuberkulosis menurut Medical Research Council of

Great Britain: 7

1) Stadium I

Penderita dengan sedikit atau tanpa gejala klinik meningitis. GCS 15,

tidak didapatkan kelumpuhan dan sadar penuh. Tanpa defisit fokal.

Penderita tampak tak sehat, demam, nyeri kepala ringan, apatis.

2) Stadium II

Ditermukan perubahan mental, kelumpuhan saraf III, IV, VI, GCS 11-14 /

GCS 15 ditambah defisit fokal.

3) Stadium III

Gejala diatas disertai penurunan kesadaran, GCS ≤ 10.

Kriteria diagnostik dari meningitis TB menurut Thwaites dkk dalam Journal of

Infectious Disease 2005 adalah:

1. Definitif :

Klinis meningitis / meningoensefalitis

Analisa CSS tidak normal

Pewarnaan BTA positif pada CSS (secara mikroskopis) dan atau kultur

positif untuk M. Tuberkulosis dan atau PCR TB positif.

2. Probable

Klinis meningitis atau meningoensefalitis

Analisa CSF tidak normal

Salah satu dari

- BTA ditemukan pada jaringan lain

- Foto torak sesuai dengan TB paru aktif

13

Page 14: REF Infeksi

3. Possible

Klinis meningitis atau meningoensefalitis

Analisa CSF tidak normal

Salah satu dari :

Riwayat TB

Sakit > 5 hari

Gangguan kesadaraan

Tanda neurologis fokal

Dominasi mononuklear pada CSS

Rasio glukosa serum dengan LCS <0,5

CSS berwarna kekuningan (xantokrom)

Skoring Meningtis TB menurut Thwaites adalah:

Variabel Skor

Umur (tahun)

≥36

<36

+2

0

Leukosit darah (103/mL)

≥15.000

<15.000

+4

0

Lama sakit (hari)

≥6

<6

-5

0

Leukosit LCS (103/mL)

≥900

<900

+3

0

Neutrofil LCS

≥75

<75

+4

0

Skor total ≤4 mengindikasikan infeksi meningitis tuberkulosa

Skor total >4 tidak mengindikasikan infeksi meningitis tuberkulosa.

Tabel 4. Skoring meningitis TB.

Penatalaksanaan

14

Page 15: REF Infeksi

Sediaan OAT: 7

Rifampicin : 10mg/KgBB/hari PO

Isoniazid : 5mg/KgBB/hari PO

Pirazinamid : 25 mg/KgBB/hari PO maks 2g/hari

Ethambutol : 20 mg/KgBB/hari PO maks 1,2g/hari

Sterptomisin : 20 mg/KgBB/hari IM

Lama pemberian adalah 2 R-H-Z-E/S + 7-10 R-H-Z (2 bulan pertama diberikan

Rifampisin, INH, Prazinamid, Etambutol / Streptomisin, 7-10 bulan berikutnya

diberikan rifampisin, INH, Pirazinamid).

Selain itu juga tersedia OAT kombo:

Rimstar: Rifampisin 150 mg, INH 75 mg, Pirazinamid 400 mg dan

Etambutol 275 mg

Combipack: Rifampisin 150 mg, INH 300 mg, Etambutol 750 mg

Penggunaan steroid masih kontroversial namun beberapa penelitian terakhir

menunjukan peranan yang positif. Pemberian deksametason pada meningitis

tuberculosis derajat 2 dan 3 tanpa infeksi HIV mengurangi risiko kematian namun

tidak mengurangi disabilitas berat pada pasien yang bertahan hidup.

Perlu diingat bahwa pemberian deksametason pada meningitis tuberculosis hanya

direkomendasikan untuk pasien HIV negatif. Cara pemberian deksametason adalah

sebagai berikut.

Meningitis TB grade I

Minggu I : 0,3 mg/kgBB/ hari i.v.

Minggu II : 0,2 mg/kgBB/hari i.v.

Minggu III-IV : mulai 4mg/ hari p.o. dan diturunkan 1mg/hari tiap

minggu

Meningitis TB grade II/III

Minggu I : 0,4mg/kgBB/hari i.v.

Minggu II : 0,3mg/kgBB/hari i.v.

Minggu III : 0,2mg/kgBB/hari i.v.

Minggu IV : 0,1mg/kgBB/hari i.v.

15

Page 16: REF Infeksi

Minggu V-VIII : mulai 4mg/hari p.o. dan diturunkan 1mg/hari

tiap minggu.

2.5. Ensefalitis Virus Herpes Simpleks

Beberapa jenis virus yang dapat menginfeksi susunan saraf pusat (SSP) manusia, di

antaranya HIV ( HIV-1 dan HIV-2), Herpes Simplex Virus (HSV-1 dan HSV-2),

Cytomegalovirus (CMV), Varicella Zoster Virus (VZV), dan Dengue Virus. HSV

cenderung menempati bagian medial lobus temporal, merusak neuron, sel glia, mielin,

dan pembuluh darah, dapat menimbulkan gejala dan gambaran EEG khas; penyakit

ini cukup responsif terhadap pengobatan apabila diagnosis telah ditegakkan. 8

Manifestasi Klinis

Gejala berlangsung akut selama beberapa hari. Dua keadaan klinis ensefalitis HSV

yaitu: (1) Sindrom meningitis aseptik; disebut aseptik karena hasil kultur negatif,

sebagian besar disebabkan virus, Sindrom ini menandakan keterlibatan meninges pada

ensefalitis HSV, umumnya disebut meningoensefalitis; dan (2) Sindrom Ensefalitis

Akut yang umum terlihat pada ensefalitis HSV. 8

Sindrom Aseptic Meningitis

Demam 38-40 °C, biasanya akut.

Nyeri kepala - biasanya lebih berat dibandingkan nyeri kepala saat demam

sebelumnya.

Fotofobia dan nyeri pada gerakan bola mata.

Kaku kuduk sebagai pertanda rangsang meningeal, biasanya tidak terdeteksi

pada fase awal.

Pemeriksaan Kernig dan Brudzinski sering negatif pada meningitis viral.

Gejala sistemik infeksi virus, seperti radang tenggorokan, mual dan muntah,

kelemahan tubuh, rasa pegal punggung dan pinggang, konjungtivitis, batuk,

diare, bercak kemerahan (eksantema).

Jika disertai penurunan kesadaran serta perubahan kualitas kesadaran, mungkin

ke arah diagnosis ensefalitis.

Pemeriksaan LCS (Liquor Cerebrospinalis): nilai glukosa normal, dan pleositosis

limfositik.

16

Page 17: REF Infeksi

Sindrom Ensefalitis Akut

Demam mendadak dengan atau tanpa gejala meningitis aseptik; jika disertai gejala

meningitis aseptik, disebut meningoensefalitis.

Defisit neurologis seperti konvulsi, delirium, stupor atau koma, afasia;

hemiparesis dengan refleks Babinski asimetris, gerak involunter, ataksia dan

kejang mioklonik, nistagmus, lumpuh otot okular, kelemahan otot wajah. Pada

pemeriksaan dapat ditemukan halusinasi pengecapan dan penciuman, anosmia,

kejang lobus temporalis, perubahan kepribadian, perilaku psikotik, delirium,

afasia serta hemiparesis.

Kejang: sebagian besar kejang fokal.

Pencitraan memperlihatkan gambaran edema atau kerusakan di bagian infero

medial temporal dan frontal.

Pemeriksaan Penunjang

Pungsi lumbal

Konsensus AAP (American Academy of Pediatrics) sangat menganjurkan pungsi

lumbal pada bayi usia 6-12 bulan dengan kejang demam sederhana pertama, dan

dipertim- bangkan pada anak usia 12-18 bulan dengan kejang demam sederhana

pertama.LCS umumnya meningkat tekanannya (dihubungkan dengan peningkatan

tekanan intrakranial) dan memperlihatkan gambaran pleositosis (10 sampai 200 sel

per mm3, jarang di atas 500), didominasi limfosit; terdapat peningkatan sel neutrofil

pada fase awal penyakit. Pada beberapa kasus, komposisi LCS normal di awal

penyakit, namun akan abnormal pada pemeriksaan ulang. Tidak jarang terdapat

peningkatan protein (50-2000 mg/dL) dan dalam persentase kecil, penurunan glukosa

hingga 40 mg/dL, hal ini terkadang membuat rancu antara diagnosis infeksi HSV,

TBC, atau jamur. Pungsi lumbal serial disarankan oleh CASG (Collaborative

Antiviral Study Group), bertujuan untuk melihat efektivitas pencegahan replikasi

virus, dilakukan hingga dosis terapi lengkap asiklovir; pemeriksaan LCS pada minggu

ke 1,2 dan 4,6 setelah terapi asiklovir intravena selesai untuk melihat kemungkinan

kekambuhan subklinis.

Polymerase Chain Reaction

Akhir-akhir ini berkembang pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction) LCS

untuk mendeteksi antigen HSV; dalam hari-hari perawatan awal, antigen dibiarkan

17

Page 18: REF Infeksi

bereplikasi untuk mengkonfirmasi keberadaan HSV. Hasil negatif palsu tes PCR HSV

pada awal penyakit dapat disebabkan oleh sedikitnya pelepasan asam nukleat HSV

dari otak ke LCS atau ke- terbatasan alat. Beberapa narasumber menyarankan

pemeriksaan PCR berkala, terutama dalam minggu pertama. Pemeriksaan PCR pada

LCS ini sensitivitasnya 95% pada 3 minggu pertama perjalanan penyakit, serta 98%

pada pemeriksaan PCR biopsi otak. Disarankan memulai terapi antiviral berdasarkan

gejala klinis, radiologis, dan temuan LCS, sambil menunggu hasil pemeriksaan PCR.

EEG (Elektroensefalografi)

Perubahan EEG berupa periodic lateralizing epileptiform discharge atau perlambatan

kom- pleks regular pada interval dua sampai tiga per detik di daerah temporal atau

frontotemporal, merupakan suatu temuan bermakna, meskipun tidak spesifik.

Pencitraan

CT Scan memperlihatkan area hipodensitas (biasanya temporal atau frontotemporal)

pada 50%-60% kasus; MRI (Magnetic Resonance Imaging) memperlihatkan

perubahan sinyal pencitraan T2. T1 memperlihatkan area dengan intensitas sinyal

rendah dikelilingi edema, terkadang terdapat gambaran perdarahan di area lobus

frontal dan temporal. Dengan kontras Gadolinium dapat dilihat kelainan korteks dan

pial, yang terakhir ini cukup sering terjadi pada semua infeksi SSP virus.

Penatalaksanaan

Diagnosis melalui anamnesis dan pemerik saan neurologis yang baik, serta pungsi

lumbal (jika tidak ada kontraindikasi). Terapi diusahakan langsung dimulai tanpa

menunggu konfirmasi pemeriksaan lain untuk menurunkan morbiditas serta

mortalitas.

Asiklovir intravena diberikan dengan dosis 10 mg/kg per dosis (setiap 8 jam)

dilanjutkan sampai 10 hingga 14 hari (dapat hingga 21 hari) untuk mencegah relaps;

dapat dihentikan bila pemeriksaan mengarah ke diagnosis lain. Asiklovir memiliki

risiko efek samping rendah; yang harus diperhatikan adalah peningkatan enzim hepar

dan penurunan fungsi ginjal.

Kasus alergi atau resisten asiklovir dapat diberi vidarabin 15 mg/kg per hari selama

14 hari. Pengendalian edema serebri dengan deksametason IV 0,15 mg/kg/dosis, tiap

18

Page 19: REF Infeksi

6 jam selama 2 hari, serta mengurangi asupan cairan menjadi 2/3 kebutuhan 24 jam,

dapat mengurangi kemungkinan peningkatan tekanan intrakranial.

Tata laksana kejang sesuai dengan algoritma kejang akut dan status konvulsif dengan

tujuan utama: 8

Mempertahankan fungsi kehidupan (A,B,C).

Identifikasi dan terapi faktor penyebab dan faktor predisposisi.

Menghentikan aktivitas kejang.

Prognosis

Mortalitas dan morbiditas sangat tergantung pada umur, derajat kesadaran pasien serta

saat pemberian asiklovir. Bila pasien tidak sadar (kecuali setelah kejang), biasanya

prognosisnya buruk. Bila pengobatan dimulai pada hari sakit ke-4 pada pasien sadar,

keberhasilan pengobatan di atas 90%. Sekuele neurologis biasanya serius, termasuk

amnesia Korsakoff, demensia global, kejang dan afasia. Tanpa pengobatan, penyakit

ini mematikan pada sekitar 70 sampai 80 %; pasien yang dapat melewati fase akut,

sering cacat menetap.

2.6. Infeksi Parasit dan Jamur

Infeksi jamur dan parasit pada susunan saraf pusat merupakan penyakit oportunistik

yang pada beberapa keadaan tidak terdiagnosa sehingga penanganannya juga sulit.

Angka kematian akibat penyakit ini cukup tinggi yaitu 30% - 40% dan insidensinya

meningkat seiring dengan pemakaian obat imunosupresif dan penurunan daya tahan

tubuh. 9

Manifestasi infeksi jamur dan parasit pada susunan saraf pusat dapat berupa

meningitis dan proses desak ruang (abses atau kista). Jamur cendrung menimbulkan

meningitis kronis atau abses otak sedang parasit menyebabkan abses seperti pada

kasus toxoplasmosis danamebiasis. Status imunologi berpengaruh pada jenis

organisme tertentu seperti coccidioidomycosis, histoplasmosis, blastomycosis dan

sebagian besar parasit timbul pada pasien dengan status imunologi baik, sedang

cryptococcus ditemukan dengan prosentase yang sama antara pasien imunosupresi

dan orang sehat. Pengelolaan disesuaikan dengan keadaan misalnya pemberiaan obat

anti jamur, drainase atau shunting untuk komplikasi hidrosefalus.

Berikut akan dibahas beberapa penyakit jamur dan parasit pada susunan saraf pusat

19

Page 20: REF Infeksi

sesuai degn kelompok, yaitu yang menimbulkan kelainan difus dan fokal.

Infeksi Jamur Difus

Coccidiodomycosis

Coccidiodes merupakan jamur dimorfik yang sangat patogen yang secara normal

terdapat di tanah dengan pH setengah asam (semi-acid). Ditemukan di daerah tertentu

seperti dibagian barat daya Amerika Serikat, sebagian Meksiko dan Amerika Selatan,

tetapi karena mobilitas penduduk, jamur ini bisa ditemukan jauh dari tempat aslinya.

Patogenesa

Infeksi dimulai dari inhalasi artroconidia yang menyebabkan infeksi paru primer.

Sebagian besar pasien tetap asimtomatik dan hanya 0.2% yang menyebar diluar

saluran pernafasan. Sepertiga kasus ekstrapulmoner berbentuk meningitis. Susunan

saraf pusat merupakan satu-satunya organ yang terkena gangguan saat/periode

disiminasi, keadan ini terjadi dalam beberapa bulan setelah infeksi primer. Status

imunologi pasien berperan pada penyebaran ekstraparu, keadaan imunosupresi seperti

pada pemberian kortikosteroid, memudahkan penyebaran ekstraparu.

Klinis

Meningitis kronis karena Coccidiodes menyerupai meningitis tuberkulosa, dengan

nyeri kepala dan bingung (confusion) sedang meningismus jarang ditemukan.

Pemeriksaan Penunjang

Foto torak basanya abnormal. Pemeriksaan liquor serebrospinal menunjukkan

peningkatan kadar protein, penurunan kadar gula dan limfositosis. Jamur ini cukup

sulit ditemukan pada kultur liquor, tetapi pemeriksaan serum antibodi biasanya positif

dan merupakan indikator aktifasi penyakit. Paa CT Scan dengan kontras nampak

penyangatan sisterna basalis yang akan hilang setelah pengobatan. Pada beberapa

keadaan ditemukan abses di medulla spinalis, biasanya di servikal atau torakal.

Pengelolaan

Ampoterisin B telah dipakai untuk pengobatan infeksi jamur sejak 30 tahun yang lalu.

Pada pemberian secara intravena kadar obat dalam ruang subaraknoid sangat rendah

sehingga beberapa klinisi memberikan injeksi langsung ke intratekal. Dosis untuk

injeksi intratekal adalah 0.25-0.5 mg/hari. Efek samping pemberian ampoterisin B

intratekal adalah araknoiditis, vaskulitis dan infeksi sekunder.

Obat lain untuk penanganan infeksi jamur pada susunan saraf pusat adalah dengan

20

Page 21: REF Infeksi

obat gabungan antara ampoterisi B dengan flusitosin atau ketokonazol tetapi

pemakaian obat ini pada manusia belum ada laporan yang jelas. Untuk obat tunggal

dosis ketokonazol adalah 1200 mg/hari.

Prognosa

Seperti pada semua kasus meningitis fungsi, umumnya jelek. Menurut Craven dan

kawan kawan angka kematian mencapai 40% pada tahun pertama dan mencapai 60%

bila ada hidrosefalus.

Cryptococcosis

Cryptococcosis merupakan infeksi jamur yang paling sering ditemukan pada susunan

saraf pusat, tetapi akhir-akhir ini kedudukannya digeser oleh candidiasis.

Cryptococcosis dapat menyerang orang sehat maupun immunocompromised.

Klinis

Infeksi pertama pada paru-paru, kemudian menyebar ke otak pada 10-50% kasus.

Gejala awal biasanya nyeri kepala, muntah dan afebris, tetapi gejala yang paling

sering adalah febris yang berlangsung subakut-klinis, kelemahan umum dan kejang.

Pada funduskopi ditemukan pepil udem sampai 40% kasus dan 30% kasus dengan

parese N.VI. Granuloma fokal atau abses menyebabkan defisit neurologis fokal,

hemiparese atau gejala TTIK.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan foto torak positif pada 40-50% kasus. Pada pemeriksaan darah

ditemukan jumlah leukosit kurang dari 10.000/mm. Hasil pemeriksaan liqour

bervariasi, pada pasien imunocompromised gejala klinis tidak berat, tetapi jumlah

cryptococcus lebihbanyak dibanding leukosit. Pada lebih dari 50% kasus, pleositosis

dengan leukosit mononuklear dominan. Kadar protein diatas 40 mg% atau lebih tinggi

dengan kadar gula yang rendah pada 55% kasus.Pemeriksaan lain yang penting adalah

ditemukannya antigen terhadap cryptoccocus. Pengecatan dengan tinta India hanya

positif pada 60% kasus dan antigen positif pada 90% kasus, dengan titer antigen >1:8.

CT Scan dengan gambaran penyangatan di daerah sisterna basalis dengan batas tidak

jelas, ditemukan daerah/lesi hipodens di substansia alba.

Pengobatan

Fase akut:7

Minggu 1-2:

21

Page 22: REF Infeksi

- Ampoterisin-B 0,7-1 mg/kg per hari. Dalam infus dekstrosa 5% dan

diberikan selama 4-6 jam dan jangan dilarutkan dengan NaCl

- Flukonazol 800 mg per hari po

Minggu 3-10:

- Flukonazol 800 mg per hari po

Bila tidak ada ampoterisin-B dapat digunakan flukonazol saja dengan dosis

800-2000 mg per hari selama 12 minggu.

Fase rumatan: flukonazol 200 mg/hari hingga CD4 > 200

Prognosa buruk bila ada hidrosefalus danudem serebri. Pemeriksaan antigen harus

diulang karena umunya ditemukan positif palsu. Bila kadar awaal kurang dari 1:256

maka prognosanya baik. Angka kematian akibat cryptococcosis dengan terapi agresif

± 30% .

Candidiasis

Jarang menginfeksi individu sehat, karena merupakan flora normal di daerah mulut

danmerupakan jamur patogen oportunistik.

Patogenesis

Berbeda dengan jamur lain, candidi tidak melalui jalur paru, tetapi lewat jalur saluran

cerna, saluran kemih, saluran pernafasan dan masuk ke aliran darah langsung lewat

pemasangan kateter. Infeksi pada susunan saraf pusat terjadi pada 50% dari infeksi

candidiasis sistemik, dan mencapai 80% pada kasus candida endocarditis dengan

distribusi yang sama pada semua kelompok umur.

Klinis

Manifestasi klinis tergantung usia, meningitis biasanya ditemukan pada neonatus

dananak sedang pada orang dewasa berbentuk mikro atau makro abses.

Pemeriksaan Penunjang

Oleh karena angka kejadian infeksi ke susunan saraf pusat cukup tinggi, maka pada

kasus kandidiasis sistemik harus dilakukan pemeriksaan CT Scan dan lumbai fungsi

segera. Pada CT Scan nampak daerah dengan densitas rendah tanpa penyangatan dan

ini ditemukan pada individu yang immunocompromised. Gambaran liquor sama

dengan meningitis bakterialis lain, tetapi pada abses otak ec candida gambaran

22

Page 23: REF Infeksi

liquornya normal. Pemeriksaan lain dengan tes serologi dan kultur.

Pengelolaan

Tidak seperti infeksi jamur lain, pada candidiasis dapat terjadi keadaan sembuh

sendiri secara spontan. Obat pilihan pertama tetap ampoterisin B, kemudian obat

gabungan antara ampoterisis B (0.3 mg/kg) dengan flusitosin oral 100- 150

mg/kg/hari, terbagi dalam 4 kali pemberian.

Prognosa

Angka kesembuhan pada meningitis candida mencapai 90%, tetapi pada kasus abses

otak, angka kematian tinggi dan ini disebabkan oleh kegagalan banyak organ (multi-

organ failure).

Infeksi Jamur Fokal

Aspergillosis

Aspergillus fumigatus dan kelompok Mucor paling sering mencapai susunan saraf

pusat lewat paru 50%.

Klinis

Gambaran klinis aspergillosis otak biasanya berupa proses desak ruang, jarang

berbentuk meningitis. Manifestasi aspergillosis biasanya berbentuk abses tunggal

dengan kapsul yang tegas (single well-encapsulated abcess). Pada pasien yang

immunocompromised abses bisa tunggal bisa multiple dan nampak di daerah sirkulasi

anterior dan posterior, pada keadaan lain pada pasien yang immunocompromised bisa

ditemukan trombosis vaskuler dan infark, selain itu juga pernah dilaporkan adanya

aneurisma mikotik yang lokasinya berbeda dengan bakterial aneurisma yaitu bahwa

mikotik aneurisma terletak lebih kearah proksimal dari cabang pembuluh darah besar.

Pemeriksaan Penunjang

Pada CT Scan nampak sebagai masa soliter,hipodens dengan penyangatan berbentuk

cincin. Pada CT Scan nampak masa hipodens dengan sedikit penyangatan sehingga

menyulitkan pengukuran secara tepat. Pada beberapa keadaan ditemukan perdarahan.

Gambaran liquor serebrospinal tidak khas, protein sedikit meninggi, kadar gula

seringkali normal, leukositosis ringan. Hasil kultur umumnya negatif.

Pengobatan

Infeksi aspergillus pada susunan saraf pusat sulit diobati,kadang diperlukan dosis

ampoterisin B yang lebih tinggi dari biasanya. Prognosa biasanya jelek.

23

Page 24: REF Infeksi

Mucormycosis

Dalam kelompok ini terdapat tiga jenis yaitu Mucor, Rhizopus dan Absidia dan yang

paling sering menimbulkan infeksi adalah Rhizopus.

Patogenesa

Rhizopus merupakan flora normal di nasofaring, dan menjadi patogen pada pasien

yang mengalami ketoasidosis diabetikum serta cepat menjadi bentuk rhinocerebral

(80-90%). Abses otak karena penyebaran dari paru hanya ditemukan pada pasien yang

immunocompromised. Infark otak bisa disebabkan karena oklusi vaskuler.

Mucormycosis rhinocerebral dimulai dari sinus paranasal dan menyebar sampai

daerah orbita.

Klinis

Keluhan awal biasanya nyeri kepala, nyeri daerah mata dan periorbita dengan

pembengkakan, selain itu ditemukan optalmoplegi eksterna dan proptosis. Tajam

penglihatan menurun akibat sumbatan pada arteri sentralis retina. Penyebaran

intrakranial lewat orbita dapat menimbulkan ensefalitis dandiikuti pembentukan

abses.

Pemeriksaan penunjang

Hasil pemeriksaan liquor seringkali normal

Pengobatan

Ampoterisin B(0.5-0.6 mg/kg bb dalam dextrose 5%/4 jam), dan kadang dengan

pembedahan.

Prognosa

Berbeda dengan penyakit jamur lain, pada mucormycosis cepat terjadi kematian

biasanya dalam waktu 10 hari.

Infeksi Parasit Difus

Toxoplasmosis

Toxoplasmosis gondii merupakan protozoa obligat intraselluler pada manusia, kucing

dan burung. 9

24

Page 25: REF Infeksi

Gambar 3. Lesi toksoplasma pada otak.

Patogenesa

Organisme ini masuk ke dalam tubuh manusia lewat makanan yang terkontaminasi.

Sebagian besar infeksi bersifat asimtomik, dan gejala baru muncul setelah daya tahan

tubuh menurun.

Klinis

Manifestasi klinis umumnya adalah limfadenopati generalisata, dan bila mencapai

otak menimbulkan meningoensefalitis. Defisit neurologis fokal berhubungan dengan

lesi/nekrose parenkim otak atau pembentukan jaringan parut. Diagnosa ditegakkan

lewat peemriksaan serologi dan biopsi. Toxoplasma dapat menetap sepanjang usia

host toxoplasma congenital terjadi lewat pasase transplasenta dengan gejala

korioretinitis dan kejang atau menetap tanpa gejala.

Pemeriksaan Penunjang

Pada CT Scan nampak gambaran abses multifokal dengan kontras enhancement

Pengobatan

Pengobatan TO terbagi atas pengobatan fase akut dan pengobatan rumatan.

Pengobatan fase akut dapat diberikan selama 3-6 minggu sesuai dengan perbaikan

klinis yang terjadi. Pengobatan toksoplasmosis oleh fase akut:7

Pirimetamin BB < 50 kg : 2 x 25 mg/hari PO

BB > 50 kg : 3 x 25 mg/hari PO

Klindamisin 4 x 600 mg / hari PO

Fase Rumatan

Pirimetamin dan klindamisin dengan dosis ½ dari dosis fase akut atau

menggunakan kotrimoksazol 2x1.

Fase rumatan diteruskan hingga pasien mencapai nilai CD4 > 200

Amebiasis

Entamoeba histolytica menghuni kolon dan menyebabkan disentri. Komplikasi

ekstraintestinal yang sering adalah abses hati, pleurisy, pneumonia, pericarditis dan

meningoensefalitis.

Patogenesa

25

Page 26: REF Infeksi

Organisme mencapai otak lewat embolisasi. Entamoeba menyebabkan nekrose,

dengan reaksi radang ringan pada parenkim otak, udem, kejang dan kadang

pembentukan abses. Diagnosa lewat pemeriksaan fases dan biopsi jaringan .

Amebiasis susunan saraf pusat jarang terdiagnosa saat pasien masih hidup.

Penanganan

Penanganan dengan pemberian obat amebicid seperti metronidazol dengan dosis 35-

50 mg/kgBB selama 5-10 hari.

2.7. Abses Otak

Abses serebri adalah suatu lesi desak ruang berupa suatu penumpukan materi

piogenik yang terjadi akibat invasi dan perkembangan mikroorganisme yang

terlokalisir di dalam atau di antara jaringan otak. 10

Abses otak adalah suatu proses infeksi dengan pernanahan yang terlokalisir diantara

jaringan otak yang disebabkan oleh berbagai macam variasi bakteri, fungus dan

protozoa.

Walaupun teknologi kedokteran diagnostik dan perkembangan antibiotika saat ini

telah mengalami kemajuan, namun rate kematian penyakit abses otak tetap masih

tinggi yaitu sekitar 10-60% atau rata-rata 40%. Penyakit ini sudah jarang dijumpai

terutama di negara-negara maju, namun karena resiko kematiannya tinggi, abses otak

termasuk golongan penyakit infeksi yang mengancam kehidupan masyarakat (“life-

threatening infection”)

Faktor Etiologi dan Predisposisi

Sebagian besar abses otak berasal langsung dari penyebaran infeksi telinga tengah,

sinusitis (paranasal, ethmoidalis, sphenoidalis dan maxillaries).

• Abses dapat timbul akibat penyebaran secara hematogen dari infeksi paru

sistemik (empyema, abses paru, bronkhiektase, pneumonia), endokarditis

bakterial akut dan subakut dan pada penyakit jantung bawaan Tetralogi Fallot

(abses multiple, lokasi pada substansi putih dan abu dari jaringan otak). Abses

otak yang penyebarannya secara hematogen, letak absesnya sesuai dengan

peredaran darah yang didistribusi oleh arteri cerebri media terutama lobus

parietalis, atau cerebellum dan batang otak.

• Abses dapat juga dijumpai pada penderita penyakit immunologik seperti

26

Page 27: REF Infeksi

AIDS, penderita penyakit kronis yang mendapat kemoterapi/steroid yang

dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh.

• 20-37% penyebab abses otak tidak diketahui.

• Penyebab abses yang jarang dijumpai, osteomyelitis tengkorak, sellulitis,

erysipelas wajah, abses tonsil, pustula kulit, luka tembus pada tengkorak

kepala, infeksi gigi luka tembak di kepala, septikemia. Berdasarkan sumber

infeksi dapat ditentukan lokasi timbulnya abses dilobus otak.

• Infeksi sinus paranasal dapat menyebar secara retrograd thrombophlebitis

melalui klep vena diploika menuju lobus frontalis atau temporal Bentuk

absesnya biasanya tunggal, terletak superficial di otak, dekat dengan sumber

infeksinya.

• Sinusitis frontal dapat menyebabkan abses di bagian anterior atau inferior

lobus frontalis.

• Sinusitis sphenoidalis dapat menyebab–kan abses pada lobus frontalis atau

temporalis.

• Sinusitis maxillaris dapat menyebabkan abses pada lobus temporalis.

• Sinusitis ethmoidalis dapat menyebabkan abses pada lobus frontalis.

• Infeksi pada telinga tengah dapat menyebar ke lobus temporalis.

• Infeksi pada mastoid dan kerusakan tengkorak kepala karena kelainan bawaan

seperti kerusakan tegmentum timpani atau kerusakan tulang temporal oleh

kolesteoma dapat menyebar kedalam cerebellum.

• Infeksi parasit (Schistosomiasis, Amoeba, Fungus (Actinomycosis, Candida

albicans) dapat menimbulkan abses, tetapi hal ini sangat jarang terjadi.

Neuropatologi

Proses pembentukan abses otak oleh bakteri Streptococcus alpha hemolyticus secara

histologis dibagi dalam 4 fase dan waktu 2 minggu untuk terbentuknya kapsul abses.

1. Early cerebritis (hari 1-3); 2. Late cerebritis (hari 4-9); 3. Early capsule formation

(hari 10-13); 4. Late capsule formation (hari 14 atau lebih).

1. Early cerebritis —terjadi reaksi radang lokal dengan infiltrasi polymorphonuclear

leukosit, limfosit dan plasma sel dengan pergeseran aliran darah tepi, yang dimulai

27

Page 28: REF Infeksi

pada hari pertama dan meningkat pada hari ke 3. Sel-sel radang terdapat pada tunika

adventisia dari pembuluh darah dan mengelilingi daerah nekrosis infeksi. Peradangan

perivaskular ini disebut cerebritis. Saat ini terjadi edema disekitar otakdan

peningkatan efek massa karena pembesaran abses.

Gambaran CT-Scan :Pada hari pertama terlihat daerah yang hipodens dengan

sebagian gambaran seperti cincin. Pada hari ketiga gambaran cincin lebih jelas sesuai

dengan diameter serebritisnya. Didapati mengelilingi pusat nekrosis.

2. Late cerebritis —saat ini terjadi perubahan histologis yang sangat berarti. Daerah

pusat nekrosis membesar oleh karena peningkatan “acellular debris” dan

pembentukan nanah karena pelepasan enzim-enzim dari sel radang. Ditepi pusat

nekrosis didapati daerah sel radang, makrofag-makrofag besar dan gambaran

fibroblast yang terpencar. Fibroblast mulai menjadi retikulum yang akan membentuk

kapsul kolagen. Pada fase ini edema otak menyebar maksimal sehingga lesi menjadi

sangat besar.

Gambaran CT-Scan :Gambaran cincin sempurna, 10 menit setelah pemberian kontras

perinfus. Kontras masuk ke daerah sentral dengan gambaran lesi homogen

menunjukkan adanya cerebritis.

Gambar 4. Abses otak (CT-Scan).

3. Early capsule formation —pusat nekrosis mulai mengecil, makrofag-makrofag

menelan “acellular debris” dan fibroblast meningkat dalam pembentukan kapsul.

Lapisan fibroblast membentuk anyaman retikulum mengelilingi pusat nekrosis.

Didaerah ventrikel, pembentukan dinding sangat lambat oleh karena kurangnya

vaskularisasi didaerah substansi putih dibandingkan substansi abu. Pembentukan

kapsul yang terlambat di permukaan tengah memungkinkan abses membesar kedalam

28

Page 29: REF Infeksi

substansi putih. Bila abses cukup besar, dapat robek kedalam ventrikel lateralis. Pada

pembentukan kapsul, terlihat daerah anyaman retikulum yang tersebar membentuk

kapsul kollagen, Reaksi astrosit disekitar otak mulai meningkat.

Gambaran CT-Scan :Hampir sama dengan fase cerebritis, tetapi pusat nekrosis lebih

kecil dan kapsul terlihat lebih tebal.

4. Late capsule formation —terjadi perkembangan lengkap abses dengan gambaran

histologis sebagai berikut: bentuk pusat nekrosis diisi oleh “acellular debris” dan sel-

sel radang. Daerah tepi dari sel radang, makrofag dan fibroblast. Kapsul kolagen yang

tebal. Lapisan neovaskular sehubungan dengan cerebritis yang berlanjut. Reaksi

astrosit, gliosis dan edema otak diluar kapsul.

Gambaran CT-Scan :Gambaran kapsul dari abses jelas terlihat, sedangkan daerah

nekrosis tidak diisi oleh kontras.

Manifestasi Klinis

• Hampir seluruh penderita abses didapati keluhan sakit kepala (70-90%)

• Muntah-muntah (25-50%)

• Kejang-kejang (30-50%)

• Gejala-gejala pusing, vertigo, ataxia (pada penderita abses cerebelli)

• Gangguan bicara (19,6%), hemianopsis (31%). Unilateral midriasis (20,5%)

yang merupakan indikasi terjadinya herniasi tentorial. (pada penderita abses

temporal)

• Gejala fokal (61%) (pada penderita abses supratentorial)

Gejala umum abses otak adalah gejala proses desak ruang ditambah gejala infeksi.

Stadium awal abses otak berupa ensefalitis, yang menimbulkan edema otak dan

peningkatan tekanan intrakranial, menyebabkan gejala mual, nyeri kepala dan

muntah, somnolen dan rasa bingung kadang-kadang disertai delusi dan halusinasi.

Bila penyakit bertambah berat dapat terjadi stupor dan koma. Edema papil mulai

timbul 10-14 hari setelah onset. Pada kasus progresif dapat terjadi herniasi tentoria

atau herniasi tonsil serebelum ditandai dengan fiksasi dan dilatasi pupil dan akhirnya

paralisis pernafasan.

Kapsul mulai terbentuk dalam 10-14 hari. Kapsul fibrosis terbentuk dalam 5-6

minggu. Pembentukan kapsul tersebut diikuti menurunnya gejala karena

berkurangnya ensefalitis dan edema di sekitar abses. Kekambuhan terjadi jika abses

29

Page 30: REF Infeksi

berkapsul pecah dan menyebabkan abses satelit; hal tersebut masih dapat terjadi

walaupun telah terbentuk dinding abses fibrosis yang kuat. Sekitar 5-10% abses otak

dapat kambuh.

Berdasarkan patogenesisnya, gejala dan tanda klinis dapat dibagi menjadi empat

stadia yaitu : 1. Stadium inisial, demam tidak terlalu tinggi, rasa mengantuk,

kehilangan konsentrasi, kehilangan nafsu makan, nyeri kepala serta malaise, kadang-

kadang mual dan muntah non proyektil. 2. Stadium laten, secara klinis tidak jelas

karena gejala berkurang, terdapat malaise, kurang nafsu makan dan nyeri kepala yang

hilang timbul.

3. Stadium manifes, kejang fokal atau afasia pada abses lobus temporal, pada abses

serebelum terjadi ataksia atau tremor. Nyeri kepala hebat disertai mual dan muntah

proyektil dianggap khas untuk penyakit intrakranial. 4. Stadium akhir berupa

kesadaran menurun dari sopor sampai koma dan akhirnya meninggal, karena ruptur

abses ke dalam sistem ventrikel dan rongga sub-arakhnoid.

Pemeriksaan Untuk Diagnosa

• Glasgow Coma Scale: untuk menentukan derajat kesadaran penderita

• Rontgen foto kepala, sinus atau mastoid, thorax: untuk mencari sumber

infeksi.

• Ultrasonografi: untuk mendapatkan gambaran lateralisasi

• Angiografi: untuk menentukan lokalisasi abses (34%)

• Electro Encephalo Graphy: menunjukkan adanya lateralisasi oleh abses supraten-

torial

• CT-Scan: untuk menunjukkan lokasi abses dengan tepat dan fase-fase dari abses

tersebut.

Pemeriksaan Laboratorium

• Jumlah leukosit; 10.000-20.000/cm3 (60- 70%)

• Laju endap darah meningkat ; 45mm/jam (75-90%)

• Lumbal pungsi tidak dianjurkan (tidak spesifik untuk abses otak), karena dapat

dengan cepat menunjukkan tanda-tanda herniasi otak.

Komplikasi

• Robeknya kapsul abses kedalam ventrikel atau ke ruangan subarakhnoidal

30

Page 31: REF Infeksi

• Penyumbatan Hidrosefalus cairan serebrospinal

• Herniasi tentorial oleh massa abses otak

Prinsip Pengobatan

• Untuk menghilangkan proses infeksi, efek massa dan oedem terhadap otak.

• Pemberian antibiotik yang tepat selama 6-8 minggu untuk mengecilkan abses dan 10

minggu untuk menghilangkan effek massa dari abses otak.

• Tindakan pembedahan (aspirasi maupun eksisi)

Penatalaksanaan

Antibiotik—kombinasi penisilin dan metronidazil/kloramfenikol adalah pilihan

pertama. Kombinasi alternative adalah sefalosporin generasi III seperti:

seftriakson/sefotaksim dan metronidazole. 10-11

- Penisilin G atau sefalosporin generasi III (sefotaksim, seftriakson) dapat digunakan

untuk Streptococci sp. Dosis penisilin G 20-24 juta unit, dan juga 4-6 juta unit.

Kloramfenikol atau metronidazole dapat diberikan secara intravena dengan loading

dose 15 mg/kg diikuti 7,5 mg/kg setiap 6 jam.

- Golongan penisilin resisten beta-laktam (oksasilin, metoilin, nafsilin) dengan dosis

1,5 g setiap 4 jam IV atau vankomisin dosis 1 g setiap 12 jam IV, diberikan untuk

Staphylococcus aureus, infeksi staphylococcus sp. pascaoperasi saraf, trauma atau

endokarditis bakterialis.

- Metronidazol dosis 500 mg setiap 6 jam dapat menembus sawar darah otak dan tidak

dipengaruhi oleh kortikosteroid, tetapi hanya aktif untuk bakteri Streptococcus

anaerob, aerob dan mikroaerofilik.

- Sefalosporin generasi III (sefotaksim, seftriakson) umumnya adekuat untuk

organisme gram-negatif aerob. Jika terdapat Pseudomonas, sefalosporin parenteral

pilihan adalah seftazidim atau sefepim.

- Trimetoprim-sulfametoksasol dosis tinggi 15 mg/kg/hari dari komponen trimetropim

dibagi 3-5 dosis untuk abses otak dengan penyebab Nocardia sp. Dosis dapat

diturunkan setengahnya selama 3-6 bulan pada pasien tanpa penekanan imun dan

selama 1 tahun pada pasien dengan penekanan imun.

Kortikosteroid penggunaannya masih kontroversial. Deksametason 16 mg/hari pada

orang dewasa dan 0,5 mg/kg/hari pada adank, berguna untuk mengurangi edema

serebri. Kerugiannya adalah berkurangnya kemampuan penetrasi antibiotik,

31

Page 32: REF Infeksi

berkurangnya pembentukan kapsul, dan meningkatnya nekrosis. Penggunaan

kortikosteroid sebaiknya berdurasi singkat dan dosisnya perlu dikurangi secara

bertahap. 12

BAB III

KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan

Infeksi intrakranial dapat melibatkan jaringan otak, ada pula meningitis yang

dapat berupa meningitis viral, meningitis bakteri, meningitis TB, abses serebri,

toxoplasmosis. Virus, bakteri, jamur dan parasit dapat menyebabkan infeksi

susunan saraf pusat. Namun bakteri dan virus merupakan penyebab tersering.

Setelah masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan atau pernapasan atau

inokulasi kulit (melalui gigitan serangga atau binatang), organisme infeksius

menuju ketempat utama pada saluran cerna, pernapasan, otot subkutan atau

jaringan vaskular untuk bereplikasi. Kebanyakan organisme tersebut mencapai

SSP melalui aliran darah namun terkadang oraganisme ini mencapai SSP melalui

saraf perifer atau langsung masuk akibat adanya fraktur tengkorak atau mastoid

dan sinus yang terinfeksi

Penyakit infeksi ini dapat berjalan semakin memburuk dan menimbulkan

kematian bila tidak ditangani dengan baik. Pemberian terapi kausatif yang tepat

merupakan hal penting dalam pengobatan di samping terapi suportif dan

simptomatik.

Gejala dari infeksi ini seringkali tidak khas yang secara umum mengalami

demam dan sakit kepala. Jika setelah beberapa hari tidak membaik atau ada

gejala lanjutan seperti kejang dan sakit kepala yang semakin parah segera

lakukan pemeriksaan lebih lanjut.

Penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan lumbal pungsi, biopsi, dan CT scan.

Gambaran pola lesi menentukan diagnosis yang tepat dan menentukan

32

Page 33: REF Infeksi

tatalaksana terapi selanjutnya. Khususnya, neuroimaging memiliki peran yang

sangat penting pada penyakit-penyakit oportunistik, bukan hanya untuk

penegakan diagnosis, namun juga untuk pemantauan respon terapi terhadap

penyakit. Jika prosedur ini dilakukan dengan cepat dan progresif maka bisa

mengurangi kecacatan yang timbul.

DAFTAR PUSTAKA

1. Davis LE, King MK, Schultz JL. Fundamentals of neurologic disease. Albuquerque: Demos Medical Publishing; 2005. p.133-43.

2. Simon RP, Greenberd DA, Aminoff MJ, editors. Clinical neurology. 7th ed. San Fransisco: McGraw-Hill; 2009. p.349-50.

3. Fishman RA. Lumbar puncture and cerebrospinal fluid examination in Rowland LP et al., editors. Merritt’s neurology. 11th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2005. p.123-4.

4. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan and mikhail’s clinical anesthesiology. 5th ed. San Francisco: McGraw-Hill; 2013. p. 943-72.

5. Meisadona G, Soebroto AD, Estiasari R. Diagnosis dan tatalaksana meningitis bakterialis. CDK. 2015;42(1):15-9.

6. Cermin Dunia Kedokteran. Fluoroquinolone untuk meningitis tuberkulosa. CDK. 2012;39(3);205.

7. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Handout workshop neuro-infeksi. Jakarta. Feb 2011. h.6-8.

8. Parinding IT. Diangnosis dan tatalaksana ensefalitis herpes simpleks. CDK. 2012;39(5);355-7.

9. Japardi I. Infeksi parasit dan jamur pada susunan saraf pusat. USU digital library; 2002. p.1-8. Diakses dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1977/1/bedah-iskandar%20japardi15.pdf, 11 Juli 2015.

10. Sucipta W dan Suardana W. Abses otak otogenik berulang. CDK. 2011;38(4);275-7.

11. Hakim AA. Abses otak. Majalah Kedokteran Nusantara. 2005;38(4);324-7.

12. Dewanto G, Suwono WJ, riyanto B, Turana Y. Panduan praktis diagnosis dan tata

laksana penyakit saraf. Jakarta: EGC; 2011. h.53-4.

33