Top Banner
Paper SYOK ANAFILAKTIK Oleh : Andik Sunaryanto NIM. 0402005114 DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI 1
28

Reaksi Hipersensitivitas Tipe 1

May 28, 2017

Download

Documents

RismawanAdi
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Reaksi Hipersensitivitas Tipe 1

Paper

SYOK ANAFILAKTIK

Oleh :

Andik Sunaryanto

NIM. 0402005114

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

DI BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNVERSITAS UDAYANA

RS SANGLAH DENPASAR

2009

1

Page 2: Reaksi Hipersensitivitas Tipe 1

BAB I

PENDAHULUAN

Tahun 2641 SM Raja Menes, seorang Pharao meninggal mendadak tidak lama setelah disengat

tawon. Tahun 1902, Richet dan Portier menemukan fenomena yang sama, mereka menginjeksi

anjing dengan ekstrak anemon laut, setelah beberapa lama diinjeksi ulang dengan ekstrak yang

sama anjing itu mendadak mati. Fenomena ini mereka sebut aldquo yang berarti anaphylaxis.

Jika seseorang sensitif terhadap suatu antigen dan kemudian terjadi kontak lagi terhadap antigen

tersebut, akan timbul reaksi hipersensitivitas yang merupakan suatu reaksi anafikaksis yang

dapat berujung pada syok anafikaktik.1,2

Insiden anafilaksis diperkirakan 1-3/10.000 penduduk dengan mortalitas sebesar 1-3/1

juta penduduk. Sementara di Indonesia, khususnya di Bali, angka kematian dilaporkan 2

kasus/10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami peningkatan 2 kali lipat

pada tahun 2006.2,3

Anafilaksis paling sering disebabkan oleh makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan

lateks. Gambaran klinis anafilaksis sangat heterogen dan tidak spesifik. Reaksi awalnya

cenderung ringan membuat masyarakat tidak mewaspadai bahaya yang akan timbul, seperti

syok, gagal nafas, henti jantung, dan kematian mendadak.4,5

Walaupun jarang terjadi, syok anafilaktik dapat berlangsung sangat cepat, tidak terduga,

dan dapat terjadi di mana saja yang potensial berbahaya sampai menyebabkan kematian.

Identifikasi awal merupakan hal yang penting, dengan melakukan anamnesis, pemerikasaan

fisik, dan penunjang untuk menegakkan suatu diagnosis serta penatalaksanaan cepat, tepat, dan

adekuat suatu syok anafilaktik dapat mencegah keadaan yang lebih berbahaya.

2

Page 3: Reaksi Hipersensitivitas Tipe 1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Secara harafiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan phylaxis yang berarti

perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang seharusnya melindungi (prophylaxis) justru

merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari pada melindungi (anti-phylaxis atau

anaphylaxis).1,6

Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh

Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah jantung dan tekanan

arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-antibodi yang

timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi. Syok anafilaktik

merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang merupakan syok distributif,

ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah

dan disertai kolaps pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan terjadinya kematian. Syok

anafilaktik merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan anafilaksis

secara keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi tanpa adanya hipotensi, seperti

pada anafilaksis dengan gejala utama obstruksi saluran napas.2,5,6

2.2. Epidemiologi

Insiden anafilaksis sangat bervariasi, di Amerika Serikat disebutkan bahwa angka kejadian

anafilaksis berat antara 1-3 kasus/10.000 penduduk, paling banyak akibat penggunaan antibiotik

golongan penisilin dengan kematian terbanyak setelah 60 menit penggunaan obat. Insiden

anafilaksis diperkirakan 1-3/10.000 penduduk dengan mortalitas sebesar 1-3/1 juta penduduk.

Sementara di Indonesia, khususnya di Bali, angka kematian dari kasus anafilaksis dilaporkan 2

kasus/10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami peningkatan prevalensi

pada tahun 2006 sebesar 4 kasus/10.000 total pasien anafilaksis.2,3

3

Page 4: Reaksi Hipersensitivitas Tipe 1

Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber menyebutkan bahwa

anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama perempuan dewasa muda dengan

insiden lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai risiko kira-kira 20 kali lipat lebih tinggi

dibandingkan laki-laki. Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering pada anak-anak dan dewasa

muda, sedangkan pada orang tua dan bayi anafilaksis jarang terjadi.3,5

2.3. Faktor Predisposisi dan Etiologi

Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah sifat alergen, jalur

pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan alergen. Golongan alergen yang

sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan

lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan

susu adalah makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang

bisa menyebabkan anafikasis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi intravena,

relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan lain-lain. Media kontras

intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan cuaca dingin juga bisa menyebabkan anafilaksis.1,4,5

2.4. Patofisiologi

Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas tipe I (Immediate

type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi. Fase

sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh

reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Sedangkan fase aktivasi merupakan

waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama sampai timbulnya

gejala.1,4,5,6

Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap

oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana

ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi

sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian

terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.1,4,5,6

Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi

pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen

yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu

4

Page 5: Reaksi Hipersensitivitas Tipe 1

Anafilaksis↓

Pelebaran Pembuluh Darah↓

Maldistribusi Volume Sirkulasi↓

Aliran Darah Balik (Venous Return) ↓↓

Tekanan Darah ↓↓

Tekanan Perfusi ↓↓

Hipoksia Jaringan

pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan

vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed mediators.1,4,5,6

Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang

akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah

degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon

yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan

aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi,

meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus, dan

vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan

kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan

permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik

eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan

bronkokonstriksi.1,4,5,6

Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya fenomena

maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah balik

sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian

terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang

berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan penderita.2,6

Gambar 2.1. Patofisiologi Reaksi Anfilaksis

Gambar 2.2. Patofisiologi Syok Anafilaksis

5

Page 6: Reaksi Hipersensitivitas Tipe 1

2.5. Manifetasi Klinis

Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3 tipe dari reaksi

anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah terpapar dengan

alergen; reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam setelah terpapar dengan alergen; serta

reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah terpapar dengan alergen.6,7

Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi kadang-kadang

langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga dibagi dalam derajat ringan,

sedang, dan berat. Derajat ringan sering dengan keluhan kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa

sesak dimulut, dan tenggorok. Dapat juga terjadi kongesti hidung, pembengkakan periorbital,

pruritus, bersin-bersin, dan mata berair. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama

setelah pemajanan. Derajat sedang dapat mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah

bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan mengi. Wajah

kemerahan, hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering terjadi. Awitan gejala-gejala sama

dengan reaksi ringan. Derajat berat mempunyai awitan yang sangat mendadak dengan tanda-

tanda dan gejala-gejala yang sama seperti yang telah disebutkan diatas disertai kemajuan yang

pesat kearah bronkospame, edema laring, dispnea berat, dan sianosis. Bisa diiringi gejala

disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare, dan kejang-kejang. Henti jantung dan koma jarang

terjadi. Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau renjatan yang

irreversible.5,6,8

Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat terjadi pada satu

atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit, mata, susunan

saaraf pusat dan sistem saluran kencing, dan sistem yang lain. Keluhan yang sering dijumpai

pada fase permulaan ialah rasa takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan

kesemutan pada tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut. 1,4,5

6

Page 7: Reaksi Hipersensitivitas Tipe 1

Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang berlebihan. Pada

rhinitis alergi dapat dijumpai allergic shiners, yaitu daerah di bawah palpebra inferior yang

menjadi gelap dan bengkak. Pemeriksaan hidung bagian luar di bidang alergi ada beberapa

tanda, misalnya: allergic salute, yaitu pasien dengan menggunakan telapak tangan menggosok

ujung hidungnya ke arah atas untuk menghilangkan rasa gatal dan melonggarkan sumbatan;

allergic crease, garis melintang akibat lipatan kulit ujung hidung; kemudian allergic facies,

terdiri dari pernapasan mulut, allergic shiners, dan kelainan gigi geligi. Bagian dalam hidung

diperiksa untuk menilai warna mukosa, jumlah, dan bentuk sekret, edema, polip hidung, dan

deviasi septum. Pada kulit terdapat eritema, edema, gatal, urtikaria, kulit terasa hangat atau

dingin, lembab/basah, dan diaphoresis.4,6

Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun, penurunan saturasi

oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan penurunan volume tidal. Saluran nafas

atas bisa mengalami gangguan jika lidah atau orofaring terlibat sehingga terjadi stridor. Suara

bisa serak bahkan tidak ada suara sama sekali jika edema terus memburuk. Obstruksi saluran

napas yang komplit adalah penyebab kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi napas

mengi terjadi apabila saluran napas bawah terganggu karena bronkospasme atau edema mukosa.

Selain itu juga terjadi batuk-batuk, hidung tersumbat, serta bersin-bersin. 4,6

Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran sampai terjadi koma

merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem kardiovaskular terjadi hipotensi,

takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda iskemia otot jantung (angina), kebocoran endotel

yang menyebabkan terjadinya edema, disertai pula dengan aritmia. Sementara pada ginjal, terjadi

hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran urine (oligouri atau anuri) akibat

penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal ginjal akut. Selain itu

terjadi peningkatan BUN dan kreatinin disertai dengan perubahan kandungan elektrolit pada

urine.4,6

Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis sel sentral,

peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul pada sistem gastrointestinal

merupakan akibat dari edema intestinal akut dan spasme otot polos, berupa nyeri abdomen,

mual-muntah atau diare. Kadang kadang dijumpai perdarahan rektal yang terjadi akibat iskemia

atau infark usus.4,6

7

Page 8: Reaksi Hipersensitivitas Tipe 1

Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati, gangguan fungsi

trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi. Sementara gangguan pada sistem

neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi kelenjar adrenal, resistensi insulin, disfungsi tiroid,

dan perubahan status mental. Pada keadaan syok terjadi perubahan metabolisme dari aerob

menjadi anaerob sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat. Secara histologis terjadi

keretakan antar sel, sel membengkak, disfungsi mitokondria, serta kebocoran sel.4,6

2.6. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat membantu menentukan diagnosis,

memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk memonitor hasil

pengbatan serta mendeteksi komplikasi lanjut. Hitung eosinofil darah tepi dapat normal atau

meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai normal.

Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu

keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Pemeriksaan lain yang lebih bermakna yaitu IgE

spesifik dengan RAST (radio-immunosorbent test) atau ELISA (Enzym Linked Immunosorbent

Assay test), namun memerlukan biaya yang mahal.1,4,5

Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen penyebab yaitu dengan

uji cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji intrakutan atau intradermal yang tunggal

atau berseri (skin end-point titration/SET). Uji cukit paling sesuai karena mudah dilakukan dan

dapat ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak, meskipun uji intradermal (SET) akan

lebih ideal. Pemeriksaan lain sperti analisa gas darah, elektrolit, dan gula darah, tes fungsi hati,

tes fungsi ginjal, feses lengkap, elektrokardiografi, rontgen thorak, dan lain-lain.1,4,5

2.7. Diagnosis

Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ atau lebih setelah

terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan diagnosis maka American

Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah membuat suatu kriteria.5,7

8

Page 9: Reaksi Hipersensitivitas Tipe 1

Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit hingga beberapa

jam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya (misalnya bintik-bintik

kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan

salah satu dari respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing,

penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan

disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).5,7

Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak setelah

terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga beberapa jam), yaitu

keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh,

pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-lidah-uvula); Respiratory compromise (misalnya sesak

nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia); penurunan tekanan darah

atau gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan gejala

gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram, muntah).5,7

Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada alergen yang

diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik). Pada bayi dan anak-anak,

tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau penurunan darah sistolik lebih dari 30%.

Sementara pada orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan

darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.5,7

2.8. Diagnosis Banding

Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik. Gambaran klinis yang tidak spesifik dari

anafilaksis mengakibatkan reaksi tersebut sulit dibedakan dengan penyakit lainnya yang

memiliki gejala yang sama. Hal ini terjadi karena anafilaksis mempengaruhi seluruh sistem

organ pada tubuh manusia sebagai akibat pelepasan berbagai macam mediator dari sel mast dan

basofil, dimana masing-masing mediator tersebut memiliki afinitas yang berbeda pada setiap

reseptor pada sistem organ. Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi anafilaksis dan syok

anafilaktik adalah reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histeris,

Carsinoid syndrome, Chinese restaurant syndrome, asma bronkiale, dan rhinitis alergika.1,6

Reaksi vasovagal, sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan. Pasien tampak

pingsan, pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi anafilaktik, pada reaksi

9

Page 10: Reaksi Hipersensitivitas Tipe 1

vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun tetapi

masih mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti anafilaktik. Sementara infark

miokard akut, gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa penjalaran. Gejala

tersebut sering diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas.

Sedangkan pada anafilaktik tidak ada nyeri dada.1,6

Reaksi hipoglikemik, disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab lain.

Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan darah kadang-kadang

menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi

anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi histeris, tidak dijumpai

adanya tanda-tanda gagal napas, hipotensi, atau sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan

meskipun hanya sementara. Sedangkan tanda-tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis.1,6

Carsinoid syndrome, dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan, nyeri kepala, diare,

serangan sesak napas seperti asma. Chinese restaurant syndrome, dapat dijumpai beberapa

keadaan seperti mual, pusing, dan muntah pada beberapa menit setelah mengkonsumsi MSG

lebih dari 1gr, bila penggunaan lebih dari 5 gr bisa menyebabkan asma. Namun tekanan darah,

kecepatan denyut nadi, dan pernapasan tidak berbeda nyata dengan mereka yang diberi makanan

tanpa MSG.1,6

Asma bronkiale, gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak, dan suara

napas mengi (wheezing). Dan biasanya timbul karena faktor pencetus seperti debu, aktivitas

fisik, dan makanan, dan lebih sering terjadi pada pagi hari. Rhinitis alergika, penyakit ini

menyebabkan gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung, gatal hidung yang hilang-timbul, mata

berair yang disebabkan karena faktor pencetus seperti debu, terutama di udara dingin.1,6

2.9. Penatalaksanaan

Tindakan

Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan alergen baik peroral maupun

parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting dilakukan adalah mengidentifikasi dan

10

Page 11: Reaksi Hipersensitivitas Tipe 1

menghentikan kontak dengan alergen yang diduga menyebabkan reaksi anafilaksis. Segera

baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk

meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan

tekanan darah.1,2,4,5,6,9

Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan circulation dari tahapan

resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup dasar. Airway, penilaian

jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk

penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang

menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan triple airway manuver yaitu ekstensi kepala, tarik

mandibula ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera

ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.

Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-tanda bernapas

spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai

udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita

yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus

diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10 liter /menit. Circulation support, yaitu bila tidak

teraba nadi pada arteri besar (a. karotis atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung

luar.1,2,4,5,6,9

Obat-obatan

Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk mengobati syok

anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan darah, menyempitkan pembuluh

darah, melebarkan bronkus, dan meningkatkan aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja sebagai

penghambat pelepasan histamin dan mediator lain yang poten. Mekanisme kerja adrenalin adalah

meningkatkan cAMP dalam sel mast dan basofil sehingga menghambat terjadinya degranulasi

serta pelepasan histamine dan mediator lainnya. Selain itu adrenalin mempunyai kemampuan

memperbaiki kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh darah perifer dan otot polos bronkus.

Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu

denyut dan kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir

dalam waktu pendek.4,10

11

Page 12: Reaksi Hipersensitivitas Tipe 1

Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun sekitar lesi

pada sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada penatalaksanaan syok anafilaktik.

Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah pemberian intramuskuler. Pada pasien dalam

keadaan syok, absorbsi intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada pemberian subkutan.

Berikan 0,5 ml larutan 1 :1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg BB untuk anak.

Dosis diatas dapat diulang beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai tekanan darah dan nadi

menunjukkan perbaikan.4,6,10,11

Tabel 2.1. Dosis Adrenalin Intramuskular untuk Anak-anak

Usia (tahun) Volume 1/1000 (1 mg/ml) Dosis (μg)

1

2-3

4-7

8-11

> 11

0,1 ml

0,2 ml

0,3 ml

0,4 ml

0,5 ml

100

200

300

400

500

Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan tertentu saja

misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama anestesia. Pada saat pasien tampak

sangat kesakitan serta kemampuan sirkulasi dan absorbsi injeksi intramuskuler yang benar-benar

diragukan, adrenalin mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan dosis 500 mcg (5

ml dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan dengan kecepatan 100 mcg/menit dan

dihentikan jika respon dapat dipertahankan. Pada anak-anak dapat diberi dosis 10 mcg/kg BB

(0,1 ml/kg BB dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) dengan injeksi intravena lambat

selama beberapa menit. Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin 2-4

ug/menit. Individu yang mempunyai resiko tinggi untuk mengalami syok anafilaksis perlu

membawa adrenalin setiap waktu dan selanjutnya perlu diajarkan cara penyuntikkan yang benar.

Pada kemasan perlu diberi label, pada kasus kolaps yang cepat orang lain dapat memberikan

adrenalin tersebut. (Pamela, adrenalin, draholik) 4,6,10

Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaksis, obat-obat yang sering

dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan bronkodilator. Pemberian antihistamin

berguna untuk menghambat proses vasodilatasi dan peningkatan peningkatan permeabilitas

vaskular yang diakibatkan oleh pelepasan mediator dengan cara menghambat pada tempat

12

Page 13: Reaksi Hipersensitivitas Tipe 1

reseptor-mediator tetapi bukan bukan merupakan obat pengganti adrenalin. Tergantung beratnya

penyakit, antihistamin dapat diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan anafilaksis berat

antihistamin dapat diberikan intravena. Untuk AH2 seperti simetidin (300 mg) atau ranitidin (150

mg) harus diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila

penderita mendapatkan terapi teofilin pemakaian simetidin harus dihindari sebagai gantinya

dipakai ranitidin. Anti histamin yang juga dapat diberikan adalah dipenhidramin intravena 50 mg

secara pelan-pelan (5-10 menit), diulang tiap 6 jam selama 48 jam.4,5,6,10,11

Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan, kortikosteroid tidak

banyak membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan hanya digunakan pada reaksi sedang

hingga berat untuk memperpendek episode anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang.

Glukokortikoid intravena baru diharapkan menjadi efektif setelah 4-6 jam pemberian.

Metilprednisolon 125 mg intravena dpt diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi pasien stabil (yang

biasanya tercapai setelah 12 jam), atau hidrokortison intravena 7-10 mg/Kg BB, dilanjutkan

dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam, atau deksametason 2-6 mg/kg BB.4,5,6,11

Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin intravena 4-7 mg/Kg

BB selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus 0,6 mg/Kg BB/jam, atau aminofilin 5-6

mg/Kg BB yang diencerkan dalam 20 cc dextrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-

lahan sekitar 15 menit. Pilihan yang lain adalah bronkodilator aerosol (terbutalin, salbutamol).

Larutan salbutamol atau agonis β2 yang lain sebanyak 0,25 cc-0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0,99%

diberikan melalui nebulisasi.4,5,6,11

Apabila tekanan darah tidak naik dengan pemberian cairan, dapat diberikan vasopresor

melalui cairan infus intravena. Larutan 1 ml epineprin 1:1000 dalam 250 ml dextrosa

(konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1-4 mg/menit atau 15-60 mikrodrip/menit (dengan

infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat dinaikan sampai dosis maksimum 10 mg/ml, atau

aramin 2-5 mg bolus IV pelan-pelan, atau levarterenol bitartrat 4-8 mg/liter dengan dekstrosa 5%

dengan kecepatan 2ml/menit, atau Dopamin 0,3-1,2 mg/Kg BB/jam secara infus dengan dextrosa

5%.4,5,6,11

Terapi Cairan

13

Page 14: Reaksi Hipersensitivitas Tipe 1

Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk koreksi

hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam

mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah

jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid

tetap merupakan mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada

dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali dari perkiraan

kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat

kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat

diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma.2,9,12

Perlu diperhatikan bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa

melepaskan histamin. Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan

pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler, volume

interstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna untuk meningkatkan

tekanan onkotik intravaskuler.2,9,12

Observasi

Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik dikirim ke rumah

sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan

penderita di tempat kejadian harus seoptimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan

transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi

telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan

cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diobservasi dulu selama selama 24 jam, 6 jam berturut-

turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik. Hal-hal yang perlu diobservasi adalah keluhan,

klinis (keadaan umum, kesadaran, vital sign, dan produksi urine), analisa gas darah,

elektrokardiografi, dan komplikasi karena edema laring, gagal nafas, syok dan cardiac arrest.

Kerusakan otak permanen karena syok dan gangguan cardiovaskuler. Urtikaria dan angoioedema

menetap sampai beberapa bulan, infark miokard, aborsi, dan gagal ginjal juga pernah dilaporkan.

Penderita yang telah mendapat adrenalin lebih dari 2-3 kali suntikan, harus dirawat di rumah

sakit.2,9,12

Gambar 2.3. Algoritma Penatalaksanaan Reaksi Anafilaksis

14

Riwayat reaksi alergi berat dengan respiratory compromise atau hipotensi, terutama dengan

perubahan kulit

Page 15: Reaksi Hipersensitivitas Tipe 1

Pencegahan

Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok anafilaktik terutama

yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis riwayat alergi penderita dengan cermat

akan sangat membantu menentukan etiologi dan faktor risiko anafilaksis. Individu yang

15

Identifikasi dan hentikan alergen

Oksigen 100% 8 L/m

Adrenalin / epinephrine (1 : 1000) 0,3 – 0,5 ml IM (0,01 mg/kg BB)

Ulangi 5-15 menit jika tidak ada perubahan klinis

Antihistamin 10-20 mg IM atau IV pelan

Terapi tambahan

Berikan cairan IV 1-2 L jika tanda-tanda syok tidak ada respon terhadap obat Kortikosteroid untuk semua kasus berat, berulang, dan pasien dengan asma

- Methyl prednisolone 125-250 mg IV - Dexamethasone 20 mg IV- Hydrocortisone 100-500 mg IV pelan

Inhalasi short acting b-2 agonist pada bronkospasme berat

Vasopressor

Observasi 2 - 3 x 24 jam, untuk kasus ringan cukup 6 jam

Berikan kortikosteroid dan antihistamin PO 3 x 24 jam

Page 16: Reaksi Hipersensitivitas Tipe 1

mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi terhadap banyak

obat, mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok anafilaktik.5,6

Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian bahwa tes kulit

negatif pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat tersebut, tetapi tidak

berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif

dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-3%

dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.5,6

Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila pemberian dengan jalur

subkutan, intradermal, intramuskular, ataupun intravena dan observasi selama pemberian.

Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat. Hindari obat-obat yang

sering menyebabkan syok anafilaktik. Catat obat penderita pada status yang menyebabkan alergi.

Jelaskan kepada penderita supaya menghindari makanan atau obat yang menyebabkan alergi. Hal

yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi reaksi

anfilaksis serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan. Desensitisasi alergen spesifik adalah

pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang.5,6

2.10. Prognosis

Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan kaedah kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis

jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi anafilaksis tersebut dapat kambuh kembali akibat

paparan antigen spesifik yang sama. Maka dari itu perlu dilakukan observasi setelah terjadinya

serangan anafilaksis untuk mengantisipasi kerusakan sistem organ yang lebih luas lagi.5

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi anafilaksis yang akan

menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu umur, tipe alergen, atopi, penyakit

kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis, asma, keseimbangan asam basa dan elektrolit,

obat-obatan yang dikonsumsi seperti β-blocker dan ACE Inhibitor, serta interval waktu dari

mulai terpajan oleh alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi adrenalin.5

BAB III

SIMPULAN

16

Page 17: Reaksi Hipersensitivitas Tipe 1

Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh Ig E yang ditandai

dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Syok anafilaktik memang jarang

dijumpai, tetapi mempunyai angka mortalitas yang sangat tinggi.

Beberapa golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis, yaitu makanan,

obat-obatan, dan bisa atau racun serangga. Faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko

terjadinya anafilaksis, yaitu sifat alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan

kesinambungan paparan alergen. Anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe I,

terdiri dari fase sensitisasi dan aktivasi yang berujung pada vasodilatasi pembuluh darah yang

mendadak, keaadaan ini disebut syok anafilaktik.

Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Gejala dapat dimulai dengan gejala

prodormal kemudian menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung berat yang dapat terjadi pada

satu atau lebih organ target. Pemeriksaan laboratorium diperlukan dan sangat membantu

menentukan diagnosis, memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk

memonitor hasil pengbatan dan mendeteksi komplikasi lanjut. Anamnesis, pemeriksaan fisik,

dan penunjang yang baik akan membantu seorang dokter dalam mendiagnosis suatu syok

anafilaktik.

Penatalaksanaan syok anfilaktik harus cepat dan tepat mulai dari hentikan allergen yang

menyebabkan reaksi anafilaksis; baringkan penderita dengan kaki diangkat lebih tinggi dari

kepala; penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru; pemberian adrenalin dan obat-obat

yang lain sesuai dosis; monitoring keadaan hemodinamik penderita bila perlu berikan terapi

cairan secara intravena, observasi keadaan penderita bila perlu rujuk ke rumah sakit.

Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok anafilaktik

terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Apabila ditangani secara cepat dan tepat sesuai

dengan kaedah kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian.

DAFTAR PUSTAKA

17

Page 18: Reaksi Hipersensitivitas Tipe 1

1. Longecker, DE. Anaphylactic reaction and Anesthesia dalam Anesthesiology. 2008;

Chapter 88, hal 1948-1963.

2. Mangku, G. Diktat Kuliah : Syok, Bagian Anestesiologi dan Reanimasi FK UNUD/RS

Sanglah, Denpasar. 2007.

3. Anonim. Severe Allergic Reaction, Anaphylactic Shock. 2008 [cited: 20 Maret 2009].

Available from: URL: www.emedicine.com.

4. Ewan, PW. Anaphylaxis dalam ABC of Allergies; 1998. BMJ. Vol 316. Hal 1442-1445

5. Suryana K. Diktat Kuliah. Clinical Allergy Immunology. Divisi Alergi Imunologi

Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah; 2003, Denpasar.

6. Anonim. Anaphylactic Shock. 2008 [cited: 20 Maret 2009]. Available from: URL: www.

duniakedokteran.cq.bz.

7. Sampson HA, et al. Clinicl Immunologist and Allergist Pricess. Margaret and Fremantle

Hospitals, Western Australia; 2006

8. Brown SGA. Clinical Feature and Severity Grading of Anaphylaxis. Allergy Clinical

Immunology”. Hobart, Australia; 2004. pp.371-376.

9. Mangku, G. Diktat Kuliah Anestesiologi dan Reanimasi, Balai Penerbit Fakultas

Kedokteran UNUD, Denpasar; 2002. hal 50-55; 57-58.

10. Anonim. Penggunaan Adrenalin dalam Pengobatan Anafilaksis. 2009 [cited: 20 Maret

2009]. Available from: URL: www.farmakoterapi-info.htm.

11. Putra TR, Herman H. Reaksi Anafilaksis dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi Penyakit

Dalam. SMF Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana; 1994. hal 77-

80.

12. Anonim. Syok dan Penanggulangannya. 2009 [cited: 20 Maret 2009]. Available from:

URL: www.shineupyourlife.com.

18