Top Banner
14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Rasa Percaya Diri 1. Pengertian Rasa Percaya Diri Rasa percaya diri yang baru dan sehat dikembangkan dari dalam kepribadian individu itu sendiri. Rasa percaya diri bukan dengan mengkompensasi kelemahan kepada kelebihan, namun bagaimana individu tersebut mampu menerima dirinya apa adanya, mampu mengerti seperti apa dirinya dan pada akhirnya akan percaya bahwa dirinya mampu melakukan berbagai hal dengan baik (Lauster, 1994). Rasa percaya diri adalah keyakinan pada kemampuan-kemampuan sendiri, keyakinan pada adanya suatu maksud di dalam kehidupan, dan kepercayaan bahwa dengan akal budi mereka akan mampu melaksanakan apa yang mereka inginkan, rencanakan dan harapkan (Davies, 2004). Rasa percaya diri merupakan keberanian menghadapi tantangan karena memberi suatu kesadaran bahwa belajar dari pengalaman jauh lebih penting daripada keberhasilan atau kegagalan. Rasa percaya diri penting untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik, seperti halnya ketika bergabung dengan suatu masyarakat yang didalamnya terlibat di dalam suatu aktivitas atau kegiatan, rasa percaya diri meningkatkan keefektifan dalam aktivitas atau kegiatan (Hakim, 2005).
27

rasa percaya diri

Nov 18, 2015

Download

Documents

Malla Remalla

rasa percaya diri
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • 14

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Rasa Percaya Diri

    1. Pengertian Rasa Percaya Diri

    Rasa percaya diri yang baru dan sehat dikembangkan dari dalam

    kepribadian individu itu sendiri. Rasa percaya diri bukan dengan

    mengkompensasi kelemahan kepada kelebihan, namun bagaimana

    individu tersebut mampu menerima dirinya apa adanya, mampu mengerti

    seperti apa dirinya dan pada akhirnya akan percaya bahwa dirinya mampu

    melakukan berbagai hal dengan baik (Lauster, 1994).

    Rasa percaya diri adalah keyakinan pada kemampuan-kemampuan

    sendiri, keyakinan pada adanya suatu maksud di dalam kehidupan, dan

    kepercayaan bahwa dengan akal budi mereka akan mampu melaksanakan

    apa yang mereka inginkan, rencanakan dan harapkan (Davies, 2004).

    Rasa percaya diri merupakan keberanian menghadapi tantangan

    karena memberi suatu kesadaran bahwa belajar dari pengalaman jauh

    lebih penting daripada keberhasilan atau kegagalan. Rasa percaya diri

    penting untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik, seperti halnya ketika

    bergabung dengan suatu masyarakat yang didalamnya terlibat di dalam

    suatu aktivitas atau kegiatan, rasa percaya diri meningkatkan keefektifan

    dalam aktivitas atau kegiatan (Hakim, 2005).

  • 15

    Rasa percaya diri merupakan sikap mental individu dalam menilai

    diri maupun objek sekitar sehingga individu tersebut memiliki keyakinan

    akan kemampuan diri dalam melakukan sesuatu sesuai kemampuan

    (Ghufron, 2011).

    Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kepercayaan

    diri adalah keyakinan pada kemampuan-kemampuan sendiri, keberanian

    untuk menghadapi tantangan karena memberi suatu kesadaran bahwa

    belajar dari pengalaman jauh lebih penting daripada keberhasilan atau

    kegagalan, suatu layanan terhadap diri sendiri sehingga individu mampu

    menangani segala situasi dengan tenang, dan kepercayaan bahwa dengan

    akal budi akan mampu melaksanakan apa yang diinginkan, rencanakan

    dan harapkan.

    2. Ciri-ciri Individu yang Memiliki Rasa Percaya Diri

    Ciri-ciri individu yang memiliki rasa percaya diri (Hakim, 2005),

    yaitu:

    a. Bersikap tenang dalam mengerjakan sesuatu

    b. Mempunyai potensi dan kemampuan yang memadai

    c. Mampu menetralisir ketegangan yang muncul dalam situasi tertentu

    d. Mampu menyesuaikan diri dan berkomunikasi

    e. Memiliki kondisi mental dan fisik yang menunjang penampilan

    f. Memiliki kecerdasan yang cukup

  • 16

    g. Memiliki tingkat pendidikan formal yang cukup

    h. Memiliki keahlian dan ketrampilan lain yang menunjang kehidupan

    i. Memiliki kemampuan bersosialisasi

    j. Memiliki latar belakang pendidikan keluarga yang baik

    k. Memiliki pengalaman hidup yang menempa mental dan ketahanan di

    berbagai situasi

    l. Bersikap positif dalam menghadapi masalah

    Menurut Lie (dalam Mutmainah, 2012) percaya diri pada anak

    mempunyai ciri sebagai berikut:

    a. Yakin pada diri sendiri

    b. Tidak bergantung pada orang lain

    c. Merasa dirinya berharga

    d. Tidak menyombongkan diri

    e. Memiliki keberanian untuk bertindak.

    Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ciri anak yang

    memiliki rasa percaya diri yaitu yakin pada diri sendiri, tidak bergantung

    pada orang lain, merasa dirinya berharga, tidak menyombongkan diri,

    memiliki keberanian untuk bertindak, mempunyai potensi dan kemampuan

    yang memadai, menetralisir ketegangan yang muncul dalam situasi

    tertentu, kemampuan bersosialisasi, dan bersikap positif dalam

    menghadapi masalah.

  • 17

    3. Aspek-aspek Rasa Percaya Diri

    Menurut Lauster (dalam Ghufron, 2011) anak yang memiliki rasa

    percaya diri positif adalah:

    a. Keyakinan akan kemampuan diri yaitu sikap positif anak tentang

    dirinya bahwa anak mengerti sungguh-sungguh akan apa yang

    dilakukannya.

    b. Optimis yaitu sikap positif anak yang selalu berpandangan baik dalam

    menghadapi segala hal tentang diri, harapan dan kemampuannya.

    c. Obyektif yaitu anak yang percaya diri memandang permasalahan atau

    sesuatu sesuai dengan kebenaran yang semestinya, bukan menurut

    kebenaran pribadi atau menurut dirinya sendiri.

    d. Bertanggung jawab yaitu kesediaan anak untuk menanggung segala

    sesuatu yang telah menjadi konsekuensinya.

    e. Rasional yaitu analisa terhadap sesuatu masalah, sesuatu hal, sesuatu

    kejadian dengan menggunakan pemikiran yang dapat diterima oleh

    akal dan sesuai dengan kenyataan.

    Menurut Kumara (dalam Isaningrum, 2007) individu yang

    memiliki rasa percaya diri merasa yakin akan kemampuan dirinya,

    sehingga bisa menyelesaikan masalahnya karena tahu apa yang

    dibutuhkan dalam hidupnya, serta mempunyai sikap positif yang didasari

    keyakinan akan kemampuannya. Individu tersebut bertanggung jawab

  • 18

    akan keputusannya yang telah diambil serta mampu menatap fakta dan

    realita secara obyektif yang didasari keterampilan.

    Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa individu yang

    memiliki rasa percaya diri yaitu diantaranya memiliki rasa keyakinan

    akan kemampuan diri, optimis, obyektif, bertanggung jawab serta

    memiliki pemikiran rasional.

    4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Rasa Percaya Diri

    Rasa percaya diri dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang

    dapat digolongkan menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal

    (Ghufron, 2011):

    a. Faktor internal, meliputi:

    1. Konsep diri

    Terbentuknya percaya diri pada seseorang diawali dengan

    perkembangan konsep diri yang diperoleh dalam pergaulan suatu

    kelompok. Menurut Centi (1995), konsep diri merupakan gagasan

    tentang dirinya sendiri. Individu yang mempunyai rasa rendah diri

    biasanya mempunyai konsep diri negatif, sebaliknya individu yang

    mempunyai rasa percaya diri akan memiliki konsep diri positif.

    2. Harga diri

    Harga diri yaitu penilaian yang dilakukan terhadap diri

    sendiri. Individu yang memiliki harga diri tinggi akan menilai

  • 19

    pribadi secara rasional dan benar bagi dirinya serta mudah

    mengadakan hubungan dengan individu lain.

    Individu yang mempunyai harga diri tinggi cenderung melihat

    dirinya sebagai individu yang berhasil percaya bahwa usahanya

    mudah menerima orang lain sebagaimana menerima dirinya

    sendiri. Akan tetapi individu yang mempuyai harga diri rendah

    bersifat tergantung, kurang percaya diri dan biasanya terbentur

    pada kesulitan sosial serta pesimis dalam pergaulan.

    3. Kondisi fisik

    Perubahan kondisi fisik juga berpengaruh pada rasa percaya

    diri. Anthony (1992) mengatakan penampilan fisik merupakan

    penyebab utama rendahnya harga diri dan percaya diri seseorang.

    Lauster (1997) juga berpendapat bahwa ketidakmampuan fisik

    dapat menyebabkan rasa rendah diri yang kentara.

    4. Pengalaman hidup

    Lauster (1997) mengatakan bahwa kepercayaan diri diperoleh

    dari pengalaman yang mengecewakan adalah paling sering

    menjadi sumber timbulnya rasa rendah diri. Apalagi jika pada

    dasarnya individu memiliki rasa tidak aman, kurang kasih sayang

    dan kurang perhatian.

    b. Faktor eksternal meliputi:

  • 20

    1. Pendidikan

    Pendidikan mempengaruhi percaya diri individu. Anthony

    (1992) lebih lanjut mengungkapkan bahwa tingkat pendidikan

    yang rendah cenderung membuat individu merasa dibawah

    kekuasaan yang lebih pandai, sebaliknya individu yang

    pendidikannya lebih tinggi cenderung akan menjadi mandiri dan

    tidak perlu bergantung pada individu lain. Individu tersebut akan

    mampu memenuhi keperluan hidup dengan rasa percaya diri dan

    kekuatannya dengan memperhatikan situasi dari sudut kenyataan.

    2. Pekerjaan

    Bekerja dapat mengembangkan kreatifitas dan kemandirian

    serta rasa percaya diri. Lebih lanjut dikemukakan bahwa rasa

    percaya diri dapat muncul dengan melakukan pekerjaan, selain

    materi yang diperoleh. Kepuasan dan rasa bangga di dapat karena

    mampu mengembangkan kemampuan diri.

    3. Lingkungan

    Lingkungan disini merupakan lingkungan keluarga, sekolah,

    dan masyarakat. Dukungan yang baik yang diterima dari

    lingkungan keluarga seperti anggota kelurga yang saling

    berinteraksi dengan baik akan memberi rasa nyaman dan percaya

    diri yang tinggi. Begitu juga dengan lingkungan masyarakat

  • 21

    semakin bisa memenuhi norma dan diterima oleh masyarakat,

    maka semakin lancar harga diri berkembang (Centi, 1995).

    Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat dua

    faktor yang mempengaruhi rasa percaya diri pada individu, yaitu faktor

    internal dan eksternal. Faktor internal meliputi konsep diri, harga diri dan

    keadaan fisik. Faktor eksternal meliputi pendidikan, pekerjaan, lingkungan

    dan pengalaman hidup. Attachment ibu-anak termasuk pada faktor

    eksternal, yaitu lingkungan keluarga.

    B. Attachment Ibu-Anak

    1. Pengertian Attachment

    Attachment merupakan suatu ikatan emosional yang kuat yang

    dikembangkan anak melalui interaksinya dengan orang yang mempunyai

    arti khusus dalam kehidupannya, biasanya adalah orang tua. Bowlby

    (dalam Desmita, 2010) menyatakan bahwa hubungan ini akan bertahan

    cukup lama dalam rentang kehidupan manusia. Pengertian ini sejalan

    dengan apa yang dikemukakan Ainsworth mengenai attachment.

    Ainsworth (dalam Desmita, 2011) mengatakan bahwa attachment adalah

    ikatan emosional yang dibentuk seorang individu dengan orang lain yang

    bersifat spesifik, mengikat mereka dalam suatu kedekatan yang bersifat

    kekal sepanjang waktu.

  • 22

    Ainsworth menjelaskan bahwa hubungan attachment pada ibu

    sebagai salah satu hal penting dalam pembentukan hubungan dengan

    orang lain sepanjang kehidupan. Ia menyebutkan hal ini sebagai

    affectional bonds. Affectional bonds yaitu ikatan yang secara relatif kekal

    dimana pasangan merupakan individu yang unik dan tidak dapat

    tergantikan oleh orang lain. Hubungan ini ditandai dengan adanya

    kebutuhan untuk mempertahankan kedekatan, distress yang tidak dapat

    dipahami saat perpisahan, senang atau gembira saat bertemu, dan sedih

    saat kehilangan. Ikatan ibu-anak, ayah-anak, pasangan seksual, dan

    hubungan saudara kandung dan teman dekat adalah contoh affectional

    bonds (dalam Desmita, 2010).

    Attachment merupakan suatu hubungan yang didukung oleh tingkah

    laku lekat (attachment behavior) yang dirancang untuk memelihara

    hubungan tersebut. Cicirelli (dalam Desmita, 2010) mendefinisikan

    attachment sebagai suatu ikatan emosional antara dua orang; yang pada

    dasarnya untuk diidentifikasi, mencintai, dan memiliki hasrat dengan

    orang lain, dan merepresentasikan keadaan internal individu.

    Tidak semua hubungan yang bersifat emosional atau afektif dapat

    disebut attachment. Adapun ciri afektif yang menunjukkan attachment

    adalah: hubungan bertahan cukup lama, ikatan tetap ada walaupun figur

    lekat tidak tampak dalam jangkauan mata anak, bahkan jika figur

  • 23

    digantikan oleh orang lain, dan kelekatan dengan figur lekat akan

    menimbulkan rasa aman (Ainsworth dalam Desmita, 2010).

    Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka dapat disimpulkan

    bahwa yang dimaksud dengan attachment adalah suatu hubungan

    emosional atau hubungan yang bersifat afektif antara satu individu dengan

    individu lainnya yang mempunyai arti khusus, dalam hal ini biasanya

    hubungan ditujukan pada ibu atau pengasuhnya. Hubungan dapat bertahan

    cukup lama, timbal balik, dan memberikan rasa aman walaupun figur lekat

    tidak tampak dalam pandangan anak.

    2. Proses Attachment Ibu-Anak

    Interaksi yang intens antara ibu dan anak biasanya dimulai saat

    proses pemberian ASI (Air Susu Ibu). Melalui proses pemberian ASI

    diharapkan akan berkembang attachment karena dalam proses ini terjadi

    kontak fisik yang disertai upaya untuk membangun hubungan psikologis

    antara ibu dan anak.

    Berdasarkan kualitas hubungan anak dengan ibu, maka anak akan

    mengembangkan konstruksi mental atau internal working model

    mengenai diri (self) dan orang lain (others) yang akan menjadi prototip

    dalam hubungan sosial. Bowlby (dalam Desmita, 2011) menyatakan

    bahwa tidak ada orang di usia berapapun secara sempurna bebas dari

  • 24

    ketergantungan dengan orang lain secara nyata dan bahwa sistem

    attachment akan tetap aktif dalam seluruh rentang kehidupan.

    Mc Cartney & Dearing (dalam Desmita, 2011) menyatakan bahwa

    pengalaman awal akan menggiring dan menentukan perilaku dan

    perasaan melalui internal working model. Adapun penjelasan mengenai

    konsep ini adalah, internal, karena disimpan dalam pikiran, working

    karena membimbing persepsi dan perilaku, dan model karena

    mencerminkan representasi kognitif dari pengalaman dalam membina

    hubungan. Anak akan menyimpan pengetahuannya mengenai suatu

    hubungan, khususnya pengetahuan mengenai keamanan dan bahaya.

    Model ini selanjutnya akan menggiring mereka dalam interaksi di masa

    yang akan datang. Interaksi interpersonal dihasilkan dan diinterpretasikan

    berdasarkan gambaran mental yang dimiliki seorang anak.

    Konsep working model selanjutnya dikembangkan oleh Collins dan

    Read (dalam Ervika, 2005) yang terdiri dari empat komponen yang saling

    berhubungan, yaitu;

    a. Memori tentang kelekatan yang dihubungkan dengan pengalaman

    b. Kepercayaan, sikap, dan harapan mengenai diri dan orang lain yang

    dihubungkan dengan attachment

    c. Attachment dihubungkan dengan tujuan dan kebutuhan (goal and

    needs)

  • 25

    d. Strategi dan rencana yang diasosiasikan dengan pencapaian tujuan

    attachment.

    Model ini diasumsikan bekerja di luar pengalaman sadar (Mc

    Cartney & Dearing dalam Desmita, 2011). Pengetahuan anak

    didapatkannya dari interaksi dengan ibu. Anak yang memiliki orang tua

    yang mencintai dan dapat memenuhi kebutuhannya akan

    mengembangkan model hubungan yang positif yang didasarkan pada rasa

    percaya (trust). Selanjutnya secara simultan anak akan mengembangkan

    model yang paralel dalam dirinya. Anak dengan orang tua yang mencintai

    akan memandang dirinya berharga. Model ini selanjutnya akan

    digeneralisasikan anak dari orang tua pada orang lain. Sebaliknya anak

    yang memiliki ibu yang tidak menyenangkan akan mengembangkan

    kecurigaan (mistrust) dan tumbuh sebagai anak yang pencemas dan

    kurang mampu menjalin hubungan sosial.

    Menurut Bowlby (dalam Desmita, 2011) internal working model

    dan figur lekat saling melengkapi serta saling menggambarkan dua sisi

    hubungan tersebut. Anak yang diasuh dengan kehangatan, sensitifitas,

    dan responsifitas akan mengembangkan internal working model yang

    positif pada orang tua dan diri sendiri. Internal working model merupakan

    hasil interpretasi pengalaman secara terus-menerus dan interaksinya

    dengan figur lekat.

  • 26

    Ada dua faktor yang dapat meningkatkan kestabilan internal

    working model, yaitu :

    a. Familiar, yaitu pola interaksi yang berulang, cenderung akan menjadi

    kebiasaan yang terjadi secara otomatis

    b. Dyadic Pattern, merupakan pola yang timbal balik dan cenderung

    akan mengubah pola individual karena harapan yang timbal balik

    memerintahkan masing-masing pasangan untuk mengartikan perilaku

    pihak lainnya.

    Bowlby juga menjelaskan pentingnya perbedaan individu dalam

    keberfungsian sistem attachment bergantung pada availability,

    responsiveness, dan supportiveness dari figur lekat pada waktu yang

    dibutuhkan. Interaksi dengan figur lekat yang available dan

    responsiveness dapat memudahkan sistem attachment berfungsi optimal

    dan mengembangkan perasaan bahwa dunia pada dasarnya merupakan

    tempat yang aman, figur lekat pada umumnya membantu dan berguna

    saat dibutuhkan, dan memungkinkan menjelajahi lingkungan dan

    menjalin hubungan dengan orang lain. Sebaliknya, jika figur lekat tidak

    dipercaya available dan suportif, rasa aman menjadi tidak diperoleh.

    Individu mengalami keraguan dengan self efficacy dan tujuan orang lain.

    Working model diri dan orang lain dilihat oleh Bowlby sebagai

    faktor penyebab utama kelancaran antara pengalaman attachment awal

    dengan kognitif, perasaan, dan perilaku dalam hubungan selanjutnya.

  • 27

    Memberi sebuah pola yang hampir konsisten dari interaksi dengan figur

    attachment selama masa kanak-kanak dan remaja, sebagian besar

    representatif atau bentuk dasar working models dari interaksi ini

    mengeras dan menjadi bagian pengetahuan individu yang harus diikuti

    kemudian. Seperti skema mental lainnya, sebagian besar working model

    yang diperoleh secara kronis menjadi inti dari karakteristik kepribadian,

    cenderung diaplikasikan dalam situasi dan hubungan baru, dan

    mempengaruhi fungsi sistem attachment pada umumnya dan rangkaian

    interaksi sosial serta close relationship berikutnya.

    Berdasarkan uraian tersebut, proses attachment ibu-anak dimulai

    semenjak ibu memberikan ASI kepada anak dan menurut Bowlby (dalam

    Desmita, 2011) attachment akan tetap aktif dalam seluruh rentang

    kehidupan. Anak dengan orang tua yang mencintai akan memandang

    dirinya berharga. Model ini selanjutnya akan digeneralisasikan anak dari

    orang tua pada orang lain. Sebaliknya anak yang memiliki ibu yang tidak

    menyenangkan akan mengembangkan kecurigaan (mistrust) dan tumbuh

    sebagai anak yang pencemas dan kurang mampu menjalin hubungan

    sosial.

    3. Ciri-ciri Attachment Ibu-Anak

    Ciri attachment ibu-anak yang baik (secure attachment) (Ainswoth

    dalam Desmita, 2011) yaitu:

  • 28

    a. Anak menggunakan ibu sebagai landasan utama mencari keamanan

    b. Ibu dan anak merasa sedih bila berpisah

    c. Meski berpisah, namun anak yakin jika ibu akan kembali

    d. Merasa bahagia bila bertemu kembali

    e. Apabila merasa takut, anak akan mencari perlindungan pada ibu dan

    ibu akan bersikap melindungi.

    Berdasarkan aspek attachment ibu-anak dari Bowlby, ciri-ciri

    attachment ibu-anak yang baik (secure attachment) (dalam Desmita,

    2011) yaitu:

    1. Mau melakukan kontak mata, melihat ke arah ibu dengan tatapan

    lembut

    2. Tidak mudah menangis jika menghadapi masalah

    3. Nyaman jika berada di dekat ibu

    4. Tidak malu untuk memeluk atau mencium ibu

    5. Sering melakukan sentuhan kepada ibu (memijat ibu, mengelus

    punggung atau pundak ibu)

    6. Membantu ibu, memberi perhatian kepada ibu

    7. Anak dan ibu saling bertukar pikiran atau berdiskusi, bercerita

    pengalaman sehari-hari

    8. Anak bersikap dewasa atau bijaksana

    9. Ibu memberi perhatian dan juga motivasi

    10. Ada rasa rindu jika cukup lama tidak bertemu

  • 29

    11. Ada rasa bahagia dan gembira jika bertemu

    12. Ibu memberikan perlindungan pada anak

    Dari uraian di atas maka ciri dari attachment ibu-anak yang baik

    yaitu anak menggunakan ibu sebagai landasan utama mencari keamanan,

    ibu dan anak merasa sedih bila berpisah, meski berpisah namun anak

    yakin jika ibu akan kembali, merasa bahagia bila bertemu kembali,

    apabila merasa takut anak akan mencari perlindungan pada ibu dan ibu

    akan bersikap melindungi, melihat ke arah ibu dengan tatapan lembut,

    tidak mudah menangis jika menghadapi masalah, tidak segan memeluk

    atau mencium, ibu dan anak saling merawat, berdiskusi, anak mampu

    bersikap tanggung jawab, dan ibu memberi motivasi positif pada anak.

    4. Aspek-aspek Attachment Ibu-Anak

    Menurut Cassidy (dalam Ervika, 2005), Bowlby membedakan tiga

    aspek attachment menjadi:

    a. Attachment Behavior

    Attachment behavior atau perilaku attachment adalah tindakan

    untuk meningkatkan kedekatan pada figur lekat. Anak akan membuat

    kontak mata, menangis, atau membuat gesture (sikap tubuh) sebagai

    cara untuk mendekati orang tua mereka.

  • 30

    b. Attachment Bond

    Attachment bond merupakan suatu ikatan afeksi; ikatan ini bukan

    diantara dua orang, namun suatu ikatan yang dimiliki seorang individu

    terhadap individu lainnya yang dirasa lebih kuat dan bijaksana.

    Individu dapat melekat pada seseorang yang tidak terikat dengannya.

    Affectional bonds yaitu ikatan yang secara relative kekal dimana

    pasangan merupakan seseorang yang unik dan tidak dapat tergantikan

    oleh orang lain.

    Hubungan ini ditandai dengan adanya kebutuhan untuk

    mempertahankan kedekatan, distress yang tidak dapat dipahami saat

    perpisahan, senang atau gembira saat bertemu, dan sedih saat

    kehilangan. Ikatan ibu-anak, ayah-anak, pasangan seksual, dan

    hubungan saudara kandung serta teman dekat adalah contoh affectional

    bonds. Hubungan ini digerakkan oleh sistem perilaku tambahan,

    seperti reproduktif, ibuan, dan sociable system (Ainsworth, Greenberg,

    & Marvin dalam Ervika, 2005).

    c. Attachment Behavioral System

    Attachment behavioral system merupakan suatu rangkaian

    perilaku khusus yang digunakan individu. Bowlby melihat bahwa

    attachment berakar dalam sebuah sistem yang disebut dengan

    attachment behavioral system yang ia yakini berkembang secara

    universal di semua spesies. Tujuan attachment system adalah untuk

  • 31

    mencapai kedekatan antara orang tua dan anak, meningkatkan

    perlindungan dan kelangsungan hidupnya. Bowlby berpendapat bahwa

    attachment behavioral system memberikan sebuah fungsi evolusioner

    karena dapat menyarankan perlindungan anak yang bergantung pada

    orang dewasa demi keselamatan. Jika attachment behavior berwujud

    perilaku tunggal atau berupa gerak-gerik tubuh, namun attachment

    behavioral system berupa rangkaian perilaku yang dilakukan ibu dan

    anak sehingga menyebabkan anak merasa aman dan memiliki secure

    attachment, rasa aman dan nyaman itu membuat anak

    mengembangkan perilaku untuk belajar dan beradaptasi dengan

    lingkungannya tidak hanya lingkungan keluarga.

    Bowlby juga menyatakan bahwa terdapat dua behavioral system

    lainnya yang berinteraksi dengan attachment behavioral system. Pertama

    adalah exploratory behavioral system yang meningkatkan kelangsungan

    hidup karena rasa ingin tahu membantu anak untuk belajar dan beradaptasi

    pada lingkungan anak. Sistem ini mengurangi perilaku attachment. Kedua,

    fear behavioral system menunjukkan keamanan dan sebagai hasilnya,

    membentuk sistem attachment.

    Cassidy menjelaskan beberapa hal mengenai teori attachment yaitu:

    a. Affectional bond hanya mengutamakan hubungan orang tua dan anak.

    b. Anak akan mendemonstrasikan perilaku attachment dengan seorang

    yang tidak berada dalam attachment bond.

  • 32

    c. Anak mengalami multiple attachment tapi kualitas affectional bond

    berbeda di masing-masing hubungan. Kualitas ikatan (bond)

    dipengaruhi oleh jumlah interaksi, kualitas pemberian kasih sayang,

    dan emosional yang ditanamkan oleh ibu.

    Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek

    dari attachment yaitu attachment behavior, attachment bond, dan

    attachment behavioral system.

    C. Anak Usia Sekolah

    Masa perkembangan anak-anak dimulai sejak usia 2 tahun sampai saat

    anak matang secara seksual yakni sekitar usia 11 tahun untuk perempuan dan

    12 tahun untuk laki-laki, di mana pada usia ini terjadi perubahan yang

    signifikan baik secara fisik maupun psikologis. Masa anak-anak dibagi

    menjadi dua yaitu masa anak-anak awal dan masa anak-anak pertengahan juga

    akhir. Masa anak-anak awal berlangsung dari umur 2 tahun hingga 6 tahun,

    dan masa anak-anak pertengahan hingga akhir dari usia 6 tahun hingga saat

    anak matang secara seksual (Hurlock, 1980).

    Usia anak-anak pertengahan hingga akhir juga disebut sebagai usia

    sekolah atau elementary school years. Permulaan pada fase ini adalah saat

    anak memasuki kelas satu sekolah dasar. Bagi sebagian besar anak, hal ini

    merupakan suatu perubahan besar dalam pola kehidupan anak (Irwanto, dkk.

    1997).

  • 33

    Pada masa pertengahan dan akhir anak-anak, bagi sebagian besar anak,

    terdapat perubahan besar dalam pola kehidupan. Hal ini dikarenakan pada

    masa tersebut, mereka juga memasuki masa sekolah dan hal ini adalah

    peristiwa penting yang mengakibatkan terjadinya perubahan dalam sikap,

    nilai, dan perilaku. Pada masa ini peningkatan berat badan anak lebih banyak

    dibanding panjang badannya. Kaki dan tangan menjadi lebih panjang, dada

    dan panggul lebih besar (Santrock, 2002)

    Dengan terus berkembangnya kekuatan badan dan bertambahnya berat

    badan anak, maka selama masa pertengahan dan akhir anak perkembangan

    motorik menjadi lebih halus dan lebih terkoordinasi. Anak-anak terlihat lebih

    cepat dalam berlari dan melompat, anak pun mampu menjaga keseimbangan

    tubuhnya.Untuk memperhalus keterampilan motorik, anak-anak terus

    melakukan berbagai aktivitas fisik. Aktivitas tersebut terkadang bersifat

    informal (Desmita, 2010).

    Menurut teori kognitif Piaget (dalam Desmita, 2010), pemikiran anak-

    anak usia sekolah dasar disebut pemikiran operasional konkrit. Menurut

    Paget, operasi adalah hubungan-hubungan logis diantara skema-skema atau

    konsep-konsep. Sedangkan operasi konkrit adalah aktivitas mental yang

    difokuskan pada objek dan peristiwa nyata yang dapat diukur.

    Pada masa stadium belajar tersebut, maka dunia sekolah mempunyai

    pengaruh penting bagi perkembangan selama masa pertengahan dan akhir

    anak-anak. Anak-anak menghabiskan waktu bertahun-tahun di sekolah

  • 34

    sebagai anggota suatu masyarakat kecil yang harus mengerjakan sejumlah

    tugas dan mengikuti sejumlah aturan yang menegaskan juga membatasi

    perilaku, perasaan, dan sikap anak-anak tersebut (Santrock, 2002).

    Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa anak usia sekolah

    merupakan anak pada fase tengah hingga akhir anak-anak atau disebut juga

    elementary school years yang dimulai dari usia 6 tahun hingga memasuki

    masa pubertas, pada perempuan yaitu usia 11 tahun dan laki-laki 12 tahun.

    D. Asma

    1. Pengertian Asma

    Penyakit asma berasal dari kata asthma yang diambil dari bahasa

    Yunani yang memiliki arti sulit bernafas. Penyakit asma dikenal karena

    adanya gejala sesak nafas, batuk dan disebabkan oleh penyempitan saluran

    nafas. Asma adalah gangguan inflamasi kronis pada jalan nafas tempat

    banyak sel (sel mast, eosinofil, dan limfosit T) memegang peranan. Pada

    anak yang rentan, inflamasi menyebabkan episode mengi kekambuhan,

    sesak nafas, dada sesak dan batuk, terutama pada malam hari atau pagi hari

    (Mansjoer, dkk. 2000).

    Asma pada anak adalah gangguan pernafasan yang disertai berbagai

    gejala hambatan aliran udara dalam saluran nafas paru berupa tarikan nafas

    pendek dan serangan batuk berulang. Asma merupakan penyakit keturunan

    yang penyebabnya masih belum jelas. Asma didefenisikan sebagai

  • 35

    penyakit obstruk jalan nafas yang reversibel yang ditandai oleh serangan

    batuk, mengi dan dispnea pada individu dengan jalan napas hiperaktif

    (Mansjoer, dkk. 2000).

    Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa asma adalah

    gangguan pernafasan yang disertai berbagai gejala hambatan aliran udara

    dalam saluran nafas paru berupa tarikan nafas pendek, dan serangan batuk

    berulang.

    2. Faktor Pemicu Asma

    Macam faktor pemicu asma (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak

    Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1985), yaitu:

    a. Alergi

    b. Infeksi

    c. Iritan

    d. Cuaca

    e. Kegiatan jasmani

    f. Infeksi saluran nafas bagian atas

    g. Psikologis

    Salah satu dari faktor pemicu asma adalah faktor psikologis. Faktor

    psikologis merupakan pencetus yang tidak boleh diabaikan dan sangat

    kompleks. Tidak adanya perhatian atau tidak mau mengakui persoalan

    yang berhubungan dengan asma pada anak tersebut akan memperlambat

  • 36

    bahkan menggagalkan usaha pencegahan. Tetapi sebaliknya, terlalu takut

    dengan serangan asma dapat memperberat atau mempermudah terjadinya

    serangan asma. Pembatasan aktivitas anak, seringnya anak tidak masuk

    sekolah, rasa khawatir keluarga akan berpengaruh kepada psikologis anak

    penderita asma yang pada akhirnya juga berpengaruh pada penyakit asma

    tersebut (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran

    Universitas Indonesia, 1985).

    Penyebab penyakit asma belum jelas. Diduga, ada beberapa faktor

    pencetus (Mansjoer, dkk. 2000), yaitu:

    a. Faktor Ekstrinsik, terdiri dari reaksi antigen antibodi dan alergen debu,

    serbuk-serbuk, bulu-bulu binatang.

    b. Faktor Interistik, yang meliputi:

    1. Infeksi berupa virus influenza, pneumonia, mycoplasma

    2. Fisik (cuaca dingin, perubahan temperatur)

    3. Iritan kimia, polusi udara

    4. Emosional termasuk rasa takut, cemas dan tegang dan aktivitas

    yang berlebihan juga dapat menjadi faktor.

    Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa faktor

    pencetus asma dibagi menjadi 2 yaitu faktor ekstrinsik berupa reaksi

    antigen antibodi, alergen debu, serbuk-serbuk, dan bulu binatang.

    Sedangkan faktor intrinsik berupa infeksi, disik, iritasi kimia, polusi udara,

    dan faktor psikologis.

  • 37

    E. Hubungan Attachment Ibu-Anak dengan Rasa Percaya Diri

    Pada masa pertengahan dan akhir anak-anak yaitu usia 6-11 tahun

    merupakan masa dimana anak memasuki masa pertengahan dan akhir anak-

    anak. Menurut Erik Erikson, anak-anak akan mulai mengarahkan energi pada

    penguasaan pengetahuan dan ketrampilan intelektual. Namun, yang berbahaya

    pada tahap ini dan harus diperhatikan adalah perasaan tidak berkompeten dan

    tidak produktif apabila pengarahan energi tersebut terhambat (Santrock,

    2002). Seperti pada anak yang mengidap asma, individu cenderung memiliki

    keraguan untuk bisa mengaktualisasikan diri, ada kekhawatiran pada

    kambuhnya penyakit asma, apakah mereka mampu untuk beraktivitas tanpa

    perlu khawatir, dan tanpa harus didampingi orang dewasa. Melihat tugas

    perkembangan anak-anak usia sekolah, saat harus mereka aktif dalam

    kegiatan di sekolah namun terhambat oleh penyakit asma tersebut sehingga

    dapat timbul perasaan tidak berkompeten dan tidak produktif lalu berpengaruh

    pada rasa percaya diri.

    Namun ada kondisi dimana anak yang menderita asma tetap memiliki

    rasa percaya diri. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya

    adalah lingkungan keluarga. Dukungan yang baik yang diterima dari

    lingkungan keluarga seperti anggota kelurga yang saling berinteraksi dengan

    baik akan memberi rasa nyaman dan percaya diri yang tinggi (Centi, 1995).

    Lebih khusus diketahui bahwa attachment ibu-anak sangat berpengaruh

    sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi rasa percaya diri pada anak. Ibu

  • 38

    sebagai pengasuh utama anak memegang peranan penting dalam penentuan

    status kelekatan anak, apakah anak akan membentuk kelekatan aman atau

    sebaliknya. Status kelekatan ini berhubungan dengan gangguan kelekatan dan

    perkembangan anak di masa selanjutnya.

    F. Kerangka Pemikiran

    Gambar 1. Kerangka Berpikir

    Anak Usia Sekolah Penderita Asma

    Faktor Penyebab Rasa Percaya Diri

    Percaya Diri

    Faktor Internal: - Konsep diri - Harga diri - Kondisi fisik - Pengalaman

    Faktor Eksternal: - Pendidikan - Pekerjaan - Keluarga - Lingkungan

    masyarakat

    Attachment ibu-anak

    Tinggi Rendah Rendah Tinggi

  • 39

    Asma pada anak adalah gangguan pernafasan yang disertai berbagai

    gejala hambatan aliran udara dalam saluran nafas paru berupa tarikan nafas

    pendek dan serangan batuk berulang. Asma merupakan penyakit keturunan

    yang penyebabnya masih belum jelas. Macam pemicu asma adalah alergi,

    infeksi, iritan, cuaca, kegiatan jasmani, infeksi saluran pernafasan atas, dan

    psikologi. Penyakit asma dapat timbul sewaktu-waktu dan di manapun. Hal

    ini tentu menganggu aktifitas dan keseharian pada anak usia sekolah, di mana

    pada usia sekolah mereka memiliki banyak kegiatan baik fisik maupun

    kognisi, dan penyakit asma tersebut dapat berpengaruh pada kepercayaan diri

    anak tersebut.

    Faktor penyebab rasa percaya diri dibagi menjadi dua, yaitu faktor

    eksternal dan faktor internal. Faktor internal yaitu konsep diri, harga diri,

    kondisi fisik, dan pengalaman, sedangkan faktor eksternal yaitu pendidikan,

    pekerjaan, keluarga, dan lingkungan masyarakat. Dimana faktor-faktor

    tersebut akan mempengaruhi tingkat percaya diri pada anak.

    Dari faktor eksternal yang berpengaruh pada rasa percaya diri terdapat

    faktor keluarga. Dari faktor keluarga, diketahui salah satu hal yang terdapat

    dalam keluarga adalah adanya attachment atau kelekatan antara ibu dengan

    anak. Attachment ibu-anak merupakan suatu ikatan emosional yang kuat yang

    dikembangkan anak melalui interaksinya dengan ibu yang notabene adalah orang

    yang paling penting dan dekat dalam kehidupan anak. Maka dari pemaparan tersebut,

    dapat diketahui apabila secure attachment ibu-anak tinggi maka rasa percaya akan

  • 40

    tinggi, begitu pula sebaliknya jika secure attachment ibu-anak rendah maka rasa

    percaya diri juga akan rendah.

    G. Hipotesis

    Hipotesis dari penelitian ini adalah:

    Ada hubungan antara attachment ibu-anak dengan rasa percaya diri pada

    anak usia sekolah penderita asma di Purwokerto.