-
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Rasa Percaya Diri
1. Pengertian Rasa Percaya Diri
Rasa percaya diri yang baru dan sehat dikembangkan dari
dalam
kepribadian individu itu sendiri. Rasa percaya diri bukan
dengan
mengkompensasi kelemahan kepada kelebihan, namun bagaimana
individu tersebut mampu menerima dirinya apa adanya, mampu
mengerti
seperti apa dirinya dan pada akhirnya akan percaya bahwa dirinya
mampu
melakukan berbagai hal dengan baik (Lauster, 1994).
Rasa percaya diri adalah keyakinan pada kemampuan-kemampuan
sendiri, keyakinan pada adanya suatu maksud di dalam kehidupan,
dan
kepercayaan bahwa dengan akal budi mereka akan mampu
melaksanakan
apa yang mereka inginkan, rencanakan dan harapkan (Davies,
2004).
Rasa percaya diri merupakan keberanian menghadapi tantangan
karena memberi suatu kesadaran bahwa belajar dari pengalaman
jauh
lebih penting daripada keberhasilan atau kegagalan. Rasa percaya
diri
penting untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik, seperti
halnya ketika
bergabung dengan suatu masyarakat yang didalamnya terlibat di
dalam
suatu aktivitas atau kegiatan, rasa percaya diri meningkatkan
keefektifan
dalam aktivitas atau kegiatan (Hakim, 2005).
-
15
Rasa percaya diri merupakan sikap mental individu dalam
menilai
diri maupun objek sekitar sehingga individu tersebut memiliki
keyakinan
akan kemampuan diri dalam melakukan sesuatu sesuai kemampuan
(Ghufron, 2011).
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
kepercayaan
diri adalah keyakinan pada kemampuan-kemampuan sendiri,
keberanian
untuk menghadapi tantangan karena memberi suatu kesadaran
bahwa
belajar dari pengalaman jauh lebih penting daripada keberhasilan
atau
kegagalan, suatu layanan terhadap diri sendiri sehingga individu
mampu
menangani segala situasi dengan tenang, dan kepercayaan bahwa
dengan
akal budi akan mampu melaksanakan apa yang diinginkan,
rencanakan
dan harapkan.
2. Ciri-ciri Individu yang Memiliki Rasa Percaya Diri
Ciri-ciri individu yang memiliki rasa percaya diri (Hakim,
2005),
yaitu:
a. Bersikap tenang dalam mengerjakan sesuatu
b. Mempunyai potensi dan kemampuan yang memadai
c. Mampu menetralisir ketegangan yang muncul dalam situasi
tertentu
d. Mampu menyesuaikan diri dan berkomunikasi
e. Memiliki kondisi mental dan fisik yang menunjang
penampilan
f. Memiliki kecerdasan yang cukup
-
16
g. Memiliki tingkat pendidikan formal yang cukup
h. Memiliki keahlian dan ketrampilan lain yang menunjang
kehidupan
i. Memiliki kemampuan bersosialisasi
j. Memiliki latar belakang pendidikan keluarga yang baik
k. Memiliki pengalaman hidup yang menempa mental dan ketahanan
di
berbagai situasi
l. Bersikap positif dalam menghadapi masalah
Menurut Lie (dalam Mutmainah, 2012) percaya diri pada anak
mempunyai ciri sebagai berikut:
a. Yakin pada diri sendiri
b. Tidak bergantung pada orang lain
c. Merasa dirinya berharga
d. Tidak menyombongkan diri
e. Memiliki keberanian untuk bertindak.
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ciri anak
yang
memiliki rasa percaya diri yaitu yakin pada diri sendiri, tidak
bergantung
pada orang lain, merasa dirinya berharga, tidak menyombongkan
diri,
memiliki keberanian untuk bertindak, mempunyai potensi dan
kemampuan
yang memadai, menetralisir ketegangan yang muncul dalam
situasi
tertentu, kemampuan bersosialisasi, dan bersikap positif
dalam
menghadapi masalah.
-
17
3. Aspek-aspek Rasa Percaya Diri
Menurut Lauster (dalam Ghufron, 2011) anak yang memiliki
rasa
percaya diri positif adalah:
a. Keyakinan akan kemampuan diri yaitu sikap positif anak
tentang
dirinya bahwa anak mengerti sungguh-sungguh akan apa yang
dilakukannya.
b. Optimis yaitu sikap positif anak yang selalu berpandangan
baik dalam
menghadapi segala hal tentang diri, harapan dan
kemampuannya.
c. Obyektif yaitu anak yang percaya diri memandang permasalahan
atau
sesuatu sesuai dengan kebenaran yang semestinya, bukan
menurut
kebenaran pribadi atau menurut dirinya sendiri.
d. Bertanggung jawab yaitu kesediaan anak untuk menanggung
segala
sesuatu yang telah menjadi konsekuensinya.
e. Rasional yaitu analisa terhadap sesuatu masalah, sesuatu hal,
sesuatu
kejadian dengan menggunakan pemikiran yang dapat diterima
oleh
akal dan sesuai dengan kenyataan.
Menurut Kumara (dalam Isaningrum, 2007) individu yang
memiliki rasa percaya diri merasa yakin akan kemampuan
dirinya,
sehingga bisa menyelesaikan masalahnya karena tahu apa yang
dibutuhkan dalam hidupnya, serta mempunyai sikap positif yang
didasari
keyakinan akan kemampuannya. Individu tersebut bertanggung
jawab
-
18
akan keputusannya yang telah diambil serta mampu menatap fakta
dan
realita secara obyektif yang didasari keterampilan.
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa individu
yang
memiliki rasa percaya diri yaitu diantaranya memiliki rasa
keyakinan
akan kemampuan diri, optimis, obyektif, bertanggung jawab
serta
memiliki pemikiran rasional.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Rasa Percaya Diri
Rasa percaya diri dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
yang
dapat digolongkan menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor
eksternal
(Ghufron, 2011):
a. Faktor internal, meliputi:
1. Konsep diri
Terbentuknya percaya diri pada seseorang diawali dengan
perkembangan konsep diri yang diperoleh dalam pergaulan
suatu
kelompok. Menurut Centi (1995), konsep diri merupakan
gagasan
tentang dirinya sendiri. Individu yang mempunyai rasa rendah
diri
biasanya mempunyai konsep diri negatif, sebaliknya individu
yang
mempunyai rasa percaya diri akan memiliki konsep diri
positif.
2. Harga diri
Harga diri yaitu penilaian yang dilakukan terhadap diri
sendiri. Individu yang memiliki harga diri tinggi akan
menilai
-
19
pribadi secara rasional dan benar bagi dirinya serta mudah
mengadakan hubungan dengan individu lain.
Individu yang mempunyai harga diri tinggi cenderung melihat
dirinya sebagai individu yang berhasil percaya bahwa
usahanya
mudah menerima orang lain sebagaimana menerima dirinya
sendiri. Akan tetapi individu yang mempuyai harga diri
rendah
bersifat tergantung, kurang percaya diri dan biasanya
terbentur
pada kesulitan sosial serta pesimis dalam pergaulan.
3. Kondisi fisik
Perubahan kondisi fisik juga berpengaruh pada rasa percaya
diri. Anthony (1992) mengatakan penampilan fisik merupakan
penyebab utama rendahnya harga diri dan percaya diri
seseorang.
Lauster (1997) juga berpendapat bahwa ketidakmampuan fisik
dapat menyebabkan rasa rendah diri yang kentara.
4. Pengalaman hidup
Lauster (1997) mengatakan bahwa kepercayaan diri diperoleh
dari pengalaman yang mengecewakan adalah paling sering
menjadi sumber timbulnya rasa rendah diri. Apalagi jika pada
dasarnya individu memiliki rasa tidak aman, kurang kasih
sayang
dan kurang perhatian.
b. Faktor eksternal meliputi:
-
20
1. Pendidikan
Pendidikan mempengaruhi percaya diri individu. Anthony
(1992) lebih lanjut mengungkapkan bahwa tingkat pendidikan
yang rendah cenderung membuat individu merasa dibawah
kekuasaan yang lebih pandai, sebaliknya individu yang
pendidikannya lebih tinggi cenderung akan menjadi mandiri
dan
tidak perlu bergantung pada individu lain. Individu tersebut
akan
mampu memenuhi keperluan hidup dengan rasa percaya diri dan
kekuatannya dengan memperhatikan situasi dari sudut
kenyataan.
2. Pekerjaan
Bekerja dapat mengembangkan kreatifitas dan kemandirian
serta rasa percaya diri. Lebih lanjut dikemukakan bahwa rasa
percaya diri dapat muncul dengan melakukan pekerjaan, selain
materi yang diperoleh. Kepuasan dan rasa bangga di dapat
karena
mampu mengembangkan kemampuan diri.
3. Lingkungan
Lingkungan disini merupakan lingkungan keluarga, sekolah,
dan masyarakat. Dukungan yang baik yang diterima dari
lingkungan keluarga seperti anggota kelurga yang saling
berinteraksi dengan baik akan memberi rasa nyaman dan
percaya
diri yang tinggi. Begitu juga dengan lingkungan masyarakat
-
21
semakin bisa memenuhi norma dan diterima oleh masyarakat,
maka semakin lancar harga diri berkembang (Centi, 1995).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat
dua
faktor yang mempengaruhi rasa percaya diri pada individu, yaitu
faktor
internal dan eksternal. Faktor internal meliputi konsep diri,
harga diri dan
keadaan fisik. Faktor eksternal meliputi pendidikan, pekerjaan,
lingkungan
dan pengalaman hidup. Attachment ibu-anak termasuk pada
faktor
eksternal, yaitu lingkungan keluarga.
B. Attachment Ibu-Anak
1. Pengertian Attachment
Attachment merupakan suatu ikatan emosional yang kuat yang
dikembangkan anak melalui interaksinya dengan orang yang
mempunyai
arti khusus dalam kehidupannya, biasanya adalah orang tua.
Bowlby
(dalam Desmita, 2010) menyatakan bahwa hubungan ini akan
bertahan
cukup lama dalam rentang kehidupan manusia. Pengertian ini
sejalan
dengan apa yang dikemukakan Ainsworth mengenai attachment.
Ainsworth (dalam Desmita, 2011) mengatakan bahwa attachment
adalah
ikatan emosional yang dibentuk seorang individu dengan orang
lain yang
bersifat spesifik, mengikat mereka dalam suatu kedekatan yang
bersifat
kekal sepanjang waktu.
-
22
Ainsworth menjelaskan bahwa hubungan attachment pada ibu
sebagai salah satu hal penting dalam pembentukan hubungan
dengan
orang lain sepanjang kehidupan. Ia menyebutkan hal ini
sebagai
affectional bonds. Affectional bonds yaitu ikatan yang secara
relatif kekal
dimana pasangan merupakan individu yang unik dan tidak dapat
tergantikan oleh orang lain. Hubungan ini ditandai dengan
adanya
kebutuhan untuk mempertahankan kedekatan, distress yang tidak
dapat
dipahami saat perpisahan, senang atau gembira saat bertemu, dan
sedih
saat kehilangan. Ikatan ibu-anak, ayah-anak, pasangan seksual,
dan
hubungan saudara kandung dan teman dekat adalah contoh
affectional
bonds (dalam Desmita, 2010).
Attachment merupakan suatu hubungan yang didukung oleh
tingkah
laku lekat (attachment behavior) yang dirancang untuk
memelihara
hubungan tersebut. Cicirelli (dalam Desmita, 2010)
mendefinisikan
attachment sebagai suatu ikatan emosional antara dua orang; yang
pada
dasarnya untuk diidentifikasi, mencintai, dan memiliki hasrat
dengan
orang lain, dan merepresentasikan keadaan internal individu.
Tidak semua hubungan yang bersifat emosional atau afektif
dapat
disebut attachment. Adapun ciri afektif yang menunjukkan
attachment
adalah: hubungan bertahan cukup lama, ikatan tetap ada walaupun
figur
lekat tidak tampak dalam jangkauan mata anak, bahkan jika
figur
-
23
digantikan oleh orang lain, dan kelekatan dengan figur lekat
akan
menimbulkan rasa aman (Ainsworth dalam Desmita, 2010).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka dapat
disimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan attachment adalah suatu hubungan
emosional atau hubungan yang bersifat afektif antara satu
individu dengan
individu lainnya yang mempunyai arti khusus, dalam hal ini
biasanya
hubungan ditujukan pada ibu atau pengasuhnya. Hubungan dapat
bertahan
cukup lama, timbal balik, dan memberikan rasa aman walaupun
figur lekat
tidak tampak dalam pandangan anak.
2. Proses Attachment Ibu-Anak
Interaksi yang intens antara ibu dan anak biasanya dimulai
saat
proses pemberian ASI (Air Susu Ibu). Melalui proses pemberian
ASI
diharapkan akan berkembang attachment karena dalam proses ini
terjadi
kontak fisik yang disertai upaya untuk membangun hubungan
psikologis
antara ibu dan anak.
Berdasarkan kualitas hubungan anak dengan ibu, maka anak
akan
mengembangkan konstruksi mental atau internal working model
mengenai diri (self) dan orang lain (others) yang akan menjadi
prototip
dalam hubungan sosial. Bowlby (dalam Desmita, 2011)
menyatakan
bahwa tidak ada orang di usia berapapun secara sempurna bebas
dari
-
24
ketergantungan dengan orang lain secara nyata dan bahwa
sistem
attachment akan tetap aktif dalam seluruh rentang kehidupan.
Mc Cartney & Dearing (dalam Desmita, 2011) menyatakan
bahwa
pengalaman awal akan menggiring dan menentukan perilaku dan
perasaan melalui internal working model. Adapun penjelasan
mengenai
konsep ini adalah, internal, karena disimpan dalam pikiran,
working
karena membimbing persepsi dan perilaku, dan model karena
mencerminkan representasi kognitif dari pengalaman dalam
membina
hubungan. Anak akan menyimpan pengetahuannya mengenai suatu
hubungan, khususnya pengetahuan mengenai keamanan dan
bahaya.
Model ini selanjutnya akan menggiring mereka dalam interaksi di
masa
yang akan datang. Interaksi interpersonal dihasilkan dan
diinterpretasikan
berdasarkan gambaran mental yang dimiliki seorang anak.
Konsep working model selanjutnya dikembangkan oleh Collins
dan
Read (dalam Ervika, 2005) yang terdiri dari empat komponen yang
saling
berhubungan, yaitu;
a. Memori tentang kelekatan yang dihubungkan dengan
pengalaman
b. Kepercayaan, sikap, dan harapan mengenai diri dan orang lain
yang
dihubungkan dengan attachment
c. Attachment dihubungkan dengan tujuan dan kebutuhan (goal
and
needs)
-
25
d. Strategi dan rencana yang diasosiasikan dengan pencapaian
tujuan
attachment.
Model ini diasumsikan bekerja di luar pengalaman sadar (Mc
Cartney & Dearing dalam Desmita, 2011). Pengetahuan anak
didapatkannya dari interaksi dengan ibu. Anak yang memiliki
orang tua
yang mencintai dan dapat memenuhi kebutuhannya akan
mengembangkan model hubungan yang positif yang didasarkan pada
rasa
percaya (trust). Selanjutnya secara simultan anak akan
mengembangkan
model yang paralel dalam dirinya. Anak dengan orang tua yang
mencintai
akan memandang dirinya berharga. Model ini selanjutnya akan
digeneralisasikan anak dari orang tua pada orang lain.
Sebaliknya anak
yang memiliki ibu yang tidak menyenangkan akan mengembangkan
kecurigaan (mistrust) dan tumbuh sebagai anak yang pencemas
dan
kurang mampu menjalin hubungan sosial.
Menurut Bowlby (dalam Desmita, 2011) internal working model
dan figur lekat saling melengkapi serta saling menggambarkan dua
sisi
hubungan tersebut. Anak yang diasuh dengan kehangatan,
sensitifitas,
dan responsifitas akan mengembangkan internal working model
yang
positif pada orang tua dan diri sendiri. Internal working model
merupakan
hasil interpretasi pengalaman secara terus-menerus dan
interaksinya
dengan figur lekat.
-
26
Ada dua faktor yang dapat meningkatkan kestabilan internal
working model, yaitu :
a. Familiar, yaitu pola interaksi yang berulang, cenderung akan
menjadi
kebiasaan yang terjadi secara otomatis
b. Dyadic Pattern, merupakan pola yang timbal balik dan
cenderung
akan mengubah pola individual karena harapan yang timbal
balik
memerintahkan masing-masing pasangan untuk mengartikan
perilaku
pihak lainnya.
Bowlby juga menjelaskan pentingnya perbedaan individu dalam
keberfungsian sistem attachment bergantung pada
availability,
responsiveness, dan supportiveness dari figur lekat pada waktu
yang
dibutuhkan. Interaksi dengan figur lekat yang available dan
responsiveness dapat memudahkan sistem attachment berfungsi
optimal
dan mengembangkan perasaan bahwa dunia pada dasarnya
merupakan
tempat yang aman, figur lekat pada umumnya membantu dan
berguna
saat dibutuhkan, dan memungkinkan menjelajahi lingkungan dan
menjalin hubungan dengan orang lain. Sebaliknya, jika figur
lekat tidak
dipercaya available dan suportif, rasa aman menjadi tidak
diperoleh.
Individu mengalami keraguan dengan self efficacy dan tujuan
orang lain.
Working model diri dan orang lain dilihat oleh Bowlby
sebagai
faktor penyebab utama kelancaran antara pengalaman attachment
awal
dengan kognitif, perasaan, dan perilaku dalam hubungan
selanjutnya.
-
27
Memberi sebuah pola yang hampir konsisten dari interaksi dengan
figur
attachment selama masa kanak-kanak dan remaja, sebagian
besar
representatif atau bentuk dasar working models dari interaksi
ini
mengeras dan menjadi bagian pengetahuan individu yang harus
diikuti
kemudian. Seperti skema mental lainnya, sebagian besar working
model
yang diperoleh secara kronis menjadi inti dari karakteristik
kepribadian,
cenderung diaplikasikan dalam situasi dan hubungan baru, dan
mempengaruhi fungsi sistem attachment pada umumnya dan
rangkaian
interaksi sosial serta close relationship berikutnya.
Berdasarkan uraian tersebut, proses attachment ibu-anak
dimulai
semenjak ibu memberikan ASI kepada anak dan menurut Bowlby
(dalam
Desmita, 2011) attachment akan tetap aktif dalam seluruh
rentang
kehidupan. Anak dengan orang tua yang mencintai akan
memandang
dirinya berharga. Model ini selanjutnya akan digeneralisasikan
anak dari
orang tua pada orang lain. Sebaliknya anak yang memiliki ibu
yang tidak
menyenangkan akan mengembangkan kecurigaan (mistrust) dan
tumbuh
sebagai anak yang pencemas dan kurang mampu menjalin
hubungan
sosial.
3. Ciri-ciri Attachment Ibu-Anak
Ciri attachment ibu-anak yang baik (secure attachment)
(Ainswoth
dalam Desmita, 2011) yaitu:
-
28
a. Anak menggunakan ibu sebagai landasan utama mencari
keamanan
b. Ibu dan anak merasa sedih bila berpisah
c. Meski berpisah, namun anak yakin jika ibu akan kembali
d. Merasa bahagia bila bertemu kembali
e. Apabila merasa takut, anak akan mencari perlindungan pada ibu
dan
ibu akan bersikap melindungi.
Berdasarkan aspek attachment ibu-anak dari Bowlby, ciri-ciri
attachment ibu-anak yang baik (secure attachment) (dalam
Desmita,
2011) yaitu:
1. Mau melakukan kontak mata, melihat ke arah ibu dengan
tatapan
lembut
2. Tidak mudah menangis jika menghadapi masalah
3. Nyaman jika berada di dekat ibu
4. Tidak malu untuk memeluk atau mencium ibu
5. Sering melakukan sentuhan kepada ibu (memijat ibu,
mengelus
punggung atau pundak ibu)
6. Membantu ibu, memberi perhatian kepada ibu
7. Anak dan ibu saling bertukar pikiran atau berdiskusi,
bercerita
pengalaman sehari-hari
8. Anak bersikap dewasa atau bijaksana
9. Ibu memberi perhatian dan juga motivasi
10. Ada rasa rindu jika cukup lama tidak bertemu
-
29
11. Ada rasa bahagia dan gembira jika bertemu
12. Ibu memberikan perlindungan pada anak
Dari uraian di atas maka ciri dari attachment ibu-anak yang
baik
yaitu anak menggunakan ibu sebagai landasan utama mencari
keamanan,
ibu dan anak merasa sedih bila berpisah, meski berpisah namun
anak
yakin jika ibu akan kembali, merasa bahagia bila bertemu
kembali,
apabila merasa takut anak akan mencari perlindungan pada ibu dan
ibu
akan bersikap melindungi, melihat ke arah ibu dengan tatapan
lembut,
tidak mudah menangis jika menghadapi masalah, tidak segan
memeluk
atau mencium, ibu dan anak saling merawat, berdiskusi, anak
mampu
bersikap tanggung jawab, dan ibu memberi motivasi positif pada
anak.
4. Aspek-aspek Attachment Ibu-Anak
Menurut Cassidy (dalam Ervika, 2005), Bowlby membedakan tiga
aspek attachment menjadi:
a. Attachment Behavior
Attachment behavior atau perilaku attachment adalah tindakan
untuk meningkatkan kedekatan pada figur lekat. Anak akan
membuat
kontak mata, menangis, atau membuat gesture (sikap tubuh)
sebagai
cara untuk mendekati orang tua mereka.
-
30
b. Attachment Bond
Attachment bond merupakan suatu ikatan afeksi; ikatan ini
bukan
diantara dua orang, namun suatu ikatan yang dimiliki seorang
individu
terhadap individu lainnya yang dirasa lebih kuat dan
bijaksana.
Individu dapat melekat pada seseorang yang tidak terikat
dengannya.
Affectional bonds yaitu ikatan yang secara relative kekal
dimana
pasangan merupakan seseorang yang unik dan tidak dapat
tergantikan
oleh orang lain.
Hubungan ini ditandai dengan adanya kebutuhan untuk
mempertahankan kedekatan, distress yang tidak dapat dipahami
saat
perpisahan, senang atau gembira saat bertemu, dan sedih saat
kehilangan. Ikatan ibu-anak, ayah-anak, pasangan seksual,
dan
hubungan saudara kandung serta teman dekat adalah contoh
affectional
bonds. Hubungan ini digerakkan oleh sistem perilaku
tambahan,
seperti reproduktif, ibuan, dan sociable system (Ainsworth,
Greenberg,
& Marvin dalam Ervika, 2005).
c. Attachment Behavioral System
Attachment behavioral system merupakan suatu rangkaian
perilaku khusus yang digunakan individu. Bowlby melihat
bahwa
attachment berakar dalam sebuah sistem yang disebut dengan
attachment behavioral system yang ia yakini berkembang
secara
universal di semua spesies. Tujuan attachment system adalah
untuk
-
31
mencapai kedekatan antara orang tua dan anak, meningkatkan
perlindungan dan kelangsungan hidupnya. Bowlby berpendapat
bahwa
attachment behavioral system memberikan sebuah fungsi
evolusioner
karena dapat menyarankan perlindungan anak yang bergantung
pada
orang dewasa demi keselamatan. Jika attachment behavior
berwujud
perilaku tunggal atau berupa gerak-gerik tubuh, namun
attachment
behavioral system berupa rangkaian perilaku yang dilakukan ibu
dan
anak sehingga menyebabkan anak merasa aman dan memiliki
secure
attachment, rasa aman dan nyaman itu membuat anak
mengembangkan perilaku untuk belajar dan beradaptasi dengan
lingkungannya tidak hanya lingkungan keluarga.
Bowlby juga menyatakan bahwa terdapat dua behavioral system
lainnya yang berinteraksi dengan attachment behavioral system.
Pertama
adalah exploratory behavioral system yang meningkatkan
kelangsungan
hidup karena rasa ingin tahu membantu anak untuk belajar dan
beradaptasi
pada lingkungan anak. Sistem ini mengurangi perilaku attachment.
Kedua,
fear behavioral system menunjukkan keamanan dan sebagai
hasilnya,
membentuk sistem attachment.
Cassidy menjelaskan beberapa hal mengenai teori attachment
yaitu:
a. Affectional bond hanya mengutamakan hubungan orang tua dan
anak.
b. Anak akan mendemonstrasikan perilaku attachment dengan
seorang
yang tidak berada dalam attachment bond.
-
32
c. Anak mengalami multiple attachment tapi kualitas affectional
bond
berbeda di masing-masing hubungan. Kualitas ikatan (bond)
dipengaruhi oleh jumlah interaksi, kualitas pemberian kasih
sayang,
dan emosional yang ditanamkan oleh ibu.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
aspek-aspek
dari attachment yaitu attachment behavior, attachment bond,
dan
attachment behavioral system.
C. Anak Usia Sekolah
Masa perkembangan anak-anak dimulai sejak usia 2 tahun sampai
saat
anak matang secara seksual yakni sekitar usia 11 tahun untuk
perempuan dan
12 tahun untuk laki-laki, di mana pada usia ini terjadi
perubahan yang
signifikan baik secara fisik maupun psikologis. Masa anak-anak
dibagi
menjadi dua yaitu masa anak-anak awal dan masa anak-anak
pertengahan juga
akhir. Masa anak-anak awal berlangsung dari umur 2 tahun hingga
6 tahun,
dan masa anak-anak pertengahan hingga akhir dari usia 6 tahun
hingga saat
anak matang secara seksual (Hurlock, 1980).
Usia anak-anak pertengahan hingga akhir juga disebut sebagai
usia
sekolah atau elementary school years. Permulaan pada fase ini
adalah saat
anak memasuki kelas satu sekolah dasar. Bagi sebagian besar
anak, hal ini
merupakan suatu perubahan besar dalam pola kehidupan anak
(Irwanto, dkk.
1997).
-
33
Pada masa pertengahan dan akhir anak-anak, bagi sebagian besar
anak,
terdapat perubahan besar dalam pola kehidupan. Hal ini
dikarenakan pada
masa tersebut, mereka juga memasuki masa sekolah dan hal ini
adalah
peristiwa penting yang mengakibatkan terjadinya perubahan dalam
sikap,
nilai, dan perilaku. Pada masa ini peningkatan berat badan anak
lebih banyak
dibanding panjang badannya. Kaki dan tangan menjadi lebih
panjang, dada
dan panggul lebih besar (Santrock, 2002)
Dengan terus berkembangnya kekuatan badan dan bertambahnya
berat
badan anak, maka selama masa pertengahan dan akhir anak
perkembangan
motorik menjadi lebih halus dan lebih terkoordinasi. Anak-anak
terlihat lebih
cepat dalam berlari dan melompat, anak pun mampu menjaga
keseimbangan
tubuhnya.Untuk memperhalus keterampilan motorik, anak-anak
terus
melakukan berbagai aktivitas fisik. Aktivitas tersebut terkadang
bersifat
informal (Desmita, 2010).
Menurut teori kognitif Piaget (dalam Desmita, 2010), pemikiran
anak-
anak usia sekolah dasar disebut pemikiran operasional konkrit.
Menurut
Paget, operasi adalah hubungan-hubungan logis diantara
skema-skema atau
konsep-konsep. Sedangkan operasi konkrit adalah aktivitas mental
yang
difokuskan pada objek dan peristiwa nyata yang dapat diukur.
Pada masa stadium belajar tersebut, maka dunia sekolah
mempunyai
pengaruh penting bagi perkembangan selama masa pertengahan dan
akhir
anak-anak. Anak-anak menghabiskan waktu bertahun-tahun di
sekolah
-
34
sebagai anggota suatu masyarakat kecil yang harus mengerjakan
sejumlah
tugas dan mengikuti sejumlah aturan yang menegaskan juga
membatasi
perilaku, perasaan, dan sikap anak-anak tersebut (Santrock,
2002).
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa anak usia
sekolah
merupakan anak pada fase tengah hingga akhir anak-anak atau
disebut juga
elementary school years yang dimulai dari usia 6 tahun hingga
memasuki
masa pubertas, pada perempuan yaitu usia 11 tahun dan laki-laki
12 tahun.
D. Asma
1. Pengertian Asma
Penyakit asma berasal dari kata asthma yang diambil dari
bahasa
Yunani yang memiliki arti sulit bernafas. Penyakit asma dikenal
karena
adanya gejala sesak nafas, batuk dan disebabkan oleh penyempitan
saluran
nafas. Asma adalah gangguan inflamasi kronis pada jalan nafas
tempat
banyak sel (sel mast, eosinofil, dan limfosit T) memegang
peranan. Pada
anak yang rentan, inflamasi menyebabkan episode mengi
kekambuhan,
sesak nafas, dada sesak dan batuk, terutama pada malam hari atau
pagi hari
(Mansjoer, dkk. 2000).
Asma pada anak adalah gangguan pernafasan yang disertai
berbagai
gejala hambatan aliran udara dalam saluran nafas paru berupa
tarikan nafas
pendek dan serangan batuk berulang. Asma merupakan penyakit
keturunan
yang penyebabnya masih belum jelas. Asma didefenisikan
sebagai
-
35
penyakit obstruk jalan nafas yang reversibel yang ditandai oleh
serangan
batuk, mengi dan dispnea pada individu dengan jalan napas
hiperaktif
(Mansjoer, dkk. 2000).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa asma
adalah
gangguan pernafasan yang disertai berbagai gejala hambatan
aliran udara
dalam saluran nafas paru berupa tarikan nafas pendek, dan
serangan batuk
berulang.
2. Faktor Pemicu Asma
Macam faktor pemicu asma (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1985), yaitu:
a. Alergi
b. Infeksi
c. Iritan
d. Cuaca
e. Kegiatan jasmani
f. Infeksi saluran nafas bagian atas
g. Psikologis
Salah satu dari faktor pemicu asma adalah faktor psikologis.
Faktor
psikologis merupakan pencetus yang tidak boleh diabaikan dan
sangat
kompleks. Tidak adanya perhatian atau tidak mau mengakui
persoalan
yang berhubungan dengan asma pada anak tersebut akan
memperlambat
-
36
bahkan menggagalkan usaha pencegahan. Tetapi sebaliknya, terlalu
takut
dengan serangan asma dapat memperberat atau mempermudah
terjadinya
serangan asma. Pembatasan aktivitas anak, seringnya anak tidak
masuk
sekolah, rasa khawatir keluarga akan berpengaruh kepada
psikologis anak
penderita asma yang pada akhirnya juga berpengaruh pada penyakit
asma
tersebut (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran
Universitas Indonesia, 1985).
Penyebab penyakit asma belum jelas. Diduga, ada beberapa
faktor
pencetus (Mansjoer, dkk. 2000), yaitu:
a. Faktor Ekstrinsik, terdiri dari reaksi antigen antibodi dan
alergen debu,
serbuk-serbuk, bulu-bulu binatang.
b. Faktor Interistik, yang meliputi:
1. Infeksi berupa virus influenza, pneumonia, mycoplasma
2. Fisik (cuaca dingin, perubahan temperatur)
3. Iritan kimia, polusi udara
4. Emosional termasuk rasa takut, cemas dan tegang dan
aktivitas
yang berlebihan juga dapat menjadi faktor.
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
faktor
pencetus asma dibagi menjadi 2 yaitu faktor ekstrinsik berupa
reaksi
antigen antibodi, alergen debu, serbuk-serbuk, dan bulu
binatang.
Sedangkan faktor intrinsik berupa infeksi, disik, iritasi kimia,
polusi udara,
dan faktor psikologis.
-
37
E. Hubungan Attachment Ibu-Anak dengan Rasa Percaya Diri
Pada masa pertengahan dan akhir anak-anak yaitu usia 6-11
tahun
merupakan masa dimana anak memasuki masa pertengahan dan akhir
anak-
anak. Menurut Erik Erikson, anak-anak akan mulai mengarahkan
energi pada
penguasaan pengetahuan dan ketrampilan intelektual. Namun, yang
berbahaya
pada tahap ini dan harus diperhatikan adalah perasaan tidak
berkompeten dan
tidak produktif apabila pengarahan energi tersebut terhambat
(Santrock,
2002). Seperti pada anak yang mengidap asma, individu cenderung
memiliki
keraguan untuk bisa mengaktualisasikan diri, ada kekhawatiran
pada
kambuhnya penyakit asma, apakah mereka mampu untuk beraktivitas
tanpa
perlu khawatir, dan tanpa harus didampingi orang dewasa. Melihat
tugas
perkembangan anak-anak usia sekolah, saat harus mereka aktif
dalam
kegiatan di sekolah namun terhambat oleh penyakit asma tersebut
sehingga
dapat timbul perasaan tidak berkompeten dan tidak produktif lalu
berpengaruh
pada rasa percaya diri.
Namun ada kondisi dimana anak yang menderita asma tetap
memiliki
rasa percaya diri. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor,
salah satunya
adalah lingkungan keluarga. Dukungan yang baik yang diterima
dari
lingkungan keluarga seperti anggota kelurga yang saling
berinteraksi dengan
baik akan memberi rasa nyaman dan percaya diri yang tinggi
(Centi, 1995).
Lebih khusus diketahui bahwa attachment ibu-anak sangat
berpengaruh
sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi rasa percaya diri
pada anak. Ibu
-
38
sebagai pengasuh utama anak memegang peranan penting dalam
penentuan
status kelekatan anak, apakah anak akan membentuk kelekatan aman
atau
sebaliknya. Status kelekatan ini berhubungan dengan gangguan
kelekatan dan
perkembangan anak di masa selanjutnya.
F. Kerangka Pemikiran
Gambar 1. Kerangka Berpikir
Anak Usia Sekolah Penderita Asma
Faktor Penyebab Rasa Percaya Diri
Percaya Diri
Faktor Internal: - Konsep diri - Harga diri - Kondisi fisik -
Pengalaman
Faktor Eksternal: - Pendidikan - Pekerjaan - Keluarga -
Lingkungan
masyarakat
Attachment ibu-anak
Tinggi Rendah Rendah Tinggi
-
39
Asma pada anak adalah gangguan pernafasan yang disertai
berbagai
gejala hambatan aliran udara dalam saluran nafas paru berupa
tarikan nafas
pendek dan serangan batuk berulang. Asma merupakan penyakit
keturunan
yang penyebabnya masih belum jelas. Macam pemicu asma adalah
alergi,
infeksi, iritan, cuaca, kegiatan jasmani, infeksi saluran
pernafasan atas, dan
psikologi. Penyakit asma dapat timbul sewaktu-waktu dan di
manapun. Hal
ini tentu menganggu aktifitas dan keseharian pada anak usia
sekolah, di mana
pada usia sekolah mereka memiliki banyak kegiatan baik fisik
maupun
kognisi, dan penyakit asma tersebut dapat berpengaruh pada
kepercayaan diri
anak tersebut.
Faktor penyebab rasa percaya diri dibagi menjadi dua, yaitu
faktor
eksternal dan faktor internal. Faktor internal yaitu konsep
diri, harga diri,
kondisi fisik, dan pengalaman, sedangkan faktor eksternal yaitu
pendidikan,
pekerjaan, keluarga, dan lingkungan masyarakat. Dimana
faktor-faktor
tersebut akan mempengaruhi tingkat percaya diri pada anak.
Dari faktor eksternal yang berpengaruh pada rasa percaya diri
terdapat
faktor keluarga. Dari faktor keluarga, diketahui salah satu hal
yang terdapat
dalam keluarga adalah adanya attachment atau kelekatan antara
ibu dengan
anak. Attachment ibu-anak merupakan suatu ikatan emosional yang
kuat yang
dikembangkan anak melalui interaksinya dengan ibu yang notabene
adalah orang
yang paling penting dan dekat dalam kehidupan anak. Maka dari
pemaparan tersebut,
dapat diketahui apabila secure attachment ibu-anak tinggi maka
rasa percaya akan
-
40
tinggi, begitu pula sebaliknya jika secure attachment ibu-anak
rendah maka rasa
percaya diri juga akan rendah.
G. Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah:
Ada hubungan antara attachment ibu-anak dengan rasa percaya diri
pada
anak usia sekolah penderita asma di Purwokerto.