Top Banner
REGULASI DI FARMASI INDUSTRI Makalah Disusun Oleh: Kelompok 3 Terry Terrawati 260112150061 Susanti 260112150063 Nadhira Handayani 260112150073 Indah Firdayani 260112150089 Fadlia Fardhana 260112150108 Dike Novalia A 260112150134 PROGRAM PROFESI APOTEKER
119

[Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

Jan 31, 2016

Download

Documents

cara pembuatan obat yang baik
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

REGULASI DI FARMASI INDUSTRI

Makalah

Disusun Oleh:

Kelompok 3

Terry Terrawati 260112150061

Susanti 260112150063

Nadhira Handayani 260112150073

Indah Firdayani 260112150089

Fadlia Fardhana 260112150108

Dike Novalia A 260112150134

PROGRAM PROFESI APOTEKER

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS PADJADJARAN

2015

Page 2: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadurat Tuhan Yang Maha Esa karena

dengan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas

mata kuliah Farnasi Industri, Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran. Kami

juga berterimakasih pada Ibu Anis Yohana Ch., M. Si. Apt. yang telah

memberikan tugas ini kepada kami.

Kami sangat berharap makalah ini sangat berguna dalam menambah

wawasan serta pengetahuan kita mengenai regulasi di farmasi industri. Kami

menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh

sebab itu, kami berharap adanya kriik, saran, dan usulan demi perbaikan makalah

yang telah kami buat di masa yang akan datang, meningat tidak ada sesuatu yang

sempurna tanpa saran membangun. Semoga makalah ini dapat dipahami bagi

siapapun yang membacanya.

Bandung, September 2015

Penulis

ii

Page 3: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR.........................................................................................................ii

DAFTAR ISI......................................................................................................................iii

BAB I...................................................................................................................................4

1. Pendahuluan.............................................................................................................4

BAB II..................................................................................................................................5

2.1. Sejarah Umum GMP atau CPOB.........................................................................5

2.2. Sejarah CPOB di Indonesia..................................................................................8

2.3. CPOB di Indonesia.............................................................................................10

2.4. current Good Manufacturing Practice (cGMP) di Berbagai Negara Maju.......26

2.5. Peraturan Perundangan yang Terkait.................................................................53

BAB III..............................................................................................................................76

3.1. Simpulan.................................................................................................................76

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................77

iii

Page 4: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

BAB I

1. Pendahuluan

Obat adalah suatu bahan kimia yang dapat memengaruhi organisme hidup

dan dipergunakan untuk keperluan diagnosis, pencegahan, dan pengobatan suatu

penyakit. Salah satu upaya permerintah untuk menjamin tersedianya obat yang

bermutu,aman, dan berkhasiat yaitu dengan mengharuskan setipa industri untuk

menerapkan Cara Pembuatn Obat yang Baik (CPOB).

Saat ini industri farmasi telah berkembang sangat pesat dalam rangka

memenuhi obat-obatan secara nasional. Oleh karena itu perlu adanya CPOB

dalam indusrtri farmasi mengenai langkah-langkah yang dilakukan suatu industri

farmasi untuk menjamin mutu obat jadi dengan menerapkan CPOB dalam seluruh

aspek dan rangkaian kegiatan produksi, termasuk persyaratan bangunan dan

fasilitas. Pencapaian produk bermutu tentunya tidak hanya dipengaruhi oleh

bangunan dan fasilitas industri saja, melainkan juga harus melibatkan aspek lain

dalam CPOB secara berkesinambungan.

4

Page 5: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

BAB II

2.1. Sejarah Umum GMP atau CPOB

Pedoman current Good Manufacturing Practice (cGMP) untuk obat-

obatan pertama kali diumumkan oleh Food and Drug Administration (FDA)

Amerika Serikat. GMPs tersebut dimaksudkan untuk menentukan cara

pembuatan dan kontrol minimum untuk farmasi industri dan fokus pada apa yang

perlu dilakukan. FDA menggunakan istilah cGMP (Current Good Manufacturing

Practice) untuk menekankan kepada para farmasis agar bekerja dengan selalu

memperhatikan perkembangan terbaru teknologi dan sistem dengan tetap

mematuhi regulasi yang ada (Brhlikova, et. al., 2007).

Sebelum munculnya peraturan mengenai produksi obat dan makanan,

terjadi berbagai rangkaian peristiwa bersejarah yang dialami oleh negara

bersangkutan khusunya negara pertama yang menjadi awal penerapan peraturan

tersebut. Negara pertama yang menerapkan peraturan terkait industri farmasi

adalah Inggris dan Swiss, namun peraturan tersebut terhenti pada abad ke-19

sampai ke-20. Di Amerika Serikat pada tahun 1902, para biologis controlact

memperkenalkan prosedur persyaratan pada pemeriksaan dan pengujian sarana

dan prasarana produk biologis. Pada 1906 dibentuklah Government Regulatory

Agency (kemudian berganti nama menjadi Food and Drug Administration

(FDA))yang mengatur pembuatan obat dan makanan. FDA mengatur mekanisme

penjaminan kualitas dan kontrol keselamatan yang diperkenalkan oleh otoritas

pengawas nasional dalam menanggapi bencana kesehatan, seperti tragedi

Sulfanilamide pada tahun 1938 atau tragedi thalidomide pada awal tahun 1960-an.

Amerika Serikat telah terbukti berhasil dalam menjamin kualitas dan kemanan

produk obat dan makanan sebelum dipasarkan kepada konsumen, sehingga

masyarakat Eropa dan negara lain banyak yang mengikuti langkah Amerika

Serikat dan mulai memperkenalkan regulasi obat bagi masing-masing negara

(Brhlikova, et. al., 2007).

5

Page 6: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

Pedoman current Good Manufacturing Practice (cGMP) pertama

diperkenalkan oleh FDA pada tahun 1963. Empat tahun kemudian, yaitu pada

tahun 1967, World Health Organization (WHO) pertama kali merancang teks

GMP. Hal ini kemudian disampaikan kepada Twentieth World Health Assembly

dengan draft berjudul Good Manufacturing Practice in The Manufacture and

Quality Control of Medicines and Pharmaceutical Specialities, dimana berkas

tersebut diterima. Pada tahun 1968, teks direvisi dan dibahas oleh Komite Ahli

WHO Spesifikasi Sediaan Farmasi. Teks tersebut kemudian diterbitkan (dengan

beberapa revisi) pada tahun 1971 dalam bentuk tambahan untuk edisi kedua dari

The International Pharmacopoeia.

Pada tahun 1970, The European Free Trade Association (EFTA)

membentuk Pharmaceutical Inspection Convetion (PIC/S). Anggota awal PIC/S

terdiri dari 10 negara yang tergabung ke dalam EFTA pada saat itu. Namun

dengan seiring perjalanan waktu, negara yang masuk ke dalam keanggotaan PIC

tidak hanya negara yang tergabung ke dalam EFTA tetapi juga negara non-EFTA.

Langkah ini membuat Uni Eropa memimpin dalam proses harmonisasi regulasi

farmasi. Sebuah langkah lebih lanjut dilakukan melalui perjanjian bilateral dengan

Amerika Serikat dan Jepang melalui harmonisasi internasional regulasi farmasi

(Brhlikova, et. al., 2007).

Pada akhir tahun 1970, FDA mengadakan satuan tugas untuk mempelajari

GMPs. GMPs yang telah direvisi diterbitkan pada bulan September 1978, dan

menjadi resmi pada bulan Maret 1979. Pada saat itu, FDA juga

mempertimbangkan menetapkan peraturan GMP yang lebih untuk produk seperti

sediaan parenteral volume kecil, gas obat dan bahan obat, untuk melengkapi

lingkup peraturan yang ada. Terdapat beberapa kejadian yang melatarbelakangi

hingga terbentuknya GMP, antara lain:

a. Keputusan Produk Biologis (1902)

Kejadian: Sedikitnya 12 anak-anak mati disebabkan tetanus dari vaksin

dipteri yang tercemar. Hasil memerlukan inspeksi dan uji coba produk dan

fasilitas biologis.

6

Page 7: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

b. Keputusan Obat dan Makanan (1906)

Menciptakan salah satu agen regulasi pemerintah pertama (sekarang yang

dikenal sebagai FDA); puncak 25 tahun melobi, membuat kegiatan menjual

makanan atau obat yang “tercemar/palsu” atau “tanpa merek” dianggap

illegal/tidak sah.

c. Keputusan Federasi Makanan, Obat dan Kosmetik (FD&C) (1938)

Kejadian : Sulfanilamid yang dibuat dengan bahan pelarut beracun yaitu

sekitar 72% Dietilen glikol, menyebabkan 107 kematian. Sehingga

menghasilkan: syarat pembuat obat harus membuktikan keamanan dari

produknya sebelum dipasarkan.

d. Dua Peristiwa Tidak Berkaitan (1941)

Persyaratan Amandemen Hormon insulin FDA untuk menguji dan menjamin

kemurnian dan potensi hormon insulin. Tragedi: hampir 300 kematian dan

luka-luka dari distribusi tablet sulfathiazol yang tercemar dengan

fenobarbital. Hasil: FDA melakukan perubahan terhadap sistem Pembuatan

dan pengendalian mutu (QC) secara drastis, permulaan dari apa yang disebut

GMPs.

e. Amandemen Obat Kefauver-Harris (1962)

Kejadian : Thalidomid menyebabkan cacat lahir pada ribuan bayi di Eropa.

Hasil: Farmasis di Industri harus membuktikan efikasi dari produk sebelum

dipasarkan dan menjamin uji pengendalian obat dengan benar.

f. GMPs untuk Obat (1963)

Cara Pembuatan Obat yang Baik untuk pembuatan, pengolahan, pengemasan,

atau pengawasan produk farmasi akhir ketika pertama kali diterbitkan.

g. GMPs sekarang untuk Obat Dan Alat (1978)

Revisi untuk GMPs obat dan GMPs untuk alat medis telah diterbitkan.

Peraturan ini menetapkan cGMPs minimum untuk pembuatan, pengolahan,

pengemasan, atau pengawasan produk obat dan alat kesehatan (Immel, 2005).

h. Dokumen panduan.

Pada 1980-an, FDA mulai menerbitkan serangkaian dokumen panduan yang

memiliki efek besar pada penafsiran kita tentang GMPs saat ini. Salah satu

7

Page 8: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

dokumen tersebut adalah “Panduan untuk Inspeksi Sistem Komputerisasi

dalam Pengolahan Obat” diterbitkan pada tahun 1983, yang memberikan

harapan awal untuk fungsi sistem komputer dan mungkin menandai awal dari

validasi komputer. Tentu saja, yang sangat terkenal “Pedoman pada Prinsip

Umum Proses Validasi” pada tahun 1987 menguraikan pemikiran saat ini

atau harapan dari proses validasi untuk obat dan alat (Immel, 2005).

Pada abad ke 21, tim kerja menganalisa pengaruh aspek-aspek cGMP

terhadap US atau terhadap negara internasional. Pada tahun 2008 dilakukan Revisi

atau perbaikan terhadap cGMP, menghasilkan aturan untuk 3 bagian:

1. Proses produksi obat steril dilakukan secara aseptik.

2. Larangan penggunaan penyaring berbahan asbes pada proses produksi

sediaan injeksi.

3. Proses Verifikasi dilakukan oleh 2 orang yang berbeda untuk

meminimalisir kesalahan yang berkelanjutan. Orang pertama harus

memverifikasi pekerjaan yang dia lakukan, dan orang selanjutnya juga

memverifikasi pekerjaan yang dia sendiri lakukan dan juga memeriksa

hasil pekerjaan orang yang sebelumnya bekerja (Melamud, 2009).

2.2. Sejarah CPOB di Indonesia

Sejarah industri farmasi di Indonesia diawali dengan berdirinya pabrik

farmasi pertama yang didirikan di Hindia Timur pada tahun 1817, yaitu NV.

Chemicalien Rathkamp & NV. Pharmaceutishe handel Vereneging J. Van

Gorkom & Co., pada tahun 1856. Sedangkan industri farmasi modern pertama kali

di Indonesia adalah pabrik kina di Bandung pada tahun 1896.

Perkembangan selanjutnya, pada tahun 1957 – 1959 setelan perang untuk

memperoleh kemerdekan usai, perusahaan – perusahaan farmasi milik Belanda

yaitu Bovasta Bandoengsche Kinine Fabriek yang memproduksi pil kina dan

Oderneming Jodium yang memproduksi iodium dinasionalisasi oleh pemerintah

Indonesia yang pada perkembangan selanjutnya menjadi PT Kimia Farma

(persero). Sementara pabrik pembuatan salep dan kasa, Centrale Burgelijke

8

Page 9: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

Ziekeninriching yang berdiri pada tahun 1918 menjadi perum Indofarma yang saat

menjadi ini menjadi PT Indofarma (persero) (Melamud, 2009).

Perkembangan yang cukup signifikan bagi perkembangan industri farmasi

di Indonesia adalah saat dikeluarkannya undang – undang penanaman modal asing

(PMA) pada tahun 1967 dan undang – undang penanaman modal dalam negeri

(PMDN) pada tahun 1968 yang mendorong perkembangan industri farmasi

Indonesia.

Berikut adalah sejarah perkembangan CPOB di Indonesia:

Tahun

1971 Penerapan CPOB Secara Sukarela Sesuai WHO-GMP

1988 Pedoman CPOB ke 1; ASEAN GMP GL

1990Petunjuk Operasional Pedoman CPOB ke 1; Inspeksi

CPOB ke 1; Sertifikasi CPOB ke 1

2001Pedoman CPOB ke 2; Petunjuk Operasional Pedoman

CPOB ke 2

2006 Pedoman CPOB ke 3

2009

Pedoman Cara Pembuatan Bahan Baku Aktif yang Baik;

Suplemen I Pedoman CPOB ke 3; Petunjuk

Operasional Pedoman CPOB ke 3

2010Ketentuan Industri Farmasi termasuk CPOB Terkini

(Permenkes no. 1799/2010)

2011

Penerapan Sertifikasi dan Re-Sertifikasi CPOB;

Keterkaitan Implementasi Ketentuan CPOB dengan

Persyaratan Registrasi Obat

2012 Revisi Pedoman CPOB 2012; POPP CPOB Aneks 1

2013 POPP CPOB Jilid I

2014 POPP CPOB Jilid II

Di Indonesia, CPOB edisi pertama terbit pada tahun 1989 (edisi pertama).

Revisinya yang sudah mempertimbangkan kedinamisan praktek dan teknologi

terbit pada tahun 2001 (edisi kedua). Konsep CPOB yang bersifat dinamis

9

Page 10: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

memerlukan penyesuaian dari waktu ke waktu mengikuti perkembangan teknologi

dalam bidang farmasi. Demikian pula dengan CPOB di Indonesia. Terkait dengan

ditandatanganinya harmonisasi pasar Assosciation of South East Asian Nations

(ASEAN) 2008 oleh ke sebelas pemimpin negara ASEAN, di mana kesehatan

atau produk farmasi merupakan salah satu komoditi yang ikut serta dalam

harmonisasi pasar ASEAN. Sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan

kemampuan industri farmasi yang ada di Indonesia. Badan penelitian obat dan

makanan (BPOM) selaku regulator industri farmasi di Indonesia, telah

mencanangkan penerapan CPOB dengan surat keputusan kepala BPOM nomor

HK.00.053.0027 tahun 2006 (CPOB edisi ketiga) untuk upaya pertama

menghadapi harmonisasi pasar ASEAN dengan penerapan CPOB sesuai standar

internasional (Melamud, 2009).

Perbaruan kembali dilakukan hingga pada tahun 2012 diterbitkan CPOB

baru (edisi keempat) yang terdiri atas dua jilid penerbitan. Jilid pertama terbit

pada awal tahun 2013 dan jilid kedua terbit pada awal tahun 2014.

2.3. CPOB di Indonesia

Kebijakan obat nasional menyatakan bahwa pembangunan di bidang obat

bertujuan untuk menjamin ketersediaan dan keterjangkauan obat yang aman,

berkhasiat dan bermutu bagi masyarakat dengan jenis dan jumlah yang sesuai

dengan kebutuhan (Kemenkes RI, 2011). Untuk menjamin kualitas setiap produk

farmasi dibutuhkan standar dan regulasi yang tepat. Regulasi dibutuhkan untuk

menjamin setiap tahap siklus produksi farmasi, sehingga semua obat yang

diproduksi sudah dipastikan kualitas dan kemanannya. Regulasi tersebut

dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Pada setiap

tahap produksi obat harus diatur dan didokumentasikan dengan jelas, mulai dari

tahap laboratorium, pengujian dalam uji klinis, produksi, manufaktur, lisensi, dan

distribusi (Brhlikova, et. al., 2007).

Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) merupakan cara pembuatan obat

yang bertujuan untuk menjamin obat dibuat secara konsisten dan sesuai dengan

persyaratan dan tujuan penggunaan yang telah ditetapkan. Industri Farmasi dalam

10

Page 11: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

seluruh aspek dan kegiatannya dalam pembuatan obat atau bahan obat wajib

menerapkan pedoman CPOB. CPOB sendiri mencakup seluruh aspek produksi

dan pengendalian mutu (BPOM RI, 2012).

Secara umum ketentuan dari CPOB adalah sebagai berikut:

1. Pada pembuatan obat, pengendalian menyeluruh adalah sangat esensial

untuk menjamin bahwa konsumen menerima obat yang bermutu tinggi.

Pembuatan secara sembarangan tidak dibenarkan bagi produk yang

digunakan untuk menyelamatkan jiwa, atau memulihkan atau memelihara

kesehatan.

2. Tidaklah cukup bila produk jadi hanya sekedar lulus dari serangkaian

pengujian, tetapi yang lebih penting adalah bahwa mutu harus dibentuk ke

dalam produk tersebut. Mutu obat tergantung pada bahan awal, bahan

pengemas, proses produksi dan pengendalian mutu, bangunan, peralatan

yang dipakai dan personil yang terlibat.

3. Pemastian mutu suatu obat tidak hanya mengandalkan pada pelaksanaan

pengujian tertentu saja; namun obat hendaklah dibuat dalam kondisi yang

dikendalikan dan dipantau secara cermat.

4. CPOB ini merupakan pedoman yang bertujuan untuk memastikan agar

mutu obat yang dihasilkan sesuai persyaratan dan tujuan penggunannya;

bila perlu dapat dilakukan penyesuaian pedoman dengan syarat bahwa

standar mutu obat yang telah ditentukan tetap dicapai.

5. Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) hendaklah

menggunakan Pedoman ini sebagai acuan dalam penilaian penerapan

CPOB, dan semua peraturan lain yang berkaitan dengan CPOB hendaklah

dibuat minimal sejalan dengan Pedoman ini.

6. Pedoman ini juga dimaksudkan untuk digunakan oleh industri farmasi

sebagai dasar pengembangan aturan internal sesuai kebutuhan.

7. Selain aspek umum yang tercakup dalam Pedoman ini, dipadukan juga

serangkaian pedoman suplemen untuk aspek tertentu yang hanya berlaku

untuk industri farmasi yang aktivitasnya berkaitan.

11

Page 12: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

8. Pedoman ini berlaku terhadap pembuatan obat dan produk sejenis yang

digunakan manusia.

9. Pada pedoman ini istilah “pembuatan” mencakup seluruh kegiatan

penerimaan bahan, produksi, pengemasan ulang, pelabelan, pelabelan

ulang, pengawasan mutu, pelulusan, penyimpanan dan distribusi dari obat

serta pengawasan terkait.

10. Cara lain selain tercantum di dalam Pedoman ini dapat diterima sepanjang

memenuhi prinsip Pedoman ini. Pedoman ini bukanlah bermaksud untuk

membatasi pengembangan konsep baru atau teknologi baru yang telah

divalidasi dan memberikan tingkat Pemastian Mutu sekurang-kurangnya

ekuivalen dengan cara yang tercantum dalam Pedoman ini.

11. Pada pedoman ini istilah “hendaklah” menyatakan rekomendasi untuk

dilaksanakan kecuali jika tidak dapat diterapkan, dimodifikasi menurut

pedoman lain yang relevan dengan Pedoman Cara Pembuatan Obat yang

Baik atau digantikan dengan petunjuk alternatif untuk memperoleh tingkat

pemastian mutu minimal yang setara.

Pedoman CPOB di Indonesia sudah ada sejak tahun 2001, yang kemudian

diperbaiki pada tahun 2006, dan yang paling terbaru dikeluarkan pada tahun 2012.

Berikut perbedaan Pedoman CPOB di Indonesia tahun 2001, 2006, dan 2012:

2001 2006 2012

12

Page 13: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

10 Bab

1. Ketentuan

Umum

2. Personalia

3. Bangunan

dan

Fasilitas

4. Peralatan

5. Sanitasi dan

Higiene

6. Produksi

7. Pengawasan

Mutu

8. Inspeksi

Diri

9. Penanganan

Keluhan

terhadap

Obat,

Penarikan

Kembali

Obat, dan

Obat

Kembalian

10. Dokument

asi

12 Bab:

1. Manajemen Mutu

2. Personalia

3. Bangunan dan Fasilitas

4. Peralatan

5. Sanitasi dan Higiene

6. Produksi

7. Pengawasan Mutu

8. Inspeksi Diri dan Audit

Mutu

9. Penanganan Keluhan

terhadap Produk,

Penarikan Kembali

Produk, dan Produk

Kembalian

10. Dokumentasi

11. Pembuatan dan

Analisis Berdasarkan

Kontrak

12. Kualifikasi dan

Validasi

12 Bab:

1. Manajemen Mutu

2. Personalia

3. Bangunan dan

Fasilitas

4. Peralatan

5. Sanitasi dan

Higiene

6. Produksi

7. Pengawasan Mutu

8. Inspeksi Diri,

Audit Mutu, dan

Audit &

Persetujuan

Pemasok

9. Penanganan

Keluhan terhadap

Produk,

Penarikan

Kembali Produk,

dan Produk

Kembalian

10. Dokumentasi

11. Pembuatan dan

Analisis

Berdasarkan

Kontrak

12. Kualifikasi dan

Validasi

13

Page 14: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

4 Addenda

1. Pembuatan

Produk

Biologi

2. Pembuatan

Gas

Medisinal

3. Pembuatan

Inhalasi

Dosis

Terukur

Bertekanan

(Aerosol)

4. Pembuatan

Produk

Darah

7 Annex, termasuk:

1. Pembuatan Produk

Steril

2. Pembuatan Produk

Biologi

3. Pembuatan Gas

Medisinal

4. Pembuatan Inhalasi

Dosis Terukur

Bertekanan (Aerosol)

5. Pembuatan Produk

Darah

6. Pembuatan Obat

Investigasi Untuk Uji

Klinis

7. Sistem Komputerisasi

14 Annex

1. Pembuatan

Produk Steril

2. Pembuatan Obat

Produk Biologi

3. Pembuatan Gas

Medisinal

4. Pembuatan

Inhalasi Dosis

Terukur

Bertekanan

(Aerosol)

5. Pembuatan

Produk dari

Darah atau

Plasma Manusia

6. Pembuatan Obat

Investigasi Untuk

Uji Klinis

7. Sistem

Komputerisasi

8. Cara Pembuatan

Bahan Baku

Aktif Obat yang

Baik

9. Pembuatan

Radiofarmaka

10. Penggunaan

Radiasi Pengion

dalam

Pembuatan Obat

14

Page 15: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

11. Sampel

Pembanding dan

Sampel

Pertinggal

12. Cara

Penyimpanan

dan Pengiriman

Obat yang Baik

13. Pelulusan

Parametris

14. Manajemen

Risiko Mutu

Landasan Umum :

a) Pembuatan obat dan pengawasan menyeluruh merupakan dasar untuk

menjamin bahwa konsumen menerima obat yang bermutu tingggi.

b) Mutu obat tergantung pada bahan awal, proses pembuatan dan

pengawasan mutu, bangunan, peralatan yang dipakai dan personalia yang

terlibat dalam pembuatan obat.

c) CPOB merupakan pedoman yang bertujuan untuk memastikan sifat dan

mutu obat yang dihasilkan sesuai dengan yang dikehendaki.

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa Pedoman CPOB 2012 berisi

12 aspek, antara lain:

1. Manajemen Mutu

Industri farmasi harus menjamin bahwa produk yang dibuatnya telah

memen uhi persyaratan dan sesuai dengan tujuannya. Untuk mencapai tujuan

mutu secara konsisten, diperlukan sistem Pemastian Mutu.

Untuk melaksanakan kebijakan mutu dibutuhkan 2 unsur dasar :

15

Page 16: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

a. Sistem mutu yang mengatur struktur organisasi, tanggungjawab dan

kewajiban semua sumber daya yang diperlukan, semua prosedur yang

mengatur proses yang ada.

b. Tindakan sistematis untuk melaksanakan sistem mutu, yang disebut

pemastian mutu atau quality assurance

Gambar 1.1 Konsep keterkaitan mutu antara Pemastian Mutu, CPOB, Pengawasan Mutu, dan Manajemen Resiko Mutu (sumber: POP CPOB 2012 Jilid 1, 2013).

CPOB adalah bagian dari Pemastian Mutu yang memastikan

bahwa obat dibuat dan dikendalikan secara konsisten untuk mencapai

standar mutu yang sesuai, CPOB mencakup Produksi dan Pengawasan

Mutu.

Sedangkan Pengawasan Mutu adalah bagian dari CPOB yang

berhubungan dengan pengambilan sampel, spesifikasi dan pengujian, serta

dengan organisasi, dokumentasi, dan prosedur pelulusan yang memastikan

bahwa pengujian yang diperlukan dan relevan telah dilakukan dan bahan

yang tidak diluluskan tidak digunakan, serta produk jadi yang belum

diluluskan tidak dijual.

16

Page 17: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

Selain itu industri farmasi juga perlu melakukan pengkajian mutu

produk secara berkala dan manajemen risiko mutu.

2. Personalia

Dalam Bab ini diterangkan mengenai personal kunci, struktur

organisasi, kualifikasi, tanggung jawab, dan pelatihan yang perlu ada pada

sebuah industri farmasi. Industri farmasi bertanggung jawab untuk

menyediakan personil terkualifikasi dalam jumlah yang memadai untuk

melaksanakan tugas. Personil kunci pada industri farmasi mencakup

kepala bagian Produksi, kepala bagian Pengawasan Mutu, dan kepala

bagian Pemastian Mutu. Industri farmasi juga harus memiliki struktur

organisasi yang sedemikian rupa sehingga personil kunci yang diperlukan

dipimpin oleh orang yang berbeda dan tidak saling bertanggung jawab satu

terhadap yang lain. Ketiga personil kunci tersebut merupakan seorang

apoteker yang terdaftar dan terkualifikasi. Kemudian, para personil

tersebut sebaiknya diberikan pelatihan, baik pelatihan dasar teori dan

praktik CPOB maupun pelatihan yang spesifik.

3. Bangunan dan Fasilitas

Pada Bab ini diatur mengenai bangunan dan fasilitas untuk

pembuatan obat, termasuk salah satunya industri farmasi harus memiliki

desain, konstruksi, dan letak yang memadai, serta disesuaikan kondisinya

dan dirawat dengan baik.

Letak bangunan sebaiknya terhindar dari pencemaran lingkungan,

seperti pencemaran air, udara, tanah, dan kegiatan industri lainnya yang

berdekatan. Bangunan dan fasilitas sebuah industri farmasi juga harus

didesain, dikonstruksi, dan dirawat dengan baik agar dapat terlindungi

secara maksimal dari pengaruh cuaca dan lingkungan sekitar.

Kegiatan di bawah ini hendaklah dilakukan di area yang ditentukan:

penerimaan bahan;

karantina barang masuk;

17

Page 18: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

penyimpanan bahan awal dan bahan pengemas;

penimbangan dan penyerahan bahan atau produk;

pengolahan;

pencucian peralatan;

penyimpanan peralatan;

penyimpanan produk ruahan;

pengemasan;

karantina produk jadi sebelum memperoleh pelulusan akhir;

pengiriman produk; dan

laboratorium pengawasan mutu (BPOM, 2012).

Bangunan tersebut terdiri dari; area penimbangan, area produksi, area

penyimpanan, area pengawasan mutu, dan sarana pendukung seperti toilet, kantin,

dan lain sebagaianya. Masing-masing area tersebut dijelaskan baik pada Pedoman

CPOB 2012 maupun pada Petunjuk Operasional Penerapan (POP) CPOB 2012

Jilid 1.

18

Page 19: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

Gambar 1.2 Konsep Alur Barang dan Personil (sumber POP CPOB 2012, 2013).

4. Peralatan

Dalam bab ini diuraikan mengenai peralatan yang harus digunakan

pada industri farmasi, dilihat dari segi desain dan konstruksi, ukuran,

penempatan, kualifikasi, hingga perawatan peralatan tersebut.

Peralatan manufaktur harus didesain, dipasang, ditempatkan, dan

dirawat sesuai dengan tujuannya. Permukaan peralatan yang digunakan

tidak akan menimbulkan reaksi dengan bahan awal, peralatan satu dengan

yang lainnya ditempatkan pada jarak yang cukup untuk menghindari

kesesakan, kekeliruan, maupun kontaminasi. Perawatan peralatan harus

dilakukan sesuai dengan jadwal, terdiri dari pembersihan, penyimpanan,

dan bila perlu dilakukan sanitasi dan sterilisasi terhadap peralatan tersebut.

5. Sanitasi dan Higiene

Baik dalam CPOB 2006 maupun 2012 dijelaskan bahwa setiap

aspek pembuatan obat harus menerapkan tingkat sanitasi dan higiene yang

tinggi. Ruang lingkup sanitasi dan higiene meliputi, higiene perorangan

(personil), bangunan dan fasilitas, peralatan dan perlengkapan, bahan

produksi dan wadahnya, bahan pembersih dan desinfeksi, dan segala

sesuatu yang dapat menjadi sumber pencemaran produk. Sumber

pencemaran tersebut harus dihilangkan melalui program sanitasi dan

higiene yang menyeluruh agar baik produk, peralatan, maupun personil

terhindar dari kontaminasi yang tidak diinginkan. Selain itu juga harus

dilakukan validasi terhadap prosedur pembersihan dan sanitasi secara

berkala agar pembersihan dapat dilakukan secara konsisten, efektif, serta

sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

6. Produksi

Dalam bab ini diuraikan mengenai proses produksi pada industri

farmasi harus dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang sudah ditetapkan

dan memenuhi kriteria CPOB yang menjamin produk yang memenuhi

19

Page 20: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

persyaratan mutu dan ketentuan izin pembuatan dan izin edar. Proses

produksi harus dilakukan dan diawasi oleh personil yang kompeten.

Semua proses produksi harus dilakukan sesuai dengan prosedur tertulis,

mulai dari penanganan bahan awal hingga produk jadi agar mutu produk

tetap terjamin.

Hal-hal yang berkaitan dengan proses produksi yang diatur dalam

Pedoman CPOB 2012 antara lain;

a. Bahan Awal

b. Validasi Proses

c. Pencegahan Pencemaran Silang

d. Sistem Penomoran Bets/Lot

e. Penimbangan dan Penyerahan

f. Pengembalian

g. Operasi Pengolahan Produk Antara dan Produk Ruahan

h. Bahan dan Produk Kering: pencampuran dan granulasi, pencetakan

tablet, penyalutan, pengisian kapsul keras, penandaan tablet salut

dan kapsul

i. Produk Cair, Krim, dan Salep (Non-Steril)

j. Bahan Pengemas

k. Kegiatan Pengemasan: prakodifikasi bahan pengemas, kesiapan

jalur, praktik pengemasan, penyelesaian kegiatan pengemasan

l. Pengawasan selama Proses

m. Bahan dan Produk yang Ditolak, Dipulihkan, dan Dikembalikan

n. Karantina dan Penyerahan Produk Jadi

o. Catatan Pengendalian Pengiriman Obat

p. Penyimpanan Bahan Awal, Bahan Pengemas, Produk Antara,

Produk Ruahan, dan Produk Jadi

7. Pengawasan Mutu

20

Page 21: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

Bagian pengawasan mutu merupakan bagian yang penting karena

dapat memberikan kepastian bahwa prosuk farmasi memiliki mutu yang

sesuai. Bagian Pengawasan Mutu dikepalai oleh Kepala Bagian

Pengawasan Mutu atau Quality Assurance (QA). Kepala Bagian

Pengawasan Mut memiliki tanggung jawab atas seluruh prosedur

pengawasan mutu dan prosedur tersebut harus terdokumentasikan.

Bab ini mencakup bagian-bagian yakni : Cara Berlaboratorium

Pengawasan Mutu yang baik, Dokumentasi, Pengambilan Sampel,

Pengujian, Syarat Pengujian dan Program Stabilitas On-Going.

Pada Bagian Cara Berlaboratorium Yang Baik diatur mengenai

personil sumber daya, bangunan, fasilitas, peralatan yang digunakan,

pereaksi dan perbenihan, baku pembanding, tanggal penerimaan setiap

bahan serta hewan yang digunakan untuk pengujian komponen. Pada

bagian Dokumentasi dijelaskan bagian-bagian penting yang hendaknya

tersedia di bagian Pengawasan Mutu yakni : Spesifikasi, Prosedur

Pengambilan sampel, Prosedur dan catatan pengujian (termasuk lembar

kinerja analisis, dan/atau buku catatan laboratorium), Laporan dan/atau

sertifikat analisis, Data pemantauan lingkungan (bila diperlukan), catatan

validasi metode analisis (bila diperlukan), dan prosedur dan catatan

kalibrasi instrumen serta perawatan peralatan. Pada bagian Pengambilan

sampel dijelaskan uraian prosedur pengambilan sampel. Selain itu

termasuk di dalamnya penjelasan mengenai Bahan Awal, Bahan

Pengemas, Kegiatan Pengambilan Sampel. Terakhir pada bagian Program

Stabilitas On-Going dijelaskan mengenai pemantauan produk selama masa

edar dan memastikan bahwa produk tetap sesuai spesifikasi selama kondisi

penyimpanannya terjaga.

Beberapa hal yang menjadi persyaratan dalam Pengawasan Mutu

sebagaimana yang ditetapkan dalam CPOB yaitu mengenai :

1. Penanganan Baku Pembanding

21

Page 22: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

2. Penyusunan spesifikasi dan prosedur pengujian

3. Penanganan contoh pertinggal

4. Validasi

5. Pengawasan terhadap bahan awal, produk antara, produk ruahan, dan obat

jadi meliputi :

- Spesifikasi

- Pengambilan contoh

- Pengujian untuk bahan-bahan tersebut

- In Process Control

6. Pengujian ulang bahan yang diluludkan

7. Pengujian stabilitas

8. Penilaian terhadap supplier

9. Penanganan terhadap keluhan produk dan produk kembalian

8. Inspeksi Diri, Audit Mutu, Dan Audit & Persetujuan Pemasok

Pada Bab 8 CPOB 2012 ini terjadi sedikit perubahan apabila dibandingkan

dengan CPOB 2006 dilihat dari segi judul Bab dimana terjadi penambahan ‘&

Persetujuan Pemasok’ yang sebelumnya hanya ‘Inspeksi Diri dan Audit Mutu’

saja. Tujuan dari inspeksi diri adalah untuk mengevaluasi apakah semua aspek

produksi dan pengawasan mutu industri farmasi memenuhi ketentuan CPOB.

Untuk inspeksi diri tersedia berbagai pertanyaan mengenai ketentuan CPOB yang

setidaknya tertulis agar tersaji standar persyaratan yang minimal dan seragam.

Sebagai pelengkap dari inspeksi diri diselenggarakan audit mutu. Audit dan

persetujuan pemasok membahas tentang pemasok di industri farmasi dimana

daftar pemasok harus dibuat bagi setiap bahan-bahan. Selain itu dilakukan

evaluasi untuk mempertimbangan riwayat dari pemasok dan sifat bahan-bahan

yang dipasok oleh pemasok.

22

Page 23: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

9. Penanganan Keluhan Terhadap Produk Dan Penarikan Kembali

Produk

Bab 9 seperti halnya Bab 8 juga mengalami perubahan apabila

dibandingkan dengan CPOB 2006 yakni pada judul Bab yang sebelumnya

merupakan ‘Penanganan keluhan terhadap produk, penarikan kembali

produk, dan produk kembalian’.

Pada prosesnya setiap distribusi produk tidaklah selalu sampai

dengan baik pada konsumen, pasti ada keluhan mengenai kerusak obat

atau yang lainnya sehingga proses ini perlu diatur dengan prosedur tertulis.

Prosedur tersebut meliputi penyelidikan, evaluasi, tindak lajutyang sesuai,

pertimbangan untuk penarikan kembali produk dalam menanggapi keluhan

terhadap obat yang dikeluhkan konsumen karena adanya kerusakan atau

cacat. Untuk menangai keluhan dan memutuskan tindakan yang

berhubungan dengan keluhan untuk dilakukan ditunjuk personil yang akan

bertanggung jawab. Setiap keluhan yang terjadi perlu dicatat dan

dikumentasikan untuk selanjutnya ditindaklanjuti.

Seperti halnya proses keluhan, penarikan kembali produk juga

dibahas dalam bab ini sebagai langkah dalam menindaklanjuti keluhan

konsumen. Prosedur penarikan kembali produk dilakukan segera apabila

diketahui bahwa terjadi reaksi yang membahayakan atau merugikan pada

produk yang dilaporkan cacat. Produk yang telah ditarik disimpan di area

terpisah untuk kemudian diputuskan tindakan berikutnya. Seluruh kegiatan

ini harus didokumentasikan dan dievaluasi.

10. Dokumentasi

Pada bab ini dijelaskan jenis dokumen apa saja yang diperlukan

yakni spesifikasi (spesifikasi bahan awal, bahan pengemas, produk antara

dan produk ruahan, produk jadi, dokumen produksi, produksi induk,

prosedur pengolahan induk, pengemasan induk, catatan pengolahan bets,

23

Page 24: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

pengemasan bets, dan prosedur dan catatan). Pada umumnya setiap

dokumentasi dari prosuk tersebut sama setiap dokumentasi harus ditulis

secara rinci, disetujui, ditandatangan, diberi tanggal oleh personil yang

berwenang. Selain itu isi dari dokumen tidak bermakna ganda serta

hendaknya dikaji ulang secara berkala. Dokumen hendaknya tidak

ditulistangan kecuali memang membutuhkan data yang ditulis amun harus

dengan tulisan jelas dan terbaca dan tidak dapat dihapus. Apabila terjadi

perubahan data hendaknya ditanda tangan dan diberi tanggal.

11. Pembuatan Dan Analisis Berdasarkan Kontrak

Bab ini meliputi tanggung jawab industri farmasi terhadap Badan

POM dalam hal pemberian izin edar dan pembuatan obat. Kontrak

hendaknya dilakukan untuk menghindari adanya kesalahpahaman. Serta

harus dibuat secara jelas atas kewajiban dan tanggung jawab masing

masing pihak Penerima dan Pemberi Kontrak. Pada bab ini juga dibahas

mengenai ketentuan-ketentuan bagi Pemberi Kontrak dan Penerima

Kontrak.

12. Kualifikasi Dan Validasi

Bab ini menguraikan prinsip kualifikasi dan validasi yang

dilakukan di industri farmasi. Bab ini mencakup bagian yang menjelaskan

mengenai Perencanaan Validasi, Dokumentasi, Kualifikasi, Validasi

Proses, Validasi Pembersihan, Validasi Metode Analisis, Pengendalian

Perubahan, dan Validasi Ulang.

Pada bagian Perencanaan Validasi ada yang disebut dengan RIV

(Rencana Induk Validasi) yang menguraikan rencana proses validasi yang

akan dilakukan yang pada CPOB ini juga dijelaskan data-data apa saja

yang perlu ada di dalam RIV tersebut. Selain itu bagian Kualifikasi

mencakup Kualifikasi Desain (KD), Kualifikasi Instalasi (KI), Kualifikasi

24

Page 25: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

Operasional (KO), Kualifikasi Kinerja, Kualifikasi Fasilitas, dan Peralatan

dan Sistem Terpasang yang telah Operasional. Pada bagian validasi

dijelaskan bahwa umumnya validasi dilakukan sebelum produk

dipasarkan. Bagian ini mencakup Validasi Prospektif, Validasi Konkuren,

dan Validasi Retrospektif. Validasi Pembersihan dilakukan untuk

mengkonfirmasi efektivitas prosedur pembersihan. Termasuk di dalamnya

penentuan batas kandungan residu suatu produk, bahan pembersih, dan

pencemaran mikroba dll. Validasi Metode Analisis bertujuan untuk

menunjukkan bahwa metode analisis sesuai dengan tujuannya. Bagian ini

mencakup Jenis Metode Analisis yang harus divalidasi dan uraiannya.

Selain itu Validasi Ulang juga dibahas pada bagian akhir apabila terjadi

kondisi-kondisi yang juga diuraikan pada bab ini.

Kualifikasi dibedakan atas :

1. Kualifikasi Desain

Kualifikasi desain adalah unsur pertama dalam melakukan validasi

terhadap fasilitas, sistem atau peralatan baru

2. Kualifikasi Instalasi

Kualifikasi instalasi dilakukan terhadap fasilitas, sistem dan peralatan baru

atau yang dimodifikasi

3. Kualifikasi Operasional

Kualifikasi operasional dilakukan setelah kualifikasi instalasi selesai

dilaksanakan, dikaji dan disetujui

4. Kualifikasi Kinerja

Kualifikasi kinerja dilakukan setelah kualifikasi instalasi dan kualifikasi

operasional dilaksanakan, dikaji, dan disetujui

5. Kualifikasi Fasilitas, Peralatan, dan Sistem Terpasang yang telah

Operasional.

Untuk melengkapi Pedoman CPOB 2012, BPOM RI juga menerbitkan

Petunjuk Operasional Penerapan Pedoman CPOB (POPP) Jilid I dan II masing-

25

Page 26: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

masing pada tahun 2013 dan 2014 untuk memudahkan intrepretasi, baik oleh

industri farmasi dalam menerapkan persyaratan CPOB untuk seluruh aspek

pembuatan obat, inspektur CPOB BPOM, maupun kalangan lain yang

berkepentingan. POPP Jilid I berisikan penjelasan terhadap setiap bab pada

Pedoman CPOB 2012 sedangkan POPP Jilid II berisi penjelasan tentang setiap

Aneks pada Pedoman CPOB 2012.

2.4. current Good Manufacturing Practice (cGMP) di Berbagai Negara

Maju

Ada 7 negara maju yang bergabung dalam Group of 7 (G7), yaitu: Kanada,

Jepang, Perancis, Jerman, Italia, Inggris, dan Amerika Serikat (Perserikatan

Bangsa-Bangsa, 2014). Dalam hal industri farmasi, negara-negara tersebut

mengacu pada current Good Manufacturing Practice (cGMP) yang berbeda.

Kanada, Jepang, dan Amerika Serikat memiliki GMP negara masing-

masing. Di Inggris, the Medicine Act (1968) menerbitkan “The Orange Guide”,

yang juga dikenal sebagai “Rules and Guidance for Pharmaceutical

Manufacturers and Distributors” yang berisi GMP Inggris (Karmacharya, 2012).

Kemudian, berdasarkan hukum European Union (EU), semua produsen dan

pengimpor obat yang berlokasi di European Economic Area (EEA) harus

mengacu pada GMP yang ditetapkan oleh European Medicines Agency (EMA).

Jadi, Perancis, Jerman, Italia, dan Inggris mengacu pada EMA GMP. Pada tahun

2015, Medicines and Healthcare Products Regulatory Agency (MHRA),

Inggris, menerbitkan The Orange Guide terbaru, yang meliputi GMP EU dan

Inggris (European Medicines Agency, 2015).

Formalisasi GMP dimulai pada tahun 1960 yang sekarang telah berlaku di

lebih dari 100 negara mulai dari Afghanistan hingga Zimbabwe. Versi pertama

pedoman GMP untuk produksi, pengemasan, atau finalisasi produk farmasi

dikeluarkan oleh US FDA pada tahun 1963. Empat tahun kemudian, GMP versi

WHO disiapkan oleh sejumlah konsultan. Semenjak saat itu, terdapat beberapa

tambahan pedoman dan beberapa negara mengembangkan pedoman GMP bagi

mereka sendiri berdasarkan pedoman WHO (Karmacharya,2012).

26

Page 27: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

Pada tahun 1991 standar GMP diselaraskan dengan tingkat Eropa. Pada

tahun 1999, pada International Conference on Harmonization (ICH), sebuah

proyek oleh Eropa, Jepang, dan US mengeluarkan GMPs for Active

Pharmaceutical Ingredients, yang digunakan pada beberapa negara yang

menandatangani seperti Eropa, Jepang, US, dan beberapa negara lain (Australia,

Kanada, Singapura). Mayoritas negara berkembang tetap mengandalkan GMP

WHO untuk persyaratan produk farmasinya, namun sebagian negara maju seperti

Jepang, Amerika, Inggris, Cina dan Kanada telah mengembangkan GMP sesuai

dengan kebutuhan lokal di negaranya karena pada dasarnya tidak ada referensi

aturan GMP yang bersifat global seperti halnya ISO (Karmacharya,2012).

ICH mendiskusikan berbagai masalah mengenai persetujuan dan

pemasaran produk obat baru untuk menyelaraskan persyaratan regulasi yang

berkaitan dengan kualitas, keamanan, dan efikasi produk obat dan membantu

kerjasama pengakuan bersama di antara ketiga negara. Pengakuan bersama

dilakukan berdasarkan pertukaran data dan laporan penilaian untuk

menghilangkan pengujian berulang dan inspeksi prosedural sehingga menurunkan

biaya pengerjaan dan mempercepat pengenalan produk obat baru ke masyarakat

(Karmacharya,2012).

Pada tingkat lebih tinggi, GMP dari berbagai negara maju hampir mirip;

sebagian besar memerlukan hal-hal seperti (Learningplus Inc, 2007):

1. Peralatan dan fasilitas yang dirancang dengan baik, dipelihara, dan

dibersihkan

2. Standar Operasional Prosedur (SOP) ditulis dan disetujui

3. Sebuah unit kualitas independen (seperti Quality Control dan / atau Quality

Assurance)

4. Personil terlatih dan dalam manajemen yang baik

Negara Uni Eropa

Prinsip dan panduan untuk GMP ditetapkan dalam dua pedoman:

Directive 91/356/EEC untuk produk manusia dan Directive/91/412/EEC untuk

produk kedokteran hewan. Panduan GMP berlaku untuk produk manusia dan

27

Page 28: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

kedokteran hewan, walaupun 2 dari 18 lampiran (4 dan 5) secara spesifik berlaku

untuk produk kedokteran hewan.

Bab 1. Manajemen Mutu

Prinsip menekankan bahwa pencapaian persyaratan kualitas adalah

tanggungjawab manajemen senior dan membutuhkan partisipasi dan komitmen

dari staf dalam berbagai departemen dan pada semua level dalam perusahaan. Ini

dengan jelas mengakui betapa pentingnya peran manajemen senior dan bahwa

pengendalian mutu/ Quaility Control (QC) sendiri tidak dapat mencapai hasil

yang diperlukan.

Bab ini juga mengacu pada perkembangan produk dan memerlukan

aplikasi GMP dan Good Laboratory Practices (GLP) untuk tahap desain dan

pengembangan. Inspeksi diri dan/atau audit mutu juga diperlukan. Material tidak

boleh dilepaskan untuk penggunaan sebelum dilakukannya tes yang relevan.

Istilah “relevan” ini sangat subjektif dan dapat dipertimbangkan untuk

diperbolehkan penggunaannya saat ada data yang tersedia.

Bab 2. Personalia

Kualifikasi dan pengalaman yang dibutuhkan oleh seorang kepala QC

dijelaskan (article 23 dari Directive 75/319/EEC). Kualifikasi formal yang

dibutuhkan adalah dalam farmasi, kedokteran, kedokteran hewan, kimia, kimia

farmasi, atau biologi. Subjek harus termasuk dalam bidang yang dimaksud.

Kualifikasi diikuti dengan satu tahun pelatihan praktis, paling sedikit enam bulan

dalam farmasi. Selanjutnya perlu dua tahun pengalaman dalam bidang QC.

Bab ini juga membedakan antara evaluasi produk yang diimpor dari

negara European Economic Community (EEC) dan non-EEC. Dalam kasus

belakangan, negara pengimpor harus melakukan analisis kuantitatif penuh,

analisis kuantitatif semua bahan aktif, dan pengujian lainnya yang diperlukan

untuk memastikan kualitas produk. Untuk impor yang berasal dari negara EEC

lainnya, pengujian ini tidak diperlukan bila tersedia laporan QC ditandatangani

oleh orang terkualifikasi.

Bab ini menjelaskan tanggung jawab-tanggung jawab kepala produksi dan

kepala QC. Kepala produksi bertanggungjawab pada operasi produksi dan

28

Page 29: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

ketaatan pada prosedur. Selanjutnya kedua kepala tersebut memiliki tanggung

jawab meliputi persetujuan prosedur, validasi proses, persetujuan pemasok, dan

memantau ketaatan GMP. Semua personalia, kira-kira hanya yang lebih langsung

terlibat dalam produksi dan kegiatan-kegiatan terkait harus diperiksa kesehatan

saat perekrutan

Bab 3. Bangunan dan Peralatan

Pemeliharaan dan perbaikan bangunan yang harus dilakukan sehingga

tidak ada dampak yang merugikan pada kualitas. Panduan mengharuskan produk

sangat peka (misalnya, penisilin) dan “tambahan produk-produk tertentu seperti

antibiotik tertentu, hormon tertentu, sitotoksin tertentu, obat-obatan tertentu dan

produk nonmedis yang sangat aktif" harus diproduksi dalam fasilitas yang berbeda

atau terkecuali dengan mengoperasikan dalam fasilitas yang sama. Sampling

bahan awal biasanya diharapkan akan dilakukan dalam area sampling terpisah,

tetapi alternatif diizinkan asalkan mereka mencegah kesempatan kontaminasi

silang. Hal ini mengejutkan bahwa elaborasi ini termasuk sejak panduan

keseluruhan memungkinkan alternatif.

Bab 4. Dokumentasi

Bab ini membuat beberapa referensi untuk penandatanganan dokumen-

persetujuan, perubahan, langkah-langkah proses (inisial), penyelesaian proses, dan

proses penyimpangan. Ada juga referensi untuk rekaman elektronik, yang

dianggap dapat diterima dengan pengamanan biasa mengenai akses. Ada

persyaratan yang agak ekstrim untuk penggunaan logbook-untuk merekam

validasi, kalibrasi, pemeliharaan, pembersihan, dan perbaikan peralatan dan juga

untuk peralatan dan penggunaan fasilitas.

Bab 5. Produksi

Ada beberapa referensi untuk meminimalkan potensi kontaminasi silang,

mulai dari sampling bahan melalui produksi dan dari pakaian operator hingga

kemasan. Pentingnya kualitas bahan awal ditekankan dengan preferensi untuk

membeli langsung dari produsen daripada melalui agen. Pedoman ini juga

mencatat "pengolahan ulang produk ditolak harus menjadi pengecualian."

29

Page 30: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

Memang, proses tervalidasi harus jarang menghasilkan penolakan dan yang harus

karena variasi penyebab khusus, bukan karena variasi proses normal.

Bab 6. Pengendalian Kualitas

Penyimpanan sampel referensi untuk produk berbeda dari yang untuk

bahan awal. Petunjuk menunjukkan bahwa dengan pengecualian tertentu (pelarut,

gas, dan air), sampel semua bahan awal harus disimpan selama dua tahun setelah

tanggal berakhirnya batch terakhir dari produk yang diproduksi dari bahan.

Laporan pengujian memerlukan inisial orang yang melakukan dan memeriksa

pengujian dan tanda tangan untuk rilis.

Bab 7. Kontrak Pembuatan dan Analisis

Dengan penekanan pada ISO 9000 di Eropa, itu tidak mengherankan

bahwa bab disertakan pada pengaturan. Kontrak harus menjelaskan tanggung

jawab sehubungan dengan pembelian bahan, pengujian dan pelepasan bahan,

kontrol proses, pengujian final, dan rilis produk. Masalah tambahan termasuk

yang mempertahankan sampel dan mengevaluasi keluhan. Penyusunan kontrak

harus melibatkan orang dengan pengetahuan yang memadai, terutama tentang

persyaratan GMP. Akses ke tempat kontraktor harus disepakati dalam kontrak.

Bab 8. Pengaduan dan Penarikan Kembali Produk

Panduan ini menyediakan lebih banyak petunjuk pada ekstrapolasi dari

pengaduan untuk batch lain. Perlu adanya tinjauan teratur terhadap data

pengaduan untuk mengidentifikasi masalah yang mungkin timbul dan

membutuhkan tindakan yang tepat. Panduan ini juga menyediakan panduan

tambahan sehubungan dengan penarikan.

Bab 9. Inspeksi Diri

Inspeksi diri harus dilakukan oleh orang yang kompeten dalam perusahaan

dan dicatat.

18 lampiran, memberikan informasi yang lebih rinci, berjudul:

a. Pembuatan produk obat steril;

b. Pembutan produk obat biologis untuk digunakan manusia;

c. Pembuatan radiofarmaka;

d. Pembuatan produk obat hewan selain imunologis;

30

Page 31: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

e. Pembuatan produk obat imunologi hewan;

f. Pembuatan obat gas;

g. Pembuatan produk obat herbal;

h. Sampling dari bahan awal dan kemasan;

i. Pembuatan cairan, krim, dan salep;

j. Pembuatan sediaan aerosol inhalasi dosis terukur bertekanan;

k. Sistem komputerisasi;

l. Penggunaan radiasi pengion dalam pembuatan produk obat;

m. Pembuatan produk obat yang diteliti;

n. Pembuatan produk derivat dari darah manusia atau plasma manusia;

o. Kualifikasi dan validasi;

p. Sertifikasi oleh orang terkualifikasi dan pelulusan batch;

q. Pelulusan parametris;

r. GMP untuk bahan aktif farmasi (Nally, 2006).

Canada

GMP Canada disusun oleh Health Canada. Isinya meliputi introduction

(pendahuluan), purpose (tujuan), scope (ruang lingkup), quaility management

(manajemen mutu), dan interpretation of regulations (interpretasi regulasi) yang

mencakup 29 regulasi (C.02.002-C02.030) yang terbagi menjadi 16 bagian.

Regulasi meliputi:

• Division 2-Good Manufacturing Practices

• Sale (Pemasaran)

• Use in Fabrication (Penggunaan dalam Pembuatan)

• Premises (Bangunan)

• Equipment (Peralatan)

• Personnel (Personalia)

• Sanitation (Sanitasi)

• Raw Material Testing (Pengujian Bahan Awal)

• Manufacturing Control (Kontrol Pembuatan)

• Quality Control Department (Departemen Pengendalian Mutu)

31

Page 32: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

• Packaging Material Testing (Pengujian Bahan Pengemasan)

• Finished Product Testing (Pengujian Produk Akhir)

• Records (Catatan)

• Samples (Contoh)

• Stability (Stabilitas)

• Sterile Products (Produk Steril)

• Medical Gases (Obat gas)

GMP Canada berlaku untuk pembuat, pengemas/pelabel, pengimpor

(negara Mutual Recognition Agreement (MRA) dan non-MRA), distributor,

pedagang besar, dan penguji (Health Canada, 2013).

Berikut merupakan regulasi GMP dimana pedoman GMP ini berlaku

untuk farmasi, radiofarmaka, obat biologi, dan kedokteran hewan dikembangkan

oleh Health Canada.

Bagian Regulasi F P/L I D W T1. Bangunan C.02.004 2. Peralatan C.02.005 3. Personalia C.02.006 4. Sanitasi C.02.007

C.02.008

5. Pengujian bahan awal

C.02.009C.02.010

**

6. Kontrol Produksi C.02.011C.02.012

7. Quality control C.02.013C.02.014C.02.015

8. Pengujian Packaging Material

C.02.016C.02.017

**

9. Pengujian produk jadi

C.02.018C.02.019

**

10. Dokumentasi C.02.020C.02.021C.02.022C.02.023C.02.024

11. Sampel C.02.025C.02.026

32

Page 33: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

12. Stabilitas C.02.027C.02.028

**

13. Produk steril C.02.029 *

F = Fabricator, P/L = Packager/Labeller, I = Importer, D = Distributor, W =

Wholesaler, T = Tester

* = pedoman yang berlaku tergantung pada sifat kegiatan.

Di Kanada semua produk kesehatan harus mempunyai standar keamanan

dan kualitas yang tinggi sebelum dipasarkan, oleh sebab itu, dilakukan

serangkaian dalam pemeriksaan untuk memastikannya. Tahap-tahap yang

diperiksa antara lain produksi, pengemasan, pengujian, pemasukan, distribusi,

dan penjualan. Bagian produksi, pengemasan, dan pengujian produk diperiksa

setiap dua tahun, sedangkan bagian pemasukan, penjualan, dan distribusi

diperiksa setiap tiga tahun.

Observasi yang dilakukan selama pemeriksaan diklasifikasikan sebagai

“critical”, “major” atau “others”. Observasi “critical” menggambarkan situasi

yang dapat menimbulkan risiko kesehatan bagi warga Kanada. Observasi “major”

menunjukan bahwa produksi produk kesehatan tidak sesuai dengan persyaratan.

Observasi “others” merupakan observasi yang tidak termasuk “critical” maupun

“major”.

Jepang

Jepang membentuk Persatuan Produsen Produk Farmasi Jepang (Japan

Pharmaceuticals Manufacturers Association/JPMA) pada tahun 1968. Kemudian

komite khusus yang terdapat dalam JPMA membuat J-GMP pada tahun 1969,

sebagai respon terhadap rekomendasi WHO. Pada tahun 1973, komite khusus

tersebut memulai aktivitasnya (Watanabe, 2010).

Pharmaceutical Affairs Law (PAL): membuat peraturan untuk menjamin

kualitas, efektivitas, keamanan obat, obat-obat kuasi, kosmetik, dan alkes untuk

meningkatkan kesehatan masyarakat.

Tahun 1969 JGMP

Tahun 2004 Kewenangan inspeksi GMP di jepang dilakukan oleh

Pharmaceutical Medical Devices Agency (PMDA).

33

Page 34: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

Tahun 2005 Persyaratan baru GMP Jepang hanya pedoman dokumen

GMP ICH (ICH Q7A GMP tentang pembuatan bahan aktif obat) yang

diadopsi oleh Japanese MLHW (Ministry of Health, Labor dan Welfare)

(Nippo, 2004).

Badan yang berwenang untuk inspeksi GMP di Jepang adalah

Pharmaceuticals and Medical Devices Agency (PMDA) yang bertanggungjawab

pada Ministry of Health Labour and Welfare (MHLW).

Berikut adalah struktur organisasi PMDA:

GMP dan Peraturan Kualitas di Jepang sangat penting bagi semua

perusahaan untuk operasi internasional. Namun, meskipun Jepang adalah bagian

dari Konferensi Internasional tentang Harmonisasi masih ada beberapa perbedaan

utama dalam regulasi berkaitan dengan produsen API dan produk obat.

Ruang lingkup GMP Jepang mencakup pembuatan obat dan obat kuasi.

Isinya meliputi:

Kontrol pembuatan dan pengawasan mutu bahan aktif farmasi (sebanding

dengan ICH Q7)

34

Page 35: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

Bentuk sediaan:

- Produk kimiawi dan biologis

- Radiofarmaka

-Vaksin

- Produk medis yang berasal dari darah manusia dan plasma manusia

- Vitamins, Mineral, obat-obatan herbal

Inspeksi bangunan dan peralatan

"Lisensi" adalah untuk produsen dalam negeri

"Akreditasi" adalah untuk produsen asing

* Kebutuhan akreditasi produsen asing yang sama dengan lisensi produsen

dalam negeri (HR Bangunan & Prasarana)

Tidak termasuk;

• Pestisida dan biosida lainnya*

• Disinfektan *

• Formularium rumah sakit

• Obat gas

• Proses penyerbukan dan pemotongan obat herbal mentah

• Eksipien-eksipien yang terdaftar dalam

*terbatas pada yang TIDAK digunakan langsung pada tubuh manusia

(Sakurai, 2011)

Meskipun GMP Jepang memiliki kesamaan dengan GMP Internasional,

ada juga perbedaan terutama karena budaya Jepang dan bagaimana mereka

melakukan bisnis. Contohnya dalam hal personalia, Jepang memiliki deskripsi

kerja yang sangat jelas karena mereka ingin memastikan bahwa setiap personel

memiliki fungsi dan tanggung jawab yang jelas sesuai dengan tugas yang

diberikan. Mereka menggambarkan peran dan fungsi sebagai Manufacturing

Control Manager, Quality Control Manager dan Product Security Pharmacist.

Sebaliknya, GMP Internasional hanya memberikan gambaran umum mengenai

tanggung jawab tiap personel. GMP Internasional mendefinisikannya sebagai

"Qualified Person", di Jepang mereka menyebutnya "Product Security

Pharmacist" yang akan bertanggung jawab atas produk farmasi yang akan

35

Page 36: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

dipasarkan. Cara Jepang dalam menangani keluhan jauh berbeda dibandingkan

dengan negara-negara Barat. Negara-negara Barat menangani keluhan dengan

business-like manner, sedangkan Jepang dalam menangani keluhan pelanggan

lebih secara pribadi.

Dalam GMP International, ada QOS (Quality Overall Summary), yang

hanya digunakan sebagai abstrak tetapi QOS Jepang digunakan sebagai dokumen

utama yang digunakan untuk validasi. Selain itu Jepang memastikan bahwa

perusahan-perusahan asing yang harus melewati semua lisensi yang diperlukan

sebelum resmi mengizinkan perusahaan asing tersebut untuk beroperasi di negara

mereka. Agar perusahaan farmasi untuk beroperasi di Jepang, perusahaan tersebut

harus mendapatkan lisensi dari Pemegang Otorisasi pasar (Market Authorization

Holders/ MAH) dan lisensi untuk fasilitas manufaktur yang bertujuan untuk

memastikan bahwa fasilitas manufaktur baik yang berlokasi di Jepang atau Luar

negeri memenuhi standar dan dapat memproduksi produk yang memiliki kualitas

yang baik.

Meskipun Jepang telah menyelaraskan pedoman dan praktik farmasi

mereka dengan GMP Internasional, ia memiliki syarat tersendiri dalam melakukan

pharmaceutical proccess. Pada intinya, bahkan jika Jepang tidak sepenuhnya

menerapkan GMP Internasional dalam praktik farmasi mereka sendiri, industri

farmasi internasional yakin bahwa dengan semangat tinggi, disiplin, dan dedikasi

untuk pekerjaan mereka, mereka akan menghasilkan produk farmasi yang unggul,

aman dan efektif.

Sebuah versi yang lebih baru dari peraturan praktik farmasi diterbitkan

pada tahun 2003 dan dilaksanakan pada tahun 2005. Versi terbaru meliputi

pengaturan obat, perangkat klinis dan produk higienis.

Sejarah Kebijakan Farmasi di Jepang

1. Pharmaceutical Law

Administrasi obat di Jepang berdasarkan berbagai peraturan perundang-

undangan, terdiri dari Pharmaceutical Affairs Law, Pharmacists Law, Law

36

Page 37: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

Concerning the Establishment for Pharmaceuticals and Medical Devices

Organization, Law Concerning Securing Stable Supply of Blood Products,

Poisonous and Deleterious Substances Control Law, Narcotics and

Psychotropics Control Law, Cannabis Control Law, Opium Law, Stimulants

Control Law.

Untuk penegakan dan manajemen undang-undang ini, peraturan rinci

disusun oleh pemerintah dalam bentuk peraturan pemerintah dan

pemberitahuan, seperti Penegakan Peraturan dan Penegakan Peraturan Urusan

Hukum Farmasi, dan pemberitahuan yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal

Biro atau direktur Divisi yang bertanggung jawab di Departemen Kesehatan,

Perburuhan, dan Kesejahteraan.

2. Pharmacetical Affairs Law

Tujuan dari Pharmaceutical Affairs Law adalah untuk meningkatkan

kesehatan masyarakat melalui peraturan yang diperlukan untuk menjamin

kualitas, khasiat, dan keamanan dari obat, kosmetik,maupun alat kesehatan.

Selain itu, tujuan yang lain adalah untuk mempromosikan penelitian dan

pengembangan dari obat-obatan maupun peralatan medis terutama yang

penting untuk perawatan kesehatan.

Undang-undang kefarmasian terbaru di Jepang dimulai dengan

diberlakukannya Peraturan tentang Penanganan dan Penjualan Obat-Obatan

pada tahun 1889. Pharmaceutical Affairs Law disahkan pada tahun 1943 dan

telah direvisi beberapa kali sejak itu. Pharmaceutical Affairs Law yang berlaku

merupakan hasil dari revisi lengkap pada tahun 1948 dan 1960. Revisi

berikutnya menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan pemeriksaan ulang obat

baru, re-evaluasi obat, pemberitahuan protokol mengenai studi klinis, dan

peralatan yang dibutuhkan untuk mensponsori studi klinis pada tahun 1979

yang berhubungan dengan pengaplikasian manufaktur langsung mengenai

persetujuan produsen farmasi dari luar negeri dan persetujuan impor pada

tahun 1983.

Pada tahun 2002, Pharmaceutical Affairs Law. Dalam UU yang direvisi,

ketentuan mengenai peningkatan langkah-langkah keselamatan untuk produk

37

Page 38: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

biologi, uji klinis, dan laporan keamanan dari lembaga medis mendatangkan

efek pada tanggal 30 Juli 2003 dan hukum untuk mendirikan PMDA

diberlakukan pada tanggal 1 April 2004 sampai merevitalisasi sistem ulasan.

Ketentuan terkait dengan manufaktur atau sistem persetujuan pemasaran,

manufaktur atau pemasaran bisnis dan bisnis manufaktur, serta ketentuan yang

berkaitan dengan kesehatan perangkat mulai berlaku pada 1 April 2005.

3. Persetujuan Pemasaran

Jepang memiliki instansi pemerintah sendiri atau kementerian yang

bertanggung jawab untuk mengatur praktek farmasi di negara mereka. Badan-

badan ini memastikan bahwa perusahaan farmasi taat dengan peraturan dan

praktik farmasi di Jepang. Badan-badan ini adalah MHLW (Ministry of Health

Labor and Welfare), PMDA (Pharmaceuticals and Medical Devices Agencies),

Pemerintah dan Sertifikasi Badan Lokal. Peran PMDA adalah untuk

memberikan konsultasi mengenai uji klinis obat baru dan peralatan medis, dan

untuk melakukan tinjauan dan survei mengenai data aplikasi yang dapat

dipercaya.

Persetujuan formal dan lisensi diperlukan untuk memasarkan obat di

Jepang. Persetujuan formal dan / atau izin harus diperoleh sebelum peluncuran

pemasaran dari Menteri MHLW atau gubernur dengan mengirimkan data dan

dokumen yang diperlukan untuk me-review bahan-bahan, kekuatan, dosis,

administrasi, indikasi, efek samping, dan lain-lain.Persetujuan dan sistem

perizinan telah direvisi dalam UU dan diubah dari persetujuan manufaktur

menjadi persetujuan pemasaran dari April 2005. Lisensi produk telah

dihapuskan dan kepatuhan melakukan GMP untuk setiap produk telah

ditetapkan sebagai kondisi persetujuan.

Persetujuan pemasaran memerlukan tinjauan ulang untuk menentukan

apakah obat yang tercantum dalam permohonan sesuai dengan obat yang

akan dipasarkan oleh seseorang yang telah memperoleh izin usaha pemasaran

(marketing pemegang otorisasi) untuk jenis obat terkait dan penetapan bahwa

produk telah diproduksi di pabrik yang memenuhi persyaratan GMP (Kurusu,

2012).

38

Page 39: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

MHLW, PMDA, dan prefektur telah mengajukan tawaran keanggotaan di

Pharmaceutical Inspection Cooperation Scheme (PIC/S) pada bulan Maret 2012.

Hal ini menjamin peningkatan level implementasi yang diakui secara internasional

berdasarkan aturan GMP serta meningkatkan standarisasi internasional. Jepang

menjadi anggota PIC/S sejak 1 Juli 2014. JPMA berperan aktif pada ICH

(International Conference on Harmonization) yang bertujuan untuk melakukan

harmonisasi internasional pada regulasi farmasi (JPMA, 2015).

Amerika Serikat

Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat menjamin kualitas

produk obat dengan hati-hati memantau produsen obat sesuai dengan peraturan

cGMP nya. Regulasi GMP oleh FDA dimulai pada tahun 1962 yaitu mulai

berkembangnya kontrol secara biologis. kemudian pada tahun 1978 cGMP

mengalami revisi yang berkaitan dengan personal dan fasilitas termasuk proses

produksi dan produk.Pada tahun 1979 revisi keseluruhan selesai dilakukan. Pada

saat itu, FDA juga mempertimbangkan menetapkan peraturan GMP yang lebih

untuk produk seperti sediaan parenteral volume kecil, gas obat dan bahan obat,

untuk melengkapi lingkup peraturan yang ada (Swarbrick, 2007). Awalnya GMP

didasarkan pada praktek industri terbaik, namun seiring berjalannya waktu GMP

mengalami berbagai perkembangan.

cGMP regulations berdasarkan dari regulasi original GMP pada tahun

1978. GMP alat kesehatan AS telah direvisi secara sangat lengkap, sehingga

membuatnya lebih kompatibel dengan dokumen mutu ISO 9001. Sehingga GMP

alat kesehatan diberi nama baru; FDA sekarang menyebutnya Quality System

Regulation (QSR). Pada tahun 1988 terjadi skandal obat generik di Amerika

Serikat, menyebabkan FDA membuat program yang secara aktif menyetujui

lokasi industri manufacturing obat. Tanpa persetujuan ini industri tidak dapat

melakukan proses manufacturing pembuatan obat (cGMP) sesuai dengan

kebijakan tersebut, telah dikeluarkan berbagai: guides, guidances, guidelines,

directives, points to consider and letters to industry. Maksud utama FDA dalam

membuat dokumen tersebut adalah sebagai panduan wacana bagi

inspektur/investigator dalam melakukan inspeksi di industri farmasi.

39

Page 40: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

FDA menerbitkan dokumen acuan dan regulasi untuk industri dalam

Federal register yang berjudul Federal Food, Drug and Cosmetic Act and

related statutes. Code Federal Regulation (CFR) terdiri dari 50 judul yang

merepresentasikan subjek area yang luas dari regulasi Federal. Section 21 dari

CFR berisi sebagian besar peraturan yang berkaitan dengan makanan dan obat-

obatan. Peraturan mendokumentasikan tindakan sponsor obat yang diharuskan

menurut Federal law. 21 CFR Part 210. cGMP dalam pengolahan pembuatan,

pengemasan, atau penanganan obat. 21 CFR Part 211. cGMP untuk produk obat

jadi (Karmacharya, 2012)..

CFR 21 bagian 211 terdiri dari subbagian A ke K menggambarkan

komponen yang berbeda, seperti General Provisions (Ketentuan Umum),

Organization and Personnel (Organisasi dan Personalia), Building and Facilities

(Bangunan dan Fasilitas), Equipment (Peralatan), Control of Components and

Drug Product Containers and Closures (Pengendalian Komponen dan Produk

Obat Wadah dan Penutup), Production and Process Controls (Pengendalian

Produksi dan Proses), Packaging and Labeling Control (Pengendalian

Pengemasan dan Pelabelan), Holding and Distribution (Penanganan dan

Distribusi), Laboratory Control (Pengendalian Laboratorium), Records and

Reports (Catatan dan Laporan), serta Returned dan Salvaged Drug Products

(Produk Obat yang dikembalikan dan ditarik kembali) Prinsip dari GMP US FDA

adalah peraturan mengandung GMP untuk metode yang akan digunakan dalam

dan fasilitas atau pengendalian yang akan digunakan untuk pembuatan,

pengolahan, pengemasan, atau memegang obat untuk memastikan bahwa obat

tersebut memenuhi persyaratan undang-undang tersebut untuk keselamatan, dan

memiliki identitas dan kekuatan dan memenuhi karakteristik kualitas dan

kemurnian yang dimaksudkan atau diwakili untuk memiliki (Karmacharya, 2012).

cGMP dibuat dengan sefleksibel mungkin agar setiap produsen dapat

memutuskan secara individual bagaimana menerapkan kontrol terbaik yang

diperlukan dengan menggunakan metode pengolahan, dan prosedur pengujian.

Fleksibilitas dalam peraturan ini memungkinkan perusahaan untuk menggunakan

teknologi modern dan pendekatan inovatif untuk mencapai kualitas yang lebih

40

Page 41: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

tinggi melalui perbaikan secara terus-menerus. Dengan demikian, "C" di cGMP

singkatan dari "saat ini," mewajibkan perusahaan untuk menggunakan teknologi

dan sistem yang up-to-date untuk mematuhi peraturan. Sistem dan peralatan yang

mungkin telah "top-of-the-line" untuk mencegah kontaminasi,dan kesalahan. Saat

ini banyak produsen farmasi sudah menerapkan, sistem kualitas modern yang

komprehensif dan pendekatan manajemen risiko yang melebihi standar-standar

minimum.

Setiap obat yang diproduksi harus memenuhi kondisi dan peraturan yang

telah d itetapkan dalam cGMP, hal ini bertujuan untuk menjamin kualitas yang

dibangun ke dalam desain dan proses manufaktur di setiap langkah. Fasilitas yang

berada dalam kondisi baik, peralatan yang dipelihara dengan baik dan dikalibrasi,

karyawan yang berkualitas dan terlatih, dan proses yang handal dan direproduksi,

adalah beberapa contoh bagaimana persyaratan CGMP membantu untuk

menjamin keamanan dan kemanjuran produk obat.

FDA memeriksa fasilitas manufaktur farmasi di seluruh dunia, termasuk

fasilitas yang memproduksi bahan aktif dan produk jadi. Inspeksi mengikuti

pendekatan standar yang dilakukan oleh staf FDA yang sangat terlatih. FDA juga

bergantung pada laporan dari produk obat yang berpotensi cacat dari masyarakat

dan industri.

Proses persetujuan untuk obat baru dan aplikasi pemasaran obat generik

mencakup kajian kepatuhan produsen dengan cGMP. Inspektur FDA menentukan

apakah perusahaan memiliki fasilitas, peralatan, dan keterampilan yang

diperlukan untuk memproduksi obat baru yang digunakan untuk persetujuan.

Keputusan mengenai kepatuhan terhadap peraturan cGMP didasarkan pada

pemeriksaan fasilitas, sampel analisis, dan sejarah kepatuhan perusahaan.

Informasi ini dirangkum dalam laporan yang mewakili beberapa tahun sejarah

perusahaan. FDA dapat mengeluarkan surat peringatan atau melakukan tindakan

lainnya terhadap perusahaan yang tidak memenuhi peraturan cGMP. Kegagalan

untuk mematuhi juga dapat menyebabkan keputusan oleh FDA tidak menyetujui

pemasaran obat.

41

Page 42: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

Guidance Documents merupakan dokumen yang dibuat untuk memberikan

pedoman untuk pengolahan, konten, dan evaluasi aplikasi, dan untuk desain,

produksi, manufaktur, dan pengujian produk yang diatur. Contoh : Guideline on

the Preparation of Investigational New Drug Products (Human and Animal) (PDF

- 795KB)  (Issued 11/1992, Posted 3/2/1998), Guidance for

Industry:   Investigating Out-of-Specification (OOS) Test Results for

Pharmaceutical Production (PDF - 98KB). 10/2006.

Manual of Policies and Procedures (MaPPs) merupakan instruksi yang

telah disetujui untuk staf internal produksi dalam menstandardisasi proses revies

obat-obat baru. Contoh : Standing Operating Procedures for NDA/ANDA Field

Alert Reports (Issued 10/30/1998, posted 11/02/1998) MaPP ini membuat sistem

untuk mengevaluasi aplikasi obat baru (NDA) dan aplikasi singkat obat baru

(ANDA).

FDA tidak dapat menyetujui aplikasi untuk memasarkan obat baru dari

perusahaan yang telah melakukan pelanggaran Praktek cGMP. Demikian pula,

ketidaksetujuan dari aplikasi pemasaran obat berdasarkan kekurangan cGMP juga

harus mengarah pada peraturan dan / atau tindakan administratif terhadap produk

lainnya diproduksi di bawah kondisi yang sama. Contoh : Consistent Application

of Current Good Manufacturing Practice Determinations,  Chapter 4 of the

Compliance Policy Guide.

Industri farmasi di Amerika Serikat dan negara lain yang akan memasuki

pasar obat Amerika, terlebih dahulu mengalami Pre dan Post Approval Inspection

dan mendapatkan sertifikasi (keterangan) bahwa industri farmasi yang diaudit

telah memenuhi semua ketentuan FDA tentang cara pembuatan obat yang baik

(GMP dan cGMP)

Sebelum dilakukan audit oleh lembaga berwenang, industri farmasi

melakukan terlebih dahulu audit internal. Audit internal sangat penting sekali

karena akan memberikan masukan tentang kekurangan, untuk dilakukan tindakan

perbaikan sebelum dilakukan audit oleh FDA (instansi lain) berwenang. Audit

internal dilakukan oleh satu team internal industri atau memintakan jasa konsultan

independen untuk melakukan audit. Audit oleh FDA dilakukan secara bertahap, di

42

Page 43: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

mana dilakukan Pre and Post Approval Audit Inspection oleh inspektur /

investigator terlatih dan berpegalaman.

Australia

Pemeriksa regulasi GMP (Good Manufacture Practice) di Australia

dilakukan oleh TGA (Therapeutic Good Administration, Australian). TGA

mengatur semua barang terapi di Australia secara komprehensif melalui berbagai

langkah termasuk: memastikan efikasi dan keamanan obat-obatan yang diizinkan

dijual di Australia, lisensi produsen dan pemantauan pasca-pasar dan program

pemantauan yang mencakup pengujian produk di laboratorium dan pemantauan

efek samping dari obat-obatan (Therapeutic Good Administration, 2015).

TGA mengatur barang terapeutik melalui: penilaian pra-pasar, pemantauan

pasca-pasar dan penegakan standar, lisensi dari produsen Australia dan verifikasi

kepatuhan produsen luar negeri dengan standar yang sama seperti industri obat-

obatan yang ada di Australia. Kerangka peraturan TGA melalui pendekatan

berbasis risiko regulasi (Therapeutic Good Administration, 2015).

Cabang TGA ini disusun menjadi tiga Divisi utama - Divisi Pasar

Otorisasi, Monitoring dan Divisi Kepatuhan dan Divisi Dukungan Regulasi.

Nasional Manajer TGA merupakan anggota dari Departemen Komite Eksekutif

Kesehatan dan didukung oleh Penasihat Medis Kepala Sekolah dan Penasihat

Hukum Principal. Adapun struktur dari TGA ( therapeutic good administration)

adalah seperti gambar dibawah ini :

43

Page 44: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

Gambar. Struktur cabang TGA (Therapeutic Good Administration, 2015)

Eksekutif TGA berperan dalam mengatur aktivitas dan fungsi regulasi

dari TGA sendiri. Sedangkan Divisi Otorisasi Pasar bertanggung jawab untuk

melakukan evaluasi dan menyetujui produk terapi baru untuk pasokan di

Australia. Kepala manager di Divisi membuat keputusan apakah akan menyetujui

atau menolak otorisasi pasar obat-obatan, peralatan medis yang diimpor,

diekspor, diproduksi dan disediakan di Australia. Divisi Monitoring dan

Kepatuhan bertanggung jawab untuk pemantauan produk terapi yang disetujui

untuk pasokan di Australia dan memastikan mereka memenuhi standar yang

diperlukan di seluruh siklus hidup mereka. Divisi Dukungan Regulasi

menyediakan layanan dukungan regulasi seluruh lembaga yang memungkinkan

TGA untuk melakukan tanggung jawab regulasi. Ini termasuk hukum, keuangan,

teknologi informasi dan manajemen informasi (Therapeutic Good Administration,

2015).

The Pharmaceutical Inspection Convention and Pharmaceutical

Inspection Co-operation Scheme (PIC/S) mengembangkan standar internasional

antara negara-negara dan inspeksi farmasi pihak berwenang untuk memberikan

harmonisasi dan kerja sama konstruktif pada bidang GMP. Tujuan PIC/S adalah

44

Page 45: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

menghubungkan kerja sama antar pihak berwenang, memelihara keyakinan antar

pihak, pertukaran informasi dan pengalaman, serta untuk pelatihan pengawas

GMP. TGA merupakan anggota dari PIC/S (Therapeutic Good Administration,

2009).

Komponen kunci dari keseluruhan regulasi TGA mengenai obat-obatan

dan alat kesehatan adalah inspeksi dari fasilitas manufaktur untuk memastikan

proses produksi dijalankan sesuai dengan prinsip manufaktur yang dilegalisasi,

termasuk Code of Good Manufacturing Practice (GMP). Sebagian besar negara

industri telah merasa perlu untuk mengembangkan pedoman Good Manufacture

Practice (GMP) dan singkatan GMP digunakan secara internasional untuk

menggambarkan seperangkat prinsip dan persyaratan yang diikuti oleh produsen

barang terapeutik (termasuk semua jenis obat-obatan), akan menjamin bahwa

setiap batch produk aman, handal dan berkualitas tinggi. Sebuah prinsip dasar

GMP adalah bahwa hanya pengujian produk setelah diproduksi tidak cukup tapi

kualitas harus dibangun ke setiap batch produk selama semua tahap proses

manufaktur (Therapeutic Good Administration, 2009).

Di Australia, Therapeutic Goods Act dibuat pada tahun 1989. Dengan

beberapa pengecualian, bahwa produsen barang-barang terapeutik harus

mempunyai lisensi. Suatu pelanggaran di Australia jika memproduksi barang

terapi untuk digunakan manusia tanpa izin atau sertifikasi kecuali produsen

dibebaskan dari persyaratan ini. Untuk mendapatkan lisensi untuk memproduksi

barang-barang terapeutik, produsen harus menunjukkan, selama inspeksi pabrik

tersebut harus mematuhi prinsip-prinsip manufaktur yang terkandung dalan GMP

dan Quality systems (Therapeutic Good Administration, 2009).

Industri obat - obatan dari luar negeri yang memasok obat - obatan ke

Australia juga diminta untuk memenuhi standar yang dapat diterima GMP yang

setara dengan produsen di Australia. Produsen luar negeri diwajibkan memberikan

bukti ini kepada TGA. Jika bukti dokumen GMP tidak dapat diterima, TGA akan

melakukan pemeriksaan dengan cara yang sama seperti yang dilakukan untuk

produsen Australia (Therapeutic Good Administration, 2009).

45

Page 46: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

GMP dan inspeksi TGA merupakan elemen kunci dari sistem regulasi

Australia untuk menjamin keamanan, kualitas dan efektivitas dari sejumlah besar

obat-obatan yang beredar di Australia. Program TGA mengenai inspeksi dan re-

inspeksi GMP Manufacturing merupakan cara terbaik untuk pemerintah Australia

sehingga dapat memastikan bahwa barang-barang terapi diproduksi dengan

standar internasional tertinggi (Therapeutic Good Administration, 2009).

Inspeksi melibatkan pemeriksaan rinci operasi keseluruhan dan prosedur

masing-masing pabrik. Ini termasuk: tinjauan rinci semua manufaktur. Adapun

langkah-langkah inspeksi antara lain penilaian peralatan dan fasilitas yang

digunakan untuk memproduksi barang terapeutik, penilaian pembersihan dan

proses sanitasi, ulasan batch manufaktur catatan, dan penilaian dari pengujian

kontrol kualitas jadi atau produk akhir (Therapeutic Good Administration, 2009).

TGA inspektur dapat mengumpulkan sampel produk selama pemeriksaan

untuk pengujian oleh TGA. Pemeriksaan diakhiri dengan wawancara pada

produsen dilengkapi dengan ringkasan temuan audit. Ringkasan yang ditulis ini

dikonfirmasi di kemudian hari pada laporan pemeriksaan Pabrikan (Therapeutic

Good Administration, 2009).

Jika perusahaan tidak mematuhi Kode GMP, berpotensi menempatkan

konsumen pada risiko, inspektur TGA memiliki wewenang untuk memaksakan

kondisi tambahan pada lisensi atau membatasi lisensi jika ada kemungkinan atau

bukti produk sub-standar dan / atau tidak aman untuk diproduksi. Dalam kasus

ekstrim, inspektur dapat mengeluarkan instruksi agar produksi dihentikan atau

bahkan mencabut lisensi manufaktur (Therapeutic Good Administration, 2009).

Pada tanggal 29 juli 2009, Therapeutic Goods (Manufacturing Principle)

Determination No. 1 of 2009 mengadopsi panduan The Pharmaceutical

Inspection Convention and Pharmaceutical Inspection Co-operation Scheme

(PIC/S) untuk GMP. Pada tanggal 15 januari 2009 PE-009-8 menjadi Code of

GMP, kecuali Annexes 4, 5 dan 14 yang tidak diadopsi oleh Australia. Kode ini

untuk menggantikan Australian Code of Good Manufacturing Practice untuk

produk obat (16 Agustus 2002) dan untuk produk tabir surya (1994). The 2009

Code terdiri dari dua bagian yaitu :

46

Page 47: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

a. Bagian I berlaku untuk pembuatan produk obat jadi

b. Bagian II berlaku untuk pembuatan Active Pharmaceutical Ingredients

(APIs).

Berikut merupakan 15 lampiran yang diadopsi yaitu Annex 1.

Manufacture of sterile medicinal products, Annex 2. Manufacture of biological

medicinal products for human use, Annex 3. Manufacture of

radiopharmaceuticals, Annex 6. Manufacture of medicinal gases, Annex 7.

Manufacture of herbal medicinal products, Annex 8. Sampling of starting and

packaging materials, Annex 9. Manufacture of liquids, creams and ointments,

Annex 10. Manufacture of pressurised metered dose aerosol preparations for

inhalation,Annex 11. Computerised systems, Annex 12. Use of ionising radiation

in the manufacture of medicinal products, Annex 13. Manufacture of

investigational medicinal products, Annex 15. Qualification and validation, Annex

17. Parametric release, Annex 19. Reference and retention samples,Annex 20.

Quality risk management.

Cina

Cina diperkirakan akan menjadi pasar industri farmasi terbesar kedua pada

tahun 2020. Sebagian besar produk API (active pharmaceutical ingredients) di

ekspor ke Amerika dan Eropa. Oleh karena itu, kualitas dan mutu sediaan farmasi

dan material bahan baku obat diperiksa secara teliti dibawah pengawasan FDA di

Amerika Serikat

Regulasi Good Manufacturing Practice (GMP) di negara Cina pertama kali

dipublikasikan pada tahun 1988 oleh China’s State Food and Drug

Administration (SFDA). Setelah itu GMP tersebut mengalami revisi 2 kali pada

tahun 1992 dan tahun 1999. Selanjutnya pada tahun 2010, SFDA mengeluarkan

GMP terbaru berisi persyaratan yang lebih rinci mengenai aspek-aspek kunci dari

proses manufaktur obat. GMP 2010 ini banyak mengadopsi peraturan EU GMP

yang relevan dengan ICH dan WHO Guide to Good Manufacturing Practice

(GMP) Requirements (ECA Foundation, 2011).

Sejak saat itu, pedoman untuk produk yang diproduksi telah

dikembangkan antara lain :

47

Page 48: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

1. Produk biologi dan darah (31 Desember 1999)

2. Serbuk Injeksi dan Infus (31 Desember 2000)

3. Injeksi (31 esember 2002)

4. Semua Produk (30 Juni 2004)

Pada tanggal 1 Oktober 2005 peraturan pengujian GMP menetapkan

bahwa SFDA bertanggung jawab untuk menentukan standar pengujian GMP,

revisi, dan investigator database; pemeriksaan injeksi, produk biologi, dan produk

radioaktif; dan memeriksa produk impor agar memenuhi standar GMP dan

mendapat pengakuan internasional. Departemen Administrasi Obat hanya

bertugas untuk melakukan pemeriksaan GMP lokal untuk produk selain injeksi,

produk biologi, dan produk radioaktif (Liang, 2006).

Pada tahun 2010, SFDA kembali lagi mempublikasikan peraturan GMP

yang terbaru. Pembaharuan ini berisi persyaratan terperinci dari berbagai aspek

kunci pada proses manufaktur obat-obatan. Panduan EU-GMP yang relevan

dengan persyaratan ICH dan WHO GMP banyak diadopsi oleh GMP Cina 2010.

Struktural GMP Cina (2010 Revision):

General Provisions

Quality Management

Organization and Personnel

Premises and Facilities

Equipment

Materials and Products

Qualification and Validation

Documentation Management

Production Management

Quality Control and Quality Assurance

Contract Manufacture and Analysis

Product Distribution and Recalls

Self Inspections

Supplementary Provisions (The Westin, 2011)

48

Page 49: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

Permohonan sertifikat GMP harus menyertakan dokumen-dokumen seperti

formulir pengaplikasian GMP, lisensi produk, hasil pemeriksaan produksi dan

manajemen, struktur organisasi, riwayat hidup pemimpin perusahaan, semua

bentuk dan daftar obat yang diproduksi, sertifikat obat dan standar produksi obat,

tata letak dan deskripsi lingkungan perusahaan, deskripsi pelatihan produksi dan

sistem pembersihan udara, bagan proses pengaplikasian GMP, validasi proses,

peralatan, sistem air, verifikasi instrumen dan aparatur, daftar dokumen

manajemen manufaktur dan manajemen mutu, keselamatan pekerja, sertifikat

lingkungan (Liang, 2006).

Tahun 2011, SFDA mengeluarkan lampiran pedoman penerapan GMP

untuk 5 kategori produk: obat steril, bahan obat aktif (API), produk biologi,

produk darah, dan pengobatan tradisional Cina (Traditional Chinese Medicine,

TCM). Versi terbaru dari GMP China terdiri dari 14 bab dan 313 artikel (ECA

Foundation, 2011).

Singapura

Regulasi Good Manufacturing Practice dilakukan oleh sebuah unit khusus

yang dibentuk pada bulan April 1997 oleh Administrasi Farmasi Nasional

(National Pharmaceutical Administration, NPA) dari Departemen Kesehatan

untuk memusatkan pemeriksaan produsen produk obat dan kosmetik. Selain itu

terdapat pula unit khusus lain yang disebut Pharmaceutical manufacturing yang

secara aktif membantu produsen lokal untuk meningkatkan operasi mereka, untuk

mencapai standar GMP internasional (Singapore HSA, 2015).

Ruang lingkup kerja diperluas dengan menyertakan lisensi dari apotek,

dealer produk obat, termasuk toko obat tradisonal Cina. Selain itu, unit tersebut

mengatur zat psikotropika dan narkotika sesuai dengan konvensi obat

internasional, dan pemberian sertifikat produk farmasi dengan menggunakan

skema sertifikasi WHO untuk produk farmasi yang beredar di perdagangan

internasional (Singapore HSA, 2015).

Pada bulan April 2001, Unit GMP and Licensing unit telah ditingkatkan

menjadi Divisi Manufaktur dan Kualitas Audit (MQA) dan kemudian pada bulan

Agustus 2008, Divisi MQA telah diperluas dengan GMP Audit Branch,

49

Page 50: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

Certification Unit dan Good Distribution Practice Audit Unit. GMP Audit Branch

selanjutnya dibagi menjadi Pharmaceuticals Audit Unit, Biologics & Cell and

Tissue Therapy Audit Unit, Natural Health Products Audit Unit dan Overseas

Audit Unit (Singapore HSA, 2015).

Pada tahun 2010, MQA telah diganti sebagai Audit & Licensing Division

(ALD) dan terdiri dari Audit Branch (AB) dan Licensing & Certification Branch

(LCB). AB terdiri dari GMP Unit, GDP Unit and Overseas Audit Unit (Singapore

HSA, 2015).

Fungsi utama dari ALD ini adalah untuk mengaudit dan melisensi

produsen farmasi dan importir/dealer grosir produk kesehatan sesuai dengan

standar Good Manufacturing Practice (GMP) internasional dan relevan dengan

standar Good Distribution Practice (GDP). Tujuan dari kegiatan audit dan lisensi

adalah untuk memastikan hasil produksi obat-obatan berkualitas baik dan menjaga

kualitas produk tersebut sejak dari produsen, distributor, hingga sampai ke tangan

konsumen (Singapore HSA, 2015).

Jenis lisensi dan sertifikat yang dikeluarkan dibawah divisi Audit &

Licensing antara lain :

a. Lisensi Industri Farmasi

b. Lisensi Wholesaler Dealer

c. Lisensi Impor

d. Controlled Drug Licences – Import, Export, Wholesale, Manufacture

e. Otorisasi impor untuk obat psikotropika

f. Lisensi ekspor untuk obat psikotropika

g. Registrasi apotek (Pharmacy Licence)

h. Registrasi Produk Farmasi

i. Sertifikat GMP

j. Sertifikat GDB (Singapore HSA, 2015).

Korea

Korea menerapkan sistem GMP dimulai dari tahun 1969 atas rekomendasi

dari WHO. Kemudian pada tahun 1977 Korea membuat dan memperkenalkan

Korean Good Manudacturing Practice (KGMP). Pada tahun 1992, KGMP mulai

50

Page 51: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

diatur oleh peraturan dan semua perusahaan diwajibkan untuk menerapkan

KGMP. Kemudian pada tahun 2000 Korea membuat KGMP untuk produk

biologis (Kim, 2011).

KGMP mengalami beberapa revisi sebagai berikut :

• 2003 – 2005

Melakukan studi kelayakan sistem KGMP supaya dapat bersaing secara

internasional

• Juli 2006

Anggota komisi presiden memutuskan untuk mendorong KGMP melakukan

harmonisasi internasional

• Oktober 2006

Hasil dari harmonisasi internasional diberitahukan keseluruh industri farmasi

• 2007

Melakukan revisi penegakan peraturan untuk Industri Farmasi (Kim, 2011)

Pengaturan mengenai produksi obat di Korea Selatan di atur oleh

Pharmaceutical Affairs Law. GMP di Korea, biasa disebut dengan Korean GMP

(KGMP). Sebuah pabrik obat yang berniat untuk memproduksi produk obat untuk

dijual di Korea harus mendapat persetujuan dari the Commissioner of the Korea

Food and Drug Administration (Kim, 2011).

India

Produksi obat di India diatur oleh the Drugs and Cosmetics Rules.

Pemegang lisensi untuk memproduksi obat harus memenuhi persyaratan GMP

sebagaimana diatur dalam Schedule M. Dalam Schedule M ditetapkan persyaratan

umum dan spesifik untuk bangunan pabrik dan bahan, pabrik dan peralatan dan

area yang direkomendasikan untuk instalasi dasar untuk kategori tertentu obat.

Swiss

Di negara-negara Eropa, contohnya Swiss, ada sudut pandang berbeda

dalam hal registrasi produk farmasetika seperti yang disusun European Medicines

Agency (EMA): Produksi tersentralisasi dan prosedur terdesentralisasi. Prosedur

tersentralisasi untuk persetujuan obat-obat, dikoordinasikan oleh EMA, sebagai

mandat untuk produk bioteknologi dan produk teknologi tinggi lainnya, dan zat

51

Page 52: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

aktif baru, obat HIV/AIDS, kanker, dan diabetes serta kerusakan saraf tidak

diatur dalam GMP nya. Sementara prosedur desentralisasi diperoleh dari melihat

persetujuan pasar terhadap marketing produk industri farmasi.

Berikut merupakan lampiran-lampiran yang merupakan pedoman GMP di

Swiss berdasarkan PIC/S Secretariat, 2009.:

- Lampiran 1 : Manufaktur produk obat steril

- Lampiran 2 : Manufaktur produk obat biologis untuk manusia

- Lampiran 3 : Manufaktur radiofarmaka

- Lampiran 4 : Manufaktur produk obat hewan selain immunologi

- Lampiran 5 : Manufaktur obat imunologi hewan

- Lampiran 6 : Manufaktur gas medisinal

- Lampiran 7 : Manufaktur produk obat herbal

- Lampiran 8 : Sampling bahan awal dan kemasan

- Lampiran 9 : Manufaktur liquid, krim, dan ointment

- Lampiran 10 : Manufaktur sediaan aerosol bertekanan dengan dosis terukur

untuk inhalasi

- Lampiran 11 : Sistem komputerisasi

- Lampiran 12 : Penggunaan radiasi pada manufaktur produk obat

- Lampiran 13 : Manufaktur produk obat investigasional

- Lampiran 14 : Manufaktur produk yang berasal dari darah manusia atau

plasma manusia

- Lampiran 15 : Kualifikasi dan validasi

- Lampiran 16 : [Qualified person and batch release]

- Lampiran 17 : Pelepasan parametik

- Lampiran 18 : [GMP Guide for active pharmaceutical ingredients]

- Lampiran 19 : Referensi dan penyimpanan sampel

- Lampiran 20 : Manajemen risiko mutu

52

Page 53: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

2.5. Peraturan Perundangan yang Terkait

Salah satu peraturan utama yang melandasi industri farmasi di Indonesia

adalah Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi. Berdasarkan peraturan

tersebut, industri farmasi didefinisikan sebagai badan usaha yang memiliki izin

dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan

obat. Pembuatan obat adalah seluruh tahapan kegiatan dalam menghasilkan obat

yang meliputi pengadaan bahan awal dan bahan pengemas, produksi,

pengemasan, pengawasan mutu, dan pemastian mutu sampai diperoleh obat untuk

didistribusikan. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi

yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau

keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan,

pemulihan, peningkatan kesehatan, dan kontrasepsi untuk manusia. Sedangkan

bahan obat adalah bahan baik yang berkhasiat maupun tidak berkhasiat yang

digunakan dalam pengolahan obat dengan standar mutu sebagai bahan baku

farmasi. Permenkes RI Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 mengalami beberapa

perubahan dan tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 16 Tahun 2013. Perubahan terjadi pada pasal 30 dan terdapat penambahan

untuk pasal 30A mengenai izin industri farmasi dan permohonan pembaharuan

izin industri farmasi.

Beberapa peraturan mengenai industri farmasi adalah sebagai berikut:

a. Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan

Kefarmasian.

b. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang

Industri Farmasi.

c. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1010/Menkes/Per/XI/2008 tentang

Registrasi Obat.

d. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia

Nomor HK.03.1.23.12.11.10690 Tahun 2011 tentang Penerapan

Farmakovigilans Bagi Industri Farmasi.

53

Page 54: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

e. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia

nomor hk.04.1.33.12.11.09937 tahun 2011 tentang Tata Cara Sertifikasi Cara

Pembuatan Obat yang Baik.

f. Peraturan lainnya.

Selain peraturan yang telah disebutkan, terdapat beberapa peraturan

lainnya terkait dengan industri obat tradisional dan kosmetik di Indonesia.

Peraturan tersebut berkaitan dengan penjaminan keamanan kosmetika dan obat

tradisional, sehingga dibentuk pedoman berisikan penerapan cara produksi yang

baik dalam seluruh aspek dan rangkaian kegiatan produksi. Pedoman tersebut

adalah Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) dan Cara

Pembuatan Kosmetika yang Baik (CPKB). Beberapa peraturan terkait dengan

CPOTB dan industri obat tradisional adalah:

a. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia

Nomor HK.00.05.4.1380 Tahun 2005 tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat

Tradisional yang Baik (CPOTB).

b. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia

Nomor HK.03.1.23.06.11.5629 Tahun 2011 tentang Persyaratan Teknis Cara

Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB).

c. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:

246/MenKes/Per/V/1990 mengatur tentang Industri Kecil Obat Tradisional

Industri Obat Tradisional (Iot), (Ikot), Usaha Jamu Racikan (Ujar), Usaha

Jamu Gendong (Ujagen).

d. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 007 Tahun 2012

Tentang Registrasi Obat Tradisional.

e. Peraturan lainnya.

Sedangkan beberapa peraturan yang terkait dengan CPKB adalah:

a. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia

Nomor: HK.00.05.4.3870 tentang Pedoman Cara Pembuatan Kosmetik yang

Baik.

54

Page 55: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

b. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :

965/MENKES/SK/XI/1992 tentang Cara Produksi Kosmetika yang Baik

(CPKB).

c. Keputusan Kepala BPOM RI No: HK.03.42.06.10.4556 tentang Petunjuk

Operasional Pedoman Cara Pembuatan Kosmetik Yang Baik.

d. Peraturan lainnya

2.5.1 Peraturan Terkait Industri Farmasi

1. Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan kefarmasian

Peraturan ini menjelaskan tentang pekerjaan kefarmasian, dimana pekerjaan

kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,

pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat,

pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat,

serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Pekerjaan kefarmasian

dilakukan oleh tenaga kefarmasian yang terdiri atas apoteker dan tenaga teknis

kefarmasian.

Pasal-pasal pada peraturan ini yang berkaitan dengan industri farmasi yaitu:

a. Pasal 8 menjelaskan bahwa fasilitas Produksi Sediaan Farmasi dapat berupa

industri farmasi obat, industri bahan baku obat, industri obat tradisional, dan

pabrik kosmetika.

b. Pasal 9 ayat 1 dan 2, yang menjelaskan:

(1) Industri farmasi harus memiliki 3 (tiga) orang Apoteker sebagai

penanggung jawab masing-masing pada bidang pemastian mutu, produksi,

dan pengawasan mutu setiap produksi Sediaan Farmasi.

(2) Industri obat tradisional dan pabrik kosmetika harus memiliki sekurang-

kurangnya 1 (satu) orang Apoteker sebagai penanggung jawab.

c. Pasal 34 ayat 1, yang menjelaskan:

(1) Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi berupa industri farmasi obat, industri

bahan baku obat, industri obat tradisional, pabrik kosmetika dan pabrik

lain yang memerlukan Tenaga Kefarmasian untuk menjalankan tugas dan

fungsi produksi dan pengawasan mutu.

55

Page 56: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

2. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi

Peraturan ini menjelaskan tentang seluruh hal-hal yang berkaitan dengan

industri farmasi. Pasal 2 peraturan ini menjelaskan bahwa proses pembuatan obat

dan/atau bahan obat hanya dapat dilakukan di industri farmasi. Selain industri

farmasi, instalasi farmasi rumah sakit juga dapat melakukan pembuatan obat

sesuai dengan kebutuhan rumah sakit yang bersangkutan. Industri farmasi

mempunyai fungsi pembuatan obat dan/atau bahan obat, pendidikan dan

pelatihan, serta peneitian dan pengembangan. Setiap industri farmasi wajib

memperoleh izin farmasi dari Direktur Jendral. Sedangkan untuk obat golongan

narkotika, industri farmasi wajib mendapatkan izin khusus untuk memproduksi

narkotika sesuai perundang-undangan yang berlaku.

Persyaratan untuk memperoleh izin industri farmasi dijelaskan pada pasal

5 ayat 1 dan 2, yaitu:

a. berbadan usaha berupa perseroan terbatas;

b. memiliki rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat;

c. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;

d. memiliki secara tetap paling sedikit 3 orang apoteker WNI masing-masing

sebagai penanggung jawab pemastian mutu, produksi, dan pengawasan mutu;

e. komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik langsung atau tidak langsung

dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang kefarmasian.

Hal ini berlaku kecuali untuk industri farmasi milik TNI dan Kepolisian Negara

Republik Indonesia untuk poin a dan b.

Industri farmasi wajib memenuhi persyaratan CPOB dan dibuktikan oleh

sertifikat CPOB, dimana sertifikat CPOB tersebut berlaku selama 5 tahun

sepanjang memenuhi persyaratan. Selain itu industri farmasi juga wajib

melakukan farmakovigilans. Apabila dalam pelaksanaan farmakovigilans tersebut

industri farmasi menemukan obat dan/atau bahan obat hasil produksinya yang

tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, dan

mutu, industri farmasi wajib melaporkan hal tersebut kepada Kepala Badan.

Pengajuan industri farmasi diawali oleh pengajuan permohonan

persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP) kepada Kepala Badan. Kemudian

56

Page 57: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

dilanjutkan dengan permohonan persetujuan prinsip diajukan kepada Direktur

Jendral dengan tembusan kepada Kepala Badan dan kepala dinas kesehatan

provinsi, seperti yang tercantum pada pasal 11. Pada pasal 12, pemohon izin

industri farmasi kemudian dapat melakukan pembangunan fisik dan dapat

menyampaikan surat permohonan impor mesin-mesin dan peralatan lainnya

termasuk pengendalian pencemaran selama persetujuan prinsip berlaku, yaitu

selama 3 tahun. Bila belum selesai, persetujuan prinsip dapat diperpanjang

maksimal hingga 1 tahun. Persetujuan prinsip batal bila selama 3 tahun ditambah

dengan perpanjangan waktu 1 tahun, pembangunan fisik tidak dapat diselesaikan.

Selanjutnya berdasarkan pasal 13, bila telah selesai melakukan persetujuan

prinsip, dilanjutkan dengan pengajuan permohonan izin industri farmasi yang

diajukan kepada Direktur Jendral. Kepala badan kemudian akan melakukan audit

pemenuhan persyaratan CPOB. Setelah dinyatakan memenuhi persyaratan CPOB

dan kelengkapan persyaratan administratif, Direktur Jendral akan menerbitkan

izin industri farmasi. Izin industri farmasi akan tetap berlaku seterusnya selama

industri faramsi yang bersangkutan masih berproduksi dan memenuhi peraturan

perundang-undangan.

Industri farmasi yang menghasilkan obat dapat mendistribusikan atau

menyalurkan hasil produksinya langsung kepada pedagang besar farmasi, apotek,

instalansi farmasi rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, klinik, dan toko obat

seusai dengan peaturan perundang-undangan. Industri faramsi wajib

menyampaikan laporan industri secara berkala mengenai kegiatan usahanya dan

disampaikan kepada Direktur Jendral dengan tembusan kepada Kepala Badan.

Pengawasan terhadap industri farmasi dilakukan oleh Kepala Badan.

Pelanggaran terhadap ketentuan dalam peraturan ini dapat dikenakan sanksi

administratif sesuai pada pasal 26, berupa:

a. peringatan secara tertulis;

b. larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah untuk

penarikan kembali obat dan atau bahan obat dari peredaran bagi obat dan atau

bahan obat yang tidak memenuhi standar dan persyaratan keamanan,

khasiat/kemanfaatan, dan mutu;

57

Page 58: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

c. perintah pemusnahan obat dan atau bahan obat jika terbukti tidak memenuhi

persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu;

d. perintah penghentian sementara kegiatan;

e. pembekuan izin industri farmasi;

f. pencabutan izin industri farmasi.

Poin a sampai d diberikan oleh Kepala Badan. Sedangkan poin e dan f diberikan

oleh Direktur Jendral atas rekomendasi Kepala Badan.

3. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1010/Menkes/Per/XI/2008 tentang Registrasi Obat

Setiap industri farmasi yang menghasilkan obat harus melakukan registrasi

obat, seperti yang diatur dalam peraturan ini. Setiap industri farmasi yang

melakukan registrasi obat wajib memenuhi persyaratan CPOB dan dibuktikan

oleh sertifikat CPOB yang dikeluarkan oleh Kepala Badan. Registrasi adalah

prosedur pendaftaran dan evaluasi obat untuk mendapatkan izin edar. Registrasi

obat yang boleh dilakukan oleh industri farmasi adalah obat produksi dalam

negeri, obat narkotika yang hanya boleh dilakukan oleh industri farmasi dengan

izin khusus, obat produksi impor dimana industri farmasi dalam negeri harus

mendapat persetujuan tertulis terlebih dahulu dari industri farmasi di luar negeri,

obat khusus ekspor, dan obat dengan zat berkhasiat yang dilindungi paten yang

boleh dilakukan oleh industri farmasi pemegang hak paten atau industri farmasi

lain yang ditunjuk oleh pemegang hak paten. Pada pasal 4 dijelaskan bahwa obat

yang memiliki izin edar harus memiliki kriteria sebagai berikut:

a. khasiat yang meyakinkan dan keamanan yang memadai dibuktikan melalui

percobaan hewan dan uji klinis atau bukti-bukti lain sesuai dengan

statusperkembangan ilmu pengetahuan yang bersangkutan;

b. mutu yang memenuhi syarat yang dinilai dari proses produksi sesuai CPOB,

spesifikasi dan metoda pengujian terhadapsemua bahan yang digunakan serta

produk jadi dengan bukti yang sahih;

c. penandaan berisi informasi yang lengkap dan obyektif yang dapat menjamin

penggunaan obat secara tepat, rasional dan aman;

d. sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat;

58

Page 59: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

e. kriteria lain adalah khusus untuk psikotropika harus memiliki keunggulan

kemanfaatan dan keamanan dibandingkan dengan obat standar dan obat

yangtelah disetujui beredar di Indonesia untuk indikasi yang diklaim;

f. khusus kontrasepsi untuk program nasional dan obat program lainnya yang

akan ditentukan kemudian, harus dilakukan uji klinik di Indonesia.

Pada Bab IV dijelaskan mengenai tata cara memperoleh izin edar, dengan

alur:

a. registrasi diajukan kepada Kepala Badan;

b. dilakukan evaluasi terhadap dokumen registrasi oleh Komite Nasional Penilai

Obat, Panitia Penilai Khasiat-Keamanan, dan Panitia Penilai Mutu,

Teknologi, Penandaan, dan Kerasionalan Obat;

c. pemberian persetujuan atau penolakan izin edar.

Bila registrasi ditolak, pendaftar dapat melakukan peninjauan kembali.

Izin edar berlaku selama 5 tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi

ketentuan yang berlaku.

Obat yang telah diberikan izin edar dapat dilakukan evaluasi kembali.

Industri farmasi/pendaftar wajib menarik obat yang yang dilakukan evaluasi

kembali dari pasaran. Berdasarkan pasal 22, evaluasi kembali obat yang sudah

beredar dilakukan terhadap:

a. obat dengan risiko efek samping lebih besar dibandingkan dengan

efektifitasnya yang terungkap sesudah obat dipasarkan;

b. obat dengan efektifitas tidak lebih baik dari plasebo;

c. obat yang tidak memenuhi persyaratan ketersediaan hayati/bioekivalensi.

4. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.12.11.10690 Tahun 2011 tentang Penerapan Farmakovigilans Bagi Industri Farmasi.

Setiap industri farmasi harus melakukan farmakovigilans. Berdasarkan

peraturan ini, farmakovigilans adalah seluruh kegiatan tentang pendeteksian,

penilaian (assessment), pemahaman, dan pencegahan efek samping atau masalah

lainnya terkait dengan penggunaan obat. Farmakovigilans dilakukan dengan

pelaporan dan pemantauan mengenai:

59

Page 60: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

a. aspek keamanan obat dalam rangka deteksi, penilaian, pemahaman, dan

pencegahan efek samping atau masalah lain terkait dengan penggunaan;

b. perubahan profil manfaat-risiko obat;

c. aspek mutu yang berpengaruh terhadap keamanan obat.

Apabila dalam melakukan farmakovigilans, industri farmasi menemukan

obat dan/atau bahan obat hasil produksinya yang tidak memenuhi standar dan/atau

persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, dan mutu, industri farmasi wajib

melakukan pelaporan hal tersebut kepada Kepala Badan. Kriteria kejadian yang

dilakukan pelaporan spontan meliputi kejadian medis yang menyebabkan:

a. kematian;

b. keadaan yang mengancam jiwa;

c. pasien memerlukan perawatan rumah sakit;

d. perpanjangan waktu perawatan rumah sakit;

e. cacat tetap;

f. kelainan kongenital; dan/atau

g. kejadian medis penting lainnya.

Industri farmasi yang tidak melaksanakan farmakovigilans dikenai sanksi

administratif berupa:

a. peringatan secara tertulis;

b. larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk

penarikan kembali obat atau bahan obat dari peredaran bagi obat atau bahan

obat yang tidak memenuhi standar dan persyaratan keamanan,

khasiat/kemanfaatan, atau mutu;

c. perintah pemusnahan obat atau bahan obat, jika terbukti tidak memenuhi

persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu; dan/atau

d. penghentian sementara kegiatan.

5. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia nomor HK.04.1.33.12.11.09937 tahun 2011 tentang Tata Cara Sertifikasi Cara Pembuatan Obat yang Baik.

60

Page 61: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

Pada peraturan Badan POM tahun 2011 tentang Tata Cara Sertifikasi Cara

Pembuatan Obat Yang Baik yang meliputi Ketentuan Umum, Sertifikasi, Tata

Cara Memperoleh Sertifikat, Perubahan Bermakna Pada Fasilitas Yang Telah

Mendapatkan Sertifikat, Ketentua Peralihan dan Ketentuan Penetup.

Pada bab 2 tentang Sertifikasi pada pasal 2, menjelsakan Industri Farmasi

yang membuat obat, wajib memenuhi persyaratan pada pedoman cpob yang

berlaku dan pasal 5 menerangkan bahwa sertifikat CPOB diberikan untuk setiap

unit bangunan sesuai dengan bentuk sediaan dan proses pembuatan yang

dilakukan untuk semua tahapan atau sebagian tahapan.

Pada bab III bagian I pasal 7 dan 8, menjelaskan sertifikat diterbitkan

berdasasrkan permohonan tertulis dan dikenakan biaya sesuai ketentuan Peraturan

Pemerintah tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak

(PNBP) yang berlaku pada Badan POM dan biaya yang telah dibayar tidak dapat

ditaruk kembali.

Pada bagian II tentang Sertifikat Baru pasal 9, 11 dan 12 menerangkan

pemohon menyerahkan permohonan rancangan induk pembangunan (RIP) ke

Kepala Badan dimana dalam jangka waktu 14 hari kerja akan dievaluasi

kesesuaian persyaratan CPOB, dimana bdasarkan hasil evaluasi Kepala Badan

akan menerbitkan persetujuan RIP atau perbaikan RIP apabila belum memenuhi

persyaratan. Apabila RIP telah disetujui maka kepala badan akan memberikan

wewenang kepada Direktur dimana pemohon akan melaporkan kemajuan secara

periodik setiap 3 bulan. Setelah pembangunan selesai selanjutnya pemohon

mengajukan permohonan sertifikasi, paling lama 20 hari kerja, kepala badan akan

melakukan ispeksi dan setelah melakukan inspeksi kepala badan menyampaikan

evaluasi pemenuhan persyaratan CPOB ke pemohon dan dilakukan penerbitan

paling lama 10 hari kerja yang berdasarkan hasil evaluasi yang berisi apakah

penerbitan Sertifikat CPOB atau rekomendasi pemenuhan persyaratan cpob

(dimana sertifikat CPOB diterbitkan setelah adanya izin industri).

Pada pasal 14 menjelaskan apabila terjadi perubahan nama badan hukum,

maka harus melakukan permohonan perubahan sertifikat dimana masa berlaku

sertifikat mengikuti seftifikat sebelum pengubahan.

61

Page 62: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

Pengurusan resertifikasi dijelaskan pada pasal 15 dimana emegang

sertifikat wajib mengajukan permohonan resertifikasi dalam waktu 6 (enam)

bulan sebelum masa berlaku sertifikat berakhir yang diajukan pada Kepala Badan

dan apabila terjadi pelanggaran dalam hal tersebut, maka pemegang sertifikat akan

dikenanakn sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan.

Pada BAB IV menjelaskan tentang perubahan bermakna pada fasilitas

yang telah mendapatkan sertifikat. Pada perubahan tersebut harus mendapat izin

Kepala Badan, Perbahan tersebut meliputi Perubahan kapasitas produksi karena

perubahan ruangan, perubahan peralatan, Perubahan sistem tata udara dan/atau

sistem pengolahan air, Perubahan peralatan yang berdampak langsung pada

sterilitas produk, Perubahan vendor biologis untuk proses pembuatan produk

biologi atau Penambahan gudang. Adapun sanksi yang diberikan apabila terjadi

pelanggaran berupa sanksi administratif peringatan, peringatan keras, penghentian

sementara kegiatan, pembekuan sertifikat CPOB, pencabutan sertifikat CPOB

dan/atau rekomendasi pencabutan izin industri farmasi.

6. Peraturan Lainnya

a. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

431/Menkes/SK/III tahun 1988 tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat

yang Baik.

b. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik

Indonesia Nomor HK.00.05.3.02147 tahun 2001 tentang Pembentukan

Tim Revisi Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik.

c. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor

HK.00.05.3.02152 tahun 2002 tentang Penerapan Pedoman Cara

Pembuatan Obat yang Baik.

d. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia

Nomor HK.00.06.1.34.0387 tahun 2009 tentang Pembentukan Tim

Nasional Cara Pembuatan Obat Yang Baik (CPOB).

e. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor

02001/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan

62

Page 63: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

Pengawas Obat dan Makanan Sebagaimana Selah Diubah dengan

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor

HK.00.05 .2.4231 Tahun 2004.

f. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor

05018/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit

Pelaksanaan Teknis di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan

sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Kepala

Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.21.3546 Tahun

2009.

g. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor

HK.03.1.23.10.11.08481 Tahun 2011 tentang Kriteria dan Tata Laksana

Registrasi Obat.

2.5.2 Peraturan Terkait CPOTB dan Industri Obat Tradisional

Obat tradisional merupakan produk yang dibuat dari bahan alam yang

jenis dan sifat kandungannya sangat beragam sehingga diperlukan cara pembuatan

yang baik dan lebih memperhatikan proses produksi dan penanganan bahan baku

untuk penjaminan mutu. Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB)

meliputi seluruh aspek yang menyangkut pembuatan obat tradisional, yang

bertujuan untuk menjamin agar produk yang dihasilkan senantiasa memenuhi

persyaratan mutu yang telah ditentukan sesuai dengan tujuan penggunaannya.

1. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.00.05.4.1380 Tahun 2005 tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB)

Peraturan ini meliputi penjelasan mengenai berbagai aspek dalam CPOTB.

Aspek-aspek tersebut yaitu personalia, bangunan, peralatan, sanitasi dan higiene,

penyiapan bahan baku, pengolahan dan pengemasan, pengawasan mutu, inspeksi

diri, dokumentasi, dan pengamatan terhadap hasil pengamatan produk jadi di

peredaran.

a. Personalia. Personalia hendaknya mempunyai pengetahuan, pengalaman,

keterampilan, dan kemampuan yang sesuai dengan tugas dan fungsinya.

63

Page 64: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

Bagian produksi dan pengawasan mutu harus dipimpin oleh orang yang

berbeda dan tidak ada keterkaitan tanggung jawab satu sama lain. Kepala

bagian produksi mempunyai kewenangan dan tanggung jawab dalam

manajemen produksi yang meliputi semua pelaksanaan kegiatan, peralatan,

personalia produkisi, area produksi, dan pencatatan. Kepala bagian

pengawasan mutu mempunyai kewenangan dan tanggung jawab dalam semua

tugas pengawasan mutu meliputi penyusunan, verifikasi dan penerapan semua

prosedur pengawasan mutu.

b. Bangunan. Bangunan industri obat tradisional hendaknya berada di lokasi

terhindar dari pencemaran dan tidak mencemari lingkungan, serta memenuhi

persyaratan higiene dan sanitasi. Bangunan terdiri atas ruangan-ruangan

dimana pembuatan yang rancang bangun dan luasnya sesuai dengan bentuk,

sifat, dan jumlah produk yang dibuat, jenis dan jumlah peralatan yang

digunakan, jumlah karyawan yang bekerja, serta fungsi ruangan.

c. Peralatan. Peralatan yang digunakan harus memiliki rancang bangun

konstruksi yang tepat, ukuran yang memadai serta ditempatkan dengan tepat,

sehingga mutu bagi tiap produk terjamin secara seragam pada setiap bets,

serta untuk memudahkan pembersihan dan perawatannya. Peralatan yang

dimiliki harus disesuaikan dengan proses pembuatan dan bentuk sediaan yang

akan dibuat. Selain itu terdapat peralatan laboratorium untuk pengujian

sediaan produk. Peralatan laboratorium disesuaikan dengan jenis sediaan.

Sekurang-kurangnya peralatan laboratorium meliputi timbangan, mikroskop,

alat-alat gelas, lampu spirtus, zat atau bahan kimia dan larutan pereaksi, serta

buku-buku persyaratan seperti Farmakope Indonesia, Materia Medika

Indonesia, dan lain-lain.

d. Sanitasi dan higiene. Sanitasi dan higiene dilakukan untuk personalia,

bangunan, peralatan dan perlengkapan, bahan dan wadah, serta faktor lain

sebagai sumber pencemaran produk.

e. Penyiapan bahan baku. Setiap bahan baku harus memenuhi persyaratan

yang berlaku. Bahan baku harus diperiksa secara organoleptik dan laboratoris.

64

Page 65: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

Simplisia yang didapatkan harus dilakukan sortasi, dicuci/dibersihkan, serta

dilakukan pemeriksaan mutu sebelum digunakan.

f. Pengolahan dan pengemasan. Pertama adalah verifikasi dimana bahan,

prosedur, proses, dan tindakan harus dibuktikan dapat menghasilkan produk

yang memenuhi persyaratan. Selain itu diperiksa pencemaran pada bahan.

Dilakukan sistem penomoran kode produksi untuk dapat memastikan

diketahuinya riwayat suatu bets atau lot secara lengkap. Sebelum diolah

dilakukan penimbangan, kemudian setelah diolah dilakukan pengemasan

dimana sebelumnya dilakukan pemastian mutu. Barang yang disimpan harus

teratur dan rapi untuk mencegah resiko tercampur dan/atau terjadinya saling

mencemari satu sama lain.

g. Pengawasan mutu. Dilakukan untuk menghasilkan produk yang bermutu

mulai dari bahan awal sampai pada produk jadi. Pengawasan mutu dilakukan

terhadap bahan baku, bahan pengemas, proses pembuatan, produk antara,

produk ruahan, dan produk jadi.

h. Inspeksi diri. Tujuannya adalah untuk melakukan penilaian apakah seluruh

aspek pengolahan, pengemasan, dan pengendalian mutu selalu memenuhi

CPOTB. Dirancang untuk mengevaluasi pelaksanaan CPOTB dan untuk

menetapkan tindak lanjut.Hal yang diinspeksi adalah aspek-aspek dalam

CPOTB.

i. Dokumentasi. Meliputi spesifikasi, label/etiket, prosedur, metoda dan

instruksi, catatan dan laporan serta jenis dokumentasi lain yang diperlukan

dalam perencanaan, pelaksanaan, pengendalian serta evaluasi seluruh

rangkaian kegiatan pembuatan produk.

j. Penanganan terhadap hasil pengamatan produk jadi di peredaran.

Meliputi keluhan dan laporan mengenai kualitas, efek yang merugikan atau

masalah medis lainnya; penarikan kembali produk bila produk tidak

memenuhi persyaratan atau adanya efek yang tidak diperhitungkan yang

merugikan kesehatan.

65

Page 66: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

2. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.06.11.5629 Tahun 2011 tentang Persyaratan Teknis Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB)

Industri obat tradisional harus membuat obat tradisional sedemikian rupa

agar sesuai tujuan penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam

dokumen izin edar (registrasi) dan tidak menimbulkan risiko yang membahayakan

penggunanya karena tidak aman, mutu rendah atau tidak efektif. Untuk mencapai

tujuan mutu secara konsisten dan dapat diandalkan, diperlukan sistem pemastian

mutu yang didesain secara menyeluruh dan diterapkan secara benar serta

menginkorporasi Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) termasuk

Pengawasan Mutu dan Manajemen Risiko Mutu.

CPOTB adalah bagian dari pemastian mutu yang memastikan bahwa obat

tradisional dibuat dan dikendalikan secara konsisten untuk mencapai standar mutu

yang sesuai dengan tujuan penggunaan dan dipersyaratkan dalam izin edar dan

Spesifikasi produk. CPOTB mencakup produksi dan pengawasan mutu.

Persyaratan dasar dari CPOTB adalah:

1. Semua proses pembuatan obat tradisional dijabarkan dengan jelas, dikaji

secara sistematis berdasarkan pengalaman dan terbukti mampu secara

konsisten menghasilkan obat tradisional yang memenuhi persyaratan mutu

dan spesifikasi yang telah ditetapkan;

2. Tahap proses yang kritis dalam proses pembuatan, pengawasan dan sarana

penunjang serta perubahannya yang signifikan divalidasi;

3. Tersedia semua sarana yang diperlukan untuk CPOTB termasuk

a. Personil yang terkualifikasi dan terlatih;

b. Bangunan dan sarana dengan luas yang memadai;

c. Peralatan dan sarana penunjang yang sesuai;

d. Bahan, wadah dan label yang benar;

e. Prosedur dan instruksi yang disetujui; dan

f. Tempat penyimpanan dan transportasi yang memadai.

66

Page 67: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

4. Prosedur dan instruksi ditulis dalam bentuk instruksi dengan bahasa yang

jelas, tidak bermakna ganda, dapat diterapkan secara spesifik pada sarana

yang tersedia;

5. Operator memperoleh pelatihan untuk menjalankan prosedur secara benar;

6. Pencatatan dilakukan secara manual atau dengan alat pencatat selama

pembuatan yang menunjukkan bahwa semua langkah yang dipersyaratkan

dalam prosedur dan instruksi yang ditetapkan benar-benar dilaksanakan dan

jumlah serta mutu produk yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan.

Tiap penyimpangan dicatat secara lengkap dan diinvestigasi;

7. Catatan pembuatan termasuk distribusi yang memungkinkan penelusuran

riwayat bets secara lengkap, disimpan secara komprehensif dan dalam bentuk

yang mudah diakses;

8. Penyimpanan dan distribusi obat tradisional yang dapat memperkecil risiko

terhadap mutu obat tradisional;

9. Tersedia sistem penarikan kembali bets obat tradisional mana pun dari

peredaran; dan

10. Keluhan terhadap produk yang beredar dikaji, penyebab cacat mutu

diinvestigasi serta dilakukan tindakan perbaikan yang tepat dan pencegahan

pengulangan kembali keluhan.

Adapun aspek-aspek yang diatur dalam CPOTB antara lain:

1. Personalia

2. Bangunan, fasilitas, dan peralatan

3. sanitasi dan hygiene

4. Dokumentasi

5. Produksi

6. Pengawasan mutu

7. Pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak

8. Cara penyimpanan dan pengiriman obat tradisional yang baik

9. Penanganan keluhan terhadap produk, penarikan kembali produk dan produk

kembalian

10. Inspeksi diri

67

Page 68: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

Penerapan CPOTB merupakan persyaratan kelayakan dasar untuk

menerapkan sistem jaminan mutu yang diakui dunia internasional. Pedoman

CPOTB berlaku pula bagi industri yang memproduksi Obat Herbal Terstandar

dan Fitofarmaka.

3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonsesia Nomor 246/Menkes/Per/V/1990 tentang Industri Kecil Obat Tradisional (Ikot), Industri Obat Tradisional (Iot), Usaha Jamu Racikan (Ujar), Usaha Jamu Gendong (Ujagen)

Usaha industri obat tradisional harus memiliki izin dari menteri, kecuali

usaha jamu racikan dan usaha jamu gendong. Pendaftaran Obat Tradisional tidak

dipungut biaya pendaftaran. Usaha lndustri Obat Tradisional wajib memenuhi

persyaratan sebagai berikut:

a. dilakukan oleh Badan Hukum berbentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi;

b. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.

Usaha Industri Kecil Obat Tradisional wajib memenuhi persyaratan sebagai

berikut:

a. dilakukan oleh Perorangan warganegara Indonesia atau Badan Hukum

berbentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi;

b. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.

Usaha lndustri Obat Tradisional harus mempekerjakan secara tetap

sekurang-kurangnya seorang apoteker warganegara Indonesia sebagai

penanggung jawab teknis. lndustri Obat Tradisional dan lndustri Kecil Obat

Tradisional wajib mengikuti Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional yang

Baik (CPOTB). lzin usaha lndustri Obat Tradisional atau lndustri Kecil Obat

Tradisional berlaku untuk seterusnya selama lndustri Obat Tradisional atau

lndustri Kecil Obat Tradisional yang bersangkutan berproduksi. Izin Usaha

lndustri Obat Tradisional atau lndustri Kecil Obat Tradisional dicabut dalam hal:

a. pabrik dipindahtangankan atau lokasi pabrik dipindah, tanpa persetujuan

pemberi izin

b. tidak menyampaikan informasi industri atau dengan sengaja menyampaikan

informasi yang tidak benar 3 kali berturut-turut

68

Page 69: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

c. melanggar ketentuan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 39 atau Pasal 41

d. melanggar ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Untuk pendaftaran Obat Tradisional, obat tradisional harus memenuhi

persyaratan:

a. secara empirik terbukti aman dan bermanfaat untuk digunakan manusia;

b. bahan obat tradisional dan proses produksi yang digunakan memenuhi

persyaratan yang ditetapkan;

c. tidak mengandung bahan kimia sintetik atau hasil isolasi yang berkhasiat

sebagai obat;

d. tidak mengandung bahan yang tergolong obat keras atau narkotika.

4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 007 Tahun 2012 tentang Registrasi Obat Tradisional

Obat tradisional yang beredar di Indonesia wajib memiliki izin edar yang

diberikan oleh kepala Badan. Izin edar berlaku selama 5 tahun dan dapat

diperpanjang. Izin edar tersebut diberlakukan kecuali untuk obat tradisional yang

dibuat oleh usaha jamu racikan dan usaha jamu gendong; simplisia dan sediaan

galenik untuk keperluan industri dan keperluan layanan pengobatan tradisional;

dan obat tradisional yang digunakan untuk penelitian, sampel untuk registrasi dan

pameran dalam jumlah terbatas dan tidak diperjualbelikan. Obat tradisional

dilarang dibuat dan/atau diedarkan dalam bentuk sediaan intravaginal, tetes mata,

parenteral, dan supositoria kecuali untuk wasir.

Obat tradisional yang dapat diberikan izin edar harus memenuhi kriteria

sebagai berikut:

a. menggunakan bahan yang memenuhi persyaratan keamanan dan mutu; b.

dibuat dengan menerapkan CPOTB;

b. memenuhi persyaratan Farmakope Herbal Indonesia atau persyaratan lain

yang diakui;

c. berkhasiat yang dibuktikan secara empiris, turun temurun, dan/atau secara

ilmiah; dan

d. penandaan berisi informasi yang objektif, lengkap, dan tidak menyesatkan.

Obat tradisional dilarang mengandung:

69

Page 70: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

a. etil alkohol lebih dari 1%, kecuali dalam bentuk sediaan tingtur yang

pemakaiannya dengan pengenceran;

b. bahan kimia obat yang merupakan hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat;

c. narkotika atau psikotropika; dan/atau

d. bahan lain yang berdasarkan pertimbangan kesehatan dan/atau berdasarkan

penelitian membahayakan kesehatan.

Registrasi obat tradisional produksi dalam negeri hanya dapat dilakukan

oleh IOT, UKOT, atau UMOT yang memiliki izin sesuai ketentuan peraturan

perundang-undangan. Permohonan registrasi diajukan kepada Kepala Badan.

Ketentuan mengenai tata laksana registrasi ditetapkan dengan Peraturan Kepala

Badan. Dokumen registrasi akan dievaluasi oleh Komite Nasional Penilai Obat

Tradisional, dan Tim Penilai Keamanan, Khasiat/Manfaat, dan Mutu. Selanjutnya

Kepala Badan memberikan persetujuan berupa izin edar atau penolakan registrasi.

Kepala Badan melaporkan pemberian izin edar kepada Menteri setiap 1 tahun

sekali.

5. Peraturan Lainnya

a. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

179/Menkes/Per/VII/1976 tentang Pabrik Jamu dan Perusahaan Jamu

b. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 2013

tentang Rencana Induk Pengembangan Bahan Baku Obat Tradisional

2.5.3 Peraturan Terkait CPKB

Untuk menjamin keamanan kosmetika diperlukan penerapan cara produksi

kosmetika yang baik dalam seluruh aspek dan rangkaian kegiatan produksi, agar

kosmetika yang dihasilkan memenuhi persyaratan mutu sehingga aman, dan

bermanfaat bagi pemakaiannya, dan untuk pelaksanaan hal tersebut perlu

pedoman yang jelas bagi semua pihak yang terlibat dalam produksi kosmetika.

CPKB meliputi seluruh aspek yang menyangkut produksi dan pengendalian mutu

untuk menjamin produk jadi kosmetika yang diproduksi senantiasa memenuhi

persyaratan mutu yang ditetapkan, aman dan bermanfaat bagi pemakainya.

70

Page 71: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

1 Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor: HK.00.05.4.3870 tentang Pedoman Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik

Menurut Keputusan KBPOM Nomor HK.00.05.4.1745, kosmetik adalah

bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh

manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital bagian luar) atau gigi

dan mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah

penampilan dan atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau memelihara

tubuh pada kondisi baik. Untuk menghasilkan produk kosmetik yang memenuhi

standard mutu dan keamanan, maka diperlukan suatu pedoman cara pembuatan

kosmetika yang baik (CPKB) yang diatur dalam Keputusan KBPOM RI No:

HK.00.05.4.3870 tahun 2003. Aspek-aspek yang diatur dalam CPKB diantaranya:

1. Personalia

2. Bangunan dan fasilitas

3. Peralatan

4. Sanitasi dan hygiene

5. Produksi

6. Pengawasan mutu

7. Audit internal

8. Penyimpanan

9. Kontrak produksi dan pengujian

10. Penanganan keluhan dan penarikan produk

Adapun tujuan dari penerapan CPKB yaitu :

1. Melindungi masyarakat terhadap hal-hal yang merugikan dari penggunaan

kosmetik yang tidak memenuhi persyaratan standar mutu dan keamanan.

2. Meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk kosmetik Indonesia dalam

era pasar bebas.

3. Dipahaminya penerapan CPKB oleh para pelaku usaha industri kosmetik

sehingga bermanfaat bagi perkembangan industri kosmetik.

4. Diterapkannya CPKB secara konsisten oleh industri kosmetik

71

Page 72: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

Penerapan CPKB merupakan persyaratan kelayakan dasar untuk

menerapkan sistem jaminan mutu dan keamanan yang diakui dunia internasional.

Terlebih lagi untuk mengantisipasi pasar bebas di era globalisasi maka penerapan

CPKB merupakan nilai tambah bagi produk kosmetik Indonesia untuk bersaing

dengan produk sejenis dari Negara lain baik di pasar dalam negeri maupun

internasional.

Dalam pembuatan kosmetik, pengawasan yang menyeluruh disertai

pemantauan sangat penting untuk menjamin agar konsumen memperoleh produk

yang memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan. Mutu produk tergantung dari

bahan awal, proses produksi dan pengawasan mutu, bangunan, peralatan dan

personalia yang menangani. Hal ini berkaitan dengan seluruh aspek produksi dan

pemeriksaan mutu.

2 Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 965/MENKES/SK/XI/1992 tentang Cara Produksi Kosmetika yang Baik (CPKB)

Cara Produksi Kosmetika yang Baik meliputi seluruh aspek yang

menyangkut produksi dan pengendalian mutu untuk menjamin produk jadi

kosmetika yang diproduksi senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang

ditetapkan, aman dan bermanfaat bagi pemakainya. Dimana produksi adalah

seluruh rangkaian kegiatan yang meliputi penerimaan dan penyiapan bahan baku

serta bahan pengemas, pengolahan, pengemasan dan pengendalian mutu sehingga

diperoleh produk jadi yang siap didistribusikan. Aspek produksi kosmetika yang

baik meliputi tenaga kerja, bangunan, peralatan, sanitasi dan higiene, pengolahan

dan pengemasan, pengawasan mutu, inspeksi diri, dokumentasi, dan penanganan

terhadap hasil pengamatan produk di peredaran.

Pada aspek tenaga kerja berisikan persyaratan umum tenaga kerja,

persyaratan khusus untuk penganggung jawab teknis, dan pelatihan. Bangunan

untuk pembuatan kosmetika harus memenuhi persyaratan. Bangunan harus bebas

dari pencemaran dari lingkungan, konstruksi dan tata ruang memadai, lantai dan

dinding bangunan harus kedap air serta halus dan rata, dilengkapi penerangan dan

ventilasi yang sesuai, dan memiliki fasilitas sanitasi yang terencana. Perlengkapan

72

Page 73: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

dan peralatan yang digunakan harus sesuai dengan jenis produksi, tidak dapat

bereaksi dengan bahan, mudah dibersihkan dan disanitasi, tidak dapat mencemari

bahan, disimpan dalam tempat bersih, serta dirawat secara teratur agar dalam

kondisi baik dan mencegah pencemaran. Sanitasi dilakukan terhadap tenaga kerja,

bangunan, peralatan, bahan, proses produksi, pengemas dan setiap hal yang dapat

merupakan sumber pencemaran produk. Bahan baku yang digunakan harus sesuai

dengan persyaratan. Pengolahan yang dilakukan harus sesuai dengan prosedur

tertulis sehingga teratur dan mencegah pencemaran. Selain itu kondisi pada saat

pengolahan juga harus diatur untuk mencegah kerugian terhadap produk akhir

kosmetika. Seluruh kegiatan produksi harus dilakukan pengawasan mutu yang

dilakukan oleh bagian pengawasan mutu. Pengawasan mutu tidak hanya

dilakukan pada saat produksi, melainkan juga produk jadi baik yang masih ada di

lingkungan maupun di peredaran secara berkala. Inspeksi diri juga dilakukan

secara berkala untuk agar seluruh rangkaian produksi selalu memenuhi CPKB.

Instruksi yang menyangkut produksi kosmetika dilakukan secara tertulis dan jelas

dan harus menggaambarkan riwayat lengkap setiap tahap kegiatan produksi

hingga distribusi. Keluhan dan laporan masyarakat mengenai mutu, keamanan,

dan berbagai hal lain yang merugikan atau menimbulkan masalah harus dievaluasi

dan ditindaklanjuti. Bila terbukti menimbulkan efek samping yang merugikan dan

keamanannya tidak memadai lagi, harus ditarik dari peredaran dan dimusnahkan.

3 Keputusan Kepala BPOM RI No: HK.03.42.06.10.4556 tentang Petunjuk Operasional Pedoman Cara Pembuatan Kosmetik Yang Baik

Peraturan ini berisikan 13 bab yaitu pendahuluan, ketentuan umum,

personalia, bangunan dan fasilitas, peralatan, sanitasi dan higiene, produksi,

pengawasan mutu, dokumentasi, audit internal, penyimpanan, kontrak dan

produksi pengujian, dan penanganan keluhan dan penarikan produk. Selain itu

peraturan ini juga berisikan berbagai daftar lampiran yaitu lampiran prosedur

operasional baku, instruksi kerja, catatan, dan lain-lain.

Berdasarkan peraturan ini, setiap personil harus memenuhi persyaratan

kesehatan, baik fisik dan mental, serta mengenakan pakaian kerja yang bersih.

Pada bab personalia dijelaskan organisasi, klasifikasi, dan tanggung jawab dari

73

Page 74: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

personil, dan pelatihan bagi personil. Pada bab bangunan dan fasilitas dijelaskan

mengenai lokasi bangunan, penataan letak ruangan pabrik, serta fasilitas yang

harus ada. Peralatan yang digunakan dalam pembuatan kosmetik hendaklah

memiliki rancang bangun yang tepat, ukuran memadai dan sesuai dengan ukuran

bets yang dikehendaki. Peralatan tidak boleh bereaksi dengan bahan/produk,

mudah dibersihkan/disanitasi, serta diletakkan di lokasi yang tepat. Sanitasi dan

higiene bertujuan untuk menghilangkan semua sumber potensial kontaminasi dan

kontaminasi silang di semua area yang dapat beresiko pada kualitas produk.

Ruang lingkup sanitasi dan higiene meliputi personalia, bangunan, peralatan dan

perlengkapan, bahan awal, lingkungan, bahan pembersih dan sanitasi.

Pelaksanaan pembersihan dibagi menjadi 3 yaitu pembersihan rutin; pembersihan

dengan lebih teliti menggunakan bantuan bahan pembersih dan sanitasi; dan

pembersihan dalam rangka pemeliharaan. Pada bab produksi menjelaskan

mengenai keseluruhan rangkaian produksi meliputi: bahan awal; verifikasi bahan;

pencatatan bahan; bahan ditolak; sistem pemberian nomor bets; penimbangan dan

pengukuran; prsedur dan pengolahan; produk kering; produk basah; produk

aerosol; pelabelan dan pengemasan; serta produk jadi, karantina, dan pengiriman

ke gudang produk jadi. Selanjutnya adalah pengawasan mutu, dimana pengawasan

mutu merupakan semua upaya pemeriksaan dan pengujian yang dilakukan

sebelum, selama, dan setelah pembuatan kosmetik untuk menjamin agar kosmetik

memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Dokumentasi adalah suatu bukti

yang dapat dipercaya, dipergunakan sebagai tolak ukur penilaian penerapan

CPKB. Dokumentasi harus dilakukan secara teratur dan konsisten. Sistem

dokumentasi bertujuan utama yaitu untuk menentukan, memantau, dan mencatat

mutu dari seluruh aspek produksi dan pengendalian mutu.Adit internal adalah

kegiatan yang dilakukan untuk menilai seluruh aspek yang berhubungan dengan

pengendalian mutu dan produk sesuai dengan CPKB. Audit internal dilakukan

oleh tim internal perusahaan beranggotakan minimal 3 orang. Pada bagian

penyimpanan, dijelaskan mengenai area penyimpanan dan penanganan dan

pengawasan persediaan. Kontrak pengujian merupakan kerjasama untuk

74

Page 75: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

melakukan pengujian suatu produk berdasarkan kesepakatan antara pemberi

kontrak dan penerima kontrak.

4 Peraturan Lainnya

a. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor

HK.00.05.4.1745 Tahun 2003 tentang Kosmetik;

b. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor

HK.00.05.42.1018 Tahun 2008 tentang Bahan Kosmetik;

c. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor

HK.00.05.42.2995 Tahun 2008 tentang Pengawasan Pemasukan

Kosmetik;

d. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor

HK.00.05.1.42.4974 Tahun 2008 tentang Pengawasan Pemasukan Bahan

Kosmetik.

75

Page 76: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

BAB III

SIMPULAN

3.1. SimpulanIndustri farmasi yang semakin berkembang harus tetap menjaga mutu obat

yang dihasilkan agar terjaga keamanan dan khasiatnya. Oleh karena itu perlu

diterapkannya CPOB dalam setiap langkah yang dilakukan industri farmasi,

termasuk memenuhi persyaratan bangunan dan fasilitas.

Beberapa perauran perundang-undangan mengenai industri farmasi adalah

Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian,

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang

Industri Farmasi, Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

1010/Menkes/Per/XI/2008 tentang Registrasi Obat, Peraturan Kepala Badan

Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor

HK.03.1.23.12.11.10690 Tahun 2011 tentang Penerapan Farmakovigilans Bagi

Industri Farmasi.

76

Page 77: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

DAFTAR PUSTAKA

BPOM RI. 2001. Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik 2001. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.

BPOM RI. 2006. Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik 2006. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.

BPOM RI. 2012. Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik 2012. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.

BPOM RI. 2013. Petunjuk Operasional Penerapan Pedoman CPOB 2012 Jilid I. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.

Brhlikova P., et. al. 2007. Good Manufacturing Practice In the Pharmaceutical Industry. Scotland: University of Edinburgh.

cGMP form Learning Plus, Inc./Abs. Available online at http://www.ptphapros.co.id/ article.php?m= Health&aid=41&lg=in (Diakses tanggal 04 September 2015).

Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. 2011. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

ECA Foundation. 2011. GMP News. Available online at http://www.gmp-compliance.org/eca_news_2490_6804,6863,6888,6850.html [diakses pada tanggal 3 September 2015].

European Medicines Agency. 2015. Co-ordination of Good-Manufacturing-Practice Inspections. Available online at http://www.ema.europa.eu/ema/index.jsp?curl=pages/ regulation/document_listing/document_listing_000171.jsp [diakses pada tanggal 1 September 2015].

Health Canada. 2013. Good Manufacturing Practices (GMP) Guidelines for Active Pharmaceutical Ingredients (APIs). Available online at http://www.hc-sc.gc.ca/dhp-mps/alt_formats/pdf/compli-conform/info-prod/drugs-drogues/actingre-gui-0104-eng.pdf [diakses pada tanggal 1 September 2015].

Japan Pharmaceutical Manufacturers Association. 2015. Pharmaceutical Administration and Regulations in Japan. Tersedia di http://www.jpma.or.jp/english/parj/whole.html (diakses pada tanggal 2 September 2015).

77

Page 78: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

Karmacharya. Jaya Bir. 2012. Good Manufacturing Practices for Medicinal Products. Available online at http://cdn.intechopen.com/pdfs-wm/37170.pdf [diakses pada tanggal 1 September 2015].

Kim, Dong Sup. 2011. Current KGMP and Perspective. Seoul : KFDA.

Kurusu, Katsunori. 2012. Pharmaceutical Administration and Regulation in Japan. Available online at http://www.jpma.or.jp/english/parj/pdf/2012.pdf [Diakses pada tanggal: 3 September 2015].

Learningplus Inc. 2007. How GMPs Differs. Available online at :http://www.cgmp.com/howGmpsDiffer.htm [diakses pada tanggal 3 September 2015].

Liang, Kong. 2006. Good Manufacturing Practice in China. Available online at http://www.pharmtech.com/good-manufacturing-practices-china [Diakses pada tanggal: 2 September 2015].

Melamud A, Paul. 2009. A Brief History of USFDA Good Manufacturing Practices (GMPs). ISPE NJ Chapter Day. QPharma, Inc.

Nally, Joseph D. 2006. Good Manufacturing Practices for Pharmaceuticals, Sixth Edition. Boca Raton: CRC Press.

Nippo, Y. 2004. The Japanese GMP Regulations 2003. USA: Drumbeat Dimensions, Inc.

Paper White. 2009. TGA GMP Update: New Manufacturing Principles for Medicinal Products, Version – 02. Australia: PharmOut Pty Ltd.

Perserikatan Bangsa-Bangsa. 2014. Available online at http://www.un.org/en/development/desa/policy/wesp/wesp_current/2014wesp_country_classification.pdf [diakses pada tanggal 1 September 2015].

Priyambodo, B. 2007. Manajemen Farmasi Industri. Yogyakarta: Global Pustaka Utama

Sakurai, Shingou. 2011. GMP System in Japan and Globalization Efforts. Available online at http://www.ccpie.org/news/download/zrh-8.pdf [diakses pada tanggal 1 September 2015].

Singapore Health Science Authority (HSA), 2015. Introduction Good Manufacturing Practice & Licensing of Premise. Tersedia di http://www.hsa.gov.sg/content/hsa/en/Health_Products_Regulation/Manufacturing_Importation_Distribution/Overview/Introduction_to_Good_Manufacturing_Practice_Licensing_of_Premises.html [Diakses tanggal 3 September 2015].

78

Page 79: [Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)

Swarbrick, J. Pharmaceutical Technology Third Edition Volume 1, 2007. USA: Informa Healthcare.

The Westin. 2011. Update: Food Drug Law, Regulation and Education – Enforcement, Litigation & Compliance Conference. Washington DC: Food and Drug Law Institute.

Therapeutic Goods Administration. 2009. Manufacturing principles for medicinal products. Tersedia di https://www.tga.gov.au/questions-answers-code-good-manufacturing-practice-medicinal-products [diakses pada tanggal 2 September 2015].

Therapeutic Goods Administration. 2013. Questions & answers on the code of good manufacturing practice for medicinal products. Tersedia di https://www.tga.gov.au/publication/manufacturing-principles-medicinal-products [diakses pada tanggal 2 September 2015].

Therapeutic Goods Administration. 2015. TGA Structure. Available online at https://www.tga.gov.au/tga-structure [diakses pada tanggal 10 September 2015].

Watanabe, T. 2010, Activities of GMP sub-Committee in JPMA Quality & Technology Committee, Japan: Japan Informa.

79