REGULASI DI FARMASI INDUSTRI Makalah Disusun Oleh: Kelompok 3 Terry Terrawati 260112150061 Susanti 260112150063 Nadhira Handayani 260112150073 Indah Firdayani 260112150089 Fadlia Fardhana 260112150108 Dike Novalia A 260112150134 PROGRAM PROFESI APOTEKER
119
Embed
[Rangkuman] Regulasi Di Farmasi Industri (Kelompok 3)
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
REGULASI DI FARMASI INDUSTRI
Makalah
Disusun Oleh:
Kelompok 3
Terry Terrawati 260112150061
Susanti 260112150063
Nadhira Handayani 260112150073
Indah Firdayani 260112150089
Fadlia Fardhana 260112150108
Dike Novalia A 260112150134
PROGRAM PROFESI APOTEKER
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadurat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas
mata kuliah Farnasi Industri, Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran. Kami
juga berterimakasih pada Ibu Anis Yohana Ch., M. Si. Apt. yang telah
memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini sangat berguna dalam menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai regulasi di farmasi industri. Kami
menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh
sebab itu, kami berharap adanya kriik, saran, dan usulan demi perbaikan makalah
yang telah kami buat di masa yang akan datang, meningat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran membangun. Semoga makalah ini dapat dipahami bagi
siapapun yang membacanya.
Bandung, September 2015
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR.........................................................................................................ii
DAFTAR ISI......................................................................................................................iii
BAB I...................................................................................................................................4
- Lampiran 12 : Penggunaan radiasi pada manufaktur produk obat
- Lampiran 13 : Manufaktur produk obat investigasional
- Lampiran 14 : Manufaktur produk yang berasal dari darah manusia atau
plasma manusia
- Lampiran 15 : Kualifikasi dan validasi
- Lampiran 16 : [Qualified person and batch release]
- Lampiran 17 : Pelepasan parametik
- Lampiran 18 : [GMP Guide for active pharmaceutical ingredients]
- Lampiran 19 : Referensi dan penyimpanan sampel
- Lampiran 20 : Manajemen risiko mutu
52
2.5. Peraturan Perundangan yang Terkait
Salah satu peraturan utama yang melandasi industri farmasi di Indonesia
adalah Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi. Berdasarkan peraturan
tersebut, industri farmasi didefinisikan sebagai badan usaha yang memiliki izin
dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan
obat. Pembuatan obat adalah seluruh tahapan kegiatan dalam menghasilkan obat
yang meliputi pengadaan bahan awal dan bahan pengemas, produksi,
pengemasan, pengawasan mutu, dan pemastian mutu sampai diperoleh obat untuk
didistribusikan. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi
yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau
keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan,
pemulihan, peningkatan kesehatan, dan kontrasepsi untuk manusia. Sedangkan
bahan obat adalah bahan baik yang berkhasiat maupun tidak berkhasiat yang
digunakan dalam pengolahan obat dengan standar mutu sebagai bahan baku
farmasi. Permenkes RI Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 mengalami beberapa
perubahan dan tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 16 Tahun 2013. Perubahan terjadi pada pasal 30 dan terdapat penambahan
untuk pasal 30A mengenai izin industri farmasi dan permohonan pembaharuan
izin industri farmasi.
Beberapa peraturan mengenai industri farmasi adalah sebagai berikut:
a. Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian.
b. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang
Industri Farmasi.
c. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1010/Menkes/Per/XI/2008 tentang
Registrasi Obat.
d. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor HK.03.1.23.12.11.10690 Tahun 2011 tentang Penerapan
Farmakovigilans Bagi Industri Farmasi.
53
e. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
nomor hk.04.1.33.12.11.09937 tahun 2011 tentang Tata Cara Sertifikasi Cara
Pembuatan Obat yang Baik.
f. Peraturan lainnya.
Selain peraturan yang telah disebutkan, terdapat beberapa peraturan
lainnya terkait dengan industri obat tradisional dan kosmetik di Indonesia.
Peraturan tersebut berkaitan dengan penjaminan keamanan kosmetika dan obat
tradisional, sehingga dibentuk pedoman berisikan penerapan cara produksi yang
baik dalam seluruh aspek dan rangkaian kegiatan produksi. Pedoman tersebut
adalah Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) dan Cara
Pembuatan Kosmetika yang Baik (CPKB). Beberapa peraturan terkait dengan
CPOTB dan industri obat tradisional adalah:
a. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor HK.00.05.4.1380 Tahun 2005 tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat
Tradisional yang Baik (CPOTB).
b. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor HK.03.1.23.06.11.5629 Tahun 2011 tentang Persyaratan Teknis Cara
Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB).
c. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
246/MenKes/Per/V/1990 mengatur tentang Industri Kecil Obat Tradisional
Industri Obat Tradisional (Iot), (Ikot), Usaha Jamu Racikan (Ujar), Usaha
Jamu Gendong (Ujagen).
d. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 007 Tahun 2012
Tentang Registrasi Obat Tradisional.
e. Peraturan lainnya.
Sedangkan beberapa peraturan yang terkait dengan CPKB adalah:
a. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor: HK.00.05.4.3870 tentang Pedoman Cara Pembuatan Kosmetik yang
Baik.
54
b. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
965/MENKES/SK/XI/1992 tentang Cara Produksi Kosmetika yang Baik
(CPKB).
c. Keputusan Kepala BPOM RI No: HK.03.42.06.10.4556 tentang Petunjuk
Operasional Pedoman Cara Pembuatan Kosmetik Yang Baik.
d. Peraturan lainnya
2.5.1 Peraturan Terkait Industri Farmasi
1. Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan kefarmasian
Peraturan ini menjelaskan tentang pekerjaan kefarmasian, dimana pekerjaan
kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat,
pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat,
serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Pekerjaan kefarmasian
dilakukan oleh tenaga kefarmasian yang terdiri atas apoteker dan tenaga teknis
kefarmasian.
Pasal-pasal pada peraturan ini yang berkaitan dengan industri farmasi yaitu:
a. Pasal 8 menjelaskan bahwa fasilitas Produksi Sediaan Farmasi dapat berupa
industri farmasi obat, industri bahan baku obat, industri obat tradisional, dan
pabrik kosmetika.
b. Pasal 9 ayat 1 dan 2, yang menjelaskan:
(1) Industri farmasi harus memiliki 3 (tiga) orang Apoteker sebagai
penanggung jawab masing-masing pada bidang pemastian mutu, produksi,
dan pengawasan mutu setiap produksi Sediaan Farmasi.
(2) Industri obat tradisional dan pabrik kosmetika harus memiliki sekurang-
kurangnya 1 (satu) orang Apoteker sebagai penanggung jawab.
c. Pasal 34 ayat 1, yang menjelaskan:
(1) Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi berupa industri farmasi obat, industri
bahan baku obat, industri obat tradisional, pabrik kosmetika dan pabrik
lain yang memerlukan Tenaga Kefarmasian untuk menjalankan tugas dan
fungsi produksi dan pengawasan mutu.
55
2. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi
Peraturan ini menjelaskan tentang seluruh hal-hal yang berkaitan dengan
industri farmasi. Pasal 2 peraturan ini menjelaskan bahwa proses pembuatan obat
dan/atau bahan obat hanya dapat dilakukan di industri farmasi. Selain industri
farmasi, instalasi farmasi rumah sakit juga dapat melakukan pembuatan obat
sesuai dengan kebutuhan rumah sakit yang bersangkutan. Industri farmasi
mempunyai fungsi pembuatan obat dan/atau bahan obat, pendidikan dan
pelatihan, serta peneitian dan pengembangan. Setiap industri farmasi wajib
memperoleh izin farmasi dari Direktur Jendral. Sedangkan untuk obat golongan
narkotika, industri farmasi wajib mendapatkan izin khusus untuk memproduksi
narkotika sesuai perundang-undangan yang berlaku.
Persyaratan untuk memperoleh izin industri farmasi dijelaskan pada pasal
5 ayat 1 dan 2, yaitu:
a. berbadan usaha berupa perseroan terbatas;
b. memiliki rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat;
c. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
d. memiliki secara tetap paling sedikit 3 orang apoteker WNI masing-masing
sebagai penanggung jawab pemastian mutu, produksi, dan pengawasan mutu;
e. komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik langsung atau tidak langsung
dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang kefarmasian.
Hal ini berlaku kecuali untuk industri farmasi milik TNI dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia untuk poin a dan b.
Industri farmasi wajib memenuhi persyaratan CPOB dan dibuktikan oleh
sertifikat CPOB, dimana sertifikat CPOB tersebut berlaku selama 5 tahun
sepanjang memenuhi persyaratan. Selain itu industri farmasi juga wajib
melakukan farmakovigilans. Apabila dalam pelaksanaan farmakovigilans tersebut
industri farmasi menemukan obat dan/atau bahan obat hasil produksinya yang
tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, dan
mutu, industri farmasi wajib melaporkan hal tersebut kepada Kepala Badan.
Pengajuan industri farmasi diawali oleh pengajuan permohonan
persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP) kepada Kepala Badan. Kemudian
56
dilanjutkan dengan permohonan persetujuan prinsip diajukan kepada Direktur
Jendral dengan tembusan kepada Kepala Badan dan kepala dinas kesehatan
provinsi, seperti yang tercantum pada pasal 11. Pada pasal 12, pemohon izin
industri farmasi kemudian dapat melakukan pembangunan fisik dan dapat
menyampaikan surat permohonan impor mesin-mesin dan peralatan lainnya
termasuk pengendalian pencemaran selama persetujuan prinsip berlaku, yaitu
selama 3 tahun. Bila belum selesai, persetujuan prinsip dapat diperpanjang
maksimal hingga 1 tahun. Persetujuan prinsip batal bila selama 3 tahun ditambah
dengan perpanjangan waktu 1 tahun, pembangunan fisik tidak dapat diselesaikan.
Selanjutnya berdasarkan pasal 13, bila telah selesai melakukan persetujuan
prinsip, dilanjutkan dengan pengajuan permohonan izin industri farmasi yang
diajukan kepada Direktur Jendral. Kepala badan kemudian akan melakukan audit
pemenuhan persyaratan CPOB. Setelah dinyatakan memenuhi persyaratan CPOB
dan kelengkapan persyaratan administratif, Direktur Jendral akan menerbitkan
izin industri farmasi. Izin industri farmasi akan tetap berlaku seterusnya selama
industri faramsi yang bersangkutan masih berproduksi dan memenuhi peraturan
perundang-undangan.
Industri farmasi yang menghasilkan obat dapat mendistribusikan atau
menyalurkan hasil produksinya langsung kepada pedagang besar farmasi, apotek,
instalansi farmasi rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, klinik, dan toko obat
seusai dengan peaturan perundang-undangan. Industri faramsi wajib
menyampaikan laporan industri secara berkala mengenai kegiatan usahanya dan
disampaikan kepada Direktur Jendral dengan tembusan kepada Kepala Badan.
Pengawasan terhadap industri farmasi dilakukan oleh Kepala Badan.
Pelanggaran terhadap ketentuan dalam peraturan ini dapat dikenakan sanksi
administratif sesuai pada pasal 26, berupa:
a. peringatan secara tertulis;
b. larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah untuk
penarikan kembali obat dan atau bahan obat dari peredaran bagi obat dan atau
bahan obat yang tidak memenuhi standar dan persyaratan keamanan,
khasiat/kemanfaatan, dan mutu;
57
c. perintah pemusnahan obat dan atau bahan obat jika terbukti tidak memenuhi
persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu;
d. perintah penghentian sementara kegiatan;
e. pembekuan izin industri farmasi;
f. pencabutan izin industri farmasi.
Poin a sampai d diberikan oleh Kepala Badan. Sedangkan poin e dan f diberikan
oleh Direktur Jendral atas rekomendasi Kepala Badan.
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1010/Menkes/Per/XI/2008 tentang Registrasi Obat
Setiap industri farmasi yang menghasilkan obat harus melakukan registrasi
obat, seperti yang diatur dalam peraturan ini. Setiap industri farmasi yang
melakukan registrasi obat wajib memenuhi persyaratan CPOB dan dibuktikan
oleh sertifikat CPOB yang dikeluarkan oleh Kepala Badan. Registrasi adalah
prosedur pendaftaran dan evaluasi obat untuk mendapatkan izin edar. Registrasi
obat yang boleh dilakukan oleh industri farmasi adalah obat produksi dalam
negeri, obat narkotika yang hanya boleh dilakukan oleh industri farmasi dengan
izin khusus, obat produksi impor dimana industri farmasi dalam negeri harus
mendapat persetujuan tertulis terlebih dahulu dari industri farmasi di luar negeri,
obat khusus ekspor, dan obat dengan zat berkhasiat yang dilindungi paten yang
boleh dilakukan oleh industri farmasi pemegang hak paten atau industri farmasi
lain yang ditunjuk oleh pemegang hak paten. Pada pasal 4 dijelaskan bahwa obat
yang memiliki izin edar harus memiliki kriteria sebagai berikut:
a. khasiat yang meyakinkan dan keamanan yang memadai dibuktikan melalui
percobaan hewan dan uji klinis atau bukti-bukti lain sesuai dengan
statusperkembangan ilmu pengetahuan yang bersangkutan;
b. mutu yang memenuhi syarat yang dinilai dari proses produksi sesuai CPOB,
spesifikasi dan metoda pengujian terhadapsemua bahan yang digunakan serta
produk jadi dengan bukti yang sahih;
c. penandaan berisi informasi yang lengkap dan obyektif yang dapat menjamin
penggunaan obat secara tepat, rasional dan aman;
d. sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat;
58
e. kriteria lain adalah khusus untuk psikotropika harus memiliki keunggulan
kemanfaatan dan keamanan dibandingkan dengan obat standar dan obat
yangtelah disetujui beredar di Indonesia untuk indikasi yang diklaim;
f. khusus kontrasepsi untuk program nasional dan obat program lainnya yang
akan ditentukan kemudian, harus dilakukan uji klinik di Indonesia.
Pada Bab IV dijelaskan mengenai tata cara memperoleh izin edar, dengan
alur:
a. registrasi diajukan kepada Kepala Badan;
b. dilakukan evaluasi terhadap dokumen registrasi oleh Komite Nasional Penilai
Obat, Panitia Penilai Khasiat-Keamanan, dan Panitia Penilai Mutu,
Teknologi, Penandaan, dan Kerasionalan Obat;
c. pemberian persetujuan atau penolakan izin edar.
Bila registrasi ditolak, pendaftar dapat melakukan peninjauan kembali.
Izin edar berlaku selama 5 tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi
ketentuan yang berlaku.
Obat yang telah diberikan izin edar dapat dilakukan evaluasi kembali.
Industri farmasi/pendaftar wajib menarik obat yang yang dilakukan evaluasi
kembali dari pasaran. Berdasarkan pasal 22, evaluasi kembali obat yang sudah
beredar dilakukan terhadap:
a. obat dengan risiko efek samping lebih besar dibandingkan dengan
efektifitasnya yang terungkap sesudah obat dipasarkan;
b. obat dengan efektifitas tidak lebih baik dari plasebo;
c. obat yang tidak memenuhi persyaratan ketersediaan hayati/bioekivalensi.
4. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.12.11.10690 Tahun 2011 tentang Penerapan Farmakovigilans Bagi Industri Farmasi.
Setiap industri farmasi harus melakukan farmakovigilans. Berdasarkan
peraturan ini, farmakovigilans adalah seluruh kegiatan tentang pendeteksian,
penilaian (assessment), pemahaman, dan pencegahan efek samping atau masalah
lainnya terkait dengan penggunaan obat. Farmakovigilans dilakukan dengan
pelaporan dan pemantauan mengenai:
59
a. aspek keamanan obat dalam rangka deteksi, penilaian, pemahaman, dan
pencegahan efek samping atau masalah lain terkait dengan penggunaan;
b. perubahan profil manfaat-risiko obat;
c. aspek mutu yang berpengaruh terhadap keamanan obat.
Apabila dalam melakukan farmakovigilans, industri farmasi menemukan
obat dan/atau bahan obat hasil produksinya yang tidak memenuhi standar dan/atau
persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, dan mutu, industri farmasi wajib
melakukan pelaporan hal tersebut kepada Kepala Badan. Kriteria kejadian yang
dilakukan pelaporan spontan meliputi kejadian medis yang menyebabkan:
a. kematian;
b. keadaan yang mengancam jiwa;
c. pasien memerlukan perawatan rumah sakit;
d. perpanjangan waktu perawatan rumah sakit;
e. cacat tetap;
f. kelainan kongenital; dan/atau
g. kejadian medis penting lainnya.
Industri farmasi yang tidak melaksanakan farmakovigilans dikenai sanksi
administratif berupa:
a. peringatan secara tertulis;
b. larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk
penarikan kembali obat atau bahan obat dari peredaran bagi obat atau bahan
obat yang tidak memenuhi standar dan persyaratan keamanan,
khasiat/kemanfaatan, atau mutu;
c. perintah pemusnahan obat atau bahan obat, jika terbukti tidak memenuhi
persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu; dan/atau
d. penghentian sementara kegiatan.
5. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia nomor HK.04.1.33.12.11.09937 tahun 2011 tentang Tata Cara Sertifikasi Cara Pembuatan Obat yang Baik.
60
Pada peraturan Badan POM tahun 2011 tentang Tata Cara Sertifikasi Cara
Pembuatan Obat Yang Baik yang meliputi Ketentuan Umum, Sertifikasi, Tata
Cara Memperoleh Sertifikat, Perubahan Bermakna Pada Fasilitas Yang Telah
Mendapatkan Sertifikat, Ketentua Peralihan dan Ketentuan Penetup.
Pada bab 2 tentang Sertifikasi pada pasal 2, menjelsakan Industri Farmasi
yang membuat obat, wajib memenuhi persyaratan pada pedoman cpob yang
berlaku dan pasal 5 menerangkan bahwa sertifikat CPOB diberikan untuk setiap
unit bangunan sesuai dengan bentuk sediaan dan proses pembuatan yang
dilakukan untuk semua tahapan atau sebagian tahapan.
Pada bab III bagian I pasal 7 dan 8, menjelaskan sertifikat diterbitkan
berdasasrkan permohonan tertulis dan dikenakan biaya sesuai ketentuan Peraturan
Pemerintah tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNBP) yang berlaku pada Badan POM dan biaya yang telah dibayar tidak dapat
ditaruk kembali.
Pada bagian II tentang Sertifikat Baru pasal 9, 11 dan 12 menerangkan
pemohon menyerahkan permohonan rancangan induk pembangunan (RIP) ke
Kepala Badan dimana dalam jangka waktu 14 hari kerja akan dievaluasi
kesesuaian persyaratan CPOB, dimana bdasarkan hasil evaluasi Kepala Badan
akan menerbitkan persetujuan RIP atau perbaikan RIP apabila belum memenuhi
persyaratan. Apabila RIP telah disetujui maka kepala badan akan memberikan
wewenang kepada Direktur dimana pemohon akan melaporkan kemajuan secara
periodik setiap 3 bulan. Setelah pembangunan selesai selanjutnya pemohon
mengajukan permohonan sertifikasi, paling lama 20 hari kerja, kepala badan akan
melakukan ispeksi dan setelah melakukan inspeksi kepala badan menyampaikan
evaluasi pemenuhan persyaratan CPOB ke pemohon dan dilakukan penerbitan
paling lama 10 hari kerja yang berdasarkan hasil evaluasi yang berisi apakah
penerbitan Sertifikat CPOB atau rekomendasi pemenuhan persyaratan cpob
(dimana sertifikat CPOB diterbitkan setelah adanya izin industri).
Pada pasal 14 menjelaskan apabila terjadi perubahan nama badan hukum,
maka harus melakukan permohonan perubahan sertifikat dimana masa berlaku
sertifikat mengikuti seftifikat sebelum pengubahan.
61
Pengurusan resertifikasi dijelaskan pada pasal 15 dimana emegang
sertifikat wajib mengajukan permohonan resertifikasi dalam waktu 6 (enam)
bulan sebelum masa berlaku sertifikat berakhir yang diajukan pada Kepala Badan
dan apabila terjadi pelanggaran dalam hal tersebut, maka pemegang sertifikat akan
dikenanakn sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan.
Pada BAB IV menjelaskan tentang perubahan bermakna pada fasilitas
yang telah mendapatkan sertifikat. Pada perubahan tersebut harus mendapat izin
Kepala Badan, Perbahan tersebut meliputi Perubahan kapasitas produksi karena
perubahan ruangan, perubahan peralatan, Perubahan sistem tata udara dan/atau
sistem pengolahan air, Perubahan peralatan yang berdampak langsung pada
sterilitas produk, Perubahan vendor biologis untuk proses pembuatan produk
biologi atau Penambahan gudang. Adapun sanksi yang diberikan apabila terjadi
pelanggaran berupa sanksi administratif peringatan, peringatan keras, penghentian
sementara kegiatan, pembekuan sertifikat CPOB, pencabutan sertifikat CPOB
dan/atau rekomendasi pencabutan izin industri farmasi.
6. Peraturan Lainnya
a. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
431/Menkes/SK/III tahun 1988 tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat
yang Baik.
b. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor HK.00.05.3.02147 tahun 2001 tentang Pembentukan
Tim Revisi Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik.
c. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor
HK.00.05.3.02152 tahun 2002 tentang Penerapan Pedoman Cara
Pembuatan Obat yang Baik.
d. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor HK.00.06.1.34.0387 tahun 2009 tentang Pembentukan Tim
Nasional Cara Pembuatan Obat Yang Baik (CPOB).
e. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor
02001/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan
62
Pengawas Obat dan Makanan Sebagaimana Selah Diubah dengan
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor
HK.00.05 .2.4231 Tahun 2004.
f. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor
05018/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit
Pelaksanaan Teknis di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.21.3546 Tahun
2009.
g. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor
HK.03.1.23.10.11.08481 Tahun 2011 tentang Kriteria dan Tata Laksana
Registrasi Obat.
2.5.2 Peraturan Terkait CPOTB dan Industri Obat Tradisional
Obat tradisional merupakan produk yang dibuat dari bahan alam yang
jenis dan sifat kandungannya sangat beragam sehingga diperlukan cara pembuatan
yang baik dan lebih memperhatikan proses produksi dan penanganan bahan baku
untuk penjaminan mutu. Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB)
meliputi seluruh aspek yang menyangkut pembuatan obat tradisional, yang
bertujuan untuk menjamin agar produk yang dihasilkan senantiasa memenuhi
persyaratan mutu yang telah ditentukan sesuai dengan tujuan penggunaannya.
1. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.00.05.4.1380 Tahun 2005 tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB)
Peraturan ini meliputi penjelasan mengenai berbagai aspek dalam CPOTB.
Aspek-aspek tersebut yaitu personalia, bangunan, peralatan, sanitasi dan higiene,
penyiapan bahan baku, pengolahan dan pengemasan, pengawasan mutu, inspeksi
diri, dokumentasi, dan pengamatan terhadap hasil pengamatan produk jadi di
peredaran.
a. Personalia. Personalia hendaknya mempunyai pengetahuan, pengalaman,
keterampilan, dan kemampuan yang sesuai dengan tugas dan fungsinya.
63
Bagian produksi dan pengawasan mutu harus dipimpin oleh orang yang
berbeda dan tidak ada keterkaitan tanggung jawab satu sama lain. Kepala
bagian produksi mempunyai kewenangan dan tanggung jawab dalam
manajemen produksi yang meliputi semua pelaksanaan kegiatan, peralatan,
personalia produkisi, area produksi, dan pencatatan. Kepala bagian
pengawasan mutu mempunyai kewenangan dan tanggung jawab dalam semua
tugas pengawasan mutu meliputi penyusunan, verifikasi dan penerapan semua
prosedur pengawasan mutu.
b. Bangunan. Bangunan industri obat tradisional hendaknya berada di lokasi
terhindar dari pencemaran dan tidak mencemari lingkungan, serta memenuhi
persyaratan higiene dan sanitasi. Bangunan terdiri atas ruangan-ruangan
dimana pembuatan yang rancang bangun dan luasnya sesuai dengan bentuk,
sifat, dan jumlah produk yang dibuat, jenis dan jumlah peralatan yang
digunakan, jumlah karyawan yang bekerja, serta fungsi ruangan.
c. Peralatan. Peralatan yang digunakan harus memiliki rancang bangun
konstruksi yang tepat, ukuran yang memadai serta ditempatkan dengan tepat,
sehingga mutu bagi tiap produk terjamin secara seragam pada setiap bets,
serta untuk memudahkan pembersihan dan perawatannya. Peralatan yang
dimiliki harus disesuaikan dengan proses pembuatan dan bentuk sediaan yang
akan dibuat. Selain itu terdapat peralatan laboratorium untuk pengujian
sediaan produk. Peralatan laboratorium disesuaikan dengan jenis sediaan.
Sekurang-kurangnya peralatan laboratorium meliputi timbangan, mikroskop,
alat-alat gelas, lampu spirtus, zat atau bahan kimia dan larutan pereaksi, serta
buku-buku persyaratan seperti Farmakope Indonesia, Materia Medika
Indonesia, dan lain-lain.
d. Sanitasi dan higiene. Sanitasi dan higiene dilakukan untuk personalia,
bangunan, peralatan dan perlengkapan, bahan dan wadah, serta faktor lain
sebagai sumber pencemaran produk.
e. Penyiapan bahan baku. Setiap bahan baku harus memenuhi persyaratan
yang berlaku. Bahan baku harus diperiksa secara organoleptik dan laboratoris.
64
Simplisia yang didapatkan harus dilakukan sortasi, dicuci/dibersihkan, serta
dilakukan pemeriksaan mutu sebelum digunakan.
f. Pengolahan dan pengemasan. Pertama adalah verifikasi dimana bahan,
prosedur, proses, dan tindakan harus dibuktikan dapat menghasilkan produk
yang memenuhi persyaratan. Selain itu diperiksa pencemaran pada bahan.
Dilakukan sistem penomoran kode produksi untuk dapat memastikan
diketahuinya riwayat suatu bets atau lot secara lengkap. Sebelum diolah
dilakukan penimbangan, kemudian setelah diolah dilakukan pengemasan
dimana sebelumnya dilakukan pemastian mutu. Barang yang disimpan harus
teratur dan rapi untuk mencegah resiko tercampur dan/atau terjadinya saling
mencemari satu sama lain.
g. Pengawasan mutu. Dilakukan untuk menghasilkan produk yang bermutu
mulai dari bahan awal sampai pada produk jadi. Pengawasan mutu dilakukan
terhadap bahan baku, bahan pengemas, proses pembuatan, produk antara,
produk ruahan, dan produk jadi.
h. Inspeksi diri. Tujuannya adalah untuk melakukan penilaian apakah seluruh
aspek pengolahan, pengemasan, dan pengendalian mutu selalu memenuhi
CPOTB. Dirancang untuk mengevaluasi pelaksanaan CPOTB dan untuk
menetapkan tindak lanjut.Hal yang diinspeksi adalah aspek-aspek dalam
CPOTB.
i. Dokumentasi. Meliputi spesifikasi, label/etiket, prosedur, metoda dan
instruksi, catatan dan laporan serta jenis dokumentasi lain yang diperlukan
dalam perencanaan, pelaksanaan, pengendalian serta evaluasi seluruh
rangkaian kegiatan pembuatan produk.
j. Penanganan terhadap hasil pengamatan produk jadi di peredaran.
Meliputi keluhan dan laporan mengenai kualitas, efek yang merugikan atau
masalah medis lainnya; penarikan kembali produk bila produk tidak
memenuhi persyaratan atau adanya efek yang tidak diperhitungkan yang
merugikan kesehatan.
65
2. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.06.11.5629 Tahun 2011 tentang Persyaratan Teknis Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB)
Industri obat tradisional harus membuat obat tradisional sedemikian rupa
agar sesuai tujuan penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam
dokumen izin edar (registrasi) dan tidak menimbulkan risiko yang membahayakan
penggunanya karena tidak aman, mutu rendah atau tidak efektif. Untuk mencapai
tujuan mutu secara konsisten dan dapat diandalkan, diperlukan sistem pemastian
mutu yang didesain secara menyeluruh dan diterapkan secara benar serta
menginkorporasi Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) termasuk
Pengawasan Mutu dan Manajemen Risiko Mutu.
CPOTB adalah bagian dari pemastian mutu yang memastikan bahwa obat
tradisional dibuat dan dikendalikan secara konsisten untuk mencapai standar mutu
yang sesuai dengan tujuan penggunaan dan dipersyaratkan dalam izin edar dan
Spesifikasi produk. CPOTB mencakup produksi dan pengawasan mutu.
Persyaratan dasar dari CPOTB adalah:
1. Semua proses pembuatan obat tradisional dijabarkan dengan jelas, dikaji
secara sistematis berdasarkan pengalaman dan terbukti mampu secara
konsisten menghasilkan obat tradisional yang memenuhi persyaratan mutu
dan spesifikasi yang telah ditetapkan;
2. Tahap proses yang kritis dalam proses pembuatan, pengawasan dan sarana
penunjang serta perubahannya yang signifikan divalidasi;
3. Tersedia semua sarana yang diperlukan untuk CPOTB termasuk
a. Personil yang terkualifikasi dan terlatih;
b. Bangunan dan sarana dengan luas yang memadai;
c. Peralatan dan sarana penunjang yang sesuai;
d. Bahan, wadah dan label yang benar;
e. Prosedur dan instruksi yang disetujui; dan
f. Tempat penyimpanan dan transportasi yang memadai.
66
4. Prosedur dan instruksi ditulis dalam bentuk instruksi dengan bahasa yang
jelas, tidak bermakna ganda, dapat diterapkan secara spesifik pada sarana
yang tersedia;
5. Operator memperoleh pelatihan untuk menjalankan prosedur secara benar;
6. Pencatatan dilakukan secara manual atau dengan alat pencatat selama
pembuatan yang menunjukkan bahwa semua langkah yang dipersyaratkan
dalam prosedur dan instruksi yang ditetapkan benar-benar dilaksanakan dan
jumlah serta mutu produk yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan.
Tiap penyimpangan dicatat secara lengkap dan diinvestigasi;
7. Catatan pembuatan termasuk distribusi yang memungkinkan penelusuran
riwayat bets secara lengkap, disimpan secara komprehensif dan dalam bentuk
yang mudah diakses;
8. Penyimpanan dan distribusi obat tradisional yang dapat memperkecil risiko
terhadap mutu obat tradisional;
9. Tersedia sistem penarikan kembali bets obat tradisional mana pun dari
peredaran; dan
10. Keluhan terhadap produk yang beredar dikaji, penyebab cacat mutu
diinvestigasi serta dilakukan tindakan perbaikan yang tepat dan pencegahan
pengulangan kembali keluhan.
Adapun aspek-aspek yang diatur dalam CPOTB antara lain:
1. Personalia
2. Bangunan, fasilitas, dan peralatan
3. sanitasi dan hygiene
4. Dokumentasi
5. Produksi
6. Pengawasan mutu
7. Pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak
8. Cara penyimpanan dan pengiriman obat tradisional yang baik
9. Penanganan keluhan terhadap produk, penarikan kembali produk dan produk
kembalian
10. Inspeksi diri
67
Penerapan CPOTB merupakan persyaratan kelayakan dasar untuk
menerapkan sistem jaminan mutu yang diakui dunia internasional. Pedoman
CPOTB berlaku pula bagi industri yang memproduksi Obat Herbal Terstandar
dan Fitofarmaka.
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonsesia Nomor 246/Menkes/Per/V/1990 tentang Industri Kecil Obat Tradisional (Ikot), Industri Obat Tradisional (Iot), Usaha Jamu Racikan (Ujar), Usaha Jamu Gendong (Ujagen)
Usaha industri obat tradisional harus memiliki izin dari menteri, kecuali
usaha jamu racikan dan usaha jamu gendong. Pendaftaran Obat Tradisional tidak
dipungut biaya pendaftaran. Usaha lndustri Obat Tradisional wajib memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. dilakukan oleh Badan Hukum berbentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi;
b. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
Usaha Industri Kecil Obat Tradisional wajib memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. dilakukan oleh Perorangan warganegara Indonesia atau Badan Hukum
berbentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi;
b. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
Usaha lndustri Obat Tradisional harus mempekerjakan secara tetap
sekurang-kurangnya seorang apoteker warganegara Indonesia sebagai
penanggung jawab teknis. lndustri Obat Tradisional dan lndustri Kecil Obat
Tradisional wajib mengikuti Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional yang
Baik (CPOTB). lzin usaha lndustri Obat Tradisional atau lndustri Kecil Obat
Tradisional berlaku untuk seterusnya selama lndustri Obat Tradisional atau
lndustri Kecil Obat Tradisional yang bersangkutan berproduksi. Izin Usaha
lndustri Obat Tradisional atau lndustri Kecil Obat Tradisional dicabut dalam hal:
a. pabrik dipindahtangankan atau lokasi pabrik dipindah, tanpa persetujuan
pemberi izin
b. tidak menyampaikan informasi industri atau dengan sengaja menyampaikan
informasi yang tidak benar 3 kali berturut-turut
68
c. melanggar ketentuan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 39 atau Pasal 41
d. melanggar ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Untuk pendaftaran Obat Tradisional, obat tradisional harus memenuhi
persyaratan:
a. secara empirik terbukti aman dan bermanfaat untuk digunakan manusia;
b. bahan obat tradisional dan proses produksi yang digunakan memenuhi
persyaratan yang ditetapkan;
c. tidak mengandung bahan kimia sintetik atau hasil isolasi yang berkhasiat
sebagai obat;
d. tidak mengandung bahan yang tergolong obat keras atau narkotika.
4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 007 Tahun 2012 tentang Registrasi Obat Tradisional
Obat tradisional yang beredar di Indonesia wajib memiliki izin edar yang
diberikan oleh kepala Badan. Izin edar berlaku selama 5 tahun dan dapat
diperpanjang. Izin edar tersebut diberlakukan kecuali untuk obat tradisional yang
dibuat oleh usaha jamu racikan dan usaha jamu gendong; simplisia dan sediaan
galenik untuk keperluan industri dan keperluan layanan pengobatan tradisional;
dan obat tradisional yang digunakan untuk penelitian, sampel untuk registrasi dan
pameran dalam jumlah terbatas dan tidak diperjualbelikan. Obat tradisional
dilarang dibuat dan/atau diedarkan dalam bentuk sediaan intravaginal, tetes mata,
parenteral, dan supositoria kecuali untuk wasir.
Obat tradisional yang dapat diberikan izin edar harus memenuhi kriteria
sebagai berikut:
a. menggunakan bahan yang memenuhi persyaratan keamanan dan mutu; b.
dibuat dengan menerapkan CPOTB;
b. memenuhi persyaratan Farmakope Herbal Indonesia atau persyaratan lain
yang diakui;
c. berkhasiat yang dibuktikan secara empiris, turun temurun, dan/atau secara
ilmiah; dan
d. penandaan berisi informasi yang objektif, lengkap, dan tidak menyesatkan.
Obat tradisional dilarang mengandung:
69
a. etil alkohol lebih dari 1%, kecuali dalam bentuk sediaan tingtur yang
pemakaiannya dengan pengenceran;
b. bahan kimia obat yang merupakan hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat;
c. narkotika atau psikotropika; dan/atau
d. bahan lain yang berdasarkan pertimbangan kesehatan dan/atau berdasarkan
penelitian membahayakan kesehatan.
Registrasi obat tradisional produksi dalam negeri hanya dapat dilakukan
oleh IOT, UKOT, atau UMOT yang memiliki izin sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan. Permohonan registrasi diajukan kepada Kepala Badan.
Ketentuan mengenai tata laksana registrasi ditetapkan dengan Peraturan Kepala
Badan. Dokumen registrasi akan dievaluasi oleh Komite Nasional Penilai Obat
Tradisional, dan Tim Penilai Keamanan, Khasiat/Manfaat, dan Mutu. Selanjutnya
Kepala Badan memberikan persetujuan berupa izin edar atau penolakan registrasi.
Kepala Badan melaporkan pemberian izin edar kepada Menteri setiap 1 tahun
sekali.
5. Peraturan Lainnya
a. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
179/Menkes/Per/VII/1976 tentang Pabrik Jamu dan Perusahaan Jamu
b. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 2013
tentang Rencana Induk Pengembangan Bahan Baku Obat Tradisional
2.5.3 Peraturan Terkait CPKB
Untuk menjamin keamanan kosmetika diperlukan penerapan cara produksi
kosmetika yang baik dalam seluruh aspek dan rangkaian kegiatan produksi, agar
kosmetika yang dihasilkan memenuhi persyaratan mutu sehingga aman, dan
bermanfaat bagi pemakaiannya, dan untuk pelaksanaan hal tersebut perlu
pedoman yang jelas bagi semua pihak yang terlibat dalam produksi kosmetika.
CPKB meliputi seluruh aspek yang menyangkut produksi dan pengendalian mutu
untuk menjamin produk jadi kosmetika yang diproduksi senantiasa memenuhi
persyaratan mutu yang ditetapkan, aman dan bermanfaat bagi pemakainya.
70
1 Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor: HK.00.05.4.3870 tentang Pedoman Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik
Menurut Keputusan KBPOM Nomor HK.00.05.4.1745, kosmetik adalah
bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh
manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital bagian luar) atau gigi
dan mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah
penampilan dan atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau memelihara
tubuh pada kondisi baik. Untuk menghasilkan produk kosmetik yang memenuhi
standard mutu dan keamanan, maka diperlukan suatu pedoman cara pembuatan
kosmetika yang baik (CPKB) yang diatur dalam Keputusan KBPOM RI No:
HK.00.05.4.3870 tahun 2003. Aspek-aspek yang diatur dalam CPKB diantaranya:
1. Personalia
2. Bangunan dan fasilitas
3. Peralatan
4. Sanitasi dan hygiene
5. Produksi
6. Pengawasan mutu
7. Audit internal
8. Penyimpanan
9. Kontrak produksi dan pengujian
10. Penanganan keluhan dan penarikan produk
Adapun tujuan dari penerapan CPKB yaitu :
1. Melindungi masyarakat terhadap hal-hal yang merugikan dari penggunaan
kosmetik yang tidak memenuhi persyaratan standar mutu dan keamanan.
2. Meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk kosmetik Indonesia dalam
era pasar bebas.
3. Dipahaminya penerapan CPKB oleh para pelaku usaha industri kosmetik
sehingga bermanfaat bagi perkembangan industri kosmetik.
4. Diterapkannya CPKB secara konsisten oleh industri kosmetik
71
Penerapan CPKB merupakan persyaratan kelayakan dasar untuk
menerapkan sistem jaminan mutu dan keamanan yang diakui dunia internasional.
Terlebih lagi untuk mengantisipasi pasar bebas di era globalisasi maka penerapan
CPKB merupakan nilai tambah bagi produk kosmetik Indonesia untuk bersaing
dengan produk sejenis dari Negara lain baik di pasar dalam negeri maupun
internasional.
Dalam pembuatan kosmetik, pengawasan yang menyeluruh disertai
pemantauan sangat penting untuk menjamin agar konsumen memperoleh produk
yang memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan. Mutu produk tergantung dari
bahan awal, proses produksi dan pengawasan mutu, bangunan, peralatan dan
personalia yang menangani. Hal ini berkaitan dengan seluruh aspek produksi dan
pemeriksaan mutu.
2 Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 965/MENKES/SK/XI/1992 tentang Cara Produksi Kosmetika yang Baik (CPKB)
Cara Produksi Kosmetika yang Baik meliputi seluruh aspek yang
menyangkut produksi dan pengendalian mutu untuk menjamin produk jadi
kosmetika yang diproduksi senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang
ditetapkan, aman dan bermanfaat bagi pemakainya. Dimana produksi adalah
seluruh rangkaian kegiatan yang meliputi penerimaan dan penyiapan bahan baku
serta bahan pengemas, pengolahan, pengemasan dan pengendalian mutu sehingga
diperoleh produk jadi yang siap didistribusikan. Aspek produksi kosmetika yang
baik meliputi tenaga kerja, bangunan, peralatan, sanitasi dan higiene, pengolahan
dan pengemasan, pengawasan mutu, inspeksi diri, dokumentasi, dan penanganan
terhadap hasil pengamatan produk di peredaran.
Pada aspek tenaga kerja berisikan persyaratan umum tenaga kerja,
persyaratan khusus untuk penganggung jawab teknis, dan pelatihan. Bangunan
untuk pembuatan kosmetika harus memenuhi persyaratan. Bangunan harus bebas
dari pencemaran dari lingkungan, konstruksi dan tata ruang memadai, lantai dan
dinding bangunan harus kedap air serta halus dan rata, dilengkapi penerangan dan
ventilasi yang sesuai, dan memiliki fasilitas sanitasi yang terencana. Perlengkapan
72
dan peralatan yang digunakan harus sesuai dengan jenis produksi, tidak dapat
bereaksi dengan bahan, mudah dibersihkan dan disanitasi, tidak dapat mencemari
bahan, disimpan dalam tempat bersih, serta dirawat secara teratur agar dalam
kondisi baik dan mencegah pencemaran. Sanitasi dilakukan terhadap tenaga kerja,
bangunan, peralatan, bahan, proses produksi, pengemas dan setiap hal yang dapat
merupakan sumber pencemaran produk. Bahan baku yang digunakan harus sesuai
dengan persyaratan. Pengolahan yang dilakukan harus sesuai dengan prosedur
tertulis sehingga teratur dan mencegah pencemaran. Selain itu kondisi pada saat
pengolahan juga harus diatur untuk mencegah kerugian terhadap produk akhir
kosmetika. Seluruh kegiatan produksi harus dilakukan pengawasan mutu yang
dilakukan oleh bagian pengawasan mutu. Pengawasan mutu tidak hanya
dilakukan pada saat produksi, melainkan juga produk jadi baik yang masih ada di
lingkungan maupun di peredaran secara berkala. Inspeksi diri juga dilakukan
secara berkala untuk agar seluruh rangkaian produksi selalu memenuhi CPKB.
Instruksi yang menyangkut produksi kosmetika dilakukan secara tertulis dan jelas
dan harus menggaambarkan riwayat lengkap setiap tahap kegiatan produksi
hingga distribusi. Keluhan dan laporan masyarakat mengenai mutu, keamanan,
dan berbagai hal lain yang merugikan atau menimbulkan masalah harus dievaluasi
dan ditindaklanjuti. Bila terbukti menimbulkan efek samping yang merugikan dan
keamanannya tidak memadai lagi, harus ditarik dari peredaran dan dimusnahkan.
3 Keputusan Kepala BPOM RI No: HK.03.42.06.10.4556 tentang Petunjuk Operasional Pedoman Cara Pembuatan Kosmetik Yang Baik
Peraturan ini berisikan 13 bab yaitu pendahuluan, ketentuan umum,
personalia, bangunan dan fasilitas, peralatan, sanitasi dan higiene, produksi,
pengawasan mutu, dokumentasi, audit internal, penyimpanan, kontrak dan
produksi pengujian, dan penanganan keluhan dan penarikan produk. Selain itu
peraturan ini juga berisikan berbagai daftar lampiran yaitu lampiran prosedur
operasional baku, instruksi kerja, catatan, dan lain-lain.
Berdasarkan peraturan ini, setiap personil harus memenuhi persyaratan
kesehatan, baik fisik dan mental, serta mengenakan pakaian kerja yang bersih.
Pada bab personalia dijelaskan organisasi, klasifikasi, dan tanggung jawab dari
73
personil, dan pelatihan bagi personil. Pada bab bangunan dan fasilitas dijelaskan
mengenai lokasi bangunan, penataan letak ruangan pabrik, serta fasilitas yang
harus ada. Peralatan yang digunakan dalam pembuatan kosmetik hendaklah
memiliki rancang bangun yang tepat, ukuran memadai dan sesuai dengan ukuran
bets yang dikehendaki. Peralatan tidak boleh bereaksi dengan bahan/produk,
mudah dibersihkan/disanitasi, serta diletakkan di lokasi yang tepat. Sanitasi dan
higiene bertujuan untuk menghilangkan semua sumber potensial kontaminasi dan
kontaminasi silang di semua area yang dapat beresiko pada kualitas produk.
Ruang lingkup sanitasi dan higiene meliputi personalia, bangunan, peralatan dan
perlengkapan, bahan awal, lingkungan, bahan pembersih dan sanitasi.
Pelaksanaan pembersihan dibagi menjadi 3 yaitu pembersihan rutin; pembersihan
dengan lebih teliti menggunakan bantuan bahan pembersih dan sanitasi; dan
pembersihan dalam rangka pemeliharaan. Pada bab produksi menjelaskan
mengenai keseluruhan rangkaian produksi meliputi: bahan awal; verifikasi bahan;
pencatatan bahan; bahan ditolak; sistem pemberian nomor bets; penimbangan dan
pengukuran; prsedur dan pengolahan; produk kering; produk basah; produk
aerosol; pelabelan dan pengemasan; serta produk jadi, karantina, dan pengiriman
ke gudang produk jadi. Selanjutnya adalah pengawasan mutu, dimana pengawasan
mutu merupakan semua upaya pemeriksaan dan pengujian yang dilakukan
sebelum, selama, dan setelah pembuatan kosmetik untuk menjamin agar kosmetik
memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Dokumentasi adalah suatu bukti
yang dapat dipercaya, dipergunakan sebagai tolak ukur penilaian penerapan
CPKB. Dokumentasi harus dilakukan secara teratur dan konsisten. Sistem
dokumentasi bertujuan utama yaitu untuk menentukan, memantau, dan mencatat
mutu dari seluruh aspek produksi dan pengendalian mutu.Adit internal adalah
kegiatan yang dilakukan untuk menilai seluruh aspek yang berhubungan dengan
pengendalian mutu dan produk sesuai dengan CPKB. Audit internal dilakukan
oleh tim internal perusahaan beranggotakan minimal 3 orang. Pada bagian
penyimpanan, dijelaskan mengenai area penyimpanan dan penanganan dan
pengawasan persediaan. Kontrak pengujian merupakan kerjasama untuk
74
melakukan pengujian suatu produk berdasarkan kesepakatan antara pemberi
kontrak dan penerima kontrak.
4 Peraturan Lainnya
a. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor
HK.00.05.4.1745 Tahun 2003 tentang Kosmetik;
b. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor
HK.00.05.42.1018 Tahun 2008 tentang Bahan Kosmetik;
c. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor
HK.00.05.42.2995 Tahun 2008 tentang Pengawasan Pemasukan
Kosmetik;
d. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor
HK.00.05.1.42.4974 Tahun 2008 tentang Pengawasan Pemasukan Bahan
Kosmetik.
75
BAB III
SIMPULAN
3.1. SimpulanIndustri farmasi yang semakin berkembang harus tetap menjaga mutu obat
yang dihasilkan agar terjaga keamanan dan khasiatnya. Oleh karena itu perlu
diterapkannya CPOB dalam setiap langkah yang dilakukan industri farmasi,
termasuk memenuhi persyaratan bangunan dan fasilitas.
Beberapa perauran perundang-undangan mengenai industri farmasi adalah
Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian,
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang
Industri Farmasi, Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
1010/Menkes/Per/XI/2008 tentang Registrasi Obat, Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor
HK.03.1.23.12.11.10690 Tahun 2011 tentang Penerapan Farmakovigilans Bagi
Industri Farmasi.
76
DAFTAR PUSTAKA
BPOM RI. 2001. Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik 2001. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
BPOM RI. 2006. Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik 2006. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
BPOM RI. 2012. Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik 2012. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
Brhlikova P., et. al. 2007. Good Manufacturing Practice In the Pharmaceutical Industry. Scotland: University of Edinburgh.
cGMP form Learning Plus, Inc./Abs. Available online at http://www.ptphapros.co.id/ article.php?m= Health&aid=41&lg=in (Diakses tanggal 04 September 2015).
Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. 2011. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
ECA Foundation. 2011. GMP News. Available online at http://www.gmp-compliance.org/eca_news_2490_6804,6863,6888,6850.html [diakses pada tanggal 3 September 2015].
European Medicines Agency. 2015. Co-ordination of Good-Manufacturing-Practice Inspections. Available online at http://www.ema.europa.eu/ema/index.jsp?curl=pages/ regulation/document_listing/document_listing_000171.jsp [diakses pada tanggal 1 September 2015].
Health Canada. 2013. Good Manufacturing Practices (GMP) Guidelines for Active Pharmaceutical Ingredients (APIs). Available online at http://www.hc-sc.gc.ca/dhp-mps/alt_formats/pdf/compli-conform/info-prod/drugs-drogues/actingre-gui-0104-eng.pdf [diakses pada tanggal 1 September 2015].
Japan Pharmaceutical Manufacturers Association. 2015. Pharmaceutical Administration and Regulations in Japan. Tersedia di http://www.jpma.or.jp/english/parj/whole.html (diakses pada tanggal 2 September 2015).
Karmacharya. Jaya Bir. 2012. Good Manufacturing Practices for Medicinal Products. Available online at http://cdn.intechopen.com/pdfs-wm/37170.pdf [diakses pada tanggal 1 September 2015].
Kim, Dong Sup. 2011. Current KGMP and Perspective. Seoul : KFDA.
Kurusu, Katsunori. 2012. Pharmaceutical Administration and Regulation in Japan. Available online at http://www.jpma.or.jp/english/parj/pdf/2012.pdf [Diakses pada tanggal: 3 September 2015].
Learningplus Inc. 2007. How GMPs Differs. Available online at :http://www.cgmp.com/howGmpsDiffer.htm [diakses pada tanggal 3 September 2015].
Liang, Kong. 2006. Good Manufacturing Practice in China. Available online at http://www.pharmtech.com/good-manufacturing-practices-china [Diakses pada tanggal: 2 September 2015].
Melamud A, Paul. 2009. A Brief History of USFDA Good Manufacturing Practices (GMPs). ISPE NJ Chapter Day. QPharma, Inc.
Nally, Joseph D. 2006. Good Manufacturing Practices for Pharmaceuticals, Sixth Edition. Boca Raton: CRC Press.
Nippo, Y. 2004. The Japanese GMP Regulations 2003. USA: Drumbeat Dimensions, Inc.
Paper White. 2009. TGA GMP Update: New Manufacturing Principles for Medicinal Products, Version – 02. Australia: PharmOut Pty Ltd.
Perserikatan Bangsa-Bangsa. 2014. Available online at http://www.un.org/en/development/desa/policy/wesp/wesp_current/2014wesp_country_classification.pdf [diakses pada tanggal 1 September 2015].
Priyambodo, B. 2007. Manajemen Farmasi Industri. Yogyakarta: Global Pustaka Utama
Sakurai, Shingou. 2011. GMP System in Japan and Globalization Efforts. Available online at http://www.ccpie.org/news/download/zrh-8.pdf [diakses pada tanggal 1 September 2015].
Singapore Health Science Authority (HSA), 2015. Introduction Good Manufacturing Practice & Licensing of Premise. Tersedia di http://www.hsa.gov.sg/content/hsa/en/Health_Products_Regulation/Manufacturing_Importation_Distribution/Overview/Introduction_to_Good_Manufacturing_Practice_Licensing_of_Premises.html [Diakses tanggal 3 September 2015].
78
Swarbrick, J. Pharmaceutical Technology Third Edition Volume 1, 2007. USA: Informa Healthcare.
The Westin. 2011. Update: Food Drug Law, Regulation and Education – Enforcement, Litigation & Compliance Conference. Washington DC: Food and Drug Law Institute.
Therapeutic Goods Administration. 2009. Manufacturing principles for medicinal products. Tersedia di https://www.tga.gov.au/questions-answers-code-good-manufacturing-practice-medicinal-products [diakses pada tanggal 2 September 2015].
Therapeutic Goods Administration. 2013. Questions & answers on the code of good manufacturing practice for medicinal products. Tersedia di https://www.tga.gov.au/publication/manufacturing-principles-medicinal-products [diakses pada tanggal 2 September 2015].
Therapeutic Goods Administration. 2015. TGA Structure. Available online at https://www.tga.gov.au/tga-structure [diakses pada tanggal 10 September 2015].
Watanabe, T. 2010, Activities of GMP sub-Committee in JPMA Quality & Technology Committee, Japan: Japan Informa.