Top Banner
Psikologi Sosial “ Tingkah Laku Prososial “ Dosen Pengampu : Laila Meiliyandrie Indah Wardani, M.Psi, Dr Disusun oleh : Sulistiyani 46112010016 Nadila Maulidina 46112010024 Agung Wahyu Hidayat. P 46112010015 1
32

Prosocial Behavior

Jan 21, 2016

Download

Documents

Chacha Sulistya

Membahas mengenai prosocial behavior
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Prosocial Behavior

Psikologi Sosial“ Tingkah Laku Prososial “

Dosen Pengampu : Laila Meiliyandrie Indah Wardani, M.Psi, Dr

Disusun oleh :

Sulistiyani 46112010016

Nadila Maulidina 46112010024

Agung Wahyu Hidayat. P 46112010015

Dinar Puspita Komala 46112010063

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MERCU BUANA

TAHUN 2012 / 2013

1

Page 2: Prosocial Behavior

Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta

karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah yang berjudul

“Tigkah Laku Prososial”.

Makalah ini berisikan tentang informasi mengenai dasar tingkah laku prososial, tahap-

tahap perilaku menolong, respons terhadap keadaan darurat, pengaruh internal dan eksternal

dalam menolong serta komitment jangka panjang terhadap tingkah laku prososial.

Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang tingkah laku

prososial secara mendalam yang akan di deskripsikan dalam makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik

dan saran yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam

penyusunan makalah ini dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang

berkompeten.

Tangerang, 9 November 2013

Penyusun

2

Page 3: Prosocial Behavior

TINGKAH LAKU PROSOSIAL

1. Pengertian

Tingkah laku prososial merupakan suatu tindakan menolong yang

menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada

orang yang melakukan tindakan tersebut dan mungkin bahkan melibatkan suatu risiko

bagi orang yang menolong (Baron, dkk. 2008)

Deaux, Dane dan Wrightsman mengatakan bahwa dalam tingkah laku

menolong yang lebih diutamakan adalah kepentingan orang lain dibandingkan

kepentingan sendiri terutama dalam situasi darurat1. Contoh dari tingkah laku

menolong yang paling jelas menurut (Batson, 1981 dalam Sarwono, 2009) adalah

alturisme, yaitu suatu motivasi untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain yang

berupa tindakan seseorang untuk memberikan bantuan pada orang lain yang tidak

bersifat mementingkan diri sendiri (selfish) melainkan untuk kebaikan orang lain.

2. Teori Tingkah Laku Prososial

Beberapa teori yang mengkaji tingkah laku prososial, diantaranya :

2.1 Teori Evolusi

Menurut teori evolusi inti dari kehidupan adalah kelangsungan hidup gen. Gen

dalam diri manusia telah mendorong manusia untuk memaksimalkan kesempatan

berlangsungnya suatu gen agar tetap lestari.

a. Perlindungan Kerabat (kin protection)

“Kasih ibu sepanjang jalan kasih anak sepanjang galah” pribahasa tersebut

menunjukkan bahwa kasih sayang orang tua kepada anaknya tidak akan

pernah putus. Orang tua akan selalu siap untuk memberikan bantuannya

kepada anak, walau harus mengorbankan kepentingan dirinya demi anak-

anaknya. Menurut teori evolusi, tindakan orang tua ini adalah demi

kelangsungan gen-gen orang tua yang ada dalam diri anak. Orang tua yang

mengutamakan kesejahteraan anak dibandingkan dengan kesejahteraan dirinya

sendiri, gennya akan mempunyai peluang yang lebih besar untuk bertahan dan

lestari dibandingkan orang tua yang mengabaikan anaknya (Myers, 1996

1 Deaux, Dane dan Wrightsman,1993 dalam Sarwono, 2009

3

Page 4: Prosocial Behavior

dalam Sarwono, 2009). Hal ini berlaku juga untuk kerabat yan lebih jauh di

mana kedekatan gen-gen secara biologis membuat manusia terprogram secara

alami untuk lebih menolong orang yang masih tergolong kerabatnya.

b. Timbal-balik biologik (biological reciprocity)

Dalam teori evolusi terdapat prinsip timbal-balik, yaitu menolong untuk

memperoleh pertolongan kembali2. Seseorang menolong karena ia

mengantisipasi kelak orang yang ditolong akan menolongnya kembali sebagai

balasan dan bila ia tidak menolong maka kelak ia pun tidak akan mendapat

pertolongan.

2.2 Teori Belajar

Sumbangan teori belajar terhadap tingkah laku menolong ada dua teori yang

menjelaskan tingkah laku menolong, yaitu teori belajar sosial (social learning

theory) dan teori pertukaran sosial (social exchange theory).

a. Teori Belajar Sosial (social learning theory)

Dalam teori belajar sosial, tingkah laku manusia dijelaskan sebagai hasil

proses belajar terhadap lingkungan. Berkaitan dengan tingkah laku menolong,

seseorang menolong karena ada proses belajar melalui observasi terhadap

model prososial. Dalam sebuah penelitian dilapangan, seorang wanita muda

(asisten peneliti) yang bannya kempes memarkirkan mobilnya disamping

jalan. Para pengendara yang lewat di jalan itu lebih banyak yang berhenti dan

menolong wanita ini jika sebelumnya mereka melihat situasi dimana ada

wanita lain yang punya masalah dengan mobilnya dan terlihat ada yang

menolong (Baron, Byrne dan Branscombe, 2006). Dalam kehidupan sehari-

hari, sering kali peminta sumbangan mencantumkan dalam daftar penyumbang

nama orang (fiktif) dan besar sumbangan yang diberikan dengan jumlah yang

cukup signifikan. Hal ini dimaksudkan agar mendorong calon penyumbang

untuk mau menyumbang dan sering kali cara ini berhasil.

Selain peranan model prososial di dunia nyata model-model prososial di media

juga cukup efektif dalam membentuk norma sosial yang mendukung tingkah

2 Sarwono, 2002 dalam Sarwono 2009

4

Page 5: Prosocial Behavior

laku menolong. Penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa anak-anak

cenderung merespons secara prososial setelah melihat model di media

melakukan tingkah laku menolong, maka sebaliknya model anti sosial dapat

menghambat tingkah laku menolong (Baron, Byrne dan Branscombe 2006).

Dengan demikian, seseorang dapat menjadi altruis karena lingkungan

memberi contoh-contoh yang dapat di observasi untuk bertindak menolong.

Menurut teori belajar, apa yang tampak sebagai alturis sesungguhnya dapat

mempunyai kepentingan pribadi yang terselubung. Misalya, orang dapat

merasa lebih baik setelah memberikan pertolongan, atau menolong untuk

menghindari perasaan bersalah atau malu jika tidak menolong.

b. Teori Pertukaran Sosial (social exchange theory)

Menurut teori pertukaran sosial, interaksi sosial bergantung pada untung dan

rugi yang terjadi. Teori ini melihat tingkah laku sosial sebagai hubungan

pertukaran dengan memberi dan menerima (take and give relationship). Apa

yang dipertukarkan dapat berupa materi (berupa uang atau perhiasan) atau non

materi (misalnya penghargaan, penerimaan, prestasi).

Untuk menjelaskan tingkah laku menolong teori ini mengatakan bahwa

interaksi manusia mengikuti prinsip ekonomi, yaitu memaksimalkan ganjaran

(untung) dan meminimalkan biaya (rugi) yang disebut dengan strategi

minimax. Contohnya ketika seseorang ditawarkan untuk donor darah,

sebelum mendonorkan darahnya, ia akan menghitung untung ruginya. Bila

ikut mendonor, maka untungnya ia bisa mendapatkan penghargaan dari

lingkungan ataupun kepuasan batin karena telah berbuat baik, dan ruginya ia

harus menahan rasa sakit ketika disuntik. Sebaliknya jika ia tidak mendonor

maka ia tidak perlu menahan rasa sait karena disuntik namun ia tidak akan

mendapat penghargaan dari lingkunganya.

Sesuai dengan teori pertukan sosial, tingkah laku menolong juga bisa semata-

mata hanya untuk menutupi kepentingan pribadi seseorang. Misalnya

mendonor darah untuk mendapatkan pujian, bukan niat untuk menolong orang

yang membtuhkan. Dengan demikian, keuntungan dari tingkah laku menolong

dapat bersifat menolong untuk memperoleh imbalan dari lingkungan (external

self-rewards) atau menolong untuk mendapatkan kepuasan batin (internal self-

rewards).

5

Page 6: Prosocial Behavior

2.3 Teori Empati

Empati merupakan respons yang kompleks, meliputi komponen afektif dan

kognitif. Dengan komponen afektif, berarti seseorang dapat merasakan apa

yang orang lain rasakan dan dengan komponen kognitif seseorang mampu

memahami apa yang orang lain rasakan beserta alasannya. Daniel Batson

(2008) menjelaskan adanya hubungan antara empati dengan tingkah laku

menolong serta menjelaskan bahwa empati adalah sumber dari motivasi

alturistik.

1. Hipotesis Empati-alturistik (emphaty-altursm hypotesis)

Dalam hipotesis ini dikatakan bahwa perhatian yang empatik yang

dirasakan seseorang terhadap penderitaan orang lain akan menghasilkan

motivasi untuk mengurangi penderitaan orang tersebut. Motivasi

menolong ini bisa sangat kuat sehingga seseorang bersedia terlibat dalam

aktivitas menolong yang tidak menyenangkan, berbahaya bahkan dapat

mengancam jianya (Batson, 2008 dalam Sarlito, Sarwono, 2009). Dengan

demikian, motivasi seseorang untuk menolong adalah karena ada orang

lain yang membutuhkan bantuan dan rasanya menyenangkan bila dapat

berbuat baik.

2. Model mengurangi perasaan negatif (negative-state-relief model )

Model mengurangi perasaan negatif dikemukakan oleh Caldini dan rekan-

rekannya dalam penelitiannya (1981 dalam Baron, Byrne dan Branscombe,

2006). Dalam teori ini dijelaskan bahwa orang menolong untuk

mengurangi perasaan negatif akibat melihat penderitaan orang

lain.Penderitaan ini tidak selalu harus merupakan akibat dari melihat

penderitaan orang lain. Seseorang bisa saja berada dalam suasana hati

yang negatif sebelum melihat orang yang kesusahan dan dengan menolong

diharapkan ia dapat mengurangi perasaan negatifnya tersebut. Dengan

demikian, tingkah laku menolong dapat berperan sebagai self-help agar

seseorang terbebas dari suasana hati yang tidak menyenangkan.

3. Hipotesis Kesenangan Empatik (emphathic joy hypothesis)

6

Page 7: Prosocial Behavior

Tingkah laku menolong dapat dijelaskan berdasarkan hipotesis kesenangan

empatik.3 Dalam hipotesis tersebut, dikatakan bahwa seseorang akan

menolong bila ia memperkirakan dapat ikut merasakan kebahagiaan orang

yang akan ditolong atas pertolongan yang diberikannya. Satu hal yang

paling penting disini adalah seseorang yang menolong perlu untuk

mengetahui bahwa tindakannya akan memberikan pengaruh yang positif

bagi orang yang ditolong. Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali

seseorang menolong karena percaya bahwa pertolongannyaakan

memberikan hasil yang positif.

Dari tiga teori empati yang telah dijelaskan, terlihat bahwa kondisi afektif

seseorang merupakan elemen yang penting. Seseorang menolong karena

tindakannya akan meningkatkan perasaan positif dan mengurangi perasaan

negatif atas dirinya.

2.4 Teori Perkembangan Kognisi Sosial

Dalam merespons suatu situasi darurat (situasi yang membutuhkan

pertolongan), tentunya diperlukan sejumlah informasi yang harus direspons

dengan cepat sebelum seseorang memutuskan untuk memberikan pertolongan.

Dengan demikian, tingkah laku menolong melibatkan proses kognitif seperti

persepsi, penalaran, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.

Pendekatan kognisinberfokus pada pemahaman yang mendasari suatu tingkah

laku sosial. Penelitian yang mengkaji hubungan antara perkembangan kognisi

sosial dengan tingkah laku menolong lebih difokuskan pada bagaimana

seorang anak memahami kebutuhan orang lain dan bereaksi membantunya.

2.5 Teori Norma Sosial

Norma merupakan harapan-harapan masyarakat yang berkaitan dengan

tingkah laku yang seharusnya dilakukan seseorang (Myers, 1996 dalam

Sarlito, Sarwono, 2009). Ada dua bentuk norma sosial yan memotivasi

seseorang untuk melakukan tingkah laku menolong yaitu: norma timbal-balik

(the reciprocity norm) dan norma tanggung jawab sosial (the social

responsibility norm).

3 Smith,dkk dalam Baron, Byrne dan Branscombe, 2006

7

Page 8: Prosocial Behavior

1. Norma Timbal-Balik (the reiprocity norm)

Norma timbal-balik merupakan norma yang bersifat universal yaitu

seseorang harus menolong orang yang pernah menolongnya. Hal ini

menyiratkan adanya prinsip balas budi dalam kehidupan bermasyarakat4 .

Dengan demikian, seseorang harus menolong orang lain karena kelak di

masa mendatang, ia akan ditolong oleh orang lain atau ia pernah ditolong

orang pada masa sebelumnya. Norma ini berlaku untuk hubungan sosial

yang bersifat setara. Untuk hubungan sosial yang tidak setara, misalnya

dengan anak-anak dan orang cacat, berlaku norma tanggung jawab sosial

(Myers, 1996 dalam Sarwono,2009).

2. Norma Tanggung Jawab Sosial (the social-responsibility norm)

Bila norma timbal-balik mengharuskan seseorang berbuat seimbang antara

memberi dan menerima di dalam sebuah hubungan sosial, maka dalam

norma tanggung jawab sosial, orang harus memberikan pertolongan

kepada orang yang membutuhkan pertolongan tanpa mengharapkan

balasan di masa datang (Schwartz, 1975 dalam Sarwono, 2009). Norma ini

memotivasi orang untuk memberikan bantuannya kepada orang-orang

yang lebih lemah dari dirinya, misalnya membantu orang yang cacat,

membantu orang yang sudah tua, atau seorang anak membantu adiknya

yang lebih kecil ketika terjatuh untuk bangun kembali.

3.Faktor-Faktor yang Menyebabkan Perilaku Menolong

a) Bystender

Bystender atau orang-orang yang berada di sekitar tempat kejadian mempunyai peran

yang sangat besar dalam mempengaruhi seseorang saat memutuskan antara menolong

atau tidak ketika dihadapkan pada keadaan darurat.

b) Daya Tarik

Sejauh mana seseorang mengevaluasi korban secara positif (memiliki daya tarik)

akan mempengaruhi kesediaan orang untuk memberikan bantuan. Apapun faktor

4 Menurut sosiolog Alvin Gouldner (1960) yang dikutip dalam Sarlito, Sarwono, 2009.

8

Page 9: Prosocial Behavior

yang dapat memnyebabkn ketertatikan bystender kepada korban, akan meningkatkan

terjadinya respons untuk menolong (Clark,dkk dalam Sarwono,2009).Seseorang akan

cenderung menolong orang yang dalam beberapa hal mirip dengan dirinya (Krebs,

1975 dalam Sarwono, 2009). Oleh karena itu orang pada umumnya akan menolong

anggota kelompoknya terlebih dahulu (in-group) baru kemudian menolong orang lain

(out-group) karena sebagai suatu kelompok tentunya ada beberapa kesamaan dalam

diri mereka yang mengiikat mereka dalam suatu kelompok.

c) Atribusi Terhadap Korban

Seseorang akan termotivasi untuk memberikan bantuan pada orang lain bila ia

mengasumsikan bahwa ketidakberuntungan korban adalah diluar kendali korban

(Weiner, 1980 dalam Sarwono, 2009). Dengan demikian pertolongan tidak akan

diberikan bila bystender mengasumsikan kejadian yang kurang menguntungkan pada

korban adalah kesalahan korban sendiri (atribusi internal).

d) Ada Model

Adanya model yang melakukan tingkah laku menolong dapat mendorong seseorang

untuk memberikan pertolongan pada orang lain. Dalam obsevasinya terhadap orang-

orang yang berbelanja di sebuah toko pada musim natal di New Jersey5, melihat

bahwa orang-orang kemungkinan akan lebih besar untuk memberikan sumbangannya

di kotak amal yang disediakan di toko tersebut bila sebelumnya mereka melihat ada

orang lain yang menyumbang.

e) Desakan Waktu

Orang yang sibuk dan tergesa-gesa cenderung tidak menolong, sedangkan orang yang

punya waktu luang lebih besar kemungkinannya untuk memberikan pertolongan

kepada yang memerlukannya (Sarwono,2002 dalam Sarwono,2009).

f) Sifat Kebutuhan Korban

Kesediaan untuk menolong dipengaruhi oleh kejelasan bahwa korban benarr-benar

membutuhkan pertolongan (clarity of need), korban memang layak mendapatkan

5 Byran dan Test (1967) yang dikutip dalam Baron, Byrne, Branscombe (2006)

9

Page 10: Prosocial Behavior

bantuan yang dibutuhkan (legitimate of need), dan bukanlah tanggung jawab korban

sehingga dia membutuhkan bantuan dari orang lain (atribusi eksternal)6. Dengan

demikian, orang yang meminta pertolongan akan memiliki kesempatan yang lebih

besar untuk ditolong daripada orang yang tidak meminta pertolongan (walau ia

sesungguhnya juga butuh pertolongan) karena permintaan tolong korban membuat

situasi pertolongan menjadi tidak ambigu.

4.Pengaruh faktor dari dalam diri

1. Suasana hati (mood)

Emosi sesorang dapat mempengaruhi kecendrungannya untuk menolong (Bron,

Byrne, Branscombe, 2006 dalam sarwono 2009). Emosi positif secara umum

meningkatkan tingkah laku menolong. Namun, jika situasinya tidak jelas (ambigu),

maka orang yang sedang bahagia cendrung untuk mengasumsikan bahwa tidak ada

keadaan darurat sehingga tidak menolong. Pada emosi negatif, seseorang sedang sedih

mempunyai kemungkinan menolong yang lebih kecil. Namun, jika dengan menolong

dapat membuat suasana hati lebih baik, maka dia akan memberikkan pertolongan.

2. Sifat

Beberapa penelitian terhadap hubungan antara karakteristik seseorang dengan

kecendrungannya untuk menolong. Orang mempunyai sifat pemaaf (forgiveness), ia

akan mempunyai kecendrungan mudah menolong (Karremans, dkk, 2005 dalam

sarwono 2009). Orang yang mempunyai pemantauaan diri (self monitoring) yang

tinggi juga cendrung lebih penolong, karena dengan menjadi penolong, ia akan

memperoleh penghargaan sosial yang lebih tinggi (White & Gerstein, 1987, dalam

sarwono, 2002). Beberapa karakteristik lainnya yang mengandung tingkah laku

menolong adalah kebutuhan akan persetujuan (need for approval). Individu yang

kebutuhannya akan pujian ataupuntanda-tanda penghargaan lainnya sangat tinggi, jika

situasi menolong memberikan peluang untuk mendapatkan penghargaan bagi dirinya,

maka ia akan meningkatkan tingkah laku menolongnya.7

3. Jenis kelamin

6 Deaux, Dane, Wrightsman, 1993 dalam Sarwono 20097 Deutsch & Lamberti, 1986, dalam Baron, Byrne, Branscombe, 2006.

10

Page 11: Prosocial Behavior

Peranan gender terhadap kecendrungan sesorang untuk menolong sangat bergantung

pada situasi dan bentuk pertolongan yang dibutuhkan. Laki-laki cendrung lebih mau

terlibat dalam aktivitas menolong pada situasi darurat yang membahayakan, misalnya

menolong sesorang dalam kebakaran. Hal ini tampaknya terkait dengan peran

tradisional laki-laki, yaitu laki-laki dipandang lebih kuat dan lebih mempunyai

keterampilan untuk melindungi diri. Sementara perempuan, lebih tampil menolong

pada situasi yang bersifat memberi dukungan emosi, merawat, dan mengasuh.8 Dalam

penelitian yang dilakukan Zimmer-Gembeck, dkk. (2005) ditemukan bahwa

kecendrungan untuk menolong pada anak-anak remaja lebih besar pada remaja

perempuan dibandingkan dengan remaja laki-laki.

4. Tempat tinggal

Orang yang tinggal dipedesaan cendrung lebih penolong daripada orang yang tinggal

didaerah perkotaan. Hali ini dapat dijelaskan melalui urban-overload hypothesis, yaitu

orang-orang yang tinggal diperkotaan terlalu banyak mendapat stimulasi dari

lingkungan. Oleh karenanya, ia harus selektif dalam menerima paparan informasi

yang sangat banyak agar bisa tetap menjalankan peran-perannya dengan baik. Itulah

sebabnya, diperkotaan, orang-orang yang sibuk sering tidak peduli dengan kesulitan

orang lain karena dia sudah overload dengan tugasnya sehari-hari (Deaux, Dane,

Wrightsman, 1993).

5. Pola asuh

Tingkah laku sosial sebagai bentuk tingkah laku yang menguntungkan orang lain

tidak terlepas dari pola asuh didalam keluarga. Pola asuh yang bersifat demokratis

secara signifikan memfasilitasi adanya kecendrungan anak untuk tumbuh menjadi

seorang yang mau menolong, yaitu melalui peran orangtua dalam menetapkan

standra-standar ataupun contoh-contoh tingkah laku menolong (Bern, 1997 dalam

Sarwono 2009). Pola asuh orangtua yang demokratis juga turut mendukung

terbentuknya internal locus of control (Mashoedi, 2003 dalam Sarwono 2009), yang

merupakan salah satu sifat dari kepribadian altruistik (Baron, Byrne, Branscombe,

2006 dalam Sarwono 2009), yaitu orang yang suak menolong memiliki locus of

control internal yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak suka

menolong.

8 Deaux, Dane, Wrightsman, 1993 dalam Sarwono 2009.

11

Page 12: Prosocial Behavior

5.Pertolongan Jangka Panjang

Dalam pembahasan respon manusia pada prilaku sosial dengan menolong orang

yang membutuhkan, prilaku prososial mempunyai pembahasan yang lebih luas, yaitu

komitmen manusia dalam prilaku tersebut yang akan terus menerus terjadi, kita tentu

menyadari dalam kehidupan kita tak lepas dari kebutuhan akan tolong menolong dan

itu akan terus berlanjut, seperti adanya yayasan amal, pekerjaan polisi, lembaga sosial,

dan masih banyak lagi yang lainnya yang mengabdikan hidup mereka untuk terus

membantu orang lain.9

Menolong sebagai respons pada situasi darurat dapat bersifat seketika ataupun

membutuhkan waktu yang lama untuk terus terlibat memberikan pertolongan. Seperti

para sukarelawan yang memberikan bantuan pada peristiwa bencana alam, menjadi

pendamping bagi penderita AIDS, pendamping dipanti-panti asuhan atau panti jompo,

tentunya siapa saja yang menawarkan diri untuk memberikan bantuan harus memiliki

komitmen dalam waktu, keterampilan bahkan materi dalam waktu yang cukup

panjang. Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka sesorang harus benar-

benar termotivasi untuk secara sukarela memberikan pertolongan jangka panjang.

Salah satu tipe prilaku prososial ialah menjadi relawan membantu orang yang

membutuhkan, baik dalam kejadian bencana alam atau pun yang lainnya, biasanya

relawan akan mencurahkan seluruh waktu mereka, berhari-hari, minggu bahkan bulan,

apakah ini menyusahkan mereka. Di Amerika sendiri terdapat total 26.7% dari

populasi bergabung dengan organisasi relawan, contoh saat badai katrina melanda

wilayah new orelans dan pemerintah hampir kewalahan untuk recovery, begitu

banyak relawan yang berkumpul dan bergotong royong (Clary dan Snyder, 1999

dalam Baron, Byrne, Branscombe, 2006) telah mengidentifikasikan adanya enam

fungsi dasar yang berlaku pada para pekerja sukarela seperti berikut : fungsi nilai

(misanya, menjunjung nilai-nilai kemanusiaan), fungsi pemahaman (belajar lebih

memahami dunia), fungsi pengembangan (pengembangan diri melalui aktivitas

sukarela), fungsi karier (berhubungan dengan karier), fungsi sosial (memperkuat

hubungan sosial), dan fungsi perlindungan (misalnya, untuk mengurangi perasaan

9 Menurut Baron, Robert A, Branscombe, Nyla R, Byrne, Donn. 2008

12

Page 13: Prosocial Behavior

negatif atau rasa bersalah).Selain fungsi-fungsi tersebut terdapat motivasi yang

mendasari perilaku sukarela tersebut.

Tindakan selain manusia terikat dengan faktor-faktor yang berasal dari luar dirinya

dalam dari luar dirinya dalam bentuk justru mendorong atau kekuatan dari dalam

dirinya yang menjadi katalis untuk melakukan . Serta dalam kegiatan sukarela , minat

mereka untuk secara sukarela paling efektif jika mereka mengakui bahwa individu-

individu yang berbeda memiliki alasan yang berbeda untuk terlibat dalam kegiatan

tersebut . Setiap relawan dalam perilaku dengan biasa adalah tujuan yang berbeda dan

motif di balik semua yang telah dilakukan .

Berdasarkan penelitian , ditemukan jika motif yang mendasari perilaku prososial di

HIV / AIDS relawan adalah motif yang altruistik motif ( egois ) atau masyarakat

motif kekhawatiran , yaitu adanya drive tersebut; ingin meminimalkan penyebaran

HIV / AIDS , ingin lebih memberikan kontribusi kepada masyarakat , terutama bagi

kelompok minoritas seperti orang dengan HIV / AIDS ( ODHA ) agar tidak untuk

menjadi terisolasi lagi, dan ingin menjadi mediator untuk menyuarakan untuk

menyuarakan hati nurani mereka yang menginginkan perhatian tidak dikucilkan .

Egoisme motif ( egoisme ) , yang meliputi antara lain , motif pengembangan pribadi ,

yaitu adanya drive tersebut; ingin mendapatkan pengalaman berorganisasi , ingin

belajar komunikasi yang lebih baik , ingin merasakan tantangan melalui

perpanjangan. kegiatan secara langsung dengan berbagai lapisan masyarakat .

Keinginan untuk meningkatkan pemahaman motif , termasuk , ingin tahu

bagaimana kegiatan dan bagaimana menangani orang yang sudah terinfeksi HIV /

AIDS , mendapatkan ilmu dan mendapatkan pengetahuan ketika datang untuk

berurusan HIV / AIDS . Motif untuk meningkatkan harga diri yaitu adanya drive

tersebut; ingin sesekali berguna bagi masyarakat karena untuk ini , mereka

menganggap bahwa mahasiswa hanya bisa bersenang-senang , menghabiskan uang

orang tua dan hanya ingin melakukan kegiatan demonstratif . Motif sosial , dorongan

untuk menambah teman. Motif Karir ,menjadi HIV / AIDS relawan untuk

mendapatkan link jika akan mencari pekerjaan suatu hari nanti .10

Motivasi lain yang mucul dalam komitmen jangka panjang prilaku social ialah, kami

akan merangkumnya dalam sebuah tabel

10 Baron, Robert A, Branscombe, Nyla R, Byrne, Donn. 2008

13

Kepentingan Pribadi

Integritas Moral

Kemunafikan Moral

Sedangkan pada orientasi ini yang di kedepankan ialah moral tetapi di dalamnya ingin mendapat kepuasan diri sendiri.

Prilaku yang lebih mengutamakan nilai moral dan sosial

Sebuah prilaku dimana seseorang akan mendapat kepuasaan diri

Page 14: Prosocial Behavior

6. Siapa yang akan ditolong ?

a. Gender

Persepsi terhadap adanya kebutuhan akan pertolongan sangat menentukan

apakah seseorang akan ditolong atau tidak. Bagaimana dengan perempuan, yang

dipersepsikan sebagai kurang mampu dan lebih tergantung? Apakah perempuan

mempunyai kemungkinan lebih besar untuk ditolong daripada laki-laki? Meskipun

terlihat sebagai sterotip yang merendahkan perempuan, peneliti telah secara konsisten

menunjukkan bahwa laki-laki cendrung memberikkan pertolongan pada perempuan.11

b.Kesamaan

Kesamaan dengan orang lain mendukung munculnya perasaan yang positif,

dan apa adanya perasaan positif memperbesar peluang untuk munculnya tingkah laku

menolong sehingga orang cendrung menolong kepada orang yang memiliki lesamaan

dengan dirinya (Myers, 1996 dalam Sarwono 2009). Kesamaan ini bisa berupa

kesamaan dalam penampilan ataupun kesamaan dalam keyakinan.

c. Orang yang meminta pertolongan

Ketidakpastian mengenai apa yang terjadi pada situasi darurat dan

ketidakpastian mengenai apa yang harus dilakukan dapat menghambat respons

11 Piliavin dan Unger, 1985, dalam Sarwono 2009.

14

Page 15: Prosocial Behavior

bystander untuk menolong. Kondisi tidak jelas (ambigu) dapat menyebabkan

penolong potensial menahan diri dan menunggu kejelasan. Cara paling efektif bagi

seorang korban untuk mengurangi ketidakjelasan tersebut adalah dengan meminta

pertolongan secara jelas (Baron, Byrne, Branscombe, 2009 dalam Sarwono 2009).

7.Bagaimana Orang Menerima Pertolongan ?

Menerima pertolongan dapat menunjukkan bahwa seseorang memiliki

"ketidakmampuan" dalam hal tertentu. Selain itu juga, dapat menimbulkan perasaan

utang budi kepada penolong yang membuat korban merasa harus membalas kebaikan

penolong dimasa datang. Dalam memberikkan pertolongan kepada orang lain, kita

harus memperhatikan cara-cara menolong yang tidak mengancam harga diri korban

agar pertolongannya dapat dihargai ataupun diterima. Pertolongan, selain tidak

mengancam harga diri, juga jangan sampai membuat korban menjadi tergantung

untuk seterusnya. Bila orang mudah mendapat bantuan, dampaknya dapat

mempengaruhi persepsinya terhadap ketidakmampuan dirinya sehingga ia menjadi

kurang berusaha untuk meningkatkan kemampuannya dan kurang mendukung

terbentuknya internal locus of control (Berns, 1997 dalam Sarwono 2009).

8. Meningkatkan Tingkah Laku Menolong

Untuk meningkatkan tingkah laku menolong, hambatan-hambatan yang dapat

mengurangi munculnya tingkah laku menolong perlu dihilangkan, diantaranya

ketidakjelasan situasi darurat. Situasi darurat yang jelas akan mendorong keberanian

seseorang untuk memberikan bantuan. Oleh karena itu, selain adanya kejelasan situasi

darurat, meningkatkan rasa tanggung jawab setiap orang juga penting. Memberikan

bantuan adalah tanggung jawab setiap orang, bukan tanggung jawab orang lain.

Meningkatkan rasa bersalah dan menciptakan self-images (gambaran diri) yang

positif pada penolong potensial juga dapat meningkatkan kemungkinan munculnya

pertolongan. Hal ini dapat dilakukan melalui teknik door-in-the-face, yaitu stategi

untuk memperoleh persetujuan dari orang lain dengan cara mengajukan permintaan

setingkat lebih tinggi dari yang diinginkan. Apabila permintaan tersebut ditolak, maka

ia mengajukan permintaan yang lebih kecil dan masuk akal. Hal ini membuat orang

yang dimintai pertolong merasa bersalah bila menolaknya lagi dan untuk

15

Page 16: Prosocial Behavior

mendapatkan self-images yang positif, maka penolong potensial pun memberikan apa

yang diminta (dalam hal ini berupa pertolongan) (Myers, 1996 dalam Sarwono 2009).

Sosialisai tingkah laku menolong dalam masyarakat dapat diciptakan melalui kegiatan

amal dan memberikan dukungan pada orang-orang yang melakukan tingkah laku

menolong. Sifat altruis juga dapat ditumbuhkan melalui pola asuh dirumah ataupun

pendidikan disekolah. Anak-anak yang sejak kecil ditanamkan untuk memiliki rasa

tanggung jawab pribadi cendrung lebih bersifat altruis (Berns, 1997 dalam Sarwono

2009).

9. Berbagai Penelitian yang Berhubungan dengan Prosocial Behavior

1. Bryant, Phil C, Davis,Charlotte A, Hancock, Julie I, Vardaman , James M. 2010.

When Rule Makers Become Rule Breakers: Employee Level Outcomes of

Managerial Pro-Social Rule Breaking. Journal of Employ Respons Rights J.

22,101–112

Morison (2006) dalam Jurnal of Employ Respons Rights J. 22,101–112 ketika dalam

membangun aturan prososial ada 2 cara :

A . Menjelaskan proses melalui PSRB (Pro-social Rule Breaking)

PSRB didefinisikan sebagai "setiap kasus di mana seorang karyawan sengaja

melanggar kebijakan resmi organisasi, regulasi, atau pelarangan dengan tujuan

utama mempromosikan kesejahteraan dari organisasi atau salah satu

stakeholder” (Morrison 2006: 6). Perkembangan konstruksi ini menimbulkan

gagasan bahwa pelanggaran kebijakan organisasi sebenarnya bisa ditujukan

baik dan bahkan "baik" dalam perilaku organisasi. Dalam studinya, Morrison

menemukan bahwa kecenderungan risiko, perilaku rekan kerja, dan otonomi

pekerjaan adalah prediktor signifikan PSRB.

B. Menyediakan model konseptual

Model konseptual dimaksudkan untuk memandu penelitian dimasa datang ke

PSRB. Model ini membahas mekanisme melalui manajerial PSRB yang dapat

menyebabkan hasil negatif karyawan.

16

Page 17: Prosocial Behavior

Morison (2006), mengidentifikasi ada 3 kategori alasan mengapa karyawan

mungkin terlibat dalam PSRB :

a. Agar pekerjaan lebih efisien

b. Untuk membantu rekan kerja atau bawahan

c. Untuk membantu klien atau pelanggan

Hackman dan Oldham (1976) menyebutkan bahwa otonomi sebagai salah satu

karakteristik dari suatu pekerjaan. Otonomi pekerjaan memberikan setiap individu

dari karyawan kontrol atas sarana yang mana mereka dapat menyelesaikan

pekerjaan mereka sesuai kehendak mereka . Morrison (2006) beralasan bahwa ini

meningkatkan kontrol atas sarana dan akan meningkatkan kemungkinan bahwa

karyawan akan memutuskan untuk terlibat dalam PSRB.

2. Nilsson, Jonas. 2008. Investment with a Conscience: Examiningthe Impact of Pro-Social

Attitudes and Perceived Financial Performance on Socially Responsible Investment Behavior.

Journal of Business Ethics. 83,307–325.

Kesimpulan dari penelitian ini untuk mengeksplorasi :

Tujuan dari penelitian ini untuk mengeksplorasi hubungan antara sikap

oportunistik dan pro - diri orientasi nilai sosial , self - fokus , disposisi narsis dan

antisosial dan mencari kepentingan pribadi , perilaku non - kooperatif dalam situasi

permainan

Penelitian ini berfokus pada hubungan antara sikap oportunis ekonomi dan )

beberapa karakteristik disposisional pro - diri , kecenderungan yaitu narsis dan

antisosial dan pro - diri orientasi nilai sosial ( SVO ) , b ) kepentingan diri mencari ,

lari perilaku ekonomi dalam permainan situasi . Sebenarnya , preferensi oportunis

untuk aspirasi kehidupan ekstrinsik kekayaan , ketenaran dan citra ( Sotiriou , 2010 )

serta untuk , ikatan sosial genting longgar , menunjukkan orientasi narsis. Oleh karena

itu, dapat dikatakan bahwa hasil oportunisme dari kombinasi konfliktual antara : a)

pro - diri ( egois , mencari kepentingan pribadi , narsis , anti - sosial ) , orientasi lebih

individualistis dan materialistis , preferensi untuk aliansi sosial genting dan longgar ,

semua karakteristik yang khusus untuk budaya individualistis ( Kim , 1994) dan b )

17

Page 18: Prosocial Behavior

defisit integrasi dari beberapa nilai-nilai yang dominan dan norma masyarakat

individualistis seperti otonomi dan internalisasi . Sebuah integrasi terbaik dari norma-

norma ini mungkin bisa memungkinkan untuk memenuhi tujuan dan sasaran yang

spesifik untuk individu berorientasi pro - diri ini individualistis , melalui strategi yang

lebih adil dan sah .

Kesimpulan

Tingkah laku menolong adalah tindakan individu yang ditunjukkan untuk menolong

orang lain tanpa adanya keuntungan langsung bagi penolong. Contoh menolong yang

murni adalah altruism, yaitu menolong untuk kesejahteraan orang lain semata

(selfless), tanpa motivasi untuk kepentingan diri sendiri (selfish)

Berbagai teori telah menjelaskan mengapa orang menolong. Pendekatan teori evolusi

menekankan peran gen dalam mempengaruhi tingkah laku menolong, yaitu untuk

membantu kelangsungan hidup gen dari suatu spesies.

Pada teori belajar, tingkah laku menolong dijelaskan melalui teori belajar sosial dan

teori pertukaran sosial. Dalam teori belajar sosial menolong merupakan hasil proses

belajar sosial terhadap lingkungan, sedangkan teori pertukaran sosial menekankan

bahwa dalam suatu interaksi sosial terdapat prinsip minimax (memaksimalkan untung

dan meminimalkan rugi). Dengan demikian, dalam tingkah laku menolong ada

perhitungan untung rugi. Keuntungan tersebut dapat bersifat menolong untuk

memperoleh imbalan dari lingkungan (external self-rewards) atau menolong untuk

kepuasan batin (internal self-rewards).

Teori empati berusaha menjelaskan mengapa ada orang yang menolong tanpa pamrih.

Ada tiga teori empati, yaitu hipotesis empati-altruisme, model mengurangi perasaan

negatif, dan hipotesis kesenangan empatik. Pada hipotesis empati-altruisme menolong

adalah untuk membantu orang lain dan rasanya menyenangkan bila dapat membantu

orang lain. Model mengurangi perasaan negatif mengemukakan bahwa tingkah laku

menolong adalah untuk mengurangi atau menghilangkan perasaan negatif yang timbul

akibat melihat kesulitan orang lain. Sedangkan hipotesis kesenangan empatik

menjelaskan bahwa seseorang akan menolong bila ia memperkirakan dapat

memberikan dampak positif pada orang lain dan dapat ikut merasakan kebahagiaan

orang yang akan ditolong karena pertolongan yang diberikannya tersebut.

Teori perkembangan kognisi sosial memfokuskan pada pemahaman yang mendasar

suatu tingkah laku menolong. Perkembangan kognisi individu bergerak dari tahap

18

Page 19: Prosocial Behavior

yang bersifat tidak logis (illogical), egosentrik, dan selfish-hedonistic, ketahap yang

lebih bersifat logis (logical), empati dan mempertimbangkan moral.

Seseorang menolong karna ia merasa harus melakukannya. Ini merupakan penjelasan

teori norma sosial terhadap tingkah laku menolong. Norma timbal-balik menegaskan

bahwa seseorang harus menolong orang yang sudah menolongnya, sementara norma

tanggung jawab sosial menjelaskan bahwa seseorang harus menolong orang yang

membutuhkan pertolongan.

Faktor situasional turut mempengaruhi apakah suatu tingkah laku menolong akan

diberikan atau tidak. Faktor-faktor tersebut adalah bystander, daya tarik korban,

atribusi terhadap korban, adanya model yang menolong, desakan waktu, dan sifat

kebutuhan korban. Selain faktor situasional, faktor dalam diri individu juga dapat

mempengaruhi tingkah laku menolong seperti suasana hati, sifat, jenis kelamin,

tempat tinggal, dan pola asuh.

Dalam mengambil keputusan apakah akan menolong atau tidak, ada lima tahap yang

harus dilalui oleh calon penolong. Tiap tahap memberi peluang pada calon penolong

apakah ia akan terus memproses situasi darurat yang dilihatnya atau ia akan berhenti

disuatu tahap sehingga pertolongan tidak diberikan.

Siapakah yang akan ditolong? Gender (dalam hal ini perempuan), kesamaan antara

calon penolong dengan yang ditolong, dan kejelasan bahwa korban butuh pertolongan

akan memperbesar peluang untuk ditolong. Pertolongan dapat mengancam harga diri

orang yang ditolong. Oleh karena itu, agar pertolongan dapat diterima dan dihargai,

kita perlu memperhatikan cara-cara menolong yang tidak menurunkan harga diri

korban.

Tingkah laku menolong adalah salah satu bentuk interaksi manusia yang psitif

sehingga perlu ditingkatkan. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan kesadaran

individu bahwa menolong adalah tanggung jawab masing-masing individu, sehingga

tidak perlu terjadi penyebaran tanggung jawab. Dukungan terhadap kegiatan-kegiatan

amal juga merupakan saran untuk menyosialisasikan tingkah laku menolong. Pola

asuh dan pendidikan disekolah juga tidak kalah pentingnya dalam menumbuhkan

pribadi-pribadi yang altruis.

19

Page 20: Prosocial Behavior

Daftar Pustaka

Baron, Robert A, Byrne, Donn. 2005. Psikologi Sosial Edisi Sepuluh. Jakarta : Erlangga.

Baron, Robert A, Branscombe, Nyla R, Byrne, Donn. 2006. Social Psychology Ten Edition.

Boston : Allyn & Bacon, Inc.

20

Page 21: Prosocial Behavior

Baron, Robert A, Branscombe, Nyla R, Byrne, Donn. 2008. Social Psychology Twelfth Edition.

Boston : Allyn & Bacon, Inc.

Bryant, Phil C, Davis,Charlotte A, Hancock, Julie I, Vardaman , James M. 2010. When Rule Makers

Become Rule Breakers: Employee Level Outcomes of Managerial Pro-Social Rule Breaking. Journal

of Employ Respons Rights J. 22,101–112

Nilsson, Jonas. 2008. Investment with a Conscience: Examiningthe Impact of Pro-Social Attitudes

and Perceived Financial Performance on Socially Responsible Investment Behavior. Journal of

Business Ethics. 83,307–325.

Sarlito, Sarwono. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta : Salemba Humanika.

21