Top Banner
301

prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

Dec 31, 2016

Download

Documents

voque
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini
Page 2: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

ISBN 978-602-99218-3-0

PROSIDING SEMILOKA RISET PENGELOLAAN DAS MENUJU KEBUTUHAN TERKINI Surakarta, 27-28 Juni 2011 Terbit Tahun 2012 Tim Penyunting : Prof. Ris. Dr. Ir. Pratiwi, M.Sc Dr. Ir. Achmad Fauzi Mas’ud, M.Sc I Wayan S Dharmawan, S.Hut, MSi Ir. Sri Suharti, M.Sc

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi

Page 3: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

Prosiding Semiloka Riset Pengelolaan DAS Menuju Kebutuhan Terkini Bogor, Indonesia : Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (P3KR), 2012 ISBN : 978-602-99218-3-0 Foto Sampul : Retisa Mutiaradevi Farika Dian Nuralexa Desain Sampul : Eko Priyanto © P3KR 2012 Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang Diterbitkan oleh : Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (P3KR) Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor, Indonesia Telp : (0251) 8633234 Fax : (0251) 8638111 E-mail: [email protected] Website: http://www.p3kr.com Dicetak oleh : Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Page 4: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

iii

Tim Penyunting

Penanggung Jawab Redaktur

: :

Ir. Bambang Sugiarto, M.P Ir. Didik Purwito, M.Sc

Penyunting : Prof. Ris. Dr. Ir. Pratiwi, M.Sc

Dr. Ir. Achmad Fauzi Mas’ud, M.Sc I Wayan S Dharmawan, S.Hut, M.Si Ir. Sri Suharti, M.Sc

Sekretariat : Ir. Erna Rushernawati Retisa Mutiaradevi, S.Kom, MCA

Rara Retno Kusumastuti R, S.H, M.Hum

Nur Rahmat Eko Priyanto, SP Farika Dian Nuralexa, Shut

Zamal Wildan, S.Kom

Page 5: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

iv

KATA PENGANTAR Kejadian bencana alam banjir, kekeringan, dan tanah longsor sering dikaitkan dengan kerusakan DAS dimana kondisi DAS mengalami degradasi atau penurunan fungsi sebagai akibat dari ulah manusia dan perubahan iklim. Bencana alam banjir dan tanah longsor merugikan harta benda yang tidak sedikit bahkan jiwa. Di Indonesia terdapat 108 DAS prioritas yang membutuhkan penanganan karena luasnya lahan kritis di dalam DAS tersebut. Pada tahun 2007, luas lahan kritis masih terus berkembang hingga mencapai 77,8 juta hektar yang tersebar di dalam kawasan hutan hingga mencapai 51 juta hektar, dan di luar kawasan hutan kurang lebih 26,8 juta hektar. Masih lemahnya seluruh fungsi dari sistem pengelolaan DAS baik perencanaan, kelembagaan, implementasi, dan monitoring evaluasi mengakibatkan kondisi tersebut. Penyediaan teknologi rehabilitasi dan reklamasi lahan atau teknik konservasi tanah dan air yang memadai sesuai dengan kondisi setempat juga masih diperlukan. Beberapa tantangan dalam pengelolaan DAS yang harus dihadapi antara lain: bencana alam dan optimalisasi pengelolaan DAS; DAS sebagai basis perencanaan wilayah; dampak kegiatan di suatu wilayah terhadap wilayah lainnya; dan keterpaduan dalam pengelolaan DAS. Untuk mengatasi tantangan tersebut diperlukan pendekatan pengelolaan berbasis DAS baik secara teknis maupun kelembagaan. Suatu metode pengelolaan DAS yang tepat diperlukan untuk mengurangi resiko bencana alam, mengoptimalkan fungsi DAS dan perencanaan wilayah. Untuk maksud tersebut dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang memadai bagi para pihak yang terkait dengan pengelolaan DAS melalui serangkaian penyelenggaraan riset. Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan DAS merupakan salah satu Program Badan Litbang Kehutanan yang dituangkan dalam Renstra Tahun 2010-2014. Program tersebut dipilah dalam dua kegiatan riset yang terangkum dalam rencana penelitian integratif (RPI): (1) Sistem Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam Kabupaten (Hulu), Lintas Kabupaten, dan Lintas Provinsi; dan (2) Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Pendukung Pengelolaan DAS. Pada hakekatnya keduanya tidak terpisahkan dalam penyelenggaraan pengelolaan DAS karena

Page 6: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

v

Bogor, Mei 2012 Kepala Pusat Litbang Konservasi dan Rehabiltiasi Ir. Adi Susmianto, M.Sc NIP. 19571221 198203 1 002

keduanya bersifat komplementer. Pemilahan dilakukan sebagai upaya untuk memudahkan penyelenggaraan litbang maupun memudahkan pengguna IPTEK dan pengambil kebijakan dalam menangani permasalahan yang dihadapi. Permasalahan pengelolaan DAS masih berat sehingga program litbang terus berjalan dan disusun dalam rencana Strategis Badan Litbang Kehutanan. Dengan demikian Semiloka “Riset Pengelolaan DAS Menuju Kebutuhan Terkini” diselenggarakan dalam rangka: (1) memperoleh masukan dan saran dari parapihak dalam menyusun program riset pengelolaan DAS ke depan yang lebih tepat sasaran dan sesuai dengan permasalahan yang dihadapi, dan (2) mendiseminasikan hasil-hasil dari kedua RPI. Prosiding Semiloka “Riset Pengelolaan DAS Menuju Kebutuhan Terkini” ini memuat 13 judul materi yang dibahas, serta rumusan seminar yang merangkum keseluruhan dari hasil diskusi. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada Tim Penyaji, Panitia Penyelenggara, Penyunting Prosiding, serta pihak-pihak yang telah mendukung sampai selesainya kegiatan. Semoga Prosiding ini bermanfaat.

Page 7: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

vi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………….................. iv DAFTAR ISI…………………………………………….................. vi PENGARAHAN

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan........

viii Keynote Speech Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah

Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial........................................

xiii

RUMUSAN Rumusan Ekspose........................…………………………........

xxiv

MAKALAH-MAKALAH

1. Aplikasi Sidik Cepat Degradasi Sub Daerah Alirah Sungai (Sub DAS) Dengan Monitoring dan Evaluasi Kinerja Sub DAS (Lingkup Kabupaten Dominan) (Nur Ainun Jariyah dan Irfan Budi Pramono).....................................................

1

2. Tingkat Kekeruhan Air Sungai pada Berbagai Variasi

Luas Hutan Pinus di Sub DAS Kedungbulus, Gombong (Irfan Budi Pramono)...........................................................

22

3. Optimalisasi Penggunaan Sumberdaya Lahan: Kasus DAS Grindulu, Kabupaten Pacitan (S. Andy Cahyono)......

32

4. Tipologi Daerah Aliran Sungai (DAS) untuk Pengelolaan DAS Kedepan (S. Andy Cahyono)......................................

51

5. Karakteristik Lahan sebagai Basis Perencanaan Konservasi Tanah di Sub Daerah Aliran Sungai Progo Hulu (Paimin dan Pamungkas Buana Putra)...…….............

67

6. Identifikasi Kerentanan Sosial Ekonomi Kelembagaan Sebagai Dasar Perencanaan Sub Daerah Aliran Sungai Progo Hulu (Nana Haryanti dan Paimin).............................

82

7. Kelembagaan Pengelolaan Mikro Daerah Aliran Sungai (Mikro DAS) Wonosari (Purwanto)......................................

100

Page 8: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

vii

8. Kelembagaan Pengelolaan Hutan Rakyat dalam Mendukung Rehabilitasi Lahan (Dewi Retna Indrawati dan Purwanto).............................................................................

124

9. Sistem Perencanaan Kehutanan dalam Perspektif Sistem Perencanaan Pengelolaan Sub DAS -Studi Kasus di Sub DAS Progo Hulu (Pamungkas Buana Putra dan Paimin)....

146

10. RHL Partisipatif Pada Hulu DAS : Mengelola Sumberdaya Lahan dan Air Melalui Dialog Catatan Pengalaman Penelitian Di Sulawesi Tahun 2001-2011 (Hunggul Yudhono dan Kudeng Sallata).............................................

175

11. Pengelolaan Lahan di Sub DAS Cisadane Hulu untuk Mendukung Kelestarian Tata Air (I Wayan Susi Dharmawan, Fitri Kusumadewi dan Pratiwi)........................

195

12. Konservasi Tanah dan Air Secara Partisipatif Dengan Pendekatan Model Agroforestri Lokal (Ida Rachmawati).....

211

13. Kajian Ketersediaan Air Permukaan pada Tanaman Kayuputih (Ugro Hari M dan Rahardyan Nugroho Adi)……

227

LAMPIRAN

Jadwal Acara.............................................................................

239

Daftar Peserta............................................................................ 244 Hasil Diskusi………………………………………………………... 248

Page 9: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

viii

PENGARAHAN Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

Dalam Semiloka Dengan Tema :

“Riset Pengelolaan DAS Menuju Kebutuhan Terkini”

Yth : Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial, Kepala Pusat Lingkup Badan Litbang Kehutanan Para Pakar dan Nara Sumber Para Profesor, Peneliti dan Widyaiswara Bapak/Ibu peserta semiloka yang kami hormati, Assalamu’alaikum Wr. Wb. Puji syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah SWT, atas nikmat dan karunia yang dilimpahkan kepada kita serta atas perkenan-Nya pulalah kita masih diijinkan untuk hadir di Solo pada acara semiloka yang dilaksanakan oleh Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi bersama dengan Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS ini. Bapak/lbu peserta semiloka yang kami hormati, Kondisi hutan, dilihat dari penutupan lahan/vegetasi, mengalami perubahan yang cepat dan dinamis, sesuai perkembangan pembangunan dan perjalanan waktu. Banyak faktor yang mengakibatkan perubahan tersebut antara lain pertambahan penduduk, dan pembangunan diluar sektor kehutanan yang sangat pesat memberikan pengaruh besar terhadap meningkatnya kebutuhan akan lahan dan produk-produk dari hutan. Kondisi demikian diperparah dengan adanya perambahan hutan dan

Page 10: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

ix

terjadinya kebakaran hutan yang mengakibatkan semakin luasnya kerusakan hutan alam tropika di Indonesia. Sejak tahun 1970-an degradasi DAS berupa lahan gundul tanah kritis, erosi pada lereng-lereng curam baik yang digunakan untuk pertanian maupun untuk penggunaan lain seperti permukiman dan pertambangan, sebenarnya telah memperoleh perhatian pemerintah. Namun proses degradasi tersebut terus berlanjut, karena tidak adanya keterpaduan tindak dan upaya yang dilakukan dari sektor atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan DAS. Kerusakan hutan juga menjadi penyebab terjadinya penurunan kualitas Daerah Aliran Sungai (DAS). Sebagai akibatnya, kestabilan ekosistem terganggu dan menimbulkan dampak negatif terhadap peran hutan sebagai penyangga kehidupan termasuk dalam menjaga stabilitas tata air. Penerapan pendekatan "one-river, one-plan, one-management" tidak mudah diwujudkan mengingat banyak pihak yang terkait dan berkepentingan dalam pengelolaan DAS. Rehabilitasi DAS dan Sub DAS, terutama yang berkondisi kritis serta peningkatan pengelolaan DAS secara lebih terpadu, menjadi kunci penting untuk memperbaiki kondisi DAS. Kementerian Kehutanan sedang menyiapkan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu untuk 36 unit DAS prioritas, termasuk 13 DAS super prioritas, dan sampai dengan tahun 2014 diharapkan akan dapat diselesaikan penyusunannya mencakup 108 unit DAS Prioritas di Indonesia. Peran litbang kehutanan antara lain adalah menyediakan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dasar dan terapan untuk mendukung sistem perencanaan, monitoring dan evaluasi, kelembagaan serta implementasi pengelolaan DAS, serta pengelolaan sumberdaya lahan dan air dalam unit DAS. Selain itu, teknik rehabilitasi dan restorasi lahan kritis, rehabilitasi hutan mangrove dan gambut, serta revitalisasi hutan kota atau ekosistem perkotaan juga menjadi potensi litbang yang hasilnya akan mendukung upaya-upaya untuk meningkatkan fungsi, daya dukung dan kualitas DAS. Pendekatan menyeluruh pengelolaan DAS secara terpadu menuntut suatu manajemen terbuka yang menjamin keberlangsungan proses koordinasi antara lembaga terkait. Pendekatan terpadu juga memandang pentingnya peranan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS, mulai dari

Page 11: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

x

perencanaan, perumusan kebijakan, pelaksanaan dan pemungutan manfaat. Pentingnya posisi DAS sebagai unit perencanaan yang utuh merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumberdaya hutan, tanah dan air. Kurang tepatnya perencanaan dapat menimbulkan adanya degradasi DAS yang dapat berakibat buruk seperti yang dikemukakan di atas. Dalam upaya menciptakan pendekatan pengelolaan DAS secara terpadu, diperlukan perencanaan secara terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dengan mempertimbangkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan. Dengan demikian bila ada bencana, apakah itu banjir maupun kekeringan, penanggulangannya dapat dilakukan secara menyeluruh yang meliputi DAS mulai dari daerah hulu sampai hilir. Yang terhormat Bapak/Ibu peserta semiloka, Terkait dengan tema semiloka, program Litbang yang diangkat adalah program Litbang Daerah Aliran Sungai (DAS). Program Litbang tersebut diangkat untuk mendukung salah satu butir kebijakan prioritas Kementerian Kehutanan 2010-2014, yaitu rehabilitasi hutan dan peningkatan daya dukung Daerah Aliran Sungai. Untuk melaksanakan program ini mutlak diperlukan kegiatan penelitian secara integratif. Kompleksitas permasalahan dan tantangan sektor kehutanan tidak mungkin lagi dijawab melalui kegiatan penelitian yang sifatnya parsial. Penelitian integratif bersifat lintas unit kerja, melibatkan berbagai dislplin ilmu terkait, untuk menjawab kompleksitas tantangan dan permasalahan sektor kehutanan secara lebih komprehensif mulai dari hulu sampai hilir dengan keterkaitan yang tidak terpisahkan antara dimensi ekonomi, sosial-budaya dan ekologi (lingkungan). Karena itu pada kesempatan ini saya minta kepada Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi dan BPTKPDAS bersama-sama Balai Pengelolaan DAS terkait agar merancang pola integrated research untuk mengembangkan model pengelolaan DAS atau Sub DAS secara lestari (experimental watershed management). Pilih lokasi DAS atau Sub DAS yang representatif untuk mengembangkan model-model penelitian dari berbagai aspek, susun proposalnya

Page 12: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

xi

secara bersama untuk kemudian diajukan kepada pihak donor yang relevan atau melalui pola kerjasama bilateral maupun multilateral. Ada baiknya kalau rancangan penelitian ini dikaitkan dengan implementasi (adaptasi dan mitigasi) program REDD +. Bapak/Ibu peserta semiloka yang saya hormati, Dalam rangka membantu menangani masalah yang dihadapi dalam pengelolaan DAS, meskipun sebagian masih dalam proses penyelesaian formulasinya serta sebagian yang lain masih dalam proses penyelesaian penelitian, beberapa hasil penelitian sudah siap dan layak untuk diaplikasikan, baik yang terkait dengan sistem pengelolaan DAS maupun teknis pendukungnya. Namun patut saya akui bahwa akibat lemahnya pola diseminasi atau kurang intensifnya komunikasi antara peneliti dengan pengguna hasil penelitian, masih banyak hasil penelitian Iptek pengelolaan DAS yang belum diaplikasikan atau menjadi rujukan operasional bagi pengguna di lapangan. Oleh karena itu, dalam kesempatan yang baik ini, mungkin baru yang pertama kali terjadi, saya atas nama Badan Litbang Kehutanan akan menyerahkan hasil-hasil penelitian Iptek pengelolaan DAS yang telah selesai dan siap untuk diaplikasikan kepada Direktur Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial, baik untuk aplikasi di lapangan, pengembangan panduan-panduan atau juknis/juklak, serta untuk digunakan sebagai rujukan penyusunan kebijakan operasional pengelolaan DAS lebih lanjut. Bagi Badan Litbang Kehutanan, khususnya bagi para peneliti, momentum bersejarah ini merupakan salah satu wujud tuntasnya kinerja sebuah penelitian mengingat adanya hasil penelitian (output) yang telah dimanfaatkan oleh pengguna atau setidak-tidaknya menjadi bahan pertimbangan dalam perumusan kebijakan operasional (outcome). Bapak/Ibu peserta semiloka yang saya hormati, Semiloka pada hari ini, disamping sebagai media untuk sosialisasi hasil-hasil penelitian, juga merupakan wahana untuk menggali kebutuhan-kebutuhan penelitian dari para pengguna, sehingga dapat lebih mempertajam prioritas-prioritas penelitian dimasa

Page 13: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

xii

mendatang. Saya harap para peneliti benar-benar memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya. Sebelum saya akhiri sambutan saya ini, perlu saya sampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Dirjen DAS-PS beserta seluruh jajarannya yang telah menunjukkan komitmennya untuk penerapan hasil-hasil Iptek pengelolaan DAS ini. Saya juga sampaikan terima kasih kepada Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi serta BPTKPDAS Solo, juga kepada Prof. Ris. Dr. Pratiwi dan Ir. Paimin, MSc serta para peneliti terkait, atas kinerja dan prakarsanya sehingga acara yang sangat penting ini dapat terselenggara dengan baik. Akhirnya dengan mengucapkan Bismillahirohmanirrohim, Semiloka "Riset Pengelolaan DAS Menuju Kebutuhan Terkini" yang dilaksanakan mulai tanggal 27-28 Juni 2011 di Solo ini, saya nyatakan secara resmi dibuka. Wassalamualaikum Wr. Wb. Kepala Badan, Dr. Ir. TACHRIR FATHONI, M.Sc NIP. 19560929 198202 1 001

Page 14: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

xiii

KEYNOTE SPEECH Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan

Perhutanan Sosial Dalam Semiloka Dengan Tema :

“Riset Pengelolaan DAS Menuju Kebutuhan Terkini” Solo, 27 Juni 2011

“Kebutuhan Pengguna terhadap IPTEK Pengelolaan DAS”

Assalamualaikum Wr.Wb. Yang saya hormati : Kepala Badan Litbang Kehutanan; Para Pejabat Eselon II Kemenhut dan K/L terkait; Para Kepala Dinas Kehutanan Kab/Kota; Para Kepala BPK Solo, Kepala UPT Kemenhut; Para Nara Sumber, Pakar, Pembicara dan Fasilitator; Para tamu undangan dan hadirin sekalian yang berbahagia, Salam sejahtera bagi kita semua, Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan ridhoNya, pada hari ini kita dalam keadaan sehat wal’afiat dapat bersilaturahim menghadiri Semiloka “Riset Pengelolaan DAS Menuju Kebutuhan Terkini” dalam rangka meningkatkan dan menyebarluaskan hasil-hasil litbang kehutanan di bidang pengelolaan DAS. Saudara-saudara sekalian yang saya hormati, Dalam rangka peringatan Tahun Internasional Kehutanan 2011, Hari Lingkungan Hidup Sedunia dan Hari Penanggulangan Degradasi Lahan dan Kekeringan Sedunia baru-baru ini, semiloka ini saya nilai sangat penting dan strategis karena beberapa hal :

Page 15: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

xiv

1. Kegiatan ini secara nyata mendukung kebijakan pemerintah Indonesia c/q Kementerian Kehutanan dewasa ini yang sedang giat-giatnya memantapkan sistem perencanaan dan pembinaan pengelolaan DAS serta rehabilitasi hutan dan lahan dalam berbagai forum baik di tingkat internasional maupun di tingkat nasional dan daerah;

2. Ancaman penurunan kualitas lingkungan DAS-DAS prioritas di Indonesia dikaitkan dengan kondisi perubahan iklim global yang tidak menentu, serta dilain pihak kebutuhan untuk meningkatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan DAS-DAS tersebut, memerlukan perhatian kita semua yang lebih serius dan lebih profesional sekaligus dalam rangka mencegah dan menanggulangi kerusakan ekosistem DAS yang mengakibatkan bencana alam banjir, tanah longsor dan kekeringan.

Para peserta Semiloka yang berbahagia, Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak dalam lintasan distribusi keanekaragaman hayati benua Asia (P. Jawa, Sumatera dan Kalimantan) dan benua Australia (P.Papua) serta sebaran wilayah peralihan Wallacea (P.Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara), memiliki keanekaragaman hayati yang kaya dengan tingkat kekhasan yang tinggi dan tingkat endemisme masing-masing (dibandingkan dunia, Indonesia dengan luas daratan hanya 1,3 %, memiliki kekayaan 12 % spesies mamalia, 16 % spesies reptil dan amphibian, 17 % spesies burung, 25 % spesies ikan; dengan panjang wilayah pesisir pantai 14 % memiliki 23 % luas mangrove dunia). Sehubungan dengan itu pembangunan kehutanan Indonesia tidaklah ringan karena selain harus sukses didalam negeri, juga harus mampu memenuhi tuntutan kepentingan internasional terhadap pengelolaan hutan tropis kita yang luasnya lebih dari 130 juta Ha (ketiga terbesar di dunia), dengan kekayaan biodiversitas yang tinggi maka hutan Indonesia berfungsi sebagai paru-paru dunia dan penyeimbang iklim global. Selama tiga dekade terakhir, sumberdaya hutan telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi nasional berupa peningkatan devisa negara, penyerapan tenaga kerja, mendorong pengembangan wilayah dan pertumbuhan ekonomi nasional.

Page 16: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

xv

Dalam pada itu selama dekade pembangunan ekonomi nasional tersebut, dampak sampingan yang ditimbulkannya telah menjadi masalah kompleks yang dihadapi dalam pengelolaan DAS-DAS prioritas di Indonesia. Masalah utamanya berpangkal pada tekanan jumlah dan kebutuhan penduduk yang tinggi serta pesatnya kepentingan pembangunan sektoral dan daerah yang memerlukan perubahan/konversi status, fungsi dan peruntukan kawasan hutan menjadi penggunaan lain. Hal ini telah menyebabkan daya dukung lahan dan daya tampung lingkungan di DAS-DAS tersebut semakin lama semakin menurun karena tanpa didukung strategi dan program pengelolaan DAS yang tepat, berdaya guna dan berhasilguna. Secara konseptual, faktor-faktor alamiah yang menyebabkan menurunnya kondisi ekosistem DAS-DAS di Indonesia umumnya adalah : (i). kondisi iklim yang ekstrim yaitu intensitas hujan yang sangat tinggi atau kekeringan berkepanjangan; (ii). kondisi geomorfologi (geologi/gerakan tanah, topografi bergunung/berbukit/ bergelombang/berombak dan tanah yang peka erosi); sedangkan faktor lain yaitu non alamiah yang sangat penting adalah (iii). aktivitas manusia dan masyarakat berupa praktek dan pola penggunaan hutan, tanah dan air yang tidak selaras dengan prinsip-prinsip konservasi tanah dan air, buruknya sistem pengelolaan sungai dan sarana/ prasarana irigasi/drainase di perkotaan/perdesaan, penebangan hutan berlebihan/ilegal, perambahan dan kebakaran hutan. Saudara-saudara yang berbahagia, Fakta menunjukkan bahwa dewasa ini telah terjadi penurunan potensi keanekaragaman hayati pada berbagai ekosistem di Indonesia akibat terjadinya konversi hutan yang berlebihan, pencemaran air tanah, eksploitasi hutan yang tidak terkendali, penerapan teknologi yang merusak tanah dan air, masuknya jenis invasif/asing, dan perubahan iklim global. Banjir, tanah longsor dan kekeringan juga telah mengakibatkan kepunahan beberapa spesies flora dan fauna yang dilindungi beserta habitatnya. Permasalahan tersebut jelas berkaitan erat dengan kerusakan fungsi hidrologi DAS yang berawal dari penggunaan/pemanfaatan lahan yang tidak selaras dengan kaidah-kaidah pengelolaan DAS

Page 17: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

xvi

yang baik serta konservasi tanah dan air. Akibat ikutannya selain penurunan produktivitas lahan dan keanekaragaman hayati flora dan fauna, adalah meningkatnya emisi karbon dan menurunnya penyerapan dan cadangan karbon tanah. Apabila kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan DAS-DAS prioritas tersebut dibiarkan terus berlanjut serta tidak ada program penanggulangan yang komprehensif-integral dan sungguh-sungguh dari semua pihak yang terkait, maka bencana alam yang lebih besar dan berdampak lebih luas terhadap tata kehidupan dan perekonomian nasional, akan semakin sulit untuk ditangani. Para peserta Semiloka yang saya hormati, Jika pembangunan nasional dimaknai sebagai wujud keterpaduan dari pembangunan sektoral, daerah dan masyarakat yang berkelanjutan, maka pengelolaan DAS termasuk konservasi tanah dan air serta konservasi keanekaragaman hayati, juga harus menjadi bagian integral dari pembangunan nasional. Kedua program tersebut hakekatnya dapat saling berkaitan satu dengan lainnya sehingga dalam implementasinya perlu disinkronisasikan dan diintegrasikan. Karena itu timbul urgensinya untuk mengarusutamakan (mainstreaming) pengelolaan DAS dan konservasi keanekaragaman hayati tersebut kedalam program sektor-sektor pembangunan produktif seperti kehutanan, pertanian, perkebunan, pertambangan, infrastruktur dll. dengan tujuan untuk : (i). meningkatkan efektivitas dan efisiensi alokasi sumber daya pembangunan, (ii). memantapkan urgensi dan kapasitas perbaikan kondisi lingkungan akibat meningkatnya ancaman kerusakan hutan dan lahan serta kepunahan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, bagi mendukung opsi-opsi pembangunan berkelanjutan, dan (iii). meningkatkan keberhasilan pencapaian sasaran pengelolaan DAS yang bersifat lintas sektoral, lintas daerah dan lintas disiplin ilmu. Hadirin sekalian yang berbahagia, Mengarusutamakan konservasi DAS dan keanekaragaman hayati flora dan fauna kedalam sektor-sektor pembangunan tersebut di atas termasuk pula strategi mengurangi dampak negatif kegiatan sektor-sektor tersebut terhadap kelestarian hutan dan lahan serta

Page 18: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

xvii

keanekaragaman hayati itu sendiri. Mengarusutamakan konservasi DAS dan keanekaragaman hayati tidak hanya mencegah dampak negatif terhadap tata air DAS dan keanekaragaman flora, fauna dan ekosistemnya, tetapi juga mendayagunakan manfaat aktual hutan, tanah dan air serta keanekaragaman hayati tersebut. Pengarusutamaan konservasi DAS dan keanekaragaman hayati kedalam pembangunan sektor-sektor produktif tersebut di atas merupakan faktor kunci untuk mewujudkan pembangunan nasional, sektoral dan daerah yang berbasis konservasi DAS dan berwawasan pelestarian keanekaragaman hayati. Dalam neraca program dan kegiatan pembangunan sektoral dan daerah khususnya sektor-sektor ekonomi dan industri, apabila menempatkan keanekaragaman hayati sebagai komponen negative balance sheet, maka praktek-praktek pemanfaatan dan penggunaan sumber daya alam dan lingkungan akan mentransformasikan ekosistem sehingga lambat atau cepat dampaknya akan mendegradasi kualitas dan kuantitas keanekaragaman hayati tersebut. Oleh karena itu para pelaku pembangunan utamanya badan usaha dan masyarakat perlu diyakinkan adanya saling keterkaitan dan ketergantungan yang erat antara nilai hutan, lahan, flora dan fauna beserta ekosistemnya dengan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Para hadirin yang saya hormati, Kita semua telah maklum bahwa, pada hakekatnya pendekatan masalah pengelolaan DAS tidak bisa dilakukan oleh hanya satu sektor atau satu disiplin ilmu saja, melainkan haruslah multistakeholder. Kendala utamanya adalah hingga kini tidak ada satu K/L di Indonesia ini yang menangani pengelolaan DAS secara utuh dari hulu hingga hilir, selain itu juga masih lemahnya sistem perencanaan pengelolaan DAS terpadu. Berdasarkan pertimbangan tersebut telah dilaksanakan kebijakan Ditjen BPDASPS yaitu : 1. Melalui Balai Pengelolaan DAS dan Pemerintah

Provinsi/Kab/Kota telah memfasilitasi pembentukan Forum DAS di tingkat provinsi/kabupaten/kota sebagai wadah konsultasi dan koordinasi multipihak dalam rangka peningkatan efektivitas

Page 19: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

xviii

pengelolaan DAS, yang melibatkan unsur eksekutif, legislatif, yudikatif, akademisi, pengusaha, BUMN, BUMS, BUMD, LSM, media masa dan kelompok masyarakat lainnya. Saat ini telah terbentuk sebanyak 50 Forum DAS yang tersebar pada beberapa propinsi dan kabupaten/kota.

2. Menyusun Rencana Pengelolaan DAS Terpadu (RPDAST), dengan target 108 DAS prioritas selama 2010-2014, hingga akhir tahun 2011 diharapkan telah tersusun 58 RPDAST.

Berbagai program dan kegiatan untuk memperbaiki kondisi DAS-DAS yang rusak di Indonesia telah dan akan terus dilaksanakan, salah satunya adalah rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) baik didalam kawasan hutan maupun diluar kawasan hutan, baik dengan pola vegetatif maupun sipil teknis. Program RHL ini sebagai kelanjutan dari program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL/GERHAN 2003/4-2008/9). Hingga Tahun 2008, hasil pelaksanaan GERHAN mencapai 2.009.881 Ha yang tersebar pada DAS-DAS Prioritas yang ada. Selain itu, juga dilaksanakan kampanye gerakan penanaman pohon sejak 2007 seperti Aksi Penanaman Serentak Indonesia (APSI), Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara Pohon (GPTPP), One Man One Tree (OMOT), serta Program Penanaman 1 Milyar Pohon Tahun 2010 (One Billion Indonesia Trees for The World/OBIT) sejak tahun 2010. Hasil penanaman pohon OBIT 2010 mencapai 1,79 Milyard. Dalam program Kabinet Indonesia Bersatu – II tahun 2010-2014, Ditjen BPDASPS telah memprogramkan sbb.: 1. RHL seluas 2,5 juta Ha yang meliputi RH di kawasan hutan

konservasi seluas 500.000 Ha, hutan rakyat kemitraan seluas 250.000 Ha, hutan kota seluas 50.000 Ha serta sisanya RL di luar kawasan hutan dan rehabilitasi hutan mangrove/ gambut/rawa.

2. Mengelola areal sumber benih tanaman hutan yang ada seluas 3600 Ha dan menetapkan areal sumber benih baru seluas 4.500 Ha. Selain itu dalam rangka membina kelembagaan masyarakat dibidang perbenihan tanaman hutan, juga telah dibangun model-model seed for people di Jembrana (Bali), Cibugel (Jawa Barat), Lumajang (Jawa Timur), Solo (Jawa

Page 20: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

xix

Tengah) dan Suato Lama (Kalsel) yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan hasil tanaman hutan rakyat untuk kesejahteraan masyarakat.

3. Membangun Kebun Bibit Rakyat (KBR) sebanyak sekitar 65.000 unit @ 50.000 batang pohon/unit, diawali tahun 2010 sebanyak 8.000 unit, tahun 2011 sebanyak 10.000 unit, tahun 2012 s/d 2014 direncanakan masing-masing minimal sebanyak 15.000 unit. Penanaman hasil KBR diprioritaskan diluar kawasan hutan untuk pembangunan hutan rakyat, penghijauan lingkungan fasilitas umum/sosial dan sebagian di kawasan hutan yang telah/akan dicadangkan/ijin untuk areal Hutan Kemasyarakatan (Hkm) dan Hutan Desa (HD).

4. Membangun persemaian permanen (modern) dengan kapasitas produksi 1 – 2 juta batang bibit unggul yang diawali tahun 2011 sebanyak 23 unit, tahun 2012 direncanakan 77 unit dan hingga 2014 direncanakan sebanyak minimal 300 unit. Bibit yang dihasilkan dari persemaian permanen dibagikan kepada masyarakat yang memerlukan secara gratis.

5. Membangun Hutan Kemasyaratan (HKm) seluas 2 juta Ha dan Hutan Desa (HD) seluas 500 ribu Ha sebagai upaya pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan untuk mensejahterakan mereka sambil melibatkan mereka untuk mengelola kawasan hutan secara lestari. Selain itu juga diprogramkan pengembangan sentra-sentra Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) khususnya terhadap 6 (enam) komoditi unggulan.

Tentu untuk melaksanakan berbagai program Ditjen BPDASPS tersebut sangat membutuhkan dukungan penerapan berbagai IPTEK yang relevan dan aplikatif, berdaya guna dan berhasilguna. Para hadirin sekalian, Ditjen Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial merupakan salah satu instansi yang bertanggung jawab dalam upaya peningkatan daya dukung DAS, sehingga harus mengembangkan sistem pemantauan terhadap upaya-upaya RHL yang telah dilaksanakan yaitu terhadap perubahan penutupan vegetasi yang lebih efisien. Untuk itu telah dibangun sistem penerapan teknologi

Page 21: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

xx

informasi untuk pemantauan perubahan pertumbuhan vegetasi dalam rangka pengelolaan DAS. Telah dilakukan penandatanganan kerjasama “Pengembangan Monitoring dan Evaluasi DAS dari Aspek Perubahan Pertumbuhan Vegetasi Melalui Teknologi Informasi” antara Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial dengan Ketua Yayasan WWF-Indonesia No. PKS.3/V-DAS/2009 dan No. 001-MOU/WWF-ID/TP/X/2009 tanggal 18 November 2009. Dalam kerjasama tersebut, digunakan teknologi geotag (pelabelan pohon dengan garis lintang dan garis bujur/koordinat lokasi yang tepat) untuk memonitor pertumbuhan pohon. Teknologi geotag diimplementasikan untuk pertama kalinya, pada acara Peringatan Hari Menanam Pohon Indonesia di Kabupaten Padalarang, Kabupaten Bandung Barat tanggal 8 Desember 2009. Pada acara tersebut dilakukan pemotretan kegiatan penanaman 200 batang bibit pohon yang diikuti oleh Presiden Republik Indonesia dan Ibu Negara beserta jajaran menteri dan pejabat tinggi negara lainnya. Hasil pemotretan tersebut secara otomatis di upload ke dalam website yang semua masyarakat dapat mengaksesnya pada saat itu. Melalui teknologi geotags, foto dan lokasi pohon-pohon yang telah ditanam, akan dapat dimonitor secara real time. Pengambilan foto lapangan dilakukan dengan menggunakan kamera yang dilengkapi dengan telepon selular dan GPS yang memiliki fasilitas tertentu dan terintegrasi dengan koneksi internet. Hasil tersebut dapat dilihat di situs http://1milyar.info. Penggunaan teknologi geotag ini merupakan salah satu upaya untuk mengoptimalkan monitoring dan evaluasi DAS, agar pertumbuhan pohon dapat dipantau minimal satu tahun sekali yang akan memberikan dampak signifikan bagi revitalisasi DAS. Saudara-saudara dan para hadirin sekalian, Penerapan IPTEK pengelolaan DAS lain yang telah dilakukan Ditjen BPDASPS antara lain dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) Pengendalian Banjir dan Tanah Longsor untuk mengantisipasi bencana banjir dan tanah longsor. Sistem ini akan memberikan manfaat sbb.:

Page 22: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

xxi

1. Bagi Ditjen BPDASPS, akan membantu kinerja dalam menyiapkan laporan yang lebih berkualitas kepada pimpinan karena didukung akurasi data ilmiah.

2. Bagi Direktorat Perencanaan dan Evaluasi Pengelolaan DAS akan memudahkan pelaksanaan monitoring dan evaluasi secara cepat kondisi DAS di seluruh Indonesia.

3. Bagi Balai Pengelolaan DAS, sistem ini merupakan perangkat lunak pelaksanaan sidik cepat dan arahan pengelolaan sebelum dan setelah terjadi bencana alam.

4. Bagi Pemerintah Daerah, informasi yang dihasilkan sistem ini dapat dimanfaatkan sebagai media koordinasi para stakeholders di daerah yang terkait dengan masalah bencana banjir dan tanah longsor.

5. Bagi masyarakat luas akan merasakan kesiapan dan kepedulian pemerintah c/q Kementerian Kehutanan terhadap bencana alam.

Manfaat-manfaat tersebut di atas akan terwujud nyata apabila sistem dimaksud didukung penyempurnaan/ pembaharuan yaitu Sistem Peringatan Dini (Early Warning System, EWS) yang saat ini sedang dalam proses pengkajian di DAS Garang, BPDAS Pemali Jratun. Dengan memberikan input data yang real time, seperti curah hujan, dan model hidrologi yang teruji maka bencana alam akan dapat diprediksi lebih baik dan peringatan dini akan dapat diberikan kepada berbagai pihak terkait. Para hadirin yang saya hormati, Kebutuhan akan sistem informasi yang dapat menampilkan data baik secara spasial maupun tekstual sudah menjadi kebutuhan bersama, karena sistem ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat menampilkan data namun diharapkan sebagai tempat mengumpulkan data atau dengan kata lain sebagai sistem data-base. Di Ditjen BPDASPS telah terbangun beberapa sistem informasi diataranya SIMDAS (Sistem Informasi Manajemen Daerah Aliran Sungai) dan Sistem Informasi Basisdata DAS, meskipun kedua sistem tersebut memiliki keterbatasan. SIMDAS merupakan sistem informasi yang berbasis data spasial dan program ArcView®

Page 23: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

xxii

sehingga jika akan menjalankan aplikasi ini diperlukan software ArcView®. Selain itu fungsi sistem informasi ini yaitu untuk analisis data spasial harus menggunakan kriteria dan proses yang sudah ditentukan dan target pengguna aplikasi ini adalah para spesialis dan operator. Sistem Informasi Basisdata DAS ini menampilkan informasi karakteristik DAS hasil pengolahan GIS / SIMDAS. Data yang digunakan dalam sistem informasi ini berbentuk data image / gambar sehingga dalam proses updatingnya relatif sulit. Disamping itu aplikasi yang digunakan untuk sistem informasi ini adalah Microsoft Power Point yang berbentuk slide–slide yang saling terhubung sehingga dalam menjalankan aplikasi ini sangat tergantung dengan software Microsoft® Power Point. Oleh karena itu masih dirasakan perlu dibangun sebuah sistem informasi yang lebih flexible dengan informasi yang mudah di-update dan tanpa tergantung dengan aplikasi lain misalnya yang dikenal dengan e-DAS. Sistem informasi e-DAS ini memiliki fungsi : 1. Mengumpulkan dan menampilkan informasi karakteristik DAS

yang dikelola oleh BPDAS (Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai);

2. Menampilkan data spatial hasil pengolahan GIS/SIMDAS, sehingga updatable;

3. Sistem informasi yang stand al one, tidak tergantung dan dijalankan software lain;

4. Sebagai alat monitoring program; dan 5. Sebagai alat perencanaan program secara cepat dan umum

(tidak detil). Saudara-saudara sekalian, Pada era komunikasi dan informasi ini kita berharap dapat memanfaatkan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi sebagai sarana untuk pengembangan basis data hasil monitoring dan evaluasi pertumbuhan vegetasi secara visual dan real t ime sehingga data yang diperoleh merupakan data yang up t o dat e dan akurat serta dapat diakses oleh masyarakat luas.

Page 24: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

xxiii

Demikianlah beberapa hal yang ingin saya sampaikan dalam semiloka ini, semoga bermanfaat sebagai sumbang saran untuk merumuskan kebijakan pengelolaan DAS yang berbasis pengembangan IPTEK yang adaptif dan aplikatif, terpadu dan tepat sasaran dalam mengatasi permasalahan pengelolaan DAS di Indonesia terkini. Terimakasih dan selamat bersemiloka, semoga Tuhan YME senantiasa memberikan bimbingan dan ridhoNya terhadap upaya-upaya kita ini. Wabillahitaufik Walhidayah Wassalamualaikum Wr. Wb. Solo, 27 Juni 2011 Direktur Jenderal, Dr. Ir. HARRY SANTOSO NIP. 19520523 198102 1 001

Page 25: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

xxiv

RUMUSAN SEMILOKA

“RISET PENGELOLAAN DAS MENUJU KEBUTUHAN TERKINI”

(27-28 Juni 2011)

Kerjasama P3KR dan BPTKPDAS Berdasarkan arahan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan; keynote speech: Kebutuhan Pengguna terhadap Iptek Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) oleh Dirjen Bina PDAS dan Perhutanan Sosial; highlight hasil-hasil riset sistem dan teknologi pengelolaan DAS oleh Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Alam; paparan narasumber yang disampaikan dalam sidang pleno maupn komisi; serta hasil focus gr oup discussion, maka semiloka ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Masalah utama terjadinya kerusakan DAS adalah tekanan

jumlah penduduk dan kebutuhannya akan lahan yang tinggi serta pesatnya kepentingan pembangunan sektoral dan daerah yang memerlukan perubahan status, fungsi dan peruntukan kawasan hutan menjadi penggunaan lain.

2. Kerusakan DAS telah mengakibatkan terjadinya degradasi lahan, banjir, kekeringan, tanah longsor, menurunnya keanekaragaman hayati serta meningkatnya emisi karbon dan menurunnya penyerapan dan cadangan karbon tanah.

3. Untuk menangani permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan DAS diperlukan gerakan dan tekanan politik serta payung hukum untuk mendorong pemerintah ataupun para pihak terkait bisa bekerjasama secara komprehensif mewujudkan pengelolaan DAS dengan baik. Agar pengeloaan DAS yang baik bisa terwujud, juga diperlukan teknologi KTA tepat guna yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menekan degradasi lahan, dan harus bisa

Page 26: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

xxv

dilaksanakan masyarakat sesuai sumberdaya alam yang tersedia dan teknologi KTA yang bersifat site specific.

4. Dalam pengelolaan DAS dibutuhkan dukungan IPTEK, untuk itu Badan Litbang Kehutanan telah meghasilkan IPTEK pengelolaan DAS yang dibagi dalam Sistem Pengelolaan DAS dan Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Pendukung Pengelolaan DAS.

5. Untuk memudahkan perencanaan, pelaksanaan, monitoring

dan evaluasi pengelolaan DAS, maka diperlukan sistem karakterisasi DAS sebagai basis sistem pengelolaan DAS yang dipilah berdasarkan hirarki tingkat pengelolaan yakni DAS, Sub DAS, Sub-sub DAS, dan mikro DAS. Dalam monev pengelolaan DAS perlu menggunakan teknologi terkini dan terintegrasi dengan early warning system.

6. Oleh karena luasan DAS di Indonesia sangat bervariasi dan pelaksanaan otonomi daerah yang berbasis kabupaten maka pengelolaan DAS perlu disesuaikan dengan wilayah kabupaten dominan. Untuk itu perlu penyelarasan antara rencana pengelolaan DAS dan rencana pembangunan kabupaten dominan dan perlu di perdakan.

7. Untuk mewujudkan rencana pengelolaan DAS yang terpadu, maka diperlukan one river, one p lan a nd on e i ntegrated management.

8. Untuk memandu dan mendukung pengelolaan DAS, Badan Litbang Kehutanan telah dan akan menghasilkan IPTEK Sistem Pengelolaan DAS dan Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Pendukung Pengelolaan DAS.

9. IPTEK Sistem Pengelolaan DAS yang telah dihasilkan adalah Sistem Karakterisasi tingkat Sub DAS. Dari hasil penelitian Sistem Karakterisasi tingkat Sub DAS telah disusun panduan “Sidik Cepat Degradasi Sub DAS” dan “Teknik Mitigasi Banjir dan Tanah Longsor”.

Page 27: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

xxvi

10. IPTEK Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air yang telah dihasilkan dan dibukukan adalah Teknik perbanyakan tanaman secara vegetatif dengan menggunakan stek pucuk (KOFFCO), Peta perwilayahan jenis pohon andalan setempat untuk mendukung rehabilitasi lahan hutan di Indonesia, Rehabilitasi lahan pantai berpasir, dan Teknik konservasi tanah pada berbagai lahan usahatani hortikultur dataran tinggi.

11. Dalam rangka mewujudkan pengelolaan DAS yang ideal, masih diperlukan beberapa kegiatan penelitian yang meliputi:

a. Penelitian Pengaruh konservasi tanah dan air terhadap peningkatan keanekaragaman hayati, Peningkatan Penambatan Carbon, dan terhadap faktor penting Millennium Development Goals.

b. Konsep silvo ecological zone perlu analisis kesesuaian lahan dan ekonominya

c. Kajian permasalahan-permasalahan yang menghambat pelaksanaan one river, one plan, one management.

d. Kajian sistem insentif dan disinsentif hulu dan hilir. e. Penelitian tentang DAS mikro perlu lebih intensif

dilakukan karena itu merupakan inti implementasi pengelolaan DAS. Dalam pemilihan DAS mikro harus merupakan derivat dari sub DAS, demikian pula Sub Das merupakan derivat dari DAS.

f. Riset lebih difokuskan pada DAS-DAS prioritas g. Kelembagaan pengelolaan DAS tidak jalan sehingga perlu

dikaji permasalahannya. h. Perlu kajian tehnik monev tata air yang lebih sederhana i. Perlu disusun road map litbang pengelolaan DAS j. Kebutuhan riset mendatang bisa dipilah menjadi dua:

aspek teknologi dan proses adopsi teknologi penelitian. Aspek teknologi dapat didasarkan pada teknis yang secara umum digunakan (site specific, kesesuaian lahan) dan juga memperhatikan aturan perundangan yang berlaku. Aspek adopsi dapat didasarkan pada teknologi yang mudah dilaksanakan masyarakat atau teknologi yang berbasis modelling yang dapat digunakan oleh institusi-institusi yang terkait kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.

Page 28: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

xxvii

k. Metode Participatory A ction R esearch ( PAR) perlu diterapkan dalam kegiatan penelitian pengelolaan DAS.

l. Penelitian pemanfaatan jasa lingkungan hasil pengelolaan DAS.

m. Perlu kajian atau studi daya dukung DAS. n. Perlu dibuat software untuk pemilihan jenis tanaman

kehutanan berdasarkan faktor-faktor pertumbuhan yang ada.

12. Hasil litbang perlu disampaikan ke Direktorat Teknis terkait

sehingga bisa dijadikan kebijakan dan Badan Litbang mendapatkan umpan balik untuk penyempurnaan.

13. Hasil litbang perlu disederhanakan sehingga bisa menjadi bahan kebijakan dan bahan juknis.

Surakarta, 28 Juni 2011 Tim Perumus

1. Ir. Tyas Mutiara Basuki, M.Sc 2. Drs. Irfan Budi Pramono, M.Sc 3. Ir. Purwanto, M.Si 4. I Wayan S Dharmawan, S.Hut, M.Si 5. Ir. Hunggul Yudono Setio, M.Si

Page 29: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

xxviii

Page 30: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

1

APLIKASI SIDIK CEPAT DEGRADASI SUB DAERAH ALIRAH SUNGAI (SUB DAS) DENGAN MONITORING DAN EVALUASI

KINERJA SUB DAS (Lingkup Kabupaten Dominan)1

1 Makalah ini disampaikan pada Semiloka “Riset Pengelolaan DAS Menuju

Kebutuhan Terkini” Surakarta, 27-28 Juni 2011. Kerjasama Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi dengan Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

Oleh : Nur Ainun Jariyah2 & Irfan Budi Pramono3

Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Jl. A. Yani PO Box 295 Pabelan. Telepon/Fax.: (+62 271) 716709/716959

Email: [email protected] Email: 2 [email protected] & 3 [email protected]

ABSTRAK

Kerusakan e kosistem daerah aliran sungai (D AS) yang s emakin meningkat m erupakan permasalahan y ang per lu diselesaikan. Hal i ni mengindikasikan kesalahan dalam pengelolaan D AS. P engelolaan D AS selama ini dilakukan masih bersifat parsial menurut w ilayah a dministrasi atau k ewenangan k elembagaan tertentu saja. Begitu j uga faktor-faktor untuk m engukur monitoring dan e valuasi ( monev) kinerja DAS bel um dilakukan secara menyeluruh. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan aspek sosial ekonomi dan biofisik yang mendukung dalam monev kinerja Sub DAS. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dan kualitatif, dimana data yang diambil merupakan data primer dan data sekunder. Pengumpulan data sosial ekonomi (sosek) dengan menggunakan k uisioner dan wawancara. Data b iofisik diperoleh m elalui pengamatan langsung di lapangan. Data sekunder diperoleh dari instansi-instansi t erkait, D esa da n B adan Pusat Statistik (BPS) . Penelitian i ni dilaksanakan di Sub DAS Padas (Kabupaten Sragen) dan Sub DAS Pengkol (Kabupaten W onogiri). Hasil pe nelitian menunjukkan bahw a (1) Hubungan antara aspek sosial, ekonomi kelembagaan dan biofisik di Sub DAS Padas termasuk ke dalam kategori sedang sampai dengan rentan. Hubungan aspek sosial, ekonomi, kelembagaan dan biofisik di Sub DAS Pengkol termasuk ke dalam kategori sedang, agak rentan, dan rentan, (2) Parameter y ang berpengaruh adal ah k epadatan pe nduduk geo grafis, budaya a dat, t ingkat pendapatan dan konservasi tanah mekanis (non kawasan). Kata kunci : hubungan ant ar as pek, pot ensi dan k erentanan, as pek

sosek, aspek biofisik, monev kinerja DAS

Page 31: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

2

I. PENDAHULUAN

Ekosistem daerah aliran sungai (DAS) beberapa dekade ini mengalami penurunan kualitas lingkungan seperti sering terjadinya banjir pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau, terjadinya sedimentasi, penurunan kualitas air, penurunan muka air tanah yang dapat mempercepat proses intrusi air laut, meningkatnya erosi pada lahan di dalam dan luar kawasan hutan yang menyebabkan menurunnya kesuburan tanah dan semakin berkurangnya tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian DAS. Hal ini merupakan masalah yang perlu diselesaikan. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 (PP No.7 Tahun 2005) menyebutkan bahwa DAS berkondisi kritis semakin meningkat dari 22 DAS (1984) menjadi 39 DAS (1994), dan kemudian 62 DAS (1999). Kemudian dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014 (SK 328/Menhut-II/2009) ditetapkan menjadi 108 DAS prioritas. Kondisi DAS yang kritis diakibatkan oleh banyaknya bencana mulai dari erosi, banjir, tanah longsor sampai hilangnya sumber mata air, kekeringan dan perubahan fungsi guna lahan sehingga dapat mengganggu kehidupan masyarakat. Sheng (1986) dalam Paimin et a l., (2006) menyatakan bahwa permasalahan DAS tumbuh seiring dengan pertambahan penduduk dan waktu. Kepadatan penduduk yang sangat tinggi mendorong pemanfaatan sumberdaya alam yang intensif sehingga menyebabkan peningkatan lahan kritis. Adanya peningkatan lahan kritis ini adalah merupakan salah satu indikasi adanya kesalahan dalam pengelolaan DAS. Pengelolaan DAS tidak bisa dilakukan hanya secara parsial saja menurut wilayah administrasi atau kewenangan lembaga tertentu. Namun harus dilakukan secara menyeluruh (holistik) sehingga semua aspek yang terkait dalam DAS dapat diperhatikan dan dipertimbangkan dalam perencanaan, pengorganisasian, implementasi maupun kontrol terhadap seluruh proses pengelolaan yang telah dibuat.

Page 32: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

3

Menurut Paimin et al., (2006), setiap DAS memiliki sifat atau karakter khas berbeda-beda dalam menanggapi atau merespon air hujan menjadi banjir, baik sifat alami maupun sifat yang terbangun sebagai hasil intervensi manusia. Karakter DAS terbangun sebagai hasil yang menyeluruh dari interaksi atau hubungan timbal balik antar unsur-unsur sumberdaya alam sendiri dan antara unsur alam dan manusia. Faktor-faktor yang mempengaruhi karakterisasi DAS mencerminkan kondisi air, lahan dan sosial ekonomi yang dapat diringkaskan dalam sifat DAS terhadap : (1) aliran banjir dan daerah rawan banjir, (2) kekeringan, (3) kekritisan lahan, (4) tanah longsor, dan (5) sosial, ekonomi dan kelembagaan. Daerah Aliran Sungai merupakan sistem yang kompleks yang terbangun atas sistem fisik, sistem biologis dan sistem manusia, dimana setiap sub sistem saling berinteraksi (Kartodihardjo et al., 2004). Selama ini aspek-aspek yang mempengaruhi monev kinerja DAS belum dilakukan secara menyeluruh (masih bersifat parsial) dan belum mengintegrasikan aspek-aspek monev secara komprehensif sehingga belum dapat memberikan informasi yang utuh untuk perbaikan perencanaan dan implementasi pengelolaan DAS. Selain itu monev DAS masih bersifat sektoral, yaitu dibatasi oleh batas-batas yang bersifat politis/administratif (negara, provinsi, kabupaten). Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan aspek sosial ekonomi dan biofisik yang mendukung dalam monev kinerja Sub DAS. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjawab hubungan aspek sosisl, ekonomi dan biofisik dalam monev kinerja DAS.

II. BAHAN DAN METODE

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah Sub DAS Pengkol di Kabupaten Wonogiri dan Sub DAS Padas di Kabupaten Sragen dari bulan Mei-November 2010. Sub Das Pengkol mempunyai luas 3.057,59 ha dan Sub DAS Padas mempunyai luas wilayah 3.349,12 ha.

Page 33: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

4

Kedua lokasi tersebut mempunyai karakter biofisik yang berbeda. Lokasi penelitian Sub DAS Padas dan Sub DAS Pengkol dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2 .

Gambar 1. Lokasi Penelitian di

Sub DAS Padas Gambar 2. Lokasi Penelitian di Sub

DAS Pengkol

Untuk memperoleh gambaran yang jelas dalam menjawab tujuan, setiap lokasi penelitian dibedakan menjadi hulu, tengah dan hilir. Walaupun pengelolaan DAS tidak melihat hulu, tengah, dan hilir tetapi sebagai satu kesatuan pengelolaan DAS, pembagian ini untuk mempermudah dalam pengamatan. Wilayah hulu Sub DAS Padas diwakili oleh Desa Denanyar, Kecamatan Tangen, wilayah tengah diwakili oleh Desa Slendro, Kecamatan Gesi dan wilayah hilir diwakili oleh Desa Poleng, Kecamatan Gesi. Sedangkan untuk Sub DAS Pengkol wilayah hulu diwakili oleh Desa Setren, Kecamatan Slogohimo, wilayah tengah diwakili oleh Desa Karang, Kecamatan Slogohimo dan wilayah hilir diwakili oleh Desa Sugihan, Kecamatan Jatiroto.

B. Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : kuisoner, notes, alat tulis kantor (ATK), alat dokumentasi, perekam, peta Rupa Bumi Indonesia, peta Digital Elevation Model (DEM), peta tanah, peta penggunaan lahan dan lain-lain.

Page 34: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

5

C. Prosedur Kerja Penelitian ini bersifat kualitatif dan kuantitatif. Data yang diambil meliputi data primer dan data sekunder baik untuk aspek sosial ekonomi dan biofisik. Parameter yang digunakan dalam mencari hubungan aspek sosek dan biofisik adalah menggunakan buku “Sidik Cepat Degradasi Sub daerah aliran sungai (Sub DAS)” (Siskardas) dalam Paimin et al ., (2006). Dalam hal mencari hubungan antara aspek sosek dan biofisik adalah merupakan interaksi aspek sosek dan biofisik yang tertuang dalam tipologi catchment ar ea (Daerah Tangkapan Air). Hubungan antar aspek dilihat dari masing-masing skor yang diperoleh dari lokasi penelitian. Kemudian hubungan antar aspek dilihat dari skala 1 sampai dengan 5, yaitu skala 1 : tidak rentan, skala 2 : agak rentan, skala 3 : sedang, skala 4 : rentan dan skala 5 : sangat rentan. Pembagian skala ini mengacu pada skala yang digunakan di Siskardas. Hubungan antar aspek bisa dilihat dari Tabel 1. Tabel 1. Hubungan Aspek Sosial Ekonomi Kelembagaan dan Aspek

Biofisik dalam Pengelolaan DAS

Aspek soseklem Aspek Biofisik

Rendah (1)

Agak rendah

(2)

Sedang (3)

Agak tinggi

(4)

Tinggi (5)

Rendah (1) 1 1,5 2 3 4 Agak rendah (2) 1,5 2 2,5 3 4 Sedang (3) 2 2,5 3 3,5 4 Agak tinggi (4) 3 3 3,5 4 4,5 Tinggi (5) 4 4 4 4,5 5

Keterangan : Skala semakin ke arah kanan bawah semakin rentan Data primer yang diambil untuk aspek sosial ekonomi yaitu kerentanan dan potensi sosial ekonomi (kepadatan penduduk, budaya, ketergantungan lahan) dan kelembagaan. Data aspek biofisik meliputi hujan, potensi banjir, daerah rawan banjir, bentuk DAS, batas Sub DAS, kemiringan lereng, morfometri DAS, kerapatan drainase, kekeringan dan potensi air, kekritisan lahan dan potensi lahan. Untuk aspek sosial ekonomi pengambilan data dilakukan dengan melakukan wawancara dengan panduan kuisoner dan indepth interview dengan tokoh kunci (key per son) untuk validasi data. Pemilihan responden diambil secara acak dan proporsional yang

Page 35: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

6

disesuaikan dengan tujuan penelitian. Responden adalah petani yang minimal memiliki lahan tegal. Responden yang diambil adalah 30 orang di masing-masing wilayah (hulu, tengah dan hilir). Dengan demikian jumlah responden adalah 180 orang. Pengumpulan data primer biofisik melalui survei berdasarkan citra satelit dan google ear th serta peta Rupa Bumi Indonesia untuk identifikasi penutupan lahan aktual. Batas Sub DAS, kemiringan lereng, dan morfometri DAS diperoleh dari peta Digital E levation Model (DEM). Identifikasi erosi, longsor, dan banjir serta land cover dilihat langsung ke lapangan dengan menggunakan check list. Untuk mendukung data primer juga dilakukan pengambilan data sekunder di instansi terkait seperti Balai Sungai, Kementrian Pekerjaan Umum, Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan, Badan Keselamatan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Kesbanglinmas), dan BPS. D. Analisis Data Analisis data dilakukan dengan deskriptif kuantitatif dan kualitatif untuk melihat hubungan antar faktor sosial ekonomi dan biofisik dalam monev kinerja Sub DAS.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Umum Wilayah Penelitian

1. Kondisi Sosial Ekonomi a. Sub DAS Padas di Sragen

Sub DAS Padas yang terletak di Kabupaten Sragen sebagai wilayah yang dominan dengan luas wilayah 3.349,12 ha. Penutupan lahan didominasi lahan tegal yaitu 44,89% dari luas Sub DAS Padas, sawah 23,41%, pemukiman 16,54%, hutan 15,10% dan lapangan 0,06%. Kabupaten Sragen terletak diantara 110045’ dan 111010’ BT serta 7 15’ dan 7 30’ LS. Batas Kabupaten Sragen sebelah utara adalah Kabupaten Grobogan, sebelah selatan adalah Kabupaten Karanganyar, sebelah barat adalah Kabupaten Boyolali dan sebelah timur adalah Kabupaten Ngawi (Propinsi Jawa Timur).

Page 36: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

7

Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) 10 tahun terakhir berdasarkan harga berlaku, rata-rata adalah Rp. 3.619.736,08 Juta, dengan didominasi sektor pertanian 36%, industri pengolahan 19%, perdagangan, hotel dan resto 18%, dan jasa 13%. PDRB berdasarkan harga konstan, rata-rata adalah Rp 2.141.623 juta. Sebagai salah satu penyangga pangan di Provinsi Jawa Tengah, produktivitas lahan pertanian di Kabupaten Sragen perlu dipertahankan atau bahkan ditingkatkan. Pada Tahun 2008 produksi padi menurun 0,92% yaitu 451.430 ton lebih rendah dibandingkan tahun 2007 sebesar 487,53 ton. Tanaman palawija pada tahun 2008, produksi jagung meningkat 20,08%, ubi kayu turun 27,59%, kacang tanah turun 15,17%, kedelai naik 5,36% dan kacang hijau naik 8,25%. Produksi utama tanaman perkebunan adalah tebu, kelapa, jambu mete, kapok randu dan wijen. Rata-rata produksi berfluktuasi, pada tanaman tebu baik luas tanam maupun produksinya meningkat. Luas tanam naik 3,38% dan produksinya naik 3,38% atau menjadi sebesar 250.676,25 ton. Jenis ternak yang diusahakan di Kabupaten Sragen adalah ternak sapi (sapi perah atau sapi potong), kerbau, kuda, kambing, domba dan babi. Selain itu diusahakan unggas antara lain ayam, itik, puyuh dan lainnya. Secara umum hasil ternak baik ternak kecil maupun unggas pada tahun 2008 mengalami kenaikan, misalnya produksi daging naik 3,79% dan produksi telur naik 15,12% dibandingkan tahun 2007 (BPS, 2007 a dan 2008 a). Lahan di Sub DAS Padas pada umumnya berupa lahan kering (tegalan) yang diusahakan untuk usahatani padi dengan dua kali musim tanam dan usahatani jagung dengan satu kali musim tanam. Selain itu sebagian lahan diolah untuk usahatani cabe, kacang panjang, kacang tanah, korobenguk, ketela pohon, garut, gembili dan lain-lain. Bagi petani yang menguasai lahan lebih dari satu petak (plot) biasanya juga memanfaatkan lahannya untuk usahatani tebu. Tanaman perkebunan tebu merupakan tanaman primadona di daerah Sub DAS Padas. Lahan tebu mempunyai umur pakai selama 5 tahun. Setelah dilakukan panen, kemudian dilakukan pemupukan maka dalam umur kurang lebih satu tahun sudah bisa dipanen kembali. Tanaman tebu yang berumur lebih

Page 37: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

8

dari 5 tahun mulai mengalami penurunan mutu, sehingga harus diganti dengan tanaman baru untuk memperoleh mutu yang lebih baik. Kondisi Sub DAS Padas secara umum dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4. Pada lahan sanggeman (lahan andil pada kawasan hutan Perhutani) petani menanam padi, jagung atau ketela. Petani diijinkan menanam lahan sanggeman dengan syarat mereka bersedia merawat tanaman hutan, yaitu jati. Luas lahan sanggeman tergantung pada kapasitas tenaga kerja yang dimiliki petani. Sebagai akibatnya, setiap petani menguasai lahan andil dengan luas yang bervariasi. Pada lahan pekarangan biasanya ditanami dengan tanaman berkayu, seperti jati, mahoni, bambu dan lain-lain; tanaman buah seperti mangga, mlinjo; pisang dan lainnya. Pada sebagian lahan pekarangan milik masyarakat juga ditemui adanya usahatani jagung. Hasil panen biasanya lebih banyak digunakan untuk konsumsi rumah tangga petani, terutama untuk padi, garut, sayuran, dan mangga. Khusus untuk hasil panen yang berupa jagung, petani biasanya menjualnya di pasar dengan harga kurang lebih Rp. 2000/kg.

Gambar 3. Kondisi tanah di Sub

DAS Padas Gambar 4. Kondisi penutupan

lahan tebu di Sub DAS Padas

Page 38: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

9

b. Sub DAS Pengkol di Wonogiri Sub DAS Pengkol terletak di Kabupaten Wonogiri terletak pada garis lintang 7032’-8015’ LS dan garis bujur 110041’-111018’ BT. Secara administratif terbagi menjadi 25 kecamatan yang tersebar dengan luas wilayah 182.236,0236 Ha. Keadaan alamnya sebagian besar terdiri dari pegunungan yang berbatu gamping, terutama di bagian selatan, termasuk jajaran pegunungan seribu yang merupakan mata air dari Bengawan Solo. Batas Kabupaten Wonogiri sebelah utara adalah Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar, sebelah selatan adalah kabupaten Pacitan (Jawa Timur) dan Samudra Indonesia, sebelah barat adalah Daerah Istimewa Yogyakarta dan sebelah timur adalah Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Ponorogo (Jawa Timur) (BPS, 2007 b). Berdasarkan data tahun 2008 (BPS, 2008 b) jumlah penduduk Kabupaten Wonogiri berjumlah 1.212.677 jiwa terdiri dari laki-laki 609.159 jiwa dan perempuan 603.518 jiwa dengan kepadatan penduduk per km2 adalah 665 jiwa, pertumbuhan penduduk sebesar 31.563 atau 2,67%. Dengan jumlah kepala keluarga (KK) adalah 407.629 maka rata-rata jumlah orang per KK adalah 3 orang. Sedangkan PDRB 10 tahun terakhir berdasarkan harga berlaku rata-rata adalah Rp. 3.490.426,14 juta yang didominasi oleh struktur pertanian 51%, jasa 13%, perdagangan, hotel dan resto 12%. PDRB 10 tahun terakhir berdasarkan harga konstan rata-rata adalah Rp. 1.901.402 juta. Berdasarkan data tahun 2008 rata-rata produksi sawah mengalami kenaikan dari 53,90 kw/ha menjadi 56,09 kw/ha dan padi gogo dari 31,20 kw/ha menjadi 32,89 kw/ha dibandingkan tahun 2007. Sedangkan untuk palawija rata-rata mengalami penurunan produksi untuk masing-masing komoditi. Ketersediaan pangan untuk padi dan jagung surplus pada tahun 2008 dibandingan tahun 2007 masing-masing sebesar 58.484 ton padi dan 232.985 ton jagung. Kondisi biofisik di Sub DAS Pengkol dapat dilihat pada Gambar 5.

Page 39: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

10

Gambar 5. Kondisi Biofisik di Sub DAS Pengkol

Penutupan lahan Sub DAS Pengkol didominasi oleh sawah 29,30%, tegal 27,80% dan pemukiman 25,86%. Penutupan lahan lainnya berupa hutan 4,64%, kebun 8,83%, semak 3,55%, lapangan 0,01% dan air tawar 0,01%.

2. Kondisi Biofisik

Kondisi fisik Sub DAS meliputi morfometri Sub DAS, penutupan lahan, jenis tanah, dan kemiringan lereng. Kondisi fisik Sub DAS ini akan mempengaruhi proses dan output dari suatu DAS. Tabel 2 memperlihatkan morfometri Sub DAS Pengkol dan Sub DAS Padas. Kedua Sub DAS ini hampir sama, kecuali bentuk, kelerengan DAS dan kelerengan sungai.

Tabel 2. Morfometri Sub DAS Pengkol dan Padas No Morfometri Sub DAS Pengkol Sub DAS Padas 1 Luas (Ha) 3.058 3.349 2 Bentuk memanjang agak bulat 3 Kerapatan aliran

(m/km2) 86 58

4 Kelerengan rata-rata DAS (%)

15 7

5 Kelerengan sungai (%)

2,8 0,3

Sumber : Analisis Data Primer 2010 Pola penutupan lahan berpengaruh terhadap output suatu DAS. Kedua Sub DAS mempunyai pola penutupan lahan yang hampir

Page 40: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

11

sama yaitu didominasi oleh tegal dan sawah. Sub DAS Pengkol hanya mempunyai luas hutan sebesar 4.64 % dari luas DAS sedangkan Sub DAS Padas mempunyai hutan seluas 15.1 % dari luas DAS. Perincian penutupan lahan di Sub DAS Pengkol dan Padas dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Penutupan Lahan (% luas DAS) No Penutupan lahan Sub DAS Pengkol Sub DAS Padas

1. Hutan 4,64 15,1 2. Kebun 8,84 0 3. Semak Belukar 3,55 0 4. Tegal 27,80 44,89 5. Sawah 29,30 23,41 6. Lapangan 0,17 0,06 7. Pemukiman 25,86 16,54 Jumlah 100,00 100,00 Sumber : Analisis Data Primer 2010 Faktor lain yang mempengaruhi proses dan output suatu DAS adalah jenis tanah dan kemiringan lereng. Jenis tanah di Sub DAS Pengkol terdiri dari Latosol, Litosol dan Mediteran, sedangkan jenis tanah di Sub DAS Padas adalah Alfisol. Kelerengan rata-rata Sub DAS Pengkol 15,7% sedangkan Sub DAS Padas sebesar 6,77 %.

B. Kerentanan dan Potensi Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Kerentanan dan potensi sosial ekonomi dan kelembagaan dari Sub DAS Padas dan Pengkol dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Formulasi Kerentanan dan Potensi Sosial Ekonomi dan

Kelembagaan di Sub DAS Padas dan Sub DAS Pengkol

Parameter Sub DAS Padas

Sub DAS

Pengkol Sosial (50%) Kepadatan Penduduk :

Geografis (10%) Tinggi (5) (0,5)

Tinggi (5) (0,5)

Kepadatan penduduk : Agraris (10%)

Rendah (1) (0,1)

Rendah (1) (0,1)

Budaya : Perilaku/tingkah laku konservasi (20%)

Rendah (1) (0,2)

Rendah (1) (0,2)

Budaya : Hukum adat (5%)

Tinggi (5) (0,25)

Tinggi (5) (0,25)

Nilai Tradisional (5%) Tinggi (5) (0,25)

Rendah (1) (0,05)

Page 41: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

12

Parameter Sub DAS Padas

Sub DAS

Pengkol Ekonomi (40%) Ketergantungan

Terhadap lahan (20%) Rendah (1) (0,2)

Sedang (3) (0,6)

Tingkat Pendapatan (10%)

Agak rendah (4) (0,4)

Agak rendah (4) (0,4)

Kegiatan Dasar Wilayah (10%)

Rendah (5) (0,5)

Sedang (3) (0,3)

Kelembagaan (10%)

Keberdayaan kelembagaan konservasi (5%)

Tinggi (5) (0,25)

Rendah (1) (0,05)

Keberdayaan lembaga formal pada konservasi (5%)

Sedang (3) (0,15)

Sedang (3) (0,15)

JUMLAH 35 (2,8)

27 (2,6)

Sumber : Analisis Data Primer tahun 2010 Kepadatan penduduk di Sub DAS Padas dan Sub DAS Pengkol termasuk dalam kategori tinggi, meskipun kepadatan penduduk agraris dan geografis Sub DAS Padas lebih tinggi dibandingkan Sub DAS Pengkol. Dilihat dari budaya (perilaku/ tingkah laku dalam konservasi tanah) dan hukum adat, kedua Sub DAS sama yaitu konservasi sudah dilakukan pada daerah itu, namun belum ada hukuman atau sangsi jika ada yang belum melakukan konservasi. Jika dilihat dari nilai tradisional di Sub DAS Pengkol, maka apabila ada petani yang belum melakukan konservasi tanah, mereka melakukan pekerjaan konservasi tanah tersebut secara bergotong royong. Hal ini dilakukan karena masyarakat di Sub DAS Pengkol lebih sadar melihat kondisi lahan mereka yang berpotensi tinggi tererosi dan mereka sadar bahwa wilayah mereka adalah penyumbang erosi Sub DAS Keduang, sedangkan di Sub DAS Padas kegiatan gotong royong seperti itu belum ada. Ketergantungan penduduk terhadap lahan di Sub DAS Padas lebih rendah dibandingkan dengan Sub DAS Pengkol. Ini menunjukkan bahwa kontribusi pendapatan dari kegiatan pertanian terhadap total pendapatan keluarga di Sub DAS Padas lebih rendah dibandingkan Sub DAS Pengkol. Hal ini dikarenakan kondisi lahan

Page 42: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

13

di Sub DAS Pengkol lebih subur dibandingkan dengan Sub DAS Padas. Tingkat pendapatan penduduk Sub DAS Padas lebih rendah daripada Sub DAS Pengkol. Hal ini disebabkan penduduk Sub DAS Pengkol banyak yang boro keluar daerah, seperti menjadi tukang bakso di Jakarta. Kondisi rumah, di Sub DAS Pengkol sudah banyak yang permanen, sedangkan di Sub DAS Padas pada umumnya masih rumah papan. Dilihat dari kegiatan dasar wilayah, Sub DAS Padas lebih tinggi dibandingkan Sub DAS Pengkol. Ini berarti lahan di Sub DAS Padas akan semakin sering dieksploitasi untuk kegiatan usaha tani, sehingga lahan akan semakin terdegradasi. Lahan di Sub DAS ini termasuk lahan yang kurang subur, sehingga lebih banyak dieksploitasi agar menghasilkan panen yang lebih banyak. Dilihat dari aspek kelembagaan, keberdayaan kelembagaan konservasi non formal di Sub DAS Pengkol sudah ada dan berperan, sedangkan di Sub DAS Padas belum berperan. Keberdayaan lembaga formal pada kegiatan konservasi tanah di masing-masing Sub DAS sudah cukup berperan. Dilihat dari skor yang diperoleh Sub DAS Padas (2,8) lebih tinggi dibandingkan dengan Sub DAS Pengkol (2,6). Sub DAS Padas dan Sub DAS Pengkol termasuk dalam kategori sedang dengan tingkat kerentanan sedang. Ini menunjukkan bahwa Sub DAS Padas lebih rentan secara sosial ekonomi dan kelembagaan dibandingkan dengan Sub DAS Pengkol. Hal ini bisa dimaklumi karena di Sub DAS Pengkol, banyak warga yang boro ( bekerja diluar daerah). Meskipun ketergantungan terhadap lahan di Sub DAS Pengkol lebih tinggi dibandingkan di Sub DAS Padas, tetapi petani di Sub DAS Pengkol sudah menerapkan konservasi tanah yang lebih baik dibandingkan petani di Sub DAS Padas.

Page 43: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

14

C. Kerentanan dan Potensi Parameter Fisik DAS

1. Potensi Banjir dan Daerah Rawan Banjir

Potensi sumber pasokan banjir di Sub DAS Pengkol cukup besar karena kondisi topografi yang berbukit-bukit dengan lereng yang terjal di daerah hulu. Selain itu potensi curah hujan di hulu Sub DAS Pengkol juga cukup besar, hujan maksimum harian mencapai 268 mm. Berdasarkan hasil analisis hujan harian maksimum, bentuk DAS, gradiensungai, kerapatan drainase, lereng rata-rata DAS, dan penggunaan lahan diperoleh skor untuk potensi pasokan air banjir sebesar 4,28. Skor ini termasuk tinggi. Topografi yang berbukit-bukit di Sub DAS Pengkol, mengakibatkan tidak mempunyai daerah yang rawan banjir karena air banjir yang terjadi langsung dialirkan ke daerah bawahnya dengan lancar. Berdasarkan hasil analisis parameter bentuk lahan, meandering, pembendungan oleh percabangan sungai, lereng kiri kanan sungai dan ada tidaknya bangunan pengendali banjir maka diperoleh skor 1,41. Skor ini termasuk kategori sangat rendah untuk terjadinya banjir. Potensi sumber pasokan banjir di Sub DAS Padas relatif kecil karena kondisi topografinya yang relatif datar dengan kemiringan lereng hanya 0–15%, curah hujan harian maksimumnya hanya 91 mm. Berdasarkan analisis parameter-parameter yang menentukan sumber pasokan banjir maka Sub DAS Padas ini mempunyai skor 3,7 yang artinya potensi sumber pasokan banjirnya termasuk kategori tinggi. Sub DAS Padas ini sebetulnya tidak rawan kebanjiran, namun karena kecilnya slope kiri kanan sungai sehingga aliran sungai mudah meluap menjadi banjir. Selain itu, khusus untuk daerah hilir Sub DAS Padas, kadang-kadang kebanjiran karena pembendungan oleh sungai Bengawan Solo. Namun demikian, dengan adanya beberapa waduk maka secara umum potensi daerah rawan kebanjiran di Sub DAS ini tergolong rendah. Hal ini sesuai dengan analisis parameter-parameter yang menyebabkan banjir menghasilkan skor 1,8 atau termasuk kategori rendah.

Page 44: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

15

2. Kerentanan Kekeringan Potensi kekeringan dideteksi dari hujan tahunan, evapotranspirasi, lamanya bulan kering, bahan induk, indek penggunaan air, dan debit minimum spesifik. Berdasarkan analisis parameter-parameter tersebut maka kerentanan kekeringan di Sub DAS Pengkol adalah 2,25. Skor ini termasuk rendah. Sedangkan untuk Sub DAS Padas mempunyai skor 3,28 yang berarti potensi kekeringannya termasuk kategori sedang.

3. Kekritisan Lahan

Kekritisan lahan dianalis melalui parameter solum tanah, kelerengan, ada tidaknya batuan singkapan, morfoerosi, tutupan vegetasi, dan penerapan teknik konservasi tanah dan air. Sub DAS Pengkol dengan solum tanah yang relatif dalam (>90 cm) dan textur tanah berpasir mempunyai skor 2,47 untuk daerah di luar kawasan hutan dan 1,78 untuk kawasan hutan. Dari skor tersebut dapat disimpulkan bahwa kekritisan lahan di luar kawasan termasuk rendah dan di dalam kawasan termasuk sangat rendah. Kekritisan lahan Sub DAS Padas mempunyai skor 3,06 untuk lahan di luar kawasan dan 2,21 untuk lahan di dalam kawasan. Kekritisan lahan di luar kawasan termasuk sedang dan di dalam kawasan termasuk rendah.

4. Kerentanan Tanah Longsor

Kerentanan tanah longsor didekati dengan parameter hujan harian kumulatif tiga hari berurutan, kelerengan, jenis batuan induk, keberadaan sesar, kedalaman regolit, penggunaan lahan, infrastruktur, dan kepadatan pemukiman. Dari parameter-parameter tersebut Sub DAS Pengkol sebagian rawan longsor terutama di daerah hulunya. Pada saat dilakukan survei memang terlihat bekas-bekas longsor. Sedangkan Sub DAS Padas tidak rawan longsor karena memang daerahnya relatif datar.

Page 45: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

16

D. Hubungan Aspek Sosial Ekonomi Kelembagaan dan Biofisik dalam Monev Kinerja Sub DAS

Hubungan antara aspek biofisik dan sosial ekonomi kelembagaan (soseklem) termasuk kategori sedang sampai dengan rentan untuk Sub DAS Padas, sedangkan untuk Sub DAS Pengkol hubungan antara aspek biofisik dan sosial ekonomi termasuk sedang, agak rentan, dan rentan. Hubungan aspek soseklem dan biofisik dalam monev kinerja Sub DAS secara terperinci dapat dilihat di Tabel 5 (Sub DAS Padas) dan Tabel 6 (Sub DAS Pengkol).

Tabel 5. Hubungan Sosek dan Biofisik di Sub DAS Padas

Parameter Soseklem Kesimpulan hubungan Biofisik skala bobot

Uraian skala Bobot 3 2,8 Pasokan air banjir 4 3,7 3,5 Rentan Rawan banjir 2 1,8 2,5 Sedang Kekeringan dan potensi air 3 3,28 3 Sedang Kekritisan Non Kawasan 3 3,06 3 Sedang Kekritisan kawasan hutan 2 2,21 2,5 Sedang Sumber : Analisis data primer 2010 Tabel 6. Hubungan Sosek dan Biofisik di Sub DAS Pengkol

Parameter Soseklem Kesimpulan hubungan Biofisik skala bobot

Uraian Skala Bobot 3 2,6 Pasokan air banjir 4 4,28 3,5 Rentan Rawan banjir 1 1,4 2 Agak rentan Kekeringan dan potensi air

2 2,25 2,5 Sedang

Kekritisan Non Kawasan 2 2,47 2,5 Sedang Kekritisan kawasan hutan 2 1,78 2,5 Sedang Sumber : Analisis Data Primer 2010 Berdasarkan Tabel 5 dan 6 hubungan aspek soseklem dan biofisik dalam monev kinerja DAS sangat berkaitan. Untuk Sub DAS Padas hubungan antara aspek biofisik dan soseklem dari kategori

Page 46: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

17

sedang sampai dengan rentan. Sub DAS Padas termasuk dalam kategori rentan untuk hubungan parameter pasokan banjir dengan sosial ekonomi kelembagaan. Sedangkan parameter lain hubungan antara biofisik (rawan banjir, kekeringan dan potensi air, kekritisan non kawasan dan kekritisan kawasan) dengan sosial ekonomi kelembagaan masuk dalam kategori sedang. Yang menjadi faktor utama penyebab kerentanan untuk parameter soseklem adalah kepadatan penduduk, geografis, budaya adat, nilai tradisional, tingkat pendapatan, kegiatan dasar wilayah, dan keberdayaan kelembagaan konservasi. Parameter-parameter ini termasuk ke dalam skala rentan sampai dengan sangat rentan. Sedangkan parameter biofisik yang menjadi faktor utama penyebab rentannya hubungannya aspek biofisik dan soseklem adalah bentuk DAS, penggunaan lahan, geologi, kebutuhan air (Indeks Penggunaan Air), debit minimum spesifik, tekstur terhadap kepekaan erosi, vegetasi penutup (non kawasan), dan konservasi tanah mekanis (non kawasan). Parameter biofisik ini termasuk ke dalam kategori rentan sampai dengan sangat rentan. Hubungan antara faktor biofisik dan soseklem di Sub DAS Pengkol adalah dari agak rentan, sedang dan rentan. Hubungan parameter pasokan banjir dan soseklem termasuk ke dalam kategori rentan, hubungan parameter rawan banjir dan soseklem termasuk ke dalam kategori agak rentan, dan hubungan parameter kekeringan dan potensi air, kekritisan kawan dan non kawasan dengan soseklem termasuk ke dalam kategori sedang. Parameter sosial ekonomi kelembagaan yang menyebabkan kerentanan adalah parameter kepadatan penduduk geografis, budaya adat, dan tingkat pendapatan. Ketiga parameter ini termasuk ke dalam kategori agak rentan sampai dengan rentan. Parameter biofisik yang menyebabkan kerentanan adalah hujan harian maksimum rata-rata pada bulan basah (mm/hari), gradien sungai, kerapatan drainase, penggunaan lahan, bentuk lahan, konservasi tanah mekanis (kawasan). Parameter biofisik ini termasuk ke dalam kategori rentan sampai dengan sangat rentan. Secara lebih jelas parameter sosial ekonomi kelembagaan dan biofisik yang berpengaruh dapat dilihat pada Tabel 7.

Page 47: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

18

Tabel 7. Parameter yang Paling Berpengaruh dalam Monev Kinerja DAS di Sub DAS Padas dan Sub DAS Pengkol

Parameter Sub DAS Padas Sub DAS Pengkol

Sosial Ekonomi Kelembagaan

• kepadatan penduduk geografis • budaya adat • nilai tradisional • tingkat pendapatan • kegiatan dasar wilayah • keberdayaan kelembagaan

konservasi.

• kepadatan penduduk geografis

• budaya adat • tingkat

pendapatan. Biofisik • bentuk DAS

• penggunaan lahan • geologi • kebutuhan air (Indeks

Penggunaan Air) • debit minimum spesifik • tekstur terhadap kepekaan erosi • vegetasi penutup (non kawasan) • konservasi tanah mekanis (non

kawasan).

• hujan harian maksimum rata-rata pada bulan basah (mm/hari)

• gradient sungai • kerapatan

drainase • penggunaan

lahan • bentuk lahan • konservasi

tanah mekanis (kawasan).

Sumber : Analisis Data Primer 2010 Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan siskardas maka, jika terdapat salah satu dari parameter baik itu sosial ekonomi kelembagaan, maupun parameter biofisik dalam kondisi rentan atau sangat rentan menyebabkan hubungan antara aspek soseklem dan biofisik termasuk ke dalam kategori rentan atau sangat rentan, meskipun salah satu dari parameter tersebut masuk dalam kategori tidak rentan atau agak rentan. Ini bisa menjadi bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan atau pelaku monev kinerja Sub DAS dalam melakukan suatu tindakan yang berujung untuk memperbaiki kondisi-kondisi yang paling bermasalah.

Page 48: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

19

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan, bahwa : 1. Hubungan aspek soseklem dan biofisik di Sub DAS Padas

termasuk ke dalam kategori sedang sampai dengan rentan. Hubungan parameter pasokan banjir dengan sosial ekonomi kelembagaan termasuk ke dalam kategori rentan. Parameter lain seperti rawan banjir, kekeringan dan potensi air, kekritisan non kawasan dan kekritisan kawasan hubungannya dengan soseklem termasuk ke dalam kategori sedang.

2. Hubungan aspek soseklem dan biofisik di Sub DAS Pengkol termasuk dalam kategori agak rentan, sedang dan rentan. Hubungan soseklem dan pasokan banjir masuk dalam kategori rentan, hubungan soseklem dan parameter rawan banjir masuk dalam kategori agak rentan, dan hubungan soseklem dan parameter kekeringan dan potensi air, kekritisan kawasan dan non kawasan masuk dalam kategori sedang.

3. Parameter soseklem yang berpengaruh di Sub DAS Padas adalah kepadatan penduduk geografis, budaya adat, nilai tradisional, tingkat pendapatan, kegiatan dasar wilayah, keberdayaan kelembagaan konservasi, sedangkan yang berpengaruh di Sub DAS Pengkol adalah kepadatan penduduk, geografis, budaya adat, tingkat pendapatan.

4. Parameter biofisik yang berpengaruh di Sub DAS Padas adalah bentuk DAS, penggunaan lahan, geologi, kebutuhan air (Indeks Penggunaan Air), debit minimum spesifik, tekstur terhadap kepekaan erosi, vegetasi penutup (non kawasan), konservasi tanah mekanis (non kawasan). Sedangkan parameter biofisik yang berpengaruh di Sub DAS Pengkol adalah hujan harian maksimum rata-rata pada bulan basah (mm/hari), gradient sungai, kerapatan drainase, penggunaan lahan, bentuk lahan, konservasi tanah mekanis (kawasan).

Page 49: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

20

B. Saran

Sehubungan dengan hal tersebut di atas. Maka disarankan bahwa dengan mengetahui kerentanan masing-masing Sub DAS, baik itu kerentanan sosial, ekonomi, kelembagaan maupun kerentanan biofisik, maka Pemerintah Kabupaten dapat melakukan antisipasi dan melakukan tindak lanjut, untuk perbaikan Sub DAS, baik itu di aspek sosial, ekonomi dan kelembagaan maupun pada aspek biofisik.

DAFTAR PUSTAKA BPS. 2007 a. Kabupaten Sragen Dalam Angka. BPS. 2007 b. Kabupaten Wonogiri Dalam Angka. BPS. 2008 a. Kabupaten Sragen Dalam Angka. BPS. 2008 b. Kabupaten Wonogiri Dalam Angka. Dephut. 2009. Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia.

Nomor SK.328/Menhut-II/2009. Tentang Penetapan Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam Rangka Pembangunan Jangka Mengengah (RPJM) Tahun 2010-2014.

Kartodihardjo, H., K. Murtilaksono, dan Untung Sudadi. 2004.

Institusi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai: Konsep dan Pengantar Analisis Kebijakan. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Paimin, Sukresno, dan Purwanto. 2006. Sidik Cepat Degradasi.

Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS). Pusat penelitan dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.

Paimin. 2009. Laporan Akhir Hasil Penelitian Tahun 2003-2009.

Usulan Kegiatan Hasil Penelitian (UKP). Sistem Karakterisasi Daerah Aliran Sungai. Balai Penelitian Kehutanan Solo. Departemen Kehutanan.

Page 50: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

21

Peraturan Presiden No 7 Tahun 2005. Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Tahun 2004-2009. Tim Peneliti BP2TPDAS-IBB. 2004. Pedoman Monitoring Dan

Evaluasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (edisi revisi 2004). BP2TPDAS- IBB Surakarta.

Page 51: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

22

TINGKAT KEKERUHAN AIR SUNGAI PADA BERBAGAI VARIASI LUAS HUTAN PINUS

DI SUB DAS KEDUNGBULUS, GOMBONG1

1 Makalah disampaikan pada Semiloka “Riset Pengelolaan DAS Menuju Kebutuhan

Terkini” Surakarta, 27-28 Juni 2011. Kerjasama Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi dengan Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

Oleh: Irfan Budi Pramono

Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

Jl. A. Yani PO Box 295 Pabelan. Telepon/Fax.: (+62 271) 716709/716959

Email: [email protected] Email: [email protected]

ABSTRAK

Luas h utan optimal dal am s uatu D AS t erhadap f ungsi t ata ai r m asih menjadi perdebatan. Walaupun dalam UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 sudah disebutkan bahwa luas hutan minimal dalam suatu DAS adalah 30 %, namun angka ini masih membutuhkan kajian penelitian karena angka 30 % belum didukung oleh hasil penelitian, seperti pada jenis hutan apa, kondisi f isik D AS s eperti a pa, da n k ondisi i klim y ang baga imana. Penelitian i ni bertujuan unt uk mengetahui t ingkat k ekeruhan ai r sungai dari b erbagai l uas hutan da lam s uatu sub D AS. H asilnya di harapkan dapat m endukung j ustifikasi l uas hut an opt imal dar i a spek s edimentasi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Sub DAS dengan variasi luas hutan. Dalam suatu Sub DAS dibagi dalam beberapa Sub-Sub D AS deng an v ariasi l uas hut an. P ada m asing-masing o utlet dipasang stasiun hidrologi yang mengukur debit banjir dan tingkat kekeruhan. Luas hutan dan luas penutupan lainnya dianalisis dengan menggunakan c itra s pot dan pengecekan lapangan. Luas hut an o ptimal diperoleh dari perbandingan ∆ y / ∆ x ~ 0 atau perubahan luas hutan tidak mempengaruhi responnya terhadap debit atau sedimen. Jenis hutan yang diteliti a dalah hut an t anaman pi nus d engan ba han i nduk v ulkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa makin bes ar luas hut an mempunyai tingkat kekeruhan yang makin kecil. Pada luas hutan 95 % dari luas DAS mempunyai kekeruhan 3 NTU, sedangkan pada luas hutan 20 % dari luas DAS mempunyai kekeruhan 1950 NTU. Dari hubungan antara luas hutan dan kekeruhan air sungai dapat dikatakan bahwa luas hutan optimal dari aspek kekeruhan air sungai berkisar antara 31-35 % dari luas DAS. Hal ini ditunjukkan pada angka tersebut perbedaan luas hutan tidak berpengaruh yang nyata dalam perubahan tingkat kekeruhan air sungai. Kata Kunci: sedimentasi, hutan pinus, luas hutan optimal

Page 52: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

23

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Vegetasi hutan berperan penting dalam siklus hidrologi. Salah satu fungsi utamanya adalah melindungi permukaan tanah dari gempuran tenaga kinetis air hujan melalui tiga lapisan bidang penampungan air, baik oleh strata tajuk (kanopi), serasah hutan serta pori-pori tanah hutan, sehingga aliran air dapat terkendalikan (Pereira, 1989 dalam Asdak, 1995). Brooks, K.N., Ffolliot, P.E., Gregersen, H.M. & DeBano,L.E. (1997) dalam Hofer (2003) melaporkan bahwa DAS dengan penutupan hutan yang sehat yaitu hutan yang mampu memenuhi fungsinya sebagai pengatur tata air, biasanya dicirikan dengan tingkat sedimentasi yang rendah. Namun demikian, dampak hutan terhadap sedimentasi akan berbeda-beda sesuai dengan jenis hutannya. Selain penutupan lahan atau hutan, sedimentasi juga dipengaruhi oleh bahan induk, jenis tanah, dan karakteristik fisik DAS lainnnya. Pengangkutan sedimen ke hilir dipengaruhi dua hal, yaitu perubahan debit aliran sungai dari hulu DAS dan oleh perubahan di sepanjang kiri kanan tebing sungai (Rosgen, 1994; Tabacchi, E., Lambs, L., Guilloy, H., Muller, E., & Decamps, H., 2000 dalam Hofer, 2003). Keberadaan hutan yang mampu memenuhi fungsinya sebagai pengatur tata air pada kawasan kiri kanan sungai (riparian area) dapat berperan dalam mengurangi tingkat sedimen, melalui penahanan terhadap tanah tererosi yang akan masuk sungai, dan melalui pemeliharaan stabilitas tebing sungai. Jika tidak dilakukan konservasi terhadap tebing sungai, maka peningkatan sedimen akibat penebangan dapat meningkat sebesar 70 % sampai dengan 97 % seperti yang diujicobakan di Bukit Berembun Malaysia (Kasran, 1988) Tingkat sedimentasi lebih tinggi pada saat kenaikkan hidrograf dan lebih kecil pada saat penurunan hidrograf (Lopes, V.L.Ffolliot, P.F., Baker, M.B. 2001). Hal ini terjadi pada saat kenaikan banjir masih banyak material-material kasar yang terbawa, sedangkan pada akhir banjir jumlah material yang dibawa sudah berkurang. Dengan demikian pengambilan contoh sedimen suspensi harus dilakukan

Page 53: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

24

pada berbagai ketinggian muka air pada saat banjir naik maupun pada saat penurunan banjir. Sedimentasi dapat diukur dengan menghitung kandungan suspensi air dalam satuan mg/liter atau didekati dengan tingkat kekeruhan air sungai dalam satuan Nephelometric Turbidity Unit NTU. Tingkat kekeruhan ini kurang cocok bila dibandingkan pada bahan induk yang berbeda , namun bila digunakan dalam DAS dengan bahan induk yang sama masih bisa dibandingkan. Mengacu pada latar belakang di atas,serta terkait dengan isu peranan kawasan hutan terhadap fungsi hidrologis khususnya tingkat sedimentasi, maka setiap wilayah DAS harus diidentifikasi karakteristiknya, salah satunya adalah tingkat kerentanan hidrologis DAS. Tingkat kerentanan ini perlu dipertimbangkan dalam perencanaan pengelolaan di Sub DAS hulu dan oleh karenanya, diperlukan kajian yang mempelajari luas penutupan lahan hutan yang optimal yang diharapkan dapat menjaga tingkat sedimentasi. Kajian untuk menentukan luas penutupan lahan hutan yang optimal harus dilakukan sedemikian rupa sehingga jika dilakukan penambahan atau pengurangan terhadap luas hutan tersebut dapat diperoleh penjelasan ilmiah yang signifikan terhadap tingkat sedimentasi. Hasil penelitian ini sekaligus diharapkan dapat memberikan sumbangan justifikasi ilmiah terhadap aturan dalam UU. No. 41 tahun 1999 mengenai penentuan luas lahan hutan optimal yang harus dimiliki oleh suatu DAS. B. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kekeruhan air sungai menurut luas hutan yang ada pada suatu Sub DAS.

II. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

A. Bahan dan Alat

Bahan dan peralatan yang digunakan dalam kajian, yaitu : - Bahan dan peralatan monitoring debit dan sedimentasi yang

berupa: SPAS (Stasiun Pengamat Aliran Sungai) dan

Page 54: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

25

suspended sampler, peta-peta dasar (topografi dan tanah), blanko pengamatan, botol sampel, label dll.

- Bahan dan peralatan pengamatan tegakan hutan dan penutupan lahan berupa peta dasar (sebaran tegakan, topografi), peta RBI, citra landsat, meteran, blangko pengamatan, dll.

- Peralatan Laboratorium sepert oven, timbangan analitis digital B. Waktu dan lokasi Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2011. Lokasi penelitian dilakukan di Sub DAS Kedungbulus, dimana Sub DAS tersebut terbagi dalam 9 (sembilan ) Sub-sub DAS yaitu Sub DAS Watujali, Sub DAS Silengkong, Sub DAS Kali Poh, Sub DAS Pasuruan, Sub DAS Tapak Gajah, Sub DAS Kedungpane, Sub DAS Lowereng, Sub DAS Kali Kemit, dan Sub DAS Kedungbulus.

C. Metode

Metode yang dilakukan adalah dengan pendekatan Sub DAS dengan pengukuran secara langsung. Prosedure yang dilakukan adalah sebagai berikut

a. Menentukan lokasi-lokasi pemasangan SPAS dengan mempertimbangkan variasi luas hutan pinus.

b. Pada lokasi penelitian dipasang 8 buah SPAS sesuai dengan jumlah Sub DAS yang diamati.

c. Prosentase luas hutan dikurangi dengan menambah luas DAS, Namun sampai SPAS Kedungbulus, luas DAS tidak bisa ditambah lagi karena aliran sungai sudah dibendung dan dialirkan keluar Sub DAS untuk irigasi.

d. Memasang Peilschall dan suspended sediment sampler e. Menghitung luas penutupan lahan hutan dan penggunaan

lahan lainnya dalam setiap Sub-sub DAS. f. Mengukur debit dan mengambil contoh sedimen pada waktu

yang sama g. Pengukuran debit dan sedimen tersebut dilakukan pada

berbagai luas hutan pada Sub-sub DAS dalam waktu yang hampir bersamaan

h. Menganalisis kadar kekeruhan air sungai di laboratorium

Page 55: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

26

i. Menghitung besarnya tingkat kekeruhan dari berbagai luas hutan dan suatu Sub DAS

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Morfometri Sub DAS Kedungbulus

Terdapat dua bentuk Sub-sub DAS di Sub DAS Kedungbulus, yakni bulat dan lonjong memanjang. Kelerengan umumnya terjal dengan variasi dari 26% sampai 61%. Perincian morfometri masing-masing sub DAS dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel1. Morfometri Sub DAS Kedungbulus

Sub DAS Luas (km2) Bentuk DAS Dd

(km/km2) Kelerengan Rata2 (%)

Silengkong 1.17 Bulat 3.01 61 Watujali 1.03 Bulat 3.34 53 Tapakgajah 0.55 Lonjong 2.81 46 Pasuruan 0.80 Lonjong 3.21 34 Kedungpane 3.11 Lonjong 2.96 26 Lowereng 11.61 Bulat 3.45 32 Kali Kemit 22.75 Bulat 3.18 43 Kedung Bulus 37.95 Lonjong 3.27 36

B. Kondisi Penutupan Lahan di Sub DAS Kedungbulus Hutan di Gombong didominasi oleh hutan pinus. Tanaman jati hanya ditanam pada batas kepemilikan lahan milik rakyat. Luas penutupan hutan bervariasi dari 13 % sampai dengan 95 % dari luas DAS. Penutupan lahan lainnya yang dominan adalah tegal dan sawah. Perincian selanjutnya dapat di lihat pada Tabel 2.

Tabel2. Penutupan lahan di setiap Sub DAS Kedung Bulus, Gombong.

Sub DAS Luas (km2)

Hutan (%)

Kebun (%)

Tegal (%)

Sawah (%)

Pemukiman (%)

Silengkong 1.17 52 23 25 0 0 Watujali 1.03 49 28 23 0 0 Kali Poh 0.44 95 0 5 0 0 Tapak Gajah 0.55 13 25 58 1 3 Pasuruan 0.80 20 33 44 2 2 Kedung Pane 3.11 31 30 37 1 2 Lowereng 11.61 33 23 32 10 1 Kali Kemit 22.75 37 24 18 8 12 Kedung Bulus 37.95 35 29 24 5 8

Page 56: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

27

Hutan pinus di Sub DAS Kedungbulus bervariasi dari umur 5 tahun sampai 30 tahun. Perincian dan penyebaran penutupan lahan dapat dilihat pada pada Gambar 1. Kondisi tegakan hutan masing-masing Sub DAS dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kondisi Tegakan Hutan pada masing-masing Sub DAS Kedungbulus di Gombong

Sub DAS Luas DAS (km2)

Luas hutan

(% DAS) Kerapatan (pohon/ha)

Tanaman Bawah

Dominan Silengkong 1.17 52 560 Pakis udang Watujali 1.03 49 480 Pakis udang Kali Poh 0.44 95 423 Pakis udang Tapak Gajah 0.55 13 512 Plengkingan Pasuruan 0.80 20 395 Pakis udang Kedung Pane 3.11 31 412 Plengkingan Lowereng 11.61 33 575 Rayapan Kali Kemit 22.75 37 482 Rayapan Kedung Bulus 37.95 35 387 Rayapan

C. Debit Sungai dan tingkat kekeruhan air sungai pada

berbagai luas hutan pinus

Debit sungai dan pengambilan contoh air dilakukan secara bersamaan yaitu dilakukan pada saat terjadinya banjir. Gambar 2

Gambar 1. Peta Penutupan Lahan Sub DAS Kedungbulus

Page 57: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

28

menunjukkan skema aliran sungai dari hulu sampai hilir di Sub DAS Kedungbulus.

Gambar 2. Skema aliran sungai dari hulu sampai hilir di Sub DAS

Kedungbulus. Contoh air diambil pada saat banjir terjadi tanggal 23 Maret 2011. Hasilnya menunjukkan bahwa debit sungainya bervariasi dari 0.048 m3.dt di Kali Poh sampai 10.391 m3/dt di Kedungbulus. Sedangkan tingkat kekeruhan bervariasi dari 3 NTU di Kali Poh sampai 1950 di Kali Pasuruan. Hasil selengkapnya dapat di lihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Debit sungai dan tingkat kekeruhan pada berbagai luas hutan

pinus di Sub DAS Kedungbulus

No Sub-sub DAS Luas DAS (km2)

Luas hutan

(% luas DAS)

Debit (m3/dt)

Kekeruhan (NTU)

1 Silengkong 1.17 52 0.368 34 2 Watujali 1.03 49 0.355 49 3 Kali Poh 0.44 95 0.048 3 4 Tapak Gajah 0.55 13 0.094 823 5 Pasuruan 0.80 20 0.760 1950 6 Kedung Pane 3.11 31 1.417 914 7 Lowereng 11.61 33 2.531 265 8 Kali Kemit 22.75 37 8.861 137 9 Kedung Bulus 37.95 35 10.391 503

Dari pengukuran debit tanggal 23 Maret terlihat bahwa debit sungai setelah mempertimbangkan luas DAS terlihat

2

1 3

4 5

6

7

8

9

Page 58: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

29

kecenderungan untuk konstan atau perubahannya kecil pada luas hutan sekitar 31-35 % seperti yang terlihat pada Gambar 3 .

Gambar 3. Hubungan Luas Hutan dan Debit di Sub DAS Kedungbulus

tanggal 23 Maret 2011

Makin luas prosentase hutan dalam suatu DAS maka tingkat kekeruhan makin kecil. Hal ini secara visual dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Contoh kekeruhan air sungai pada berbagai luas hutan dan sub DAS Kedungbulus tanggal 23 Maret 2011.

Hubungan Luas Hutan dan Debit di Sub DAS Kedungbulus 23 Maret 2011

y = 16.14x-1.0647

00.20.40.60.8

11.2

0 20 40 60 80 100

Luas Hutan (% luas DAS)

Deb

it (

m3/

dt/

km2)

Page 59: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

30

Dari hasil analisis kekeruhan di Laboratorium Balai Besar Tehnik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular Yogyakarta, terlihat bahwa makin luas hutan dalam suatu DAS tingkat kekeruhannya makin kecil. Pada luas hutan sekitar 31-35 terlihat bahwa perbedaan kekeruhan sudah kelihatan mengecil atau mendekati konstan, seperti yang terlihat pada Gambar 5. Dari gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa luas optimal hutan dari aspek kekeruhan sekitar 31-35 % dari luas DAS.

Gambar 5. Hubungan Luas Hutan dan Tingkat Kekeruhan di Sub DAS

Kedungbulus tanggal 23 Maret 2011 IV. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Makin besar luas hutan dalam suatu sub DAS maka tingkat

kekeruhan makin kecil. 2. Perubahan luas hutan terhadap perubahan tingkat

kekeruhan air sungai mencapai titik hampir konstan pada sekitar luas hutan antara 31- 35 %.

Hubungan antara luas hutan dan tingkat kekeruhan di Sub DAS Kedungbulus

y = 4572e-0.0808x

0

500

1000

1500

2000

2500

0 20 40 60 80 100

Luas Hutan (% Luas DAS)

Keke

ruha

n (N

TU)

Page 60: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

31

DAFTAR PUSTAKA Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai,

Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hofer, T. 2003. Sustainable Use and Management of Freshwater

Resources: T he R ole of F orest. State of The World’s Forest 2003, Part II: Selected current issues in the forest sector. FAO Forestry Department.

Kasran, Baharudin. 1988. Effect of logging on sediment yield in a

hill dipterocarp forest in Penisula Malaysia. Journal of Tropical Forest Science 1 (1): 56-66

Lopes, V.L., P.F.Ffolliot, and M.B. baker Jr. 2001. Impact of

vegetative practices on suspended sediment from watersheds of Arizona. Journal of Water Resources Planning and Management 127 (1): 41-47

Undang-Undang No. 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan.

Fokusmedia. Bandung.

Page 61: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

32

OPTIMALISASI PENGGUNAAN SUMBERDAYA LAHAN: KASUS DAS GRINDULU, KABUPATEN PACITAN1

1 Makalah disampaikan pada Semiloka “Riset Pengelolaan DAS Menuju

Kebutuhan Terkini” Surakarta, 27-28 Juni 2011. Kerjasama Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi dengan Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

Oleh : S. Andy Cahyono2

Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Jl. A. Yani PO Box 295 Pabelan.

Telepon/Fax.: (+62 271) 716709/716959 Email: [email protected]

2Email: [email protected]

ABSTRAK

Salah satu indikasi ketidaktepatan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah semakin banyaknya DAS yang tergolong kritis. Kekritisan DAS salah satunya disebabkan oleh alokasi sumberdaya lahan yang tidak tepat. Penelitian bertujuan untuk menganalisis pengalokasian sumberdaya lahan secara optimal untuk memperoleh pendapatan maksimal dengan memperhatikan pencapaian swasembada pang an, k esejahteraan masyarakat, dan pengendalian tingkat erosi serta pencapaian kelestarian DAS/kelestarian DAS. Model pr ogram linier dipergunakan unt uk analisis alokasi o ptimal s umberdaya DAS G rindulu untuk memaksimalkan pendapatan sektor pertanian/kehutanan berbasis pemanfaatan lahan dengan memperhatikan swasembada pangan, kesejahteraan masyarakat dan pengendalian erosi. H asil analisis menunjukkan bahwa pendapatan sektor pertanian/kehutanan DAS Grindulu optimal mencapai Rp 570 milyar yang merupakan kombinasi penggunaan lahan sawah irigasi untuk padi sawah baik di hulu dan hilir, penanaman kedelai di lahan tegalan hilir, penanaman ak asia dan t anaman k opi. A ktivitas pe ndukungnya ada lah penyediaan m odal t iap m usim, penj ualan p adi sawah, penjualan kayu bakar dan kayu pertukangan. Sumberdaya lahan dan modal merupakan sumberdaya yang langka di DAS Grindulu sedangkan tenaga kerja t idak langka atau berlebih. Tanaman yang memiliki keunggulan komparatif di DAS G rindulu u ntuk t anaman pang an ad alah padi sawah dan k edelai yang di tanam di lahan tegalan pada musim tanam 1 (Januari sampai April) dan 2 (Mei sampai Agustus); untuk tanaman perkebunan adalah kopi dan tanaman kehutanan adalah akasia yang dijadikan sebagai kayu pertukangan dan kayu bakar. Kata kunci : pengelolaan DAS, program linier, optimal

Page 62: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

33

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semakin m eningkatnya j umlah D AS (Daerah Aliran Sungai) kritis di I ndonesia m enunjukkan ada nya k etidaktepatan peng elolaan DAS (Priyono dan Cahyono, 2003). Beberapa pakar seperti, Shah (1994), dan Dixon dan Easter (1986) mensinyalir bahwa kegagalan pengelolaan DAS selama ini sebagai akibat dari penekanan yang berlebihan p ada as pek bi ofisik dar ipada as pek s osial. Akibatnya, pengelolaan DAS sering kurang mendapat dukungan masyarakat, tidak m emberikan manfaat ek onomi yang n yata, dan k urang mampu menanggulangi lahan kritis. Selain itu, sumberdaya dalam DAS belum dialokasikan secara optimal dan berkesinambungan. Pengelolaan DAS masa kini dan di masa depan akan dihadapkan pada p ersoalan yang semakin k ompleks seperti b anjir, l ongsor, kekeringan, kemiskinan, konflik, lahan kritis, rentannya ketahanan pangan, kelaparan, pencemaran dan dampak perubahan iklim. Kompleksnya pengelolaan DAS membuat beragam aktivitas harus dilakukan. Namun di sisi l ain, sumberdaya yang t ersedia s angat terbatas. Untuk i tu diperlukan s ebuah an alisis yang da pat memberikan i nformasi agar penge loaan D AS dap at m emberikan manfaat yang pa ling opt imal. A lokasi s umberdaya lahan, t enaga kerja, m odal dan p ilihan p enggunaan lahan sebaiknya dilakukan untuk mendapatkan ha sil yang m aksimal d engan t etap memperhatikan kelestariannya. Hasil m aksimal dar i i nput l ahan, t enaga k erja, dan modal yang terbatas bukan tujuan yang utama. Keputusan produksi usaha tani dan pem anfaatan l ahan dibuat den gan t ujuan ut ama menjamin cukup t ersedianya pa ngan dar i s etiap periode pr oduksi. Tujuan dilakukannya s uatu po la us aha tani adalah untuk m emenuhi konsumsi k eluarga secara s ubsisten, m eningkatkan pend apatan rumah tangga, distribusi pemakaian tenaga kerja sepanjang tahun, mengurangi r esiko dan m endapatkan keuntungan. S elain i tu kelestarian DAS terutama dalam menjaga tata a ir dan penanggulangan erosi seyogyanya tetap d ilakukan agar t ingkat kesuburan lahan tidak semakin menurun.

Page 63: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

34

B. Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan untuk menganalisis pengalokasian sumberdaya lahan secara optimal untuk memperoleh pendapatan maksimal dengan memperhatikan pencapaian swasembada pangan, k esejahteraan m asyarakat, dan pengendalian erosi serta pencapaian kelestarian DAS.

II. METODE PENELITIAN A. Pemilihan Lokasi Lokasi pen elitian ditetapkan s ecara s engaja ( purposive sampling) di DAS Grindulu. D AS Grindulu m erupakan s alah s atu DAS dar i DAS Bengawan S olo yang memiliki t ingkat er osi yang tinggi dan memiliki k eterbatasan sumberdaya lahan. Berdasarkan Laporan Rencana T eknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah D AS G rindulu 1 988 yang d ikutip P emda P acitan da n European U nion (2005) diperoleh bes arnya laju erosi di D AS Grindulu mencapai 549,02 ton/ha/th dan erosi total mencapai 38.724.391 t on/ha. A pabila di bandingkan deng an laju er osi yang diperkenankan s ebesar 1 mm/th at au 14 t on/ha/th a tau 993 .944 ton/th, maka masalah erosi di DAS Grindulu telah melampaui batas sehingga perlu upaya pengendalian erosi. B. Sumber Data Data yang di ambil ber upa dat a pr imer dan dat a s ekunder. D ata primer merupakan data yang diperoleh dari pengamatan lapangan. Data sekunder merupakan hasil pencatatan data yang terpublikasi oleh i nstansi t erkait ( Badan P usat S tatistik(BPS), D epartemen Pertanian, Departemen Kehutanan, dan sebagainya). C. Metode Analisa Data dan Spesifikasi Model Penyusunan model terdiri dari tahapan sebagai berikut: (1) menentukan m acam k egiatan, (2) menentukan macam f aktor kendala, (3) menentukan koefisien input output dan (4) menentukan fungsi tujuan.

Page 64: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

35

1. Penentuan Macam Kegiatan/Aktivitas Model program l inier yang d ikembangkan unt uk per encanaan alokasi sumberdaya di DAS Grindulu terdiri dari 90 buah aktivitas. Aktivitas yang menyusun fungsi tujuan memaksimalkan pendapatan s ektor per tanian/kehutanan berbasis pem anfaatan lahan tersebut terdiri dari aktivitas produksi sebanyak 43 aktivitas, sewa tenaga kerja sebanyak 24 aktivitas, kredit modal sebanyak 3 aktivitas, k onsumsi s ebanyak 10 ak tivitas d an m enjual s ebanyak 10 ak tivitas. K omoditi yang di pergunakan s ebanyak 12 komoditi yaitu tanaman semusim (padi sawah, padi ladang, jagung, ubi kayu, k acang tanah dan k edelai), tanaman perkebunan (kopi dan kelapa) dan tanaman kehutanan (jati, mahoni, akasia dan albizia). Aktivitas pen anaman k omoditi t ersebut dilakukan pada lahan sawah, lahan tadah hujan, lahan tegalan, lahan hutan dan kebun. Penanaman dilakukan pada DAS bagian hulu dan DAS bagian hilir dengan berbagai musim tanam. Untuk aktivitas sewa tenaga kerja dipisah per bulan baik untuk daerah hulu dan daerah hilir. 2. Penentuan Macam Faktor Kendala Untuk memaksimumkan pendapatan di DAS Grindulu terdapat beberapa kendala yaitu lahan, perlindungan tata air DAS, kendala lahan unt uk pe mukiman, l ahan u ntuk kebun, er osi t anah, t enaga kerja, modal us aha t ani, konsumsi has il pr oduksi, dan k endala transfer. Kendala t ransfer di s ini di maksudkan s ebagai k endala dalam pe mindahan ak tivitas pr oduksi ke a ktivitas k onsumsi dan aktivitas penjualan, D engan k ata l ain s eberapa besar s uatu produksi dapat dikonsumsi dan dijual.

3. Penentuan Koefisien Input Output Koefisien i nput-output dar i t iap ak tivitas di tentukan berdasarkan data sekunder yang berasal dari berbagai laporan penelitian, Dinas Pertanian T anaman P angan K abupaten Pacitan, B PS, D inas Kehutanan Kabupaten Pacitan dan lain-lain

Page 65: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

36

4. Penentuan Fungsi Tujuan Fungsi tujuan dari model program linear yang disusun adalah maksimalisasi pendapatan s ektor per tanian/kehutanan di D AS Grindulu. Adapun per umusan m odel pr ogram linier untuk maksimalisasi pendapatan de ngan k endala da n ak tivitasnya disajikan sebagai berikut: Max Z =

∑ ∑ ∑ ∑∑∑= = = ===

+−−−−12

1

3

1

10

1

10

1

3

11*****)(

k m x xm

n

xJxPjxCxPcxJkmTbmHokUsXmxBxmxP

Keterangan: Pxm = Nilai penerimaan per hektar untuk cabang usahatani x pada

musim tanam m (Rp/th) Bx = Biaya produksi untuk cabang usahatani x (Rp/Ha) Us = Upah tenaga kerja sewa (Rp/HOK) Tbm = tingkat bunga kredit yang dipinjam petani pada musim tanam m

(%) Xxm = Luas penanaman usahatani tanaman x pada musim m (Ha) Hok = Jumlah tenaga kerja sewa pada bulan k (HOK) Jkm = Jumlah kredit yang dipinjam petani pada musim tanam m (Rp) Pcx = Harga beli barang x untuk konsumsi (Rp/kg atau Rp/m3) Cx = Konsumsi barang x (kg/kapita/th) Pjx = Harga jual barang x di pasar (Rp/kg atau Rp/m3) Jx = Penjualan barang x (kg/kapita/th) Kendala-kendala :

a. Lahan 1) Lahan sawah di DAS hulu

∑=

=≤n

xnmLTmsuLxmsu

1...3,2,1;

2) Lahan sawah di DAS hilir

∑=

=≤n

xnmLTmsrLxmsr

1...3,2,1;

Page 66: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

37

3) Lahan tadah hujan di DAS hulu

∑=

=≤n

xnmLTmluLxmlu

1...3,2,1;

4) Lahan tadah hujan di DAS hilir

∑=

=≤n

xnmLTmlrLxmlr

1...3,2,1;

5) Lahan tegalan di DAS hulu

∑=

=≤n

xnmLTmtuLxmtu

1...3,2,1;

6) Lahan tegalan di DAS hilir

∑=

=≤n

xnmLTmtrLxmtr

1...3,2,1;

Keterangan: Lxmsu = Luas lahan yang ditanami tanaman x pada musim tanam m di

lahan sawah di DAS hulu (Ha) Lxmsr = Luas lahan yang ditanami tanaman x pada m usim tanam m di

lahan sawah di DAS hilir (Ha) Lxmlu = Luas lahan yang ditanami tanaman x pada m usim tanam m di

lahan tadah hujan di DAS hulu (Ha) Lxmlr = Luas lahan yang ditanami tanaman x pada m usim tanam m di

lahan tadah hujan di DAS hilir (Ha) Lxmtu = Luas lahan yang ditanami tanaman x pada m usim tanam m di

lahan tegal di DAS hulu (Ha) Lxmtr = Luas lahan yang ditanami tanaman x pada m usim tanam m di

lahan tegal di DAS hilir (Ha) Ltmsu = Luas lahan tersedia pada musim tanam m di lahan sawah di

DAS hulu (Ha) Ltmsr = Luas lahan tersedia pada musim tanam m di lahan sawah di

DAS hilir (Ha) Ltmlu = Luas lahan tersedia pada musim tanam m di lahan tadah hujan

di DAS hulu (Ha) Ltmlr = Luas lahan tersedia pada musim tanam m di lahan tadah hujan

di DAS hilir (Ha) Ltmtu = Luas lahan tersedia pada musim tanam m di lahan tegalan di

DAS hulu (Ha) Ltmtr = Luas lahan tersedia pada musim tanam m di lahan tegalan di

DAS hilir (Ha)

Page 67: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

38

b. Perlindungan tata air DAS (Luas tanaman kehutanan minimal 30% luas DAS)

∑=

≥h

xhLDASLxh

1

30

Keterangan: Lxh = Luas lahan yang ditanami dengan tanaman kehutanan, xh=1,

2, 3…h LDAS30 = Luas minimal hutan dalam suatu DAS untuk menjaga tata air c. Lahan untuk pemukiman dan fasilitas umum (seluas 10 %

dari luas DAS) Lp ≤ LDAS10

Keterangan: Lp = Luas l ahan unt uk pemukiman da n f asilitas u mum d i D AS

(Ha) LDAS10 = Luas maksimal pe mukiman y ang dapa t di kembangkan

dalam DAS (Ha) d. Lahan untuk tanaman kayu dan perkebunan

∑∑==

≥h

xhbLkbLxhb

1

2

1

Keterangan: Lxhb = Luas l ahan untuk t anaman x k ayu-kayuan da n t anaman

perkebunan (Ha) Lkb = Ketersediaan lahan hutan dan kebun (Ha) e. Erosi Tanah yang Diakibatkan

∑=

≤n

xELxex

1*

Keterangan: Ex = erosi aktual akibat aktivitas penanaman tanaman x, x=1,2,3…n Lx = Luas lahan yang ditanami tanaman x (Ha) E = Erosi maksimum yang diijinkan atau Tolerable Erosion (ton/ha/th)

Page 68: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

39

f. Tenaga Kerja 1) Di Hulu DAS

12...3,2,1;1

=≤−∑=

kTTkuHokuKTkxun

x

2) Di Hilir DAS

12...3,2,1;1

=≤−∑=

kTTkrHokrKTkxrn

x

Keterangan: KTkxu = Kebutuhan tenaga kerja pada bulan k untuk tanaman x di DAS

hulu (HOK) Hoku = Jumlah tenaga kerja sewa pada bulan k di DAS hulu (HOK) TTku = Tenaga kerja tersedia pada bulan k di DAS hulu (HOK) KTkxr = Kebutuhan tenaga kerja pada bulan k untuk tanaman x di DAS

hilir (HOK) Hokr = Jumlah tenaga kerja sewa pada bulan k di DAS hilir (HOK) TTkr = Tenaga kerja tersedia pada bulan k di DAS hilir (HOK) g. Modal Usaha Tani

∑ ∑∑= ==

=≤−+3

1

12

113,2,1;**

m k

n

xmMTmJkmHokUsXxmBx

Keterangan: Bx = Biaya produksi untuk cabang usahatani x (Rp/Ha) Us = Upah tenaga kerja sewa (Rp/HOK) Xxm = Luas penanaman usahatani tanaman x pada musim m (Ha) Hok = Jumlah tenaga kerja sewa pada bulan k (HOK) Jkm = Jumlah kredit yang dipinjam petani pada musim tanam m (Rp) MTm = Modal yang tersedia pada musim tanam m (Rp) h. Konsumsi Hasil Produksi

Cx ≤ Dx Keterangan: Cx = Konsumsi komoditi x (kg/kapita/th) Dx = Ketersediaan komoditi x (swasembada) (kg)

Page 69: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

40

i. Transfer

─∑ ≤++ 0* MxCxqxLx

Keterangan: Lx = Luas lahan yang ditanami tanaman x (Ha) qx = Produktivitas tanaman x (kg/Ha) Cx = Konsumsi tanaman x (kg) Mx = Aktivitas menjual komoditi x ke pasar (Kg) III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Solusi Optimal Penggunaan Lahan Hasil analisis optimalisasi terhadap 90 aktivitas dengan 66 kendala menunjukkan bahwa kegiatan optimal penggunaan lahan yang disarankan ( reduced cost sama dengan nol ) adalah seperti Tabel 1. Tabel 1. Kondisi optimal penggunaan lahan di DAS Grindulu

Variabel Aktivitas Nilai Biaya terkurangi

X1 padi sawah di lahan irigasi di hulu musim 1 110 0,0000 X2 padi sawah di lahan irigasi di hulu musim 2 110 0,0000 X3 padi sawah di lahan irigasi di hulu musim 3 110 0,0000 X6 padi sawah di lahan irigasi di hilir musim 1 4647 0,0000 X7 padi sawah di lahan irigasi di hilir musim 2 4647 0,0000 X8 padi sawah di lahan irigasi di hilir musim 3 4647 0,0000

X31 kedelai di lahan tegalan di hilir musim 1 6221 0,0000 X32 kedelai di lahan tegalan di hilir musim 2 6221 0,0000 X35 akasia untuk konservasi 21299 0,0000 X37 lahan untuk pemukiman 7100 0,0000 X38 menanam kopi di hutan dan kebun 6492 0,0000

Penggunaan l ahan o ptimal d igunakan u ntuk pena naman pad i sawah pada lahan irigasi baik di hulu (110 Ha) dan hilir (4647 Ha), penanaman kedelai di lahan tegalan di hilir (6221 Ha), akasia digunakan untuk konservasi DAS bagi pengaturan tata air (21299 Ha), p emukiman (7100 H a) dan t anaman k opi d itanam di l ahan kebun dan hut an ( agroforestry) (6492 H a). Tutupan l ahan tanaman akasia paling besar sekitar 30% dari luasan DAS. Hal ini

Page 70: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

41

menunjukkan bahwa hutan dengan dominasi tanaman akasia akan dapat m enjaga t ata ai r di D AS G rindulu. Laha n s awah i rigasi dioptimalkan untuk penanaman padi sawah baik di hulu maupun di hilir s etiap t ahun ( musim 1, 2 da n 3) , sedangkan l ahan tegalan ditanami den gan t anaman k edelai unt uk w ilayah h ilir dan di hu lu dipergunakan untuk kawasan hutan. Berdasarkan kombinasi penggunaan lahan t ersebut ak an di peroleh p endapatan op timal sebesar R p 570.201.700.000,-. Tingkat pendapa tan t ersebut dicapai dengan dukungan k egiatan penjualan k omoditi d an penyediaan modal yang tersaji pada tabel berikut. Tabel 2. Kegiatan y ang m endukung op timalisasi pe nggunaan l ahan d i

DAS Grindulu

Variabel Aktivitas Nilai Biaya terkurangi

X68 Kredit modal usahatani musim 1 (Rp1000)

14.894.350 0,0000

X69 Kredit modal usahatani musim 2 (Rp1000)

14.894.350 0,0000

X70 Kredit modal usahatani musim 3 (Rp1000)

28.551.168 0,0000

X81 Menjual padi sawah (kg/th) 67.887.144 0,0000 X89 Menjual kayu bakar (m3/th) 121.190 0,0000 X90 Menjual k ayu per tukangan

(m3/th) 121.190 0,0000

Untuk mendukung peng gunaan l ahan yang optimal, maka diperlukan modal pada musim 1 dan 2 masing-masing sebesar Rp 14,9 milyar dan pada musim 3 dibutuhkan modal sebanyak Rp28,9 milyar atau selama setahun diperlukan sebesar Rp58,7 milyar untuk peng embangan s ektor per tanian/kehutanan berbasis penggunaan lahan yang optimal di DAS Grindulu. Aktivitas penjualan padi sebesar 67.887 ton/tahun dan kayu bakar serta k ayu per tukangan masing-masing s ebesar 121 .190 m3/tahun. Terlihat b ahwa D AS G rindulu d apat di arahkan pada produksi pad i s awah. Akan terjadi peningkatan a lokasi l uas areal suatu k omoditi yang c ukup s ignifikan s ampai bat as k etersediaan lahan (padi sawah di DAS hulu dan hilir) dan kebutuhan konsumsi masyarakat t elah tercukupi s ehingga ad a s isa k elebihan pr oduk yang dijual sebesar penjualan padi. Implikasinya, terdapat aktivitas

Page 71: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

42

penjualan pr oduk yang da pat m eningkatkan pendap atan. H al ini menunjukkan pul a pr oduksi yang berorientasi k e pas ar ak an meningkatkan pen dapatan yang diterima. U ntuk D AS G rindulu padi yang dihasilkan merupakan orientasi penjualan ke luar daerah DAS untuk meningkatkan pendapatan sektor per tanian/kehutanan di DAS Grindulu. Analisis menunjukkan bah wa tanaman yang t idak termasuk dalam s olusi hasil optimal dikarenakan tidak menguntungkan. Apabila t anaman yang t idak termasuk dalam s olusi optimal tersebut d ipaksakan diproduksi, maka setiap hektar tambahannya akan mengurangi p endapatan s ebesar reduced c ost pada s olusi optimal. Reduced cost aktivitas penggunaan lahan non optimal di DAS Grindulu disajikan tabel berikut.

Tabel 3. Reduced c ost aktivitas penggunaan lahan non optimal di DAS

Grindulu

Variabel Aktivitas Nilai Biaya

terkurangi (Rp1000)

X4 Memproduksi jagung di lahan irigasi di hulu musim 2

0 19581,67

X5 Memproduksi kedelai di lahan irigasi di hulu musim 3

0 23234,74

X9 Memproduksi jagung di lahan irigasi di hilir musim 2

0 14702,98

X10 Memproduksi kedelai di lahan irigasi di hilir musim 3

0 12905,17

X11 Memproduksi padi ladang di lahan tadah hujan di hulu musim 1

0 47424,19

X12 Memproduksi padi ladang di lahan tadah hujan di hulu musim 2

0 47424,19

X13 Memproduksi kacang tanah di lahan tadah hujan di hulu musim 2

0 45755,42

X14 Memproduksi padi ladang di lahan tadah hujan di hilir musim 1

0 0

X15 Memproduksi padi ladang di lahan tadah hujan di hilir musim 2

0 0,0004

X16 Memproduksi kacang tanah di lahan tadah hujan di hilir musim 2

0 11137,79

X17 Memproduksi padi ladang di lahan tegalan di hulu musim 1

0 47424,19

X18 Memproduksi padi ladang di lahan 0 47424,19

Page 72: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

43

Variabel Aktivitas Nilai Biaya

terkurangi (Rp1000)

tegalan di hulu musim 2 X19 Memproduksi jagung di lahan

tegalan di hulu musim 1 0 2689,32

X20 Memproduksi jagung di lahan tegalan di hulu musim 2

0 2689,32

X21 Memproduksi Ubi kayu di lahan tegalan di hulu musim 1

0 83362,47

X22 Memproduksi kacang tanah di lahan tegalan di hulu musim 1

0 44932,89

X23 Memproduksi kedelai di lahan tegalan di hulu musim 1

0 6342,39

X24 Memproduksi kedelai di lahan tegalan di hulu musim 2

0 6342,39

X25 Memproduksi padi ladang di lahan tegalan di hilir musim 1

0 4085,06

X26 Memproduksi padi ladang di lahan tegalan di hilir musim 2

0 4085,06

X27 Memproduksi jagung di lahan tegalan di hilir musim 1

0 1797,81

X28 Memproduksi jagung di lahan tegalan di hilir musim 2

0 1797,81

X29 Memproduksi Ubi kayu di lahan tegalan di hilir musim 1

0 0

X30 Memproduksi kacang tanah di lahan tegalan di hilir musim 1

0 14400,32

X33 Menanam jati konservasi 0 36205,47 X34 Menanam mahoni konservasi 0 16442,78 X36 Menanam albasia konservasi 0 1232,23 X39 Menanam kelapa di hutan dan

kebun 0 31325,64

X40 Menanam jati di hutan dan kebun 0 52278,32 X41 Menanam mahoni di hutan dan

kebun 0 34831,73

X42 Menanam akasia di hutan dan kebun

0 20031,18

X43 Menanam albasia di hutan dan kebun

0 20952,49

Keterangan: Nilai 0 (nol) menunjukkan tidak ada lahan yang dipergunakan untuk memproduksi tanaman tersebut karena tidak termasuk dalam solusi optimal.

Page 73: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

44

Hasil a nalisis m enunjukkan bahwa konsekuensi ek onomi (penurunan pendapatan) jika aktivitas yang tidak optimal dipaksakan masuk dalam rencana aktivitas yang ditunjukkan oleh nilai reduced c ost. I mplikasinya, upa ya s wasembada s uatu komoditi akan menimbulkan economics loss. Tetapi swasembada mungkin m emberikan social b enefit lebih b esar dar ipada social cost. Pemasukan k endala k onsumsi per k omoditas pada m odel yang dikembangkan merupakan upaya untuk mengintegrasikan tujuan politik ke dalam analisis ekonomi. Apabila m emaksakan unt uk menanam j agung di l ahan irigasi d i hulu p ada m usim 2, m aka s etiap h ektar pena naman j agung tersebut ak an m engurangi pe ndapatan s ektor pertanian/kehutanan sebesar R p 19. 581.672/ha/th. Apabila jati dipaksa ditanam di lahan hutan kebun maka setiap hektarnya akan mengurangi pendapatan s ektor per tanian s ebesar Rp52.278.324/ha/th dan apabila jati t ersebut d itanam di daer ah konservasi maka p enurunan p endapatannya s ekitar Rp36.205.472/ha/th. P emaksaan peng gunaan lahan untuk menanam k omoditi yang tidak masuk dal am bas is ak an menurunkan pendap atan sebesar reduced c ostnya seperti p ada tabel di atas. Linear pr ogramming dapat m enunjukkan k eunggulan komparatif suatu k omoditas di s uatu daerah. K omoditas yang tidak pun ya keunggulan komparatif dibandingkan dengan komoditi lain ditunjukkan t idak munculnya aktivitas penj ualan dalam s olusi optimal. Pemunculan aktivitas dalam solusi optimal untuk memenuhi konsumsi (swasembada). Komoditi yang kalah kompetitif di bandingkan den gan k omoditi l ainnya ap abila dipaksakan m asuk k e lahan m aka akan m engurangi pendapatan sebesar reduced cost-nya setiap penambahan satu satuan. Tabel 4. Reduced cost aktivitas penjualan komoditi di DAS Grindulu

Variabel Aktivitas Nilai BIaya terkurangi (Rp. X 1.000)

X82 Menjual padi ladang 0 3.261457 X83 Menjual jagung 0 0 X84 Menjual ubi kayu 0 1.043036 X85 Menjual kacang tanah 0 0 X88 Menjual kelapa 0 0

Page 74: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

45

Keterangan: Nilai 0 (nol) menunjukkan tidak ada lahan yang dipergunakan untuk memproduksi tanaman tersebut karena tidak termasuk dalam solusi optimal.

Untuk tanaman pangan hanya tanaman padi sawah dan tanaman kedelai yang di tanam di lahan tegalan pada musim 1 dan 2 s aja yang memiliki keunggulan komparatif. Adapun penanaman tanaman lainnya pada berbagai lahan dan musim baik di hulu dan hilir DAS seperti pada tabel di atas tidak memiliki keunggulan komparatif. Hanya tanaman padi sawah dan kedelai yang memiliki keunggulan k omparatif s edangkan t anaman pa di l adang, j agung, ubi kayu, kacang tanah dan kelapa tidak memiliki keunggulan komparatif apabila di tanam. Untuk tanaman perkebunan tanaman kopi yang memiliki keunggulan komparatif dan tanaman kehutanan adalah tanaman akasia yang dijadikan sebagai kayu pertukangan dan kayu bakar. Berdasarkan hasil solusi optimal, maka akan dapat diputuskan tanaman apa yang s ebaiknya diusahakan da n p ada l ahan a pa, serta seberapa luas tanaman lainnya dikembangkan sebatas untuk memenuhi kebutuhan daerah. Berdasarkan analisis maka diketahui alokasi sumberdaya yang menghasilkan pendapatan maksimal karena: 1. Aktivitas yang t idak m emberikan k ontribusi t inggi t erhadap

pendapatan disarankan di lakukan sampai tingkat swasembada.

2. Aktivitas yang ben ar-benar tidak m enguntungkan/tidak pun ya keunggulan komparatif dianjurkan tidak dilakukan.

3. Aktivitas yang pu nya pendapatan t inggi d ianjurkan diperluas dan hasilnya dijual keluar DAS Grindulu.

4. Hasil optimalisasi menunjukkan peningkatan pendapatan dapat dilakukan melalui perbaikan k ombinasi penanaman komoditas tanpa harus memperluas lahan.

B. Kelangkaan sumberdaya Hasil analisis m enunjukkan bahwa kelangkaan s umberdaya yang dapat di lihat d ari ni lai har ga ba yangan ( shadow pr ice-nya). J ika sumberdaya mempunyai nilai shadow price, maka sumberdaya itu langka. S emakin t inggi nilai shadow pr ice-nya, m aka s emakin

Page 75: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

46

besar der ajat k elangkaanya. T ingkat kelangkaan s umberdaya lahan di DAS Grindulu disajikan tabel berikut.

Tabel 5. Tingkat kelangkaan s umberdaya l ahan D AS Grindulu unt uk aktivitas optimal

Baris (Row) Sumberdaya Slack Or

Surplus

Dual Prices/ Shadow Price (Rp. X 1.000)

2 Lahan sawah hulu musim 1 0 16892 3 Lahan sawah hulu musim 2 0 16892 4 Lahan sawah hulu musim 3 0 16892 5 Lahan sawah hilir musim 1 0 16990 6 Lahan sawah hilir musim 2 0 16990 7 Lahan sawah hilir musim 3 0 16990 8 Lahan tadah hujan hulu musim 1 11241 0 9 Lahan tadah hujan hulu musim 2 11241 0 10 Lahan tadah hujan hilir musim 1 2131 0 11 Lahan tadah hujan hilir musim 2 2131 0 12 Lahan tegalan hulu musim 1 11193 0 13 Lahan tegalan hulu musim 2 11193 0 14 Lahan tegalan hilir musim 1 0 4085 15 Lahan tegalan hilir musim 2 0 4085 16 Lahan m inimal Hutan untuk t ata

air (30%) 0 -22132

17 Lahan pemukiman (10%) 0 0 18 Lahan hutan dan kebun 23057 0 19 Luas DAS 9393 0 20 Erosi ma ksimum ( Tolerable

erosion) 0 753

Keterangan : Shadow price menunjukkan tingkat kelangkaan sumberdaya. Sumberdaya yang memiliki shadow price berarti langka dan apabila kita dapat meningkatkan ketersediaanya maka pendapatan dapat ditingkatkan.

Lahan s awah d i hu lu da n hilir baik pada musim 1, 2 dan 3 merupakan s umberdaya yang langka. T ingkat kelangkaan l ahan sawah tersebut hampir sama baik di hulu maupun di hi lir. Begitu pula l ahan t egalan d i hi lir merupakan s umberdaya yang l angka meskipun tidak selangka lahan sawah. Sebaliknya, lahan tegalan di hu lu buk an m erupakan s umberdaya yang l angka di D AS Grindulu. T ingkat erosi c ukup s ulit di kendalikan di D AS G rindulu sehingga merupakan sesuatu yang langka. Dari nilai shadow price pada t abel d i at as, ak an di ketahui s umberdaya yang langka.

Page 76: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

47

Artinya, ap abila k ita m ampu m eningkatkan ketersediaanya m aka pendapatan dapat ditingkatkan. Tenaga kerja dan modal merupakan dua sumberdaya utama untuk pengelolaan s umberdaya l ahan. Slack activity dan shadow pr ice sumberdaya tenaga kerja dan modal disajikan berikut. Tabel 6. Slack aktivity dan shadow price dari sumberdaya tenaga kerja

dan modal

Baris (Row) Sumberdaya Slack Or

Surplus

Dual Prices/ Shadow Price (Rp. X 1.000)

21 Tenaga kerja Januari di hulu 2427523 0 22 Tenaga kerja Februari di hulu 2431186 0 23 Tenaga kerja Maret di hulu 2431186 0 24 Tenaga kerja April di hulu 2426396 0 25 Tenaga kerja Mei di hulu 2427523 0 26 Tenaga kerja Juni di hulu 2431186 0 27 Tenaga kerja Juli di hulu 2431186 0 28 Tenaga kerja Agustus di hulu 2426396 0 29 Tenaga kerja September di hulu 1745962 0 30 Tenaga kerja Oktober di hulu 2005210 0 31 Tenaga kerja November di hulu 1728326 0 32 Tenaga kerja Desember di hulu 1893926 0 33 Tenaga kerja Januari di hilir 1670678 0 34 Tenaga kerja Februari di hilir 1920791 0 35 Tenaga kerja Maret di hilir 1920791 0 36 Tenaga kerja April di hilir 1617261 0 37 Tenaga kerja Mei di hilir 1670678 0 38 Tenaga kerja Juni di hilir 1920791 0 39 Tenaga kerja Juli di hilir 1920791 0 40 Tenaga kerja Agustus di hilir 1617261 0 41 Tenaga kerja September di hilir 1118824 0 42 Tenaga kerja Oktober di hilir 1529155 0 43 Tenaga kerja November di hilir 1252271 0 44 Tenaga kerja Desember di hilir 1220284 0 45 Modal musim tanam 1 0 0.08 46 Modal musim tanam 2 0 0.08 47 Modal musim tanam 3 0 0.08

Berdasarkan solusi optimal d iketahui pula ber apa s umberdaya modal yang dibutuhkan unt uk pengem bangan t anaman. H al i ni dapat di lihat dari slack a ktivity. U ntuk s umberdaya yang t idak

Page 77: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

48

langka akan diketahui di slack ativity yang memiliki nilai namun di kebutuhan bernilai nol. Dari shadow price terlihat bahwa sumberdaya tenaga k erja baik di hulu dan h ilir bukan m erupakan sumberdaya yang langka. A rtinya, m asih ba nyak tenaga k erja yang da pat dimanfaatkan unt uk ber bagai k egiatan ekonomi y ang dapat di manfaatkan. K elebihan t enaga k erja unt uk setiap bulan baik di DAS hulu dan hilir ditunjukkan oleh besarnya surplus pada tabel di atas. Apabila dicermati terlihat bahwa surplus tenaga kerja di hu lu l ebih ban yak di bandingkan di hi lir. H al i ni menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi di hilir lebih banyak membutuhkan tenaga kerja dibandingkan dengan di hulu. Sebaliknya, modal merupakan sumberdaya yang l angka y ang di tunjukkan denga n slack s urplus bernilai nol d an harga b ayangan s ebesar s uku bu nga pi njaman untuk mendapatkan modal tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa lahan ada yang langka dan ada yang tidak langka sedangkan modal langka dan tenaga kerja tidak langka. I mplikasinya, peningkatan penyediaan l ahan da n m odal dapat m eningkatkan pen dapatan s ektor per tanian/kehutanan. Peningkatan l ahan t idak h arus denga n ek stensifikasi ( perluasan lahan) tetapi dapat dengan peningkatan intensitas tanam (cropping intensity). U ntuk peni ngkatan k etersediaan m odal, implikasi kebijakannya ad alah pengembangan i nstitusi per kreditan unt uk memobilisasi d ana m asyarakat dalam r angka pengembangan pertanian atau bantuan modal dari pusat.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

1. Pendapatan sektor per tanian DAS Grindulu optimal mencapai

Rp 570 m ilyar yang merupakan kombinasi penggunaan lahan sawah i rigasi unt uk padi s awah ba ik di hu lu d an h ilir; penanaman k edelai d i l ahan t egalan hi lir; penanaman ak asia dan tanaman k opi. A ktivitas p endukungnya ad alah penyediaan m odal t iap m usim tanam, penj ualan padi s awah, penjualan kayu bakar dan kayu pertukangan.

Page 78: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

49

2. Sumberdaya lahan d an m odal m erupakan s umberdaya yang langka di D AS G rindulu s edangkan t enaga k erja t idak l angka atau ber lebih. Peningkatan luas lahan t idak har us den gan ekstensifikasi tetapi dapat dilakukan dengan peningkatan intensitas tanam.

3. Tanaman yang m emiliki keunggulan k omparatif di D AS Grindulu u ntuk t anaman pang an adalah pa di s awah d an kedelai yang d i t anam di l ahan tegalan p ada m usim 1 dan 2. Untuk t anaman p erkebunan ad alah k opi da n tanaman kehutanan adalah t anaman ak asia yang d ijadikan s ebagai kayu pertukangan dan kayu bakar.

B. Saran

1. Tanaman padi s awah sebaiknya tetap dipertahankan dar i

konversi l ahan per tanian ke penggu naan l ainnya denga n mencegah k onversi t ersebut. DAS G rindulu memiliki spesialisasi padi s awah terutama den gan intensifikasi pertanian.

2. Kebijakan untuk menjaga tata air di DAS sebesar 30% sangat penting dalam menjaga kesehatan DAS dari degradasi lahan.

3. Pertimbangan k ebijakan dal am penent uan p enggunaan l ahan sebaiknya tidak bertumpu pada peningkatan pendapatan sektoral semata tetapi harus mempertimbangkan pula kepentingan lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA Dixon, J .A d an K .W E aster. 1986. E conomic analysis at t he

watershed level. Dalam Easter, K.W, J.A Dixon dan M.M. Hufschmidt (Editors). W atershed R esource Management. Studies in Water Policy and Management No 10. Westview Press. UK London.

Pemerintah D aerah Kabupaten P acitan d an E uropean U nion.

2005. Pola pengelolaan sumber daya air wilayah Sungai Grindulu Kabupaten Pacitan. Tim Perencanaan Pemda Pacitan dan G ood G overnance in Water R esource Management. Pacitan.

Page 79: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

50

Priyono, C .N.S dan S . A . C ahyono. 2003. Status dan strategi

pengembangan pengelolaan D AS d i masa depan di Indonesia. Alami, 8(1) : 1-5.

Shah, P. 1994. Participatory waterhed management in India : the

experience of t he A ga K han R ural support programme. Dalam Scoones, I dan J. Thompson. Editor. Beyond Farmer F irst: R ural People’s Knowledge, A gricultural Research and Extension Practice. Intermediate Technology Publications. London.

Page 80: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

51

TIPOLOGI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) UNTUK PENGELOLAAN DAS KEDEPAN 1

S. Andy Cahyono

Oleh: 2

1 Makalah ini disampaikan pada Semiloka “Riset Pengelolaan DAS Menuju

Kebutuhan Terkini” Surakarta, 27-28 Juni 2011. Kerjasama Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi dengan Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Jl. A. Yani PO Box 295 Pabelan.

Telepon/Fax.: (+62 271) 716709/716959 Email: [email protected]

2Email: [email protected]

ABSTRAK

Pendekatan pengelolaan DAS menjadi relevan kembali setelah munculnya banyak bencana sebagai dampak pengelolaan DAS yang tidak tepat. Pengelolaan DAS seyogyanya berdasarkan k arakteristik DAS. Karakter DAS yang sangat ber variasi membuat k arakterisasi m enjadi mahal, r elatif lama, dan da pat k ehilangan f okus. U ntuk i tu d iperlukan tipologi DAS yang mengelompokkan DAS berdasarkan unsur tertentu yang dapat menggambarkan karakter DAS. Tujuan penelitian adalah memperoleh tipologi DAS yang yang sederhana untuk pengelolaan DAS. Desk s tudy ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat empat tipologi DAS ber dasarkan c urah hujan dan penduduk serta berkaitan pula dengan potensi k erawanan banjir, longsor, k ekeringan, l ahan k ritis, er osi, sedimentasi, k emiskinan, polusi dan konflik. DAS dengan tipologi tertentu membutuhkan teknologi, pendekatan, kebijakan dan duk ungan penelitian pen gembangan y ang berbeda. T ipologi D AS da pat dipergunakan unt uk p enentuan prioritas kebijakan dalam pengelolaan DAS yang lebih efektif dan efisien. Kata kunci : Tipologi, karakteristik DAS, kerawanan DAS, kinerja DAS

Page 81: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

52

I. PENDAHULUAN

Aktivitas manusia dalam produksi dan konsumsi yang agresif, ekspansif dan e ksploitatif t erhadap s umberdaya d alam daerah aliran s ungai ( DAS) telah m eningkatkan k erusakan ekosistem DAS. K erusakan ek osistem di dal am DAS t eridentifikasi dengan seringnya terjadi bencana banjir, tanah longsor, erosi, sedimentasi, kekeringan dan sebagainya. Adanya kerusakan yang terjadi pada DAS m enimbulkan (Priyono dan C ahyono, 20 03) : (1) penurunan kapasitas s umberdaya l ahan ak ibat er osi t anah da n per ubahan kondisi h idrologi, bi ologi, k imia dan s ifat t anah; (2) p engurangan kualitas dan k uantitas ai r per mukaan dan ai r t anah s ehingga meningkatkan r esiko banj ir di hi lir; (3) pen urunan da n k egagalan produksi; (4) pengur angan kualitas dan k uantitas b iomassa dan mengurangi pen utupan l ahan; (5) pe nurunan keragaman genetis, jenis dan ek osistem di dal am dan l uar D AS; da n (6) k erusakan ekosistem terumbu karang di pesisir pantai. Pendekatan pengelolaan DAS menjadi relevan kembali setelah munculnya b anyak benc ana s ebagai dampak pengel olaan D AS yang b uruk. S elain itu pen dekatan pengelolaan DAS y ang sebelumya monofungsi dengan lebih m enonjolkan as pek er osi sedimentasi berubah menjadi multifungsi seperti penyedia pangan, papan, s andang, r ekreasi, pend aur u lang s ampah, pen yedia air, mitigasi kekeringan, mitigasi banjir, m itigasi l ongsor, keanekaragaman hayati, penyedia energi dan sebagainya (Cahyono dan P urwanto, 2006). Multifungsi D AS t ersebut mengakibatkan suatu penyeragaman pengelolaan DAS menjadi tidak tepat lagi. Pengelolaan DAS harus disesuaikan dengan karakteristik D AS. B eragamnya k arakteristik D AS m embuat pengelolaan (perencanaan, implementasi dan monitoring) menjadi semakin mahal dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Adanya ” Sidik C epat D egradasi s ub D AS” t elah m embuat karakterisasi D AS l ebih t erarah d an r elatif c epat. Namun beragamnya k arakter D AS dapat m engakibatkan hi langnya f okus dalam pengelolaan DAS yang disesuaikan dengan karakternya selain mahalnya identifikasi karakter tersebut. Untuk itu perlu suatu klasifikasi atau tipologi DAS yang mengelompokkan Sub DAS s ehingga di ketahui karakteristik t ertentu s uatu s ub D AS.

Page 82: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

53

Berdasarkan permasalahan di atas, tulisan ini bertujuan untuk mendiskripsikan tipologi DAS untuk pengelolaan DAS kedepan. II. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan desk study dengan menggunakan analisis d eskriptif kualitatif. D ata dan informasi di peroleh d ari berbagai tulisan ilmiah dan selanjutnya dipilah, ditelaah dan dicari keterkaitannya. P enalaran r asional di lakukan unt uk mengkaitkan informasi dan fenomena yang ditemukan. Tim P enyusun K amus Pusat B ahasa ( 2008) m engartikan t ipologi sebagai ilmu tentang watak atau penggolongan menurut corak watak masing-masing. Tipologi merupakan hasil dari proses men-tipe-kan ( typication) yang m engacu p ada c iri t ipikal k ualitas individu atau benda atau peristiwa. Berdasarkan hal itu maka tipologi m erupakan s uatu k ategori abs trak/niskala yang m emiliki acuan empiris. Dalam proses pentipean, t ipe dibuat berdasarkan kriteria yang d isebut an asir ( elemen), ciri-ciri ( traits), segi-segi (aspects) dan s ebagainya yang m emiliki acuan di dunia em piris. Selama proses abstraksi, suatu unsur tertentu ditekankan menjadi dominan sedangkan unsur lain yang tidak menonjol dapat diabaikan. Oleh karenanya, suatu tipe yang dikonstruksikan akan bermanfaat bagi pe nataan d ata da n ge neralisasi serta menyediakan suatu kerangka kerja bagi pola-pola kejadian. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakterisasi DAS dan Tipologi DAS Untuk Pengelolaan

DAS Berkelanjutan

Karakteristik D AS tersusun s ebagai has il i nteraksi ant ar sumberdaya d alam D AS yaitu s umberdaya a lam, s umberdaya manusia, s umberdaya b uatan, s umberdaya s osial ( social c apital), dan s umberdaya f inansial. I nteraksi s umberdaya t ersebut s ecara simultan m embentuk w atak at au k arakter D AS. Pemahaman terhadap k arakter i ni ak an memudahkan dal am mengelola D AS sesuai potensi dan karakternya.

Page 83: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

54

Paimin et al . (2006) m engembangkan s istem karakterisasi DAS yang bertumpu pada sumberdaya manusia dan sumberdaya alam (morfometri, t opografi, t anah, geologi, vegetasi, t ata gun a lahan, hidrologi dan manusia) yang hasilnya dapat dipergunakan sebagai alat diagnosis at au pe nyelidikan s ecara c epat t erhadap d inamika degradasi DAS baik letak/tempat, penyebab dan tingkat degradasinya. Lebih lanjut Paimin et al (2006) menyatakan bahwa sistem karakterisasi tingkat sub DAS memberikan suatu informasi degradasi yang d apat di pergunakan unt uk m endukung perencanaan pengelolaan Sub DAS yang lebih operasional (jangka l ima t ahunan) yang s elanjutnya m enjadi d asar r encana kerja tahunan. Setiap DAS memiliki suatu karakteristik tertentu yang akan mempengaruhi pola p engelolaan da n k inerjanya. B ahkan dal am suatu DAS yang terdiri dar i DAS hulu dan DAS hi lir pun memiliki karakteristik yang b erbeda-beda. Karakteristik k has daerah h ulu dan hilir t ersebut da pat d itipologikan sebagaimana t ersaji da lam Tabel 1. Tabel 1. Tipologi daerah hulu dengan hilir suatu DAS

Hilir Hulu Faktor-faktor biofisik - Datar - Tidak rentan terhadap erosi - Relatif banyak sedimentasi - Seragam - Sedikit hutan yang tertinggal - Lapisan olahnya tebal dan subur - Umumnya lahan teririgasi - Sistem usahatani sejenis, padi - Pertanian intensif

- Berlereng miring - Rentan terhadap erosi - Relatif sedikit sedimentasi - Beragam - Masih cukup banyak sisa hutan - Lapisan olahnya dangkal, kritis - Umumnya lahan kering - Sistem usahatani beragam - Pertanian ekstensif

Faktor-faktor sosial ekonomi

- Keragaman etnis/suku yang kecil - Budaya mayoritas - Mudah dicapai - Infrastruktur yang baik - Pendidikan lebih tinggi - Pekerja buruh - Kemampuan ekonomi lebih baik

- Keragaman etnis/suku besar - Kelompok etnis minoritas - Terpencil - Infrastruktur yang buruk - Pendidikan lebih rendah - Pekerja keluarga - Kemampuan ekonomi rendah,

Page 84: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

55

Sumber: Anonim, 1997 Tipologi hulu dan hilir suatu DAS yang berbeda ini menuntut suatu sistem dan pend ekatan penge lolaan yang ber beda s esuai karakternya. S elama ini pendekatan daer ah hu lu dan hilir cenderung seragam meskipun fokus utama pengelolaan seringkali pada daerah hulu yang diasumsikan lebih mudah terdegradasi. Untuk mentipekan DAS d iperlukan suatu faktor dominan yang dapat m enunjukkan karakter suatu D AS. K arakter t ersebut berkaitan d engan potensi dan k erawanan D AS t erhadap b anjir, kekeringan, lahan k ritis dan sebagainya yang m erupakan indikasi pengelolaan suatu DAS. Oleh karenanya, faktor dominan tersebut harus da pat m enjadi unsur yang d apat m engklasifikasikan karakteristik DAS apakah suatu DAS memiliki watak mudah banjir, longsor, k ekeringan d an s ebagainya. U ntuk i tu, pe ntipean D AS berdasarkan pada dua hal yaitu curah hujan dan penduduk. Faktor utama yang m enghubungkan bagi an hu lu da n hilir dalam s uatu DAS a dalah s iklus hi drologi ( Dixon d an Easter, 19 86) di mana ai r sangat berperan besar. Dalam s iklus hi drologi, hujan m enjadi s alah s atu pe nentu karakteristik s uatu D AS. K uantitas, k ualitas dan d istribusi c urah hujan sebagai input dalam suatu DAS akan sangat mempengaruhi

- Kredit lebih mudah diberikan - Berorientasi pasar - Pusat aktivitas, pengambilan keputusan - Hak kepemilikan tanah jelas - Kepemilikan tanah perseorangan

miskin - Kredit sukar diberikan - Berorientasi subsisten - Bukan pusat aktivitas - Hak kepemilikan tanah rumit - Banyak tanah milik negara

Pendekatan penyuluhan - Teknologi yang kompleks - Paket teknologi - Paket diberikan - Fokus pada sistem pertanian - Pelayanan penyuluhan baik

- Teknologi yang sederhana - Pilihan teknologi - Proses difasilitasi - Relevan dengan tata guna lahan - Pelayanan penyuluhan kurang baik

Teknologi yang menentukan - Penyediaan air/irigasi - Jenis tanaman unggulan - Pengendalian hama penyakit, pemupukan berimbang

- Konservasi tanah dan air - Konservasi unsur hara - Pola tanam intercropping dengan tanaman tahunan

Page 85: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

56

watak DAS yang ditunjukkan oleh hasil airnya. Karakteristik suatu DAS tersusun dari faktor yang bersifat alami yang relatif sulit dikelola dan faktor yang mudah dikelola (Paimin et al., 2006). Faktor yang m udah d ikelola i ni s angat d ipengaruhi o leh ak tivitas dan peran manusia. Curah hujan dan penduduk sangat menentukan apakah suatu DAS tergolong r awan banjir, k ekeringan, longsor, b ermasalah s ecara sosial dan sebagainya. Faktor manusia akan menentukan perubahan pen ggunaan l ahan, pem anfaatan s umberdaya, penutupan vegetasi dan sebagainya yang dapat mengubah biofisik DAS de ngan k emampuan teknologi untuk pemenuhan k ebutuhan hidupnya. K edua ha l t ersebut m erupakan f aktor do minan dal am mempengaruhi pembentukan karakter suatu DAS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 4 tipologi DAS yang disusun b erdasarkan 2 hal yaitu c urah huj an ( tinggi dan r endah) dan pe nduduk ( padat dan t idak padat ). S ehingga t erdapat 4 tipologi D AS yaitu ( 1) D AS t ipologi 1 ( penduduk padat – curah hujan t inggi), ( 2) D AS tipologi I I ( penduduk t idak p adat – curah hujan t inggi), ( 3) D AS t ipologi I II ( penduduk t idak pa dat – curah hujan r endah), d an ( 4) DAS t ipologi IV ( penduduk padat – curah hujan rendah). Tipologi DAS tersebut berkaitan dengan kerawanan DAS t erhadap bencana dan m asalah s osial s ebagai indikasi pengelolaan DAS, seperti disajikan pada Gambar 1.

Page 86: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

57

Gambar 1. Tipologi DAS dikaitkan dengan kerawanan bencana Berdasarkan i nteraksi uns ur pen yusun t ipologi t ersebut m aka terdapat 4 tipologi yang bila dikaitkan dengan kerawanan bencana dapat diuraikan berikut ini : a. Tipologi 1 (penduduk padat – curah hujan tinggi) Tipologi ini banyak dijumpai di Sub DAS di daerah Jawa. Sub

DAS dengan t ipologi i ni r awan t erhadap bencana ba njir, erosi,sedimentasi, longsor, kemiskinan, polusi/pencemaran dan konflik. Dengan dem ikian, daerah d engan t ipologi i ni juga rawan t erhadap terjadinya lahan k ritis yang diakibatkan ol eh erosi s erta pem anfaatan lahan yang c enderung di exploitasi berlebihan (land mining).

b. Tipologi II (penduduk tidak padat – curah hujan tinggi) Tipologi i ni ba nyak di jumpai di daer ah S umatera, I rian J aya,

dan Kalimantan. Sub DAS dengan tipologi ini cenderung rawan banjir, erosi,sedimentasi dan tanah longsor.

c. Tipologi III (penduduk tidak padat – curah hujan rendah) Tipologi i ni b anyak di jumpai di Nusa Tenggara dan Indonesia

bagian t imur. S ub D AS d engan t ipologi i ni c enderung r awan kekeringan dan lahan kritis.

Curah

Tinggi

Penduduk

Kekeringan Lahan kritis

Banjir Erosi/sedimentasi Longsor Tipologi II Tipologi III

Kekeringan Lahan kritis Kemiskinan Polusi/pencemaran Konflik

Banjir Erosi/sedimentasi Longsor Kemiskinan Polusi/pencemaran Konflik Rendah

Tidak padat

Tipologi IV Tipologi I

Padat

Page 87: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

58

d. Tipologi IV (penduduk padat – curah hujan rendah) Sub D AS di J awa, Sumatera dan Sulawesi a da yang m emiliki

tipologi i ni d an c enderung r awan k ekeringan, l ahan k ritis, kemiskinan, polusi/pencemaran dan konflik.

Berdasarkan pen gamatan maka t erdapat pu la k ecenderungan bahwa daer ah hu lu ba nyak yang ber tipologi I I d an I II s edangkan daerah hilir DAS cenderung bertipologi I dan IV. Namun ini hanya kecenderungan s aja unt uk pas tinya perlu d ilakukan pen yelidikan lebih l anjut. Menc ermati t ipologi yang d iperoleh, b ukan ber arti suatu DAS yang memiliki karakter bertipologi tertentu akan terbebas dar i s uatu k ejadian, m isal D AS t ipologi I II dan I V akan terbebas dari bencana longsor. DAS pada tipologi III dan IV dapat mengalami ” peristiwa” l ongsor s ebagai ak ibat f aktor geol ogi d an bukan di sebabkan o leh f aktor hi drometeorologi. ” Peristiwa longsor” ak an m enjadi b encana l ongsor apabila menimbulkan korban dan kerugian secara sosial ekonomi, apabila tidak ada kerugian d an k orban m aka han ya m enjadi s ebuah per istiwa longsor s aja. Perubahan iklim a kan mempengaruhi peristiwa d an bencana yang t erjadi. Misalnya, banjir ak an da pat terjadi pada Sub DAS tipologi III dan IV karena perubahan cuaca yang ekstrim. Dapat p ula t erjadi lahan yang r entan longsor d isuatu D AS j uga mengalami kekritisan lahan, maka teknik terapi atau pengendalian longsor lebih rumit karena kedua proses membutuhkan upaya pengendalian yang berifat kontradiktif. Untuk mengendalikan erosi permukaan maka upa ya pengendaliannya de ngan memasukkan air h ujan k e dal am t anah s ebanyak m ungkin, s edangkan unt uk mengendalikan baha ya t anah l ongsor, a ir huj an yang m asuk ke dalam tanah diupayakan agar lapisan tanah di atas batuan kedap air tidak menjadi jenuh. Untuk kasus khusus ini perlu penanganan khusus yang biasanya terjadi pada lahan atau DAS skala kecil.

Pada t ipologi I dan I I t erdapat k ecenderungan adanya banjir dan tanah l ongsor. B anjir d an t anah l ongsor ad alah s uatu f enomena alam yang b isa terjadi s ecara t erpisah m aupun ber samaan pada waktu yang s ama. A dakalanya h anya b anjir at au t anah longsor saja, t etapi bi sa j uga bahk an s ering banjir d isertai dengan t anah longsor terjadi di suatu daerah. Kombinasi bencana tersebut membutuhkan penanganan dan penyelidikan yang tepat pula.

Page 88: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

59

”Peristiwa longsor” dapat pula terjadi pada DAS tipologi III dan IV tetapi lebih d isebabkan ol eh faktor di luar faktor hidrometeorologi misalnya longsor akibat gempa dan faktor lainnya. Tipologi D AS da pat di gunakan pul a untuk m emudahkan dalam karakterisasi suatu DAS dan menjadi saringan awal dalam karakterisasi D AS. Hal ini akan m enjadikan karakterisasi DAS menjadi l ebih m urah, c epat dan m udah d ilakukan s ehingga pengelolaan yang t epat d apat s egera di lakukan dan k erawanan bencana c epat d iantisipasi. T ipologi D AS ak an mengelompokkan DAS yang m emiliki kerawanan b encana t ertentu s ehingga memudahkan dal am peng elolaan da n duk ungan t eknologi yang akan diimplementasikan. Namun ketepatan dan derajat kerawanan t ersebut m asih har us diselidiki den gan s istem karakterisasi DAS, meskipun derajat kerawanan belum tentu dapat diperbandingkan da n masih da pat diperdebatkan karena tergantung pa da k omposisi bob ot n ilai d an f aktor s kala D AS (luasan DAS). B. Persoalan Skala DAS Pengelolaan DAS da pat diterapkan m ulai dar i s kala kecil s ampai besar. Luas DAS di Indonesia sangat beragam, mulai dari 10 ha sampai lebih dari 5.000.000 ha. Kondisi ini menimbulkan pemahaman i stilah D AS dan S ub D AS m enjadi r ancu dan m ulti tafsir. Pengelolaan s ub D AS mengacu pad a p erencanaan j angka menengah (5 tahunan) yang secara operasional implementasinya dilakukan oleh pemerintah kabupaten (Paimin et al., 2006). Selain itu de ngan per timbangan kewenangan pen yelenggaraan daerah otonom kabupaten, maka wilayah sub DAS dapat disetarakan dengan satuan wilayah kabupaten dominan. Lebih lanjut Paimin et al. (2006) m engartikan bahwa wilayah s ub D AS m ungkin memotong lebih dari satu kabupaten tetapi hanya satu kabupaten yang wilayahnya dominan pada sub DAS tersebut. Implikasi lebih lanjut ad alah p ada k isaran l uas S ub D AS yang s angat b eragam antara S ub DAS s etara k abupaten d i J awa yang penduduknya padat d engan Sub D AS s etara k abupaten dom inan di luar J awa yang penduduknya jarang.

Page 89: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

60

Hasil pe ngamatan penulis menunjukkan bah wa persoalan s kala atau uk uran D AS s angat menentukan ef ektifitas dan ef isiensi pengelolaan s erta d iperkirakan mempengaruhi k arakterisasi D AS. Persoalan s kala D AS ak an m enentukan pul a has il tipologi D AS apabila d igunakan s ebagai i dentifikasi a wal pen entuan karakterisasi D AS. S uatu uns ur d alam k arakter D AS m ungkin dapat menggambarkan watak atau karakter DAS dalam skala kecil tetapi dengan bertambahnya luasan DAS maka unsur tersebut mungkin t idak ber pengaruh l agi. Mi sal, deb it p uncak a kan menentukan kesehatan D AS d alam s kala kecil t etapi pa da D AS dengan luasan besar maka debit puncak kurang bermakna dalam menentukan kesehatan DAS. Penelitian Pramono et.al (2010) dengan m enggunakan m etode rational untuk m engestimasi debi t puncak pada S ub D as T apan ( 161 ha), N gunut I (597 ha) d an Wuryantoro (1792 ha) terdapat kecenderungan semakin luas DAS maka has il es timasi s emakin bur uk. Mes kipun pene litian t ersebut tidak secara tepat menunjukkan kesehatan DAS berdasarkan debit puncak dikaitkan dengan skala DAS, tetapi penelitian tersebut dapat m enjadi i ndikasi bah wa deb it pu ncak kurang ef ektif menentukan k esehatan DAS u ntuk s kala l uas k arena f aktor distribusi c urah h ujan dan ban yaknya pr oses biogeokimia dal am DAS skala luas. Banyak unsur dalam penyusun karakterisasi DAS yang tepat untuk skala tertentu tetapi tidak tepat pada skala yang lebih luas. Curah hujan yang t inggi di h ulu deng an k ondisi p enutupan l ahan yang rusak a kan membuat ban jir t erjadi d i h ilir dan s ering d ianggap sebagai “ banjir k iriman”. H al i ni m ungkin t epat unt uk skala D AS tertentu, tetapi untuk skala DAS yang luas hal tersebut tidak tepat lagi. Dapat t erjadi di hulu D AS t idak t erjadi hujan, tetapi banjir bisa saja terjadi di daerah hilir atau sebaliknya terjadi hujan deras di hulu tetapi tidak terjadi banjir di hilir. Kejadian banjir d i hilir DAS sering diduga sebagai k iriman air dari hulu DAS sebagai akibat pengelolaan DAS yang tidak benar. Namun has il pe nelitian S upangat dan Sukresno ( 2009) di sepanjang DAS Bengawan Solo menunjukkan bahwa kenaikan debit aliran sungai Bengawan Solo akibat meningkatnya curah hujan di hulu tidak menunjukkan kecenderungan yang jelas. Hujan

Page 90: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

61

di hulu t idak terkait dengan k enaikan deb it d i h ilir. F luktuasi deb it banyak di pengaruhi f enomena l okal s eperti h ujan l okal, pemanfaatan air sekitarnya dan sebagainya. Pelajaran yang dapat ditarik adal ah bahwa k eterkaitan ant ara k awasan hulu dan hilir pada DAS skala besar tidak selalu linier dan apa yang tepat pada skala DAS k ecil belum tentu dapat di up scaling pada skala DAS besar. Pada D AS skala k ecil, f aktor da mpak manusia ( sosial ekonomi, perubahan penutupan lahan, penanaman hutan, penggundulan hutan da n s ebagainya) lebih dominan dibandingkan pad a D AS skala bes ar. Pada D AS s kala bes ar, f aktor dam pak al am (perubahan ge ologi, p erubahan c uaca dan i klim ek strim, ge mpa dan sebagainya) dan akumulasi pencemaran/polusi lebih dominan dibandingkan pada DAS skala kecil (lihat Tabel 2). Tabel 2. Potensi dampak perubahan lahan akibat manusia terhadap aspek

pada DAS Jenis Dampak Ukuran DAS (Km2)

0,1 1 10 102 103 104 105 Aliran rata-rata X X X X - - - Aliran puncak X X X X - - - Aliran dasar X X X X - - - Isi ulang air tanah X X X X - - - Sedimen X X X X - - - Nutrisi X X X X X - - Bahan organik X X X X - - - Penyakit X X X - - - - Kadar garam X X X X X X X Pestisida X X X X X X X Logam berat X X X X X X X Panas X X - - - - - Sumber: FAO, 2002 Keterangan : x= dampak terukur, - = dampak tidak terukur Perubahan l ahan ber dampak n yata p ada k etersediaan ai r h anya pada D AS s kala k ecil. D engan m eningkatnya ukuran D AS, dampak perubahan lahan (karena manusia) pada hidrologi menjadi tidak nyata dibandingkan dengan faktor alam seperti intensitas hujan ek strim. P ada s kala l uas, per ubahan lahan ha nya

Page 91: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

62

berdampak pada k ualitas ai r dan ef ek kumulatif p olusi dari pestisida dan logam berat. C. Tipologi DAS dan Kinerja Pengelolaannya

Tipologi D AS ber kaitan denga n k inerja penge lolaan D AS. Pengelolaan D AS dapat menghasilkan dam pak pos itif ber upa produksi pertanian, hasil hutan, peternakan, rekreasi, hasil air dan sebagainya. Selain itu pengelolaan DAS dapat pula menghasilkan efek negatif berupa erosi, sedimentasi, kehilangan unsur hara, longsor dan sebagainya. Penurunan pada dampak negatif pengelolaan D AS ak an meningkatkan out put. A pabila dam pak positif yang dapat diperoleh dari pengelolaan DAS lebih besar dibandingkan dengan dampak negatifnya, maka pengelolaan DAS tersebut m emberikan manfaat ber sih yang pos itif. Jadi, t ujuan pengelolaan DAS adalah untuk m emaksimumkan m anfaat sosial ekonomi bersih pada kegiatan penggunaan sumberdaya di dalam DAS. Untuk melihat kinerja pengelolaan DAS dapat dipergunakan indikator pr oduktivitas, s ustainabilitas, e kuitabilitas dan efisiensi. Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai sebuah unit produksi dimana input s umberdaya akan di proses dal am D AS dan menghasilkan keluaran o utput berupa barang d an j asa, s ehingga penilaian kinerja berdasarkam produktivitas, sustainabilitas, ekuitabilitas dan efisiensi m enjadi r elevan. P roduktivitas m erupakan k eluaran produk ber nilai p er uni t i nput s umberdaya. S ustainabilitas merupakan kemampuan suatu agroekosistem DAS dalam menjaga produktivitasnya dari waktu k e w aktu. E kuitabilitas m erupakan pemerataan distribusi pr oduk di antara yang ber hak menerima produk. E fisiensi berkaitan dengan pengelolaan dan pengambilan keputusan d alam pen gelolaan DAS. T ipologi DAS d an k aitannya dengan kinerja pengelolaannya secara hipotetis disajikan pada Tabel 3.

Page 92: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

63

Tabel 3. Tipologi DAS dan kinerja pengelolaan DAS No Tipologi Produktivitas Sustainabilitas Ekuitabilitas Efisiensi 1 Penduduk

padat-curah hujan tinggi

+++ --- +++ --

2 Penduduk tidak padat-curah hujan tinggi

- +++ + ++

3 Penduduk tidak padat-curah hujan rendah

-- ++ + +

4 Penduduk padat-curah hujan rendah

-- --- - --

Keterangan: tanda (+) menunjukkan kinerja positif (menguntungkan) dan semakin banyak berarti semakin positif. Sebaliknya, tanda (-) menunjukkan kinerja negatif (merugikan) dan semakin banyak b erarti s emakin negatif. N ilai t ersebut ditentukan arbitrary secara hipotetis.

Secara hipotetis d iduga DAS t ipologi I lebih pr oduktif t etapi berpotensi t idak sustainable dan c ukup s ulit pe ngelolaannya karena penduduk yang padat menjadikan kompleksnya permasalahan s osial. T ipologi I V d iduga m emiliki p roduktivitas rendah berkaitan dengan kemampuan produktivitas lahan dengan keterbatasan curah hujan dan tekanan penduduk yang tinggi serta pengelolaan yang cukup sulit. Untuk mendapatkan deskripsi yang utuh u ntuk s etiap t ipologi da n k inerja peng elolaannya, perlu adanya penelitian lanjutan. Secara op erasional, k eberhasilan pe ngelolaan D AS dapat di lihat pula dar i memaksimalkan manfaat ber sih ber upa k esejahteraan dan meminimalkan biaya s osial ber upa benc ana ba njir, longsor, sedimentasi, erosi, lahan kritis, k emiskinan, po lusi/pencemaran dan k onflik. A pabila pengelolaan DAS berdasarkan tipologi t elah berhasil m eminimumkan potensi d an k erawanan bencananya maka potensi keberhasilan pengelolaan DAS relatif besar. Selama ini kegagalan pengelolaan DAS dikaitkan dengan kegagalan dalam pengantisipasian bencana/kerawanan banjir, t anah longsor, kekeringan dan sebagainya.

Page 93: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

64

D. Tipologi DAS dan Dukungan Penelitian dan Pengembangan di Masa Depan

Berdasarkan t ipologi D AS, maka penel itian, penyuluhan d an dukungan t eknologi yang di perlukan dal am pengel olaan D AS dapat l ebih t erarah. N amun dal am i mplementasinya s angat tergantung pada k ondisi s pesifik bi ofisik dan pener imaan masyarakat. Mi sal, unt uk D AS t ipologi I di perlukan duk ungan penelitian da n pen gembangan untuk mengatasi permasalahan bencana banjir, erosi/sedimentasi, longsor, kemiskinan, polusi/pencemaran, lahan kritis dan konflik. Untuk tipologi IV diperlukan t eknologi un tuk mengatasi per masalahan r awan kekeringan, l ahan k ritis, kemiskinan, pol usi/pencemaran dan resolusi konflik. Persoalan t ransfer t eknologi D AS dari penyedia t eknologi (Badan Litbang) k epada pe ngguna t eknologi s elama i ni be lum ber jalan dengan o ptimal. A gar p eneliti, penyuluh dan pengguna t eknologi dapat s aling m emahami k ebutuhan, l angsung m enyelesaikan masalah da n m emberdayakan pet ani m aka perlu s uatu pendekatan yang tepat. Penelitian dan penyuluhan yang diberikan sebaiknya mengikuti kondisi lahan, sosial ekonomi, karakter masyarakat deng an m emperhatikan pul a k ondisi D AS da n memperhatikan t ipologinya. K eputusan t erakhir t eknologi litbang mana yang akan dipergunakan ditentukan oleh petani sebagai pengambil keputusan dengan pertimbangan peneliti dan penyuluh. IV. KESIMPULAN Terdapat 4 t ipologi D AS b erdasarkan c urah huj an dan pen duduk yang da pat m emetakan pot ensi k erawanan banjir, l ongsor, kekeringan, lahan kritis, erosi, sedimentasi, kemiskinan, polusi dan konflik. Setiap DAS dengan tipologi tertentu memiliki karakteristik tertentu pu la. D AS dengan t ipologi tertentu m embutuhkan teknologi, pendekatan, kebijakan dan dukungan penelitian pengembangan yang berbeda. Tipologi DAS dapat dipergunakan untuk penentuan prioritas kebijakan dalam pengelolaan DAS yang lebih efektif dan efisien.

Page 94: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

65

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1997. Pengelolaan sumber daya lahan kering di

Indonesia. Kumpulan Informasi. Forda, GTZ, dan APAN. Bogor.

Cahyono, S. A. dan Purwanto. 2006. Imbal jasa multifungsi DAS

untuk m endukung pengelolaan DAS. Prosiding Seminar Peran Stakeholder dalam Pengelolaan Jasa Lingkungan DAS Cicatih Hulu, 21 September 2006 di Bogor

Dixon, J .A. da n K .W. E aster. 1986. I ntegrated watershed

management: an appr oach to r esource m anagement. Dalam Easter, K.W., J .A. D ixon da n M.M. H ufschmidt. E ds. Watershed resources m anagement: an integrated f ramework with studies from Asia and the Pacific. Studies in water policy and management, 10. Westview Press and London. Honolulu.

FAO. 2 002. L and-water l inkages i n r ural watersheds.

Proceedings of the electronic workshop. FAO land and water development division. Roma.

Paimin, Sukresno dan Purwanto. 2006. Sidik cepat degradasi sub

daerah aliran sungai. P usat P enelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Air. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.

Pramono, I.B, N. Wahyuningrum dan A. Wuryanta. 2010.

Penerapan metode rational untuk estimasi debit puncak pada beberapa luas sub das. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, 7 ( 2): 161 —176. P usat P enelitian Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.

Priyono, C .N.S dan S .A. Cahyono. 2003. Status dan s trategi

pengembangan p engelolaan D AS d i m asa depan d i Indonesia. Alami 8 (1):1—5. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Jakarta.

Page 95: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

66

Supangat, A .B dan S ukresno. 200 9. Studi penelusuran perjalanan air banjir di Sungai Bengawan Solo. Info Hutan 6 (2): 185—198.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa

Indonesia. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasioanal. Jakarta.

Page 96: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

67

KARAKTERISTIK LAHAN SEBAGAI BASIS PERENCANAAN KONSERVASI TANAH DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI

PROGO HULU1 Oleh:

Paimin2 dan Pamungkas B.P3

Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Jl. A. Yani PO Box 295 Pabelan. Telepon/Fax.: (+62 271) 716709/716959

Email: [email protected] 22EEmmaaiill:: ppaaiimmiinn@@ yyaahhoooo..ccoomm;; 33ppaammuunnggkkaass__bbuuaannaappuuttrraa@@yyaahhoooo..ccoo..iidd

ABSTRAK

Kekritisan lahan terjadi sebagai akibat pengelolaan sumberdaya lahan yang eksploitatif dan ekspansif sehingga melampaui daya dukung dan kemampuannya. Pola pengelolaan yang demikian terjadi karena lemahnya pemahaman dan kesadaran pengelola lahan atau petani tentang karakteristik atau sifat rentan dan kapasitas toleransi dari sumberdaya lahan yang dikelolanya.Tujuan penelitian ini adalah untuk menyusun perencanaan pengelolaan lahan pada suatu Sub DAS dalam aspek konservasi tanah berdasarkan atas karakteristik lahan. Kajian dilakukan di Sub DAS Progo Hulu yang sebagian besar wilayahnya berada dalam satu wilayah kabupaten dominan yakni Kabupaten Temanggung, Provinsi Jawa Tengah. Metode karakterisasi lahan dengan menggunakan formula lahan pada buku “Sidik Cepat Degradasi Sub DAS” yang telah direvisi untuk kemudian ditransformasi ke dalam sistem perencanaan konservasi tanah. Hasil kajian menunjukkan bahwa degradasi lahan oleh erosi di Sub DAS Progo banyak terjadi di lereng Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing sebagai akibat kondisi alamiah lahannya yang mempunyai kelerengan curam pada elevasi tinggi dengan pengelolaan lahan tanaman semusim secara intensif tetapi terapan teknik konservasi tanahnya yang sangat beragam. Keragaman aplikasi teknik konservasi tanah oleh petani karena perbedaan ketersediaan batu secara alamiah pada lahannya untuk bahan pembuatan teras bangku dan kurangnya kesadaran petani dalam menjaga kelestarian tanahnya. Keberagaman teknologi bisa dimanfaatkan untuk membimbing petani dengan meniru petani lain yang telah mengelola lahannya secara konservatif. Introduksi teknologi konservasi tanah bukan dengan cara perubahan drastis tetapi hanya sedikit perbaikan yang cukup bisa mengendalikan erosi yakni dimulai dari yang paling sederhana dengan masukan biaya yang murah dalam waktu yang tidak lama sesuai dengan kelonggaran waktu luang petani. Hal ini didasarkan pengalaman bahwa introduksi teknologi konservasi tanah di daerah ini belum menunjukkan kemajuan yang cukup nyata. Kata kunci: karakteristik lahan, perencanaan, konservasi tanah 1 Makalah ini disampaikan pada Semiloka “Riset Pengelolaan DAS Menuju

Kebutuhan Terkini” Surakarta, 27-28 Juni 2011. Kerjasama Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi dengan Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

Page 97: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

68

I. PENDAHULUAN

Pada tahun 2007 luas lahan kritis di Indonesia dinyatakan telah mencapai 77,8 juta hektar yang tersebar di dalam kawasan hutan sekitar 51 juta ha dan di luar kawasan hutan kurang lebih seluas 26,8 juta ha (Departemen Kehutanan, 2007). Padahal berdasarkan data tahun 2000, lahan kritis di Indonesia diperkirakan seluas 23.242.881 ha yang berada di dalam kawasan hutan 8.136.646 ha (35%) dan di luar kawasan 15.106.234 ha (65%) (Departemen Kehutanan, 2001). Upaya pengendalian lahan kritis telah digaungkan secara intensif sejak tahun 1976 melalui program Instruksi Presiden (Inpres) Reboisasi dan Penghijauan, dan diikuti gerakan lainnya seperti Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan/GN-RHL) pada tahun 2003 - 2009. Lahan kritis terjadi sebagai akibat dari pengelolaan sumberdaya lahan yang eksploitatif dan ekspansif sehingga melampaui daya dukung dan kemampuannya. Pola pengelolaan yang demikian disebabkan oleh masih lemahnya pemahaman dan kesadaran pengelola lahan atau petani tentang kerentanan dan kapasitas toleransi sumberdaya lahan yang dikelolanya. Tingkat kerentanan dan potensi sumberdaya lahan merupakan ciri khas atau karakteristik dari sumberdaya lahan tersebut yang harus dijadikan tumpuan dasar dalam menyusun perencanaan pengelolaan yang harus diterapkan. Karakteristik lahan merupakan salah satu penciri dari karakteristik daerah aliran sungai (DAS) yang melingkupinya. Hasil kajian karakteristik DAS Progo diperoleh informasi bahwa potensi kerentanan lahan terhadap degradasi yang paling tinggi adalah pada daerah tangkapan air atau Sub DAS Progo Hulu (Paimin, dkk., 2009). Sebagai langkah lanjut perlu kajian karakteristik lahan tingkat Sub DAS sebagai basis penyusunan perencanaan pengelolaan lahannya, terutama aspek konservasi tanah. Wilayah Sub DAS Progo Hulu terbesar berada dalam satu wilayah kabupaten dominan yakni Kabupaten Temanggung, Provinsi Jawa Tengah. Karena satuan daerah tangkapan air berada dalam satu kabupaten dominan maka sistem karakterisasi lahan yang dilakukan menggunakan formula yang tersusun dalam buku “Sidik Cepat Degradasi Sub DAS” (Paimin, dkk., 2006) yang telah direvisi (Paimin, 2010) untuk kemudian ditransformasi ke dalam

Page 98: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

69

sistem perencanaan konservasi tanah. Tujuan penelitian ini adalah untuk menyusun perencanaan pengelolaan lahan pada suatu Sub DAS dalam aspek konservasi tanah berdasarkan atas karakteristik lahan. Diharapkan informasi ini dapat bermanfaat bagi pengambil kebijakan untuk menyusun kegiatan teknis konservasi tanah dalam pengelolaan Sub DAS.

II. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan Alat Bahan yang diperlukan dalam kajian ini meliputi: (1) peta-peta (hard copy dan digital) skala 1: 25.000 – 1 : 50.000 antara lain peta Rupa Bumi Indonesia (RBI), tanah, geologi, penutupan/penggunaan lahan, bentuk lahan, (2) bahan GIS untuk pencetakan peta dan pemrosesan data, (3) perlengkapan lapangan, (3) bahan operasional komputer, dan lainnya. Peralatan yang diperlukan antara lain: (1) peralatan tulis, (2) GPS, meteran, abney level, (3) unit perangkat GIS, dan (4) kamera.

B. Metode Penelitian dilakukan pada tahun 2010 di Sub DAS Progo Hulu yang terletak pada wilayah administrasi Kabupaten Temanggung, Provinsi Jawa Tengah. Penelitian yang dilakukan merupakan aplikasi formula karakterisasi lahan yang dituangkan dalam ”Sidik Cepat Degradasi Sub DAS” (Paimin, dkk., 2006) yang telah direvisi (Paimin, 2010) untuk digunakan sebagai acuan utama dalam perencanaan pengelolaan lahan bagian hulu yang secara administratif berada pada satu wilayah kabupaten dominan. Kajian bersifat deskriptif (kuantitatif dan kualitatif) yang dilakukan melalui survei lapangan dan pemanfaatan data sekunder. Untuk melakukan kajian sistem perencanaan pengelolaan lahan DAS bagian hulu digunakan prosedur uji lapang melalui kunjungan/observasi lapangan dan telaah data dan informasi dari instansi terkait. Data yang dikumpulkan untuk menyusun karakteristik Sub DAS didasarkan pada kebutuhan parameter penyusun formula kekritisan lahan seperti disajikan dalam

Page 99: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

70

Lampiran 1 (Paimin, dkk., 2006 direvisi Paimin, 2010). Data dasar biofisik yang telah dihimpun, dilakukan koreksi terhadap kondisi aktual lapangan, antara lain penutupan/penggunaan lahan dan kelas lereng lahan. Pengumpulan data lapangan lainnya meliputi data tanah (solum, tekstur, batuan singkapan), morfoerosi, pola dan sistem tanam, dan aplikasi teknik konservasi tanah. Analisis tingkat karakteristik lahan dinyatakan berdasarkan hasil perhitungan nilai akhir seluruh parameter, dengan menggunakan klasifikasi peringkat sebagai berikut : (1) Tinggi/Sangat Rentan/Sangat terdegradasi (nilai >4,3), (2) Agak Tinggi/ Rentan/Terdegradasi (3,5 - 4,3), (3) Sedang/Agak Rentan/Agak terdegradasi (2,6 - 3,4), (4) Agak Rendah/Sedikit Rentan/Sedikit terdegradasi (1,7 - 2,5), dan (5) Rendah/Tidak Rentan/Tidak terdegradasi (< 1,7). Perencanaan konservasi tanah didasarkan pada permasalahan yang diperoleh dari tingkat kerentanan lahan dengan pertimbangan teknologi yang sesuai prinsip konservasi tanah dan air. Usulan kegiatan pengelolaan bertumpu pada perbaikan faktor yang lemah pada setiap faktor dalam formula, terutama faktor yang mudah dikelola (faktor manajemen). IIIIII.. HASIL DDAANN PPEEMMBBAAHHAASSAANN A. Karakteristik Lahan Sub DAS Progo Hulu

Luas wilayah Sub DAS Progo Hulu adalah 57.495 ha dan sebagian besar terletak pada wilayah administrasi Kabupaten Temanggung (94,5%). Berdasarkan satuan daerah tangkapan air, Sub DAS Progo Hulu dapat dibagi menjadi Sub-sub DAS: Hulu Progo (11.751 ha), Galeh (11.101 ha), Kuas (7.025 ha), Jambe (4.979 ha), Gemilang (1.464 ha), Sejengkol Lembir (2.146 ha), Jetis (692 ha), Tingal (10.637), dan Mandang (7.700 ha). Karakteristik lahan Sub DAS Progo Hulu dicirikan oleh kerentanannnya terhadap kekritisan lahan akibat erosi. Penggunaan lahan yang paling rentan terhadap erosi adalah lahan kering atau tegal. Lahan tegalan terluas terdapat di Sub-sub DAS Galeh (4479 ha), diikuti Sub-sub DAS Tingal (3663 ha), dan Kuas (2507 ha).

Page 100: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

71

Berdasarkan analisis kondisi aktual lahan dengan pendekatan formula karakteristik lahan (Paimin et al, 2006; Paimin, 2010) dapat diketahui sebaran tingkat kekritisan lahan di Sub DAS Progo Hulu seperti tersaji dalam Tabel 1 dan Gambar 1. Luas wilayah Sub DAS Progo Hulu yang termasuk kategori rentan kritis/terdegradasi meliputi 647 ha, dan yang sedang/agak rentan mencakup 14.958 ha.

Tabel 1. Sebaran Tingkat Kekritisan Lahan diSub DAS Progo Hulu

No

Sub-sub DAS

Luas Setiap Tingkat Kerentanan (Ha) Jumlah

Luas (Ha)

Tidak Rentan (0 - 1,7)

Sedikit Rentan (1,7 - 2,6)

Agak Rentan (2,6 - 3,4)

Rentan

(3,4 - 4,3)

Sangat Rentan (> 4,3)

1 Hulu Progo

1.154 9.523 1.055 19 - 11.751

2 Galeh 1.352 5.754 3.612 383 - 11.101 3 Kuas 450 4.389 2.179 6 - 7.025 4 Jambe 13 3.136 1.826 4 - 4.979 5 Gemilang 3 909 519 33 - 1.464 6 Sejengkol

Lembir 1 1.346 598 201 - 2.146

7 Jetis - 670 22 - - 692 8 Tingal 2 6.415 4.221 - - 10.637 9 Mandang 15 6.759 926 - - 7.700

Jumlah 2.990 38.901 14.958 647 - 57.495

Gambar 1. Sebaran Tingkat Kekritisan Lahan di Sub DAS Progo Hulu

Page 101: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

72

Kekritisan lahan di lereng Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing yang termasuk dalam Sub-sub DAS Hulu Progo, Kuas, Galeh, Jambe, Gemilang, dan Sejengkol Lembir terjadi sebagai akibat dari tata guna lahan berupa tegalan untuk usaha tani tanaman semusim yang kurang menerapkan kaidah konservasi tanah. Di samping itu kondisi alamiahnya berupa lahan berlereng curam dengan elevasi tinggi serta kondisi tanah bersolum dangkal dan bertekstur kasar. Aplikasi konservasi tanah secara mekanis yang diterapkan pada pengelolaan lahan tegal sangat beragam yakni berupa pembuatan teras bangku, guludan/bedengan dengan berbagai variasi. Salah satu contohnya adalah variasi talud teras bangku dalam berbagai bentuk, ada yang diperkuat dengan batu ada yang tidak. Keadaan ini tergantung dari ketersediaan batu di sekitar lahan secara alamiah. Di Sub-sub DAS Hulu Progo, Kuas, Jambe, Gemilang, dan Jetis batu terserak di sepanjang lereng sehingga teras bangku dengan talud batu banyak dibangun (Gambar 2.a). Sedangkan di Sub-sub DAS Galeh dan Sejengkol Lembir semakin ke atas bahan batu agak jarang sehingga teras yang dibangun tidak beraturan; ada yang berupa lereng asli dipotong saluran drainase (tidak selalu mengikuti garis kontur) dengan bidang olah dibuat gulud searah lereng, teras bangku miring ke depan, dan bentuk teras lainnya (Gambar 2.b).

Lahan jarang ditanami vegetasi pohon, terutama di Sub DAS Galeh . Di beberapa tempat, seperti di Sub DAS Kuas, Jambe, dan Gemilang, dikembangkan tanaman suren (Toona sinensis) dengan jarak tanam lebar agar tanaman semusim tidak terganggu oleh naungan.

(a) (b)

Gambar 2. Lahan tegal dengan teras bangku datar talud batu (a) dan Teras bangku miring ke depan tanpa talud batu (b) – dengan kondisi tanaman tahunan sangat jarang.

Page 102: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

73

Lahan untuk tanaman semusim, biasanya disiapkan dengan cara membuat bedengan setinggi 0,3 - 0,5 m dengan lebar 0,75 - 1 m, dan dilengkapi saluran drainase diantara bedeng selebar 0,2 - 0,3 m. Konstruksi bedengan arahnya beragam yakni searah kontur maupun memotong kontur seperti terlihat pada Gambar 3. Sebagian petani menggunakan plastik penutup tanah bedengan dan sebagian lainnya tidak (Gambar 4).

Gambar 3. Arah bedengan tanaman tidak dalam satu pola baku

Gambar 4. Pola tanam di lereng Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing (a) Musim Tanam I (sayuran/palawija), penanaman dengan

menggunakan mulsa plastik. (b) Musim Tanam I (sayuran/palawija), penanaman tanpa

menggunakan mulsa plastik.

Page 103: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

74

(c) Musim Tanam II (sayuran/palawija dan tembakau), penanaman dengan menggunakan mulsa plastik.

(d) Musim Tanam II (sayuran/palawija dan tembakau), penanaman tanpa menggunakan mulsa plastik

Pola tanam umumnya dengan urutan awal musim hujan (musim tanam I) ditanam jenis sayuran atau palawija kemudian diikuti tanaman tembakau pada awal kemarau (sekitar bulan Maret - April) yang disisipkan pada tanaman pertama (Gambar 4). Jenis sayuran dan palawija sangat beragam pada setiap pemilik lahan, tergantung dari kemampuan modal yang tersedia disaat tersebut. Pengelolaan lahan demikian menjadikan lahan tegal di lereng Gunung Sindoro-Sumbing rentan terhadap erosi tanah oleh air. Pada bagian Timur Sub DAS Progo Hulu yakni Sub-sub DAS Tingal dan Mandang, budidaya pertaniannya berbasis sistem agroforestry dengan campuran jenis tanaman yang sangat beragam, utamanya pola agroforestry sengon dan kopi. Bangunan teras telah berkembang pada lahan tegal yang dibudidayakan untuk tanaman palawija namun sebagian kemudian dikonversi mejadi agroforestry. Kekritisan lahan pada tingkat ”sedang” terjadi di lahan pertanian tanaman semusim yang dibudidayakan pada lereng terjal. B. Perencanaan Konservasi Tanah Prinsip dasar konservasi tanah adalah menjaga struktur tanah agar tidak terdispersi dan mengatur kekuatan gerak dan jumlah limpasan permukaan (Arsyad, 1989). Berdasarkan prinsip dasar tersebut, teknik konservasi tanah dapat dilakukan melalui tiga pendekatan:

1. menutup tanah dengan vegetasi atau sisa tumbuhan sehingga permukaan tanah terlindung dari daya tetes air hujan;

2. memperbaiki dan menjaga daya tahan tanah terhadap penghancuran agregat dan pengangkutan partikel tanah;

3. mengatur limpasan permukaan agar tidak merusak tanah dan meningkatkan infiltrasi.

Peran dalam upaya konservasi tanah di Sub DAS Progo Hulu di bagian barat banyak dimainkan oleh vegetasi tanaman semusim (sayuran dan palawija) dan plastik penutup guludan/bedengan tanah. Tanaman tahunan (kayu-kayuan) dianggap mengganggu

Page 104: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

75

pertumbuhan tanaman semusim karena pengaruh naungannnya sehingga sulit berkembang. Namun dengan sedikitnya jumlah pohon-pohonan, hembusan angin kencang tidak ada penghambat sehingga berpotensi menimbulkan kerusakan tanaman semusim. Oleh karena itu perlu tanaman pengendali angin yang tidak banyak mengganggu tanaman semusim dari aspek naungan. Berdasarkan pengamatan lapangan, tanaman suren dapat diaplikasikan dengan ditanam pada batas milik dengan jarak tanam dua meter dan ditanam secara zig-zag dengan pemilikan tanaman di sebelahnya. Pada bagian Timur Sub DAS Progo Hulu, peran dalam konservasi tanah vegetatif dimainkan oleh vegetasi permanen dalam bentuk agroforestry sengon dan kopi. Teknik konservasi tanah secara mekanis di Sub DAS Progo Hulu sangat beragam dan secara garis besar dapat diklasifikasi sebagai berikut:

1. Teras bangku sempurna dengan talud batu 2. Teras bangku miring ke depan dengan talud batu maupun

tanpa batu 3. Lereng dipotong oleh saluran drainase 4. Guludan atau bedengan mengikuti kontur atau memotong

lereng tapi belum mengikuti kontur Kondisi teras bangku yang diterapkan di Sub DAS Progo Hulu sangat beragam tetapi dari asas produksi tidak ada informasi dari petani yang menunjukkan perbedaan. Dengan demikian sebenarnya pada wilayah tersebut bisa dibangun teras bangku datar atau miring ke belakang (back slope), tetapi kenyataannya tidak mudah untuk diintroduksi. Memperhatikan dinamika masyarakat dalam menerapkan teknik konservasi tanah maka rencana teknik konservasi tanah tidak harus dalam bentuk teras bangku sempurna namun mengikuti kebiasaan petani dengan mengubah konstruksi yang tidak mengakibatkan degradasi lahan oleh erosi. Rencana teknik konservasi tanah secara mekanis yang diusulkan berdasarkan prinsip dasar pengurangan panjang lereng dan derajat kemiringan lereng (Wischmeier dan Smith, 1978). Di samping itu, sistem drainase ditata agar kecepatan aliran limpasan permukaan dalam

Page 105: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

76

kecepatan yang diperkenankan (permissible velocity) sehingga proses pengikisan tanah dapat ditekan. Teras bangku datar sempurna dengan talud batu cukup stabil (Gambar 2.a) mampu mengendalikan erosi sehingga kegiatan yang diperlukan hanya pemeliharaan agar kondisi tetap stabil dan aliran limpasan permukaan tetap terkendali. Apabila bidang teras tidak mengikuti kontur (Gambar 5.a) maka kegiatan yang dilakukan adalah memberikan bimbingan pembuatan guludan atau bedengan searah kontur seperti Gambar 5.b. Teknologi ini (Gambar 5.b) sudah diterapkan oleh sebagian petani pada lahan sekitar sehingga bimbingan dengan mencontoh kepada petani tersebut lebih mudah dilakukan.

Aplikasi teknik pembuatan guludan atau bedengan searah kontur oleh petani sering belum diikuti sistem drainase atau saluran pembuangan air (SPA) secara aman karena limpasan permukaan dibiarkan mengalir pada lereng alami (Gambar 6). Kondisi demikian perlu diperbaiki dengan melengkapi: (1) bangunan terjunan sederhana pada titik keluaran saluran drainase antar guludan/bedengan yang terjun ke SPA, dan (2) bangunan terjunan pada SPA, seperti pada Gambar 6. Namun demikian apabila masyarakat petani sulit untuk menerapkan teknologi seperti Gambar 5.a menjadi Gambar 5.b, maka saluran drainase yang menuju saluran pembuangan air pada bidang teras harus dibuat datar dengan menambahkan bangunan terjunan (drop structure). Dengan demikian terjadi bangunan teras ganda yakni teras pada lereng asli yang tidak mengikuti kontur dan anak teras dalam bidang teras mengikuti arah drainase ke arah saluran pembuangan air.

Gambar 5. (a) Teras memotong lereng tapi tapi guludan tidak searah

kontur (b) Bedengan/guludan dibuat searah kontur, dilengkapi saluran pembuangan air (SPA)

Page 106: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

77

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

IIVV.. KKEESSIIMMPPUULLAANN DDAANN SSAARRAANN A. Kesimpulan

1. Berdasarkan analisa kondisi aktual lahan menggunakan formula

tingkat kekritisan lahan, dapat diketahui bahwa sebagian besar lahan di daerah hulu-hulu Sub DAS Progo bagian Selatan s/d Barat yaitu pada lereng Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro mempunyai karakter sebagai lahan agak kritis. Karakter yang demikian disebabkan karena faktor alamiah kelerengan dan kondisi tanah yang rentan terhadap bahaya erosi serta adanya faktor manajemen berupa pengelolaan lahan untuk tanaman semusim secara intensif.

2. Aplikasi teknik konservasi tanah yang diterapkan petani di daerah lereng Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro dalam mengelola lahan mempunyai kondisi yang sangat beragam. Faktor penyebabnya antara lain karena ketersediaan batu secara alamiah; serta kurangnya pengetahuan dan kesadaran petani dalam menjaga kelestarian tanahnya.

3. Perencanaan upaya konservasi tanah yang dapat diterapkan pada daerah-daerah dengan karakter lahan agak kritis sampai dengan kritis seperti di lereng Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro adalah dengan memperbaiki kondisi teras dan guludan

Gambar 6. Saluran Pembuangan Air (SPA) miring perlu dilengkapi dengan bangunan terjunan

Page 107: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

78

sesuai dengan teknik konservasi tanah. Sebagai contoh adalah pembuatan guludan untuk bedengan tanaman semusim yang searah kontur, pembuatan SPA, serta introduksi vegetasi pepohonan.

4. Keberagaman teknologi yang terdapat di lokasi kajian dapat dimanfaatkan untuk membimbing petani dengan cara meniru petani lain yang telah mengelola lahannya secara konservatif. Introduksi teknologi konservasi tanah bukan dengan cara perubahan drastis tetapi hanya sedikit perbaikan yang cukup bisa mengendalikan erosi. Hal ini didasarkan pengalaman bahwa introduksi teknologi konservasi tanah di daerah ini belum menunjukkan kemajuan yang cukup nyata.

B. Saran Introduksi teknik konservasi tanah dimulai dari yang paling sederhana dengan masukan biaya yang murah dalam waktu yang tidak lama sesuai dengan kelonggaran waktu luang petani. Introduksi tersebut dapat berupa mengarahkan cara pembuatan bedengan tanaman semusim yang searah kontur, perbaikan teras bangku, penanaman vegetasi pepohonan bersama tanaman semusim, pembuatan dan perbaikan SPA.

UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada: Sdr. Agus Sugiyanto dan Sdr. Asep Hermawan atas upaya membantu penulis dalam kegiatan survei lapangan; Sdr. Ragil B.W.M.P atas upaya membantu analisa GIS dan pembuatan peta.

Page 108: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

79

DAFTAR PUSTAKA Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. 290 pp. Departemen Kehutanan. 2001. Eksekutif. Data Strategis

Kehutanan. Badan Planologi Kehutanan. Jakarta. Departemen Kehutanan. 2007. Lahan Kritis Per BPDAS Tahun

2007. Situs Resmi Departemen Kehutanan. http://www.dephut.go.id/files/Lhn_Krts_DAS_07.pdf. Diakses pada 3 Maret 2011.

Paimin, Sukresno, dan Purwanto. 2006. Sidik Cepat Degradasi Sub

Daerah Aliran Sungai. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.

Paimin, Sukresno, Purwanto, dan. D.R. Indrawati. 2009. Laporan

Hasil Penelitian ”Evaluasi Aplikasi Sistem Karakterisasi Daerah Aliran Sungai”. BPK Solo. Tidak Diterbitkan

Paimin. 2010. Laporan Akhir Hasil Penelitian Tahun 2003 – 2009

Usulan Kegiatan Penelitian (UKP) Sistem Karakterisasi Daerah Aliran Sungai (DAS). BPK Solo. Tidak Diterbitkan.

Wieschmeier, W.H.,and D.D. Smith. 1978. Predicting Rainfall

Erosion Losses – A Guide to Conservation Planning. USDA Agric. Handbook No. 37. 58 pp

Page 109: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

80

Lampiran 1. Formula Kekritisan Lahan

No Parameter/Bobot Besaran

Kategori Nilai Skor

A. Alami (45%) 1. Solum tanah (Cm)

(10%) >90 Rendah 1

60 - <90 Agak Rendah 2 30 - <60 Sedang 3 15 - <30 Agak Tinggi 4

<15 Tinggi 5

2. Lereng (%) (15%)

0 - <8 Rendah 1 8 - <15 Agak Rendah 2 15 - <25 Sedang 3 25 - <45 Agak Tinggi 4

>45 Tinggi 5 3. Batuan Singkapan

(%) (5%)

<20 Rendah 1 20 – <40 Agak Rendah 2 40 - <60 Sedang 3 60 – 80 Agak Tinggi 4

>80 Tinggi 5 4. Morfoerosi (erosi

jurang, tebing sungai, sisi jalan). Persen dari Unit Lahan (10%)

0% Rendah 1 1 - <20 % Agak Rendah 2 20 - <40% Sedang 3 40 - 60% Agak Tinggi 4

>60 % Tinggi 5

5. Tekstur tanah terhadap kepekaan erosi (5%)

Sand, lomy sand, clay Rendah 1 Silty clay, sandy loam Agak Rendah 2 Clay, silty clay Sedang 3 Loam, sandy clay loam, sandy clay

Agak Tinggi 4

Silt, silt loam Tinggi 5

B. Manajemen (55%) 1. Kawasan Budidaya Pertanian (55%) a. Vegetasi Penutup

(40%) 50 – 80%

hutan/perkebunan + tanaman semusim

Rendah 1

30 - 50% hutan/perkebunan + tanaman semusim

rapat

Agak Rendah 2

30 - 50% hutan/perkebunan + tanaman semusim

jarang

Sedang 3

10 - 30% hutan/perkebunan + tanaman semusim

rapat

Sedang 3

Tanaman semusim rapat

Sedang 3

10 - 30% hutan/perkebunan + tanaman semusim jarang

Agak Tinggi 4

Page 110: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

81

No Parameter/Bobot Besaran

Kategori Nilai Skor

Tanaman semusim jarang

Tinggi 5

b. Konsevasi tanah mekanis (15%)

Teras bangku datar/miring ke dalam

Rendah 1

Teras bangku miring ke luar

Agak Rendah 2

Teras campuran Sedang 3 Teras gulud, hillside ditch, tanaman terasering

Agak Tinggi 4

Tanpa teras Tinggi 5 2. Kawasan hutan dan Perkebunan (55%) a. Kondisi vegetasi

(45%) Vegetasi hutan baik, Tanaman perkebunan baik + cover crop atau Tanaman perkebunan berseresah banyak

Rendah 1

Vegetasi utama <50% + semak belukar

Agak Rendah 2

Semak belukar Sedang 3 Alang-alang Agak Tinggi 4 Vegetasi sedikit (>50% tanah tebuka)

Tinggi 5

b. Konservasi tanah (10%)

Teras gulud + tanaman penguat

Rendah 1

Tanaman terasering/alley cropping

Agak Rendah 2

Guludan mulsa Sedang 3 Teras gulud Agak Tinggi 4 Tanpa tanaman terasering

Tinggi 5

Page 111: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

82

IDENTIFIKASI KERENTANAN SOSIAL EKONOMI KELEMBAGAAN SEBAGAI DASAR PERENCANAAN SUB

DAERAH ALIRAN SUNGAI PROGO HULU1

Oleh: Nana Haryanti2 dan Paimin3

Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Jl. A. Yani PO Box 295 Pabelan. Telepon/Fax.: (+62 271) 716709/716959

Email: [email protected] 2Email: [email protected]; [email protected]

ABSTRAK

Daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu ekosistem dimana terjadi interaksi antara komponen-komponen alam dan manusia secara kompleks. Oleh karena itu DAS menjadi demikian penting untuk dikelola agar bisa memberikan manfaat kepada semua pihak yang mendiami wilayah tersebut. Pengelolaan DAS bukan semata mengelola sumber daya alam, namun lebih kepada mengelola aktivitas manusia karena hal ini akan berdampak pada kelestarian sumber daya alam yang tersedia. Rencana pengelolaan DAS perlu mempertimbangkan pentingnya mengontrol aktivitas manusia sehingga harus memperhatikan aspek sosial, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat untuk menghindari munculnya konflik kepentingan antar stakeholder. Makalah ini bertujuan membahas pentingnya mengidentifikasi kondisi kerentanan sosial, ekonomi kelembagaan setempat untuk proses perencanaan pengelolaan DAS. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode kualitatif untuk menganalisis data kuantitatif yang diperoleh dari perhitungan menggunakan metode Sidik Cepat Degradasi DAS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyumbang kerentanan sosial ekonomi sub DAS Progo hulu adalah masyarakat di bagian hulu yang mengembangkan pertanian di lahan tegal. Kelembagaan ditingkat desa maupun kabupaten dan pusat kurang bisa menjalankan peran dalam menjaga kualitas DAS yang baik karena peran pada kegiatan konservasi di hulu sangat rendah. Oleh karena itu alternatif memperbaiki DAS terletak pada perencanaan terutama aspek kelembagaannya. Kata kunci: kondisi sosial, ekonomi, kelembagaan, perencanaan daerah aliran sungai 1 Makalah ini disampaikan pada Semiloka “Riset Pengelolaan DAS Menuju

Kebutuhan Terkini” Surakarta, 27-28 Juni 2011. Kerjasama Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi dengan Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

Page 112: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

83

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Daerah aliran sungai (DAS) sebagai suatu unit teritori dimana sub sistem hidrologi memproduksi air, pada saat yang bersamaan sub sistem sosial ekonomi bekerja menghasilkan barang dan jasa (Fernandez, 1993). DAS kemudian memproduksi “berbagai dampak sampingan” dari aktivitas didalamnya seperti erosi, sedimentasi, banjir, kekeringan, penurunan produktivitas lahan, penurunan biodiversitas dan sebagainya (Hufschmidt, 1986). Dampak sampingan yang tidak diinginkan ini apabila tidak ditangani secara seksama akan dapat mengakibatkan terganggunya kondisi ekologi suatu wilayah yang berdampak pada hilangnya pendapatan masyarakat dan selanjutnya mengganggu jalannya proses pembangunan. Oleh sebab itu, daerah aliran sungai sebagai suatu wilayah yang unik dan kompleks (karena didalamnya manusia, hewan, tumbuhan, tekhnologi, budaya berinteraksi), dimana berbagai kepentingan berkompetisi menjadi demikian penting untuk dikelola dan diatur agar dapat memberikan manfaat kepada semua pihak tanpa ada yang merasa dirugikan. Keragaman karakteristik fisik antara lain berupa kemiringan, curah hujan, jenis tanah dan karakteristik sosial seperti penduduk, kegiatan pertanian ekonomi lainnya yang dikembangkan (Fernandez, 1993) membawa konsekuensi pengelolaan daerah aliran sungai harus benar-benar disesuaikan dengan kondisi yang ada agar DAS yang sehat berkelanjutan dapat diwujudkan. Pengelolaan daerah aliran sungai menjadi penting karena ada common pool resources yaitu sumber daya yang sangat penting dan mempengaruhi hajat hidup orang banyak berupa tanah dan air, memerlukan upaya dan aktivitas yang terintegrasi dan bijaksana untuk menjamin kelestarian, kualitas dan hasil air serta tanah. Selanjutnya diharapkan tujuan dari seluruh proses pembangunan yaitu meningkatnya kemakmuran rakyat tanpa merusak lingkungan bisa terpenuhi (Eren, 1977).

Page 113: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

84

Sub DAS Progo Hulu sebagai salah satu DAS prioritas menurut Keputusan Menteri Kehutanan No 328 tahun 2009 penting untuk dibenahi pengelolaannya. Luas lahan kritis di sub DAS Progo Hulu mencapai 647 Ha dari seluruh luasan lahan 57. 495 Ha, (Paimin dkk, 2010). Selanjutnya berdasar penelitian Paimin dkk., daerah yang mengalami kerentanan terhadap banjir seluas 322 Ha yang terjadi hampir disetiap muara sub-sub DAS. Sementara itu kekeringan melanda bagian hulu gugusan Gunung Sumbing Sindoro karena sumber mata air muncul pada elevasi 1000 meter diatas permukaan laut sedangkan kegiatan manusia telah melampaui wilayah tersebut yaitu mencapai puncak-puncak dari pegunungan. Lahan yang rentan terhadap bahaya longsor seluas 600 Ha yang tersebar di bagian barat dan timur sub DAS Progo Hulu. Faktor utama penyumbang kerusakan sub DAS Progo Hulu adalah aktivitas penduduk yang berkaitan dengan kegiatan pertanian. Bagian hulu sungai berupa lahan tegalan dengan tembakau sebagai tanaman utamanya. Tegal secara umum dibangun secara sederhana tanpa mengikuti kaidah-kaidah konservasi tanah dan air. Teras bangku yang baik dengan penguat berupa batu hanya dibangun oleh segelintir warga yang memiliki kemampuan. Karena yang dikembangkan adalah tanaman tembakau dan sayuran, teras dibangun memotong kontur atau miring ke depan agar air tidak menggenang yang bisa mengakibatkan tanaman menjadi busuk. Kondisi tersebut mengakibatkan tingginya kejadian erosi dimana 18. 995 Ha atau sekitar 33% dari luasan lahan merupakan daerah rentan erosi karena tingkat kelerengan lahannya lebih dari 15% (Paimin dkk, 2010).

Lebih lanjut salah satu penyebab kemerosotan DAS adalah terfragmentasinya pendekatan yang dilakukan organisasi-organisasi pemerintah dalam upaya mengurangi kerusakan DAS (Fernandez, 1993). Kurangnya bantuan teknis maupun kegiatan penyuluhan mengenai konservasi tanah dan air oleh pemerintah pusat maupun daerah telah mengakibatkan rendahnya tingkat kesadaran masyarakat petani di sub DAS Progo Hulu akan pentingnya menjaga kualitas lingkungan.

Page 114: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

85

B. Tujuan Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan pentingnya mengidentifikasi kondisi sosial ekonomi dan kelembagaan suatu wilayah sebagai dasar perencanaan pengelolaan daerah aliran sungai. Makalah ini juga menjelaskan bagaimana pengelolaan sub DAS Progo Hulu sebaiknya dilakukan untuk mengurangi resiko kerusakan lebih lanjut.

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Temanggung yang meliputi sebagian besar wilayah Sub DAS Progo Hulu. Penelitian dilakukan pada tahun 2010.

B. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner dengan daftar pertanyaan terstruktur dibuat untuk kepentingan survai maupun kuesioner terbuka yang berisi topik-topik yang akan ditanyakan untuk kepentingan wawancara mendalam. Selanjutnya digunakan data sekunder berupa dokumen yang dikeluarkan oleh instansi-instansi pengelola daerah aliran sungai untuk diolah dianalisa sebagai dasar perencanaan sub DAS Progo Hulu. C. Metode Penelitian dilakukan secara kualitatif. Untuk mendukung penelitian ini dilakukan langkah sebagai berikut: 1. Studi Pustaka

Kegiatan ini dilakukan untuk mendapatkan berbagai pengetahuan mengenai model-model pengelolaan daerah aliran sungai serta teknik-teknik mitigasi secara sosial ekonomi dan kelembagaan yang dilakukan untuk mencegah kerusakan DAS. Studi pustaka juga dilakukan untuk

Page 115: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

86

menemukan formula-formula baru bagi perbaikan DAS yang telah rusak.

2. Penghitungan kondisi kerentanan sosial ekonomi kelembagaan menggunakan metode Sidik Cepat Degradasi DAS.

3. Survey/Wawancara Survey dilakukan terhadap 180 orang petani untuk menghitung kerentanan sosial ekonomi dan kelembagaan sub DAS Progo Hulu. Selanjutnya wawancara mendalam dilakukan kepada instansi-instansi pemerintah pengelola DAS baik di pusat maupun daerah.

Analisis data dilakukan secara kualitatif baik terhadap hasil perhitungan yang dilakukan menggunakan metode Sidik Cepat Degradasi DAS maupun hasil wawancara dan studi pustaka.

III. HASIL PEMBAHASAN

A. Kondisi umum sub DAS Progo Hulu Sub DAS Progo Hulu meliputi empat kabupaten yaitu Kabupaten Temanggung yang mencapai 94,5%, sebagian kecil Kabupaten Magelang, Semarang dan Wonosobo. Sub DAS Progo Hulu terbagi menjadi beberapa sub-sub DAS yaitu Hulu Progo, Galeh, Kuas, Tingal, Mandang, Jambe, Gemilang, Sejengkol-Lembir, Jetis (Paimin dkk, 2010). Karakteristik sosial ekonomi kelembagaan sub DAS Progo Hulu yang dihitung menggunakan metode Sidik Cepat Degradasi DAS terlihat pada tabel 1.

Page 116: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

87

Table 1. Karakteristik Sosial Ekonomi Kelembagaan Sub DAS Progo Hulu berdasar Sidik Cepat Degradasi DAS

KKrriitteerriiaa CCrriitteerriiaa

PPaarraammeetteerr PPaarraammeetteerr

BBeessaarraann VVaalluuee

KKaatteeggoorrii CCaatteeggoorryy

SSkkoorr SSccoorree

SSoossiiaall KKeeppaaddaattaann ppeenndduudduukk:: -- GGeeooggrraaffiiss

882233 jjiiwwaa//KKmm22

TTiinnggggii

55

-- AAggrraarriiss 55 oorraanngg//hhaa RReennddaahh 11 BBuuddaayyaa:: PPeerriillaakkuu//ttiinnggkkaahh llaakkuu kkoonnsseerrvvaassii

KKoonnsseerrvvaassii tteellaahh mmeelleemmbbaaggaa ddllmm mmaassyyaarraakkaatt**

RReennddaahh 11

BBuuddaayyaa:: HHuukkuumm aaddaatt TTiiddaakk aaddaa hhuukkuummaann TTiinnggggii 55 EEkkoonnoommii KKeetteerrggaannttuunnggaann

tteerrhhaaddaapp llaahhaann 3311%% RReennddaahh 11

TTiinnggkkaatt ppeennddaappaattaann RRpp.. 55..115544..665555 //kkaappiittaa//tthh ((ggaarriiss kkeemmiisskkiinnaann RRpp..11..227755..550044)) �� 44>>SSKK

RReennddaahh

11

KKeeggiiaattaann ddaassaarr wwiillaayyaahh LLQQ == 11 ((6611%%)) ** SSeeddaanngg 33 KKeelleemmbbaaggaaaann

KKeebbeerrddaayyaaaann kkeelleemmbbaaggaaaann kkoonnsseerrvvaassii

AAddaa bbeerrppeerraann** RReennddaahh 11

KKeebbeerrddaayyaaaann lleemmbbaaggaa ffoorrmmaall ppaaddaa kkoonnsseerrvvaassii

TTiiddaakk bbeerrppeerraann TTiinnggggii 55

Sumber: data primer 2010 Keterangan: *Konservasi dikatakan melembaga karena ada dukungan agroforestry pada daerah tengah dan hilir sub DAS. LQ (Location Quotient) /kegiatan dasar wilayah (Jumlah angkatan kerja yang bekerja disektor pertanian/total angkatan kerja) = (50%-75%=1). BPS Prov Jateng 2006: Standar kemiskinan Kab Temanggung Rp. 1.275.504 perkapita/tahun

Berdasarkan Tabel 1, parameter geografis menunjukkan bahwa Kabupaten Temanggung dikategorikan memiliki kepadatan penduduk yang tinggi, namun secara agraris adalah rendah. Kondisi ini dipengaruhi beberapa faktor seperti berkembangnya sektor industri dan perdagangan yang menyerap banyak tenaga kerja mencapai 81. 914 jiwa pada tahun 2008 (BPS, 2009) Hal ini senada dengan pendapat dari model perdagangan yang dikembangkan faham neoklasik, yang menyatakan bahwa perkembangan industri akan menimbulkan kompetisi terutama kepada sektor pertanian khususnya hal yang berkaitan dengan dukungan tenaga kerja terhadap sektor pertanian tersebut. Industri yang berkembang di Kabupaten Temanggung dan menyerap banyak tenaga kerja meliputi industri pengolahan tembakau, industri anyaman keranjang tembakau, industri makanan, industri kimia bahan bangunan, serta industri pengolahan kayu.

Page 117: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

88

Pada prinsipnya konservasi sudah umum dilakukan petani, namun tingkatannya sangat bervariasi. Tanah, meskipun tidak sempurna telah diteras, petani juga mengerti fungsi teras serta mengapa harus dilakukan penerasan. Keterbatasan ekonomi dan sumber daya alam yang tersedia menghambat sebagian petani melakukan konservasi secara baik. Misalnya pada daerah tembakau dan sayur, teras dibangun tidak sesuai kontur karena jenis tanaman tersebut menuntut petani melakukannya untuk menghindari pembusukan tanaman. Secara umum aturan-aturan yang mengatur kegiatan konservasi tidak ada dalam masyarakat pada saat ini seperti misalnya kewajiban menanam pohon setelah melakukan penebangan. Meskipun sebelumnya aturan-aturan tersebut pernah ada pada saat dimulainya proyek penghijauan namun tidak lagi tumbuh dan membudaya di masyarakat. Aturan yang mewajibkan kegiatan konservasi tidak berkembang sehingga tingkat kerawanan DAS menjadi lebih tinggi karena tidak ada lagi hukuman atau disinsentif bagi para pelanggar. Kriteria ekonomi tabel 1 di atas menunjukkan bahwa ketergantungan penduduk terhadap lahan diwilayah penelitian adalah sedang. Tingkat ketergantungan penduduk terhadap lahan seperti ini dipengaruhi oleh faktor terfragmentasinya tenaga kerja pada sektor-sektor yang lain meskipun sektor pertanian tetap dominan pada beberapa wilayah, sehingga proporsi pendapatan dari lahan terhadap perekonomian keluarga tidak selalu dominan terutama di daerah seperti Kecamatan Pringsurat dan Kranggan yang memiliki industri yang kuat serta Kecamatan Temanggung yang didominasi oleh jasa dan perdagangan. Sebaliknya pada wilayah-wilayah yang sangat cocok ditanami tanaman tembakau seperti di Kecamatan Bulu ketergantungan terhadap lahan menjadi sangat tinggi karena hampir seluruh pendapatan keluarga berasal dari hasil pertanian terutama tembakau. Rata-rata tingkat pendapatan penduduk berada diatas garis kemiskinan Kabupaten Temanggung. Dukungan utama terhadap pendapatan keluarga masih berasal dari sektor pertanian sebesar 31% terutama dukungan dari hasil tanaman tembakau dan

Page 118: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

89

tanaman sayur, industri mencapai 19% serta perdagangan 17%. Kegiatan dasar wilayah (LQ) masih dipengaruhi sektor pertanian, hal ini karena jumlah tenaga kerja yang bergerak disektor pertanian masih mencapai 61% dari total angkatan kerja di Kabupaten Temanggung. Kriteria kelembagaan menampilkan dua fakta yang sangat berlainan. Berdasarkan hasil survai dan wawancara dengan masyarakat dan perangkat desa, lembaga-lembaga informal yang erat kaitannya dengan kegiatan konservasi seperti kelompok tani masih berperan. Namun kegiatannya hanya terfokus pada kegiatan pertanian seperti penyediaan saprodi, penyuluhan, perencanaan penanaman dan sebagainya dengan pertemuan yang diadakan secara rutin. Meskipun pada beberapa kelompok tani pertemuan tidak dilakukan secara rutin dan hanya dilakukan jika ada bantuan dari pemerintah dan kegiatan berupa arisan dan yasinan. Kelembagaan formal desa tidak memiliki peran signifikan pada konservasi. Tidak ada aturan yang dibuat untuk mewujudkan komitmen pada perbaikan lingkungan melalui konservasi. Lembaga desa hanya berfungsi sebagai pengatur manakala ada bantuan penghijauan namun tidak secara aktif menggalang bantuan penghijauan. Lembaga desa juga tidak memiliki perangkat yang secara khusus mengatur kegiatan pertanian. B. Institutional bottleneck (hambatan kelembagaan)

penghambat pengembangan DAS yang sehat Banyaknya organisasi pemerintah yang memiliki wewenang mengelola sub DAS Progo Hulu menjadi salah satu kendala, karena berbagai kepentingan muncul disini. Letak sub DAS Progo Hulu yang secara administrasi berada di empat kabupaten menjadi salah satu penghambat pengelolaan sub DAS Progo Hulu meskipun kabupaten Temanggung merupakan kabupaten dominan di wilayah ini. Masing-masing wilayah kabupaten melalui prinsip otonomi daerah membuat Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sendiri-sendiri sesuai kepentingan daerah yang tidak selalu sejalan terutama untuk kepentingan pengelolaan sub DAS Progo Hulu.

Page 119: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

90

Selanjutnya berdasarkan PP. 72 tahun 2010 kawasan hutan negara di daerah tangkapan ini dikelola oleh Perum Perhutani. Hal ini mengakibatkan tidak ada sinkronisasi program antara pemerintah daerah dan Perhutani. Situasi ini menjadi bermasalah manakala masyarakat sekitar hutan masuk merambah kawasan hutan. Secara administratif pengelolaan masyarakat menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, namun pemerintah daerah tidak bertanggung jawab pada kerusakan hutan negara karena wilayah hutan negara tidak menjadi bagian pengelolaan pemerintah daerah. Selain kedua institusi diatas, pemerintah pusat melalui Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) dibawah Kementrian Kehutanan juga memiliki wewenang pada pengelolaan daerah aliran sungai. Sub DAS Progo Hulu menjadi wewenang BPDAS Serayu Opak Progo pada perencanaan pengelolaannya, namun sejak diterapkanya otonomi daerah lembaga ini tidak lagi memiliki wewenang mengatur bagaimana suatu daerah aliran sungai seharusnya dimanfaatkan karena segala keputusan mengenai pemanfaatan DAS dan sumber daya yang ada didalamnya menjadi hak serta wewenang pemerintah daerah. Rendahnya tingkat kerjasama koordinasi ketiga institusi diatas dipengaruhi beberapa faktor seperti: Belum adanya share vision dan goals yang jelas dari masing-

masing organisasi, karena masih memiliki kepentingan pribadi.

Tidak ada distribusi pekerjaan mengenai siapa melakukan apa.

Kurangnya expertise pada setiap sub tugas, misalnya pada kegiatan konservasi.

Selanjutnya belum adanya kesadaran bahwa organisasi secara individu tidak mungkin mampu melakukan tugas yang semakin banyak dengan permasalahan yang semakin kompleks sebagaimana dikemukakan Alter dan Hage, 1993; Hudson, 1999.

Rendahnya kerjasama antar organisasi ini juga dipengaruhi oleh apa yang dikemukakan Sheng (1986) sebagai inter-institutional

Page 120: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

91

rivalry. Pada wilayah sub DAS Progo Hulu rivalitas bukan terjadi antar instansi pemerintah, namun muncul antara instansi pemerintah pusat dan masyarakat (yang diwakili oleh lembaga kemasyarakatan yang ada di desa). Keadaan ini muncul karena keduanya memiliki perbedaan kepentingan. Disatu sisi pemerintah pusat melalui lembaga pengelola DAS memiliki tugas menghutankan kembali daerah-daerah yang pada prinsipnya berfungsi sebagai daerah penyangga ekosistem. Disisi lain masyarakat tidak bersedia menghutankan lahannya karena pola tanam dengan tanaman tembakau memberikan keuntungan ekonomi yang sangat besar. Akibatnya resistensi muncul terhadap ide-ide penghijauan. Keinginan masyarakat sedikit banyak mendapat dukungan dari pemerintah setempat karena penerimaan daerah dari usaha tani tembakau cukup tinggi. Karena tidak mendapat dukungan penuh maka gerakan penghijauan menjadi kurang berkembang di sub DAS Progo Hulu. Penghambat selanjutnya bagi pengelolaan sub DAS Progo Hulu adalah perbedaan persepsi mengenai wilayah yang yang harus dilindungi antara pemerintah pusat dan daerah. Peta daerah lindung misalnya tidak dibuat berdasar acuan dari pemeritah pusat, namun dibuat sendiri oleh pemerintah daerah yang tidak memiliki keahlian pada bidang ini. Akibatnya terjadi perbedaan luas daerah yang dikategorikan sebagai wilayah lindung antara kedua organisasi. Disadari pengelolaan daerah aliran sungai memang merupakan suatu upaya yang sangat sulit dilakukan karena melibatkan berbagai kepentingan. Kesulitan ini menurut Fernandez (1993) dikarenakan tidak adanya solusi yang tepat untuk memecahkan masalah yang ada, atau karena kebijakan pemerintah yang tidak konsisten, tidak tegas dan seringkali bertentangan satu sama lain. Kesulitan lain adalah belum adanya kebijakan pemberian insentif yang jelas yang bisa menarik partisipasi aktif masyarakat secara terus menerus serta belum adanya bukti yang benar-benar bisa meyakinkan bahwa metode pengelolaan DAS yang ditawarkan benar-benar bisa menciptaan DAS yang sehat, terutama keuntungan yang bisa diukur. Satu hal lagi yang menghambat pengelolaan DAS pada aspek institusi adalah kurangnya kegiatan monitoring dan evaluasi sehingga tidak ada koreksi bagi

Page 121: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

92

kesalahan maupun ketidakefektifan proyek. Hal ini menimbulkan kesalahan yang sama akan terulang kembali pada kegiatan atau proyek-proyek selanjutnya. C. Bagaimana menggunakan informasi kondisi sosial

ekonomi kelembagaan untuk mengelola sub DAS Progo Hulu

Pengelolaan DAS yang efektif mensyaratkan kegiatan pemberian perhatian pada dampak lingkungan akibat aktivitas manusia. Memahami permasalahan sosial memberikan informasi yang sangat berharga mengenai bagaimana strategi pengelolaan harus dikembangkan karena permasalahan DAS terakumulasi selama bertahun-tahun dan memerlukan waktu yang lama pula untuk memperbaikinya. Oleh karena itu menegaskan adanya perubahan kesadaran, perilaku, dan adopsi adalah salah satu cara melihat keberhasilan pengelolaan DAS (Genskow dan Prokopy, 2010). Informasi sosial diperoleh dengan mencari indikator-indikator sosial dalam masyarakat. Genskow dan Prokopy (2010) menyarankan agar para pengelola DAS memperhatikan indicator kesadaran (awareness), sikap (attitudes), kendala (constraints), kemampuan (capacity), tingkah laku (behaviors), kecakapan (skills), pengetahuan (knowledge), nilai (values), keyakinan (beliefs) baik dari individu, rumah tangga, organisasi, maupun kelompok masyarakat, untuk mengetahui apakah suatu proyek perbaikan DAS telah berjalan memenuhi target yang diharapkan. Selanjutnya perbaikan DAS dilakukan melalui serangkaian tahapan berikut yang diadaptasi dari Brown dkk. (2000); (1) mengidentifikasi sumber atau penyebab polutan seperti sedimen, pencemaran pupuk dsb., (2) mengidentifikasi daerah mana dari DAS yang menjadi sumber polutan dan harus ditangani, (3) mengidentifikasi stakeholder yang terkait dengan masalah ini, (4) mengidentifikasi kondisi sosial (ekonomi dan kelembagaan) masyarakat setempat (5) menetapkan tujuan (goals) dari kegiatan, (6) menetapkan land management practice apa yang harus dikerjakan pemilik lahan untuk mengontrol sumber atau penyebab polusi. Pada pengelolaan DAS, penetapan goals sangat penting dilakukan, sebab hal ini akan menentukan strategi apa yang harus dibuat.

Page 122: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

93

Beberapa alternatif proses perencanaan sub DAS Progo Hulu bisa dilakukan berdasarkan kondisi sosial ekonomi dan kelembagaan yang ada: 1. Create a watershed council (Dewan) (Lefkowitz, 2004)

Watershed council merupakan suatu kelompok orang yang akan memimpin masyarakat melaksanakan pengelolaan DAS. Watershed council bukan semacam forum DAS, namun benar-benar suatu organisasi yang bekerja mengelola DAS tertentu. Kelompok inilah yang nantinya akan bekerja dengan para pemimpin masyarakat untuk mendidik masyarakat demi kepentingan pengelolaan DAS yang pada akhirnya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat jangka panjang. Kewenangan council atau dewan ini cukup luas dalam upaya pengelolaan DAS namun tidak bisa mengambil keputusan sendiri, harus atas persetujuan seluruh stakeholder.

2. Collaborative based planning

Perencanaan dilakukan dengan melibatkan seluruh stakeholder yang terkait baik itu instansi pemerintah, petani maupun LSM. Melalui kolaborasi perencanaan, masing-masing pihak saling memberi informasi dan pengetahuaan serta mengedepankan dialog dalam mencari penyelesaian masalah. Pada metode ini Bentrup (2001) menegaskan bahwa konsensus adalah cara yang digunakan untuk mengambil keputusaan bukan voting oleh karena itu tidak boleh ada yang merasa dirugikan dari seluruh proses. Selanjutnya pertemuan dilakukan secara informal, stakeholder terlibat dari awal sampai akhir proses pengelolaan DAS.

3. Develop community based planning (Iowa DNR Watershed

Improvement, 2009) Keterlibatan masyarakat merupakan komponen kunci pada perencanaan pengelolaan DAS karena akan menjamin keberhasilan jangka panjang. Perencanaan yang dilakukan oleh masyarakat sendiri diyakini bisa membangkitkan masyarakat lain untuk turut bertindak bagi kesehatan DAS (Iowa DNR Watershed Improvement, 2009). Mempertimbangkan masih aktifnya beberapa kelompok tani di

Page 123: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

94

Kabupaten Temanggung meskipun kegiatan utamanya terfokus pada kegiatan pertanian, kelompok tani bisa dimanfaatkan sebagai sarana memformulasikan kegiatan untuk perbaikan DAS.

Wilayah sub DAS Progo Hulu merupakan wilayah yang cukup luas, oleh karena itu pengelolaannya harus dilakukan per sub-sub DAS (one river one management). Lebih lanjut karena pada prinsipnya pengelolaan DAS seperti yang ditawarkan ini berbasis pada masyarakat maka intervensi dari pemerintah harus dihindari karena terbukti tidak menjamin kesuksesan jangka panjang. Pengalaman menunjukkan bahwa hasil intervensi terlihat manakala proyek masih berlangsung, namun tidak akan dipelihara masyarakat ketika proyek berhenti. Namun demikian karena kondisi masyarakat yang belum sepenuhnya memiliki kemandirian terutama pada pendanaan, tidak bisa dipungkiri untuk mewujudkan DAS yang baik akan menuntut masyarakat merubah pola kehidupannya yang menuntut dikeluarkannya biaya untuk tujuan tertentu, sehingga insentif masih bisa diberikan. D. Strategi menyiapkan trade-off yang bisa ditawarkan pada

masyarakat Wilayah sub DAS Progo Hulu meliputi sebagian besar Kabupaten Temanggung, maka pada tataran ini hanya akan dibahas pengelolaan DAS pada cakupan kabupaten. Sebagaimana dikemukakan di atas permasalahan yang berkembang di sub DAS Progo Hulu adalah; (1) rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya melakukan penghijauan terutama pada daerah lindung kawasan hulu sungai, (2) attitudes, berkaitan dengan cara bertani tembakau dan sayur, (3) capacity, lemahnya dukungan kelembagaan masyarakat di desa pada kegiatan konservasi. Mengidentifikasi kondisi seperti ini, maka perlu didesain strategi perbaikan kondisi DAS yang paling tepat untuk diterapkan didaerah ini.

Page 124: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

95

Strategi yang bisa dilakukan dengan kondisi masyarakat seperti ini antara lain: Penyuluhan/Kampanye

Sangat penting untuk memilih spesifik audience pada setiap kegiatan penyuluhan/kampanye karena hal ini akan menentukan keberhasilan proyek (Environmental Protection Agency, 2003). Oleh karena itu target group adalah orang-orang yang melakukan pengelolaan lahan untuk kegiatan pertanian.

Pendampingan Dilakukan terhadap upaya perbaikan pada pengelolaan DAS. Untuk itu watershed council harus mempersiapkan para ahli yang akan mendukung kegiatan ini misalnya mereka yang ahli dibidang konservasi, tanah, kesesuaian lahan dan sebaginya

Identifikasi kendala adopsi Dalam upaya pengelolaan DAS beberapa teknologi konservasi harus diterapkan para petani, oleh karena itu perlu dilakukan identifikasi masalah apa saja yang menjadi kendala adopsi teknologi. Kemudian dilakukan dialog agar dicapai kesepakatan bagaimana mengatasi kendala tersebut. Perlu diperhatikan bahwa prinsip win-win solution harus benar-benar diterapkan agar collective action dalam pengelolaan DAS benar-benar terwujud.

Insentif apa yang bisa ditawarkan Pada beberapa kasus insentif bisa diberikan untuk memotivasi masyarakat melakukan pengelolaan lahannya secara bijak. Namun perlu pula dibuat kesepakatan disinsentif apa yang akan diterima pemilik lahan apabila tidak melaksanakan pengelolaan lahan seperti yang dianjurkan.

Kondisi kelembagaan pertanian masih hidup namun kurang berperan pada kegiatan konservasi di Progo Hulu. Mempertimbangkan hal tersebut maka kelompok tani bisa digunakan sebagai alat untuk menggerakkan masyarakat petani melakukan upaya-upaya bijaksana guna menjaga kualitas lingkungan. Melalui kelompok tani ini diharapkan collective action bisa tercipta, karena menurut Shiferaw dkk (2008) dua komponen dari collective action yaitu enabling institutions dan participation and organizational performance diperlukan demi kesuksesan pengelolaan DAS. Melalui komponen enabling institutions,

Page 125: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

96

kelompok tani dimanfaatkan untuk membangun aturan main dan regulasi bagi pengelolaan asset bersama seperti check-dam, agroforestry maupun berbagai praktek konservasi air dan tanah yang dilakukan. Selanjutnya kelompok tani diajari membuat mekanisme resolusi konflik, norma yang dikembangkan serta sharing biaya manfaat dari kegiatan. Sedangkan melalui komponen participation and organizational performance, kelompok tani dirancang untuk mampu melakukan mekanisme koordinasi pada tingkatan lokal dan melaksanakan kegiatan pengelolaan lahan untuk menciptakan DAS yang sehat. Namun demikian perlu disadari bahwa konsep pengelolaan DAS yang ditawarkan pada makalah ini bukan merupakan blueprint yang bisa diterapkan secara umum, karena tiap-tiap daerah memiliki karakteristik permasalahan yang sangat spesifik. Untuk itu strategi perencanaan pengelolaan DAS harus disesuaikan dengan kondisi fisik, sosial, ekonomi dan kelembagaan setempat.

IV. KESIMPULAN

1. Pengelolaan DAS perlu mempertimbangkan aspek-aspek sosial, ekonomi dan kelembagaan setempat karena akan menyediakan kerangka kerja bagi pengelola terutama pada proses perencanaan. Pengetahuan mengenai kondisi sosial, ekonomi dan kelembagaan akan menyediakan dasar bagi pengukuran keberhasilan pengelolaan DAS. Metode dan strategi yang digunakan pada proses perencanaan DAS yang didesain sesuai kondisi sosial, ekonomi dan kelembagaan setempat akan menjamin keberhasilan pengelolaan DAS.

2. Organisasi pemerintah pengelola sub DAS Progo Hulu belum mampu melakukan kerjasama pengelolaan DAS karena masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda.

3. Berdasar kondisi kerentanan Sub DAS Progo Hulu maka strategi perbaikan DAS dilakukan dengan membuat watershed council, menyertakan seluruh stakeholder pada proses pengelolaan, dan memanfaatkan kelompok tani sebagai salah satu lembaga yang bisa dimanfaatkan sebagai motor untuk memperbaiki kondisi sub DAS Progo Hulu.

Page 126: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

97

4. Strategi yang bisa dipersiapkan untuk memberikan kompensasi bagi masyarakat antara lain penyuluhan, pendampingan, identifikasi kendala adopsi serta pemberian insentif.

DAFTAR PUSTAKA Alter, C dan J. Hage. 1993. Organizations Working Together. Sage

Publication. California. Bentrup, G. 2001. Evaluation of a Collaborative Model: A Case

Study Analysis of Watershed Planning in the Intermountain West. Environmental Management. Vol. 27, No. 5, pp. 739-748.

Badan Pusat Statistik. 2009. Temanggung dalam Angka 2009.

BPS Kabupaten Temanggung. Badan Pusat Statistik. 2006. Jawa Tengah Dalam Angka.

Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota. BPS Provinsi Jawa Tengah. http://jateng.bps.go.id.

Brown, E, A. Peterson, R.K. Robach, K. Smith, L. Wolfson. 2000.

Developing a Watershed Management Plan for Water Quality: An Introductory Guide. Michigan Departement of Environmental Quality Surface Water Quality Division Nonpoint Source Program and Michigan State University Institute of Water Research.

Departemen Kehutanan. 2009. Keputusan Menteri Kehutanan

Republik Indonesia Nomor: SK. 328/Menhut-II/2009 Tentang Penetapan Daerah Aliran Sungai (DAS) Prioritas Dalam Rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2010-2014.

Environmental Protection Agency. 2003. Getting in Step, A Guide

for Conducting Watershed Outreach Campaigns. www.epa.gov/nps. Diakses: 28 Oktober 2010.

Page 127: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

98

Eren, T. 1977. The Integration Watershed Approach for Development Project Formulation. Guidelines for Watershed Management. FAO Conservation Guide No. 1. Rome.

Fernandez, E. 1993. Strategies for Strengthening Watershed

Management in Tropical Mountain Areas. Kumpulan naskah pada: Watershed Management, Torrent and Avalanche Control, Land Rehabilitation and Erosion Control. www.fao.org/forestry/docrep/wfcxi/PUBLI/PDF/V2E_T9.PDF. Diakses: 19 April 2011.

Genskow, K dan L. Prokopy (eds). 2010. The Social Indicator

Planning and Evaluation System (SIPES) for Nonpoint Source Management. A Handbook for Projects in USEPA Region 5. Version 2.1. Great Lakes Regional Water Program. Publication Number: GLRWP-10-SI02 (76 pages).

Hudson, B, B. Hardy, M. Henwood dan G. Wistow. 1999. In Pursuit

of Inter-Agency Collaboration in the Public Sector. Public Management Review. Vol. 1, No. 2, pp. 235-260.

Hufschmidt, M.M. 1986. A Conceptual Framework for Analysis of

Watershed Management Activities, Strategies, Approaches and Systems in Integrated Watershed Management. Conservation Guide 14. Roma.

Iowa DNR Watershed Improvement. 2009. Watershed

Management Action Plan. Department of Natural Resources. Guide Book. Draft Version 1.0.

Lefkowitz, D. 2004. Managing a Watershed – A Resource Guide

for Community Planners. Green Empowerment. 140 SW Yamhill St, Portland. www.greenempowerment.org.

Paimin, N. Haryanti P.B. Putra. 2010. Kajian Sistem Perencanaan

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Hulu – Integrasi Fungsi Hutan dalam Daerah Tangkapan Air. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Solo.

Page 128: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

99

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2010 tentang Perusahaan Umum (PERUM) Kehutanan Negara.

Shiferaw, B., T. Kebede., V.R. Reddy. 2008. Community

Watershed Management in Semi-Arid India, The State of Collective Action and Its Effects on natural Resources and Rural Livelihoods. Collective Action and Property Right (CAPRI) Working Papper No. 85. June 2008. CGIAR.

Sheng, T.C. 1986. Watershed Management Planning: Strategies,

Approaches and Systems in Integrated Watershed Management. FAO Conservation Guide 14. Rome.

Page 129: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

100

KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI MIKRO (DAS MIKRO) WONOSARI,

KABUPATEN TEMANGGUNG1

Oleh: Purwanto2

Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Jl. A. Yani PO Box 295 Pabelan. Telepon/Fax.: (+62 271) 716709/716959

Email: [email protected] 2Email : [email protected]

ABSTRAK Salah satu permasalahan dalam pengelolaan Mikro DAS adalah penataan kelembagaannya. Permasalahan tersebut dimulai dari kategorisasi sifat dasar sumberdaya alam di dalam DAS berdasarkan perspektif kelembagaan. Konsekuensinya adalah konflik kepentingan diantara individu dalam transaksi pertukaran sumberdaya. Tujuan tulisan ini adalah mengkaji kelembagaan pengelolaan Mikro DAS Wonosari, Kabupaten Temanggung. Metode deskriptif research diterapkan dalam kajian ini. Kajian ini meliputi: 1). desk analysis tentang penggunaan lahan kemudian dilakukan ground check dan analisis sifat dasar SDA dalam Mikro DAS berdasarkan perspektif kelembagaan, 2). pengumpulan informasi tentang organisasi baik formal-maupun informal dalam pengelolaan Mikro DAS Wonosasri, 3). desk analisis tentang peraturan yang terkait dengan Perundang-undangan Pengelolaan DAS, 4).wawancara dan Focus group discussion tentang implementasi pengelolaan DAS dan kebiasaan petani mengelola lahan dalam Mikro DAS Wonosari, dan 5). analisis sifat kognitif masyarakat dalam mengelola SDA Mikro DAS Wonosari. Hasil kajian menunjukkan bahwa hampir seluruh sumberdaya alam di Mikro DAS Wonosari merupakan barang privat kecuali kawasan hutan lindung bagian hulu, di kaki Gunung Sumbing yang dikelola Perum Perhutani. Organisasi yang terkait dengan pengelolaan Mikro DAS Wonosari yakni: Bappeda Kabupaten Temanggung, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Serayu Opak Progo Yogyakarta, Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Temanggung, Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Temanggung, Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Temanggung, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Temanggung, Kecamatan Bulu, 17 Desa di dalam Mikro DAS

1 Makalah ini disampaikan pada Semiloka “Riset Pengelolaan DAS Menuju

Kebutuhan Terkini” Surakarta, 27-28 Juni 2011. Kerjasama Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi dengan Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

Page 130: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

101

Wonosari, Gabungan Kelompok Tani, Lembaga Keuangan Mikro, Masyarakat Peduli Tembakau Kabupaten Temanggung, Lembaga Swasta (Pengelola Gudang Tembakau PT. Jarum dan PT. Fertila), dan Koramil. Hubungan antar lembaga, untuk organisasi pemerintah masih bersifat keproyekan sedangkan untuk lembaga non pemerintah lebih dididominasi oleh hubungan dagang antara petani (produsen tembakau), pedagang lokal (distributor) dan pabrik tembakau (konsumen antara). Dalam unsur kognitif, sebagian besar masyarakat adalah petani tembakau sehingga kegiatan konservasi tanah dan air sebagai ujung tombak pengelolaan DAS akan dilakukan sepanjang tidak merugikan usaha pokok tersebut. Kelembagaan ke depan, sebaiknya perencanaan disusun oleh BPDAS Serayu Opak Progo dan Bappeda kabupaten Temanggung atas masukan potensi dan permasalahan dari seluruh stakeholders, implementasinya dikoordinir oleh Camat Bulu yang memiliki bagian Mikro DAS yang dominan, untuk koordinasi tingkat kecamatan dan dikoordinir oleh kepala desa untuk implementasi di lapangan dengan mempertimbangkan partisipasi masyarakat. Monitoring dan evaluasi lahan dilakukan oleh Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Temanggung dan BPDAS Serayu Opak Progo, monitoring hidrologi dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Temanggung dan BPDAS Serayu Opak Progo. Kata kunci: Pengelolaan DAS, mikro DAS, kelembagaan I. PENDAHULUAN Pengelolaan Mikro Daerah Aliran Sungai (Mikro DAS) merupakan pengelolaan DAS pada luasan + 1.000 ha. Pembatasan luas tersebut agar, secara manajemen, dapat direncanakan, diaplikasikan dan dimonitoring serta dievaluasi baik biofisik, sosial, ekonomi, dan kelembagaannya. Pengelolaan Mikro DAS merupakan derivat dari pengelolaan Sub-sub DAS, Sub DAS dan DAS (Peraturan Dirjen RLPS No. P.15/V-SET/2009). Pengelolaan Mikro DAS ini diharapkan dapat menjadi contoh (demonstration plot) sehingga masyarakat dapat meniru pengeloloaannya di mikro DAS lainnya. Pengelolaan mikro DAS dimulai dari analisis potensi dan kerentanan baik biofisik, sosial, ekonomi, dan kelembagaan masyarakat yang terkait. Berdasarkan analisis potensi dan kerentanan tersebut disusunlah rencana pengelolaan suatu mikro DAS. Rencana pengelolaan DAS juga harus memasukkan aspek

Page 131: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

102

kelembagaan. Menurut Kartodihardjo (2007) dalam kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan dan (GERHAN) yang merupakan bagian dari pengelolaan DAS. Terwujudnya kesatuan, ketepatan lokasi, dan manfaat jangka panjang tergantung pada aspek kelembagaan yang justru dalam perencanaan pembangunan sering diabaikan. Lebih lanjut Kartodihardjo (2007) menyatakan bahwa kelembagaan tidak pernah diangkat sebagai variabel yang selama ini menjadi penyebab berbagai kegagalan program pembangunan. Banyak pihak yang berkepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya alam di dalam Mikro DAS yang relatif sangat terbatas sehingga sering terjadi konflik dalam pemanfaatannya. Bahkan terkadang terdapat free rider (penumpang gelap) yang tidak memiliki hak memenafaatkan SDA tetapi turut serta mengesploitasinya. Untuk mengatasi persalahan tersebut Ostrom (1990) menyarankan agar sumberdaya alam dikelompokkan menjadi barang publik, common pool resources, atau barang privat sehingga. Berdasarkan kategori tersebut, para pihak seharusnya mengelola sumberdaya alam di dalam DAS sesuai dengan kategorinya dan aturan yang berlaku. Untuk itu kajian kelembagaan pengelolaan sumberdaya alam di dalam suatu mikro DAS penting untuk dilakukan. Beberapa kajian tentang kelembagaan pengelolaan DAS antara lain: Rahman (2007) dan Prahasto (2007), keduanya menyajikan hasil kajian tentang pengelolaan DAS dalam skala luas bukan Mikro DAS. Kajian lain lebih cenderung ke arah kelembagaan pengelolaan suatu sumberdaya alam tertentu, misalnya Purwanto (2007) menyampaikan penadapatnya tentang kelembagaan pengelolaan air dari hutan, Purwanto (2008), menyampaikan hasil kajian kelembagaan pengelolaan air dari hutan lindung, Indrawati (2008) dan Irawan (2010), keduanya menyampaikan hasil kajian kelembagaan pengelolaan pengelolaan hutan bersama masyarakat. Untuk itu, hasil kajian pengelolaan DAS pada skala mikro masih pantas untuk disampaikan. Tulisan ini merupakan hasil analisis kelembagaan yang terkait dengan pengelolaan Mikro DAS Wonosari, Sub-sub DAS Kuas, Kabupaten Temanggung. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji

Page 132: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

103

kelembagaan pengelolaan Mikro DAS Wonosari. Untuk mencapai tujuan tersebut disusun pertanyaan utama penelitian, yakni bagaimana kelembagaan pengelolaan Mikro DAS Wonosari yang dituangkan dalam detail pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Apa sifat dasar sumberdaya Mikro DAS dari perspektif kelembagaan?, 2. Siapa pengelola sumberdaya alam di dalam Mikro DAS?, 3. Apa aturan-aturan yang digunakan dalam pengelolaan sumberdaya Mikro DAS?, dan 4. Bagaimana sifat kognitif masyarakat dalam mengelola sumberdaya Mikro DAS?

II. KIBLAT TEORITIS

A. Sifat Dasar Sumberdaya Mikro DAS

Pemahaman tentang sifat dasar sumberdaya alam dalam mikro DAS sangat penting untuk pengelolaannya. Ostrom (2008) dalam Irawan (2010) membagi sumberdaya alam, berdasarkan substraktabilitas (s), yakni ketersediaan sumberdaya akan berkurang jika ada seseorang memanfaatkan sumberdaya tersebut dan ekskludabilitas (e) yakni upaya pencegahan pihak-pihak yang tidak berkontribusi dalam memenfaatkan sumberdaya alam. Berdasarkan substrakbilitas dan ekskludabilitas tersebut Ostrom membagi sumberdaya alam (SDA) menjadi 4 yakni: barang publik murni (pure public goods, s = rendah, e = rendah), barang milik umum (common-pool resources, s = tinggi, e = rendah), barang iuran (club or toll goods, s = rendah, e = tinggi), dan barang privat (private goods, s = tinggi, s = tinggi). Lebih lanjut Ostrom (2008) dalam Irawan (2010) menyatakan bahwa DAS merupakan barang milik umum (common pool resources). Pendapat ini berbeda dengan pendapat Kula (2000) yang menyatakan bahwa bagian dari DAS hanya sungailah yang merupakan barang milik umum. Untuk Indonesia, sifat dasar SDA dalam suatu DAS dapat dilihat dari penggunaan lahannya dan pemberiaan hak baik milik maupun pengelolaan berdasarkan perundangan yang berlaku.

B. Kelembagaan Pengelola Mikro DAS

Weber (Johnson, 1986) menyatakan perilaku sosial seseorang berhubungan dengan situasi institusionalnya atau situasi

Page 133: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

104

kelembagaannya. Menurut North (1987) dalam Marut (2000) kelembagaan atau institusi adalah aturan main dari suatu masyarakat, negara, organisasi atau batasan-batasan yang diciptakan manusia untuk menstrukturkan interaksi antar manusia. Sedangkan organisasi atau lembaga adalah pemain atau pelaku baik secara kelompok maupun individu yang terkait oleh keinginan bersama untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Institusi sosial merupakan tali pengikat yang mengikat individu-individu dengan organisasi, yang mengatur di dalam organisasi atau antar organisasi (Marut 2000). Pakpahan (1990) dan Kartodiharjo (1998) menyatakan bahwa kelembagaan adalah suatu sistem yang kompleks, rumit, abstrak, mencakup ideologi, hukum, adat istiadat, aturan, kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan. Darmawan (1991) dalam Kartodiharjo (1998) mendefinisikan kelembagaan sebagai organisasi dan pranata yang di dalamnya meliputi infrastruktur pendukung seperti aturan-aturan, wewenang, mekanisme dan sistem pendanaan masing-masing lembaga. Sistem normatif meliputi nilai-nilai dan norma-norma. Nilai adalah konsepsi yang dipilih atau disukai bersama dengan pembentukan standar dimana struktur atau perilaku dapat dibandingkan dan dikaji. Norma lebih mengkhususkan bagaimana segala sesuatu dilakukan. Sistem normatif mendefinisikan tujuan atau sasaran serta cara mencapai tujuan tersebut. Peraturan normatif sering dianggap membatasi perilaku sosial, tetapi pada saat bersamaan juga memberi daya pendorong bagi tindakan sosial. Peraturan tersebut memberikan hak dan kewajiban, kewenangan, dan tugas serta lisensi dan mandat. Pilar regulatif menekankan bahwa lembaga membatasi dan mengatur perilaku anggotanya.

C. Pengelola Sumberdaya Mikro DAS Untuk mengetahui organisasi dan lembaga yang terkait dengan pengelolaan Mikro DAS, teori yang digunakan dalam penelitian ini yakni teori kelembagaan yang mendorong pembangunan yang terdiri dari lembaga masyarakat, pemerintah, swasta dan kelas menengah (midle class) yang terdiri dari pers, Lembaga Swadaya Masyarakat, pememerhati lingkungan, dll (Gambar 1) (Scott,

Page 134: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

105

1995). Dalam penelitian ini dipilih pisau analisis untuk membedah permasalahan penelitian, dirinci atas pengertian kelembagaan, masyarakat, pemerintah, swasta, dan kelas menengah serta hubungan diantara lembaga tersebut.

Gambar 1. Lembaga Yang Berpengaruh Terhadap Pembangunan

(Scott, 1995).

8

(a) (b)

Gambar 2. Peta Administrasi dan Penggunaan Lahan Mikro DAS Wonosari (Adminstration Map and Land Use of Wonosari River Basin)

A. Aturan Hukum Pendukung Pengelolaan DAS dan Terapannya

Belum ada payung hukum yang langsung mendasari pengelolaan DAS. Undang-undang yang mengamanahkan pengelolaan DAS antara lain: 1). UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 3

Masyarakat

Pemerintah Swasta

Kelas Menengah

(Midle Class): Pers,

LSM, dll).

Page 135: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

106

yang berbunyi: Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai. Undang-undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, Pasal 85 ayat (1) Pengelolaan sumber daya air mencakup kepentingan lintas sektoral dan lintas wilayah yang memerlukan keterpaduan tindak untuk menjaga kelangsungan fungsi dan manfaat air dan sumber air. Ayat (2) menyatakan pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui koordinasi dengan mengintegrasikan kepentingan berbagai sektor, wilayah, dan para pemilik kepentingan dalam bidang sumber daya air. Pasal 86 ayat (1) Koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (2) dilakukan oleh suatu wadah koordinasi yang bernama dewan sumber daya air atau dengan nama lain. Pasal 87 ayat (1) Koordinasi pada tingkat nasional dilakukan oleh Dewan Sumber Daya Air Ayat (2) menyatakan Dewan Suberdaya Air Nasional dibentuk oleh Pemerintah, dan pada tingkat provinsi dilakukan oleh wadah koordinasi dengan nama Dewan Sumber Daya Air Provinsi atau dengan nama lain yang dibentuk oleh pemerintah provinsi. Ayat (3) Untuk pelaksanaan koordinasi pada tingkat kabupaten/kota dapat dibentuk wadah koordinasi dengan nama Dewan Sumber Daya Air Kabupaten/Kota atau dengan nama lain oleh pemerintah kabupaten/kota. Ayat (4) Wadah koordinasi pada wilayah sungai dapat dibentuk sesuai dengan kebutuhan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai yang bersangkutan. Ayat (5) Hubungan kerja antarwadah koordinasi tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan wilayah sungai bersifat konsultatif dan koordinatif. Ayat (6) Pedoman mengenai pembentukan wadah koordinasi pada tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan wilayah sungai diatur lebih lanjut dengan keputusan menteri yang membidangi sumber daya air. Bagian paling hulu dari Mikro DAS Wonosari adalah kawasan hutan lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani. Dasar perundangan perusahaan tersebut yakni Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2010 tentang Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Negara. Pasal 3 ayat (3) menyatakan bahwa

Page 136: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

107

Pengelolaan Hutan di Hutan Negara sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 ayat (1) meliputi kegiatan: a. tata hutan dan penyusunan rencana Pengelolaan Hutan; b. pemanfaatan hutan; c. rehabilitasi dan reklamasi hutan; dan d. perlindungan hutan dan konservasi alam. Penjelasan UU No. 41 tahun 199 Pasal 26 Ayat (1) Pemanfaatan kawasan pada hutan lindung adalah segala bentuk usaha yang menggunakan kawasan dengan tidak mengurangi fungsi utama kawasan, seperti: a. budidaya jamur, b. penangkaran satwa, dan c. budidaya tanaman obat dan tanaman hias. Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung adalah bentuk usaha yang memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya, seperti: a. pemanfaatan untuk wisata alam, b. pemanfaatan air, dan c. pemanfaatan keindahan dan kenyamanan. Pemungutan hasil hutan bukan kayu dalam hutan lindung adalah segala bentuk kegiatan untuk mengambil hasil hutan bukan kayu dengan tidak merusak fungsi utama kawasan, seperti: a. mengambil rotan, b. mengambil madu, dan c. mengambil buah. Usaha pemanfaatan dan pemungutan di hutan lindung dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan meningkatkan fungsi lindung, sebagai amanah untuk mewujudkan keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Berdasarkan hasil diskusi dengan Kepala dan Perangkat Desa Wonosari di lapangan, masyarakat mengetahui bahwa kawasan tersebut merupakan hutan lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani. Batas hutan dengan lahan tembakau masyarakat yakni berupa patok besi dan batas alam berupa tanaman bambu terlihat jelas. Bagian tengah Mikro DAS Wonosari merupakan lahan tegalan sedangkan bagian hilirnya adalah lahan sawah. Lahan-lahan tersebut dibebani hak milik bedasarkan Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria. Berdasarkan Undang-undang tersebut, lahan-lahan menjadi barang privat walaupun dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 33 ayat 1, bumi, tanah dan air serta kekayaan alam di dalamnya dikuasai oleh negara dan diperuntukkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Page 137: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

108

Akibat dari kebijakan politik tentang desentralisasi pemerintahan maka pengaturan pembagian urusan pemerintah, pemerintah daerah propinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 38 tahun 2007. Dalam lampiran PP tersebut, dalam Sub Bidang 41 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, pemerintah memiliki tugas menetapkan pola umum, norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan DAS, penetapan kriteria dan urutan DAS/Sub DAS prioritas serta penyusunan rencana pengelolaan DAS terpadu, Pemerintah Daerah Propinsi memiliki tugas memberikan pertimbangan teknis penyusunan rencana pengelolaan, penyelenggaraan pengelolaan DAS skala propinsi, sedangkan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota memiliki tugas memberi pertimbangan teknis penyusunan rencana pengelolaan dan penyelenggaraan pengelolaan DAS skala kabupaten. Namun demikian implementasi dari Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tersebut di lapangan belum dilaksanakan.

B. Organisasi Yang Potensial Mendukung Pengelolaan Mikro

DAS Wonosari 1. Organisasi Pemerintah

a. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA)

Kabupaten Temanggung

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Temanggung merupakan salah satu amanat Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Institusi ini untuk mendukung perencanaan pembangunan daerah sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan Pembangunan Nasional. Pada Bab VII mengenai Perencanaan Pembangunan Daerah pasal 152 ayat 1 yang mengamanatkan Perencanaan Pembangunan Daerah didasarkan pada data dan informasi yang akurat dan dapat dipertanggung jawabkan. Pada Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) tahun 2010, rencana pembangunan Kabupaten Temanggung terkait langsung dengan pengelolaan Mikro DAS Wonosari yakni penghijauan, perikanan dan penguatan kelembagaan petani.

Page 138: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

109

Sumberdana kegiatan tersebut yakni Dana Alokai Khusus (DAK) dan tugas pembantuan dari pemerintah pusat serta Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau (DBHCT).

b. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Serayu Opak Progo

(BPDAS SOP) di Yogyakarta Tugas pokok BPDAS SOP adalah mempunyai tugas melaksanakan penyusunan rencana, pengembangan kelembagaan, dan evaluasi pengelolaan daerah aliran sungai Serayu Opak Progo. Dalam kaitannya pengelolaan Mikro DAS Wonosari, BPDAS SOP Yogyakarta melalui Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Temanggung memberi insentif ke masyarakat di Mikro DAS Wonosari untuk membangunan hutan rakyat di Desa Wonosari pada tahun 2008. Kemudian pada tahun 2011 masyarakat dibantu bibit suren (Toona sureni) oleh kedua instansi tersebut dari dana alokasi khusus (TA 2010). Hutan rakyat di lokasi kajian tidak seperti hutan rakyat pada umumnya merupakan tegakan hutan tanaman melainkan berupa pohon-pohon yang ditanam di batas-batas kepemilikan. Demikian pula tanaman suren (T. sureni) oleh masyarakat ditanam di batas-batas kepemilikan. Sampai dengan tahun anggaran 2010, pelaksanaan kegiatan Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) masih didanai dengan Dana Alokasi Khusus (DAK) Kementerian Kehutanan melalui BPDAS SOP Yogyakarta. Kegiatan dapat dikategorikan sebagai program desentralisasi sedangkan berdasarkan Lampiran PP 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, seharusnya pelaksanaan GERHAN dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Temanggung dalam bentuk program dekonsentrasi.

c. Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten

Temanggung Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan (DPPK) Kabupaten Temanggung mempunyai tugas melaksanakan urusan pemerintahan daerah di bidang pertanian, perkebunan, dan

Page 139: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

110

kehutanan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan (DPPK) Kabupaten Temanggung merupakan mitra kerja BPDAS Serayu Opak Progo dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Beberapa kendala dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan disampaikan oleh Masrik Amin selaku Kepala Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Temanggung: “Dari aspek pendanaan untuk rehabilitasi lahan kami mendapat dukungan penuh dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Temanggung namun dalam pelaksanaannya partai politik ikut campur tangan sebagai politik balas jasa pada konstituen dan untuk kemenangan pemilihan umum tahun 2014 sehingga kami sulit untuk menentukan lokasi dan target kelompok tani dalam pelaksanaan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN)”. Dinas Pertanian – Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Temanggung telah menyusun Rencana Teknik Kehutanan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RTKRHL) sesuai dengan petunjuk pelaksanan GERHAN Kementerian Kehutanan tetapi karena masalah tersebut maka pelaksanaan GERHAN tidak sesuai rencana”. Lebih lanjut Masrik Amin menyatakan bahwa: ” sebenarnya, prioritas penanganan lahan kritis di Kabupaten Temanggung seluas 18.000 ha dan Kabupaten Temanggung memiliki fungsi untuk penyangga ketersediaan air baku untuk 10 kabupaten yang ada di sebelah hilir yang termasuk DAS Progo, DAS Bodri dan DAS Tuntang sehingga penanganan GERHAN diperlukan prioritas wilayah-wilayah tertentu”. d. Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Temanggung Tugas pokok Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Temanggung adalah 1). Meningkatkan infrastruktur di bidang sarana prasarana jalan dan jembatan pada kawasan kota, pedesaan, pusat pertumbuhan, dan strategis, 2). Mewujudkan infrastruktur di bidang sumberdaya air guna mendukung ketahanan pangan, penyediaan air baku, dan mengamankan daerah pemukiman dari daya rusak air, dan 3). Mewujudkan pengawasan dan pengendalian guna mencapai infrastruktur yang handal dan bermanfaat. Dalam kegiatan pengelolaan Mikro DAS Wonosari, Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Temanggung memiliki andil dalam monitoring curah hujan. Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Temanggung

Page 140: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

111

bekerja sama dengan: 1). Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan, 2). Balai Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan, dan 3). Camat Bulu; melakukan pengukuran pencatatan dan pelaporan curah hujan harian di Kecamatan Bulu. Data curah hujan tersebut dilaporkan periodik bulanan, triwulan dan tahunan untuk digunakan oleh instansi terkait. Kegiatan lain yang dilakukan oleh Dinas PU Kabupaten Temanggung di Mikro DAS Wonosari antara lain pembuatan bendung di Kali Gondangan dan Kali Semen, rehab bendung di Desa Mondoretno dan Desa Pakurejo.

e. Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan

Kehutanan Kabupaten Temanggung Di Kecamatan Bulu terdapat Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BPPPK) yang betanggung jawab kepada Badan Pelaksana Penyuluhuan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Temanggung. Badan tersebut dibentuk berdasarkan Perda Kabupaten Temanggung No. 21 tahun 2008, yang bertanggungjawab kepada Bupati dengan tugas pokok melaksanakan sebagian kewenangan daerah dalam penyelenggaraan penyluhan di bidang pertanian, perikanan, dan kehutanan (Perda Kabupaten Temanggung No. 21 tahun 2008). Jumlah penyuluh di BPPPK Kecamatan Bulu sebanyak 16 orang yang tediri dari penyuluh pertanian 11 orang, perikanan 4 orang dan kehutanan 1 orang. Penyuluh kehutanan tersebut mendekati usia pensiun dan belum ada perekrutan kembali. Menurut Mualim, Kepala Subbagian Tata Usaha, Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan: ”Sistem penyuluhannya yakni monovalen namun demikian dalam satu kecamatan merupakan team work”. Lebih lanjut Mualim mengatakan: ”Pada awal tahun anggaran, Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan dan Dinas Perikanan mengadakan rapat dengan BPPPK Kabupaten Temanggung untuk membahas kegiatan-kegiatan yang membutuhkan dukungan penyuluhan”. Mualim lebih lanjut mengatakan:”Pembiayaan untuk pelaksanaan teknik penyuluhan disediakan oleh Dinas terkait”. ”Untuk meningkatkan kemampuan penyuluh, setiap hari Sabtu dilakukan training oleh Dinas terkait dan tanggal 1 setiap bulan dilakukan rapat koordinasi seluruh penyuluh di Kabupaten Temanggung”.

Page 141: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

112

f. Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Temanggung Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Temanggung memiliki tugas pokok, melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah di bidang lingkungan hidup. Untuk menyelenggarakan tugas pokok sebagaimana tersebut diatas, Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Temanggung mempunyai fungsi: 1) Perumusan kebijakan teknis bidang lingkungan hidup; 2). Penyelenggaraan Urusan pemerintahan dan pelayanan umum di bidang lingkungan hidup; 3). Pembinaan, fasilitasi dan pelaksanaan tugas di bidang pengembangan kapasitas dan pengamanan lingkungan hidup, 4). Penelitian dampak dan pengembangan teknologi lingkungan hidup, pengendalian pencemaran, kerusakan dan konservasi lingkungan hidup, dan pengendalian kerusakan dan konservasi lingkungan hidup; 5). Pemantauan, evaluasi dan pelaporan bidang lingkungan hidup; 6). Pelaksanaan kesekretariatan badan; dan 7). Pelaksanaan tugas lain yang diberikan Gubernur sesuai dengan tugas dan fungsinya. Kegiatan konservasi tanah dan air yang telah dilakukan oleh BLH Kabupaten Temanggung di Mikro DAS Wonosari TA. 2009 dan 2010 antara lain: pembuatan sumur resapan (7 unit) dan gully plug (3 unit), penanaman daerah tangkapan sumber air (capturing) dengan radius 3 km dari sumber air (di Desa Danupayan). Jenis tanaman untuk water capturing adalah duwet (syzygium cumini), trembesi (Samanea saman), dan suren (Toona sureni).

g. Kecamatan Bulu Organisasi Kecamatan Bulu secara eksplisit tidak ada Seksi yang membidangi pertanian, perikanan dan perkebunan. Namun demikian apabila ada kegiatan sektor tersebut Kepala Seksi Pembangunan Masyarakat Desa (PMD) Kecamatan Bulu bersama para penyuluh melakukan pembinaan kepada masyarakat.

Page 142: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

113

h. Desa Organisasi Desa terdiri dari Kepala Desa, Sekretaris Desa, Seksi Pemerintahan, Seksi Pembangunan dan Seksi Kesejahteraan Masyarakat. Tidak ada seksi yang secara langsung menangani aspek pengelolaan DAS, lingkungan, maupun konservasi tanah dan air. Namun demikian, menurut Kodiran Lilik, Sekretaris Desa Mondoretno: ”Berdasarkan Musyawarah Pembangunan Desa Tahun 2010, diusulkan agar dilakukan penanaman turus jalan dengan pohon buah-buahan dan tanaman keras (jambu, matoa, mlinjo, dan mangga). Pada tahun 2011 usulan tersebut disetujui dari sumber dana Alokasi Dana Desa (ADD) Tahun Anggaran 2011. Dari hasil diskusi dengan penyuluh di Balai Penyuluhuan Pertanian Perikanan dan Kehutanan Kecamatan Bulu ada 6 Desa yang perangkat desa dan Gapoktan yang mendukung kegiatan pertanian secara luas yakni Desa Wonosari, Campusari, Tegalurung, Pager Gunung, Danupayan, dan Ngimbrang. Nama-nama kelompok tani di Mikro DAS Wonosari dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kelompok-kelompok Tani di Mikro DAS Wonosari

No. Desa Kecamatan Nama Kelompok Tani Dukungan terhadap P DAS*

1 Pagergunung Bulu (2) Enggal Jaya I dan II Rendah 2 Wonosari Bulu (2) Wonosasri I dan II Rendah 3 Bansari Bulu (4) Sederhana I, II, III, dan IV Rendah 4 Malangsari Bulu (2) Sri Tani dan Sri Tari Rendah 5 Mondoretno Bulu (2) Subur dan Makmur Tinggi 6 Pakurejo Bulu (2) Pangudi Makmur dan

Margo Luhur Rendah

7 Pengilon Bulu (1) Pengilon Rendah 8 Pasuruhan Bulu (2) Sumber Makmur dan

Sumber Rejeki Rendah

9 Gondosuli Bulu (3) Rejosari I, II dan Pamrih Hasil

Rendah

10 Campursari Bulu (2) Margo Laras dan Sumber Roso

Rendah

11 Tegallurung Bulu (2) Trampil I dan II Rendah

Page 143: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

114

No. Desa Kecamatan Nama Kelompok Tani Dukungan terhadap P DAS*

12 Bulu Bulu (2) Pangudi Luhur dan Pangudi Asih

Rendah

13 Ngimbrang Bulu (2) Makmur dan Loh Jinawi Rendah 14 Putat Bulu (2) Maju I dan II Rendah 15 Tegalrejo Bulu (3) Bumi Rejo I, II, dan III Rendah 16 Danupayan Balu (3) Sri Margo, Sri Martani,

dan Guyup Rukun Rendah

17 Salamsari Kedu (1) Salamsari Rendah JUMLAH 37 Kelompok Tani

*) PDAS = Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Berdasarkan hasil diskusi yang dilakukan di Kecamatan Bulu, Kabupaten Temanggung antara peneliti dengan penyuluh di Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Kecamatan Bulu, di dalam Mikro DAS Wonosari, terdapat 2 Gapoktan yang telah memiliki badan hukum yakni Gapoktan Desa Pakurejo dan Campursari. Disamping itu ada 11 (sebelas) desa yang mengelola keuangan mikro (micro finance) yang merupakan hibah dalam proyek Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) sebesar Rp. 1.000.000,- per Gabungan Kelompok Tani. Besarnya pinjaman per anggota sebesar Rp. 1.000.000,- untuk pembelian sarana produksi pertanian. Periode pengembaliannya selama 2, 3 atau 6 bulan yaitu untuk pedagang 2 bulan, petani sawah 3 bulan dan petani tembakau 6 bulan.

2. Lembaga Masyarakat

Lembaga non formal yang mengakar Sub DAS Wonosari antara lain pengajian ”yasinan” dan kerja bakti bersih desa. Kegiatan yasinan merupakan kegiatan rutin setiap Kamis malam di masing-masing RT sedangkan kegiatan bersih Desa dilakukan setiap Hari Minggu pagi pada saat tidak sibuk mengurusi tanaman tembakau (Juni, Juli, dan Nopember). Dua lembaga tersebut merupakan media yang sebaiknya digunakan untuk melakukan penyuluhan tentang pengelolaan mikro DAS.

Page 144: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

115

Sebagian besar masyarakat di Mikro DAS Wonosari adalah petani tembakau. Mereka hampir sepanjang tahun sibuk dengan kegiatan pertanian terutama untuk mengurus tembakau. Untuk wilayah atas yakni Desa Wonosari, Pagergunung, Bansari dan Wonotirto mulai Maret telah mengolah lahan untuk tanaman tembakau dan panen pada pertengahan Nopember. Sedangkan untuk wilayah tengah yakni Desa Pasuruhan, Malangsari, dan Tegalrejo pengolahan lahan untuk tembakau dimulai bulan April dan berakhir pada pertengahan bulan Nopember dan untuk wilayah bawah Desa Gondosuli, Pakurejo, Bulu, Putat, Campursari, Pengilon, Danupayan, dan Tegalurung dimulai pada bulan Mei. Untuk wilayah atas, tembakau ditanam pada Bulan Maret diantara tanaman jagung, cabe, atau tomat. Pada bulan Juni, setelah tanaman jagung, cabe atau tomat panen maka tinggal tanaman tembakau monokultur yang tersisa dan panen tembakau terakhir pada pertengahan bulan Oktober. Seperti teknik budidaya pada umumnya, pada awal musim tanam dilakukan pengolahan lahan, kemudian penanaman, pemeliharaan tanaman, dan pemanenan yang dilakukan seminggu sekali sampai daun tembakau habis dipanen. Tenaga kerja untuk pengolahan lahan dilakukan oleh tenaga kerja rumah tangga petani sendiri namun yang memiliki lahan yang luas menggunakan tenaga kerja lokal yang tidak memiliki lahan atau mendatangkan tenaga kerja dari luar daerah. Menurut informasi masyarakat, semakin tinggi lokasi dari permukaan laut, kualitas tembakaunya semakin baik. Tembakau srintil yang baik biasanya dihasilkan di lokasi Lamuk (di luar mikro DAS Wonosari), Lamsi (bagian lebih hulu Desa Wonosari), Wonosari bawah, dan Pagergunung. Harga tembakau srintil dapat mencapai Rp. 300.000,-/kg sedangkan tembakau biasa hanya mencapai Rp. 90.000,-/kg. Petani tembakau sangat sibuk mengelola tanaman tembakau sampai penjualannya yakni dari bulan Maret s/d Nopember. Waktu luang bisanya pada pertengahan Nopember sampai awal Desember. Apabila terkait dengan ketersediaan waktu yang ada, penyuluhan konservasi tanah dan air dalam rangka pengelolaan DAS sebaiknya secara intensif dilakukan pada bulan tersebut.

Page 145: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

116

Masyarakat juga sudah mengetahui pentingnya menanam pohon, yakni untuk memperbaiki kesuburan tanah dan menahan angin ribut sehingga tanaman pertaniannya tidak rusak. Namun demikian, jenis tanaman pohon yang sebaiknya ditanam tidak mengganggu tanaman tembakau. Jenis yang cocok menurut masyarakat adalah suren. Namun demikian, berdasarkan, hasil wawancara dengan Bapak Misdiyanto dan Bapak Raharjo, pengelola lahan tembakau di Desa Wonosari, Kecamatan Bulu, Kabupaten Temanggung (tanggal 11 April 2011)bila penanamannnya terlau rapat akan menggangu tenaman tembakau. 3. Lembaga Swasta

Perusahaan rokok, PT. Djarum, perusahaan pupuk anorganik, PT. Fertila dan penyuluh pertanian Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kecamatan Bulu melakukan pembinaan budidaya tembakau ke petani tembakau di Desa Wonosari dan Bansari dengan cara membuat demplot penanaman tembakau kemloko I, kemloko II dan kemloko III. PT. Djarum memiliki kepentingan untuk menjaga suplai tembakau dari wilayah tersebut sedangkan PT. Fertila memiliki kepentingan agar pupuk organik yang diproduksinya dibeli oleh petani. Menurut petani, mereka mendapat tambahan pengetahuan tentang pola tanaman tembakau kemloko dan penggunaan dosis pupuk fertila.

4. Lembaga Lain Pada tahun 2010, Koramil Parakan menyumbang bibit tanaman tembresi untuk di tanam sebagai turus jalan. Bantuan tersebut diserahkan kepada Kepala Desa Mondoretno, Ngrimbang, Pengilon, Bulu, dan Danurejo masing-masing sebanyak 200 batang. Organisasi Koramil tidak memiliki tugas pokok dan fungsi sebagai pengelola DAS tetapi karena ada Peraturan Presiden No. 89 tahun 2007 tentang Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan maka Koramil turut serta dalam kegiatan pengelolaan DAS. Kesadaran akan perlunya rehabilitasi lahan tersebut harus terus dipupuk sesuai dengan tujuan GERHAN yakni gerakan sosial rehabilitasi lahan yang secara mandiri dilakukan oleh seluruh

Page 146: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

117

komponen masyarakat. Pemerintah hanya berfungsi sebagai pendorong dalam kegiatan tersebut.

Berdasarkan informasi di atas, penulis mengusulkan mekanisme pengelolaan Mikro DAS Wonosari sebagai berikut: Perencanaan pengelolaan mikro DAS sebaiknya disusun oleh Balai Pengelolaan DAS Serayu Opak Progo dan Bappeda Kabupaten Temanggung kemudian disosialisasikan ke seluruh lembaga yang terkait. Implementasi dilakukan oleh masyarakat dan didampingi oleh Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Serayu Opak Progo Yogyakarta, Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Temanggung, Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Temanggung, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Temanggung, Kecamatan Bulu, masyarakat dari 17 Desa di dalam Mikro DAS Wonosari. Monitoring dan evaluasi lahan, untuk tahap awal dilakukan oleh lembaga pemerintah dan hasilnya disampaikan kepada masyarakat yang selanjutnya masyarakat (Kepala Desa, Gapoktan, dan Rumah Tangga pengelola lahan) diajari untuk memonitornya sendiri. Monitorirng dan evaluasi hidrologi, pemantauan curah hujan sebaiknya dilakukian oleh Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Temanggung dan debit air sungai Wonosari sebaiknya dilakukan oleh BPDAS Serayu Opak Progo.

III. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 1. Hampir seluruh sumberdaya alam di Mikro DAS Wonosari

merupakan barang privat kecuali kawasan hutan lindung di kaki Gunung Sumbing yang merupakan bagian hulu Mikro DAS dikelola Perum Perhutani.

2. Belum ada perundang-undangan yang secara eksplisit memayungi pengelolaan Mikro DAS Wonosari.

3. Organisasi yang terkait dengan pengelolaan Mikro DAS Wonosari yakni: Bappeda Kabupaten Temanggung, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Serayu Opak Progo Yogyakarta, Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Temanggung, Badan Pelaksana Penyuluhan

Page 147: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

118

Pertanian Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Temanggung, Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Temanggung, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Temanggung, Kecamatan Bulu, 17 desa di dalam Mikro DAS Wonosari, Gabungan Kelompok Tani, Lembaga Keuangan Mikro, Masyarakat Peduli Tembakau Kabupaten Temanggung, Lembaga Swasta (Pengelola Gudang Tembakau PT. Jarum dan PT. Fertila), dan Koramil.

4. Hubungan antar lembaga, untuk organisasi pemerintah masih bersifat keproyekan sedangkan untuk lembaga non pemerintah lebih dididominasi hubungan dagang antara petani (produsen tembakau), pedagang lokal (distributor) dan pabrik tembakau (konsumen antara).

5. Dalam unsur kognitif, sebagian besar masyarakat adalah petani tembakau sehingga kegiatan konservasi tanah dan air sebagai ujung tombak pengelolaan DAS akan dilakukan sepanjang tidak merugikan usaha pokok tersebut.

6. Hubungan antar organisasi dalam rehabilitasi lahan di kabupaten Temanggung dikoordinasikan oleh Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan dan sebagian besar didanai dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Serayu Opak Progo Yogyakarta dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (Gerhan dan Kebun Bibit Rakyat), Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Temanggung melakukan pendampingan pada masyarakat sedangkan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Temanggung dan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Temanggung merupakan lembaga pendukung. Camat Bulu, 17 desa di dalam Mikro DAS Wonosari merupakan pendukung administrasi pemerintahan. Gabungan Kelompok Tani, Lembaga Keuangan Mikro, Masyarakat Peduli Tembakau Kabupaten Temanggung merupakan implementator kegiatan konservasi tanah sedangkan Lembaga Swasta (Pengelola Gudang Tembakau PT. Jarum dan PT. Fertila) merupakan buyer produk utama dari lahan petani.

Page 148: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

119

B. Saran

1. Kegiatan pengelolaan DAS Mikro sebaiknya didekonsentrasikan ke pemerintah terkecil (kecamatan dan desa).

2. Semua kegiatan pengelolaan Mikro DAS Wonosari harus mempertimbangkan potensi dan permasalahan kekritisan lahan, kekritisan tanah longsor, daerah rawan banjir, sosial-ekonomi dan kelembagaan masyarakat dan teknik budidaya tembakau sebagai perkerjaan utama masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, S. 2000. Reliabilitas dan Validitas. Pustaka Pelajar.

Yogyakarta.

Brazel, 1991. Economic Analysis of Property Rights. Cambridge University Press. Sydney.

Creswell, J.W. 1999. Research Design Qualitative & Quantitative Approaches. Sage Publications. London-New Delhi.

Hutapea, R. dan K. Suwondo. 1989. Metodologi Penelitian. Fakultas Pascasarjana. Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga.

Indrawati, D.R. 2008. Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Sebagai Salah Satu Bentuk Social Forestry pada Kawasan Hutan Tanaman. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Teknologi, Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Sebagai Basis Pengelolaan DAS. Purwokerto, 26 Agustus 2008.

Irawan, E. 2010. Laporan Hasil Penelitian Pengelolaan

Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Balai Penelitian Kehutanan Solo. Surakarta.

Jacobs, D. 1974. Dependency and Vurnability: An Exchange

Approach to Control of Organizations. Administrative Science Quarterly 19,hal: 45-59.

Page 149: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

120

Johnson, D.P. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Diindonesiakan oleh: Robert M.Z. Lawang. Penerbit PT. Gramedia. Jakarta.

Jones, GR. Dan J.M. George. 2003. Contemporary Management.

Mc.GrawHill-Irwin. Boston. Kartodihardjo, H. 1998. Peningkatan Kinerja Pengusa-haan Hutan

Alam Produksi Melalui Kebijaksanaan Penataan Institusi. Program Pascasarjana, Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Kartodihardjo H. 2007. Diskursus Menanam Pohon 1946 -2006.

Suara Pembaruan 12 Desember 2007. http://www.suarapembaruan. com/News/2007/12/11/ index.html. dunduh 20 Mei 2011.

Kula, E. 2000. Economics of Natural Resources, the Environment

and Policies. Chapman & Hall. London. Mardiasmo. 2002. Akutansi Sektor Publik. Penerbit Andi.

Yogyakarta. Marut, D.K. 2000. Penguatan Institusi Lokal Dalam Rangka

Otonomi Daerah. Wacana. Jurnal Ilmu Sosial Transformatif. Edisi 5 Tahun II: 54-73.

Moleong, L.J. 1999. Metologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja

Rosdakarya. Bandung. North, D.C. 1991. Institutions: Institutional Change and Economic

Performance, Political Economy of Institutions and Decisions. Cambridge University Press. Cambridge.

Ostrom, E. 1990. Governing the Commons: the Evolution of

Institutions for Collective Action. Cambridge University Press. New York.

Pakpahan, A. 1990. Permasalahan dan Landasan Konseptual

dalam Rekayasa Institusi Koperasi. Makalah dalam Seminar

Page 150: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

121

PengpenelitianMasalah Perkoperasian Nasional. 3 Oktober 1990. Jakarta.

Penjelasan Undang-undang Atas Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888.

Peraturan Daerah Kebupaten Temanggung No. 21 Tahun 2008

tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Kabupaten Temanggung.

Peraturan Dirjen RPLS No. P.15/V-SET/2009 tentang Pedoman

Pembangunan Areal DAS Mikro (MDM). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 tahun 2007

tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2010

Tentang Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Negara. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 124

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 89 Tahun 2007

tentang Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan, Tanggal 03 September 2007.

Pfeffer, J. 1976. Beyond Management and the Worker: The

Institutional Function of Management. Academy of Management Review I, p: 36-46.

Prahasto, H. 2007. Kelembagaan Pengelolaan DAS. Prosiding

Workshop Peran Hutan dan Kehutanan Dalam Meningkatkan Daya Dukung DAS. Surakarta 22 Nopember 2007.

Page 151: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

122

Purwanto. 2007. Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Air dan Hasil Air dari Hutan. Prosiding Workshop Peran Hutan dan Kehutanan Dalam Meningkatkan Daya Dukung DAS. Surakarta 22 Nopember 2007.

Purwanto, S.A. Cahyono, dan Sunaryo. 2008. Analisis

Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Air dari Hutan Lindung Baturraden, Kabupaten Banyumas, Propinsi Jawa Tengah. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Teknologi, Social Ekonomi dan Kelembagaan Sebagai Basis Pengelolaan DAS. Purwokerto, 26 Agustus 2008.

Rahman, S. 2007. Kelembagaan Pengelolaan Daerah Aliran

Sungai. Prosiding Workshop Peran Hutan dan Kehutanan Dalam Meningkatkan Daya Dukung DAS. Surakarta 22 Nopember 2007.

Rustamaji, M. 2007. Sanksi Yang Salah Sasaran. Harian Solopos,

18 Mei 2007, hal: 10. Sayogo, 1989. Peluang Berusaha dan Bekerja pada Masyarakat

Petani. Prisma, No. 2. hal: 51-57. Schmid, A. 1987. Property, Power, and An Inquary into Law and

Economic. Praeger. New York. Scott, R. 1995. Instututions and Organizations. Sage Publication:

An International and Profesional Publisher. Thousand Oaks, London-New Delhi.

Straup, J.T. dan R.F. Attner. 1994. Introduction to Business.

Wadsworth Publishing Company. Belmont California. Thompson, J.D. 1967. Organizations in Action. McGraw-Hill. New

York. Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1960 No. 135.

Page 152: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

123

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 No. 104.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 4374.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 125.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang

Sumberdaya Air. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No.68.

Page 153: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

124

KELEMBAGAAN PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT DALAM MENDUKUNG REHABILITASI LAHAN1

Oleh :

Dewi Retna I2 dan Purwanto3

Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Jl. A. Yani PO Box 295 Pabelan.

Telepon/Fax.: (+62 271) 716709/716959 Email: [email protected]

E-mail : [email protected]; [email protected];

ABSTRAK Banyak permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan hutan rakyat di Indonesia. Permasalahan tersebut antara lain : masih adanya konflik dalam penggunaan lahan, kurangnya partisipasi masyarakat, lemahnya kelembagaan serta belum berjalannya koordinasi antar para pihak terkait. Kegiatan bertujuan untuk mengkaji kelembagaan pengelolaan hutan rakyat. Kajian dilakukan dengan pendekatan kualitatif melalui Focus Group Discussion dan wawancara mendalam terhadap para pihak terkait dalam pembangunan hutan rakyat pada tiga kabupaten di Propinsi Jawa Tengah yaitu Kabupaten Boyolali, Kebumen, dan Blora. Para pihak terkait dalam pembangunan hutan rakyat adalah Bappeda, sektor kehutanan, sektor sumberdaya air, sektor pertanian, sektor perindustrian dan koperasi, sektor peternakan, penelitian dan pengembangan, sektor swasta dan masyarakat (kelompok tani). Hasil kajian menunjukkan bahwa tidak perlu lembaga baru dalam pembangunan hutan rakyat, tetapi jejaring kerja, aturan, dan tugas pokok dalam pembangunan hutan rakyat harus dikembangkan secara jelas. Mekanisme kerja yang harus dilakukan di tingkat para pihak terkait: a. Penyusunan rancang bangun untuk pembangunan hutan rakyat agar tidak terjadi tumpang tindih dengan kegiatan lain khususnya sektor pertanian; b. Perencanaan pembangunan hutan rakyat secara terpadu dikoordinasikan oleh Bappeda; c. Sharing kegiatan oleh para pihak dan pembinaan kepada masyarakat sesuai dengan sektornya masing-masing secara terpadu; d. Pembekalan kepada petugas lapangan mengenai aspek teknologi maupun metode pemberdayaan masyarakat; e. Monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh Bappeda. Mekanisme kerja di tingkat masyarakat yaitu: a. Perencanaan pembangunan hutan rakyat di tingkat masyarakat dilaksanakan secara partisipatif kolaboratif; b. Lembaga yang digunakan

1 Makalah ini disampaikan pada Semiloka “Riset Pengelolaan DAS Menuju

Kebutuhan Terkini” Surakarta, 27-28 Juni 2011. Kerjasama Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi dengan Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

Page 154: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

125

adalah kelompok tani yang sudah ada (tidak harus membentuk kelompok tani baru); c. Pola hutan rakyat yang dibangun memberikan hasil berkesinambungan; d. Pendampingan yang dilaksanakan oleh petugas lapangan dari setiap instansi terkait, bukan hanya dari sisi teknologi tetapi juga untuk menumbuhkan keswadayaan masyarakat; dan e. Monitoring yang dilakukan oleh setiap instansi terkait.

Kata kunci : kelembagaan, hutan rakyat, rehabilitasi lahan I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang sangat padat penduduknya. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk maka meningkat pula kebutuhan masyarakat terutama terhadap pangan. Namun di sisi lain, luas lahan pertanian juga semakin sempit karena dengan meningkatnya jumlah penduduk berarti meningkat pula permintaan lahan untuk pemukiman, industri, perkantoran, pendidikan dan pemanfaatan lahan di luar pertanian lainnya. Keadaan tersebut akan mengakibatkan penggunaan lahan pertanian yang melebihi daya dukungnya. Penggunaan lahan pertanian tanpa penerapan upaya konservasi akan memperbesar peluang terjadinya erosi terutama pada lahan yang memiliki kemiringan tinggi, akibatnya lahan menjadi tidak produktif dan bahkan kritis. Menghadapi kenyataan tersebut, pemerintah Indonesia telah menerapkan program rehabilitasi pada lahan-lahan kering di luar kawasan hutan. Salah satu aktivitas penting dalam rehabilitasi lahan adalah penghijauan. Gerakan penghijauan ini telah dicanangkan pemerintah sejak tahun 1961. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah (Mulyana, 2000). Upaya tersebut kini berkembang dan salah satunya dikenal sebagai hutan rakyat yaitu terbangunnya hutan pada lahan milik masyarakat yang terdegradasi. Dalam praktiknya, masih banyak permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan hutan rakyat antara lain: masih adanya konflik dalam penggunaan lahan, kurangnya partisipasi masyarakat karena masyarakat sering masih ditempatkan sebagai obyek dan belum sebagai subyek kegiatan, lemahnya

Page 155: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

126

kelembagaan di tingkat masyarakat serta belum berjalannya koordinasi antar para pihak terkait. Berdasarkan beberapa pengalaman tersebut, ada salah satu unsur penting yang perlu diperhatikan dalam pembangunan hutan rakyat yaitu kelembagaan. Selama ini, pembangunan kelembagaan yang seharusnya menjadi dasar dari seluruh proses pembangunan, baik sosial, ekonomi, politik, teknologi maupun pengelolaan sumberdaya alam, demikian juga dalam pembangunan hutan rakyat, masih sering diabaikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kelembagaan dalam pengelolaan hutan rakyat baik di tingkat masyarakat maupun di tingkat para pihak terkait.

II. METODE Kegiatan dilaksanakan di 3 (tiga) kabupaten di Propinsi Jawa Tengah yaitu Kabupaten Boyolali, Kebumen, dan Blora. Kajian dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam dan diskusi kelompok dengan para pihak terkait. Diskusi kelompok/Focus Group Discussion (FGD) dilakukan untuk menggali data mengenai latar belakang, permasalahan dan juga untuk menggali kebutuhan dari suatu kelompok masyarakat (Sutopo, 2002). FGD dilakukan dengan cara mengadakan diskusi yang dihadiri oleh para pihak yang terkait dengan pembangunan hutan rakyat di tingkat kabupaten antara lain Bappeda, sekretariat daerah, dinas yang terkait dengan sektor pertanian, sektor kehutanan, sektor peternakan, sektor koperasi, sektor pengelola sumberdaya air, industri pengolah kayu hutan rakyat, kelompok tani, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Materi wawancara dan diskusi antara lain kebijakan dan peraturan terkait pembangunan hutan rakyat, pelaksanaan kegiatan dan permasalahan yang dihadapi, para pihak yang terkait, tata hubungan kerja antar para pihak dan proses penyusunan perencanaan pembangunan hutan rakyat. Untuk kategori penelitian kualitatif (qualitative field research), keputusan untuk melakukan analisis data dimulai pada saat melakukan observasi. Teknik analisisnya dimulai dengan mencoba

Page 156: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

127

atau berusaha melihat sesuatu dan merepresentasikannya berdasarkan pandangan responden (Hutapea dan Suwondo, 1989). Namun untuk sampai pada tahap ini, data-data yang diperoleh perlu diuji kembali keabsahan/validitasnya (Azwar, 2000). Untuk menguji validitas data dalam kajian ini digunakan teknik trianggulasi dengan cara; pertama, membandingkan hasil pengamatan dengan data hasil FGD dan wawancara; kedua, membandingkan keadaan dan perspektif seorang informan kunci yang satu dengan lainnya. Ketiga, membandingkan hasil wawancara dengan data hasil perekaman data, seperti dokumen dan hasil-hasil penelitian yang memiliki keterkaitan dengan objek penelitian (Moleong, 1999). Dokumen tersebut antara lain laporan-laporan dinas yang terkait dengan sektor kehutanan di Kabupaten Kebumen, Boyolali dan Blora tentang perkembangan hutan rakyat di ke tiga kabupaten tersebut, dokumen-dokumen di Balai Penelitian Kehutanan Solo dan dokumen-dokumen yang terkait lainnya. Langkah terakhir, data primer maupun sekunder diolah dengan pendekatan kualitatif, mereduksi data, menyajikan data yang telah tersusun, membuat hasil temuan-temuan lapangan dalam bentuk tema-tema yang saling berkaitan satu sama lain kemudian menarik kesimpulan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pembangunan Hutan Rakyat Di Jawa Tengah

Sesuai data dan hasil wawancara dengan Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Tengah, pembangunan hutan rakyat di Jawa Tengah, berdasarkan sumber dananya dilaksanakan melalui 3 pola yaitu swadaya, bantuan (inpres penghijauan dan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan/GNRHL) dan kemitraan. Pembangunan hutan rakyat pola bantuan dengan dana GNRHL/Gerhan pada tahun 2003/2004 mencapai luas 36.928 Ha dengan jenis tanaman baik kayu-kayuan maupun tanaman serbaguna. Penanaman ini biasanya dilakukan pada lahan kritis di luar kawasan hutan yang untuk Jawa Tengah luasnya mencapai 2.752.745,17 ha. Pembangunan hutan rakyat dengan pola kemitraan ada dua pola yaitu antara petani-badan usaha dan antara petani-badan usaha-pemerintah (bantuan dana bergulir usaha hutan rakyat pola kemitraan). Pembangunan hutan rakyat

Page 157: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

128

dengan pola kemitraan antara petani, badan usaha dan pemerintah ini dilaksanakan berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Tengah no. 67 Tahun 2002 tanggal 18 Juni 2002 tentang Pedoman Bantuan Dana Bergulir Usaha Hutan Rakyat Pola Kemitraan Propinsi Jawa Tengah. Bantuan dana bergulir usaha hutan rakyat pola kemitraan ini sebenarnya adopsi dari kegiatan Kredit Usaha Hutan Rakyat (KUHR) yang telah dilaksanakan oleh Departemen Kehutanan, namun terhenti karena beberapa kendala. Hal ini dilakukan karena Dinas Kehutanan melihat minat masyarakat untuk mengembangkan hutan rakyat cukup besar, namun mereka terkendala oleh dana. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah Jawa Tengah berinisiatif mengeluarkan Keputusan Gubernur mengenai bantuan dana untuk pengembangan hutan rakyat tersebut. Program ini sudah berjalan selama 4 (empat) tahun dimulai pada tahun 2002, dengan melibatkan 2 (dua) mitra usaha di Kabupaten Sragen dan Wonogiri. Total luas pembangunan hutan rakyat dengan pola kemitraan ini mencapai 1.010 Ha dengan alokasi dana Rp. 3.282.500.000,- dan jumlah petani peserta 1.640 orang (Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Tengah, 2005). Pembangunan hutan rakyat pola kemitraan ini diharapkan lebih baik dari sistem Kredit Usaha Tani (KUT), karena yang bertanggung jawab dalam sistem KUT adalah petani, sedangkan pola kemitraan yang bertanggung jawab adalah mitra dimana mitra bisa mencairkan dana setelah melakukan penanaman. Selain pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten juga telah mengeluarkan kebijakan berkaitan dengan pembangunan hutan rakyat. Berdasarkan hasil wawancara dengan dinas yang terkait dengan sektor kehutanan dan perkebunan diperoleh data sebagai berikut. 1. Di Kabupaten Blora, luas hutan rakyat sampai dengan tahun

2002 mencapai 7.447,4 Ha dan sampai dengan akhir tahun 2005 mencapai 12.086,4 ha. Dari 4.639 Ha hutan rakyat yang dibangun setelah tahun 2002 sebagian besar dibangun dari alokasi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) (82,75%), sedang alokasi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk pembangunan hutan rakyat masih relatif kecil (17,25%) bila dibanding dengan dana APBN.

Page 158: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

129

Untuk mendukung pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Blora dikeluarkan beberapa kebijakan seperti pengenalan kegiatan penghijauan dan reboisasi ke sekolah-sekolah serta pemberian tugas kepada petugas penyuluh kehutanan (PLP/PKL) untuk bekerjasama dengan kelompok tani dalam penyediaan bibit.

2. Di Kabupaten Kebumen, untuk mendukung pengembangan hutan rakyat telah dikeluarkan kebijakan berupa pengalokasian anggaran APBD antara lain untuk kegiatan penghijauan, pembangunan hutan desa, penanaman turus jalan, dan pengembanan wanatani. Adapun luas hutan rakyat di Kabupaten Kebumen pada tahun 2003 mencapai 26.109 Ha dengan jenis tanaman jati, mahoni, albisia dan akasia. Selain itu juga ditanam beberapa jenis tanaman serbaguna (MPTS) seperti rambutan, durian, pete, kopi, mangga, kelapa, kakao, dan melinjo. Selain hutan rakyat, pemerintah daerah Kabupaten Kebumen juga mengembangkan beberapa usaha perhutanan dengan hasil non kayu seperti bambu, nipah, minyak cengkeh, nilam, dan burung walet.

3. Di Kabupaten Boyolali, luas hutan rakyat pada tahun 2005

mencapai 16.597,4 Ha dengan perincian jenis sengon 680,25 Ha; jati 3.840,85 Ha; suren 553,5 ha dan campuran 11.522,80 Ha. Namun demikian, pengembangan hutan rakyat terakhir dilakukan pada tahun 2003 berupa pemeliharaan hutan desa dan setelah itu tidak ada lagi anggaran khusus untuk pembinaan, dimana untuk tahun-tahun selanjutnya semua kegiatan yang berkaitan dengan hutan rakyat dialihkan atau ikut dalam kegiatan Gerhan.

Berdasarkan wawancara mendalam dan diskusi dengan para pihak terkait, ada beberapa permasalahan yang dihadapi (Lampiran 1) baik di tingkat petani maupun di tingkat para pihak terkait. Permasalahan tersebut dapat dikelompokkan dalam permasalahan sumberdaya manusia, kelembagaan dan pendukung sebagai berikut.

1. Sumberdaya manusia a. Masih kurangnya penguasaan teknik budidaya dalam

pembangunan hutan rakyat. Kesadaran masyarakat untuk

Page 159: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

130

penanaman tanaman keras sudah tinggi tetapi teknik budidaya terutama pemeliharaan belum berjalan. Untuk itu diperlukan penyuluhan mengenai teknik budidaya hutan rakyat. Seiring dengan kegiatan tersebut perlu diperhatikan kecukupan jumlah dan fasilitas serta kapasitas penyuluh dari semua instansi terkait.

b. Lemahnya permodalan masyarakat yang sering menjadi kendala dalam pembangunan hutan rakyat.

c. Kurangnya keterampilan masyarakat baik untuk pengolahan hasil kayu hutan rakyat maupun hasil tanaman di bawah tegakan atau hasil ikutan lainnya, untuk peningkatan pendapatan masyarakat.

d. Terbatasnya jumlah tenaga penyuluh di lapangan. Pada kenyataannya tenaga penyuluh ini sangat diperlukan untuk pendampingan kepada masyarakat untuk membekali masyarakat mengenai teknik budidaya dalam pembangunan hutan rakyat, meningkatkan ketrampilan pengolahan hasil serta memotivasi keswadayaan masyarakat.

2. Kelembagaan a. Lemahnya kelembagaan (organisasi, mekanisme dan aturan

main), karena proses pembentukan lembaga di tingkat masyarakat sering hanya berdasarkan keproyekan.

b. Belum adanya bimbingan secara kontinyu kepada masyarakat, sehingga proses pemberdayaan masyarakat berjalan lambat

c. Konflik penggunaan lahan, karena ketergantungan masyarakat pada lahan cukup tinggi. Konflik dasar dalam pembangunan hutan rakyat yaitu masyarakat berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan mengandalkan tanaman semusim, sedangkan pihak kehutanan bertujuan menjaga kelestarian hutan melalui penanaman tanaman keras. Dengan pemilikan lahan pertanian yang sempit, apabila tanaman keras mendominasi lahan maka luasan untuk tanaman pangan akan sedikit yang berarti kebutuhan sehari-hari tidak tercukupi, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian hal ini berkaitan dengan penyusunan pola tanam dan kriteria pemanfaatan lahan untuk pembangunan hutan rakyat, sehingga masyarakat mendapat kepastian untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari

Page 160: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

131

d. Belum ada sistem perencanaan terpadu dalam pembangunan hutan rakyat, karena pembangunan hutan rakyat dianggap kegiatan sektor kehutanan. Untuk itu, pembangunan hutan rakyat hanya dilaksanakan oleh pihak kehutanan tanpa perencanaan yang mapan.

e. Belum ada keterpaduan antar sektor karena sistem penganggaran masih bersumber dari masing-masing instansi dimana setiap instansi terikat dengan aturan di bidangnya, sehingga terkesan ada ego sektoral. Untuk itu, perlu ada visi dan misi bersama dari para pihak sehingga koordinasi antar pihak terkait dapat berjalan.

f. Adanya beberapa kasus tumpang tindih lahan antara kegiatan di Dinas Pertanian terutama perkebunan dengan kegiatan kehutanan. Untuk itu diperlukan perencanaan secara terpadu dan diperlukan prioritas lokasi untuk masing-masing sektor. Dengan demikian perlu dikoordinasikan oleh Bappeda, dalam hal ini untuk langkah awal bisa memanfaatkan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang).

g. Pembangunan hutan rakyat sering masih menggunakan pendekatan keproyekan dan belum dilakukan dengan pendekatan partisipatif, sehingga tidak efisien. Hal ini menyebabkan sulitnya pelaksanaan dan kurangnya tingkat keberhasilan karena tahun perencanaan sama dengan tahun pelaksanaan dan sama dengan tahun evaluasi

h. Masih kurangnya komunikasi antar instansi terkait. Salah satu contoh : Di Kabupaten Kebumen ada beberapa pengrajin perabot dari bambu dan kerajinan kayu pinus, tetapi ada keluhan kekurangan/kesulitan bahan baku. Untuk itu, perlu ada koordinasi antara pihak kehutanan dan perindustrian untuk saling memberikan informasi. Pihak kehutanan dapat memberikan informasi ketersediaan bahan baku untuk kerajinan tersebut dan pihak perindustrian dapat memberikan informasi kebutuhan bahan baku, sehingga dapat dikembangkan oleh pihak kehutanan.

3. Pendukung a. Pengembangan kegiatan yang kurang sesuai dengan

potensi desa dan masyarakat b. Kurangnya dukungan kebijakan pemerintah daerah dalam

pembangunan hutan rakyat. Sebagai contoh adalah belum

Page 161: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

132

adanya insentif kepada masyarakat yang membangun hutan rakyat. Hal ini diperlukan karena selama ini dalam pembangunan hutan rakyat terdapat benturan kepentingan antara fungsi lingkungan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Bila masyarakat menggunakan lahannya untuk hutan rakyat maka hasil jangka pendek untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari akan berkurang. Untuk itu, perlu ada insentif kepada masyarakat.

c. Kurangnya akses dan jaminan harga untuk pemasaran hasil kayu maupun tanaman bawah tegakan

Melihat permasalahan yang ada ternyata sebagian besar permasalahan menyangkut masalah kelembagaan baik di tingkat masyarakat (lembaga masyarakat dan pembinaan dari instansi terkait) maupun di tingkat para pihak terkait dalam hal ini mekanisme kerja antar institusi yang terkait. Kelembagaan di tingkat para pihak terkait tersebut perlu dibangun agar tidak terjadi tumpang tindih kepentingan antar sektor dalam pembangunan baik dalam hal pembangunan fisik maupun pembinaan kepada masyarakat. Selain itu, pada hakekatnya pembangunan hutan rakyat tidak bisa hanya dilaksanakan oleh satu institusi (kehutanan) saja, tetapi memerlukan dukungan dari pihak lain

B. Kelembagaan Pembangunan Hutan Rakyat Dalam pembangunan hutan rakyat, pemerintah dan masyarakat sama-sama memegang peranan penting. Pemerintah memegang peranan penting dalam pengambilan kebijakan, memfasilitasi, memotivasi dan memberi stimulasi kepada masyarakat dalam pembangunan hutan rakyat. Dalam hal ini pemerintah antara lain harus menyusun rencana pembangunan hutan rakyat, menyediakan teknologi, menyediakan dana, memberikan pendampingan dan menyediakan insentif dalam berbagai bentuk yang sesuai kepada masyarakat. Mengingat rencana pembangunan hutan rakyat yang disusun nantinya juga akan dilaksanakan oleh masyarakat, maka dalam penyusunan rencana pembangunan hutan rakyat tersebut juga harus mempertimbangkan aspirasi masyarakat. Adapun masyarakat memegang peranan penting dalam pelaksanaan di lapangan, mengingat lahan yang digunakan adalah lahan milik masyarakat, sehingga masyarakat merupakan ujung tombak dalam

Page 162: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

133

pembangunan hutan rakyat. Oleh karena itu, pembangunan hutan rakyat tidak akan berhasil apabila tidak ada peran aktif dari masyarakat. Berdasarkan wawancara mendalam diketahui bahwa lembaga pemerintah yang terkait dalam pembangunan hutan rakyat baik secara langsung maupun tidak langsung antara lain sektor2 kehutanan, pertanian, peternakan, industri dan koperasi. Adapun masyarakat yang terkait adalah masyarakat dalam kelompok tani. Dalam penyusunan rencana dan pelaksanaan kegiatan di lapangan dari masing-masing sektor belum terkoordinasi dengan baik. Selain itu, dalam pelaksanaan di lapangan, masing-masing sektor membentuk kelompok baru, sehingga ada banyak kelompok tetapi anggotanya sama. Mengacu pada definisi kelembagaan yang dikemukakan oleh Ruttan dan Hayami (1984) yang menyatakan bahwa kelembagaan adalah aturan di dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang memfasilitasi koordinasi antar anggotanya untuk membantu mereka dengan harapan dimana setiap orang dapat bekerjasama atau berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan, maka perlu dibangun suatu mekanisme kerja antar para pihak yang terkait dalam pembangunan hutan rakyat sehingga koordinasi dapat berjalan. Berdasarkan hasil diskusi kelompok disepakati bahwa dalam melakukan pembinaan untuk pembangunan masyarakat, masing-masing sektor tidak perlu membentuk lembaga (kelompok) baru di tingkat masyarakat. Bila di wilayah tersebut sudah ada lembaga yang mapan, maka cukup ada satu kelompok tetapi kegiatan dan pembinaan dilaksanakan secara terpadu oleh beberapa sektor terkait. Selain itu, pemilihan model hutan rakyat perlu dimusyawarahkan dengan masyarakat dan disesuaikan dengan potensi lahan dan sosial ekonomi masyarakat yang dilakukan melalui pendekatan perencanaan partisipatif. Pembangunan hutan rakyat akan berhasil apabila ada keswadayaan masyarakat. Dengan demikian, pembangunan hutan rakyat tidak hanya mengandalkan anggaran dari pemerintah. 2 Istilah sektor digunakan karena nama instansi pada setiap kabupaten berbeda.

Page 163: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

134

Untuk menumbuhkan motivasi masyarakat dalam pembangunan hutan rakyat, perlu pendampingan, teknik penyuluhan yang tepat dengan menggunakan media saat sosialisasi seperti brosur, audiovisual dan lain-lain, serta bentuk insentif yang tepat. Untuk itu petugas pendamping di lapangan perlu dibekali baik kemampuan teknis budidaya maupun teknik pendampingan dan pemberdayaan masyarakat. Di tingkat para pihak terkait, untuk memadukan kegiatan tidak diperlukan pembentukan lembaga baru, tetapi bisa memanfaatkan lembaga perencanaan yang ada seperti Bappeda. Bahkan di Kabupaten Boyolali ada semacam lembaga perencanaan alternatif yang dipimpin langsung oleh Sekretaris Daerah yang berfungsi untuk menampung aspirasi masyarakat dan membuat alternatif rencana, sebelum dilakukan pembahasan di Bappeda. Sekretaris Daerah memimpin langsung lembaga alternatif ini agar koordinasi betul-betul dihadiri oleh para pengambil kebijakan, sehingga dapat menyelesaikan konflik kepentingan yang ada untuk upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun, perlu penguatan penyusunan perencanaan di tingkat kecamatan dan desa sehingga prioritas pembangunan bukan hanya pada fisik (infrastrukur) tetapi juga untuk pemberdayaan dan pengembangan usaha masyarakat. Selanjutnya agar suatu program dapat dilaksanakan secara terpadu, dalam penyusunan perencanaan disarankan tidak mengacu pada kepentingan satu sektor semata, tetapi dengan mengacu pada upaya pemberdayaan masyarakat dan pengentasan kemiskinan (peningkatan kesejahteraan masyarakat), dimana para pihak diharapkan bisa sharing kegiatan sesuai dengan sektornya masing-masing tetapi dilaksanakan dan direncanakan secara terpadu. Adapun pihak yang dianggap sebagai leading sector disesuaikan dengan kepentingan yang ada. Sebagai contoh apabila fokus kegiatan ada di wilayah sekitar hutan atau di lahan marginal, maka leading sector dan fokus kegiatan lebih mengarah pada bidang kehutanan dalam hal ini ke arah pembangunan hutan rakyat. Namun bila lahan ada di wilayah pertanian maka leading sector dan fokus kegiatan lebih mengarah pada bidang pertanian.

Page 164: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

135

Dari hasil diskusi para pihak tersebut, disajikan model kelembagaan pembangunan hutan rakyat (Lampiran 2). Kelembagaan ini meliputi para pihak yang terlibat dalam pembangunan hutan rakyat, peran para pihak dan mekanisme kegiatan mulai dari perencanaan sampai dengan monitoring evaluasi. Adapun para pihak yang diharapkan terlibat dalam pembangunan hutan rakyat antara lain : a. Bappeda berkaitan dengan perencanaan daerah dalam

memadukan sektor-sektor yang saling berkaitan. b. Sektor kehutanan sebagai sektor yang memegang tanggung

jawab dalam pelaksanaan pembangunan hutan rakyat c. Sektor sumberdaya air dan pertambangan berkaitan dengan

pelestarian mata air dan lingkungan d. Sektor pertanian berkaitan dengan budidaya tanaman pertanian e. Sektor perindustrian dan koperasi berkaitan dengan

pengembangan usaha kecil dan kelembagaan f. Sektor peternakan berkaitan dengan pengembangan usaha

ternak dan pemanfaatan limbah ternak g. Penelitian dan pengembangan untuk dukungan teknologi h. Sektor swasta untuk dukungan permodalan dan pemasaran i. Masyarakat (Kelompok tani) sebagai ujung tombak

pelaksanaan di lapangan Mekanisme kerja antar para pihak terkait dalam model kelembagaan pembangunan hutan rakyat, apabila fokus kegiatan ada di bidang kehutanan disajikan pada Lampiran 2, sedang peran para pihak dalam model kelembagaan pembangunan hutan rakyat disajikan dalam Lampiran 3. Namun apabila fokus kegiatan ada di bidang lain, maka untuk instansi leader sector diganti dengan instansi yang terkait dengan bidang tersebut. Mekanisme kerja di tingkat masyarakat dapat diuraikan sebagai berikut. a. Sosialisasi tentang hutan rakyat oleh instansi yang terkait

dalam hal ini Dinas Kehutanan atau Bidang Kehutanan di instansi terkait melalui petugas penyuluh di lapangan. Sosialisasi mencakup semua hal yang berkaitan dengan pembangunan hutan rakyat. Hal ini perlu dilakukan karena belum semua masyarakat memahami manfaat hutan rakyat,

Page 165: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

136

bagaimana polanya dan lain-lain. Bila diperlukan, dalam tahap sosialisasi juga dibangun plot-plot percontohan, karena ini merupakan salah satu sarana sosialisasi.

b. Pengumpulan informasi mengenai kondisi fisik lahan dan sosial ekonomi masyarakat secara garis besar untuk memberikan gambaran dalam penyusunan rencana pembangunan hutan rakyat di lokasi tersebut. Informasi ini juga disampaikan kepada Dinas Kehutanan atau Bidang Kehutanan di instansi terkait untuk bahan penyusunan rencana pembangunan hutan rakyat di tingkat para pihak terkait.

c. Penyusunan rencana pembangunan hutan rakyat dilakukan dengan metode perencanaan partisipatif yang diawali dengan penggalian masalah, kebutuhan dan potensi yang dimiliki, sehingga rencana pembangunan hutan rakyat yang disusun sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Rencana pembangunan hutan rakyat antara lain menyangkut lahan yang akan digunakan untuk membangun hutan rakyat, pola hutan rakyat, sumber pendanaannya serta rencana kegiatan berbasis bukan lahan. Hal ini dimaksudkan agar pembangunan hutan rakyat juga diiringi dengan pengembangan ekonomi di luar usaha tani sesuai dengan potensi yang ada, sehingga mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap lahan. Selain itu, hal ini diharapkan juga bisa membangun keswadayaan masyarakat. Walaupun penyusunan rencana ini dilakukan dengan metode perencanaan partisipatif, akan tetapi juga tetap memperhatikan kebijakan pemerintah dan rencana pembangunan daerah yang telah disusun. Oleh karena itu, dalam penyusunan rencana perlu ada pendampingan baik oleh petugas penyuluh kehutanan maupun instansi terkait lainnya dengan harapan rencana yang tersusun sudah lebih terpadu.

d. Pelaksanaan pembangunan hutan rakyat dengan bimbingan dari petugas penyuluh kehutanan dalam hal teknik budidaya. Bimbingan ini juga dilakukan bersama dengan penyuluh pertanian atau peternakan sesuai dengan pola yang diterapkan dimana masing-masing memberikan pendampingan teknik budidaya sesuai dengan bidangnya. Kerjasama petugas penyuluh di lapangan tersebut dilandasi atas kerjasama dan koordinasi antar instansi terkait.

e. Pendampingan untuk penguatan kelembagaan di tingkat petani baik lembaganya (kelompok tani), aturan mainnya

Page 166: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

137

maupun mekanisme kerjanya oleh petugas lapangan dari instansi terkait.

f. Berkaitan dengan pemasaran hasil baik kayu maupun bukan kayu (hasil tanaman bawah tegakan seperti buah, empon-empon dan lain-lain), petani perlu diberi bekal keterampilan untuk pengolahan hasil, sehingga diperoleh nilai tambah. Pelatihan keterampilan tersebut dilaksanakan secara terpadu oleh para pihak yang terkait.

Mekanisme kerja di tingkat koordinasi instansi terkait dapat diuraikan sebagai berikut. a. Penyusunan rencana pembangunan hutan rakyat oleh Dinas

Kehutanan atau Bidang Kehutanan di instansi terkait, terutama lokasi dan luas sesuai kriteria lokasi atau lahan yang memang perlu dan harus ditanami dengan tanaman keras. Rencana tersebut juga menyangkut alternatif pola hutan rakyat yang akan dibangun sesuai dengan informasi kondisi fisik dan sosial ekonomi yang telah dikumpulkan.

b. Rencana yang telah tersusun disampaikan kepada pihak Bappeda yang nantinya akan mengkoordinasikan rencana tersebut dengan instansi terkait lainnya, agar dapat disusun rencana yang terpadu dengan sektor-sektor yang lain seperti pertanian, peternakan, koperasi dan UKM, perindustrian dan lain-lain.

c. Penyusunan draft rencana kegiatan jangka panjang berkaitan dengan pembangunan hutan rakyat dan kegiatan pendukung dari instansi terkait berdasarkan informasi awal mengenai kondisi fisik lahan dan sosial ekonomi masyarakat yang dikoordinasikan oleh Bappeda. Draft rencana ini digunakan masing-masing instansi terkait untuk memberikan arahan kepada petugas lapangan untuk melakukan pendampingan dalam penyusunan rencana pembangunan hutan rakyat di tingkat petani.

d. Penyusunan rencana pembangungan hutan rakyat definitif oleh Dinas Kehutanan atau Bidang Kehutanan bersama instansi terkait yang dikoordinasikan oleh Bappeda dengan memperhatikan rencana pembangunan hutan rakyat yang telah disusun masyarakat. Dengan demikian, rencana yang disusun tersebut menjadi semacam rancang bangun pembangunan hutan rakyat.

Page 167: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

138

e. Pemberian pembekalan kepada petugas lapangan oleh setiap instansi terkait untuk memberikan pendampingan teknik budidaya, administrasi kelompok, pemantapan organisasi, pengembangan usaha berbasis non usahatani serta pengolahan hasil pasca panen. Selain itu juga dilakukan pelatihan ketrampilan bagi masyarakat terutama untuk pengembangan usaha non usahatani dan pengolahan hasil pasca panen.

f. Pemberian dukungan dana dan pendampingan kepada masyarakat dalam pembangunan hutan rakyat melalui petugas lapangan (Penyuluh) masing-masing instansi terkait.

g. Monitoring dan evaluasi pembangunan hutan rakyat dilakukan oleh Bappeda bersama semua instansi terkait. Selain itu, petugas lapangan dari setiap instansi terkait juga wajib melakukan monitoring terhadap pembangunan hutan rakyat, dan hasilnya dijadikan sebagai masukan kepada instansi terkait untuk bahan penyusunan rencana pembangunan hutan rakyat di masa datang.

h. Menjalin kerjasama dengan pihak swasta yang dilakukan oleh masing-masing instansi terkait dalam rangka pemasaran hasil baik kayu maupun non kayu.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Para pihak terkait dalam pembangunan hutan rakyat adalah

Bappeda, sektor kehutanan, sektor sumberdaya air, sektor pertanian, sektor perindustrian dan koperasi, sektor peternakan, penelitian dan pengembangan, sektor swasta dan masyarakat (kelompok tani).

2. Tidak diperlukan pembentukan lembaga baru dalam pembangunan hutan rakyat, baik di tingkat masyarakat maupun di tingkat para pihak terkati, tetapi perlu mekanisme kerja yang jelas dari lembaga yang ada.

Page 168: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

139

3. Kelembagaan di tingkat para pihak terkait a. Disusun rancang bangun untuk pembangunan hutan rakyat

agar jelas lokasi prioritas dan tidak terjadi tumpang tindih dengan kegiatan lain khususnya pertanian.

b. Perencanaan pembangunan hutan rakyat secara terpadu dikoordinasikan oleh Bappeda.

c. Para pihak sharing kegiatan dan melakukan pembinaan kepada masyarakat sesuai dengan sektornya masing-masing tetapi dilaksanakan secara terpadu.

d. Dilakukan pembekalan untuk petugas lapangan baik dari segi teknologi maupun metode pemberdayaan dan pengembangan usaha masyarakat.

e. Monitoring dan evaluasi dilakukan oleh Bappeda.

4. Kelembagaan di tingkat masyarakat a. Perencanaan pembangunan hutan rakyat di tingkat

masyarakat dilaksanakan secara partisipatif kolaboratif, sehingga disamping kebutuhan masyarakat bisa penuhi, kepentingan dari pemerintah juga bisa dimasukkan dalam perencanaan.

b. Lembaga yang digunakan adalah kelompok tani yang sudah ada (tidak harus membentuk kelompok tani baru).

c. Pola hutan rakyat yang dibangun memberikan hasil berkesinambungan.

d. Pendampingan dilaksanakan oleh petugas lapangan dari setiap instansi terkait, bukan hanya dari sisi teknologi tetapi juga untuk menumbuhkan keswadayaan masyarakat.

e. Monitoring dan evaluasi dilakukan oleh seluruh instansi terkait.

B. Saran 1. Sektor yang mengambil bagian dalam pembangunan

masyarakat sekitar hutan dan pembangunan hutan rakyat diharapkan tidak membentuk lembaga baru di tingkat masyarakat tetapi hanya memanfaatkan lembaga masyarakat yang sudah ada.

2. Penyusunan rencana pembangunan hutan rakyat di tingkat kabupaten ke depan diharapkan terpadu dengan beberapa

Page 169: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

140

bidang terkait, bukan hanya dalam paket hutan rakyat tetapi peningkatan kesejahteraan masyarakat, sehingga penanggung jawab disesuaikan dengan fokus kegiatan, dimana para pihak sharing kegiatan sesuai dengan sektornya masing-masing tetapi dilaksanakan secara terpadu.

3. Perlu bentuk insentif yang tepat untuk menumbuhkan keswadayaan masyarakat dalam pembangunan hutan rakyat.

DAFTAR PUSTAKA Abe, A. 2002. Perencanaan Daerah Partisipatif. Pondok Edukasi.

Surakarta Azwar, S. 2000. Reliabilitas dan Validitas, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Departemen Kehutanan. 2000. Pola Umum dan Standar Kriteria Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Direktorat Rehabilitasi Lahan dan Konservasi tanah. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Departemen Kehutanan.

Dinas Kehutanan Prop. Jawa Tengah. 2005. Mengenal

Pembangunan Hutan Rakyat Pola Kemitraan di Propinsi Jawa Tengah. Semarang.

Hutapea, R. dan K. Suwondo. 1989. Metodologi Penelitian.

Fakultas Pascasarjana. Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga.

Keputusan Gubernur Jawa Tengah no. 67 Tahun 2002 tentang

Pedoman Bantuan Dana Bergulir Usaha Hutan Rakyat Pola Kemitraan Propinsi Jawa Tengah.

Moleong, L.J. 1999. Metologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja

Rosdakarya. Bandung.Nirmalasari, E.N. 2005. Sertifikasi Hutan di Jepang: Sampai Dimana kah? Jurnal Sertifikasi Ekolabel Edisi III September 2005: 86-88.

Page 170: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

141

Mulyana, Y. 2000. Peran Otonmi Daerah dalam Penyelenggaraan Penghijauan. Lokakarya Penghijauan Dati II Propinsi jawa Tengah tahun 2000. 29 Pebruari 2000 di Surakarta.

Ruttan VM and Y Hayami. 1984. Toward a theory of induced

institutional innovation. Journal of Development Studies. Vol.20:203-22.

Sutopo,H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Dasar Teori

dan Terapannya dalam Penelitian. Sebelas Maret University Press. Surakarta.

Tadjudin, D. 2000. Manajemen Kolaborasi. Pustaka Latin. Bogor.

Uphoff, N. 1986. Local Institution Development. Kumarian Press. Cornell University. United State of America.

Page 171: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

142

Lampiran 1. Permasalahan Dalam Pembangunan Hutan Rakyat di Lokasi Kegiatan

Jenis Tingkat Masyarakat Tingkat Para Pihak Terkait

Sumberdaya manusia

- SDM masyarakat yang rendah

- Kurangnya penguasaan teknik budidaya

- Lemahnya permodalan masyarakat.

- Kurangnya ketrampilan masyarakat

- Terbatasnya jumlah tenaga penyuluh di lapangan

Kelembagaan - Lemahnya kelembagaan (organisasi, mekanisme dan aturan main)

- Kurang kontinyunya bimbingan kepada masyarakat

- Konflik penggunaan lahan, karena ketergantungan masyarakat pada lahan cukup tinggi.

- Belum ada sistem perencanaan terpadu dalam pembangunan hutan rakyat

- Belum ada keterpaduan antar sektor

- Adanya beberapa kasus tumpang tindih lahan.

- Pembangunan hutan rakyat sering masih menggunakan pendekatan keproyekan

- Monitoring dan evaluasi hanya sebatas pada proyek

- Masih kurangnya komunikasi antar instansi terkait

Pendukung - Pengembangan kegiatan yang kurang sesuai dengan potensi desa dan masyarakat

- Kurangnya akses dan jaminan harga untuk pemasaran hasil kayu maupun tanaman bawah tegakan.

- Kurangnya dukungan kebijakan pemerintah daerah dalam pembangunan hutan rakyat

Page 172: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

143

Lampiran 2. Model Kelembagaan Hutan Rakyat.

Bappeda

Kehutanan Para pihak terkait: - Pertanian - Peternakan - Perindustrian - Koperasi - Swasta dll

Menyusun rencana pembangunan hutan rakyat dan lokasi prioritas

Penyusunan rencana kegiatan terpadu di bawah koordinasi Bappeda

Menyusun rencana kegiatan pendukung dalam pembangunan hutan rakyat

penyuluh

Petugas lapangan

Membangun network

Penyusunan rencana partisipatif

Sosialisasi Pendampingan teknologi sesuai bidangnya dan kelembagaan

Masyarakat

Penyusunan rencana pembangunan hutan rakyat Penguasaan teknik budidaya Pelembagaan hutan rakyat Pembentukan lembaga

Page 173: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

144

Lampiran 3. Peran Para Pihak dalam Model Kelembagaan Pembangunan Hutan Rakyat

Tahapan Tingkat Masyarakat Tingkat Para Pihak Terkait

Keterang-an Kelompok Tani

Penyuluh Pihak Swasta

Bappeda Kehuntanan Lainnya*) Pihak Kehutanan Lainnya*)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Sosialisasi

Sasaran sosialisasi

Melakukan sosialisasi

Menghimpun informasi awal kondisi fisik lahan dan sosek masyarakat

Memberikan pembekalan kepada penyuluh untuk sosialisasi dan pengumpulan informasi awal

Perenca-naan

Menyusun perencaaan partisipatif kolaboratif

Memberikan masukan untuk rencana di tingkat kabupaten

Mendampingi dalam penyusunan rencana pembangun-an hutan rakyat, agar terpadu dari beberapa sektor dalam pembangun-an daerah

Mendam-pingi dalam penyusunan rencana pembangun-an hutan rakyat, agar terpadu dari beberapa sektor dalam pembangun-an daerah

Bappeda mengkoordi-nasikan penyusunan rencana pembangun-an hutan rakyat terpadu dengan instansi terkait lainnya

Menyusun rencana prioritas lokasi pembangunan hutan rakyat dan alternatif pola hutan rakyat

Menyusun rencana pembangunan hutan rakyat

Menyusun rencana kegiatan pendukung dalam pembangunan hutan rakyat

Memberikan informasi komoditi yang punya prospek pasar dan infromasi peluang pembangunan hutan rakyat dengan pola kemitraan

Dukungan dana berasal dari setiap instansi terkait sesuai kegiatannya

Page 174: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

145

melalui penyuluh dan pemerintah desa

bersama instansi terkait lain dikoordinasi-kan oleh Bappeda

Pelaksa-naan

Melaksana-kan pemba-ngunan hutan rakyat

Mendampingi dalam teknik budidaya dan upaya pemberdaya-an masy. untuk menumbuh-kan keswadayaan

Mendampingi teknologi sesuai bidang dan upaya pemberdaya-an masy. untuk menumbuh-kan keswadayaan

Memba-ngun hutan rakyat dengan pola kemitraan

Monitoring perkembang-an

Mengadakan pelatihan baik untuk petani maupun petugas lapangan

Mengada-kan pelatihan ketrampilan baik untuk petani maupun petugas lapangan

Dukungan dana berasal dari setiap instansi terkait sesuai kegiatannya

Pemasar-an

Mengolah hasil pasca panen

Mendampingi pengolahan pasca panen

Menam-pung hasil kayu dan non kayu

Membangun jejaring dengan pihak swasta

Membangun jejaring dengan pihak swasta

Menampung hasil kayu dan non kayu

Dukungan dana berasal dari setiap instansi terkait sesuai kegiatannya

Catatan : Kehutanan menjadi penanggung jawab apabila lokasi tersebut prioritas untuk pembangunan hutan rakyat, bila fokus kegiatan pada tanaman pangan atau peterakan maka yang menjadi penanggung jawab adalah sektor yang bersangkutan *) Pertanian, peternakan, koperasi dan UKM, perindustrian dll

Page 175: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

146

SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DALAM PERSPEKTIF SISTEM PERENCANAAN PENGELOLAAN SUB DAS –

STUDI KASUS DI SUB DAS PROGO HULU1

Oleh: Pamungkas B.P 2 dan Paimin 3

Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Jl. A. Yani PO Box 295 Pabelan. Telepon/Fax.: (+62 271) 716709/716959

Email: [email protected] 2 [email protected]; 3 [email protected]

ABSTRAK

Pengelolaan DAS dilakukan melalui tindakan berupa perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan. Penyusunan rencana pengelolaan DAS tingkat Sub DAS berbasis karakterisasi Sub DAS yang diintegrasikan dengan sistem perencanaan kehutanan dan sistem tata ruang wilayah kabupaten/kota. Sistem perencanaan kehutanan menjadi sistem pendukung dalam sistem perencanaan pengelolaan DAS dan sebagai implementasi penyelenggaraan kehutanan dalam menjalankan amanat untuk meningkatkan daya dukung DAS. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji penyelenggaraan pengelolaan kawasan hutan dan sistem perencanaannya yang akan disenergiskan dalam sistem perencanaan pengelolaan DAS tingkat Sub DAS yang melingkupi satu kabupaten dominan.Penelitian dilakukan pada tahun 2010 di Sub DAS Progo Hulu. Lokasi ini dipilih dengan alasan mempunyai tingkat kerentanan degradasi yang tinggi; dan daerah tangkapan airnya secara dominan berada dalam satu wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Temanggung. Penelitian bersifat deskriptif (kuantitatif dan kualitatif) dengan analisa data primer dan sekunder. Kawasan hutan negara di Sub DAS Progo Hulu di bawah pengelolaan KPH Kedu Utara, Perum Perhutani Unit I Jateng. Sistem perencanaan pengelolaan hutan berbasis pada unit kelestarian dan unit pengelolaan. Secara unit kelestarian, kawasan hutan di tangkapan air Sub DAS Progo terbagi menjadi BH Temanggung dibawah unit pengelolaan BKPH Temanggung RPH Kemloko, Kacepit dan Kwadungan; dan BH Candiroto di bawah unit pengelolaan BKPH Candiroto terdiri dari RPH Jumo dan Tlogopucang. Untuk tingkatan Sub DAS pada skala kabupaten dominan, maka sistem 1 Makalah disampaikan pada Semiloka “Riset Pengelolaan DAS Menuju

Kebutuhan Terkini” Surakarta, 27-28 Juni 2011. Kerjasama Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi dengan Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

Page 176: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

147

perencanaan kehutanan yang perlu diperhatikan adalah pada tingkatan perencanaan (unit) pengelolaan hutan yang menyangkut fungsi, status kawasan hutan dan tata hutan (hirarki unit pengelolaan, pembagian blok-blok pengelolaan hutan berupa petak/anak petak, kelas perusahaan dan kelas hutan).

Kata kunci : Sub DAS, sistem perencanaan kehutanan, sistem

perencanaan pengelolaan Sub DAS

I. PENDAHULUAN Suatu Daerah Aliran Sungai pada hakekatnya merupakan suatu kesatuan pengelolaan lingkungan dengan menyatukan berbagai ekosistem alami di daratan antara wilayah hulu sampai hilir. Berbagai tipe ekosistem dan sumber daya lahan (seperti hutan, perkebunan, pemukiman, lahan basah, wilayah pantai) dalam suatu DAS dihubungkan melalui siklus/daur ekologi antara bagian hulu dan hilirnya (Rachman, 2009; Dixon dan Easter, 1986 dalam Paimin, Pamungkas dan Haryanti, 2010). Dalam berbagai tipe ekosistem dan sumber daya lahan di suatu DAS terdapat berbagai sektor dan pemangkunya dengan kepentingan dan tujuan masing-masing. Seringkali masing-masing sektor beraktivitas untuk membangun perekonomian dan kesejahteraan secara eksploitatif yang mengabaikan daya dukung lingkungannya. Aktivitas yang eksploitatif ini cenderung akan mengakibatkan degradasi sumberdaya alam dalam DAS, sehingga mendorong terjadinya berbagai permasalahan seperti peningkatan lahan kritis, terjadinya sedimentasi di waduk, terjadinya bencana alam (banjir, kekeringan, tanah longsor) dan kerusakan ekosistem hutan (Rachman, 2009). Untuk memulihkan dan meningkatkan fungsi lingkungan diupayakan melalui pengelolaan DAS yang sesuai dengan kondisi biofisik dan sosek. Pendekatan pengelolaan lingkungan melalui satuan unit pengelolaan DAS berdasarkan prinsip bahwa DAS merupakan suatu prosesor, dimana setiap masukan ke dalam DAS akan menghasilkan luaran. DAS sebagai suatu prosesor terdiri dari berbagai komponen (yaitu: morfometri, geologi, tanah,relief makro, vegetasi, kesuburan tanah, relief mikro dan manusia) memiliki karakteristik khas yang dihasilkan dari interaksi karakter alami dengan karakter dari pengelolaan yang diterapkan. Berbagai

Page 177: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

148

komponen DAS akan saling berinteraksi dan dapat memberikan tanggapan atas masukan yang masuk kedalamnya. Tanggapan itu adalah luaran yang pencerminannya berupa kondisi erosi, watak aliran (kualitas dan kuantitas air) dan sedimen terangkut (Paimin et al,2006). Pengelolaan DAS dimaksudkan untuk mengelola berbagai komponen penyusunnya agar berfungsi secara optimal sehingga menghasilkan output yang berkelanjutan. Karena DAS tersusun atas berbagai sumber daya lahan, maka tujuan pengelolaan DAS menurut Paimin et al (2008) adalah untuk mencapai kelestarian berbagai macam penggunaan lahan yang secara lingkungan sehat, menguntungkan secara ekonomi dan dapat diterima secara sosial. Untuk mencapainya, pengelolaan DAS dilakukan melalui tindakan-tindakan berupa perencanaan, pengorganisasian (kelembagaan), pelaksanaan (implementasi) dan pengawasan (monitoring-evaluasi). Perencanaan merupakan salah satu fungsi pengelolaan, berisi: penentuan tindakan yang tepat untuk masa depan, melalui tahapan pilihan yang sesuai, dengan memperhitungkan sumberdaya yang sesuai (Siagian, 1996; UU No. 25, 2004). Perencanaan bersifat dinamis dan tujuannya dapat berubah sesuai dengan waktu (Brook et al, 1990). Wilayah DAS yang terdiri dari berbagai pengelolaan dan potensi sumberdaya memerlukan suatu keterpaduan perencanaan yang sesuai dengan kondisi dinamika masa kini baik biofisik, sosial ekonomi, kelembagaan maupun politik. Hutan pada hakekatnya adalah sumber daya lahan yang merupakan bagian dari seluruh sumber daya lahan dalam DAS, sehingga ekosistem hutan dapat dipandang sebagai bagian dari ekosistem DAS. Aktivitas pengelolaan hutan dapat terkait dengan DAS karena memberikan pengaruh tata air, erosi dan sedimentasi. Sehingga diamanatkan bahwa peningkatan daya dukung DAS menjadi salah satu prioritas penyelenggaraan kehutanan (pasal 3 UU No. 41 tahun 1999). Melalui PP No. 38/2007, Kementerian Kehutanan sebagai instansi pemerintah yang menyelenggarakan bidang kehutanan berperan

Page 178: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

149

melaksanakan penyusunan rencana pengelolaan DAS terpadu. Penyusunan rencana tersebut harus mengingat bahwa DAS pada hakekatnya tersusun dari berbagai macam sumber daya lahan yang pengelolaannya menyangkut dengan berbagai pihak dan kepentingan berbeda-beda. Peran utama Kementerian Kehutanan (sebagai institusi pusat) dalam pengelolaan DAS melalui penatagunaan hutan, pengelolaan kawasan konservasi dan rehabilitasi DAS (Permenhut No. 39/ 2009). Sedangkan pemangku sektor kehutanan lainnya juga mempunyai peran terhadap peningkatan daya dukung dan pengelolaan DAS melalui perlindungan hutan dari daya-daya alam seperti: tanah longsor, banjir dan kekeringan (pasal 6 dan 16, Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 2004). Untuk menyusun perencanaan pengelolaan DAS, Paimin et al (2006) menawarkan cara penyusunan berdasar pada karakterisasi DAS. Karakterisasi DAS merupakan hasil identifikasi permasalahan aktual yang dicirikan oleh karakter/perwatakan yang ada dan sedang berkembang dari DAS. Karakterisasi DAS menunjukan tingkat kerawanan, sifat kerentanan dan potensi sumberdaya yang dimiliki (Paimin et al, 2006). Hasil karakterisasi DAS tersebut kemudian disinergikan dengan sistem perencanaan dan pengelolaan dari masing-masing sumber daya dalam DAS yang meliputi sistem pemerintahan, sistem penataan ruang dan sistem kehutanan. Penyusunan rencana pengelolaan sub DAS berdasarkan formulasi karakteristik sub DAS (Paimin et al, 2006 revisi 2010) akan mengintegrasikan sistem perencanaan kehutanan sebagai salah satu sistem pendukungnya. Sehingga peran kehutanan dalam mendukung penyelenggaraan pengelolaan DAS dapat lebih terintegrasi dan tepat sasaran. Harapan selanjutnya, agar sistem perencanaan pengelolaan Sub DAS dapat tersusun lebih komprehensif dan terpadu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji penyelenggaraan pengelolaan kawasan hutan dan sistem perencanaannya yang akan disenergiskan dalam sistem perencanaan pengelolaan DAS tingkat Sub DAS yang melingkupi satu kabupaten dominan.

Page 179: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

150

II. METODE Penelitian ini merupakan kegiatan dalam rangka memperkaya data dan informasi untuk penyempurnaan penyusunan Formula Sistem Perencanaan pengelolaan Sub DAS. Buku Sidik Cepat Degradasi Sub DAS dari Paimin et al (2006) menjadi acuan dalam pelaksanaan penelitian ini. Penelitian yang dilakukan adalah terkait dengan sistem perencanaan kehutanan dalam suatu Sub DAS hulu yang diintegrasikan dalam sistem perencanaan pengelolaan Sub DAS hulu. Perencanaan dalam pengelolaan DAS berdasarkan pada karakteristik suatu DAS yang meliputi karakter yang bersifat alami (statis) dan bersifat manajemen (dinamis). Kedudukan penelitian ini dalam mendukung Sistem Perencanaan Sub DAS tersaji dalam Gambar 1. Penelitian bersifat deskriptif (kuantitatif dan kualitatif) dengan analisa data primer dan sekunder. Data primer meliputi: data aktual penutupan lahan, kondisi lahan (kelerengan, tanah) yang diperoleh melalui survey. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi: data potensi dan perencanaan pengelolaan hutan yang diperoleh dari KPH Kedu Utara Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah, data RTRW Kabupaten Temanggung diperoleh dari Bapeda Kabupaten Temanggung. Penelitian dilakukan pada tahun 2010 dengan lokasi penelitian di Sub DAS Progo Hulu. Lokasi ini dipilih karena beberapa alasan, yaitu: 1) Sub DAS Progo Hulu mempunyai potensi kerentanan degradasi lahan cukup tinggi; 2) Daerah tangkapan air (cacthment area) Sub DAS Progo Hulu secara dominan berada dalam wilayah Kabupaten Temanggung, Propinsi Jawa Tengah. Hal ini sesuai sebagai wilayah untuk implementasi kriteria Sistem Karakterisasi Sub DAS dimana perencanaan pengelolaan suatu Sub DAS berbasis dalam satuan wilayah kabupaten dominan (Paimin et al, 2008).

Page 180: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

151

III. LANDASAN KEBIJAKAN

A. Sistem Perencanaan Kehutanan Perencanaan kehutanan merupakan salah satu kegiatan dari penyelenggaraan kehutanan disamping adanya kegiatan pengelolaan hutan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan dan penyuluhan kehutanan; serta pengawasan. Perencanaan Kehutanan adalah proses penetapan tujuan, penentuan kegiatan dan perangkat yang diperlukan dalam pengurusan hutan lestari untuk memberikan pedoman dan arah guna menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Perencanaan kehutanan meliputi kegiatan: (a) inventarisasi hutan, (b) pengukuhan kawasan hutan, (c) penatagunaan kawasan hutan, (d) pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan (e) penyusunan rencana kehutanan (PP No. 44 Tahun 2004, pasal 3). Terkait dengan pengelolaan DAS, inventarisasi hutan juga dilaksanakan dalam tingkatan DAS (pasal 5 Peraturan Pemerintah

Gambar 1.Posisi Sistem Perencanaan Kehutanan dalam alur kegiatan penelitian Sistem Perencanaan Pengelolaan DAS Hulu.

Alternatif Kegiatan

Rencana Pengelolaan Sub DAS (Hulu)

Studi Pustaka Buku Sidik Cepat Degradasi Sub

Observasi Lapang Observasi Informasi

Karakteristik sub DAS (Kerentanan & Potensi) Sistem Perencanaan

Kehutanan

Sintesis Formula Sistem Perencanaan Pengelolaan DAS Hulu

RTRW Kab.

Page 181: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

152

No. 44 Tahun 2004). Hal ini untuk memperoleh data dan informasi tentang sumber daya, potensi kekayaan alam hutan serta lingkungannya yang mencakup hutan negara dan hutan hak. Penyelenggaraan inventarisasi hutan tingkat DAS diatur berdasarkan cakupan wilayah DAS terhadap wilayah administrasi pemerintahan daerah. Untuk wilayah DAS lintas provinsi inventarisasi hutan diselenggarakan oleh Menteri, lintas kabupaten oleh Gubernur, dalam kabupaten/kota oleh Bupati/Walikota. Inventarisasi hutan tingkat DAS dimaksudkan sebagai bahan penyusunan rencana pengelolaan DAS yang bersangkutan (pasal 11, PP No.44 Tahun 2004). Penyusunan rencana kehutanan diatur dalam sistem perencanaan kehutanan berdasarkan Permenhut No. P.42/Menhut-II/2010 tentang Sistem Perencanaan Kehutanan. Sistem perencanaan kehutanan merupakan rangkaian penyusunan, penilaian dan penetapan jenis-jenis rencana kehutanan yang menyangkut substansi, mekanisme dan proses dalam rangka mewujudkan rencana-rencana kehutanan yang sinergi, utuh dan menyuluruh serta menjadi acuan bagi pembangunan sektor kehutanan. Usulan kegiatan dalam perencanaan pengelolaan hutan dalam satuan DAS harus mempertimbangkan penggunaan (fungsi) hutan dan aturan pemanfaatan hutan (PP No. 6 Tahun 2007 jo PP No. 3 Tahun 2008) yang tertuang dalam rencana kehutanan. Rencana kehutanan merupakan dokumen teknis produk perencanaan kehutanan (Bagian delapan PP No. 44 Tahun 2004) yang berisi arah tindakan pengaturan dan pengelolaan kehutanan berdasarkan potensi sumber daya hutan, yang disusun menurut skala geografis, fungsi pokok kawasan hutan dan jangka waktu pelaksanaan. Rencana kehutanan terdiri atas rencana kawasan hutan dan rencana pembangunan kehutanan. Rencana pembangunan kehutanan mengacu pada rencana pembangunan nasional. Rencana pembangunan tersusun menurut skala waktu (panjang, menengah dan pendek) dan geografis (nasional, propinsi dan kab/kota) sebagai panduan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat. Untuk pembangunan jangka menengah (RPJM) di tingkat kementerian/lembaga dan SKPD disebut dengan Renstra. Demikian untuk penyelenggaraan

Page 182: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

153

bidang kehutanan, kementerian kehutanan sebagai penyelenggara kehutanan tingkat nasional, instansi vertikal di daerah (direktorat/pusat, balai besar dan balai) dan SKPD (tingkat propinsi dan kab/kota) menyusun renstra. Acuan dalam menyusun rencana kehutanan tingkat unit pengelolaan KPH terdiri dari rencana kawasan hutan dengan jangka 10 tahun dan rencana pembangunan (jangka 5 tahun yang disebut renstra dan jangka 1 tahun yang disebut rencana kerja). Hirarki rencana kehutanan tersebut disusun tergantung pada skala wilayah hutannya yaitu lintas kabupaten atau dalam satu kabupaten. Rencana pengelolaan jangka panjang disusun oleh kepala KPH disyahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Sedangkan untuk rencana jangka pendek disyahkan oleh kepala KPH disusun oleh pejabat yang ditunjuk oleh kepala KPH. Tabel 1. Rencana Pembangunan dan Rencana Kehutanan

Dasar Hukum

Jangka Waktu

Skala Geografis Nasional Propinsi Kab/Kota

Rencana Pembangunan (Umum) UU No 25/2004 PP No. 20/2004

Panjang (20 tahun)

RPJP Nasional RPJP Propinsi

RPJP Kab/Kota

Menengah RPJM Nasional RPJM Propinsi

RPJM Kab/Kota

Tahunan RKP RKPD Propinsi

RKPD Kab/Kota

Rencana Kehutanan UU No. 41/1999; PP No. 44/2004; Permenhut No. P.42/2010

Rencana Kawasan Hutan Jangka (20 tahun)

Rencana Kehutanan

Tingkat Nasional (RKTN)

Rencana Kehutanan

Tingkat Propinsi (RKTP)

Rencana Kehutanan

Tingkat Kabupaten/Kota

(RKTK) Jangka 10 tahun

Rencana Pengelolaan Hutan di tingkat KPH (RKPH)

Rencana Pembangunan Kehutanan Menengah (5 tahun)

Rencana Strategis Kementerian Kehutanan

Rencana Strategi SKPD Propinsi

Rencana Strategis SKPD Kabupaten/Kota

Rencana Strategis KPH Tahunan Rencana Kerja

Kementerian Kehutanan (Renja-K/L)

Rencana Kerja SKPD Propinsi

Rencana Kerja SKPD Kabupaten/Kota

Rencana Kerja KPH

Page 183: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

154

Secara tata hubungan, rencana kehutanan yang memiliki jangka waktu panjang akan bersifat umum dengan arahan yang bersifat makro dan indikatif, sedangkan untuk jangka waktu pendek lebih bersifat operasional. Bila sesuai hirarkinya, rencana yang lebih tinggi tingkatnya menjadi acuan bagi hirarki rencana dibawahnya.

B. Pengelolaan Hutan. Untuk menyelenggarakan pengelolaan hutan tetap dibentuk wilayah unit pengelolaan hutan yang dilaksanakan oleh pemerintah secara langsung (berdasarkan tingkatan pemerintahan, meliputi: pemerintah, pemerintah propinsi, pemerintah kota/kabupaten) dan/atau dilimpahkan oleh pemerintah kepada BUMN. Masing-masing unit pengelolaan itu penetapannya oleh Menteri Kehutanan. Pengelolaan unit pengelolaan kawasan hutan tetap yang dilaksanakan oleh pemerintah secara langsung melalui pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Pembentukan KPH berdasarkan atas satu atau lebih fungsi pokok kawasan hutannya dengan mempertimbangkan efisien dan efektivitas pengelolaan hutan. Berdasarkan PP No. 6 Tahun 2007 jo PP no. 3 Tahun 2008, penamaan KPH berdasarkan atas fungsi pokok hutan yang luasnya dominan, sehingga KPH terdiri dari: KPH Konservasi (mengelola hutan konservasi), KPH Lindung (mengelola hutan lindung) dan KPH Produksi (mengelola hutan produksi). Usulan penetapan KPH Konservasi oleh Dirjen PHKA, sedangkan KPH Lindung dan KPH Produksi oleh Gubernur. KPH menjadi wadah implementasi dan penyelenggaraan pengelolaan hutan berdasarkan pada jabaran rencana kehutanan nasional dan tingkat wilayah (baik propinsi maupun kota/kabupaten). Pengelolaan hutan dapat dilimpahkan kewenangan pengelolaannya dari pemerintah kepada BUMN, misalnya kepada Perum Perhutani. Unit pengelolaan hutan di Perum Perhutani disebut dengan Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH). Penyebutan singkatan KPH yang ada di Perum Perhutani berbeda dengan singkatan KPH dalam PP No. 6 Tahun 2007 jo PP No. 3 Tahun 2008. Hal ini mengingat keberadaan Perum Perhutani lebih dahulu dibanding peraturan tersebut. Usulan penetapan KPH di Perum

Page 184: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

155

Perhutani dilakukan oleh Direksi dan penetapannya oleh Menteri Kehutanan (PP No. 30 Tahun 2003 jo PP No. 72 Tahun 2010). Masing-masing pembentukan wilayah KPH berdasarkan atas status penyelenggaraannya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Pembentukan wilayah KPH

Pembentukan Wilayah KPH Status

Penyelenggaran Pengelolaan

Kawasan Hutan

Jenis KPH Rancang Bangun Usulan Penetapan

Penetapan Peristilahan Sesuai

Fungsi Pokok Hutan

Dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah propinsi dan pemerintah kota/kabupaten 1)

Kesatuan Pengelolaan Hutan

KPH Konservasi

Kepala UPT Konservasi Sumberdaya Alam

Dirjen PHKA

Menteri Kehutanan

KPH Lindung

Kepala Dinas yg membidangi kehutanan di Provinsi dengan pertimbangan dari Bupati/ Walikota

Gubernur

KPH Produksi

Dilaksanakan oleh BUMN (Perum Perhutani) 2)

Kesatuan Pemangkuan Hutan

KPH (Lindung dan Produksi)

- Direksi

Sumber: 1) UU No. 41 Tahun 1999; PP No. 6/2007 jo PP No.3/2008; PP No. 44/2004 dan Permenhut No. P.6/Menhut-II/2009

2) UU No. 41 Tahun 1999; PP No. 30 Tahun 2003 jo PP no. 72 Tahun 2010; PP No. 6/2007 jo PP No. 3/2008

Tiap-tiap pengelolaan hutan diamanatkan untuk mengacu pada karakterisasi dari DAS bersangkutan dimana wilayah hutan tersebut berada (ayat 3, pasal 32 PP No. 44 Tahun 2004). Dengan demikian, setiap pengelola hutan dalam melaksanakan pengelolaan hutan hendaknya mengetahui karakteristik DAS-nya yang terdiri dari karakteristik alamiah dan dinamis. C. Sistem Perencanaan Perum Perhutani Penyusunan perencanaan Perum Perhutani tidak mengacu secara mutlak kepada sistem perencanaan kehutanan yang tertuang dalam Permenhut P.42/Menhut-II/2010 (pasal 36 Permenhut P.42/Menhut-II/2010). Hal ini karena lingkup perencanaan Perum Perhutani terdiri dari perencanaan perusahaan dan perencanaan pengelolaan hutan. Namun demikian, perencanaan pengelolaan hutan Perum Perhutani harus diselaraskan dengan Rencana Kehutanan Tingkat Nasional dan Tingkat Propinsi.

Page 185: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

156

Penyusunan perencanaan perusahaan berdasar pada peraturan dan kebijakan dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang disusun sebagai acuan dalam menjalankan bisnis dan perusahaan. Sedangkan perencanaan pengelolaan hutan berdaar pada peraturan dan kebijakan dari Kementerian Kehutanan, yang disusun sebagai acuan dalam melakukan kelola sumberdaya hutan secara lestari. Perencanaan pengelolaan hutan Perhutani harus diselaras dengan Rencana Kehutanan Tingkat Nasional dan Tingkat Propinsi. Penyusunan perencanaan dikelola oleh suatu satuan kerja tergantung lingkup jenjangnya (Divisi/Badan Perencanaan dan Pengembangan untuk lingkup wilayah perusahaan; Biro Perencanaan Sumberdaya Hutan untuk lingkup Unit dan Seksi Perencanaan Hutan untuk lingkup regional). Perencanaan pengelolaan hutan berbasis pada suatu unit kelestarian dan unit pengelolaan. Perencanaan dalam unit kelestarian bersandar pada kelestarian hasil dimana kawasan hutan ditata sedemikian rupa dalam satu kesatuan wilayah kelestarian hasil yang disebut dengan Bosch Afdelling (Bagian Hutan, BH). Salah satu dasar pertimbangan pembentukan BH adalah keberadaan DAS atau kesatuan ekosistem. Disamping itu, suatu kawasan hutan juga ditata berdasarkan atas komoditas (produksi) utama yang diusahakan disebut dengan Kelas Perusahaan (KP), misalnya KP Jati, KP Pinus, dsb. Masing-masing KP biasanya terbagi dalam BH-BH. Sedangkan perencanaan dalam unit pengelolaan adalah penataan hutan dalam satu kesatuan wilayah manajemen operasional, terdiri dari hirarki: Direksi, Unit, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH), Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) dan Resort Polisi Hutan (RPH). Unit kelestarian dan unit pengelolaan mempunyai keterkaitan satu sama lain, dimana unit pengelolaan berfungsi menjalankan urusan pengelolaan suatu unit kelestarian. Suatu KPH biasanya terdiri dari beberapa unit kelestarian,yang dikelola oleh beberapa jenjang untui pengelolaan dibawah KPH. Sedangkan terkait kelas perusahaan, suatu KPH bisa mempunyai satu atau beberapa kelas perusahaan.

Page 186: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

157

Untuk menjalankan core business dan pengelolaan SDH, Perum Perhutani membuat perencanaan yang disusun berdasarkan jangka waktu, lingkup perencanaan dan unit kerjanya (Tabel 3). Masing-masing jenis Rencana yang disusun saling terkait dan terpadu dan tidak bertentangan yang dijalankan dalam suatu sistem perencanaan hutan Perum Perhutani (Gambar 2). Jenis rencana tersebut disusun, dinilai dan disyahkan sesuai hirarki dan jangka waktunya (Tabel 4). Tabel 3. Jenis Rencana masing-masing unit kerja di Perum Perhutani

No Jenis Rencana

Lingkup Perencanaan

Jenis Rencana pada Unit Kerja

Direksi Pusat Unit KPH KBM Anak

Perusahaan

1 Jangka Panjang

SDH RKUPHHK

- - RPHL - -

Perusahaan

RUP RUP RUP - - RUP

2. Jangka Menengah

SDH RKLUPHHK

RKLUPHHK

Rev. RPHL

Perusahaan

RJP RJP RJP RJP RJP RJP

3. Jangka Pendek

SDH RKTUPHHK

- RKTUPHHK

RTT- Project Statement

- -

Perusahaan

RKAP RAB RO

RKAP RAB RO

RKAP RAB RO

RKAP RAB RO

RKAP RAB RO

RKAP RAB RO

Catatan: RKUPHHK=Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu; RPHL=Rencana Pengelolaan Hutan Lestari; RUP=Rencana Umum Perusahaan; RKLUPHHK=Rencana Kerja Lima Tahun Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu; RJP=Rencana Jangka Panjang; RKTUPHHK=Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu; RTT= Rencana Teknik Tahunan; RKAP=Rencana Kerja Anggaran Perusahaan. Sumber: Surat Keputusan Direksi Perum Perhutani No. 402/Kpts/Dir/2007 Tentang Sistem Perencanaan Perum Perhutani

Page 187: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

158

Gambar 2. Sistem Perencanaan Perum Perhutani

No. Jenis Rencana

Jangka Waktu

Sub Sistem Perencanaan SDH

Sub Sistem Perencanaan Perusahaan

1. Panjang 20 tahun

10 tahun

2. Menengah 5 tahun

3. Tahunan 1 tahun

Catatan: RKUPHHK=Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu; RPHL=Rencana Pengelolaan Hutan Lestari; RPKH=Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan; RUP=Rencana Umum Perusahaan; RKLUPHHK=Rencana Kerja Lima Tahun Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu; RJP=Rencana Jangka Panjang; RKTUPHHK=Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu; RTT= Rencana Teknik Tahunan; RKTP=Rencana Kerja Tahunan Perusahaan; RKAP=Rencana Kerja Anggaran Perusahaan; RO=Rencana Operasional

Sumber: Surat Keputusan Direksi Perum Perhutani No. 402/Kpts/Dir/2007 Tentang

Sistem Perencanaan Perum Perhutani.

Tabel 4. Jenis Rencana, Penyusun, Penilai dan Pengesah Rencana serta Tata Waktu Penyusunan Rencana di Perum Perhutani.

No. Unit Kerja

Jenis Rencana

Penyusun Penilai Pengesah

1. Direksi RUP Direktur Utama BOD & Dewas

Menhut

Jan-Juli (T-1) Agut (T-1) Des (T-1) RJP Direktur Utama BOD &

Dewas Meneg BUMN

Jan-Juli (T-1) Agut (T-1) Des (T-1) RKLUPHHK Direktur Utama BOD &

Dewas Menhut

Jan-Mar (T RKU)

Apr (T RKU) Des (T RKU)

RKTUPHHK Direktur Utama BOD & Dewas

Menhut

Jan-Mar (T RKL)

Apr (T RKL) Des (T RKL)

RKAP Direktur Utama BOD & Dewas

Meneg BUMN

Juli-Okt (T-1) Nov (T-1) Des (T-1) RO Direktur/Kabad Tim RKAP Dir. Keuangan

RKUPHH RUP Perhutani

RPHL/RPK

RKLUPPH RJP

RTT

RKTUPHH RKT

RO

RAB

RKA

PS BS

Page 188: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

159

No. Unit Kerja

Jenis Rencana

Penyusun Penilai Pengesah

an/KSPI Des (T-1) Des (T-1) Des (T-1)

2. Unit RUP Kanit Kabadan PP Dirut Jan-Juli (T-1) Agut (T-1) Des (T-1)

RJP Kanit Kabadan PP Dirut Jan-Juli (T-1) Agut (T-1) Des (T-1)

RKLUPHHK Kanit Kadishut Prov

Gubernur

Jan-Mar (T RKU)

Apr (T RKU) Des (T RKU)

RKTUPHHK Kanit Kadishut Prov

Gubernut

Jan-Mar (T RKL)

Apr (T RKL) Des (T RKL)

RKTP Kanit Kabadan PP Dir. Keuangan Mar-april Mei (T-1) Mei (T-1)

RKAP Unit Kabadan PP Dir. Keuangan Mei-Juni (T-1) Jul-Okt (T-1) Des (T-1)

RO Karo-Karo Kabadan PP Kanit Des (T-1) Des (T-1) Des (T-1)

3. KPH RPHL/RPKH KSPH Karoren Kanit T-2 Sep-Des (T-

1) Des (T-1)

RJP ADM/KKPH Karoren Kanit Jan-Juli (T-1) Agut (T-1) Des (T-1)

RTT/PS ADM/KKPH KSPH Karoren Jan-Juli (T-2) Jul-Des (T-2) Des (T-2)

RKTP ADM/KKPH KSPH Karoren Jan (T-1) Feb-April (T-

1) Mei (T-1)

RKAP ADM/KKPH Karoren Kanit Mei-Juni (T-1) Jul-Okt (T-1) Des (T-1)

RO Kasi PSDH Wakil ADM ADM Des (T-1) Des (T-1) Des (T-1)

Cat: BOD= Board of Direction (jajaran Direksi);Kabadan = Kepala Badan; KSPI = Kepala Satuan Pengawasan Intern;Kadishut= Kepala Dinas Kehutanan; Kanit = Kepala Unit; Karo= Kepala Biro; Karoren=Kepala Biro Perencanaan; KSPH = Kepala Seksi Perencanaan Hutan; ADM/KKPH = Administratur/Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan.

Sumber: Surat Keputusan Direksi Perum Perhutani No. 402/Kpts/Dir/2007

Tentang Sistem Perencanaan Perum Perhutani Penyusunan rencana pengelolaan SDH di Perum Perhutani dituangkan dalam RPKH (Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan) dengan basis utama pada suatu Bagian Hutan yang kemudian disatukan dalam satu unit manajemen operasional tingkat KPH. RPKH merupakan perencanaan dengan jangka waktu 10 tahunan, berisi data hasil inventarisasi potensi hutan, pengaturan tebangan (etat) dan atau pemungutan hasil hutan lainnya. Berkenaan dengan penerapan prinsip-prinsip pengelolaaan hutan lestari di Perum Perhutani, maka RPKH direvisi menjadi Rencana

Page 189: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

160

Pengelolaan Hutan Lestari (RPHL). Perubahan nama dari RPKH menjadi RPHL juga merubah isi substansi perencanaan sumber daya hutan. Dalam RPHL, selain inventarisasi sumberdaya hutan juga dilakukan inventarisasi aspek lingkungan, pengkajian sosial dan identifikasi High Conservation Value Forests (HCVF) sebagai adaptasi dari prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari Forest Stewardships Council (FSC). RPKH/RPHL merupakan sumber dari rencana pengelolaan hutan lainnya. Sedangkan untuk melaksanakan rincian kegiatan operasional pengelolaan hutan disusun Rencana Teknik Tahunan (RTT) (Perum Perhutani, 2007).

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakterisasi Sub DAS Progo Hulu Luas Sub DAS Progo Hulu mencakup 57.495 Ha yang secara dominan masuk dalam wilayah Kabupaten Temanggung (94,5%) dan sisanya berada dalam wilayah Kabupaten Magelang (2,8%), Kabupaten Semarang (2,2%) dan Kabupaten Wonosobo (0,4%). Secara satuan daerah tangkapan air, Sub DAS Progo Hulu terbagi menjadi beberapa sub-sub DAS yaitu: Jetis, Sejengkol Lembir, Gemilang, Jambe, Kuas, Galeh, Progo Hulu, Tingal dan Mandang (Gambar 3).

Gambar 3. Peta SSuubb--ssuubb DDAASS ddaann WWiillaayyaahh KKaabbuuppaatteenn ddii SSuubb DDAASS PPrrooggoo HHuulluu ((SSuummbbeerr ddiioollaahh ddaarrii:: PPeettaa RRBBII))

Page 190: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

161

B. Karakteristik Kawasan Hutan di Sub DAS Progo Hulu. Kawasan hutan negara yang berada di Sub DAS Progo Hulu dikelola oleh Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah di bawah areal kerja Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kedu Utara berdasar PP No. 30 tahun 2003 jo PP no. 72 tahun 2010. KPH Kedu Utara mengelola kawasan hutan negara seluas 36.353,39 ha, yang terdiri dari kawasan hutan dengan Kelas Perusahaan Pinus dan Mahoni. Kelas Perusahaan Pinus seluas 25.079,00 ha (68,99%) terdapat di Bagian Hutan Ambarawa, Magelang, Temanggung, dan Wonosobo. Kelas Perusahaan Mahoni seluas 11.274,39 ha (31,01%) terdapat di Bagian Hutan Candiroto (SPH II, 2010). Luas penggunaan lahan untuk kawasan hutan di Sub DAS Progo Hulu adalah sebesar ± 4.618,95 ha yang merupakan 12,7% dari total kawasan hutan KPH Kedu Utara. Kawasan hutan tersebut tersebar secara mengelompok pada daerah hulu-hulu Sub DAS Progo Hulu, sebagian besar dalam satuan kompleks yang luas dan beberapa sempit (lihat Tabel 5 dan Gambar 4).

Tabel 5. Letak sebaran kawasan hutan di Sub DAS Progo Hulu Luas Hutan

(%) Letak

45,18 Kompleks G. Sumbing (lereng sebelah barat daya s/d timur laut Gunung Sumbing atau bagian selatan dari DAS Progo Hulu)

35,66 Kompleks G. Sindoro (lereng timur laut s/d tenggara Gunung Sindoro atau bagian barat dari DAS Progo hulu)

19,16 Kompleks G. Siwakul, Terongan, Krukep, Sapuangin, Sijambul (gugusan pegunungan di bagian utara DAS Progo Hulu)

Sumber: diolah dari Peta RBI; Laporan Hasil Evaluasi Potensi SDH Tahun 2009 KPH Kedu Utara

Page 191: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

162

Gambar 4. Peta Kawasan Hutan Sub DAS Progo Hulu (Sumber: diolah dari Peta RBI; Peta Penetapan Kawasan

Hutan Jawa Madura (BPKH Wil XI) Kawasan hutan pada kompleks Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro terdiri dari satu Bagian Hutan, yaitu BH Temanggung. BH Temanggung berbatasan dengan BH Magelang di sebelah selatan dan BH Wonosobo sebelah barat. Kawasan hutan ini dibawah kelola BKPH (Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan) Temanggung yang terbagi dalam 3 RPH (Resort Polisi Hutan) yaitu: Kacepit, Kemloko dan Kwadungan. Bagian Hutan Temanggung merupakan KP (Kelas Perusahaan) Pinus dengan status fungsi hutan produksi dan hutan lindung. Sedangkan kawasan hutan di sebelah utara dari DAS Progo Hulu masuk dalam BH Candiroto di bawah kelola BKPH Candiroto yang terbagi dalam RPH Jumo dan Tlogopucang. Kelas Perusahaannya adalah Mahoni dengan status fungsi hutan produksi (lihat Lampiran 1). Bila kawasan hutan BH Temanggung seluruhnya masuk dalam Sub DAS Progo Hulu, sedangkan kawasan hutan BH Candiroto hanya sebagian kecil masuk Sub DAS Progo Hulu dan sebagian besar Sub DAS Bodri yang alirannya menuju ke arah utara (Laut Jawa). Seluruh petak hutan di komplek Gunung Sumbing ditetapkan sebagai hutan lindung. Penetapan status kawasan hutan tersebut didukung oleh kriteria kondisi kelerengan yang curam (yaitu sebesar 46% s/d diatas 86%), elevasi rata-rata diatas 1.300 mdpl, mempunyai biofisik khas tipikal montane forest yang berfungsi

Page 192: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

163

sebagai recharge area, sehingga kawasan hutan ini hanya dapat untuk mendukung fungsi lindung. Hutan di komplek gunung Sindoro mempunyai status fungsi sebagai hutan lindung, hutan produksi dan hutan produksi tetap. Status (kelas hutan) hutan lindung ditetapkan pada petak no 10, RPH Kwadungan seluas 748,5 ha yang terletak pada zona puncak Gunung Sindoro. Petak 10 ditetapkan sebagai hutan lindung karena mempunyai kelerengan 46% s/d diatas 86% dan elevasi diatas 1.500 mdpl, sedangkan status hutan produksi ditetapkan terhadap beberapa petak lainnya yang terletak pada elevasi di bawah petak 10, dengan kondisi kelerengan di bawah 45 %. Kawasan hutan BKPH Candiroto dengan kondisi kelerengan lahan rata-rata di bawah 45 % dan elevasinya di bawah 1.000 mdpl ditetapkan sebagai hutan produksi/hutan produksi terbatas. Namun demikian, beberapa anak petak tidak semuanya masuk dalam kategori produksi tergantung kondisi biofisik masing-masing petak/anak petak. Untuk mengetahui potensi sumber daya hutan dalam kawasan hutan di DAS Progo Hulu dapat diketahui dari Buku RPKH KPH Kedu Utara untuk jangka 2008-2017 dan Buku Laporan Hasil Evaluasi Potensi SDH Tahun 2009 KPH Kedu Utara. Berdasarkan penutupannya, dari total kawasan hutan lindung di G. Sumbing sebesar 72,88 % (1.520,9 ha) ditumbuhi oleh tegakan muda jenis rimba campur hasil kegiatan pengkayaan tahun 2000-2009 yang terdiri dari 25,57% dari total kawasan (533,6 ha) di RPH Kemloko dan 47,31% (987,3 ha) di RPH Kacepit. Di zona puncak, seluas 192,2 ha atau 9,2% dari total kawasan hutan di G. Sumbing, vegetasi yang tumbuh adalah vegetasi alami berupa tumbuhan perdu, rumput dan semak belukar tanpa dilakukan pengayaan (lihat Tabel 7). Kawasan hutan G. Sindoro terdiri dari 2 (dua) fungsi hutan yaitu hutan produksi dan hutan lindung berada di bawah kelola RPH Kwadungan. Luas hutan produksi sebesar 54,5 % (896,8 ha) terdiri dari kelas hutan produktif Kelas Umur dengan jenis tegakan pinus untuk produksi getah sebesar 15,8 % (259,4 ha) dan kelas hutan tidak produktif sebesar 38,7 % (637,4 ha). Sedangkan

Page 193: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

164

kawasan hutan bukan untuk produksi sebesar 45,5 % (750,1 ha) yang terdiri dari hutan lindung (748,5%), dengan kondisi kelerengan curam terletak di zona puncak yang tercakup dalam petak no. 10. Bila dilihat dari kondisi penutupan vegetasinya, sebesar 70,3% (1.156,5) adalah tegakan muda jenis rimba campur hasil kegiatan penanaman/pengkayaan tahun 2000-2007, terdiri dari 36,6% (602,1 ha) di kelas hutan untuk produksi-Tanaman Kayu Lain (TKL) dan 33,7% (554,4 ha) di kelas hutan tidak baik untuk produksi-Hutan Lindung (Lampiran 2).

Mengingat Bagian Hutan Candiroto merupakan Kelas Perusahaan Mahoni, maka tegakan Mahoni merupakan jenis komoditas yang dimasukan dalam kelas hutan produktif. Sedangkan jenis tegakan lainnya diklasifikasikan sebagai kelas hutan tidak produktif. Berdasarkan data potensi SDH (2010), luas hutan yang masuk dalam Sub DAS Progo Hulu di RPH Jumo dan Tlogopucang dengan jenis mahoni sebesar 55,81% (494 ha). Sementara itu, tegakan pinus berbagai umur menduduki peringkat kedua, dengan luas 251,3 ha (28%) yang diklasifikasikan ke dalam kelas hutan tidak produktif-Tegakan Jenis Kayu Lain (TJKL). Disamping terdapat hutan untuk produksi, terdapat juga kawasan hutan bukan untuk produksi dalam kelas hutan Tidak Baik untuk Produksi (TBP) sebesar 1,75% (15,5 ha) karena kondisi alamnya yang curam, berbatu sehingga tidak mendukung untuk kegiatan produksi (Lampiran 3).

C. Sinergisitas sistem perencanaan kehutanan dalam sistem

perencanaan pengelolaan Sub DAS. Kinerja suatu Sub DAS tercermin dari potensi dan kerentanan suatu Sub DAS yang dapat diketahui dari karakteristiknya. Untuk mengetahui karakteristik Sub DAS dilakukan dengan menggunakan pendekatan metode Siskardas (Paimin et al, 2006). Berdasarkan karakteristik (kinerja) Sub DAS yang ada kemudian disintesiskan permasalahan DAS untuk digunakan sebagai dasar penyusunan tujuan dan sasaran pengelolaan DAS. Setelah tujuan dan sasaran pengelolaan ditentukan, dilanjutkan dengan proses perencanaan pengelolaan DAS yang diawali melalui pembuatan rencana alternatif-alternatif teknis pengelolaan Sub DAS.

Page 194: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

165

Di dalam melaksanakan penyusunan karakterisasi DAS menggunakan formula Siskardas/Sidik Cepat Degradasi DAS dari Paimin et al (2006), diperlukan data dan informasi terkait parameter penutupan lahan aktual (actual land cover). Dalam penelitian ini, parameter tersebut didekati dengan penggunaan peta citra atau foto udara dan survei. Bisa juga dukungan data dan informasi ini diperoleh dari hasil inventarisasi DAS yang dilakukan oleh pemerintah/pemerintah daerah. Namun demikian, pemerintah daerah (kabupaten Temanggung) nampaknya belum melaksanakan amanat PP No. 4 Tahun 2004. Sehingga data inventarisasi hutan baik pada kawasan hutan negara maupun hutan milik dalam cakupan Sub DAS belum tersedia. Mengingat pemangku kepentingan di dalam suatu (Sub) DAS beragam, kiranya diperlukan penyelarasan. Melalui proses evaluasi rencana pengelolaan maka alternatif-alternatif teknik pengelolaan (Sub) DAS yang telah disusun akan disinergikan dengan sistem perencanaan kehutanan; sistem perencanaan tata ruang wilayah; dan kondisi sosial, ekonomi, budaya dan kelembagaan (sosekbudklem) yang ada. Penyelarasan ini dimaksudkan agar produk perencanaan yang akan dihasilkan dapat dilaksanakan oleh semua pemangku kepentingan dalam Sub DAS tersebut. Selanjutnya disusun Rencana Pengelolaan Sub DAS (Paimin et al, 2008). Alur pikir terkait penyusunan Perencanaan pengelolaan DAS tingkat Sub DAS tersaji dalam Gambar 5.

Page 195: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

166

Gambar 5.Integrasi Karakterisasi DAS, Sistem Tata Ruang Wilayah,

Sistem Perencanaan Kehutanan dalam penyusunan Perencanaan Pengelolaan DAS tingkat Sub DAS. (diadopsi dari Paimin et al, 2009)

Hasil penyusunan karakterisasi Sub DAS Progo Hulu menghasilkan peta potensi dan kerentanan terhadap banjir, kekritisan lahan dan tanah longsor yang tersaji dalam Gambar 6, 7 dan 8.

Karakterisasi DAS

Kerentanan & Potensi

Permasalahan DAS

KARAKTERISASI

DAS

Sosial, Ekonomi, Budaya,

Kelembagaan

Sistem Perencanaan Tata Ruang Wilayah

Kab/Kota

Sistem Perencanaan Unit Pengelolaan

Hutan

Rencana Pengelolaan

Tujuan & Sasaran Pengelolaan DAS

Alternatif Teknis Pengelolaan DAS

Evaluasi Rencana Pengelolaan

PERENCANAAN

MONEV Pengelolaan

Implementasi Pengelolaan

Page 196: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

167

Gambar 6. Sebaran Daerah Rentan Banjir di Sub DAS Progo Hulu

Gambar 7. Sebaran Tingkat Kekritisan Lahan di Sub DAS Progo Hulu

Gambar 8. Sebbaarraann DDaaeerraahh RReennttaann TTaannaahh LLoonnggssoorr ddii SSuubb DDAASS PPrrooggoo HHuulluu

Page 197: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

168

Untuk menyusun rencana pengelolaan Sub DAS Progo Hulu secara komprehensif, hasil karakteristik Sub DAS diintegrasikan dengan kondisi sosekbudklem dan beberapa sistem perencanaan salah satunya yaitu perencanaan unit pengelolaan kawasan hutan. Peta kerentanan seperti dalam Gambar 6,7 dan 8 ditumpangtindihkan (overlay) dengan Gambar 4 sehingga dapat memberikan penjelasan terhadap hubungan kerentanan Sub DAS Progo dan pengelolaan kawasan hutan, sebagai berikut: 1. Kerentanan terhadap bahaya kebanjiran.

Pada setiap daerah hilir dari sub-sub DAS Progo Hulu mempunyai tingkat kerentanan yang bervariasi. Kawasan hutan di Sub DAS Progo Hulu yang berada dalam posisi up land mempunyai potensi untuk menyumbangkan run off dari kejadian hujan. Penetapan seluruh kawasan hutan di Gunung Sumbing dan sebagian kawasan hutan di zona puncak Gunung Sindoro sebagai hutan lindung diarahkan sebagai kawasan perlindungan untuk recharge area (daerah pengimbuhan) yang berperan untuk melakukan konservasi air. Sedangkan petak hutan lainnya yang berstatus hutan produksi dan hutan produksi terbatas, harus dikelola sedemikian rupa agar tetap berperan sebagai kawasan recharge area.

2. Kerentanan lahan kritis. Kawasan hutan di kompleks Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro mempunyai nilai kerentanan yang agak kritis. Nilai kerentanan kritis pada kawasan hutan dengan status HPT (Hutan Produksi Terbatas) di kompleks Gunung Sindoro. Nilai kerentanan lahan kritis ini sebagai akibat dari kondisi kelerangan >15% (lereng rentan erosi). Sehingga pihak pemangku wilayah kawasan hutan tersebut harus mempunyai strategi tindakan untuk upaya konservasi tanah.

3. Kerentanan tanah longsor. Kondisi kerentanan tanah longsor di dalam kawasan hutan di Sub DAS Progo Hulu mempunyai nilai maksimal pada level II (sedikit rentan). Walau demikian, bukan berarti bahwa kawasan hutan ini bebas dari bahaya tanah lonsor. Bahaya tanah lonsor tetap harus diwaspadai terjadi pada sempadan-sempadan dan tebing-tebing sungai di dalam kawasan hutan Sub DAS Progo Hulu.

Page 198: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

169

Variabel dalam sistem perencanaan hutan yang perlu diperhatikan terkait penyelarasan dengan sistem perencanaan pengelolaan Sub DAS adalah menyangkut: 1) fungsi dan status kawasan hutan dan 2) tata hutan (terkait dengan: hirarki unit pengelolaan, kelas perusahaan, pembagian blok-blok pengelolaan hutan berupa petak/anak petak, kelas hutan, pemungutan hasil hutan). Fungsi dan status unit kawasan hutan sangat berpengaruh terhadap tata hutan dan sistem perencanaannya. Hutan konservasi akan berbeda dengan hutan produksi dan lindung dalam hal pengelola, tata hutan dan sistem perencanaanya. Bilamana hutan konservasi seperti Taman Nasional, pengelolanya adalah pemerintah pusat. Sedangkan hutan produksi dan atau hutan lindung adalah bisa dikelola oleh badan usaha (BUMN, BUMS, BUMD), pemerintah daerah atau masyarakat yang telah diberi hak kelola. Status hutan terkait dengan kepemilikan tanah, apakah hutan negara atau hutan milik. Tata hutan masing-masing status dan fungsi hutan berbeda sehingga perencanaannya juga berbeda. Hirarki unit pengelolaan kawasan hutan berkaitan dengan tingkatan pengelola kawasan hutan yang berada dalam Sub DAS tersebut. Di Sub DAS Progo Hulu, seluruh kawasan hutan berada dalam wilayah pangkuan pengelolaan KPH Kedu Utara yang berkedudukan di kota Magelang. Wilayah hutan di Sub DAS Progo Hulu tersebut terbagi dalam 2 (dua) BKPH yaitu BKPH Temanggung yang berkedudukan di kota Temanggung dan BKPH Candiroto yang berkedudukan di kota kecamatan Candiroto. Wilayah hutan BKPH Temanggung seluruhnya tercakup dalam Sub DAS Progo Hulu, sedangkan BKPH Candiroto hanya sebagian kecilnya saja. Masing-masing wilayah BKPH terbagi lagi menjadi beberapa wilayah RPH. KPH dengan jajaran dibawahnya (BKPH dan RPH) merupakan unit pengelolaan hutan yang berwenang pada kegiatan operasional pengelolaan hutan. Sedangkan terkait dengan perencanaan pengelolaan hutan merupakan kewenangan SPH, dimana SPH tersebut mempunyai tanggungjawab kerja untuk beberapa wilayah KPH. Wilayah hutan KPH Kedu Utara merupakan wilayah kerja dari SPH II yang berkedudukan di Jogjakarta.

Page 199: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

170

Dalam rangka pengelolaan DAS pada tingkatan Sub DAS skala satu kabupaten dominan maka sistem perencanaan kehutanan yang perlu diperhatikan adalah 1) perencanaan kawasan hutan yang terdiri dari perencanaan kehutanan tingkat kabupaten yang disebut dengan RKTP dan perencanaan pengelolaan hutan (KPH) yang disebut RPKH/RPHL (untuk hutan yang dikelola Perum Perhutani) atau RKPH (untuk hutan yang dikelola selain oleh Perum Perhutani); dan 2) perencanaan pembangunan kehutanan yang terdiri dari Renstra/Renja SKPD dan Renstra/Renja KPH. Bila dalam bahasan ini adalah terkait dengan Perum Perhutani, maka Renstra/Renja disebut dengan RJP (jangka menengah) dan RTT (jangka tahunan). Sesuai dengan PP No. 38 tahun 2007, kewenangan penyusunan Rencana Pengelolaan Sub DAS Progo Hulu dilakukan oleh Pemerintah dengan pertimbangan teknis melibatkan unsur pemerintah daerah Kabupaten Temanggung. Penyusunan rencana tersebut diusulkan untuk dilakukan oleh instansi vertikal daerah yang membidangi pengelolaan DAS. Selanjutnya disyahkan oleh Bupati dan dipergunakan sebagai dasar penyelenggaraan pengelolaan Sub DAS Progo Hulu oleh masing-masing pihak pemangku kepentingan. Adopsi Rencana Pengelolaan Sub DAS Progo Hulu dalam penyelenggaraan pengelolaan hutan oleh Perum Perhutani diusulkan untuk diintegrasikan dalam penyusunan RPKH/RPHL, RJP, RTT dan RKAP KPH Kedu Utara. RPKH/RPHL menjadi rencana pengelolaan kawasan hutan berjangka 10 tahun yang disusun berbasis keterpaduan aspek kelestarian produksi, sosial dan ekologi. Pelaksanaannya diterjemahkan dalam RTT (jangka tahunan). Selanjutnya untuk rencana pembangunan kehutanan yang terkait dengan pembiayaan dan SDM direncanakan dalam RJP (jangka menengah) dan RKAP (jangka pendek). Melalui mekanisme ini diharapkan jajaran Perum Perhutani sebagai operator pengelolaan hutan dapat mengemban amanah untuk menyelenggarakan perlindungan hutan sebagai upaya dalam pencegahan bencana dan peningkatan daya dukung DAS.

Page 200: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

171

V. KESIMPULAN

1. Sektor kehutanan mempunyai tanggungjawab dalam urusan penyelenggaraan hutan dalam kaitannya untuk meningkatkan daya dukung DAS untuk kepentingan dari pencegahan bahaya banijr, kekeringan dan tanah longsor.

2. Karakteristik suatu DAS diperlukan oleh pengelola hutan sebagai dasar melaksanakan kegiatan perencanaan dan pengelolaan hutan seperti amanah dalam ayat 3, pasal 32 PP No. 44 Tahun 2004

3. Penyelarasan antara sistem perencanaan kehutanan dengan sistem perencanaan pengelolaan Sub DAS dimaksudkan agar produk perencanaan pengelolaan Sub DAS dapat dilaksanakan oleh pemangku kepentingan bidang kehutanan.

4. Hal dasar di dalam sistem perencanaan hutan yang perlu diperhatikan untuk penyusunan rencana pengelolaan Sub DAS adalah: 1) status dan fungsi hutan dan 2) tata hutan (hirarki unit pengelolaan, pembagian blok pengelolaan hutan berupa petak/anak petak, kelas perusahaan dan kelas hutan).

5. Penyusunan Rencana Pengelolaan Sub DAS menjadi kewenangan pemerintah dengan pertimbangan pemerintah kabupaten.

6. Rencana Pengelolaan Sub DAS Progo Hulu diusulkan untuk disusun oleh instansi vertikal yang membidangi pengelolaan DAS, selanjutnya disyahkan oleh Bupati Temanggung untuk digunakan sebagai acuan penyusunan perencanaan pembangunan daerah dan perencanaan instansi dan stakeholder lainnya lingkup kabupaten yang bersangkutan.

7. Produk Rencana Pengelolaan Sub DAS harus diadopsi oleh pengelola hutan melalui penyusunan rencana pengelolaan hutan (RPKH/RPHL) yang bersangkutan.

UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada: Sdr. Agus Sugiyanto dan Sdr. Asep Hermawan atas upaya membantu penulis dalam memperoleh data; Sdr. Ragil B.W.M.P atas upaya dalam melaksanakan analisa GIS dan pembuatan peta-peta.

Page 201: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

172

DAFTAR PUSTAKA Departemen Kehutanan, 2009. Buku Statistik Kehutanan Indonesia

Tahun 2008. Diunduh dari: http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/6122. Diakses tanggal 27 Mei 2011.

Departemen Kehutanan, 2001. Buku Statistik Kehutanan Indonesia

Tahun 2001. Diunduh dari: http://www.dephut.go.id/INFORMASI/STATISTIK/2001/Statistik2001.htm .Diakses tanggal 27 Mei 2011.

Dixon, J.A, K.W. Easter. 1986. Integrated Watershed

Management: An Approach to Resources Management. Dalam K.W. Easter, J.A. Dixon, and M.M. Hufschmidt. Eds. Watershed Resources Management. An Integrated Framework with Studies from Asis and the Pasific. Studies in Water Policy and Management, No 10. Westview Press and London. Honolulu.

Paimin, Sukresno, Purwanto. 2006. Sidik Cepat Degradasi Sub

Daerah Aliran Sungai (Sub DAS). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Badan Litbang Kehutanan. Bogor.

Paimin, Sukresno, Purwanto, Dewi Retno Indrawati. 2008. Sistem

Perencanaan Pengelolaan Sub Daerah Aliran Sungai Berbasis Sistem Karakterisasi Sub DAS. Belum Terbit. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.

Paimin, Pamungkas Buana Putra, Nana Haryati. 2010. Kajian

Sistem Perencanaan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Hulu – Intergrasi Fungsi Hutan Dalam Daerah Tangkapan Air. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Solo (Tidak terbit). Badan Litbang Kehutanan. Solo.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 6. 2004. Tata Hutan

dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta

Page 202: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

173

Pemanfaatan Hutan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 No. 22.

Peraturan Menteri Kehutanan No. 42. 2010. Sistem Perencanaan

Kehutanan. Berita Negara Republik Indonesia No. 460. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 44. 2004.

Perencanaan Kehutanan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 146.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 45. 2004.

Perlindungan Hutan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 147.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 3. 2008. Perubahan

Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan serta Pemanfaatan Hutan.

Perum Perhutani. 2007. Petunjuk Pelaksanaan Evaluasi Potensi

Sumber Daya Hutan. Keputusan Kepala Biro Perencanaan Sumber Daya Hutan Perum Perhutani Unit I No. 195/Kpts/Ren.SDH/I/2007. Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah, Biro Perencanaan SDH. Salatiga.

_____________. 2007. Sistem Perencanaan Perum Perhutani.

Keputusan Direksi Perum Perhutani No. 402/Kpts/Dir/ 2007. Direksi Perum Perhutani. Jakarta.

_____________. 2004. Petunjuk Pelaksanaan Inventarisasi

Hutan,. Keputusan Kepala Biro Perencanaan dan Pengembangan Perusahaan Perum Perhutani Unit I No. 1332/Kpts/Renbang/I/2004. Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Biro Perencanaan dan Pengembangan Perusahaan. Salatiga.

Rachman, Saeful. 2009. Kelembagaan Pengelolaan Daerah Aliran

Sungai. Dalam Prosiding Workshop Peran Hutan dan Kehutanan Dalam Meningkatkan Daya Dukung DAS tanggal

Page 203: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

174

22 Nopember 2007. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. pp.183-203.

SPH II. 2010. Laporan Hasil Evaluasi Potensi SDH Tahun 2009

KPH Kedu Utara. Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah, Biro Perencanaan SDH, Seksi Perencanaan Hutan Wilayah II. Yogyakarta.

Undang-Undang No. 41. 1999. Kehutanan. Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1999 No. 167. Undang-Undang No. 25. 2004. Sistem Perencanaan

Pembangunan Nasional. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421.

Page 204: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

175

RHL PARTISIPATIF PADA HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) : MENGELOLA SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR

MELALUI DIALOG Catatan Pengalaman Penelitian di Sulawesi Tahun 2001-20111

Oleh :

Hunggul Y (2, dan Kudeng S (3

Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Jl. Perintis Kemerdekaan, Km. 16,5 Makassar 90243

Telp.: (0411) 554049, Fax.: (0411) 554058 Email: [email protected]

Email: (2 [email protected] ; (3 [email protected]

ABSTRAK Selain dari persoalan klasik seperti pertambahan penduduk, kurangnya/tidak efektifnya koordinasi dan sinkronisasi, dan melemahnya dukungan politik khususnya dari pemerintah daerah, faktor utama yang menjadi kendala dalam pencapaian tujuan rehabilitasi hutan dan lahan adalah masih terfokusnya kegiatan pada sumberdaya pemerintah. Sementara pelibatan pihak lain khususnya masyarakat belum banyak digali secara optimal. Selama ini pelibatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam hanya terbatas pada pelibatan masyarakat sebagai obyek. Paradigma ini harus diubah agar masyarakat secara sadar mau berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan. Sejak tahun 2001, BPK Makassar melakukan kegiatan pengkajian berbagai pendekatan dalam pengelolaan DAS yang pada muaranya adalah untuk menggiatkan partisipasi masyarakat baik secara kolektif maupun personal dalam pengelolaan DAS khususnya dalam kegiatan RHL. Dari pengalaman selama 10 tahun, dapat disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat bisa digiatkan apabila secara mental, emosional dan juga secara fisik masyarakat terlibat dalam kegiatan RHL. Pelibatan masyarakat ini niscaya bisa terlaksana apabila masyarakat mampu melihat, memahami, dan merasakan manfaat dan resiko dalam melakukan kegiatan RHL tidak hanya pada saat kegiatan dilaksanakan namun juga sampai bertahun-tahun ke depan.

Kata Kunci : Partisipasi personal, partisipasi kolektif, RHL

1 Makalah ini disampaikan pada Semiloka “Riset Pengelolaan DAS Menuju

Kebutuhan Terkini” Surakarta, 27-28 Juni 2011. Kerjasama Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi dengan Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

Page 205: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

176

I. PENDAHULUAN Rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) merupakan bagian dari pengelolaan hutan dan lahan dalam kerangka pengelolaan daerah aliran sungai. (DAS) Kegiatan RHL sebenarnya bukan merupakan kegiatan yang baru. Walaupun menggunakan istilah yang berubah-ubah, pada dasarnya upaya rehabilitasi hutan dan lahan serta upaya konservasi tanah dan air sudah dimulai sejak empat dasawarsa. Kementerian Kehutanan sejak empat dasawarsa yang lalu, dalam hubungannya dengan upaya pengelolaan DAS, melakukan berbagai kegiatan baik yang sifatnya fisik maupun nonfisik. Dari segi fisik berbagai kegiatan yang dilaksanakan adalah reboisasi, penghijauan, pengembangan hutan kemasyarakatan, pengendalian peladang berpindah dan perambah hutan, dan konservasi tanah dan air. Sedangkan kegiatan yang sifatnya non fisik adalah proyek kredit usaha konservasi tanah DAS (PKUK-DAS), pelatihan LSM, dan pelatihan petugas lapangan penghijauan, serta kegiatan penelitian dan pengembangan teknologi pengelolaan DAS yang dilaksanakan oleh unit pelaksana teknis (UPT) Badan LITBANG Kehutanan. Biaya yang digunakan selain bersumber dari dana APBN, maupun Dana Reboisasi, juga berasal dari bantuan luar negeri. Namun demikian dari kondisi yang ada, tidak bisa dipungkiri bahwa kecepatan rehabilitasi lahan jauh berada di bawah laju degradasi lahan. Kegiatan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah belum mampu menurunkan luas lahan kritis secara signifikan. Indikator belum tercapainya tujuan pengelolaan DAS yang dilakukan antara lain ditunjukkan dengan semakin bertambahnya DAS yang masuk dalam skala prioritas dari tahun ke tahun serta meningkatnya luas lahan kritis di berbagai daerah di Indonesia. Pada tahun 1984 berdasarkan SKB Tiga Menteri yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, dan Menteri Pekerjaan Umum. Surat bernomor : 19 Tahun 1984 – No :059/Kpts-II/1984 – No : 124/Kpts/1984 Tanggal 4 APRIL 1984., ditentukan 22 DAS super prioritas. Pada tahun 1999 melalui SK Menhutbun No. 284/Kpts-II/1999 tanggal 7 Mei 1999 ditetapkan menjadi 472 DAS yang tersebar di seluruh Indonesia dan 62 DAS merupakan prioritas I. Selanjutnya berdasarkan SK Menhut No. : SK. 328/Menhut-II/2009

Page 206: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

177

terdapat 108 DAS yang ditetapkan sebagai DAS prioritas yang akan ditangani dalam RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH (RPJM) TAHUN 2010-2014. Data di atas, menunjukkan bahwa luas lahan kritis dan DAS Prioritas meningkat dari tahun ke tahun. Di samping berbagai persoalan klasik seperti pertambahan penduduk dan kebutuhan lahan budidaya, keterbatasan dana, kurangnya/tidak efektifnya koordinasi dan sinkronisasi, dan melemahnya dukungan politik sejak era otonomi daerah, faktor utama yang menjadi kendala dalam pencapaian tujuan rehabilitasi hutan dan lahan adalah masih terfokusnya kegiatan pada sumberdaya pemerintah. Sementara pelibatan pihak lain khususnya masyarakat belum banyak digali secara optimal. Di sisi lain, kegiatan RHL telah ditetapkan sebagai kegiatan prioritas dalam pembangunan nasional, serta menjadi kontrak kinerja Menteri Kehutanan RI dalam Kabinet Indonesia Bersatu II (2009-2014), yaitu RHL seluas 2,5 juta ha (tahun 2010-2014) atau seluas 500.000 Ha per tahun. Tujuan penyelenggaraan RHL agar sumberdaya hutan dan lahan yang rusak dapat pulih kembali dan berfungsi optimal untuk memberikan manfaat kepada seluruh stakeholder , menjamin keseimbangan lingkungan dan tata air DAS, dan mendukung kelangsungan industri kehutanan. Salah satu pendekatan dalam pencapaian tujuan adalah teknologi RHL yang tepat dan berorientasi pada pemanfaatan yang jelas yang sesuai dengan kondisi setempat , didukung partisipasi masyarakat yang kuat, dan adanya penyediaan input yang cukup. Berdasarkan persoalan di atas, pertanyaan klasik yang telah muncul beberapa dasawarsa lalu dan sampai saat ini masih relevan dan justru semakin menguat adalah : Mengapa masyarakat disekitar hutan tidak terlalu peduli terhadap kelestarian hutan ? mengapa masyarakat petani tidak melakukan upaya untuk mencegah kerusakan lahan dan potensi kehilangan nilai manfaat dari lahan yang dimiliki ? mengapa teknologi RLKT yang ditawarkan pemerintah baik melalui penyuluhan, demplot, dan lainnya tidak mudah diadopsi oleh petani?

Page 207: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

178

Terkait dengan pertanyaan klasik tersebut, sejak tahun 2001 BTPDAS (Balai Teknologi Pengelolaan DAS) Ujung Pandang yang selanjutnya berubah menjadi BP2TPDAS IBT (Balai Litbang Teknologi Pengelolaan DAS Indonesia Bagian Timur) dan tahun 2007 merger dengan Balai Litbang Kehutanan Sulawesi menjadi Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Makassar telah melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan terkait upaya penglelolaan DAS khususnya rehabilitasi lahan dan konservasi tanah berbasis kebutuhan masyarakat. Semua rancangan kegiatan penelitian ditujukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat baik secara personal maupun dalam kelompok untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Makalah ini ditulis dalam rangka pemasyarakatan hasil penelitian BPK Makassar khususnya pada bidang pengelolaan DAS dengan harapan dapat dimanfaatkan oleh para pengguna demi terwujudnya kondisi DAS yang lebih baik.

II. MENGGIATKAN PARTISIPASI MELALUI DIALOG Secara konseptual, kata partisipasi dalam pengelolaan Sumberdaya alam SDA di Indonesia sudah berumur lebih dari empat dasawarsa. Namun pada umumnya ketika berbicara mengenai partisipasi, terutama pada pembuat kebijakan di tingkat lokal hampir selalu identik dengan peranserta masyarakat pada program pemerintah. Agenda kegiatan berasal pemerintah, dan masyarakat diminta berpartisipasi yang arti katanya seringkali hanya terwujud dalam bentuk tenaga kerja atau diartikan sebagai kepatuhan masyarakat untuk menerima pelaksanaan kegiatan dan hasilnya. Untuk menggiatkan peran serta masyarakat, maka paradigma hubungan antara pemerintah dan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan harus dirubah. Perubahan ini diperlukan agar masyarakat secara mental dan emosional mau terlibat dalam setiap upaya pembangunan baik yang diinisiasi oleh pemerintah maupun oleh masyarakat sendiri. Gambar 1 di bawah ini menunjukkan perubahan paradigma partisipasi yang perlu dilakukan agar tujuan pengelolaan DAS bisa terlaksana dengan lebih baik,

Page 208: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

179

Gambar 1. Perubahan paradigma partisipasi dalam pengelolaan DAS Konsep partisipasi sudah ada sejak berabad-abad lalu. Dalam Bahasa Inggris partisipasi berasal dari kata “participation” yang berarti pengambilan bagian atau pengikutsertaan. Sejak 3 abad sebelum Masehi, pendekatan partisipatif telah dimunculkan oleh pemikir Cina Lao Tzu (O’hara. and Rhonaken. 2004) :

”Keep the process simple and the guidlines clear. Provide the group with structure to do its work, but do not try to control it. Enjoy waht you do. Be genuinely yourself and you will be respected.” Jaga proses tetap sederhana dengan tuntunan yang jelas. Berikan kepada kelompok struktur untuk mengerjakan pekerjaannya, tetapi jangan coba untuk mengontrolnya. Nikmati apa yang anda lakukan. Jadilah dirimu apa adanya dan anda akan dihargai ”. ”To understand (people) is to stand under (them), which is to look up, which is good way to understand (people). Go with the people, live with them, love them, start with what they know, build with what they have … when the task is accomplished, the people will say : We have done it ourselves” Untuk memahami masyarakat adalah dengan cara berdiri dibawah mereka untuk melihat mereka. Ini merupakan jalan yang baik untuk memahami mereka. Pergilah ke masyarakat, hiduplah bersama mereka, belajar dari mereka, cintai mereka, mulailah dari yang mereka ketahui, buatlah dengan apa yang mereka punya .... ketika itu semua selesai, masyarakat akan mengatakan : kami telah mengerjakan itu dengan kemampuan kami sendiri ”.

Page 209: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

180

Apabila melihat usia konsep partisipasi yang sudah lebih dari 23 abad, timbul pertanyaan ”Mengapa membutuhkan waktu yang begitu lama untuk menggunakan pendekatan partisipatif ?”. ”Participation is a plant that does not grow easily in the human environment. Powerful vested interest, driven by personal greed, erect numerous obstacles to block off the roots to people's political and economic power" Partisipasi adalah tanaman yang tidak mudah tumbuh dalam lingkungan manusia. Egoisme yang sangat kuat yang timbul akibat nafsu serakah, telah membentuk halangan yang menghambat akar dari kekuatan ekonomi dan hak politik rakyat” (UNDP, 1993 dalam UNEPA, 1995). Keith Davids, seperti yang dikutip dalam Wikipedia, mendefinisikan partisipasi sebagai keterlibatan mental dan emosi seseorang terhadap upaya pencapaian tujuan tertentu. Menurut Keith Davis, partisipasi adalah suatu keterlibatan mental dan emosi seseorang dan ikut bertanggung jawab terhadap upaya pencapaian tujuan tertentu (http://id.wikipedia.org/wiki/Partisipasi). Bagaimana menggiatkan partisipasi ? Pada tahun 1950 Albert Eisntein menyatakan : “I never teach my students, I merely create opportunities so that they can discover and learn by themselves” Saya tidak pernah mengajar murid saya, saya hanya merancang dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk belajar dan menemukan sendiri “ (O’hara. and Rhonaken. 2004) Untuk menggalang partsipasi masyarakat maka hal paling penting adalah dialog yang memungkinkan terjadinya kesepahaman antara pelaksana dan masyarakat yang menjadi target. Dialog ini dilakukan baik secara verbal maupun non verbal untuk meyakinkan masyarakat agar mereka mengerti, memahami, tertarik dan siap untuk secara fisik, mental dan emosional terlibat dalam upaya RHL dengan menyajikan bukti kasat mata yang bisa dilihat dan dirasakan.

Page 210: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

181

Apa yang saya maksud dengan dialog ? Untuk menawarkan teknologi/pendekatan upaya RHL kepada masyarakat, harus ada dialog dalam rangka mengkomunikasikan resiko dan manfaat upaya RHL tertentu. Dialog yang dimaksud dalam tulisan ini tidak hanya dialog verbal secara langsung melainkan juga dilakukan melalui bukti fisik di lapangan yang bisa menunjukkan setiap resiko dan manfaat. Untuk mengumpulkan informasi dasar kondisi masyarakat, maka dialog yang dilakukan adalah melalui wawancara, rapat, pertemuan terbatas, dan lainnya yang mempertemukan dua pihak atau lebih untuk menjalin komunikasi verbal dalam rangka menggali dan mengumpulkan informasi. Sedangkan untuk meyakinkan masyarakat agar mereka mengerti, memahami, tertarik dan siap untuk secara fisik, mental dan emosional terlibat dalam upaya RHL maka cara dialog yang paling efisien adalah menyajikan bukti kasat mata yang bisa dilihat dan dirasakan berupa teknik RHL, serta resiko dan manfaat dari setiap kegiatan.

Dari pengalaman peneliti dan Tim selama 10 tahun melaksanakan berbagai kegiatan terkait upaya RHL dari 2001 – 2011, menggiatkan partisipasi masyarakat dimulai dari : - Memahami kebutuhan dasar masyarakat - Mengetahui sumberdaya modal yang dimiliki masyarakat

(sumber daya, ekonomi, kelembagaan) - Memahami norma, kepercayaan, dan tata nilai di kalangan

masyarakat terkait dengan sumberdaya hutan dan lahan - Mengetahui sikap, persepsi dan perilaku masyarakat terhadap

teknologi baru Selanjutnya dalam rangka melibatkan masyarakat secara mental dan emosional maka teknologi yang ditawarkan secara kasat mata meyakinkan masyarakat untuk : - Merasakan dan memahami resiko dari melakukan/tidak

melakukan sesuatu dan - Merasakan dan memahami manfaat dari melakukan/tidak

melakukan sesuatu Suatu teknologi akan diadopsi oleh masyarakat apabila manfaat dari teknologi baru yang akan di terapkan lebih besar dari potensi resiko yang akan di derita serta kendala kebijakan, SDM, maupun

Page 211: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

182

sosial budaya dapat diatasi. Gambar 2 menunjukkan peluang diadopsinya suatu teknologi yang akan tergantung pada ratio antara manfaat dengan resiko dan kendala yang akan dihadapi.

Gambar 2. Ratio Manfaat dengan Resiko dan kendala yang dihadapi dalam proses adopsi teknologi. Dalam kurun waktu 10 tahun (2001 s/d 2011) kegiatan penelitian dan pengembangan terkait menggiatkan partisipasi dalam kegiatan RHL dan pengelolaan DAS di lingkup BPK Makassar dapat dipilah menjadi dua kelompok penelitian, yaitu penelitian untuk menggiatkan partisipasi personal (personal participation) yang dilakukan dari tahun 2001 dan yang ke dua adalah partisipasi kolektif (collective participation) yang dilakukan sejak 2004 s/d saat ini. Partisipasi personal yang dimaksud dalam tulisan ini adalah partisipasi yang dilakukan oleh perorangan dan untuk kepentingan RLKT pada lahan budidaya perorangan. Sedangkan partisipasi kolektif adalah partisipasi kelompok untuk kepentingan bersama dengan cakupan kegiatan RLKT pada level kawasan/ mikro DAS. Sesuai dengan beberapa prinsip di atas, kedua bentuk partisipasi ini digiatkan dengan memberikan contoh-contoh yang dapat dilihat dan dirasakan baik oleh personal maupun oleh kelompok. A. Partisipasi Personal (Personal Participation) Sejak tahun 2001 tim peneliti BTP DAS Ujung Pandang mengadakan penelitian berbagai teknik rehabilitasi lahan dan konservasi tanah dan air (RLKT) mengakomodasi kepentingan aspek ekologi sekaligus aspek ekonomi. Teknologi yang dipilih

Page 212: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

183

adalah teknologi yang secara teknis bisa diterapkan (applicable), dapat dikerjakan dengan sumberdaya lokal yang ada dan secara ekonomi layak dikerjakan (feasible), secara sosial budaya dapat diterima oleh petani (acceptable), dan secara ekologi sesuai dengan kondisi dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan (suitable). Pemilihan teknologi yang memenuhi kriteria-kriteria tersebut di atas, dilakukan dalam rangka meningkatkan partisipasi personal masyarakat untuk mengusahakan lahannya secara arif agar produktivitas lahannya dapat ditingkatkan sekaligus mengurangi dampak negatif kumulatif di bagian hilir. Untuk meningkatkan partisipasi dan peran serta masyarakat secara aktif dalam kegiatan RLKT, telah dikembangkan instrumen sederhana untuk menunjukkan kepada masyarakat dampak erosi dan kehilangan hara akibat ketidak tepatan dalam pengelolaan lahan garapan. Beberapa teknik RLKT yang dikembangkan dengan tujuan menggiatkan penerimaan sekaligus partisipasi personal dalam upaya RHL antara lain adalah : 1) Penggunaan teknik RLKT sipil teknis (rorak, gully plug dan check dam) sebagai instrumen pengendali erosi dan sedimentasi serta sekaligus sebagai instrumen pengukur erosi, 2) Penggunaan Teknik RLKT vegetatif multiguna untuk mengendalikan erosi dan peningkatan pendapatan (ubi jalar dan jalur rumput sebagai pengendali erosi dan sekaligus sebagai sumber pakan ternak) 1. Penggunaan teknik RLKT sipil teknis (rorak, gully plug,dan

check dam) sebagai instrument pengendali erosi dan sedimentasi serta sekaligus sebagai instrument pengukur erosi

Keterbatasan modal, pengetahuan, dan teknologi serta rendahnya kesadaran mengakibatkan masyarakat mengusahakan lahan tidak sesuai dengan kaidah konservasi yang pada akhirnya menimbulkan dampak degradasi lahan pada berbagai tingkatan. Dampak degradasi lahan ini dirasakan bahkan sampai jauh ke daerah hilir (off site) seperti kecenderungan meningkatnya ancaman bahaya erosi, sedimentasi, berkurangnya debit sungai pada musim kemarau, ancaman banjir di musim penghujan, dan pendangkalan sungai, waduk, dan danau di berbagai wilayah. Dampak pada lahan budidaya sendiri (on site) yang seringkali

Page 213: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

184

tidak dirasakan oleh masyarakat pengolah lahan adalah berkurangnya nilai manfaat dari lahan yang mengalami degradasi. Dari hasil penelitian di DAS Jeneberang tahun 2002-2003, proses erosi permukaan yang terjadi di lahan usaha tani hortikultura yang tanpa menerapkan prinsip-prinsip KTA dalam pengelolaan lahan telah menyebabkan potensi kehilangan hara 0,06 ton N/ha/tahun, 0,001 ton P/ha/tahun, dan 0,0125 ton K/ha/tahun atau setara Rp. 480.000,-/ha/tahun pada kemiringan 8-15%. Pada kemiringan 15 - 35 %, potensi kehilangan hara sebesar 0,17 ton N/ha/tahun, 0,004 ton P/ha/tahun, 0,035 ton K/ha/tahun atau setara Rp. 1.420.000,-/ha/tahun (Yudono, 2002; Yudono, H. 2005). Proses kehilangan hara yang terus menerus ini tidak dipikirkan oleh petani karena tidak mudah untuk dilihat. Sementara itu, biaya untuk mengembalikan produktivitas lahan ini apabila dihitung jauh lebih mahal dari upaya pencegahan yang dapat dilakukan dengan berbagai teknologi konservasi yang mudah diterapkan, murah, dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk membantu masyarakat melihat dan memahami dengan mudah dampak dari diterapkannya atau tidak diterapkannya perlakuan RLKT pada suatu bidang olah tertentu dipasang alat bantu yang sekaligus berfungsi sebagai instrumen pengendali erosi. Dengan adanya instrumen ini masyarakat akan dengan mudah memahami resiko dan manfaat dari kegiatan pengelolaan lahan yang dilakukan. Rorak (Silt Pit) Rorak adalah bangunan pengendali erosi yang berbentuk saluran pendek /parit sejajar kontur yang berfungsi memperpendek panjang lereng dan menampung lapisan tanah terangkut akibat erosi dari bidang olah di atasnya (Gambar 3). Rorak dibuat untuk menangkap air dan tanah tererosi sehingga memungkinkan air masuk ke dalam tanah dan mengurangi erosi (Arsyad, 1989). Dengan adanya rorak kecepatan aliran permukaan diperlambat dan sedimen terangkut yang mengandung hara dapat ditahan. Rorak dibuat sebagai salah satu alternatif teknik KTA yang relatif sederhana dari segi teknik maupun biaya. Selain sebagai instrumen pengendali erosi, rorak bisa digunakan sebagai instrumen pengamatan erosi. Untuk menghitung besarnya erosi

Page 214: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

185

yang terjadi di bidang olah, pengamatan didekati dengan mengukur jumlah sedimen yang masuk ke dalam rorak dengan menggunakan stik erosi yang terbuat dari batangan besi cor 1 cm dan panjang 1 meter yang dicat dan diberi skala untuk memudahkan pengukuran. Pada masing-masing rorak dipasang 8 buah stik erosi yang dipasang secara teratur dengan masing-masing stik mewakili luasan tertentu. Pengamatan di lakukan setiap hari pada jam 7 pagi setelah kejadian hujan pada hari sebelumnya. Setiap perubahan ketinggian sedimen pada masing-masing stik dicatat dan dimasukkan ke dalam tally sheet. Dengan adanya rorak potensi sedimentasi dan kehilangan hara sebesar angka-angka tersebut di atas dapat dicegah karena sedimen yang mengandung unsur hara yang seharusnya terbawa menuju hilr dapat ditahan oleh rorak dan pada akhirnya dikembalikan ke bidang olah. Dengan menggunakan rorak, masyarakat petani secara mudah dapat memahami proses erosi dan dampak dari pengolahan lahan yang mengabaikan teknik konservasi tanah. Resistensi penggunaan teknik ini dalam upaya konservasi tanah dan air dikalangan petani sangat kecil karena berbeda dengan teknik konservasi tanah sipil teknis lain (misalnya teras bangku), rorak tidak banyak merubah bentang lahan dan tidak membuang lapisan tanah bagian atas yang subur (top soil). Pada saat rorak penuh dengan sedimen, sedimen yang mengandung hara ini kemudian dapat diambil dan dikembalikan ke bidang olah. Gambar 3. Rorak (silt Pit) dengan tongkat berskala pada lahan hortikultura

di Gowa (sumber photo : Yudono) Gully Plug dan dam pengendali (Check dam)

Page 215: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

186

Gully Plug dan dam pengendali adalah bangunan sipil teknis berupa bending kecil yang dibuat pada alur-alur di lahan miring pada daerah tangkapan air dengan luasan tertentu dengan menggunakan urugan tanah atau susunan batu kosong atau bronjong sebagai badan bendung dalam upaya pengendalian aliran permukaan dan sedimentasi dan meningkatkan infiltrasi. Dam pengendali dipasang pada daerah tangkapan air yang relatif lebih luas dibandingkan dengan gully plug. Untuk memberikan pemahaman pada petani petani pemilik lahan, pada genangan gully maupun dam pengendali di pasang pelskal (tongkat ukur berskala) yang selanjutnya bersama-sama dengan pemilik lahan diamati pada periode tertentu setelah terjadinya hujan mengenai.perubahan genangan air dan sedimentasi yang terjadi (Gambar 4). Sama halnya dengan rorak dengan adanya gully plug dan dam pengendali yang dipasang tongkat berskala, masyarakat petani secara mudah dapat memahami proses erosi dan dampak dari pengolahan lahan yang mengabaikan teknik konservasi tanah.

Gambar 4. Pelskal (tongkat berskala) pada Dam Pengendali dan Gully Plug di Pangkep dan Gowa (sumber photo : Hunggul, Kudeng)

Page 216: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

187

2. Penggunaan Teknik RLKT vegetatif multiguna untuk mengendalikan erosi dan peningkatan pendapatan

Selain pemahaman mengenai resiko dari tidak diterapkannya teknik RLKT, partisipasi masyarakat dalam ikut serta melaksanakan kegiatan RLKT pada lahan usaha tani mereka dapat digiatkan melalui penawaran aplikasi teknik RLKT yang bernilai ekonomi dalam jangka pendek. Dua contoh teknik RLKT yang diuji coba adalah penggunaan teknik RLKT vegetative yaitu penggunaan tanaman ubi jalar dan jalur rumput sebagai pengendali aliran permukaan dan erosi permukaan. Di Kabupaten Tanah Toraja, Kabupaten Mamasa dan sebagian Kabupaten Enrekang di Propinsi Sulawesi Selatan, ubi jalar merupakan tanaman utama untuk di ambil daunnya sebagai pakan ternak. Pada ketiga daerah tersebut, terutama di kabupaten Tana Toraja, dimana mayoritas penduduknya beternak babi, daun ubi jalar di pasar lokal berharga antara Rp. 1.000,- - Rp. 5.000,- per ikat. Ubi jalar di tanam di sekitar rumah, di pinggir jalan, bahkan banyak areal persawahan di ubah fungsinya menjadi tempat budidaya ubi jalar. Dari aspek ekologi, tanaman ubi jalar di Masyarakat Tana Toraja sangat potensial digunakan sebagai sarana konservasi tanah. Fungsi/manfaat utama dari tanaman ubi jalar dalam konservasi tanah dan air adalah kemampuannya dalam meredam energi hujan melalui permukaan daunnya yang lebar dan berbentuk seperti mangkuk. Daunnya yang lebar mampu melindungi tanah dari pukulan air hujan secara langsung dan batangnya yang menjulur sejajar tanah (tumbuh akar pada setiap tunas) mampu memperkuat tanah dari proses pemecahan dan agregasi tanah (tanah tidak mudah terpecah dan terangkut oleh energi air). Karena ubinya tidak diambil, tanaman ini mampu tumbuh dalam jangka waktu 2 sampai 3 tahun tanpa pembongkaran dan tanpa perlu peremajaan karena selalu bertunas (Gambar 5). Dari aspek ekonomi, tanaman ubi jalar mempunyai nilai yang tinggi. Konsumsi daun ubi jalar untuk pakan ternak babi di Tana Toraja sangat tinggi. Hampir di semua pasar tradisional di Tana Toraja permintaan daun ubi jalar selalu lebih tinggi dari persediaan. Dari hasil penelitian yang dilakukan tahun 2003-2004, 1 ikat daun ubi

Page 217: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

188

jalar (diameter ikatan 20 cm) dapat dihasilkan dari 1,2 m2 lahan dengan daur panen 12 hari untuk waktu panen 4 bulan (puncak hujan). Pada musim kemarau pada luas lahan yang sama dapat dipetik daun ubi sebanyak 1 ikat dan masa rotasi 3 minggu. Pada saat musim penghujan harga satu ikat daun ubi jalar di pasar adalah Rp. 1.000,- sedangkan pada musim kemarau harga melonjak menjadi Rp. 5.000,- /ikat (Yudono, 2006). Dengan hasil panenan lahan seluas 1,2 m2 untuk satu ikat daun, dalam satu hektar lahan dapat dihasilkan ± 8300 ikat daun ubi jalar setiap kali panen. Selama musim penghujan (4 bulan) dengan daur 12 hari dapat dilakukan pemanenen sebanyak 10 kali. Dengan harga satu ikat Rp. 1.000,- pada musim penghujan dapat dihasilkan pemasukan sebesar ± Rp. 83.300.000,-/hektar. Pada karakter masyarakat yang lain dengan ternak utamanya adalah sapi, maka teknik vegetatif yang diterapkan adalah penggunaan jalur rumput (Gambar 5). Di Pulau Sulawesi pada umumnya, masyarakat peternak sapi mempunyai kebiasaan untuk menggembalakan sapinya secara liar tanpa pengandangan. Dengan model penggembalaan liar ini pakan sapi menjadi tidak terjamin sehingga pertumbuhan sapi tidak optimal.

Gambar 5. Teknik KTA Vegetatif dan Pengembangan Ternak dalam RLKT

di Tana Toraja (sumber photo : Yudono)

Page 218: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

189

B. Partisipasi Kolektif (Collective Participation)

Dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya hutan dan lahan yang melibatkan masyarakat seringkali muncul kendala yang justru memperlemah partisipasi masyarakat. Salah satu faktornya adalah dominansi pola pendekatan “top down”, yang diperkuat oleh ketidakpercayaan perencana di pusat akan kemampuan masyarakat untuk dilibatkan/berpartisipasi dalam pembangunan. Faktor lainnya adalah keterbatasan modal, dan rendahnya kemampuan SDM. Pendekatan “top down” yang digunakan selama ini cenderung tidak memperoleh hasil yang lestari (hanya nampak keberhasilan ketika proyek masih berlangsung) dan lebih banyak gagal karena tidak didukung pemahaman dan ketertarikan yang memadai dari semua pihak yang terkait dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan lahan baik “on site” maupun “off site”. Perumusan tujuan dan cara pencapaian tujuan yang diturunkan tidak didasarkan pada database yang memadai dan valid. Pelaksanaan hanya berlandaskan pada perencanaan yang didasari oleh penggunaan asumsi-asumsi dan bukan berdasarkan bukti yang dapat diyakini secara kuantitatif dan atau kualitatif. Penyebab lain gagalnya pola pendekatan “top down” selain seperti yang disebutkan di atas adalah kurangnya pemahaman pembuat keputusan terutama pada tingkatan local mengenai kompleksitas yang terkait dalam pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya hutan dan lahan serta kurangnya pemahaman mengenai arti pendekatan partisipatif di tingkat pelaksana lapangan dan penyuluh. Sampai dengan saat ini bagaimana mengelola daerah hulu spesifik lokasi (hutan dan masyarakat di sekitarnya), khususnya dalam rangka menjaga dan memelihara fungsi hutan dalam segala kendala dan keterbatasan yang dimiliki pemerintah, masih menjadi bahan kajian yang menarik. Salah satu yang menjadi ”kunci” adalah partisipasi aktif dari masyarakat terutama yang berada di dalam dan sekitar hutan. Partisipasi dinilai sebagai faktor yang paling strategis dalam pencapaian tujuan kelestarian fungsi hutan. Pengembangan partisipasi masyarakat dalam menjaga hutan di sekitarnya dapat sukses apabila hutan mampu memberikan manfaat nyata bagi mereka dan masyarakat dapat melihat dan merasakan langsung keterkaitan yang tegas antara

Page 219: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

190

kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan. Partisipasi ini muncul sebagai dampak dari hubungan timbal balik positif hutan dan masyarakat. Salah satu cara untuk meningkatkan partisipasi kolektf masyarakat adalah dengan mengembangkan rasa percaya diri masyarakat melalui pembentukan kelompok pemberdayaan masyarakat secara mandiri (self supporting groups). Melalui kelompok seperti itu, anggota masyarakat yang potensial bisa diberdayakan melalui pengembangan rasa percaya diri, untuk meningkatkan kesejahteraannya. Terkait dengan upaya merancang pendekatan baru menggiatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan, sejak tahun 2004 sesuai dengan tupoksinya, Balai Penelitian Kehutanan Makassar telah mengkaji dan mengembangkan konsep pengelolaan hutan berbasis masyarakat (Community Based Forest Management/ CBFM ) melalui pembangunan instrumen perekat berupa pembangkit listrik mikrohidro. Pembangkit listrik mikrohidro adalah pembangkit listrik skala kecil / mini( <1 mW) yang dibuat di daerah hulu DAS dengan menggunakan sumber tenaga dari aliran sungai. Listrik murah ini dioptimalkan untuk dapat dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitar hutan. Dalam sudut pandang kepentingan kehutanan dan pengelolaan daerah tangkapan air secara umum, tujuan pembangunan microhydro electric adalah membangun perekat hubungan positif antara hutan, lahan dan masyarakat serta ditujukan untuk meningkatkan partisipasi kolektif (collective participation) masyarakat di dalam dan sekitar hutan untuk secara swadaya menjaga dan melestarikan fungsi hutan, serta memelihara fungsi daerah tangkapan air sebagai pengatur tata air yang baik. Kelestarian fungsi hutan dan kondisi daerah tangkapan air yang baik ini akan menjamin kontinuitas hasil air yang akan bermanfaat bagi masyarakat itu sendiri (on site) maupun masyarakat di bagian hilirnya (off site). Secara teknis peluang membangun mikrohidro di sekitar kawasan hutan sangat besar. Asal ada air yang mengalir dan beda ketinggian, listrik dapat dihasilkan. Kunci utama dari tenaga air adalah adanya gaya gravitasi yang akan mengalirkan air dalam jumlah dan kecepatan yang dikehendaki. Secara umum potensi

Page 220: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

191

air di sekitar hutan di hulu-hulu DAS ketersediaan air sepanjang tahun melimpah, dan topografi yang bergunung-gunung memungkinkan adanya beda ketinggian. Untuk mendukung operasional turbin maka perlu dibentuk kelompok pengguna turbin. Selain untuk menjamin kontinuitas turbin, pembentukan kelompok ini juga dimaksudkan sebagai “entry point” upaya pengamanan hutan serta rehabilitasi hutan dan lahan pada daerah tangkapan air diatasnya. Kelompok dibentuk sendiri oleh masyarakat dan bertugas untuk secara kolektif menjaga kontinuitas pemanfaatan pembangkit listrik yang tergantung pada dua hal utama yaitu unit alat, dan suplai tenaga (kontinuitas hasil air). Unit alat berkaitan dengan umur pakai masing-masing komponen seperti dinamo, kincir, bearing penyangga, dan pipa. Pemeliharaan alat ini bahannya dibiayai dari iuran anggota maupun dari unit usaha produktif kelompok yang memanfaatkan tenaga listrik mikrohidro. Pengerjaan serta pemeliharaan dikerjakan secara swadaya gotong royong anggota kelompok. Sedangkan yang berkaitan dengan suplai tenaga (kontinuitas hasil air), maka yang diperlukan adalah upaya bersama seluruh anggota kelompok untuk bersama-sama ikut serta menjaga hutan dan lahan sebagai ”penghasil air”. Kegiatan pembangunan mikrohidro sebagai bagian dari kegiatan kehutanan diarahkan untuk meningkatkan komitmen masyarakat untuk memelihara dan merehibilitasi hutan. Dengan kesepakatan yang dibangun sebelum pembangunan dilaksanakan, kegiatan menanam dan atau menjaga hutan dijadikan kewajiban yang melekat sama halnya dengan iuran bulanan yang diatur oleh kelompok. Kelompok pengguna turbin mempunyai kewajiban iuran bulanan dan menanam lima pohon per bulan (60 pohon per tahun) dan persemaiannya difasilitasi oleh pemerintah. Penanaman pohon dan pemeliharaannya ini akan melekat selama anggota kelompok masih menjadi konsumen listrik. Apabila biaya pembangunan mikrohidro di sinergikan dengan kegiatan GERHAN, maka konsep di atas bisa dijadikan katalis keberhasilan GERHAN. Biaya GERHAN untuk areal seluas 1000 ha diperlukan Rp. 5 Milyar (dengan asumsi biaya GERHAN Rp. 5 jt/ha). Apabila 10 % (equivalen 100 ha tanaman) dari kegiatan

Page 221: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

192

tersebut dijadikan mikrohidro (setara Rp. 500 jt) equivalen keberhasilan 90 % dengan biaya 500 juta tersebut kita bisa membuat 3 unit mikrohidro yang melayani 3 desa (± 450 KK). Apabila tiap KK menanam 5 pohon/bulan maka dalam 1 (satu) tahun akan tertanam 27.000 pohon. Asumsi jarak tanam 5 x 5 m (400 pohon/ha) maka akan tertanam pohon seluas 67,5 ha/tahun. Dengan demikian meningkatkan keberhasilan penanaman melalui pelibatan kelompok masyarakat pengguna listrik untuk menjaga dan memelihara tanamannya. Potensi pengembangan partisipasi masyarakat sekitar hutan dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan sangat tinggi. Dari hasil identifikasi desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan tahun 2007 yang dilakukan oleh Depertemen Kehutanan dan Biro Pusat Statistik di 15 provinsi, yaitu Sumut, Sumbar, Riau Sumsel, Bangka Belitung, Jateng, Bali, NTB, NTT, Kalbar, Kalteng, Kaltim, Kalsel, Sultra, dan Maluku, terdapat 31.957 desa. Dengan rincian 1.305 desa terdapat di dalam kawasan, 7.943 berada di tepi kawasan hutan, dan 22.709 berada di luar kawasan hutan (Pusinfo, 2009). Sebagai institusi Litbang Kehutanan, BPK Makassar telah merancang unit turbin beserta konsep pengembangannya secara utuh sebagai instrumen pengelolaan hutan bersama masyarakat dan melakukan uji coba efektifitas serta rekayasa sosial kelembagaan di 2 lokasi DAS uji Coba BPK Makassar yaitu di Kab. Gowa, dan Kab. Tana Toraja di Sulawesi Selatan. Selanjutnya sejak tahun 2007 BPK Makassar telah memfasilitasi dan membantu berbagai instansi di daerah (Dinas Kehutanan, Dinas Lingkungan Hidup, BKSDA, BDK, BPDAS) untuk mengembangkan mikrohidro dalam konsep yang utuh di berbagai tempat baik melalui dana APBN maupun APBD antara lain di Tana Toraja, Pangkep dan Gowa (Sulawesi Selatan), Kab. Donggala dan Poso di Sulawesi Tengah, Kab. Bolaang Mongondow, di Sulawesi Utara, Kab. Buton Utara di Sulawesi Tenggara dan Kab. Kutai Timur di Kalimantan Timur (Gambar 6).

Page 222: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

193

III. PENUTUP

Partisipasi lain yang juga penting adalah dalam perancangan kegiatan RLKT. Masyarakat yang nantinya diharapkan akan menjadi agen utama dalam pelaksanaan kegiatan harus diakomodir kebutuhannya (-bukan keinginan-). Data/informasi yang akan dijadikan sebagai dasar perancangan pendekatan RLKT yang akan dilakukan harus data/informasi yang rinci dan detail dan bersumber pada sumber data yang tepat dan layak. Data dasar kondisi biofisik dan sosial ekonomi dan kelembagaan tidak hanya didasarkan pada data aktual tetapi juga pada data prediksi 5, 10, sampai dengan 15 tahun ke depan. Demikian juga dengan tingkat kebutuhan harus di dasarkan juga pada kebutuhan masa datang. Apabila secara mental, emosional dan juga secara fisik masyarakat bisa dilibatkan dalam kegiatan RHL maka kecepatan rehabilitasi hutan dan lahan dapat ditingkatkan dan sebaliknya laju

Gambar 6. Kegiatan Pembangunan Mikrohidro di Gowa, Pangkep, Masamba, dan Poso (sumber photo : Hunggul, Kudeng)

Page 223: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

194

degradasi hutan dan lahan dapat diperlambat. Pelibatan masyarakat ini niscaya bisa terlaksana apabila masyarakat mampu melihat, memahami, dan merasakan manfaat dan resiko dalam melakukan kegiatan RHL tidak hanya pada saat kegiatan dilaksanakan namun juga sampai bertahun-tahun ke depan. Semoga terwujud kondisi hutan dan lahan yang lebih bermanfaat baik bagi generasi saat ini maupun saat mendatang. DAFTAR PUSTAKA Arsyad, S. 1989. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. IPB Press.

Bogor. http://id.wikipedia.org/wiki/Partisipasi (diakses tanggal 15 Juni 2011)

O’hara. dan P. Rhonaken. 2004. Course Module : Participatory

Action Research for Community Based Natural Resources. RECOFT. Bangkok.

Pusinfo, 2009. SIARAN PERS Nomor : S. 141/PIK-1/2009 25

maret 2009. United States Environmental Protection Agency (UNEPA), 1995.

President’s Council on Sustainable Development. Principles, Goals, and Devinition Task Forces. Background Papers. USEPA. Pp-23

Yudono, H. 2002. Pola Usahatani Hortikultura di Bulubalea.

Malino. Laporan Hasil Penelitian. BPPTPDAS IBT. Makassar. Tidak Diterbitkan.

Yudono, H. 2005. Teknik Konservasi Tanah dan Air pada Lahan

Usaha Tani Hortikultura. Petunjuk Teknis. Wae Tuwo Vol I no 1. 2005. BP2TPDAS IBT. Makassar

Yudono, H dan Syahidan. 2006. Tanaman Ubi Jalar : Tanaman

Serbaguna untuk Konservasi Tanah dan Air di DAS Saddang, Sulawesi Selatan. Seri Teknologi Konservasi Tanah dan Air. BP2TPDAS IBT. Makassar.

Page 224: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

195

PENGELOLAAN LAHAN DI SUB DAS CISADANE HULU UNTUK MENDUKUNG KELESTARIAN TATA AIR1

Oleh:

I Wayan Susi Dharmawan2) Fitri Kusumadewi3)

Pratiwi4)

Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi,

Jl. Gunung Batu PO BOX 165 Bogor Telepon/Fax. : (0251) 8633234 Email : [email protected]

2) [email protected] ; 4) [email protected]

ABSTRAK Berbagai jenis pola penggunaan lahan secara langsung berpengaruh terhadap karakteristik tanah dan tata air pada suatu bentang lahan tertentu (specific landscape). Pada saat ini banyak dilakukan revisi tata ruang yang mengakibatkan berubahnya tata guna lahan tidak sesuai dengan kemampuan lahan itu sendiri, akibatnya kualitas tanah dan tata air menjadi turun. Selain itu, dampak dari adanya perubahan iklim adalah terjadinya amplitudo debit air pada musim kering dan musim penghujan yang sangat besar. Meskipun sampai saat ini belum diketahui secara pasti apakah disebabkan oleh perubahan iklim atau tidak. Banyak kajian dan studi yang menyatakan bahwa adanya pola penggunaan lahan yang berbeda menyebabkan perubahan pola tata air. Untuk itu, diperlukan suatu penelitian dan analisis mendalam tentang seberapa besar pengaruh perubahan lahan memberikan tata air yang optimal. Kata kunci : penggunaan lahan, tata air optimal

1 Makalah ini disampaikan pada Semiloka “Riset Pengelolaan DAS Menuju

Kebutuhan Terkini” Surakarta, 27-28 Juni 2011. Kerjasama Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi dengan Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

Page 225: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

196

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan tata guna lahan akan mempengaruhi kelestarian DAS sehingga terjadi perubahan terhadap keseimbangan tata air pada suatu unit lahan dengan mempertimbangkan tingkat debit dan sedimentasi (Asdak, 2005)). Untuk mengurangi terjadinya erosi, sedimentasi dan banjir, optimasi pengelolaan lahan merupakan hal yang sangat penting dalam prinsip konservasi yang diaplikasikan untuk memperoleh keuntungan ekonomi dan berkelanjutan. Model hidrologi disimulasikan sebagai suatu pendekatan sistem dalam pengelolaan DAS yang didasarkan pada skenario yang diformulasikan dari masing-masing perubahan tata guna lahansalah satu model simulasi yang umum digunakan adalah ANSWERS (Areal Non-point Source Watershed Environment Response Simulation), yang dapat dimanfaatkan untuk mengevaluasi dan merumuskan pola penggunaan lahan yang sesuai dengan aspek-aspek pengelolaan lahan untuk konservasi tanah dan air secara tepat. Pengelolaan DAS adalah suatu usaha untuk mengatur sumberdaya alam utama yaitu tanah dan air. Suatu pengelolaan DAS yang baik untuk penggunaan tanah dan air seharusnya memperhitungkan prinsip konservasi untuk mencapai hasil yang optimum. Pengelolaan DAS yang tidak tepat akan mengakibatkan banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Tata guna lahan termasuk jenis dan kerapatan tanaman merupakan komponen utama yang mempengaruhi kapasitas tanah untuk menyerap air (Budi Indra, 1999). Kerapatan tanaman adalah hal yang lebih penting dibandingkan jenis tanaman, dimana telah terbukti dengan menurunnya laju dan kapasitas infiltrasi pada unit lahan yang mempunyai kerapatan vegetasi rendah (Budi Indra, 1999). Proses hidrologi menggambarkan suatu rantai fenomena alam yang menghubungkan erosi, sedimentasi dan limpasan. Bagian dari siklus hidrologi yang disebut hujan, kondisi tanah dan

Page 226: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

197

vegetasi mempunyai peranan penting dalam proses erosi, sedimentasi dan limpasan. Erosi adalah peristiwa pindahnya tanah dari suatu tempat ke tempat lain dengan media alam (Budi Indra, 1999; Arsyad, 2000). Menurut Frevert et al. (1963), erosi tanah didefinisikan sebagai kehilangan tanah lebih cepat dari proses erosi geologi. Menurut Baver et all. (1972) terjadinya erosi tanah tergantung dari beberapa faktor yaitu karakteristik hujan, kemiringan lereng, tanaman penutup dan kemampuan tanah untuk menyerap dan melepas air ke dalam lapisan tanah dangkal. Dampak dari erosi tanah dapat diklasifikasikan dalam dua kategori : 1) menurunnya produktifitas lahan seiring dengan kehilangan lapisan tanah bagian atas yang subur, dan 2) terjadi sedimentasi di sungai yang menyebabkan kerusakan saluran dan berkurangnya kapasitas tampungan. Dengan memperhatikan berbagai uraian tersebut di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengelolaan lahan di Sub DAS Cisadane Hulu yang dapat mendukung kelestarian tata air berdasarkan pada tingkat limpasan dan erosi yang terjadi dari beberapa skenario pengelolaan lahan yang dibuat. II. METODOLOGI

A. Lokasi Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan pada Sub DAS Cisadane Hulu dengan meletakkan titik-titik pengamatan pada lokasi-lokasi yang mewakili kondisi pola penggunaan lahan yang akan diamati. Gambaran DAS Cisadane dapat dilihat pada Gambar 1 berikut :

Page 227: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

198

Gambar 1. Peta Spasial DAS Cisadane (Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, 2009) B. Data yang Diperlukan Data-data yang digunakan untuk input model ANSWER meliputi :

1. Data curah intensitas hujan 2. Data hasil pengukuran debit (AWLR) dan Sedimentasi 3. Peta topografi Sub DAS Cisadane Hulu Skala 1 : 15.000 4. Peta Tipe Penutupan Lahan Sub DAS Cisadane Hulu

Skala 1 : 15.000 5. Peta Kelas Lereng Sub DAS Cisadane Hulu Skala 1 :

15.000 6. Peta Jenis Tanah Sub DAS Cisadane Hulu Skala 1 :

15.000

#

##

#

#

#

#

#

#

##

# #

#

C22

C19

C15

C13

C12

C10

C08

C06

C03

C01

Laut Jawa

$ Gunung Salak$ Gunung Gede

Pangrango

C05

HULU

TENGAH

HILIR

C17 C18

C21

Page 228: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

199

C. Analisa Data Analisa data dilakukan dengan menggunakan software Microsoft Excell (Microsoft Office Excell, 2003) dan Model ANSWERS. Menurut Beasley at al. (1982) ANSWERS (Area Non-point Source Watershed Environment Response Simulation) adalah model simulasi karakteristik DAS, dimana tata guna lahan pertanian mendominasi, dibawah kejadian hujan tertentu. Aplikasi utama adalah simulasi perencanaan dan mengevaluasi strategi untuk mengendalikan erosi. Satu dari karakteristik ANSWERS adalah pendekatan distribusi parameter, dimana berbeda dengan model lain yang menggunakan lump parameter. Variabel spasial, parameter terkendali seperti topografi, tanah, tata guna lahan, dan lainnya yang mempengaruhi distribusi parameter DAS dalam suatu algoritma komputasi. Pada penelitian modeling ini dilakukan beberapa tahapan penyiapan data untuk input program ANSWERS. Tahapan-tahapan yang dilakukan adalah : 1. Persiapan Kegiatan yang dilakukan pada tahap persiapan ini adalah pendeliniasian wilayah DTA pada peta-peta yang digunakan (bila batas-batas DTA tersebut belum ada di peta). Setelah itu baru ditentukan besar grid yang akan digunakan sebagai satuan-satuan informasi yang akan diambil dari peta yang digunakan. Luasan grid yang dibuat diusahakan tidak lebih dari 4 Ha di lapangan, sebagaimana yang tercantum pada buku Panduan ANSWERS. Setelah itu baru pembuatan grid, grid dibuat di atas kertas kalkir dengan luasan yang telah ditetapkan sebelumnya. Penggunaan kalkir dapat mempermudah pada saat pengumpulan data, sehingga tidak perlu membuat grid peta berulang-ulang, cukup mengoverlaykannya di masing-masing peta. Hasil overlay peta dengan kalkir tersebut dicatat dan selanjutnya diinput ke ANSWERS dengan mengikuti aturan-aturan seperti yang tercantum dalam panduan ANSWERS.

Page 229: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

200

2. Pengumpulan Data dan Analisis Data Data yang dibutuhkan untuk input model ANSWERS dapat berupa data primer maupun sekunder (seperti yang diambil dari grid peta yang telah dibuat). Untuk data intensitas curah hujan dan sedimen lebih baik bila merupakan data primer, sebab kedua data ini digunakan pada saat kalibrasi model ANSWERS tersebut. Tabel 1 memperlihatkan parameter dan data yang diperlukan untuk penelitian.

Tabel 1. Parameter dan Data yang Diperlukan dalam Penelitian

Parameter Data Parameter Tanah Jenis Tanah Parameter Penutupan Lahan Jenis Penutupan Lahan Kelas Lereng Presentasi Kelas Lereng Dominan Ketinggian Tempat Elevasi Rata-rata per Grid Saluran Lebar Saluran

Dari beberapa kejadian hujan yang telah diperoleh, dapat dipilih yang kira-kira paling mewakili bagaimana hidrologi di DAS tersebut.

3. Analisis Permodelan

a. Kalibrasi Model Setelah data dari peta dan data lapang telah direkap dan selesai diinput ke program ANSWERS, tahap selanjutnya adalah kalibrasi model. Kalibrasi model dilakukan dengan membandingkan hidrograf model dan hidrograf pengamatan lapangan yang diperoleh dari pengamatan curah hujan selama tiga bulan berturut-turut serta pengamatan debit air, erosi dan sedimentasi. Kalibrasi dilakukan dengan menggunakan KOEFISIEN DETERMINISTIK, dengan rumus

dengan nilai harus R2 > 0,80

20

20

202

)()()(

avg

mavg

QQQQQQ

R

Page 230: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

201

Keterangan :

Q0 = besarnya debit pengamatan Qavg = besarnya debit rata-rata pengamatan Qm = besarnya debit perhitungan model

Model dievaluasi kelayakannya apabila nilai R mendekati 1, maka menunjukkan hubungan yang cukup erat antara hasil prediksi model dengan hasil pengamatan debit di lapangan. Pemilihan data intensitas curah hujan yang digunakan dalam input ANSWERS menentukan hasil kalibrasi, sehingga pada saat data intensitas curah hujan yang dipilih menghasilkan kalibrasi ANSWERS kurang baik (< 0,80), maka data intensitas curah hujannya dapat diganti dengan data intensitas curah hujan kejadian hujan lainnya yang memiliki kalibrasi yang lebih baik.

b. Analisa Sensitivitas Model Apabila kalibrasi model berhasil baik, tahapan selanjutnya adalah Analisa Sensitifitas Model. Analisis ini digunakan untuk mengetahui pengaruh input model dan nilai pameter karakteristik model dan outputnya. Analisis sensitivitas model ini dilakukan dengan menambah dan mengurangi setiap parameter data yang telah diinput sebesar 10 %, kemudian setiap output yang dihasilkan saat setiap parameter yang diinput ditambah atau dikurangi dicatat sebagai data untuk analisis sensitifitas model. Indeks yang menggambarkan sensitifitas model dihitung dengan rumus beriku :

Keterangan : S = indeks sensitivitas P10 = hasil simulasi dengan nilai parameter ditambah 10 % M10 = hasil simulasi dengan nilai parameter dikurangi 10 % Baseline = hasil simulasi awal

4. Pembuatan Skenario Model Pembuatan Skenario dilakukan setelah kalibrasi berhasil baik dan Analisis Sensitivitas dilakukan. Skenario-skenario yang

BaselineMPS 1010

Page 231: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

202

dibuat dapat didasarkan atas tujuan yang ingin dicapai atau dengan panduan hasil Analisis Sensitivitas. Misalnya dengan merubah informasi grid yang telah diinput sebelumnya, disesuaikan dengan keinginan, biasanya data yang dirubah untuk pembuatan skenario adalah parameter tipe penutupan lahan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Data curah hujan yang digunakan sebagai input model ANSWERS adalah data curah hujan tanggal 17 September 2010 sebesar 44,9 mm. Setelah proses input dan running, memperlihatkan bahwa pada curah hujan sebesar 44,90 mm menghasilkan limpasan sebesar 2,812 mm dan rata-rata kehilangan tanah sebesar 4770 kg/Ha Model ini dikalibrasi dengan menghitung koefisien determinasinya, R2 yang diperoleh adalah 0,87, ini menunjukan bahwa model yang dibuat mendekati kenyataan dilapangan dan sudah cukup baik sehingga dapat digunakan untuk simulasi-simulasi skenario-skenario yang ingin dicobakan. Gambar 2 dibawah ini memperlihatkan bahwa hidrograf model dan hidrograf sungai di lapangan hampir sama. Hidrograf sungai di lapangan ini diperoleh dengan melakukan pengamatan curah hujan selama tiga bulan berturut-turut serta pengamatan debit air, erosi dan sedimentasi. Didukung juga dengan data curah hujan dan debit air sungai selama tiga tahun terakhir yang diperoleh dari BPDAS Citarum Ciliwung.

Page 232: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

203

Gambar 2. Grafik Hidrograf Sungai dan Model di Sub DAS Cisadane Hulu Skenario yang dipilih adalah dengan merubah proporsi tipe penggunaan lahan untuk melihat bagaimana proses hidrologi yang berlangsung ditempat itu. Skenario awal/baseline yang diinput ke dalam program, khususnya untuk data tipe penggunaan lahan adalah sebagaimana ditampilkan dalam Tabel 2 dan Gambar 3.

Tabel 2. Proporsi Grid berdasarkan Tipe Penutupan Lahan Model Baseline

No. Jenis Penutupan

Lahan Jumlah

Grid Persentase

1. Hutan 57 5,728643216 2. Kebun 273 27,43718593 3. Ladang 462 46,4321608 4. Pemukiman 27 2,713567839 5. Sawah 23 2,311557789 6. Semak 153 15,37688442 995 100

Page 233: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

204

Gambar 3. Persentase Penutupan Lahan Pada Kondisi Awal/Baseline

Perubahan luasan/persentase penggunaan lahan disajikan pada Tabel 3. Rekapitulasi output simulasi skenario model Sub DAS Cisadane Hulu ditampilkan pada Tabel 4. Tabel 3. Perubahan Persentase Penutupan Lahan

No Simulasi Persentase Penutupan Lahan (%)

Hutan Kebun Ladang Pemukiman Sawah Semak Kam

pung 1 Baseline 5,73 27,44 46,43 2,71 2,31 15,38 0,00 2 Skenario 1 30,00 30,00 30,00 3,00 7,00 0,00 0,00 3 Skenario 2 45,00 25,00 25,00 5,00 0,00 0,00 0,00 4 Skenario 3 45,00 0,00 25,00 0,00 25,00 0,00 5,00 5 Skenario 4 45,00 25,00 25,00 0,00 0,00 0,00 5,00 6 Skenario 5 30,00 30,00 30,00 10,00 0,00 0,00 0,00 7 Skenario 6 30,00 0,00 30,00 0,00 0,00 30,00 10,00 8 Skenario 7 30,00 30,00 0,00 0,00 0,00 30,00 10,00

Tabel 4. Rekapitulasi Output Simulasi Skenario Model Sub DAS Cisadane Hulu No.

Simulasi

Output Model Persentasi

Limpasan (mm)

Erosi (kg/Ha)

% Limpasan

% Erosi

1 Baseline 2,812 4770 0 0 2 Skenario 1 2,633 3161 6,366 33,732 3 Skenario 2 2,735 2330 2,738 51,153 4 Skenario 3 3,196 3570 -13,656 25,157 5 Skenario 4 2,135 3073 24,075 35,577 6 Skenario 5 2,449 3000 12,909 37,107 7 Skenario 6 2,977 2037 -5,868 57,296 8 Skenario 7 2,451 1889 12,838 60,398

Page 234: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

205

Keterangan : tanda negatif (-) pada tabel, menandakan bahwa terdapat sejumlah kenaikan pada output model bila dibandingkan dengan baselinenya. Perubahan output yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 4 dan Gambar 5 dibawah ini : Gambar 4. Output Limpasan Skenario Model-Model ANSWERS di Sub

DAS Cisadane Hulu Gambar 5. Output Erosi Skenario Model-model ANSWERS Sub DAS

Cisadane Hulu

Awal 1 2 3 4 5 6 7

Awal 1 2 3 4 5 6 7

Page 235: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

206

B. Pembahasan Kondisi DAS Cisadane Bagian Hulu (Sub DAS Cisadane Hulu) sudah sangat kritis. Hal ini terlihat dari persentase penutupan lahannya yang didominasi oleh ladang, perkebunan dan semak belukar. Kondisi ini meningkatkan limpasan dan besarnya erosi yang terjadi pada Sub DAS Cisadane Hulu. Peningkatan persentase penutupan lahan hutan menjadi 30% dan 45% diharapkan dapat meningkatkan fungsi hidrologi Sub DAS Cisadane Hulu. Hasil-hasil penelitian mengindikasikan bahwa hutan memberikan keuntungan bagi perbaikan sifat tanah. Tegakan dalam areal hutan menghasilkan serasah yang cukup tinggi sehingga mampu meningkatkan kandungan bahan organik pada lantai hutan. Lantai hutan ini memiliki kapasitas infiltrasi yang jauh lebih tinggi dibandingkan lahan non-hutan (Arsyad, 2000). Dengan adanya tingkat infiltrasi yang tinggi menyebabkan pergerakan overlandflow dapat diperkecil sehingga erosi dan sedimentasi di Sub DAS Cisadane Hulu dapat ditekan, sementara di lain pihak suplai ke aquifer dapat diperbesar, yang berarti upaya mengurangi kejadian banjir dan tanah longsor pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau dapat berjalan efektif (Rachman, 2010). Dari 7 hasil skenario yang dipilih dapat dilihat bahwa skenario yang menghasilkan nilai limpasan dan erosi yang rendah adalah skenario 7 (Limpasan 2,451 mm dan Erosi 1889 kg/Ha) yaitu pada proporsi grid Hutan 30 %, Kebun 30 %, Semak 30 % dan Pemukiman 10 %. Nilai limpasan yang terendah sebenarnya dihasilkan oleh skenario 4 sebesar 2,135 mm dan nilai erosi terendah dihasilkan oleh skenario 7 sebesar 1889 mm. Pada tabel di atas dapat dilihat presentasi perubahan output model bila dibandingkan dengan output baselinenya. Skenario 2, 3 dan 4 dengan penutupan lahan berupa hutan sebesar 45 % ternyata menghasilkan output limpasan yang bervariasi, bahkan pada skenario 4 diperoleh nilai limpasan yang lebih tinggi dari baseline. Skenario 3 menggunakan 4 jenis input penggunaan lahan, yaitu hutan, ladang, sawah dan kampung. Bila dibandingkan dengan skenario 2 dan 5 yang juga menggunakan 4 jenis penggunaan lahan, maka skenario 3 merupakan skenario

Page 236: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

207

yang menghasilkan output paling buruk dengan penambahan nilai limpasan sebesar 13,656 % dan nilai penurunan erosi yang terkecil bila dibandingkan dengan skenario yang lainnya. Hal ini bisa disebabkan karena input nilai pengolahan tanah yang digunakan lebih tinggi dibanding dengan nilai-nilai pengolahan tanah pada penggunaan lahan lainnya. Nilai pengolahan tanah merupakan data yang menginformasikan tentang semakin tinggi permukaan yang mengalami pengolahan tanah, semakin intensif tanah mengalami atau mendapatkan pengolahan dalam kegiatan dalam pengelolaannya maka semakin besar nilai pengolahan tanah yang dimiliki, ini berarti mempertinggi kemungkinan tanah terbongkar. Sehingga meningkatkan jumlah bagian tanah yang terhanyut atau tererosi. Walaupun faktor penyebab erosi tidak hanya 1 faktor saja. Sedangkan nilai limpasan yang lebih tinggi kemungkinan disebabkan karena pada skenario 3 terdapat penambahan proporsi grid penutupan lahan untuk sawah dan penghilangan grid kebun. Skenario 7 memberikan prediksi yang paling baik untuk limpasan dan erosi, dengan proporsi hutan, kebun dan semak masing-masing 30 % serta kampung 10 % diperoleh penurunan limpasan yang cukup besar ( 12,8 %) dan penurunan erosi yang terbesar juga (60,39%). Adanya penggunaan lahan semak belukar ternyata memberikan pengaruh yang positif untuk mencegah tererosinya tanah, tetapi semak belukar justru memberikan pengaruh negatif untuk menahan air karena tanah yang tertutup semak belukar justru sulit untuk menyerap air hujan, sehingga air hujan yang jatuh akan lebih lambat untuk diserap oleh tanah. Pada dasarnya, penggunaan lahan yang optimal untuk mengurangi limpasan dan erosi adalah penggunaan lahan yang memungkinkan air hujan terinfiltrasi ke dalam tanah, dan menjaga permukaan tanah tidak mengalami pembongkaran. Perubahan penutupan lahan di Sub DAS Cisadane Hulu dan Cipeucang semestinya menjadi perhatian serius para pemangku kepentingan terutama Pemerintah Daerah setempat dalam mengatur penggunaan lahan yang dapat meningkatkan daya dukung Sub DAS Cisadane Hulu dan Cipeucang. Upaya pengaturan penggunaan lahan untuk meningkatkan daya dukung

Page 237: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

208

DAS telah diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa Pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan minimal 30% dari luas Daerah Aliran Sungai (DAS) dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Regulasi ini mengamanahkan bahwa tataguna hutan harus mengusahakan keberadaan dan keamanan kawasan hutan disetiap DAS minimal 30 % dari luas DAS. Upaya pengelolaan hutan yang didasarkan pada Undang-Undang Kehutanan tersebut mempersyaratkan bahwa untuk mencapai pengelolaan hutan secara lestari perlu dibuat perencanaan hutan dengan melalui perencanaan tataguna hutan berdasarkan peruntukan fungsinya dimana dalam pelaksanaannya mempertimbangkan DAS sebagai unit analisis ekosistem (Rachman, 2010).

IV. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil-hasil yang telah diperoleh selama penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Kondisi Sub DAS Cisadane Hulu sebagai bagian dari DAS

Cisadane Bagian Hulu sudah sangat kritis yang terlihat dari tutupan lahannya yang didominasi oleh ladang, kebun dan semak belukar. Tutupan areal hutan hanya sebesar 5,7%. Kondisi ini meningkatkan limpasan dan besarnya erosi yang terjadi pada Sub DAS Cisadane Hulu.

2. Skenario 7 memberikan prediksi yang paling baik untuk limpasan dan erosi, dengan proporsi hutan, kebun dan semak masing-masing 30 % serta kampung 10 % diperoleh penurunan limpasan yang cukup besar ( 12,8 %) dan penurunan erosi yang terbesar juga (60,39%).

3. Peningkatan persentase penutupan lahan hutan menjadi 30%

dan 45% diharapkan dapat meningkatkan fungsi hidrologi Sub DAS Cisadane Hulu yang terlihat dari menurunnya limpasan dan erosi yang terjadi.

Page 238: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

209

4. Penggunaan lahan yang optimal untuk mengurangi limpasan dan erosi adalah penggunaan lahan yang memungkinkan air hujan terinfiltrasi ke dalam tanah, dan menjaga permukaan tanah tidak mengalami pembongkaran sehingga kelestarian air akan lebih terjamin.

Perubahan penutupan lahan di Sub DAS Cisadane Hulu semestinya menjadi perhatian serius para pemangku kepentingan terutama Pemerintah Daerah setempat dalam mengatur penggunaan lahan yang dapat meningkatkan daya dukung Sub DAS Cisadane Hulu sebagai bagian dari DAS Cisadane Bagian Hulu. DAFTAR PUSTAKA Arsyad, S. 2000. Konservasi tanah dan air. IPB Press. Asdak, C. 2005. Hidrologi dan pengelolaan Daerah Aliran

Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Baver, L.D. 1972. Soil Physics. John Wiley and Son Inc. New

York. Charles E. Tuttle Company. Modern Asia Edition. Third Edition.

Beasley, D.B. dan L.F. Huggins. 1982. ANSWERS. User’s

Manual. U.S. EPA Region V. Chicago. Frevert, R.K, G.O. Schwab, T.W. Edminster, and K.K. Barness.

1963. Soil and Water Conservation Engineering (Third Edition) John Wiley and Son Inc. New York.

Microsoft Office Excel. 2003. Microsoft Inc. United States of

America. Rachman, S. 2010. Kebijakan dan Upaya Pengelolaan Daerah

Aliran Sungai dari Sektor Kehutanan. Bunga Rampai II Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia. Jakarta.

Page 239: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

210

Setiawan, Budi Indra. 1999. Land Use Planning For Cigulung Maribaya Sub Watershed Using ANSWERS Model. Proceeding of International Workshop on Sustainable Resource Management for Cidanau Watershed. RUBRD-UT/IPB. Bogor.

Seyhan, Ersin. 1990. Dasar-dasar Hidrologi. Gadjah Mada

University Press. Yogyakarta.

Page 240: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

211

KONSERVASI TANAH DAN AIR SECARA PARTISIPATIF DENGAN PENDEKATAN MODEL AGROFORESTRI LOKAL1

Oleh : Ida Rachmawati2)

Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Kupang

Jl. Untung Surapati No. 7. PO. Box. 69, Kupang, NTT 85115, Telp. 0380 - 823357, 831068, Fax. 0380 – 831068

Email : 2) [email protected]

ABSTRAK

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui hasil praktek konservasi tanah dan air melalui pendekatan praktek agroforestri lokal dibeberapa wilayah di Nusa. Tenggara. Timur Praktek konservasi tanah dan air yang telah lama dipraktekkan adalah praktek agroforestri dengan memadukan antara tanaman kehutanan, pertanian, dan peternakan. Namun dalam aras praktikal masih sedikit informasi yang diperoleh tentang keberhasilan praktek agroforestri terhadap perbaikan komponen lingkungan seperti perbaikan terhadap sifat fisik dan kimia tanah, produktivitas lahan dan produktivitas tanaman. Hal ini disebabkan tehnologi pengelolaan agroforestri yang dipraktekkan kurang memperhatikan interaksi kondisi lingkungan setempat kebutuhan masyarakat, dan kondisi sosial masyarakat. Studi yang dilakukan di Sumba Timur menunjukkan bahwa praktek konservasi tanah dan air dengan penanaman rumput tertentu mampu memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah pada daerah yang didominasi savana dengan sistem peternakan lepas. Lahan yang ditanami rumput Brachiaria mutica, Panicum maximum Euchlaena mexicana, Setaria spachelata, Panicum maximum, mapu (Imperata cylindrica) dan kahirik (Andropogon pertusus Willd) mampu memperbaiki fisik tanah (porositas dan kerapatan isi tanah) dan kimia tanah (P, K, C organik dan KTK). Praktek agroforestri di desa Bijaepunu kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dengan pengaturan pola tanam tanaman pangan dalam baris, tumpangsari dan campuran diantara tanam gmelina dan rumput raja (king grass) mampu memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah. Hasil biji kacang tanah dan jagung (kg/ha) dibawah tegakan gmelina dengan pola tanam tumpangsari dan baris lebih tinggi dibandingkan hasil kacang tanah dan jagung yang ditanam campuran diluar tegakan gmelina (lahan petani). Praktek agroforestri di desa Ajaobaki kabupaten TTS menunjukkan lahan

1 Makalah ini disampaikan pada Semiloka “Riset Pengelolaan DAS Menuju

Kebutuhan Terkini” Surakarta, 27-28 Juni 2011. Kerjasama Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi dengan Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

Page 241: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

212

penanaman jeruk dengan pola terasering tanaman kaliandra, turi, dan nanas sebagai tanaman penguat teras, dan penggunaan tanaman semak putri malu dan tanaman kacang-kacangan sebagai tanaman penutup tanah mempunyai produktivitas lebih baik yang diindikasikan dengan tingkat ketebalan lapisan olah tanah yang lebih dalam, kandungan bahan organik lebih tinggi, sebaran batuan di permukaan rendah (< 3%), tekstur tanah lempung liat berpasir. Kata Kunci: agroforestri, sifat fisik dan kimia tanah I. LATAR BELAKANG Pada umumnya lahan kering seperti di wilayah Nusa Tenggara Timur mempunyai daya dukung yang rendah. Hal ini disebabkan karena kondisi lingkungannya yang mempunyai beberapa hambatan untuk dapat mendukung produktivitas lahan seperti rendahnya curah hujan, lahan peka terhadap erosi, tingkat kesuburan rendah, sifat fisik tanahnya yang kurang baik, seperti struktur yang padat, lapisan tanah atas (top soil) dan lapisan bawah (sub soil) memiliki kelembaban yang rendah, sirkulasi udara terhambat serta kemampuan menyimpan air relatif rendah dengan kemampuan mencekam air yang tinggi. Kondisi daya dukung yang rendah ini cenderung terus meningkat sebagai akibat tingkat pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang belum memperhatikan kaidah konservasi tanah dan air dengan benar seperti praktek perladangan berpindah dengan sistem tebas bakar yang tidak terkontrol, peternakan lepas, dan penebangan liar yang dilakukan baik pada hutan primer, sekunder, dan tertier yang menyebabkan merosotnya daya dukung fisik, kimia tanah, dan biologi tanah. Sanchez (1993) menyatakan bahwa pemadatan tanah oleh injakan berat ternak dapat meningkatkan kerapatan lindak yang mengakibatkan turunnya pengudaraan, laju peresapan dan perkembangan akar. Penurunan kemantapan agregat tanah, kemampuan pengikatan air serta meningkatnya laju limpasan permukaan sampai pada terjadinya erosi merupakan efek buruk dari pemadatan tanah akibat injakan berat ternak. Oleh karena itu perbaikan daya dukung lahan yang terus terdegradasi ini menjadi sangat penting.

Page 242: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

213

Konsep penanggulangan degradasi lahan pada dasarnya diletakkan pada dua aras penalaran yaitu aras perencanaan dan aras operasional yang saling terkait. Pada aras perencanaan terdapat pendekatan seperti hutan kemasyarakatan, praktek agroforestri, pengembangan kegiatan konservasi tanah dan air dengan menerapkan teknik-teknik model tanam yang tepat,untuk kemudian diimplementasikan di lapangan. Praktek konservasi tanah dan air yang telah lama dipraktekkan adalah praktek agroforestri dengan memadukan antara tanaman kehutanan, pertanian, dan peternakan. Praktek ini secara teori memberikan dampak yang positif terhadap perbaikan kondisi lahan (biofisik) dan perbaikan terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. Namun dalam aras praktikal masih sedikit informasi yang diperoleh tentang keberhasilan praktek agroforestri terhadap perbaikan komponen lingkungan tersebut seperti perbaikan terhadap sifat fisik dan kimia tanah, produktivitas lahan dan produktivitas tanaman. Produktivitas tanaman menjadi masalah yang serius disebabkan musim kemarau yang panjang dan perubahan klimat yang sulit diprakirakan. Kondisi ini berpengaruh pada ketersediaan pangan bagi keluarga petani. Salah satu akar permasalahan rendahnya keberhasilan praktek agroforestri ini adalah pendekatan teknologi pengelolaan agroforestri yang ditawarkan kurang memperhatikan interaksi kondisi lingkungan setempat seperti komponen geofisik (karakteristik fisik dan kimia lahan, sistem hidrologi), keragaman vegetasi (pangan, perkebunan, kehutanan), kebutuhan masyarakat, dan kondisi sosial masyarakat (Soetedjo, 2002). Oleh karena itu pengembangan model agroforestri tradisionil dengan menginteraksikan antara tanaman kehutanan dengan pengaturan model tanaman pangan dan pakan ternak yang sesuai dengan kondisi lingkungan setempat serta pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat nampaknya akan memberikan perbaikan yang nyata. Usaha ini hendaknya melibatkan partisipasi masyarakat secara aktif sejak perencanaan sampai pada proses monitoring dan evaluasi kegiatan.

Page 243: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

214

II. DEGRADASI LAHAN DI WILAYAH NUSA TENGGARA TIMUR

Sejumlah studi menunjukkan bahwa luas lahan kritis di NTT adalah sekitar 1.313.897 ha, yang terdapat di dalam kawasan hutan sebesar 297.322 ha dan di luar kawasan hutan sebesar 1.016.575 ha. Besarnya luas lahan kritis ini menyebabkan menurunnya daya dukung lingkungan untuk memenuhi kebutuhan harkat dan martabat manusia secara berkelanjutan terutama yang berhubungan dengan kebutuhan air dan pangan keluarga. Oleh karena itu upaya perbaikan daya dukung lingkungan khususnya lahan harus dilakukan sehingga daya dukungnya sebagai penyedia unsur hara dan air dapat diperbaiki dan ketahanan pangan keluarga dapat dilakukan secara berkelanjutan (Pratiwi, 2006; Soetedjo, 2001; Soetedjo dkk,2006). Hasil studi terhadap penanganan degradasi lahan atau perbaikan lahan kritis yang terjadi di lingkungan semiringkai (wilayah kepulauan dengan musim kering 8-9 bulan) di beberapa daerah di propinsi Nusa Tenggara Timur menunjukkan bahwa kecenderungan lahan yang terperbaiki lebih kecil dibandingkan kecepatan degradasi lahan yang terjadi setiap tahun. Konsep degradasi lahan yang menjadi bahan acuan analisa tersebut adalah menurunnya daya dukung lahan sesuai peruntukannya, misalnya penurunan daya dukung lahan yang digunakan untuk pertanian tanaman pangan akan berbeda dengan lahan yang diperuntukkan untuk daerah peternakan, daerah perkebunan, atau hutan dan peruntukan lainnya. Oleh karena itu salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui penurunan daya dukung lahan tersebut adalah menurunnya tingkat peruntukan lahan tersebut. Analisa Neraca Kualitas Lingkungan Hidup daerah propinsi Nusa Tenggara Timur (2005) menunjukkan bahwa rerata terjadi penurunan penggunaan lahan seperti pada Tabel 1.

Page 244: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

215

Tabel 1. Neraca Penggunaan Lahan dari Total Penutupan Lahan Penggunaan Lahan 1990-1999 2000-2005

Lahan pertanian 877.153 ha 822.795 ha Lahan irigasi 162.639 ha 174.834 ha Lahan tadah hujan 704.022 ha 702.020 ha Padang rumput 899.211 ha 817.519 ha Hutan dan tanaman berkayu 1.808.984 ha 1.808.984 ha Penggunaan lain 282.981 ha 348.838 ha Sumber: Bapedal Propinsi NTT (2005) Variabel lain yang dapat digunakan untuk melihat perubahan daya dukung lahan dan perubahan perbaikan yang dilakukan adalah berkurangnya keluasan lahan yang tererosi. BP DAS Benain-Noelmina (2005) melaporkan bahwa pada tahun 1999 keluasan lahan di NTT adalah 1.356 juta ha, dan pada tahun 2005 keluasan lahan kritis tersebut menjadi 4.427 juta ha. Pada tahun 2005 menunjukkan bahwa 68.48% dari luas total lahan hutan terdapat pada kondisi kritis dan sangat kritis (Tabel 2). Tabel 2. Kondisi Lahan Hutan yang Mengalami Degradasi pada Tahun

2005 Degradasi hutan Juta ha % Luas total Potensial kritis 0,282064 5.96 Agak kritis 1,184665 25,02 Kritis 2,255462 47,63 Sangat kritis 0,987127 20,85 Sumber: BP DAS (2005)

III. KONSERVASI TANAH DAN AIR DALAM PERBAIKAN LAHAN TERDEGRADASI

Degradasi lahan yang terjadi di Nusa Tenggara Timur sangat berkaitan erat antara kondisi lingkungan sosial ekonomi, sosial budaya dan kondisi geofisik setempat. Degradasi lahan akan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap lingkungan seperti: rusaknya/menurunnya daya dukung lahan (kemampuan menyediakan hara dan air), berubahnya tataguna lahan, hilangnya species flora dan fauna tertentu, menurunnya kegiatan flora dan fauna, menurunnya pendapatan petani. Akar permasalahan penyebab degradasi lahan di NTT umumnya adalah kebakaran, penebangan liar, perladangan, invasi gulma, tekanan iklim yang ekstrem, pertumbuhan penduduk dan perilaku

Page 245: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

216

masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam, dan peternakan lepas. Dari beberapa penyebab degradasi lahan tersebut terdapat tiga penyebab dominan/utama yaitu: pembakaran lahan, pembalakan hutan, dan penggembalaan ternak lepas. Usaha perbaikan daya dukung lahan yang telah terdegradasi dapat dilakukan dengan praktek konservasi tanah dan air yang sesuai dengan kondisi lingkungan setempat dengan semua komponen lingkungan terkait seperti komponen geofisik, biologi, sosial ekonomi, sosial budaya, dan kesehatan masyarakat. Konservasi tanah dan air merupakan dua tindakan pengawetan lahan yang saling berhubungan erat antara satu dengan lainnya. Konservasi tanah dan air dapat dilakukan dengan cara vegetatif, mekanik, dan biologi. Secara vegetatif dapat dilakukan misalnya melalui tindakan penutupan tanah secara organik maupun pengaturan model tanam yang dilakukan untuk meminimumkan daya rusak air hujan, aliran permukaan, dan meminimumkan tingginya temperatur tanah dan penguapan yang akan berpengaruh pada perubahan sifat fisik tanah (struktur, porositas, kerapatan isi tanah) dan perbaikan kimia tanah. Hal ini diharapkan akan membantu dalam memperbaiki pengawetan air dan ketersediaan unsur hara bagi tanaman. Studi yang dilakukan di Sumba Timur menunjukkan bahwa praktek konservasi tanah dan air dengan penanaman rumput tertentu mampu memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah pada daerah yang didominasi savana dengan sistem peternakan lepas. Lahan yang ditanami Brachiaria mutica memiliki rata-rata porositas total yang cukup baik dan sama dengan lahan yang ditanami jenis rumput Panicum maximum dan Mapu (Imperata cylindrica) Jenis rumput Kahirik (Andropogon pertusus Willd) mampu memperbaiki kerapatan isi tanah lebih baik dan sama dengan jenis rumput Euchlaena mexicana dan Panicum maximum. Brachiaria mutica mampu memperbaiki kerapatan isi tanah sama dengan jenis rumput Setaria spachelata dan Mapu (Tabel 3).

Page 246: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

217

Tabel 3. Pengaruh Jenis-Jenis Rumput Terhadap Porositas Total Tanah dan Kerapatan Isi

Jenis Rumput Rata-rata porositas tanah (%)

Rata-rata kerapatan isi (g/cm3)

Brachiaria mutica 46,28 ab 1,39 b Setaria spachelata 42,05 a 1,50 b Kahirik (Andropogon pertusus Willd)

52,43 b 1,23 a

Panicum maximum 47,56 ab 1,36 ab Euchlaena mexicana 48,20 b 1,34 ab Mapu (Imperata cylindrica) 46,66 ab 1,38 b BNT 5 % 5,57 0,14

Sumber: Soetedjo (2009) Perbaikan sifat fisik tersebut akan berpengaruh terhadap kemampuan tanah untuk mengikat air dan menyediakan air. Pada umumnya semua jenis rumput pakan tersebut mampu memperbaiki beberapa komponen kimia tanah antara lain kandungan P, K, C-organik dan KTK tanah. Jenis rumput Brachiaria mutica, Setaria spachelata, Panicum maximum dan Euchlaena mexicana mampu memperbaiki kondisi kimia lahan lebih baik dibandingkan jenis rumput lokal Kahirik dan Mapu. Kemampuan jenis-jenis rumput tersebut dalam memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah dapat diinteraksikan dengan tanaman pangan dan pohon dalam model tanam agroforestri. Agroforestri secara tradisional banyak dipraktekkan oleh petani wilayah Nusa Tenggara Timur. Praktek agroforestri pada dasarnya merupakan praktek konservasi tanah dan air yang dilaksanakan untuk memperbaiki daya dukung lahan dan memperbaiki pendapatan keluarga petani. Sistem agroforestri pada dasarnya merupakan strategi pemanfaatan lahan yang mengkombinasikan produksi pertanian dalam arti luas dan kehutanan dalam sebuah pengelolaan bersama. Pada daerah dimana terdapat populasi yang tinggi serta tanah yang tersedia semakin berkurang, maka agroforestri menawarkan kesempatan untuk melestarikan produksi pada berbagai keadaan. Namun dalam aras praktikal keberhasilan praktek agroforestri masih rendah. Hal ini terutama disebabkan pemilihan kombinasi tanaman dan pemilihan model tanam yang kurang sesuai dengan kondisi lingkungan setempat, dan kebutuhan masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan pangan

Page 247: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

218

keluarga. Oleh karena itu pemilihan kombinasi tanaman yang tepat dengan model yang sesuai dengan kondisi lahan (fisik, kimia, biologi) merupakan praktek konservasi tanah dan air yang diharapkan mampu memperbaiki daya dukung lahan dan kebutuhan pangan keluarga.

IV. PENGEMBANGAN AGROFORESTRI LOKAL SECARA PARTISIPATIF DALAM USAHA KONSERVASI TANAH DAN AIR

Agroforestri yang terbentuk secara alamiah di kawasan hutan umumnya banyak ditemui di Indonesia namun di Nusa Tenggara Timur (NTT) agak terbatas. Agroforestri yang dibentuk karena campur tangan manusia sudah jelas sangat banyak contohnya. Ada yang sengaja dirancang untuk mencapai tujuan yang diinginkan namun ada pula yang sekedar dikembangkan secara tidak sengaja untuk uji coba atau karena memang dibatasi oleh luasan lahan, jenis tanaman yang tersedia atau karena program bantuan pemerintah, swasta dan LSM. Agroforestri tradisional yang berkembang di NTT merupakan suatu sistem penggunaan lahan yang cukup unik, yang mengkombinasikan beberapa macam pohon baik dengan atau tanpa tanaman semusim ataupun ternak, pada lahan yang sama untuk mendapatkan berbagai keuntungan. Pada sistem pertanian tunggal baik tanaman semusim maupun tanaman tahunan, bila ditanam terlalu dekat akan menurunkan produksi per unit area. Hal ini disebabkan oleh adanya kompetisi akan cahaya, air dan hara. Oleh karena itu dalam praktek agroforestri hendaknya pengaturan pola tanam tanaman pangan yang ditanam diantara tegakan tanaman kehutanan dan perkebunan harus dilakukan dengan tepat sesuai dengan karakteristik fisik dan kimia lahan. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya persaingan yang besar dalam menggunakan faktor tumbuh seperti unsur hara, air, CO2, dan sinar matahari dalam proses fisiologis tanaman. Namun dalam prakteknya pengaturan pola dan model tanam sering tidak dilakukan dengan tepat. Petani lebih banyak meningkatkan populasi tanaman pangan dengan jarak tanam tak beraturan dengan tujuan mendapatkan hasil sebanyak banyaknya dengan

Page 248: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

219

tidak memperhatikan daya dukung lahan. Hal ini berakibat terus menurunnya produktifitas lahan dan tanaman, sehingga berdampak meningkatnya degradasi lahan. Mengacu pada hal tersebut perbaikan praktek agroforestri lokal harus dilakukan dengan memperhatikan pemilihan jenis tanaman yang dikombinasikan, pemilihan model dan pola tanam yang tepat sesuai dengan kondisi geofisik, sosial ekonomi, dan sosial budaya. Keterlibatan masyarakat lokal secara aktif merupakan salah satu kunci keberhasilan. Hasil penelitian praktek agroforestri lokal di desa Bijaepunu Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dengan kombinasi tanaman kehutanan (gmelina) sebagai tanaman jalur, tanaman pakan (king grass) sebagai tanaman penguat teras, kemiri, mahoni, dan jati sebagai tanaman pinggir dan tanaman pangan (jagung dan kacang tanah) yang ditanam dengan model tanam berbeda (barisan dan campuran) menunjukkan bahwa kerapatan isi tanah meningkat setelah dilakukan penanaman dengan model tanam teratur (Tabel 4).

Tabel 4. Rata-rata perubahan Kerapatan Isi Tanah pada berbagai Lahan

dengan berbagai Pola Tanam antara sebelum dan sesudah penelitian.

Pola Tanam Perubahan kerapatan isi tanah

di lahan petani (%) A ∆ B ∆ C ∆

Tunggal jagung 1,25 +0,13 1,11 +0,03 0,92 -0,03 Tunggal kacang tanah 1,16 +0,04 1,06 - 0,03 0,94 -0,01 Tumpangsari jagung + kacang tanah

1,16 +0,04 1,10 +0,01 0,95 0,00

Baris jagung + kacang tanah

1,15 +0,03 1,04 -0,05 1,01 +0,06

Model campuran petani 1,20 +0,08 1,14 +0,05 1,16 +0,21 Keterangan: + berarti terjadi peningkatan; - berarti terjadi penurunan; ∆ berarti nilai perubahan kerapatan isi dibandingkan kondisi awal Sumber : Rachmawati (2009)

Peningkatan kerapatan isi tanah ini menguntungkan dalam hubungannya dengan kemampuan tanah untuk menahan dan mencekam air sehingga unsur harapun menjadi lebih tersedia bagi

Page 249: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

220

tanaman. Hal ini diduga sistem perakaran jagung dan kacang tanah serta pembentukan polong kacang tanah mengakibatkan perubahan struktur tanah dari prisma kasar cenderung berubah menjadi granular. Kondisi ini akan memberikan nilai positif bagi perbaikan sifat fisik tanah bila dilakukan secara beraturan dan berkelanjutan. Hasil analisa tersebut juga menunjukkan bahwa pada pola tanaman tumpangsari dan baris rata-rata mempunyai nilai kerapatan isi lebih rendah dibandingkan pola yang lain. Hal ini diduga sistem perakaran dan pembentukan polong kacang tanah mengakibatkan perubahan struktur tanah dari prisma halus menjadi prisma kasar bahkan cenderung berubah menjadi granular. Kondisi ini akan memberikan nilai posisif bagi perbaikan sifat fisik tanah bila dilakukan secara beraturan dan berkelanjutan. Hasil analisa kimia tanah menunjukkan bahwa pengaturan pola tanam dalam praktek agroforestri lokal mampu memperbaiki kandungan N, P, K, dan penurunan kandungan C dalam tanah (Tabel 5). Tabel 5. Rata-rata Perubahan Kandungan N, P, dan K di Lahan Petani dengan Pola Agroforestri dengan Pola Tanaman Pangan Berbeda yang Perbedaannya Dibandingkan Kondisi Awal Penelitian

Pola tanam %N ∆ P2O5

ppm ∆ K2O ppm ∆ % C

organik ∆

Tunggal jagung 0,11 0,01 6,26 -0,32

0,28 0,03 0,58 -0,14

Tunggal kacang tanah

0,14 0,04 6,96 0,38 0,30 0,05 0,67 -0,05

Tumpangsari jagung + kacang tanah

0,12 0,03 6,38 -0,20

0,27 0,02 0,59 -0,13

Baris jagung + kacang tanah

0,13 0,03 6,84 0,26 0,29 0,04 0,60 -0,13

Model campuran petani

0,13 0,03 6,78 0,20 0,28 0,03 0,60 -0,12

Keterangan: + berarti terjadi peningkatan; - berarti terjadi penurunan; ∆ berarti nilai perubahan kerapatan isi dibandingkan kondisi awal Sumber : Rachmawati (2009)

Page 250: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

221

Hasil analisa ini menunjukkan bahwa kacang tanah mempunyai peranan besar dalam memberikan sumbangan nitrogen pada tanah di wilayah penelitian yang kahat akan unsur nitrogen. Hasil ini menunjukkan pula bahwa tanaman legum akan mampu memberikan sumbangan nitrogen lebih baik bila ditanam dalam pola campuran. Kemampuan sumbangan nitrogen ini menjadi lebih meningkat sejalan dengan meningkatnya kemampuan kacang tanah dan kacang kacangan lain dalam memperbaiki sifat kerapatan isi tanah.

Hasil tanaman kacang tanah dan jagung yang ditanam dalam model tumpangsari dan baris dibawah tegakan gmelina ternyata lebih baik dibandingkan hasil jagung dan kacang tanah model campuran diluar tegakan gmelina (Tabel 6). Tabel 6. Rerata Hasil Biji Kacang tanah dan Jagung dengan Pola Berbeda

di bawah Tegakan Gmelina

Pola tanam Hasil Kacang Tanah (kg/ha)

Hasil Jagung (Kg/ha)

Tunggal kacang tanah 552 Tunggal jagung 1100 Tumpangsari jagung + kacang tanah

555 1115

Baris jagung + kacang tanah 567 1137

Model campuran petani 519 1019 Sumber : Rachmawati (2009)

Kanopi tegakan gmelina yang menaungi lahan di bawahnya ternyata tidak berpengaruh terhadap hasil kacang tanah dan jagung. Bahkan nampak bahwa hasil kacang tanah dan jagung di lahan petani dengan pola campuran memberikan hasil yang lebih rendah. Nampaknya peranan kacang tanah dalam menyumbangkan nitrogen dalam tanah dapat memberikan daya dukung pertumbuhan dan hasil yang nyata bila ditanam secara teratur.

Praktek agroforestri di desa Ajaobaki kabupaten TTS yang diatur dengan model penanaman berbaris dalam teras (kaliandra, dan turi) serta penanaman batas kebun (mahoni, kemiri, casuarina) merupakan tehnologi penunjang dari tanaman jeruk keprok SoE

Page 251: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

222

sebagai tanaman utama yang berorientasi intermedier-komersil. Tanaman penunjang utama lainnya adalah tanaman pangan, perkebunan, dan tanaman sayuran.

Hasil analisa langsung di lapang terhadap kondisi lahan menunjukkan bahwa lahan penanaman jeruk dengan pola terasering tanaman kaliandra, turi, dan nanas sebagai tanaman penguat teras, dan penggunaan tanaman semak putri malu dan tanaman kacang-kacangan sebagai tanaman penutup tanah mempunyai produktivitas lebih baik dibandingkan lahan penanaman jeruk dengan jenis tanaman teras yang lain seperti rumput raja. Hal ini diindikasikan dengan tingkat ketebalan lapisan olah tanah yang lebih dalam, kandungan bahan organik lebih tinggi, sebaran batuan di permukaan rendah (< 3%), tekstur tanah lempung liat berpasir, dan produksi tanaman jeruk yang lebih baik (Rachmawati, 2004).

Praktek agroforestri tersebut diatas mempunyai daya dukung yang nyata lebih baik dibandingkan penanaman jeruk pada lahan bera tanpa terasering, atau terasering dengan menggunakan batuan sebagai penguat teras tanpa tanaman sumber bahan organik. Penanaman dengan pola agroforestri tersebut nyata lebih baik dibandingkan penanaman jeruk di pekarangan yang cenderung daya dukungnya terus menurun. Penurunan daya dukung lahan ini diindikasikan dengan semakin tipisnya lapisan olah lahan, pemadatan tanah yang cenderung meningkat, sebaran batuan dipermukaan lahan > 10 %, tekstur tanah liat berlempung, dan produktivitas jeruk yang cenderung menurun dari potensinya.

V. USAHA PENGEMBANGAN AGROFORESTRI LOKAL SECARA PARTISIPATIF

Masyarakat di sekitar wilayah studi (Hambala di kabupaten Sumba Timur; Bijaepunu, dan Ajaobaki di kabupaten Timor Tengah Selatan) umumnya telah mempraktekkan pola agroforestri secara tradisional dengan menggunakan jarak tanam yang tidak beraturan dan menggunakan beberapa jenis tanaman yang ditanam dalam satu hamparan lahan dengan harapan dapat memperoleh penghasilan yang lebih tinggi. Masyarakat umumnya belum

Page 252: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

223

memahami kalau praktek pengelolaan lahan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari sebenarnya adalah sebuah teknologi agroforestri. Jenis tanaman yang diusahakan antara lain johar, mahoni,kemiri yang ditanam sebagai batas kebun dan jenis kedondong hutan sebagai pagar hidup keliling kebun. Di dalam kebun ditanami jenis tanaman pangan seperti jagung, kacang-kacangan, dan lombok untuk kebutuhan sehari-hari. Namun hasil pengamatan di lapangan menunjukkan pola penanaman campuran yang ada rata-rata belum menggunakan konsep konservasi tanah. Kaidah konservasi tanah dan air dapat tercapai bila penanaman diatur dengan model tanam dan jarak tanam yang teratur dengan kombinasi tanaman yang tepat (tanaman kehutanan sebagai tanaman jalur dan pagar, tanaman pangan sebagai tanaman dalam jalur, tanaman pakan sebagai penguat teras). Kombinasi tanaman tersebut harus mampu menunjang daya dukung lahan dan tanaman secara berkelanjutan yaitu: a) Mampu meminimumkan erosi, memulihkan kesuburan tanah

dan mencegah penguapan yang berlebihan (tanaman serbaguna, rumput pakan, tanaman penambat nitrogen)

b) Mampu berfungsi sebagai tanaman pagar hidup, sumber kayu, dan bahan bakar keluarga

c) Mampu sebagai pengendali gulma dan penunjang kebutuhan pangan keluarga secara berkelanjutan

Hal yang harus diketahui pula dalam pengembangan sistem agroforestri adalah kemampuan petani dalam memahami lingkungan biofisik dan budaya setempat untuk menjelaskan hasil-hasil dari suatu percobaan. Untuk itu maka diperlukan sekolah lapangan bagi masyarakat petani tentang sistem bertani yang benar dan berwawasan lingkungan agar masyarakat memahami betul kondisi yang ada di sekitarnya. Bentuk kegiatan sekolah lapangan adalah dengan cara mengajak masyarakat petani dalam hal belajar bersama secara luas untuk mengenal, mengidentifikasi, menentukan, mengetahui agroekosistem di lingkungannya, merencanakan, memonitoring, dan mengevaluasi kegiatan yang dilaksanakan bersama dalam pengelolaan lahan yang benar dan belajar memahami arti pentingnya aspek konservasi tanah dan air. Diharapkan dengan mengetahui proses tersebut perbaikan lingkungan dapat dilakukan secara berkelanjutan. Bila aplikasi

Page 253: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

224

model dilaksanakan tidak sesuai dengan pengetahuan, dan keterampilan masyarakat petani setempat, maka usaha perbaikan daya dukung lingkungan yang terdegradasi dan berkelanjutan tidak akan terjadi secara berkelanjutan.

VI. KESIMPULAN

1. Rumput pakan ternak seperti Brachiaria mutica, Setaria spachelata, Panicum maximum, Euchlaena mexicana, mapu (Imperata cylindrica) dan kahirik (Andropogon pertusus Willd) dapat dikembangkan sebagai sumber pakan untuk memperbaiki daya dukung lahan yang dapat dikombinasikan dengan tanaman kehutanan dan pangan dalam pola agroforestri.

2. Praktek agroforestri lokal akan mampu berfungsi sebagai model konservasi tanah dan air bila diatur dengan pemilihan kombinasi tanaman yang tepat dan pengaturan pola dan model yang tepat antara tanaman kehutanan (sumber kayu, bahan bakar, ekonomi, pagar hidup, pencegah erosi, sumber bahan organik, dan mampu memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah), pakan (sumber pakan ternak, mampu memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah), tanaman pangan (sumber pangan keluarga, sumber bahan organik, dan mampu memperbaiki fisik dan kimia tanah).

3. Pengembangan agroforestri sebagai salah satu model konservasi tanah dan air harus memperhatikan kondisi lingkungan setempat (geofisik, biologi, sosial ekonomi, dan sosial budaya) dan kemampuan serta ketrampilan petani dalam memahami kondisi lingkungan setempat.

4. Pengembangan agroforestri secara partisipatif dalam bentuk sekolah lapangan adalah salah satu model praktek konservasi tanah dan air yang dapat diharapkan memberikan pengaruh secara berkelanjutan dalam mendukung perbaikan daya dukung lahan (tanah dan air), tanaman, ekonomi dan pangan keluarga.

Page 254: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

225

DAFTAR PUSTAKA Bapedal Propinsi NTT. 2005. Neraca Kualitas Lingkungan Hidup

daerah NTT BPDAS.2005. Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis Wilayah

BPDAS Benain Noelmina Propinsi Nusa Tenggara Timur. Pratiwi. 2006. Rehabilitasi Lahan kritis Di Wilayah Nusa Tenggara

Timur. Prosiding Sosialisasi Hasil Litbang Kepada Pengguna. “Melalui Riset dan Iptek, Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera”. Departemen Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam.

Rachmawati, I dan K Rahman. 2004. Penanaman Jeruk Keprok

dalam Pola Agroforestri di Ajaobaki, Kecamatan Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengembangan Jeruk Keprok SoE, Kupang, NTT.

Rachmawati, I. 2009. The Effect Of Improvement Traditional

Agroforestry System On Crop Yield, Land Equivalent Ratio, And Soil Fertility (Case Study At Bijaepunu Village, Sub-District Of Mollo Utara, District Of Timor Tengah Selatan). Tesis Universitas Gadjah Mada.

Sanchez, P.A. 1993. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. ITB

Bandung. Soetedjo, I.N. P. 2001. Proses Degradasi Lingkungan. Materi

disampaikan pada Kursus Dasar Amdal Type A, Pusat Penelitian Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Alam, Undana.

Soetedjo I.N. P. 2002. Degradasi dan Konservasi Lahan di

Kawasan Nusa Tenggara Timur. Makalah Workshop Evaluasi dengan Peningkatan Keberhasilan Penanganan Degradasi Lahan di Daerah Kering. Mataram.

Page 255: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

226

Soetedjo, I.N. P, Laiskodat, H.S, Gaol, M. L. 2006. Study of Dry Land Farming System Model to Improve Geophysical Components. Post Graduate Journal University of Nusa Cendana, 1. 35-38.

Soetedjo, I.N. P. 2009.Kemampuan Konservasi Lahan beberapa

Jenis Rumput Pakan Pada Lahan Kering Di Sumba Timur, Jurnal Lahan Kering, Universitas Nusa Cendana.

Page 256: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

227

KAJIAN KETERSEDIAAN AIR PERMUKAAN PADA TANAMAN KAYUPUTIH1

Oleh : Ugro Hari Murtiono2 dan Rahardyan NA3

Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Jl. A. Yani PO Box 295 Pabelan. Telepon/Fax.: (+62 271) 716709/716959

Email: [email protected] Email: 2 [email protected] ; 3 [email protected]

ABSTRAK

Prioritas utama dalam kegiatan konservasi tanah dan air suatu kawasan adalah penggunaan metode vegetatif, disamping metode mekanis untuk kebutuhan yang sangat mendesak. Dalam penerapan metode vegetatif tersebut ditemui kendala yaitu keluhan masyarakat yang menyatakan bahwa telah terjadi penurunan sumber-sumber air di suatu kawasan yang direboisasi dengan jenis tegakan hutan tanaman tertentu. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (B2PBPTH) Yogyakarta pada saat ini sedang mengembangkan jenis-jenis prioritas yang menjadi jenis unggulan yaitu tanaman kayuputih di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tujuan pengembangan jenis kayuputih ini untuk mendukung pelaksanaan pembangunan tanaman hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), namun kegiatan yang dilakukan masih terbatas pada aspek perbaikan kualitas benih/ bibit melalui bioteknologi, spesies trial dan provenance trial. Untuk melengkapi kegiatan tersebut perlu kajian tentang aspek ekologisnya. Penelitian ini dilakukan pada Mikro DAS Sub DAS Gubah di Desa Katongan, Kec.Nglipar, Kab.Gunung Kidul. Tujuan kajian adalah mendapatkan informasi karakteristik hidrologis dari tanaman kayuputih. Hasil yang diperoleh : (1). Hasil pengamatan iklim mikro stasiun klimatologi Nglipar adalah sebagai berikut : (a). Pada bulan Januari - Maret : suhu udara rata-rata adalah 24-38 0 C dengan kelembaban udara 58-82 %; (b). Pada bulan April - September : suhu udara rata-rata adalah 24-39 0C dengan kelembaban udara 60-82 %; (2) Penutupan lahan pada lokasi mikro DAS tanaman kayuputih didominasi terubusan baru sehingga rerata diameter batangnya relatif kecil. Dari rerata tinggi pohonnya berkisar antara 142 - 225 cm, hal ini dikarenakan belum dilakukan pemanenan daun. Setelah penanenan daun maka tonggak yang tersisa ketinggiannya hanya berkisar 150 cm saja. Penutupan lahan mikro DAS berkisar antara 30 - 80 % (sedang), sehingga masih terdapat resiko terjadinya erosi tanah yang disebabkan karena pukulan air hujan:(3) Kondisi tanah menunjukkan bahwa rerata pH

1 Makalah ini disampaikan pada Semiloka “Riset Pengelolaan DAS Menuju Kebutuhan Terkini”

Surakarta, 27-28 Juni 2011. Kerjasama Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi dengan Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

Page 257: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

228

tanah adalah agak basa, rerata kandungan C organik termasuk kategori tinggi, rerata kandungan bahan organik tanah termasuk kategori tinggi, tekstur tanah adalah lempung berat kecuali pada titik pengambilan sampel tanah kedua pada kedalaman > 40 cm; (4)Kuaitas air yang dinilai dari pH menunjukkan dalam kondisi netral dengan kisaran 7,5 sampai dengan 7,7. Beberapa parameter tertentu (K, NO3, Cl, Na, dan SO4), hasil uji menunjukkan bahwa sampel air dari mikro DAS lebih kecil dari pada di sub DAS Oyo, sedangkan untuk parameter yang lain (kalsium, phospat, dan magnesium) lebih besar dari pada sampel air dari sub DAS Oyo. (5). Hasil pengamatan debit aliran menunjukkan bahwa dari curah hujan rerata tahunan sebesar 1330 mm, menghasilkan debit aliran reratasebesar 0,383 m3/dt atau 635,25 mm (47,70 %), sedangkan sisanya sebesar 694,75 mm (52,30 %) meresap kedalam tanah sebagai cadangan air tanah, koefisien aliran sebesar 0,47, dikategorikan dalam kondisi baik. Kata kunci : Tanaman kayuputih, karakteristik hidrologi, iklimmikro,

evapotranspirasi dan hasil air dari tanaman kayuputih

I. PENDAHULUAN Air merupakan sumberdaya alam yang mempunyai peranan sangat penting dalam kehidupan manusia. Ketersediaan air sering digunakan sebagai pertimbangan pokok dalam penetapan lokasi pemukiman, lahan pertanian atau bahkan dalam perencanaan pengembangan wilayah. Keberadaan air secara alami terbentuk melalui sirkulasi yang dikenal dengan daur hidrologi, yaitu merupakan aspek penting dalam menunjang kehidupan manusia. Dalam kaitannya dengan sumberdaya air permukaan pada saat sekarang banyak dikembangkan rencana-rencana untuk memanfaatkan, mengendalikan dan melestarikan sumberdaya air permukaan. Ketersediaan air yang terjadi pada suatu kawasan dapat ditelaah dengan model Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai satu kesatuan Daerah Aliran sungai (Asdak, C. 1995) Selama ini tanaman diyakini sangat berperan positif terhadap kelestarian sumber daya air kawasan. Setelah hutan dieksploitasi secara besar-besaran maka hasil air meningkat karena

Page 258: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

229

berkurangnya evapotranspirasi. Namun secara perlahan hasil air tersebut akan berkurang karena jumlah air yang tersimpan di dalam tanah juga berkurang. Hal ini disebabkan karena air hujan yang jatuh pada areal hutan yang telah terbuka, sebagian besar langsung menjadi aliran permukaan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka prioritas utama dalam kegiatan konservasi tanah dan air suatu kawasan adalah penggunaan metode vegetatif, disamping metode mekanis untuk kebutuhan yang sangat mendesak jika diperlukan. Metode tersebut menghadapi kendala yaitu adanya keluhan masyarakat yang menyatakan bahwa telah terjadi penurunan sumber-sumber air di suatu kawasan yang direboisasi dengan jenis tegakan hutan tanaman tertentu. Beberapa kasus yang mencerminkan hal itu salah satunya adalah tanaman kayu putih yang berada di areal kebun benih dan kebun percobaan Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (B2PBPTH) Yogyakarta pada Mikro DAS Gubah yang secara administrasi terletak di Desa Katongan, Kecamatan Nglipar, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi DIY, dan merupakan Kebun Pangkas Dinas Kehutanan Propinsi DIY di Petak 38. Dari adanya keluhan masyarakat yang menyatakan bahwa telah terjadi penurunan sumber-sumber air di suatu kawasan tersebut perlu dikaji lebih lanjut mengenai ketersediaan air permukaan pada tanaman kayu putih. Hasil dari kajian ini diharapkan akan menjadi informasi penting bagi penentu kebijakan, khususnya di bidang kehutanan, yaitu dalam rangka menunjang program pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan (sustainable forest management) serta penyediaan kebutuhan air bagi masyarakat sekitar lokasi/ kawasan pengembangan jenis kayuputih ini. Tujuan kajian adalah mendapatkan informasi mengenai ketersediaan air permukaan pada tanaman kayuputih.

II. METODOLOGI 1. Lokasi Lokasi kegiatan dilaksanakan pada Mikro DAS Gubah secara administrasi terletak di Desa Katongan, Kecamatan Nglipar, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi DIY, dan merupakan Kebun Pangkas Dinas Kehutanan Provinsi DIY di Petak 38.

Page 259: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

230

2. Bahan dan Peralatan

a. Bahan Bahan yang digunakan dalam kajian ini meliputi : Peta topografi, peta tanah, peta penggunaan lahan/forest cover), blanko-blanko pengamatan, dan alat tulis kantor.

b. Peralatan Peralatan yang digunakan dalam kajian, yaitu : peralatan untuk monitoring hujan, peralatan untuk monitoring air limpasan Stasiun Pengamatan Arus Sungai (SPAS); peralatan untuk monitoring iklim mikro (stasiun klimatologi); meteran, ringfender, hagameter, abneylevel, kompas, altimeter, GPS (Global Positioning System), evaporimeter, ring infiltrometer, peralatan survei tanah dan penutupan vegetasi/tegakan hutan, dan komputer

3. Pengolahan dan Analisia Data

a. Pengamatan Kondisi Iklim Mikro Pengamatan kondisi iklim mikro dengan menggunakan stasiun klimatologi sederhana, meliputi pengamatan curah hujan, temperatur udara, kelembaban udara, dan evaporasi. Pengamatan curah hujan dilakukan setiap hari pada jam 07.00 WIB untuk mengetahui besarnya curah hujan pada hari sebelumnya, pengamatan temperatur dan kelembaban udara secara harian sepanjang tahun dengan waktu pengamatannya sebanyak 3 kali yaitu jam 07.00 WIB12.00 WIB dan 17.00 WIB dan pengamatan evaporasi diamati 2 kali sehari yaitu jam 07.00 WIB dan jam 17.00 WIB. b. Penutupan Lahan Survei penutupan lahan dilakukan dengan menggunakan plot contoh berukuran 5 x 5 meter. Titik plot contoh yang diambil untuk mewakili lereng atas (>45 %), tengah (25%) dan bawah(15%) masing-masing untuk sebelah kiri sungai dan kanan sungai.

Page 260: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

231

c. Kondisi Tanah Untuk mengetahui kondisi tanah pada mikro DAS dengan cara mengambil contoh tanahnya d. Air Tersedia dalam tanah Jumlah air tersedia di dalam tanah di petak areal Mikro DAS. Kondisi air tersedia tersebut adalah merupakan kondisi air tersedia sesaat karena contoh tanah diambil hanya satu kali yaitu pada saat sebelum masuk musim penghujan sehingga belum bisa mencerminkan kondisi air tersedia selama rentang waktu tertentu (1 tahun) di areal Mikro DAS.

e. Kualitas Air Untuk mengetahui kondisi kualitas air, dengan mengambil contoh air pada areal mikro DAS.Contoh air diambil pada saat musim penghujan dan lokasi pengambilan berada pada outlet Mikro DAS serta sebagai perbandingan diambil pula sampel air yang berasal dari Sungai Oyo yang merupakan muara dari alur sungai yang mengalir dalam Mikro DAS areal tanaman kayuputih. f. Pengamatan Ketersediaan Air Permukaaan Pengamatan ketersediaan air permukaan dengan menggunakan pengamatan arus sungai (SPAS) dengan tipe Cipolity dan V-notch Wier dari suatu mikro DAS dengan luasan ± 5 ha yang diatasnya ditanami dengan tanaman kayuputih dengan umur yang seragam. Dalam hal ini pengamatannya meliputi pengamatan curah hujan, tinggi muka air dan debit aliran. III. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kondisi Iklim Mikro Areal Hutan Tanaman Kayuputih Iklim merupakan gabungan berbagai kondisi cuaca sehari-hari (Wisnubroto, 1983). Unsur-unsur penyusun iklim antara lain adalah curah hujan, temperatur dan kelembaban udara. Pengamatan iklim

Page 261: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

232

mikro di lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan stasiun klimatologi sederhana. Unsur-unsur iklim yang diamati meliputi curah hujan, temperatur, evaporasi dan kelembaban udara. Iklim mikro dipisahkan menjadi 3 (tiga) periode musim yaitu : (1). Musim hujan I (bulan Januari – Maret); (2). Musim kemarau (bulan April-September); dan (3). Musim hujan II (bulan Oktober- Desember). Hasil pengamatan adalah sebagai berikut : (a). Musim hujan I (bulan Januari – Maret) : suhu udara harian pagi hari (jam 07.00 WIB) berkisar 24-270 C dengan kelembaban udara berkisar 70-78%, suhu udara siang hari (jam 12.00 WIB) berkisar 30-380 C dengan kelembaban udara berkisar 59- 82%, suhu udara sore hari harian (jam 17.00 WIB). berkisar 33 - 360C dengan kelembaban udara berkisar 58-70%; (b). Musim Kemarau (bulan April - September) : suhu udara harian pagi hari (jam 07.00 WIB) berkisar 25-260 C dengan kelembaban udara berkisar 81-85%, suhu udara siang hari (jam 12.00 WIB) berkisar 33- 37 0 C dengan kelembaban udara berkisar 51-60%, suhu udara sore hari (jam 17.00 WIB) berkisar 30 - 34 0 C dengan kelembaban udara berkisar 58-72 % dan (c). Musim hujan II (bulan Oktober-Desember) suhu udara harian pagi hari (jam 07.00 WIB) berkisar 24-280 C dengan kelembaban udara berkisar 72-80%, suhu udara siang hari (jam 12.00 WIB) berkisar 31-390C dengan kelembaban udara berkisar 60 - 82%, suhu udara sore hari (jam 17.00 WIB) berkisar 31 – 37 0C dengan kelembaban udara berkisar 60-72%.

2. Penutupan Lahan Survei penutupan lahan dilakukan dengan menggunakan contoh plot berukuran 5 x 5 meter. Titik contoh plot yang diambil untuk mewakili (lereng atas, tengah dan bawah) masing-masing untuk sebelah kiri sungai dan kanan sungai. Obyek yang diamati meliputi tanaman kayuputih dan tanaman bawahnya. Hasil survei tanaman kayuputih dalam contoh plot disajikan pada Tabel 1. berikut :

Page 262: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

233

Tabel 1. Penutupan DAS oleh Tanaman Kayuputih Areal Mikro DAS di Kecamatan Nglipar Kabupaten Gunung Kidul.

Rerata

Kiri Sungai Kanan Sungai Lereng

Atas Lereng Tengah

Lereng Bawah

Lereng Atas

Lereng Tengah

Lereng Bawah

Kepadatan Tanaman (n/ha) Diameter Batang (cm) Tinggi Pohon (cm) Penutupan ( % )

13

8,3 189 60

11

11,65 180 30

26

9,2 142 40

19

9,35 225 80

24

8,75 198 30

17

1,55 215 40

Berdasarkan data pada Tabel 1 tersebut terlihat bahwa jumlah tanaman kayuputih berkisar antara 11 - 26 pohon dengan diameter batang berkisar antara 1,55 - 11,65 cm. Pada lokasi mikro DAS tanaman kayuputih didominasi terubusan baru sehingga rata-rata diameter batangnya relatif kecil. Dari rerata tinggi pohonnya berkisar antara 142 - 225 cm, hal ini dikarenakan bekum dilakukan pemanenan daun. Setelah penanenan daun maka tonggak yang tersisa ketinggiannya hanya berkisar 150 cm saja. Penutupan lahan mikro DAS berkisar antara 30 - 80 % (sedang), sehingga masih terdapat resiko terjadinya erosi tanah yang disebabkan karena pukulan air hujan.

3. Kondisi Tanah Untuk mengetahui kondisi tanah pada mikro DAS dengan cara mengambil contoh tanahnya. Hasil analisis contoh tanah di lahan mikro DAS disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Kondisi Tanah Pada Areal Mikro DAS di Kecamatan Nglipar

Kabupaten Gunung Kidul

Lokasi Kedalaman ( cm )

Kadar lengas pH C (%)

BO (%) Tekstur

(0,5 mm) (2 mm) H2O

I 0 – 20 17.34 17.74 8.00 4.03 6.94 Lempung berat

20 – 40 17.90 18.33 7.70 3.68 6.34 Lempung berat

> 40 8.98 12.47 8.00 0.42 0.73 Geluh lempung

II 0 – 20 15.33 15.73 7.70 3.24 5.58 Lempung berat

20 – 40 16.70 17.10 7.20 3.64 6.28 Lempung berat

> 40 8.30 7.47 7.90 0.93 1.60 Geluh pasir

III 0 – 20 16.47 16.72 6.50 3.81 6.58 Lempung berat

20 - 40 18.11 19.03 7.30 3.50 6.03 Lempung berat

Page 263: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

234

Berdasarkan Tabel 2, pH tanah di areal mikro DAS adalah agak basa. Rata-rata kandungan C organik termasuk kategori tinggi (Kategori tanah menurut Dephutbun, 1999). Sementara rata-rata kandungan bahan organik tanah di areal mikro DAS masuk kategori tinggi. Tekstur tanah adalah lempung berat kecuali pada titik pengambilancontoh tanah kedua pada kedalaman > 40 cm.

4. Kualitas Air Pengambilan contoh air pada areal mikro DAS dilakukan untuk mengetahui kondisi kualitas air. Contoh air diambil pada saat musim penghujan dan lokasi pengambilan pada outlet mikro DAS serta sebagai perbandingan telah diambil pula contoh air yang berasal dari Sungai Oyo yang merupakan muara dari alur sungai yang mengalir dalam mikro DAS areal tanaman kayuputih. Perbandingan hasil analisis laboratorium antara alur sungai dalam mikro DAS dan Sungai Oyo disajikan pada Tabel 3. berikut : Tabel 3. Perbandingan Kualitas Air Pada Mikro DAS dan Sub DAS Oyo di

Kecamatan Nglipar Kabupaten Gunung Kidul

Parameter Satuan Mikro DAS Sub DAS Oyo pH Kekeruhan Total Dissolved Solid(TDS) Daya Hantar Listrik (DHL) Kalium (K) Kalsium (Ca +2) Nitrat (NO3) Klorida (Cl) Phospat (PO4) Biological Oxigen Demand (BOD) Chemical Oxigen Demand (COD) Natrium (Na) Sulfat (SO4) Magnesium (Mg)

(-) NTU

Mg/l

µ mhos/cm

mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l

mg/l

mg/l mg/l mg/l mg/l

7,5 1

326

502 < 0,93 96,72 < 0,61 < 0,6

1,1089

6,6

32 3 3

9,96

7,7 94

132

203 2

29,82 3,13 5,0

0,3228

2,7

8 12 29

4,37 Berdasarkan hasil analisis laboratorim (Tabel 3) di atas terindikasi bahwa nilai pH di kedua lokasi dalam kondisi netral dengan kisaran 7,5 sampai dengan 7,7. Beberapa parameter tertentu (K,

Page 264: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

235

NO3, Cl, Na, dan SO4), hasil uji menunjukkan bahwa contoh air dari mikro DAS lebih kecil dari pada di Sub DAS Oyo, sedangkan untuk parameter yang lain (kalsium, phospat, dan magnesium) lebih besar dari pada contoh air dari Sub DAS Oyo. Hal ini disebabkan karena kondisi penutupan lahan diatas lokasi pengambilan contoh yang berbeda. Penutupan lahan pada areal mikro DAS adalah murni tanaman kayuputih yang tidak ditumpangsari dengan tanaman semusim, kondisi tanaman bawahnya berupa rumput-rumputan dan semak belukar. Pada areal tanaman kayuputih di dalam Mikro DAS tidak dilakukan perlakuan apapun (pemupukan, pengolahan tanah dan sebagainya), sedangkan penutupan lahan di atas lokasi pengambilan sampel pada Sub DAS Oyo adalah merupakan campuran antara lahan pertanian, pemukiman dan hutan sehingga kondisi penutupan lahannya sangat beragam. Disamping itu kondisi air di Sub DAS Oyo juga telah dipengaruhi oleh pencemaran terhadap badan air baik oleh pupuk yang digunakan oleh petani di lahan olahannya maupun pencemaran dari pemukiman. Hal ini juga ditunjukkan dengan nilai parameter BOD dan COD pada contoh dari Sub DAS Oyo yang lebih rendah dari pada contoh air yang berasal dari Mikro DAS. Selanjutnya pada parameter kekeruhan, contoh air yang berasal dari Mikro DAS nilainya jauh lebih kecil dari pada sampel air yang berasal dari Sub DAS Oyo. Hal ini menunjukkan bahwa pada areal Mikro DAS hampir tidak terdapat tanah yang tererosi oleh curah hujan yang jatuh. Kecilnya nilai parameter kekeruhan tersebut disebabkan oleh pengaruh penutupan lahan DASnya. Pada areal Mikro DAS penutupan lahannya adalah tanaman kayuputih dengan tanaman bawah berupa semak belukar dan rerumputan yang relatif menutup permukaan tanahnya. Dengan demikian hampir tidak terdapat sedimen terangkut oleh aliran air pada areal Mikro DAS, namun demikian masih akan diamati lagi kandungan sedimen terkait pada aliran alur sungai pada areal Mikro DAS dengan menggunakan suspended sampler yang telah terpasang pada Stasiun Pengamat Arus Sungai (SPAS) yang telah dibangun.

Page 265: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

236

5. Ketersediaan Air pada Areal Hutan Tanaman Kayuputih Stasiun Pengamat Arus Sungai (SPAS) yang dilengkapi dengan peralatan pemantau aliran air otomatis telah dibuat untuk mengetahui ketersediaan air pada kawasan hutan tanaman kayuputih. SPAS dibangun di areal penelitian adalah model Cipoletti dengan lebar penampang 90 cm. Luas daerah tangkapan air yang diamati 5,211 Ha dengan keseluruhan jenis penutupan lahannya adalah tanaman kayuputih dengan umur tanaman yang seragam. Lokasi tangkapan air yang diamati terletak di petak 38 RPH Nglipar, Kecamatan Nglipar, Kabupaten Gunung Kidul. Lokasi pengamatan tersebut adalah merupakan tanaman kayuputih hasil terubusan baru yang ditanam pada tahun 1980. Ketersediaan air permukaan pada kawasan hutan tanaman kayuputih, diamati dengan memantau tinggi muka air pada saat mulai hujan sampai hujan berhenti. Hasil perhitungan berdasarkan rumus cipoletti disajikan pada Tabel 4 berikut : Tabel 4. Hasil Pengukuran debit aliran dengan menggunakan metode

Cipolety (SPAS Gubah), Areal Mikro DAS di Kecamatan Nglipar, Kabupaten Gunung Kidul.

Tahun

Curah Hujan Debit Aliran Koefisien

Aliran (mm) (m3/dt) (mm)

2006 895 0,302 501,20 0,56 2007 1667 0,392 650,13 0,39 2008 775 0,252 418,50 0,54 2009 1982 0,586 971,18 0,49

Rerata 1330 0,383 635,252 0,48

Dari Tabel 4 menunjukkan bahwa hasil pengamatan debit aliran yang dilakukan selama 4 (empat) tahun mulai tahun 2006-2009, adalah curah hujan tahunan sebesar 1330 mm, rerata debit aliran sebesar 0,383 m3/dt atau 635,25 mm (47,70 %), sedangkan sisanya sebesar 694,75 mm (52,30%) meresap kedalam tanah sebagai cadangan air tanah. Dari hasil pengukuran data tersebut dapat dihitung koefisien aliran dengan membagi besarnya besarnya debit aliran tahunan dengan besarnya curah hujan tahunan sebesar 0,477. Hal ini menunjukkan bahwa curah hujan yang jatuh pada area Mikro DAS di Nglipar, Kabupaten Gunung Kidul yang menjadi aliran adalah sebesar 47,70 %, sisanya 52,30

Page 266: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

237

% meresap kedalam tanah sebagai cadangan air tanah yang dapat dimanfaatkan terutama pada musim kemarau, menurut (Cook dan Bansby-Williams dalam Suyono, 1996 membuat klasifikasi koefisien aliran sebagai berikut; koefisien aliran normal < 50 %, sedang 50 - 75% dan ekstrim > 75%. Angka-angka tersebut dapat digunakan untuk menilai kondisi hidrologi DAS. sehingga kondisi area Mikro DAS di Nglipar, Kab.Gunung Kidul dapat dikategorikan dalam kondisi normal.

IV. KESIMPULAN 1. Hasil pengamatan iklim mikro stasiun klimatologi Nglipar

adalah sebagai berikut : (a). Pada musim hujan I ( Januari – Maret) : suhu udara harian berkisar 24-380 C dengan kelembaban udara harian berkisar 58-82%; (b). Pada musim kemarau (April - September) : suhu udara harian berkisar 25-370 C dengan kelembaban udara harian berkisar 51-85 %; dan (c). Pada musim hujan II (Oktober – Desember) : suhu udara harian berkisar 24-390 C dengan kelembaban udara harian berkisar 60-82%.

2. Penutupan lahan pada lokasi Mikro DAS tanaman kayuputih didominasi terubusan baru sehingga rerata diameter batangnya relatif kecil. Dari rerata tinggi pohon berkisar antara 142 - 225 cm, hal ini dikarenakan bekum dilakukan pemanenan daun. Setelah pemanenan daun maka tonggak yang tersisa ketinggiannya hanya berkisar 150 cm saja. Penutupan lahan mikro DAS berkisar antara 30 - 80 % (sedang), sehingga masih terdapat resiko terjadinya erosi tanah yang disebabkan karena pukulan air hujan.

3. Kondisi tanah menunjukkan bahwa rerata pH tanah adalah agak basa, rerata kandungan C organik termasuk kategori tinggi, rerata kandungan bahan organik tanah termasuk kategori tinggi, tekstur tanah adalah lempung berat kecuali pada titik pengambilan contoh tanah kedua pada kedalaman > 40 cm.

4. Kualitas air yang dinilai dari pH menunjukkan kondisi netral dengan kisaran 7,5 sampai dengan 7,7. Beberapa parameter tertentu (K, NO3, Cl, Na, dan SO4), hasil uji menunjukkan bahwa contoh air dari Mikro DAS lebih kecil dari pada di sub

Page 267: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

238

DAS Oyo, sedangkan untuk parameter yang lain (kalsium, phospat, dan magnesium) lebih besar dari pada contoh air dari Sub DAS Oyo.

5. Hasil pengamatan debit aliran menunjukkan bahwa dari rerata curah hujan tahunan sebesar 1330 mm, menghasilkan debit aliran sebesar 0,383 m3/dt atau 635,25 mm (47,70 %) sedangkan sisanya sebesar 694,75 mm (52,30 %) meresap kedalam tanah sebagai cadangan air tanah koefisien aliran sebesar 47,70, dikategorikan dalam kondisi normal.

DAFTAR PUSTAKA

Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999. Kategori Tanah.

Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia.

Suyono, 1996. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Dalam Kontek

Hidrologi Dalam Kaitannya Dengan Pembangunan Berkelanjutan. Pidato Pengukuhan Kepala Madya di Fakultas Geografi Unversitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Wisnusubroto.1983. Azas-asas Meteorologi Pertanian. Ghalia

Indonesia. Jakarta.

Page 268: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

239

Lampiran 1. Jadwal Acara

JADWAL ACARA SEMILOKA “Riset Pengelolaan DAS Menuju Kebutuhan Terkini”

Solo, 27-28 Juni 2011

Hari I – Senin, 27 Juni 2011 No. Agenda Acara Perangkat Sidang A. Registrasi 8.00 – 8.30 PENDAFTARAN

B. Pembukaan 8.30 – 8.35 Doa Panitia

8.35 – 8.40 Menyanyikan lagu Indonesia Raya

Panitia

8.40 – 8.45 Laporan Panitia Penyelenggara

Kepala BPK Solo

8.45 – 9.05 1. Arahan dan Pembukaan Kepala Badan Litbang

9.05 – 9.35 2. Keynote Speech: Kebutuhan Pengguna terhadap Iptek Pengelolaan DAS

Dirjen Bina PDAS dan Perhutanan Sosial (Dr. Ir. Harry Santoso)

9.35 – 9.55 Highlight hasil riset sistem dan teknologi (hasil-hasil dulu, dan kini yang aplikatif)

Pembicara : Ir. Adi Susmianto, M.Sc.

9.55 – 10.05 Penandatanganan Kesepahaman IPTEK Pengelolaan DAS Sebagai Landasan Kebijakan Operasional

Dirjen Bina PDAS dan Perhutanan Sosial dan Kepala Badan Litbang Kehutanan

10.05 – 10.20 REHAT KOPI C. Pleno I

10.20 – 10.40 1. Narasumber kebutuhan riset sistem pengelolaan DAS

Pembicara : Dr. Pramono Hadi, M.Sc.

10.40 – 11.00

2. Narasumber kebutuhan riset teknologi pengelolaan DAS (Konservasi Tanah dan Air)

Pembicara : Prof. Dr. Naik Sinukaban, M.Sc.

11.00 – 12.00 Diskusi Pleno 1 Fasilitator : Dr. Ir. Amir Wardhana, M.For. Sc.

Page 269: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

240

No. Agenda Acara Perangkat Sidang Notulis: Irfan Budi Pramono, Purwanto, I Wayan Susi Dharmawan, Hunggul Yudono Setio

12.00 – 13.00 ISHOMA D. FGD Focus Group Discussion

(FGD)

FGD A Focus Group Discussion A 13.00 – 15.00 Ringkasan Hasil Penelitian

Sistem Pengelolaan DAS: Hulu, Lintas Kabupaten, Lintas Propinsi

Pembicara: Ir. Paimin, M.Sc.

Diskusi (Kebutuhan Riset Sistem Pengelolaan DAS: Hulu, Lintas Kabupaten, Lintas Propinsi)

Fasilitator: Dr. Pramono Hadi, M.Sc. Notulis : Irfan Budi Pramono, Purwanto

FGD B Focus Group Discussion B 13.00 – 15.00 Ringkasan Hasil Penelitian

Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung pengelolaan DAS

Pembicara:Prof. Dr. Pratiwi

Diskusi (Kebutuhan Riset Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung pengelolaan DAS)

Fasilitator: Prof. Dr. Naik Sinukaban, M.Sc. Notulis : I Wayan Susi Dharmawan, Hunggul Yudono Setio

15.00 – 15.15 REHAT KOPI E. Pleno II

15.15 – 15.30 Presentasi Hasil FGD A Pembicara: Dr. Pramono Hadi, M.Sc.

15.30 – 15.45 Presentasi Hasil FGD B Pembicara: Prof. Dr. Naik Sinukaban, M.Sc.

15.45 – 16.30 Diskusi Pleno II dan pembacaan hasil rumusan FGD A dan FGD B

Moderator : Ir. Adi Susmianto, M.Sc Perumus: Tyas Mutiara Basuki,

Page 270: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

241

No. Agenda Acara Perangkat Sidang Notulis (tim perumus): Irfan Budi Pramono, Purwanto, I Wayan Susi Dharmawan, Hunggul Yudono Setio

16.30 – 16.40 Penutupan hari pertama Kepala BPK Solo

Hari II – Selasa, 28 Juni 2011 No. Agenda Acara Perangkat Sidang

Registrasi 8.00 – 8.30 PENDAFTARAN ULANG

A. Komisi I Sistem Pengelolaan DAS: Hulu, Lintas Kabupaten, Lintas Propinsi

Fasilitator : Ir. Paimin, M.Sc. Notulis: Endah R., B. Wirid A.

1. Hubungan Aspek Sosek dan Biofisik dengan Monev Kinerja Sub DAS

Pembicara: Nur Ainun Jariyah

8.30 – 9.30 2. Optimalisasi Penggunaan Sumber Daya Lahan di DAS Grindulu Kabupaten Pacitan

Pembicara: S. Andy Cahyono

3. Identifikasi kerentanan social ekonomi Kelembagaan sebagai Dasar Perencanaan Sub DAS Progo

Pembicara: Nana Haryanti

4. Kelembagaan Pengelolaan Mikro DAS Wonosari

Pembicara : Purwanto

Diskusi 5. Tingkat Kekeruhan Air

Sungai pada Berbagai Variasi Luas Hutan Pinus di Sub DAS Kedungbulus Gombong

Pembicara: Irfan B.P.

9.30 – 10.30 6. Tipologi DAS untuk Pengelolaan DAS ke Depan

Pembicara: S. Andy Cahyono

7. Sistem Perencanaan Kehutanan dalam Perspektif

Pembicara: Pamungkas B.P.

Page 271: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

242

No. Agenda Acara Perangkat Sidang Sistem Perencanaan Pengelolaan Sub DAS: Studi Kasus Sub DAS Progo Hulu

Diskusi

B. Komisi II Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung pengelolaan DAS

Fasilitator : Prof. Ris. Dr. Pratiwi Notulis: Wiwin B., Yogi W. P.

8. Karakteristik Lahan Sebagai Basis Perencanaan Konservasi Tanah di Sub Das Progo Hulu

Pembicara: Paimin/Pamungkas B.P.

9. Pengelolaan Lahan di Sub DAS Cisadane Hulu Untuk Mendukung Kelestarian Tata Air

Pembicara: I Wayan Susi Dharmawan

8.30 – 9.30 10. Kelembagaan Pengelolaan Hutan Rakyat dalam mendukung Rehabilitasi Lahan

Pembicara: Dewi Retna Indrawati

11. RHL Partisipatif pada Hulu DAS: Mengelola Sumberdaya Lahan dan Air Melalui Dialog: catatan pengalaman penelitian di Sulawesi tahun 2001-2011

Pembicara: Hunggul Y. S.

Diskusi 12. Konservasi Tanah dan Air

Secara Partisipatif dengan Pendekatan Model Agroforestri Lokal

Pembicara: Ida Rachmawati

9.30 – 10.30 13. Pemilihan Jenis-Jenis dalam Famili Dipterocarpaceae yang Relatif Sesuai dengan Lokasi Tambang Batu Bara

Pembicara: Sri Soegiharto

14. Kajian Ketersediaan Air Permukaan pada Tanaman Kayuputih

Pembicara: Ugro H.Murtiono

15. Pengelolaan dan Pemanfaatan Kawasan

Pembicara: Endang Karlina

Page 272: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

243

No. Agenda Acara Perangkat Sidang Rehabilitasi Mangrove

Diskusi 10.30 – 10.45 REHAT KOPI PAGI

C. Pleno 10.45 – 10.55 Presentasi Hasil Komisi I Ir. Paimin, M.Sc. 10.55 – 11.05 Presentasi Hasil Komisi II Prof. Ris. Dr. Pratiwi 11.05 – 11.30 Diskusi & Pembacaan

Rumusan Hasil Komisi I dan II Fasilitator : Ir. Adi Susmianto, M.Sc Notulis: Wiwin Budiarti, Yogi W. P., Endah R., B. Wirid A. Perumus : Tyas M.B, Irfan B.P., Purwanto, I Wayan S.D., Hunggul Y.S.

D. Penutupan 11.30 – 11.40 Laporan Penyelenggaraan Kepala BPK Solo 11.40 – 12.00 Penutupan Semiloka Ir. Adi Susmianto,

M.Sc

Page 273: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

244

Lampiran 2. Daftar Peserta

DAFTAR PESERTA SEMILOKA “Riset Pengelolaan DAS Menuju Kebutuhan Terkini”

Solo, 27-28 Juni 2011

No Nama Instansi 1. Eva B Sinaga BPK Manado 2. LD. Asir BPK Manado 3. Heru Dwi Riyanto BPK Solo 4. Burhanudin Pusdiklat 5. Irfan B.P. BPK Solo 6. Kurung BTNG. Ciremai 7. Iwan Gunawan Puslitbang Cepu 8. Soenarno BPK Kupang 9. Slamet Wahyudi BPK Kadipaten 10. Handayani BPDAS Solo 11. Triwilaida BPTP Bogor 12. Aji Darmaji Dishutbun Kebumen 13. Abdul Rizal A UPN Veteran Yogyakarta 14. Dyah Arbiwati UPN Veteran Yogyakarta 15. Arina MIardini BPK Solo 16. Wiwin Budiarti BPK Solo 17. Agus Sugianto BPK Solo 18. Pratiwi Puskonser 19. Ir. RH Priyo Darmanto Balitbang Jatim 20. Mutaqim Balitbang Jatim 21. Agung. B. S BPHPS Kuok 22. Ida Rahmawati BPK Kupang 23. Karyaningsih BPTP Jateng 24. Wahyu Wisnu Wijaya BPK Solo 25. Yongki I BPK Ciamis 26. Munawar Cholil Fak. Geografi UMS 27. Heri Pahlana BPK Solo 28. Sri Sulawati Pusprohut 29. Syahrul Doni BPHPS 30. Gunawan Sp. Perhutani 31. Nining Wahyuningrum BPK Solo 32. Herudoyo BPDAS Sampean 33. Didik. P P3KR 34. Naek Sinukaban IPB 35. Sri Mulyani Pusdalbanghut Reg. II

Page 274: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

245

No Nama Instansi 36. Bambang Subandrio BPK Solo 37. Ugro Hari M BPK Solo 38. Mastun BPTP Jateng 39. Dona Oktavia BPK Solo 40. Edi Junaedi BPK Ciamis 41. Bambang K. BPDAS Brantas 42. Muswir Ayub BPDAS Solo 43. Dewi Retna I BPK Solo 44. Kusrin BPK Solo 45. Agus Munawar BPK Solo 46. Yogi BPK Solo 47. Isnubroto Balai Sungai Pus SDA 48. C Kukuh Sutopo BPDAS Pemali Jratun 49. Sudarso BPK Solo 50. Ainun BPK Solo 51. Ayu Dewi BPDAS SOP 52. Bambang Tejo BPDAS Sampean 53. David Senai BPK Manokwari 54. Dody Yuliantoro BPK Solo 55. Y. Gunawan BPK Solo 56. B. Wirid A BPK Solo 57. I Wayan Susi D Puskonser 58. Wuri Handayani BPK Ciamis 59. Tuti Alawiyah BPDAS MB 60. Imam Riyadi Y BPDAS MB 61. Beny harjadi BPK Solo 62. Edi Sulasmiko BPK Solo 63. Nana Haryati BPK Solo 64. Evi Irawan BPK Solo 65. Rahardyan BPK Banjar Baru 66. Suwito Kemitraan 67. Yayah R Puskonser 68. Koko Winarko Perhutani Kedu Selatan 69. Ragil Bambang WMP BPK Solo 70. Purwanto BPK Solo 71. Noor Tribuono AF BBTNG Leuser 72. Yuli Utami Dit PEPDAS 73. W. Kuwanda BPK Aek Nauli 74. Bambang S. Antoko BPK Aek Nauli 75. A. Daryanto Litbang Jakarta 76. Bambang DS BPK Solo 77. A. Dini. S BKSDA Jateng

Page 275: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

246

No Nama Instansi 78. Agung Budi R BKSDA Jateng 79. Tachrir Fathoni Badan Litbang 80. Amir Wardana BBPBPTH 81. Faiqotul Falah BPTP Samboja 82. M. Shidiq BPK Solo 83. Kusmintarja BBPBPTH 84. Aris Boediono BPK Solo 85. Harry B.S BPK Ciamis 86. Mursid Balitbang 87. Ihwanudin Dinhut Jateng 88. Siti Maesaroh Dinhut Karanganyar 89. Rosadi Setiawan Dishutbun Karanganyar 90. Aulia Luthfiana Pusat Humas 91. Ekowati BTNGM Merbabu 92. Hunggul BPK Makasar 93. Paimin BPK Solo 94. Siawo BPK Solo 95. C. Yudilastiyantoro BPK Solo 96. Bayu Radar Solo 97. Ayu Abriyani Solo Pos 98. Komar BPDAS Cimanuk Citandui 99. Dodi BPDAS Citarum Ciliwung 100. Agus Munawar BPK Solo 101. Yuyu Y Puskonser 102. Kariman Litbang 103. Lidya Wuri Puskonser 104. Endah Rusnaryati BPK Solo 105. Dhani Suryawan BTN GM 106. Margo S Tahura Mangkunagara 107. Sri jarwadi Dishutbun Wonogiri 108. Ana Pangaribuan BPK Solo 109. Saud B. Mutasih BPDAS Jenebarang 110. Endang Karlina Puskonser 111. Sofyan Iskandar Puskonser 112. Erna R Puskonser 113. Siti Sugiarti BPK Solo 114. Andi C BPK Solo 115. Sunarto Gunadi MKTI 116. Nika Sari Gemala BBWS BS 117. Licia Sinta Dewi BPDAS Cimanuk 118. Mesri Ferdian BPK Solo 119. Wulan Sari BPK Solo

Page 276: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

247

No Nama Instansi 120. Salamah Retnowati BPK Solo 121. Sri Baruni Istiyadi 122. Asep Sukmana BPK Aek Nauli 123. Sudarto FP. Univ.Brawijaya Malang 124. Asep Hermawan BPK Solo 125. Darmawan Edi BPK Aek Nauli 126. Dibyo Sumitro Wetland Indonesia 127. Agus Yanto BPK Aek Nauli 128. Ibnu SM Puskonser 129. Arifin Asataman BPK Manokwari 130. Seno Haryono Perhutani 131. Adi Susmianto Puskonser 132. Henie E W BPK Solo 133. Edi H BPK Solo 134. Dhian Prabandari BPK Solo 135. Radiyo BPK Solo 136. Eko P BPK Solo 137. Farika Dian N BPK Solo 138. Siswadi BPK Solo 139. Nardi BPK Solo 140. Retisa BPK Solo 141. Djokowidagdo BPK Solo 142. Wahyu B BPK Solo 143. Nur Rahmad Puskonser 144. Radiyastono I BPK Solo 145. Arma Cata Solo 146. Bambang Sugiarto BPK Solo 147. Ayub BPDAS Solo 148. Mursid Balitbang Jateng

Page 277: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

248

Lampiran 3. Hasil Diskusi Komisi I :Sistem Pengelolaan DAS: Hulu, Lintas Kabupaten,

Lintas Propinsi Fasilitator : Ir. Paimin, M.Sc Notulen : Endah R., B. Wirid A. SESI I : 1. Aplikasi sidik cepat degradasi sub DAS dengan monitoring dan

evaluasi kinerja sub DAS (Nur Ainun J, S. Hut, MSc) Mampu menjawab hubungan aspek biofisik dan sosial-

ekonomi-kelembagaan (soseklem) dalam pengelolaan DAS ( hubungan aspek biofisik dan soseklem dalam pengelolaan Sub DAS Padas sedang s/d rentan sedangkan pada Sub DAS Pengkol rentan).

DAS Pengkol sudah dapat melaksanakan kegiatan gotong royong sedangkan Sub DAS Padas belum.

Aspek kelembagaan Sub DAS padas tinggi , Sub DAS Pengkol rendah.

2. Optimalisasi penggunaan sumberdaya lahan : kasus DAS

Grindulu, kabupaten Pacitan (S. Andy Cahyono) Ketidaktepatan pengelolaan DAS adalah DAS kritis semakin

meningkat. Untuk menjawab pengalokasian sumber daya lahan yang

optimal untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Kendala: perlindungan tata air, erosi tanah, tenaga kerja,

dan lahan. Pendapatan optimal di DAS Gridulu 570 milyar/ tahun. Tanaman yang tidak optimal bila dipaksakan ditanam maka

akan mengurangi pendapatan optimalnya. Dengan model optimalisasi ini dapat diketahui kelangkaan

dengan mengunakan harga bayangan (shadow price). Bila harga bayangan semakin tinggi maka makin langka.

Tanaman unggulan di DAS Grindulu adalah padi dan kopi.

Page 278: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

249

3. Identifikasi kerentanan sosial ekonomi kelembagaan sebagai dasar perencanaan Sub DAS Progo Hulu (Nana Haryanti, S.Sos, MSc) Lokasi meliputi kabupaten dominan dan lintas kabupaten

lain Latar belakang: DAS menghasilkan air dan barang & jasa

(karena aktifitas manusia) terdapat dampak sampingan dari aktifitas dalam pengelolaan DAS.

Pengelolaan DAS menjadi penting karena mempengaruhi hajat hidup orang banyak.

Metode dengan sidik cepat degradasi lahan. Bagian hulu digunakan untuk menanam tembakau dan

sayur, bagian hulu kegiatan konservasinya masih rendah terlihat dari banyaknya lahan terbuka.

Pendapatan masyarakat tinggi dari hasil tembakau. Kelembagaan di bagian hulu sangat rendah, di bagian

bawah sudah baik karena terdapat agroforestry Penghambat kelembagaan DAS Progo:

a. Banyaknya organisasi pemerintah yang memiliki kewenangan dalam mengelola DAS Progo (BPDAS SOP, PU, dan Perum Perhutani);

b. Rendahnya tingkat kerjasama dan kordinasi antar instansi;

c. Tidak adanya kebijakan pemberian insentif konservasi sangat rendah (sangat minim, insentif diberikan bila ada proyek)

Bagaimana DAS Progo harus dikelola: a. Mencari indikator sosial ( tingkat kesadaran, kendala

yang masyarakat hadapi, nilai, kepercayaan); b. Tahapan perbaikan DAS (mengidentifikasi sumber polusi

sperti pertanian sayur dan tembakau, lokasi, stakeholder, kondisi sosial ekonomi dan kelembagaan);

c. Pembentukan dewan air (berbeda dengan forum DAS) Kesimpulan:

a. Organisasi pemerintah belum efektif dalam pengelolaan DAS

b. Perlunya dibentuk dewan air

Page 279: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

250

4. Kelembagaan pengelolaan mikro DAS Wonosari Kabupaten Temanggung ( Ir. Purwanto, MSi) Areal 1.000 ha cukup untuk dilakukan implementasi DAS

mikro Mikro DAS merupakan derivat sub-sub das, sub das dan

das (peraturan dirjen RLPS No. P.15/V/2009) Tujuan : mengkaji kelembagaan di mikro DAS Metode : deskriptif, desk analysis (penggunaan lahan,

peraturan ) Hasil: sifat dasar SDA mikro DAS Wonosari; sda mikro DAS

merupakan common pool resources; selama UU konservasi tanah belum dibuat maka belum dapat melakukan kegiatan.

Banyak organisasi yang melakukan penanaman seperti Bappeda (perencanaan), BPDAS, Din Pu, kecamatan Bulu, Desa, BLH, Gapoktan, lembaga lain Koramil, lambaga masyarakat, lembaga swasta, lembaga keuangan

Sebagian besar tanamannya di wonosari adalah tembakau untuk kegiatan konservasi tanah dan air dapat dilaksansakan sepanjang tidak merugikan produktifitas petani tembakau

Hubungan antar lenmbaga bersifat keproyekan sehingga ada koordinasi antar lembaga

SESI II 5. Tingkat kekeruhan air sungai pada berbagai variasai luas hutan

pinus di sub DAS kedungbulus, Gombong (Drs. Irfan BP, MSc) Mengetahui tingkat kekeruhan air sungai pada berbagai luas

hutan pinus justifikasi UU 41. Luas hutan optimal masih perdebatan, 30% belum didukung

penelitian. DAS yang sehat salah satu dicirikan dengan sedimentasi

rendah, namun belum tentu karena sedimentasi rendah tetap harus dilihat hidrologinya.

Pengukuran debit dan sedimentasi diambil pada saat bersamaan.

Semakin luas tutup hutan maka debit dan sedimentasinya rendah

Page 280: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

251

Perubahan luas hutan terhadap perubahan tingkat kekeruhan air mencapai titik hampir konstan pada sekitar luas hutan 31-35 %

6. Tipologi DAS untuk pengelolaan DAS kedepan (S. Andy

Cahyono) Tipologi dapat menggambarkan DAS berdasarkan kelompok

/ unsur tertentu/ karakter tertentu. Karakteristik DAS: SDA, SDM, sumber sosial,sumber

finansial Tedapat 4 tipologi bila dikaitkan dengan kerawanan

bencana: (hal 5) Skala DAS menentukan keefektifan dan efisiensi

pengelolaan DAS, mempengaruhi karakterisasi DAS, mungkin tepat untuk skala tertentu tapi untuk skala yang lebih besar belum tentu perlu kajian.

DAS dengan tipologi terntentu membutuhkan teknologi, pendekatan, kebijakan tertentu

7. Sistem Perencanaan kehutanan dalam perspektif sistem perencanaan pengelolaan Sub DAS-studi kasus di Sub DAS Progo Hulu (Pamungkas) Peran sektor kehutanan dalam daya dukung DAS

(permenhut No.39/ Menhut–II/2009 Alasan pemilihan lokasi di DAS Progo Hulu: potensi

kerentanan degradsi lahan tinggi dan berada pada satu kabupaten dominan yaitu kabupaten Temanggung.

Unit pengelolaan hutan kesatuan pemangkuan hutan (KPH) di Perum Perhutani kalau di pemerintah KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan)

Karakteristik DAS hulu : dominan kawasan hutan berada di BH Temanggung. Di Sindoro merupakan hutan lindung.

Sinergitas perencanan kehutanan dengan perencanaan pengelolaan DAS: harus memperhatikan fungsi hutan dan klas perusahaan dan klas hutannya.

DAS Progo Hulu ternyata dominan pada BKPH Temanggung dengan sistem perencanaan dipegang oleh KPH.

Kewenangan pengelolaan DAS dipegang oleh pemerintah

Page 281: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

252

Usulan Rencana pengelolaan DAS disusun pusat dan dapat disahkan oleh bupati supaya mudah diadopsi daerah dan dimasukkan dalam penyusunan perencanaan daerah.

Sektor kehutanan mempunyai peran dalam penyusunan perencanaan pengelolaan DAS.

HASIL DISKUSI SESI I NO NAMA &

INSTANSI DISKUSI TANGGAPAN

1. Bp. Suwito (Kemitraan)

Untuk Ibu Nana : 1. Tertarik dewan air, karena

lebih powerfull daripada forum DAS.

2. Bagaimana tindaklanjut dari rekomendasi agar dapat dikomunikasikan pada stakeholder

Untuk Bp Purwanto : 3. Belum melihat organisasi

yang mampu melakukan pengelolaan (walaupun menurut UU adalah Perhutani). PHBM merupakan tolok ukur keberhasilan.

Ibu Nana : 1. Sulitnya komunikasi di

negeri ini. Kalau pengelola DAS sepakat untuk membentuk Dewan Air maka perlu merencanakan dari awal sampai akhir.

2. Masyarakat sebenarnya tahu konservasi namun keengganan untuk melakukan

Bp Purwanto: 3. Pengelolaan hak perhutani,

namun tidak didiamkan oleh perhutani

2. Bp. Herudoyo Untuk Bp Purwanto 1. Penelitian DAS mikro

diharapkan dapat digunakan untuk membuat prosedur dalam DAS Mikro.

2. Organisasi yang mengarah ke mikro DAS masih kecil, mungkin perlu di buat diagram untuk mengetahui organisasi mana yang potensial

3. Perlu dibuat kelembagaan DAS mikro untuk mengetahui siapa melakukan apa?

4. Apakah mungkin dilakukan DAS mikro dianggarkan di tingkat desa?

Bp Purwanto: 1. Yang paling berperan

adalah dinas pertanian dan perkebunan, penyuluh

2. Diagram ven akan dilakukan dengan analisis yang lebih baik

3. Desentraslisasi ada di unit terkecil. Harapan anggaran dari manapun bukan di desa namun desa dan kecamatan mengetahui dan berperan

Page 282: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

253

NO NAMA & INSTANSI DISKUSI TANGGAPAN

3. Bu Nining 1. BPDAS Solo melakukan monev kinerja untuk keseluruhan DAS di wilayah kerja.

2. Lokasi penelitian untuk penerapan menggunakan peta apa?

3. Bagaimana menetapkan batas wilayah das hulu, hilir mengingat penelitian dilakukaan di sub das dengan wilayah sekitar 3000 Ha apa sebaiknya tidak menggunakan peta wilayah?

4. Penetapan bobot rawan banjir dan rawan longsor, apakah cukup mewakili bila dilakukan sekali apa tidak times series

5. BPDAS Solo punya 4 MDM dengan luasan sampai 1500ha (karanganyar, kali samin)

Bp Purwanto: 1. Sebagian lahan di pronggo

adalah kritis yang peruntukannya untuk memenuhi kebutuhan pangan seperti jagung

2. Di KBR belum bisa mengecambahkan. Penentuan jenis sejak awal seharusnya didiskusikan ke masyarakat

3. Mikro DAS merupakan perencanaan jangka menengah. Lima tahun sudah bisa dijadikan contoh pengelolaan DAS

Ibu Ainun 4. Lokasi dipilih dengan

menggunakan data sekunder apa yang dominan, menggunakan peta penggunaan lahan, peta RBI, peta rawan longsor, peta rawan banjir. Untuk rawan banjir menggunakan siskardasnya pak paimin

5. Data sosek menggunakan times series 5 tahun, untuk budaya tidak bisa menggunakan times series karena harus interview dengan petani di sana (data primer). Data hidrologi berusaha menggunakan data times series 10 tahun

Bp Irfan BP : 6. Lokasi menggunakan peta

RBI 7. Skala dan bobot

menggunakan buku sidik cepat degradasi lahan

Ibu Nana : 8. Sampling menggunakan

peta RBI. Untuk tegalan

Page 283: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

254

NO NAMA & INSTANSI DISKUSI TANGGAPAN

diambil dari desa yang dominan. Jumlah sampel dihitung dengan menggunakan masing-masing dari desa dominan diambil 30 sampel karena waktu terbatas.

4. Bp. Pramono Untuk Bp Purwanto : 1. DAS Mikro bukan

berdasar luasan namun kehomogenan. DAS Mikro merupakan perkembangan dari plot.

Bp Purwanto: 1. Unit yang seragam akan

ditampung. Namun kami lebih memilih ke penyelesaian permasalahan bagaimana perencanaan mikro DAS kedepan.

Bp. Paimin: 2. Mikro DAS sudah integrated

process bukan sekedar perkembangan plot. Karena mikro DAS merupakan derivat dari Sub DAS. Kehomogenan dapat diambil dari karakter sub DAS untuk membangun mikro DAS.

HASIL DISKUSI SESI II NO. NAMA &

INSTANSI DISKUSI TANGGAPAN

5. Bp Dibyo Untuk Bp Irfan : 1. Bukan hanya kekeruhan

saja tapi juga kualitas air tersebut. Badan internasional sudah studi kualitas air sungai di DAS Citarum (Citarum panjang sungainya dari Garut s/d Indramayu, terdapat PLTA jatiluhur dan siguling. Studi lebih pada kualitas air sungai Citarum. Ternyata air sungai Citarum sudah tercemar mulai dari hulu (pusat industri). Kualitas air pada bendungan I Saguling 6 meter kebawah sudah

Bp Irfan: 1. Analisa sebenarnya tidak

hanya kekeruhan tapi juga kualitas airnya

Page 284: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

255

tidak ada oksigen. Air citarum ikut mempercepat umur kincir angin. Citarum sebagai sumber pengairan untuk padi jadi mempengaruhi produktifitas. Bagaimana mengkaitkan kualitas air dengan tingkat kecemaran.

2. Hubungan antar pemanfaatan sungai dengan keanekaragaman hayati. Penelitian di Cinimang ternyata diketemukan berbagai jenis ikan yang tadinya berada di situ ternyata menjadi hilang.

6. Bp Herudoyo Untuk Bp Irfan : 1. Data tentang curah hujan

belum ditampilkan 2. Tanaman bawah perlu

disinggung dominasi tanaman bawah perlu dikaji karena dapat mempengaruhi kekeruhan.

Untuk Bp Andi : 3. Lebih baik dalam

perencanaan menggunakan karakterisasi DAS atau tipologi DAS ?

4. Atau kedepan dengan tipologi begini maka perlakuannya seharusnya demikian

Bp Irfan : 1. Pengaruh tanaman bawah

memang sangat berpengaruh, nanti akan kami lengkapi.

2. Tingkat kekeruhan di Kedung Pane tinggi karena di atas dibuat bendung sementara dari kayu dan daun kelapa dengan tujuan untuk menyaring pasir.

Bp Andi : 3. Dengan 2 unsur dominan

(hujan dan kepadatan penduduk) sudah didapat 4 tipologi

4. Karakteristik dan tipologi dapat digunakan. Seperti DAS tertentu yang cenderung ke tipologi 1 agar lebih detil dapat dikombinasikan dengan karakteristik. Tipologi dapat membantu dalam menyederhanakan membuat kesimpulan.

7. Bp.Wanda (Aek Nauli)

Untuk Bp Pamungkas : 1. Tipologi DAS berbeda

seperti di Jawa dan Sumatara. Apakah

Bp. Pamungkas: 1. Kalau konservasi maka

dapat disinergikan dengan kawasan di bawahnya

Page 285: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

256

terdapat strategi untuk menyusun perencanaan pengelolaan DAS untuk hutan konservasi.

2. Penyebab kerusakan DAS karena ketergantungan masyarakat tinggi dan ekonomi rendah. Sebenarnya apa yang mendasari kerusakan DAS kemiskinan, kebutuhan lahan atau kesadaran masyarakat

Untuk Bp Andi : 3. Dalam penyusunan

persamaan apakah telah dilakukan uji sebelumnya (mengingat terdapat banyak parameter). Adakah studi pendahuluan sebelum menerapkan parameter sesi i

2. BPK Solo belum melakukan pada DAS konservasi

8. Ibu Triwilaida Untuk Bp Andi : 1. Karakter keragaman di

DAS hulu 2. Tipologi 3 terdapat

penjelasan dengan penduduk kurang tapi terdapat konflik. Konflik yang bagaimana?

Bp Andi : 1. Daerah hulu biasanya suku

lebih serderhana namun jumlah suku banyak dalam jumlah anggota kecil.

9. Ibu Sri (Pusdal)

Untuk Bp Pamungkas : 1. Pengelolaan DAS yang

disampaikan merupakan lintas sektoral. Jadi kelembagaan lain ikut berperan dalam keberhasilan pengelolaan DAS. Ketika perencanaan dibuat apakah sudah melibatkan/partisipatif antar pihak karena sering terjadi perbedaan kepentingan antar pihak yang akhirnya menjadi konflik dan membuat

Bp Pamungkas: 1. Sepakat untuk penyusunan

partisipatif. Namun perlu pihak yang powerfull untuk dapat memaksa dalam implementasi bukan hanya partisipatif dalam perencanaan tapi lebih penting dalam implementasi.

2. Perencanaan diusulkan untuk disahkan Gubernur, namun berasarkan hirarki lebih cenderung ke Bupati.

Page 286: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

257

malas berkoordinasi. Karena masalah koordinasi selalu menjadi kendala, sebaiknya perencanaan melibatkan stakeholder.

2. Siapa yang melakukan karakterisasi.

PLENO: NO. NAMA &

INSTANSI DISKUSI TANGGAPAN

1. Bp. Soenarto Gunadi (Yogya)

1. Kebutuhan riset terkini belum tercermin sampai dengan hari ini

Bp Paimin : 1. Terima kasih saran 2. Tim pernah

memperkenalkan ke stakeholder cuma karena terbatas waktu maka gagal

3. Untuk justifikasi hasil peneltian tergantung jenis penelitian. Tidak semua penelitian dapat dilakukan justifikasi terutama penelitian yang bersifat survei.

4. Himbauan PU akan diakomdir tapi bukan dalam bentuk semiloka (alam semiloka ini diharapkan peserta berbagi pengalaman hasil penelitian bukan hanya dalam tulisan).

5. Institusi dengan masing-masing tupoksi diharapkan dapat melihat peraturan perundangan dan peka terhadap kebutuhan pengguna.

Prof. Ris. Pratiwi: 6. Keterkinian sudah dapat

dilihat dengan selalu memperhatikan peraturan dirjen BPDAS PS seperti rehabilitasi dengan jenis lokal.

2. Bp. Sunarno 1. Perlu koordinasi lebih lanjut supaya sampai pada masyarakat.

Page 287: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

258

NO. NAMA & INSTANSI DISKUSI TANGGAPAN

Sebelum menyusun laporan akhir penelitian perlu proses justifikasi dari stakeholder kira-kira hasil penelitian dapat bermanfaat tidak.

2. Penelitian selalu memperhatikan 4 aspek : ekonomi, kemudahan adopsi, lingkungan, dan masyarakat dapat menerima.

3. Kepala Balai Sabo

1. Saran kedepan untuk paper dapat diambil dari institusi lain karena yang bergerak di bidang pengelolaan DAS tidak hanya BPK Solo.

2. Paper dapat dilanjutkan ke jurnal.

4. Bp. Purwanto (UNS)

1. Terkini seharusnya mengacu pada peraturan terkini yaitu UU 32 tahun 2009 yang menyebutkan bahwa pengelolaan harus berdasarkan pada kelestarian biidiversitas.

2. Penelitian yang terkait dengan teknologi konservasi tanah dan air dengan agroforestry harus lebih diintensifkan

3. Keragaman semakin beragam maka ekosistem semakin stabil dan biota tanah semakin beragam.

4. Biopori tidak perlu bila selama di tanah masih terdapat cacing tanah yang akan mengurangi run-off.

5. Perakaran sawit hanya 40 cm. Wacana menjadikan sawit sebagai tanman kehutanan perlu ditinjau kembali. Karena akan

Bp Paimin : 1. Itjen bekerjasama dengan

PU bagaimana monitoring litbang. Sebelum memonev tolong dilihat terlebih dahulu mampukah melakukan.

Page 288: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

259

NO. NAMA & INSTANSI DISKUSI TANGGAPAN

mempercepat kerusakan hutan.

6. Terkait dengan UU nomor 41 kehutanan. Penelitian tentang luas hutan optimal 30% perlu kajian untuk di luar Jawa.

5. Pusdal 1. Pusdal II akan melakukan monev terhadap hasil litbang namun pusdal kesulitan menetapkan parameter monev. Mungkin litbang dapat membantu dalam menetapkan kriteria dan indikator. Monev yang diharapkan lebih teknis apakah hasil peneltian termanfaatkan oleh masyarakat.

Bp Paimin : 1. Monev apa? Substansi

penelitian atau manajemen? Kalau manajemen ok, tapi kalau substansi penelitian itu yang akan susah.

Page 289: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

260

Komisi II : Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung Pengelolaan DAS

Fasilitator : Prof. Ris. Dr. Pratiwi, M.Sc Notulen : Wiwin Budiarti, Yogi Wulan Puspitasari. Makalah Sesi I : 1. Karakteristik Lahan sebagai Basis Perencanaan Konservasi

Tanah di Sub DAS Progo Hulu (Pembicara : Pamungkas B P) Meningkatnya luasan lahan kritis di Indonesia yang

melampaui daya dukungnya. DAS Progo Hulu mempunya potensi kerentanan lahan karena

degradasi yang tinggi. Metode menggunakan formula Sicerdas (Sidik Cepat

Degradasi Sub DAS). Tujuan penyusun rencana pengelolaan dan konservasi tanah. Kekritisan karena pertanian di lahan yang terjal dengan

tanaman semusim. Rekomendasi: tanaman suren, mendorong teras searah

kontur lereng. Kesimpulan: sebagian besar daerah DAS ini mempunyai

karakter agak kritis karena kondisi alamiah kelerengan dan manajemen pertanian dengan tanaman semusim namun transfer teknologi konservasi kepada petani masih sangat rendah.

2. Pengelolaan Lahan di Sub DAS Cisadane Hulu untuk Mendukung Kelestarian Tata Air (Pembicara : I Wayan Susi D) Perubahan tata guna lahan tidak sesuai dengan daya dukung

lahan Metode dengan model ANSWER (Areal Non Point Source

Watershed Environmental Response Simulation) Simulasi perubahan penutupan lahan, rekapitulasi output di

Sub DAS Cisadane Hulu dan debit sungai multi years. Banyak di dominasi oleh perkebunan dan pemukiman (resort). Model penggunaan skenario penutupan lahan menunjukkan

bahwa kita tidak bisa berdiri sendiri dan tetap harus memperhatikan tekanan pada sektor lain seperti pertanian dan pemukiman.

Page 290: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

261

Kesimpulan: Kondisi Sub DAS sangat kritis, penggunaan lahan yang optimal mampu mengurangi limpasan dan erosi dapat meningkatkan kelestarian air.

3. Kelembagaan Pengelolaan Hutan Rakyat dalam Mendukung Rehabilitasi Lahan (Pembicara : Dewi Retna I) Lahan kritis semakin meningkat dan upaya yang ada masih

belum menunjukkan hasil yang maskimal. Salah satu permasalahan adalah pada kelembagaan

pengelolaan hutan rakyat, penyuluh lapangan masih kurang sedangkan masyarakat perlu dilakukan pendampingan mengenai teknik budidaya dalam pembangunan hutan rakyat.

Metode: wawancara mendalam dengan informan dan FGD. Muncul konflik antara para pihak (dinas kehutanan, dinas

pertanian, swasta, masyarakat, BAPPEDA dll) terkait dalam satu kabupaten

Koordinasi antara para pihak diharapkan ada dalam perencanaan hutan rakyat dalam satu kabupaten dengan sistem kolaboratif dan partisipatif.

Kesimpulan : tidak diperlukan lembaga baru namun lembaga yang ada dioptimalkan dengan mekanisme kerja yang jelas; Penyusunan rancangan bangun untuk pembangunan hutan rakyat; BAPEDA mempunyai tugas untuk mengkoordinir seluruh pihak dalam pembangunan kehutanan.

4. RHL Partisipatif pada Hulu DAS : Mengelola Sumberdaya Lahan dan Air Melalui Dialog : catatan pengalaman penelitian di Sulawesi tahun 2001 – 2011 (Pembicara : Hunggul Y. S) DAS super prioritas bertambah dan lahan kritis semakin

meningkat. Penutupan kawasan hutan semakin menurun digantikan

dengan kawasan pertanian. Kurangnya pengetahuan dan keinginan masyarakat untuk

menjaga kawasannya. Sulitnya mengakses air bahkan bagi masyarakat di daerah

hulu. Permasalahan: partisipasi masyarakat, adopsi teknologi

konservasi dan dukungan politis untuk ikut serta dalam program konservasi.

Page 291: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

262

Penelitian yang ditekankan di BPK Makasar: partisipasi personal dan partisipasi kolektif.

Peningkatan awareness masyarakat tentang erosi dan akibatnya bagi tanah mereka.

Kesimpulan : pembuatan mikro hidro sebagai penekanan dan bukti kepada masyarakat dan pihak terkait mengenai manfaat hutan sebagai regulator air.

HASIL DISKUSI SESI I : NO NAMA &

INSTANSI DISKUSI TANGGAPAN

1 Agus W BPK Solo

Untuk Bp. I Wayan : 1. Bagaimana dengan

distribusi spasial dari tata ruang yang digunakan

2. Nilai ekonomi masyarakat dari Sub DAS Cisadane yang diperoleh

3. Dampak dibagian hilirnya seperti apa, tentu tidak hanya erosi, sedimentasi tentunya ekonominya juga.

Bp I Wayan : 1. Analisis ekonomi belum

dilakukan, akan dilakukan di penelitian mendatang

2. Informasi spasial sudah ada hanya saja belum ditampilkan, nanti akan dimuat dalam tulisan

2 Sunarto G MKTI

Untuk Bp I Wayan : 1. Apakah sudah ada

referensi Model ANSWER di Indonesia ?

2. Tata guna lahan, yang digunakan hanya prosentase atau sudah spasial ?

Untuk Ibu Dewi R I (Kelembagaan): 3. Dasarnya apa? Apakah

aspek teknis, sosial, tipe masyarakat atau aspek ekonomi?

Bp I Wayan : 1. Referensi di Indonesia

masih sedikit namun di kalangan akademisi sudah banyak dilakukan

Ibu Dewi R I: 3. Kelembagaan sangat luas,

pada kenyataannya masih adanya konflik dan tumpang tindih antara pihak-pihak dan lembaga-lembaga terkait, lebih menyoroti mekanisme kerja/koordinasi masing-masing lembaga terkait. Bagaimana sharingnya agar kegiatan hutan rakyat bisa berjalan baik.

Page 292: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

263

NO NAMA & INSTANSI DISKUSI TANGGAPAN

Untuk Bp Hunggul (Partisipatif): 4. Kontribusi masyarakat itu

apa? Model yang digunakan dialog atau pembelajaran bersama? Kerusakan lahan karena fasilitas memadai, contoh: adanya jalan mungkinkah mengganggu kelembagaan yang ada.

Bp Hunggul : 4. Masyarakat dirangsang

untuk membuat kelompok, kewajibannya harus menanam, ada peraturan, ada sangsi, tidak dikomersilkan.

5. Adanya perbaikan fasilitas tidak memberikan dampak negatif karena dilakukan diluar kawasan dan listrik yang dihasilkan masih sangat kecil (sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekitar). Konsep ini sudah banyak ditiru oleh Pemda setempat.

3 Bp Agung Untuk Bp I Wayan : 1. Terkait dengan baseline,

seharusnya yang dipakai untuk baseline tidak hanya dari 1 (satu) kejadian hujan, karena baseline perlu divalidasi dengan beberapa kejadian hutan dalam beberapa tahun

2. Terkait dengan spasial output dari ANSWER adalah informasi dari sebaran sumber-sumber erosi.

Sudah terjawab di atas

4 Bp Bambang (BPDAS Serayu Opak Progo)

Untuk Bp Pamungkas : 1. Wonosobo ditanami oleh

kentang dan sebagian besar lahan dimiliki oleh masyarakat sehingga teknik perlu diberikan dan diterapkan.

2. Praktisi: disamping konservasi tanah (sipil), agar kedepan juga dilakukan teknik RLKT secara vegetatif dengan tanaman keras. Di Dieng merehabilitasi 5000ha dengan teras dan

Bp Pamungkas : 1. Kerentanan lahan memang

pada lahan milik dengan tanaman semusim. Konservasi vegetatif sudah dilakukan dengan penanaman tanaman jenis Suren di lereng Sindoro karena suren dinilai mempunyai kapasitas adaptasi yang baik pada elevasi yang tinggi. Konservasi vegetatif perlu terus dilakukan dan diteliti yang disesuaikan dengan

Page 293: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

264

NO NAMA & INSTANSI DISKUSI TANGGAPAN

vegetasi (tanaman keras, carica papaya dan teh). Koordinasi dengan BPDAS Opak Progo untuk terus melakukan penelitian disana.

3. Perlu dilakukan analisis ekonomi sangat penting, karena contoh : masyarakat Dieng sangat tergantung dengan tanaman kentang dan dibandingkan dengan gabungan upaya konservasi menggunakan vegetasi

Untuk Ibu Dewi RI : 4. Produksi Hutan Rakyat di

Jawa jauh lebih besar daripada Perhutani, sehingga kelembagaan di tingkat masyarakat sangat diperlukan agar hutan rakyat lestari, manajemen dengan tingkat yang lebih besar lagi perlu diterapkan karena tingkat kelompok tani desa sangat kecil. Manajemen hutan rakyat perlu diperbaiki, bagaimana agar hutan rakyat lestari, konsep hutan rakyat kemitraan (hubungan antara masyarakat dengan industri kayu) sehingga produksi kayu tetap kontinyu, diterapkan tanaman keras, tahunan, semusim.

kombinasi tanaman semusim pilihan masyarakat.

Ibu Dewi R I : 2. Masih adanya konflik dan

tumpang tindih antara pihak-pihak terkait dan lembaga-lembaga terkait, namun semakin sedikit dengan adanya koordinasi.

5 Tyas M B BPK Solo

Untuk Bp I Wayan : 1. Keuntungan model

ANSWER memberikan keuntungan spasial untuk pengguna, perlu ditunjukkan

Sudah terjawab di atas

Page 294: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

265

NO NAMA & INSTANSI DISKUSI TANGGAPAN

keuntungannya 2. Kondisi

mengkhawatirkan, namun dari baseline (jauh kurang dari 10 ton/ha) menunjukkan belum terlalu mengkhawatirkan, jadi mungkin perlu dibandingkan dengan tolerable erosion.

3. Nilai erosi dibawah 10 ton/ha masih belum terlalu mengkhawatirkan, sebaiknya dikaitkan juga dengan kedalaman tanah.

4. Penyajian limpasan perlu dilengkapi data curah hujan.

5. Keuntungan ekonomi masyarakat perlu.

6. Saran : penyajian tabel sudah per seratus, cara penulisan perlu koreksi

Makalah Sesi II :

5. Konservasi Tanah dan Air secara Partisipatif dengan Pendekatan Model Agroforestri Lokal (Pembicara : Ida Rachmawati) Degradasi lahan : meluasnya lahan kritis di NTT 1.313. 897 ha

(dalam kawasan hutan 297.322 ha dan di luar kawasan hutan 1.016.575 ha) menyebabkan menurunnya daya dukung lingkungan.

KTA dalam perbaikan lahan terdegradasi : dengan penanaman rumput pakan ternak (Brachiaria mutica, Setaria spachelata, Panicum maximum dan Euchlaena mexicana) mampu memperbaiki sifat fisik tanah.

Pengembangan agroferestri lokal secara partisipatif mampu berfungsi sebagai model KTA, bila memperhatikan :

Page 295: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

266

o Pemilihan tanaman, kombinasi tanaman yang tepat dan pengaturan pola tanam dan model yang tepat antara tanaman kehutanan, pakan, tanaman pangan.

o Kondisi lingkungan setempat. o Keterlibatan masyarakat lokal secara aktif.

Kegiatan sekolah lapangan adalah proses belajar bersama dalam pengelolaan lahan dan memahami pentingnya aspek konservasi tanah dan air.

6. Pemilihan Jenis-jenis Lokal dalam Famili Dipterocarpaceae yang Relatif Sesuai dengan Lokasi Tambang Batu Bara (Pembicara : Sri Soegiharto) Jenis yang dipilih : Famili Dipterocarpaceae, lokasi di

Samarinda Tanah yang sudah ditambang merubah stuktur dan kualitas Jenis-jenis Famili Dipterocarpaceae yang relatif dapat

bertahan pada lokasi tambang batu bara adalah jenis ekosistem kerangas dan rawa gambut, karena pada lokasi iklimnya meranggas dan banyak genangan, a.l : Shorea balangeran, Cotylelobium burchii dan Dryobalanops lanceolata.

Solusi : untuk meningkatkan persentase hidup Famili Dipterocarpaceae lain diluar ekosistem kerangas dan rawa gambut dicoba dengan menambah perlakuan amandmen soil seperti humic acid, fulvic acid dan limelight.

7. Kajian Ketersediaan Air Permukaan pada Tanaman Kayu Putih (Pembicara : Ugro H M) Ketersediaan air sangat penting karena dijadikan salah satu

indikator dalam pemilihan pemukiman dan perencanaan wilayah.

Penurunan ketersediaan air pada kawasan hutan tanaman kayu putih perlu dianalisis dengan pendekatan Sub DAS, dibuat SPAS model Cipoletti dilengkapi peralatan pemantau aliran air otomatis.

Penutupan lahan mikro DAS kayu putih berkisar antara 30 – 80 % (sedang), sehingga masih terdapat resiko terjadinya erosi tanah yang disebabkan karena pukulan air hujan.

Page 296: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

267

8. Pengelolaan dan Pemanfaatan Kawasan Rehabilitasi Mangrove (Pembicara : Endang Karlina) Kondisi mangrove sangat memprihatinkan, rehabilitasi

mangrove masih sangat rendah Lokasi : 2 (dua) sistem pengelolaan dan pemanfaatan

kawasan rehabilitasi mangrove yaitu di Tahura Sawung, Bali dan kawasan Hutan Produksi Ciasem, Pamanukan, Jawa Barat

Pengelolaan kawasan rehabilitasi hutan mangrove sebaiknya memperhatikan fungsi ekologis kawasan, sebagai fungsi lindung, habitat satwa liar dan sumber plasma nutfah daripada fungsi ekonomi (penerapan pola silvofisheri).

HASIL DISKUSI SESI II :

NO NAMA &

INSTANSI DISKUSI TANGGAPAN

1 Burhanudin (Pusdiklat)

Untuk Ibu Endang K : 1. Rehabilitasi Mangrove

Ciasem (Perhutani), tidak hanya dilakukan oleh Perhutani , tetapi juga dilakukan kelompok tani masyarakat dan mengembangkan koperasi masyarakat, pengembangan produk dari buah mangrove. Apakah dalam penelitian ini menyoroti juga hal yang dilakukan kelompok tani mangrove lestari?

Ibu Endang K : 1. Kelompok tani tersebut

tidak masuk dalam lokasi kajian, mungkin masuk di RPH lain. Terdapat 5 KPH di lokasi kajian.

2 Wuri BPK Ciamis

Untuk Bp Ugro H M : 1. Sampel ukuran 5 m x 5

m, apakah sudah merupakan ukuran yang memadai?

2. Ketersediaan air, tinggi pohon 2 m, yang memberikan ketersediaan air di permukaan apakah tanaman kayu putihnya atau karena pengaruh tanaman bawah? Belum dijelaskan hubungan

Bp Ugro H M : 1. Yang menjadi patokan

adalah tanaman bawah lalu tegakannya. Hasil air yang tersedia yang masuk dalam outlet SPAS adalah volume air dari hutan kayuputih dan tanaman bawahnya.

Page 297: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

268

NO NAMA & INSTANSI DISKUSI TANGGAPAN

antara tanaman kayuputih dengan ketersedian air.

3 Purwanto UNS

Untuk Ibu Ida R (Agroforestry): 1. Masukan: kriteria

agroforestry mampu memberikan nilai ekonomi dan ekologi. Pemilihan model AF harus memperhatikan kondisi lingkungan, yang perlu diperhatikan kriteria kombinasi yang mampu meningkatkan biodiversitas di atas tanah, bertajuk multistrata sehingga bisa efektif untuk menangkap fotosintesis, menangkap intersepsi air hujan, mengeksplorasi akar dan meningkatkan kualitas serasah. Tanaman hutan yang dipilih harus juga memenuhi menghasilkan lignin yang tinggi sehingga tutupan tanah dapat tinggi dana dapat menampung air hujan dan menjaga suhu tanah

Ibu Ida R : 1. Semua masukan akan

dipertimbangkan untuk perbaikan penelitian kedepan.

4 Ela Pusprohut

Untuk Ibu Endang K : 1. Unsur manusia sangat

berpengaruh terhadap keberhasilan rehabilitasi kawasan mangrove, jadi tidak selalu merusak. Perlu dicermati adanya tambak terhadap peningkatan jumlah mangrove. Masyarakat akan cenderung menanam mangrove apabila tambaknya berhasil.

Endang K : 1. Kondisi biofisik bagus bisa

karena pertambakan namun karena unsur manusia yang dominan bisa juga menyebabkan kerusakan. Pengelolaan mangrove perlu dikedepankan fungsi lindungnya daripada fungsi ekonominya. Kedepan agar dilakukan kajian bagaimana pengelolaan dan pemanfaatan hutan mangrove di berbagai fungsi hutan (konservasi, produksi, lindung) sehingga

Page 298: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

269

NO NAMA & INSTANSI DISKUSI TANGGAPAN

Untuk Bp Sri S (Batubara): 2. Kombinasi tanaman

pelindung/pionir apakah berpengaruh terhadap keberhasilan tanaman pokok sendiri?

Untuk Ibu Ida R : 3. Gulma akan menurunkan

hasil panen, tetapi juga memiliki manfaat positif dalam pola agroforestry ini, apakah tidak dilakukan kajian mengenai hal tersebut?

akan dihasilkan berbagai model pengelolaan mangrove pada berbagai fungsi hutan yang berbeda.

Bp Sri S : 2. Penaung dapat menjadi

pesaing namun prediksi persaingan penaung pionir bisa diabaikan, karena pertumbuhannya masih sangat kecil (tidak ada saingan dalam hal akar). Rancangan acak kelompok kurang bisa mewakili populasi sehingga rancangan penelitian dicoba dengan rancangan lain (Corespondence Canonnical Analysis). Naungan multistrata tidak bisa diaplikasikan.

3. Di tambang hanya ada 1 strata, naungan di 1 lokasi berbeda dengan yang lain jadi tidak bisa digeneralkan.

Ibu Ida R : 4. Putri malu digunakan

karena bisa menahan penguapan yang tinggi, dipilih putri malu yang tidak berduri sehingga tidak membahayakan petani itu sendiri. Selain itu pemilihan putri malu disesuaikan dengan jeruk yang ditanam masyarakat.

5 UN Untuk Ibu Ida R : 1. Usul : dalam penerapan

pola Agroforestry agar menata kombinasi tanaman, penggunaan tanaman bertajuk multistrata lebih bagus

Ibu Ida R : 1. Saran ditampung

Page 299: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

270

NO NAMA & INSTANSI DISKUSI TANGGAPAN

Untuk Bp Ugro H M (Kayu putih) : 2. Perbandingan

ketersediaan air kayu putih dibandingkan dengan tanaman lain/control.

Bp Ugro H M : 2. Sulit mencari kawasan

hutan yang murni hanya kayuputih namun banyak tanaman sela yang juga kemungkinan membantu penyerapan air di hutan kayuputih. Hasil air yang tersedia yang masuk di SPAS, memang benar yang masuk dari hutan tanaman kayu putihnya.

PLENO, SELASA, 28 JUNI 2011 Presentasi Komisi I (Pembicara : Ir. Paimin, M.Sc)

1. PU Balai Sabo

Kepada panitia : judul semiloka pengelolaan DAS Menuju Kebutuhan Terkini, tetapi terkininya di bagian mana, belum tampak ?

Saran agar sebaiknya paper-paper dari instansi lain juga ditampung, karena pengelolaan DAS tidak hanya ditangani dari instansi kehutanan saja, tetapi dari instansi lain juga.

2. Bp Sunarno : Hasil penelitian sebelum diklaim sudah berhasil, juga harus diklarifikasi dengan stakeholder yang menjadi obyek, apapun hasil penelitian kita tetapi kalau masih bersifat parsial.

3. Pak Purwanto (UNS) : UU no. 32 th 2009, model kajian lingkungan perlu mengkaji biodiversitas. Tanaman Acacia mangium di bawah tegakan (tanah) tidak ada cacing. Komponen Agroforestry memiliki keragaman fungsional. Tanah yang subur banyak cacingnya, jangan-jangan keragaman di bawah tanah terpengaruh juga. Infiltrasi baik dan run-off baik jika ada cacingnya. Kriteria Pola Agroforestry harus memperhatikan keberadaan biodiversity diatas tanah, keragaman semakin beragam maka kondisi ekosistem semakin stabil, bertajuk multistrata agar mampu melakukan fotosintesis optimal, melakukan intersepsi optimal, perakaran multistrata sehingga efisien dalam siklus hara; serasah bisa menggantikan tutupan tanah di lahan hutan. A. Mangium membuat tidak ada cacing

Page 300: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini

271

sehingga perlu diganti dengan tegakan lain. Tanaman yang menghasilkan serasah berkomposisi tinggi (kandungan lignin dan difenol tinggi).

4. Manokwari : UU Kehutanan No. 41 th 1999, optimalisasi luas hutan yang optimal (tutupan lahan 30 %), penelitian jangan hanya dilakukan di Jawa saja, tetapi agar bisa dilakukan di luar jawa dimana masih terdapat hutan alam.

5. Pak Sri (PUSDALREG II) : rencana memonev kinerja litbang, dilihat dari hasil penelitian karena kriteria dan indikator belum ada, apakah ada masukan dari litbang untuk menilai penelitian di tingkat lapangan seperti apa pendekatan yang bisa dilakukan sehingga bisa diterapkan di lapangan di lingkup instansi kami ? dikarenakan Pusdal punya core untuk memonev litbang.

Tanggapan Bp Paimin : 1. PU Balai Sabo : perlu ditentukan pengguna siapa, untuk apa,

baru kita lakukan penelitian untuk menjawab permasalahan2 keterkinian, ataupun yang akan datang.

2. Bp Sunarno : klarifikasi tidak selalu dalam bentuk tulisan tetapi bisa digali melalui FGD (Focus Group Discussion) yang dilakukan kemarin.

3. Manokwari : penelitian sudah dilakukan di Aek Nauli tahun ini, kalau di Papua atau lokasi lain belum dilakukan menyangkut tupoksi.

4. PUSDALREG II : pedoman sudah ada, tetapi mampukah Pusdal melakukan monev karena kemungkinan akan terjadi GAP karena istilah/bahasa/pengetahuan teknis yang berbeda.

Tanggapan Ibu Pratiwi : 1. Tema semiloka, selalu dikaitkan dengan dirjen BPDASPS, akan

didiskusikan kembali dengan Pak Paimin, untuk membuat penelitian bersama.

Page 301: prosiding semiloka riset pengelolaan das menuju kebutuhan terkini