Top Banner
LOKAKARYA K  AJ I U LANG ARAH K EBIJAKAN N  ASIONAL PENGELOLAAN SUMBER D  AY A AIR  i Daftar Isi SAMBUTAN PEMBUKAAN DIREKTUR PENGAIRAN DAN IRIGASI KEMENTERIAN PPN/BAPPENAS - M. Donny Azdan ................................................................ 1 PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR SECARA TERPADU: IMPLEMENT ASI ARAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR – H. Paskah Suzetta ............................................................................................ 4  KEBIJAKAN NA SIONAL UNT UK PENGENDALIAN BAN JIR - A.R. So ehoed ....... 11  ARAH KEBIJAKA N NASIONAL PEN GELOLAAN A IR - Emil Salim ........................ 38 PERSPEKTIF PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR TERPADU - Roestam Sjarief, M. Amron, Sutardi ................................................................ 43 PERSPEKTIF PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR TERPADU DI INDONESIA Robert J. Kodoatie, Roestam Sjarief................................................................ 59 PENGELOLAAN INFRASTRUKTUR IRIGASI DALAM KERANGKA KETAHANAN PANGAN NASIONAL - Effendi Pasandaran .................................................. 82  AIR, TANI DAN KEHIDUPAN - H.S. Dillon ........................................................... 108 PERSPEKTIF DESENTRALISASI DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR (IRIGASI) DI IND ONESIA - Irfan Ridwan Maksum ..................................... 120
142

Prosiding Lokakarya I

Oct 30, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 1/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

i

Daftar Isi

SAMBUTAN PEMBUKAAN DIREKTUR PENGAIRAN DAN IRIGASI KEMENTERIANPPN/BAPPENAS - M. Donny Azdan ................................................................ 1

PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR SECARA TERPADU: IMPLEMENTASI ARAHKEBIJ AKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR –H. Paskah Suzetta ............................................................................................ 4 

KEBIJ AKAN NASIONAL UNTUK PENGENDALIAN BANJ IR - A.R. Soehoed ....... 11

ARAH KEBIJ AKAN NASIONAL PENGELOLAAN AIR - Emil Salim ........................ 38

PERSPEKTIF PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR TERPADU -Roestam Sjarief, M. Amron, Sutardi ................................................................ 43

PERSPEKTIF PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR TERPADU DI INDONESIARobert J . Kodoatie, Roestam Sjarief................................................................ 59

PENGELOLAAN INFRASTRUKTUR IRIGASI DALAM KERANGKA KETAHANANPANGAN NASIONAL - Effendi Pasandaran .................................................. 82

AIR, TANI DAN KEHIDUPAN - H.S. Dillon ........................................................... 108

PERSPEKTIF DESENTRALISASI DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR(IRIGASI) DI INDONESIA - Irfan Ridwan Maksum ..................................... 120

Page 2: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 2/142

Page 3: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 3/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

M. Donny Azdan1

SAMBUTAN PEMBUKAANDIREKTUR PENGAIRAN DAN IRIGASI

KEMENTERIAN PPN/BAPPENAS

M. Donny Azdan1 

 Assalaamu ’Alaikum Wr. Wb.

Yang saya hormati Bapak Menteri PPN/BAPPENAS atau yang mewakili,Yang saya hormati Ibu dan Bapak para pakar di bidang sumberdaya air,Yang saya hormati para pejabat baik di tingkat pusat maupun di t ingkat daerahatau yang mewakili, dan para Undangan lainnya yang berbahagia

Pertama-tama perkenankan saya menyampaikan terima kasih dan penghargaanyang setinggi-tingginya atas kehadiran Bapak dan Ibu sekalian pada Lokakarya ini,yang sekaligus juga merupakan rangkaian acara dalam rangka memperingati Hari AirDunia ke-XV, yang diselenggarakan oleh Direktorat Pengairan dan Irigasi, Bappenas.

Lokakarya ini bertema ”Kaji Ulang Arah Kebijakan Nasional Pengelolaan SumberDaya Air”, dan berlangsung selama 1 (satu) hari.

Adapun Latar belakang diadakannya Lokakarya ini adalah selain untuk mengkajikembali sejauh mana arah kebijakan Sumber Daya Air yang sekarang sedangberjalan, juga mengkaji apakah sudah mampu menjawab persoalan di bidangpengelolaan sumberdaya air, dengan segala tantangan dan kendala dalampengelolaan Sumber Daya Air di Indonesia.

Seperti kita ketahui bersama bahwa ada banyak tantangan dihadapan kita, antaralain menurunnya ketersediaan air, menurunnya kualitas dan kuantitas sumber dayaair, meningkatnya kebutuhan air baku yang besar, kurangnya pengelolaan DAS yanglebih terpadu dan konseptual, dan kurangnya sosialisasi kepada masyarakat tentangmasalah yang berkaitan dengan banjir.

Berkaitan dengan hal-hal di atas, pemerintah telah menetapkan beberapa kebijakanuntuk mengatasi tantangan tersebut, antara lain : (i) Keputusan Presiden RI No 123

tahun 2001 tentang Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air, (ii) KeputusanMenteri Koordinator Bidang Perekonomian No 14/M.EKON/12/2001 tentang ArahanKebijakan Nasional Sumber Daya Air, (iii) Keputusan Menteri Koordinator BidangPerekonomian No KEP/37/M.EKON/05/2006 tentang Sekretariat Tim KoordinasiPengelolaan Sumber Daya Air, dan (iv) UU Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2004tentang Sumber Daya Air.

Bapak dan Ibu para Undangan sekalian,

1  Direktur Pengairan dan Irigasi, Bappenas 

Page 4: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 4/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

M. Donny Azdan2

Arah kebijakan Nasional Pengelolaan Sumber Daya Air Tahun 2001 secara umumantara lain untuk mencegah konflik antar wilayah, mendorong proses pengelolaanSumber Daya Air yang terpadu, mensinergikan pembangunan antar sektor dan antarwilayah, mengupayakan peningkatan konservasi dan pendayagunaan Sumber DayaAir.

Disamping itu, kebijakan juga diarahkan untuk mengembangkan sistem pembiayaanSumber Daya Air yang mempertimbangkan prinsip cost recovery , danmengembangkan sistem kelembagaan pengelolaan Sumber Daya air.

Sedangkan Undang-Undang no 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air merupakankebijakan yang bersifat umum dan masih memerlukan kebijakan strategis yang dapatsecara spesifik menjawab isu-isu seperti Lingkungan Hidup, gender , dan kemiskinan,yang perlu dirumuskan sebagai arahan kebijakan yang bersifat implementasi.

Dengan mengacu pada kebijakan-kebijakan di atas, besar harapan kami agar kitasemua dapat duduk bersama dan mengkaji ulang sejauh mana konsep-konsep yangkita jalankan selama ini sudah mampu menjawab permasalahan yang kita hadapi dibidang Sumber Daya Air, baik masalah yang sekarang maupun yang akan datang.

Sehubungan dengan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka maksuddan tujuan diselenggarakannya Lokakarya ini adalah untuk melakukan evaluasiterhadap penyelenggaraan pengelolaan Sumber Daya Air sebagai bahan kaji ulangarahan kebijakan nasional pengelolaan sumber daya air, sekaligus menyusun bahanmasukan arahan kebijakan untuk masa yang akan datang dalam pengelolaansumber daya air bagi Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air.

Bapak dan Ibu para Undangan sekalian yang kami hormati ,

Dalam lokakarya ini kami mengundang peserta dari seluruh wilayah Indonesia yangmeliputi kalangan Pemerintah, Wakil Masyarakat dan Para Pakar serta AsosiasiProfesi, yang terdiri dari Bappenas, Departemen Pekerjaan Umum, DepartemenPertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan instansi lainnya yang terkait.

Lokakarya ini merupakan bagian pertama dari rangkaian 3 (tiga) Lokakarya, yangsaling berhubungan dan berkelanjutan, yang sekaligus hasilnya diharapkan akandapat digunakan sebagai masukan dalam penyusunan perumusan RencanaPembangunan Jangka Menengah berikutnya.

Sedangkan Lokakarya Pertama ini adalah bertujuan mengumpulkan input dari paranarasumber kami hari ini, para pakar di bidang “keairan” yang tidak berada dalamtatanan pemerintahan. Para pembicara akan mempresentasikan pandangan menurutkeahlian atau profesionalisme masing-masing Bapak Pembicara, terhadapimplementasi arah kebijakan nasional sumber daya air yang telah berjalan selama ini.

Para Narasumber yang akan hadir pada hari ini adalah

Page 5: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 5/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

M. Donny Azdan3

1. Bapak Prof. Dr. Emil Salim menyampaikan presentasi dengan judulKesinambungan Ketersediaan Sumber Daya Air Dalam Tinjauan LingkunganHidup

2. Bapak Dr. Ir. A.R. Soehoed akan membahas Konsep Kebijakan Nasional untukPengendalian Banjir

3. Bapak H.S. Dillon sebagai pakar di bidang Pertanian, diharapkan akanmenyampaikan pandangan tentang Air, Tani dan Kehidupan

4. Bapak Effendi Pasandaran diharapkan dapat mengkritisi tentang PengelolaanInfrastruktur Irigasi Dalam Kerangka Ketahanan Pangan Nasional

5. Bapak Robert J . Kodoatie beserta Bapak Roestam Syarief bersama-sama akanmenyajikan materi tentang Perspektif Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu diIndonesia

6. Sedangkan Bapak Irfan Ridwan Maksum diharapkan dapat memberikanmasukan tentang Perspektif Desentralisasi dalam Pengelolaan Sumber DayaAir (irigasi) di Indonesia

Besar harapan kami di Direktorat Pengairan dan Irigasi Bappenas, semogaLokakarya ini dapat menyamakan cara berpikir dan cara pandang kita semua dalammenjalankan dan mengimplementasikan Pengelolaan Sumber Daya Air secaraefektif.

Akhir kata saya ucapkan, selamat mengikuti Lokakarya ini, semoga bisa memberiandil yang bermakna bagi pemecahan masalah Pengelolaan Sumber Daya Air di

Indonesia.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb. J akarta, April 2007

M. Donny AzdanDirektur Pengairan dan Irigasi – Bappenas

Page 6: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 6/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

H. Paskah Suzetta4

PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR SECARA TERPADU:

IMPLEMENTASI ARAH KEBIJAKAN NASIONAL

PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR 

H. Paskah Suzetta2 

Saudara-saudara pembicara, pembahas, perwakilan kementerian/ lembaga danpemerintah daerah, para pemerhati sumber daya air, serta hadirin sekalianyang saya hormati

 Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh,

Selamat pagi dan salam sejahtera bagi ki ta semua.

Atas perkenan dan karuniaNya, hari ini kita dapat berkumpul di sini; maka marilahkita panjatkan puji dan syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala seraya memohonpetunjuk semoga dilapangkan hati dan pikiran kita untuk menemukan hidayahNyadan dapat mengikuti lokakarya ini dengan baik.

Saudara-saudara yang saya hormati ,

Air adalah asal muasal dari segala macam bentuk kehidupan di planet bumi ini. Dari

air bermula kehidupan dan karena air peradaban tumbuh dan berkembang; tanpa airperadaban akan surut dan bahkan kehidupan akan musnah karena planet bumi akanmenjadi sebuah bola batu dan pasir raksasa yang luar biasa panas, masif, danmengambang di alam raya menuju kemusnahan.

Air menopang kehidupan manusia, termasuk kehidupan dan kesinambungan rantaipangan mahluk hidup di bumi. Para founding fathers kita secara tegas menuangkandalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa air -- hak dasar setiap manusia -- dikuasaioleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Untuk itupenguasaan negara terhadap air perlu diabdikan untuk mewujudkan kesejahteraanrakyat di segala bidang, baik sosial, ekonomi, lingkungan, budaya, politik, maupunbidang ketahanan nasional, yang sekaligus menciptakan pertumbuhan, keadilansosial dan kemandirian bangsa.

Saudara-saudara peserta lokakarya yang saya hormati,

Dalam kajian global, lembaga internasional seperti International Water Management Institute (IWMI) meramalkan bahwa pada tahun 2025 sepertiga penduduk dunia akanmengalami kelangkaan air yang sangat parah. Di Indonesia, tampaknya kita tidakperlu menunggu terlalu lama untuk menyaksikan terjadinya kelangkaan air tersebut.Hal ini dapat kita amati secara mudah dari makin meluasnya ancaman kekeringan di

2  Keynote Speech Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala BadanPerencanaan Pembangunan Nasional 

Page 7: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 7/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

H. Paskah Suzetta5

berbagai wilayah, penurunan muka air waduk, serta semakin banyaknya rawa, situ,dan embung-embung yang sudah mengering -- bahkan di daerah yang berdekatandengan kota sudah banyak diurug untuk kepentingan permukiman. Selain itu, tingkatpencemaran air yang tinggi, pemakaian air yang tidak efisien, kelembagaan yangmasih lemah, dan peraturan perundang-undangan yang kurang memadai jugamemperparah keadaan ini. Meskipun secara faktual Indonesia termasuk sepuluhbesar negara kaya air, namun krisis air diperkirakan akan terjadi sebagai akibat darikesalahan pengelolaan.

 Telah banyak pandangan dan kajian yang menegaskan bahwa bencana yang terkaitdengan air sebagaimana saya sebutkan tadi, bermula dari parahnya kerusakankondisi daerah tangkapan air di wilayah hulu. Berbagai kerusakan ini berawal darikesalahan kita semua terutama penebangan dan penjarahan hutan yang sangatmassif serta perubahan fungsi lahan yang seharusnya dipertahankan sebagaikawasan lindung atau dataran banjir. Meskipun telah banyak instrumen kebijakanyang telah dibuat oleh pemerintah untuk mengendalikan laju kerusakan tersebut, tapidalam pelaksanaannya tidak semudah seperti membalik telapak tangan. Kita masihperlu usaha keras dan bersungguh-sungguh untuk mewujudkannya.

Saudara-saudara hadirin yang saya hormati,

Masih segar di ingatan kita, betapa bencana banjir masih merendam banyak wilayahdi negeri yang kita cintai ini. Secara kasat mata, kita menyaksikan bahwa banjir telah

melumpuhkan kegiatan sosial ekonomi masyarakat baik di perkotaan maupun diperdesaan, bahkan banyak harapan para petani kita untuk memperoleh hasil panentelah pupus seiring datangnya banjir. Di wilayah kota besar seperti J akarta dansekitarnya, bencana banjir pada awal Februari lalu telah mengakibatkan kerugianlebih dari lima triliun rupiah, dan untuk menangani permasalahan ini diperkirakandana yang dibutuhkan mencapai 16 (enam belas) triliun rupiah. Peristiwa-peristiwatersebut harus menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi kita untuk meningkatkanupaya pengelolaan sumber daya air secara lebih baik.

Saudara-saudara yang saya hormati ,

Sebagai institusi yang bertanggung jawab menyusun dan mengkoordinasikanrencana pembangunan nasional, Kementerian Perencanaan PembangunanNasional/BAPPENAS sangat berkepentingan untuk memperoleh pandangan danmasukan seluas mungkin dari seluruh kalangan untuk memastikan bahwa kita tidaksalah arah dalam pengelolaan sumber daya air. Oleh karena itu, dalam suasanaperingatan Hari Air Dunia (HAD) ke 15, Bappenas mengundang Saudara-saudaradalam lokakarya hari ini. Sejalan dengan tema HAD tahun ini, Mengatasi KelangkaanAir dan Menangani Banjir Secara Terpadu, saya sangat berharap forum lokakarya inidapat kita manfaatkan sebaik-baiknya untuk membangun kesepahaman bagaimanaseharusnya mengelola sumber daya air kita.

Saudara-saudara pembicara dan peserta lokakarya yang saya hormati ,

Page 8: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 8/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

H. Paskah Suzetta6

Sebagai pengantar, perkenankan saya menyampaikan beberapa hal yang sayaanggap penting dan mungkin dapat menjadi masukan serta bahasan dalamlokakarya ini.

Dalam hal kebijakan pengelolaan sumber daya air, sejak tahun 1974 kita telahmemiliki UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan sebagai landasan yuridis darikebijakan umum di bidang air serta menjadi pedoman umum bagi penyelenggaraanpengairan. Hal ini menggambarkan bahwa betapa kita telah punya perhatian besar

dalam pengelolaan air, meskipun pada waktu itu belum banyak negara lain memilikiUU tentang air. Pada era setelah kemerdekaan sampai dengan awal era 90-an,kebijakan nasional tentang pemanfaatan sumber daya air yang lebih nyata dapat kitalihat pada ditetapkannya prioritas pembangunan pada peningkatan produksi panganyang secara langsung membutuhkan dukungan penyediaan air irigasi. Selaindiarahkan untuk menyediakan air irigasi, pengelolaan dan pengembangan sumberdaya air juga diarahkan untuk mengamankan daerah produksi pangan, menunjangpelaksanaan transmigrasi, dan menunjang perkembangan industri.

Sejalan dengan perubahan dan kerusakan lingkungan terutama menghadapiketidakseimbangan antara ketersediaan air dan kebutuhan air, maka munculkesadaran baru untuk mengubah pengelolaan sumber daya air agar lebih baik.Kebijakan ini menekankan agar fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomidipertimbangkan secara selaras. Di samping itu, dengan berkembangnya semangatdemokratisasi, desentralisasi, dan keterbukaan dalam tatanan kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara maka masyarakat perlu diberi perandalam pengelolaan sumber daya air. Oleh karena itu perubahan kebijakan yangdiarahkan untuk mewujudkan sinergi dan keterpaduan yang harmonis antarwilayah,antarsektor, dan antargenerasi menjadi suatu keniscayaan. Dorongan inilah yangmenjadikan kita bahu-membahu, terutama sejak tahun 1999; --baik dari unsurpemerintah maupun non-pemerintah-- melakukan reformasi kebijakan sektorpengairan (RKSP). Langkah pembaruan tersebut sebenarnya telah kita mulai padaawal 90-an melalui komitmen kita untuk menerapkan Integrated Water ResourcesManagement (IWRM) yang menjadi agenda dunia. Dua tahun setelah reformasipengairan 1999 digulirkan, kita telah memiliki Arahan Kebijakan Nasional SumberDaya Air, bahkan akhirnya pada tahun 2004 kita memiliki Undang-Undang Nomor 7

 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Pencapaian ini merupakan buah darireformasi yang kita lakukan bersama dan menjadi bukti nyata bahwa kesepahamandan kerjasama yang baik antar pemangku kepentingan (stakeholder ) akan

menghasilkan kebijakan yang lebih baik pula.

Saudara-saudara hadirin yang saya hormati,

Undang-Undang Sumber Daya Air merupakan satu langkah awal dari proses panjangpenentuan arah kebijakan pengelolaan sumber daya air di Indonesia. Keberatan-keberatan yang pernah diajukan oleh sebagian masyarakat kepada MahkamahKonstitusi atas beberapa pengaturan yang diduga dapat mendorong terjadinyaketidak-adilan dalam pengelolaan sumber daya air, perlu mendapat perhatian danmenjadi catatan kita bersama. Kebijakan yang dirumuskan ke depan harus mampu

Page 9: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 9/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

H. Paskah Suzetta7

membuktikan bahwa apa yang mereka khawatirkan tidaklah terjadi. Hal ini dapatterwujud apabila kita tetap berpijak bahwa pengelolaan sumber daya air yang kitalakukan benar-benar untuk mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Sebuah kebijakan tidak akan berarti apa-apa tanpa upaya untuk mewujudkannyadalam implementasinya. Oleh karena itu, meskipun Undang-Undang Sumber DayaAir telah ada, tidak berarti bahwa semuanya akan bergerak dengan sendirinyamenuju ke arah yang telah ditentukan. Undang-undang telah memberi amanat yang

tegas bahwa sumber daya air dikelola secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasanlingkungan hidup dengan tujuan mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yangberkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan demikian makasemestinya semua upaya dalam rangka pengelolaan sumber daya air harusdiarahkan tidak semata-mata pada aspek pemanfaatan tetapi mencakup semuabidang yang meliputi konservasi, pendayagunaan, dan pengendalian daya rusak air,serta meliputi satu sistem wilayah pengelolaan secara utuh yang mencakup semuaproses perencanaan, pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi. Oleh karena itumaka semua peraturan turunan yang sedang disiapkan harus dipastikan menyentuhsemua bidang tersebut. Sambil menunggu ditetapkannya peraturan-peraturantersebut, selayaknyalah kalau semua implementasi di lapangan harus disesuaikansehingga sejalan dengan amanat undang-undang tersebut.

Upaya-upaya sebagaimana saya uraikan tadi, harus dilaksanakan secara terencana,sistematis dan berkesinambungan untuk memastikan bahwa implementasi di

lapangan telah melibatkan semua pemilik kepentingan antarsektor dan antarwilayahadministrasi, memperhatikan keseimbangan ekosistem dan daya dukung lingkungan,serta tidak hanya ditujukan untuk kepentingan generasi sekarang tetapi jugatermasuk untuk kepentingan generasi yang akan datang.

Saudara-saudara yang saya hormati .

Dalam hal dukungan infrastruktur dalam pengelolaan sumber daya air, saya inginmengingatkan kembali bahwa sejak terjadinya krisis ekonomi pada genap satudasawarsa yang lalu, kualitas pelayanan dan penyediaan pada hampir semua saranadan prasarana dasar terus mengalami penurunan baik kuantitas maupun kualitasnya.Kemampuan keuangan negara yang terbatas, dan terfokusnya perhatian pemerintahkepada restrukturisasi sektor keuangan dan perbankan telah mengurangi

kemampuan untuk membangun, merehabilitasi, dan memelihara infrastrukturtermasuk juga infrastruktur sumber daya air. Menurunnya kinerja layanan jaringanirigasi di beberapa daerah lumbung padi telah menurunkan indeks pertanaman (IP)dan produktivitas sawah, sementara menurunnya kinerja bangunan-bangunanpengendali banjir telah meningkatkan luas genangan banjir di beberapa daerah.

Di sisi lain, dengan makin meningkatnya kebutuhan air terutama pada musimkemarau dan pengembangan wilayah maka kebutuhan akan infrastruktur penampungair yang diharapkan mampu menyediakan air terutama untuk musim kemarau daninfrastruktur pengendali daya rusak air sangat dirasakan pentingnya. Namun

Page 10: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 10/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

H. Paskah Suzetta8

demikian, degradasi lingkungan di wilayah hulu mengharuskan kitamempertimbangkan kembali pendekatan struktural yang mengedepankanpenyediaan infrastruktur fisik; untuk kemudian mensinergikannya dengan upaya-upaya penyelesaian masalah lingkungan tersebut.

Dalam keterbatasan pendanaan pemerintah, maka upaya-paya untuk memastikanbahwa tidak terjadi penurunan tingkat layanan infrastruktur harus tetap dilaksanakanmelalui peningkatan kualitas operasi dan pemeliharaan sekaligus untuk menghindari

rehabilitasi yang membutuhkan dana yang tidak sedikit. Upaya ini terus dilakukansejalan dengan upaya pembangunan infrastruktur sumber daya air yang benar-benardibutuhkan secara selektif dalam rangka meningkatkan nilai manfaat air bagikesejahteraan seluruh rakyat. Sebagai wujud komitmen tersebut, pemerintahmenetapkan percepatan pembangunan infrastruktur sebagai salah satu prioritasutama dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2008, yang dilaksanakanseiring dengan upaya peningkatan pengelolaan energi.

Saudara-saudara yang saya hormati ,

Demikian tadi secara umum, telah saya sampaikan beberapa permasalahan pokoktentang pengelolaan sumber daya air. Selanjutnya saya harapkan hasil lokakarya inidapat memberikan kontribusi pemikiran yang komprehensif dan inovatif bagipenetapan arah kebijakan di masa mendatang. Sengaja penyaji makalah/narasumber dan pembahasnya kami undang dari para ahli berpengalaman dari berbagai

unsur untuk mempertajam arah kebijakan yang akan dirumuskan. Akhirnya, sayaberterima kasih kepada para pembicara dan seluruh peserta yang telah bersediahadir untuk memberikan gagasan dan pemikirannya, sehingga dapat meningkatkanpemahaman dan kesepahaman kita bersama atas arah kebijakan pengelolaansumber daya air di Indonesia.

Selamat melaksanakan lokakarya, dan dengan mengucap Bismillahirrohmanirrohim,Lokakarya Kaji Ulang Arah Kebijakan Nasional Pengelolaan Sumber Daya Air sayanyatakan secara resmi dibuka. Selamat berdiskusi dan terima kasih atas perhatianSaudara-Saudara.

Wassalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.

 J akarta, 4 April 2007Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional,

H. Paskah Suzetta 

Page 11: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 11/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

A.R. Soehoed9

KEBIJAKAN NASIONAL UNTUK PENGENDALIANBANJIR

 A.R. Soehoed  

Secara garis besar kepulauan Indonesia memiliki dua macam iklim yang cukupberbeda satu sama lainnya (lihat Gambar 1.1).

Gambar 1.1. Zone Klimatologi Indonesia

Di sebelah barat garis perbedaan iklim – garis Wallen yang melintas sepanjang SelatMakassar – cuaca lebih dipengaruhi oleh pola monsoon dengan musim hujan danmusim kemarau, sedangkan di sebelah timur garis tersebut cuaca condong lebih

kering. Lebih ke timur lagi di wilayah Pulau Papua iklim lebih basah kembali.Perbedaan-perbedaan didalam iklim ini sudah tentu akan berdampak pada polacurah hujan dan tingkat bahaya banjir.

Selain dari pada karakteristik tersebut di atas, maka ada faktor lain lagi yangberdampak pada tingkat curah hujan, yakni yang disebut Southern Pacific Climatological Oscillation yang terjelma berupa musim yang sangat kering, disebutmusim El Ni ňo, dan musim yang sangat basah yang disebut musim La Ni ňa. Gejala-gejala ini juga disebut ENSO.

Page 12: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 12/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

A.R. Soehoed10

Selain dari itu topografi dan morfologi dapat mengakibatkan curah hujan lebih besaratau lebih kecil. Pulau J awa bagian barat misalnya dikenal sebagai wilayah yanglebih basah daripada Pulau J awa bagian timur. Ada wilayah-wilayah yang banyakmenderita oleh banjir, namun ada pula wilayah-wilayah yang justru kekurangan air.

Sungguhpun demikian wilayah yang kerap dilanda banjir tetap dapat mengalamimasa kekeringan juga. Melihat akan hal-hal yang disebut di atas mungkin dari padamenyebut “Pengendalian Banjir”, lebih tepat agaknya digunakan “Pengelolaan Tata

Air” atau “Kebijakan Konservasi Air”.

Untuk meninjau masalah “Pengendalian Banjir” dan teknologi dan sistem-sistem yangtersedia guna menanganinya, maka tata air wilayah J abodetabek dengan ibukota

 J akarta mencerminkan pola banjir yang banyak terdapat di negara kita pada dewasasekarang. Kemudian untuk memahami bagaimana banjir itu terjadi, kiranya perludipahami lebih dahulu bagaimana terjadinya dataran aluvial yang luas yang sekaranglazim disebut wilayah Jabodetabek dimana kota Jakarta berlokasi.

Kepulauan Nusantara berada tepat pada wilayah berbenturannya tiga lempengankerak bumi (lihat Gambar 1.2) yakni lempengan Indo-Australia di selatan, lempenganEuro-Asia di utara dan lempengan Pasifik yang masing-masing bergerak terus, tekanmenekan dan antara lain membangkitkan lipatan kulit bumi yang tertebar sebagaideretan pegunungan dari Kepulauan Andaman di ujung Barat melintasi PulauSumatera, Pulau J awa hingga Kepulauan Nusa Tenggara di Timur untuk kemudian

berputar ke utara di Laut Banda. Barisan pegunungan ini merupakan perbatasanselatan dari wilayah Semenanjung Asia Tenggara, kerap disebut Sunda Shelf , yang

mula-mula merupakan semenanjung yang luas di tenggara Benua Asia.

Masa es kedua menenggelamkan bagian-bagian yang rendah darisemenanjung itu, sehingga pecahlah semenanjung tersebut menjadikepulauan Indonesia. Bagi bagian barat Pulau J awa, khususnya bagiwilayah J abotabek, maka pegunungan yang dominan adalah deretanpegunungan Gede-Pangrango dan Salak.

Page 13: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 13/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

A.R. Soehoed11

Gambar 1.2. Lempengan Kerak Bumi di Indonesia

Gambar 1.3. Gerakan Lempeng Tektonik 

Hujan yang turun di wilayah pegunungan tersebut mengalir sambil menggeruslereng-lereng pegunungan dan menuju ke Utara ke pantai Laut J awa melaluiberbagai alur. Bahan erosi mengendap di kaki-kaki pegunungan (Gambar 1.3) sambilmembentuk wilayah perbukitan yang berangsur bertambah luas dan membentukdataran aluvial yang landai ke pantai Laut J awa. Alur-alur ini melintasi jurang-jurang

Page 14: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 14/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

A.R. Soehoed12

sempit di antara perbukitan, berangsur menjadi sungai-sungai, yang mula-mulaberarus deras, namun kemudian di tanah datar berpecah (braiding ), akhirnyaberkelok-kelok (meandering ) sebelum sampai ke laut. Di muara kandungan bahanerosi diendapkan oleh sungai di wilayah laut dangkal sepanjang pantai, sehinggaberangsur mewujudkan dataran baru.

Didalam tiga ratus tahun belakangan ini garis pantai Laut J awa bergeser dari Selatanke Utara sejauh rata-rata 6-9 meter per tahun, dengan perkataan lain pantai Laut

 J awa dahulu kala adalah jauh lebih ke Selatan. Bahan erosi yang dibawa olehsungai-sungai mengendap di alur sungai di bagian datar dan pada waktu banjirmembentuk tebing-tebing sepanjang alurnya (lihat Gambar 1.4). Seperti telah disebutdi atas bahan erosi dicurahkan juga di muara hingga menjadikan lautan dangkal disepanjang pantai. Sementara itu angin monsoon meniup secara bergilir dari lautandan dari daratan. Air laut yang ditiup oleh angin dari laut ke darat, merambat pantaisambil membawa pasir dari dasar laut yang mengendap di daratan sewaktu air lautsurut. Gejala ini yang membentuk tebing-tebing pasir berupa barisan-barisan disepanjang pantai (beach ridges). Di musim banjir arus sungai yang membawa bahanerosi adalah lebih kuat daripada arus gelombang, maka bahan erosi akan tercurah dilaut. Di musim kemarau arus gelombang akan lebih kuat dan adakalanya mengikispantai.

 Tubrukan antara dua arus hidrodinamis ini (lihat Gambar 1.5) membuat adakalanyapantai Laut J awa melebar (accretion) adakalanya terkikis (abrasion). Bawaan bahan

erosi dari masing-masing sungai berbeda-beda dengan arus dan besarnya sungai.Bawaan bahan erosi dari Sungai Cisadane dan dari Sungai Citarum jauh lebih besardaripada bawaan erosi dari sungai-sungai yang lebih kecil yang mengalir di antaradua sungai besar itu.

Page 15: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 15/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

A.R. Soehoed13

Gambar 1.4. Lereng puing radial berbentuk kipas dari pegunungan Gede –Pangrango – Salak. Delta Citarum dan Cisadane membentuk Teluk J akarta

Gambar 1.5. Gambaran akresi dan abrasi di Teluk J akartadari 1873 sampai 1938 menurut Verstappen

Maka endapan di muara dari pada dua sungai besar tersebut adalah jauh lebihbesar, accretion pun lebih besar dan berubah menjadi delta formation, akhirnyamenuju ke pembentukan dari pada Teluk J akarta. Gejala-gejala yang diutarakan diatas menghasilkan morfologi bagi wilayah J abodetabek yang khas, suatu daratanaluvial yang luas.

Page 16: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 16/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

A.R. Soehoed14

Pada gambar potongan (Gambar 1.6) dapat dilihat suatu corak khas topografi yangbanyak terdapat di Indonesia, yakni wujud pegunungan yang curam yang beralih ketanah datar, tanpa suatu wilayah peralihan yang lebar. Bila ada wilayah perbukitanpada kaki-kaki gunung, maka lereng-lereng perbukitan pun cepat beralih ke tanahdatar dataran aluvial yang telah disebut di atas. Wujud khas ini terdapat terutama disisi Utara Pulau J awa, sisi Timur Pulau Sumatera, sisi Selatan dan Timur PulauKalimantan dan sisi Selatan dan Utara Pulau Irian. Pada sisi Selatan Pulau Jawa dansisi Barat Pulau Sumatera pembentukan lembah aluvial tidak mudah oleh karena

kaki-kaki pegunungan tinggi berada dekat pada laut dalam. 

Gambar 1.6. Gambar Potongan Topografi Tipikal

 A. Permasalahan Tata Air Jakarta

Daerah perbukitan di selatan lembah aluvial J abodetabek dilintasi sungai-sungaidengan tebing-tebing yang umumnya sempit dan dalam yang tidak memungkinkanpembangunan bendungan-bendungan dengan cukup efektif guna menampung arushujan yang dengan cepat mengalir pada lereng-lereng gunung. Satu-satunya carabagi pengendalian banjir adalah dengan cara meredam arus air hujan itu denganhadirnya hutan.

 J ustru hutan ini yang didalam setengah abad sesudah pecah Perang Dunia ke-2telah susut dengan sangat cepat, mula-mula sebagai akibat suasana perang,

Page 17: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 17/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

A.R. Soehoed15

kemudian guna menutupi kebutuhan kayu untuk pembangunan pasca perang dankebutuhan akan lahan pertanian, akhirnya permukiman villa sebagai trend sosialbaru. Hutan tidak akan mengurangkan curah hujan, melainkan meredam pengaliranarus hujan. Dengan teredamnya arus hujan maka kedahsyatan banjir berkurang dandampak banjir di wilayah hilir akan berkurang.

Namun biarpun reboisasi dapat diusahakan dengan lancar hasilnya baru akan dapatdirasakan sesudah waktu tahunan. Sebagai contoh akan berhasilnya usaha reboisasi

adalah program reboisasi nasional yang dicetuskan oleh Franklin D.  Roosevelt  dimasa depresi dunia yang amat dahsyat pada tahun 1930-an (malaise) sebagaibagian dari pada New Deal -nya yang antara lain mencakup rencana tata airTennessee Valley , yakni pengendalian banjir sungai Tennessee dengan anak-anaksungai yang kesohor dengan banjir-banjir dahsyatnya. Rencana jangka panjang inidapat disebut cikal bakal bangkitnya Amerika Serikat sebagai negara adidaya.Bagian dari rencana itu adalah reboisasi untuk mana banyak dikerahkan organisasi-organisasi kepemudaan.

Pengembangan lembah Tennessee, suatu rencana jangka panjang yang didukungoleh undang-undang yang kokoh telah membuktikan, bahwa pengendalian air untukpeningkatan produksi pangan dapat mendorong perkembangan di berbagai sectorlain, termasuk perindustrian. Pola TVA ini telah merangsang berbagai negara diAmerika Selatan, Eropa, Asia dan Australia didalam berbagai wujud dan ukuran,yang terakhir di RRC dengan Three Gorges development -nya.

Kembali ke daerah perbukitan, peredaman dapat dilakukan juga di sebelah hilir.Cara-cara struktural dan non struktural yang tersedia dapat dibagi dalam duagolongan sistem utama yakni diversion dan detention. Dengan detention, maka airbanjir ditahan dan ditampung. Sistem detention merupakan structural method  yanglebih mengandalkan teknik pengairan. Non structural method  lebih mengandalkanpengertian masyarakat dan sosialisasi serta peran serta langsung.

Page 18: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 18/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

A.R. Soehoed16

Gambar 1.7. Retarding Zone di DKI J akarta

 Terusan Banjir Barat (Gambar 1.8) yang dibangun oleh van Breen pada tahun 1920-an dan Terusan Banjir Timur yang sedang dalam pelaksanaan adalah penjelmaan-penjelmaan dari pada diversion systems.

Page 19: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 19/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

A.R. Soehoed17

Gambar 1.8. Banjir Kanal Barat dan Perkembangannya

 Terusan Banjir Barat menampung banjir Kali Ciliwung, Kali Cideng, Kali Krukut, KaliGrogol dan menurut rencana juga Kali Pesanggrahan (lihat Gambar 1.9). Namunoleh karena kesulitan pembebasan tanah, maka Terusan Banjir Barat diputus di

Page 20: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 20/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

A.R. Soehoed18

 Tanah Abang dan disambung ke Terusan Grogol yang telah dibangun pada tahun1872. Terusan ini kemudian mencurahkan airnya ke bagian hilir Kali Angke.

 Terusan Banjir Timur direncanakan menampung Kali Cipinang, Kali Cakung danbeberapa sungai lebih ke timur untuk kemudian dicurahkan ke Laut J awa di daerahMarunda.

 J epang pernah mengusulkan suatu terowongan rangkap sepanjang 900 meter dibawah kota Bogor untuk menampung arus Kali Ciliwung di Katulampa untukdicurahkan ke Kali Cisadane.

Van Blommestein mengusulkan suatu terusan tranche pada ketinggian +100.00meter atau ketinggian +75.00 meter dari Kali Cisadane ke Timur sampai ke WadukPangkalan di sebelah hilir Waduk J atiluhur. Waduk ini kelak juga dapat menyediakanair bagi kota Jakarta.

Suatu cara retensi yang pernah diusulkan oleh pihak Perancis pada tahun 1980adalah membangun empat bendungan (Gambar 1.10) dengan waduk masing-masingdi Kali Sunter, Kali Ciliwung, Kali Pesanggrahan dan Kali Angke yang dapatmenampung sebagian banjir di sungai-sungai tersebut untuk kemudian berangsurdapat dilepaskan kembali apabila banjir mulai mereda.

Masih ada lagi prospek waduk Halim sebagai peredaman banjir khususnya bagi

banjir di Kali Cipinang yang dimaksud sebagai peredam banjir di masa pembangunan Terusan Banjir Timur.

Rencana-rencana tersebut di atas sebagian besar masih merupakan rencana. Disamping rencana tersebut di atas masih ada cara-cara peredaman (retention) yanglebih banyak membuka kesempatan akan peran serta masyarakat. 

Page 21: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 21/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

A.R. Soehoed19

Gambar 1.9. Sungai-sungai Utama di Wilayah J akarta dan Daerah Aliran Sungainya

Page 22: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 22/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

A.R. Soehoed20

Gambar 1.10. Bendung di area J akarta 

Bendung di area J akarta untuk :

1. Kali Ciliwung di wilayah Depok2. Kali Angke di dekat Pondok Benda3. Kali Pesangggrahan dekat Cinere

4.  Kali Sunter dekat Pondok Gede 

Cara-cara tersebut adalah pemeliharaan situ-situ terracering  dari lahan pertanianmengikuti garis-garis ketinggian (tranche). Sangat penting dalam hal ini adalah

peranan bendungan rendah di parit-parit yang tujuannya membatasi hanyutnyabahan tanah erosi. Pihak J epang menyebutnya sabo-dam. 

Persawahan basah pada dasarnya memiliki retention capacity pula.

Semua sistem-sistem di atas adalah bertujuan guna meredam serangan banjir yangdisebut banjir kiriman dari wilayah selatan J akarta. Sistem redaman yang efektif akanbanyak membantu kota J akarta didalam mengendalikan banjir.

Page 23: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 23/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

A.R. Soehoed21

Secara grafis kedahsyatan banjir dapat digambarkan dalan bentuk hydrograph (lihatGambar 1.11). Dengan lebih rendahnya puncak hydrograph maka berkurang puladahsyatnya banjir. Biarpun banjir yang terjadi akan lebih lama berlangsung namunpuncaknya tidak begitu tinggi,sehingga sarana pembuangan airhujan masih dapat menampung banjirdemikian. Maka bagi drainase kotaadanya retention capacity  didalam

alur-alur drainase sangat penting.

Di kota J akarta perkembanganretention capacity  pernah ditetapkanuntuk daerah-daerah tertentu denganmembatasi luas ………………bangunan hanya pada 5% dari luaslahan. Daerah-daerah tersebut adalahantara lain daerah Tebet, MentengPulo, Setiabudi dan Kemang.

Retention capacity  umumnya dapatdibangun juga melalui pembangunanhutan-hutan atau taman kota,lapangan olah raga umum di

sepanjang alur-alur pembuangan air.Pengelolaan air hujan di perkotaanmerupakan teknologi tersendiri. Banyak faktor turut bicara, seperti masalah tata gunalahan, tata kota, perencanaan jalan, pengelolaan limbah.

Bagi suatu kota besar seperti J akarta, tata air bukan hanya menyangkutpengendalian banjir, melainkan juga mengusahakan tersedianya air di musimkemarau, terutama untuk pembersihan saluran-saluran kota. Tanpa pembersihansaluran-saluran ini di musim kemarau, maka saluran-saluran akan tersumbat yangpada gilirannya akan meningkatkan dampak banjir pada musim hujan berikutnya.

RETENTION BASIN1. Berupa cekungan buatan – situ –

waduk yang dapat dimanfaatkan

untuk taman/hutan kota lapanganolah raga, public golf course,lahan pertanian

2. Berupa wilayah persentasi tapakbangun rendah – di J akartamaksimum persentasi tapakbangunan 5%

3. Daerah Tebet untuk SungaiCiliwung

4. Daerah Menteng Pulo untukSungai Cideng

5. Daerah Setiabudi untuk SungaiCideng Atas

6. Daerah Kemang untuk SungaiKrukut

Page 24: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 24/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

A.R. Soehoed22

Gambar 1.11. Hydrograph

Gambar bagian atas memperlihatkan suatu alur pembuangan air yang datang dariwilayah luar kota (rural area) yang merupakan daerah aliran alamiah dan memasukiwilayah perkotaan di titik A. Hidrografnya berbentuk diagram (1). Tanpa gangguanapa – apa maka pada titik B akan diperoleh hidrograf(2). Bila alur di kota cukup diberibantaran, maka hidrograf pada titik B berubah ke bentuk (3)

Drainage network J akarta sangat luas (lihat Gambar 1.12). Pengelolaan sistem iniadalah tanggung jawab dua instansi yakni dari Pemerintah Pusat bagi makro sistem(lihat Gambar 1.13) dan Pemerintah Daerah bagi mikro sistem (lihat Gambar 1.14).Mikro sistem keadaannya adalah jauh lebih rumit daripada keadaan makro sistem.

Page 25: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 25/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

A.R. Soehoed23

Gambar 1.12. Drainage Network J akarta

Sewaktu merencanakan Terusan banjir Barat, van Breen merencanakan pula mikro

sistem bagi daerah yang pada waktu itu didalam pembangunan, yakni daerahMenteng – Gondangdia dengan alur pasokan air dari Terusan Banjir Barat melaluiSaluran J alan Surabaya dan alur pembuangan air melalui Saluran Kali Gresik.

Bagi kota-kota besar limbah padat adalah masalah tersendiri. Limbah padat sebagianterbesar tersusun atas limbah makanan. Oleh sebab itu, kota Singapore melarangkeras berjualan makanan sepanjang jalan (foodhawkers).

Page 26: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 26/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

A.R. Soehoed24

Gambar 1.13. Makro drainase Jakarta

Page 27: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 27/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

A.R. Soehoed25

Gambar 1.14. Mikro drainase Jakarta

Untuk menampung mereka disediakan apa yang disebut hawker  centres dengan atautanpa atap akan tetapi senantiasa dengan tempat cuci piring dan bak-bakpenampung limbah. Statistik membuktikan bahwa sistem ini dapat mengurangitingkat pengotoran saluran-saluran pembuangan air dengan cukup signifikan. Pola inisangat penting didalam lingkungan blok-blok perkantoran, terutama yang highrise.Pada umumnya untuk tenaga kerja menengah keatas umumnya tersedia kantin ataucafetaria, namun tenaga kerja menengah ke bawah harus mencari makan dilingkungan kantor. Foodhawker centres agaknya merupakan suatu keharusan bagikompleks-kompleks perkantoran.

Masalah lain yang menyangkut tata air khas J akarta adalah masalah muara sungai-

sungai yang bermuara di Teluk J akarta. Oleh karena landainya daerah pantaisepanjang Teluk J akarta, maka pencurahan air dari sungai ke laut kerap tidak lancar.Sebaliknya pada saat pasang, air laut cenderung merambat ke daratan, pada saatpasang tinggi. Arus banjir dan arus pasang bertubrukan dan terjadilah efek yangdisebut backwatering . Air di alur-alur muara meningkat dan meluap di bagian hilirsehingga melahirkan daerah-daerah genangan berupa rawa-rawa dan payau.

Van Breen pernah meninjau kemungkinan menguruk rawa-rawa di sampingmengeruk muara-muara sungai, namun ternyata biaya yang diperlukan terlalu besar.

Page 28: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 28/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

A.R. Soehoed26

Maka diputuskan waktu itu, untuk membiarkan saja rawa-rawa yang pada prinsipnyaakan berperan sebagai waduk retensi, asalkan wilayah-wilayah tersebut tidakdipergunakan untuk penghunian.

Pada dasawarsa-dasawarsa berikutnya ternyata syarat ini tidak terpenuhi lagisehingga menimbulkan backwatering dan mengakibatkan banjir manjadi lebih parah.Keadaan ini dialami oleh banyak tempat lain dan penyelesaian masalah ditemuididalam reklamasi wilayah laut dangkal (reclamation of coastal water ) sebagaimana

antara lain telah dilakukan di Amerika, J epang, yang paling dekat di Singapore.

Banyak terdapat kesalahpahaman, bahwa reklamasi laut dangkal akan meningkatkanbanjir. Reklamasi seperti yang dilakukan antara lain di Boston Bay, Tokyo Bay,Hiroshima dan di Singapore justru mempertahankan muara-muara sungai danmerawatnya. Contoh di Singapore yang dengan proyek Marina City (Gambar 1.15)dapat mengatasi banjir yang pada tahun 1960-1970-an kerap dialami di Singaporedari Singapore River dan Kalang River. Dengan menggabung muara dari dua sungaiini dalam suatu basin, maka terwujud suatu retention capacity  yang dapatmenampung banjir dari kedua sungai itu terutama di masa pasang tinggi. Dengandemikian backwatering dan overflow dari air banjir di sepanjang dua sungai itu dapatterhindar. Seluruh proyek dimodali oleh waterfront development di Marina Bay yangmerupakan bagian dari urban redevelopment program dari kota Singapore. 

Page 29: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 29/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

A.R. Soehoed27

Gambar 1.15. Marina City di Singapura

Proyek Pantura yang dicetuskan pada tahun 1995 pun mempunyai tujuan untukmembantu membatasi backwatering di muara sungai-sungai yang bermuara di Teluk

 J akarta sehingga melancarkan arus air di alur tengah (middle reaches) dari sungai-sungai dan alur-alur air yang melintasi kota J akarta. Reklamasi Pantura direncanakanberupa suatu deretan pulau-pulau lepas dari garis pantai yang ada dan terpisah satu

Page 30: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 30/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

A.R. Soehoed28

sama lain oleh perpanjangan alur muara sungai-sungai (lihat Gambar 1.16). Denganpola reklamasi ini terwujud suatu deretan retention basins yang dapat menampungbackwatering pada muara masing-masing sungai dan alur terusan. Bentuk, ukurandan kedalaman dapat dihitung untuk masing-masing muara tersendiri.

Kesemua ini dapat dibiayai oleh waterfront development di daerah-daerah reklamasi,sedangkan seperti di Singapore proyek pengembangan dapat menjadi sumber danabagi rehabilitasi dari wilayah pantai yang ada sekarang. 

Gambar 1.16. Konsep Reklamasi Multiguna

Namun bagi proyek Pantura ada keuntungan tambahan. Seperti telah disebut di ataspulau-pulau reklamasi dibuat lepas dari pada garis pantai sekarang. Maka di antarabaris pulau-pulau reklamasi akan terdapat jalur-jalur air yang menyambung alursungai yang satu dengan yang lain (transversal ). Mungkin tidak banyak yangmengetahui, bahwa di kota J akarta jarang sekali akan terdapat hujan di seluruh

wilayah kota sekaligus. Maka kerap kali terjadi hujan lokal yang cukup lebat,sehingga terjadi banjir pada satu atau dua alur sungai. Dengan adanya transversal  tersebut di atas, maka banjir pada satu daerah aliran dapat dialihkan ke daerah aliransungai lain. Transversal  termaksud akan membantu juga didalam sirkulasi air diwilayah pantai sekarang di samping mewujudkan sarana transportasi air. Di luaraspek hidrologi ini, tentu reklamasi Pantura masih banyak memberi keuntungan darisegi tata kota.

B. Peranan Air dalam Produks i Pangan

Page 31: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 31/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

A.R. Soehoed29

Hingga sekarang baru dibahas masalah air didalam dampaknya berupa banjirterhadap kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat kota. Telah dibahas pulabeberapa cara menghadapi dampak banjir dengan mengembangkan kapasitasretensi baik secara langsung seperti waduk, kolam, taman dan hutan kota, melaluipengaturan tata bangunan, cara mengelola wilayah pantai dengan reklamasi lautdangkal, juga pengaturan pasokan air bagi pembersihan kota, khususnya di musimkemarau. Belum dibahas masalah air dalam kaitannya dengan kebutuhan pengairanterutama bagi produksi pangan.

Sebagai negara di khatulistiwa kepulauan Indonesia memiliki iklim yang ditandai olehmusim hujan dan kemarau. Namun telah dikemukakan pada awal presentasi ini,bahwa curah hujan tidak merata. Ada wilayah yang basah atau kurang basah,bahkan ada wilayah-wilayah yang lebih tepat dapat disebut kering. Di Pulau J awapun bagian barat lebih basah daripada bagian timur. Antara lain faktor ENSO,membuat, bahwa saat hujan di satu wilayah lebih lambat atau lebih cepat mulainyadaripada wilayah lain. Adakalanya suatu daerah aliran sungai (DAS) mengalamibanjir, sedangkan DAS yang bersebelahan tidak. Perilaku iklim demikianmengakibatkan produksi pangan di Pulau J awa tidak dapat merata, bahkan adawilayah-wilayah yang seluruhnya bergantung pada musim hujan (sawah tadah hujan)ada yang sebagian waktu mendapat air pengairan, sebagian bergantung pada curahhujan.

Andaikata seluruh air hujan di Pulau J awa dapat dikumpul didalam waduk-waduk

besar buatan, maka air itu dapat dibagi rata pada persawahan dan dapat dicapai polatanam dua kali pada tiap tahun diseling dengan satu kali palawija, bahkan mungkindapat ditingkatkan hingga tiga kali tanaman dengan varietas padi yang cocok.Peningkatan produksi pangan ini sangat penting melihat sangat pesatnyapeningkatan jumlah penduduk terutama di Pulau J awa, sejak awal tahun 1940-an. 

Page 32: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 32/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

A.R. Soehoed30

Gambar 1.17. Denah Rencana Pantura

Pada tahun 1947 Dr.Ir. van Blommestein, pada waktu itu Kepala Pengairan diIndonesia, mencetuskan rencana yang disebutnya, Rencana Pensejahteraan Pulau

 J awa Bagian Barat. Inti dari pada rencana van Blommestein adalah membangun

suatu transversal canal  yang melintasi semua alur sungai yang bermuara di Laut J awa sepanjang kaki-kaki pegunungan dari barat mulai dari Kali Ciujung di Barathingga Kali Pemali di ujung Timur. Lebih lanjut dibangun suatu deretan waduk-wadukbesar di alur Kali Citarum, yang kemudian diberi nama Waduk J atiluhur, WadukCirata dan Waduk Saguling.

Gagasan van Blommestein adalah agar baik pada musim hujan maupun pada musimkemarau seluruh arus Kali Citarum ditampung pada tiga waduk besar itu. Padamusim hujan seluruh wilayah persawahan di masing-masing DAS diairi oleh sungaipada tiap-tiap DAS itu, begitu pula di musim kemarau. Namun apabila di musimkemarau terjadi defisit air, maka kekurangan itu dapat dipasok dari kompleks wadukbesar melalui transversal canal . Transversal canal  dari Bendung Walahar ke arahbarat disebut Terusan Tarum Barat, sedangkan alur ke timur disebut Terusan Tarum

 Timur. Dengan river-basin interconnection ini maka lebih dari 500.000 ha sawah disisi utara Pulau J awa Bagian Barat akan mendapat pengaliran sepanjang tahun.

Didalam pola transversal termasuk pula beberapa waduk lama dan baru (pada waktuitu) seperti Waduk Dharma, Waduk Malahayu dan Waduk Cacaban.  Walaupunkompleks waduk-waduk Citarum selesai dibangun, namun terusan-terusan  Tarumhanya sebagian terbangun kemudian dihentikan oleh karena tafsiran baru yangtimbul didalam falsafah pengairan. Sebagai Penasehat Pemerintah RepublikIndonesia van Blommestein telah memperkembangkan lebih lanjut gagasannya yangkemudian meliputi seluruh Pulau J awa. Yang mendorong perkembangan gagasan itu

Page 33: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 33/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

A.R. Soehoed31

adalah, bahwa Pulau J awa bagian Timur dan Pulau Madura jauh lebih keringdaripada Pulau Jawa bagian Barat.

Pola konservasi air untuk seluruh Pulau J awa dan Madura bersambung dengan polaPulau J awa Bagian Barat melalui perpanjangan dan pelebaran Terusan Tarum Timurhingga dekat kota Semarang menjadi Kanal J awa. Pada kota Semarang ada duaopsi, yakni Kanal J awa diteruskan hingga kota Tuban untuk kemudian dialirkan keBengawan Solo bagian hilir atau air dipompa ke Rawa Pening yang diperluas untuk

kemudian disalurkan ke Bengawan Solo lebih ke hulu.

Didalam rangka konservasi akan diperkembangkan pula Kali Serayu yang dibendungdi Sempot untuk kemudian dialirkan kembali ke arah timur, lebih lanjut dicurahkan keBengawan Solo bagian hulu atau melalui Waduk Rawa Pening ke Bengawan Solo.Perluasan Waduk Rawa Pening akan menyinggung kota Ambarawa. Maka didalamusaha perluasan ini ada berbagai alternatif yang dapat ditinjau.

Selain itu masih ada opsi bagi pengembangan waduk-waduk Kali Bodri dan di KaliSubah. 

Gambar 1.18. Rencana Pengembangan P. J awa Bagian Barat

 Tanpa menyelami lebih lanjut gagasan konservasi air bagi Pulau J awa dan Maduramaka tata air di Pulau J awa oleh van Blommestein (lihat Gambar 1.19) ditata dalambeberapa lingkungan, yakni lingkungan barat yang didukung oleh kompleks waduk-

Page 34: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 34/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

A.R. Soehoed32

waduk Citarum, lingkungan Kali Serayu – Bengawan Solo dengan kaitan kelingkungan barat melalui Rawa Pening dan dari segi pengairan dapat dibagi lagididalam wilayah Bngawan Solo Hulu dan Bengawan Solo Hilir yang bersambung lagike Pulau Madura. Di samping lingkungan-lingkungan ini masih terdapat lingkunganKali Brantas yang dapat disambung bila perlu ke lingkungan Bengawan Solo.Gagasan van Blommestein mempunyai sasaran utama pengendalian air bagipengairan persawahan, pada akhirnya bagi produksi pangan.

Namun pngendalian ini sekaligus memungkinkan pengendalian banjir pada seluruhwilayah pantura. Basin interconnection system yang didukung oleh storage system yang ampuh dapat menyediakan air pula bagi pembersihan kota-kota besar dan bagiindustri. Kebutuhan akan air dapat meningkat dari tahun ke tahun dan sistem waduk-waduk Citarum suatu saat mungkin tidak akan mampu untuk memasok seluruhkebutuhan air Pulau J awa bagian Timur. Maka telah diperkirakan juga sistempasokan tambahan dari kompleks Kali Cibuni, yakni interkoneksi dari sungai-sungaidi J awa Barat yang mengalir ke selatan untuk dialihkan ke utara.

Sistem termaksud di atas memerlukan pompa-pompa, namun dapat menghasilkantenaga hidrolistrik pula dengan balans yang masih cukup positif. Akhirnya Kanal

 J awa membuka peluang transportasi melalui air, suatu hal yang amat penting bagiproduk-produk pertanian yang besar volume dan rendah nilai satuannya.

Gambar 1.19. Gagasan Konservasi Air J awa dan Madura

Demikian sekilas gagasan van Blommestein yang sasaran utamanya adalah produksipangan, namun tidak kalah penting perannya bagi pengendalian banjir terutama bagikota-kota besar dan prasarana di wilayah pantai utara Pulau J awa. Gagasan van

Page 35: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 35/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

A.R. Soehoed33

Blommestein sangat bertolak belakang dengan falsafah one river , one management  yang pernah dianut oleh Departemen Pekerjaan Umum.

Dapat dipertanyakan sekarang apakah gagasan van Blommestein dapat diterapkan juga untuk dataran-dataran aluvial yang luas di sisi timur Pulau Sumatera, diKalimantan Timur dan Selatan dan di Propinsi Papua. Perbedaan dari pada wilayah-wilayah ini dengan Pulau J awa adalah bahwa pada umumnya dataran-datarantersebut belum begitu besar jumlah penduduknya dan sebagian masih ditutup hutan.

Mungkin secara berkelompok sungai-sungai di beberapa bagian di sisi timurSumatera dapat di-interconnect  di alur-alur hulunya senada dengan gagasan vanBlommestein apabila perkembangan sosio-ekonomi di masing-masing wilayah sudahcukup memberi dasar akan keperluan itu.

Keperluan itu harus dipantau dan dianalisa secara khusus untuk masing-masingkelompok dan wilayah tersendiri. Lagi pula sungai-sungai di daerah-daerah tersebutbanyak yang diapit oleh rawa-rawa yang memiliki retention capability , sehinggabahaya banjir dapat teratasi apabila masyarakat cukup diberi penerangan.

Sesungguhnya masyarakat cukup sadar akan bahaya banjir dan bagaimanamenghadapinya. Salah satu bukti tentang kesadaran itu adalah rumah panggungtradisional atau rumah atas pondasi dari rakit-rakit kayu. Pernah ada thesis yangmenampilkan pendapat agar rawa-rawa dengan hutan sagu dipertahankan tidakhanya dari aspek hidrologi, tetapi juga dari segi pangan dan gizi. Sagu adalah

sumber karbohidrat yang amat luas persediaannya. Yang diperlukan hanya teknologipengolahan sagu, agar lebih mudah dapat dikonsumsi. Begitu pula bagi daerah-daerah yang kurang hujan perlu dicari bahan pangan yang kurang memerlukan air.

Pengendalian banjir atau lebih tepat masalah Tata Air sangat erat hubungannyadengan produksi pangan. Suatu proyek pangan yang pernah dicetuskan, namunsalah ditafsirkan, adalah proyek transformasi rawa-rawa gambut di wilayah antaraSungai Barito dan Sungai Lamandau di Kalimantan Selatan yang luasnya lebih-kurang satu juta hektar.

Adapun rencana Dr.Ir. Schophuis, pencetus gagasan ini, untuk memetak-metaksetengah dari wilayah rawa-rawa gambut itu dengan bantuan pasang surut danpemompaan secara berangsur air di masing-masing petak dapat diolah sampaicocok guna menjadi persawahan. Proses ini memerlukan waktu dan akan melintasitahap perikanan dan perunggasan sebelum berangsur menjadi persawahan.Pembiayaan proyek jangka panjang ini akan dilakukan dengan eksploitasi hasil hutanyang ada di wilayah tersebut.

C. Peranan Air Sebagai Sarana Transportasi Dan Komun ikasi

Indonesia pernah mengalami masa pada mana transportasinya sangat didukung olehtransportasi air, baik berupa pelayaran pantai maupun pelayaran sungai. Pelayaransungai yang teratur akan membantu dalam pengawasan dan perawatan alur-alursungai. Suatu faktor yang sangat penting didalam usaha peredaman banjir.

Page 36: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 36/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

A.R. Soehoed34

Vam Blommestein mengusulkan agar alur-alur listrik yang dibangkitkan olehpembangkit listrik tenaga air didalam rangka gagasannya dipasang sepanjangterusan dan saluran air agar mesin-mesin keruk listrik mudah dapat beroperasimerawat terusan dan saluran.

Van Breen menyarankan agar tiap alur air diapit oleh alur jalan bagi pengawasan danperawatan alur. Maka dapat disimpulkan, bahwa air bukan hanya penting bagiproduksi pangan melainkan merupakan unsur prasarana yang sering dilupakan

didalam perencanaan pola transportasi khususnya bahan pangan. Kerap kali dikeluh-kesahkan, bahwa proyek-proyek pengairan memerlukan biaya-biaya besar. Sepintasmemang tampaknya demikian. Akan tetapi apabila proyek-proyek pengairan ditinjaudari segi multipurpose-nya, maka pendanaan ini dapat diatur juga, sebagaimana dinegara-negara lain, melalui multisource budget allocations.

Lagi pula proyek-proyek pengairan senantiasa bercorak panjang, sehingga ditinjaudari segi pengeluaran tahunan tidak sebesar yang dikesankan. Sulit terbayangkanbetapa besar jumlah kerugian yang sudah dialami oleh banjir selama satu dasawarsaterakhir ini, bila semua kerugian diperhitungkan baik yang langsung, maupun tidaklangsung. Yang penting adalah tersedianya perencanaan yang matang yangdidukung oleh tekad politik yang mantap dan perundang-undangan yang kokoh.Didalam perencanaan, maka pemantauan dan analisis yang rinci dan terus-menerusadalah syarat yang mutlak.

Page 37: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 37/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Emil Salim35

 ARAH KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN AIR

Emil Salim

 ARAH KEBIJAK AN NASIONAL

PENGELOLAAN AIR

Oleh Emil Salim

Lokakarya Bappenas 4/4/2007

 

Page 38: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 38/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Emil Salim36

MASALAH AIR

1. Persediaanair ditinjaudari lingkungan-hidup;

2. Kebijakan nasional pengendalian banjir;

3. Perspektif pengelolaanair secara terpadu;

4. Peranan air dalampembangunan pertanian;

5. Air irigasi untuk ketahanan pangan nasional;6. Perspektifdesentralisasipengelolaaninfrastruktur air;

Masalah : supply air tawar fluktuatif banjir waktu hujan,kering waktu kemarau dan berkurang akibat ikl imberubah, sementara permintaannya naik karena

 pertambahan penduduk menaikkan kebutuhan pangan,air minum dan keperluan sektor lain. Air langkamenjelang 2020.

 

KELANGKAAN AIR 2020

Supplyair tawar turunkarena:

• Perubahan iklimhujanberkurang, air menguap;

• Hutanditebang untuk lahanpembangunan;

• Daya resapan lahanditutup aspal-semen;

• Pola banjirair hujanbuangvia sungaike laut;

• Air takperoleh“harga langka,” dekati gratis.

Demand air tawar naik karena:

• Pertambahan penduduk & konsumsi perluair;

• Pembangunan sektoral butuhkanair;

• Kelangkaanair bersifat musimandanregional.

 

Page 39: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 39/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Emil Salim37

PASAR TAK BERFUNGSI

1. Air “dikuasai negara” karena menyangkut hajat hiduporang banyak;

2. Air bersifatsosial takbolehdikomersialkan;

3. DaerahAliran Sungaidirebutbanyaksektor;

4. Pembangunan melampaui ambang batas daya dukung& tampung alamhasilkanair;

5. Pembangunan berjalan sektoral tanpa hiraukaninterdependensi jejaring eko-sistem;

Demand air oleh sektor melebihi supply alami dalam

“ pasar air” yang tidak berfungsi.

 

MIS-KONSEPSI UU DASAR1. UUD 45: air dikuasai negara dan digunakan untuk se-

besar2 kemakmuran rakyat. Negara mencakup“pemerintah, territorial dan rakyat,” maka dikuasainegara” tidak identik dengan milik pemerintah saja tapiperlubersamarakyat yg jugapunya hakkuasa;

2. “Untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” berartikepentingan publik umum di atas privat. Rakyat,

termasuk pengusaha, dapat mengelola air agartercapai effisiensi, tetapi Pemerintah gunakankebijakan ekonomi mengoreksi pasar meladenikepentingan umumpublikdi atas kepentingan privat;

3. Harga air harus dibayar, tetapi Pemerintah subsidirakyatmiskinagar bisa bayar harga air.

 

Page 40: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 40/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Emil Salim38

KELOLA EKO-SISTEM AIR

1. Manusia tak bisa mencipta air tetapi hanyatransformasi eko-sistemmenghasilkan air;

2. Eko-sistem air perlu dilestarikan, khususnya hutan,sungai, iklim, lahan, fauna-flora, laut;

3. Lokasi proyek pembangunan ikuti rencana tata-ruangberwawasaneko-sistem;

4. Pembangunan bersifatholistik lintas sektor;

5. Pembangunan berorientasi jangka panjang denganmenerapkan eko-sistem sebagai kendala utama yangmembatasi ruang gerakpembangunan.

 

POLA PEMBANGUNAN HEMAT AIR

1. Akibat “panas global”, pembangunan pertanian perlubenih padi& tebu“hematair”;

2. Kebijakan energi perlu menjurus ke “zero carbon”untuk kendalikanpencemaranudara;

3. Paradigma “salurkan air hujan ke laut” perlu dirombak jadi “cegah air ke laut untukdisimpan”;

4. Polaarsitektur bangunan perlu tampung air;

5. Infrastruktur jalanperlumampumenyerap air;

6. Polatata ruangkota utamakanhematair;

7. Teknologimenyuling air lautjadi air tawar.

Page 41: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 41/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Emil Salim39

SEGI KELEMBAGAAN KELOLA AIR

1. UU no:7/2004 tentang Sumber Daya Air menugaskanDewanSumber Daya Air Nasional mengkoordinasikanpengelolaan Sumber Daya Air, yang sebaiknyadipimpin Menko EKU (Ketua), Menteri KetuaBappenas (Ketua Harian), Menteri P U, MenLH,Menhut (Anggota Inti Dewan);

2. DSDAN mengkoordinasi DSDA DaerahProv./Kab;

3. Hasil koordinasi dilaksanakan oleh Menteri secara

fungsional dgnjadwal danbiaya anggaran terpadu;

4. Menteri lain, LSM & Pengusaha terkait disertakansebagai anggota sesuai dengan kasus yang dihadapi;

5. Perencanaanair dimulaidari bawah bottom-up.

 

SATU RENCANA

TERPADU ANGGARAN

1. Satu sungai perlu satu rencana, satu jawal dgn anggaran terpaducakupmacamdepartemendisusununtuk anggaran 08;

2. “Bayar jasa lingkungan” LSM-Model Cindanau, Banten, Segara

Basin, Lombok, INALUM Danau Toba, Singkarak perlu masukkebijakan;

3. Tri-partit Pemerintah-Pengusaha-Madani jadi motor penggerakkelola air berkelanjutan yang transparan, akontabel dan terbuka dari

daerah kePusat;

4. Grievenace Mechanism publik untuk salah urus perlu dibangun oleh

pers dan LSM membudayakan “manajemen terbuka”;

5. DSDAN susun program 2007-2009 dengan indikator sukses: naikdebit sungai, turunbanjir, turun kebakaranhutan, naiknya penduduk

miskin terjangkauair bersih, air irigasi tersier ngalir, pola “bayar jasalingkungan” menyebarke daerah.

Page 42: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 42/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Roestam Sjarief , M. Amron , Sutardi40

PERSPEKTIF PENGELOLAANSUMBER DAYA AIR TERPADU

Roestam Sjarief 3, M. Amron

4, Sutardi

PERSPEKTIF PENGELOLAAN

SUMBER DAYA AIR

TERPADU

oleh:

Dr. Ir. Roestam Sjarief, MNRMDr. Ir. M. Amron, MScDr. Ir. Sutardi, MEng

 

3Sekretaris J endral

4Kepala Pusat Kajian Strategis Dep. PU

5Kepala Bidang Kurikulum Diklat Dep. PU 

Page 43: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 43/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Roestam Sjarief , M. Amron , Sutardi41

LATAR BELAKANG

• Air merupakan zat yg paling esensial dibutuhkan dalam setiapaspekkehidupan

• Air dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan manusia disegalabidang (sosial-ekonomi, lingkungan, budaya, politik dan keamamannasional) dalam upaya meningkatkan pertumbuhan, keadilan,kemakmurandanketahanan

• Dalam UUD Psl 33 ayat (3) dinyatakan bahwa sumber daya air(SDA) dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarkemakmuranrakyatsecaraadil.

• Indonesia memiliki potensi air terbesar kelima di dunia, namun kitamengalami kekurangan air di musim kemarau dan kebanjiran dimusimhujan

• Menghadapi ketidakseimbangan tsb, SDA perlu dikelola denganmemperhatikan fungsi sosial, lingkunganhidupdanekonomisecaraselaras.

• Lingkungan yang mendukung proses keberlanjutan daur hidrologissenantiasaakan mengalami tekananyang semakinberat

• Di masa depan diperlukan pengelolaan SDA yang terpadu danberkelanjutan

 

TANTANGAN PENGELOLAAN SDA

• Kondisi alami SDA yang tidakmerata

• Pertambahanjumlahpenduduk

• Ketersediaan dan kinerja prasarana dan sarana yang belumoptimal

• Kelembagaanpengelolaan SDA yangbelummemadai

• Perilakumasyarakatpengguna SDA yangkurangefisien

• MeningkatnyaDAS kritis

• Perlunya dukungan per-UU-an dan pedoman

 

Page 44: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 44/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Roestam Sjarief , M. Amron , Sutardi42

PENGELOLAAN SDA TERPADU

• Pengelolaan SDA harus memperhatikan sifat SDA itu sendiri,dengan berdasarkan pada wilayah hidrogafis yang dikenal dengansebutanDaerah AliranSungai (DAS)

• DAS didefinisikansebagai:

Suatu wilayah daratan yang merupakan suatu kesatuan dengansungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung,menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujanke danau atau ke laut secara alami, yang batas di daratmerupakanpemisah topografis danbatas di lautsampai dengandaerahperairan yang masih terpengaruhaktivitasdaratan.

• Wilayah Sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan SDA dalamsatu atau lebihdaerahaliran sungai dan/ataupulau-pulaukecil.

 

Konsepsi pengelolaan terpadu SDA(Integrated Water Resou rces Management - IWRM)

• Rumusan IWRM dalam pertemuan Global Water Partnership-South East Asia, 2004 :

“Co-ordinated management of resources in natural 

environmental (water, land, flora, fauna) based on river basin

as geographical unit, with objective of balancing man’s need 

with necessity of conserving resources to ensure their 

sustainability”.

 

Page 45: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 45/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Roestam Sjarief , M. Amron , Sutardi43

Dua Komponen Besar Keterpaduan

Pengelolaan SDA

• Pengelolaan sistem alami mencakup:

i) Keterpaduanantaradaerahhuludengandaerahhilir;

ii) Keterpaduanantarakuantitas dengankualitas air;

iii) Keterpaduan antara air hujan dengan air permukaan dan airtanahserta

iv) Keterpaduan antara penggunaan lahan (land use) denganpendayagunaan air (water use).

• Pengelolaan sistem non alami mencakup:

i) Keterpaduanantarsektor;

ii) Keterpaduan antar semua pihak yang terkait (stakeholder );serta

iii) Keterpaduan antar wilayah administrasi baik secarahorisontalmaupunvertikal.

 

Prinsip-prinsip pengelolaan SDA terpadu :1. Satu sistem sungai, satu rencana induk, diimplementasikan oleh

banyak lembaga dalam satu manajemen terkoordinasi denganpendekatan wilayah sungai sebagai kesatuan pengelolaan.

2. Pendayagunaan sumberdaya air harus dengan upaya konservasiygmemadai.

3. Proses penyusunan rencana pengelolaan diselenggarakan denganpelibatanperanseluas-luasnya semuaunsurstakeholders.

4. Penetapan kebijakan pengelolaan SDA diselenggarakan secarademokratis.

5. Implementasi kebijakan dilaksanakan oleh badan pengelola ygprofessional, danakuntabel.

6. Masyarakat harus dilibatkan dalam keseluruhan prosespengelolaan.

7. Biaya pengelolaan menjadi tanggung jawab seluruh penerimamanfaatjasapengelolaansumberdaya air.

Setiap tahapan proses yang dirancang harus dapat dinilai akuntabilitasnyayang terukur melalui tiga kriteria utama, yaitu efisiensi ekonomi, keadilan dan keberlanjutan fungsi lingkungan hidup .

 

Page 46: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 46/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Roestam Sjarief , M. Amron , Sutardi44

UPAYA PENINGKATAN KINERJA

PENGELOLAAN SDA TERPADU

1. Membagi tanggungjawab pengelolaan

2. Membangunsistemkoordinasi pengelolaan SDA

3. Menyiapkanacuanpelaksanaanprogramdankegiatanpengelolaan

4. MembangunjejaringsisteminformasiSDA.5. Memperkuatsistemkelembaganpengelolaan SDA yang profesional.

6. Membangun sistem pembiayaan untuk kelangsungan pengelolaanSDA

7. Menyusun dan melaksanakan program dan kegiatan pengelolanSDA

 

 Akt iv itas pengelolaan terpadu SDA mencakuptiga bidang/area

(Ditinjau dari wil ayah pembahasannya)

1. Pengelolaan DAS (Watershed Management),

meliputi perencanaan tata ruang wilayah, pengawasan penggunaanlahan, pengelolaan kawasan hutan, rehabilitasi lahan dan konservasitanah, dan pelestarian dan pengelolaan daerah resapan air.

2. Pengelolaan jar ingan sumber-sumber air (Water Conveyance

Management),

meliputi pengelolaan kuantitas air, pengelolaan kualitas air,pengelolaan banjir, pengelolaan prasarana sumber air, sertapengelolaan lingkungandi sekitar sumberair.

3. Pengelolaanpenggunaan air (Water Use Management),

meliputi pengendalian pencemaran air, penghematan penggunaan

air,serta pengelolaan limbahcair dansampah.

 

Page 47: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 47/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Roestam Sjarief , M. Amron , Sutardi45

Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu

A. Kebijakan UmumNasional Pengelolaan SDA

B. Kebijakan Pengelolaan Irigasi Untuk

Mendukung Ketahanan PanganC. Kelembagaan Pengelolaan Sumber Daya Air

 Terpadu

 

 A. Kebi jakan Umum NasionalPengelolaan SDA

1. Mewujudkan sinergi dan mencegah konflik antar wilayah, antarsektor dalam rangka memperkokoh ketahanan nasional, persatuandan kesatuan bangsa serta memperhatikan kebutuhan generasisekarang danyang akan datang

2. Mendorong proses pengelolaan sumber daya air berbasiskanwilayah sungai yang terpadu antar sektor dan antar wilayah denganmemperhatikankepentingan nasional, provinsidanKabupaten/Kota

3. Menyeimbangkan upaya konservasi dan pendayagunaan sumberdaya air agar terwujud kemanfaatan air berkelanjutan bagikesejahteraan seluruh rakyat baik pada generasi sekarang maupunakandatang

 

Page 48: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 48/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Roestam Sjarief , M. Amron , Sutardi46

4. Menyelaraskanfungsi sosial lingkunganhidup danekonomi sumberdaya air untukmenjamin pemenuhankebutuhan pokok setiap orangdan mengoptimalkan nilai ekonomi air dengan memperhatikanupaya pelestariannya

5. Memperbaiki dan mengembangkan system pembiayaan yang

menerapkan prinsip penerima manfaat dan pencemar menanggungbiaya jasa pengelolaan sumber daya air denganmempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat sehinggapengelolaansumberdaya air dapatdilakukan secara efektif, efisien,berkeadilan danberkelanjutan

6. Mengembangkan sistem kelembagaan pengelolaan sumber dayaair menuju terciptanya pemisahan fungsi pengaturan, pelaksanaan,pengoperasian dan pemeliharaan, pemanfaatan dan koordinasidengantetapmenjagasinergi antar fungsi

Kebijakan Umum Nasional Pengelolaan SDA ….(2)

 

B. Kebijakan Pengelolaan Irigasi UntukMendukung Ketahanan Pangan

Pemerintah Pusat:

• Penetapankebijakan nasional danmenetapkanNSPM,

• Melakukan koordinasi, sebagai fasilitator penyelesaian sengketaantarprovinsi,

• Memberikan rekomendasi dan bantuan teknis kepada pemerintahprovinsidan kabupaten/kota

• Menjaga efektivitas, efisiensi dan ketertiban pelaksanaanpengembangan sistem irigasi primer dan sekunder lintas provinsi,lintas negaradandaerah irigasi strategis nasional.

Selain itu pemerintah pusat memiliki kewenangan melaksanakanpengelolaan sistem irigasi primer dan sekunder yang luasnya lebih

dari 3.000 ha atau pada daerah irigasi lintas provinsi, lintas negaradandaerah irigasi strategis nasional, serta pembangunandiatas

10. 000 ha

 

Page 49: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 49/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Roestam Sjarief , M. Amron , Sutardi47

Pemerintah Provinsi:

• penetapan kebijakan provinsi,

• sebagai fasilitatorpenyelesaiansengketa antar kabupaten/kota,

• memberikan rekomendasi dan bantuan teknis kepadapemerintahkabupaten/kota

• serta menjaga efektivitas, efisiensi dan ketertiban pelaksanaanpengembangan sistem irigasi primer dan sekunder pada daerahirigasi yangluasnya1.000hasampai dengan3.000haataupadadaerah irigasi lintaskabupaten/kota.

Selain itu pemerintah provinsi juga memiliki kewenanganmelaksanakan pengelolaan sistem irigasi primer dan sekunderpada daerah irigasi yang luasnya 1.000 ha sampai dengan 3.000haataupada daerah irigasi lintas kabupaten/kota.

 

Pemerintah Kabupaten/Kota:

• penetapankebijakan kabupaten/kota,

• melaksanakanpengelolaansistemirigasi primer dansekunderpadadaerahirigasi yang luasnyakurangdari 1.000 ha,

• memberi izin penggunaan dan pengusahaan air tanah di wilayahkabupaten/kota serta memfasilitasi penyelesaian sengketa antardaerah dalamsatukabupaten/kota.

 

Page 50: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 50/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Roestam Sjarief , M. Amron , Sutardi48

C. Kelembagaan Pengelolaan Sumber 

Daya Air Terpadu

1. Dewan Sumber DayaA i r:

Wadah koordinasi pengelolaan SDA wajib dibentuk di tingkatNasional dengan nama Dewan Sumber Daya Air Nasional yang

dibentuk oleh P emerintah, dan di tingkat Provinsi dengan namaDewanSumber DayaAir Provinsi yang dibentukolehpemerintahprovinsi

Wadah koordinasi pengelolaan SDA di tingkat Kabupaten dantingkat WS bersifat opsional dan dibentuk sesuai dengankebutuhandaerah setempat.

Wadah koordinasi mempunyai tugas pokok menyusun danmerumuskankebijakan sertastrategipengelolaanSDA.

 

2. Balai SDA

a.Balai BesarWilayahSungai

 Tugaspokok:Melaksanakan pengelolaan SDA yang meliputi perencanaan, pelaksanaan konstruksi,operasi dan pemeliharaan dalam rangka konservasi SDA, pengembangan SDA,pendayagunaan SDA dan pengendalian daya rusak air pada wilayah sungai

Fungsi: Penyusunan pola dan rencana pengelolaan SDA pada wilayah sungai;

Penyusunanrencanadan pelaksanaan pengelolaan kawasan lindungsumber air padawilayah sungai;

Pengelolaan SDA yang meliputi konservasi SDA, pengembangan SDA,pendayagunaan SDA danpengendalian daya rusak air pada wilayah sungai;

Penyiapan rekomendasi teknis dalam pemberian ijin atas penyediaan, peruntukan,penggunaan dan pengusahaan SDA pada wilayah sungai;

Operasi dan pemeliharaan SDA pada wilayah sungai;

Pengelolaan sistem hidrologi;

Penyelenggaraan data dan informasi SDA;

Fasilitasi kegiatan Tim Koordinasi Pengelolaan SDA pada wilayah sungai; Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan SDA;

Pelaksanaan ketatausahaan Balai Besar wilayah Sungai.

 

Page 51: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 51/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Roestam Sjarief , M. Amron , Sutardi49

b. Balai Wilayah Sungai

 Tugaspokok:

Melaksanakan pengelolaan SDA yang meliputi perencanaan, pelaksanaan konstruksi,operasi dan pemeliharaan dalam rangka konservasi SDA, pendayagunaan SDA danpengendalian daya rusak air pada wilayah sungai

Fungsi :

Penyusunan pola dan rencana pengelolaan SDA pada wilayah sungai; Penyusunan rencana dan pelaksanaan pengelolaan kawasan lindung sumber air

pada wilayah sungai;

Pengelolaan SDA pada wilayah sungai;

Penyiapan rekomendasi teknis dalam pemberian ijin atas penyediaan,peruntukan, penggunaan dan pengusahaan SDA pada wilayah sungai;

Operasi dan pemeliharaan SDA pada wilayah sungai;

Pengelolaan sistemhidrologi;

Penyelenggaraan data dan informasi SDA;

Fasilitasi kegiatan Koordinasi Pengelolaan SDA pada wilayah sungai;

Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan SDA;

Pelaksanaan ketatausahaan Balai wilayah Sungai

 

3. Perum Jasa Ti rta

• Dibentuk oleh pemerintah denganPP, rambu-rambu kewenangannyadiatur dalam UU No. 7 Thn 2004 pasal 45, dimana kewenangannyadibatasi hanya untuk pengusahaan sumber daya air permukaan(pengelolaan), yangdapatberbentuk:

1) penggunaan air;

2) pemanfaatanwadah air; dan

3) pemanfaatandaya airpada suatu lokasi tertentu.

Selain itu kewenangan di atas hanya dapat dilaksanakan olehbadan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dibidang pengelolaan SDA atau kerja sama antara badan usahamiliknegara denganbadanusaha milikdaerah.

• Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, terdapatkewenangan yang bersinggungan dengan Balai WS dan BalaiPropinsi (UPTD

 

Page 52: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 52/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Roestam Sjarief , M. Amron , Sutardi50

3. Isu-Isu Strategis Pengolaan SDA (1)

1) Keberadaan PJ T I dan PJ T II dan Balai BesarWilayahSungai (BBWS)9 Apakah PJ T dibubarkandan hanya ada BBWS?9 Akumulasi pengalaman SDM dan “trust” dari mitra yang dilayani

kedua PJ T sehingga pendapatannya mengalami peningkatan yangsignifikan selama 10 tahun terakhir akan sulit digantikan olehBBWS (mengingat personil BBWS sangat terbatas dengan tugas

yangsangatbanyak).9 Disarankan P J T menangani: i)pelayanan air yang bersifat “cost

recovery”misalnya penyediaan air bakuuntuk keperluan domestic,perkotaan, industri, tenaga listrik, agroindustri, dan manajemenasset, dan ii) Operasi & Pemeliharaan konstruksi yang bersifatmultipurpose. Untuk itu perlu ada perubahan PP pendirian PJ Tkhususnyamengenai perubahan tugasnya.

9 BBWS menangani: i) pelayanan public yang bersifat “non costrecovery”a.l irigasi (termasuk O&P jaringan irigasinya),penangananbanjir, pengelolaan kualitas air, dan konservasi SDA, ii) fungsiplanning, design, konstruksi dan O&P prasarana & sarana SDA,dan iii) koordinasi dengan dewan propinsi, dewan wilayah sungaidandewan kabupaten/kota.

 

2) Keberadaan BBWS/BWS (UPT Pusat) dan Balai Pengelolaan SDA(UPT Propinsi)9 Apakah BPSDA propinsi dibubarkan dan hanya ada

BBWS/BWS?9 BPSDA masih diperlukan untuk mengurus Wilayah Sungai

Propinsi danWilayahSungai kabupaten.9 Mengingat pada kondisi sekarang pada umumnya BBWS/BWS

kurang mempunyai SDM yang terlatihmakapada kondisi tertentuBPSDA dapat melaksanakan sebagian tugas di wilayah sungaipusat yang menjadi kewenangan BBWS/BWS. Untuk itudiperlukan “role sharing” yang diatur dengan semacam “notakesepakatan”antaraPusatdan instansi daerah/ propinsi.

9 Diperlukan peningkatan kapasitas (capacity development)kepada para staf BPSDA maupun kepada staf BBWS dan BWS

secarasistematisdanterstruktur.

3. Isu-Isu Strategis Pengolaan SDA (2)

 

Page 53: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 53/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Roestam Sjarief , M. Amron , Sutardi51

3) Keberadaan dewan sumber daya air, nasional, daerah dankabupaten/kota dandewan WilayahSungai:

9 Berdasarkan UU No 7/2004 Pola Pengelolaan SDA dan RencanaInduk Pengelolaan SDA dibuat berdasarkanWilayahSungai. Dalampenyusunan pola dan rencana induk pengelolaan SDA diperlukan

koordinasi dankonsultasi serta persetujuan dengan para pemangkukepentingan di wilayah sungai bersangkutan melalui suatu wadahkoordinasi misalnyaDewan atau semacamTimKoordinasi

9Diperlukan kejelasan apakah dewan dibentuk menurut wilayahadministrasi pemerintahan Æ Dewan SDA Nasional; Dewan SDAPropinsi; Dewan SDA Kabupaten/Kota atau dibentuk menurutwilayah sungaiÆ Dewan SDA Wilayah Sungai Nasional; DewanSDA Wilayah Sungai Propinsi; Dewan SDA Wilayah SungaiKabupaten/Kota. J ika keduanya diperlukan maka perlu kejelasan“tupoksi” kedua lembaga koordinasi dimaksud, yaitu kejelasankewenangan, fungsi/perandanruang lingkuptugas dewan

3. Isu-Isu Strategis Pengolaan SDA (3)

 

3) Keberadaan dewan sumber daya air, nasional, daerah dankabupaten/kotadandewan WilayahSungai: (lanjutan)

9 J ika dalam suatu propinsi terdapat lebih dari satu wilayah sungai(WS) Nasional, WS Propinsi dan WS Kabupaten/Kota maka perludikaji efektivitas dan efisiensi keberadaan Dewan bedasarkanWilayah Administrasi Pemerintahan dan Tim Koordinasiberdasarkan Wilayah Sungai jika dalam 1 (satu) propinsi misalnya

 J awa Tengah ada 7 WS Nasional, 1 WS Propinsi dan 2 WSKabupaten maka di J awa Tengah akan ada 1 (satu) Dewan SDAPropinsi, 35 (tiga puluh lima) Dewan SDA Kabupaten/Kota, serta 7(tujuh) Dewan/Tim Koordinasi SDA-WS Nasional, 1 (satu)Dewan/Tim Koordinasi SDA-WS Propinsi, dan 2 (dua) Dewan/TimKoordinasi SDA-WS Kabupaten. Adanya beberapa Dewan/Tim

Koordinasi SDA-WS akan memperbaiki keterwakilan, koordinasidankerjasama diantara pemangku kepentingan di Wilayah Sungaidimaksud.

3. Isu-Isu Strategis Pengolaan SDA (4)

 

Page 54: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 54/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Roestam Sjarief , M. Amron , Sutardi52

4)ImplikasiKriteriaLuasanIrigasiPusatdan Daerah Vs. Desentralisasi:

A. Kriteria pengembangan Irigasi untuk Luasan Daerah Irigasi diatas10.000 Ha menjadi kewenangan PemerintahPusat:

9Dengan adanya ketentuan ini maka ada 32 (tiga puluh dua)Wilayah Sungai (WS) Propinsi/Kabupaten yang mempunyaiareal irigasi lebih besar 10.000 ha menjadi WS Nasional(strategis).

9 Untuk daerah/propinsi yang sudah maju dan mempunyai institusiyang lengkap/kuat dan SDM yang mencukupi, maka pengaturanini kurang mencerminkan prinsip desentralisasi dan justrumenjadi beban baru karenaharus mendirikan BWS pada propinsiyangperangkatnya justru sudahmaju/lengkap.

3. Isu-Isu Strategis Pengolaan SDA (5)

 

4) Implikasi Kriteria Luasan Irigasi Pusat dan Daerah Vs. Desentralisasi:(lanjutan..)B. Kriteria Operasi & Pemeliharaan (O&P) Daerah Irigasi dengan

Luasan Irigasi lebih besar dari 3.000 ha menjadi kewenanganpemerintahpusat:9 Denganpengaturan inimaka jumlah jaringan irigasi yang O&P nya

dibiayai pemerintah Pusat adalah seluas 3.872.091 ha (48% daritotal areal irigasi) mencakup 438 Daerah Irigasi (DI). Sedangkanseluas 4.178.639 ha (mencakup 21.686 DI) jaringan irigasi O&PdibiayaiolehpemerintahProvinsidanKabupaten.

9 J ika kriteria O&P luasan Daerah Irigasi yang ditangani pusatdinaikkan menjadi 10.000ha maka jumlah jaringan yang O&P nyadibiayai pusat adalah1.354.762 ha atau 16% dari total areal irigasi(mencakup 76 DI). Sedangkan sebagian besar (84%) atau6.695.968haakanmenjadi tanggung jawab pemerintahdaerah.

9 Dengan fakta diatas dapat kita evaluasi kembali kriteria manayang sebaiknya kita pakai. Untuk itu diperlukan kajian dilapanganlebih lanjut tentang kinerja jaringan irigasi setelah pengaturanpembiayaanO&P seperti diatas.

3. Isu-Isu Strategis Pengolaan SDA (6)

 

Page 55: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 55/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Roestam Sjarief , M. Amron , Sutardi53

5) Perubahandari“individual farming”ke“corporate farming”9 Kepemilikantanahsawah di J awa sempitÆ0,30 ha/KK 9 Menyebabkan ketidak efisienan dalam penggunaan air irigasi dan

menjadikendaladalammekanisasi pertanian9 Intensifikasiusaha pertanianterkendala kurangnya tenagakerja9 Perlu “land consolidation” menjadi hamparan sawah ukuran petak

tersier 50-100 Ha untuk memenuhi persyaratan petak sawah ygcukup efisien dalamuntuk penggunaan peralatandan penggunaanair irigasi sehingga memenuhi persyaratan intensifikasi usahapertanian dengan produktivitas tinggi dan efisien dalampenggunaan sumberdaya

9 Pengelolaan sawah dikelola secara perusahaan oleh profesionalyang digaji memadai. Pemilik sawah lama dapat menjadi pemiliksahampada perusahaansenilaiharga sawahnya

9 Perusahaan perlu didanai oleh pemerintah daerah denganpembiayaandariBankpembangunandaerah

9 Perlu uji coba pada hamparan sawah yg beririgasi.Perusahaan/koperasi dapat sekaligus mengelolajaringan irigasinya

3. Isu-Isu Strategis Pengolaan SDA (7)

 

6) Potensi ListrikTenaga Air sebagai sumberenergi terbarukan:9 Kita sedang mengalami krisis energi. Lebihdari 95% energi diperoleh

dari sumber energi yang tidak terbarukan seperti minyak bumi, gasdanbatubara. Penggunaan fosil ini juga semakin meningkatkanemisikarbon yang merupakan salah satu pembentuk Gas Rumah Kacayangmenyebabkanperubahan iklim

9 Penggunaan energi dari sumber yang terbarukan (renewableresources) masih sangat sedikit. Kontribusi PLTA hanya 1%penggunaan energi nasional atau sekitar 5,6% dari potensi PLTA diseluruh Indonesia(75.67GW)

9 Perlu dipertimbangkan penggunaan PLTA pada daerah tertentu yangmempunyai potensi seperti di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,Papua dan sebagian J awa.

9 Keuntungan penggunaan PLTA disamping merupakan sumber energiyang terbarui juga tidak menimbulkan emisi karbon. Sehingga cocokdengan prinsippembangunanberkelanjutan.

9 Pembangunan konstruksi waduk/konstruksi penampungan air dapatdimanfaatkan juga untuk air baku berbagai keperluan sehinggamenambah cadangan air yang kita perlukan untuk menghadapivariabilitas iklim.

3. Isu-Isu Strategis Pengolaan SDA (8)

 

Page 56: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 56/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Roestam Sjarief , M. Amron , Sutardi54

7) PenangananDampakBencana danPerubahan Iklim:

9 Perubahan iklim menimbulkan terjadi kejadian iklim ekstrem yaitutingginya curah hujan yang menyebabkan banjir dan tanah longsoryang menimbulkan kehilangan nyawa dan kerusakan prasaranadansarana.

9 Kenaikan suku udara dan variable iklim lainnya mengakibatkanterjadinya kekeringan dan badai yangmenimbulkan kelangkaanairdan bencana transportasi serta munculnya wabah penyakit yangterkaitdenganair (malaria,demamberdarahdansebagainya).

9 Untuk itu diperlukan penanganan bencana yang perlu melibatkanseluruh masyarakat. Penanganan bencana dengan upayastruktural saja sudah tidak memadai lagi. Diperlukan upaya non-struktural termasuk kampanye “sadar bencana” masal untukmenghadapi banjir, tanah longsor dan kekeringan serta penyakityangpenyebarannya terkaitdengan air/iklim.

3. Isu-Isu Strategis Pengolaan SDA (9)

 

8) Diperlukan ‘capacitydevelopment’dalamimplementasi IWRM:

9 Permasalahan dalam pengelolaan SDA tidak dapat diatasi hanyaoleh aparat dan instansi pemerintah yang terkait dengan SDA saja.Diperlukan keterlibatan langsung maupun tidak langsung dari parapihak pemangku kepentingan lainnya seperti pengguna, penyedia

 jasa layanan, operator, para ahli dan pemerhati, akademisi,organisasi profesi,mediamasa, LSM terkaitdan masyarakatluas.

9 Untuk dipelukan peningkatan pengetahuan dan kapasitas dalampengelolaan SDA secara terpadu (IWRM) dari semua pihak agardapat berperan sesuai fungsi dankedudukanmasing-masing dalammenghadapi tantangan pengelolaan SDA yaitu semakinmenurunnya pasokan air secara kuantitas dan kualitas disatu sisinamun disisi yang lain adanya peningkatan kebutuhan dan adanya

keperluan untuk mempertahankan fungsi SDA secara berkelanjutandemi keberlangsungan hidupdankehidupan.

3. Isu-Isu Strategis Pengolaan SDA (10)

 

Page 57: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 57/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Roestam Sjarief , M. Amron , Sutardi55

PENUTUP

• Pengelolaan SDA perlu didukung oleh sistem kelembagaan yangkuatdan bertanggungjawab

• Pembentukan wadah koordinasi pengelolaan SDA merupakan halyang esensial untuk mengakomodasi aspirasi dan kepentinganberbagai pihakyang terkaitdenganSDA

• Pengelolaan SDA yang terpadu memerlukan keterlibatan berbagaipihak selain Departemen Pekerjaan Umum seperti DepartemenKehutanan, Departemen Pertanian, serta Pemerintah Propinsi danPemerintahKabupaten/Kota

• Pemerintah juga berupaya menggalang keterlibatan peran swastadanmasyarakatterutamadalamhal pendanaan infrastruktur

 

Page 58: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 58/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Robert J . Kodoatie , Roestam Sjarief 56

PERSPEKTIF PENGELOLAANSUMBER DAYA AIR TERPADU DI INDONESIA

Robert J. Kodoatie6, Roestam Sjarief 

PERSPEKTIF PENGELOLAAN

SUMBER DAYA AIR TERPADU DI

INDONESIA

Oleh :Dr. Ir. Roestam Sjarief, MNRM

Dr. Ir. Robert J , Kodoatie, M. Eng

Disampaikan dalam “Lokakarya Kaji Ulang Arah Kebijakan NasionalPengelolaan Sumber Daya Air” Direktorat Pengairan dan Irigasi Bappenas

Pada Hari Rabu Tanggal 04 April 2007 The Sultan Hotel J l. Gatot Subroto J akarta 10002

 

6Doktor Teknik Sipil. Staf Pengajar di FT-UNDIP.

7Sekretaris J enderal Dep. PU 

Page 59: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 59/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Robert J . Kodoatie , Roestam Sjarief 57

Latar Belakang

• Pertumbuhan penduduk meningkat maka kebutuhan pokok & sekunder 

 jug a akan meni ngkat . Aktifitas pembangunan yang dilakukan cenderung danlebih ditekankan adalah pada pembangunan berlanjut yang dominan di aspekekonomi semata. Sedangkan aspek sosial dan lingkungan menjadi tidakdominanbahkanterabaikan.

• Terjadi eksploitasi alam yang berlebihan, perubahan tata guna lahan yangtak terkendali dan menurunnya daya dukung lingkungan. Multi-player effect 

dari aktifitas tersebut pada hakekatnya menimbulkan kecenderunganpeningkatan bencana baik dari segi kuantitas maupun kualitas (Global WaterPartnership/GWP),2001;KodoatiedanSyarief,2005).

• Terjadilah paradoks antara penduduk dan air : pertumbuhan penduduk yang

meningkat mengakibatkan kebutuhan air meningkat namun ketersediaan

air menjadi berkurang karena terjadi peningkatan lahan/ruang terbangun.

• Muncul konflik-konflik: konflik kepentingan dankebutuhan antara man versuswater; konflik ruang terbangun versus ruang terbuka hijau; konflik tata ruangbangunan versus tata ruang air. Peningkatan ruang terbangun menyebabkanpengurangan ruang terbuka hijau yang besar terutama di daerah-daerahperkotaan. Banyak lahanhijau, situ-situ, daerah resapan dan tempat tinggal airtelahhilang(KodoatiedanSyarief,2007).

 

Pengaruh pertumbuhan penduduk dan ekonomi terhadap Tata Ruang, Sumber Daya Air,Bencana Banjir dan Kekeringan (GWP), 2001; Kodoatie dan Syarief, 2005 dan 2007

dengan modifikasi)

PerkembanganPopulasi

PertumbuhanEkonomi

Secara Global JumlahAir Dalam SiklusHidrologi Tetap

Peningkatan Pembangunan

PembangunanInfrastruktur Meningkat Alih Fungsi Lahan Meningkat

• Lahan Penyimpan Air Berkuran g• J enis Lahan P enyimpan Air Turun

Peningkatan ruang terbangunmenyebabkan pengurangan

ruang terbuka hijau

Eksploitasi SumberDaya Alam Meningkat

Degradasi Lingkungan

Polusi Akibat DampakPembangunan Meningkat

Perlu PenataanRuang Terpadu

2. Pemanfaatan Ruang

3. PengendalianPemanfaatan Ruang

1. Perencanaan Tata Ruang

PeningkatanPermintaan Air? Kualitas dan

KuantitasMeningkat

Pada Lokasi Dan Situasi Tertentu Air

 Terlalu Berlebih Atau Terlalu Kurang

Naiknya Kompetisi AkanAir Yang Semakin Sedikit

Kebutuhan Akan AlokasiDan Penyelesaian Konflik

 TerjadiBencana Banjirdan Bencana Kekeringan

PerluP engelolaanSumberDayaAir TerpaduSebagaiSolusiS ekaligus

PencegahanDan P enyelesaianKonflik

 

Page 60: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 60/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Robert J . Kodoatie , Roestam Sjarief 58

Kompleksitas dan Masalah Aktual

Krisis air akibat perilaku manusia guna mencukupi kebutuhan hidupnya(perubahantata guna lahan) Pertumbuhanpendudukyangtinggimempercepatkrisis air BencanaBanjir, longsor dankekeringanyangcenderung meningkat.

Pelayanan air bersih belummenyentuh seluruh lapisan masyarakat yangmembutuhkanbaik di kota maupundidesa. Drainase yang masih terkesan tambal sulam, tidak integrated menjadi

suatukesatuan sistemyang utuh. Keterbatasan dana dalam pengelolaan SDA, pemeliharaan infrastruktur

keairan berkurang sehingga mengalami penurunan baik kualitas maupunkuantitas Fenomena otonomi daerah yang terkadang kurang dipandang sebagai

suatu kesatuan kerja antara Pusat, Propinsi dan Kabupaten/ Kotaberakibat pada kurangnya koordinasi PengelolaanSumber Daya Air yangpada hakekatnya mempercepat terjadinya krisis air di banyak wilayah(egosektoral)

Permasalahan

Pengelolaan Sumber Daya Air 

 

Masalah Alamiah Sumber Daya Air 

 Ai r tidak dibatasi ol eh batasadministrasi namun oleh batasdaerah aliran sungainya (DAS)

Dari sisi siklus hidrologi dansisi wilayah, air mengalir dari

daerah atas dan bawah melaluiberbagai situasi dan kondisi Perubahan tata guna lahan

berpengaruh besar terhadapketersediaan dankebutuhan air.

~ Peningkatan debit aliranpermukaan berdampakbanjir.

~ Kapasitas resapan hilangsehingga bencana kekeringanmeningkatdi musimkemarau.

~ Ketika debitmeningkat, aliransungai dengan debit besarakan membawa sedimenyang besar pula sehingga dimuara terjadi pendangkalan,

akibatnya di laut terjadiakresi.

 

Page 61: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 61/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Robert J . Kodoatie , Roestam Sjarief 59

Land Use

Debit Puncak(m3/dt) Kenaikan

Min Maks

Hutan10 10 Referensi

Rerumputan23 25 2-2,5 kali

 Taman17 50 2-5 kali

Sawah25 90 2,5-9 kali

Pemukiman50 200 5-20 kali

Industri/niaga60 250 6-25 kali

beton/aspal63 350 6,3-35 kali

 Tata Guna Lahan DASberubah/dikembangkan

BatasDAS

Debit Q(m3/detik)

Sungai

Peningkatan Debit Akibat Tata Guna Lahan Berubah

Sumber: Raudkivi, 1979, Subarkah, 1980; Schwab dkk., 1981; Loebis, 1984;

Kodoatie & Sugiyanto, 2002  

Kerangka KonsepsionalMenurut GWP (2001), elemen elemen penting dalam Manajemen SumberDaya AirTerpadudapatdikelompokkandalam3 elemenutamayaitu:

– The enabling environment  : kerangka umum dari kebijakannasional, legislasi, regulasi dan informasi untuk pengelolaan SDAoleh stakeholders. Fungsinya merangkai dan membuat peraturanserta kebijakan. Sehingga dapat disebut sebagai rules of the

games.

– Peran-Peran Institusi (institutional roles) merupakan fungsi dariberbagai tingkatan administrasi dan stakeholders. Perannyamendefinisikanparapelaku

– Alat-alat manajemen (management instruments) merupakaninstrumen operasional untuk regulasi yang efektip, monitoring danpenegakkan hukum yang memungkinkan pengambil keputusanuntuk membuat pilihan yang informatif diantara aksi-aksi alternatip.

Pilihan-pilihan ini harus berdasarkan kebijakan yang telah disetujui,sumberdaya yang tersedia, dampak lingkungan dan konsekuensisosial danbudaya.

 

Page 62: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 62/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Robert J . Kodoatie , Roestam Sjarief 60

Kompleksitas Persoalan Pengelolaan Sumber Daya Air(Grigg dan Fontane, 2000 dengan modifikasi)

2. Kekuatan penggerak dan Pesoalan2

• Perkembangan(pertumbuhan)

•  peru bah an pen dud uk 

• Peningkatan harapan

• Pola hidup

• Memburuknya sistem

• Peningkatan Komunikasi

• Peningkatan

• Kompleksitas

4. Sistem InfrastrukturKeairan

• Kompleksitas

• Keterlibatan masyarakat

• Keputusan yang tidak tentu

• Agenda berganda (multiple)

• Budget dari sektor publik 

• Budget dari pemerintah

• Keterlibatan semua pihak 

1. Ketergantungan

• Spasial

• Informasi

• Tata Guna Lahan

• Dampak kegiatan

• Ekonomi dan finansial

• Manajemen

• Sosial dan Politik 

• Rekayasa

• Penggerak kegiatan

• Ilmu pengetahuan

Sasaran:Pendukung sistem ekonomi, kesehatan dan sosial-budaya

yang berinteraksi dengan lingkungan alam secara harmoni

Solusi

• Investasi

• Koordinasi dan kerjasama• Metode pengambilan keputusan

• Sistem informasi

• Pembaharuan teknologi

• Penggerak kegiatan (kerja)

• Keterlibatan publik/swasta

•Riset terpadu

3. Pembagian perhatian

• Pengaturan

• Pemerintahan

• Pembiayaan

• Kebijakan

• Penggerak kegiatan

• Penerimaan masyarakat

• Pengambilan keputusan

•Perkembangan Teknologi

Pengelolaan Sumber DayaAir Terpadu, Menyeluruh

dan Berwawasan

Lingkungan

Pemanfaatan sumber daya air oleh stakeholders untukberbagai keperluan

Dep. KimPrasWil

sekarang Dep PU

Dep. Energi dan Sumber

Daya Mineral

Dep. Kehutanan

Depdagri:

- Pusat

- P ropinsi

- K ab/Kota

Masyarakat

Swasta

Sumber Daya

 Air p ermukaan

Sungai

- Waduk

- Danau

- Dll

Irigasi

Kebutuhan

Pertanian

Air Baku

Ekslploitasi

Lahan

(Perubahan)

untuk PAD

PLTA

Industri/Pabrik

Air Minum

Dan Lain -lainDan Lain -Lain

Sumber Daya

 Air t anah

- dangkal

- dalam (akuifer)

Sumber Daya

Lahan:

- Hutan

- Sawah

- Perkebunan

- Daerah industri

- Dll

Akibat semua merasa berhak (mengelola, memakai, mengeksploitasi)

maka tanpa keterpa duan terjadi degradasi sumber daya air

baik secara kuantitas maupun kualitas

 

Page 63: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 63/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Robert J . Kodoatie , Roestam Sjarief 61

Segitiga keseimbangan sosial, ekonomi dan ekosistem untukPSDA Terpadu dan Berkelanjutan (GWP, 2001).

1. Enabling

Environment

Pembuat· Kebijakan· Peraturan

·Penilaian·Informasi· Alat-Alat alokasi

· Pusat-Lokal· Publik-Privat· DAS

Keberlanjutan ekosistem

Efisiensi Ekonomi Keadilan sosial

 

Komponen-

KomponenPSDA Terpadu

(GWP, 2001)

   A .   E  n  a   b   l   i  n  g   E  n  v   i  r  o  n  m  e  n   t

   B .   P  e  r  a  n  -   P  e  r  a  n   I  n  s   t   i   t  u  s   i

   C .   A  a   l  a   t  -   A   l  a   t

   M  a  n  a   j  e  m  e  n

 b. Kerangka Kerja Legislatif 1. Reformasi Peraturan Yang Ada2. Peraturan Tentang Sumber Daya Air 3. Peraturan Untuk Kualitas dan Kuantitas Air 

c.Finansial1. Kebijakan-Kebijakan Investasi2. Reformasi Institusional Sektor Publik 3. Peran Sektor Swasta4. Pengembalian Biaya dan Kebijakan-Kebijakan Denda5. Penilaian Investasi ( InvestmentAppraisal)

a. Penciptaan KerangkaKerja Organisasi1. Organisasi Lintas Batas UntukPen gelolaan Sumber Daya Air 2. Dewan Air Nasional (National Apex Bodies)3. Organisasi Daerah Aliran Sungai ( River Basin Organisations)4.Badan Pengatur dan Agen Penegak 5.Penyedia Pelayanan (Service Providers)6.Institusi Masyarakat Umum dan Organisasi komunitas7.Wewenang Lokal ( Local authorities)

 b. Pengembangan sumber daya manusia(Institutional Capacity Building)1. Kapasitas Pengelolaan Su mber Daya Air Terpadu pada profesi keairan2. Kapasitas Pengaturan3. Berbagi (Alih) Ilmu Pengetahuan

a. Analisis Sumber Daya Air  b. Perancangan dan Perencanaan Pengelolaan Sumber Daya Air Terpaduc. Pengelolaan Kebutuhand. Instrumen Perubahan Sosiale. Resolusi konflik f. Instrumen Pengatur g. Instrumen Ekonomi

h. Pengalihan dan Pengelolaan Informasi

a. Kebijakan (Policy)1. Visi dan Misi Pengembangan Sumb er Daya Air 

2. Penyiapan Kebijakan Sumber Daya Air Nasional3. Kebijakan Yang Terkait Dengan Sumber Daya Air 

Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu

Page 64: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 64/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Robert J . Kodoatie , Roestam Sjarief 62

Proses Pengelolaan Sumber Daya Air Menurut UU SDA

PROGRAM PENGELOLAAN OLEH STAKEHOLDERS

OPERASI DAN PEMELIHARAAN

PELAKSANAAN PEMBANGUNAN

ASPEK PENGELOLAAN• Konservasi SDA

• Pendayagunaan SDA

• Pengendalian Daya Rusak Air 

• Pemberdayaan Masyarakat

• Sistem Informasi SDA

• Wilayah Sungai: keterpaduan air permukaan dan air tanah

• Prinsip:seimbangantara konservasidanpendayagunaanSDA

• asas kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan,

keserasian,keadilan, kemandirian, transparansidanakuntabilitas.

Dasar

Berbasis Wil. Administrasi: Kebijakan Nasional → Propinsi →Kab/ Kota

• Wewenang & Tanggungjawab

• Pemberdayaan& Pengawasan

• Pembiayaan

• Hak, Kewajib, & Peran Masya

• Koordinasi

Semua stakeholders terlibat:

• Konsul. publik I : menjaring

masukan

• Konsul. publik II: sosialisasi

 pola

POLA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR 

PERENCANAAN PENGELOLAAN SD AIR:

Pedoman & Arahan STAKEHOLDERS

 

 Aspek Pengelolaan Sumber Daya Air 

• Konservasi SDA

• Pendayagunaan SDA

• Pengendaliaan Daya Rusak Air

• Pemberdayaan Masyarakat

• Sistem Informasi SDA

 

Page 65: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 65/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Robert J . Kodoatie , Roestam Sjarief 63

Skema Aspek Pengelolaan SDA

Pola

Pengelolaan

SumberdayaAir (Sebagai

Acuan)

a. Penatagunaan sumber air baku b. Penyediaan sumber air bakuc. penggunaan sumber air bakud.  pengembangan sumber air bakue.  pengusahaan sumber daya air 

2. Pendayagunaan Sumberdaya Air 

a. Perlindungan & pelestarian sumber air 

 b. Pengawetan air c. Pengelolaan kualitas air d. Pengendalian pencemaran air 

1. Konservasi Sumberdaya Air 

a. Upaya pencegahan b. Upaya penanggulangan

c. Upaya pemulihan

3. Pengendalian Daya Rusak Air 

a. Pengelolaan sis infor hidrologi,

 b. Pengelolaan sis infor hidrometeorologic. Pengelolaan sis infor hidrogeologi

5. Sistem Informasi Sumberdaya Air 

   A  s  p  e   k   P  e  n

  g  e   l  o   l  a  a  n

4. Pemberdayaan & Peningkatan PeranMasyarakat, Dunia Usaha, dan Pemerintah

 

• Perlindungan dan Pelestarian Sumber Air– Pemeliharaan kelangsungan fungsi resapan air– Pengendalian pemanfaat sumber air– Pengaturah daerah sempadan sumber air– Rehabilitasi hutan dan lahan, dll

• Pengawetan Air– Menyimpan air yang berlebihan di musim hujan– Penghematan air– Pengendalian penggunaan air tanah

• Pengelolaan kualitas air– memperbaiki kualitas air pada sumber air antara lain dilakukan

melalui upaya aerasi pada sumber air dan prasarana sumber dayaair

• Pengendalian Pencemaran Air

– mencegah masuknya pencemaran air pada sumber air danprasarana sumber daya air

Konservasi SDA

 

Page 66: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 66/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Robert J . Kodoatie , Roestam Sjarief 64

1. Dilakukan melalui kegiatan:– Penatagunaan,– Penyediaan– Penggunaan,– Pengembangan, dan– Pengusahaan SDA dengan mengacu pada pola pengelolaan SDA

yang ditetapkan pada setiap sungai

2. Ditujukan untuk:– Memanfaatkan SDA secara berkelanjutan,– Mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok kehidupan

masyarakat secara adil.

3. Pendayagunaan sumber daya air dikecualikan– pada kawasan suaka alam dan– kawasan pelestarian alam.

Pendayagunaan SDA (1/1)

1. Pendayagunaan SDA diselenggarakan secara:– Terpadu dan adil antar sektor atau antar wilayah, maupun antar

kelompok masyarakat dengan mendorong pola kerjasama

2. Didasarkan pada:– Air hujan,

– Air permukaan,

– Air tanah dgn mengutamakan pendayagunaan air permukaan.

3. Setiap orang WAJ IB mengunakan air se-HEMATmungkin

4. Pendayagunaan SDA dilakukan dengan:– Mengutamakan fungsi sosial guna mewujudkan keadilan

– Memperhatikan prinsip pemanfaatan air membayar biaya jasapengelolaan SDA, dan

– Melibatkan peran masyarakat

Kegiatan Pendayagunaan SDA (2/2)

Page 67: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 67/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Robert J . Kodoatie , Roestam Sjarief 65

1. Dilakukan secara menyeluruh yang mencakup upaya PENCEGAHAN,PENANGGULANGAN,dan PEMULIHAN.

2. Menjadi tanggung jawab Pemerintah, pemerintah daerah, sertapengelolasumberdaya airwilayahsungai danmasyarakat.

3. Mengutamakan upaya PENCEGAHAN melalui perencanaanpengendalian daya rusak air yang disusun secara terpadu danmenyeluruhdalamPOLA pengelolaansumberdaya air.

4. Upaya PENCEGAHAN lebih diutamakanpada KEGIATANNONFISIK.

5. Kegiatan NONFISIK adalah kegiatan penyusunan dan/atau penerapanpiranti lunak yang meliputi antara lain pengaturan, pembinaan,pengawasan, danpengendalian.

Pengendalian Daya Rusak

 

1. Pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha dimaksudkan untuk menjaring masukan,permasalahan, dan atau keinginan dari para pemilik kepentingan (stakeholders) untukdiolah dan dituangkan dalam arahan kebijakan Pengelolaan Sumberdaya air Terpadu

2. Pemberdayaan masyarakat diwujudkan dengan KONSULTASI PUBLIK, minimal 2 tahap

3. HakMasyarakat dalam Pengelo laan SDA

• memperoleh informasi yang berkaitan dengan Pengelolaan sumberdaya air

• memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang dialaminya sebagai akibatpelaksanaan Pengelolaan sumberdaya air

• memperoleh manfaat atas Pengelolaan sumberdaya air

• menyatakan keberatan pada rencana Pengelolaan SDA sesuai dengan kondisisetempat

• mengajukan laporandanpengaduankepadapihakyang berwenang atas kerugian yangmenimpa dirinya yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pengelolaan SDA

• mengajukan gugatan pada pengadilan terhadap berbagai masalah yang merugikan

4. Peran Masyarakat dalam Pengelolaan SDA:

• menyampaikan pemikiran, gagasan, & proses pengambilan keputusan dalam batastertentu dalam proses perencanaan

• sumbangan waktu, tenaga, material, dan dana dalam proses pelaksanaan yang

mencakup pelaksanaan konstruksi serta operasi dan pemeliharaan

• menyampaikan laporan dan/atau pengaduan pada pihak berwenang dalam prosespengawasan

Pemberdayaan Masyarakat

 

Page 68: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 68/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Robert J . Kodoatie , Roestam Sjarief 66

1. Penyelenggaraan dan Materi Informasi

• Sistem informasi SDA dilaksanakan untuk mendukung Pengelolaan SDA olehpemerintah dan pemerintah daerah

• Materi informasi SDA: kondisi hidrologis, hidrometeorologis, hidrogeologis, kebijakansumber daya air, prasarana sumber daya air, teknologi sumber daya air, lingkunganpada sumber daya air dan sekitarnya, serta kegiatan sosial ekonomi budayamasyarakat yang terkait dengan sumber daya air

2. J aringan Informasi

• dikelola oleh berbagai instansi terkait

• harus dapatdiakses oleh berbagai pihak yang berkepentingan dalambidangsumberdaya air

3. Penyelenggara Informasi

• Penyelenggara informasi SDA: Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta pengelolasumber daya air, sesuai dengan kewenangannya

• Penyelenggara informasi SDA harus dapat menjamin keakuratan, kebenaran, danketepatan waktu atas informasi yang disampaikan

4. Pengelolaan SistemInformasi Hidrologi, Hidrometeorologi, Dan Hidrogeologi

• Dilaksanakan untuk mendukung pengelolaan sistem informasi sumber daya air ditingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota

• Kebijakannya ditetapkan oleh pemerintah usulan Dewan Sumberdaya AirNasional

• dapat dilakukan melalui kerja sama dengan pihak lain

Sistem Informasi SDA

 

Penataan Ruang

Beberapapengertiandalam tata

ruang

Wadah ruang2:daratan, lautan dan udara

suatu kesatuan wilayah, tempatmanusia dan makhluk lainnyahidup dan melakukan kegiatanserta memelihara kelangsunganhidupnya.

Ruang

Republik Indonesia punyai hak yurisdiksi: hak berdaulat di wilayahteritorial & kewenangan hukum diluar wilayah teritorial berdasar ketentuan konvensi yang

 bersang kutan b erkaitan dengan ruang

lautan dan udara.

Tata ruang:

Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang

Wujud struktur pemanfaatan ruang:

•  susunan unsur 2 pembentuk ruang lingkungan2 alam, sosial, dan buatan

•  secara hirarkis dan struktural salingmembentuk tata ruang.

•  hirarki pusat pelayanan seperti pusat 2 kota,lingkungan, p emerintahan

•   prasarana jalan: arteri, k olektor, loka l

•  rancang bangun kota: ketinggian bangunan, jarak antar b angunan, garis langit, dll.

Pola pemanfaatan ruang:

•   bentuk pem anfaatan ru ang yangmenggambarkan ukuran, fungsi, & karakter kegiatan manusia dan/atau kegiatan alam.

•  Wujud pola pemanfaatan ruang: pola lokasi,sebaran permukiman, tempat kerja, industri,dan pertanian, serta pola penggunaan tanah

 perdesaa n dan perkotaan (tata ruangterencana)

•  tidak direncanakan: terbentuk alami: aliransungai, danau, suaka alam, gua, gunung dll.

R e n c a n a t a t a r u a n g :

h as i l p e r e n c an aan t a t a r u an g

Pe n a t a a n r u a n g :

•    pr os es pe re nc an aa n ta ta ru an g,

•    pe m an fa at an ru an g,

•    pe ng en da lia n pe m an fa at an ru an gy a n g d i l a k s a n a k a n s e c a r a s e k u e n s i a l .

 

Page 69: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 69/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Robert J . Kodoatie , Roestam Sjarief 67

Siklus Penataan Ruang

Detail Siklus Penataan Ruang

SIKLUS PENATAAN

PerencanaanTata Ruang

PemanfaatanRuang

PengendalianPemanfaatan

Ruang

 

Penyelenggaraan Penataan Ruang

Pengaturan penataan ruang : upaya untuk memberikan landasannormatif bagi Pemerintah (Pemerintah Pusat), Pemerintah Daerah(Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota), dan masyarakatdalam penataan ruang melalui penetapan norma, standar, pedoman,dan manual (NSPM) bidang Penataaan Ruang.

Pembinaan Penataan Ruang : upaya untuk meningkatkan kinerjapenataan ruang yang diselenggarakan oleh Pemerintah, PemerintahDaerah, danmasyarakat.

Pelaksanaan penataan ruang : upaya pencapaian tujuan penataanruang melaluipelaksanaan penataan yang meliputi:

• perencanaantata ruang

• pemanfaatanruang

• pengendalianpemanfaatanruang.

Pengawasan Penataan Ruang : Upaya agar penyelenggaraanpenataan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan peraturanperundang-undangan.

 

Page 70: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 70/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Robert J . Kodoatie , Roestam Sjarief 68

keterpaduan

keserasian, keselarasan, dan keseimbangan

keberlanjutan

keberdayagunaan dan keberhasilgunaan

keterbukaan

kebersamaan dan kemitraan

pelindungan kepentingan umum

kepastian hukum dan keadilan

akuntabilitas

 Asas-Asas Penataan Ruang

Mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, danberkelanjutanberlandaskanWawasan Nusantara danKetahanan Nasional dalamkerangkaNegaraKesatuanRepublikIndonesiauntuk: mewujudkankeharmonisanantaralingkunganalamdan lingkunganbuatan mewujudkanketerpaduan dalampenggunaan sumber dayaalamdan sumber

dayabuatandengan memperhatikansumberdaya manusia mewujudkan pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif 

terhadaplingkunganakibatpemanfaatanruang.

Tujuan Penataan Ruang

Klasifikasi Penataan Ruang

1. Penataan ruang berdasarkan sistem• Penataan ruang berdasarkansistem wil ayah merupakan pendekatan dalam

penataan ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat wilayah.• Penataan ruang berdasarkansistem internal perkotaan merupakan

pendekatan dalam penataan ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan didalam kawasan perkotaan.

2. Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan• Terdiri atas :kawasan lindung & kawasan budi daya• Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan merupakan komponen

dalam penataan ruang baik yang dilakukan berdasarkan wilayahadministratif, kegiatan kawasan, maupun nilai strategis kawasan.

3. Penataan ruang berdasarkan wil ayah admini stratif  Terdiri atas :

• penataan ruang wilayah nasional• penataan ruang wilayah provinsi• penataan ruang wilayah kabupaten/kota.

4. Penataan ruang berdasarkan kegiatan kawasan Terdiri atas:

• penataan ruang kawasan perkotaan• penataan ruang kawasan perdesaan.

Page 71: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 71/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Robert J . Kodoatie , Roestam Sjarief 69

Pengaturan dan Pembinaan Penataan Ruang

Pengaturan penataan ruang dilakukan melalui penetapan norma, standar,pedoman,dan manual(NSPM) bidangpenataanruang.

Pemerintah melakukan pembinaan penataan ruang kepada Pemerintah Provinsi,PemerintahKabupaten/Kota,danmasyarakatmelalui:

– koordinasipenyelenggaraanpenataanruang;

– sosialisasinorma,standar, pedoman,danmanualbidangpenataanruang;

– pemberianbimbingan,supervisi, dankonsultasi pelaksanaanpenataanruang;

– pendidikandanpelatihanantara lain untukmeningkatkan kemampuanaparaturpemerintah dan masyarakat dalam penyusunan rencana tata ruang,pemanfaatanruang, danpengendalianpemanfaatanruang.

– penelitiandanpengembangan;

– pengembangansisteminformasidankomunikasipenataan ruang;

– penyebarluasan informasipenataanruangkepada masyarakat,

– pengembangankesadarandantanggungjawabmasyarakat

Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota menyelenggarakanpembinaan penataan ruang menurut kewenangannya masing-masing. Ketentuanlebih lanjut mengenai penyelenggaraan pembinaan diatur dengan PeraturanPemerintah.

 

Pelaksanaan Penataan Ruang

• PerencanaanTata Ruang

Perencanaan tata ruangdilakukanuntukmenghasilkan:• rencana umum tata ruang yang dibedakan menurut wilayah

administrasipemerintahan• rencanarinci tata ruang:

• penjabaran rencana umumtataruang yangdapat beruparencana tata ruang kawasan strategis yang penetapankawasannya tercakup di dalam rencana tata ruangwilayah.

• operasionalisasi rencana umum tata ruang yang dalampelaksanaannya tetap memperhatikan aspirasimasyarakat sehingga muatan rencana masih dapatdisempurnakan dengan tetap mematuhi batasan yangtelahdiaturdalamrencana rinci danperaturan zonasi.

 

Page 72: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 72/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Robert J . Kodoatie , Roestam Sjarief 70

•Pemanfaatan Ruang

• Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan programpemanfaatan ruangbeserta pembiayaannya.

• Pemanfaatan ruang dilaksanakan baik secara vertikal maupun pemanfaatanruangdi dalambumi.

• Program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya termasuk jabaran dariindikasiprogramutamayang termuatdi dalamrencanatata ruangwilayah.

• Pemanfaatan ruang diselenggarakan secara bertahap sesuai dengan jangkawaktu indikasi program utama pemanfaatan ruang yang ditetapkan dalam

rencanatata ruang.• Pelaksanaan pemanfaatan ruang di wilayah disinkronisasikan dengan

pelaksanaanpemanfaatanruangwilayahadministratifsekitarnya.• Pemanfaatan ruang dilaksanakan dengan memperhatikan standar pelayanan

minimaldalampenyediaansaranadanprasarana.• Pemanfaatan ruangmengacupada fungsi ruangyang ditetapkan dalamrencana

tata ruang dilaksanakan dengan mengembangkan penatagunaan tanah,penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya alamlain.

• Dalam rangka pengembangan penatagunaan diselenggarakan kegiatanpenyusunan dan penetapan neraca penatagunaan tanah, neraca penatagunaansumber daya air, neraca penatagunaan udara, dan neraca penatagunaansumberdayaalamlain.

 

•Pengendalian Pemanfaatan Ruang

Pengendalian pemanfaatan ruang dimaksudkan agar pemanfaatanruang dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang.

Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui:

o penetapan peraturan zonasi, ditetapkan dengan:

• peraturan pemerintah untuk arahan peraturan zonasi sistemnasional;

• peraturan daerah provinsi untuk arahan peraturan zonasi sistemprovinsi; dan

• peraturan daerah kabupaten/kota untuk peraturan zonasi.

o Perizinan

o pemberian insentif dan disinsentif 

o pengenaan sanksi.

Page 73: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 73/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Robert J . Kodoatie , Roestam Sjarief 71

Pengawasan Penataan Ruang

• Untuk menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan penataanruang dilakukan pengawasan terhadap kinerja pengaturan,pembinaan, dan pelaksanaan penataan ruang.

• Pengawasan terdiri atas tindakan pemantauan, evaluasi, danpelaporan.

Hak, Kewajiban, Dan Peran Masyarakat

Dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk:

• mengetahuirencanatataruang;

• menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataanruang;

• memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbulakibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai denganrencana tataruang;

• mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadappembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang diwilayahnya;

• mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentianpembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruangkepadapejabatberwenang; dan

• mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/ataupemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuaidengan rencana tata ruangmenimbulkankerugian.

 

Page 74: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 74/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Robert J . Kodoatie , Roestam Sjarief 72

Dalam pemanfaatan ruang,setiap orang wajib:

• menaati rencana tataruangyang telahditetapkan;• memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari

pejabatyangberwenang;• mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin

pemanfaatanruang; dan• memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan

peraturanperundang-undangandinyatakansebagai milik umum.

Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerin tahdengan mel ibatkan peran masyarakat, d ilakukan, antara lain,

melalui:

• partisipasi dalampenyusunan rencana tataruang;• partisipasi dalampemanfaatanruang; dan• partisipasi dalampengendalian pemanfaatanruang.

 

Harmonisasi Pengelolaan Sumberdaya Air 

dan Penataan Ruang

• INFRASTRUKTURSistemjaringaninfrastrukturterdiri atas :

− sistemjaringan transportasi

− sistemjaringan energi dan kelistrikan

− sistemjaringan telekomunikasi

− sistempersampahan dan sanitasi

− sistemjaringan sumber daya air

Sumber Daya Air tidak termasuk komponen infrastruktur, namun bagian-bagian dari pengelolaan sumber daya air bisa dikategorikan sebagaiinfrastrukturkeairan baikyangbersifatalamimaupunyangbersifatartifisial

Komponen Alami SDA: sungai, muara/estuari, rawa, danau, daerahretensi, pantai,air tanah,mataair,air terjun, dll

Komponen artifisial SDA merupakan bangunan air yang dibuat olehmanusia untuk suatu tujuan tertentu, seperti: waduk, embung, sistemdrainese, jaringanair bersih,sistempengendalianbanjir,

 

Page 75: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 75/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Robert J . Kodoatie , Roestam Sjarief 73

Harmonisasi Pengelolaan Sumberdaya

 Air dan Penataan Ruang

• Penataan Ruang adalah proses perencanaan tata ruang,pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang yangdilaksanakansecarasekuensial (RUU PenataanRuang, 2006)

tata ruang : wujud struktur ruang dan pola pemanfaatanruang

• Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputipengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataanruang

PenyelenggaraanPenataanRuang

Kegiatan

1 Pengaturan2 Pembinaan3 Pelaksanaan4 Pengawasan

PenataanRuang

 

Page 76: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 76/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Robert J . Kodoatie , Roestam Sjarief 74

Pengelolaan Banjir dan Kekeringan Terpadu

• Penentuan Rencana Tata Ruang Wilayah dan Pengelolaan Sumber DayaAir harus dilakukan bersama.

• Keterkaitan antara Penyelenggaran Penataan Tata Ruang dan PolaPengelolaan Sumber Daya Air merupakan hal yang mutlak pembangunanberkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Di dalam hubungan masing-

masing bagian (aspek) dari penataan ruang maupun PSDA perludikompromikan dalam bentuk kesepakatan dan kesepahaman yang sama

• contoh Wilayah Sungai (termasuk DAS maupun CAT) dalam PSDA harusditransformasikan dan diekivalensikan dengan Wilayah AdministrasiPenataan Ruang. Dengan demikian didapat hubungan harmonis antaraPenataan Ruang dan Pengelolaan Sumber Daya Air. Dari sini dapatdilakukan pengelolaan banjir dan kekeringan secara terpadu

• hubungan detail aspek-aspek Penataan Ruang, Pola PSDA danPengelolaan Banjir dan Kekeringan ditunjukkan dalam gambar-gambarberikut:

Page 77: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 77/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Robert J . Kodoatie , Roestam Sjarief 75

2. P EMANFAATAN RUANG

Pemanfaatan Ruang: Pemanfaatan wadah yang meliputi ruang da rat, ruang

laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan

wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan

memelihara kelangsungan hidupnya

Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola

ruang sesuai den gan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya

3. PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANGPengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk

mewujudkan tertib tata ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang d ilakukan

melalui penetapan p eraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif,

serta pengenaan sanksi.

Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk

menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan

 penetapan rencana tata ruangStrukturRuangadalahsusunanpusat-pusatpermukimandansistemjaringan

 prasaranad an saranayang berfungsisebagai pendukungkegiatan sosialekonomi

masyarakatyan g secarahierarkis memilikihubunganfungsio nalsional.

1. PERENCANAAN TATA RUANG

PENATAAN RUANG

Pola ruang ad alah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi

 peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi

daya

SIKLUS PENATAAN RUANG

POLA PEMANFAATAN RUANG

   S  a   l   i  n  g   B  e  r  g  a  n  t  u  n  g   d

  a  n

   S  a   l   i  n  g   M  e  m  p  e  n  g  a  r  u

   h   i

Basis Wilayah Administrasi: Nasional, Propinsi, Kab/Kota, Kec, Desa→ RTRWN, Prop & Kab/Kota

POLA PSDAAspek Pengelolaan

•Konservasi SDA

•Pendayaguanaan SDA

•Pengenddaya rusak air

Pendukung:

•Pemberdayaan Masy

•Sistem Informasi

Basis Wilayah Sungai

•DAS: Aliran permukaan

•CAT: air tanah

Lokasi (lahan) yang sama (satu) baik geografis, topografis dan geologis:

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

Termasuk dalam KAWASAN LINDUNG

1. Kaw. yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya:

hutan lindung, bergambut, resapan air

2. kawperlindungansetempat:sempadanpantai, sempadansungai,

kawsekitardanau/waduk,kawasan sekitarmataair

3. kawasan suakaalamdan cagar budaya: kaw suaka alam,kaw

suakaalamlaut & perairanlainnya, kawpantaiberhutan bakau,

taman nasional,tmn hutan raya, tmn wisata alam, cagar alam,

suakamargasatwa,kawcagarbudaya& ilmupenget

4. kawasan rawan bencana alam→kawasan rawan: letusan gng

 berapi, gempa bumi, tanah longsor, gelombang pasang , banjir

5. kawasan lindung lainnya, misalnya:taman buru, cagar biosfir,kawasan perlindungan plasma nuftah, kawasan pengungsian

satwa,kawterumbukarang.

Termasuk dalam KAWASAN BUDIDAYA

1. kawasanperuntukanhutan produksi

2. kawasanperuntukanhutan rakyat

3. kawasanperuntukanpertanian

4. kawasanperuntukanperikanan

5. kawasanperuntukanpertambangan

6. kawasanperuntukanpermukiman

7. kawasanperuntukanindustri

8. kawasanperuntukanpariwisata

9. kawasantempatberibadah

10. kawasanpendidikan

11. kawasanpertahanankeamanan

STRUKTUR RUANG:

• pusat-pusat permukiman

oSistem wilayah: kawasan perkotaan pusat kegiatan sosek masya

oSisteminternalperkotaan:pusatpelaynkegiatan

•sistemjaringaninfrastrukturosistem jaringan transportasi

osistemjaringanenergidankelistrikan

osistemjaringantelekomunikasi

osistemp ersampahandan sanitasi

osistemjaringansumberdayaair

 

Page 78: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 78/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Robert J . Kodoatie , Roestam Sjarief 76

Page 79: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 79/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Robert J . Kodoatie , Roestam Sjarief 77

Hubungan detail aspek-aspek Penataan Ruang, Pola PSDA danPengelolaan Banjir dan Kekeringan

   P   E   N   A   T   A   A   N   R   U   A   N   G   B   E   R   D

   A   S   A   R

   P   O   L   A   P   E   N   G   E   L   O   L   A   A   N   S   U

   M   B   E   R   D   A   Y   A   A   I   R

a. Penatagunaan SDA

 b. Penyediaan SDAc. Penggunaan SDAd. Pengembangan SDAe. Pengusahaan SDA

2. Pendayagunaan SDA

a. Perlindungan & pelestarian sumber air 

 b. Pengawetan air 

c. Pengelolaan kualitas air 

d. Pengendalian pencemaran air 

1. Konservasi SDA

a. Upaya pencegahan b. Upaya penanggulanganc. Upaya pemulihan

3. Pengendalian Daya Rusak Air

Basis Wilayah Sungai• DAS: Aliran permukaan• CAT: air tanah

Penataan RuangHarmonis dengan

Pola Pengelolaan Sumber Daya Air

2. fungsi• kawasan lindung• kawasan budidaya

1. sistem• sistem wilayah• sistem internal perkot

3. administrasi• wil nasional (RTRWN)• wil provinsi (RTRWP)• wil kab/kota (RTRWK)

4. kegiatan kawasan• kaw perkotaan• kaw perdesaan

5. nilai strategis kawsan• kaw strategis nasional• kaw strategis provinsi• kaw strategis kabupaten• kaw strategis kota• kaw tertinggal

PENGELOLAAN BANJIR &

KEKERINGAN TERPADU

Garis berarti perlu koordinasi, komunikasi, pemahamandan pengertian yang sama untuk hal yang berbeda. Misalnya, ada hubungan erat antara fungsi lindung(Tata Ruang) dan konservasi SDA (PSDA). Hubunganini perlu dieksplore secara detail dari berbagai hal.

 

Daftar Pustaka• Echols, J ohn M. dan Shadily, Hassan, 1988. Kamus Inggris Indonesia. Penerbit PT. Gramedia, Jakarta

• Global Water Partnership (GWP), 2001. Integrated Water Resources Management. GWP B ox, Stockholm, Sweden.

• Government Finance Research Centre, Financial Management Assistance Program, 1981. Planning for Clean Water

Programs, the ole of Financial Analysis. U.S Government Printing Office, Washington, D.C

• Grigg, Neil, 1988. Infrastructure Engineering and Management. J ohn Wiley dan Sons.

• Grigg, Neil, 1996. Water Resources Management: Principles, Regulations, and Cases. McGraw-Hill.

• Grigg, Neil, dan Fontane G. Darell, 13 July 2000. Infrastructure Systems

Management dan Optimization. International Seminar “Paradigm dan Strategy of Infrastructure management”, CivilEngineering Department Diponegoro University.

• Hogendijk, Willem, 1996. Revolusi Ekonomi Menuju Masa Depan Berkelanjutan dengan Membebaskan Perekonomian dariPengejaran Uang Semata. Yayan Obor Indonesia, Jakarta.

• Ismawan, Indra, 1999. Resiko Ekologis di Balik Pertumbuhan Ekonomi. Penerbit Media Pressindo bekerja sama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan the Ford Foundation, Yogyakarta

• Keraf, A. Sonny, 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas

• Kodoatie, Robert J., dan Hadimuljono Basuki, 2005. Kajian Undang-Undang Sumber Daya Air. Cetakan 3 Penerbit Andi,

 Yogyakarta.

• Kodoatie, Robert J., dan Sjarief Roestam, 2005. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu. Penerbit Andi, Yogyakarta.

• Kodoatie, Robert J., dan Sjarief Roestam, 2006. Pengelolaan Sumber Bencana Terpadu – Banjir, Longsor, Kekeringan dan Tsunami. Penerbit Yarsif Watampone (Anggota IKAPI) Jakarta.

• Kodoatie, Robert J., dan Sjarief Roestam, 2007. Tata Ruang Air. Draft Buku

• New Webster Dictionary and Roget’s Thesaurus, 1997. Ottenheimer Publisher Inc.

• RUU No…. Tentang Penataan Ruang (2006).• UU RI No 7. Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air.

• Webster’s New World Dictionary, 1983. David B. Guralnik, Editor in Chief Student Edition, Published By Prentice-Hall Inc

Collins Cobuild, 1988. English Language Dictionary. Collins London and Glasgow

 

Page 80: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 80/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Robert J . Kodoatie , Roestam Sjarief 78

 TERIMA KASIH

 

Page 81: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 81/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Effendi Pasandaran79

PENGELOLAAN INFRASTRUKTUR IRIGASIDALAM KERANGKA KETAHANAN PANGAN

NASIONAL

Effendi Pasandaran8 

 A. Pendahuluan

Perkembangan pembangunan dan pengelolaan infrastruktur irigasi dari perspektif sejarah sangat erat kaitannya dengan ketahanan pangan nasional dan politikekonomi dalam suatu kawasan atau suatu negara. Walaupun pembangunan irigasi diIndonesia telah berlangsung ribuan tahun ada periode periode tertentu yang perludiperhatikan dalam pengelolaan infrastruktur irigasi untuk dapat dijadikan pelajaranpada masa yang akan datang.

Ada empat periode yang perlu diperhatikan dengan masing masing periodemengandung ciri ciri tertentu. Keempat periode tersebut adalah periode prakolonial,kolonial, periode perang dingin, dan periode globalisasi.(Barker and Molle,2005)

Pada periode prakolonial pembangunan irigasi dilakukan oleh masyarakat tani

sendiri.Pada umumnya pembangunan irigasi mengikuti pembangunan persawahandan dalam periode ini salah satu ciri yang menonjol adalah terbangunnya kapitalsosial yang kuat dalam pengelolaan irigasi yang diwariskan dan dikembangkan lebihlanjut dari satu generasi kegenerasi berikutnya.(Pasandaran, 2006).

Pada periode kolonial komitmen pemerintah dalam membangun irigasi mulai munculyaitu tatkala terjadi kelaparan besar yang menyebabkan kematian sekitar duaratusribu orang sebagai akibat musim kemarau yang terik dan panjang pada tahun 1848 diKabupaten Demak J awa tengah ( Vlughter, 1949). Setelah itulah dilakukanpembangunan bendung diberbagai tempat seperti bendung Gelapan, Tuntang,danbendung Sidoarjo di delta Brantas.

Hal yang menonjol dalam periode perang dingin adalah munculnya teknologi revolusihijau yang dihasilkan oleh lembaga lembaga penelitian internasional antara lain IRRI

yang menghasilkan varitas varitas padi unggul.( Barker and Mole,2005 ) Untukmelaksanakan revolusi hijau secara luas melalui program intensifikasi produksi(BIMAS) diperlukan dukungan pembangunan infrastruktur dan pengelolaan irigasiyang menyedot dukungan pendanaan yang relatif besar. Seperti yang dikemukakanoleh Rosegrant and Pasandaran (1995) pada tahun 1980an pangsa investasi publikuntuk irigasi lebih dari separoh pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian.

8Profesor Riset Badan Litbang Pertanian, J akarta

Page 82: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 82/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Effendi Pasandaran80

 Tulisan ini berupaya membahas pelajaran yang diperoleh dalam pembangunan danpengelolaan irigasi dalam hubungannya dengan masalah ketahanan pangan padaberbagai periode tersebut diatas dan membahas masalah dan tantanganpembangunan dan pengelolaan infrastruktur dalam menghadapi era globalisasi sertamenyarankan arah dan langkah langkah yang perlu ditempuh.

B. Politi k Ekonomi Irigasi dan Ketahanan Pangan

Seperti yang dikemukakan sebelumnya peran pemerintah dalam membangun

infrastruktur irigasi dimulai pada jaman kolonial sebagai respons terhadap masalahkelaparan dan kemiskinan di pulau J awa.

Disamping berupaya memperbaiki ketahanan pangan dan kesejahteraanmasyarakat pribumi politik pembangunan irigasi juga memperhatikan upayapembangunan komoditi ekspor pemerintah kolonial yang terkait dengan cultuur stelsel  terutama tebu dan indigo yang memerlukan irigasi. Kurun waktu antarapembangunan irigasi di Demak hingga penghujung abad 19 menurut kategoriVlughter (1949) adalah periode pioniring atau ujicoba. Politik pembangunan irigasidalam periode ini juga dipacu oleh perkembangan tegnologi hidrolika yangmemungkinkan pembangunan irigasi dalam skala besar.

Sekitar 300 ribu ha sistem irigasi diperbaiki pada areal yang pembangunanpersawahannya telah dirintis oleh masyarakat. Dapatlah disimpulkan bahwapengalaman membangun irigasi selama sekitar lima puluh tahun sudah cukupmemberikan pelajaran bagi pemerintah Hindia Belanda untuk menjadikan irigasisebagai salah satu instrumen kebijakan dalam melaksanakan politik etika (EthieschePolitiek ) yang diumumkan oleh Ratu Wilhelmina pada permulaan abad ke 20 didepanparlemen Belanda dalam upaya mengatasi kemiskinan dan memperbaikikesejahteraan masyarakat pribumi di Hindia Belanda.

Sebagai konsekwensi kebijakan tersebut, paroh pertama abad 20 dapatlah dikatakansebagai kurun waktu perluasan irigasi skala besar dan pembangunan lembagapengelolaan irigasi berbasis pemerintah. Selanjutnya Vlughter memilah parohpertama abad 20 yang merupakan fase pengembangan irigasi secara luas dalam duakurun waktu. Periode pertama, antara tahun 1900 sampai 1925, merupakanperluasan prasarana dan pemantapan organisasi pengelolaan irigasi.

Periode kedua merupakan periode pemantapan upaya upaya pengelolaan air irigasi

di tingkat tersier dalam rangka mendukung rencana tata tanam (cultuur plan) padasuatu daerah irigasi. Pada periode kedua ini ditetapkan kebutuhan irigasi relatif untukberbagai tanaman dan penggolongan tanaman pada awal musim tanam.

Ada beberapa pelajaran yang diperoleh dalam upaya menghasilkan berbagai produkkebijakan yang terkait dengan pembangunan irigasi. Pertama, perlunya upayarintisan atau ujicoba untuk mempelajari apakah sesuatu instrumen kebijakan dapatdilaksanakan, misalnya ujicoba pembangunan irigasi dalam skala besar yangdilakukan pada paroh kedua abad 19. Kedua, perlunya evaluasi “ex post ” terhadapproses yang sedang berjalan dan bila ujicoba tersebut berhasil maka formalisasi

Page 83: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 83/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Effendi Pasandaran81

kebijakan dilakukan dan pada fase kedua dilanjutkan dengan perluasan investasi.Ketiga, sejalan dengan perluasan investasi irigasi, perlu dilakukan upaya merintispembangunan kelembagaan pengelolaan irigasi yang telah dimulai pelaksanaannyasebelum kebijakan irigasi diumumkan dan pada fase ketiga dapatlah dianggapsebagai pemantapan, baik proses pembangunan prasarana fisik maupunkelembagaan.

Dengan semakin meluasnya irigasi yang dibangun pemerintah baik pemerintahkolonial maupun pemerintah Republik Indonesia dijumpai dikotomi kerangka

pengelolaan irigasi yaitu kerangka pengelolaan yang berbasis masyarakat tani danyang berbasis pemerintah. Paling tidak ada empat fase perkembangan yang perludicermati sebagai akibat hubungan saling mempengaruhi antara kekuatan kekuatanyang menentukan eksistensi kedua kerangka pengelolaan tersebut(Pasandaran,2003).

Pertama, fase pembangunan irigasi oleh masyarakat tani. Akumulasipengalaman masyarakat tani terjadi dalam tempo yang lama mungkin ribuantahun seperti yang dilaporkan oleh Van Zetten Vander Meer(1979), mungkinsudah berlangsung sejak 16 abad sebelum masehi, dimulai denganpembangunan sawah tadah hujan, dan kemudian disusul dengan penemuanteknologi mengalihkan air dari sungai. Walaupun teknologi pengalihan aliran airtersebut bersifat sederhana yaitu pengambilan bebas (free intake), namunmakna dari temuan tersebut adalah terjadinya perubahan sosial seperti

pembagian tenaga kerja dan akumulasi kesejahteraan.

Kedua, fase koeksistensi antara irigasi masyarakat dan irigasi berbasispemerintah. Sejak pertengahan abad 19 irigasi dalam skala besar dibangunoleh pemerintah kolonial Belanda. Fase ini berlangsung lebih dari satu abad,(sejak 1848 – pertengahan dasawarsa tujuh puluhan). Walaupun pemerintahkolonial Belanda membangun irigasi skala besar pada sistem persawahan danirigasi yang dirintis oleh masyarakat namun masyarakat tani tetap melanjutkanpengembangan sistem irigasi mereka sendiri.

Ketiga, fase dominasi peranan pemerintah dalam pengelolaan irigasi. Investasiirigasi dilakukan secara besar besaran pada dasawarsa tujuh puluhan dandelapan puluhan dengan tujuan mewujudkan tercapainya swa sembada beras.Adanya teknologi revolusi hijau yang rensponsif terhadap air memerlukan upayaperbaikan infrastruktur irigasi yang sudah ada dan perluasan sistem irrigasi

khususnya di luar J awa. Upaya tersebut sangat ditunjang oleh melonjaknyaharga minyak dipasar internasional yang memperkuat dukungan AnggaranPendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan utang luar negeri yang dalamtahap awal dilakukan melalui proyek proyek irigasi dengan bantuan IBRD/IDA.

Keempat, fase reformasi pengelolaan irigasi dan sumberdaya air padaumumnya seiring dengan desentralisasi dan otonomi daerah. Walaupun fase inididahului oleh Kepres no 3/ 1999 dan PP 77 tahun 2001 tentang irigasi yangpada hakekatnya menyerahkan kewenangan pengelolaan irigasi kepada

Page 84: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 84/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Effendi Pasandaran82

Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) namun dalam perkembanganselanjutnya melalui UU no 7 tahun 2004 tentang sumberdaya air lebihditekankan pada pendekatan keterpaduan yang mencerminkan suatukeseimbangan dalam menerapkan peran dari berbagai aktor yang terlibat dandalam menerapkan fungsi fungsi air yaitu fungsi ekonomi, fungsi sosial danfungsi keberlanjutan lingkungan sumberdaya air.

 Tantangan utama yang dihadapi dalam fase keempat yang mencerminkan eraglobalisasi adalah bagaimana mengatasi kesenjangan yang semakin besar antara

permintaan sumberdaya alam khususnya lahan dan air yang diperlukan untukmendukung produksi pangan dan ketersediaannya yang semakin langka.WalaupunIndonesia mempunyai komitmen yang kuat untuk memenuhi kebutuhan pangan padaempat periode Repelita (1969 -1989) yang antara lain ditunjukan oleh dukungan yangkuat terhadap program pembangunan pengairan pada keempat periode tersebutnamun kapasitas produksi yang dihasilkan masih sangat terbatas apabiladibandingkan dengan perkembangan yang terjadi pada negara negara lain. Selamakurun waktu lima dasawarsa antara tahun 1950 sampai 2000 luas irigasi Indonesiahanya meningkat sekitar 50 % dari 3,5 juta ha pada tahun 1950 menjadi 5,2 juta hapada tahun 2000 sedangkan pada kurun waktu yang sama irigasi di dunia meningkatlebih dari tiga kali lipat yaitu dari 80 juta ha pada tahun 1950 menjadi 270 juta hapada tahun 2000.

Rendahnya perluasan sawah irigasi di Indonesia antara lain disebabkan oleh

derasnya konversi lahan sawah beririgasi sejak lebih dari dua dasawarsa terakhirkhususnya di pulau J awa.Antara tahun 1978 – 1998 misalnya konversi lahan sawahirigasi adalah sebesar satu juta ha.(Irawan, 2004) Hal yang memprihatinkan dariprogram investasi publik dibidang irigasi adalah sawah irigasi yang terkonversi besarpeluangnya adalah sawah yang baru direhabilitasi. Misalnya tidak lama setelahsistem irigasi Cisadane direhabilitasi dengan dana bantuan World Bank pada tahun1070an sebagian dari sawah irigasinya dikonversi menjadi lapangan terbang.Demikian pula perluasan perkotaan dan industri mengkonversi sawah sawah irigasidi pinggir perkotaan (Firman, 2000).

 Tabel 5.1 menunjukan pangsa sumberdaya lahan dalam mendukung produksi padidi Indonesia antara tahun 1990 dan 2005. Sawah irigasi tetap merupakansumberdaya lahan yang terpenting dalam mendukung produksi padi. Pangsa arealpanen sawah irigasi, misalnya, meningkat dari tahun 1990 sebesar 66,8 persenmenjadi 73,9 persen sedangkan pangsa produksi pada tahun 2000 adalah sebesar

84,5 persen. Sumberdaya kedua terpenting setelah sawah irigasi adalah sawahtadah hujan. Disamping kontribuinya yang cukup signifikan terkadap produksi yangpada tahun 2000 sekitar 11,9 persen sumberdaya tersebut sangat potensial bagiperluasan irigasi di Indonesia.

Tabel 5.1. Areal Sawah, Areal Panen, dan Produksi Padi di Indonesia

S AWAH 1980 1990 2000

LH LP P LH LP P LH LP P

Page 85: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 85/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Effendi Pasandaran83

S AWAH 1980 1990 2000

Irigasi4.040 6.707 25.485 4.450 7.565 38.580 4.648 8.273 43.845

57,1% 68,8% 85,9% 54,1% 66,8% 85,4% 61,4% 73,9% 84,5%

 Tadahhujan

2.270 2.270 3.405 2.187 2.187 4.593 1.991 1.991 6.172

32,1% 23,3% 11,5% 26,6% 19,3% 10,2% 26,3% 17,8% 11,9%

Pasangsurut

473 473 568 481 481 770 587 587 1.232

6,7% 4,9% 1,9% 5,9% 4,2% 1,7% 7,8% 5,2% 2,4%

Lain293 293 194 1 1 1 340 340 649

4,1% 3,0% 0,7% 0,0% 0,0% 0,0% 4,5% 3,0% 1,3%

Total7.076 9.742 29.652 8.218 11.332 45.179 7.565 11.191 51.899

100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100%

LH =Areal sawah (1000 Ha);LP =Areal Panen (1000 Ha);P=Produksi (1000 Ton)

Sumber: Diolah dari data BPS (Pasandaran, et al, 2006)  C. Masa Depan Ketersediaan Pangan Global dan Nasional

Paroh kedua abad 20 menurut Lester Brown (2005) dapat disebut sebagai era

pertumbuhan. Sebagai contoh penduduk dunia yang pada tahun 1950 adalah 2,5miliar telah menjadi 6 miliar pada tahun 2000. Pertumbuhan ekonomi malahan lebihmencengangkan.Selama kurun waktu tersebut pertumbuhan ekonomi meningkattujuh kali lipat. Pertumbuhan ekonomi dalam satu tahun saja yaitu tahun 2000 lebihbesar dari besarnya nilai pertumbuhan ekonomi dunia pada keseluruhan abad 19.

 J adi pertumbuhan menjadi suatu status quo sedangkan stabilitas dianggap sebagaipenyimpangan.

Perubahan lingkungan dan iklim sebagai akibat eksploitasi terus menerussumberdaya alam merupakan penyebab utama ancaman terhadap ketersediaanpangan.Mungkin menerobosnya Cina kedalam pasar pangan internasional denganmembeli gandum sebesar 8 juta ton pada tahun 2004 dapat dianggap sebagaipermulaan era kelangkaan pangan.Pada tahun yang sama Cina juga mendekatiVietnam untuk membeli sebanyak 500 ribu ton beras dan pemerintah Vietnam

memberi respons dengan menyatakan bahwa permintaan tersebut baru dapatdipenuhi pada kwartal pertama 2005 karena pemerintah Vietnam hanya membatasiekspor sebanyak 3,5 juta ton pertahun.

Kalau kita menggunakan biji bijian (grain) sebagai indikator kecukupan pangan makaproduksi biji bijian dunia meningkat tiga kali antara tahun 1950 sampai dengan 1996,melebihi pertumbuhan populasi penduduk dunia namun kemudian produksi biji bijiandunia cenderung mendatar selama tujuh tahun berikutnya. Pada tahun 2002produksi biji bijian dunia berkurang 100 juta ton dibandingkan dengan tahun

Page 86: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 86/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Effendi Pasandaran84

sebelumnya dan demikian pula pada 2003. Sebagai akibatnya stok biji bijian duniamenurun ke tingkat yang paling rendah selama kurun waktu tiga dasawarsa.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan kecenderungan penurunan produksi bijibijian dunia yaitu rusaknya sumberdaya lahan karena erosi terus menerus, danmeluasnya konversi lahan pertanian. Di negara seperti Cina juga terjadi konversilahan pertanian menjadi padang gurun. Faktor lain yang perlu diperhatikan adalahmenurunnya muka air tanah dan naiknya temperatur permukaan bumi. Muka airtanah di negara negara produsen pangan besar seperti Cina, India, dan Amerika

Serikat menurun setiap tahun. Di Cina utara misalnya penurunan air tanah berkisarantara 1-3 meter per tahun.Hal ini akan menyebabkan antara lain penurunankemampuan irigasi pada wilayah pertanian yang banyak menggunakan pompa airtanah. Berbarengan dengan penurunan muka air tanah adalah peningkatantemperatur udara. Ahli ahli ekologi tanaman IRRI dan USDA memperkirakan bahwasetiap peningkatan temperatur satu derajat celsius akan menjebabkan penurunanproduksi gandum, padi, dan jagung sebesar 10 persen. Selama tiga dasawarsaterakhir temperatur rata rata permukaan bumi meningkat sebesar 0,7 derajat celsius.Pada abad ini menurut perkiraan menurut business as usual scenario akan terjadikenaikan temperatur anta 1,4 – 5,8 derajat celsius.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah gejala yang oleh Lester Brown disebutsebagai the Japan Syndrome. Negara negara yang berpenduduk padat apabila mulaiproses industri secara cepat ada tiga hal yang terjadi secara cepat yaitu

meningkatnya konsumsi begitu pendapatan meningkat, menyusutnya areal yangditanami tanaman pangan khususnya biji bijian, dan menurunnya produksi biji bijian.

Sebagai akibat lebih lanjut adalah meningkatnya impor biji bijian secara cepat. J epang yang pada tahun 1955 dapat mencukupi kebutuhan biji bijiannya sendiridewasa ini mengimpor sekitar 70 persen konsumsi biji bijian nasionalnya. Di negaranegara industri yang berkembang pesat, mula mula peningkatan pendapatanmenyebabkan peningkatan konsumsi langsung biji bijian tetapi kemudian konsumsitidak langsung biji bijian melalui pakan ternak meningkat pesat.. Taiwan dan KoreaSelatan mengikuti kecenderungan yang mirip seperti J epang. Berkurangnya arealtanam biji bijian kemudian disusul dengan berkurangnya produksi. Sama halnyadengan J epang, Korea dan Taiwan juga mengimpor sekitar 70 persen dari totalkebutuhan biji bijian dewasa ini.

Apakah kecenderungan ini akan juga terjadi pada negara seperti Cina.? Negara ini

berhasil meningkatkan produksi biji bijian dari 90 juta ton pada tahun 1950 menjadi392 juta ton pada tahun 1998. Setelah lima tahun berikutnya yaitu pada tahun 2003produksi menurun menjadi 322 juta ton.Penurunan sebesar 70 juta ton adalah samadengan hasil panen negara seperti Canada dewasa ini. Kalau produksinya menurunsebanyak 18 persen maka areal tanamnya menurun sebesar 16 persen. Untukmengatasi permasalahan tersebut pemerintah Cina pada tahun 2004 meningkatkananggaran pembangunan untuk sektor pertanian termasuk irigasi sebesar 25 persenatau sebesar 3,6 miliar US dolar untuk mendorong petani memperluas areal tanambiji bijian. Demikian pula melalui kebijakan harga, harga beras ditingkatkan sebesar

Page 87: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 87/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Effendi Pasandaran85

21 persen. Walaupun kedua upaya darurat tersebut berhasil membalikkecenderungan namun masih diragukan bagaimana kelangsungannya dalam jangkapanjang.

Bagaimana dengan India negara terbesar kedua setelah Cina dengan penduduksebesar 1,1 miliar orang. Walaupun pada akhir akhir ini terjadi pertumbuhan ekonomiyang tinggi yaitu sekitar 6 – 7 persen per tahun (sedikit lebih rendah dari Cina ) gejalamenyusutnya areal pertanian juga terjadi walaupun penduduknya terus meningkatsebesar 18 juta orang per tahun.Di samping gejala penyusutan lahan pertanian,

seperti yang telah dikemukakan sebelumnya India uga mengalami gejala penyusutanair tanah karena terjadinya overpumping untuk keperluan irigasi. Apabila kemampuanirigasi merosot maka produksi biji bijian akan berkurang.

Adalah sulit untuk memprediksi apa yang terjadi dengan situasi pangan negaranegara besar Asia ini selama tiga atau empat dasawarsa kedepan tetapi apabilagejala the Japan Syndrome benar benar terjadi yang menyebabkan peningkatanimpor yang besar, maka sulit membayangkan dari mana sumber impor bijian bijiantersebut diperoleh. Negara negara yang selama ini mendominasi ekspor biji bijianadalah Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Argentina. Negara negara tersebutmungkin tidak akan mampu memenuhi permintaan akibat melonjaknya impor negaranegara Asia. Amerika serikat yang sekitar dua dasawarsa yang lampau mengeksporsebesar 100 juta ton biji bijian akhir akhir ini hanya mampu mengekspor sebesar 80

 juta ton biji bijian karena meningkatnya permintaan dalam negeri. Kanada dan

Australia mengalami berbagai kendala untuk memperluas areal tanamnya antaracurah hujan yang rendah demikian pula Argentina telah mengalami penyusutan arealtanam biji bijiannya.

Situasi pangan di Indonesia sendiri sama saja dengan negara negara besar Asiayang telah diuraikan sebelumnya. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnyapertumbuhan produksi pangan nasional relatif menurun dibandingkan dengan kurunwaktu sebelum tercapainya swa-sembada beras. Beras masih tetap merupakanpangan pokok pada beberapa dasawarsa yang akan datang. Pada masyarakatberpenghasilan rendah di pulau J awa beras merupakan indikator ketahanan panganrumah tangga. Mereka menganggap apabila persediaan beras dalam rumah tanggacukup maka mereka termasuk cukup dalam ketahanan pangan sebaliknya bilapersediaan kurang maka mereka menganggap kurang dalam ketahan pangan rumahtangganya (Mewa Ariani, 2003).

Berbeda dengan Japan syndrome yang dipacu oleh bergeraknya tenaga kerjakeperkotaan dan sektor industri yang menyebabkan sebagian sumberdaya lahanuntuk produksi pertanian ditinggalkan maka tidak demikian halnya dengan Indonesiakhususnya pulau J awa. Produksi pertanian di Indonesia ditentukan antara lain olehdinamika perkembangan sumberdaya lahan dan air dalam DAS yang padahakekatnya dapat dibagi dalam tiga fase perkembangan seperti yang tertera padaGambar 5.1. Pada fase pertama , baik lahan maupun air yang tersediamemunglinkan terjadinya perluasan areal untuk tujuan produksi. Fase kedua ditandaioleh pemanfaatan sumberdaya yang disesuaikan dengan berbagai keperluan

Page 88: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 88/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Effendi Pasandaran86

produksi termasuk pengembangan prasarana pendukung untuk produksi danpemasaran. Permintaan lahan dan air dari sektor non pertanian mulai meningkat dankonversi lahan mulai terjadi sementara perluasan mulai menyusut. Diversifikasi mulaimeluas dan intensitas tanam meningkat demikian pula upaya perbaikan efisiensipemanfaatan air. Pada fase ketiga pergeseran pemanfaatan sumber daya lahan danair dari yang bernilai ekonomi rendah ke yang bernilai ekonomi tinggi mulai meluassebagai akibatnya konversi lahan terjadi secara signifikan.

Ada tiga indikator perubahan penggunaan lahan yang menonjol yang

menggambarkan pergeseran dari suatu fase kefase yang lain seperti yang terterapada Gambar 5.1. Areal hutan mendominasi fase pertama dan selanjutnya berkurangterus sampai fase ketiga. Areal sawah meningkat pada fase pertama dan mencapaipuncaknya pada fase kedua dan selanjutnya menyusut menuju fase ketiga. Padafase ketiga areal pemanfaatan lahan didominasi oleh peumahan dan Industri.Sebagian besar Daerah Aliran Sungai (DAS) di pulau J awa berada pada fase keduadan ketiga dan apabila kecenderungan yang terjadi terus berlangsung maka produksipertanian khususnya padi akan merosot terus dan tidak dapat mendukung kebutuhanpangan penduduk pulau J awa. Gejala ini dapat disebut sebagai Sindroma J awa(J ava Syndrome) yang menggambarkan penurunan peran J awa sebagai sentraproduksi pangan.

Walaupun sawah irigasi tetap merupakan sumberdaya lahan terpenting mendukungproduksi padi Indonesia dimasa yang akan datang namun peran pulau J awa akan

berkurang. Pangsa areal sawah irigasi dalam mendukung produksi padi Indonesiadiperkirakan sebesar 85 persen sedangkan sawah tadah hujan sebesar 11 persen,dan sisanya berasal dari sawah pasang surut dan lahan kering. (Pasandaran, et al,2005). J umlah penduduk Indonesia semakin meningkat dengan pertumbuhan sekitar1,4 persen per tahun diperkirakan melebihi pertumbuhan produksi pangan dimasayang akan datang apabila kita tetap berdasarkan kecenderungan business as usual  (Sudaryanto et al,2002, Pasandaran et al,2005). 

Page 89: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 89/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Effendi Pasandaran87

0

10

20

30

40

50

60

70

   A  r  e  a   l   D   A   S   (   %   )

Hutan Sawah Pemukiman

Fase I Fase II Fase III (Java Syndrome)

 Gambar 5.1. Fase-fase Perkembangan DAS  

Selama beberapa tahun terakhir tidak tampak dukungan investasi publik untukperluasan irigasi dan apabila hal itu terus berlangsung dan tidak ada upaya upayayang dapat membendung konversi lahan sawah irigasi khususnya di pulau J awamaka ancaman berupa penurunan produksi padi nasional akan semakin nyata.Masalah kekurangan air irigasi juga akan semakin meluas terjadi dipulau J awakarena semakin meningkatnya persaingan dalam penggunaan air dimasa yang akandatang. Diperkirakan pada tahun 2020 penyediaan air irigasi di musim kemarau akanberkurang sekitar 10 persen dan sebagai konsekwensi lebih lanjut intensitas tanampadi di pulau J awa akan berkurang 10 persen atau areal panen padi sekitar 500 ribuha. Kalau tidak ada upaya konpensasi perluasan areal tanam maka maka produksipadi di pulau J awa akan berkurang sebesar 2,5 juta ton gabah atau 1,5 juta ton berasdan karena semakin meningkatnya populasi penduduk, Indonesia akan mengalamidefisit sebesar 4 sampat 5 juta ton beras pada tahun 2020 (Pasandaran et al 2006).

Dari uraian tersebut diatas dengan memperhatikan situasi produksi pangan globaldan nasional perlu dilakukan upaya upaya terobosan untuk membalikkencenderungan yang terjadi dewasa ini. Perlu upaya meningkatkan kemampuanproduksi baik perluasan irigasi maupun pengendalian konversi lahan.

D. Investasi dan Pengelolaan Infrastruktur 

Page 90: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 90/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Effendi Pasandaran88

Biaya Investasi dan Tahapan Pembangunan

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya dukungan yang sangat menonjol dalampengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian dan pengairan terjadi pada paruhpertama pemerintahan Orde Baru yaitu dari Pelita I sampai dengen Pelita IV dalamrangka mewujudkan swa sembada beras. Ada empat program yang dilaksanakanmeliputi rehabilitasi jaringan irigasi,pengendalian banjir, pembangunan baru jaringanirigasi, dan pengembangan areal rawa dan pasang surut. Keempat program tersebutbaik langsung ataupun tidak langsung sangat terkait dengan ketahanan pangan

nasional.

Rehabilitasi jaringan irigasi diprioritaskan pelaksanaannya pada pelita I dan II,sedangkan pembangunan jaringan irigasi baru semakin meningkat pangsanya dalampenggunaan anggaran belanja pemerintah dalam periode selanjutnya. Dalam PelitaIV (1984-1989), misalnya, proporsi investasi pemerintah untuk keempat programtersebut berturut turut adalah 24, 29, 42, dan 5 persen (Pasandaran, 1991).

Rehabilitasi irigasi dianggap yang paling berhasil menunjang peningkatan produksitanaman pangan khususnya padi walaupun ada kecenderungan terjadinyapeningkatan pengeluaran pembiayaan persatuan luas yang cukup menonjol danmenjadi lebih singkatnya daur ulang rehabilitasi irigasi. Dalam kurun waktu yangsama pemerintah mulai melaksanakan rehabilitasi jaringan irigasi kecil yang semuladibangun dan dikelola oleh masyarakat tani yang walaupun ikut memberikan

sumbangan terhadap peningkatan produksi padi tetapi menambah beban pemerintahdalam investasi dan pengelolaannya. Pembangunan irigasi baru merupakan programyang termahal yang dalam kurun waktu empat pelita meningkat dari Rp 614 riburupiah per ha per tahun menjadi hampir 5 juta rupiah per ha per tahun berdasarkanharga konstan 1989 (Tabel 5.2). 

Tabel 5.2. Pengeluaran rata-rata sub sektor pengairan menurut tipe pembangunan(Rp.000/Ha) harga konstan 1989

TAHUN PEMBANGUNAN

BARU 

R AWA

PASANG

/SURUT

R EHABILITASI

IRIGASI 

PENGENDALIAN

BANJIR  

TOTAL

SUB

SEKTOR  

Pelita I 614 857 237 105 327

(259) (361) (100)*) (44) (138)

Pelita II 1.747 857 806 1.039 108 5

(736) (361) (339) (438) (457)

Pelita III 2.407 368 2.047 1.258 1.487

(1014) (155) (862) (530) (627)

Pelita IV 4.889 958 3.629 2.583 3.161

(2061) (404) (1529) (1089) (133)

Page 91: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 91/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Effendi Pasandaran89

*) Angka dalam kurung adalah indeks yang menggambarkan perubahan nilai relatif  pengeluaran rata-rata, dengan nilai rehabilitasi Irigasi Pelita I = 100 

Data tersebut tidak menggambarkan besarnya biaya untuk menyelesaikan suatuprogram pada suatu wilayah yang dilayani, tetapi menggambarkan tingkatpengeluaran pemerintah per tahun untuk program tersebut secara nasional. Kalauuntuk pembangunan irigasi baru terdapat peningkatan pengeluaran per satuan luassebesar delapan kali selama empat periode Pelita maka untuk rehabilitasi irigasipeningkatan pengeluaran per tahun menjadi 15 kali lebih besar. Apabila pada Pelita I

rasio pengeluaran per satuan luas per tahun untuk rehabilitasi irigasi terhadappengeluaran persatuan luas pembangunan irigasi baru adalah 39 persen maka rasiotersebut pada akhir Pelita IV menjadi 74 persen.

Adanya tambahan komponen pekerjaan baru dalam setiap program rehabilitasimungkin merupakan salah satu alasan yang dapat diterima, dengan perkataan lainkomponen rekonstruksi semakin meningkat pangsanya dalam struktur pengeluaranuntuk rehabilitasi. Agak berlawanan dengan meningkatnya pengeluaran rehabilitasiyang begitu besar adalah rendahnya mutu rehabilitasi sehingga terjadi siklusrehabilitasi yang cukup cepat. Kalau sistem irigasi yang dibangun pada jamankolonial dapat bertahan lebih dari limapuluh tahun sebelum direhabilitasi kembali,maka siklus rehabilitasi sesudahnya berkisar antara 10 sampai 20 tahun, hal inimungkin dipacu oleh rendahnya biaya operasi dan pemeliharaan sistem irigasi.

Adalah menarik untuk diperhatikan bahwa program reklamasi rawa dan sawahpasang surut yang pada hakekatnya merupakan perluasan areal baru, pengeluaranpersatuan luas per tahunnya hanya mengalami kenaikan sebesar 11 persen, suatukenaikan yang kurang berarti apabila dibandingkan dengan kenaikan pengeluaranprogram lainnya. Dapatlah disimpulkan bahwa untuk perluasan wilayah pasang surutbiaya investasi marjinal (marginal investment cost) selama kurun waktu tersebuthanya meningkat sedikit.

Dari keempat program pengairan tersebut, program pengendalian banjir adalah yangpaling tinggi peningkatan pengeluaran per satuan luas per tahun, yaitu sebesar 25kali dalam kurun waktu empat Pelita, hal ini mungkin terjadi karena adanyapembangunan waduk waduk besar yang memerlukan biaya yang sangat besar.Pengeluaran untuk pengendalian banjir khususnya yang mempunyai komponenwaduk mungkin bisa keatas mengingat adanya sumbangan waduk untuk irigasi danuntuk tenaga listrik.

Page 92: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 92/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Effendi Pasandaran90

Grafik Index Biaya Investasi Program Pengairan Menurut

Tahap Perkembangan

0

500

1000

1500

2000

2500

1970 1984 1994 2004

Tahap Pembangunan Pengairan

   I  n   d  e  x

   B   i  a  y  a

   I  n  v  e  s   t  a  s   i  p  e  r   H  a .

PBI RWP RI PBJ EP

Catatan: Index dengan nilai 100 adalah Biaya Investasi rata-rata

untuk Rahabilitasi Irigasi pada Pelita I (1969-1974)

Tahap I Tahap II Tahap III

PBJ = Pengendalian Banjir 

PBI = Pembangunan Baru Irigasi

RWP= Rawa Pasang Surut

RI = Rehabilitasi Irigasi

EP = Biaya Eksploitasi &

Pemeliharaan

1998

 

Gambar 5.2. Grafik Index Biaya Investasi Program Pengairan Menurut Tahap Perkembangan

Gambar 5.2 memberikan ilustrasi peningkatan biaya investasi marjinal selama kurunwaktu tersebut sekali gus memberikan ilustrasi tentang tahap pembangunanpengairan. Pada paruh pertama pemerintahan Orde Baru dapatlah dikatakan sebagaitahap pertama yang ditandai oleh pendekatan  struktural yaitu rehabilitasi danpembangunan baru terutama untuk mendukung perkembangan revolusi hijau diIndonesia.Pada paruh kedua Orde Baru walaupun masih ditandai oleh berlanjutnyapembangunan infrastuktur dengan kecenderungan investasi yang menurun sudahmulai dibangun upaya upaya memperbaiki operasi dan pemeliharaan sistem irigasi,upaya membangun konsep yuran air bagi petani untuk operasi dan pemeliharaanirigasi yang efisien, dan upaya memperkuat kemampuan Perkumpulan PetaniPemakai Air (P3A) untuk mengelola sistem irigasi yang lebih luas melalui uji cobatransfer pengelolaan irigasi dari pemerintah kepada masyarat tani.

Investasi dalam kegiatan kegiatan tersebut yang merupakan ciri tahap keduadilakukan dengan biaya investasi yang jauh lebih kecil dan dengan biaya investasimarjinal yang lebih kecil dibandingkan dengan investasi pada tahap pertama, namun

apabila dilakukan secara efekif akan membawa dampak yang besar tidak saja bagipeningkatan produktifitas sistem irigasi tetapi juga bagi keberlanjutan pengelolaansistem irigasi. Masalah yang dihadapi pada tahap kedua ini pada hakekatnya adalahkonsekwensi dari pendekatan pada tahap pertama yaitu pendekatan proyek yangsentralistik yang diikuti oleh kooptasi pengelolaan sistem irigasi oleh pemerintah padasistem irigasi yang semula dibangun oleh masyarakat tani yang menyebabkanketergantungan yang tinggi dari masyarakat tani pada investasi yang dilakukanpemerintah. Kapital sosial masyarakat dalam mendukung pengelolaan infrastruktur

Page 93: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 93/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Effendi Pasandaran91

irigasi melemah sebagai akibat dari penetrasi pendekatan sentralistik ke dalamwilayah kewenangan masyarakat.

Dimensi Pengelolaan

Dengan semakin tingginya biaya investasi marjinal untuk pembangunan infrastrukturpengairan maka keputusan pilihan investasi disamping memperhatikan efektifnyapembiayaan (cost effectiveness) juga memperhatikan asas keterpaduan pengelolaanair dalam jangka panjang untuk memungkinkan transfer air antar sektor penggunaan

apabila hak atas air (water right) telah melembaga. Besarnya investasi dibidangirigasi khususnya dalam kurun waktu 1970 - 1994 dipengaruhi oleh faktor faktorseperti harga beras dunia, harga minyak dunia, Produk Domestik Bruto, danbesarnya impor beras (Pasandaran and Rosegrant, 1995).

Ada tiga dimensi pengelolaan infrastruktur di bidang sumberdaya air pada umumnyadan irigasi pada khususnya yang menentukan arah pembangunan. Pertama, dimensivertikal, pentahapan lebih lanjut pembangunan sumberdaya air denganmemanfaatkan momentum desentralisasi dengan upaya reformasi kebijakan lebihlanjut. Seperti telah dikemukakan sebelumnya pendekatan struktural yang dilakukanpada fase awal pembangunan menunjukan adanya peningkatan biaya investasimarginal.Tujuan reformasi pada tahap ini adalah menyerasikan peran berbagaipemangku kepentingan yang terkait memperkuat kemampuan masyarakat dalammembangun dan mengelola sumberdaya air pada umumnya. Dibidang irigasi pada

khususnya upaya yang diperlukan pada tahap ketiga termasuk dukungan kebijakaninvestasi teknologi irigasi dan pengelolaan air ditingkat usahatani untukmempercepat proses diversifikasi pada usahatani berbasis padi.

Walaupun reformasi seperti yang disebutkan pada tahap kedua dicirikan olehdesentralisasi pengelolaan irigasi dan penguatan kemampuan Perkumpulan PetaniPemakai Air adalah syarat keharusan namun belum merupakan syarat kecukupan.Diperlukan kebijakan investasi lebih lanjut untuk memperkuat kelembagaanmasyarakat termasuk memulihkan dan memperkuat kapital sosial untuk mewujudkanpembangunan dan pengelolaan irigasi yang responsif (Pasandaran, et al; 2002) .Pada tahap ketiga atau tahap pengelolaan air yang responsif ini masyarakatdiharapkan sudah mampu mengadopsi sinyal pasar untuk diterapkan dalampengelolaan air yang medukung proses diversifikasi baik dalam keadaan airberkecukupan maupun terbatas.

Kedua, dimensi horisontal, adalah peningkatan kapasitas produksi,untuk memperluascakupan pelayanan sumberdaya air baik di perkotaan maupun di pedesaan.Peningkatan kapasitas mungkin terjadi melalui transfer air dari suatu sektorpenggunaan ke sektor penggunaan yang lain atau melalui pembangunan baru.Dimasa yang akan datang kecenderungan transfer air akan semakin meningkatkhususnya dikawasan padat penduduk seperti pulau J awa.Dalam konteks dimensihorisontal dan vertikal terdapat hubungan komplementer antara infrastruktur irigasidengan infrastruktur lainnya di pedesaan dan sumberdaya manusia yang ada dimasyarakat pedesaan (Hussain, et al, 2003). Oleh karena itu kebijakan investasi

Page 94: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 94/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Effendi Pasandaran92

infrastrutur irigasi hendaknya dilaksanakan dalam kerangka keterpaduan dengankebijakan kebijakan lainnya (Saeed and Xu Honggang,1999)

Untuk mengatasi defisit kebutuhan beras tahun 2020 sebesar 4 – 5 juta ton berasupaya peningkatan diperlukan perluasan irigasi dan perluasan lahan melalui sistemrawa pasang surut mengingat untuk pembukaan sistem rawa pasang surutdiperlukan satuan biaya investasi per ha yang relatif kecil dan biaya investasi marjinalyang juga kecil dibandingkan dengan sistem irigasi baru.Tantangan yang dihadapiadalah bagaimana membangun pentahapan investasi (dimensi vertikal ) agar

produktifitas sistem rawa pasang surut dapat ditingkatkan dengan biaya investasiyang masih layak.Untuk pembangunan baru sistem irigasi walaupun Indonesiamempunyai potensi sumberdaya lahan yang luas namun perluasan irigasi yang layaksecara ekonomi mungkin hanya terbatas.

Tabel 5.3. Potensi perluasan irigasi per pulau (000 ha) 

POTENSI

PERLUASAN IRIGASI 

POTENSI BERDASARKAN

KESESUAIAN LAHAN 

SESUAI UNTUK 

PERLUASAN IRIGASI 

Sumatera 731 3991 731

Jawa 220 240 220

Bali & NTT 59 2 .58

Kalimantan 595 0 0

Sulawesi 137 790 137

Irja/Maluku 675 264 264

Total 2.417 1410

Sumber : Diolah dari berbagai sumber termasuk Hidayat et al (1998)

Data pada Tabel 5.3 menunjukan potensi perluasan irigasi pada berbagai pulauberdasarkan potensi ketersediaan air dan kesesuaian lahan. Walaupun potensiketersediaan air masih memungkinkan perluasan irigasi seluas lebih dari dua juta hademikian pula potensi berdasarkan kesesuaian lahan masih cukup tinggi namunditinjau dari kelayakan ekonomi mungkin hanya sekitar peluang ini dapat diwujudkandalam kurun waktu sampai tahun 2020 dan dengan memperhitungkan peluang

perluasan lain misalnya dari areal pasang surut sebesar 0,5 juta ha demikian pulaproses konversi lahan masih terus berlangsung maka paling tidak sampai tahun 2020akan ada tambahan areal irigasi sebesar 20 – 25 persen dari areal yang adasekarang. Tambahan ini sudah cukup memadai untuk memelihara ketahanan pangannasional dalam kurun waktu tersebut Gambar 5.3.

Dapatlah disebutkan disini bahwa Seckler et al (1998) memproyeksikan untukkategori negara seperti Indonesia diperlukan tambahan sumberdaya air yang dapatdimanfaatkan sebesar 25 persen dari yang ada sekarang ini untuk memenuhikeperluan pangan pada tahun 2025.

Page 95: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 95/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Effendi Pasandaran93

Dalam jangka waktu yang lebih panjang lagi tantangan yang dihadapi adalahmembangun kemampuan baik teknologi maupun kelembagaan sehingga wilayahyang secara potensial mungkin dikembangkan ( plausible) menjadi layakdikembangkan (feasible). 

Gambar 5.3. Proyeksi Perluasan Irigasi di Indonesia 

Hakekat dari reformasi kebijakan pengelolaan sumber daya air pada umumnya danreformasi kebijakan irigasi pada khususnya adalah menfasilitasi pelaksanaanpendekatan keterpaduan dalam kerangka good governance pengelolaansumberdaya air..Oleh karena itu arah kebijakan investasi hendaknya termasukpemberdayaan masyarakat dalam melaksanakan kegiatan investasi sekalipun biayainvestasi yang diperlukan pada tahap awal dibebankan sepenuhnya pada pemerintahdan secara bertahap peran masyarakat dalam pembiayaan investasi diharapkan

meningkat selaras dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Dimensi pengelolaan infrastruktur yang ketiga adalah dimensi antar waktu. Investasidibidang infrastruktur irigasi dan sumberdaya air walaupun pada umumnyamenghasilkan pengembalian ekonomi yang memadai namun sering dijadikan alasandalam pemotongan anggaran publik. Pada tahun 1986 tidak lama setelah Indonesiamencapai swa sembada beras pada tahun 1984 terjadi oil shock  yang mendorongpemerintah melakukan kebijakan fiskal yang ketat. Pengeluaran pemerintah untukinfrastruktur irigasi dan pertanian berkurang termasuk dukungan anggaran melalui

‘50 ‘70 ‘80 2000

6

5

3,5

Tahun2020 

A

B

C

A. Potensi B. Layak C. Tidak Ada Perluasan

Juta Ha

7

Page 96: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 96/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Effendi Pasandaran94

bantuan luar negeri. Kemudian dibangun program untuk mendukung irrigation sector  policy  yang pada hakekatnya melaksanakan pendekatan kelembagaan untukmemperbaiki operasi dan pemeliharaan irigasi dengan bantuan dana World Bank.Halini terinspirasi oleh pemikiran bahwa tatkala Indonesia membangun programpengairan selama empat pelita berturut turut pendekatan yang diutamakan bersifatstruktural dan mengabaikan operasi dan pemeliharaan infrastruktur irigasi. Gejalapenundaan pemeliharaan atau deferred maintenance mendorong percepatanrehabilitasi irigasi.Hal ini berbeda dengan pengelolaan irigasi pada jaman kolonialyang bercirikan kwalitas konstruksi yang kokoh dan disertai dengan operasi danpemeliharaan yang baik yang mendorong terjadinya siklus rehabilitasi yang panjang.Umumnya irigasi yang dibangun pada jaman kolonial dapat bertahan sampai darilima dasawarsa sedangkan irigasi yang dibangun dalam empat periode pelitaberturut turut kwalitas konstruksi relatif kurang dan dengan terjadinya penundaanpemeliharaan siklus rehabilitasi mungkin hanya berkisar antara lima sampai sepuluhtahun.

 Tidak ada data yang menunjukan bahwa irrigation sector policy yang didukung olehsectoral adjustmen loan yang dilaksanakan pada penghujung tahun 1980an danparoh pertama tahun 1990an memberikan dampak yang positif terhadap operasi danpemeliharaan infrastruktur irigasi. Namun ada indikasi yang mungkin dipicu olehkrisis ekonomi tahun 1997 bahwa banyak jaringan irigasi yang ada dewasa iniberada dalam keadaan yang rusak. Kecenderungan rusaknya irigasi misalnyadilaporkan dalam sarasehan pertama dan kedua J aringan Komunikasi Irigasi

Indonesia (J KII) pada tahun 2005.

Dari perspektif antar waktu menunda investasi publik untuk infrastruktur irigasiberarti menunda kemampuan mendukung ketahanan pangan dimasa yang akandatang dan memperbesar keperluan untuk impor pangan khususnya beras sertamenunda realisasi irigasi masa depan yang mendukung kesejahteraan masyarakattani.Di negara negara lain di Amerika Latin penundaan investasi terjadi karenakekurangan likuiditas, dan juga di anggap bahwa pengeluaran untuk infrastrukturkadang kadang ditujukan pada program yang bersifat white elephant  denganpengembalian ekonomi yang rendah (Easterly and Serven,(2004). World Bank (1992)melaporkan bahwa rate of return pemeliharaan irigasi adalah sebesar 112 persen.Penundaan pemeliharaan irigasi menurut prosedur standar akan mempercepatkerusakan irigasi dan sebagai konsekwensi lebih lanjut adalah dipercepatnyakeperluan rehabilitasi irigasi. Penundaan pemeliharaan pada masa silam dalambanyak kasus merupakan kecenderungan untuk menunda bukan sebagai produkkebijakan

Dimensi pengelolaan antar waktu yang bertentangan dengan kecenderunganmenunda adalah kecenderungan kooptasi pengelolaan irigasi. Kecenderungantersebut terjadi tatkala pemerintah melakukan intervensi terhadap irigasi masyarakatdengan dalih perbaikan jaringan fisik irigasi untuk mendukung ketahanan pangan.Setelah perbaikan fisik selesai pengelolaan sistem irigasi masyarakat yang telahdiperbaiki menjadi beban pemerintah atau paling tidak masuk dalam daftar sistemirigasi pemerintah.Kooptasi adalah pergeseran batas kewenangan namun

Page 97: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 97/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Effendi Pasandaran95

mengandung dimensi antar waktu yaitu penundaan kemandirian petani dalampengelolaan irigasi.

Pada akhirnya dimensi pengelolaan antar waktu adalah dukungan terhadap irigasimasa depan. Diperlukan suatu kerangka yang baru dari suatu sistem irigasi yangdapat menunjang pengelolaan irigasi masa depan.Suatu kerangka dasar yangmemberikan inspirasi bagi pelaksanaan pengelolaan terpadu sumberdaya air yangmemuat berbagai asas seperti aturan keterwakilan dalam berbagai jenjang dewansumberdaya air, keadilan dalam alokasi dan distribusi air, kemitraan dalam proses

dialog antar pemangku kepentingan, dan pelayanan yang bertanggung jawab(accountability), perlu dibangun terlebih dahulu. 

E. Irigasi Masa Depan : Membangun Kerangka Pengelolaan Terpadu Sumber Daya Air 

Irigasi masa depan diharapkan dapat mendukung sepenuhnya multi fungsi pertanian.Paling tidak, ada tiga fungsi utama yang terkait satu dengan lainnya yangmemerlukan hubungan yang serasi. Pertama, fungsi yang menopang produksipertanian pada umumnya termasuk pangan, peternakan, perikanan, perkebunan, danhortikultura.Dengan perkataan lain suatu fungsi yang menunjang proses diversifikasipertanian. Kedua, adalah fungsi konservasi. Termasuk dalam fungsi ini adalahpemeliharaan elemen elemen biofisik yang ada seperti infrastruktur irigasi danpersawahan. Apabila elemen elemen tersebut tetap terpelihara maka fungsi

konservasi dapat berlangsung dengan baik. Fungsi yang ketiga adalah pewarisannilai nilai budaya. Termasuk dalam fungsi tersebut adalah kapital kapital sosial dankearifan lokal yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dan hubunganantara manusia dengan lingkungannya.Pengelolaan konflik dalam rangkapemanfaatan sumber daya merupakan salah satu elemen dari nilai nilai budaya.

Dalam mendukung terwujudnya irigasi masa depan ada tiga faktor yang perludiperhatikan yaitu (i) integrasi pinsip prinsip yang dipraktekan masyarakat lokaldalam pengelolaan irigasi (ii) perkembangan teknologi dan (iii) pendekatanketerpaduan 

(1) Integrasi Prinsip Prinsip Lokal

Dalam praktek irigasi di pedesaan dikenal berbagai kearifan lokal yangmemungkinkan terjadinya interaksi antar individu, antar kelompok dalam suatu sistem

irigasi, dan antar kelompok masyarakat dalam sistem irigasi yang berbeda dalamsuatu Daerah Aliran Sungai (DAS). Dalam sistem interaksi tersebut penggunaan airantar individu ataupun antar kelompok dapat dipertukarkan pada suatu musimataupun antar musim berdasarkan prinsip kepercayaan timbal balik (mutual  trust ) danada sangsi sangsi yang dilaksanakan berdasarkan norma yang berlaku setempat.Pengawasan terhadap proses yang berlaku dilakukan secara kolektif dan transparandan pengambilan keputusan yang dilakukan bersama didorong oleh rasa tanggung

 jawab bahwa sumberdaya air adalah kepentingan bersama yang perlu dipeliharadengan baik.

Page 98: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 98/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Effendi Pasandaran96

Prinsip lain yang sangat penting dalam pengelolaan irigasi adalah asas keadilandalam pembagian air. Banyak contoh irigasi yang dibangun masyarakat setempatmewariskan rancangbangun pembangunan dan pengelolaan irigasi yangmencerminkan keadilan pembagian air yang dihubungkan dengan antara lain luasnyalahan yang diairi. Pembagian air proporsianal secara konsisten dilakukan padaberbagai jenjang sistem irigasi. Pembagian air dengan sistem bifurkasi danproporsional merefleksikan asas keadilan berdasarkan kesamaan dalam memperolehkesempatan atau menurut kategori Rawls (1971) dalam bukunya yang berjudul ATheory of Justice disebut sebagai “ principle of equality of opportunity ” Contoh yangbaik untuk ditampilkan adalah irigasi subak di Bali yang rancang bangunnyamemudahkan pengawasan bagi setiap anggota subak.Prinsip keputusan yangdemokratis pada tingkat karama subak memperkuat pandangan bahwa sistem subakdikelola sebagai suatu “self governing system” (Ostrom,1999) Berbeda denganirigasi besar di kawasan Asia lainnya seperti Cina dan India terjadi apa yang disebutoleh Karl Wittfogel (1957) sebagai “oriental despotism” yaitu polarisasi kekuasaanmelalui penguasaan atas sumberdaya air, gejala tersebut sampai sekarang ini tidaknampak di Indonesia (lihat Geertz, 1980 ).

Keterkaitan melalui proses interaksi tidak saja terjadi antar sistem irigasi saja tetapidengan unit unit kegiatan lainnya yang terkait dengan air baik lahan kering dih ulumaupun lahan pantai di hilir yang memungkin terjadinya suatu sistem pengelolaanyang bersifat “Policentric Governance” yang dicirikan oleh interaksi harmonisberbagai lembaga yang ada dalam suatu Daerah Aliran Sungai (Cardenas, 2002)

Uraian tersebut sesungguhnya mencerminkan praktek pengelolaan yang bersifat“good governance” (GWP,2004. Pasandaran et al, 2002), suatu modal budaya yangterdapat tidak saja di Bali tetapi juga pada sistem irigasi yang dibangun petani dikawasan pedesaan J awa dan Sumatra. Pendekatan skolastik dalam upayamemperbaiki irigasi desa dan subak pada masa lampau dalam banyak halmengabaikan prinsip-prinsip tersebut yaitu memperbaiki irigasi masyarakat tanidengan rancangbangun yang standar yang diturunkan dari ”Dutch School of Thought ”yang berbasis hukum AWR yang pada hakekatnya mengutamakan prinsip kegunaandan kepentingan (the classical principle of  utility , lihat Rawls,1970).

UU No. 7 tahun 2004 memberikan ruang gerak bagi masyarakat petani untukmembangun sistem irigasinya sendiri dan juga mengakui hak-hak tradisional sepertihak ulayat, suatu langkah yang lebih maju dibandingkan dengan UU 11 tahun 1974.Walaupun hal ini merupakan “necessary   condition” namun perlu dimunculkan

‘sufficient condition”. UU tersebut perlu diterjemahkan lebih lanjut berupa peraturanyang hendaknya dapat menjadi pemicu bagi pemulihan kembali dan pemanfaatannilai nilai budaya luhur yang terkandung dalam pengelolaan sumberdaya airkhususnya dan sumberdaya alam pada umumnya yang diwariskan dari generasikegenerasi. 

(2) Perkembangan Teknologi

Page 99: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 99/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Effendi Pasandaran97

 Teknologi irigasi dapat dipandang sebagai suatu kerangka fisik yang melandasiperkembangan kelembagaan pengelolaan irigasi. Oleh karena itu perkembanganteknologi irigasi terkait erat dengan fase-fase perkembangan kelembagaanpengelolaan irigasi. Teknologi penyadapan air dengan pengambilan bebas darisungai (free intake diversion system) dilengkapi dengan cross regulator  yangsederhana dan sementara untuk memasukan air ke blok persawahan mungkinmerupakan inovasi awal yang dilakukan oleh masyarakat petani.

Perkembangan lebih lanjut adalah teknologi yang menggunakan pembagian

proporsional dengan bangunan-bagi bercabang (bifurcation structure). Teknologipembagian air proporsional secara utuh dipraktekan pada irigasi Subak di Bali.Sedangkan teknologi free intake dengan cross regulator yang sederhana banyak dipraktekan pada irigasi berbasis masyarakat di pulau J awa. Karena sifatnya yangotonom dan transparan, teknologi ini merupakan penciri dari irigasi berbasismasyarakat. Irigasi yang dibangun dengan teknologi ini umumnya berskala kecil,sesuai dengan ciri kelompok masyarakat seperti yang terdapat di pulau J awaumumnya berbasis desa. Karena itu sistem irigasi seperti ini biasanya disebut irigasidesa atau irigasi pedesaan.

Pada jaman kolonial Belanda mulai dibangun irigasi yang membendung sungaidengan berbagi kelengkapan pengaturan air. Sistem irigasi yang dibangun denganmenggunakan teknologi ini umumnya berskala lebih besar dari pada irigasi berbasismasyarakat dan memerlukan hirarki pengelolaan pada berbagai jenjang yang

mendorong munculnya pengelolaan yang bersifat sentralistik.

Perkembangan yang menggunakan teknologi yang lebih maju yaitu yangmenggunakan peralatan otomatik untuk mengatur air dan yang menggunakanbantuan komputer untuk mengatur presisi suplai air. Sumber air yang dimanfaatkandapat berupa air permukaan dan air tanah secara sendiri sendiri atau bersama(Conjunctive  use). Seperti yang telah dibahas sebelumnya pengelolaaan air yangberbasis pasar mungkin saja akan menggunakan teknologi seperti dalam kategoritersebut apabila komoditi yang diusahakan memberikan keuntungan yang besar dandiperlukan efisiensi yang tinggi serta pemberian air yang tepat waktu. 

(3) Pendekatan Keterpaduan

Pada hakekatnya pendekatan keterpaduan menekankan keseimbangan antara fungsifungsi ekonomi dan kesejahteraan sosial pengelolaan air, lahan dan sumberdaya

yang terkait dengan tetap memperhatikan keberlanjutan ekosistem.

Keterpaduan menyangkut peran yang lebih berimbang antar berbagai pelaku danpemangku kepentingan dan memperhatikan keserasian berbagai keputusan yangdibuat pada berbagai jenjang mulai dari tingkat lokal sampai tingkat nasional.

Oleh karena terbatasnya air sebagai sumberdaya sedangkan permintaan terhadapair terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan penduduk masalahalokasi air menjadi semakin kritis. Keterpaduan dalam alokasi air memerlukan upayauntuk memperbaiki efisiensi khususnya sektor yang merupakan pengguna air yang

Page 100: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 100/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Effendi Pasandaran98

terbesar seperti irigasi. Sampai sekarang irigasi memanfaatkan sebesar 87 persendari total penggunaan air untuk berbagai keperluan di Indonesia dengankecenderungan yang semakin menurun karena meningkatnya pertumbuhanpermintaan terhadap air diluar irigasi.

Namun demikian perbaikan efisiensi suplai irigasi paling tidak memperhatikan tiga halsebagai berikut: Pertama, adanya kecenderungan penggunaan kembali air yangkeluar dari suatu sistem irigasi, maka upaya perbaikan efisiensi irigasi hendaknyadilakukan secara terpadu dalam kerangka pengelolaan sumberdaya air dalam suatu

wilayah sungai, karena bisa saja terjadi air yang keluar dari lahan irigasi dipakaiuntuk mengisi air tanah atau untuk keperluan memelihara ekosistem. Kedua, harusdapat diupayakan bahwa kelebihan air yang dihasilkan dari upaya perbaikan efisiensidapat digunakan untuk tujuan-tujuan lain yang lebih menguntungkan bagimasyarakat. Ketiga, karena jumlah petani yang terlibat dalam upaya perbaikanefisiensi relatif banyak, upaya tersebut hendaknya dilakukan denganmempertimbangkan asas keadilan, artinya tidak ada lahan petani yang dirugikandalam pelaksanaan perbaikan efisiensi tersebut.

Secara mendasar perubahan yang dikehendaki adalah perubahan tatananpemerintahan yang mengatur air (water governance) dalam lingkup politik, sosial,ekonomi. dan sistem administrasi. Lingkup perubahan mencakup: (1) Faktor faktoryang mendorong perwujudan tujuan (enabling environment ) termasuk didalamnya (a)kebijakan kebijakan yang mencakup pemanfaatan, dan konservasi sumberdaya air,

(b) perangkat perundang undangan yang mengatur berbagai hal seperti kewenangandalam pengelolaan, aturan pemanfaatan, dan pengelolaan konflik, dan (c) strukturinsentif dan pendanaan yang memungkinkan terlibatnya berbagai pemangkukepentingan dalam pembiayaan, karena semakin mahalnya biaya investasisumberdaya air. (2) Pengembangan kelembagaan yang merupakan salah satu kuncipenting dalam mewujudkan proses keterpaduan.Diperlukan pengkajian yang lebihmendalam apakah ada kelemahan-kelemahan dalam penetapan batas kewenangan,termasuk didalamnya apakah ada kesenjangan atau tumpang tindih, dan apakah adakegagalan dalam menyelaraskan tanggung jawab, kewenangan, dan kompetensi. (3)Instrumen pengelolaan. Ada beberapa instrumen pengelolaan yang perludiperhatikan antara lain pengkajian untuk menghasilkan informasi yang lebih akuratdan komprehensif, perencanaan yang menyuguhkan pilihan atau kombinasi berbagaiopsi dalam pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya, pengelolaan permintaanuntuk memperbaiki efisiensi, memajukan pengelolaan yang berbasis masyarakat(civil society), membangun aturan aturan bagi penyelesaian konflik, pemberianpelayanan, kwalitas air, konservasi dan tata guna lahan.

Berbeda dengan pendekatan sektoral, inisatif awal untuk memulai prosesketerpaduan cakupannya diharapkan lebih dari yang biasa dilakukan dalammenangani persoalan apabila dilakukan melalui pendekatan sektoral. Ada banyakpersoalan yang dapat dijadikan pintu masuk untuk memulai proses keterpaduantergantung dari skala persoalan yang dihadapi apakah nasional, propinsi, wilayahsungai, atau pada skala kabupaten dan desa. Misalnya pada tingkat nasional sesuaidengan UU no 7 tahun 2004 pintu masuk pendekatan keterpaduan dapat dilakukan

Page 101: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 101/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Effendi Pasandaran99

melalui upaya membangun Dewan Sumberdaya Air Nasional dengan memulaimembangun kriteria keterwakilan berbagai pemangku kepentingan dalam dewantersebut. 

F. Kesimpulan dan Saran

Apabila tidak ada langkah langkah kebijakan yang bersifat terobosan dan hanyamenurut kecenderungan yang terjadi akhir akhir ini Indonesia akan kembali menjadipengimpor beras yang besar di dunia karena permintaan terhadap beras akan terus

bertambah sebagai akibat dari piningkatan jumlah penduduk sementara pertumbuhanproduksi yang cenderung melandai. Keadaan tersebut akan diperparah olehkelangkaan air yang akan terjadi dimasa yang akan datang sebagai akibatmeluasnya Sindroma Jawa yang menyebabkan terjadinya kelangkaan air padadaerah daerah irigasi di pulau Jawa yang tidak saja menyebabkan berkurangnyaareal panen tetapi juga menurunnya produktifitas pertanian.

Ada beberapa pendekatan yang diperlukan untuk memperbesar kapasitas produksiyang diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut diatas. Pertama lakukaneksplorasi kawasan yang dianggap layak untuk dibangun infrastruktur irigasi .Palingtidak diperlukan tambahan areal irigasi baru antara 1,5 – 2 juta ha sampai dengantahun 2020 di pulau pulau besar di luar J awaseperti Sumatra dan Sulawesi.

Pembangunan infrastruktur irigasi hendaknya dimulai pada kawasan kawasan yangtelah dirintis oleh petani lokal termasuk areal sawah tadah hujan. Pengkajianterhadap kawasan ini dapat dilakukan secara cepat dengan melakukan karakterisasiwilayah dan berdasarkan pengalaman yang telah diperoleh selama ini pembangunaninfrastruktur hendaknya dapat dilakukan secara bertahap termasuk pembangunankelembagaan pengelolaan irigsi yang diperlukan. Diharapkan pendekatan investasiyang mengikut sertakan partisipasi petani secara aktif akan menurunkan biayainvestasi.

Pengelolaan infrastruktur irigasi untuk menunjang irigasi masa depan diperlukanuntuk terlaksananya multifungsi pertanian yaitu terwujudnya proses diversifikasipertanian secara meluas, meningkatnya fungsi konservasi sistem irigasi, danterpeliharanya warisan nilai nilai budaya berupa kearifan lokal dan kapital sosialdalam pengelolaan irigasi.

Kecenderungan kecenderungan seperti penundaan pemeliharaan dan kooptasi

pengelolaan irigasi yang dikelola oleh masyarakat hendaknya dihindari karena akanmempercepat degradasi sistem irigasi dan memperlemah kemampuan masyarakattani dalam pengelolaan irigasi. Untuk maksud tersebut kapital sosial dalammemelihara irigasi perlu dipulihkan dan disiplin birokrasi dalam pemeliharaainfrastruktur irigasi perlu diperkuat.

Karena kelangkaan air semakin meluas khususnya di pulau Jawa pengelolaaninfrastruktur haendaknya ditempatkan dalam kerangka keterpaduan pengelolaan airdalam DAS dengan memperhatikan fase fase perkembangan DAS yang terjaditermasuk perubahan pola budidaya dan usaha tani. Demikian pula kebijakan

Page 102: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 102/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Effendi Pasandaran100

pengelolaan infrastruktur irigasi hendaknya ditempatkan dalam kerangkaketerpaduan pembangunan wilayah dan infrastruktur pedesaan.

G. Daftar Pustaka

Barker, R. And F. Molle.2005. Perspectives on Asian Irrigation in Shivakoti ,G,P.,D.L.Vermillion,Wai-Fung Lam,E.Ostrom,U. Pradhan, and R.Yoder.(eds).Asian IrrigationIn Transition, Responding to Challenges. IWMI, Colombo. 21 – 41.

Brown, L. 2005.Outgrowing the Earth: The Food Security Challenge in an Age of Falling Water Table and Rising Temperature. W.W. Norton and CO, NY.EarthPolicy Institute.

Cardenas, J .C. 2002. Contradictions and Challenges for Policentricity and Self Governance: The problem of Authority and inequality in Columbia. PolicentricCircles, vol 8,no 2,J uly,2002.

Easterly,W., and L. Serven.2004. The limits of Stabilization : Infrastructure, Public Deficits and Growth in Latin America. Brooche - J anvier.1-21.

Firman, T.2004. Major Issues in Indonesia’s Urban Land Development . Land UsePolicy 21: 347 – 355.

Geertz, C.1980. Organization of the Balinese Subak . In Coward, E. D.(ed).Irrigationand Agricultural Development in Asia. Cornell University Press. Ithaca. NY. 70 –90.

Hussain, I., M.A. Hanjra, S.Thrikawala,and D.Wijerathna.2003. Impact of IrrigationInfrastructure Development on Dynamics of Income and Poverty, Economic Evidence Using Panel Data from Sri Lanka. IWMI and J BIC. 34 p.

Irawan, B. 2004. Konversi Lahan Sawah di Jawa dan Dampaknya Terhadap Produksi Padi . Dalam Kasryno, F., E. Pasandaran, dan A.M.Fagi (ed).Ekonomi Padi danBeras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 295 – 325.

Mewa Ariani. 2003. Dinamika Konsumsi Beras Rumah Tangga dan Kaitannyadengan Diversifikasi Konsumsi Pangan. Dalam Kasryno, F, E.Pasandaran,danA.M.Fagi (eds) Ekonomi Padi dan Beras Indonesia.Badan Penelitian danPengembangan Pertanian.J akarta.541 – 558.

Ostrom, Elinor.1999. Crafting Institutions for Self Governing Irrigation System.Institute for Contemporary Studies. San Frnsisco,California. 19 -40.

Pasandaran, E. 2006. Politik Ekonomi Sumber Daya Air . Dalam Pasandaran,E.,B.Sayaka, dan T.Pranaji (eds). Pengelolaan Lahan dan Air di Indonesia. BadanPenelitian dan Pengembangan Pertanian. J akarta. 11 – 46.

Page 103: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 103/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Effendi Pasandaran101

Pasandaran, E. 2003. Pengelolaan Terpadu Daerah Aliran Sungai BerdasarkanPendekatan Polycentric Governance. Alami 8(1): 6 – 12.

Pasandaran E, P. Simatupang, A.M. Fagi. 2005. Perspective of Rice Production inIndonesia in Sumarno, Suparyono, A.M. Fagi, and Made Oka Adnyana (eds) RiceIndustry,Culture, and Environment. Proc.the International Rice Conference2005,Tabanan Bali, Indonesia, IARRD.55 -64.

Pasandaran, E. and M.Rosegrant. 1995. Determinant of Public Investment: Irrigationin Indonesia. J urnal Agro Ekonomi.14(2): 1 – 20.

Rawls, J ohn.1971. A Theory of Justice.Harvard University Press.54 – 75.

Saeed,K., and Xu Honggang. 1999. Infrastructure Development in a Dual Economy:Implications for Economic Growth and Income Distribution. Worcester PolitechnicInstitute,[email protected] 38p

Sudaryanto,T., P. Simatupang, B. Irawan, and Dewa Ketut. 2002. Medium and Long Term Prospect of Supply and Demand in Indonesia. In Sombilla,M., M.Hossain,and B. Hardy(eds). Development in the Asian Rice Economy. 97 – 125.

Seckler D, Upali Amarisinghe, D.Molden, R.de Silva, and R.Barker.1998. World Water Demand and Supply , 1990 to 2025. Scenarios and Issues,Research

Report19, IWMI,Colombo,Sri lanka.

Vlughter, H.1949. Honderd Jaar Irrigatie. Voordracht Gehouden op 18 october 1949ter gelegenheid van de herdenking van de overdracht van de Technische HogeSchool aan den Lande in 1924. Druk Voorkink Bandung. 27 pp.

Van Zetten Vander Meer,N.C.1979. Sawah Cultivation in Ancient Java. Aspects of Development during the Indo-J avanese Period, 5th -15th Century. OrientalMonograph Series no 22. Faculty of Asian Studies in Association with AustralianNational University Press, Canbera.

Wittfogel, K.A. 1957.Oriental Despotism. New Haven : Yale University Press.

World Bank.1992. Adjustment Lending and Mobilization of Private and Public 

Resources for Growth. Policy and Research Series. Washington, D.C. p57. 

Page 104: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 104/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

H.S. Dillon102

 AIR, TANI DAN KEHIDUPAN

H.S. Dillon9 

9Senior Governance Advisor Centre for Agricultural Policy Studies

Page 105: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 105/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

H.S. Dillon103

Page 106: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 106/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

H.S. Dillon104

Page 107: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 107/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

H.S. Dillon105

Siklus Hidrologi

CAPSSumber: en.wikipedia.org

 

Page 108: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 108/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

H.S. Dillon106

Page 109: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 109/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

H.S. Dillon107

Page 110: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 110/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

H.S. Dillon108

Page 111: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 111/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

H.S. Dillon109

Page 112: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 112/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

H.S. Dillon110

Page 113: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 113/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

H.S. Dillon111

Page 114: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 114/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

H.S. Dillon112

Page 115: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 115/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

H.S. Dillon113

Page 116: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 116/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Irfan Ridwan Maksum

114

PERSPEKTIF DESENTRALISASI DALAMPENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR (IRIGASI) DI

INDONESIA

Irfan Ridwan Maksum10

 

 Tesis saya dalam makalah ini adalah kebijakan desentralisasi di Indonesia tidakmemadai dalam menghadapi tuntutan pengelolaan sumberdaya air (irigasi) yang ada.Oleh karena itu perlu rekonstruksi mendasar kebijakan desentralisasi di Indonesia.Makalah ini menguraikan dua hal pokok, bagaimana seluk beluk desentralisasi dalamkonteks administrasi Negara dan bagaimana tuntutan pengelolaan sumberdaya air(irigasi) dalam konteks desentralisasi

***

 A. Konsep Desent ral isasi

Menurut George J . Gordon, administrasi Publik dapat dirumuskan sebagai seluruhproses baik yang dilakukan organisasi maupun perorangan yang berkaitan denganpenerapan atau pelaksanaan hukum yang dikeluarkan oleh badan legislative,

eksekutif maupun yudikatif. Dengan demikian, administrasi publik memiliki dimensiproses (fungsi dan kegiatan), organisasi, dan individu (aktor-aktor) dalampelaksanaan kebijakan sebuah negara.

Salah satu alat dalam kerja administrasi publik adalah dengan dijalankannyakebijakan desentralisasi. J ika kita rinci menurut organnya, desentralisasi yang utuhterdiri dari desentralisasi territorial dan desentralisasi fungsional. Saya simpulkan diawal bahwa Indonesia hanya menganut satu jenis desentralisasi dari sudut pandangorgannya, yakni desentralisasi territorial.

Dari literatur diketahui terdapat perbedaan konsep antara desentralisasi teritorial dandesentralisasi fungsional serta dekonsentrasi paling sedikit menyangkut enam matra:(1) hubungan dengan Pemerintah Pusat; (2)  kewenangan yang diemban;  (3)lembaga pemerintahan (governing bodies); (4) Lembaga administrasi (birokrasi) nya;

(5) aspek keuangannya, dan (6) garis batas wilayah kerja ( jurisdiction). Keenam haldi atas juga menjadi tolak ukur membedakan lembaga tersebut dengan lembagabentukan dari asas sentralisasi (dekonsentrasi) dan desentralisasi territorial. Berikutini ringkasan perbedaannya:

10Doktor Ilmu Administrasi. Staf Pengajar di FISIP-UI. Peneliti pada Pusat KajianPembangunan Administrasi Daerah dan Kota-FISIP-UI.

Page 117: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 117/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Irfan Ridwan Maksum115

Tabel 7.1. Perbedaan lembaga Dekonsentrasi, Desentralisasi territorial danDesentralisasi fungsional 

NO DIMENSI DEKONSENTRASI DESENTRALISASI

TERRITORIAL DESENTRALISASI

FUNGSIONAL 

1 HubungandenganPemerintah

Pusat

Ketat (terikat)karena bagianintegral sebagai

administrasilapangan dariPemerintah Pusat

Otonom karenaprinsip separateness dan sebagai badan

publik tersendiri diluar PemerintahPusat

Cenderung otonomdimana masih terkaitpada bidang tertentu

di tingkat pusat –terutama pada awalpembentukannya

2 Kewenangan Sangat terbataspada bidang yangditentukan olehHead-quarter . Olehkarena itu selalubersifat single

 purpose.

Relative luas dengancakupan tertentu dantergantung polapembagiankewenangan yangdianut dalamperaturanperundangan. Olehkarena itu bersifatmultipurposes.

Relative terbatassesuai bidang yangditangani.Cenderung single-

 purpose tetapiadakalanya bersifatmulti-purposes terutama padapraktek kawasanperkotaan/ khusus(special wards).

3 LembagaPemerintahan(Governing Bodies)

Di pusatpemerintahan,sehingga di penjuruwilayah hanyaberupa administrasilapangan

 Terdapat di tingkatlokal dan otonomdengan adanyalembaga perwakilandan kepala eksekutif yang umumnya diisimelalui prosespolitik.

 Terdapatnyalembagapemerintahanotonom (lembagaperwakilan daneksekutifnya) ditingkat lokal yangpengisian

 jabatannyabervariasi tergantungpola yang dianutbisa merupakangabungan inisiatif daerah otonom(umum) dan bisaatas dasar kehendakPemerintah pusat(gabungan), ataukonstituennya.

4 Birokrasi(administrasi)

Bagian integral dariBirokrasiPemerintah Pusat

 Terpisah daribirokrasi nasional(pemerintah pusat)dan tergantung darilembaga politik lokal

 Terpisah daribirokrasi nasionaldan tergantung darilembaga politik yangdibentuk sesuaibidangnya

Page 118: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 118/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Irfan Ridwan Maksum116

NO DIMENSI DEKONSENTRASI DESENTRALISASI

TERRITORIAL DESENTRALISASI

FUNGSIONAL 

5 Keuangan(finance)

 Tidak otonom danterikat darianggaran Head-quarter  

Otonom Otonom

6 Garis bataswilayah kerja( jurisdiction)

Ditentukan secarategas olehPemerintah Pusatdan sangattergantung dari polayang dianut secaranasional apakahintegrated 

 prefectoral atau un-integrated danfunctional system 

Berdasarkan aspirasimasyarakatsetempat denganberpijak padaperaturanperundangannasional.

Dapat overlapping  antar berbagaidaerah otonom daridesentralisasiterritorial atausimetrik pada satudaerah otonomtertentu dan diaturserta dibentuk olehperaturanperundangannasional.

Sumber: Olahan Penulis

Pembedaan ketiga konsep di atas hampir sejalan dengan apa yang dikemukakanoleh Hulme dan Turner (1985) dengan menggunakan dimensi ‘nature of delegation’

yang terdiri dari (1) apakah delegasinya dilakukan di dalam struktur formal(organisasi)i politik; (2) di dalam struktur administrasi publik atau organisasiparastatal; dan, (3) dari sektor publik ke sektor swasta. Kerangka ini mampumembedah lebih jauh dengan hasil-hasil (bentuk-bentuk) desentralisasi yang munculakibat dari pola delegasinya dengan dua basis apakah territorial atau fungsional.Berikut ini apa yang dikemukakan oleh Hulme dan Turner dalam Tabel 7.2.

Tabel 7.2. Bentuk Desentralisasi 

N ATURE OF

DELEGATION 

B ASIS FOR DELEGATION 

Territorial Functional

Within formal

politicalstructure

Devolution

(Political decentralization,local government, democraticdecentralization)

Interest Group representation

Within PublicAdministrativeor parastatalstructure

De-concentration(administrativedecentralization, fieldadministration)

Establishment of parastatal andquangos

Page 119: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 119/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Irfan Ridwan Maksum117

N ATURE OF

DELEGATION B ASIS FOR DELEGATION 

From statesector toprivate sector

Privatization of devolvedfunctions (deregulation,contracting out, voucherschemes)

Privatization of national functions(divestiture, deregulation,economic liberalization)

Sumber: Hulme dan Turner, hal. 153

Nampaknya dari kerangka Hulme dan Turner tersebut merefleksikan bahwa praktekdesentralisasi fungsional terjadi dalam struktur politik yang disebut sebagai ’interestgroup representation’. Kedua pakar mengangkat atau memberi nama ’interest grouprepresentation’ didorong oleh dimensi lokalitas dari lembaga yang terbentuk yakniselalu berkaitan dengan kelompok tertentu di suatu daerah atau wilayah tertentudalam sebuah negara.

 J ika konsep ’interest group representation’ yang dimaksud Hulme dan Turner adalahkonsep desentralisasi fungsional, maka (1) unsur lokalitas; dan (2) unsur kemandirianatau otonomi menjadi alat pembeda konsep ini dengan konsep dekonsentrasi danpembentukan ’organisasi parastatal’. Sementara (3) unsur non profit-nya menjadipembeda dari swastanisasi.

Lembaga desentralisasi fungsional ini baik di negara maju maupun negaraberkembang diakui oleh Humes IV (1995) memiliki kontribusi yang nyata terhadappembangunan: “One of more significant development in local governance on recent 

decades has been the proliferation and increasing role of special purpose quasi-autonomous organizations to deliver public services.” Namun menurut Humes IV pulalembaga ini umumnya dikembangkan di negara-negara di mana pemerintah daerahtempat operasi lembaga tersebut memiliki kewenangan terbatas.

Dikatakan oleh Humes IV sebagai berikut: “They are especially prevalent in countriesin which municipalities have a limited range of competence and relatively weak executives.”  Pemahaman tentang kewenangan daerah otonom ini menjadi dasarbahwa pengembangan desentralisasi fungsional di Indonesia tidak didasari olehlandasan konsep yang jelas; atau, tidak mempertimbangkan bahwa daerah otonomtertentu sungguh-sungguh tidak mampu menjalankan fungsi tertentu sehingga perludikembangkan lembaga otonom melalui desentralisasi fungsional.

Dari konsep di atas, desentralisasi fungsional ternyata ditandai oleh adanya otonomiyang bersifat khusus. Otonomi tersebut sama halnya seperti terbersit dalampemahaman desentralisasi itu sendiri. Dituliskan oleh Seerden dan Stroink (2002), ”Inthe case of functional (as opposed to territorial) decentralization the power is moredefined, in the sense that the exercise of the power is only allowed in connection withthe function the public body is expected to fulfill,..” . Oleh karena penekanannya padaurusan tertentu, maka wilayah kerja adalah tergantung dari karakter dari obyek yangditangani oleh urusan tersebut. Akibatnya, jangkauan kerjanya lintas batas daerahotonom (umum).

Page 120: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 120/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Irfan Ridwan Maksum118

Masyarakat yang dilayani merupakan basis pengembangan organisasipemerintahannya dan lintas batas daerah otonom tergantung karakter dari obyekyang ditangani oleh wewenang atau fungsi tersebut. Seerden dan Stroink jugamenuliskan: ”It May also happen that person possesses a certain capacity, for instance that of landowner or practitioner of particular profession, and belongs to the

 public body for the reason (functional delineation).”  Menurut catatan INPIM (WUA)perihal waterschappen di Belanda dinyatakan sebagai berikut:

”The categories of stakeholders … of the Water Board. Each

Water Board organizes its own elections, during which eachcategory of stakeholders elects its representatives to the Council of the Water Board”. 

Sementara itu, di USA, jika yurisdiksi lembaga distrik khusus simetris dengan daerahotonom tertentu, umumnya urusan tersebut tidak ditangani oleh lembaga khusus lagimelainkan daerah otonom yang dimaksud. Namun, di AS, khusus mengenai sekolah,UUD-nya telah mengamanatkan adanya kekhususan dalam penanganan sekolahtersebut dengan school district-nya yang otonom sejajar dengan daerah otonom --biasa.

 Tanda-tanda otonomi juga ditunjukkan dengan keuangan sendiri tidak bersamadengan daerah otonom (umum) dan terpisah dari keuangan Pemerintah Pusat,meskipun Pemerintah tetap memberikan subsidi kepada lembaga ini. Keuangan

sendiri dari lembaga khusus tersebut dikembangkan dari penanganan urusan khusustersebut oleh organ pemerintahannya vis-a vis masyarakat yang dilayani. Darilembaga otonom khusus ini, kompleksitas administrasinya pun dapat muncul sepertilayaknya di daerah otonom (umum) atau Negara dengan sifat corporate-nya yaknidapat melakukan swastanisasi atau kerjasama dengan NGO’s dan sebagainya,bahkan organ politik lembaga-lembaga ini pun, dalam beberapa kasus di AS,seringkali diisi dengan pemilihan.

Dari uraian konsep-konsep mengenai desentralisasi, dapat disimpulkan bahwadesentralisasi fungsional berarti penyerahan wewenang dari Pemerintah kepadasegolongan masyarakat yang terkait dalam fungsi pemerintahan tertentu untukmengatur dan mengurusnya sesuai batas yurisdiksi fungsi tersebut. J adi, konsep inipun menimbulkan otonomi bagi lembaga yang menerima wewenang tersebut.

Segolongan masyarakat yang dimaksud juga adalah masyarakat dari daerah otonom

tertentu akibat dari desentralisasi teritorial. Karakter fungsi adalah utama dalamdesentralisasi fungsional, sehingga masyarakat yang menerima penyerahanwewenang dalam desentralisasi fungsional dapat lebih luas daripada daerah otonomtertentu atau dapat juga hanya sebagian masyarakat tertentu dari daerah otonomtersebut. Masyarakat tersebut merupakan ‘interest group’ dari fungsi pemerintahanyang didesentralisasikan. Misalnya, di bidang irigasi, kelompok kepentingan tersebutantara lain: LSM pemerhati pengairan, para petani pemakai air, perusahan penggunaair, organisasi akar rumput dari petani pemakai air, berbagai pihak yang terkaitdengan sumberdaya air. Berikut ini disajikan ilustrasi kelembagaan pemerintahandengan desentralisasi fungsional:

Page 121: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 121/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Irfan Ridwan Maksum119

Tabel 7.3. Struktur Kelembagaan Pemerintahan Lokal Khusus(regime lokal khusus) 

Sumber : olahan Penulis

Dari struktur kelembagaan pemerintahan lokal khusus di atas, tampak garis batas

(boundaries) adalah sesuatu yang sekunder mengikuti kekhususan dari fungsi yangdiemban oleh lembaga tersebut. Lembaga tersebut bersifat otonom pada fungsitertentu. Yurisdiksi dari lembaga tersebut mengikuti karakter fungsi pemerintahanyang diemban dan diikuti pula oleh keberadaan konstituen yang menjadi pihak yangberkepentingan terhadap keberadaan fungsi dan lembaga tersebut. Keuangan darilembaga tersebut berasal dari user’s fee dan juga subsidi dari Pemerintah.

Catatan utama dalam desentralisasi fungsional adalah adanya pengelolaan urusan dibidang yang spesifik (tertentu) oleh lembaga otonom yang wilayah kerja (yurisdiksi)-nya dapat simetris (berhimpit) bahkan di dalam wilayah suatu daerah otonom daridesentralisasi teritorial yang menangani berbagai urusan Pemerintahan atau dapatpula melebihi yurisdiksi suatu daerah otonom. Lembaga otonom tersebut terdiri dariorgan politik dan birokrasi (lokal) yang terlepas dari lembaga dari desentralisasiteritorial karena wewenang yang diembannya adalah penyerahan dari Pemerintahpula. Hal ini pula sebagai batasan bahwa jikalau yurisdiksinya berhimpit, urusan

tersebut tidak overlapping seperti dikemukakan di muka, sehingga merupakan pilihan jika Pemerintah menyelenggarakan desentralisasi dalam sebuah wilayah tertentu,tidak mungkin dilakukan desentralisasi teritorial dan fungsional bersamaan.

B. Keutuhan Desentralisasi

 J ika saja organisasi pemerintahan secara nasional (opn) merupakan suatu fungsimatematika, maka selama ini di Indonesia sebagai negara kesatuan organisasiPemerintahan Nasional atau f (Opn) sama dengan organisasi pemerintah Pusat(OPP). Oleh karena pemerintah daerah adalah ciptaan Pemerintahan nasional, maka

Dewan(Lembaga Perwakilan)

Eksekutif 

Birokrasi yang batas

yurisdiksinyaterutama sangatdipengaruhi olehkarakter fungsitertentu yangdiembannya

MASYARAKAT (KONSTITUEN)

LembagaPolitik yangdiisi melalui

prosespemilihan

dengan basiskonstituenterutama

parapenggunapelayanan

Page 122: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 122/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Irfan Ridwan Maksum120

sebenarnya baik opn maupun OPP setara dengan Organisasi Pemerintah yang tidakdidelegasikan kepada Daerah yang merupakan ejawantah urusan mutlak wewenangpemerintah Pusat (Ous) ditambah dengan organisasi Pemerintahan Provinsi (Oprov)dan Pemerintahan Kabupaten (okab) serta ditambah dengan organisasipemerintahan Kota (Okot). Rumus matematika tersebut dapat disederhanakanmenjadi:

f (opn) =f (OPP)=Ous +Oprov +Okab + Okot

Rumus tersebut berangkat dari tidak adanya keutuhan desentralisasi yang terdiri daridesentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional. Dengan demikian,sesungguhnya terdapat organisasi pemerintahan lokal yang bersifat khususberdasarkan desentralisasi fungsional. Oleh karena itu seharusnya rumus tersebutditambahkan dengan organisasi pemerintahan khusus di tingkat lokal (OPK).

 Terkadang berbagai pakar juga memasukkan organisasi pemerintahan Desa,sehingga dapat berubah pula susunan rumus tersebut. Tampak rumus tersebut punhanya berlaku di negara kesatuan --seperti di Indonesia-- yang PemerintahDaerahnya otomatis ciptaan Pemerintah sehingga akan berbeda di Negara Federal.

Dengan demikian, dari segi desentralisasi pun sebenarnya rumus matematikanyaadalah f Desentralisasi merupakan gabungan dari desentralisasi teritorial (dt) dandesentralisasi fungsional (df).

11Berdasarkan rumus tersebut, ketidak-utuhan

desentralisasi dalam sebuah bangun total organisasi pemerintahan dalam sebuah

sistem administrasi negara menjadikan dalam kenyataan empirik mudah terjadiketimpangan-ketimpangan praktek administrasi negara dalam distribusi urusan dandalam menjalankan urusan-urusan tersebut (dispute).

Dalam persoalan tersebut juga terkandung aspek komponen masyarakat madanisebagai komponen pembentuk masyarakat bangsa atau community  yang menurutsebagian pakar kelembagaan, tidak perlu diformalisir menjadi bagian integral dariNegara atau pemerintah. Pendapat ini menganggap justru memperlemah masyarakatmadani dan bahkan merusak apa yang sudah ada. Sebagai contoh, Subak atau P3ADharma tirta adalah bentuk organisasi kelembagaan masyarakat madani sehingga

11Kedua jenis desentralisasi adalah sub-sistem dari instrumen distribusi urusanpemerintahan nasional yang dapat terdiri dari sentralisasi, desentralisasi,dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. J ika mengikuti pendapat bahwa urusan

pemerintahan terbagi atas urusan yang tidak mungkin didesentralisasikan yangmutlak menjadi wewenang Pemerintah dan urusan yang dapat didesentralisasiyang tidak eksklusif menjadi wewenang daerah otonom; di dalam Urusan yangdapat didesentralisasikan ini Pemerintah dapat pula mengembangkannya sendiri,mendekonsentrasikan, atau memberi tugas pembantuan kepada daerah; makapola ini pun sesungguhnya dapat disederhanakan dalam rumus matematika samaseperti di atas. Namun, rumus matematika tersebut hanya rekaan semata karenadi tingkat empirik sangat kompleks, dapat saja kemudian kita mengkaitkan adanyapilar-pilar masyarakat bangsa yang terdiri dari Negara, Swasta, dan MasyarajatMadani sehingga organisasi pemerintahan hanyalah sub-sistem dari konstruksiyang lebih luas lagi. Rumus itupun dapat dibuat lebih luas lagi.

Page 123: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 123/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Irfan Ridwan Maksum121

tidak perlu diformalisir fungsi atau urusan yang diembannya diintervensi melaluipembenahan struktur organisasinya. Konsep desentralisasi fungsional dianggapsebagai bagian dari proses ’Negara-isasi’ atau formalisasi yang sudah ada.

Pendapat ini keliru karena keberadaan masyarakat madani pun masih tetap ada jikalau terdapat desentralisasi fungsional, yakni dalam hal krama Subak dan anggotaP3A dharma tirta tetap berperan sebagai petani pemakai air irigasi. Kedudukanmereka tetap diakui sebagai masyarakat madani dapat berkelompok kembali untukmengontrol keberadaan wakil-wakil mereka yang duduk dalam lembaga politik

bentukan desentralisasi fungsional bidang irigasi yang ada agar bekerja optimalmengontrol birokrasi irigasi yang ada. Pemberdayaan yang dilakukan terhadapmereka dilakukan dalam konteks desentralisasi fungsional, bukan dalam konteksdesentralisasi teritorial. Artinya, lembaga-lembaga yang berkepentingan tidak lagimerupakan cerminan dari alat-alat yang ada dalam desentralisasi teritorial lagi jikaterdapat pengembangan desentralisasi fungsional.

+++

C. Praktek Desentralisasi Fungsional di Berbagai Negara

Dari referensi, dapat diambil intisari karakter penyelenggaraan desentralisasifungsional di USA, Belanda, J epang dan J erman: (1) struktur organisasi (2)wewenang;(3) wilayah kerja (yurisdiksi); (4) letak (lokus);(5) proses terbentuknya; (6)pola intervensi Pemerintah (pusat); (7) Mekanisme pemilihan pimpinan kelembagaan;(8) pembiayaan; (9) kepegawaiannya; (10) mekanisme pertanggungjawabanlembaganya; dan, (11) partisipasi masyarakat. Berikut ini ringkasan dari aspek-aspektersebut dalam Tabel 7.4.

Page 124: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 124/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Irfan Ridwan Maksum122

   T  a   b  e   l   7 .   4 .

   K  a

  r  a   k   t  e  r   i  s   t   i   k  p  e  n  y  e   l  e  n  g  g  a  r  a  a  n   d  e  s  e  n   t  r  a

   l   i  s  a  s   i   f  u  n  g  s   i  o  n  a   l   d   i   B  e   l  a  n   d  a ,

   J  e  p  a  n  g ,

   U   S   A ,

   d  a  n   J  e  r  m  a  n

 

Page 125: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 125/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Irfan Ridwan Maksum123

Dari uraian praktek desentralisasi fungsional di empat negara tersebut, terdapatkesimpulan kuat terdapatnya keterkaitan antara desentralisasi fungsional di satu sisidan desentralisasi teritorial di sisi lain berdasarkan dua dimensi: (1) dimensipartisipasi masyarakat lokal; dan (2) dimensi integrasi struktural (formal). Dimensi 

 pertama, mendandakan adanya tampungan partisipasi masyarakat lokal terhadappraktek desentralisasi fungsional bukan saja kepada desentralisasi teritorial

   S  u  m   b  e  r

  :   O   l  a   h  a  n   P  e  n  u   l   i  s

Page 126: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 126/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Irfan Ridwan Maksum124

walaupun masyarakat tersebut terutama menjadi basis desentralisasi teritorial.Masyarakat memiliki hak dan peran dalam proses pemerintahan (administrasi)khusus (Fesler: 1949).

Dari berbagai praktek negara-negara tersebut di atas, desentralisasi fungsionaldisejajarkan dengan desentralisasi territorial dalam satu kelompok. Kemudian dalamkenyataannya, di daerah operasi lembaga desentralisasi fungsional, lembaga politikyang muncul tidak pernah terlepas dari lembaga politik yang terbentuk akibatdesentralisasi teritorial karena memang memiliki konstituen yang kurang lebih sama.

Oleh karena itu, seperti diungkap di muka, dari sisi pengembangan desentralisasi,tidak mungkin kedua desentralisasi (territorial dan fungsional) muncul bersamaandalam yurisdiksi yang simetris. Tetapi, dalam urusan yang sama untuk yurisdiksiyang tidak berhimpitan dapat dikembangkan kedua jenis desentralisasi apalagi untukurusan yang berlainan. Humes IV menuliskannya sebagai berikut:

“Special purpose governmental organizations generally havegoverning organs selected to represent a variety of constituencies. Central governments appoint some boards(especially the central regional ones) and some of the members of many more. In many countries, especially in the less developed,central officials serve as local members in an ex officio capacity.The participating local governments select the members of most 

of the smaller local regional authorities. In a few cases themembers are directly elected (as many US school districts). Themeans of special purpose bodies relate to the local governments.” 

Selain itu, proses kerja lembaga desentralisasi fungsional yang memiliki konsekuensiterhadap pendanaan dan pengelolaan sumberdaya tidak dilepaskan dengan lembagadesentralisasi territorial yang ada walaupun mereka otonom. Urusan finansial ini tidaksekedar adanya biaya kompensasi bagi pemerintah daerah yang kedapatan adanyaoperasi lembaga desentralisasi fungsional melainkan sejak awal sudah dilibatkandalam pengelolaan sumberdaya finansialnya. 

D. Sumberdaya Air (Irigasi): Lokali tas dan Satu Kesatuan

Persoalan air irigasi yang umumnya menyangkut kelangkaan air di berbagai negaraberkembang telah diakui oleh Saleth dan Dinar (2005) yang menyatakan bahwa

kelangkaan air yang bisa berdimensi kuantitatif maupun kualitatif disebabkan olehmanajemen (pengelolaan) yang lemah. Dituliskan oleh kedua pakar tersebut sebagaiberikut:

“Although the nature and severity of water problems are different from country to country, one aspect is common to most countries;water scarcity –whether quantitative, qualitative, or both—originates more from inefficient use and poor management thanany real physical limits on supply augmentation.” 

Page 127: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 127/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Irfan Ridwan Maksum125

Diketahui bahwa pengelolaan air irigasi didorong oleh adanya sumberdaya air yangtersedia. Sumberdaya air irigasi ini memiliki jenjang mulai dari jenjang (tingkatan)primer, sekunder, tersier sampai kuarter. J enjang-jenjang tersebut merupakan jalinansistemik yang terpadu keberadaanya. Sistem irigasi sendiri merupakan sistempenyediaan dan pengaturan air untuk pertanian. Sumber irigasi ini bisa dari airpermukaan atau dari air tanah (Kodoatie, Robert, J ., dan Sjarief, Roestam,: 2005).

Oleh karena itu, pengelolaan irigasi hakekatnya adalah sebuah sistem yang tidakdapat dipisah-pisahkan satu sama lainnya menurut jenjang daerah irigasi. Semakin

tinggi jenjangnya, semakin luas jangkauannya dan semakin luas pula berbagai pihakyang berkepentingan terhadap keberadaan sumberdaya air yang ada di sana. Berikutadalah ilustrasi yurisdiksi sistem irigasi dalam sebuah Daerah Aliran Sungai (DAS):

Gambar 7.1. Aliran Sungai dan Batas Administratif Daerah Otonom

Sumber: Kodoatie dan Sjarief (2005) Dengan demikian, sistem irigasi terdiri atas sumber air, bangunan pengambilan(intake), saluran primer, saluran sekunder, saluran tersier, saluran kuarter dan

saluran pembuang (ibid .,) Selama ini urusan irigasi dalam konteks pemerintahanmenggunakan dasar tingkatan daerah irigasi sebagai cara untuk mendistribusikanurusan-urusan tersebut dari berbagai jenjang (tingkatan) Pemerintahan dari sudutpandang teritorial semata. Oleh karena pemerintahan teritorial tersusun atasPemerintah Pusat, Provinsi, dan kabupaten/ Kota bahkan hingga kecataman danDesa/ kelurahan atau yang sejenisnya, maka distribusinya pun berjenjang denganbersandar pada karakter jenjang pemerintahan tersebut.

Dalam praktek, umumnya sulit terjadi pola yang simetrik antara karakter hidrologisdan karakter susunan teritorial pemerintahan tersebut. Namun, dapat digambarkan

Page 128: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 128/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Irfan Ridwan Maksum126

bahwa urusan-urusan dalam bidang irigasi yang strategis dimiliki oleh Pemerintah.Pemerintah tetap menjadi pihak yang memiliki tanggungjawab akhir dalampengelolaan irigasi ini. Untuk itu, selalu ada urusan dalam bidang irigasi ini yangdikembangkan secara sentralistik.

Kemudian, pemerintah Provinsi akan bergradasi di bawah Pemerintah danseterusnya di jenjang (tingkatan) Kabupaten/ Kota mengelola Daerah irigasi Primerdan Sekunder sebatas dalam lingkup teritorinya. J ika terdapat daerah irigasi yangmelebihi jangkauan Kabupaten/ kota, maka diambil alih oleh provinsi. Menurut

Situmorang (2002) hal ini yang disebut sebagai kriteria eksternalitas dan akuntabilitasdalam distribusi urusan pemerintahan.

McLean menyatakan bahwa desentralisasi dalam pengelolaan urusan irigasi bukansaja kepada pemerintah daerah (berdasarkan desentralisasi teritorial semata),melainkan dapat pula kepada kelompok pengguna. Dituliskan oleh McLean sebagaiberikut:

”Two important levels of devolution have evolved in water servicesmanagement; devolution to local governments, and devolution tocommunity based user groups. The later is more common and,depending on the country, is often incorporated into the first type.”

Meskipun McLean menyatakan bahwa umumnya yang dilakukan di berbagai negaraterutama negara berkembang dengan menyatukan kedua cara devolusi tersebut kedalam sistem yang pertama, dari pendapat tersebut sebenarnya dapat dilakukansecara terpisah: yang pertama desentralisasi teritorial, yang kedua adalahdesentralisasi fungsional. Pakar tersebut menambahkan penjelasannya sebagaiberikut:

”The new push toward participatory management process hasenabled decentralization to user groups. These groups comprisethe intended beneficiaries, who weigh all technically feasibleoptions, consider capital and recurrent cost implications, makechoices, and then manage systems. The approach pays dividendsfor both government and communities; communities get what they need, and governments are relieved of long term operation and maintenance (O&M) burden. User groups are common toirrigation and rural water supply and sanitation. Generally they are

referred to as water users associations (WUAs) in the former and water and sanitation committees (WSCs) in the latter.” 

Pendapat McLean di atas dapat diarahkan pula kepada desentralisasi fungsional jikaorganisasi WUAs atau WSCs mendapatkan pelimpahan wewenang secara langsungdari Pemerintah, bukan sekedar dari pemerintah daerah. McLean merinci dalamsebuah tabel kemungkinan rincian distribusi tanggungjawab antara WUAs danlembaga Pemerintah dalam 6 model mulai dari sepenuhnya ditangani oleh agensiPemerintah sampai sepenuhnya dikelola oleh asosiasi pengguna air. Model-modeltersebut dapat dilihat secara ringkas dalam Tabel 7.5: 

Page 129: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 129/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Irfan Ridwan Maksum127

Tabel 7.5. Division of Responsibilities between Agency and Water Users

No AcitivityFull

agencycontrol

 Agen cyO&M

(user input)

Sharedmanagement

WUA/WSCO&M

WUA/WSCown

(agencyregulated)

FullWUA/WSC

Control

1 Regulation Agency Agency Agency Agency Agency WUA/WSC

2 Ownership of structures,and Water

Agency Agency Agency Agency WUA/WSC WUA/WSC

3 O&Mresponsibiliy

Agency Agency Both WUA/WSC

WUA/WSC WUA/WSC

4 Userrepresentation

Agency WUA/WSC

WUA/WSC WUA/WSC

WUA/WSC WUA/WSC

Sumber: McLean, Loc cit., hal.75 

Dari Tabel 7.5 di atas, organisasi pengelolaan irigasi dapat otonom penuh jika padamodel ke-enam yakni ’WUA/WSC full control’ dimana aktivitas sepenuhnya dilakukanorganisasi tersebut. Namun, belum sepenuhnya apakah ada dalam kategoridesentralisasi fungsional atau desentralisasi teritorial yang sangat ditentukan olehpemberi wewenang. J ika pemerintah secara langsung, maka desentralisasifungsional yang dilakukan. Tetapi jika dari Pemerintah daerah, maka pengembanganatau pengelolaan irigasi berada dalam area desentralisasi teritorial.

Seperti dikatakan di muka, bahwa irigasi tersier pada hakaketnya dapat dikelola olehinstitusi Negara baik Pemerintah pusat maupun Pemerintah daerah, tetapi banyaknegara melibatkan peran organisasi petani lokal dan pemerintahan pada jenjang(tingkatan) komunitas untuk turut mengelolanya. Hal tersebut sejalan dengan apayang dikemukakan oleh Esman (1990) sebagai berikut: 

”In irrigated agriculture, government may construct and managethe dams and main channels, but water users’ associations of farmers maintain the secondary and tertiary channels and allocatewater, while local authorities assess and collect user fees.” 

Keadaan ini sesungguhnya masih berada dalam lingkup desentralisasi teritorialsemata seperti dikatakan McLean di atas. Meskipun organisasi petani lokal dan atauorgan yang memiliki wewenang tersebut bersifat otonom, namun wewenangorganisasi tersebut diserahkan oleh Pemerintah Daerah.

Lembaga ini menurut konsep yang dikemukakan cukup panjang lebar di atas, hanyasebatas delegasi dari Pemerintah daerah kepada organ masyarakat lokal (petani)untuk turut ambil bagian dalam urusan irigasi pada jenjang (tingkatan) terendah.Beberapa pakar tidak menggunakan istilah delegasi untuk mengemukakan adanyaketerlibatan Petani dalam urusan irigasi tersebut, melainkan menggunakan kata-katapemberdayaan petani dalam menggunakan air.

 J ustru istilah delegasi digunakan, jika sesuatu urusan dikelola oleh badan yang jugarelatif (semi) otonom yang berorientasi bukan kepada adanya konstituensi lokalseperti dikemukakan oleh Cheema dan Rondinelli di muka. Urusan irigasi tersier

Page 130: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 130/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Irfan Ridwan Maksum128

umumnya menurut Ostrom dilakukan melalui ’pemberdayaan’ masyarakat lokal yangdilakukan oleh pemerintah daerahnya. Ostrom juga mengemukakan kelembagaan diNegeri Belanda tanpa menyebutkan peristilahan desentralisasi fungsional yangsudah sangat lazim dalam pemerintahan dan hukum administrasi negara di Negaratersebut. Menurut penulis ini disebabkan perhatian Ostrom tidak kepadakelembagaan pemerintahan dan administrasi negara, melainkan diangkat denganpijakan pendekatan ekonomi-politik semata.

Seperti diketahui bahwa penyelenggara desentralisasi adalah Pemerintah. Dengan

demikian, jika dilakukan desentralisasi fungsional menurut konsep di atas, makaPemerintah-lah yang tetap melakukan pen-desentralisasian urusan tersebut kepadamasyarakat konstituen karena desentralisasi menurut Hoessein bermakna meng-otonomikan masyarakat (Hoessein: 2002). Semakin tinggi daerah irigasi yangmenjadi jangkauan desentralisasi, semakin luas konstituen yang berada dalamdesentralisasi fungsional dalam bidang urusan irigasi ini.

Oleh karena itu, jika desentralisasi ini dilakukan, sudah seharusnya birokrasi bidangirigasi harus di luar birokrasi dari daerah otonom yang berasal dari desentralisasiteritorial yang berada dalam wilayah yurisdiksi desentralisasi tersebut dibuat. J ikadelegasi kepada Subak dijadikan dasar dalam desentralisasi fungsional, makabirokrasi yang menangani urusan irigasi di dalam jangakaun kerja subak tersebutmerupakan bagian dari birokrasi Subak.

Dengan demikian, tidak seharusnya Subak hanya menjadi bagian pendukung belakadari kerja-kerja irigasi dari Pemerintah daerah tersebut melainkan birokrasipemerintah daerah-lah yang harus menjalankan keputusan-keputusan yang diambiloleh lembaga politik dalam Subak. Berikut ini ilustrasi pemerintahan khusus bidangirigasi dalam desentralisasi fungsional ditampilkan pada Gambar 7.2.

Itu artinya, birokrasi Pemda yang ada sekarang yakni Dinas PU pengairan masing-masing kabupaten yang mengurusi irigasi haruslah dikendalikan oleh konstituenirigasi (kelompok kepentingan) yang memiliki wakil-wakilnya di dalam lembaga politik(deliberatif) yang diciptakan melalui desentralisasi fungsional tersebut. Pada akhirnyakelompok kepentingan tersebut didominasi oleh para pengguna (users) pengairan.Kelompok masyarakat ini sebagaimana dimaksud di muka, dalam konsepdesentralisasi fungsional merupakan penerima penyerahan wewenang tertentu danberfungsi sebagai pengatur sehingga menciptakan regime lokal khusus.

Berbeda dari asas kontinum antara sentralisasi dan desentralisasi, keberadaandesentralisasi fungsional dalam sebuah masyarakat di tingkat lokal tertentumerupakan pilihan alternatif dari lembaga desentralisasi teritorial. Mekanismedesentralisasi teritorial dan fungsional dalam suatu urusan bersifat pilihan dalam satuyurisdiksi yang berhimpitan atau overlapping . Oleh karena itu tidak mungkindiselenggarakan secara bersama-sama dalam satu yurisdiksi tertentu karena dapatterjadi overlapping bagi fungsi yang sama untuk masyarakat yang kurang lebih sama. 

Page 131: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 131/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Irfan Ridwan Maksum129

Gambar 7.2. Struktur Kelembagaan Pemerintahan Lokal Khusus Bidang Irigasi(regime Lokal Irigasi)

Sumber : Olahan Penulis

 Tetapi, kedua mekanisme dapat dianut oleh suatu urusan pemerintahan secarabersamaan jika dikembangkan di tempat-tempat yang sama sekali berbeda atauberjauhan sehingga tidak bersinggungan atau overlapping . Oleh karena itu, urusan

irigasi yang dikelola oleh Pemerintah dalam hal desentralisasi, dapat dilakukan disuatu tempat dengan desentralisasi teritorial tetapi di tempat lain dengandesentralisasi fungsional.

Bahkan dari praktek di USA, dikatakan bahwa lembaga ’special district’  munculkarena ketidakmampuan Pemerintah daerah (teritorial) melaksanakan sesuatuurusan yang kini dikelola dan ditata oleh lembaga ’special district’  tersebut. J adikeberadaan desentralisasi fungsional merupakan cara untuk menangani buruknyaatau gagalnya institusi desentralisasi teritorial dalam mengemban sesuatu urusan.Dengan demikian, jika urusan irigasi dapat dinilai gagal atau sulit dikelola denganoptimal

12, kemungkinan alternatif kelambagaan dalam mengelola irigasi di tingkat

lokal adalah dengan desentralisasi fungsional. 

E. Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Air (irigasi) di Indonesia

Konstitusi di berbagai Negara mengamanatkan akan pentingnya pengelolaan air olehNegara.

13Di Indonesia, dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945 pun tercantum

perihal air dalam salah satu pasalnya. Dalam pasal 33 ayat (3) diatur bahwa: ”Bumidan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan

12Banyak karya ilmiah telah membuktikan hal tersebut termasuk karya disertasi Penulis yangmengangkat persoalan irigasi di empat tempat: 3 di Jawa Tengah dan Bali, 1 lokasi diMalaysia.

13Lihat konstitusi Negara Malaysia, Belanda, J erman, Negara-negara Bagian di USA sepertiNew York dan California, dan masih banyak Negara lain, terdapat pengaturan mengenaisumberdaya air yang dikelola oleh Negara. 

Dewan(Lembaga Perwakilan)

Eksekutif 

Birokrasi Irigasi yang Yurisdiksinya terkait

dengan J angkauanSumber Irigasi Primer(DAS Besar)

PENGGUNA AIR IRIGASI

LembagaPolitik yangdiisi melalui

prosespemilihan

dengan basiskonstituen

(interest group) di

bidang irigasi

Page 132: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 132/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Irfan Ridwan Maksum130

dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Oleh karena itu, pemerintahmemiliki kewajiban untuk mewujudkan pengelolaan air bagi warganya termasuk airbagi pertanian (irigasi).

Pengelolaan air bagi warga dalam lingkup tugas-tugas kepemerintahan dalamsebuah negara meliputi berbagai urusan. Salah satu di antaranya adalah urusanpengairan (irigasi) yang sejak dulu di Indonesia sudah diserahkan kepada daerahotonom. Hoessein (1993) dalam disertasinya menyebutkan bahwa urusan pengairan(irigasi) merupakan urusan pangkal dalam pembentukan beberapa daerah otonom di

Indonesia pada masa UU No. 22 Tahun 1948 yang meliputi empat rincian kegiatanbagi Provinsi; 3 rincian kegiatan medebewind bagi Kota Besar dan kabupaten; dan 2rincian kegiatan medebewind bagi Kota Kecil.

Hal itu menandakan bahwa dikembangkannya berbagai kegiatan dalam urusanpengairan (irigasi) pada tingkatan daerah otonom di Indonesia diwadahi pula olehinstrumen desentralisasi. Sebagian para ahli seperti Amrah Muslim (1978), Hoessein(1993) dan Koswara (2001) menyebutkan bukan hanya desentralisasi territorialsemata, melainkan dikembangkan pula desentralisasi fungsional dalam urusan ini.Para ahli tersebut menyatakan bahwa terdapat organisasi pengelolaan air dimasyarakat Bali yang dikenal dengan Subak dan berbagai ‘otorita’ sebagai contohdari praktek desentralisasi fungsional. Praktek pengelolaan irigasi di Indonesiadengan landasan desentralisasi fungsional sesungguhnya telah ada sejak HindiaBelanda pada 1920 seperti diutarakan Wolhoff (1960) sebagai duplikasi apa yang

dikembangkan di negeri Belanda.

Sementara itu, di negeri Belanda sendiri, hingga saat ini penanganan airdikembangkan dalam lingkup lokal melalui desentralisasi fungsional yang berwujuddalam lembaga ‘Waterschappen’ . Dalam pustaka pemerintahan persoalan institusimana yang bertanggungjawab akan suatu urusan tersebut, telah lama diminati olehpara ahli.

Persoalan pengelolaan air irigasi di Indonesia, turut berubah ketika UU No. 22 tahun1999 tentang Pemerintahan daerah berlaku menggantikan UU No. 5 tahun 1974tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Pada masa UU No. 5 Tahun 1974tersebut, irigasi untuk pertanian secara umum dikembangkan oleh instansi Dinas DatiI dan aparatusnya hingga ke tingkat Dati II. Urusan irigasi pada jenjang tersiermemang telah diserahkan kepada Dati II. Namun irigasi primer dan sekunder,meskipun wilayah irigasinya berada di dalam wilayah Dati II tertentu, sebelum UU No.

22 Tahun 1999 masih dikelola oleh Dinas Provinsi.

Dengan berlakunya UU No. 22 tahun 1999, medebewind yang dilakukan oleh Dati IIdalam irigasi sejak bertahun-tahun kemudian di-desentralisasikan kepadaKabupaten/ Kota. Desentralisasi di bidang irigasi kepada Kabupaten/ Kota tersebutmembuka kemungkinan tidak simetrik-nya wilayah administrasi pemerintahan dengan

 jangkauan irigasi yang tercipta yang disebabkan oleh adanya karakter hidrologi irigasiyang tidak mengikuti peta administrasi wilayah pemerintahan.

Page 133: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 133/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Irfan Ridwan Maksum131

Undang-undang 22 Tahun 1999 pun menjadi inspirator munculnya perubahanPeraturan Perundangan di bidang irigasi. Semula diberlakukan Peraturan Pemerintah(PP) No. 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air dan PP tahun 23 Tahun 1982tentang Irigasi yang berlandaskan UU No. 11 tahun 1974 tentang Pengairankemudian diperbaharui dengan PP No. 77 Tahun 2001 yang akhirnya di Tahun 2004,UU pengairan-nya pun diperbaharui secara menyeluruh dengan keluarnya UU No. 7tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air.

Baik pada masa peraturan perundangan yang lama maupun yang baru, pada

tingkatan grassroot  bahkan sejak Belanda, petani di Indonesia telah memiliki andilyang besar dalam pengelolaan irigasi bagi persawahannya. Selain adanya sistemsubak di Bal

14i, juga terdapat Mitra Cai di J awa Barat dan Dharma Tirta di J awa

 Tengah, Tuo Banda di Sumatera Barat –yang disebut juga di UU tersebut meskipunhanya pada bagian Penjelasannya saja. Kisah lembaga-lembaga tersebut mengalamipasang surut.

Pada masa Hindia Belanda, lembaga waterschappen sebagai cikal bakal Dharma Tirta di J awa tengah (Wolhoff: 1960), mendapat pengakuan sampai pada tingkatanUUD Hindia Belanda karena baru di Yogyakarya dan Solo yang mampu dibentukberdasarkan UUD tersebut. Pada masa kemerdekaan, lembaga waterschappen di

 Yogyakarta dan Solo masih ada walaupun UUD dan UU yang mengaturpemerintahan tidak mengakuinya lagi (berdasarkan wawancara).

Kemudian fungsi lembaga tersebut ditarik oleh institusi Pemerintah Pusat yangbertugas menangani pengairan. Keberadaan institusi lokal tersebut hanya bersifatmengerjakan program dan proyek serta kebijakan yang sudah ditentukan olehPemerintah. Lembaga tersebut seolah-olah menjadi bersifat tradisional yang semulamerupakan bentukan Pemerintah Hindia Belanda. Hal tersebut nampak semakin kuatsejak ditetapkannya UU No. 11 tahun 1974 tentang Pengairan yang menjadipenyebab hilangnya ruh organisasi lokal pengairan walaupun UU ini mampumenciptakan organisasi pengairan hampir di setiap daerah di Indonesia. Keadaantersebut berlangsung lama sampai tahun 2001 dengan ditetapkannya PP No. 77

 Tahun 2001 tentang Irigasi.

Penetapan PP No. 77 Tahun 2001 tampak merupakan reaksi terhadap keadaan yangberkembang pada saat itu, terutama proses demokratisasi di tingkat lokal. Menilikkonsideran PP tersebut, walaupun mengacu terutama pada UU No. 11 Tahun 1974tentang pengairan, tetapi lebih banyak kemunculan PP ini akibat dari UU No. 22

14Departemen PU tidak menyebutnya dengan Dharma Tirta melainkan ulu-ulu vak-vak  danulu-ulu Desa (Wirosoemarto: 1997/1998). Sebenarnya penamaaan Dharma Tirta adalahupaya Pemerintah untuk memperbaharui ulu-ulu tersebut –formalisasi. Sejak 1989, ulu-ulu di J awa Tengah diubah dengan nama Perkumpulan Petani pemahai air (P3A) Dharma Tirtayang nota bene wadah baru ini sebenarnya merupakan upaya penyamarataan berbagailembaga tradisional yang sudah ada sejak Belanda dengan nama baru yang bernuansa lokalpada era Rejim Orde baru dengan dikeluarkannya INPRES No. 2 Tahun 1984 tentangPembinaan Perkumpulan Petani Pemakai Air. Kelembagaan Dharma tirta ini diteruskan dandiakomodasi dalam UU No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumberdaya air seiramadengan tuntutan demokratisasi.

Page 134: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 134/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Irfan Ridwan Maksum132

tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pasal 7 PP tersebut, diatur duakelembagaan yang penting dalam penggunaan sumberdaya air yakni Komisi Irigasidan P3A (perkumpulan Petani Pemakai air). Keberadaannya di bawah Pemerintahdaerah (Kabupaten/ Kota). Berikut ini petikan pasal 7 ayat (1) sampai (5):

(1) Lembaga pengelola irigasi meliputi instansi Pemerintah, PemerintahDaerah, perkumpulan petani pemakai air atau pihak lain yang kegiatannyaberkaitan dengan pengelolaan irigasi sesuai dengan kewenangannyadalam perencanaan, pembangunan, operasi dan pemeliharaan,

rehabilitasi, peningkatan, dan pembiayaan jaringan irigasi.

(2) Petani pemakai air dapat membentuk perkumpulan petani pemakai airsampai tingkat daerah irigasi sebagai lembaga yang berwenang untukmengatur pengelolaan daerah irigasi sebagai satu kesatuan pengelolaan.

(3) Dalam rangka pemenuhan kebutuhan air irigasi untuk berbagai keperluan,Bupati/Walikota membentuk komisi irigasi yang ditetapkan denganKeputusan Bupati/Walikota.

(4) Komisi Irigasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) mempunyai fungsimembantu Bupati/Walikota dalam peningkatan kinerja pengelolaan irigasi,terutama pada bidang penyediaan, pembagian, dan pemberian air irigasibagi tanaman dan untuk keperluan lainnya serta merekomendasikanprioritas alokasi dana pengelolaan irigasi Kabupaten/Kota.

(5) Dalam rangka koordinasi pengelolaan di daerah irigasi yang jaringanutamanya berfungsi multiguna, dapat dibentuk forum koordinasi daerahirigasi.

 Tampak sekali PP tersebut dipengaruhi oleh UU No. 22 Tahun 1999 yangmemberikan otonomi luas kepada Kabupaten/ Kota.

Ditetapkannya PP tersebut juga mengakomodasi persoalan semakin lemahnyalembaga pengairan di tingkat lokal yang seolah-olah telah menjadi lembagatradisional seperti disebutkan di atas. Peraturan Pemerintah ini menjadi dasar lebih

 jauh untuk memberdayakan organisasi pemakai air di akar rumput. Namun,permasalahan penyediaan dan pengelolaan air tidak hanya problema irigasi bagipertanian. Sejak keluarnya PP tersebut dirasakan perlu pengaturan lebih luas tentang

sumberdaya air yang mampu menjadi dasar untuk mengatasi permasalahan airsecara luas di Indonesia karena UU No. 11 Tahun 1974 dirasakan sudah tidakmemadai lagi. Melalui berbagai tahapan, akhirnya pada Maret 2004 ditetapkan UUNo. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air.

Undang-undang ini mengakui eksistensi pengelolaan air di bawah lembaga yangberada di bawah Pemerintah atau di bawah Pemerintah daerah sesuai lokussumberdaya airnya. Pasal 17 Undang-undang tersebut menyatakan bahwaberbagai wewenang dan tanggung jawab pemerintah desa atau yang disebut dengannama lain.

Page 135: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 135/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Irfan Ridwan Maksum133

Pengaturan hak dan wewenang Pemerintah Desa tersebut ditempatkan setelahdiuraikan secara berjenjang pengaturan mengenai hak-hak dan wewenang bagiPemerintah Pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah Kabupaten/ kota. Undang-undang ini sudah eksplisit dari sisi pemahaman distribusi wewenang menganut asasultra-vires. Namun, belum tersurat secara jelas pada konteks air irigasi tersier.

 J ika merujuk pengertian air dalam UU tersebut sudah seharusnya termasuk air bagiirigasi persawahan. Sumber daya air adalah air, sumber air, dan daya air yangterkandung di dalamnya. Menurut UU, Air adalah semua air yang terdapat pada, di

atas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini airpermukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat.

Desa dalam Undang-undang ini diberi amanat untuk mengatur keberadaanpengelolaan irigasi di wilayahnya. Meskipun hanya disebutkan sebatas padapenjelasan pasal 34 Undang-undang ini, kedudukan organisasi pengelola irigasi ditingkatan grassroot  (akar rumput)  makin kuat. Penjelasan pasal 34 UU tersebutmenyatakan:

“Kekhasan daerah adalah sifat khusus tertentu yang hanyaditemukan di suatu daerah, bersifat positif dan produktif sertatidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.Contoh: (1) kekhasan di bidang kelembagaan masyarakat 

 pemakai air untuk irigasi: Subak di Bali, Tuo Banda di Sumatera

Barat, Dharma Tirta di Jawa Tengah, dan Mitra Cai di Jawa Barat.(2) kekhasan di bidang penyelenggaraan pemerintahan seperti otonomi khusus, desa, atau masyarakat hukum adat.” 

Dalam Desa-desa di J awa Tengah telah lama terdapat organisasi P3A Dharma Tirta,dan Subak di Bali.

Keberadaan lembaga pengelola air irigasi baik yang berada dalam elemenPemerintah dan Pemerintah Daerah maupun yang berada dalam arena akar rumput,dapat diukur kinerjanya dari sumbangan atas sumberdaya air tersebut pada sektorpertanian khususnya disamping pada kebutuhan akan air bersih bagi perumahan danindustri pada umumnya.

Di tingkat empiris terutama di bidang irigasi sudah tampak kebutuhan itu karena sifatorganisasinya dan wilayah yang terbentuk yang membentuk suatu pola kawasan di

bidang irigasi. Adanya ketentuan kelembagaan yang kuat, akan berdampak padapengembangan pola garis batas kawasan yang jelas. Untuk kepentingan seperti ini,solusi yang ditawarkan oleh Ostrom mengenai kelembagaan irigasi agar lebih baikdan ditempatkan pada prioritas pertama adalah ’clearly defined boundaries’. Ostrommenuliskannya sebagai berikut:

”Defining the boundaries of the irrigation system and of thoseauthorized to use it can be considered a first step in organizing for collective action; if either of these boundaries is unclear, no oneknows what is being managed or for whom…Consequently, in

Page 136: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 136/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Irfan Ridwan Maksum134

addition to closing the boundaries, rules limiting use and/ or mandating provision are needed whenever water scarcity is

 present.” 

Hal semacam juga dikemukakan oleh peneliti PPSEP sejalan dengan temuanpeneletian ini yang menangkap indikasi lemahnya garis batas dijadikan basis dalampengembangan kelembagaan irigasi. PPSEP mengemukakan sebagai berikut:

Banyak permasalahan dalam pengelolaan air irigasi berkaitan

dengan struktur batas yurisdiksi. Konsep batas yurisdiksi dapat memberi arti batas otoritas yang dimiliki oleh suatu lembagadalam mengatur sumber daya. Dalam kasus pengelolaan wilayahsungai maupun irigasi, batas yurisdiksi juga menunjukkanbagaimana suatu institusi menentukan siapa yang tercakup danapa yang diperoleh. Menurut Rachman (1999), kegunaan air dipengaruhi oleh dimensi lokasi, waktu, dan kualitas, sehinggafaktor yang menentukannya seperti keadaan tanah, irigasi melalui IPAIR, dan 5) keberlanjutan sistem irigasi. Terlaksananya

 pembaharuan kebijaksanaan pengelolaan irigasi ini sangat bergantung pada upaya pemerintah dalam pemberdayaan P3A,khususnya menyangkut tiga aspek pokok yaitu: 1) pelaksanaanPPI, 2) pelaksanaan IPAIR, dan 3) pembiayaan pengelolaan

 jaringan irigasi. Dengan dikeluarkannya Inpres tersebut, IPAIR 

tidak lagi disetor ke Dispenda Kabupaten/Kota, tetapi sepenuhnyadikelola oleh P3A Gabungan yang wilayah kerjanya meliputi satusaluran sekunder dan P3A Federasi yang wilayah kerjanyameliputi satu saluran primer (Rachman dan Kariyasa, 2002).

Pendapat tersebut sejalan dengan hasil penemuan Muluk (2006) yang menyatakanbahwa dibutuhkan penyediaan mekanisme yang memungkinkan terjadinya‘decentralization within cities’ kepada kelompok masyarakat atas dasar wilayah ataufungsi tertentu. Mekanisme tersebut diakui sebagai cara untuk mengurangi faktorpembatas bagi partisipasi masyarakat menuju pola ‘citizen control’. Dalam urusanirigasi tersier, selama ini hanya dikembangkan dalam lingkup desentralisasi teritorial,sehingga nampak pemberdayaan petani sebagai pengguna air memiliki keterbatasan

 justru pada level institusional yang dikembangkan secara makro.

Disamping itu, terdapat kebutuhan yang terus meningkat untuk memperbaiki

pengelolaan urusan irigasi tersier karena kegagalan Pemerintahan teritorial yangdipaparkan di atas. Berbagai persoalan di bidang irigasi yang dihadapi olehIndonesia seperti disebutkan oleh Santoso (2005) antara lain: (1) J aringan irigasidalam keadaan bahaya. Dari 6,7 hektar lahan beririgasi di seluruh Indonesia, sekitar1,5 juta hektar dalam keadaan rusak; (2) Dari 23 % yang rusak tersebut , 73 %berada di J awa dan Bali; (3) Alih fungsi/ penurunan fungsi lahan 15 – 20 ribu hektarper tahun di J awa; (4) Dana O&P yang disediakan Pemerintah/ Pemda hanya 35 -45% per tahun; (5) Daerah irigasi yang dijamin (air tersedia sepanjang tahun) hanya 11% dari total DI yang ada.

Page 137: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 137/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Irfan Ridwan Maksum135

Direktur J enderal Pengelolaan Lahan dan Air Departemen Pertanian punmengatakan hal yang memperkuat kesimpulan tersebut yakni bahwa masalahkekeringan di Indonesia menjadi sebuah fenomena periodik yang seolah tanpapenyelesaian bahkan dicurigai mengandung unsur dikelola oleh pihak-pihak yangberkepentingan terhadap proyek di seputar irigasi sebagai ’business as usual (Iriantto: 2006)’ . Fenomena utama kegagalan irigasi tersebut dipicu oleh ’illegal 

 pumping’ berbagai pihak yang berkepentingan akan air, bukan saja petani.

Seperti diketahui bahwa karakter irigasi ditentukan oleh sumberdaya air yang

membentuk pola kesatuan sistematis berjenjang antara irigasi Primer sampai irigasikwarter. Pola tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan satu sama lain --antar levelirigasi.

Sementara itu di Indonesia, pada satu sisi , Pemerintah telah melakukan upayapengembangan kelembagaan distribusi urusan di bidang ini dengan melibatkan duadepartemen yakni antara departemen dalam negeri dan departemen PU. Keduadepartemen telah mengeluarkan aturan bersama dengan keluarnya SK Bersamakedua Menteri.

15Ditulis dalam SK Bersama tersebut, bahwa Pemerintah dalam

pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi mempunyai wewenang dan tanggung jawab dalam pengembangan sistem irigasi .

Aturan tersebut berlaku rinci bagi pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota bahkan hingga Pemerintah Desa dengan intensitas dan daya jangkau yang

berbeda secara berjenjang. Nampak yang masih rancu adalah bahwa dalam butirkesembilan dalam hal wewenang pengembangan sistem irigasi, “PemerintahMelaksanakan dan membiayai pembangunan saluran irigasi tersier sepanjang 50meter dari bangunan-sadap dan membiayai pembangunan bangunan-bangunan dipetak tersier.” Dalam praktek, petani di Kabupaten Tegal dan Kota Tegal, serta di

 J embrana berdasarkan wawancara, merasa tidak pernah dibantu oleh Pemerintah,bahkan mereka gotong royong sendiri (swadana). Dalam hal ini, terdapat kesanseperti diungkap oleh Prasojo (2006) bahwa sebuah Negara Nasion terlalu besaruntuk mengatur dan mengurusi hal-hal yang sangat kecil.

Instansi vertikal Pemerintah yang mengurusi bidang irigasi khususnya irigasi tersier,seperti diketahui sejak diterapkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang PemerintahanDaerah sampai saat ini sudah tidak ada lagi di Daerah karena dilebur menjadi bagiandari unit pemerintah daerah. Dengan demikian, tampak sulit jika dilakukanpelaksanaan pembangunan sistem irigasi yang menyangkut irigasi tersier secara

langsung oleh Pemerintah tanpa melibatkan pemerintah daerah (setempat) ataubahkan Petani. Namun, aturan tersebut di atas tampak hanya diketahui oleh pihakpemerintah daerah sedangkan Petani cenderung tidak disosialisasikan ataudiberitahu.

Kondisi tersebut tidak dijamin teratasi oleh UU No. 32 Tahun 2004 tentangPemerintahan daerah yang mengatur mengenai dekonsentrasi. Menurut UU tersebut,“Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah

15Kini sudah diubah menjadi Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2006 tentang Irigasi.

Page 138: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 138/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Irfan Ridwan Maksum136

kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal diwilayah tertentu.” Undang-undang tersebut belum menjamin sepenuhnya adanyainstansi vertikal yang akan mengerjakan fungsi irigasi mengingat pada masa UU No.22 Tahun 1999 seluruh instansi vertikal yang mengurusi irigasi telah dilebur ke dalamDinas.

Menurut UU No. 32 Tahun 2004, instansi vertikal dapat dihidupkan kembali jika dilihatdari pasal 228, sebagai berikut:

(1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi wewenangPemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) yangdidekonsentrasikan, dilaksanakan oleh instansi vertikal di daerah.

(2) Instansi vertikal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jumlah, susunandan luas wilayah kerjanya ditetapkan Pemerintah.

(3) Pembentukan, susunan organisasi, dan tata laksana instansi vertikal didaerah, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkandengan Keputusan Presiden.

(4) Semua instansi vertikal yang menjadi perangkat daerah, kekayaannyadialihkan menjadi milik daerah.

Susunan kalimat pasal 228 ayat (1) dan pasal 1 ayat (8) berbeda pada frasa ’di

wilayah tertentu’ dan ’di daerah’. Frasa ”di wilayah tertentu” bagi operasi isntansivertikal cukup ’absurd’ dan dapat membuka peluang perbedaan batas yurisdiksiantara peta administrasi lapangan dengan peta yurisdiksi daerah otonom tertentubaik Provinsi maupun Kabupaten/ Kota.

Interpretasi terhadap kedua frasa jelas berbeda dampaknya bagi praktekpengembangan instansi vertikal. Penyusun UU No. 32 Tahun 2004 dari sisi ini,secara paradigmatik seolah mengarahkan dianutnya ’functional system’ meskipunterdapatnya wakil pemerintah (hybrid ). Namun, dapat saja penyusun UU No. 32

 Tahun 2004 tersebut tidak memahami persoalan perubahan paradigmatik dalammenuliskan definisi dekonsentrasi dalam UU.

Pengaturan dekonsentrasi yang mendua tersebut dalam urusan irigasi sampaipenelitian lapangan, tidak terdapat tanda-tanda akan muncul di daerah, apalagi

Kabupaten/ Kota. Kondisi tersebut menambah aturan dalam SK Bersama di atashanya berlaku di atas kertas. Akibatnya, dalam urusan irigasi, Petani selalu dirugikan.Keadaan ini tentu akan menurunkan kualitas irigasi bagi pertanian. Dalam praktekpetani harus menentukan nasibnya sendiri dengan kapasitas apa adanya, sementaratugas birokrasi yang terkait dengan kepentingan petani masih tidak dijalankandengan baik karena pengaturan yang kurang kondusif. Fenomena ini disebut sebagai

Page 139: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 139/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Irfan Ridwan Maksum137

kegagalan pemerintahan teritorial (teritorial Government failure) dalam mengelolaurusan irigasi tersier seperti diungkap di muka.

16 

Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Kabupaten/ Kota dan Desa yang disebut dalamperaturan tersebut seperti diketahui juga memiliki atau menjalankan fungsi-fungsi laindi luar pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi, mulai dari kesehatan sampaipersoalan pendidikan. Dalam Kep-Mendagri No. 130-67 Tahun 2000 mengenaikewenangan Kabupaten/ Kota bidang pertanian disebutkan wewenang pemanfaatanirigasi yang terinci dalam enam buah kegiatan yang terfokus pada irigasi tersier. SK 

bersama antara Mendagri dan Menteri Pekerjaan Umum dan Kepmendagri tersebutmembawa kepada ketidakjelasan pengelolaan irigasi tersier pada level negara(pemerintah). Pada level lokal, baik Dinas PU Pengairan maupun Dinas Pertanianhadir bersama-sama.

Pendanaan bagi pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut dan sumber-sumbernya punsangat beragam. Disamping itu alokasi anggaran tersebut pun memiliki prioritastertentu yang harus ditentukan karena kekuatan pendanaan yang selalu terbatasdengan jumlah sektor yang tidak sedikit. Kondisi seperti ini seringkali membuatsektor-sektor tertentu –misalnya irigasi-- tidak mendapatkan prioritas karena harusdiperlakukan sama dengan sektor-sektor lainnya. Gambaran seperti ini mirip sepertiyang ditulis oleh Smith (1985) dan Self (1990) dalam memaparkan pemerintahan ASyang sangat terfragmentasi secara lokalitas, dibandingkan dengan pemerintahanInggris yang terfragmentasi secara terpusat.

Di sisi lain, diakomodasi permberdayaan petani pemakai air karena tampak Negarasemata pun tidak akan sanggup menopang keseluruhan persoalan air irigasitersebut. Tampak dari tujuan yang ingin dikembangkan kedua instansi Pemerintahtersebut adalah adanya otonomi bagi Petani Pemakai air. Arah pendelegasiankepada petani hanya sebatas sebagai mekanisme perwujudan pemberdayaanmasyarakat (sipil). Hal ini juga diakui oleh Direktur J enderal Pengelolaan Lahan danAir Departemen Pertanian bahwa pemberdayaan kelompok (petani) perlu terusdiefektifkan agar kelompok-lah yang mengatur anggotanya bila melakukanpelanggaran pengambilan air yang bukan haknya (Irianto, Gatot: 2006). Namun,seperti diketahui pemberdayaan petani yang sudah berlangsung lama bahkanberabad-abad di Bali tidak juga dapat diharapkan berdaya sepenuhnya mengatasipersoalan-persoalan petani akan air.

16Dalam bahasa Wunsch dan Olowu (1995), dikenal sebagai ‘The Failure of the Centralized 

State’ ; sementara dengan adanya pemerintahan daerah yang dijelaskan oleh kedua pakartersebut dengan ‘institution and self governance’ yang mengarah kepada lembaga bentukandesentralisasi teritorial semata, terdapat pula apa yang disebut dan diakui oleh kedua pakartersebut sebagai ‘Development Contradiction’. Sementara itu, pakar Australia bernama BrianDolley (2003) dalam buku “Reshaping Australian Local Government’ gejala dalam poladistribusi urusan secara regular sangat mungkin terjadi apa yang ia sebut secara terang-terangan sebagai ‘Local Government Failure’. Breton, Albert., juga mengungkapkan hal yangsama dalam tulisannya berjudul ‘ An Introduction to Decentralization Failure’ dalam Ahmad E.and V. Tanzi (Eds), Managing Fiscal Decentralization, London: Routledge, pp. 31-45.

Page 140: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 140/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

Irfan Ridwan Maksum138

Sebenarnya, Pemerintah RI memiliki potensi yang besar untuk membuatkelembagaan yang lebih ’radikal’ di dalam mengotonomikan masyarakat petani dibidang ini karena karakter daerah irigasi yang berjenjang sistematis menjadi satukesatuan seperti diungkap di muka. Justru, dari aturan tersebut yang terjadi,menunjukkan semakin kuatnya informalisme penataan kelembagaan irigasi tersieryang justru dibiarkan oleh Pemerintah. Kenapa Pemerintah tidak segeramengusulkan pengembangan desnetralisasi fungsional agar terdapat kelembagaanyang kuat di tingkat lokal dalam pengelolaan sumberdaya air bagi petani?

Page 141: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 141/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

139

KESIMPULAN

Dalam rangka memperingati Hari Air Dunia ke XV, Direktorat Pengairan dan Irigasi,Bappenas menyelenggarakan lokakarya dengan tema “Kaji Ulang Arah KebijakanNasional Pengelolaan Sumber Daya Air”. Dengan konsep pengelolaan SDA yangtertuang di Keppres No 123 tahun 2001, Keputusan Menteri Koordinator BidangPerekonomian No 14/M.EKON/12/2001, Keputusan Menteri Koordinator Bidang

Perekonomian No KEP/37/M.EKON/05/2006, dan UU RI Nomor 7 tahun 2004,menjadikan pertanyaan sudah mampukah pemerintah menjawab isu-isu yangdihadapinya di masa yang akan datang. Oleh karena itu dari lokakarya ini berbagaipihak diajak untuk mengevaluasi penyelenggaraan pengelolaan SDA sebagai bahankaji dan diharapkan segala masukan yang diterima bisa menjadi bahanpertimbangan untuk menyusun kebijakan di masa mendatang.

Implementasi dari regulasi tersebut atas pengelolaan SDA dirasakan kurang. Padaera orde baru Indonesia membangun program pengairan menggunakan pendekatanyang bersifat struktural dan mengabaikan operasi dan pemeliharaan infrastruktur,oleh karena itu kualitas dan kuantitas dari infrastruktur seperti penampungan air danpengendali daya rusak air yang dimiliki menurun. Kemudian dari kinerja jaringanirigasi juga mengalami penurunan sehingga mengurangi indeks pertanaman danproduktivitas sawah yang mempengaruhi ketahanan produksi pangan. Selain itu darisegi penataan air yaitu pengendalian banjir khususnya di J abodetabek danpersediaan air untuk kemarau serta kualitas air bersih yang dilakukan pemerintahoutput yang dihasilkannya kurang maksimal.

Dari aspek kelembagaan pengelolaan SDA terpadu juga perlu untuk dikaji, yaitudiperlukan kejelasan apakah Dewan SDA dibentuk menurut wilayah administrasipemerintahan nasional, provinsi, kabupaten/ kota atau menurut wilayah sungai dandikaji juga efektivitas dan efisiensi dari masing-masing dewan di wilyah administrasipemerintahan. Kemudian yang perlu dikaji adalah implikasi dari kriteria luas irigasipusat dan daerah jika dibandingkan dengan sistem desentralisasi yang ditetapkan diregulasi.

Karena dana yang terbatas maka kita perlu lebih memperhatikan kualitas dari O&P(operasi dan pemeliharaan), jadi tidak perlu atau mengurangi adanya rehabilitasiinfrastruktur dengan disiplin birokrasi dalam pemeliharaan tersebut. Untuk mengatasi

defisit kebutuhan beras atau pangan dilakukan upaya perluasan irigasi dan perluasanlahan melalui sistem rawa pasang surut mengingat untuk pembukaan sistem rawatersebut diperlukan biaya investasi yang relatif kecil dibandingkan dengan sistemirigasi baru. Indonesia juga mengharapkan irigasi di masa depan mempunyai multifungsi, tidak hanya di pertanian tapi juga konservasi dan pewaris nilai budaya.Pemerintah bisa juga menerapkan pola pembangunan hemat air yaitu pembangunanpertanian yang memerlukan benih padi dan tebu hemat air, adanya kebijakan ke arahzero carbon untuk mengendalikan pencemaran udara, mempunyai paradigma “cegahair ke laut” untuk disimpan, pola arsitek bangunan untuk menampung air, infrastruktur

 jalan perlu menyerap air, pola tata ruang kota penghematan air, dan teknologi

Page 142: Prosiding Lokakarya I

7/16/2019 Prosiding Lokakarya I

http://slidepdf.com/reader/full/prosiding-lokakarya-i 142/142

LOKAKARYA K AJI U LANG ARAH K EBIJAKAN N ASIONAL

P ENGELOLAAN S UMBER D AYA AIR  

penyulingan air laut menjadi air tawar. Untuk pengendalian banjir dan penyediaan air,penataan air perlu dikembangkan lagi. Secara struktural sudah berjalan dengandibangunnya terusan banjir barat kemudian akan dilanjutkan terusan banjir timur,retention basins, dan proyek pantura reklamasi. Pemerintah juga harus lebihmensosialisasikan penataan air kepada masyarakat untuk ikut berperan serta.

Pengelolaan SDA juga memerlukan sistem kelembagaan yang kuat dan bertanggung jawab. Pengelolaan SDA yang terpadu memerlukan juga keterlibatan berbagai pihakselain Departemen Pekerjaan Umum, seperti Departemen Kehutanan, Departemen

Pertanian, serta Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/ Kota. Pemerintah juga berupaya menggalang keterlibatan peran swasta dan masyarakat terutamadalam hal pendanaan infrastruktur dan pengelolaan SDA serta pengendaliaanbencana alam. Pengembangan kelembagaan ini merupakan salah satu kunci pentingdalam mewujudkan keterpaduan pengelolaan SDA. Diperlukan pengkajian yang lebihdalam apakah ada kelemahan-kelemahan dalam penetapan batas kewenangan danapakah ada kegagalan dalam menyelaraskan tanggung jawab, kewenangan dankompetensi.

Sementara itu kebijakan desentralisasi di Indonesia tidak memadai dalammenghadapi tuntutan pengelolaan SDA (irigasi), oleh karena itu diperlukanrekonstruksi mendasar kebijakan desentralisasi di Indonesia. Desentralisasi di bidangirigasi kepada Kabupaten/ Kota tersebut membuka kemungkinan tidak simetrik-nyawilayah administrasi pemerintahan dengan jangkauan irigasi yang tercipta yang

disebabkan oleh adanya karakter hidrologi irigasi yang tidak mengikuti petaadministrasi wilayah.