DAMPAK KEBIJAKAN UJIAN NASIONAL TERHADAP PENGEMBANGAN KURIKULUM DI SMK NEGERI 3 PADA PROGRAM KEAHLIAN TATA BUSANA PROPOSAL TESIS DISUSUN OLEH: DWI ANGGRAENI NIM. 09370234
DAMPAK KEBIJAKAN UJIAN NASIONAL TERHADAP PENGEMBANGAN KURIKULUM DI SMK NEGERI 3
PADA PROGRAM KEAHLIAN TATA BUSANA
PROPOSAL TESIS
DISUSUN OLEH:
DWI ANGGRAENINIM. 09370234
PROGRAM PASCASARJANAMAGISTER KEBIJAKAN DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANGTAHUN 2011
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta poerdaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab (UU. Sisdiknas, 20 tahun
2003).
Untuk mencapai tujuan pendidikan yang tertuang dalam UU tersebut
disusunlah kurikulum yang merupakan seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi, dan bahan juga metode pembelajaran. Kurikulum digunakan
sebagai pedoman dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai
tujuan pendidikan.
Selanjutnya untuk melihat tingkat pencapaian tujuan pendidikan,
diperlukan suatu bentuk evaluasi. Ujian Nasional (selanjutnya, istilah Ujian
Nasional disingkat UN) merupakan salah satu alat evaluasi yang dikeluarkan oleh
pemerintah sebagai produk dari sistem politik pendidikan di Indonesia.
Relevansi Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 dengan pemberlakuan
evaluasi secara nasional, UN sebagai produk kebijakan politik pendidikan
berdasarkan pre observation menunjukkan bahwa UN bertentangan dengan UU
No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (pasal 58 ayat 1 dan pasal
59 ayat 1). Dimana dinyatakan bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik
dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil
belajar peserta didik secara berkesinambungan (Pasal 58 ayat 1). Selanjutnya,
Pasal 59 ayat 1 menyebutkan, bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah
melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan.
Ditinjau dari aspek tujuan belajar, bahwa pemberlakuan UN telah
berdampak terhadap bergesernya orientasi anak dalam belajar. Tujuan anak didik
belajar tidak lagi dalam bingkai mengasah potensi dan kemampuan, tetapi
sebaliknya belajar untuk tujuan agar lulus dalam UN. Sementara, ditinjau dari
aspek paritas pendidikan, bahwa kondisi mutu sekolah yang sangat beragam,
adalah sangat tidak dimungkinkan dilakukan evaluasi secara seragam dan bahkan
tidak adil jika harus diukur dengan menggunakan ukuran (standar) yang sama.
Lebih-lebih UN dijadikan sebagai standar kelulusan siswa di sekolah, mengingat
disparitas mutu pendidikan di Indonesia masih sangat tinggi.
Jika dihubungkan dengan kurikulum KTSP yang diberlakukan sejak 2006,
maka UN juga tidak sejalan dengan salah satu prinsip yang dianut dalam
pengembangan kurikulum yaitu diversifikasi kurikulum. Artinya bahwa
pelaksanaan kurikulum disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah masing-
masing.
Disisi lain UN juga bertentangan dengan kebijakan otonomi daerah
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah. Hal ini dapat dipahami sebagai berikut: Pertama, kebijakan
UN dilaksanakan bersamaan dengan dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah.
Pada saat yang sama juga dikenalkan kebijakan otonomi sekolah melalui
manajemen berbasis sekolah. Evaluasi sudah seharusnya menjadi hak dan
tanggung jawab daerah termasuk sekolah, tetapi pelaksanaan UN telah membuat
otonomi sekolah menjadi terkurangi karena sekolah harus tetap mengikuti Un
yang diatur dari pusat. Kedua, UN yang juga bagian dari bentuk evaluasi
dilakukan hanya melalui tes akhir pada beberapa mata pelajaran. Hal ini tidak
mungkin akan dapat memberikan informasi universal dan objektif tentang
perkembangan peserta didik sebelum dan setelah mengikuti pendidikan.
Bagaimana jika kebijakan Ujian Nasional yang berfungsi sebagai alat
evaluasi tersebut diberlakukan pada peserta didik yang berada pada Satuan
Pendidika kejuruan? Dimana Pendidikan Kejuruan yang pada prinsipnya peserta
didiknya hampir 90% tidak berorintasi melanjutkan sekolah melainkan terjun
pada dunia kerja. Karena siswa SMK memang disiapkan untuk menjadi tenaga
kerja yang berkualitas dengan kompetensi yang dimilikinya. Hal tersebut juga
tidak sejalan dengan tujuan diselenggarakannya SMK, bahwa SMK/ MAK
sebagai pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang
mempersiapkan siswanya terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu.
Melihat keberadaan SMK yang struktur kurikulumnya terdiri dari materi
Normatif, adaptif dan Kejuruan, dimana seharusnya materi normatif dan adaptif
mendukung materi produktif bukan secara terpisah dipelajari sendiri tanpa
memperhatikan keterkaitan antara normatif, adaptif dengan kejuruan. Hal ini yang
juga menyebabkan kompetensi yang dimiliki siswa tidak maksimal dan ketika
harus masuk dunia kerja banyak siswa yang tidak bisa diterima bekerja.
Dampak ini juga disebabkan adanya tuntutan kelulusan yang hanya
menggunakan 3 mata pelajaran yang sebenarnya tidak dibutuhkan secara mutlak
untuk menentukan siswa diterima bekerja. Tuntutan kelulusan secara nasional ini
juga menyebabkan perencanaan dan pengembangan kurikulum SMK
menyimpang jauh dari tujuan diselenggarakannya SMK.
Mengacu pada permasalahan dilapangan, pelaksanaan UN juga
menyebabkan guru-guru yang tidak mengajarkan keahlian juga setengah
menderita mengajar di SMK. Hal ini terjadi karena ternyata minat-minat siswa
SMK sudah terlanjur di sedot oleh pelajaran keahlian. Ketidaklulusan siswa SMK
banyak terjadi karena terganjal nilai mata pelajaran dasar seperti Bahasa
Indonesia, Matematika dan Bahasa Inggris. Melihat kenyataan yang ada
diharapkan kedepannya ada peninjauan ulang terhadap materi ujian untuk SMK.
Sebaiknya mata pelajaran (BIN, MAT dan BING) dijadikan ujian lokal
dan tidak menjadi materi UN di SMK, sementara untuk UN adalah mata pelajaran
produktif sesuai keahlian masing-masing. Mata pelajaran yang sekarang di UN
kan sebenarnya mata pelajaran dasar yang tidak relevan diterapkan jika siswa
tidak akan melanjutkan pendidikan ke jenjang Perguruan Tinggi.
Penyelenggaraan UN sudah sangat menyimpang dari perundang-undangan
(SISDIKNAS) dan sekaligus tidak membentuk karakter peserta didik untuk
mengakui kemampuannya dalam mencari ilmu. Penyimpangan UN sudah bukan
lagi pada tataran dasar tetapi pelaksaannya pun sudah banyak merugikan
keberadaan dan dedikasi tenaga pendidik, apalah artinya ilmu yang kita peroleh
selama 3 tahun harus kandas pada 3 hari pelaksanaan UN? Akankah siswa SMK
yang tidak lulus kemudian harus menempuh kejar paket C dengan tidak
berijasahkan Satuan Pendidikan yang telah mendidiknya selama 3 tahun?
Akankah UN tetap terus dilaksanakan meskipun banyak korban yang secara tidak
langsung berdampak pada masa depan peserta didik dan kualitas pendidikan di
Indonesia? Perlu dikaji ulang secara mendalam tentang pelaksanaan UN terutama
pada satuan pendidikan kejuruan yang prinsipnya peserta didik pada akhirnya
harus bekerja berdasarkan kemampuannya.
Berdasarkan pembicaraan di berbagai media massa dan juga pembicaraan
masyarakat di berbagai kesempatan, ada opini kuat yang terbangun bahwa kalau
kita menghendaki pendidikan yang bermutu maka UN harus tetap dijalankan.
Tanpa UN, pendidikan tidak akan bermutu. Dan apabila kelulusan hanya
ditentukan oleh sekolah dan guru, berarti semua peserta didik akan lulus. Kalau
semua peserta didik lulus, maka itu artinya pendidikan tersebut tidak bermutu.
Pendapat tersebut sangat tidak benar dan bertentangan dengan dasar
filosofi dan teori pendidikan. Pandangan tersebut telah mengerdilkan arti
pendidikan dengan tes dan mengubah proses pendidikan menjadi sebatas
persiapan lulus tes semata.
Berdasarkan penelitian Benjamin Bloom dan Soedijarto ditemukan bahwa
tingkah laku belajar peserta didik dipengaruhi oleh perkiraan tentang apa yang
akan diujikan. Oleh karena itu Ujian Nasional akan menyebabkan:
(1) Peserta didik akan mempelajari, umumnya menghafal, tentang apa yang akan
diujikan;
(2) Guru akan mengajarkan peserta didik cara menjawab berbagai macam soal;
(3) Sekolah akan berusaha keras menyusun program termasuk mengadakan
kegiatan bimbingan tes;
(4) Orang tua akan mendorong anaknya untuk persiapan mengikuti Ujian
Nasional;
(5) Pemerintah daerah dalam rangka menjaga nama baik wilayahnya, ikut
berupaya agar peserta didik bisa lulus semua;
(6) Penerbit buku berlomba-lomba menerbitkan kumpulan soal UN dan
pembahasannya.
Kondisi seperti ini sebagai akibat dari penyelenggaraan Ujian Nasional
sebagai penentu kelulusan, tidak sesuai dengan fungsi dan tujuan pendidikan
nasional yang tertera dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Dari setiap tahun,
sekolah selalu disibukkan dengan pelaksanaan Ujian Nasional yang notabene
sebagai evaluasi akhir bagi seluruh siswa yang akan melanjutkan pendidikan pada
jenjang yang lebih tinggi. Parahnya lagi hasil kelulusan yang diharapkan pada tiap
tahun selalu mengalami perubahan dengan berbagai macam kebijakan yang
ditentukan oleh pusat dan bukan ditentukan oleh sekolah yang menyelenggarakan
pendidikan.
Permasalahan tersebut juga berlaku sama bagi Sekolah Menengah
Kejuruan yang pada prinsipnya satuan pendidikan tersebut tidak hanya
menghasilkan siswa yang akan melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih
tinggi tetapi juga mencetak tenaga kerja yang siap pakai. Siswa yang berorientai
bekerja setelah setelah menempuh pendidikan kejuruan inilah yang seharusnya
diperhatikan secara kemampuan kompetensi kejuruannya agar dapat diterima oleh
dunia usaha/industri sebagai tenaga kerja yang handal dengan kualitas baik.
Namun justru kemampuan kejuruan yang mereka miliki sirna tatkala kelulusan
hanya ditentukan oleh tiga mata diklat (Matematika, Bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris), yang pada dasarnya hasil UAN tidak pernah menjadi syarat bagi mereka
bekerja.
Dengan menjadikan SMK sebagai media peserta didik untuk menggali
keterampilan yang dibutuhkan sebagai syarat diterima bekerja setelah mereka
sekolah menjadi permasalahan yang multi dimensi. Satu sisi pihak du/di
mengharapkan kompetensi kejuruan harus maksimal dimiliki siswa, disisi lain
pemerintah mengharapkan adanya kelulusan yang terukur melalui UN.
Penyampaian materi yang mendukung kemampuan produktif/ kejuruan
terkalahkan dengan adanya standar minimal yang harus disampaikan pada siswa.
Dan terkadang materi adaptif yang disampaikan tidak mendukung sama sekali
kemampuan produktif siswa, hal ini menyebabkan nilai kompetensi kejuruan
mereka tidak secara maksimal diperoleh/ rendah, sebaliknya kemampuan materi
yang mengacu pada SKL harus didapatkan sebagai syarat kelulusan.
Hal ini diperkuat oleh banyaknya keluhan-keluhan dari perusahaan tempat
siswa Praktik Industri, mereka mengatakan bahwa siswa Praktik Industri banyak
yang tidak siap bekerja. Dimulai dari kedisiplinan yang kurang sampai pekerjaan
yang tidak sanggup mereka kerjakan. Hal ini menjadi sebuah keniscayaan
bahwasannya sebuah pendidikan dituntut untuk membuat sebuah model
pengembangan kurikulum yang mampu menjawab tantangan jaman serta kualitas
kurikulum yang dihasilkan harus sesuai dengan cita-cita bangsa, perkembangan
ilmu dan teknologi, perkembangan siswa serta kemajuan dan tuntutan masyarakat
terhadap kualitas lulusan lembaga pendidikan itu.
Dengan adanya permasalahan tersebut di atas muncul beberapa
pertanyaan: (1) Akan dibawa kemana arah Sekolah Menengah Kejuruan yang
pada prinsip orientednya adalah mencetak tenaga kerja siap pakai?, (2) Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang bagaimana yang diharapkan,
berdasarkan kebijakan pemerintah pusat ataukah kebijakan masing-masing satuan
pendidikan?, dan (3) Kapankan kelulusan bagi Satuan Pendidikan Kejuruan
ditentukan oleh kemampuan kompetensi kejuruan saja (UN Kejuruan)?
Berdasarkan permasalah tersebut di atas penulis bermaksud mengadakan
penelitian dengan judul “Dampak Kebijakan Ujian Nasional Terhadap
Pengembangan Kurikulum di SMK Negeri 3 Probolinggo Pada Program Keahlian
Tata Busana”.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah di atas, masalah yang perlu dicari
jawabannya dalam penelitian ini adalah:
1. Apa dampak kebijakan Ujian Nasional terhadap pengembangan kurikulum di
SMK Negeri 3 Probolinggo pada program keahlian Tata Busana?
2. Upaya apa yang harus dilakukan untuk mengatasi dampak yang disebabkan
oleh adanya kebijakan Ujian Nasional terhadap pengembangan kurikulum di
SMK Negeri 3 Probolinggo pada program keahlian Tata Busana?
C. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini ada tiga tujuan yang ingin dicapai, yaitu:
1. Untuk mengetahui dampak kebijakan Ujian Nasional terhadap pengembangan
kurikulum di SMK negeri 3 Probolinggo pada program keahlian tata busana.
2. Mampu mengatasi dampak yang terjadi akibat dari kebijakan Ujian Nasional
terhadap pengembangan kurikulum di SMK Negri 3 Probolinggo pada
program keahlian tata busana.
D. Manfaat Penelitian
Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat
sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber referensi
untuk penelitian lebih lanjut mengenai pelaksanaan Ujian Nasional bagi
sekolah menengah kejuruan dan pemilihan model pengembangan kurikulum
selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Guru
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi untuk
dapat:
1) Meningkatkan kualitas guru dalam melaksanakan proses belajar
mengajar.
2) Membantu dalam pencapaian tujuan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP)
3) Mengidentifikasi materi pembelajaran yang mendukung program
keahlian
4) Menganalisis sejauh mana optimalisasi KTSP pada pembelajaran
produktif
5) Meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan pengalaman dalam
ruang lingkup yang lebih luas guna menunjang profesinya sebagai
guru
b. Bagi Siswa
1) Meningkatkan minat belajar
2) Meningkatkan kepekaan siswa terhadap perkembangan IPTEK
3) Meningkatkan kualitas siswa melalui pemahaman ilmu terapan yang
sesuai dengan bidang keahliannya
c. Bagi SMKN 3 Probolinggo
1) Sebagai studi banding pelaksanaan pengembangan kurikulum pada
tingkat satuan pendidikan kejuruan.
2) Pengembangan jaringan dan kerjasama strategis antara sekolah
dengan pihak-pihak yang berkepentingan (Dunia Usaha/ Dunia
Industri) dalam pengembangan sekolah dan penerimaan tenaga kerja
produktif.
d. Bagi Peneliti
Memperoleh wawasan dan pemahaman baru mengenai salah satu aspek
yang penting dalam peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia saat ini
yaitu pengembangan kurikulum pada satuan pendidikan kejuruan.
Dengan demikian, diharapkan peneliti sebagai guru Matematika siap
melaksanakan tugas sesuai kebutuhan dan perkembangan Zaman.
E. Batasan Istilah
Dalam hal ini yang menjadi batasan penelitian kami adalah kemampuan
siswa dalam program keahlian kejuruan dengan daya dukung program keahlian
matematika sebagai pembentukan pola pikir siswa, yang mempengaruhi
keterserapan siswa di dunia kerja (Dunia Usaha/ Dunia Industri).
BAB IIKAJIAN PUSTAKA
2.1. Kajian Empiris
Penelitian yang membahas Relevansi kebijakan Ujian Nasional dalam upaya
peningkatan kualitas lulusan SMK sampai saat ini masih belum banyak dilakukan
oleh para peneliti, hal ini disebabkan pemerintah belum paham tentang fungsi
evaluasi bagi tiap-tiap satuan pendidikan sebagaimana tercantum dalam UU
Sisdiknas No. 20 tahun 2003 dan tujuan diselenggarakannya SMK (mencetak
peserta didik yang siap bekerja dengan kualitas unggul).
Adapun hasil penelitian yang agak berkaitan dengan judul di atas adalah
sebagai berikut :
2.1.1. Pudji Mulyono (staf pengajar Departemen KPM-FEMA IPB) tentang
“Kajian Relevansi Kuriulum SMK dengan Kebutuhan Pengembangan
Teknologi Masa Depan di Indonesia”, dihasilkan bahwa alumni atau
lulusan SMK kurang memiliki pengalaman atau kurang terampil dalam
praktik. Hal ini dikarenakan kurikulum yang berlaku pada satuan
pendidikan kejuruan tidak mengacu pada prinsip-prinsip pengembangan
kurikulum yang berlaku yang dikaitkan dengan komponen-komponen
kurikulum. Dan berdasarkan analisis terhadap penerapan kurikulum 1999,
beberapa jurusan dan program keahlian SMK yang tidak memiliki
relevansi dengan arah kebijakan ristek antara lain : (1) Teknik Bangunan,
(2) Pariwisata, (3) Tata Busana, (4) Tata Kecantikan, (5) Pekerjaan Sosial,
(6) Seni Rupa dan Kerajinan, dan (7) Seni Pertunjukan. Hal ini
menunjukkan bahwa pengembangan kurikulum SMK perlu
memperhatikan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum. Prinsip-prinsip
pengembangan kurikulum tersebut meliputi prinsip relevansi, prinsip
kontinuitas, dan prinsip fleksibilitas.
2.2.2. Rufman I. Akbar (Mahasiswa S3 Teknologi Pendidikan PPs UNJ-2005)
melakukan penelitian yang berkaitan dengan pelaksanaan UN, ada
beberapa masalah yang dapat diidentifikasikan berkenaan dengan UN ini.
Beberapa masalah terlihat saling berkaitan, dan masalah lain seperti berdiri
sendiri. Permasalahan pertama yang dapat terlihat adalah anggapan dari
sebagian orang, terutama para pejabat Legislatif yang menganggap bahwa
UN bertentangan dengan UU Sisdiknas. Jika hal ini benar, berarti UN
harus dihapuskan atau ditiadakan. Tapi jika hal ini salah, maka UU
Sisdiknas harus direvisi isinya. Dalam hal ini haruslah dilihat secara bijak,
apakah memang terjadi pertentangan antara dua kebijakan tersebut. Dan
kalau memang terjadi pertentangan, kebijakan mana yang lebih sesuai.
Permasalahan kedua adalah peningkatan prosentase kelulusan secara
nasional ( 80,76% di tahun 2005 menjadi 92,5 % ditahun 2006 ) ternyata
juga diiringi penurunan dibeberapa daerah, seperti Jogja dan Malang –
misalnya. Apakah ini berarti terjadi kemrosotan mutu di daerah-daerah
tersebut, atau materi UN tidak sesuai dengan apa yang diperoleh siswa
disana. Permasalahan selanjunya adalah adanya peningkatan sekolah
dengan kelulusan 0%. Misalnya saja di Jakarta pada tahun sebelumnya
hanya 3 sekolah, tahun ini menjadi 7 sekolah ( 6 SMA dan 1 SMK )
dengan tingkat kelulusan 0%. Di Bali ada 3 sekolah dengan kelulusan 0%
dan sebagainya. Apakah hal ini terjadi karena kesalahan sistem di sekolah-
sekolah tersebut, atau karena kebijakan yang ada merugikan sekolah-
sekolah tersebut. Permasalahan lain adalah adanya ketimpangan jumlah
kelulusan antar sekolah-sekolah dalam suatu daerah. Dimana ada sekolah-
sekolah tertentu dengan tingkat kelulusan yang tinggi, sementara sekolah-
sekolah disekitarnya memiliki tingkat kelulusan yang sangat rendah.
Padahal fasilitas dan sarana yang dimiliki oleh sekolah-sekolah tersebut
kurang lebih sama. Dari masalah-masalah tersebut diatas, akan disaring
dan dipertajam untuk mengetahui yang mana yang benar-benar merupakan
permasalahan yang terkait dengan kebijakan UN, dan yang mana yang
tidak terkait atau terkait secara tidak langsung. Masalah yang terkait
dengan UN secara langsung, akan diangkat sebagai masalah untuk diteliti
– berkenaan dengan dampak kebijakan UN tersebut. Dari permasalahan
yang ada, berkenaan dengan Kebijakan UN – maka penulis mengusulkan
untuk dilakukan Penelitian Kebijakan ( Policy Research ). Penilitan ini
bermaksud untuk melihat dampak dari kebijakan UN terhadap
permasalahn-permasalahn yang terjadi diatas. Penelitian ini akan
menggunakan metode Deskriptif – Analitik, dimana peneliti mencoba
menggambarkan menggambarkan keadaan yang sedang berlangsung
mengenai dampak kebijakan UN tersebut dengan faktor-faktor yang
terkait; selanjutnya dianalisis secara deskriptif, komparatif, korelatif, dan
dilakukan pembahasan untuk merumuskan kesimpulan yang dilengkapi
dengan implikasi dan rekomendasinya.
2.2. KAJIAN TEORITIS
2.2.1. Tujuan Pendidikan Nasional
2.2.2. Kebijakan UN
2.2.3. Pengertian Kurikulum
Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu. Kurikulum dapat dilihat dalam tiga dimensi yaitu, sebagai ilmu
(curriculum as a body of knowledge), sebagai sistem (curriculum as a system) dan
sebagai rencana (curriculum as a plan). Kurikulum sebagai ilmu dikaji konsep,
landasan, asumsi, teori, model, praksis, prinsip-prinsip dasar tentang kurikulum.
Kurikulum sebagai sistem dijelaskan kedudukan kurikulum dalam hubungannya
dengan sistem dan bidang-bidang lain, komponen-komponen kurikulum,
kurikulum berbagai jalur, jenjang, jenis pendidikan, manajemen kurikulum, dan
sebagainya. Kurikulum sebagai rencana tercakup macam-macam rencana dan
rancangan atau desain kurikulum. Kurikulum sebagai rencana ada yang bersifat
menyeluruh untuk semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan dan ada pula yang
khusus untuk jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.
Sedangkan Glatthorn (1987) mengartikan kurikulum adalah sebagai
rencana yang dibuat untuk membimbing anak belajar di sekolah, disajikan dalam
bentuk dokumen yang mudah ditemukan, disusun berdasarkan tingkat-tingkat
generalisasi dapat diaktualisasikan dalam kelas, dapat diamati oleh pihak yang
tidak berkepentingan dan dapat membawa pembahasan tingkah laku. (Hermana
Somantrie, M.A, Perekayasaan Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah
berdasarkan UU No.2 tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Pengembangan dan Penilaian).
Sedangkan pengertian kurikulum yang tercantum dalam Udang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional/UUSPN Depdikbud tahun 1989, adalah ”Seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar”.
Berdasarkan pada definisi kurikulum yang telah disebutkan diatas dapat
disimpulkan secara umum bahwa kurikulum dalam pengertian program
pendidikan adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan
bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan tertentu
ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi
dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Oleh karena itu
kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian
program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada didaerah. (Badan
Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, BSNP 2006).
Penjabaran beberapa pengertian kurikulum diatas memberikan persepsi
dan makna akan keberadaan kurikulum yang memegang peranan dalam
pengoperasional kegiatan belajar mengajar pada suatu institusi atau lembaga,
sekaligus sebagai rel yang menjembatani pada terealisasinya tujuan yang
ditentukan sesuai dengan latar belakang institusi atau lembaga tersebut, serta
faktor-faktor pendukung lainnya. Oleh karena itu, pada tahun 2006 pemerintah
mengeluarkan suatu panduan penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) jenjang pendidikan dasar dan menengah yang ditetapkan oleh Badan
Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Berkaitan dengan semakin meningkatnya kemajuan di bidang teknologi,
maka secara otomatis menuntut dunia pendidikan untuk lebih fleksibel dalam
menerima perubahan sesuai dengan kebutuhan pada dunia industri, terutama pada
sekolah menengah kejuruan yang lulusannya sebagian besar langsung memasuki
dunia kerja. Oleh sebab itu, Depdiknas memberikan keleluasaan kepada SMK
untuk mengembangkan kurikulumnya lebih khusus untuk produktif yang
desainnya ditetapkan oleh BSNP dengan tujuan agar lulusan SMK mempunyai
keahlian sesuai dengan harapan dari dunia industri.
2.1.2. Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan
2.1.2.1. Struktur Kurikulum Pendidikan Umum
Struktur kurikulum merupakan pola dan susunan mata pelajaran yang
harus ditempuh oleh peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Kedalaman
muatan kurikulum pada setiap mata pelajaran pada setiap satuan pendidikan
dituangkan dalam kompetensi yang harus dikuasai peserta didik sesuai
dengan beban belajar yang tercantum dalam struktur kurikulum. Kompetensi
yang dimaksud terdiri atas standar kompetensi dan kompetensi dasar yang
dikembangkan berdasarkan standar kompetensi lulusan. Muatan lokal dan
kegiatan pengembangan diri merupakan bagian integral dari struktur
kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
2.1.2.2. Struktur Kurikulum Pendidikan Kejuruan
Pendidikan kejuruan bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan peserta didik
untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan
program kejuruannya. Agar dapat bekerja secara efektif dan efisien serta
mengembangkan keahlian dan keterampilan, mereka harus memiliki stamina
yang tinggi, menguasai bidang keahliannya dan dasar-dasar ilimu
pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi, dan mampu
berkomunikasi sesuai dengan tuntutan pekerjaannya, serta memiliki
kemampuan mengembangkan diri. Struktur kurikulum pendidikan kejuruan
dalam hal ini Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah
Kejuruan (MAK) diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut. Kurikulum
SMK/MAK berisi mata pelajaran wajib, mata pelajaran Kejuruan, Muatan
Lokal, dan Pengembangan Diri seperti tertera pada tabel 1.
Komponen Durasi Waktu (Jam)
A. Mata Pelajaran1. Pendidikan Agama 1922. Pendidikan Kewarganegaraan 1923. Bahasa Indonesia 1924. Bahasa Inggris 440 a)5. Matematika5. 1 Matematika Kelompok Seni, Pariwisata, dan
Teknologi Kerumahtanggaan 330 a)5. 2 Matematika Kelompok Sosial, Administrasi
Perkantoran dan Akuntansi 403 a)5. 3 Matematika Kelompok Teknologi, Kesehatan, dan Pertanian 516 a)6. Ilmu Pengetahuan Alam6. 1 IPA 192 a)6. 2 Fisika6. 2. 1 Fisika Kelompok Pertanian 192 a)6. 2. 2 Fisika Kelompok Teknologi 276 a)
6. 3 Kimia
6. 3. 1 Kimia Kelompok Pertanian 192 a)6. 3. 2 Kimia Kelompok Teknologi dan Kesehatan 192 a)6. 4 Biologi6. 4. 1 Biologi Kelompok Pertanian 192 a)6. 4. 2 Biologi Kelompok Kesehatan 192 a)7. Ilmu Pengetahuan Sosial 128 a)8. Seni Budaya 128 a)9. Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan 19210. Kejuruan10. 1 Keterampilan Komputer dan Pengelolaan Informasi 20210. 2 Kewirausahaan 19210. 3 Dasar Kompetensi Kejuruan b) 14010. 4 Kompetensi Kejuruan b) 1044 c)B. Muatan Lokal 192C. Pengembangan Diri d) (192)
(Sumber BSNP)Keterangan notasi:a) Durasi waktu adalah jumlah jam minimal yang digunakan oleh setiap
program keahlian. Program keahlian yang memerlukan waktu lebih jam tambahannya diintegrasikan ke dalam mata pelajaran yang sama, di luar jumlah jam yang dicantumkan.
b) Terdiri dari berbagai mata pelajaran yang ditentukan sesuai dengan kebutuhan setiap program keahlian.
c) Jumlah jam Kompetensi Kejuruan pada dasarnya sesuai dengan kebutuhan standard kompetensi kerja yang berlaku di dunia kerja tetapi tidak boleh kurang dari 1044 jam.
d) Ekuivalen 2 jam pembelajaran.
2.1.2.3. Struktur Kurikulum Program Keahlian Tata Busana
NO
KomponenAlokasi
Waktu (Jam)
A. Mata Pelajaran
1. Normatif
1.1 Pendidikan Agama 1921.2 Pendidikan Kewarganegaraan 1921.3 Bahasa Indonesia 1921.4 Pendidikan Jasmani Olahraga dan
Kesehatan192
1.5 Seni Budaya 128
2. Adaptif
2.1 Matematika 3302.2 Bahasa Inggris 4402.3 Ilmu Pengetahuan Alam 192
NO
KomponenAlokasi
Waktu (Jam)2.4 Ilmu Pengetahuan Sosial 1282.5 Ketrampilan Komputer dan Pengelolaan
Informasi202
2.6 Kewirausahaan 192
3. Produktif
3.1 Dasar Kompetensi Kejuruan (140)
3.1.1 Mengikuti prosedur kesehatan, keselamatan dan keamanan dalam bekerja
20
3.1.2 Menggambar busana 303.1.3 Menjahit dengan mesin 603.1.4 Mengukur tubuh pelanggan sesuai
dengan desain10
3.1.5 Memilih/membeli bahan baku busana sesuai desain
20
3.2 Kompetensi Kejuruan (1044)3.2.1 Membuat pola busana dengan teknik
konstruksi220
3.2.2 Membuat pola busana dengan teknik drapping
48
3.2.3 Memilih/membeli bahan baku busana sesuai desain
36
3.2.4 Memotong bahan 503.2.5 Melakukan pengepresan 463.2.6 Menjahit dengan mesin 2923.2.7 Menyelesaikan busana dengan jahitan
tangan50
3.2.8 Membuat hiasan pada busana 803.2.9 Melakukan penyelesaian akhir busana 563.2.10 Memelihara alat jahit 563.2.11 Membuat desain busana 603.2.12 Mengawasi mutu pekerjaan di
lingkungan busana50
B. Muatan Lokal (192)
1. Pembuatan Batik 192
C. Pengembangan Diri(192)
1. Bimbingan dan konseling 422. Bimbingan kreativitas (Peragaan Busana) 423. Bahasa Jepang 108
Jumlah (2712)(Sumber BSNP)
2.2.4. Standar Kompetensi Lulusan Matematika SMK (Kelompok
Pariwisata, Seni, Dan Kerajinan, Teknologi Kerumahtanggaan,
Pekerjaan Sosial dan Administrasi Perkantoran) Bidang studi
Matematika.
NO.STANDAR KOMPETENSI LULUSAN
INDIKATOR
1. Memecahkan masalah yang berkaitan dengan konsep operasi bilangan real.
Menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan perbandingan.Menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan skala.Menyelesaikan operasi hitung bilangan berpangkat.Menentukan nilai suatu logaritma dengan menggunakan sifat-sifat logaritma.Menyederhanakan operasi bilangan bentuk akar.Menyederhanakan pecahan bentuk akar dengan cara merasionalkan penyebutnya.
2. Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan persamaan dan pertidaksamaan, matrik, dan program linear.
Menyelesaikan persamaan linear satu variabel.Menentukan himpunan penyelesaian suatu pertidaksamaan linear satu variabel.Menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan sistem persamaan linear dua variabel.Menyelesaikan permasalahan yang berhubungan dengan kesamaan matriks.Menentukan hasil operasi matriks.Menentukan invers matriks berordo 2 x 2.Menentukan daerah penyelesaian dari sistem pertidaksamaan linear.Menentukan model matematika suatu permasalahan program linear.Menentukan nilai optimum suatu permasalahan program linear.
3. Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan keliling dan
Menentukan keliling dan luas bangun datar.
NO.STANDAR KOMPETENSI LULUSAN
INDIKATOR
luas daerah bangun datar. Menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan keliling dan luas bangun datar.
4. Menerapkan konsep barisan dan deret dalam pemecahan masalah.
Menentukan suku ke-n suatu deret aritmetika dan geometri.Menentukan jumlah n suku pertama suatu deret aritmetika dan geometri.Menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan deret aritmetika dan geometri.Menentukan jumlah deret aritmetika dan geometri tak hingga.
5. Menerapkan aturan konsep statistika dalam pemecahan masalah.
Membaca diagram lingkaran atau batang.Menyelesaikan soal yang berkaitan dengan hitung rata-rata data.Menentukan rata-rata hitung dari data tunggal berbobot.Menentukan ukuran pemusatan data berkelompok.Menentukan rata-rata harmonis data.Menentukan nilai desil dari data berkelompok.Menentukan simpangan baku dari data tunggal.Menentukan angka baku.Menentukan koefisien variasi suatu data.
(Sumber: BSNP)
2.2.5. Manajemen Pengembangan Kurikulum
2.2.5.1. Landasan Pengembangan Kurikulum
Kurikulum merupakan wahana belajar-mengajar yang dinamis,
sehingga perlu dinilai dan dikembangkan secara terus menerus dan
berkelanjutan sesuai dengan perkembangan yang ada dalam masyarakat
(Depdikbud, 1986). Adapun yang dimaksud pengembangan kurikulum adalah
suatu proses yang menentukan bagaimana pembuatan kurikulum akan
berjalan. Bondi dan wiles mengemukakan bahwa pengembangan kurikulum
yang terbaik adalah proses yang meliputi banyak hal yakni: (1) kemudahan-
kemudahan suatu analisis tujuan, (2) rancangan suatu program, (3) penerapan
serangkaian pengalaman yang berhubungan, dan (4) peralatan dalam evaluasi
proses ini. Secara singkat pengembangan kurikulum adalah suatu perbuatan
kompleks yang mencakup berbagai jenis keputusan (Taba, 1962).
Agar pengembangan kurikulum dapat berhasil sesuai dengan yang
diinginkan, maka pengembangan kurikulum diperlukan landasan-landasan
pengembangan kurikulum. Menurut (Depdikbud, 1986) bahwa landasan dan
pengembangan kurikulum mengacu pada tiga unsur, yaitu:
(1) Nilai dasar yang merupakan falsafah dalam pendidikan manusia
seutuhnya.
(2) Fakta empirik yang tercermin dari pelaksanaan kurikulum, baik
berdasarkan penilaian kurikulum, studi, maupun survei lainnya, dan
(3) Landasan teori yang menjadi arahan pengembangan dan kerangka
penyorotnya.
Hal yang dikemukakan dalam landasan program dan pengembangan
kurikulum merupakan contoh adanya landasan-landasan pengembangan
kurikulum, yang acapkali disebut sebagai determinan (faktor-faktor penentu)
pengembangan kurikulum.
2.2.5.2. Komponen Kurikulum
Sebelum melaksanakan kegiatan pengembangan kurikulum, seorang
pengembang kurikulum terlebih dahulu harus mengenal komponen atau
elemen atau unsur kurikulum. Tyler (1950) dalam Taba (1962)
mengemukakan pentingnya mengenal komponen atau elemen atau unsur
kurikulum. Herrick (1950) dalam Taba (1962) mengemukakan 4 (empat)
elemen, yakni: tujuan (objectives), mata pelajaran (sucject matter), metode
dan organisasi (method and organization), dan evaluasi (evaluation).
Sedangkan ahli yang lain mengemukakan bahwa kurikulum terdiri dari 4
(empat) komponen dasar (1) aims, goals, and objective, (2) content, (3)
learning activities, dan (4) evaluations (Zais, 1976). Sukmadinata (1988)
mengemukakan empat komponen dari anatomi tubuh kurikulum yang utama
adalah tujuan, isi atau materi, proses atau sistem penyampaian, serta evaluasi.
2.2.5.3. Prinsip Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum dapat menggunakan prinsip-prinsip yang
telah berkembang di dalam kehidupan sehari-hari atau menciptakan prinsip-
prinsip baru. Beberapa pengembangan prinsip kurikulum tersebut antara lain:
prinsip berorientasi pada tujuan, prinsip relevansi, prinsip efisiensi, prinsip
efektifitas, prinsip fleksibilitas, prinsip integritas, prinsip kontinuitas, prinsip
sinkronisasi, prinsip objektivitas, prinsip demokrasi dan prinsip praktis
(depdikbud, 1982). Dari berbagai prinsip pengembangan kurikulum tersebut,
tiga diantaranya yakni prinsip relevansi, prinsip kontinuitas, dan prinsip
fleksibilitas akan diuraikan lebih lanjut.
(1) Prinsip Relevansi
Relevansi berarti sesuai antara komponen tujuan, isi/ pengalaman belajar,
organisasi, dan evaluasi kurikulum, dan juga sesuai dengan kebutuhan
masyarakat baik dalam pemenuhan tenaga kerja maupun warga
masyarakat yang diidealkan. Sukmadinata (1988) membedakan relevansi
menjadi dua macam, yaitu relevansi ke luar maksudnya tujuan, isi, dan
proses belajar yang tercakup dalam kurikulum hendaknya relevan dengan
tuntutan, kebutuhan, dan perkembangan masyarakat. Sedangkan relevansi
ke dalam yaitu terjalin relevansi di antara komponen-komponen
kurikulum, jutuan, isi, proses penyampaian, dan evaluasi.
(2) Prinsip Kontinuitas
Prinsip kontinuitas atau berkesinambungan menghendaki pengembangan
kurikulumnya yang berkesinambungan secara vertikal dan
berkesinambungan secara horizontal. Berkesinambungan secara vertikal
(bertahap/ jenjang) dalam artian antara jenjang pendidikan yang satu
dengan jenjang pendidikan yang lebih tinggi dikembangkan
kurikulumnya secara berkesinambungan tanpa ada jarak di antara
keduanya, dari tujuan pemeblajaran sampai ke tujuan pendidikan nasional
juga berkesinambungan, dmeikian pula dengan komponen yang lain.
Sedangkan berkesinambungan horizontal (berkelanjutan) dapat diartikan
pengembangan kurikulum jenjang pendidikan dan tingkat/ kelas yang
sama tidak terputus-putus dan merupakan pengembangan yang terpadu.
(3) Prinsip Fleksibilitas
Perlu disadari bahwa kurikulum harus mampu disesuaikan dengan situasi
dan kondisi setempat dan waktu yang selalu berkembang tanpa merombak
tujuan pendidikan yang harus dicapai (Depdikbu, 1982). Selain itu, perlu
disadari juga bahwa kurikulum dimaksudkan untuk mempersiapkan anak
untuk kehidupan sekarang dan yang akan datang, di sini dan di tempat
lain, bagi anak yang memiliki latar belakang dan kemampuan berbeda
(Sukmadinata, 1988). Dengan demikian maka prinsip fleksibilitas
menuntut adanya keluwesan dalam mengembangkan kurikulum tanpa
mengorbankan tujuan yang hendak dicapai. Keluwesan itu sendiri
merupakan kelenturan melakukan penyesuaian-penyesuaian komponen-
komponen kurikulum dengan setiap situasi dan kondisi yang selalu
berubah.
2.2.5.4. Model Pengembangan Kurikulum
Untuk melakukan pengembangan kurikulum ada berbagai model
pengembangan kurikulum yang dapat dijadikan acuan atau diterapkan
sepenuhnya. Model-model pengembangan kurikulum tersebut seringkali
dinamakan dengan nama ahli yang melontarkan gagasan tentang model
pengembangan kurikulum tersebut. Bebrapa model pengembangan
kurikulum, antara lain :
a. Model Administratif (Line – Staff)
Model administrasi atau garis- komando (line-staff) merupakan pola
pengembangan kurikulum yang paling awal dan mungkin yang paling dikenal
(Zais, 1976). Model pengembangan kurikulum ini didasarkan pada cara kerja
atasan-bawahan (top-down) yang dipandang efektif dalam pelaksanaan
perubahan, termasuk perubahan kurikulum.
Model administrasi atau garis-komando memiliki langkah-langkah
berikut ini :
1. Administrator pendidikan / top administrative officer (pemimpin)
membentuk komisi pengarah.
2. Komisi pengarah (steering comitte) bertugas merumuskan rencana umum,
mengembangkan prinsip-prinsip sebagai pedoman, dan menyiapkan suatu
pertanyaan filosofi dan tujuan-tujuan untuk seluruh wilyah sekolah.
3. Membentuk komisi kerja pengembangan kurikulum yang bertugas
mengembangkan kurikulum secara operasional mencakup keseluruhan
komponen kurikulum dengan mempertimbangkan landasan dan prinsip-
prinsip pengembangan kurikulum.
4. Komisi pengarah memeriksa hasil kerja dari komisi kerja dan
menyempurnakan bagian-bagian tertentu bila dianggap perlu. Karena
pengembangan kurikulum model administratif ini berdasar konsep,
inisiatif, dan arahan dari atas ke bawah, maka akan memerlukan waktu
bertahun-tahun agar dapat berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan
adanya tuntutan untuk mempersiapkan para pelaksana kurikulum
tersebut.
Model administratif / garis komando membutuhkan kegiatan
penyiapan para pelaksana kurikulum melalui berbagai bentuk pelatihan agar
dapat melaksanakan kurikulum dengan baik.
b. Model Grass – Roots
Model pengembangan kurikulum ini merupakan kebalikan dari
administratif dilihat dari sumber inisiatif dan upaya pengembangan
kurikulum. Model grass–roots merupakan bentuk model bottom–up (dari
bawah–ke atas) dan model ini cenderung berlaku dalam sistem pendidikan
yang kurikulumnya bersifat desentralisasi atau memberikan peluang
terjadinya desentralisasi sebagian. Model pengembangan kurikulum grass–
roots dapat mengupayakan pengembangan sebagian komponen-komponen
kurikulum dapat keseluruhan, dapat pula sebagian dari keseluruhan
komponen kurikulum atau keseluruhan dari seluruh komponen kurikulum.
Dalam pengembangan kurikulum model grass–roots memiliki 4 (empat)
prinsip seperti yang dikemukakan oleh Smith, Stanly, dan Shores (1957
dalam Zais, 1976), yang meliputi :
(i) Kurikulum akan bertambah baik hanya kalau kompetensi
profesional guru bertambah baik,
(ii) Kompetensi guru akan menjadi bertambah baik hanya kalau guru-
guru menjadi personil-personil yang dilibatkan dalam masalah-
masalah perbaikan (revisi) kurikulum. Jika para guru bersama
menanggung bentuk-bentuk yang menjadi tujuan yang dicapai,
dalam memilih, mendefinisikan, dan memecahkan masalah-
masalah yang dihadapi, serta dalam memutuskan dan menilai
hasil, ketertiban mereka akan dapat lebih terjamin, dan
(iii) Sebagai orang yang bertemu dalam kelompok-kelompok tatap
muka, mereka akan mampu mengerti satu dengan yang lain
dengan lebih baik dan membantu adanya konsesus dalam prinsip-
prinsip dasar, tujuan-tujuan dan perencanaan.
c. Model Beauchamp
Pengembangan kurikulum dengan menggunakan model Beauchamp
memiliki lima bagian pembuatan keputusan. Lima tahap pembuatan
keputusan tersebut adalah:
1. Memutuskan arena pengembangan kurikulum, suatu keputusan yang
menjabarkan ruang lingkup upaya pengembangan.
2. Memilih dan melibatkan personalia pengembangan kurikulum, suatu
keputusan yang menetapkan personalia upaya pengembangan kurikulum.
Ada 4 (empat) kategori personalia yang dilibatkan yaitu : (a) personalia
ahli, misal ahli kurikulum atau ahli bidang studi (disiplin ilmu), (b)
kelompok terpilih yang terdiri dari ahli pendidikan dan guru-guru terpilih,
(c) Semua personil profesional dalam sistem persekolahan, dan (d)
personil profesional dan tokoh-tokoh masyarakat yang terpilih.
3. Perngorganisasian dan prosedur pengembangan kurikulum, dengan
kegiatan sebagai berikut ; (a) membentuk tim pengembang kurikulum, (b)
menilai kurikulum yang sedang berlaku, (c) studi awal tentang isi
kurikulum baru dan alternatifnya, (d) merumuskan kriteria untuk
memutuskan hal-hal yang dapat masuk dalam kurikulum baru, (e) tim
pengembang menyusun dan menulis kurikulum.
4. Implementasi kurikulum, yakni kegiatan untuk menerapkan kurikulum
seperti yang sudah diputuskan dalam ruang lingkup pengembang
kurikulum.
5. Evaluasi kurikulum, yakni kegiatan yang memiliki 4 (empat) dimensi yang
terdiri dari (a) evaluasi guru-guru yang menggunakan kurikulum, (b)
evaluasi rancangan kurikulum, (c) evaluasi hasil belajar pembelajar, dan
(d) evaluasi sistem pengembangan kurikulum.
d. Model Arah Terbalik Taba (Taba’s Inverted Model)
Model pengembangan kurikulum ini terbalik dari yang lazim
dilaksanakan, yakni biasanya dilakukan secara deduktif dibalik menjadi
induktif. Menurut model Taba, pengembangan kurikulum dilaksanakan dalam
lima langkah :
1. Membuat unit-unit percobaan (producing pilot units), yakni suatu kegiatan
membuat eksperimen unit-unit percobaan melalui kelompok guru yang
dijadikan contoh melalui penyajian dalam tingkat/kelas tertentu dan pokok
bahasan tertentu dengan pengamatan yang seksama.
2. Menguji unit-unit eksperimen (testing experimental units), yakni kegiatan
untuk menguji ulang unit-unit yang telah digunakan oleh guru yang
membuatnya di kelas guru itu sendiri, di kelas lain atau kelas yang
berbeda.
3. Merevisi dan mengkonsolidasi, yakni kegiatan lanjut uji-coba. Merevisi
berarti mengadakan perbaikan atau penyempurnaan pada unit yang
dicobakan sehingga dapat disajikan suatu kurikulum umum untuk semua
jenis kelas. Mengkonsolidasikan berarti mengadakan penyimpulan tentang
hasil percobaan yang memungkinkan digunakannya unit-unit tersebut
dalam lingkup yang lebih luas.
4. Mengembangkan jaringan kerja, yakni kegiatan yang dilakukan untuk lebih
meyakinkan apakah unit-unit yang telah direvsi dan dikonsolidasikan
dapat digunakan lebih luas atau tidak. Untuk itu, perlu dilakukan
uji/penilaian mengenai sekuensi dan lingkupnya oleh orang yang
berkompeten dalam pengembangan kurikulum, dalam hal ini adalah ahli
kurikulum.
5. Memasang dan mendiseminasi unit-unit baru, yakni kegiatan untuk
menerapkan dan menyebarluaskan unit-unit baru yang dihasilkan.
e. Model Rogers
Carl Rogers adalah seorang ahli psikologi yang berpandangan bahwa
manusia dalam proses perubahan (become, developing, changing) yang
mempunyai kekuatan dan potensi untuk berkembang sendiri (Sukmadinata,
1988). Berdasarkan pandangan tentang manusia, maka Rogers
mengemukakan model pengembangan kurikulum yang disebut dengan Model
Relasi Interpersonal Roger (Rogers Interpersonal Relation Model).
Model relasi interpersonal terdiri dari empat langkah pengembangan
kurikulum, yakni: (1) pemilihan satu sistem pendidikan sasaran, (2)
pengalaman kelompok yang intensif bagi guru, (3) pengembangan suatu
pengalaman kelompok yang intensif bagi satu kelas atau unit pelajaran, dan
(4) melibatkan orang tua dalam pengalaman kelompok yang intensif. Rogers
lebih mementingkan kegiatan pengembangan kurikulum daripada rancangan
pengembangan kurikulum tertulis, yakni melalui aktivitas dan interaksi dalam
pengalaman kelompok intensif yang terpilih.
2.2.6. Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
2.2.6.1. Pengertian Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Menurut Mulyasa (2006:20-21) menyatakan bahwa KTSP adalah
suatu ide tentang pengembangan kurikulum yang diletakkan pada posisi yang
paling dekat dengan pembelajaran yakni sekolah dan satuan pendidikan.
KTSP merupakan paradigma baru pengembangan kurikulum, yang
memberikan otonomi luas pada satiap satuan pendidikan, dan pelibatan
masyarakat dalam rangka mengefektifkan proses belajar mengajar di sekolah.
Otonomi diberikan agar setiap satuan pendidikan dan sekolah memiliki
keleluasaan dalam mengelola sumber daya, sember dana, sumber belajar dan
mengalokasikannya sesuai prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap
kebutuhan setempat.
Sedangkan menurut Badan standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan adalah kurikulum operasional yang
disusun oleh dan dilaksanakan di amsing-masing satuan pendidikan. KTSP
terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan
kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan dan silabus (BSNP
2006:5).
2.2.6.2. Landasan Yuridis Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP)
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dilandasi oleh Undang-Undang
dan Peraturan Pemerintah sebagai berikut:
a. Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas).
Ketentuan dalam UU 20/2003 yang mengatur KTSP adalah pasal 1 ayat
(19); pasal 18 ayat (1), (2), (3), (4); Pasal 32 ayat (1), (2), (3); Pasal 35
ayat (2); Pasal 36 ayat (1), (2), (3), (4); Pasal 37 ayat (1), (2), (3); Pasal
38 ayat (1), (2) (BSNP 2006:4).
Dalam Undang-Undang tentang sisdiknas dikemukakan bahwa Standar
Nasional Pendidikan (SNP) terdiri atas standar isi, proses, kompetensi
lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan,
pembiayaan, dan penilaian yang harus ditingkatkan secara berencana dan
berkala. Selain itu juga dikemukanan bahwa kurikulum pendidikan dasar
dan menengah wajib memuat: pendidikan agama, pendidikan
kewarganegaraan, bahasa, matematika, IPA, IPS, seni dan budaya,
pendidikan jasmani dan olah raga, ketarmpilan/kejuruan, dan muatan
lokal. Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai
dengan relevansinya oleh setiap kelompok satuan pendidikan dan komite
sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan
atau kantor departemen agama kabupaten/kota untuk pendidikan dasar
dan provinsi untuk pendidikan menengah.
b. Peraturan Pemerintah republik Indonesia nomor 19 Tahun 2005 Tentang
standar Nasional Pendidikan (SNP).
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 adalah peraturan tentang
Standar Nasional Pendidikan (SNP). SNP merupakan kriteria minimal
tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Terdapat 8 standar nasional pendidikan
yang harus diacu oleh sekolah dalam penyelenggaraan kegiatannya. Ke 8
standar tersebut yaitu:
1) Standar isi (SI)
2) Standar proses
3) Standar kompetensi lulusan (SKL)
4) Standar tenaga kependidikan
5) Standar sarana dan prasarana
6) Standar pengelolaan
7) Standar pembiayaan
8) Standar penilaian pendidikan
Ketentuan di dalam PP 19/2005 yang mengatur KTSP adalah Pasal 1 ayat
(5), (13), (14), (15); Pasal 5 ayat (1), (2); Pasal 6 ayat (6); Pasal 7 ayat
(1), (2), (3), (4), (5), (6), (7), (8); Pasal 16 ayat (1), (2), (3), (4), (5); Pasal
17 ayat (1), (2); Pasal 18 ayat (1), (2), (3); Pasal 20.
Dalam peraturan tersebut dikemukakan bahwa kurikulum adalah
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Selain itu, dalam peraturan tersebut juga dikemukakan bahwa KTSP
adalah kurikulum operasional yang dikembangkan berdasarkan standar
Kompetensi Lulusan (SKL), dan standar isi (SI). SKL adalah kualifikasi
kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Sedangkan standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi
yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi
bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus yang harus dipenuhi
oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Standar isi memuat kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar,
kurikulum tingkat satuan pendidikan, dan kalender pendidikan/akademik.
Kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah diorganisasikan ke dalam lima
kelompok, yaitu :
1) Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia;
2) Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian;
3) Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi;
4) Kelompok mata pelajaran estetika;
5) Kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan.
c. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 mengatur
tentang standar isi yang mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi
untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan
tertentu. Secara keseluruhan standar isi mencakup:
1) Kerangka dasar dan struktur kurikulum yang merupakan pedoman
dalam penyusunan KTSP;
2) Beban belajar bagi peserta didik pada satuan pendidikan dasar dan
menengah;
3) KTSP yang akan dikembangkan oleh satuan pendidikan berdasarkan
panduan penyusunan kurikulum sebagai bagian tidak terpisahkan
dari standar isi;
4) Kalender pendidikan untuk penyelenggaraan pendidikan pada
satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah.
d. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 tahun 2006
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 tahun 2006 mengatur
tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL) untuk satuan pendidikan
dasar dan menengah digunakan sebagai pedoman penilaian dalam
menentukan kelulusan peserta didik.
Standar Kompetensi Lulusan meliputi :
1) Standar kompetensi lulusan minimal satuan pendidikan dasar dan
menengah;
2) Standar kompetensi lulusan minimal kelompok mata pelajarn; dan
3) Standar kompetensi lulusan minimal mata pelajaran.
e. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 tahun 2006
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 24 tahun
2006 mengatur tentang pelaksanaan peraturan menteri pendidikan
nasional nomor 22 tahun 2006 tentang standar isi untuk satuan
pendidikan dasar dan menengah serta peraturan menteri pendidikan
nasional nomor 23 tahun 2006 tentang standar kompetensi lulusan untuk
satuan pendidikan dasar dan menengah.
Selain itu, dalam Permendiknas tersebut dikemukakan pula bahwa satuan
pendidikan dasar dan menengah dapat mengembangkan kurikulum
dengan standar yang lebih tinggi dari yang telah ditetapkan, dengan
memperhatikan panduan penyusunan KTSP pada satuan pendidikan
dasar dan menengah yang disusun Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP).
Sementara bagi satuan pendidikan dasar dan menengah yang belum atau
tidak mampu mengembangkan kurikulum sendiri dapat mengadopsi atau
mengadaptasi model kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan
menengah yang disusun oleh BSNP, ditetapkan oleh kepala satuan
pendidikan dasar dan menengah setelah memperhatikan pertimbangan
dari komite sekolah / madrasah.
2.2.6.3. Tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Secara umum tujuan diterapkannya KTSP adalah untuk memandirikan
dan memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian kewenangan
(otonomi) kepada lembaga pendidikan dan mendorong sekolah untuk
melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif dalam pengembangan
kurikulum.
Secara khusus tujuan diterapkannya KTSP adalah :
a. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif
sekolah dalam mengembangkan kurikulum, mengelola dan
memberdayakan sumber daya yang tersedia.
b. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam
pengembangan kurikulum melalui pengambilan keputusan bersama.
c. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar satuan pendidikan tentang
kualitas pendidikan yang akan dicapai (Mulyasa 2006:22).
Sedangkan menurut Baedhowi (2007:7-8) menyatakan bahwa tujuan KTSP
adalah untuk mewujudkan kurikulum yang sesuai dengan kekhasan
(karakteristik), kondisi, potensi daerah, kebutuhan dan permasalahan daerah,
satuan pendidikan dan peserta didik dengan mengacu pada tujuan pendidikan
nasional.
BAB IIIMETODOLOGI PENELITIAN
3.1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif dengan desain penelitian kebijakan. Pada konteks ini peneliti berupaya
menjelaskan fenomena kebijakan dari sisi penyebab munculnya kebijakan, proses
kemunculan kebijakan, implementasi kebijakan dan rekonstruksi kebijakan. Selain
dari itu penelitian ini juga menggunakan penelitian kualitatif kepustakaan, yang
data-datanya juga didapatkan dari lapang melalui proses interview dan
dokumentasi.
Data yang diperoleh dalam penelitian ini berupa kata-kata lisan, tulisan
atau tindakan. Oleh karena itu, jenis penelitian yang peneliti gunakan adalah jenis
penelitian pustaka (library research), yakni dengan mengumpulkan buku-buku
atau literatur berupa jurnal, koran, artikel dan lainnya yang membahas tentang
kebijakan pendidikan serta relevansinya dengan pemberlakuan kebijakan Ujian
Nasional. Menurut Moleong (2000:6), penelitian pustaka atau deskriptif
merupakan penelitian yang datanya dikumpulkan berupa tulisan, kata-kata,
gambar dan bukan angka-angka.
Selanjutnya, data yang diperoleh telah dianalisa dan diinterpretasikan
sehingga melahirkan temuan-temuan baru. Hasil dari temuan tersebut
didiskripsikan secara jelas berdasar dari teori-teori kritis dan konsep kebijakan
pemberlakuan UN dalam perspektif politik kebijakan pendidikan.
3.2. Sumber Dan Jenis Data
Menurut Lofland, sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-
kata lisan, tulisan, tindakan seperti dokumen dan lain-lain. Sumber data adalah
subyek atau dokumen di mana data dapat diperoleh (Arikunto, 2002:106).
Sedangkan jenis data yang digunakan dalam penelitian ini, terdiri dari 2 (dua)
sumber yaitu data primer dan data sekunder. Data primer (sumber data utama)
adalah data yang diperoleh peneliti melalui sumber-sumber pokok sebagai data
kunci, diantaranya adalah Undang-Undang Dasar 1945, Keputusan Presiden,
Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Pendidikan Nasional ataupun
Permendiknas terkait dengan kebijakan pendidikan, serta pendapat publik tentang
kebijakan pemberlakuan UN.
Sedangkan data sekunder adalah data tertulis, seperti buku, majalah ilmiah,
jurnal, koran, arsip-arsip resmi dan sebagainya, yang berkaitan dengan kebijakan
pendidikan pemberlakuan UN dan politik kebijakan pendidikan (Moleong,
2002:56).
3.3. Prosedur Pengumpulan Data dan Anlisi Data
3.3.1. Pengumpulan Data
Kedudukan peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai “instrumen”
yang berupaya melakukan perencanaan, pengumpul data, analis, penafsir data
dan pada akhirnya melakukan pelaporan hasil penelitian (Moleong, 2006:68).
Oleh karena peneliti sekaligus berfungsi sebagai alat pengumpul data, maka
untuk memperoleh data yang valid, perlu adanya metode yang dipakai
sebagai bahan pendekatan. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode dokumentasi dalam wujud data tertulis ataupun
gambar. Sebagaimana yang dijelaskan Arikunto (2002:206), metode
dokumentasi adalah metode mencari data mengenai hal-hal yang berupa
catatan, transkip, buku, surat kabar (koran), majalah, prasasti, notulen rapat,
agenda serta foto-foto kegiatan. Data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data tentang kebijakan pemberlakuan UN dan yang terkait dalam
wujud UUD 1945, Keputusan Presiden (Kepres), Peraturan Pemerintah (PP),
Peraturan Menteri Pendidikan nasional (Permendiknas), Surat Keputusan
Badan Standar Nasional Pendidikan (SK BSNP), dan lain-lain.
Sebagai data penguat dari metode dokumentasi, telah dilakukan
wawancara mendalam (indept interview) dengan pihak stakholders
pendidikan (pendidik, peserta didik, dan orang tua peserta didik).
3.3.2. Analisis Data
Analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis
data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan bahan-bahan
lain sehingga dapat dengan mudah dipahami dan temuannya dapat
diinformasikan kepada orang lain.
Menurut Bogdan dan Biklen (1982:84), Analisis data adalah proses
pelacakan dan pengaturan secara sistematis transkrip wawancara, catatan
lapangan dan bahan-bahan lain yang dikumpulkan, dengan tujuan
meningkatkan pemahaman terhadap bahan-bahan tersebut, agar dapat dengan
mudah dipresentasikan semua kepada orang lain. Sedangkan teori yang
digunakan dalam penelitian ini adalah teori Hegemoni antonio Gramsci
terutama kaitannya dengan hegemoni pemerintah di duni pendidikan, dan
teori Dekonstruksi Derrida dalam hubungannya dengan konstruksi oposisi
biner, kewenangan pemerintah sebagai konstruksi yang tak terbantahkan di
dunia pendidikan.
3.3.3. Analisis Kualitatif
Analisis data kulitatif bersifat induktif yaitu suatu analisis berdasarkan
data yang diperoleh kemudian dikembangkan pola hubungan tertentu dengan
cara fleksibel sesuai dengan konteksnya. Analisis data kualitatif dijabarkan
dalam kata-kata/kalimat-kalimat verbal dan bukan angka-angka, sehingga
seringkali memunculkan kata/kalimat yang berbeda dengan maksud yang
sama. Dan sering pula muncul kalimat yang panjang dan singkat dengan
maksud yang sama pula dan masih banyak pula ragamnya. Karena itu,
diperlukan pelacakan kembali arti dan maksudnya. Data kalimat verbal yang
beragam tersebut harus diolah agar menjadi ringkas dan sistematis.
Seiddel dalam Moleong (2006:248) mengemukakan, analisis data
kualitatif menurut proses berjalannya sebagai berikut:
1. Mencatat yang menghasilkan catatan lapangan, dengan hal itu diberi kode agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri,
2. Mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasikan, mensintesiskan, membuat ikhtisar, dan membuat indeksnya,
3. Berpikir dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai makna, mencari dan menemukan pola dan hubungan-hubungan dan membuat temuan-temuan umum.
Berdasar pada reference di atas, metode analisa yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode content analysis (analisis isi). Budd dalam
Burhan (2007:187) menyebutkan, content analysis adalah suatu teknik yang
sistematik untuk menganalisis isi pesan dan mengolah pesan. Analisis isis
kualitatif ini merujuk pada metode analisis yang integratif dan lebih secara
konseptual bertujuan menemukan, mengidentifikasikan, mengolah dan
menganalisis dokumen untuk memahami makna, signifikansi dan
relevansinya. Berikut ini dibuatkan kerangka kerja analisis isis yang
dikembangkan dari konsep Klause Krippendorff dalam Burhan (2007:236),
seperti dibawah ini:
Konteks Riil Pemberlakuan Kebijakan
Konteks Riil Data
Referensi Target
Gejala Riil
Penelitian ini dilaksanakan di sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3
Probolinggo Program Keahlian Tata Busana pada semester genap 2010/2011.
Penelitian ini menggunakan metode survei untuk “pengambilan data” keadaan
dari seluruh proses yang terjadi dalam pelaksanaan kurikulum yang digunakan pada
SMKN 3 dengan penulisan laporan secara deskriptif.
Penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sample dari satu populasi
dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok.
Pengambilan data di lapangan pada penelitian survei dilakukan dengan menggunakan
kuisioner. Kuisioner tersebut berupa pertanyaan tertulis dan wawancara. Pada
penelitian ini, kuisioner yang digunakan berupa draft wawancara. Penggunaan
kuisioner tidak ditujukan untuk menguji suatu hipotesis tetapi untuk mendapatkan
data-data yang sebenarnya terjadi di lapangan.
Berdasarkan pandangan tersebut, sumber data dalam penelitian ini adalah
kepala sekolah, wakil kepala sekolah bidang kurikulum, kepala jurusan tata busana,
dan para guru mata diklat produktif pada jurusan tata busana.
Ada tiga teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini untuk
mendapatkan data yang akurat, yaitu teknik wawancara, observasi, dan analisis
dokumen. Ketiganya saling melengkapi agar hasilnya dapat maksimal.
Wawancara:
Wawancara dilakukan dengan 4 orang guru sekolah (teman sejawat) yakni:
kepala sekolah, wakil kepala sekolah bidang kurikulum, ketua jurusan tata
busana, dan guru produktif tata busana.
Observasi:
Observasi penelitian ini dilakukan sejak dikeluarkannya KTSP pada tahun
ajaran 2006/2007 yang selanjutnya peneliti mulai terfokus pada penelitian
sekitar bulan Januari 2011.
Analisis Dokumen:
Analisis dokumen yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mempelajari
beberapa dokumen yang didapat dari sekolah. Dokemen tersebut berupa:
keputusan menteri No. 22 – No. 24, panduan penyusunan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah, profile sekolah,
kurikulum SMK tahun 2006 (KTSP), validasi kompetensi dari dunia
usaha/industri.
Data yang terkumpul baik berupa hasil observasi maupun wawancara
tersimpan dan tercatat dalam dokumen tertulis untuk selanjutnya dianalisis. Untuk
menjaga keabsahan data dilakukan triangulasi dengan memanfaatkan penggunaan
sumber dengan cara membandingkan data hasil observasi, hasil wawancara dan
analisis dokumen.
Triangulasi sumber berarti membandingkan, mengecek balik derajat
kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda.
Selain itu, pemeriksaan keabsahan data pada penelitian ini dilakukan juga
dengan pemanfaatan guru (pengecekan teman sejawat) melalui diskusi untuk
mempertahankan sikap terbuka dan kejujuran. Hal ini pun digunakan untuk
mengurangi kemencengan dalam pengumpulan data.