Top Banner
TUGAS PROPOSAL PENELITIAN MATA KULIAH TEKNIK PENULISAN TULISAN ILMIAH Analisa Pola Sebaran Sedimen Tersuspensi Di Perairan Teluk Lampung Menggunakan Data Citra Satelit ASTER Oleh : PEDDY DARWIN SIMBOLON K2E 009 013 PROGRAM STUDI OSEANOGRAFI JURUSAN ILMU KELAUTAN
70

Proposal Penelitian Peddy Darwin

Dec 01, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Proposal Penelitian Peddy Darwin

TUGAS PROPOSAL PENELITIAN

MATA KULIAH TEKNIK PENULISAN TULISAN ILMIAH

Analisa Pola Sebaran Sedimen Tersuspensi Di Perairan Teluk Lampung

Menggunakan Data Citra Satelit ASTER

Oleh :

PEDDY DARWIN SIMBOLON

K2E 009 013

PROGRAM STUDI OSEANOGRAFI

JURUSAN ILMU KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2012

Page 2: Proposal Penelitian Peddy Darwin

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia secara fisik memiliki sekitar 17.500 pulau, dengan total panjang

garis pantai mencapai 81.000 km serta luas wilayah laut yang mencakup 70 persen

dari total luas wilayah Indonesia (DKP, 2001). Selain itu terdapat pula teritorial

laut teritorial seluas 3,1 juta km2 (Dehidros 1992).

Wilayah pesisir memilliki potensi sumber daya alam yang sangat

melimpah, mulai dari potensi sumber daya hewani (ikan,kerang,cumi,dll), potensi

mangrove dan karang, sampai pada potensi bahan tambang. Potensi dari sektor

perikanan yang berlimpah mencapai 6,2 ton per tahun dan baru dimanfaatkan

sekitar 59% dari potensi lestarinya (DKP, 2001).

Potensi lain yang tak kalah melimpahnya adalah bahan tambang misalnya

gas dan minyak bumi,timah,pasir kuarsa perhubungan laut,jasa lingkungan untuk

pariwisata dan jasa-jasa lainnya. Selain itu, ekosistem pesisir Indonesia berpotensi

untuk menyediakan energi non konvensional dari gelombang laut dan perbedaan

pasang surut.

Disamping potensi sumber daya alamnya yang melimpah dan dapat

dikembangkan,wilayah pesisir juga memiliki potensi bencana yang diakibatkan

oleh alam, manusia maupun kombinasi keduanya. Potensi bencana di wilayah

pesisir antara lain ancaman abrasi/erosi pantai, tsunami,gelombang pasang,

kenaikan muka air laut (sea level rise), banjir, sedimentasi, pencemaran dan

sebagainya. Hal ini makin diperburuk dengan situasi dan kondisi yang cukup

Page 3: Proposal Penelitian Peddy Darwin

rentan akibat dari kompleksitas pesatnya pertumbuhan wilayah pesisir yang sering

mengabaikan aspek-aspek mitigasi bencana alam yang terdapat di dalam Undang-

Undang No.27 Tahun 2007.

Perairan Teluk lampung terletak di bagian paling Selatan dari Pulau

Sumatera yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut Samudera Hindia dan Laut

Jawa serta dikelilingi oleh perbukitan. Rataan pesisir di sekitar teluk secara umum

sempit di bagian Selatan dan lebih melebar ke arah Panjang, Teluk Betung.

Daerah rataan pesisir yang agak lebar sudah banyak ditemukan tempat

pemukiman penduduk dan pabrik-pabrik. Pabrik-pabrik yang ditemukan adalah

pabrik penimbunan semen toraja, pabrik pemotong kertas, kayu lapis,

pengalengan minyak kelapa serta tempat penimbunan batu bara. Pelabuhan

bongkar muat kapal barang antar pulau yang terkenal adalah pelabuhan Panjang

berlokasi di Panjang. Kondisi pantai perairan Teluk Lampung, di sisi timur antara

Teluk Betung hingga ke Tanjung Saliki kurang lebih 70 % telah ditanggul dengan

batuan koral dan batuan breksi serta ada yang telah dan sedang direklamasi.

Sungai merupakan salah satu sumber pemasok bahan organik dan

sedimen ke perairan. Suspensi biasanya didapat dari lanau dan lempung yang

diterbangkan ‘oleh angin dan pada waktu hujan turun kedua jenis sedimen ini

terbawa oleh aliran air dan masuk ke aliran sungai dan selanjutnya bermuara di

laut (Selley, 1976). Aliran sungai yang membawa sedimen akan mengendapkan

pasir di mulut sungai dan di sekitar perairan dekat muara sungai, sedangkan lanau

dan lempung di endapkan di dasar perairan lepas pantai (Postma ,1961,1967). Di

wilayah perairan Teluk Lampung ditemukan beberapa sungai yang bermuara di

perairan tersebut sehingga menyebabkan suplai sedimen dari daratan ke perairan

Page 4: Proposal Penelitian Peddy Darwin

Teluk Lampung cukup tinggi sehingga mempunyai dampak negatif terhadap

kedalaman laut.

Dampak dari tingginya suplai sedimen adalah pendangkalan yang

berlangsung dalam waktu relatif cepat, sehingga merugikan dari segi pelayaran

kapal. Umumnya sebaran suspensi akan mengendap ke dasar perairan selama

kurang lebih 2 sampai dengan 3 jam dalam keadaan air tenang. Suspensi yang

mengendap ini akan bergerak bersamaan dengan waktu air laut menuju surut

(Carter,1988). Suspensi normal berkisar dibawah angka 10 mg/l (Rogers, 1990).

Sedangkan menurut Menteri Negara KLH (1988), kandungan suspensi yang

normal lebih kecil dari 80mg/l.

Perkembangan teknologi penginderaan jauh telah menghasilkan banyak

jenis sensor satelit yang unik yang mempunyai kesempatan untuk menggantikan

landsat untuk berbagai jenis penelitian salah satunya untuk studi identifikasi pola

sebaran sedimen tersuspensi. Berdasarkan karakteristiknya salah satu sensor yang

memiliki banyak karakteristik yang sama dengan landsat adalah ASTER yang

mengorbit pada Terra Platform.

ASTER mempunyai karakteristik 8 bit yang sama dengan landsat dan

juga mempunyai karakteristik spektral yang hampir sama dengan landsat, kecuali

ketiadaan saluran biru pada kombinasi saluran ASTER. Perbedaan yang mendasar

adalah bahwa aster memiliki resolusi yg lebih baik, yaitu 15 meter dibandingkan

dengan landsat yang hanya 30 meter. Selain itu perbedaan kondisi geologi dan

geografis akan menghasilkan perbedaan tingkat akurasi hasil penelitian.

ASTER (Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection

Radiometer) adalah satu dari lima alat sensor jarak jauh yang terdapat pada satelit

Page 5: Proposal Penelitian Peddy Darwin

Terra yang diluncurkan ke orbit bumi oleh NASA pada tahun 1999. Peralatan

tersebut telah mengumpulkan data sejak Februari 2000.

ASTER menyediakan gambar bumi beresolusi tinggi di 15 macam

spektrum gelombang elektromagnetik, berkisar dari spektrum cahaya yang dapat

dilihat hingga inframerah. Resolusi gambar antara 15 hingga 90 meter persegi per

pixel. Data ASTER digunakan untuk membuat peta detail dari temperatur

permukaan tanah, emisivitas, kemampuan memantulkan cahaya, dan ketinggian.

Teluk Lampung merupakan wilayah muara dari beberapa sungai, dimana

wilayah muara ini sangat berpotensi untuk terjadinya proses sedimentasi yang

terbawa oleh aliran air sungai ke perairan. Sedimentasi tersebut akan berakibat

pada perubahan garis pantai atau penambahan daratan di pesisir selatan Lampung

yang selanjutnya mengakibatkan perubahan penggunaan lahan daerah tersebut,

selain itu juga berpengaruh pada sebaran Total Suspended Matter (TSM) di Selat

Sunda.

1.2. Pendekatan Masalah

Proses sedimentasi yang terjadi di wilayah perairan Teluk Lampung

terjadi dengan volume, luas dan intensitas yang berbeda. Proses sedimentasi yang

terjadi pun terdapat di beberapa titik-titik stasiun (beberapa muara sungai) yang

tersebar di wilayah perairan Teluk Lampung. Hal ini memunculkan efek negatif

bagi perairan di Teluk Lampung, antara lain :

o Pendangkalan kedalaman laut

o Keruhnya perairan di sekitar perairan Teluk Lampung

Page 6: Proposal Penelitian Peddy Darwin

Maka, untuk mempermudah proses penganalisaan pola sebaran sedimen

tersuspensi di beberapa titik tersebut diperlukan bantuan Modelling Process

melalui teknologi penginderaan jauh (Remote Sensing).

1.3. Pembatasan Masalah

Batasan masalah dari penelitian ini adalah :

1. Wilayah penelitian dilakukan di perairan Teluk Lampung

2. Sedimen yang dianalisis adalah sedimen tersuspensi

3. Hasil dari penelitian ini adalah berupa peta pola sebaran sedimen

tersuspensi di perairan Teluk Lampung

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Maksud dan tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pola distribusi

sedimen dasar dan sedimen suspensi menggunakan teknologi penginderaan jauh.

Dari bentuk pola distribusi tersebut dapat diprediksi pergerakan massa air pasang

– surut Samudera Hindia dan Laut Jawa yang mempengaruhi perairan Teluk

Lampung. Hasil analisa data ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan wilayah

pantai dan perairan Teluk Lampung.

1.5. Waktu dan Lokasi Penelitian

Waktu penelitian dilakukan dalam 2 (dua) tahap, yaitu pengumpulan data

di lapangan dan pengolahan data serta modelling process. Pengumpulan data di

lapangan dilaksanakan pada tanggal 5 sampai dengan 18 November 2012

berlokasi di Teluk Lampung. Selanjutnya, pengolahan data serta modelling

Page 7: Proposal Penelitian Peddy Darwin

process dimulai pada bulan Desember 2012, dilakukan di Laboratorium

Komputasi Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang.

Page 8: Proposal Penelitian Peddy Darwin

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penginderaan Jauh Satelit

Penginderaan jauh berkembang sangat pesat sejak empat dasawarsa terakhir

ini. Perkembangannya meliputi aspek sensor, wahana atau kendaraan pembawa

sensor, jenis citra serta liputan dan ketersediaannya, alat dan analisis data, dan

jumlah pengguna serta bidang penggunaannya. Berikut adalah pengertian

penginderaan jauh menurut beberapa ahli:

Penginderaan jauh (remote sensing), yaitu penggunaan sensor radiasi

elektromagnetik untuk merekam gambar lingkungan bumi yang dapat

diinterpretasikan sehingga menghasilkan informasi yang berguna (Curran,

1985).

Penginderaan jauh (remote sensing), yaitu suatu pengukuran atau

perolehan data padaobjek di permukaan bumi dari satelit atau instrumen

lain di atas jauh dari objek yang diindera. Foto udara, citra satelit, dan citra

radar adalah beberapa bentuk penginderaan jauh (Colwell, 1984).

Penginderaan jauh (remote sensing), yaitu ilmu untuk mendapatkan

informasi mengenai permukaan bumi seperti lahan dan air dari citra yang

diperoleh dari jarak jauh.Hal ini biasanya berhubungan dengan

pengukuran pantulan atau pancaran gelombang elektromagnetik dari suatu

objek (Campbell, 1987).

Penginderaan jauh ialah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi

tentang obyek, daerah, atau gejala dengan jalan menganalisis data yang

Page 9: Proposal Penelitian Peddy Darwin

diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap

obyek, daerah atau gejala yang dikaji (Lillesand dan Kiefer , 1979).

Pengumpulan data penginderaan jauh dilakukan dengan menggunakan alat

pengindera atau alat pengumpul data yang disebut sensor. Data penginderaan jauh

dapat berupa citra, grafik, dan data numerik. Proses penerjemahan data menjadi

informasi disebut analisis atau interpretasi data dan analisis data penginderaan

jauh memerlukan data rujukan seperti peta tematik, data statistik, dan data

lapangan. Keseluruhan proses mulai dari pengambilan data, analisis data hingga

penggunaan data disebut Sistem Penginderaan Jauh (Purwadhi, 2001).

Gambar 2.1. Sistem Penginderaan Jauh (Sumber: www.google.com)

II.1.1 Citra

Citra dapat diartikan sebagai gambaran yang tampak dari suatu obyek yang

sedang diamati, sebagai hasil liputan atau rekaman suatu alat pemantau. Menurut

Page 10: Proposal Penelitian Peddy Darwin

Hornby (1974) Citra adalah gambaran yang terekam oleh kamera atau alat sensor

lain. Sedangkan menurut Simonett, dkk (1983) Citra adalah gambar rekaman suatu

obyek (biasanya berupa gambaran pada foto) yang didapat dengan cara optik,

elektrooptik, optik-mekanik, atau electromekanik. Di dalam bahasa Inggris

terdapat dua istilah yang berarti citra dalam bahasa Indonesia, yaitu “image” dan

“imagery”, akan tetapi imagery dirasa lebih tepat penggunaannya (Sutanto,

1986). Agar dapat dimanfaatkan maka citra tersebut harus diinterprestasikan atau

diterjemahkan/ ditafsirkan terlebih dahulu.

Pendapat lain adalah Citra merupakan gambaran dua dimensional yang

menggambarkan bagian dari permukaan bumi, hasil dari perekaman sensor atas

pantulan atau pancaran spektral objek yang disimpan pada media tertentu

(Prahasta, 2006).

Klasifikasi citra dapat dilakukan secara manual (visual) maupun secara

digital. Klasifikasi secara manual dilakukan dengan bertumpu pada kenampakan

pada citra, seperti misalnya rona atau warna, bentuk, ukuran, tinggi atau

bayangan, tekstur, pola, letak atau situs dan asosiasi dengan obyek lainnya.

Klasifikasi secara digital dapat dilakukan dengan bantuan komputer, dan biasanya

bertumpu pada informasi spektral obyek (yang diwakili oleh nilai pixel citra) pada

beberapa saluran spektral sekaligus. Oleh karena itu, klasifikasi secara digital

sering disebut sebagai klasifikasi multivariat atau klasifikasi multispektral.

Citra dapat dibedakan atas citra foto (photographic image) atau foto udara

dan citra non foto (non photographic image). Perbedaan pokok keduanya

disajikan pada tabel berikut ini:

Page 11: Proposal Penelitian Peddy Darwin

Tabel 2.1. Beda antara citra foto dan non foto

(Sumber : Lillesand dan Kiefer,1979: Siegel dan Gillespie, 1980)

II.1.2 Citra ASTER

Citra ASTER diproses dari hasil observasi yang dilakukan oleh sensor

Advanced Spaceborne Thermal Emission and Refection radiometer (ASTER).

Sensor ASTER dikembangkan untuk monitoring permukaan bumi oleh Ministry

of Economy, Trade and Industry (Jepang) yang diluncurkan oleh platform

Amerika yang bernama Terra. Sensor ini mengobservasi permukaan bumi dari

ketinggian 705 km dengan frekuensi band : Visible dan Near Infrared - VNIR

(tiga band + satu band arah belakang (backward) untuk data stereoscopic dengan

resolusi spatial 15 m), Short Wave Infrared - SWIR (enam band dengan resolusi

spatial 30 m) dan Thermal Infrared - TIR (lima band dengan resolusi spatial 90m),

total berjumlah 14 band atau channel.

Page 12: Proposal Penelitian Peddy Darwin

Data Level 1A dan data Level 1B

Citra Level 1A dan Level 1B merupakan citra dasar ASTER yang disediakan

untuk para pemakai.

1.  Citra Level 1A diolah dari citra Level 0 tanpa penerapan koreksi koreksi

radiometric atau geometric. Citra level ini tidak dilakukan proyeksi peta

tertentu pula. Seluruh citra observasi diproses pada Level 1A dan direkam.

Citra Level 1A ini bisa diproses kembali menjadi Level 0. Dalam citra ini

terlampir parameter untuk koreksi radiometric dan geometric.

2.  Pada citra Level 1B dilakukan koreksi radiometric dan geometric dari citra

Level 1A dengan menggunakan parameter yang terlampir dalam citra Level

1A. Oleh karena itu, citra Level 1B mempunyai proyeksi peta yang sama

dengan metoda yang dipakai dalam proses L1B. Sehingga nilai dijital (DN)

pada L1B dapat dikonversi menjadi nilai fisik seperti radiance dan temperatur.

Citra Level 1B secara otomatis diproses dan disimpan pada saat citra observasi

mempunyai rata-rata liputan awan (cloud cover rate) di bawah kriteria yang

sudah ditentukan, biasanya 20%.

Jenis Data

Jenis data lengkap yang dapat diperoleh dari citra TERRA/ASTER

ditunjukkan dalam daftar di bawah ini. TERRA/ASTER mempunyai informasi

lengkap dari citra optik biasa hingga Digital Terrain Model (DTM).

Page 13: Proposal Penelitian Peddy Darwin

Tabel 2.1 Jenis Data Citra ASTER

Nama produk Keterangan Resolusi

Level 1A

Produk ini adalah data mentah langsung dari satelit. Koefisien kalibrasi radiometrik dan koreksi geometrik terlampir, tetapi tidak diterapkan dalam data. Produk ini tidak disesuaikan pada proyeksi peta tertentu.

V(15m)

S(30m)

T(90m)

Level 1B

Produk ini hasil proses penerapan koefisien koreksi radiometrik dan geometrik yang terlampir pada data level 1A. Pada produk ini juga diterapkan metoda proyeksi peta dalam proses L1B. Dari produk ini dapat diperoleh informasi fisik seperti radiance dan temperatur dengan menggunakan nilai digital (DN) dalam data.

V(15m)

S(30m)

T(90m)

Relative Spectral Emissivity (2A02)

Produk ini merupakan data hasil decorrelation stretched dari data ASTER TIR. Produk ini menunjukkan variasi emisi yang diperkuat (enhanced emissivity variations) yang diturunkan dari range TIR lemah.

90m

Relative Spectral Reflectance VNIR

(2A03V)

Produk ini merupakan data hasil decorrelation stretched data ASTER VNIR untuk variasi pantulan yang diperkuat (enhance reflectance variations)

15m

Relative Spectral Reflectance SWIR

(2A03S)

Produk ini merupakan data hasil decorrelation stretched data ASTER SWIR untuk variasi pantulan yang diperkuat (enhance reflectance variations)

30m

Surface Radiance VNIR (2B01V)

Produk ini dihasilkan melalui penerapan koreksi atmosfir kepada data ASTER VNIR.

15m

Surface Radiance SWIR (2B01S)

Produk ini dihasilkan melalui penerapan koreksi atmosfir kepada data ASTER SWIR.

30m

Surface Radiance TIR (2B01T)

Produk ini dihasilkan melalui penerapan koreksi atmosfir kepada data ASTER TIR.

90m

Surface Reflectance VNIR

(2B05V)

Produk ini berisi pantulan permukaan (surface reflectance) yang diperoleh dari radiance terhadap ASTER VNIR setelah penerapan koreksi atmosfir.

15m

Surface Reflectance SWIR

(2B05S)

Produk ini berisi pantulan permukaan (surface reflectance) yang diperoleh dari radiance terhadap ASTER SWIR setelah penerapan koreksi atmosfir.

30m

Surface Temperature

(2B03)

Produk ini berisi temperatur permukaan dari 5 (lima) band thermal infra merah ASTER yang dihitung menggunakan temperature-emissivity-separation terhadap data radiance permukaan TIR (2B01T) yang sudah terkoreksi atmosfir.

T(90m)

Page 14: Proposal Penelitian Peddy Darwin

Surface Emissivity (2B04)

Produk ini berisi emisi permukaan dari 5 (lima) band thermal infra merah ASTER yang dihitung menggunakan temperature-emissivity-separation terhadap data radiance permukaan TIR (2B01T) yang sudah terkoreksi atmosfir.

T(90m)

Orthographic Image (3A01)

Produk ini adalah data orthografik ASTER yang dihasilkan dari data relatif DEM (4A01), dan bebas dari distorsi geografik karena perbedaan ketinggian. Data ketinggian untuk posisi geografis pada setiap pixel juga terlampir.

V(15m)+DTM

S(30m)+DTM

T(90m)+DTM

Relative DEM Z (4A01Z)

Produk ini diperoleh dari data ketinggian yang diturunkan dari data stereoskopik. Dimana data stereoskopik ini diperoleh dari band VNIR 3N (nadir looking) dan 3B (backward looking).

Z (30m)

 (Sumber: http://rsrc.pandhitopanji-f.org/)

2.2. Sedimen

Menurut Poerbandono (2005), sedimen adalah material yang berasal dari

fragmentasi (pemecahan) batuan. Pemecahan tersebut terjadi karena pelapukan

(weathering) yang dapat berlangsung secara fisik, kimiawai, atau biologis.

Sedimen adalah bahan utama pembentuk morfologi (topografi dan batimetri)

pesisir. Berubahnya morfologi pesisir terjadi sebagai akibat berpindahnya

sedimen yang berlangsung melalui mekanisme erosi, pengangkutan (transport),

dan pengendapan (deposition).

2.2.1 Sifat Sedimen

Hutabarat dan evans (1986), pada bukunya menyatakan bahwa terdapat

tiga jenis utama dari sedimen yaitu sedimen yang memasuki perairan laut dalam

bentuk partikel, tersebar dan kemudian mengendap di dasar laut yang disebut

lithogenous, sedimen yang berasal dari presipitasi langsung dari cairan atau

hydrogenous dan sedimen yang berasal dari organisme yang lazim disebut

biogenous.

Page 15: Proposal Penelitian Peddy Darwin

Ciri-ciri umum dari jenis-jenis sedimen tersebut diatas adalah:

1. Sedimen lithogenous

Merupakan hasil sisa dari pemecahan batuan yang telah ada (igneous,

metamorfik dan sedimenter) dan hasil dari erupsi vulkanis. Sedimen jenis ini

ditransportasikan oleh sungai dan juga glasier (es) serta angin (eolean) kemudian

disebarkan lagi oleh arus dan gelombang. Sistem penamaan untuk sedimen jenis

ini berdasarkan ukuran butir (gravel, pasir, lempung, lanau). Spesifikasi lainnya

berdasarkan komponen litologi (terrigenous, bioklastik, calcareous, volcanogenic,

dll) dan berdasarkan struktur serta warna sedimen tersebut.

Sedimen lithogenous yang berbutir halus yang akan berubah menjadi batu

karena proses pemampatan (compaction) dan pengerasan (litifhikasi) merupakan

sedimen dengan volume yang paling banyak (70%) dari keseluruhan sedimen

yang terdapat di lautan. Hal ini dikarenakan sangat tebalnya sedimen margin

benua (continental margins).

2. Sedimen biogenous

Merupakan sisa dari organisme terutama yang mengandung karbonat

(kalsit, aragonit), opal (silika terhidrasi), dan kalsium fosfat (gigi, tulang, karapas

crustaceae). Pengendapan sedimen jenis ini terjadi melalui presipitasi in-situ

(organisme bentik yang hidup di tempat tersebut) atau melalui kolom air

(organisme pelagik). Energi arus dan gelombang dapat meredeposisikan sedimen

biogenous dan resuspensi umum terjadi di dasar perairan maupun dalam sedimen

itu sendiri. Penamaannya didasarkan pada jenis organisme penghasil sedimen

tersebut dan juga berdasarkan komposisi kimiawinya. Spesifikasi lainnya dibuat

Page 16: Proposal Penelitian Peddy Darwin

berdasarkan struktur, warna, ukuran, dan bahan lain yang terkandung di

dalamnya.

3. Sedimen hydrogenous

Merupakan sedimen yang berasal dari presipitasi air laut ataupun dari

presipitasi perairan intersitial dan juga merupakan hasil dari pemisahan pada awal

reaksi kimiawi bersamaan dengan pengendapan sedimen baru. Redisolusi pada

sedimen jenis ini umum terjadi dan penamaannya didasarkan pada asalnya

(penguapan) dan pada komposisi kimiawi. Spesifikasi tambahan berdasarkan

struktur, warna dan bahan yang terkandung.

Klasifikasi yang digunakan dalam penamaan butir sedimen dikenal dengan skala

Wenthworth seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Klasifikasi Ukuran Butir Menurut SNI.

Nama Partikel Ukuran (mm)Batu Bongkah

KrakalKrikilButiran

>25664 – 2564 – 642 - 24

Pasir Sangat kasarKasarSedangHalusSangat halus

1 – 21/2 - 1

1/4 – 1/21/8 - 1/41/16 – 1/8

Lanau 1/256-1/128Lempung <1/256

(DPU, 2008)

Page 17: Proposal Penelitian Peddy Darwin

2.2.2 Distribusi sedimen

Menurut Pethick (1992), untuk menggambarkan distribusi sedimen pada

suatu daerah digunakan empat parameter statistic, yaitu mean (rata-rata),

pemilahan (sortasi), kepencengan (skewness) dan keruncingan (kurtosis), masing-

masing diuraikan sebagai berikut:

2.2.2.1 Mean

Mean adalah nilai statistic rata-rata dari ukuran butir. Ukuran butir

berhubungan dengan dinamika kondisi transportasi dan deposisi, serta

mencerminkanresistensi butiran terhadap proses pelapukan, erosi, dan abrasi. Hal

ini mencerminkan proses transportasi dan deposisi seperti kemampuan arus dan

angin dalam menggerakan dan mengendapkan sedimen. Dapat dihitung dengan

rumus dibawah ini :

Mean (Me) =

φ 16 + φ 50 + φ 843 (6)

2.2.2.2 Sortasi

Sortasi adalah penyebaran ukuran butir rata-rata. Sortasi dikatakan baik

jika batuan sedimen mempunyai penyebaran ukuran butir terhadap ukuran butir

rata-rata pendek. Sebaiknya jika sedimen mempunyai penyebaran ukuran butir

terhadap rapat ukuran butir panjang disebut ukurannya jelek. Dapat dihitung

dengan rumus di bawah ini :

Sortasi =

φ 84 - φ 16 2 (7)

Adapun hubungan ukuran butir dan sortasi dalam batuan sedimen adalah

terutama berupa pasir kasar sampai pasir halus. Pasir dari berbagai macam

lingkungan air menunjukkanbahwa pasir halus mempunyai sortasi yang lebih baik

Page 18: Proposal Penelitian Peddy Darwin

dari pasir kasar. Sedangkan pasir yang diendapkan oleh angin, sortasi terbaik

terjadi pada ukuran pasir yang sangat halus (Blatt dkk. Dalam Kusumadinata,

1985).

Adapun klasifikasinya berdasarkan standar deviasi sebagai berikut :

Tabel 2.4. Klasifikasi sortasi berdasarkan standar deviasinya.

Kisaran Standar Harga Deviasi Kisaran Sortasi

<0.35 Terpilah sangat baik

0.35 – 0.5 Terpilah baik

0.5 – 1 Terpilah sedang

1 – 2 Terpilah buruk

2 – 4 Terpilah sangat buruk

>4 Terpilah ekstrim buruk

2.2.2.3. Skewness ( Kepencengan)

Folk (1979) menjelaskan bahwa Skewness adalah penyimpangan distribusi

ukuran butir dimana pada bagian tengah dari sampel mempunyai jumlah butiran

paling banyak. Butiran yang lebih kasar serta lebih halus tersebar disisi kanan dan

kiri jumlah yang sama. Jika dalam suatu distribusi ukuran butir berlebihan partikel

kasar, maka kepencengan bernilai negatif. Selanjutnya dijelaskan bahwa ukuran

menentukan jenis kepencengan adalah sebagai berikut : Skewness =

φ 84 + φ 16-2φ 50 (φ 84−φ 16 ) (7)

Tabel 2.5. Penilaian harga kepencengan (skewness)

Tingkat kepencengan Harga kepencengan

Menceng sangat halus +1,00 – (+0,30)

Menceng halus +0,30 – (+0,10)

Menceng simetris +0,10 – (-0,10)

Page 19: Proposal Penelitian Peddy Darwin

Menceng kasar -0,10 – (-0,30)

Menceng sangat kasar -0,30 – (-1,00)

2.2.2.4 Kurtosis ( Keruncingan )

Menurut kusumadinata (1985), kurtosis merupakan salah satu bentuk

butiran sedimen dimana merupakan kemampuan morfologi luar dari sedimen itu.

Sedangkan folk (1974) menjelaskan bahwa kurtosis ini dapat dihitung melalui

grafik kurtosis serta menggabarkan hubungan antara sortasi bagian tengah kurva

dengan bagian bawah, ditambahkan bahwa jika kurva mempunyai keruncingan

relatif ( >100) disebut leptokurtic dan kurva tumpul ( <100) disebut platykurtic.

Selanjutnya dijelaskan bahwa ukuran menentukan jenis keruncingan

adalah sebagai berikut:

Kurtosis =

(φ 95−φ 5 )−( φ 84−φ 16 )(φ 84−φ 16 ) (8)

Tabel 2.6. Klasifikasi menentukan harga kurtosis

Nilai Keruncingan

Puncak sangat tumpul < 0,67

Puncak tumpul 0,67 – 0,90

Puncak cukupan 0,90 – 1,11

Puncak runcing 1,11 – 1,50

Puncak sangat runcing 1,50 – 3,00

Puncak sangat runcing 3,00 ( Folk dan ward, 1985)

Page 20: Proposal Penelitian Peddy Darwin

2.3 Transpor Sedimen Pantai

Fitur lain yang dinamis dari sistem fisik pantai dan nearshore merupakan

littoral transport, didefinisikan sebagai pergerakan sedimen di nearshorezone oleh

ombak dan arus. Litoral transportasi dibagi menjadi dua kelas umum: paralel

transportasi ke pantai (longshore transport) dan transportasi tegak lurus pantai

(transportasi onshore-offshore), bahan yang diangkut disebut drift litoral.

Transportasi darat-lepas pantai ditentukan terutama oleh kecuraman gelombang,

ukuran sedimen, dan kemiringan pantai. Secara umum, tinggi gelombang curam

bergerak material lepas pantai, dan gelombang rendah periode panjang

(kecuraman gelombang rendah) memindahkan bahan darat. Cara gerakan sedimen

di pantai biasanya dibagi menjadi bedload, suspendedload dan sheet flow (CERC,

1984).

Gambar 2.14 menunjukkan cara ini gerakan sedimen yang disebabkan oleh

gelombang pada setiap bagian dari profil pantai skematis.

Gambar 2.14. Cara perpindahan sedimen (CERC, 1984)

Page 21: Proposal Penelitian Peddy Darwin

Salah satu tujuan utama untuk mempelajari fenomena gelombang yang

terjadi di daerah dekat pantai adalah prediksi deformasi pantai yang disebabkan

oleh pergerakan sedimen. Ada berbagai gerakan fluida di daerah dekat pantai. Di

antaranya, gerakan partikel air akibat gelombang dan arus yang menyebabkan

terjadinya gerakan sedimen. Gelombang mendekati garis pantai menyebabkan

gerakan fluida sekunder seperti gelombang permukaan, arus gelombang dan arus

yang mengganggu sedimen dilapisan bawah perairan. Akibatnya, terjadi angkutan

sedimen yang menyebabkan deformasi pantai (Sarawagih, 1995).

Klasifikasi dari cara transportasi sedimen yang dihasilkan Shibayama

(1984) dalam Horikawa (1988) ditunjukkan pada Gambar 2.15 (a) dan. (b). dalam

gambar 2.15 (a), istilah "positif" dan "negatif" menunjukkan arah aliran dalam

(onshore direction) pertama dan kedua (offshore direction) setengah dari periode,

masing-masing. Berbagai cara transportasi sedimen digambarkan sebagai berikut.

Deskripsi berfokus pada partikel pasir yang mulai bergerak selama aliran positif

saja. Dalam klasifikasi ini pola aliran yang sama akan diulang dalam partikel pasir

yang mulai bergerak selama arus negatif sinusoidal

1. Bed load (BL)

Bed bergerak secara datar tanpa riak ataupun pasir sedimen yang

tersuspensi akan mempengaruhi partikel sedimen bergerak sepanjang

permukaan pantai dan mempengaruhi sedimen satu sama lain.

2. Bed load-suspended load intermediate (BSI)

Suspended sedimen dari bed ripple atas. Bed load Bath dan load

tersuspensi ada. Tipe ini dibagi menjadi dua subtipe berikut.

Page 22: Proposal Penelitian Peddy Darwin

Subtipe A (BSI-A) : Ketika panjang ripple dan diameter orbital

partikel air hampir sama, sebagian dari sedimen partikel

menghentikan sementara aliran positif diarahkan terbatas dalam

pusaran, dan kemudian diangkut ke arah negatif setelah perubahan

arah aliran jatuh ke bawah. Di sisi lain, partikel bed load sedimen

yang sudah mulai bergerak selama periode setengah gelombang

pertama diangkut dalam arah yang positif. Oleh karena itu,

transportasi sedimen ditetapkan dalam gerakan dalam periode

setengah gelombang pertama adalah baik dalam arah positif atau

negatif tergantung pada mana dari bed load dan suspended

sediment dominan.

Subtipe B (BSI-B) : Jika panjang ripple jauh lebih pendek dari

diameter orbital partikel air, sedimen partikel menghentikan

sementara aliran positif diarahkan tidak terbatas dalam pusaran,

tetapi yang diangkut dalam arah positif dan disimpan di bagian

bawah.

3. Suspended Load (SL) : angkutan sedimen tersuspensi dominan ini

terbagi menjadi dua subtipe sebagai berikut.

Subtipe A (SL-A) : Jika panjang ripple dan diameter partikel

orbita air hampir sama, sedimen partikel tersuspensi pada periode

setengah gelombang pertama akan terbatas dalam pusaran,

kemudian diangkut ke arah negatif dan disimpan di bagian bawah.

Subtipe B (SL-B) : Jika panjang ripple jauh lebih pendek dari

diameter partikel air orbital, partikel sedimen akan tersuspensi

Page 23: Proposal Penelitian Peddy Darwin

tetapi tidak terbatas dalam pusaran dan diangkut dalam arah positif

dan disimpan di bagian bawah. Jenis ini terjadi sebagai kondisi

transien antara SL mode ke SF.

4. Sheet Flow (SF) : riak gelombang akan menghilang pada kedalaman yang

tinggi dan tegangan geser tinggi. Partikel sedimen bergerak sebagai

lapisan dalam modus SF. Sedangkan butir permukaan hanya berada dalam

gerakan dalam modus BL, sedimen partikel di bawah permukaan serta

pada permukaan bergerak dalam modus SF. Partikel sedimen yang sudah

mulai bergerak pada aliran positif diangkut dalam arah yang positif.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 2.15 di bawah ini.

Page 24: Proposal Penelitian Peddy Darwin

Gambar 2.15. Tipe transport sedimen (a) prinsip sediement transport, (b)

perbedaan transport di subtype A dan subtype B

(Shibayama, 1984 dalam Horikawa, 1988)

2.4 Sedimentasi

Menurut Petijhon (1975), sedimentasi merupakan proses pengendapan

sedimen atau akumulasi dari material pembentuk batuan sedimen pada suatau

tempat yang di sebut dengan lingkungan pengendepan. Lingkungan pengendapan

meliputi delta, danau, pantai, eustuaria, laut dangkal sampai laut dalam. Lebih

lanjut dinyatakan bahwa sedimentasi yang terjadi di eustuaria, contohnya di muara

terjadi akibat menumpuknya sedimen di muara baik yang berasal dari sungai

maupun dari hasil erosi pantai di sekitarnya.

Proses sedimentasi merupakan usaha untuk mencapai keseimbangan,

karena perbedaan ketinggian antara daratan dengan dasar laut merupakan suatu

yang seimbang. Seperti halnya di Indonesia yang mempunyai 2 musim yaitu

musim penghujan dan musim kemarau, pada musim penghujan banyak sungai

membawa sedimen ke laut (Ongkosongo, 1984).

Proses erosi, pengangutan, dan pengendapan sedimen tergantung pada dua

faktor, yaitu sifat fisika-kima sedimen itu sendiri dan kondisi hidrologi di

sekitarnya (Mcdowell dan O’Conner, 1997 dalam lutfie, 1998). Pada eusteria

endapan sedimen didominasi oleh pasir dan gravel, karena hanya partikel yang

berukuran besar saja yang bisa mengendap lebih cepat, sedangkan yang berukuran

kecil akan terbawa ke tempat yang lebih jauh oleh aktifitas arus dan gelombang.

Page 25: Proposal Penelitian Peddy Darwin

Baik air tawar dan air laut mempunyai tendensi untuk mengendapkan butiran

kasar terlebih dahulu (Nybakken, 1998).

Menurut Painter (1976), laju pergerakan dan penyebaran sedimen dalam

perairan adalah fungsi dari karakterisitik sedimen yang meliputi ukuran dan

densitas serta karakteristik dari agennya terutama kecepatan aliran, pola aliran

turbulan dan laminar.

Sedimen di estuari menurut Nybakken (1992) keberadaannya didominasi

oleh substrat lumpur yang seringkali sangat lunak. Substrat yang berlumpur ini

berasal dari sedimen yang dibawa ke estuari baik oleh air laut maupun air tawar.

Mengenai air tawar, mengangkut partikel lumpur dalam bentuk suspensi. Ketika

partikel suspensi ini mencapai dan bercampur dengan air lautdi estuari, kehadiran

berbagai ion yang berasal dari air laut menyebabkan partikel lumpur menggumpal

membentuk partikel yang lebih besar dan lebih berat serta terendapkan.

Cara pengangkutan sedimen dalam aliran sungai menurut Selley (1998),

ada tiga macam yaitu:

1. Sedimen merayap (bad load) yaitu material yang terangkut secara

menggeser dan menggelinding ke dasar sungai.

2. Sedimen loncat (saltation load) yaitu material yang meloncat-loncat

bertumpu pada dasar sungai.

3. Sedimen laying (suspended bad) yaitu material yang terbawa arus

dengan cara melayang-layang dalam air.

Sebagian besar dasar laut yang dalam ditutupi oleh jenis-jenis partikel-

partikel yang berukuran kecil yang terdiri dari sedimen halus, sedangkan hampir

Page 26: Proposal Penelitian Peddy Darwin

semua pantai ditutupi oleh jenis partikel-partikel yang berukuran besar yang

terdiri dari sedimen kasar.

Penentuan ukuran butir standar untuk penamaan mengacu pada beberapa

versi antara lain skala Wentword seperti dikemungkakan (1984) dalam Gunawan

(2002) dapat di lihat pada tabel 1.

Tabel 1. Ukuran Butir skala Wentword

Jenis Kisaran Ukuran Butir

BongkahBerangkalKerakalKerikilPasir sangat kasarPasir kasarPasir sedangPasir halusPasir sangat halusLanau kasarLanau sedangLanau sangat halusLempung kasarLempung sedangLempung halus

> 25664-2564-64 2-41-2½-1¼ - ½1/8 - ¼1/16 - 1/81/32 - 1/161/64 - 1/321/256 - 1/641/512 - 1/2561/1024 - 1/512<1/1024

2.5.1. Transpor Sedimen

Dua aspek besar dalam tranpor sedimen adalah kecepatan pengendapan

partikel dan aliran fluida:

1. Kecepatan fluida

Hal yang paling mendasar pada pergerakan partikel setelah transportasi

kecepatan serta laju pengendapan. Proses ini ditemukan oleh ukuran,

spheresitas, dan densitas dari partikel.

Page 27: Proposal Penelitian Peddy Darwin

2. Aliran fluida

Petick (1984) membagi jenis-jenis aliran menjadi dua, yaitu: aliran laminar

dan turbulent. Pada aliran laminar tiap lapisan bergerak paralel satu dengan

lainnya, sedangkan aliran turbulent terjadi pada viskositas yang rendah

dengan kecepatan yang tinggi dimana partikel air bergerak dalam

lingkungan acak sepanjang fluida. Sedangkan Canonca (1991) mengatakan

bahwa aliran laminar terjadi jika garis lintasan dan partikel-partikel tidak

memotong aliran. Sedangkan aliran turbulent terjadi jika partikel-partikel

yang bergerak sepanjang garis lintasan yang berupa lengkungan-

lengkungan tak teratur dan memotong satu sama lainnya.

Seibold dan Berger (1993) mengatakan bahwa kecepatan aliran kurang

hingga nol pada asaat dasar dengan sendirinya. Oleh karena itu nilai kecepatan

aliran yang diberikan hanya sesuai untuk beberapa jarak (dekat) dari dasar.

Selanjutnya diterangkan pula bahwa secara pasti besarnya pengaruh arus dekat

dasar tergantung pada kekasaran permukaan dan pada turbelensi yang dihasilkan.

Turbelensi menghasilkan perubahan mendadak pada benturan air terhadap butiran

yang berada di permukaan dasar. Ketika kecepatan arus meningkat frekuensi dan

gaya dorong akibatnya benturan juga meningkat dan beberapa butiran juga

bergerak, hal ini juga mengakibatkan benturan antar butiran. Sehingga lebih cepat

dan lebih banyak butiran yang mulai menggulung dan melompat di atas perairan.

2.5.2 Pola Sedimentasi Muara Sungai Yang Didominasi Oleh Pasang Surut

Page 28: Proposal Penelitian Peddy Darwin

Muara sungai dapat dibedakan dalam tiga kelompok, yang tergantung pada

faktor dominan yang mempengaruhinya. Ketiga faktor dominan tersebut adalah

gelombang, debit sungai dan pasang surut (Yuwono, 1994 dalam Triatmodjo,

1999) walaupun ketiga faktor ini bekerja secara simultan, namun salah satu faktor

tersebut memberikan pengaruh besar terhadap morfologi muara sungai.

Apabila tinggi pasang surut cukup besar, volume air pasang yang masuk ke

sungai sangat besar. Air tersebut akan terakumulasi dengan air dari hulu sungai.

Pada waktu air surut, volume air yang sangat besar tersebut mengalir keluar dalam

periode waktu tertentu yang tergatung besar, yang cukup potensial untuk

membentuk muara sungai dapat lihat pada gambar 4.

Muara sungai tipe ini berbentuk corong atau lonceng seperti dalam Gambar

berikut ini. Biasanya tipe muara ini terjadi ditempat yang perbedaan antara pasang

dan surutnya sangat besar bisa mencapai 9 meter (Triatmodjo,1999).

Gambar 4. Pola sedimentasi muara sungai yang disominasi pasang surut.

Sedimentasi adalah masuknya muatan sedimen ke dalam suatu

lingkungan perairan tertentu melalui media air dan diendapkan di dalam

lingkungan tersebut. Sedimentasi yang terjadi di lingkungan pantai menjadi

persoalan bila terjadi di lokasi-lokasi yang terdapat aktifitas manusia yang

Page 29: Proposal Penelitian Peddy Darwin

membutuhkan kondisi perairan yang dalam seperti pelabuhan, dan alur-alur

pelayaran, atau yang membutuhkan kondisi perairan yang jernih seperti tempat

wisata, ekosistem terumbu karang atau padang lamun. Untuk daerah-daerah yang

tidak terdapat kepentingan seperti itu, sedimentasi memberikan keuntungan,

karena sedimentasi menghasilkan pertambahan lahan pesisir ke arah laut.

Sedimentasi di suatu lingkungan pantai terjadi karena terdapat suplai

muatan sedimen yang tinggi di lingkungan pantai tersebut. Suplai muatan

sedimen yang sangat tinggi yang menyebabkan sedimentasi itu hanya dapat

berasal dari daratan yang dibawa ke laut melalui aliran sungai. Pembukaan lahan

di daerah aliran sungai yang meningkatkan erosi permukaan merupakan faktor

utama yang meningkatkan suplai muatan sedimen ke laut. Selain itu, sedimentasi

dalam skala yang lebih kecil dapat terjadi karena transportasi sedimen sepanjang

pantai

Karakteristik sedimentasi di perairan pesisir terjadi perlahan dan

berlangsung menerus selama suplai muatan sedimen yang tinggi terus

berlangsung. Perubahan laju sedimentasi dapat terjadi bila terjadi perubahan

kondisi lingkungan fisik di daerah aliran sungai terkait. Pembukaan lahan yang

meningkatkan erosi permukaan dapat meningkatkan laju sedimentasi. Sebaliknya,

pembangunan dam atau pengalihan aliran sungai dapat merubah kondisi

sedimentasi menjadi kondisi erosional.(Widada, 2002).

2.6. Arus

Menurut Bowditch (1995), air yang bergerak disebut arus (current); arah

pergerakannya disebut set, dan kecepatan arus disebut drift. Sedangkan menurut

Page 30: Proposal Penelitian Peddy Darwin

Hutabarat dan Evans (1986), arus air laut adalah pergerakan massa air secara

vertikal dan horizontal sehingga menuju keseimbangannya, atau gerakan air yang

sangat luas yang terjadi di seluruh lautan dunia. Sedangkan menurut Nontji

(1993), arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dapat disebabkan

oleh tiupan angin, atau karena perbedaan dalam densitas air laut atau dapat pula

disebabkan oleh gerakan bergelombang panjang. Yang terakhir ini termasuk

antara lain arus yang disebabkan oleh pasang surut.

Transpor masa dan momentum dalam penjalaran gelombang menimbulkan

arus di dekat pantai. Di beberapa daerah yang dilintasinya, perilaku gelombang

dan arus yang ditimbulkan berbeda. Di daerah lepas pantai (offshore zone)

gelombang menimbulkan gerak orbit partikel air, gerak orbit partikel air tidak

tertutup sehingga menimbulkan transpor masa air. Transpor tersebut dapat disertai

dengan terangkutnya sedimen dasar dalam arah menuju pantai (onshore) dan

meninggalkan pantai (offshore). Gelombang pecah menimbulkan arus dan

turbulensi yang sangat besar yang dapat menggerakkan sedimen dasar.gerak

massa air tersebut disertai dengan terangkutnya sedimen. Arus yang terjadi si surf

zone dan swash zone adalah yang paling penting di dalam analisis pantai, dimana

sangat tergantung pada arah datang gelombang (Triatmodjo, 1999).

Triatmodjo (1999) menyebutkan Arus pasang terjadi pada waktu pasang

dan arus surut terjadi pada saat periode air surut. Titik balik (slack) adalah saat di

mana arus berbalik antara arus pasang dan arus surut. Titk balik ini isa terjadi

pada saat muka air tertinggi dan muka air terendah. Pada saat tersebut kecepatan

arus adalah nol.

Page 31: Proposal Penelitian Peddy Darwin

Arus sepanjang pantai dapat juga dibentuk oleh pasang surut permukaan

laut. Diperairan sempit seperti teluk dan selat, pasang surut merupakan penyebab

utama, dan kecepatan arus yang dihasilkan dapat mencapai 2 knot (1m/det)

(Pratikto et al., 1997).

Pola sirkulasi arus global berdasarkan hasil penelitian Wyrkti (1961) seperti

pada gambar-gambar berikut ini :

Gambar 5. Pola Arus Permukaan pada Bulan Februari (Wyrkti, 1961)

Gambar 6. Pola Arus Permukaan pada Bulan April (Wyrkti, 1961)

Page 32: Proposal Penelitian Peddy Darwin

Gambar 7. Pola Arus Permukaan pada Bulan Juni (Wyrkti, 1961)

Gambar 8. Pola Arus Permukaan pada Bulan Agustus (Wyrkti, 1961)

Gambar 9. Pola Arus Permukaan pada Bulan Oktober (Wyrkti, 1961)

Page 33: Proposal Penelitian Peddy Darwin

Gambar 10. Pola Arus Permukaan pada Bulan Desember (Wyrkti, 1961)

Dari pola sirkulasi arus global berdasarkan hasil penelitian Wyrkti (1961)

seperti pada Gambar 5 sampai 10 di atas dapat disimpulkan bahwa arus dominan

di sekitar perairan Arafuru (offshore Ajkwa) pada bulan :

Februari : ke arah timur-timur laut

April : ke arah tenggara

Juni : ke arah utara

Agustus : ke arah barat laut

Oktober : ke arah tenggara-selatan

Desember : ke arah tenggara

Dari data tersebut, probabilitas kejadian arus adalah

ke arah timur dan tenggara sebanyak 4 bulan dari 6 bulan (sebesar 67%)

ke arah utara dan barat laut sebanyak 2 bulan dari 6 bulan (sebesar 33%)

2.7. Gelombang

Gelombang di laut dapat dibedakan menjadi beberapa macam yang

tergantung pada gaya pembangkitnya. Gelombang tersebut adalah gelombang

angin yang dibangkitkan oleh tiupan angin di permukaan laut, gelombang pasang

surut dibangkitkan oleh gaya tarik benda-benda langit terutama matahari dan

bulan terhadap bumi, gelombang tsunami terjadi karena letusan gunung berapi

Page 34: Proposal Penelitian Peddy Darwin

atau gempa di laut. Gelombang dapat menimbulkan energi untuk membentuk

pantai, menimbulkan arus dan transpor sedimen dalam arah tegak lurus dan

sepanjang pantai (Triatmodjo, 1999).

Apabila gelombang yang terjadi membentuk sudut dengan garis pantai,

maka akan terjadi dua proses angkutan sedimen yang bekerja secara bersamaan,

yaitu komponen tegak lurus dan sejajar garis pantai. Sedimen yang tererosi oleh

komponen tegak lurus pantai akan terangkut oleh arus sepanjang pantai sampai ke

lokasi yang cukup jauh. Akibatnya apabila ditinjau di suatu lokasi, pantai yang

mengalami erosi pada saat terjadi badai tidak dapat terbentuk kembali pada saat

gelombang normal, karena material yang tererosi telah terbawa ke tempat lain.

Dengan demikian, untuk suatu periode waktu yang panjang, gelombang datang

akan membentuk sudut terhadap garis pantai dapat menyebabkan mundurnya

(erosi) garis pantai (Triatmodjo, 1999).

Menurut Pratikto et al. (1997), Gelombang yang datang mendekati pantai

cenderung mengepung tanjung, dan mengkonsentrasikan energinya disisi muka

dan samping tanjung tersebut. Perlindungan ekstra sangat diperlukan untuk daerah

pantai yang memiliki bagian yang menjorok kelaut. Sementara di daerah teluk,

dimana garis pantai lebih panjang dibanding tanjung, energi gelombang

cenderung disebar ke sepanjang garis pantai.

2.8. Pasang surut

Pasang surut adalah flutuasi muka air laut sebagai fungsi waktu karena

adalah gaya tarik benda-benda di langit, terutama matahari dan bulan terhadap

massa air laut di bumi. Mesipun massa bulan jauh lebih kecil dari massa matahari,

Page 35: Proposal Penelitian Peddy Darwin

tetapi karena jaraknya terhadap bumi jauh lebih dekat, msks pengaruh gaya tarik

bulan terhadap bumi lebih besar daripada pengaruh gaya tarik matahari

(Triatmodjo, 2003).

Bentuk pasang surut di berbagai daerah tidak sama. Di suatu daerah dalam

satu hari dapat terjadi satu kali atau dua kali pasang surut. Secara umum pasang

surut di berbagai daerah dapat dibedakan dalam empat tipe, yaitu:

1. Pasang Surut Harian Tunggal yaitu dalam satu hari terdapat satu kali pasang

dan satu kali surut.

2. Pasang Surut Harian Ganda yaitu dalam satu hari terdapat dua kali pasang dan

dua kali surut.

3. Pasang Surut Campuran condong keharian tunggal yaitu dalam satu hari

terdapat satu kali pasang dan satu kali surut tapi kadang-kadang terjadi dua

kali pasang atau dua kali surut.

4. Pasang surut campuran condong keharian ganda yaitu dalam satu hari terdapat

dua kali pasang dan dua kali surut namun tinggi dan periodenya sangat

berbeda.

(Triatmodjo, 1999).

2.9 Sumber data spasial

Page 36: Proposal Penelitian Peddy Darwin

SIG membutuhkan masukan data yang bersifat spasial maupun deskriptif.

Beberapa sumber data tersebut antara lain:

1. Peta analog

Peta analog adalah peta dalam bentuk cetakan. Peta analog dapat berupa peta

topografi, peta tanah dan sebagainya. Pada umumnya peta analog dibuat

dengan teknik kartografi, sehingga sudah mempunyai referensi spasial seperti

koordinat, skala, arah mata angin dan sebagainya. Referensi spasial pada peta

analog memberikat koordinat sebenarnya di permungkaan bumi pada peta

digital yang dihasilkan. Biasanya peta analog direpresentasikan dalam format

vektor;

2. Data dari sistem penginderaan jauh

Data penginderaan jauh dapat dikatakan sebagai sumber data yang terpenting

bagi SIG, karena ketersediaan secara berkala. Data penginderaan jauh dapat

berupa citra satelit, foto udara, DEM dan sebagainya. Dengan adanya

bermacam-macam satelit di ruang angkasa dengan spesifikasi masing-

masing, kita dapat menerima berbagai jenis citra satelit untuk beragam tujuan

pemakaian. Data ini biasanya direpresentasikan dalam bentuk raster;

3. Data hasil pengukuran lapangan

Contoh data hasil pengukuran lapangan adalah data batas administrasi, batas

kepemilikan lahan, batas persil, batas pengusahaan lahan dan sebagainya.

Data ini dihasilkan berdasarkan teknik perhitungan sendiri. Pada umumnya

data ini merupakan sumber data atribut; dan

4. Data GPS

Page 37: Proposal Penelitian Peddy Darwin

Teknologi GPS memberikan terobosan penting dalam menyediakan data bagi

SIG. Keakuratan pengukuran GPS semakin tinggi dengan semakin

berkembangnya teknologi. Data ini biasanya direpresentasikan dalam format

vektor (Puntodewo, 2003).

2.9.1 Analisis data spasial

Anlisis adalah proses pengambilan makna dan kesimpulan dari sekumpulan

imformasi SIG, yang membantu menyederhanakan analisis keruangan dalam

perumusan kesimpulan. Analisis spasial dapat digunakan untuk mengkaji proses

dunia nyata dengan mengembangkan dan menerapkan model yang

menggambarkan kecendrungan dalam data spasial dan dengan demikian akan

menciptakan informasi baru.

SIG dapat menajamkan proses tersebut dengan peralatan yang tersedia yang

dapat dikombinasikan dalam urutan yang mengembangkan model baru. Hasil dari

analisis geografis dapat dikomunikasikan dalam bentuk peta atau laporan. Dalam

analisis iniperlu disiapkan pula untuk analisis (Sumiyattinah, 2000) untuk lebih

jelas, dapat dilihat pada gambar 14.

Gambar 14. Anilisis Spasial dengan Mengunakan SIG (CCSR, 2002).

2.9.2 Basis data dalam SIG

A. de By (2000) dalam wibowo (2006) menjelaskan basis data dalam basis

data dalam SIG merupakan data geografis permungkaan bumi yang strukturnya

Page 38: Proposal Penelitian Peddy Darwin

meliputi posisi dan hubungan topologi, baik yang berupa data spasial maupun

non-spasial. Data menggambarkan objek dan fenomena geografisnya. Fenomena

geografis berupa konsep fenomologis, seperti kota, sungai, daratan tinggi/rendah,

struktur tanah, lautan dan kondisi lingkungan termasuk limbah. Objek mengacu

pada lokasinya.di permungkaan buni dengan menggunakan koordinat lokal,

nasional, dan internasional. Semua data tersebut dapat dikumpulkan dalam basis

data geografi.

Meneurut Paryono (1994), bahwa SIG dirancang untuk membentuk suatu

basis data terorganisasi dari berbagai peluang data keruangan (spasial) dari atribut

yang mempunyai keterkaitan geografi yang disimpan dalm basis data SIG

berbentuk lapis (layer) informasi sesuai dengan temanya (Purwadhi, 1999).

2.9.3 Integrasi Penginderaan jauh dengan sistem imformasi geografi

SIG merupakan alat atau sarana analisis apasial yang sangat bermamfaat

untuk menurunkan informasi baru berdasrakan sekumpulan informasi tematik.

Secara umum, peranan penginderaan jauh yaitu memberiakan informasi tematik

yang siap diolah dalam lingkunga SIG.

Integrasi dalam pengolahan data mulai awal sampai akhir,

mempertimbangkan adanya masalah perbedaan antar data yang disebabkan oleh

bentuk, struktur asli, serta sifat-sifatnya. Integrasi penginderaan jauh dengan SIG

sudah lama menjadi masalah, sehubungan denag adanya perbedaan struktur dan

karakteristik data yang diperoleh melalui prosedur yang berbeda-beda.

Produk penginderaan jauh seringkali mempunyai kerincian geometri yang

relative rendah, namun memeliki keunggulan dalam hal penentuan batas satuan

pemetaan. Di sisi lain, pengunaan data citrra satelit biasanya memiliki kekurangan

Page 39: Proposal Penelitian Peddy Darwin

karena resolisi spasialnya yang relative rendah, namun sekaligus mempunyai

keuntungan karena kerincian geometri yang lebih tinggi.

Apabila keduanya dipadukan, maka satu sama lain dapat saling melengkapi.

Hasil dari perpaduan ini dapat menonjolkan keunggulan masing-msaingsistem.

Hal ini dapat dilakukan apabila kedua sumber data telah kompatibel satu sama

lain dalam format atau struktur data, serta diperlakukan oleh sistem pengolahan

yang sama, yaitu SIG (Danoedoro, 1996).

Menurut Baja (1996) dalam Husein (1999), bahwa data masukan SIG dapat

beragam jenis serta formatnya. Salah satu contoh adalah informasi yang diperoleh

melalui pemanfaatan teknologi inderaja, baik berupa hasil interpretasi foto udara

maupun penerapan metode pemrosesan citra digital yang diinkorporasikan dala

teknologi SIG. dengan berbasis “georeference” dalam SIG, dimungkinkan adanya

penggabungan beragam informasi, baik spasial maupun deskriptif.

2.10 Penginderaan Jauh Untuk Informasi Spasial Material Padatan

Tersuspensi

Untuk memetakan sebaran TSS, pendekatan pengambilan sampel dan

penggunaan teknik penginderaan jauh telah banyak dilakukan. Data penginderaan

jauh tidak hanya dipakai untuk data atau inventarisasi saja tapi sekaligus untuk

fungsi pemantauan. Hal ini dimungkinkan karena data penginderaan jauh dapat

diperoleh secara multitemporal. Penginderaan jauh sistem satelit merupakan salah

satu sistem penginderaan jauh yang sudah dikembangkan Landsat TM dan SPOT.

Page 40: Proposal Penelitian Peddy Darwin

Penginderaan jauh sistem satelit sering digunakan dalam berbagai

penelitian karena di samping kemampuan multispektral dari sensornya, juga

karena begitu pesat perkembangan pengolahan dan analisis datanya.

III. MATERI DAN METODE

Page 41: Proposal Penelitian Peddy Darwin

III.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Teluk Lampung . Perairan Teluk lampung

terletak di bagian paling Selatan dari Pulau Sumatera yang dipengaruhi oleh

pasang smut air laut Samudera Hindia dan Laut Jawa serta dikelilingi oleh

perbukitan. Letak geografis dari Teluk Lampung terletak pada 105′ sampai dengan

105′45′ Bujur Timur dan 5′15’ sampai dengan 6′ Lintang Selatan.

Mengingat letak yang demikian ini daerah Kabupaten Lampung Selatan

seperti halnya daerah-daerah lain di Indonesia merupakan daerah tropis.

Batas-batas wilayah dari perairan Teluk Lampung :

Sebelah Utara berbatasan dengan wilayah Kabupaten Lampung Tengah

dan Lampung Timur.

Sebelah Selatan berbatasan dengan Selat Sunda.

Sebelah Barat berbatasan dengan wilayah Bandar Lampung dan

Kabupaten Pesawaran

Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Jawa.

III.2 Variabel Penelitian

Variabel adalah objek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian suatu

penelitian (Arikunto, 2006: 96). Variabel dalam penelitian ini adalah informasi

spasial material padatan tersuspensi di perairan Teluk Lampung.

III.3 Alat dan Bahan

Page 42: Proposal Penelitian Peddy Darwin

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Laptop dengan spesifikasi, intel core i3-2310M CPU @ 2.10 GHz,

memori 2 GB, HDD 500 GB.

b. Software : ER Mapper 7.0, ArcGIS 10, Microsoft Word/Excell.

c. Printer

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :

a. Data citra satelit penginderaan jauh ASTER perekaman tahun 2000

dan 2010.

b. Peta Rupabumi , skala 1:25000, publikasi BAKOSURTANAL tahun

2010.

III.4 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode dokumentasi dan metode penginderaan jauh.

III.4.1 Metode Dokumentasi

Metode dokumentasi digunakan dalam rangka mengumpulkan data-data

spasial dari instansi terkait untuk mendapatkan data yang relevan. Metode

dokumentasi merupakan metode pengumpulan data melalui sumber-sumber

tertentu berasal dari literatur dan studi katalog citra.

a) Studi literatur dimaksudkan untuk mencari tentang teori-teori material

padatan tersuspensi.

Page 43: Proposal Penelitian Peddy Darwin

b) Studi katalog citra digunakan untuk mempelajari dan memilih data citra

yang akan digunakan sebagai data citra yang akan digunakan sebagai

data raster dalam pemetaan.

III.4.2 Metode Penginderaan Jauh

Pengumpulan data dengan menggunakan metode penginderaan jauh yaitu

berdasarkan analisa data digital citra penginderaan jauh yang menunjukan nilai

nilai dan sebaran material padatan tersuspensi. Nilai dan sebaran material padatan

tersuspensi ini diperoleh menggunakan sebuah algoritma/rumus yang diproses

menggunakan software ER Mapper 7.0.

III.5 Metode Analisis Data

Analisis data merupakan proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang

lebih mudah dibaca dan dapat diinterpretasi.

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

analisis spasial. Metode analisis spasial merupakan metode yang menganalisis

kenampakan keruangan material padatan tersuspensi meliputi sebarannya dan

berapa besar perubahan material padatan tersuspensi dari tahun 2000 s/d 2010.

III.6 Pengolahan Citra Penginderaan Jauh ASTER

III.6.1 Visualisasi Citra

Visualisasi citra yang terdapat di ER Mapper terdapat beberapa mode

tampilan diantaranya adalah mode tampilan pseudelayer, mode RGB dan mode

Hue Saturation Intensity. Pseudocolor Display, menampilkan citra dalam warna

hitam putih (greyscale), biasanya hanya terdiri dari satu layer/band saja. Red-

Page 44: Proposal Penelitian Peddy Darwin

Green-Blue pada satu layer (Red/Green/Blue), cara ini disebut juga color

composite. Hue-Saturation-Intensity (HIS), menampilkan citra melalui komposisi

tiga band, setiap band ditempatkan pada satu layer (Hue/Saturation/Intensity), cara

ini biasanya digunakan bila kita menggunakan dua macam data yang berbeda,

misalkan data Radar dengan data ASTER.

III.6.2 Pembuatan Citra Komposit Warna

Cara komposit warna adalah penggabungan beberapa saluran pada citra

yang menghasilkan citra baru dan ditampilkan secara serentak pada layer monitor.

Setiap saluran pada citra satelit memiliki keunggulan dalam menonjolkan

fenomena tertentu pada permukaan lahan. Modifikasi warna dan masukan saluran

yang digunakan dapat membantu dalam penyajian fenomena permukaan bumi

yang lebih interpretative.

III.6.3 Koreksi Geometri

Data mentah penginderaan jauh pada umunya mempunyai kesalahan

geometris. Oleh sebab itu sebelum mengolah data tersebut harus melakukan

koreksi. Karakteristik geometri harus benar-benar dipertimbangkan pada saat data

citra akan digunakan untuk :

a. Menurunkan informasi koordinat 2 dimensi (x, y) dan 3 D (x, y, z).

Deskripsi 2D dapat diturunkan dari foto maupun citra tunggal. Untuk

3D dapat diturunkan dari foto stereo maupun citra, untuk

mendapatkan informasi 3D dibutuhkan proses orientasi.

b. Menggabungkan 2 data citra untuk tujuan analisis dan proses

integrasi. Sebagai contoh, apabila kita melakukan analisis dengan

Page 45: Proposal Penelitian Peddy Darwin

menggunakan data SPOT dan ASTER, kedua data tersebut harus

mempunyai sistem koordinat yang sama.

c. Menggabungkan data citra (raster) dengan data vektor untuk

keperluan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan cara overlay,

kedua data tersebut harus mempunyai koordinat yang sama. Tujuan

dari koreksi geometri tersebut adalah melakukan koreksi citra

terhadap peta yang telah mempunyai koordinat yang benar. Sehingga

diperlukan satu Titik Kontrol Tanah ( Ground Control Point) dengan

distribusi penyebaran titik harus merata. Metode koreksi geometri

yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode relokasi pixel

(polynomial) dan metode resampling (nearest neighbor).

III.6.4 Koreksi Radiometri

Koreksi radiometri adalah koreksi untuk mengurangi kesalahan radiometri

yaitu kesalahan yang berupa pergeseran nilai atau derajat keabuan elemen gambar

(pixel) pada citra.

Radiometri citra penginderaan jauh satelit mempunyai kualitas citra digital.

Radiometri berhubungan dengan kekuatan sinyal, kondisi atmosfer (hamburan,

serapan, dan tutupan awan) dan saluran spektral yang digunakan dalam

perekaman data penginderaan jauh. Oleh karena itu penggunaan citra

penginderaan jauh digital sangat dipengaruhi oleh kualitas citra atau kemampuan

koreksi datanya, sehingga informasi yang diperoleh cukup akurat dan andal

(Purwadhi, 2008).

Page 46: Proposal Penelitian Peddy Darwin

Penyebab kesalahan radiometri dapat dibedakan dalam 3 kelompok yaitu,

kesalahan pada sistem pada optik, kesalahan karena gangguan energi radiasi

elektromagnetik pada atmosfer, kesalahan karena pengaruh sudut elevasi

matahari.

Metode dalam koreksi radiometri adalah Histogram Adjustment

(penyesuaian histogram). Metode tersebut adalah salah satu metode yang

digunakan untuk meminimalkan bias atmosfer yang terjadi.

III.6.5 Penajaman Citra

Penajaman citra adalah teknik peningkatan kontras warna dan cahaya dari

suatu citra sehingga memudahkan untuk interpretasi dari analisis citra. Histogram

adalah suatu tampilan grafik dari distribusi frekuensi relatif dalam suatu dataset.

Suatu kotak dialog transformasi akan menampilkan histogram data masukan dan

data keluaran setelah ditransformasi dan garis transformasi.

III.6.6 Informasi Spasial Kandungan Material Padatan Tersuspensi

Dalam pengolahan citra satelit penginderaan jauh ASTER untuk

mengetahui informasi kandungan material padatan tersuspensi serta pola

persebarannya menggunakan sebuah algoritma yang telah baku dan

dikembangkan oleh beberapa peneliti sebelumnya (Nurhayati, 2007). Algoritma

yang digunakan tersebut diuraikan pada bagian di bawah ini :

Sumber : (Nurhayati, 2007)

MPT (gr/ltr) = Nilai Spektral Citra (Band 2) + 11.246 111.002

Page 47: Proposal Penelitian Peddy Darwin

DAFTAR PUSTAKA