TUGAS PROPOSAL PENELITIAN MATA KULIAH TEKNIK PENULISAN TULISAN ILMIAH Analisa Pola Sebaran Sedimen Tersuspensi Di Perairan Teluk Lampung Menggunakan Data Citra Satelit ASTER Oleh : PEDDY DARWIN SIMBOLON K2E 009 013 PROGRAM STUDI OSEANOGRAFI JURUSAN ILMU KELAUTAN
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
TUGAS PROPOSAL PENELITIAN
MATA KULIAH TEKNIK PENULISAN TULISAN ILMIAH
Analisa Pola Sebaran Sedimen Tersuspensi Di Perairan Teluk Lampung
Menggunakan Data Citra Satelit ASTER
Oleh :
PEDDY DARWIN SIMBOLON
K2E 009 013
PROGRAM STUDI OSEANOGRAFI
JURUSAN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2012
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia secara fisik memiliki sekitar 17.500 pulau, dengan total panjang
garis pantai mencapai 81.000 km serta luas wilayah laut yang mencakup 70 persen
dari total luas wilayah Indonesia (DKP, 2001). Selain itu terdapat pula teritorial
laut teritorial seluas 3,1 juta km2 (Dehidros 1992).
Wilayah pesisir memilliki potensi sumber daya alam yang sangat
melimpah, mulai dari potensi sumber daya hewani (ikan,kerang,cumi,dll), potensi
mangrove dan karang, sampai pada potensi bahan tambang. Potensi dari sektor
perikanan yang berlimpah mencapai 6,2 ton per tahun dan baru dimanfaatkan
sekitar 59% dari potensi lestarinya (DKP, 2001).
Potensi lain yang tak kalah melimpahnya adalah bahan tambang misalnya
gas dan minyak bumi,timah,pasir kuarsa perhubungan laut,jasa lingkungan untuk
pariwisata dan jasa-jasa lainnya. Selain itu, ekosistem pesisir Indonesia berpotensi
untuk menyediakan energi non konvensional dari gelombang laut dan perbedaan
pasang surut.
Disamping potensi sumber daya alamnya yang melimpah dan dapat
dikembangkan,wilayah pesisir juga memiliki potensi bencana yang diakibatkan
oleh alam, manusia maupun kombinasi keduanya. Potensi bencana di wilayah
pesisir antara lain ancaman abrasi/erosi pantai, tsunami,gelombang pasang,
kenaikan muka air laut (sea level rise), banjir, sedimentasi, pencemaran dan
sebagainya. Hal ini makin diperburuk dengan situasi dan kondisi yang cukup
rentan akibat dari kompleksitas pesatnya pertumbuhan wilayah pesisir yang sering
mengabaikan aspek-aspek mitigasi bencana alam yang terdapat di dalam Undang-
Undang No.27 Tahun 2007.
Perairan Teluk lampung terletak di bagian paling Selatan dari Pulau
Sumatera yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut Samudera Hindia dan Laut
Jawa serta dikelilingi oleh perbukitan. Rataan pesisir di sekitar teluk secara umum
sempit di bagian Selatan dan lebih melebar ke arah Panjang, Teluk Betung.
Daerah rataan pesisir yang agak lebar sudah banyak ditemukan tempat
pemukiman penduduk dan pabrik-pabrik. Pabrik-pabrik yang ditemukan adalah
pabrik penimbunan semen toraja, pabrik pemotong kertas, kayu lapis,
pengalengan minyak kelapa serta tempat penimbunan batu bara. Pelabuhan
bongkar muat kapal barang antar pulau yang terkenal adalah pelabuhan Panjang
berlokasi di Panjang. Kondisi pantai perairan Teluk Lampung, di sisi timur antara
Teluk Betung hingga ke Tanjung Saliki kurang lebih 70 % telah ditanggul dengan
batuan koral dan batuan breksi serta ada yang telah dan sedang direklamasi.
Sungai merupakan salah satu sumber pemasok bahan organik dan
sedimen ke perairan. Suspensi biasanya didapat dari lanau dan lempung yang
diterbangkan ‘oleh angin dan pada waktu hujan turun kedua jenis sedimen ini
terbawa oleh aliran air dan masuk ke aliran sungai dan selanjutnya bermuara di
laut (Selley, 1976). Aliran sungai yang membawa sedimen akan mengendapkan
pasir di mulut sungai dan di sekitar perairan dekat muara sungai, sedangkan lanau
dan lempung di endapkan di dasar perairan lepas pantai (Postma ,1961,1967). Di
wilayah perairan Teluk Lampung ditemukan beberapa sungai yang bermuara di
perairan tersebut sehingga menyebabkan suplai sedimen dari daratan ke perairan
Teluk Lampung cukup tinggi sehingga mempunyai dampak negatif terhadap
kedalaman laut.
Dampak dari tingginya suplai sedimen adalah pendangkalan yang
berlangsung dalam waktu relatif cepat, sehingga merugikan dari segi pelayaran
kapal. Umumnya sebaran suspensi akan mengendap ke dasar perairan selama
kurang lebih 2 sampai dengan 3 jam dalam keadaan air tenang. Suspensi yang
mengendap ini akan bergerak bersamaan dengan waktu air laut menuju surut
(Carter,1988). Suspensi normal berkisar dibawah angka 10 mg/l (Rogers, 1990).
Sedangkan menurut Menteri Negara KLH (1988), kandungan suspensi yang
normal lebih kecil dari 80mg/l.
Perkembangan teknologi penginderaan jauh telah menghasilkan banyak
jenis sensor satelit yang unik yang mempunyai kesempatan untuk menggantikan
landsat untuk berbagai jenis penelitian salah satunya untuk studi identifikasi pola
sebaran sedimen tersuspensi. Berdasarkan karakteristiknya salah satu sensor yang
memiliki banyak karakteristik yang sama dengan landsat adalah ASTER yang
mengorbit pada Terra Platform.
ASTER mempunyai karakteristik 8 bit yang sama dengan landsat dan
juga mempunyai karakteristik spektral yang hampir sama dengan landsat, kecuali
ketiadaan saluran biru pada kombinasi saluran ASTER. Perbedaan yang mendasar
adalah bahwa aster memiliki resolusi yg lebih baik, yaitu 15 meter dibandingkan
dengan landsat yang hanya 30 meter. Selain itu perbedaan kondisi geologi dan
geografis akan menghasilkan perbedaan tingkat akurasi hasil penelitian.
ASTER (Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection
Radiometer) adalah satu dari lima alat sensor jarak jauh yang terdapat pada satelit
Terra yang diluncurkan ke orbit bumi oleh NASA pada tahun 1999. Peralatan
tersebut telah mengumpulkan data sejak Februari 2000.
ASTER menyediakan gambar bumi beresolusi tinggi di 15 macam
spektrum gelombang elektromagnetik, berkisar dari spektrum cahaya yang dapat
dilihat hingga inframerah. Resolusi gambar antara 15 hingga 90 meter persegi per
pixel. Data ASTER digunakan untuk membuat peta detail dari temperatur
permukaan tanah, emisivitas, kemampuan memantulkan cahaya, dan ketinggian.
Teluk Lampung merupakan wilayah muara dari beberapa sungai, dimana
wilayah muara ini sangat berpotensi untuk terjadinya proses sedimentasi yang
terbawa oleh aliran air sungai ke perairan. Sedimentasi tersebut akan berakibat
pada perubahan garis pantai atau penambahan daratan di pesisir selatan Lampung
yang selanjutnya mengakibatkan perubahan penggunaan lahan daerah tersebut,
selain itu juga berpengaruh pada sebaran Total Suspended Matter (TSM) di Selat
Sunda.
1.2. Pendekatan Masalah
Proses sedimentasi yang terjadi di wilayah perairan Teluk Lampung
terjadi dengan volume, luas dan intensitas yang berbeda. Proses sedimentasi yang
terjadi pun terdapat di beberapa titik-titik stasiun (beberapa muara sungai) yang
tersebar di wilayah perairan Teluk Lampung. Hal ini memunculkan efek negatif
bagi perairan di Teluk Lampung, antara lain :
o Pendangkalan kedalaman laut
o Keruhnya perairan di sekitar perairan Teluk Lampung
Maka, untuk mempermudah proses penganalisaan pola sebaran sedimen
tersuspensi di beberapa titik tersebut diperlukan bantuan Modelling Process
melalui teknologi penginderaan jauh (Remote Sensing).
1.3. Pembatasan Masalah
Batasan masalah dari penelitian ini adalah :
1. Wilayah penelitian dilakukan di perairan Teluk Lampung
2. Sedimen yang dianalisis adalah sedimen tersuspensi
3. Hasil dari penelitian ini adalah berupa peta pola sebaran sedimen
tersuspensi di perairan Teluk Lampung
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Maksud dan tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pola distribusi
sedimen dasar dan sedimen suspensi menggunakan teknologi penginderaan jauh.
Dari bentuk pola distribusi tersebut dapat diprediksi pergerakan massa air pasang
– surut Samudera Hindia dan Laut Jawa yang mempengaruhi perairan Teluk
Lampung. Hasil analisa data ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan wilayah
pantai dan perairan Teluk Lampung.
1.5. Waktu dan Lokasi Penelitian
Waktu penelitian dilakukan dalam 2 (dua) tahap, yaitu pengumpulan data
di lapangan dan pengolahan data serta modelling process. Pengumpulan data di
lapangan dilaksanakan pada tanggal 5 sampai dengan 18 November 2012
berlokasi di Teluk Lampung. Selanjutnya, pengolahan data serta modelling
process dimulai pada bulan Desember 2012, dilakukan di Laboratorium
Komputasi Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penginderaan Jauh Satelit
Penginderaan jauh berkembang sangat pesat sejak empat dasawarsa terakhir
ini. Perkembangannya meliputi aspek sensor, wahana atau kendaraan pembawa
sensor, jenis citra serta liputan dan ketersediaannya, alat dan analisis data, dan
jumlah pengguna serta bidang penggunaannya. Berikut adalah pengertian
penginderaan jauh menurut beberapa ahli:
Penginderaan jauh (remote sensing), yaitu penggunaan sensor radiasi
elektromagnetik untuk merekam gambar lingkungan bumi yang dapat
diinterpretasikan sehingga menghasilkan informasi yang berguna (Curran,
1985).
Penginderaan jauh (remote sensing), yaitu suatu pengukuran atau
perolehan data padaobjek di permukaan bumi dari satelit atau instrumen
lain di atas jauh dari objek yang diindera. Foto udara, citra satelit, dan citra
radar adalah beberapa bentuk penginderaan jauh (Colwell, 1984).
Penginderaan jauh (remote sensing), yaitu ilmu untuk mendapatkan
informasi mengenai permukaan bumi seperti lahan dan air dari citra yang
diperoleh dari jarak jauh.Hal ini biasanya berhubungan dengan
pengukuran pantulan atau pancaran gelombang elektromagnetik dari suatu
objek (Campbell, 1987).
Penginderaan jauh ialah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi
tentang obyek, daerah, atau gejala dengan jalan menganalisis data yang
diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap
obyek, daerah atau gejala yang dikaji (Lillesand dan Kiefer , 1979).
Pengumpulan data penginderaan jauh dilakukan dengan menggunakan alat
pengindera atau alat pengumpul data yang disebut sensor. Data penginderaan jauh
dapat berupa citra, grafik, dan data numerik. Proses penerjemahan data menjadi
informasi disebut analisis atau interpretasi data dan analisis data penginderaan
jauh memerlukan data rujukan seperti peta tematik, data statistik, dan data
lapangan. Keseluruhan proses mulai dari pengambilan data, analisis data hingga
penggunaan data disebut Sistem Penginderaan Jauh (Purwadhi, 2001).
Gambar 2.1. Sistem Penginderaan Jauh (Sumber: www.google.com)
II.1.1 Citra
Citra dapat diartikan sebagai gambaran yang tampak dari suatu obyek yang
sedang diamati, sebagai hasil liputan atau rekaman suatu alat pemantau. Menurut
Hornby (1974) Citra adalah gambaran yang terekam oleh kamera atau alat sensor
lain. Sedangkan menurut Simonett, dkk (1983) Citra adalah gambar rekaman suatu
obyek (biasanya berupa gambaran pada foto) yang didapat dengan cara optik,
elektrooptik, optik-mekanik, atau electromekanik. Di dalam bahasa Inggris
terdapat dua istilah yang berarti citra dalam bahasa Indonesia, yaitu “image” dan
“imagery”, akan tetapi imagery dirasa lebih tepat penggunaannya (Sutanto,
1986). Agar dapat dimanfaatkan maka citra tersebut harus diinterprestasikan atau
diterjemahkan/ ditafsirkan terlebih dahulu.
Pendapat lain adalah Citra merupakan gambaran dua dimensional yang
menggambarkan bagian dari permukaan bumi, hasil dari perekaman sensor atas
pantulan atau pancaran spektral objek yang disimpan pada media tertentu
(Prahasta, 2006).
Klasifikasi citra dapat dilakukan secara manual (visual) maupun secara
digital. Klasifikasi secara manual dilakukan dengan bertumpu pada kenampakan
pada citra, seperti misalnya rona atau warna, bentuk, ukuran, tinggi atau
bayangan, tekstur, pola, letak atau situs dan asosiasi dengan obyek lainnya.
Klasifikasi secara digital dapat dilakukan dengan bantuan komputer, dan biasanya
bertumpu pada informasi spektral obyek (yang diwakili oleh nilai pixel citra) pada
beberapa saluran spektral sekaligus. Oleh karena itu, klasifikasi secara digital
sering disebut sebagai klasifikasi multivariat atau klasifikasi multispektral.
Citra dapat dibedakan atas citra foto (photographic image) atau foto udara
dan citra non foto (non photographic image). Perbedaan pokok keduanya
disajikan pada tabel berikut ini:
Tabel 2.1. Beda antara citra foto dan non foto
(Sumber : Lillesand dan Kiefer,1979: Siegel dan Gillespie, 1980)
II.1.2 Citra ASTER
Citra ASTER diproses dari hasil observasi yang dilakukan oleh sensor
Advanced Spaceborne Thermal Emission and Refection radiometer (ASTER).
Sensor ASTER dikembangkan untuk monitoring permukaan bumi oleh Ministry
of Economy, Trade and Industry (Jepang) yang diluncurkan oleh platform
Amerika yang bernama Terra. Sensor ini mengobservasi permukaan bumi dari
ketinggian 705 km dengan frekuensi band : Visible dan Near Infrared - VNIR
(tiga band + satu band arah belakang (backward) untuk data stereoscopic dengan
resolusi spatial 15 m), Short Wave Infrared - SWIR (enam band dengan resolusi
spatial 30 m) dan Thermal Infrared - TIR (lima band dengan resolusi spatial 90m),
total berjumlah 14 band atau channel.
Data Level 1A dan data Level 1B
Citra Level 1A dan Level 1B merupakan citra dasar ASTER yang disediakan
untuk para pemakai.
1. Citra Level 1A diolah dari citra Level 0 tanpa penerapan koreksi koreksi
radiometric atau geometric. Citra level ini tidak dilakukan proyeksi peta
tertentu pula. Seluruh citra observasi diproses pada Level 1A dan direkam.
Citra Level 1A ini bisa diproses kembali menjadi Level 0. Dalam citra ini
terlampir parameter untuk koreksi radiometric dan geometric.
2. Pada citra Level 1B dilakukan koreksi radiometric dan geometric dari citra
Level 1A dengan menggunakan parameter yang terlampir dalam citra Level
1A. Oleh karena itu, citra Level 1B mempunyai proyeksi peta yang sama
dengan metoda yang dipakai dalam proses L1B. Sehingga nilai dijital (DN)
pada L1B dapat dikonversi menjadi nilai fisik seperti radiance dan temperatur.
Citra Level 1B secara otomatis diproses dan disimpan pada saat citra observasi
mempunyai rata-rata liputan awan (cloud cover rate) di bawah kriteria yang
sudah ditentukan, biasanya 20%.
Jenis Data
Jenis data lengkap yang dapat diperoleh dari citra TERRA/ASTER
ditunjukkan dalam daftar di bawah ini. TERRA/ASTER mempunyai informasi
lengkap dari citra optik biasa hingga Digital Terrain Model (DTM).
Tabel 2.1 Jenis Data Citra ASTER
Nama produk Keterangan Resolusi
Level 1A
Produk ini adalah data mentah langsung dari satelit. Koefisien kalibrasi radiometrik dan koreksi geometrik terlampir, tetapi tidak diterapkan dalam data. Produk ini tidak disesuaikan pada proyeksi peta tertentu.
V(15m)
S(30m)
T(90m)
Level 1B
Produk ini hasil proses penerapan koefisien koreksi radiometrik dan geometrik yang terlampir pada data level 1A. Pada produk ini juga diterapkan metoda proyeksi peta dalam proses L1B. Dari produk ini dapat diperoleh informasi fisik seperti radiance dan temperatur dengan menggunakan nilai digital (DN) dalam data.
V(15m)
S(30m)
T(90m)
Relative Spectral Emissivity (2A02)
Produk ini merupakan data hasil decorrelation stretched dari data ASTER TIR. Produk ini menunjukkan variasi emisi yang diperkuat (enhanced emissivity variations) yang diturunkan dari range TIR lemah.
90m
Relative Spectral Reflectance VNIR
(2A03V)
Produk ini merupakan data hasil decorrelation stretched data ASTER VNIR untuk variasi pantulan yang diperkuat (enhance reflectance variations)
15m
Relative Spectral Reflectance SWIR
(2A03S)
Produk ini merupakan data hasil decorrelation stretched data ASTER SWIR untuk variasi pantulan yang diperkuat (enhance reflectance variations)
30m
Surface Radiance VNIR (2B01V)
Produk ini dihasilkan melalui penerapan koreksi atmosfir kepada data ASTER VNIR.
15m
Surface Radiance SWIR (2B01S)
Produk ini dihasilkan melalui penerapan koreksi atmosfir kepada data ASTER SWIR.
30m
Surface Radiance TIR (2B01T)
Produk ini dihasilkan melalui penerapan koreksi atmosfir kepada data ASTER TIR.
90m
Surface Reflectance VNIR
(2B05V)
Produk ini berisi pantulan permukaan (surface reflectance) yang diperoleh dari radiance terhadap ASTER VNIR setelah penerapan koreksi atmosfir.
15m
Surface Reflectance SWIR
(2B05S)
Produk ini berisi pantulan permukaan (surface reflectance) yang diperoleh dari radiance terhadap ASTER SWIR setelah penerapan koreksi atmosfir.
30m
Surface Temperature
(2B03)
Produk ini berisi temperatur permukaan dari 5 (lima) band thermal infra merah ASTER yang dihitung menggunakan temperature-emissivity-separation terhadap data radiance permukaan TIR (2B01T) yang sudah terkoreksi atmosfir.
T(90m)
Surface Emissivity (2B04)
Produk ini berisi emisi permukaan dari 5 (lima) band thermal infra merah ASTER yang dihitung menggunakan temperature-emissivity-separation terhadap data radiance permukaan TIR (2B01T) yang sudah terkoreksi atmosfir.
T(90m)
Orthographic Image (3A01)
Produk ini adalah data orthografik ASTER yang dihasilkan dari data relatif DEM (4A01), dan bebas dari distorsi geografik karena perbedaan ketinggian. Data ketinggian untuk posisi geografis pada setiap pixel juga terlampir.
V(15m)+DTM
S(30m)+DTM
T(90m)+DTM
Relative DEM Z (4A01Z)
Produk ini diperoleh dari data ketinggian yang diturunkan dari data stereoskopik. Dimana data stereoskopik ini diperoleh dari band VNIR 3N (nadir looking) dan 3B (backward looking).
Z (30m)
(Sumber: http://rsrc.pandhitopanji-f.org/)
2.2. Sedimen
Menurut Poerbandono (2005), sedimen adalah material yang berasal dari
fragmentasi (pemecahan) batuan. Pemecahan tersebut terjadi karena pelapukan
(weathering) yang dapat berlangsung secara fisik, kimiawai, atau biologis.
Sedimen adalah bahan utama pembentuk morfologi (topografi dan batimetri)
pesisir. Berubahnya morfologi pesisir terjadi sebagai akibat berpindahnya
sedimen yang berlangsung melalui mekanisme erosi, pengangkutan (transport),
dan pengendapan (deposition).
2.2.1 Sifat Sedimen
Hutabarat dan evans (1986), pada bukunya menyatakan bahwa terdapat
tiga jenis utama dari sedimen yaitu sedimen yang memasuki perairan laut dalam
bentuk partikel, tersebar dan kemudian mengendap di dasar laut yang disebut
lithogenous, sedimen yang berasal dari presipitasi langsung dari cairan atau
hydrogenous dan sedimen yang berasal dari organisme yang lazim disebut
crustaceae). Pengendapan sedimen jenis ini terjadi melalui presipitasi in-situ
(organisme bentik yang hidup di tempat tersebut) atau melalui kolom air
(organisme pelagik). Energi arus dan gelombang dapat meredeposisikan sedimen
biogenous dan resuspensi umum terjadi di dasar perairan maupun dalam sedimen
itu sendiri. Penamaannya didasarkan pada jenis organisme penghasil sedimen
tersebut dan juga berdasarkan komposisi kimiawinya. Spesifikasi lainnya dibuat
berdasarkan struktur, warna, ukuran, dan bahan lain yang terkandung di
dalamnya.
3. Sedimen hydrogenous
Merupakan sedimen yang berasal dari presipitasi air laut ataupun dari
presipitasi perairan intersitial dan juga merupakan hasil dari pemisahan pada awal
reaksi kimiawi bersamaan dengan pengendapan sedimen baru. Redisolusi pada
sedimen jenis ini umum terjadi dan penamaannya didasarkan pada asalnya
(penguapan) dan pada komposisi kimiawi. Spesifikasi tambahan berdasarkan
struktur, warna dan bahan yang terkandung.
Klasifikasi yang digunakan dalam penamaan butir sedimen dikenal dengan skala
Wenthworth seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Klasifikasi Ukuran Butir Menurut SNI.
Nama Partikel Ukuran (mm)Batu Bongkah
KrakalKrikilButiran
>25664 – 2564 – 642 - 24
Pasir Sangat kasarKasarSedangHalusSangat halus
1 – 21/2 - 1
1/4 – 1/21/8 - 1/41/16 – 1/8
Lanau 1/256-1/128Lempung <1/256
(DPU, 2008)
2.2.2 Distribusi sedimen
Menurut Pethick (1992), untuk menggambarkan distribusi sedimen pada
suatu daerah digunakan empat parameter statistic, yaitu mean (rata-rata),
pemilahan (sortasi), kepencengan (skewness) dan keruncingan (kurtosis), masing-
masing diuraikan sebagai berikut:
2.2.2.1 Mean
Mean adalah nilai statistic rata-rata dari ukuran butir. Ukuran butir
berhubungan dengan dinamika kondisi transportasi dan deposisi, serta
mencerminkanresistensi butiran terhadap proses pelapukan, erosi, dan abrasi. Hal
ini mencerminkan proses transportasi dan deposisi seperti kemampuan arus dan
angin dalam menggerakan dan mengendapkan sedimen. Dapat dihitung dengan
rumus dibawah ini :
Mean (Me) =
φ 16 + φ 50 + φ 843 (6)
2.2.2.2 Sortasi
Sortasi adalah penyebaran ukuran butir rata-rata. Sortasi dikatakan baik
jika batuan sedimen mempunyai penyebaran ukuran butir terhadap ukuran butir
rata-rata pendek. Sebaiknya jika sedimen mempunyai penyebaran ukuran butir
terhadap rapat ukuran butir panjang disebut ukurannya jelek. Dapat dihitung
dengan rumus di bawah ini :
Sortasi =
φ 84 - φ 16 2 (7)
Adapun hubungan ukuran butir dan sortasi dalam batuan sedimen adalah
terutama berupa pasir kasar sampai pasir halus. Pasir dari berbagai macam
lingkungan air menunjukkanbahwa pasir halus mempunyai sortasi yang lebih baik
dari pasir kasar. Sedangkan pasir yang diendapkan oleh angin, sortasi terbaik
terjadi pada ukuran pasir yang sangat halus (Blatt dkk. Dalam Kusumadinata,
1985).
Adapun klasifikasinya berdasarkan standar deviasi sebagai berikut :
Tabel 2.4. Klasifikasi sortasi berdasarkan standar deviasinya.
Kisaran Standar Harga Deviasi Kisaran Sortasi
<0.35 Terpilah sangat baik
0.35 – 0.5 Terpilah baik
0.5 – 1 Terpilah sedang
1 – 2 Terpilah buruk
2 – 4 Terpilah sangat buruk
>4 Terpilah ekstrim buruk
2.2.2.3. Skewness ( Kepencengan)
Folk (1979) menjelaskan bahwa Skewness adalah penyimpangan distribusi
ukuran butir dimana pada bagian tengah dari sampel mempunyai jumlah butiran
paling banyak. Butiran yang lebih kasar serta lebih halus tersebar disisi kanan dan
kiri jumlah yang sama. Jika dalam suatu distribusi ukuran butir berlebihan partikel
kasar, maka kepencengan bernilai negatif. Selanjutnya dijelaskan bahwa ukuran
menentukan jenis kepencengan adalah sebagai berikut : Skewness =
φ 84 + φ 16-2φ 50 (φ 84−φ 16 ) (7)
Tabel 2.5. Penilaian harga kepencengan (skewness)
Tingkat kepencengan Harga kepencengan
Menceng sangat halus +1,00 – (+0,30)
Menceng halus +0,30 – (+0,10)
Menceng simetris +0,10 – (-0,10)
Menceng kasar -0,10 – (-0,30)
Menceng sangat kasar -0,30 – (-1,00)
2.2.2.4 Kurtosis ( Keruncingan )
Menurut kusumadinata (1985), kurtosis merupakan salah satu bentuk
butiran sedimen dimana merupakan kemampuan morfologi luar dari sedimen itu.
Sedangkan folk (1974) menjelaskan bahwa kurtosis ini dapat dihitung melalui
grafik kurtosis serta menggabarkan hubungan antara sortasi bagian tengah kurva
dengan bagian bawah, ditambahkan bahwa jika kurva mempunyai keruncingan
relatif ( >100) disebut leptokurtic dan kurva tumpul ( <100) disebut platykurtic.
Selanjutnya dijelaskan bahwa ukuran menentukan jenis keruncingan
adalah sebagai berikut:
Kurtosis =
(φ 95−φ 5 )−( φ 84−φ 16 )(φ 84−φ 16 ) (8)
Tabel 2.6. Klasifikasi menentukan harga kurtosis
Nilai Keruncingan
Puncak sangat tumpul < 0,67
Puncak tumpul 0,67 – 0,90
Puncak cukupan 0,90 – 1,11
Puncak runcing 1,11 – 1,50
Puncak sangat runcing 1,50 – 3,00
Puncak sangat runcing 3,00 ( Folk dan ward, 1985)
2.3 Transpor Sedimen Pantai
Fitur lain yang dinamis dari sistem fisik pantai dan nearshore merupakan
littoral transport, didefinisikan sebagai pergerakan sedimen di nearshorezone oleh
ombak dan arus. Litoral transportasi dibagi menjadi dua kelas umum: paralel
transportasi ke pantai (longshore transport) dan transportasi tegak lurus pantai
(transportasi onshore-offshore), bahan yang diangkut disebut drift litoral.
Transportasi darat-lepas pantai ditentukan terutama oleh kecuraman gelombang,
ukuran sedimen, dan kemiringan pantai. Secara umum, tinggi gelombang curam
bergerak material lepas pantai, dan gelombang rendah periode panjang
(kecuraman gelombang rendah) memindahkan bahan darat. Cara gerakan sedimen
di pantai biasanya dibagi menjadi bedload, suspendedload dan sheet flow (CERC,
1984).
Gambar 2.14 menunjukkan cara ini gerakan sedimen yang disebabkan oleh
gelombang pada setiap bagian dari profil pantai skematis.
Gambar 2.14. Cara perpindahan sedimen (CERC, 1984)
Salah satu tujuan utama untuk mempelajari fenomena gelombang yang
terjadi di daerah dekat pantai adalah prediksi deformasi pantai yang disebabkan
oleh pergerakan sedimen. Ada berbagai gerakan fluida di daerah dekat pantai. Di
antaranya, gerakan partikel air akibat gelombang dan arus yang menyebabkan
terjadinya gerakan sedimen. Gelombang mendekati garis pantai menyebabkan
gerakan fluida sekunder seperti gelombang permukaan, arus gelombang dan arus
yang mengganggu sedimen dilapisan bawah perairan. Akibatnya, terjadi angkutan
sedimen yang menyebabkan deformasi pantai (Sarawagih, 1995).
Klasifikasi dari cara transportasi sedimen yang dihasilkan Shibayama
(1984) dalam Horikawa (1988) ditunjukkan pada Gambar 2.15 (a) dan. (b). dalam
gambar 2.15 (a), istilah "positif" dan "negatif" menunjukkan arah aliran dalam
(onshore direction) pertama dan kedua (offshore direction) setengah dari periode,
masing-masing. Berbagai cara transportasi sedimen digambarkan sebagai berikut.
Deskripsi berfokus pada partikel pasir yang mulai bergerak selama aliran positif
saja. Dalam klasifikasi ini pola aliran yang sama akan diulang dalam partikel pasir
yang mulai bergerak selama arus negatif sinusoidal
1. Bed load (BL)
Bed bergerak secara datar tanpa riak ataupun pasir sedimen yang
tersuspensi akan mempengaruhi partikel sedimen bergerak sepanjang
permukaan pantai dan mempengaruhi sedimen satu sama lain.
2. Bed load-suspended load intermediate (BSI)
Suspended sedimen dari bed ripple atas. Bed load Bath dan load
tersuspensi ada. Tipe ini dibagi menjadi dua subtipe berikut.
Subtipe A (BSI-A) : Ketika panjang ripple dan diameter orbital
partikel air hampir sama, sebagian dari sedimen partikel
menghentikan sementara aliran positif diarahkan terbatas dalam
pusaran, dan kemudian diangkut ke arah negatif setelah perubahan
arah aliran jatuh ke bawah. Di sisi lain, partikel bed load sedimen
yang sudah mulai bergerak selama periode setengah gelombang
pertama diangkut dalam arah yang positif. Oleh karena itu,
transportasi sedimen ditetapkan dalam gerakan dalam periode
setengah gelombang pertama adalah baik dalam arah positif atau
negatif tergantung pada mana dari bed load dan suspended
sediment dominan.
Subtipe B (BSI-B) : Jika panjang ripple jauh lebih pendek dari
diameter orbital partikel air, sedimen partikel menghentikan
sementara aliran positif diarahkan tidak terbatas dalam pusaran,
tetapi yang diangkut dalam arah positif dan disimpan di bagian
bawah.
3. Suspended Load (SL) : angkutan sedimen tersuspensi dominan ini
terbagi menjadi dua subtipe sebagai berikut.
Subtipe A (SL-A) : Jika panjang ripple dan diameter partikel
orbita air hampir sama, sedimen partikel tersuspensi pada periode
setengah gelombang pertama akan terbatas dalam pusaran,
kemudian diangkut ke arah negatif dan disimpan di bagian bawah.
Subtipe B (SL-B) : Jika panjang ripple jauh lebih pendek dari
diameter partikel air orbital, partikel sedimen akan tersuspensi
tetapi tidak terbatas dalam pusaran dan diangkut dalam arah positif
dan disimpan di bagian bawah. Jenis ini terjadi sebagai kondisi
transien antara SL mode ke SF.
4. Sheet Flow (SF) : riak gelombang akan menghilang pada kedalaman yang
tinggi dan tegangan geser tinggi. Partikel sedimen bergerak sebagai
lapisan dalam modus SF. Sedangkan butir permukaan hanya berada dalam
gerakan dalam modus BL, sedimen partikel di bawah permukaan serta
pada permukaan bergerak dalam modus SF. Partikel sedimen yang sudah
mulai bergerak pada aliran positif diangkut dalam arah yang positif.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 2.15 di bawah ini.
Gambar 2.15. Tipe transport sedimen (a) prinsip sediement transport, (b)
perbedaan transport di subtype A dan subtype B
(Shibayama, 1984 dalam Horikawa, 1988)
2.4 Sedimentasi
Menurut Petijhon (1975), sedimentasi merupakan proses pengendapan
sedimen atau akumulasi dari material pembentuk batuan sedimen pada suatau
tempat yang di sebut dengan lingkungan pengendepan. Lingkungan pengendapan
meliputi delta, danau, pantai, eustuaria, laut dangkal sampai laut dalam. Lebih
lanjut dinyatakan bahwa sedimentasi yang terjadi di eustuaria, contohnya di muara
terjadi akibat menumpuknya sedimen di muara baik yang berasal dari sungai
maupun dari hasil erosi pantai di sekitarnya.
Proses sedimentasi merupakan usaha untuk mencapai keseimbangan,
karena perbedaan ketinggian antara daratan dengan dasar laut merupakan suatu
yang seimbang. Seperti halnya di Indonesia yang mempunyai 2 musim yaitu
musim penghujan dan musim kemarau, pada musim penghujan banyak sungai
membawa sedimen ke laut (Ongkosongo, 1984).
Proses erosi, pengangutan, dan pengendapan sedimen tergantung pada dua
faktor, yaitu sifat fisika-kima sedimen itu sendiri dan kondisi hidrologi di
sekitarnya (Mcdowell dan O’Conner, 1997 dalam lutfie, 1998). Pada eusteria
endapan sedimen didominasi oleh pasir dan gravel, karena hanya partikel yang
berukuran besar saja yang bisa mengendap lebih cepat, sedangkan yang berukuran
kecil akan terbawa ke tempat yang lebih jauh oleh aktifitas arus dan gelombang.
Baik air tawar dan air laut mempunyai tendensi untuk mengendapkan butiran
kasar terlebih dahulu (Nybakken, 1998).
Menurut Painter (1976), laju pergerakan dan penyebaran sedimen dalam
perairan adalah fungsi dari karakterisitik sedimen yang meliputi ukuran dan
densitas serta karakteristik dari agennya terutama kecepatan aliran, pola aliran
turbulan dan laminar.
Sedimen di estuari menurut Nybakken (1992) keberadaannya didominasi
oleh substrat lumpur yang seringkali sangat lunak. Substrat yang berlumpur ini
berasal dari sedimen yang dibawa ke estuari baik oleh air laut maupun air tawar.
Mengenai air tawar, mengangkut partikel lumpur dalam bentuk suspensi. Ketika
partikel suspensi ini mencapai dan bercampur dengan air lautdi estuari, kehadiran
berbagai ion yang berasal dari air laut menyebabkan partikel lumpur menggumpal
membentuk partikel yang lebih besar dan lebih berat serta terendapkan.
Cara pengangkutan sedimen dalam aliran sungai menurut Selley (1998),
ada tiga macam yaitu:
1. Sedimen merayap (bad load) yaitu material yang terangkut secara
menggeser dan menggelinding ke dasar sungai.
2. Sedimen loncat (saltation load) yaitu material yang meloncat-loncat
bertumpu pada dasar sungai.
3. Sedimen laying (suspended bad) yaitu material yang terbawa arus
dengan cara melayang-layang dalam air.
Sebagian besar dasar laut yang dalam ditutupi oleh jenis-jenis partikel-
partikel yang berukuran kecil yang terdiri dari sedimen halus, sedangkan hampir
semua pantai ditutupi oleh jenis partikel-partikel yang berukuran besar yang
terdiri dari sedimen kasar.
Penentuan ukuran butir standar untuk penamaan mengacu pada beberapa
versi antara lain skala Wentword seperti dikemungkakan (1984) dalam Gunawan
(2002) dapat di lihat pada tabel 1.
Tabel 1. Ukuran Butir skala Wentword
Jenis Kisaran Ukuran Butir
BongkahBerangkalKerakalKerikilPasir sangat kasarPasir kasarPasir sedangPasir halusPasir sangat halusLanau kasarLanau sedangLanau sangat halusLempung kasarLempung sedangLempung halus