USULAN PROPOSAL SKRIPSI KEPASTIAN HUKUM TERHADAP HAK MILIK ATAS TANAH DI ATAS HAK PENGELOLAAN PERUM PERUMNAS SEBAGAI JAMINAN HUTANG Disusun Oleh : MASYAHDAN SIREGAR NIM : E. 0610293 i
USULAN PROPOSAL SKRIPSI
KEPASTIAN HUKUM TERHADAP HAK MILIK ATAS TANAH DI
ATAS HAK PENGELOLAAN PERUM PERUMNAS SEBAGAI
JAMINAN HUTANG
Disusun Oleh :
MASYAHDAN SIREGAR
NIM : E. 0610293
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DJUANDA BOGOR
2010
i
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat, taufik
dan hidayah-Nya sampai hari ini kita selalu mendapat limpahan nikmat kesehatan dan
kesejahteraan dalam menjalani hidup, dan atas karunia-Nya pula penulis dapat
menyelesaikan usulan proposal skripsi ini.
Shalawat serta salam tak lupa kita tujukan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW, yang telah memberikan pencerahan bagi seluruh umat dengan
ajaran-Nya serta limpahan ilmu pengetahuan sehingga kita dapat berkiprah di
pendidikan Program Sarjana Hukum Universitas Djuanda, kampus bertauhid.
Tulisan ini merupakan Proposal Skripsi yang dilengkapi dengan kajian dari
berbagai literatur penunjang agar tulisan ini mampu menyajikan tulisan yang utuh dan
mudah dipahami
Tulisan ini disusun untuk memenuhi tugas akhir pada program Sarjana Hukum
di Fakultas Hukum Universitas Djuanda Bogor, Jawa Barat.
Tujuan tulisan ini adalah usulan Proposal Skripsi tentang KEPASTIAN
HUKUM TERHADAP HAK MILIK ATAS TANAH DI ATAS HAK
PENGELOLAAN PERUM PERUMNAS SEBAGAI JAMINAN HUTANG,
yang merupakan kajian secara komprehensif mengenai kepastian hukum
bagi masyarakat yang memiliki Hak Milik atas tanah diatas Hak
Pengelolaan untuk dijadikan sebagai jaminan pelunasan hutang.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak DR. H. Martin Roestamy,
S.H., M.H., pemberi support dan sumber inspirasi bagi penulis baik moril maupun
materil. Bapak Dadang Suprijatna, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik. Ibu Hj.
Endeh Suhartini, S.H., M.H., sebagai Dosen Konselor yang sering memberikan
masukan serta berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam melakukan penelitian
dan berbagai hal yang berkaitan dengan penyelesaian usulan Proposal Skripsi ini.
Disadari, bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan serta masih sangat jauh
untuk katagori sempurna mengingat segala keterbatasan, kemampuan dan pengetahuan
ii
yang dimiliki penulis. Oleh karena itu segala kritik dan saran yang positif sangatlah
penulis harapkan.
Kepada Allah Penulis berserah diri, semoga apa yang telah dilakukan ini
mendapatkan ridha-Nya, serta tulisan ini dapat membawa manfaat bagi kita semua.
Amin.
Bogor, 25 Mei 2010
Penulis
( Masyahdan Siregar )
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...............................................................................
DAFTAR ISI ............................................................................................
A. Latar Belakang
Masalah .....................................................................
B. Identifikasi
Masalah ............................................................................
C. Tujuan
Penelitian ................................................................................
D. Kegunaan
Penelitian ...........................................................................
E. Kerangka
Pemikiran ...........................................................................
F. Metoda
Penelitian ...............................................................................
G. Sistematika
Penulisan ........................................................................
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
ii
iv
1
14
15
15
16
28
29
31
iv
Halaman
Nama : Masyahdan Siregar
Nim : E. 0610293
Program Studi : Ilmu Hukum
Fakultas : Hukum
Judul : KEPASTIAN HUKUM TERHADAP HAK MILIK ATAS
TANAH DI ATAS HAK PENGELOLAAN PERUM
PERUMNAS SEBAGAI JAMINAN HUTANG
A. Latar Belakang Masalah
Sebagaimana bunyi Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945 ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”. Seperti yang telah dicantumkan dalam Pasal tersebut diatas,
negara tidak perlu bertindak sebagai pemilik, negara cukup bertindak sebagai
penguasa untuk memimpin dan mengatur kekayaan nasional sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Dari ketentuan dalam Pasal tersebut bahwa kekuasaan yang
diberikan kepada negara memberikan kewajiban kepada negara untuk mengatur
pemilikan dan menentukan kegunaannya, sehingga semua tanah di seluruh wilayah
negara dapat dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Tanah yang merupakan permukaan Bumi harus diatur dan dikelola secara
nasional untuk menjaga keberlanjutan Sistem kehidupan berbangsa dan bernegara
dan amanat konstitusi adalah politik pertanahan dan kebijakan pertanahan diarahkan
1
untuk mewujudkan tanah sebagai sumber “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”,
yang meliputi penguasaan, pemilikan, pemanfaatan dan penggunaan tanah.1
Pemanfaatan tanah untuk kesejahteraan umum tentunya tidak lepas dari berbagai
permasalahan yang dihadapi dalam lingkungan masyarakat.
Hak atas tanah meliputi semua hak yang diperoleh langsung dari negara
disebut hak primer dan semua hak yang berasal dari pemegang hak atas tanah lain
berdasarkan pada perjanjian bersama, disebut hak sekunder.2 Kedua hak tersebut
pada umumnya mempunyai persamaan, di mana pemegangnya berhak untuk
menggunakan tanah yang dikuasainya perjanjian dimana satu pihak memberikan
hak-hak sekunder pada pihak lain.
Hak atas tanah yang diperoleh dari negara terdiri dari Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan. Tiap-tiap hak
mempunyai karakteristik tersendiri dan semua harus didaftarkan menurut ketentuan
hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Pasal 20 UUPA hak milik
adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas
tanah. Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Hak Milik menurut Pasal 20 ayat (1) UUPA adalah hak turun temurun,
terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat
ketentuan pada Pasal 6. Turun temurun artinya Hak Milik atas tanah dapat
berlangsung terus rnenerus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya
1 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah Nasional. Djambatan, Jakarta, edisi 2005, hlm, 6-7.
2 Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, edisi 2005, hlm. 89.
2
meninggal dunia, maka Hak Milik atas tanah dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya
sepanjang memenuhi syarat sebagai subyek Hak Milik Terkuat, artinya Hak Milik
atas tanah lebih kuat bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, tidak
mempunyai batas waktu tertentu, mudah dipertahankan dan gangguan pihak lain,
dan tidak mudah hapus. Terpenuh, artinya Hak Milik atas tanah memberi wewenang
kepada pemiliknya paling luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain,
dapat menjadi induk bagi hak atas tanah yang lain namun tidak berinduk pada hak
atas tanah yang lain, dan penggunaan tanahnya lebih luas bila dibandingkan dengan
hak atas tanah yang lain. Hak Milik atas tanah hanya dapat dipunyai oleh orang
perseorangan Warga Negara Indonesia. Badan Hukum Indonesia atau Badan Hukum
Asing serta Warga Negara Asing tidak dapat memiliki Hak Milik atas tanah karena
pembatasan yang dilakukan oleh UUPA, sebagaimana yang diatur pada Pasal 21.
Dalam Pasal 570 KUHPerdata : “Hak milik adalah hak untuk menikmati
kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa dan untuk berbuat bebas terhadap
kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya asal tidak bertentangan dengan
Undang-undang atau peraturan umum yang diadakan oleh kekuasaan yang
mempunyai wewenang untuk itu dan asal tidak menimbulkan gangguan terhadap
hak-hak orang lain; kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan adanya
pencabutan hak itu untuk kepentingan umum, dengan pembayaran pengganti
kerugian yang layak dan menurut ketentuan undang-undang. Dari situ dapat kita
simpulkan bahwa hak milik adalah hak yang paling utama jika dibandingkan dengan
hak-hak kebendaan yang lain. Karena yang berhak itu dapat menikmatinya dengan
3
sepenuhnya dan menguasainya dengan sebebas-bebasnya.3 Dalam membicarakan
hak milik (eigendom) ini dengan mengingat berlakunya undang-undang pokok
agraria yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 yang telah mencabut semua
hak-hak kebendaan yang berlainan dengan tanah dari Buku II KUHPerdata. Jadi
dalam hal ini termasuk juga hak milik atas tanah telah dicabut juga hak milik atas
tanah telah dicabut dari buku II KUH Perdata.Dan selanjutnya hak milik atas tanah
itu lalu menjadi objek dari hukum agraria dan tidak merupakan hubungan
keperdataan.4 Hak milik juga termasuk obyek jarninan hak tanggungan sebagaimana
diatur dalam UUHT Pasal 4 sampai dengan Pasal 7.
Selain Hak milik, hak atas tanah yang diperoleh dari negara termasuk juga
Hak Pengelolaan. Pengertian Hak Pengelolaan menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Pasal 1 ayat (4) adalah “Hak
Pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya
sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dalam
Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1 Tahun 1977 tentang “Tata Cara Permohonan
Dan Penyelesaian Pemberian Hak Atas Bagian Bagian Hak Pengelolaan Serta
Pendaftarannya” Pasal 1 antara lain :
Hak pengelolaan berisi wewenang untuk :
a. Merencanakan peruntukan tanah dan penggunaan tanah yang bersangkutan
b. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan usahanya
3 Sri Soedewi Mascjhoen Sofwan, Hukum Perdata : Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, Edisi 2000, hlm. 42
4 Ibid., hlm. 41.
4
c. Menyerahkan bagian-bagian dari pada tanah itu kepada pihak ketiga menurut
persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan pemegang hak tersebut, yang
meliputi segi-segi peruntukan, penggunaan, jangka waktu dan keuangannya,
dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga yang
bersangkutan dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berwenang sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku.
Dengan demikian hak pengelolaan adalah hak atas tanah yang berkaitan
dengan tanah negara. Untuk beralihnya hak pengelolaan kepada pihak ketiga telah
diatur dalam PMDN Nomor 1 Tahun 1977 Pasal 3 bahwa “setiap penyerahan
penggunaan tanah yang merupakan bagian dari tanah hak pengelolaan kepada pihak
ketiga oleh pemegang hak pengelolaan baik yang disertai atau pun tidak disertai
dengan pendirian bangunan diatasnya wajib dilakukan dengan perjanjian tertulis
antara pihak pemegang hak pengelolaan dan pihak ketiga yang bersangkutan”
Dalam Pasal 11 PMDN Nomor 1 Tahun 1977 tersebut, Perusahan Umum
Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas) yang keseluruhan
Modal/sahamnya sahamnya dipunyai oleh pemerintah, diberikan Hak Pengelolaan
atas tanah negara tidak bebas, yaitu tanah negara yang diatasnya sudah ditumpangi
suatu hak punya pihak lain.
Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (PERUM
PERUMNAS) adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berbentuk
Perusahaan Umum (Perum) dimana keseluruhan sahamnya dimiliki oleh
pemerintah. Perusahaan didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29
5
Tahun 1974, diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 1988, dan
disempurnakan melalui Peraturan Pemerintah No.15 Tahun 2004 tanggal 10 Mei
2004. 5
Maksud dan tujuan didirikannya Perum-Perumnas adalah untuk
melaksanakan penataan perumahan dan permukiman bagi masyarakat dan dalam hal
tertentu melaksanakan tugas-tugas tertentu yang diberikan Pemerintah dalam rangka
pemenuhan kebutuhan perumahan bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan
rendah. Dengan tujuan untuk mewujudkan perumahan dan permukiman yang layak
dan terjangkau berdasarkan rencana tata ruang yang mendukung pengembangan
wilayah secara berkelanjutan.6
Perum Perumnas dapat menguasai tanah yang diperlukan dengan hak
Pengelolaan, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai. Dalam Peraturan Menteri Dalam
Negeri No. 5 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Penyediaan dan
Pemberian Tanah Untuk Keperluan Perusahaan Pasal 5 ayat (7) butir a disebutkan:
“Tanah-tanah yang di kuasai oleh perusahan pembangunan perumahan
dengan hak pengelolaan, atas usul perusahaan tersebut oleh pejabat yang berwenang
sebagai yang dimaksud dalam Pasal 3 dapat diberikan kepada pihak-pihak yang
memerlukannya dengan hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai berikut
rumah-rumah dan bangunan-bangunan yang diatasnya menurut ketentuan dan
persyaratan peraturan perundang-undangan agraria yang berlaku.”
5 http://www.perumnas.co.id/public/?pgid=sejarah, diakses pada tanggal 28 April 2010.6 An Andi Hamzah, (et al), Dasar-dasar Hukum Perumahan, Penerbit Rineka Cipta, 2006, hlm.
73.
6
Sebagai Pemegang hak pengelolaan Perum-Perumnas selain berwenang
untuk menggunakan tanah hak pengelolan itu untuk keperluan pelaksanaan
usahanya, juga berwenang untuk menyerahkan bagian-bagian dari tanah hak
pengelolaan itu kepada pihak ketiga (menjual) dengan persyaratan-persyaratan
tertentu, baik mengenai peruntukan penggunaan maupun mengenai jangka waktu
dan keuangannya.
Dalam hal ini Perum Perumnas sebagai pemegang hak pengeloalan dapat
bekerja sama dengan pihak ketiga yakni pengembang perumahan (developer) untuk
merencanakan peruntukkan dan penggunaan tanah tersebut untuk keperluan
penyediaan perumahan dan permukiman untuk masyarakat. Perumahan atau
pemukiman yang telah dibangun oleh Perum Perumnas dapat diperoleh masyarakat
melalui jual-beli baik tunai maupun Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang
difasilitasi oleh bank.
Bank menurut Undang-undang Perbankan ialah badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya
kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam
rangka meningkatkan taraf hidup orang banyak. Bank dalam menyalurkan kredit
baik pada perorangan maupun badan hukum, tidak lepas dari agunan sebagai
jaminan pelunasan utangnya. Setiap perjanjian yang bermaksud untuk meminjam
uang dengan jaminan hak tanggungan harus dibuktikan dengan suatu akta yang
dibuat oleh dan di hadapan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria (selanjutnya
dalam Undang- Undang ini disebut Pejabat). Akta tersebut bentuknya ditentukan
7
oleh Menteri Agraria. Dari pernyataan ini dapat diketahui bahwa hak tanggungan
juga merupakan salah satu hak atas tanah yang wajib didaftarkan.
Adanya kewajiban untuk mendaftarkan Hak Tanggungan ditujukan untuk
menjamin kepastian hukum kepada pemberi dan penerima hak tanggungan dan
untuk memberikan perlindungan hukum manakala salah satu pihak mengadakan
tindakantindakan yang merugikan pihak lainya. Sebagai contoh ketika pemberi hak
tanggungan tidak dapat melunasi hutang yang dipinjamnya dari pemegang hak
tanggungan, maka dengan adanya pendaftaran hak tanggungan, pemegang hak
tanggungan mempunyai kekuatan hukum yang kuat untuk mendapatkan pembayaran
atas piutangnya dengan cara mengeksekusi tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
Hak Tanggungan sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT) adalah hak jaminan yang dibebankan
pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam UUPA berikut atau tidak
berikut benda-benda lain yang merupakan suatu kesatuan dengan tanah itu untuk
pelunasan hutang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya.
Prof. Budi Harsono mengartikan Hak Tanggungan adalah “penguasaan hak
atas tanah berisi kewenangan bagi kreditur untuk berbuat sesuatu mengenai tanah
yang dijadikan agunan tetapi bukan untuk dikuasai secara fisik dan digunakan,
melainkan untuk menjualnya jika debitur cidera janji dan mengambil dari hasilnya
seluruh atau sebagian sebagai pembayaran lunas hutang debitur kepadanya. Dalam
8
Pasal 4 sampai dengan Pasal 7 UUHT telah ditunjuk secara tegas hak atas tanah
yang dapat dijadikan jaminan hutang ada 5 (lima) jenis yaitu:
Hak Milik
Hak Guna Usaha
Hak Guna Bangunan
Hak Pakai, baik hak milik maupun hak atas negara
Hak atas tanah berikut bangunan tanaman dan hasil karya yang telah ada atau
akan ada merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan merupakan hak
miik pemegang atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan
didalam akta pemberian hak atas tanah yang bersangkutan.7
Untuk memperoleh kepastian hukum, pemerintah menggiatkan berbagai cara
untuk menyelesaikan masalah tersebut. Pendaftaran tanah merupakan salah satu
usaha dari pemerintah untuk mengatasi permasalahan diatas. Seperti yang tertuang
dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
yang menyatakan bahwa tujuan pendaftaran tanah adalah sebagai berikut :
a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain
yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai
pemegang hak yang bersangkutan;
b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan
termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang
7 Salim HS., Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 2004, hlm. 105.
9
diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah
dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar;
c. Untuk terselenggaranya tertib adminstrasi pertanahan.
Di masa sekarang ini, tanah memiliki banyak fungsi. Bisa dilihat dari segi
sosial dan ekonomi. Dari segi sosial, tanah memiliki fungsi yang sangat penting
sebagai tempat hidup manusia. Sedangkan, dalam segi ekonomi, tanah sebagai
benda tak bergerak yang bisa diperjual belikan dan juga bisa digunakan sebagai
barang jaminan hak tanggungan dalam proses beracara perdata sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Khususnya mengenai perjanjian, tanah
seringkali dijadikan sebagai barang jaminan. Maka, dalam hal tersebut diperlukan
bukti otentik kepemilikan atas tanah.
Berdasarkan ketentuan mengenai Hak Milik dalam UUPA dan KUHPerdata
tersebut menjadi dasar kepastian hukum atas penguasaan dan kewenangan Hak
Milik untuk dijaminkan sebagai pelunasan hutang. Hak Milik merupakan salah satu
dan hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana diatur dalam
UUHT Pasal 4.
Yang dimaksud dengan hak tanggungan, sebelum lahir Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tidak dijumpai dalam UUPA. Hanya dalam Pasal 51 dikatakan
bahwa hak tanggungan itu diatur dengan undang-undang. Selanjutnya Pasal 57
UUPA menyatakan bahwa selama sebelum keluarnya Undang-Undang No.4 Tahun
1996 yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan mengenai Hipotik tersebut dalam
kitab undang-undang hukum perdata indonesia dan credietverband tersebut dalam
10
S. 1908-542 sebagai yang telah diubah dengan S. 1937-1902. Khususnya dalam
penulisan ini mengupas masalah mengenai pelaksanaan pendaftaran hak tanggungan
atas tanah hak milik.
Hal ini sangat berkaitan erat dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
mengenai Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan
Dengan Tanah. Dengan diselenggarakannya pendaftaran tanah, maka pihak-pihak
yang bersangkutan dengan mudah dapat mengetahui status atau kedudukan hukum
daripada tanah tertentu yang dihadapinya, letak, luas, dan batas hukumnya.
Siapa yang memiliki dan beban-beban apa yang ada diatasnya?. Undang-Undang
Hak Tanggungan yang diundangkan pada tanggal 9 April 1996 melalui Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, merupakan suatu kemajuan
dalam pembangunan hukum agraria di Indonesia. Dengan berlakunya undang-
undang tersebut maka sejak saat itu segala hal yang berkaitan dengan hak
tanggungan atas tanah dilaksanakan menurut ketentuan Undang-undang Nomor 4
Tahun 1996, hal ini berarti pula perintah Pasal 51 UUPA yang memerintahkan
untuk pembuatan Undang-Undang Hak Tanggungan telah terlaksana dengan adanya
undang-undang ini.
Adapun yang dimaksud dengan hak tanggungan menurut Pasal 1 UUHT
adalah :
Hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan
tanah, yang selanjutnya disebut dengan hak tanggungan adalah hak jaminan yang
dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang
11
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau
tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu,
untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada kreditur tertentu terhadap kreditur- kreditur lain.
Ada beberapa unsur- unsur pokok yang termuat dalam definisi hak tanggungan
tersebut diatas, yaitu :
1. Hak tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan hutang.
2. Objek hak tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA.
3. Hak tanggungan tidak hanya dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah)
saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan
satu- kesatuan dengan tanah itu.
4. Utang yang dijamin harus suatu utang yang tertentu.
5. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap
kreditur-kreditur lain.
Hak tanggungan merupakan suatu istilah baru untuk lembaga jaminan
maupun ketentuan dari pelaksanaan dari ketentuan undang-undang tentang adanya
pranata jaminan hutang dengan tanah sebagai agunanya yang disebut hak
tanggungan.
Kepemilikan hak diatas Hak Pengelolaan Perum Perumnas pada umumnya
berstatus Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai
dapat ditingkatkan haknya menjadi Hak Milik dengan persetujuan pemegang Hak
Pengelolaan sebagaimana diatur dalam Surat Menteri Negara Agraria / Kepala BPN
12
Tanggal 17 September 1998 Nomor 630.1 - 3433 tentang Hak Tanggungan atas Hak
Guna Bangunan diatas tanah Hak Pengelolaan bahwa untuk tanah Hak Guna
Bangunan di atas Hak Pengelolaan yang sedang dibebani Hak Tanggungan, dapat
ditingkatkan menjadi Hak Milik asalkan mendapat pernyataan persetujuan secara
tertulis dari pemegang Hak Tanggungan disertai penyerahan Sertipikat Hak
Tanggungan yang bersangkutan. Perubahan status tersebut juga diatur dalam
Peraturan Menteri Negara Agraria I Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1998 Pasal 2 ayat
(1), sedangkan didalam ayat (4) menyebutkan bahwa persetujuan perubahan hak
dari pemegang Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
sebagai persetujuan pelepasan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai.
Demikian juga halnya jika dijadikan sebagai jaminan pelunasan hutang
kepada bank harus mendapat persetujuan dan Perum Perumnas selaku pemegang
Hak Pengelolaan. Dalam Keputusan Menteri Negara Agraria Nomor 9 Tahun 1997
Jo. Keputusan Menteri Negara Agraria Nomor 15 tahun 1997 dan Nomor 1 Tahun
1998 serta dalam Surat Menteri Negara Agraria / Kepala BPN Tangga 18 Februari
1999 Nomor 500 — 3460 menjelaskan bahwa apabila Hak Guna Bangunan tersebut
diatas tanah Hak Pengelolaan Perum Perumnas, maka persetujuan itu wajib
diberikan oleh Perum Perumnas dengan adanya persetujuan secara tertulis
mengingat bidang tugas Perum Perumnas sebagai pemegang Hak Pengelolaan ini
adalah memang mengembangkan perumahan dan permukiman. Prosedur ini juga
diatur dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nornor 1 Tahun 1977.
13
Dalam pada itu perlu ditambahkan bahwa apabila oleh pemegang Hak
Pengelolaan diberikan dengan Hak Milik kepada Pihak Ketiga, maka dengan
sendirinya bidang tanah Hak Milik tersebut menjadi lepas dari Hak Pengelolaan. dan
Hak Pengelolaan atas bidang tanah tersebut menjadi hapus sejak didaftarkannya Hak
Milik Tersebut.
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas Hak Milik merupakan hak turun
temurun. terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Dari
pengertian tersebut Hak Milik dapat dijaminkan sebagai pelunasan hutang tanpa
persetujuan dari pihak ketiga. Akan tetapi pada kenyataannya Hak Milik yang
berada diatas Hak Pengelolaan Perum Perumnas apabila dijaminkan sebagai
pelunasan hutang harus mendapatkan persetujuan dari pemegang Hak Pengelolaan.
Maka, atas dasar permasalahan diatas, penulis terdorong untuk mengambil
judul “Kepastian Hukum Terhadap Kepemilikan Hak Milik Atas Tanah
Di Atas Hak Pengelolaan Perum Perumnas Sebagai Jaminan Hutang”.
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang sebagaimana diuraikan diatas, maka untuk penelitian ini
penulis membatasi pada hal-hal yang akan di identifikasi sebagai berikut :
1. Bagaimana kepastian hukum hak milik atas tanah di atas Hak Pengelolaan
Perum Perumnas?
2. Bagaimana kepastian hukum hak milik atas tanah di atas Hak Pengelolaan
sebagai jaminan hutang?
14
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui kepastian hukum hak milik atas tanah di atas hak pengelolaan
Perum Perumnas.
2. Untuk mengetahui kepastian hukum hak milik atas tanah di atas hak pengelolaan
sebagai jaminan hutang.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan baik dari segi teoritis
maupun segi praktis :
1. Segi teoritis.
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan
pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum
pertanahan dan hukum jaminan.
2. Segi praktis.
Secara praktis, penelitian ini dapat pula memberikan kontribusi positif
dalam hal-hal :
a. Memberikan informasi dan sumbangan pemikiran kepada para pengambil
keputusan dan kebijakan baik eksekutif maupun legislatif agar dalam
membuat peraturan yang berkaitan dengan hak pengelolaan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.
15
b. Memberikan informasi agar dapat dijadikan masukan kepada pengembang,
perbankan maupun pemilik hak milik atas tanah yang berada di atas hak
pengelolaan guna mendorong stimulasi bagi pembangunan perekonomian.
c. Bermanfaat bagi setiap orang yang ingin mendalami ilmu hukum, khususnya
bidang hukum tanah dan hukum agraria.
E. Kerangka Pemikiran
Negara Republik Indonesia sebagaimana yang diamanatkan dalam
Pembukaan UUD 1945 mempunyai tujuan sebagaimana disebutkan dalam alinea ke
empat: “ ... melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum...”, yang merupakan landasan
yuridis bagi tugas, wewenang dan tanggung jawab pemerintah negara Republik
Indonesia untuk memberikan kepastian hukum guna perlindungan hukum bagi
seluruh rakyat Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil
dan merata.
Dengan mana negara berperan mewujudkan kepastian hukum guna
menciptakan perlindungan hukum yang adil sebagaimana diuraikan dalam beberapa
Pasal dalam UUD 1945 antara lain sebagai berikut :
Pasal 1 ayat (3) : “Negara Indonesia adalah negara hukum”, Pasal 28 D ayat
(1) : ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”, Pasal 28 G ayat
(1) , ”Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
16
martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman
dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang merupakan hak asasi”, Pasal 28 H ayat (1) : ”Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik
dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”, Pasal 28 I ayat (4)
”Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah
tanggung jawab negara, terutama pemerintah”.
Cita-cita pendirian bangsa Indonesia dan cita-cita hukum yang dimuat dalam
konstitusi mengenai tujuan yang akan dicapai dalam pembentukan negara Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila sila kelima adalah : “Keadilan Sosial Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia”, sebagai ruh dari cita-cita terciptanya kesejahteraan
umum tersebut, maka penulis memilih kerangka pemikiran yang dipergunakan
dalam penulisan ini menggunakan teori negara kesejahteraan (welfare state).
Dengan mana negara berperan dalam mewujudkan kehidupan masyarakat guna
menciptakan kesejahteraan yang berdasarkan UUD 1945 sebagai Undang-undang
Dasar dan Pancasila sebagai cita-cita hukum dan cita moral serta falsafah bangsa. E.
Panca Pramudya8 melihat ada pesan sentral yaitu adanya harapan supaya negara
kesejahteraan bisa diwujudkan di Indonesia. Memang suatu pekerjaan yang tidak
mudah untuk mencapai tujuan negara kesejahteraan, walaupun usia kemerdekaan
Indonesia yang sudah tidak muda lagi. Secara garis besar, negara kesejahteraan
menunjuk pada sebuah model ide pembangunan yang difokuskan pada peningkatan
8 E. Panca Pramudya, Mengimajinasikan Negara Kesejahteraan, (Kertas Kerja yang disampaikan dalam diskusi “Negara Kesejahteraan” dari hasil riset, yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Prakarya kerjasama dengan Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati), Jakarta, 30 Agustus 2005).
17
kesejahteraan melalui pemberian peran yang lebih penting kepada negara dalam
memberikan pelayanan sosial secara universal dan komprehensif kepada warganya.9
Dalam pandangan lain, Sri Redjeki Hartono, berpendapat : “asas campur
tangan negara terhadap kegiatan ekonomi, merupakan salah satu dari tiga asas
penting yang dibutuhkan dalam rangka pembinaan cita hukum asas-asas hukum
nasional ditinjau dari aspek hukum dagang dan ekonomi. Dua asas lainnya adalah
asas keseimbangan dan asas pengawasan publik.10
Dalam konteks ekonomi campuran (mixed economy), Friedmann membagi
empat fungsi negara. Pertama negara sebagai provider (penyedia) yang melakukan
upaya untuk memenuhi standar minimal yang dibutuhkan masyarakat dalam rangka
mengatasi kelemahan dan dampak negatif dari akibat diperlakukannya pasar bebas
yang dapat merugikan masyarakat. Kedua sebagai regulator (fungsi pengatur), yang
bertujuan untuk mengatur ketertiban, agar tidak kacau, seperti bidang investasi agar
industri dapat tumbuh dan berkembang. Ketiga, sebagai entrepreneur yang
dilakukan dengan campur tangan langsung, seperti melalui BUMN (Badan Usaha
Milik Negara) khususnya untuk bidang usaha yang vital bagi masyarakat, namun
tidak menguntungkan bagi usaha swasta (misalnya Perum Perumnas) atau Bis Kota
yang bertujuan menciptakan pelayanan umum (public service). Keempat, adalah
fungsi umpire (fungsi pengawasan) yang berkaitan dengan produk hukum untuk
menjaga ketertiban dan keadilan sekaligus bertindak sebagai penegak hukum.11
9 Edi Suharto, Negara Kesejahteraan dan Reinventing Depsos. (Makalah yang disampaikan pada seminar Mengkaji Ulang Relevansi Welfare State dan Terobosan melalui Desentralisasi Otonomi di Indonesia, yang dilaksanakan oleh MMUGM Yogyakarta, 25 Juli 2006). Hlm. 6.
10 Sri Redjeki Hartono, Kapita Selekta Hukum Ekonomi, Mandar Maju, Bandung, 2002. Hlm.13.11 W. Friedmann,et.al., The State And The Rule Of Law In A Mixed Economy, (London, 1971) hlm. 3,
sebagaimana dikutip dari Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
18
Dari pendapat para ahli tersebut di atas dapat digaris-bawahi peran negara
dalam membangun hukum bagi kesejahteraan rakyat sangatlah strategis, negara
dapat memerankan hukum dalam menata perekonomian dan sektor-sektor produksi
lainnya sebagai regulator, pelaksana dan pengawas.
Gagasan memerankan hukum secara aktif di dalam proses penentuan
kebijakan sejalan dengan gagasan Mochtar Kusumaatmadja yang dikenal dengan
Teori Hukum Pembangunan, sebagaimana dikemukakan sebagai berikut :
Hukum merupakan sarana pembaharuan masyarakat berdasarkan suatu
anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan atau
pembaharuan itu merupakan suatu yang diinginkan, bahkan dipandang (mutlak)
perlu. Anggapan lain yang terkandung dalam konsepsi hukum sebagai sarana
pembaharuan adalah bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum
memang bisa berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti
penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan atau
pembaharuan.12
Sesuai dengan peran hukum sebagai sarana pembaharuan dan sekaligus
sebagai sarana pembangunan, pembaharuan masyarakat melalui jalur hukum, berarti
dilakukannya pembaharuan hukum, terutama melalui jalur perundang-undangan.
Hal ini berarti proses pembentukan undang-undang harus dapat menampung semua
hal yang erat hubungannya (relevan) dengan bidang atau masalah yang hendak
diatur dengan undang-undang itu, apabila perundang-undangan itu diharapkan
Bayumedia, Malang, 2006. Hlm. 433.12 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat Dan Pembinaan Hukum Nasional, Binacipta,
Bandung, 1976 . Hlm. 11–13.
19
merupakan suatu pengaturan yang efektif.13 Pengertian hukum yang memadai harus
tidak hanya memandang hukum sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang
mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga
(institusional) dan proses (process) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu
dalam kenyataan.14
Pembangunan hukum harus dapat dan mampu mengikuti perkembangan
masyarakat yang sedang berkembang ke arah modernisasi. Terlebih lagi
pembangunan hukum harus mampu menampung semua kebutuhan pengaturan
kehidupan masyarakat berdasarkan tingkat kemajuan masyarakat dalam semua
bidang.15
Konsepsi yang digagas Mochtar dalam mengemukan teori hukum sebagai
sarana pembangunan pada dasarnya sedikit banyaknya diilhami oleh pandangan
Roscou Pound yang mengemukakan konsepsi law as tool of social engineering,
sebagaimana dikemukakannya dalam aliran Pragmatic Legal Realism,16 terutama
jika konsepsi tersebut dilakukan dengan pendekatan konsepsi ilmu hukum (filsafat
hukum, bukan sebagai landasan pemikiran politik hukum), maka konsepsi hukum
sebagai sarana pembangunan menjadi lebih luas dari hukum sebagai alat (tool),
karena konsepsi hukum sebagai sarana pembangunan dapat mengisi ruang dalam
rangka pengembangan hukum dan ilmu hukum di Indonesia. Itu juga sebabnya,
lebih lanjut Mochtar mengatakan,17 maka pengembangan konsepsional hukum 13 Ibid, Hlm. 14.14 Ibid, Hlm. 15. 15 Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas
Pemisahan Horizontal, Citra Aditya Bakti, Bandung 1996. Hlm. 3.16 Mochtar Kusumaatmadja, Op. Cit. Hlm. 83 – 85.17 Ibid, Hlm. 83
20
sebagai sarana pembaharuan masyarakat Indonesia lebih luas jangkauan dan ruang
lingkupnya dari tempat kelahirannya sendiri.
Hakikatnya pembangunan di bidang hukum dalam negara hukum Indonesia
berdasarkan atas sumber tertib hukum negara yaitu Pancasila dan UUD 1945, yang
di dalamnya terkandung pandangan hidup, kesadaran, dan cita-cita hukum serta cita-
cita moral yang luhur yang meliputi suasana kejiwaan serta watak dari bangsa
Indonesia yang dipadatkan di dalamnya. Dalam pembangunan hukum itu menurut
Mochtar Kusumaatmadja18 dilakukan dengan jalan :
a. Peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional antara lain dengan
mengadakan pembaharuan, kodifikasi serta unifikasi hukum di bidang-bidang
tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat;
b. Menertibkan lembaga-lembaga hukum menurut proporsinya masing-masing;
c. Peningkatan kemampuan dan kewibawaan penegak hukum. Memupuk
kesadaran hukum dalam masyarakat dan membina sikap para penguasa dan para
pejabat pemerintah ke arah penegakan hukum, keadilan serta perlindungan
terhadap harkat dan martabat manusia, dan ketertiban serta kepastian hukum
sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945.
Gagasan yang dibangun oleh Mochtar Kusumaatmadja di dalam melakukan
pembinaan hukum nasional Indonesia pada awal 1970-an, bahwa hukum bagi
Mochtar Kusumaatmadja tidak hanya terbatas pada semata-mata kehendak penguasa
yang mempositifkan praktik-praktik kehidupan di dalam masyarakat atau sekedar
sebagai instrumen penjaga ketertiban dalam masyarakat. Namun lebih dari itu,
18 Mochtar Kusumatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, 2002. Hlm. 112.
21
hukum merupakan sarana untuk melakukan sebuah transformasi atau membentuk
suatu model masyarakat yang diinginkan, kemudian membangun konsepsi ilmu
hukum dalam perkembangannya.
Lili Rasjidi mengemukakan bahwa terdapat beberapa permasalahan dalam
melaksanakan konsepsi hukum sebagai sarana pembangunan di Indonesia. Masalah-
masalah itu ialah:19 karena Indonesia menganut perundang-undangan sebagai cara
pengaturan hukum yang utama, maka perundang-undangan ini yang akan lebih
banyak digunakan sebagai sarana pembangunan masyarakat dibanding dengan
yurisprudensi. Berkaitan dengan ini kesulitan akan dihadapi :
a. Dalam menetapkan prioritas yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat;
b. Untuk membuat hukum yang sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran hukum
masyarakat.
Lebih lanjut, persoalan pada penetapan prioritas pada pembinaan hukum
yang menunjang pembangunan. Dalam hal ini terdapat dua golongan hukum, yaitu :
20
a. Masalah-masalah yang langsung mengenai kehidupan pribadi seseorang dan erat
hubungannya dengan kehidupan budaya dan spiritual masyarakat;
b. Masalah yang bertalian dengan masyarakat dan kemajuan pada umumnya
bersifat “netral” di lihat dari sudut kebudayaan.
19 Lili Rasjidi, Peranan Hukum dalam Pembangunan Nasional Indonesia, (Makalah yang disampaikan dalam Orasi Ilmiah, Dies Natalis kelima dan Wisuda yang diselenggarakan Sekolah Tinggi Hukum Garut, Garut, 19 Nopember 1986).
20 Ibid.
22
Friedmann memandang terdapat tiga komponen utama di dalam sistem
hukum yakni, struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum. Struktur hukum
meliputi lembaga peradilan dengan seluruh tingkatannya, dalam struktur juga
bagaimana lembaga legislatif ditata, termasuk juga mengenai pengaturan tentang
lembaga kepresidenan, dan aparat penegak hukum lainnya seperti kepolisian.21
Aspek lain dari sistem hukum adalah substansi hukum meliputi aturan, norma, dan
pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu.22 Ruang lingkup
substansi hukum meliputi perangkat peraturan perundang-undangan sesuai dengan
tata urutan perundang-undangan yang berlaku di suatu negara. Di Indonesia ruang
lingkup substansi hukum dimulai dari UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi,
kemudian Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah.23 Peraturan
perundang-undangan lainnya yang di luar ketentuan sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang : Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (UU 10/2004) dapat dikategorikan sebagai substansi hukum
seperti Peraturan Menteri, Peraturan Mahkamah Agung dan sebagainya yang
berlaku dalam lingkup kewenangan lembaga yang bersangkutan. Komponen ketiga
dari sistem hukum adalah budaya hukum, yaitu sikap manusia terhadap hukum dan
sistem hukum, kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapannya. Dengan kata lain
21 Ibid.22 Ibid.23 Lebih lanjut lihat Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan di Indonesia, dengan penjelasannya.
23
budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan
bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan.24
Ketiga unsur sistem hukum tersebut mewarnai penelitian ini untuk
menemukan model dan konsep yang tepat dalam membahas permasalahan kepastian
hukum terhadap hak milik atas tanah di atas hak pengelolaan perum perumnas
sebagai jaminan hutang, melalui pendekatan substantif yaitu dengan meneliti
ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, para
pemangku kepentingan terutama lembaga yang menata sistem hukum, baik pembuat
undang-undang (Legislatif), pelaksana pemerintahan (Eksekutif), pola
pendelegasian kewenangan dan kelembagaan yang merupakan bagian dari struktur
pemerintahan, serta cara pandang dan kelakuan yang menjadi basis penting dari
pengembangan hukum yaitu budaya hukum, kesadaran, kebiasaan, serta kepatutan
hukum yang dijalani oleh bangsa dan para birokrat sebagai perpanjangan tangan
kewenangan pemerintahan.
Sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) Tahun 2004 – 2009,25 Presiden yang dalam hal ini bertindak sebagai
pemimpin pemerintahan, sejalan dengan hak-hak konstitusi yang dimilikinya, telah
menetapkan program perencanaan hukum ditujukan untuk menciptakan persamaan
persepsi dari seluruh pelaku pembangunan khususnya di bidang hukum dalam
menghadapi berbagai isu strategis dan global yang secara cepat perlu diantisipasi
agar penegakan dan kepastian hukum tetap berjalan secara berkesinambungan. Di
24 Ibid, Hlm. 7 – 8.25 Dikutip dari RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) Tahun 2004 – 2009, Bab 9
Tentang : Pembenahan Sistem dan Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 89 – 90.
24
samping itu ditentukan juga program pembentukan hukum, dalam program ini
dimaksudkan untuk menciptakan berbagai perangkat peraturan perundang-undangan
yang menjadi landasan hukum untuk berperilaku tertib dalam rangka
menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pembentukan peraturan perundang-undangan dilakukan melalui proses yang benar
dengan memperhatikan tertib perundang-undangan serta asas umum peraturan
perundang-undangan yang baik, termasuk bidang pertanahan.
Selanjutnya dikatakan oleh Maria S.W. Sumardjono, bahwa prinsip dasar
dalam setiap pembentukan peraturan perundangan-undangan adalah pemahaman
terhadap keterkaitan antara peraturan-peraturan dalam satu sistem yang merupakan
kesatuan yang utuh dan bahwa operasionalisasi suatu peraturan (perundangan) harus
dapat dikembalikan pada konsepnya, yakni asas hukum yang mendasarinya.26
Pada dasarnya UUPA mengatur beberapa macam hak atas tanah, namun
seringkali hak atas tanah yang diatur oleh UUPA hanya dianggap hak-hak pada
Pasal 16 saja. Padahal UUPA juga “mengatur kembali” pelaksanaan hak ulayat atau
sejenisnya pada Pasal 3. Hak ulayat memang bukan ciptaan UUPA namun hak
ulayat yang diatur dalam UUPA sedikit berbeda dengan aslinya, yaitu hak ulayat
yang sudah dibatasi pelaksanaannya. Dengan demikian, dalam sistematika UUPA
terdapat 2 (dua) jenis hak atas tanah, yaitu hak ulayat dan hak atas tanah menurut
Pasal 16.
26 Maria S.W Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antar Regulasi dan Implementasi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta 2005, hlm. 3.
25
Menurut Pasal 16 Undang-undang Pokok Agraria, bahwa yang termasuk
dalam hak-hak atas tanah adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,
Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil Hutan dan Hak-
hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan
dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana yang
disebutkan Pasal 53 (UUPA).
Hak-hak tersebut di atas ditinjau dari sumbernya adalah bersumber dari Hak
Menguasai Negara atas Tanah yang dapat diberikan kepada orang perorangan, baik
Warga Negara Indonesia, maupun Warga Negara Asing (WNA). Juga dapat
diberikan kepada sekelompok orang secara bersama-sama dan juga kepada badan
hukum, baik badan hukum privat maupun badan hukum publik.
Ditinjau dari segi kewenangan yang dimiliki oleh pemegang hak atas tanah,
menurut Soedikno Mertokusumo wewenang tersebut dibagi 2 (dua), yakni :27
a. Wewenang Umum; wewenang yang bersifat umum yaitu pemegang hak atas
tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga
tubuh bumi dan air dan ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk
kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam
batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih
tinggi (Pasal 4 ayat (2) UUPA);
b. Wewenang Khusus; pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk
menggunakan tanahnya sesuai dengan macam hak atas tanahnya, misalnya
27 Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2002, hlm. 87.
26
wewenang pada tanah Hak Milik adalah dapat untuk kepentingan pertanian dan
untuk mendirikan bangunan, wewenang pada tanah Hak Guna Bangunan adalah
menggunakan tanah hanya untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas
tanah yang bukan miliknya, wewenang pada tanah Hak Guna Usaha adalah
menggunakan tanah hanya untuk kepentingan perusahaan di bidang pertanian,
perikanan, peternakan, atau perkebunan.
Khusus mengenai hak untuk membuka tanah dan hak menumpang, karena
belum diatur lebih lanjut, tidak akan diuraikan lebih lanjut. Pada dasarnya, kedua
hak tersebut merupakan salah satu pelaksanaan hak ulayat.
Hak Milik menurut Pasal 20 ayat (1) UUPA adalah hak turun temurun,
terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat
ketentuan pada Pasal 6. Turun temurun artinya Hak Milik atas tanah dapat
berlangsung terus menerus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya
meninggal dunia, maka Hak Milik atas tanah dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya
sepanjang memenuhi syarat sebagai subyek Hak Milik. Terkuat, artinya Hak Milik
atas tanah lebih kuat bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, tidak
mempunyai batas waktu tertentu, mudah dipertahankan dari gangguan pihak lain,
dan tidak mudah hapus. Terpenuh, artinya Hak Milik atas tanah memberi wewenang
kepada pemiliknya paling luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain,
dapat menjadi induk bagi hak atas tanah yang lain, tidak berinduk pada hak atas
tanah yang lain, dan penggunaan tanahnya lebih luas bila dibandingkan dengan hak
atas tanah yang lain. Hak Milik atas tanah hanya dapat dipunyai oleh orang
27
perseorangan Warga Negara Indonesia. Badan Hukum Indonesia atau Badan Hukum
Asing serta Warga Negara Asing tidak dapat memiliki Hak Milik atas tanah karena
pembatasan yang dilakukan oleh UUPA, sebagaimana yang diatur pada Pasal 21.
Hak milik dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Normatif,
yakni penelitian kepustakaan (library research), dengan alat pengumpul datanya
adalah studi dokumen. Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian tersebut
yaitu :
1. Sumber Primer yaitu bahan yang memiliki kekuatan yang mengikat seperti
menggunakan peraturan perundang-undangan yang terkait.
2. Sumber hukum sekunder yaitu bahan yang menjelaskan sumber hukum primer
yang isinya tidak mengikat seperti buku-buku acuan, majalah, surat kabar, serta
bahan-bahan lain yang dapat menunjang dan memiliki keterkaitan dengan
permasalahan yang dibahas.
3. Sumber hukum tertier yaitu bahan yang menunjang sumber hukum primer dan
sumber sekunder yaitu mencakup kamus umum dan ensiklopedia yang
memberikan petunjuk dan penjelasan kepada bahan untuk primer dan sekunder.
Analisa data dilakukan dengan cara pendekatan kualitatif yang merupakan
tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis yaitu apa yang
dinyatakan oleh sasaran penelitian yang bersangkutan secara tertulis atau lisan dan
28
perilaku nyata. Yang diteliti dan dipelajari adalah penelitian utuh, setelah data
terkumpul, dikelompokkan sesuai dengan pokok permasalahan yang telah
dirumuskan, kemudian dihubungkan dengan data yang satu dengan data yang lain
dengan menggunakan dalil logika, norma-norma hukum, asas-asas hukum, serta
teori-teori dan terakhir dianalisa, setelah itu dilakukan pengambilan kesimpulan.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika dalam penulisan skripsi ini akan diuraikan dan disusun dalam
lima bab dan beberapa sub bab dalam bab dengan rincian sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan sistematika penulisan yang terdiri dari
latar belakang masalah, identifikasi permasalahan, tujuan
penelitian, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran,
metodologi penelitian, sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN HUKUM TENTANG HAK MILIK ATAS
TANAH, HAK PENGELOLAAN DAN HAK
TANGGUNGAN
Bab ini akan menguraikan tentang Hak Milik Atas Tanah, Hak
Pengelolaan Dalam Sistem UUPA dan Hak
Tanggungan.
BAB III : HAK MILIK DI ATAS HAK PENGELOLAAN PERUM
PERUMNAS SEBAGAI JAMINAN HUTANG.
29
Bab ini menguraikan tentang Hak Milik Atas Tanah Di Atas
Hak Pengelolaan Perum Perumnas, Hak Milik Di Atas
Atas Tanah Hak Pengelolaan Perum Perumnas
Sebagai Jaminan Hutang.
BAB IV : KEPASTIAN HUKUM TERHADAP HAK MILIK ATAS
TANAH DI ATAS HAK PENGELOLAAN PERUM
PERUMNAS SEBAGAI JAMINAN HUTANG.
Bab ini akan menguraikan tentang Kepastian Hukum Hak
Milik Atas Tanah Di Atas Hak Pengelolaan Perum
Perumnas, Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah Di
Atas Hak Pengelolaan Perum Perumnas Sebagai
Jaminan Hutang.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab ini akan memberikan beberapa kesimpulan dari
penulisan ini dan memberikan saran-saran atas identifikasi
permasalahan.
30
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku – buku :
Arie Sukanti Hutagalung, Kewenangan Pemerintah Di Bidang Pertanahan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008.
An Andi Hamzah, (et al), Dasar-dasar Hukum Perumahan, Penerbit Rineka Cipta, 2006.
Boedi harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah Nasional. Djambatan, Jakarta, edisi 2005.
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal, Citra Aditya Bakti, Bandung 1996.
Maria S.W Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antar Regulasi dan Implementasi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta 2005.
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat Dan Pembinaan Hukum Nasional, Binacipta, Bandung, 1976.
____________, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, 2002.
Rusmadi Murad, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Alumni, Bandung, 1991.
Ramli Zein, Hak Pengelolaan Dalam Sistem UUPA, Rineka Cipta, Jakarta, 1995
Salim HS., Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta 2004.
Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2002.
Sri Redjeki Hartono, Kapita Selekta Hukum Ekonomi, Mandar Maju, Bandung, 2002.
Sri Soedewi Mascjhoen Sofwan, Hukum Perdata : Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, Edisi 2000.
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, edisi 2005.
W. Friedmann,et.al., The State And The Rule Of Law In A Mixed Economy, (London, 1971) hlm. 3, sebagaimana dikutip dari Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Malang, 2006.
31
B. Disertasi dan Karya Ilmiah :
E. Panca Pramudya, Mengimajinasikan Negara Kesejahteraan, Kertas Kerja yang disampaikan dalam diskusi “Negara Kesejahteraan” dari hasil riset yang dilakukan Perkumpulan Prakarya kerjasama dengan Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati), Jakarta, tanggal 30 Agustus 2005.
Edi Suharto, Negara Kesejahteraan dan Reinventing Depsos. Makalah pada seminar Mengkaji Ulang Relevansi Welfare State dan Terobosan melalui Desentralisasi Otonomi di Indonesia, dilaksanakan oleh MMUGM Yogyakarta, tanggal 25 Juli 2006.
Lili Rasjidi, Peranan Hukum dalam Pembangunan Nasional Indonesia, makalah, disampaikan dalam Orasi Ilmiah, Dies Natalis kelima dan Wisuda Sekolah Tinggi Hukum Garut, pada tanggal 19 Nopember 1986.
C. Undang-Undang Republik Indonesia dan Peraturan :
Undang-Undang Republik Indonesia Dasar Republik Indonesia 1945.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).
Undang-Undang Republik Indonesia Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tanggal 24 September 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang : Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Republik Indonesia Tahun 2005 – 2025.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan
Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1 Tahun 1977 tentang “Tata Cara Permohonan
Dan Penyelesaian Pemberian Hak Atas Bagian Bagian Hak Pengelolaan
Serta Pendaftarannya”
32
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 Tentang
Perusahaan Umum (Perum) Pembangunan Perumahan Nasional
Surat Menteri Negara Agraria / Kepala BPN Tanggal 17 September 1998 Nomor
630.1 - 3433 tentang Hak Tanggungan atas Hak Guna Bangunan diatas
tanah Hak Pengelolaan
D. Website :
http://www.perumnas.co.id/public/?pgid=sejarah, diakses pada tanggal 28 April 2010.
H. Kamus :
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, Tahun 2005.
33