-
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ikan lemuru (Sardinella lemuru) merupakan produksi ikan
paling
menonjol dari Selat Bali dibandingkan dengan di Selat Madura dan
Selat
Sunda. Selat Bali memiliki potensi ikan lemuru lebih besar
dibanding wilayah
perairan lainnya karena di Selat Bali terjadi proses kenaikan
air pada musim
timur sehingga perairan ini menjadi kaya akan bahan makanan
yang
dibutuhkan oleh ikan lemuru (Kusmiati, 2007). Kontribusi hasil
tangkapan
ikan lemuru dalam kurun waktu 30 tahun (1977-2007) rata-rata
sekitar 85%,
dan nilai produksi 70% dari total hasil tangkapan di Selat Bali
(Setyohadi,
2009). Ikan lemuru dapat dimanfaatkan dalam bentuk segar, asin,
maupun
dikalengkan.
Berbagai cara pengawetan ikan telah banyak dilakukan,
termasuk
dengan mengalengkan ikan. Pengalengan makanan merupakan suatu
cara
pengawetan bahan pangan yang dikemas secara hermetis dan
kemudian
disterilkan. Ikan kaleng adalah salah satu produk makanan yang
banyak
digemari masyarakat karena mudah didapatkan dan cepat disajikan
terlebih
ikan memiliki banyak protein. Dengan adanya produk ikan kaleng
kebutuhan
akan konsumsi ikan dapat terpenuhi setiap saat. Hal ini
disebabkan karena
melalui proses pengalengan, ikan menjadi lebih awet dan diolah
dengan
medium yang beraneka rasa sehingga memenuhi selera konsumen.
Daya awet makanan kaleng sangat bervariasi tergantung dari
jenis
bahan pangan, jenis wadah, proses pengalengan yang dilakukan dan
kondisi
tempat penyimpanan. Apabila proses pengolahan dilakukan secara
sempurna
maka daya awet produk yang dikalengkan, dapat bertahan lama
(Adawyah,
2006). Proses pengalengan dan kapasitas jumlah produksi perlu
diperhatikan
untuk menjaga kandungan gizi dan mutu ikan kaleng sehingga
dapat
memenuhi permintaan konsumen dari segi kuantitas maupun
kualitas.
Ikan sarden kaleng produksi Indonesia berbahan baku ikan
lemuru.
Lemuru merupakan nama lokal yang diberikan bagi ikan tersebut
yang
berukuran 15-18 cm di daerah Bali dan Muncar, sedangkan ikan
lemuru
-
2
berukuran besar dinamakan lemuru kucing atau kucingan. Untuk
ikan lemuru
berukuran kecil dinamakan sempenit atau penpen sedangkan ikan
lemuru
berukuran 11-15 cm dinamakan Protolan (Merta, 1992). Nama ikan
lemuru
kurang dikenal masyarakat sehingga kurang memiliki nilai jual,
sehingga
dipilih alternatif nama berdasarkan pangsa pasar internasional
yaitu sarden
yang merupakan nama genus dari ikan lemuru.
Salah satu perusahaan yang bergerak dibidang pengalengan
ikan
lemuru adalah PT. Blambangan Foodpackers Indonesia
Banyuwangi.
Perusahaan tersebut telah lama beroperasi dan menghasilkan ikan
sarden
kaleng dan ikan tuna kaleng dalam berbagai macam medium atau
rasa dengan
berbagai macam brand yang dipasarkan hampir ke seluruh
Indonesia. Dengan
adanya praktek kerja lapang ini mahasiswa dapat mengetahui
proses
pengalengan ikan yang dilakukan perusahaan tersebut serta
memahami cara
pengolahan ikan yang baik dan benar sehingga dapat dihasilkannya
produk
yang berkualitas dan layak dikonsumsi masyarakat.
B. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan Kerja Lapangan di
PT.
Blambangan Foodpackers Indonesia adalah:
1. mengetahui, mempelajari dan memahami proses pengalengan ikan
di
PT. Blambangan Foodpackers Indonesia dari produksi hingga
dipasarkan
2. mengetahui permasalahan yang timbul dalam proses pengalengan
ikan
lemuru dan penyelesaiannya di PT. Blambangan Foodpackers
Indonesia.
C. Manfaat
1. Bagi Mahasiswa
Manfaat yang ingin diperoleh mahasiwa dari pelaksanaan kerja
lapangan di PT. Blambangan Foodpackers Indonesia adalah:
a. mahasiswa dapat menambah informasi tentang proses
pengalengan, permasalahan yang sering timbul dan
penyelesaiannya
-
3
b. mahasiswa dapat meningkatkan kompetensi baik
keterampilan,
wawasan, sikap, maupun etos kerja sehingga dapat diterapkan
setelah mahasiswa menyelesaikan studi
c. mahasiswa dapat membandingkan antara studi yang didapat
di
kelas dengan di lapangan.
2. Bagi PT. Blambangan Foodpackers Indonesia
Manfaat yang diharapkan diperoleh PT. Blambangan
Foodpackers Indonesia dari pelaksanaan kerja lapangan adalah
:
a. bentuk kerjasama dengan pihak Universitas untuk
mengenalkan
dunia kerja sebagai bekal keterampilan bagi mahasisawa
b. memberikan kontribusi bagi mahasiswa dan dapat memberikan
sumbangan pemikiran, gagasan ataupun kreativitas dalam
produksi pengalengan ikan.
D. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Pelaksanaan kerja lapangan akan dimulai pada tanggal 12 Januari
2015
sampai dengan 6 Februari 2015 di PT. Blambangan Foodpackers
Indonesia
yang beralamatkan di Jalan Sampangan No. 1 Desa Kedungrejo,
Muncar,
Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
-
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Deskripsi Ikan Lemuru
1. Taksonomi dan Morfologi
Klasifikasi ikan lemuru menurut Saanin (1984) adalah sebagai
berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Actinopterygii
Ordo : Clupeiformes
Famili : Clupeidae
Genus : Sardinella
Spesies : S. lemuru
Gambar 2.1. S. lemuru
Sumber : http://fishbase.org/Photos/PicturesSummary.php?
StartRow=1&ID=1510&what=species&TotRec=4
Beberapa dari jenis Sardinella ada yang hampir menyerupai satu
sama
lainnya, beberapa ada yang mempunyai perbedaan morfologis,
yang
menandakan bahwa ikan itu berbeda spesiesnya (Dwiponggo,
1982).
Perbedaan morfologis ini dapat berupa perbedaan warna tubuh
seperti yang
terlihat pada S. fimbriata dengan warna hijau kebiruan pada
bagian badan
atas, sedangkan warna biru gelap di bagian yang sama pada S.
lemuru
(Syakila, 2009).
Ikan lemuru (S. lemuru) termasuk ikan pelagik kecil pemakan
plankton.
Spesies ini hidup bergerombol, badannya bulat memanjang, bagian
perut
http://fishbase.org/Photos/PicturesSummary.php?%20StartRow=1&IDhttp://fishbase.org/Photos/PicturesSummary.php?%20StartRow=1&ID
-
5
agak membulat dengan sisik duri yang agak tumpul dan tidak
menonjol.
Morfologi ikan lemuru dapat dilihat pada gambar 2.1. Panjang
badan
spesies ini dapat mencapai 23 cm, namun kebanyakan berkisar
17-18 cm.
Warna badan biru kehijauan di bagian atas, sedangkan bagian
bawah putih
keperakan. Pada bagian atas penutup insang sampai pangkal ekor
terdapat
sebaris totol-totol hitam atau bulatan-bulatan kecil berwarna
gelap.
Siripnya berwarna abu-abu kekuning-kuningan, sedangkan warna
sirip
ekor kehitaman (Dwiponggo, 1982).
2. Tingkah Laku
Ikan lemuru termasuk jenis ikan pelagis kecil yang mudah
tertarik oleh
cahaya, sehingga dapat berkumpul ke tempat dimana cahaya
lampu
dipasang. Ikan ini cenderung berada di permukaan laut pada malam
hari
untuk mencari makan dan berada di kolom perairan tertentu pada
siang
hari. Produksi lemuru umumnya mulai meningkat pada bulan Oktober
dan
puncaknya pada bulan Desember sampai Januari (Merta, 1992).
3. Kelebihan ikan lemuru sebagai bahan mentah
Banyaknya tangkapan ikan lemuru di Selat Bali membuat
industri
berskala nasional membangun pabrik pengalengan ikan sarden di
daerah
Muncar Banyuwangi. Hasil penelitian pengujian organoleptik pada
bahan
mentah yang diterima PT. Karya Manunggal Prima Sukses
mempunyai
kisaran 7,58 7,68, nilai ini telah memenuhi standar SNI
(Mayasari, 2013).
Ikan lemuru yang berasal dari Muncar memiliki nilai organoleptik
lebih
baik daripada ikan yang didatangkan dari Grajakan dan Puger baik
bahan
mentah ataupun produk akhir. Perbedaan kenampakan dari
masing-masing
daerah asal dikarenakan perbedaan waktu dalam penanganan.
Semakin
cepat ikan sampai ke pabrik maka semakin cepat diolah dan mutu
dapat
dipertahankan (Wulandari et al., 2009).
Ikan lemuru merupakan salah satu jenis ikan tropis yang
mengandung
komponen asam lemak omega-3 dalam jumlah yang cukup tinggi. Hal
ini
dikarenakan ikan lemuru di alam banyak memakan
plankton-plankton
maupun mikroalga yang banyak memproduksi komponen asam lemak
omega-3.Ikan lemuru mengandung 13,7% EPA, 8,9 DHA dan 26,8 %
total
-
6
omega-3 dari total minyak (Estiasih, 2009). Kelebihan ikan
lemuru lainnya
adalah nilai gizi yang cukup tinggi, setiap 100 g daging
lemuru
mengandung 112 kkal energi, 20 g protein, 3 g lemak dan 100 mg
fosfor
(Saparinto et al., 2006).
Kemunduran mutu ikan maupun kesalahan pengolahan menyebabkan
hilangnya komponen gizi misalnya vitamin-vitamin dan protein
yang
terlarut dalam air atau larutan garam (Hadiwiyoto, 1993). Reaksi
antara air
atau minyak dengan ikan pada suhu tinggi selama proses
pengalengan telah
terbukti mempengaruhi beberapa nutisi dalam ikan serta
menyebabkan
struktur minyak dan denaturasi nutrisi makanan. Ikan sebagai
sumber
protein utama dalam makanan apabila dikalengkan akan mengurangi
kadar
serat kasar, seperti pada ikan E. affinis (Aberoumand, 2011)
B. Pengalengan
Pengalengan makanan merupakan suatu cara pengawetan bahan
pangan
yang dikemas secara hermetis dan kemudian disterilkan. Metode
pengawetan
tersebut ditemukan oleh Nicolas Appert, seorang ilmuwan Prancis.
Di dalam
pengalengan makanan, bahan pangan dikemas secara hermetis dalam
suatu
wadah, baik kaleng, gelas atau alumunium. Pengemasan secara
hermetis dapat
diartikan bahwa penutupan dilakukan sangat rapat, sehingga tidak
dapat
ditembus oleh udara, air, kerusakan akibat oksidasi ataupun
perubahan cita rasa
(Adawyah, 2007).
Pengalengan adalah cara pengawetan ikan dengan sterilisasi dalam
kaleng.
Ikan dimasukkan dalam kaleng, kemudian disterilkan dengan panas
(Murniyati
dan Sunarman, 2000). Pengalengan ikan diartikan sebagai cara
pengolahan dan
pengawetan ikan yang telah disterilkan dan dikemas dalam kaleng.
Dasar dari
pengalengan ini, yaitu memanasi ikan di dalam kaleng sampai pada
suhu dan
waktu tertentu. Tujuannya agar mikroorganisme yang tidak
menguntungkan,
seperti jamur, ragi, bakteri mati sehingga tidak menimbulkan
proses
pembusukan (Tim Penulis PS, 2008).
Menurut Muchtadi (1995), beberapa keuntungan mengawetkan
makanan
dengan pengalengan adalah :
-
7
1. bebas dari kebusukan jika proses pengalengan dilakukan dengan
baik dan
benar
2. dapat mempertahankan nilai gizi
3. dapat mempertahankan citarasa
4. dapat mempertahankan daya tarik makanan atau minuman.
C. Proses Pengalengan Ikan
Proses pengalengan ikan melalui beberapa tahap, yaitu :
1. Persiapan Bahan
Penggunaan kaleng sebagai wadah pengalengan ikan memberikan
beberapa keuntungan. Keuntungan tersebut yaitu, kaleng dapat
menjaga
pangan di dalamnya dari kontaminasi yang menyebabkan
kebusukan,
kaleng dapat menjaga bahan pangan dari perubahan kadar air
dan
masuknya oksigen yang tidak diinginkan. Keuntungan lain
adalah
meningkatkan daya tarik karena mudah ditata saat display
penjualan
(Muchtadi, 1995).
Bahan yang digunakan dalam proses pembuatan kaleng, yaitu
Electrolyte Tin Plate (ETP), Tin Free Syeel (TFS) dan
alumunium.
Kebanyakan pengalengan menggunakan TFS-CT yang merupakan
lapisan
baja yang dilapisi kromium secara elektris kemudian terbentuk
kromium
oksida pada seluruh permukaannya. Kelebihan penggunaan TFS
antara
lain, tidak menggunakan timah putih sehingga harga lebih murah,
daya
adesi terhadap bahan organik lebih baik, sedangkan kekurangannya
adalah
berpeluang lebih tinggi untuk berkarat (Adawyah, 2007).
Wadah kaleng yang akan digunakan hendaknya dibersihkan dan
diperiksa secara teliti sebelum digunakan untuk pengalengan.
Cara tersebut
apabila dilaksanakan dengan baik akan menekan terjadinya
kebusukan.
Kaleng-kaleng yang akan digunakan hendaknya diperiksa solderan,
adanya
karat atau ada cacat lainnya, seperti lekuk-lekuk atau penyok.
Kaleng yang
baik kemudian dicuci dalam air sabun dan hangat kemudian dibilas
dengan
air bersih. Tutup kaleng hendaknya tidak dicuci untuk
menghindari
kerusakan pada gasket (Adawyah, 2007). Gasket adalah karet
perekat yang
-
8
akan memberikan penutupan hermetis antara badan dan tutup
kaleng
(Muchtadi, 1995).
Bahan mentah berupa ikan dibuang bagian isi perut, dicuci,
dilakukan
pemasakan awal, kemudian dipotong-potong dan ditimbang.
Precooking
dilakukan untuk ikan-ikan yang berlemak, misalnya tuna,
untuk
mengurangi kandungan minyak dan airnya. Ikan-ikan seperti
lemuru,
sarden, bandeng, herring dan ikan kecil-kecil lainnya yang
berkadar lemak
rendah tidak perlu dilakukan pemasakan awal (Murniyati dan
Sunarman,
2000).
Kulit ikan lemuru mudah sobek sehingga untuk memperoleh
bahan
mentah bermutu tinggi, harus diusahakan agar badan ikan tidak
terluka. Hal
ini perlu dihindari dengan memberikan penanganan yang baik dan
hati-hati
pada ikan lemuru. Ikan lemuru mempunyai isi perut yang relatif
besar dan
harus dibuang supaya tidak mempengaruhi rasa pada produk
yang
dihasilkan. Dalam penyiangan ikan lemuru harus teliti agar tidak
ada
bagian isi perut yang tertinggal (Moeljanto, 1982).
2. Pengisian
Menurut Adawyah (2007), pengisian hendaknya dilakukan secara
teratur dan seragam. Produk diisikan sampai permukaan yang
diinginkan
dalam wadah dengan memperhatikan head space. Pengisian kaleng
dengan
bahan pangan yang telah dipersiapkan dapat dilakukan secara
manual,
menggunakan mesin semiotomatis dan bahkan dengan mesin
otomatis.
Kaleng diisi dengan produk sampai mencapai berat yang telah
ditentukan.
Head space adalah ruang kosong antara permukaan produk
dengan
tutup yang berfungsi sebagai ruang cadangan untuk pengembangan
produk
selama disterilisasi agar tidak menekan wadah karena dapat
menyebabkan
kaleng menjadi menggelembung. Besarnya head space dalam
wadah
apabila terlalu kecil akan menyebabkan pecahnya wadah akibat
ekspansi
(pengembangan) produk selama proses sterilisasi. Apabila head
space
terlalu besar, sejumlah kecil udara akan terperangkap dalam
kaleng
sehingga akan mengakibatkan terjadinya oksidasi dan perubahan
warna
produk (Adawyah, 2007).
-
9
Medium pengalengan adalah larutan atau bahan lainnya yang
ditambahkan ke dalam produk waktu proses pengisian. Medium
pengalengan dapat memberikan citarasa pada produk, mengurangi
waktu
sterilisasi dengan meningkatkan proses perambatan panas dan
mengurangi
korosi kaleng dengan cara menghilangkan udara. Bila dalam
pengalengan
tersebut ditambahkan medium pengalengan, tinggi head space tidak
boleh
kurang dari 0,25 inchi, tetapi bila produk dikalengkan tanpa
penambahan
medium, diperbolehkan produk diisi sampai hampir penuh
dengan
meninggalkan sedikit ruang head space (Muchtadi, 1995).
Menurut Murniyati dan Sunarman (2000), daging yang akan
diisikan
ditimbang dalam berat tertentu, tergantung pada kalengnya.
Untuk
memenuhi berat tersebut, kadang-kadang diperlukan potongan
kecil
(serpihan, hancuran). Dengan demikian, isian kaleng dibagi
menjadi tiga
macam, yakni :
a. fancy, terdiri atas potongan-potongan pokok
b. standard, terdiri atas potongan pokok ditambah serpihan
c. flakes atau salad, terdiri atas serpihan-serpihan daging.
3. Exhausting
Penghampaan udara (exhausting) adalah proses pengeluaran
sebagian
besar oksigen dan gas-gas lain dari dalam wadah agar tidak
bereaksi
dengan produk sehingga tidak mempengaruhi mutu, nilai gizi dan
umur
simpan produk kalengan. Exhausting juga dilakukan untuk
memberikan
ruang bagi pengembangan produk selama proses sterilisasi
sehingga
kerusakan wadah akibat tekanan dapat dihindari dan untuk
meningkatkan
suhu produk di dalam wadah sampai mencapai suhu awal
(initial
temperature). Penutupan wadah dilakukan setelah proses
penghampaan
udara (exhausting) yang bertujuan untuk mencegah terjadinya
pembusukan
(Muchtadi, 1995).
Sebagian besar oksigen dan gas lain harus dihilangkan dari bahan
di
dalam wadah sebelum operasi penutupan. Di dalam wadah yang
sudah
ditutup tidak diinginkan adanya oksigen, karena gas itu dapat
bereaksi
dengan bahan pangan atau bagian dalam kaleng sehingga akan
-
10
mempengaruhi mutu, nilai gizi dan umur simpan produk kalengan.
Pada
pabrik berskala kecil, exhausting dilakukan dengan cara
melakukan
pemanasan pendahuluan terhadap produk, kemudian produk
tersebut
diisikan ke dalam kaleng dalam keadaan panas dan wadah ditutup
juga
dalam keadaan masih panas. Pabrik pengalengan ikan yang berskala
besar,
exhausting dilakukan secara mekanis dan dinamakan pengepakan
vakum
(vacuum packed) (Adawyah, 2007).
4. Penutupan Wadah
Penutupan kaleng dilakukan setelah penghampaan udara secara
hermetis. Penutupan yang baik diperlakukan untuk mencegah
terjadinya
pembusukan. Apabila digunakan kaleng sebagai wadah maka
penutupan
yang baik akan mencegah terjadinya kebocoran dari satu kaleng
yang dapat
menimbulkan pengkaratan pada kaleng lainnya (Adawyah, 2007).
Penutupan wadah kaleng seringkali disebut dengan istilah
double
seaming. Mesin yang digunakan untuk membuat penutupan
tersebut
(double seamer machine) jenisnya bervariasi dari yang digerakkan
dengan
tangan sampai yang otomatis, tetapi pada prinsipnya kerja mesin
tersebut
sama, yaitu menjalankan dua operasi dasar. Operasi pertama
berfungsi
untuk membentuk atau menggulung bersama ujung pinggir tutup
kaleng
dan badan kaleng, sedangkan operasi kedua berfungsi untuk
meratakan
gulungan yang dihasilkan oleh operasi pertama (Muchtadi,
1995).
5. Sterilisasi
Menurut Muchtadi (1995) sterilisasi adalah operasi yang paling
penting
dalam pengalengan makanan. Sterilisasi tidak hanya bertujuan
untuk
menghancurkan mikroba pembusuk dan patogen, tetapi juga berguna
untuk
membuat produk menjadi cukup masak, yaitu dilihat dari
penampilannya,
teksturnya dan citarasa sesuai yang diinginkan. Oleh karena itu,
proses
pemanasan ini harus dilakukan pada suhu yang cukup tinggi
untuk
menghancurkan mikroba, tetapi tidak boleh terlalu tinggi
sehingga
membuat produk menjadi terlalu masak.
Proses pemanasan yang biasa diterapkan di industri
pengalengan
adalah sterilisasi komersial. Makanan yang steril komersial
berarti
-
11
makanan tidak steril 100% tetapi bakteri patogen dan pembetuk
racun telah
dimatikan. Sterilisasi dilakukan dengan menggunakan periuk
bertekanan
tinggi, disebut retort, auotoclave atau pressure cooker. Retort
ada dua
macam, yaitu retort vertical dan retort horizontal. Suhu yang
biasanya
dipakai biasanya 1150C-1200C, dan waktunya 1-1 jam, tergantung
pada
jenis ikan dan ukuran kaleng (Murniyati dan Sunarman, 2000).
Proses panas harus cukup untuk menonaktifkan mikroba yang
terdapat
dalam makanan kaleng atau untuk mencapai sterilisasi komersial.
Ikan
yang memiliki pH mendekati netral, yaitu 6,8, biasanya diproses
dengan
suhu 1210C dengan waktu tergantung pada cepat lambatnya
perambatan
panas. Proses pemanasan makanan kaleng yang dianggap aman
adalah
yang dapat menjamin bahwa makanan tersebut telah bebas dari
Clostridium
botulinum (Adawyah, 2007).
Beberapa faktor yang mempengaruhi proses sterilisasi ini adalah
: 1)
jenis mikroba yang akan dihancurkan, 2) kecepatan perambatan
panas ke
titik tengah, 3) suhu awal bahan pangan di dalam wadah, 4)
ukuran dan
jenis wadah yang digunakan, 5) suhu dan tekanan yang digunakan
untuk
proses sterilisasi, dan 6) keasaman atau pH produk yang
dikalengkan
(Muchtadi, 1995).
6. Pendinginan
Wadah harus cepat didinginkan segera setelah proses sterilisasi
selesai
dengan tujuan untuk memperoleh keseragaman (waktu dan suhu)
dalam
proses dan untuk mempertahankan mutu produk terakhir.
Apabila
pendinginan terlalu lambat dilakukan maka produk akan cenderung
terlalu
masak sehingga akan merusak tekstur dan citarasanya. Selain itu,
dengan
pendinginan juga mengakibatkan bakteri yang masih bertahan hidup
akan
menyebabkan shock sehingga akan mati (Adawyah, 2007).
Terdapat bermacam-macam metode pendinginan, tergantung dari
fasilitas yang ada dan wadah yang digunakan, diantaranya
adalah
pendinginan dengan udara (air cooling) dan pendinginan dengan
air (water
cooling). Hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan
metode
pendinginan dengan air adalah bahwa air pendingin yang digunakan
harus
-
12
bersih dan murni. Bila air yang digunakan kotor, kebusukan dapat
terjadi
akibat masuknya kotoran (kontaminan) melalui lubang kecil
(pori-pori)
yang sering terjadi akibat mengerutnya kaleng. Air kotor juga
dapat
mengakibatkan terjadinya pengkaratan pada bagian luar kaleng
karena
mengandung zat-zat kimia yang mempercepat terjadinya korosi
seperti
asam (Muchtadi, 1995).
Klorinasi air pendingin dianjurkan untuk mengontrol kadar
kontaminasi mikrobiologi karena klorin efektif terhadap bakteri
vegetatif
namun kurang efektif terhadap spora Clostridium dan spora
Bacillus
(Desrosier, 1988). Residu klorin bebas dari 2-4 mg klorin/L
dalam waktu
kontak 20 menit dapat mengurangi jumlah total aerobik 100
organisme/ml
air pendingin. Klorinasi berlebihan pada air pendingin harus
dihindari
karena bersifat korosif terhadap beberapa logam (Warne,
1988).
7. Pemberian Label dan Penyimpanan
Setelah dingin kaleng diberi label sesuai dengan keinginan
produsen,
pemberian label ditunjukkan untuk mengetahui bahan yang
digunakan dan
untuk mengetahui kapan waktu produksi sehingga dapat menentukan
masa
kadaluarsa dan dengan pemberian label produk akan dikenal
masyarakat.
Di dalam suatu pabrik pengalengan seringkali diperlukan
penyimpanan
sementara disebabkan karena besarnya jumlah produksi.
Penyimpanan
juga bertujuan untuk menguji mutu produk sebelum dipasarkan
sehingga
diperlukan ruang penyimpanan yang baik (Adawyah, 2007).
D. Sanitasi dan Higiene
Peluang terjadinya kontaminasi makanan dapat terjadi pada
setiap
tahap pengolahan makanan. Berdasarkan hal ini, higiene sanitasi
makanan
merupakan konsep dasar pengelolaan makanan sudah seharusnya
dilaksanakan
(Naria, 2005). Higiene sanitasi adalah upaya untuk mengendalikan
faktor
resiko terjadinya kontaminasi terhadap makanan, baik yang
berasal dari bahan
makanan, orang, tempat dan peralatan agar aman dikonsumsi (PMK,
2011).
Pengolahan makanan yang tidak higienis dan saniter dapat
mengakibatkan adanya bahan-bahan di dalam makanan yang dapat
menimbulkan gangguan kesehatan pada konsumen. Makanan dan
minuman
-
13
yang dikonsumsi dapat menimbulkan penyakit seringkali disebabkan
oleh 2
hal, yaitu kemungkinan mengandung komponen beracun seperti logam
berat
dan bahan kimia. Hal yang kedua, makanan terkontaminasi
mikroorganisme
patogen dalam jumlah cukup untuk menimbulkan sakit.
Mikroorganisme
tersebut dapat berasal dari proses pembusukan makanan atau
terdapat dalam
makana karena terbawa serangga seperti lalat, kecoa dan tikus
(DEPKES RI,
1997).
Komponen pabrik pengalengan dan khususnya permukaan yang
kontak
langsung dengan makanan dapat mudah terkontaminasi oleh mikrobia
dan
bakteri pathogen sehingga dapat berpengaruh pada kemanan dan
kuliatas ikan
kaleng yang dihasilkan. Makanan kaleng yang berkontak langsung
dengan
permukaan kulit manusia biasanya terjadi selama proses
pengalengan dapat
tercemar bakteri patogen termasuk kontak langsung dengan pisau,
meja dan
talenan. Jumlah bakteri patogen dan pembusuk dapat dikurangi
sampai batasan
yang dapat diterima dengan dua prosedur terpisah yaitu
pembersihan dan
sanitasi (Begabi et al., 2012)
E. Standar Mutu Ikan Kaleng Sarden
Mutu ikan kaleng tergantung pada kesegaran bahan mentah,
cara
pengalengan, peralatan dan kecakapan serta pengetahuan
pelaksanaan teknis,
sanitasi dan higieni pabrik dan lingkungan. Kesegaran bahan
mentah sangat
penting dalam industri perikanan. Kesegaran adalah tolak ukur
untuk
membedakan ikan jelek dan bagus kualitasnya, apabila kualitas
bahan mentah
bagus maka produk yang dihasilkan juga bagus (Wulandari et al.,
2009).
Proses pengalengan yang tidak dilakukan sesuai standar yang
telah
ditetapkan oleh perusahaan dapat menyebabkan perubahan sensorik
dan fisik
produk ikan dalam kaleng. Perubahan tekstur dan warna sering
diakibatkan
karena perlakuan termal seperti cara pemasakan dan langkah
sterilisasi. Efek
pendek pada sensorik dan sifat fisik seperti oksidasi dan
kekeruhan medium
dapat disebabkan karena penanganan bahan baku ikan yaitu cara
pendinginan
dan watu pendinginan (Rodriguez et al., 2010).
Produk akhir harus diawasi mutunya sejak keluar dari proses
produksi
hingga tahap pembungkusan, penggudangan dan pengiriman ke
konsumen.
-
14
Dalam memasarkan produk, pabrik harus berusaha menampilkan
produk yang
bermutu. Hal ini hanya dapat dilaksanakan apabila produk akhir
tersebut
dilakukan pengecekan mutu agar produk rusak atau cacat tidak
sampai ke
tangan konsumen (Husni dan Putra, 2014).
Syarat mutu ikan kaleng sarden berdasarkan SNI 01-3548-1994
dapat
dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1. Syarat Mutu Ikan Kaleng Sarden Berdasarkan SNI
Sumber : BSN (1994)
No Uraian Satuan Syarat Mutu
1 Keadaan Kaleng
Dalam kondisi normal (sebelum
dan sesudah dieram) tidak bocor,
tidak kembung, tidak berkarat,
permukaan dalam tidak bernoda,
lipatan kaleng baik.
2 Kehampaan Mm Hg Min 50
3 Keadaan isi Sesuai dengan SNI 01-2345-1991
*)
4 Media
4.1 Jenis Saus tomat
4.2 Kepekatan Bux Min 11
5 pH 4,6 6
6 Ruang kosong
(head space) % v/v Maks. 10
7 Bobot tuntas, Min. 70
8 Zat warna makanan
tambahan Sesuai dengan SNI 01-0222-1987
9 Cemaran logam
9.1 Cu mg/kg Maks. 20,0
9.2 Pb mg/kg Maks. 2,0
9.3 Hg mg/kg Maks. 0,5
9.4 Zn mg/kg Maks. 100,0
9.5 Sn mg/kg Maks. 250,0
10 Cemaran As mg/kg Maks. 1,0
11 Cemaran mikrobia
11.1
Bakteri aerob
termofilik berbentuk
spora
Koloni/gram Maks. 10
11.2 Bakteri coliform APM/ gram < 3
11.3 Clostridium
perfringens Negatif
-
15
F. Jenis-jenis Kerusakan Makanan Kaleng
Penyebab kerusakan dapat dibagi dua, yaitu kerusakan yang
disebabkan
karena kesalahan dalam proses pengalengan maupun kebocoran
kaleng karena
kaleng tidak tertutup hermetis. Kesalahan proses pengalengan
dapat berupa
sterilisasi tidak sempurna dapat menyebabkan pertumbuhan
mikrobia pathogen
atau pembusuk dan pendinginan yang kurang memadai (Adawyah,
2007).
Selain itu ada penyebab nonmikrobia seperti wadah yang kurang
steril atau
suhu kurang tinggi.
Kerusakan atau pembusukan makanan dalam kaleng dapat terlihat
dari
kenampakan luar kaleng dan penyimpangan kondisi isinya antara
lain :
1. Flat Sour
Apabila produk di dalam wadah memberikan citarasa asam
karena
adanya aktivitas mikroba tanpa memproduksi gas, maka
kebusukan
tersebut dikenal dengan sebutan flat sour (kaleng tetap datar
tidak
menggembung, tetapi produk menjadi asam). Jenis kebusukan
ini
disebabkan karena sanitasi pabrik yang kurang baik atau
karena
underprocessing yaitu sterilisasi belum sempurna (Muchtadi,
1995).
2. Flipper
Menurut Adawyah (2007), kerusakan kaleng dimana kaleng
kelihatannya datar, tetapi apabila ditekan dengan ibu jari pada
salah satu
ujung permukaan, ujung lainnya akan melonjak keluar
(cembung).
Pengisian kaleng yang terlalu penuh atau proses exhausting yang
tidak
sempurna atau pembentukan gas di dalam kaleng dapat
menyebabkan
kerusakan flipper.
3. Penggembungan Hidrogen (Hydrogen Swell)
Penggembungan kaleng ini dapat diakibatkan oleh korosi wadah
oleh
produk atau akibat pembentukan gas oleh bakteri. Biasanya produk
makan
kelihatan normal atau kelihatan lebih pucat, tetapi tidak
terdapat indikasi
kebusukan (Muchtadi, 1995).
4. Stack Burn
Stack burn terjadi akibat pendinginan yang tidak sempurna,
yaitu
kaleng yang belum benar-benar dingin sudah disimpan. Biasanya
produk
-
16
di dalam kaleng menjadi lunak, berwarna gelap dan menjadi tidak
dapat
dikonsumsi lagi (Muchtadi, 1995).
5. Botulinus
Salah satu jenis bakteri yang paling berbahaya adalah
Clostridium
botulinum yang dapat memproduksi racun (botulism) yang
mematikan.
Racun yang terdapat dalam makanan kaleng berasam rendah tidak
jelas
penampakannya, tetapi pemanasan produk tersebut dapat
ditunjukkan
adanya kebusukan dan timbulnya bau yang tidak enak. Racun
botulism
dapat dihancurkan dengan cara memanaskan produk dalam air
mendidih
selama 10-20 menit. Oleh karena itu disarankan untuk merebus
dahulu
semua produk makanan kaleng berasam rendah sebelum
dikonsumsi.
Walaupun demikian, apabila dicurigai adanya kebusukan, makanan
kaleng
tersebut harus dibuang (Muchtadi, 1995).
-
17
III. METODOLOGI DAN TATA LAKSANA
A. Metodologi
Metodologi yang digunakan dalam pelaksanaan kerja lapangan ini
adalah
metode surve melalui :
1. Studi pengamatan langsung dan ikut berperan aktif melakukan
pekerjaan
di PT Blambangan Foodpackers Indonesia
2. Wawancara dengan pekerja dan karyawan PT. Blambangan
Foodpackers
Indonesia
3. Pengumpulan data sekunder yang diperoleh di PT.
Blambangan
Foodpackers Indonesia
4. Studi pustaka.
B. Tata Laksana
Tata laksana dalam pelaksanaan Kerja Lapangan ini adalah:
1. Pengumpulan data primer
a. Bahan baku
1) Asal bahan baku
2) Spesifikasi bahan baku
3) Ketersediaan bahan baku
4) Seleksi bahan baku
5) Kapasitas produksi
6) Penanganan bahan baku
7) Mutu bahan baku
b. Alat pengalengan ikan
1) Syarat-syarat alat dalam pengalengan ikan
2) Jenis-jenis alat dalam pengalengan ikan
c. Pengalengan ikan
1) Proses pengalengan ikan
2) Jenis produk pengalengan ikan
3) Standar produk
4) Standar mutu ekspor
5) Pemasaran produk
-
18
d. Pengendalian mutu
1) Bahan baku
2) Bahan antara
3) Produk akhir
2. Pengumpulan data sekunder
a. Lokasi perusahaan
b. Sejarah perusahaan
c. Struktur organisasi
d. Jumlah tenaga kerja
e. Sarana dan prasarana penunjang produksi
f. Tata letak perusahaan dan aliran proses
g. Hasil pengujian laboratorium dan mutu
C. Rencana Pelaksanaan
Rencana pelaksanaan kegiatan Kerja Lapangan tercantum pada
tabel
berikut :
Tabel 3.1 Rencana Pelaksanaan Kegiatan Kerja Lapangan
Kegiatan Okt
2014
Nov
2014
Des
2014
Jan
2014
Feb
2014
Mar
2014
Perijinan
Proposal
Survei
Pelaksanaan
Laporan
Ujian
-
19
IV. RENCANA ISI LAPORAN
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan
C. Manfaat
D. Metode
E. Pelaksanaan
II. KEADAAN UMUM PT. BLAMBANGAN FOODPACKERS INDONESIA
A. Sejarah
B. Lokasi
C. Struktur Organisasi
D. Sarana dan Prasarana
E. Tata Letak Perusahaan
III. BAHAN BAKU
A. Asal Bahan Baku
B. Spesifikasi Bahan Baku
C. Ketersediaan Bahan Baku
D. Seleksi Bahan Baku
-
20
IV. PROSES PENGALENGAN IKAN LEMURU
A. Proses Pengalengan Ikan
B. Pengemasan dan Penyimpanan
C. Pengendalian Mutu
V. PEMBAHASAN
VI. KESIMPULAN dan SARAN
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
-
21
DAFTAR PUSTAKA
Aberoumand, A. 2011. Proximate composition and energy values of
canned tuna fish
obtained from Iran. Scientific Research 9: 442-446
Adawyah, R. 2008. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Bumi Aksara.
Jakarta
Badan Standarisasi Nasional. 1994. Sarden Media Saus Tomat dalam
Kaleng SNI 01-
3548-1994. Badan Standarisasi Nasional . Jakarta
Begabi, R.K., B. Tombe dan T. Polong. Effectiviness of cleaning
and sanitation of
food contact surfaces in the PNG fish canning industry. DWU
research 17 :68-
82
Depkes RI. 1997. Prinsip-Prinsip Pengelolaan Makanan. Departemen
Kesehatan
Republik Indonesia. Jakarta
Desrosier, N. W. 1988. The Technology of Food Preservation
(Teknologi Pengawetan
Pangan, alih Bahasa : Muchi Muljohardjo). UI Press. Jakarta
Dwiponggo, A. 1982. Beberapa aspek biologi ikan lemuru,
Sardinella spp. Prosiding
Seminar Perikanan Lemuru. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perikanan
Indonesia. Jakarta
Estiasih, T. 2009. Minyak Ikan Teknologi dan Penerapannya untuk
Pangan dan
Kesehatan. Graha Ilmu. Jakarta
Fishbase. 2014. Sardinella lemuru.
http://fishbase.org/Photos/PicturesSummary.php?
StartRow=1&ID=1510&what=species&TotRec=4 diakes pada
10 Sepetember
2014
Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Jilid
I. Liberty.
Yogyakarta
Hariyadi, P. 2000. Dasar-dasar Teori dan Praktek Proses Termal.
Pusat Studi Pangan
dan Gizi IPB. Bogor
Husni, A. dan Putra MGS. M. P. 2014. Pengendalian Mutu Hasil
Perikanan. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta
Kusmiati, A. 2007. Kajian pemasaran ikan lemuru (Sardinella
lemuru) di Muncar
Banyuwangi. Sosial Ekonomi Pertanian 1 : 48-55. Jurusan Sosial
ekonomi
Pertanian Universitas Jember. Jember
Mayasari, L. D. 2013. Pengaruh Hasil Tangkapan Ikan Lemuru
terhadap Produksi
Pengalengan Ikan PT Maya Muncar di Kecamatan Muncar
Banyuwangi.
Fakultas Ekonomi. Universitas Negeri Banyuwangi. Banyuwangi
Merta, I.G.S. 1992. Dinamika Populasi Ikan Lemuru Sardinella
lemuru Bleeker 1853
di Perairan Selat Bali dan Alternatif Pengelolaannya. Disertasi
Program
Pascasarjana IPB. Bogor
Moeljanto, R. 1982. Pengalengan Ikan. PT. Penebar Swadaya.
Jakarta
Muchtadi, D. 1995. Teknologi dan Mutu Makanan Kaleng. Pustaka
Sinar Harapan.
Jakarta
Murniyati dan Sunarman. 2000. Pendinginan Pembekuan dan
Pengawetan Ikan.
Kanisius. Yogyakarta
Naria, E. 2005. Higieni Sanitasi Makanan dan Minuman Jajanan di
Kompleks USU
Medan.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18928/1/ikm-
des2006-10%20(6).pdf. Diakses 2 November 2014
PMK. 2011. Higieni Sanitasi Jasa Boga. Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor
1096/MENKES/PER/VI/2011
http://fishbase.org/Photos/PicturesSummary.php?%20StartRow=1&IDhttp://fishbase.org/Photos/PicturesSummary.php?%20StartRow=1&IDhttp://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18928/1/ikm-des2006-10%20%286%29.pdfhttp://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18928/1/ikm-des2006-10%20%286%29.pdf
-
22
Rodriguez, A., Nicolas C. and Santiago P. A. 2010. Effect of
chill storage under
different icing conditions on sensory and physical properties of
canned Farmed
salmon (Oncorhynchus kisutch). Food Science and Technology 45 :
295-304
Saanin, H. 1984. Kunci Identifikasi dan Taksonomi Ikan. PT. Bina
Cipta. Bandung
Saparinto, C., Ida P. dan Diana H. 2006. Bandeng Duri Lunak.
Kanisius. Yogyakarta
Setyohadi, D., D.O. Sutipto dan D.G.R. Wiadnya. 1998. Dinamika
populasi ikan
lemuru (Sardienella lemuru) serta alternatif pengelolaannya.
Penelitian Ilmu-
ilmu Hayati 10 : 91-104. Badan Penelitian Universitas Brawijaya.
Malang
Setyohadi, D. 2009. Studi potensi dan dinamika stok ikan lemuru
(Sardinelle lemuru)
di Selat Bali serta alternatif penangkapannya. Perikanan 11 :
78-86. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Brawijaya. Malang
Syakila, S. 2009. Studi Dinamika Stok Ikan Tembang (Sardinella
fimbriata) di
Perairan Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa
Barat.
Skripsi. Manajemen Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan
Ilmu
Kelautan IPB. Bogor
Tim Penulis PS. 2008. Agribisnis Perikanan Edisi Revisi. Penebar
Swadaya. Jakarta
Warne, D. 1988. Manual on Fish Canning. FAO Fisheries Technical
Paper 285. FAO.
Rome
Wulandari, D. A., Indah W. A. dan Akhmad F. 2009. Kualitas mutu
bahan mentah dan
produk akhir pada unit pengalengan ikan sardine di PT. Karya
Manunggal
Prima Sukses Muncar. Banyuwangi. Kelautan 2 : 41-50