Proposal PENELITIAN DOSEN MUDA SATEKs UNSRI Pengaruh Polimorfisme Gen CYP2E1 Terhadap Kepekaan Individu Untuk Terkena Kanker Nasofaring KETUA : dr. Puspasari Zuleika, SpTHT- KL,M.Kes ANGGOTA : dr. Yuli Doris Memy SpTHT-KL BIDANG KESEHATAN
ProposalPENELITIAN DOSEN MUDA SATEKs UNSRI
Pengaruh Polimorfisme Gen CYP2E1 Terhadap
Kepekaan Individu Untuk Terkena
Kanker Nasofaring
KETUA : dr. Puspasari Zuleika, SpTHT-KL,M.KesANGGOTA : dr. Yuli Doris Memy SpTHT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG2010
BIDANG KESEHATAN
2
HALAMAN PENGESAHAN PROPOSALPENELITIAN DOSEN MUDA SATEKs UNSRI
1. Judul Penelitian : Pengaruh polimorfisme gen CYP2E1 terhadap kepekaan individu untuk terkena kanker nasofaring
2. Bidang Ilmu Penelitian : Kedokteran3. Ketua Peneliti :
a. Nama lengkap : dr. Puspa Zuleika, SpTHT-KL, M.Kesb. Jenis kelamin : Perempuanc. NIP : 19780107 200812 2 001d. Jabatan fungsional : Staf Bagian THT FK UNSRI/RSMHe. Jabatan struktural : Tidak adaf. Bidang keahlian : Spesialis THTg. Fakultas : Kedokteranh. Perguruan tinggi : Universitas Sriwijayai. Alamat : Jl. Raya Palembang – Prabumulih Km 32 Ogan Ilir
30662 Telp (0711)581077 ; Fax: 0711580053 Email: [email protected]
4. Jumlah tim peneliti : 2 (dua) orang.5. Lokasi penelitian : 1. Poliklinik THT RSMH
2. Laboratorium Biologi Molekuler FK UNSRI 6. Mata kuliah yang diampu : Ilmu Penyakit Mata7. Waktu penelitian : 7 (tujuh) bulan8. Pembiayaan : Rp 10.000.000
Inderalaya, 8 Mei 2010
An.Dekan Fakultas Kedoktera Ketua PenelitiPembantu Dekan III
dr. Syarif Husin, MS dr. Puspa Zuleika, Sp.THT-KL, M.Kes NIP 19611209 199203 1 003 NIP 19780107 200812 2 001
Menyetujui Ketua Lembaga Penelitian Univ. Sriwijaya
Prof. Dr. Ir. H. Muhammad Said, M.Sc NIP 19610812 198703 1 003
3
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan suatu keganasan yang berasal dari sel epitel
nasofaring. Angka kejadian KNF di Indonesia cukup tinggi yaitu 4,7 kasus baru per-tahun per
100.000 penduduk (Susworo, 2004). Catatan dari berbagai rumah sakit menunjukkan bahwa
KNF urutan keempat setelah kanker leher rahim, kanker payudara dan kanker kulit. (Sisworo
2004).
KNF jarang ditemukan di negara-negara Barat, namun di Cina Selatan dan Asia Tenggara
ditemukan dengan prevalensi cukup tinggi. Insiden KNF di Cina Selatan dilaporkan dengan
rasio 30-50/100.000, sedangkan di Asia Tenggara ditemukan sebesar rasio 3/100.000 pada
populasi Thailand murni dan meningkat menjadi 10/100.000 pada populasi Thailand yang
berasimilasi dengan etnis Cina. (Mutirangura, 2000). Tingginya insiden KNF di negara-
negara Asia tertentu menimbulkan suatu asumsi bahwa faktor genetik turut berperan sebagai
faktor predisposisi penyakit ini.
Sampai saat ini, penyebab KNF masih dianggap bersifat multifaktorial. Faktor yang
berperan dalam patogenesis KNF antara lain adalah faktor genetik dan faktor lingkungan.
Faktor lingkungan yang sejauh ini telah diketahui berperan antara lain infeksi virus Epstein-
Barr (EBV), kekerapan mengkonsumsi makanan yang mengandung nitrosamine yang banyak
ditemukan pada makanan yang diawetkan seperti ikan asin (Mutirangura et al, 1997). Selain
itu KNF diduga juga berhubungan dengan paparan formaldehid, debu dan asap kayu bakar,
beberapa minyak nabati yang mengandung nitrosamine. Nitrosamin diprediksi merupakan
senyawa yang dapat mengaktivasi perkembangan KNF. (Chan et al, 2002).
Mekanisme terbentuknya nitrosamine melalui penggabungan senyawa nitrat dan nitrit
dengan amin. Nitrat dan nitrit ini banyak digunakan sebagai bahan pengawet pada makanan
dan untuk memberikan warna dan rasa khusus pada daging. Zat tersebut dapat bergabung
dengan amin dan membentuk nitrosamin yang kebanyakan bersifat karsinogen kuat. Selain
itu interaksi kimia dapat terjadi melalui berbagai mekanisme, misalnya senyawa nitrit dan
amin tertentu dapat bereaksi dalam lingkungan gastrointestinal yang bersifat asam untuk
membentuk nitrosamine (Frank, 1991).
Terbentuknya nitrosamine juga dapat terjadi pada saat proses pengolahan makanan seperti
diawetkan dengan pengasinan. Protein dapat berubah menjadi asam amino bebas yang
selanjutnya menjadi senyawa amin. Selain senyawa amin yang berasal dari asam amino,
terdapat juga senyawa amin yang berasal dari metabolit pada ikan asin yaitu alkilamin.
4
Reaksi antara nitrit dan alkilamin akan membentuk nitrosamine yang bersifat karsinogenik
paling kuat di antara karsinogen kimiawi. (Wills et al, 1987). Faktor konsumsi makanan yang
diawetkan, difermentasi dan diasapi dapat meningkatkan kandungan xenobiotic nitrosmin
yang berkaitan dengan KNF. (Chan, 2002).
Aktivasi nitrosamine sebagai suatu penyebab kanker telah dibuktikan pada hewan coba
tikus yang diberi makanan berupa ikan asin yang mengandung nitrosamine menunjukkan
adanya tumor kavum nasalis (Huang et al, 1996). Yu dkk (1996) melakukan penelitian
dengan membandingkan insiden KNF pada orang Cina di Hongkong dan di Los Angeles
menyimpulkan bahwa konsumsi ikan asin cenderung menjadi faktor penyebab utama KNF
dibandingkan dengan hirupan asap rokok (Yu and Henderson, 1996)
Pada manusia, sistem enzim yang berperanan penting pada metabolisme dan
biotransformasi senyawa kimia dalam makanan (xenobiotic) adalah sistem sitokrom P450.
Salah satu sub-famili super enzim sitokrom P450 adalah CYP2E1. CYP2E1 merupakan
enzim yang bertanggung jawab terhadap metabolisme lebih dari 70-80% dari seluruh proses
biotransformasi. Salah satu metabolit yang dikatalisis CYP2E1 adalah karsinogen kimiawi N-
nitrosamin (Kongruttanachok et al, 2001). CYP2E1 merupakan enzim yang terlibat dalam
aktivasi substrat prokarsinogen nitrosamin sehingga mampu menimbulkan kerusakan pada
DNA dan menimbulkan kanker.
Polimorfisme (mutasi) pada gen yang menyandi enzim CYP2E1 dihubungkan dengan
variasi metabolik individu terhadap suatu xenobiotik sehingga dalam populasi akan dijumpai
dua sub group yang berbeda kemampuannya metabolismenya. Sub group dengan kemampuan
metabolism kurang disebut sebagai poor metabolizer atau fenotip PM, sedangkan sub group
dengan kemampuan metabolism normal disebut sebagai extensive metabolizer atau fenotip
EM.
Penelitian pada dua di daerah Cina yang mempunyai perbedaan rerata kejadian KNF,
diperoleh data bahwa individu yang berdomisili di komunitas resiko tinggi KNF mempunyai
kemampuan membentuk nitrosamine endogen yang lebih tinggi dibandingkan dengan
individu yang tinggal di komunitas rendah KNF. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa
perbedaan genotip dan atau fenotip enzim CYP2E1 bertanggung jawab terhadap aktivasi
nitrosamine yang memungkinkan adanya perbedaan resiko kejadian KNF (Yu and
Henderson, 1996).
Polimorfisme gen CYP2E1 telah diketahui berkaitan dengan resiko terjadinya kanker
pada manusia. Beberapa situs polimorfik seperti Dra I, Rsa I dan insersi 96 bp pada gen ini
telah diketahui memiliki hubungan yang bermakna dengan terjadinya KNF (Jia et al, 2009),
5
karsinoma colorectal (Morita et al, 2009), kanker paru (Hirvonen 1993). Berdasarkan distribusi
endemik, suseptibilitas individu terhadap KNF diduga didapat dari nenek moyang dan diturunkan
secara autosomal.
Suku bangsa di Indonesia selama berabad-abad telah menjalin perdagangan dengan
bangsa Cina sehingga sedikit banyak terdapat pengaruh budaya Cina dalam kultur suku
bangsa di Nusantara. Adanya perkawinan campur antara suku asli Indonesia dengan Cina
telah menyebabkan perubahan genetik (genetik drift) yang dapat diturunkan pada keturunan
berikutnya. Gen CYP2E1 secara genetik diturunkan secara autosomal kepada turunannya
(offspring). Bukti-bukti arkeologis juga memberikan dugaan bahwa suku bangsa Indonesia
berasal dari daratan Cina Selatan yang mempunyai angka kejadian KNF yang tinggi. Hal
tersebut di atas ditambah dengan kebiasaan suku bangsa Indonesia mengkonsumsi makanan
yang diawetkan dengan cara pengasinan dan pengasapan merupakan faktor resiko untuk
terjadinya KNF. Hal ini menunjang dugaan bahwa cukup tingginya insiden KNF berkorelasi
dengan adanya polimorfisme pada gen CYP2E1.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana peran polimorfisme gen CYP2E1 dalam
patogenesis KNF di Indonesia. Pendekatan yang digunakan pada penelitian dengan melakukan
amplifikasi DNA dengan PCR dilanjutkan RFLP dengan enzim restriksi yang spesifik. Penelitian ini
diharapkan dapat berfungsi sebagai skrining untuk menilai kepekaan seseorang untuk menderita
penyakit keganasan khususnya KNF.
1.2 Rumusan Masalah
Setelah mempertimbangkan latar belakang penelitian di atas, maka dirumuskan masalah
yang akan diteliti sebagai berikut:
1. Bagaimana distribusi genotipe dan alotipe gen CYP2E1 pada penderita KNF di Indonesia
2. Apakah genotipe dan alotipe CYP2E1 berasosiasi dengan kepekaan individu terhadap
KNF
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan Umum:
Mempelajari pengaruh polimorfisme gen CYP2E1 terhadapa terjadinya KNF pada populasi
Indonesia.
Tujuan Khusus:
1. Memberikan informasi mengenai distribusi genotip dan frekuensi alel CYP2E1 yang
direstriksi dengan DraI pada penderita KNF dan individu tanpa penyakit keganasan.
6
2. Mengetahui hubungan polimorfisme CYP2E1 yang direstriksi dengan DraI dengan
suseptibilitas individu terhadap KNF.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian ini dapat menjadi data awal tentang pola distribusi alel gen CYP2E1 pada
populasi di Indonesia. Diharapkan data ini dapat digunakan untuk penelitian keganasan
lain yang dihubungkan dengan aktivitas enzim CYP2E1.
2. Hasil penelitian ini dapat pula digunakan pada konseling bagi keluarga penderita KNF
agar dapat mengambil tindakan preventif untuk meminimalkan resiko terkena KNF.
BAB II. STUDI PUSTAKA
2.1 Karsinoma Nasofaring (KNF)
2.1.1 Insiden
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang terjadi pada sel epitel di
daerah nasofaring, yaitu pada daerah cekungan Rossenmuelleri dan tempat bermuaranya tuba
eustachii.
Di Indonesia, KNF merupakan tumor ganas terbanyak di bidang THT dan menempati
urutan ke-empat terbanyak setelah kanker leher rahim, kanker payudara, dan kanker kulit.
Angka kejadian KNF diperkirakan 4,7 kasus dalam 100.000 orang penduduk pertahun atau
diperkirakan 7000-8000 kasus pertahun di seluruh Indonesia, dengan angka kejadian pada
pria lebih tinggi yaitu 2-3 kali lebih banyak dibandingkan wanita (Sisworo, 2004). Usia
penderita bervariasi dan dapat mengenai semua golongan umur, namun terutama dijumpai
pada usia masih produktif (30-60 tahun), dengan kelompok usia terbanyak berumur 40-50
tahun (Sisworo, 2004)
2.1.2 Etiologi
KNF merupakan penyakit endemis yang bersifat multifaktorial. Banyak factor yang
diduga berkaitan dengan patofisiologi terjadinya KNF, di antaranya adalah kerentanan
genetik (ras mongoloid), factor lingkungan (kebiasaan hidup) dan infeksi virus eptein-barr
(EBV).
Faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan KNF adalah adanya iritasi bahan
kimia, asap kayu bakar yang digunakan untuk memasak, kebiasaan memasak menggunakan
7
bahan atau bumbu tertentu dan kebiasaan mengkonsumsi makanan terlalu panas. Kebiasaan
ini sering dilakukan oleh penduduk Guangdong yang hampir setiap hari mengkonsumsi ikan
yang diasinkan atau diasapi (Yin and Chien, 2003). Pada ikan yang telah diawetkan dijumpai
zat yang bersifat karsinogenik yaitu nitrosamine yang berperan sebagai factor predisposisi
terjadinya KNF.
2.1.3 Diagnosis dan Terapi
Diagnosis karsinoma nasofaring seringkali terlambat ditegakkan karena penyakit ini tidak
memiliki gejala yang spesifik serta karena letak nasofaring yang sulit dijangkau oleh mereka
yang bukan ahlinya. Gejala awal KNF berupa gangguan pilek biasa yang disertai rasa tidak
nyaman. Umumnya penderita mengeluh pilek disertai dengan rasa tidak nyaman pada telinga,
pendengaran menurun, dan keluar lendir dari hidung disertai perdarahan yang berulang
(Sisworo, 2004).
Pembesaran di daerah leher merupakan pertanda penyebaran KNF ke daerah ini atau sakit
kepala yamng disebabkan desakan tulang dasar tengkorak oleh tumor. Pemeriksaan serologis
sebaiknya dilakukan jika telah mengalami gejala tersebut sebagai deteksi dini terhadap KNF.
Diagnosis juga dapat ditegakkan dengan melakukan biopsy nasofaring yang dilakukan
melalui hidung atau mulut. Bila hasilnya kurang memuaskan dapat dilakukan kuretase daerah
lateral nasofaring dalam narkose. Selain itu, diagnosis juga dapat dilakukan dengan melacak
DNA EBV dengan menggunakan metode PCR. Pada sel epitel nasofaring penderita KNF
dapat terdeteksi DNA EBV pada hampir semua sampel yang diperiksa. Hasil pemeriksaan
Shotelersuk et al (2006) menunjukkan bahwa pada plasma darah yang mengandung DNA
EBV dapat menjadi penentu diagnosis KNF.
Sejauh ini pengobatan yang efektif untuk penderita KNF adalah dengan radioterapi.
Berdasarkan penelitian Tan dkk (2006) yang membandingkan kadar EBV dalam plasma
darah penderita KNF yang tidak menjalani radioterapi, penderita KNF yang menjalani
radioterapi dan orang sehat yang tidak menderita KNF, menunjukkan adanya perbedaan
rerata yang signifikan. Rerata kadar EBV lebih rendah dijumpai pada kelompok control
normal diikuti dengan penderita KNF yang menjalani radioterapi
2.1.4 Pengaruh Karsinogen Nitrosamine Dalam Makanan Terhadap Terjadinya KNF
Keterkaitan antara makanan dengan kejadian KNF pertama kali ditemukan pada nelayan
Hongkong yang mengkonsumsi ikan asin dalam jumlah yang besar, ternyata kejadian KNF
ditemukan tinggi pada populasi ini (Brennan, 2006). Penelitian Sharif dkk (2008)
8
menunjukkan bahwa resiko KNF juga ditemukan pada konsumsi sayuran yang diasinkan
yang diketahui sumber nirit dan nitrosamine.
Pada hewan percobaan, telah dibuktikan bahwa tikus yang diberi ikan asin ala Cina akan
terinduksi untuk berkembang menjadi karsinoma kavum nasalis, sehingga disimpulkan
terdapat asosiasi antara konsumsi ikan asin dan bahan makanan yang banyak mengandung
nitrosamine dengan kepekaan terjadinya KNF (Huang et al, 1978)
Ikan asin ala Kanton diperkirakan mengandung beberapa zat karsinogenik yang mampu
menginduksi perkembangan KNF. Nitrosamin yang mudah menguap (volatile) juga
terdeteksi pada ikan asin di Tunisia, Cina dan Greenland, Selain itu, N-nitrosodimetilamin
dan N-nitrosodietilamin yang mudah menguap terdeteksi dalam sampel ikan asin, dan
konsentrasinya tergantung cara pengolahannya (Poirier, 1987).
Derivat senyawa N-nitroso yaitu dimetilnitrosamina dan N-nitroso-N-metilurea yang
terdapat dalam makanan awetan dengan cara pengasapan merupakan senyawa yang juga
ditemukan dalam asap tembakau.Senyawa ini terbentuk dari amina sekunder atau amida dan
nitrit. Amina sekunder terbentuk pada saat pemanasan protein (Mustschler, 1991). Interaksi
kimia nitrit dan amin dapat terjadi melalui berbagai mekanisme. Misalnya senyawa nitrit dan
amin tertentu dapat berinteraksi dalam lingkungan gastrointestinal yang bersifat asam untuk
membentuk nitrosamine. Peningkatan nitrat di lingkungan tanah dan air dapat terjadi akibat
pemakaian pupuk secara intensif dank arena pembuangan ekskreta manusia dan hewan
ternak. Nitrat akan diubah menjadi nitrit di tanah, air dan saluran gastrointestinal melalui
kerja mikroba, kemudian nitrit dapat bereaksi dengan amin untuk membentuk nitrosamine
(Frank, 1991).
Selain senyawa amin yang berasal dari asam amino, terdapat juga senyawa amin hasil
metabolit dalam ikan asin yaitu alkilamin. Alkilamin yang berada dalam ikan asin akan
bereaksi dengan nitrit dari sayuran atau bereaksi dengan natrium yang terdapat pada daging
yang diawetkan. Reaksi antara nitrit dan alkilamin akan membentuk nitrosamine yang
bersifat karsinogenik paling kuat diantara karsinogen kimiawi (Wills et al, 1987). Faktor
konsumsi makanan yang diawetkan, difermentasi dan diasapi yang dapat meningkatkan
kandungan xenobiotic nitrosamine berkaitan dengan terjadinya KNF (Huang and Ho, 1981).
Penelitian epidemiologis dengan rancangan kasus control memperlihatkan bahwa asupan
nitrosamine dan nitrit selama masa kanak-kanak memeainkan peran penting dalam
perkembangan KNF. Ikan asin yang dikonsumsi setiap hari selama masa kanak-kanak pada
etnis Melayu dan Cina di Malaysia memeperlihatkan 17 kali peningkatan resiko KNF,
sedangkan konsumsi ikan asin selama masa sapih berkaitan dengan resiko KNF yang
9
meningkat sekitar 2-8 kali lebih besar pada etnis Cina di Hongkong, Guangxi dan
Guangzhou di Cina Selatan. Sedangkan pada komunitas orang perahu di Vietnam, tingginya
kasus KNF diduga berkaitan dengan kebiasaan menggunakan kayu sebagai bahan bakar
untuk memasak (Yin and Chien,2003).
Konsumsi pengawet makanan seperti yang terdapat dalam telur asin, jamur hijau asin,
pasta kedelai hitam dan pasta kedelai selama masa sapih berasosiasi dengan peningkatan
resiko KNF sekitar 3-5 kali lebih besar dalam penelitan di Guangxi Cina (Yu et al, 1988),
Sedangkan makanan lain seperti saos ikan yang difermentasi, pengawet pada pasta udang
asin dan tahu diketahui secara signifikan berkaitan dengan kejadi KNF pada penelitian
Guangzhou Cina (Yu et al, 1989).
Karsinogenesis akibat bahan kimia berjalan secara bertahap. Senyawa kimia karsinogenik
bekerja memicu perubahan genetic dalam sel sehingga menyebabkan pembentukan
neoplasma atau perubahan neoplasma jinak menjadi ganas (kanker). Zat karsinogen
berinteraksi dengan makromolekul DNA dan membentuk carcinogen adduct serta
menginduksi perubahan kimiawi lainnya pada DNA. Karsinogen akan mengaktifkan onkogen
sehingga mengubah sel normal menjadi sel kanker. Sel tumor yang telah mengalami inisiasi
mungkin akan tetap “tenang” untuk jangka waktu yang lama sebelum berubah menjadi sel
tumor akibat proses proliferasi (Frank, 1981).
2.1.5 Pengaruh Polimorfisme CYP2E1 Terhadap Terjadinya KNF
Polimorfisme adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkkan adanya bentuk
yang berbeda dari struktur dasar yang sama. Suatu lokus gen dikatakan polimorfik jika alel
yang sering ditemukan frekwensinya tidak kurang dari 99% pada lokus yang bersangkutan.
Menurut hukum Hardy-Weinberg dikatakan polimorfisme bila frekwensi alel polimorfik
lebih dari 2%. Contohnya adalah golongan darah A merupakan suatu fenotip yang
mempunyai polimorfik alel IA, IO sehingga pasangan genotipnya adalah IAIA atau IAIO
(Nussbaum et al, 2001).
Polimorfisme suatu gen pada genom manusia disebabkan adanya mutasi pada basa
nukleotida tunggal atau single nucleotide polymorphisms (SNPs) pada gen tersebut. SNPs
merupakan varian genetic yang paling banyak dijumpai pada individu dalam suatu spesies.
Alel adalah suatu bentuk alternative sekuen DNA tertentu yang berbeda dengan sekuen
wild type (normal) pada suatu lokus gen dalam suatu kromosom. Apabila alel tersebut
ditemukan lebih dari 1% kromosom dalam suatu populasi maka keadaan ini disebut sebagai
polimorfisme genetic. Alel varian yang berlokasi pada ekson dapat menghasilkan varian
10
protein yang berbeda sehingga mungkin akan menghasilkan perubahan fenotip yang nyata
(Nussbaum et al, 2001). Polimorfisme ini diturunkan menurut hokum Mendel sehingga dapat
digunakan untuk menganalisis keturunan. Mutasi pada suatu gen yang menyandi enzim yang
berperan dalam metabolisme suatu substansi menyebabkan adanya variasi aktivitas enzim
yang dapat lebih tinggi atau lebih rendah atau pula tidak memberikan efek apapun. Dengan
demikian individu dengan potensi peningkatan aktivasi dan rendahnya kemampuan
detoksifikasi menjadi lebih rentan terhadap kanker.
Polimorfisme genetic telah membuat populasi manusia terbagi menjadi dua sub group
yang mempunyai kemampuan memetabolisme yang berbeda. Sub group yang mempunyai
kemampuan metabolisme berkurang atau menurun disebut sebagai poor metabolizer atau
fenotip PM dan sub group dengan metabolisme normal yang disebut extensive metabolizer
atau fenotip EM. Polimorfisme pada CYP2E1yang terlibat dalam kemampuan menginaktivasi
nitrosamin (fenotip PM) akan menyebabkan nitrosamine yang karsinogenik tidak mampu
diubah menjadi produk non toksik sehingga dapat menyebabkan kerusakan DNA yang
berasosiasi dengan timbulnya kanker khususnya KNF.
Salah satu teknik yang secara luas digunakan untuk mendeteksi variasi pada tingkat DNA
adalah restriction fragment length polymorphism (RFLP). Deteksi RFLP dilakukan
berdasarkan perbedaan profil pita-pita DNA suatu produk PCR yang dipotong dengan enzim
restriksi endonuklease misalnya DraI yang dapat memotong DNA dengan sekuen DNA
tertentu. Perbedaan panjang DNA ini dapat dilihat dengan elektroforesis pada gel dan
divisualisasi dengan sinar UV (Sambrook, 2003). Keunikan alel CYP2E1 juga berkaitan
dengan tingginya resiko KNF di beberapa kelompok etnis Asia (Hildesheim et al, 1995).
Gen yang menyandi enzim CYP2E1 terletak di kromosom 10q24.3-q. Gen ini terdiri atas
9 ekson dan 8 intron yang regulasinya melibatkan mekanisme transkripsi dan post transkripsi
yang kompleks (Hildesheim et al, 1995). Gen CYP2E1 pada populasi dijumpai dalam bentuk
polimorfik yang bervariasi. Pada manusia gen CYP2E1 dipertahankan dalam secara
fungsional. Beberapa alel polimorfik yang telah diidentifikasi disebabkan adanya mutasi-
mutasi pada regio 5’UTR (substitusi C-1054T dan insersi 96 bp) dan intron. Substitusi
T7668A pada daerah intron 6 gen CYP2E1 yang dapat dideteksi dengan metode Restriction
Fragment Length Polymorphism (RFLP) dengan menggunakan enzim restriksi DraI
dihubungkan dengan kepekaan terjadinya KNF pada etnis Cina di Taiwan (Hildesheim et al,
1995). Selain itu, substitusi C-1054T pada 5’UTR (Promoter) gen CYP2E1 yang bersifat
homozigot dapat dideteksi dengan enzim restriksi RsaI (alel c2) juga mempunyai resiko
11
tinggi untuk terkena KNF (Hildesheim et al, 1995). Penelitian ini hanya membatasi untuk
mengidentifikasi polimorfisme pada situs restriksi DraI saja karena alas an biaya.
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Desain penelitian ini bersifat analitik observasional kasus-kontrol.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Departemen THT RSMH/FK UNSRI dan Laboratorium
Biologi Molekuler FK UNSRI Palembang yang berlangsung selama 7 bulan mulai Juni-
Desember 2010.
3.3 Subjek dan Sampel Penelitian:
Subjek dalam penelitian ini terdiri atas kelompok kasus yaitu penderita KNF yang
sudah didiagnosis pasti menderita KNF oleh dokter spesialis THT di Departemen Telinga
Hidung dan Tenggorokan Rumah Sakit Mohammad Hoesin/Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya Palembang yang didasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Sedangkan
kelompok kontrol dipilih dari sukarelawan sehat yang tidak menderita KNF. Seluruh subjek
penelitian terlebih dahulu dijelaskan maksud penelitian dan bila bersedia diminta
menandatangani informed consent.
Sampel dikumpulkan dari subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi secara
consecutive sampai jumlah sampel terpenuhi. Spesimen penelitian ini adalah darah yang
diambil dari penderita KNF dan sukarelawan sehat (tidak menderita KNF).
3.4 Besar Sampel
Jumlah sampel minimal yang akan digunakan dalam penelitian ini dihitung
menggunakan rumus:
n={zα /2+Zβ √PQ( P−1/2 ) }
2
P= R(1+R )
Bila OR = 3, Zα = 1,96, Zβ = 1,282 maka n = 38 dan dibulatkan menjadi 40. Jadi sampel
untuk masing-masing kelompok adalah 40 orang untuk masing-masing kelompok.
12
3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Kelompok Kasus
1. Bersedia mengikuti penelitian yang dinyatakan dengan menandatangani surat
persetujuan atas dasar kesadaran (informed consent).
2. Laki-laki atau wanita
3. Suku Indonesia asli bertempat tinggal di Sumatera Selatan
4. Penderita yang telah didiagnosis KNF oleh seorang Spesialis THT berdasarkan
pemeriksaan klinis
Kelompok Pembanding
1. Bersedia mengikuti penelitian yang dinyatakan dengan menandatangani surat
persetujuan atas dasar kesadaran (informed consent).
2. Laki-laki atau wanita
3. Suku Indonesia asli bertempat tinggal di Sumatera Selatan,
4. Penderita yang telah diperiksa oleh seorang Spesialis THT berdasarkan
pemeriksaan klinis dan dinyatakan tidak menderita KNF
3.4.3 Kriteria Penolakan Sampel (Eksklusi)
1. Penderita KNF yang dengan perdarahan
2. Penderita KNF yang hamil
3.6 Cara Kerja
3.6.1 Isolasi DNA
Alat dan Bahan
Alat-alat yang diperlukan untuk isolasi DNA darah adalah tabung sentrifugasi 15 ml yang
steril, rak tabung, pipettor (Biohit Proline® PIPETTE) dengan berbagai ukuran (10-100 μl
dan 100-1000 μl), pipet tip untuk volume 1000 μl dan 100 μl, freezer -20o C, alat vorteks
(Stuart Scientific Autovortex SA6), waterbath (Neslab RTE III), mesin inkubator, ice bath,
mesin sentrifugasi (eppendorf centrifuge 5702 R), tabung eppendorf 1,5 ml, serta kertas
absorban atau tissue.
Bahan-bahan yang diperlukan untuk isolasi DNA dari darah adalah Cell Lysis Solution
(Promega, Wizard® Genomic DNA Purification Kit), Protein Precipitation Solution (Wizard®
13
Genomic DNA Purification Kit dari Promega), Etanol absolut, Etanol 70% dan DNA
Hydration Solution atau TE (Promega, Wizard® Genomic DNA Purification Kit).
Cara kerja:
Langkah pertama isolasi DNA adalah sel darah untuk 300 µl volume sampel adalah pada
tabung eppendorf steril 1,5 ml dimasukkan 900 µl Cell Lysis Solution lalu ditambahkan 300
µl darah dari tabung vacutainer dan inkubasi campuran selama 10 menit pada suhu ruangan
sambil sesekali tabung di invert. Langkah tersebut bertujuan untuk melisiskan sel sel darah
merah dan lekosit dan melarutkan komponen selulernya. Setelah itu dilakukan sentrifugasi
pada suhu ruangan dengan kecepatan 13.000 X g selama 20 detik.
Kemudian supernatan dibuang tanpa mengganggu pellet putih yang terbentuk di bagian
dasar. Tabung selanjutnya divortex selama 10-15 detik untuk meresuspensikan kembali sel
darah putih. Tambahkan 300 µl Nuclei Lysis Solution dan dilakukan pipetting sebanyak 5-6
kali untuk melisiskan sel darah putih. Jika tumpukan sel darah putih masih tampak, maka
inkubasi kembali pada suhu 37oC selama 1 jam. Jika setelah diinkubasi selama 1 jam
tumpukan tersebut masih terlihat maka tambahkan Nuclei Lysis Solution dan lakukan
inkubasi kembali. Tambahkan Protein Precipitation Solution sebanyak 100 µl pada lisat
nukleus dan vortex selama 10-20 detik. Tumpukan kecil protein akan terlihat setelah
divortex. Sentrifugasi tabung tersebut pada suhu ruangan dengan kecepatan 13.000 x g
selama 3 menit, maka akan tampak pellet protein berwarna coklat gelap. Ambil supernatan
dan pindahkan ke tabung eppendorf 1,5 ml baru yang steril yang telah diisi dengan 300 µl
isopropanol.
Campurkan solution dengan menginversi (membolak-balik) tabung secara perlahan-lahan
sampai tampak benang DNA berwarna putih yang melayang-layang. Putar kembali tabung
pada sentrifuge dengan kecepatan 13.000 x g pada suhu ruangan selama 1 menit. DNA akan
tampak sebagai pellet putih. Buang supernatan dan masukkan satu volume etanol 70% dan
invert tabung secara perlahan-lahan beberapa kali. Aspirasi etanol 70% yang ada, kemudian
pellet dengan kertas absorben atau udara terbuka selama 10-15 menit. Tambahkan DNA
Rehydration Solution 100 µl ke dalam tahung dan rehidrasi DNA dengan menginkubasi pada
suhu 65oC selama 1 jam sambil secara periodik menggoyangkan tabung.
14
3.6.2 Desain Primer yang Spesifik
Gel CYP2E1 yang akan diamplifikasi pada bank gen (GeneBank National Center for
Biotechnology/NCBI) dapat diakses dengan kode aksesNC_00010.9 (dapat diakses pada
http://www.ncbi.nlm.nih.gov)
Pemilihan primer dengan memperhitungkan syarat suatu primer dengan memperhatikan letak
polimorfisme T7668A pada pada intron 6 yang dapat dikenali oleh enzim restriksi
endonuklease DraI (TTT^AAA). Pasangan primer terpilih mempunyai sekuen 5`
TCGTCAGTTCCTGAAAGCAGG 3` sebagai primer upsteam, sedangkan primer downstream
adalah 5’ memiliki sekuen 5’GAGCTCTGATGGAAGTATCGCA3’. Spesufusitas kedua
primer dikonfirmasi dengan melakukan ’BLAST’ melalui wesite
http://www.ncbi.nlm.nih.gov .Hasil konfirmasi menunjukkan kedua primer spesifik untuk
amplifikasi gen CYP2E1.
3.6.3 Polymerase Chain Reaction (PCR)
DNA genom yang diperoleh dari hasil isolasi, dengan menggunakan tehnik PCR,
fragmen-fragmen DNA genom yang ingin dianalisa dapat ditingkatkan kuantitasnya dengan
cara amplifikasi secara in vitro dalam waktu singkat dengan menggunakan pasangan primer
oligonukleotida sintetik yang membatasi daerah yang akan diperbanyak. Pada penelitian ini
digunakan sepasang primer oligonukleotida untuk deteksi polimorfisme titik. Komposisi
campuran dengan volume total 25 μl yang digunakan saat melakukan PCR adalah PCR mix
Go Taq (Promega, USA) yang terdiri dari 12,5 μl dNTPs (campuran dATP, dCTP, dGTP,
dTTP), MgCl2 dan Taq Polymerase, 7,5 μl ddH2O, dan 3 μl DNA cetakan (template), serta
primer oligonukleotida reverse (R) dan forward (F) masing-masing 1 μl.
Pasangan primer yang digunakan untuk identifikasi polimorfisme T-786C
Primer SekuenPanjang
Primer (pb)Produk
PCR (pb)Forward 5` TCGTCAGTTCCTGAAAGCAGG 3` 21 995
Reverse 5` GAGCTCTGATGGAAGTATCGCA3’ 22
PCR ini dilakukan pada mesin i-cycler (Biorad). Prinsip dasar amplifikasi DNA dengan
menggunakan mesin PCR adalah sintesis DNA in vitro secara bireksional berulang melalui
ekstensi sepasang primer oligonukleotida yang dirancang berdasarkan urutan nukleotida dari
kedua rantai DNA yang diamplifikasi. Proses sintesis ini berlangsung dalam tiga tahap reaksi
15
yang berulang sebanyak 30 siklus pada suhu berbeda, yaitu : reaksi denaturasi pada suhu di
atas 950C untuk memisahkan rantai ganda menjadi dua rantai tunggal, reaksi annealing yaitu
menyatunya kembali kedua rantai DNA tersebut pada suhu 600C, dan ekstensi yaitu sintesis
DNA melalui perpanjangan suatu primer mengikuti urutan nukleotida DNA rantai tunggal
pasangannya yang umumnya berlangsung pada suhu 720C. Kondisi PCR selengkapnya dapat
dilihat pada gambar dan table di bawah ini:
Kondisi PCR untuk amplifikasi gen CYP2E1
Tahap Denaturasi Awal 950C (5 menit)
Siklus PCR : 30 siklus
-Tahap Denaturasi 950C (30 detik)
-Tahap Annealing 600C (30 detik)
-Tahap Ekstensi 720C (30 detik)
Tahap ekstensi tambahan 720C (7 menit)
Kondisi PCR
3.6.4 Deteksi Produk PCR Dengan Elektroforesis Gel Agarose
Kualitas DNA hasil amplifikasi dengan tehnik PCR dilihat dengan menggunakan
tehnik elektroforesis gel agarose (konsentrasi 2%). Elektroforesis dilakukan di dalam
aparatus elektroforesis (Horizontal MiniSubDNA Biorad) yang berisi TBE 1x (Tris-Boric
acid-EDTA, 10.8g/L, Tris pH 8.0 yang mengandung 5.5 g/l Boric Acid dan 0.5 M EDTA pH
8.0) dan ditambahkan zat interkalator Ethidium Bromide 0,1%. DNA hasil PCR sebanyak 5μl
dicampur dengan 3 μl loading dye (0.25% bromophenol blue, 40% b/v sukrosa), kemudian
dimasukkan dalam sumuran yang terdapat pada gel. Sebagai penanda ukuran pita-pita DNA
hasil elektroforesis pada gel digunakan DNA marker (100bp DNA Ladder Cat no: 15628-019
Lot no. 1289697 sebanyak 3ug/ul: Promega) yang dicampur 2μl loading dye dan 4.5 ul 1x
16
TBE buffer. Gel dielektroforesis pada tegangan listrik 110 volt. Selanjutnya dideteksi dengan
menggunakan Gel Doc 1000 (BioRad, USA) untuk divisualisasi dengan sinar ultra violet
pada panjang gelombang 300 nm dan direkam.
3.6.5 Deteksi Polimorfisme gen CYP2E1 dengan teknik RFLP
Polimorfisme T7668A ditentukan dengan analisis PCR RFLP. Hasil alel T7668A
diperoleh dengan enzim DraI. Sebanyak 1 µL enzim DraI 10 Unit (10 U/µL) ditambahkan ke
dalam tabung eppendorf yang berisi 20 µL produk PCR. Selanjutnya divorteks beberapa detik
dan diinkubasi dalam waterbath pada suhu 39oC selama 3 jam. Setelah digesti oleh DraI,
produk PCR dielektroforesis pada 2% agarose gel dan dilihat dengan pewarnaan ethidium
bromide.
3.7 Analisis Data
Semua data ditampilkan dalam bentuk tabel frekuensi dan persentase untuk
mendeteksi perbedaan satu unit/satuan data yang diperoleh, dilakukan uji dengan uji standar
uji X2 (Chi Kuadrat), kemudian dilakukan analisis hubungan antara alel gen CYP2E1 baik
yang polimorfik maupun yang normal (wild type) baik pada kelompok kasus maupun kontrol
3.8. Alur Kerja Penelitian
PCR - RFLP
Deteksi Polimorfisme Gen CYP2E1
Analisis Data
Kelompok kasus dengan KNF
Kelompok kontrol tanpa KNF
Pengambilan darah
Amplifikasi DNA dengan teknik PCR
PCR - RFLP
Deteksi Polimorfisme Gen CYP2E1
Amplifikasi DNA dengan teknik PCR
Ekstraksi DNA Ekstraksi DNA
Pengambilan darah
17
3.10 Perincian Waktu Penelitian
No KegiatanTahun 2010
BulanJuni Juli Agustus September Oktober November Desember
1 Pemesanan material
2 Pengumpulan sampel
3 Optimasi PCR-RFLP
4 Pengumpulan Data
5 Pengolahan Data
6 Presentasi Hasil
3.11 Biaya Penelitian
1. Spuit Disposible 3 cc 100 buah@Rp 3000,-x100 Rp 300.000,-
3. Alkohol pad 100 buah @ Rp 300,-x100 Rp 300.000,-
4. DNA Extraction Kit Rp 2.000.000,-
5. PCR Core Kit Rp 2.000.000,-
6. Enzim Restriksi MspI Rp 2.000.000,-
7. Agarose gel Rp 1.800.000,-
8. Larutan TBE Rp 600.000,-
9. DNA marker Rp 1.000.000,-
TOTAL Rp 10.000.000,-
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Brennan B. Carcinoma nasopharyngeal. Orphanet Journal of Rare Disease [serial online][cited 2010 March 23] Available from: http://www.OJRD.cm/content/1/1/23
2. Chan ATC, Teo PML, Johnson PJ. Nasopharyngeal carcinoma. Ann Oncol 2002;13:1007-15.
3. Frank CLU. Basic toxicology: target organs and risk assessment. Hemisphere Publishing Corp 1991: 29, 38, 54, 107-109, 208
4. Hildesheim A, Chen CJ, Neil EC, Cheng YJ, Robert NH, Hsu M, Paul H, Chen HI, Yang CS, Ann KD, Jeffry ID. Cytochrome P4502E1 genetic polymorphisms and risk of nasopharyngeal carcinoma: Result from a case control study conducted in Taiwan. J Natl Cancer Inst 1995; 4:607-610.
5. Hirvonen A, Pursiainen KH, Anttila S. The human CYP2E1 gene and lung cancer: DraI and RsaI restriction fragment length polymorphisms in a Finish study population. Carcinogenesis 1993; 14:85-88
6. Huang DP, Ho JHC, Saw D and Teoh TB. Carcinoma of the nasal and paranasal regions in rat fed Cantonese salted marine fish. IARC Sci Pub, 1978. Lyon, France, p 315-328.
7. Huang DP, Ho JHC. Volatile nitrosamines in salt-observed fish before and after cooking. Fd Cosmet Toxicol 1981; 19:167-71.
8. Jia WH, Pan QH, Qin HD, et al. A Case–control and a family-based association study revealing an association between CYP2E1 polymorphisms and nasopharyngeal carcinoma risk in Cantonese. Carcinogenesis 2009 30(12):2031-2036
9. Kongruttanachok N, Sukdikul S, Setavarin S et al. Cytochrome P4502E1 polymorphism and nasopharyngeal carcinoma development in Thailand: a correlative study. BMC Cancer 2001;1:4
10. Morita M, Le Marchand L, Kono S. Genetik Polymorphisms of CYP2E1 and Risk of Colorectal Cancer: The Fukuoka Colorectal Cancer Study. (Cancer Epidemiol Biomarkers Prev 2009;18(1):235–41
11. Mustchler E. Dinamika obat, edisi terjemahan oleh Mathilda B, Bandung, ITB Bandung; 1991 p. 765-70.Sisworo R. Kanker Nasofaring: Epidemiologi dan Pengobatan Mutakhir. Cermin Dunia Kedokteran, 2004;144:16-9.
12. Mutirangura A. Molecular mechanism of nasopharyngeal carcinoma development. Reasearch advances and research updates in medicine, 2000;1:18-27
13. Mutirangura A, Tanuyatthawongese C, Pornthananakasem W, Kerekhanjanarong V, Sriuranpong V, et al. Genomic alteration in nasppharingeal carcinoma: loss of heterozygosity an Epstein Barr virus infection. Br J Cancer 1997;76:770-6
14. Nussbaum RI, McInnes R, Willard HF. Thompson & Thompson: Genetics in Medicine 2001, 6th ed. Philladelphia, USA: WB Saunders Co p.87
15. Poirier S. Volatile nitrosamines levels in common foods from Tunisia, South China and Greenland, high risk areas for nasopharyngeal carcinoma. Int J Cancer 1987; 39:293-96.
16. Sambrook J: A molecular cloning manusal, New York, USA: Cold Spring Harbor Laboratory, 2003: p. 400.
19
17. Sharif R, Ghazali AR, Rajab NF,Haron H, Osman F. Toxicological evaluation of some Malaysian locally processed raw food product. Food and Chem. Toxicol 2008: 46:368-74.
18. Shoterlersuk K, Khorprasert C, Sakdikul S, Pornthanakasem W, Voravud N, Mutirangura. Eppstein Barr Virus DNA in serum/plasma as tumor marker for nasopharyngeal cancer. Clin Cancer Res 200; 6:1046-1051
19. Tan EL, Lool LM, Sam CK. Evaluation of plasma EBV DNA as a prognostic marker for nasopharyngeal carcinoma. Singapore Med. J2006; 49:803-7
20. Wills RBH, Silalahi J, and Wooton M. Simultaneous determination of foo-related amines by high performance liquid chromatography. J Liq Chromatog 1987;10:3183-91
21. Yin-Chu Chien and Chien-Jen Chen. Epidemiology and etiology of nasopharyngeal carcinoma: gene-environment interaction. Cancer rev 2003; 1:1-19
22. Yu MC, Henderson BE. Nasopharyngeal cancer. In: Schottenfeld D, Fraumeni JF, editors. Cancer epidemiology and prevention, 2nd ed. New York: Oxford University Press; p. 603-18
23. Yu MC, Huang TB, Henderson BE. Diet and nasopharyngeal carcinoma: A case control study in Guangzou, China. Int J Cancer 1989; 43:1077-83.
24. Yu MC, Mo CC, Chong WX, Yeh FS, Henderson BE . Preserved foods and nasopharyngeal carcinoma: A case control study in Guangxi, China. Cancer Res 1988; 46:956-96.
20
PUSPA ZULEIKA, dr. SpTHT-KL. M Kes.
Personal Information:
Name : Puspa Zuleika
Address : Sawit VIII Block AQ-02, Bukit Sejahtera Residence, Palembang
Date of Birth : October, 7th 1978
Nationality : Indonesian
Marital status : Unmarried
HP : +6281328384219
E-mail : [email protected]
Education:
- ENT Resident of ENT Department DR Sardjito HospitalMedical Faculty of Gadjah Mada University July 2003 – March 2008
- School of Post-Graduate Gadjah Mada University Major Medical Clinic July 2003 – October 2006
- Medical Faculty of Padjadjaran University July 1996 – February 2003
- Xaverius 1 Palembang Senior High School July 1993 – May 1996
21
- Palembang State Junior High School (1) June 1992 – May 1993
- Magelang State Junior High School (1) July 1990 – June 1992
- Magelang State Elementary School (VII) July 1984 – June 1990
Relevant Training:
- Participant of Advanced Cardiac Life Support February 2003
- Committee of Demo Operasi & Symposium Timpanomastoidektomi March 2004
- Committee of Symposium Pengembangan Potensi Anak-Anak Tuna Rungu March 2004
- Participant of Symposium Penatalaksanaan Otitis MediaSuppurativa Kronik Operatif dan Non Operatif July 2004
- Participant of Pelatihan ICD-10 December 2004
- Participant of Symposium Integrated Management of EBV-NPC: from basic to clinic July 2005
- Participant & Speaker in The 11th ASEAN ORL Head & NeckSurgery Congress, The 6th H.I. Annual Meeting, The 6th
INDOS-HNS Annual Meeting August 2005
- Participant in NPC workshop, Institutional StrengtheningIn Comprehensive NPC Management to be the Center of
Excellence on NPC Diagnostic and Treatment December 2005
- Paricipant & Speaker in Pertemuan Ilmiah Tahunan VII Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala Leher Indonesia July 2008
- Participant of Temporal Bone Dissection Course XVIII July 2008
- Paricipant of 2nd ENT Head and Neck Surgery ConferenceAnd 3rd Annual Otology Meeting (PITO 3) November
22
2008
- Participant of 2nd ASIAN PEDIATRIC EAR NOSE THROAT MEETING March 2009
- Participant of Airway Instructional Course March 2009
- Participant of GERD & LPR: The Correlation InstructionalCourse March 2009
- Participant of 5th Jakarta International FunctionalEndoscopic Sinus Surgery Course and Workshop March 2009
- Paricipant of Training for Tutor Angkatan XI dalam rangkaPelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya March 2009
- Participant of Alergy – Immunology “Recent Up Date inManagement of Allergic Disease” May 2009
- Committee of Pertemuan Ilmiah Tahunan Otologi (PITO 4) Palembang October 2009
- Participant of Endoscopic Sinus Surgery Workshop BandungORL-HNS Week December 2009
- Participant of Training Of Trainer Basic Surgical Skill Makassar February 2010
- Participant of training Teknik Biologi Molekuler dan aplikasinya February 2010Untuk Diagnosis dan Terapi Palembang
- Participant of 1st Asian Facial Plastic Surgery and 6th JakartaInternational FESS Course and Workshop March 2010
English Proficiency:
TOEFL from ITB Language Centre : Score : 540
23
Research Project:
- Member of PDT project for NPC Therapy, ENT Department DR Sardjito Hospital, Gadjah Mada University 2005 – 2007
Scientific Publication:
- Two years survival rate of nasopharyngeal carcinoma patients in Sardjito general Hospital Yogyakarta, 2003-2004.
- Large otogenic brain abscess with skull erosion: case report.
- Validitas Pemeriksaan Sitologi Basofil Mukosa Hidung Untuk Membantu Penegakan
Diagnosis Rinitis Alergi
Daftar Riwayat Hidup
Identitas:Nama : dr. Yuli Doris Memy, Sp.THT-KLAlamat : Jln. Sekip bendung No.963 Rt.12/005 Palembang 30127Tempat/tgl lahir : Muara Pinang/ 12 Mei 1979.Status perkawinan : MenikahAgama : IslamNo. telp/HP : 0711-354496/ 0819685088Email : [email protected]
Riwayat pendidikan:- 1985-1991 Sekolah Dasar negeri 409 Palembang - 1991-1994 Sekolah Menengah pertama Negeri 4 Palembang- 1994-1997 Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Palembang- 1997-2003 Pendidikan dokter umum Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta- 2005-2009 Pendidikan dokter spesialis Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Fakultas
kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang
Riwayat Pekerjaan :
24
- 2001-2002 Tim penyuluh kesehatan, Klinik Kedokteran Keluarga PT. Gobel – FKUI, Cibubur
- 2002 Asisten Dosen D3 FKUI mata kuliah Rehabilitasi Medik- 2003 Dokter jaga, Klinik sehati, Jakarta- 2004 Pembina, Usaha Kesehatan Sekolah dan Dokter Kecil SDIT IQRO, Jakarta- 2004 Instruktur Pertolongan Pertama pada kegawatan & Kedaruratan FKUI, Jakarta- 2010-skrg Staf pengajar FK Unsri Bagian THT-KL FK Unsri Palembang
Pengalaman Organisasi :- 1998-2003 Ketua staf administrasi BURSA Kedokteran Senat Mahasiswa FKUI, Jakarta- 1998-1999 Anggota Kelompok Studi kesehatan Preventif FKUI, Jakarta- 2001 Divisi Pemberantasan Narkoba, Forum Studi Islam FKUI, Jakarta- 2001-2002 Koordinator personalia, Tim Medis segitiga Salemba, Jakarta
Sertifikat-sertifikat :- 2003 Peserta Pertolongan Pertama pada Kegawatan dan kedaruratan, Jakarta- 2004 Peserta Training For Trainer for P2K2’s Instructor, Jakarta- 2004 Peserta pendidikan metodologi penelitian FKUI, Jakarta- 2005 Peserta recent management of ENT Problems, Jakarta- 2006 Peserta metodologi Diagnostik di Bidang audiologi, Jakarta- 2007 Peserta dan pembicara KONAS THT, Surabaya- 2009 Peserta dan pembicara PITO 4, Palembang- 2010 Peserta seminar Rhinoplasty, JIFEES, Jakarta