Top Banner
1 PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris? Oleh: AE Priyono 1 Demokratisasi Indonesia pada tingkat politik makro dan nasional sudah lama dideteksi mengalami kemacetan, terus bergerak ke arah kemunduran, dan sedang akan berakhir menuju kegagalan. Banyak studi membuktikan takdir pahit ini. Demos (2005) sudah sejak awal memperlihatkan terjadinya pembajakan elit terhadap lembaga-lembaga dan prosedur demokrasi, dan ini menjadikan demokratisasi Indonesia berwatak sangat elitis. Robison & Hadiz (2004) melakukan studi yang menggaris-bawahi bahwa elit predatorial (elit pemangsa rakyat) lama yang berbasis partai-partai politik menguasai panggung politik. Mereka melakukan reorganisasi kekuasaan mengikuti logika politik kartel, dan ini menjadi basis bagi munculnya oligarki dan plutokrasi. 2 Tapi studi lain yang dilakukan Hee- Yeon Cho (2008) melihat bahwa “demokrasi oligarkis” Indonesia berangsur-angsur berubah menjadi “oligarki demokratis.” Inilah sejenis oligarki yang ingin mempertahankan kekayaan – sekaligus merebut kekuasaan – melalui kompetisi elektoral (melalui pemilu) yang berwatak elitis. Jadi, bukan politik demokrasi yang berlangsung di Indonesia, tapi politik oligarki. Sementara itu Winters (2014) juga menegaskan kenyataan serupa, bahwa elemen penting plutokrasi neo Orde Baru adalah kaum oligark (elit berwatak oligarkis) yang tak ikut lenyap bersama tumbangnya Suharto. Kaum oligark yang dulu berada di bawah kendali mutlak Suharto kini sedang berebut posisi di puncak kekuasaan. Oligarki sultanistik di zaman Orde Baru terpusat di Cendana, sedangkan oligarki pasca Orde Baru menyebar ke dalam banyak kutub persaingan kaum elit. Metode otoritarian Orde Baru membuat oligarki bisa dikuasai seorang diktator, sedangkan “demokratisasi” pasca Orde Baru membuat para oligark bersaing melalui mekanisme kompetisi electoral. Melalui telaah ini, Winters ingin menegaskan bahwa oligarki dan demokrasi saling menunggangi. 1 Penulis & peneliti LP3ES 2 Politik kartel digambarkan sebagai situasi manakala partai-partai politik secara bersama-sama mengabaikan komitmen ideologis dan programnya agar tetap bisa bertahan di lingkar kekuasaan dengan memilih bergabung dengan pemerintahan baru paska pemilu. Sebagai imbalan atas dukungan yang diberikan mereka berbagi pos-pos jabatan di pemerintahan. Politik kartel pada gilirannya membentuk pemerintahan berwatak oligarkis. Oligarki merupakan mekanisme pemusatan kekuasaan pada segelintir elit berkuasa yang menekankan pada kekuatan sumber daya material (kekayaan) sebagai basis mempertahanan kekuasaan sekaligus kekayaan pada diri elit. Sementara plutokrasi mirip dengan oligarki. Namun, plutokrasi terjadi tatkala tercipta suatu kondisi ekstrem ketimpangan sumber daya antara “kaya” dan “miskin” di dalam suatu negara. Plutokrat (penguasa dalam plutokrasi) tidak hanya menguasai sumber ekonomi dan politik, melainkan juga sumber daya kekerasan (pasukan ,senjata, teknologi). Dalam kondisi seperti ini, plutokrat boleh jadi lebih berkuasa ketimbang pemerintah resmi.
85

PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

Nov 27, 2020

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

1

PROLOG

Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?

Oleh:AE Priyono1

Demokratisasi Indonesia pada tingkat politik makro dan nasional sudah lama dideteksimengalami kemacetan, terus bergerak ke arah kemunduran, dan sedang akan berakhirmenuju kegagalan. Banyak studi membuktikan takdir pahit ini. Demos (2005) sudah sejakawal memperlihatkan terjadinya pembajakan elit terhadap lembaga-lembaga danprosedur demokrasi, dan ini menjadikan demokratisasi Indonesia berwatak sangat elitis.Robison & Hadiz (2004) melakukan studi yang menggaris-bawahi bahwa elit predatorial(elit pemangsa rakyat) lama yang berbasis partai-partai politik menguasai panggungpolitik. Mereka melakukan reorganisasi kekuasaan mengikuti logika politik kartel, dan inimenjadi basis bagi munculnya oligarki dan plutokrasi.2 Tapi studi lain yang dilakukan Hee-Yeon Cho (2008) melihat bahwa “demokrasi oligarkis” Indonesia berangsur-angsurberubah menjadi “oligarki demokratis.” Inilah sejenis oligarki yang inginmempertahankan kekayaan – sekaligus merebut kekuasaan – melalui kompetisi elektoral(melalui pemilu) yang berwatak elitis. Jadi, bukan politik demokrasi yang berlangsung diIndonesia, tapi politik oligarki.

Sementara itu Winters (2014) juga menegaskan kenyataan serupa, bahwa elemenpenting plutokrasi neo Orde Baru adalah kaum oligark (elit berwatak oligarkis) yang takikut lenyap bersama tumbangnya Suharto. Kaum oligark yang dulu berada di bawahkendali mutlak Suharto kini sedang berebut posisi di puncak kekuasaan. Oligarkisultanistik di zaman Orde Baru terpusat di Cendana, sedangkan oligarki pasca Orde Barumenyebar ke dalam banyak kutub persaingan kaum elit. Metode otoritarian Orde Barumembuat oligarki bisa dikuasai seorang diktator, sedangkan “demokratisasi” pasca OrdeBaru membuat para oligark bersaing melalui mekanisme kompetisi electoral. Melaluitelaah ini, Winters ingin menegaskan bahwa oligarki dan demokrasi saling menunggangi.

1 Penulis & peneliti LP3ES2 Politik kartel digambarkan sebagai situasi manakala partai-partai politik secara bersama-samamengabaikan komitmen ideologis dan programnya agar tetap bisa bertahan di lingkar kekuasaan denganmemilih bergabung dengan pemerintahan baru paska pemilu. Sebagai imbalan atas dukungan yangdiberikan mereka berbagi pos-pos jabatan di pemerintahan. Politik kartel pada gilirannya membentukpemerintahan berwatak oligarkis. Oligarki merupakan mekanisme pemusatan kekuasaan pada segelintir elitberkuasa yang menekankan pada kekuatan sumber daya material (kekayaan) sebagai basismempertahanan kekuasaan sekaligus kekayaan pada diri elit. Sementara plutokrasi mirip dengan oligarki.Namun, plutokrasi terjadi tatkala tercipta suatu kondisi ekstrem ketimpangan sumber daya antara “kaya”dan “miskin” di dalam suatu negara. Plutokrat (penguasa dalam plutokrasi) tidak hanya menguasai sumberekonomi dan politik, melainkan juga sumber daya kekerasan (pasukan ,senjata, teknologi). Dalam kondisiseperti ini, plutokrat boleh jadi lebih berkuasa ketimbang pemerintah resmi.

Page 2: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

2

Cerita ini belum lengkap tanpa melihat apa yang terjadi di tingkat lokal. Studi awal yangdikerjakan Nordholt (2004) menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia pasca Orde Barutidak menyebabkan keterputusan kekuasaan elit-elit lama. Yang terjadi bukan hanyakontinuitas atau kelanjutan praktek politik Orde Baru, tetapi justru munculnya kembalikekuasaan patrimonial pra-kolonial.3 Elit-elit lokal feodal merebut instrumen-instrumendemokrasi dan mereka menemukan ruang untuk kembali mewujudkan kepentingan elitis-feodal mereka. Melalui kontestasi dalam demokrasi elektoral, elit-elit lama itu tak jarangberhasil menguasai birokrasi lokal. Di sini Klinken (2014) memberikan sumbangan temuanriset lain yang juga menarik, bahwa kelas birokrasi lokal membangun aliansi dengan kelasmenengah lokal yang berwatak patronal, antara lain yang berbasis etnis (suku), untukpenguasaan sumberdaya. Inilah yang menjadi basis bagi munculnya dinasti-dinasti politikbaru di tingkat lokal.4 Sementara itu studi Peluso (2007) melihat kenyataan bahwasurutnya kekuasaan militer di daerah membuat para penguasa Kodam menjadi kaki-tangan pemodal (Investor), demi eksploitasi sumberdaya alam. Mereka memberikan jasakeamanan untuk berlangsungnya aliansi antara birokrasi lokal, korporasi, dan kekuatan-kekuatan predator lain seperti partai politik.

Studi dari ketiga peneliti yang disebut terakhir itu menjelaskan fenomena umum prosespolitik di tingkat lokal. Sama dengan yang terjadi di tingkat nasional, maka proses politikdemokratisasi lokal – khususnya melalui mekanisme kontestasi elektoral di tingkatprovinsi maupun kabupaten – hanya mendaur ulang siklus politik elitis-oligarkis.

Pengamatan seperti ini juga dikemukanan oleh Hans Antlov (2004), salah seorang sarjanayang banyak melakukan kajian dan advokasi tentang politik lokal dan demokratisasi desa.Menurutnya, desain demokrasi elektoral di tingkat nasional yang hanya melibatkanwarganegara untuk ikut dalam pemilu lima tahun sekali, mustahil menciptakan partisipasiyang bermakna. Karena itu, juga mustahil menghadirkan demokrasi yang bermakna.Model demokrasi elektoral seperti itu hanya akan membuat para teknokrat dan birokratmempertahankan kekuasaan mereka selama masa-antara lima tahunan antar-pemilu.5

3 Konsep patrimonial merujuk pada corak kekuasaan tradisional yang berakar dari pemerintahan monarkiatau kerajaan. Kekuasaan patrimonial menempatkan titah raja ( termasuk kaisar atau sultan) sebagai basisbekerjanya hukum dan pemerintahan. Dalam negara partrimonial legitimasi pemimpin atau raja bersumberdari karisma personalnya atau karena klaim pewahyuan sebagai wakil Tuhan. Patrimonialisme acapkalidituding melahirkan rejim despotik (sewenang-wenang), karena tidak ada kontrol terhadap kekuasaan yangmenempatkan pimpinan sebagai satu-satunya sumber kebenaran.4 Patronal adalah relasi yang berangkat dari patronase. Patronase sendiri merupakan relasi antara orangdengan status lebih tinggi (sebagai patron) dengan orang dengan status lebih rendah (klien) berdasarkanpertukaran sumber daya. Patron menggunakan pengaruh dan sumber dayanya akan menyediakanperlindungan serta keuntungan-keuntungan material bagi seseorang yang menjadi kliennya. SementaraKlien akan membalasnya dengan memberikan loyalitasnya dalam bentuk dukungan dan bantuan termasukjasa pribadi kepada patronnya. Patronase ini akhirnya menjadi basis relasi antara pemimpin dengan yangdipimpin terutama dalam kekuasaan feodalistik.5 Teknokrat, berasal dari teknokrasi yaitu sistem pemerintahan yang dijalankan oleh para ahli. Dalampengambilan keputusan politik-ekonomi, para ahli yang selanjutnya disebut teknokrat tersebut,menggunakan pendekatan ilmiah-rasional dan teknis untuk melegitimasi keputusan yang diambil.

Page 3: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

3

Menurutnya, model demokrasi minimal demikian hanya menghasilkan reformasi politikyang dangkal – dan ini membuat korupsi berjalan terus, sistem peradilan yang busuktidak bisa berubah, sementara masyarakat akan tetap apatis dan tak percaya padanegara. Lalu, bagaimana?

***

Antlov berpijak pada dua argumen untuk membuat demokratisasi Indonesia bekerjadengan maksimal. Pertama, otonomi daerah yang sejauh ini hanya berlangsung padalevel administratif harus disertai dengan penguatan kapasitas politik masyarakat sipil ditingkat lokal. Meminjam kalimatnya sendiri, “mendukung demokrasi tidak cukup hanyadengan membuka ruang-ruang baru politik lokal: ada kebutuhan untuk melakukantindakan-tindakan yang memungkinkan suara-suara baru didengar dan memberikankepada rakyat kekuatan untuk terlibat mengurus komunitas mereka sendiri” (Antlov2004: 141). Di sini Antlov tampak menekankan gagasan tentang repolitisasi masyarakatsipil. 6

Sebelumnya Antlov mengakui bahwa desentralisasi bisa menjadi agenda depolitisasimasyarakat. Dengan menyerahkan semua kebijakan pemerintahan menjadi urusankabupaten/kota dan/atau provinsi, maka sangat mungkin hanya para politisi dan birokratlokal yang memonopoli arah desentralisasi. Di tangan mereka kebijakan-kebijakanpembangunan daerah menjadi urusan teknis, bukan politis. Jika demikian halnya makahasilnya adalah desain kebijakan desentralisasi yang sepenuhnya bersifat teknokratis,kembali berwatak top-down (atas-bawah), tanpa melibatkan partisipasi masyarakat.Desentralisasi yang seperti itu tidak mencerminkan aspirasi yang sesungguhnya daribawah. Desentralisasi dengan watak demikian justru melanggengkan hubungankekuasaan elitis dan melestarikan penyimpangan politik di tingkat lokal – apatisme danketidakpercayaan masyarakat kepada negara.

Kedua, kunci untuk repolitisasi masyarakat sipil dalam proses desentralisasi adalahdengan cara membuat mereka mau terlibat dan berpartisipasi dalam proses pembuatankebijakan publik yang berkaitan dengan kepentingannya yang paling dekat dan nyata –yaitu menyangkut problem-problem kehidupan mereka sehari-hari. Bagi Antlov, iniberarti menurunkan urusan publik ke tingkat desa, khususnya ke tingkat everyday-politics(urusan politik sebagai peristiwa keseharian yang nyata). Demokrasi lokal hanya bisamenghasilkan dampak nyata dalam setting yang seriil itu. Dengan keyakinan seperti inilahAntlov bergerak untuk melanjutkan proyek desentralisasi ke level desa. Meminjam lagikalimatnya sendiri Antlov menyatakan, “... dulu desa adalah objek sentralisasi,depolitisasi, kooptasi, intervensi, dan instruksi dari atas. Sekarang desa [harus

Akibatnya, keputusan yang diambil meminggirkan pertimbangan politis sekaligus menyingkirkan peranrakyat dalam pengambilan keputusan.6 Repolitisasi dimaksudkan sebagai upaya menghidupkan kembali kesadaran politik masyarakat sebagaiwarga negara, setelah mengalami “tidur panjang” dibawah depolitisasi atau upaya menjauhkan rakyat darikehidupan politik yang berdampak pada pelemahan kapasitas politik warga pada masa Orde Baru.

Page 4: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

4

dibayangkan] menjadi arena demokrasi, otonomi, partisipasi, dan kontrol bagi wargamasyarakat” (Antlov, 2003).

Menarik bahwa Antlov mengembangkan imaginasi tentang desa sebagai “arenademokrasi” itu jauh sebelum terbitnya UU No. 6/2014 tentang Desa. Sebagian besarimpiannya tampaknya betul-betul terwujud dalam banyak pasal pada undang-undang itu,terutama berkenaan dengan isu partisipasi warga desa. Kita tahu bagaimana peranannyasangat penting – misalnya bersama beberapa NGO, seperti IRE – ketika mengadvokasilegislasi UU tersebut. Mereka terutama mempromosikan tema civic-engagement(pelibatan warga) dalam kerangka demokratisasi desa. Dan persis di sinilah, kita perlusedikit mendalami fokus dan tekanan-utama mereka atas gagasan tersebut.

Menurut Antlov, partisipasi warga melibatkan partisipasi sistematis dalam perumusandan pembuatan kebijakan oleh kelompok-kelompok warga. Pelibatan partisipasi itu jugamencakup kerja berjejaring dengan mereka yang telah lebih dulu mengembangkanmetode-metode politik partisipatoris untuk konsultasi, deliberasi, perencanaan, danmonitoring terhadap agenda-agenda dan program-progam pemeritahan desa (Antlov2004: 142). Jadi, singkatnya politik partisipatoris harus diwujudkan kembali denganmenguji secara empiris di tingkat desa. Ini menjadi desain praksis untuk membuatalternatif bagi demokrasi elektoral yang gagal di tingkat supra-desa.

Bagi banyak pengamat, perwujudan kembali politik partisipatoris di tingkat lokal memangmenjadi sebuah keharusan. Tamrin Amal Tomagola baru-baru ini mengingatkan bahwasalah satu persoalan paling serius demokrasi Indonesia adalah pengabaian terhadapaspirasi-aspirasi masyarakat pedesaan yang sebenarnya merupakan konstituen terbesardemokrasi. Menurutnya, selama ini demokrasi Indonesia terlalu berorientasi kota danhanya terkonsentrasi pada gerakan kelas menengah perkotaan.7 Kepentingan kalanganmenengah kota secara sosiologis dan kultural jelas harus dibedakan dengan kepentingankelas masyarakat non-kota di tingkat lokal, khususnya di daerah pedesaan. Demokrasiliberal cukup bisa memenuhi kebutuhan masyarakat kelas menengah perkotaan akankebebasan sipil-politik yang berbasis pada aspirasi-aspirasi individual. Tapi demokrasitidak bisa hanya memenuhi kebutuhan individual akan kebebasan sipil dan politik. Bagimasyarakat pedesaan yang lebih berwatak komunal (kebersamaan), di mana akseskolektif atas sumberdaya alam lokal menjadi pertaruhan hidup-mati, demokrasi harusmenekankan sisi partisipasi kolektif warga.

Masalahnya adalah, daya dukung politik masyarakat desa tidak memadai untukmemperbesar tekanan pada aspek ini. Karena itu bagi Tamrin, ada kebutuhan untukreorientasi demokrasi Indonesia ke arah penguatan kapasitas politik masyarakat desa. Iniadalah kata lain dari istilah civic-engagement yang ditekankan Antlov di atas. Jadi, sepertihalnya Antlov, Tamrin juga melihat ada dua manfaat dalam reorientasi ini. Pertama,

7 Diskusi redaksi Prisma, Cikini, Jakarta, 2 September 2016. Petikannya akan dimuat dalam rubrik DialogPrisma, edisi khusus (Januari 2017, akan terbit).

Page 5: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

5

memberi keseimbangan baru agar demokrasi tidak hanya berkiblat ke kota, yangcenderung menekankan sisi-sisi kebebasan individual kelas menengah liberal dankompetisi elektoral para elit. Kedua, dengan menekankan aspek partisipatorisnya dalamlatar sosio-kultural komunal berbasis desa, demokratisasi Indonesia bisa menjadi lebihproduktif, inklusif (terbuka), otentik (asli), dan maksimal.

***

Studi-studi kasus IRE tentang 10 desa di Jawa yang terhimpun dalam buku ini memberigambaran bahwa ada yang sedang menggeliat dari bawah, dari tingkat lokal, dari desa-desa kita. Kasus-kasus yang diteliti membawa kita untuk memiliki gambaran tentangdimensi-dimensi empiris mengenai apa yang dipikirkan Antlov dan Tamrin.

Di tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasidan kelembagaan masyarakat sipil di tingkat desa, maka dengan terbitnya UU No. 6/2014telah tercipta kesempatan politik yang terbuka luas bagi lahirnya model-model tata kelolabaru di tingkat desa. Model-model baru itu memang sedang dalam proses terbentuk,sesuai dengan konteks-konteks problematik setempat. Cerita-cerita yang terhimpun dari10 kasus yang distudi IRE itu baru merupakan sebagian dari ilustrasi nyata yang kini bisaditemukan di mana-mana di seluruh penjuru tanah air.

Kesepuluh studi kasus IRE dengan sengaja membatasi fokus analisisnya untuk melihat tigaaspek: (i) kepemimpinan desa; (ii) kinerja lembaga-lembaga representasi (perwakilan)desa; dan (iii) inisiatif warga desa. Hasilnya adalah sebuah bunga rampai yang merupakancerita saling-silang; masing-masing bisa bertutur sendiri mengenai kombinasi yang salingmempengaruhi antara ketiga aspek itu. Ada kepemimpinan desa yang responsif atautanggap, didukung oleh kelompok-kelompok warga desa yang penuh inisatif atauprakarsa dengan tradisi deliberatif (dialog dan musyawarah) yang punya akar kuat; danditopang pula oleh lembaga-lembaga formal representasi desa yang terbuka. Ini jelassebuah kombinasi ideal untuk membangun pemerintahan desa yang partisipatoris. Adapula jenis kepemipinan desa dinastik yang elitis, konservatif, tidak transparan; dan inibiasanya muncul dari dan/atau melahirkan sikap masyarakat yang apatis atau tidak pedulidan pasif; serta dilengkapi pula oleh lembaga representasi desa yang tidak responsif dantidak kredibel. Hasilnya tentu sebuah jenis tata-pemerintahan desa yang majal dan anti-pembaruan.

Di tengah-tengah model kombinasi yang ideal dan yang majal itu, terdapat rangkaianvariasi model-model pemerintahan desa yang penuh ketegangan internal, dinamis, tapijuga involutif atau mandeg. Misalnya, kepemimpinan inovatif (mampu menghadirkanterobosan) yang muncul dari aktivisme kelompok-kelompok warga masyarakat yangpenuh inisiatif, tapi yang tidak didukung oleh adanya lembaga-lembaga representasiformal. Atau kepemimpinan yang lemah, tapi dikontrol ketat oleh lembaga-lembagarepresentasi masyarakat yang agresif menyuarakan kepentingan-kepentingan delegatifwarga. Atau kepemimpinan yang kuat, tapi berada dalam ketegangan dengan kelompok-

Page 6: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

6

kelompok warga yang juga kuat, dengan lembaga-lembaga representasi yang mengalamikemandulan. Atau berbagai jenis lain variasi-variasi semacam itu. Semua bentukkombinasi yang penuh dengan kemungkinan itu, tentu juga menemukan batas-batasstrukturalnya. Mana dari ketiga aspek itu yang paling kuat sebagai faktor dominan,biasanya akan sangat menentukan arah perubahan baik transformatif atau deformatif.Studi IRE kali ini cukup memperkaya khazanah wawasan, bagaimana sebuah polity atausatuan politik berbasis lokal-kewilayahan bergerak karena dialektika endogennya yangberlangsung dalam dirinya sendiri.

Namun demikian, mengamati dinamika politik “lokalisme kewilayahan” tidak pernah bisadiletakkan di luar pengaruh-pengaruh eksogen atau berasal dari luar. Ini yang tampaknyalepas dari perhatian IRE. Faktor-faktor eksogen yang mempengaruhi dinamika sosial-politik pedesaan di Indonesia perlu juga didasarkan pada perspektif global. Di sini sayaperlu memperkenalkan perspektif Joshua Forrest (2014), yang dengan meyakinkan telahmemperingatkan bahwa gagasan-gagasan lokalisme kewilayahan kini sedang menyurut.Mazhab lokalisme kewilayahan percaya bahwa masyarakat pedesaan mempunyai dayatahan dalam menghadapi apa yang disebut arus “metropolitanisasi” – yaknipertumbuhan wilayah yang terus berlanjut di mana kawasan perdesaan terurbanisasidengan cepat sejalan dengan kebijakan aglomerasi regional.8

Forrest memperlihatkan gejala-gejala baru di mana selama dua dasawarsa terakhir ini,bahkan di seluruh dunia, potensi masyarakat lokal dalam mempertahankan kontrol atassumberdaya perekonomian masing-masing, pun juga menyangkut kemampuan merekauntuk membuat dan menerapkan kebijakan-kebijakan yang berorientasi padakepentingan lokal justru sedang sangat menurun.

Beberapa faktor ditunjukkan Forrest menyangkut gejala ini. Pertama, tentu saja adalahkarena pengaruh ekspansi investasi yang semakin fleksibel yang mengikis batasanteritorial kota-desa. Modal begitu cepat bergerak dari kota ke desa; dan ini menciptakanproses de-teritorialisasi. Kedua, pada saat yang sama, untuk mengakomodasi sumberekonomi baru akibat investasi itu, ada kebutuhan bagi pemerintah-pemerintah desauntuk melakukan privatisasi (atau dikenal swastanisasi) di mana modal mengambil alihatas berbagai jenis pelayanan publik tertentu. Ketiga, sebagai akibat perluasan investasioleh swasta itu, muncul gelombang migrasi yang menyerbu desa-desa dan gelombangyang akhirnya mengikis tradisi komunitarianisme (kebersamaan) lokal dan otentik (asli)desa-desa. Singkatnya spirit lokalisme kewilayahan menjadi melemah. Pelemahan inilahyang menyebabkan menipisnya otonomi dan kapasitas tata-kelola penyelenggaraankepentingan publik pemerintahan desa.

8 Aglomerasi mengacu pada pemusatan aktivitas-aktivitas ekonomi di lokasi yang sama untuk menghasilkanmanfaat ekonomi yang pada akhirnya mendorong pembentukan kluster-kluster usaha. Aglomerasi dapatditandai dengan pembentukan kawasan ekonomi khusus dan diorientasikan bagi ekspansi (perluasan)sektor industri.

Page 7: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

7

Sampai di sini kita sedang memetakan dua gelombang pengaruh yang menyerbu desa-desa. UU No. 6/2014 mendesain desa untuk tumbuhnya kapasitas lokal demokratikmelalui skenario pelibatan warga (civic-engagement). Tapi di pihak lain, aglomerasi yangmenyerbu desa-desa karena ekspansi modal membuat kapasitas otonomi desa-desamenyurut. Inilah situasi dilematis yang secara struktural menciptakan tantangan besarbagi inisiatif apapun yang ingin menjadikan desa sebagai situs baru demokrasipartisipatoris.

***

Catatan-catatan di atas sangat penting dikemukakan untuk menganalisis hasil-hasil studikasus yang dilakukan IRE yang terhimpun dalam buku ini. Faktor-faktor kepemimpinanformal desa, inisiatif warga-desa, dan lembaga representasi desa yang diteliti dalam ke-10studi kasus adalah unit-unit analisis untuk mendeteksi kemungkinan munculnya kinerjapemerintahan desa yang partisipatoris. Tetapi faktor-faktor itu tampaknya memerlukandefinisi operasional yang menegaskan gagasan politik partsipatoris sebagaimana tersajidalam matrik tabel 1. Faktor kepemimpinan misalnya mensyaratkan daya tanggap(responsivitas), kebertanggungjawaban, dan transparansi. Faktor inisiatif wargamensyaratkan gagasan tentang otonomi lokal-kewilayahan dalam rangka klaimkesejahteraan kolektif. Sedangkan faktor representasi mensyaratkan adanya kemampuan(kapabilitas) dan kredibilitas (seberapa jauh meraih kepercayaan) kelembagaan untukbertindak mewakili aspirasi warga.

Tabel 1. Matrik Kerangka Kajian

Ketiga faktor dengan seluruh syarat-syarat instrinsiknya itu, pada analisis selanjutnyaharus dikorelasikan dengan faktor lain yang bersifat endogen maupun eksogen. Ada tigafaktor endogen untuk dipakai sebagai parameter pengujian – yakni perumusankepentingan publik, perluasan ruang publik, serta inklusivitas dan sifat-kepublikanaspirasi-aspirasi. Sementara itu satu faktor eksogen adalah menyangkut fenomena

LEADERSHIP(responsivity,responsibility, andtransparancy)

CITIZEN INITIATIVE(Idea of local territorialautonomy, reassertion andreclaiming of welfare)

REPRESENTATION(credibility,representativenesscapability)

Public InterestFormation V V V

Public SpaceExtention

V V V

Publicness/Inclusivenessof Aspirations

V V V

Capital-DrivenAglomeration

V V V

Page 8: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

8

aglomerasi, terutama yang dilatarbelakangi oleh ekspansi modal dari aktor-aktor/lembaga-lembaga supra-desa.

Kerangka analisis matriks ini penting dipakai untuk melihat dan memeriksa secara detailsetiap studi kasus. Setiap kasus perlu membeberkan situasi setiap faktor dengan ilustrasi-ilustrasi kongkret. Hasilnya diharapkan adalah gambaran deskriptif yang lengkap untukmemperlihatkan beragam bentuk politik partisipasi, kualitasnya, narasi-narasi mengenaiprosesnya, tantangan-tantangannya, capaian-capaian maksimalnya, dan seterusnya.Singkatnya mengenai proses politik demokrasi partipatoris di dalam arena riil politik lokal.

Kajian menyeluruh berdasarkan analisis matriks itu setidaknya akan menggambarkan duahal. Pertama, politik demokrasi lokal sebagai ajang kontestasi seluruh aktornya – jadi disini yang ditekankan adalah gambaran mengenai politik partisipatoris dalam arenakontestasi yang empiris dan aktual. Kedua, gambaran kontekstual mengenaieksperimentasi politik partisipatoris untuk melihat secara riil capaian-capainnya,hambatan-hambatannya, maupun kegagalan-kegagalannya.

Dengan kerangka seperti itu, kita telah menggelar panggung. Setidaknya secara hipotetis,situs demokrasi partisipatoris di tingkat lokal bisa dikerjakan di luar skema besardemokrasi elektoral nasional yang minimalis itu. Kita sedang menggelar sebuah upayauntuk membuat demokrasi berjalan maksimal sebagai urusan publik, sebagaikepentingan kolektif, dalam pertarungan politik sehari-hari – bukan hanya lima tahunsekali seperti panggung demokrasi elektoral. Tentu kemungkinan kegagalannya adalahsebesar kemungkinan keberhasilannya. Analisis dan interprestasi atas kesepuluh studikasus IRE ini bisa dipakai sebagai referensi empiris untuk melihat seberapa besarkemungkinan dan ketidakmungkinanya dalam konteks-konteks aktual di tempat lain, dipuluhan ribu desa-desa di seluruh Indonesia.

Karena setiap eksperimentasi mengandung gagasan mengenai model ideal yang dijadikanreferensi normatif, perlulah kiranya dibuka di sini apa yang seharusnya menjadi acuan.Acuan ideal eksperimentasi demokrasi partisipatoris di tingkat desa ini adalah demokrasirepublikan. Adalah Republikanisme dalam pengertian Plato. Desa harus dibayangkansebagai republik di tingkat lokal. Dari sekian elemen demokrasi republikan, dua diantaranya harus disumsikan ada di desa. Dua elemen itu adalah active citizen (warga yangpenuh prakarsa), dan cita-cita yang hidup untuk membangun public-virtue (kebajikan bagipublik), berbasis common-good, dan common interest. Kita percaya bahwa spiritkomunitarianisme yang hidup di banyak desa-desa kita masih menyimpan modal sosialdan modal budaya itu.

Page 9: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

9

Page 10: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

Bab I

Penemuan Kembali “Berdesa”

A. Prawacana

Sudah menjadi pengetahuan bersama, kehidupan sosial kemasyarakatan di desaselama ini dipandu oleh seperangkat nilai yang diwariskan dari generasi ke generasi.Masyarakat Jawa, misalnya, secara umum mengenal tiga tata nilai untuk melangsungkanhidup bersama di desa, yaitu; tata cara, tata krama dan tata susila. Tata cara mengacu padaaturan-aturan yang berkaitan dengan tindakan atau mekanisme dalam menjalani kegiatansosial kemasyarakatan. Tata krama adalah etika pergaulan yang berkaitan dengan sopansantun dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Sedangkan tata susila merupakan aturantingkah laku warga dalam menjalani hidup berbangsa di desa, atau kini disebut sebagai“berdesa”.1

Secara historis, masyarakat “berdesa” di nusantara memiliki basis sosial kehidupanyang berbeda dengan masyarakat Eropa, Amerika, Arab atau belahan dunia lainnya.Gagasan demokrasi yang kini menjadi arus utama dalam mengelola kehidupan publik, lahirdan bertumbuh kembang dari pengalaman masyarakat Amerika yang berwatak individual-liberal maupun masyarakat Eropa yang berakar dari budaya industrialis. Sistem demokrasiyang kini menyebar luas di berbagai penjuru dunia adalah hasil pemikiran dari tradisipanjang kehidupan sosial, ekonomi, kebudayaan, dan kemasyarakatan yang dikenal sebagai“masyarakat barat”. Tidak salah jika akhirnya demokrasi yang bekerja adalah pelembagaantradisi, cita rasa dan karakter “masyarakat barat” dalam membingkai kehidupan bersama.2

Sebagian besar warga di negeri ini pada dasarnya masyarakat petani di desa. Padamasa pra kolonial, masyarakat petani bermukim dalam wilayah geografis dan pengaruhkekuasaan tradisional yang cenderung terisolasi dan terbatas jaringan sosial keluar maupunmobilitas sosial. Tempat bermukimnya berhimpitan dengan ladang, kebun atau sawahpertanian yang menjadi sumber penghidupan mereka. Sartono Kartodirjo (1985)menuturkan bahwa karakteristik masyarakat petani yang berciri khas terpecah kecil-kecilsecara geografis ini, ditemukan pula pada masyarakat India yang diikat dalam satuanpanchayat (desa) yang isolatif, miskin jaringan sosial dan relasi kekerabatannya kuat.

1 Dalam laporan tahunan yang ditulis oleh IRE Yogyakarta, Annual Report 2001 – 2002, memuat laporantentang pemikiran demokrasi desa. Dalam laporan tersebut, IRE menemukan bahwa kehidupan sosialkemasyarakatan desa dipandu oleh tiga tata nilai, yaitu tata cara, tata krama dan tata susila.2 Pemikir Alexis De Tocqueville secara menarik memaparkan sejarah demokrasi di Eropa dan Amerika melaluicara berpikir induktif, yaitu mendeskripsikan narasi-narasi dinamika sosial suatu kelompok bangsa dari bawahtanpa dibebani oleh suatu kerangka teori dan konsep tertentu. Kumpulan pemikiran demokrasi dariTocqueville ini dihimpun dalam sebuah buku yang disunting oleh John Stone dan Stephen Mennel, diterbitkanoleh Yayasan Obor Indonesia pada tahun 2005 dengan judul “Tentang Revolusi, Demokrasi dan Masyarakat”kerjasama Kedutaan Besar Amerika Serikat, Freedom Institute dan Yayasan Obor Indonesia.

Page 11: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

Situasi ini menurut Sartono Kartodirjo (1985), menjadi berubah ketika pemerintahkolonial menguasai India dan Nusantara. Masa kolonial yang mengungkung Indonesia danIndia sejak abad 18 mengakibatkan perubahan sosial ekonomi terjadi nyata di desa-desa diIndonesia maupun masyarakat petani Panchayat India.3 Kolonial Belanda mempengaruhidalam narasi pertanian dan perkebunan dalam bentuk sistem tanam paksa, sementaraKolonial Inggris mempengaruhi pribumi India dengan narasi administrasi bersosialmasyarakat berupa sistem pajak. Pengaruh-pengaruh yang beragam inilah yangmenentukan pembentukan sekaligus perubahan tata nilai dan orientasi sosialkemasyarakatan di Panchayat (India) maupun desa-desa di Indonesia. Tekanan pengaruhrejim kolonial telah membentuk lanskap sosial-ekonomi-budaya-politik masyarakat desanusantara.

Paska mendeklarasikan kemerdekaan tahun 1945, rejim Orde Lama berusahamembangun jati diri masyarakat desa melalui narasi negara bangsa (berbangsa ala negara)dimana nasionalisme menjadi spirit pengelolaan kehidupan bersama desa. Pada titik inilah,menjadi awal mula masuknya negara sebagai organisasi kekuasaan modern ke desa.Namun, ketegangan politik di kalangan elit nasional menyebabkan rute demokratisasi yangdijalani Indonesia menjadi limbung. Pergantian rejim Orde Lama ke Orde Baru justrusemakin menjauhkan Indonesia dari rute demokrasi, bahkan berbalik arah menujuotoritarianisme. Di bawah pemerintahan otoriter Orde Baru, desa semakin termiskinkan.Kekayaan berupa keragaman sistem, lembaga dan tata nilai sosial kemasyarakatan desa diNusantara tercabik-cabik format penyeragaman desa oleh negara Orde Baru.4 Dalam kondisisemacam inilah desa-desa di Indonesia sulit mengembangkan diri, meski di dalam dirinyamengalir tradisi-tradisi tata sosial kemasyarakatan yang mencerminkan prinsip dan nilaidemokrasi.

Paska reformasi, kelahiran UU No 6 tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) menjadioase yang menghadirkan kesempatan sekaligus tantangan bagi re-demokratisasi desa.Regulasi baru ini menyediakan rute perubahan revolusioner bagi desa di dalam sistem NKRI.Sejarah masa lalu yang terwariskan dan kemampuan desa dalam mengembangkan diri,diakui dan dihormati, melalui dua asas utama peraturan ini, yaitu; rekognisi (pengakuanterhadap hak asal-usul) dan subsidiaritas (kewenangan desa untuk menetapkankewenangannya sendiri yang berskala lokal desa). Desa pun didorong untuk menghidupkankembali demokrasi desa, melalui mekanisme Musyawarah Desa (Musdes), terutama dalammemutuskan aspek-aspek strategis desa. Namun demikian, disisi lain regulasi itu juga

3 Penjelasan ringkas dilakukan oleh Sartono Kartodirjo melalui makalah ringkasnya sebagai bahan diskusibulanan di Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM, menjelaskan dinamika perubahan sosial ekonomipedesaan di Indonesia, termasuk membandingkan dengan Panchayat India. Lebih rinci tentang hal ini silahkanbaca buku “Dinamika Perubahan Sosial Ekonomi Pedesaan”, disunting oleh Sartono Kartodirjo, Mubyarto danEdi Suandi Hamid, 1996, Penerbit Aditya Media Yogyakarta.4 Beberapa studi terkait fenomena desa di bawah tekanan rejim orde baru, bisa dibaca dalam buku MochtarMas’oed, 1983, Politik, Birokrasi dan Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, termasuk buku YandoZakaria, 2000, Abih Tandeh: Masyarakat Desa di Bawah Rejim Orde Baru, Jakarta: ELSAM, dan Hans Antlov,2003, Negara Dalam Desa: Patronase Kepemimpinan Lokal, Yogyakarta: Lappera Pustaka utama,

Page 12: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

meghadapkan desa pada tantangan tersendiri. Tantangan tersebut berupa kesiapan desadan supradesa (pemerintah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota) dalam meresponperubahan revolusioner pada aspek regulasi menjadi tindakan kolektif.

Sayangnya spirit UU Desa tersebut belum ditangkap dengan baik oleh pelaku desa.Studi-studi yang dilakukan IRE dalam kurun waktu dua tahun terakhir (IRE dan CCES, 2015;IRE, 2015; IRE, 2016) menunjukkan gejala bahwa penyebaran pengetahuan tentangsubstansi UU Desa masih bermasalah. Masalah mendasar dalam kerangka penyebarantersebut adalah tidak merata dan tidak tuntas dalam memahami UU Desa. Gairahmemanfaatkan Musdes untuk merayakan demokratisasi desa terlihat lesu, dikalahkan olehhiruk pikuk administrasi dana desa yang mengharu biru para Kades dan perangkat desa.Alih-alih menata diri mempersiapkan pelembagaan Musdes sebagai wadah rembug wargayang inklusif, para elit desa justru hilir mudik ke kantor kabupaten/kota dan tempat-tempatbimbingan teknis (bimtek) berkaitan dengan pengelolaan keuangan desa. Situasi inibermakna demokrasi desa masih berjalan di atas kertas dan belum tersemat di sanubaripara pemimpin dan masyarakat desa.

Padahal, desa dengan segala kearifannya telah mewariskan tatanan sistem dan nilaisosial kemasyarakatan yang lekat dengan nilai-nilai universal demokrasi. Kehidupan sosialmasyarakat di desa masa lampau telah mengenal dan memberlakukan seperangkat nilaiyang sebangun dengan nilai-nilai universal demokrasi. Meski tidak mengenal istilahdemokrasi, tetapi esensi demokrasi telah dijalani pada masa itu. Sayangnya, warisan bakharta karun yang tak ternilai itu masih teronggok. Kekayaan tersebut sesungguhnya dapatdiramu dan ditawarkan sebagai cara baru dalam mengembangkan demokrasi di Indonesia.Kritik keras atas arus deras demokrasi liberal yang prosedural-formal saat ini, bisa dijawabdengan menghidupkan kembali spirit dan nilai-nilai kehidupan sosial kemasyarakatan desayang sudah teruji dalam membangun kebersamaan dan kesejahteraan.

Kiranya tidak keliru jika misi utama hari ini adalah menemukan kembali spirit“berdesa” sebagai wajah demokrasi desa. Sejarah desa yang kaya, - berbentuk organisasipemerintahan lokal, lembaga kemasyarakatan, sistem sosial, dan nilai-nilai dasar dalammengembangkan kehidupan bersama, - merupakan harta karun pengetahuan yang semakinlangka dan perlu dihidupkan serta senantiasa dirawat. Namun demikian, upaya penemuankembali “berdesa” tidak sekedar diletakkan dalam spirit romantisisme masa lampau semata.Spririt “berdesa” tersebut perlu diadaptasi dalam praktik-praktik pengelolaan kehidupanbersama desa sesuai dengan tantangan zamannya. Ringkasnya, penemuan kembali spirit“berdesa” membutuhkan kerja-kerja kontekstual.

B. Kontekstualisasi Berdesa

Dalam semangat semacam itulah buku ini disusun. Disamping menyelamatkan hartakarun yang tercecer, buku ini merupakan Ikhtiar awal dalam melakukan kontekstualisasispirit “berdesa”. Buku ini memuat hasil kajian IRE berupa potret mendalam peristiwa-

Page 13: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

peristiwa menarik dan penting tentang praktik (menuju) “berdesa” yang kemudian ditariksebagai etalase pembelajaran berharga. Peristiwa sosial kemasyarakatan dan pembangunandesa bisa menjadi gambaran secara nyata bekerjanya pilar-pilar utama demokrasi. Padastudi ini pilar utama yang diyakini menjadi penyangga bagi bekerjanya demokrasi lokal(desa) meliputi tiga aspek, yaitu; kepemimpinan, inisiatif warga dan representasi. Ketigaaspek yang jalin berkelindan menggerakkan peristiwa demi peristiwa sosial kemasyarakatandan pembangunan desa menjadi lingkup kajian ini.

Tradisi panjang kehidupan sosial masyarakat desa-desa di Jawa memberikanpertimbangan utama dalam memilih Jawa sebagai lokasi studi ini. Berlangsung di 10 desa diJawa, lokasi studi dipilih dengan menggunakan pertimbangan karakteristik topografis yangdiyakini berkontribusi dalam melahirkan segregasi sosial budaya masyarakat. Pada Tabel 1.secara rinci diinformasikan tipologi lokasi, kasus yang diteliti dan penelitinya.

Tabel 1.1

Tipologi Lokasi dan Kasus Penelitian

Sumber : IRE, 2016

Sebagaimana diinformasikan pada tabel 1.1, bahwa penelitian ini dilakukan denganmemakai pendekatan studi kasus atas peristiwa-peristiwa yang berlangsung di desa.

Tipologi Desa Penelitian Studi Kasus Peneliti

DataranTinggi/Pegunungan

KabupatenProbolinggo

Ngadisari Perlindungan LahanMasyarakat Tengger

Rajif DriAngga

KabupatenGunungkidul

Nglanggeran Pengembangan PariwisataBerwawasan Lingkungan

SugengYulianto

KabupatenSukabumi

Mekar Jaya Pembangunan Lapangan SepakBola

FajarSudjarwo

Dataran Rendah KabupatenMagelang

Gulon Pembangunan Rusunawa DimposManalu

KabupatenTangerang

Cangkudu Reformasi birokrasi dalamPelayanan Publik

IrandaYudatama

KabupatenSleman

Umbulharjo Desa MengembangkanPengelolaan air bersih

Sukasmanto

KabupatenBantul

Panggungharjo Reformasi Birokrasi dan InovasiPelayanan Publik

Abdur Rozaki

Kawasan Pesisir KabupatenRembang

Punjul Harjo Pengembangan Pariwisata“Karang Jahe Beach”

Sigit Pranawa

KabupatenKulon Progo

Sidorejo Insiatif Pengembangan DesaInklusi

TitokHariyanto

KabupatenBlitar

Ringinrejo Okupasi Lahan Perhutani olehPihak Swasta dan MasyarakatDesa

NurmaFitrianingrum

Page 14: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

Artinya, studi yang dilakukan IRE ini mengumpulkan praktik-praktik bermasyarakat danberdesa yang terjadi di 10 desa lokasi riset. Inilah yang dimaksud sebagai stock taking study.Peristiwa yang dikaji oleh para peneliti bisa berdimensi praktik baik namun bisa juga praktikburuk dalam aspek kepemimpinan, inisiatif warga dan representasi. Singkatnya, studi initidak berpretensi mengumpulkan praktik-praktik terbaik tentang tiga aspek utamademokrasi desa.

Disisi lain, studi ini pun tidak bertujuan melakukan evaluasi atas proyekpembangunan masyarakat dan desa. Bukan pula melakukan penilaian atas kerja-kerjamasyarakat dan pemerintahan desa yang berujung pada pemberian apresiasi penghargaanatas praktik terbaik dan turunanya. Studi ini sejak awal didedikasikasi untuk menemukanpelajaran berharga atas praktik-praktik baik maupun buruk dalam kehidupan sosialmasyarakat dan pembangunan desa. Karena baik praktik baik maupun buruk memiliki nilaiyang sama, yakni sebagai mutiara pembelajaran.

C. Argumentasi Metodologis

Ada dua argumentasi metodologis yang penting dikemukakan dalam studi yangmenghasilkan buku ini. Pertama, cara pandang induktif bukan deduktif. Studi yangditempuh memakai nalar berpikir induktif, artinya para peneliti turun ke lapangan tidakberbekal kerangka teori dan konsep yang baku dan ketat. Pada saat melakukan penelitianlapangan para peneliti dibekali kerangka instrumen yang longgar (question guide),bagaimana memilih kasus dan apa saja data/informasi yang penting dikumpulkan. Artinya,peneliti di lapangan memiliki keleluasaan dalam mengeksplorasi peristiwa-peristiwa sosialyang berlangsung untuk diangkat menjadi kasus yang hendak dikaji. Selanjutnya, parapeneliti datang ke desa diawali dengan menemui pihak-pihak strategis, targetnyamenemukan peristiwa sosial kemasyarakatan atau pembangunan desa yang bisa dipilihsebagai kasus untuk dikaji secara lebih mendalam. Data dan informasi yang dianggapmemadai kemudian ditulis secara naratif, melalui teknik analisis deskriptif, interpretatif daneksplanatif. Pada saat menarasikan data dan informasi ini peneliti menggunakan perspektifyang terkait dengan prinsip dan nilai universal demokrasi untuk memahami danmenjelaskan rangkaian peristiwa yang diteliti. Studi kasus yang melahirkan narasi kecildidialogkan dengan narasi besar dari perspektif demokrasi. Dialektika inilah yang kemudianmelahirkan pengetahuan yang diharapkan berkontribusi bagi pemikiran dan praktikdemokrasi yang saat ini sedang berlangsung.

Kedua, memasok pengetahuan untuk kebijakan. Buku ini dihasilkan dari studi yangsejak awal tidak semata-mata hanya untuk memuaskan kegelisahan intelektual, melainkanlebih dari itu untuk melahirkan pengetahuan yang relevan bagi perbaikan pemikiran danpraktik demokrasi. Pada level mikro produk pengetahuan yang dihasilkan diharapkan bisamengingatkan maupun menginspirasi bagi para pihak berkepentingan di desa dalam upayamengembangkan demokrasi desa. Sementara pada level makro, pengetahuan yang

Page 15: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

dihasilkan studi ini diharapkan mampu menjadi basis pemikiran para pengambil kebijakan ditingkat nasional maupun subnasional dalam mengembangkan kebijakan yang terkait denganpelembagaan demokrasi desa.

Selain argumentasi metodologis di atas, dengan diterbitkannya buku ini diharapkanakan bermanfaat bagi para para pihak yang selama ini berada di dalam pergulatan semestademokrasi di Indonesia. Pertama, pemerintah nasional dan sub nasional, termasukpemerintahan desa. Buku ini penting dibaca oleh para pengambil keputusan karenabeberapa pengetahuan di dalam buku ini dapat dipakai sebagai pertimbangan dalammengembangkan desain kebijakan untuk melembagakan transparansi, partisipasi danakuntabilitas di level desa, kabupaten, propinsi dan pusat. Kedua, masyarakat desa. Bukuini diharapkan bisa menjadi sumber inspirasi bagi warga masyarakat desa, terutama parawarga aktif desa yang sedang merayakan pelaksanaan UU Desa. Desa membangun tidaksekedar membelanjakan uang desa, tetapi bagaimana mengembangkan tradisibermasyarakat dan berdesa yang demokratis.

Ketiga, pegiat pembaruan desa dan aktivis pro demokrasi. Buku ini berupayamenghadirkan sisi kritis pemikiran dan praktik demokrasi liberal yang kini melembaga diIndonesia, namun kian tak jelas sumbangannya bagi kesejahteraan bersama. Dengankonstruksi pengetahuan yang dibangun berbasis pada perspektif demokrasi partisipatoris-deliberatif, buku ini menawarkan alternatif bagi para pegiat desa dan prodemokrasi untukmengembangkan demokrasi desa yang berbeda dengan praktik-praktik demokrasi formalprosedural selama ini. Keempat, akademisi dan peneliti. Buku ini memancing pemikirantentang demokrasi alternatif atas demokrasi liberal. Komunitas akademik seharusnyamengelaborasi lebih lanjut melalui perdebatan paradigmatik dan teoritik atas tawaran-tawaran di dalam buku ini. Agenda-agenda riset tentang demokrasi alternatif danpengembangannya penting dirumuskan oleh para peneliti.

D. Tentang Alur dan Isi

Buku ini disusun dengan mempergunakan gaya tulisan ilmiah popular dengan alurpenulisan seperti berikut ini. Pertama, bagian perspektif studi ini. Apa cara pandang yangdigunakan untuk membangun nalar dan merumuskan pengetahuan atas hasil penelitian?Bagian ini berusaha menegaskan posisi cara pandang yang digunakan dalammengembangkan demokrasi desa. Karena itu dalam sistematika buku ini ditempatkan padaBagian Prolog: Demokratisasi Desa – Situs Baru Politik Partisipatoris? Pada bagian inidiuraikan latar fenomena kegagalan demokrasi liberal sampai kemudian ditawarkannya carapandang demokrasi partisipatoris-deliberatif. Dialog perspektif besar demokrasi dengangejala yang menggeliat dari desa-desa yang ditemukan di 10 lokasi riset, ditulis menjadiskema cara pandang yang ditawarkan untuk menjelaskan fenomena dan usulan gagasanmodel demokrasi desa di masa depan.

Page 16: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

Kedua, bagian latar belakang studi ini. Pada bagian ini diuraikan tentang konteks danurgensi studi mengenai demokrasi desa. Selain itu juga menguraikan tentang tipologi lokasidan kasus penelitian, gagasan mengembangkan demokrasi desa, argumentasi metodologisyang digunakan untuk melakukan penelitian yang membuahkan pengetahuan di buku ini.Termasuk juga menguraikan sistematika dan alur penulisan buku. Dalam alurnya penulisanbagian ini ditulis pada Bab 1 buku ini.

Ketiga, bagian temuan-temuan studi demokrasi. Sejak awal studi demokrasi desamenggunakan keyakinan pada tiga aspek utama pelembagaan demokrasi, yaitu;kepemimpinan, representasi, inisiatif warga. Bagian ini alurnya diletakkan secara berurutanpada bab 3 menguraikan aspek kepemimpinan dalam pelembagaan demokrasi desa.Kemudian diteruskan bab 4 menguraikan tentang representasi dalam pelembagaandemokrasi desa. Sedangkan bab 5 menguraikan tentang inisiatif warga dalam pelembagaandemokrasi desa.

Keempat, bagian epilog. Pada bagian ini diuraikan tentang model demokrasi desayang berpijak pada penguatan kepemimpinan, representasi dan inisiatif warga. Pada bagianini pula agenda-agenda pelembagaan demokrasi desa yang menggunakan nalar demokrasipartisipatoris-deliberatif diuraikan dari sisi peluang dan tantangannya.

Page 17: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

Bab IIKepemimpinan dan Transformasi Desa

A.Prawacana

Sejauh penelurusan yang ada, tak banyak kajian yang secara eksplisit mengkaitkan studitentang kepemimpinan Jawa dengan gagasan demokrasi lokal yang berkembang dipedesaan Jawa pasca perubahan penting yang didorong UU Desa. Terbitnya UU Desamemang menyediakan basis perubahan fundamental dalam konteks pelembagaandemokratisasi desa. Terlebih politik rekognisi (pengakuan atas hak asal-usul) dansubsidiaritas (penetapan kewenangan berskala lokal desa) dalam UU Desa telahmenyediakan peluang transformasi bagi desa melalui kewenangan yang dimilikinya. Namundemikian, penting untuk memeriksa kembali sejauh mana perubahan tersebutdimungkinkan bekerja di desa melalui praktik-praktik otentik demokrasi desa.

Studi yang dilakukan oleh Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta didesa-desa di Jawa ini adalah salah satunya. Studi rintisan ini memperlihatkan gejala danpraktik demokrasi di desa yang diuraikan dari tiga titik pijak: kepemimpinan, representasidan inisiatif warga. Bab ini secara spesifik akan memusatkan perhatian pada aspekkepemimpinan desa untuk melihat tipe kepemimpinan semacam apa yang kondusif bagibekerjanya demokrasi deliberatif-partisipatoris.1 Oleh karena itu, studi rintisan ini hendakmelihat sejauh mana kepemimpinan desa yang tengah berlangsung saat ini diuji denganpraktik demokrasi lokal yang masih bekerja dan otentik atau bahkan telah lenyap dan hanyasedikit menyisakan jejaknya. Pengujian pada aspek kepemimpinan tersebut menyasar padatiga faktor penting: pembentukan kepentingan publik, perluasan ruang publik, daninklusivitas (keterbukaan) terhadap aspirasi-aspirasi menyangkut urusan publik. Meskipundemikian, dua titik pijak lainnya (representasi dan inisiatif warga) tentu tidak dapatdilepaskan begitu saja dan juga akan mewarnai analisis dalam tulisan ini.

Salah satu temuan penting pada aspek kepemimpinan misalnya, menunjukkan bahwakepemimpinan yang kuat, tanggap, dan transparan hadir sebagai elemen penting dalampembentukan kepentingan publik sekaligus mampu memastikan perluasan ruang publikmelalui menciptakan ruang-ruang publik informal di desa. Di sisi lain, kepemimpinansemacam ini juga membuka inklusivitas (keterbukaan) bagi aspirasi-aspirasi kepublikan,seperti isu pelayanan publik dasar. Sementara itu, di titik ekstrim yang lain, kepemimpinan

1 Demokrasi deliberatif merupakan pandangan tentang demokrasi yang mendorong ruang publik menjadiarena bagi perbincangan isu tertentu sehingga menjadi wacana publik. Deliberasi dibutuhkan dalamdemokrasi, agar proses merumuskan kebijakan publik telah diuji melalui perbincangan publik, sehinggamemunculkan argumentasi yang memadai dan cukup dalam mengambil keputusan. Agar wacana publikmenjadi arena yang hidup, maka dibutuhkan keterlibatan warga. Pada titik inilah partisipasi dalam bentukinisiatif atau usulan warga menjadi prasyarat bagi hadirnya deliberasi dalam makna yang sesungguhnya.

Page 18: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

desa menutup peluang bagi pembentukan kepentingan publik dan cenderung eksklusif(peminggiran) terhadap isu-isu publik di desa. Di antara dua titik ekstrim ini tentu sajaterdapat keragaman dari tiga faktor tersebut dari 10 desa yang diteliti.

B. Warisan Lama: Dominasi Orang Kuat Lokal dan Politik Kekerabatan di Desa

Dalam sejarahnya, kepemimpinan desa di Jawa tak bisa lepas dari dominasi politikpatronase dan jejaring kekerabatan yang kuat. Politik pengaturan desa sejak era kolonialdan dilanjutkan oleh Orde Baru mewariskan kepemimpinan desa yang feodal, dinastik(didominasi jejaring keluarga elit), dan seringkali oligarkis (arena kekuasaan hanya dikuasaioleh elit dan untuk kepentingan elit). Warisan lama kepemimpinan desa tersebut—setidaknya dari hasil studi ini—berakar pada dua hal: dominasi elit/orang (kuat) lokalmelalui budaya paternalistik (Mulder, 2001), kepemimpinan konservatif-birokratik, danpolitik kekerabatan.2 Sidel (2004) mengingatkan tentang kepemimpinan desa yang dikuasaioleh orang kuat atau bosisme lokal (kuasa para bos lokal) yang telah berakar kuat dalamperekonomian desa dan berkembang pesat selama Orde Baru.3

Di masa ini pula, kepala desa dan sanak kerabatnya menikmati akses atas sumberdaya yangdigelontorkan oleh negara melalui beragam mekanisme subsidi sarana produksi pertanian(seperti bibit, pupuk dan pestisida), beragam pola pertanian padat modal, serta lahan yasan.Pelaksanaan program-program pemerintah, dengan demikian, diperantarai olehkepentingan para elit lokal di tingkat desa yang mengkontrol berbagai sumber ekonomi yangbesar di desa. Selain itu, selama abad 19 dan abad 20, jabatan kepala desa di banyak desadipegang oleh satu trah keluarga atau sekelompok keluarga yang menguasai tanah-tanahkomunal, seperti tanah bengkok.4 Politik kekerabatan (kinship) menjadi sesuatu yang lazimdalam dinamika kepemimpinan desa di Jawa pada saat itu (Sidel, 2004).

Jejak-Jejak Warisan Lama

Di empat desa yang diteliti yakni Ngadisari, Gulon, Punjulharjo, dan Ringinrejo, corakkepemimpinan semacam itu begitu kentara. Dalam konteks Ngadisari, adat Tengger menjaditatanan dasar kehidupan sosial politik di Desa Ngadisari. Kepemimpinan yang ada di desa

2 Budaya paternalistik merujuk pada metafora atau perumpamaan bahwa pemimpin berperan sebagai kepalakeluarga. Kepala keluarga yang dalam masyarakat patriarkal diperankan oleh bapak, menjadi panutan dankarena itu menjadi satu-satunya sumber kebenaran. Budaya tersebut menciptakan adanya pandangan bahwapemimpin tidak boleh dikritik. Sementara konservatisme-birokratis mengacu pola kepemimpinan dengankarakter dogmatis, kaku, sulit menerima gagasan baru, hirarkis atau berjenjang dan mengandalkankewenangan sebagai basis kekuasaannya. Karakter demikian secara potensial memunculkan watak otoriterdalam kepemimpinan.3 Praktik-praktik bosisme lokal mengejawantah dalam peran-peran yang dimainkan para jago, warok, blater,jawara, dan preman di berbagai wilayah di Nusantara. Yang membedakan mereka hanya sifat, pola kerja, ataubentuk organisasi. Namun semuanya mengandalkan paksaan dan kekerasan, jika persuasi dan negosiasimenghadapi jalan buntu. Bosisme lokal terjadi akibat minimnya peran negara dalam menegakkan ketertibanumum, juga karena disebabkan pembiaran dan politisasi negara terhadap hadirnya beragam bisnispengamanan4 Tanah bengkok adalah tanah aset desa yang penggunaannya sebagai hak perangkat desa dan bentuk sumberpenghasilan para perangkat desa.

Page 19: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

ditopang oleh kekuasaan yang berbasis tatanan adat Tengger yang masih dipegang olehmasyarakat Ngadisari. Masyarakat dan pemimpin desa Ngadisasri diikat oleh sistem simboladat dan agama yang menempatkan lembaga desa menjadi begitu penting. Arti penting initentu saja membentuk pola kekuasaan yang dipancarkan oleh desa beserta para pelakuyang ada di dalamnya. Namun demikian, kepemimpinan yang hadir di Ngadisari tak semata-mata dipengaruhi oleh adat semata. Corak kepemimpinan juga dipengaruhi oleh aspek-aspek lainnya, termasuk di dalamnya jaringan politik yang lebih luas (Hefner, 1983).

Kepemimpinan Desa Ngadisari secara de jure dipegang oleh Sri Wahayu yang tidak lainadalah istri dari kepala desa sebelumnya, Supoyo. Supoyo sendiri mulai menjabat sebagaiKepala Desa Ngadisari sejak tahun 2001 hingga tahun 2013. Sejarah regenerasikepemimpinan di Desa Ngadisari memang tak jauh-jauh dari proses pemilihan kepala desadengan calon tunggal. Setidaknya sejak jabatan kepala desa dipegang oleh Sapawi (kadessebelum Supoyo), selama dua periode kepemimpinannya diwarnai oleh ketiadaan calonyang menandai minimnya persaingan dalam politik pilkades. Bagaimanapun Sri Wahayumerupakan kepala desa secara formal. Namun Kebijakan sepenuhnya dibicarakan secarainformal dan ditentukan bersama Ki Petinggi.

Di samping berorientasi ke dalam dengan adat dan kekerabatan sebagai basis kekuasaan,jaringan politik yang dibangun elit desa ke luar juga menjadi salah satu penyokongkekuasaan efektif bagi elit. Situasi ini salah satunya terlihat dari dukungan pemerintahkabupaten dalam proyek-proyek infrastruktur di Desa Ngadisari. Secara kebetulan, sepertihalnya Supoyo yang juga kader Partai Nasdem, Kabupaten Probolinggo dipegang oleh HasanAminudin dan kini, istrinya Tantriana yang juga sama-sama kader Partai Nasdem. Selain itu,bagi pemerintah daerah, Desa Ngadisari adalah aset penting yang juga mendatangkanpendapatan bagi daerah.

Serupa di Ngadisari, kehidupan politik di Desa Gulon kental dengan politik kekerabatanmelalui dominasi satu trah keluarga dalam pemerintahan desa secara turun temurun. Trahmerupakan tipe organisasi masyarakat Jawa berbasis genealogis (relasi sanak-saudara) yangdiperhitungkan dengan mengambil salah satu nenek moyang tertentu sebagai pangkalperhitungannya. Di Jawa, pengetahuan genealogis ini, menurut Husken (1991), sangat eratkaitannya dengan kelas sosial. Petani-petani kaya begitu mudahnya bercerita tentang garisketurunan mereka yang dilacak sampai jauh, namun bagi orang-orang miskin jarang sekalimemiliki pengetahuan tentang garis kekerabatan mereka (Antlov, 2002:196). Dalam konteksGulon, terpeliharanya garis kekerabatan ini berbanding lurus dengan penguasaan kekayaanyang dimiliki trah balung gedhe. Sejak lama mereka dikenal sebagai elit kaya di desa.

Organisasi sosial berbasis trah memungkinkan siapa saja untuk menjadi bagian darikomunitas ini sejauh mereka mampu menunjukkan garis keturunannya sebagai bagian darikomunitas trah (Robson, 1987). Kondisi ini berlangsung dalam masyarakat Gulon yang kuatmemegang budaya ewuh pekewuh atau segan mengkritik elit yang hampir takmemungkinkan adanya dorongan perubahan dari bawah. Bagaimana pun, budaya ini pula

Page 20: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

yang sedikit banyak menimbulkan lemahnya prakarsa warga dalam menjalankan kontrolterhadap pemerintah desa dan urusan publik lainnya.

Secara lebih rinci, kita akan melihat sejauh mana dominasi trah keluarga balung gede inimempengaruhi proses politik di Desa Gulon dan dampaknya bagi demokrasi yang ingindibangun sesuai dengan semangat UU Desa.5 Kepala desa, Ketua BPD, Ketua Linmas, danKetua PKK di desa tersebut berasal dari satu trah keluarga yang sejak awal kemerdekaanmenduduki jabatan kepala desa. Keluarga besar tersebut hingga kini menjadi kekuatan yangmenentukan kemenangan seorang kepala desa di Gulon. Dominasi balung gede tersebutsedikit banyak didukung oleh kekuatan ekonomi anggota keluarga yang memang telahdikenal sebagai para orang kaya di desa. Kekuatan ekonomi ini meningkatkan status sosialmereka sebagai keluarga kaya yang terhormat.

Adalah Nanang Bintartana yang kini menjadi Kepala Desa Gulon merupakan anggota trahbalung gedhe. Karir politik Nanang di desa dimulai saat dirinya terpilih menjadi anggota BPDdi awal tahun 2000-an untuk kemudian mencalonkan diri menjadi kepala desa pada tahun2007 dan berujung pada kekalahan karena perpecahan keluarga. Dukungan kakak iparnya,Sutrisno yang juga mantan kepala desa sebelumnya, kepada lawan politiknya disebut-sebutmempengaruhi suara para pemilih. Sutrisno yang juga seorang pensiunan militer memangcukup ‘didengar’ dan memiliki pengaruh di kalangan masyarakat.

Nanang yang tak hanya mewarisi modal jaringan kekerabatan berbasis trah juga memilikikemampuan untuk membangun jaringan politik di tingkat lokal, bahkan nasional. Nanangmerupakan seorang pengusaha, tokoh pemuda, sekaligus aktivis PDI-P. Dia dikenal dekatdengan sejumlah elit politik lokal, seperti Bupati Magelang Zainal Arifin dan Gubernur JawaTengah Ganjar Pranowo yang juga berasal dari PDI-P. Nanang dikenal pula sebagai tokohGoro, sebuah organisasi kepemudaan yang disegani oleh masyarakat.6 Kolaborasipengusaha dan organisasi kepemudaan inilah yang juga menyokong dan menyediakansumberdaya finansial untuk maju menjadi kepala desa hingga akhirnya terpilih. Modal sosialkekerabatan, jaringan politik, dan modal ekonomi inilah yang berperan penting dalammembangun kepemimpinan Nanang di Desa Gulon.

Berbeda dengan Desa Ngadisari dan Adat Tenggernya, Desa Punjulharjo yang terletak di sisipaling timur Rembang ini mewarisi kultur Islam tradisional yaitu Tradisi NU. Dalammasyarakat Islam tradisional, struktur dan kultur masyarakat didasarkan pada simbolkeagamaan yaitu Islam cenderung bersifat paternalistik dan patriarkal. Dengan kontekssemacam itu, pemimpin keagamaan yakni Kyai, menempati posisi posisi sentral dalammasyarakat. Kyai berperan lebih daripada sekadar seorang guru agama. Dia juga memainkanperan sebagai pemimpin informal yang memiliki pengaruh di kalangan warga dan juga

5 Dalam Bahasa Jawa, Balung Gede dipahami sebagai ungkapan untuk menjelaskan keluarga yang memilikibanyak keturunan, keluarga besar. Ibarat pohon, mereka berasal dari bagian batang pohon, bukan cabang atauranting. Umumnya, keluarga Balung Gede juga memiliki status sosial ekonomi yang lebih tinggi darimasyarakat umumnya.6 Organisasi ini menyediakan bisnis keamanan dan pungutan pada bisnis tambang pasir di Kali Putih.

Page 21: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

seringkali diperhitungkan secara politik (Bruinessen, 1994).7 Kepemimpinan kyai terutamaditopang oleh kekuasaan yang bersumber dari kapasitas moral spiritual yang dimilikinya.Forum-forum keagamaan seperti pengajian, menjadi ruang bekerjanya kepemimpinanmoral Kiai kepada warga. Demikian pula yang terjadi di Desa Punjulharjo, struktur dan kulturNU membentuk corak masyarakat yang taat dan hormat kepada mereka yang dipandangsebagai pemimpin, kiai, ataupun mereka yang memiliki status sosial yang tinggi.

Terpilihnya Muntholib sebagai kepala desa sejak 2014 memperlihatkan adanya perubahanpolitik penting di Desa Punjulharjo. Muntholib adalah wajah baru di pemerintahan desa,namun dia tidak lahir dari keturunan trah balung gedhe seperti di Desa Gulon. Berbedadengan para kepala desa sebelumnya, kemenangan Muntholib merupakan pembalikan daripolitik pemilihan kepala desa yang didominasi oleh kepentingan ekonomi politikpenyandang dana (botoh) yang seringkali menjadi penentu pemenangan. Secara moral,masyarakat menghendaki pemimpin yang berintegritas (jujur) dan berpihak padakepentingan masyarakat. Masyarakat setempat memandang figur Muntholib memenuhikriteria moral semacam itu. Sebagai kepala desa dia dikenal enthengan (suka membantu),jujur, tidak neko-neko (macam-macam), lurus-lurus saja, dan sederhana. Bagi masyarakatdesa yang masih kuat memegang nilai-nilai tradisional, kesempurnaan moral merupakanmodal penting.

Keyakinan semacam ini seringkali membuat hadirnya seorang pemimpin dalam acara-acarawarga, seperti slametan atau upacara kematian menjadi lebih penting ketimbangkehadirannya dalam urusan dan masalah publik. Moralitas semacam itulah yang nyatanyamampu memenangkan hati masyarakat Punjulharjo. Secara ideal, seorang pemimpin moraladalah orang terpandang di desa yang mendapat kepercayaan dari masyarakat, danmemiliki ikatan kekeluargaan dengan masyarakat desa yang dilayaninya dan hidup bersama-sama dengannya. Dalam konteks itu, Kades Muntholib telah menunjukkan dirinya pantasdipilih sebagai pemimpin yang dihormati karena kepatuhannya untuk mengikuti normaperilaku yang diterima secara umum. Kemenangan Muntholib juga didorong oleh faktorkekerabatan (kinship). Ayahnya adalah seorang Kiai terpandang di desa tersebut, sementarasaudaranya adalah seorang mantan lurah dan polisi, serta satu saudaranya lagi merupakanaktivis partai. Jaringan kekerabatan ini berperan penting dalam proses pemenanganMuntholib dalam pilkades.

Sementara Desa Ringinrejo menunjukkan corak kepemimpinan yang konservatif-birokratik,sebagai semacam warisan birokratisasi pemerintahan desa di masa Orde Baru. Selain itu,dari sisi rekrutmen politik, kepala desa terpilih Ringinrejo yakni Bintoro memiliki garisketurunan mantan lurah (kepala desa) meski dominasinya tak sekuat trah balung gedhe diGulon. Kakek buyut dari pihak ayah dan kakek dari pihak ibu Bintoro merupakan mantan

7 Meski para kiai ini tinggal di pedesaan, mereka merupakan bagian dari kelompok elit dalam struktur sosial,politik, dan ekonomi masyarakat Jawa pada umumnya. Perubahan dalam masyarakat seringkali digerakkanoleh kepemimpinan elit-elit tersebut.

Page 22: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

kepala desa. Meski demikian, terpilihnya Bintoro merupakan sesuatu yang tidak terdugakarena banyak calon yang dianggap lebih kuat dan memiliki basis masa yang lebih besar.

Selama hampir tiga tahun dibawah kepemimpinan Bintoro masyarakat memiliki berbagaipenilaian yang berbeda terhadap kebijakan-kebijakan maupun pola kepemimpinan Bintoro.Dalam hal pelayanan publik, warga merasakan peningkatan pelayanan dari pemerintah desaberupa pengurusan keperluan adminsitrasi lebih cepat.8 Peningkatan pelayanan tersebutdisebabkan oleh kebijakan kepala desa merekrut tiga perangkat desa muda yang cakap danmelek teknologi untuk menggantikan perangkat desa lama yang sudah sepuh dan dinilaikurang cakap. Gambaran Ringinrejo menunjukkan, sejauh pelayanan administrasi terpenuhidi situlah letak peran institusi desa. Dimana pemerintah desa sekadar menjalankanadministrasi pemerintahan selayaknya institusi desa korporatis (Sutoro, 2014). Warisanpenyeragaman dan birokratisasi desa di masa lalu menjadikan desa sekadar kepanjangantangan negara bukan untuk menumbuhkan emansipasi lokal, melainkan menjalankanperintah dari atasan (Antlov, 2002).

Wajah Warisan Lama dalam Praktik Kepemimpinan

Untuk menguji kehadiran dan bekerjanya kepemimpinan desa dapat dilacak dari dayatanggap pemimpin terhadap urusan publik. Dalam kasus masyarakat Tengger Ngadisari,perlindungan penguasaan lahan menjadi isu publik penting. Tanah yang keberadaannyadisakralkan oleh adat Tengger membentuk kesadaran kolektif masyarakat untukmempertahankan aset produksi tersebut dari gempuran alih fungsi dan komersialisasi lahan.Inisiatif tersebut juga dimantapkan oleh kenyataan bahwa aset lahan pertanian tersebutmemiliki prospek penghidupan yang begitu baik bagi warga. Bagaimana pun juga inisiatifwarga untuk tidak menjual lahan ke pihak manapun di luar komunitas Tengger menemukanpelembagaannya melalui respons pemerintah desa untuk mengaturnya dalam peraturandesa.

Kebijakan Supoyo di Ngadisari yang populis tampak melalui komitmennya untuk menjagatanah masyarakat Tengger melalui kebijakan perlindungan lahan. Inisiatif warga untukmelindungi lahan direspons oleh kepemimpinan desa yang hadir melalui kontrol setiap jenistransaksi berkaitan dengan lahan. Menurut Supoyo, kebijakan pemerintah desa untukmelindungi lahan melalui Peraturan Desa Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara MutasiLahan menjamin tidak adanya praktik jual beli dan sewa lahan tanpa sepengetahuanpemerintah desa. Baginya, kebijakan ini juga bagian dari upayanya menjalankan mandatleluhur Tengger untuk menjaga kelangsungan tradisi Tengger di tanahnya mereka sendiri.

8 Meskipun secara faktual pelayanan yang diberikan oleh perangkat desa masih di bawah standar. Pelayananselama hari kerja hanya berlangsung empat hingga lima jam. Bahkan di hari Jumat pelayanan hanya dibukaselama tiga jam. Dalam pengurusan administrasi, juga masih terjadi praktik pungutan liar yang tidaktransparan.

Page 23: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

Meski kepemimpinan Supoyo dianggap berhasil oleh masyarakat, populisme dalam praktikpengelolaan kesejahteraan ini tak selalu dibangun dengan menumbuhkan partisipasi wargayang lama hidup dalam budaya parokial dan sisa-sisa depolitisasi sejak Orde Baru.9

Sungguhpun demikian, kepemimpinan di Desa Ngadisari menjalankan akuntabilitas danpartisipasi warga dengan caranya sendiri. Di setiap pengerjaan proyek-proyek fisik,pemerintah desa melaporkan penggunaan anggaran untuk kegiatan tersebut secara lisankepada masyarakat. Di tempat gotong-royong (sayan), perangkat desa sekaligus melaporkanpenggunaan APB Desa untuk pengerjaan proyek tersebut. Dengan cara ini, masyarakatmengetahui berapa dan bagaimana sumberdaya publik (desa) dialokasikan dandidistribusikan. Distribusi ini berkaitan dengan pengerjaan pembangunan fisik yangdilakukan secara gotong-royong dengan tenaga kerja dari mereka sendiri. Sehingga sumberdana yang ada tidak tersedot keluar desa untuk membayar kontraktor.

Sedangkan di Punjulharjo, cepat atau lambat, bakal terjadi perubahan penting dalamstruktur sosial masyarakat seiring dengan pertautan mereka dengan ekonomi pariwisata.Ketika studi ini berlangsung, masyarakat Punjulharjo tengah menghadapi ketegangan latenantara tradisi dan modernitas sebagai konsekuensi atas dibukanya objek wisata Karang JaheBeach (KJB) sebagai ikon baru destinasi wisata di Rembang.10 Dalam kasus di Punjulharjo,tata kelola aset pantai KJB (BUMDes) menjadi arena untuk melihat bagaimanakepemimpinan desa bekerja.

Pada saat mencalonkan diri, program yang ditawarkan Muntholib adalah meningkatkanpelayanan warga yang lebih baik, memperbaiki jalan terutama akses yang akan menuju kelokasi KJB, serta memperbaiki pengelolaan dan kinerja KJB untuk kesejahteraan warga.Dalam konteks perbaikan pelayanan publik, kepala desa menetapkan kebijakan jadwal piketuntuk perangkat desa berikut nomer telpon/hand phone. Selain itu, dia membuka pinturumahnya selama 24 jam untuk melayani keperluan warga jika kantor desa tutup.Muntholib biasanya melayani warga yang tengah mengurus keperluan administrasi,mengurus keringanan biaya rumah sakit, hingga mengantar warga ke rumah sakit.

Selain pelayanan rutin kepada warga, terobosan program yang dilakukan dia selama duatahun menjabat fokus pada peningkatan pendapatan masyarakat melalui pengelolaan KJB.Untuk pengembangan KJB, kepala desa membangun fasilitas seperti memperluas jalanmenuju KJB melalui pembebasan tanah menggunakan dana pinjaman dari BRI. Selain itumembangun gapura sebagai pintu masuk menuju lokasi KJB. Sementara, untuk mengelola

9 Budaya parokial merujuk pada struktur mental yang terkungkung dalam sekat-sekat identitas baik agama,etnis, ras, atau kelokalan (kedaerahan). Struktur demikian melahirkan sikap sempit dalam memandangpersoalan publik.10 Situasi serupa barangkali pernah dirasakan oleh masyarakat Tengger yang lebih dulu berinteraksi denganekonomi pasar dan dibukanya kawasan Bromo sebagai objek pariwisata berkelas internasional. Meskidemikian, semua telah dilalui dengan baik melalui negosiasi budaya yang dilakukan dengan sangat baik. AdatTengger tetap terpelihara dan bahkan menjadi aset dan komoditas budaya. Dengan demikian, perubahansemacam itu bisa jadi akan membuahkan hasil yang berbeda dengan apa yang mungkin terjadi denganmasyarakat Punjulharjo.

Page 24: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

objek wisata KJB, Pemerintah Desa Punjulharjo membentuk Badan Pengelola (BP) KJBdibawah Badan Usaha Milik Desa. Badan Pengelola tersebut dibentuk dan diberikewenangan oleh kepala desa untuk mengelola KJB secara profesional. 11 Disamping tetapdengan pekerjaan yang sudah digeluti, masyarakat juga didorong untuk banyak terlibatdalam menggarap KJB. Badan pengelola ini mengidentifikasi berbagai jenis usaha yangpotensial untuk dikembangkan, kesiapan infrastruktur penunjang kawasan pariwisata, sertapelibatan warga secara partisipatif dalam tata kelola KJB. Dampaknya, satu tahunpengelolaan KJB, pendapatan warga masyarakat dan PAD menunjukkan peningkatan.

Meski demikian, politik kekerabatan tetap mewarnai Punjulharjo. Demi mengamankanprogram-program tersebut, kepala desa menunjuk keponakannya sendiri sebagai ketua BPKJB. Demikian pula dengan sejumlah posisi di direktur BUM Desa dijabat adik kepala desadan Penasehat BUM Desa masing-masing merupakan adik dan kakak sepupu kepala desa. DiBPD, salah seorang anggotanya masih merupakan kerabat, demikian pula dengan salahseorang perangkat desa yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan kepala desa.Jejaring kekerabatan yang dibangun menjamin adanya dukungan penuh bagi kebijakankepala desa. Politik kekerabatan yang tampak begitu kentara di Punjulharjo membukapeluang pengelolaan kesejahteraan yang memusat pada lingkaran kekerabatan kepala desa.Kecenderungan ke arah monopoli bisa saja terjadi. Namun kasus di Punjulharjomenunjukkan bahwa corak kepemimpinan tersebut pada saat bersamaan juga mampumenghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat dengan kebijakan populis yang dihadirkan.

Watak kepemimpinan populis di Ngadisari dan Punjulharjo penting untuk ditelaah lebihjauh. Populisme dalam pengelolaan kesejahteraan di dua desa tersebut nampaknya masihjauh dari pelibatan publik secara partisipatif. Pengelolaan KJB memang membawaperubahan dari sisi redistribusi sumberdaya kepada masyarakat, namun hal tersebut takdibarengi dengan masuknya aktor-aktor di luar kerabat kepala desa yang penting dalamproses tata kelola yang lebih transparan dan partisipatif. Kebijakan populis di Ngadisari jugamenunjukkan hal serupa. Masyarakat menerima kebijakan tersebut karena berdampakpositif bagi mereka, namun hal tersebut bukan dalam konteks kesadaran masyarakat yangmelihat pengelolaan kesejahteraan sebagai isu publik. Infrastruktur pertanian yangmemadai dan pengembangan kawasan wisata penunjang Bromo dikelola untukkesejahteraan, namun belum tentu melibatkan publik desa sebagai subjek yang aktif. UUDesa membuka struktur kesempatan politik bagi aktor-aktor di desa untuk merebut ruang-ruang demokrasi yang tersedia. Sungguhpun demikian, pengetahuan dan kesadaran untukmerebut ruang tersebut belum mampu menjangkau elemen masyarakat secara luas.

Sementara itu, Desa Ringinrejo memperlihatkan watak konservatif-birokratis darikepemimpinan desa. Kapasitas desa yang lemah menjadikan institusi pemerintahan desasekadar sebagai mesin birokrasi semata dan tidak melibatkan diri dalam masalah publik.

11 Untuk menunjang operasionalnya, BP KJB memiliki posko sebagai kantor pengelolaan KJB di dekat pintumasuk lokasi wisata KJB. Kepala Desa juga memfasilitasi KJB untuk menggunakan ruangan di Kantor KepalaDesa untuk mengadakan rapat rutin maupun insidental.

Page 25: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

Bahkan, pemerintah desa enggan melibatkan diri dalam aksi reklaim tanah perkebunan olehwarga yang lapar tanah.12 Pemerintah desa mengambil posisi netral dengan alasan merasaberada pada posisi terjepit diantara warga desa dan pemerintah supra desa yang lebih tinggiyang menekan pemerintah desa untuk meredam upaya klaim tanah perkebunan.

Ketika warga mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara atas KeputusanMenteri Kehutanan Nomor 367 Tahun 2013, Pemerintah desa sulit memberikan pengesahanyang menyatakan bahwa 726 warga penggarap sawah yang terdaftar dalam dokumengugatan merupakan warga Desa Ringinrejo. Pada moment tersebut mereka yangmemperjuangkan klaim tanah merasa tidak diakui sebagai warga.13 Warga terutama yangaktif mengupayakan klaim tanah memang banyak yang kecewa pada sikap netral yangdiambil oleh kepala desa. Pemerintah desa masih mewarisi paradigma lama desa sebagaikepanjangan tangan negara dalam struktur yang hierarkis. Pada akhirnya, kepemimpinan didesa sama sekali menutup akses untuk proses dialogis dengan warga yang menuntut klaimatas tanah.

Jika di Ringinrejo kepala desa menunjukkan watak konservatismenya, kepemimpinan KepalaDesa Gulon menunjukan agresivitasnya. Hal itu dapat dilihat dari adanya proyekpembangunan rumah susun. Awalnya, Desa Gulon tidak menjadi lokasi proyek KementrianPU dan Perumahan Rakyat itu. Namun karena terdapat satu desa yang dinilai kurangresponsif, kesempatan tersebut ditangkap oleh pemerintah Desa Gulon dengan mengajukanpemindahan lokasi rumah susun ke Gulon.14 Faktor yang berperan dipilihnya Desa Gulonsebagai lokasi rusun adalah faktor kedekatan Kepala Desa dengan elit Partai PDI-P baik didaerah maupun di pusat. Menurutnya, keputusan untuk memindahkan rusun ini ke Gulondibuat setelah kunjungan reses anggota DPR RI Komisi V, Ir Sudjadi, yang berasal dari partaiPDIP ke Desa Gulon, yang termasuk sebagai daerah pemilihannya.

Bahkan pengajuan pemindahan lokasi rumah susun itu tanpa proposal. Fakta tersebutmengesankan Kepala Desa ingin bergerak cepat dan meninggalkan proses formal yangsemestinya dijalani.15 Penetapan lokasi rusun diputuskan kepala desa sepihak denganpertimbangan tanah kas desa di Dusun Mancasan dinilai sudah tidak produktif lagi. Selainitu, dia beralasan rusun ini merupakan kebutuhan masyarakat di desanya karena dalampengamatannya selama ini permintaan hunian sangat tinggi. Namun, sebaliknya beberapawarga menyatakan tidak tahu menahu mengenai rencana pembangunan rusun itu. Mereka

12 Di Blitar sendiri saat ini terapat banyak upaya claiming maupun reclaiming tanah perkebunan yang dilakukanoleh warga yang telah bertahun-tahun menggarap perkebunan yang sebelumnya ditelantarkan.13 Untuk menandatangani dokumen tersebut Bintoro sampai berkoordiansi dengan pihak kecamatan walauakhirnya bersedia menandatangani setelah mendapat tekanan warga14 Di Kabupaten Magelang, rencana awal ada empat kecamatan yang mendapat jatah pembangunan rusun iniadalah Desa Taman Agung (Kecamatan Muntilan), Kecamatan Salaman, Kecamatan Tempuran, dan DesaGunungpring (Kecamatan Salam).15 Selain tanpa proposal, pembangunan ini tidak didahului oleh analisa kebutuhan, proses pembahasan yangmendalam bersama lembaga desa lain seperti BPD, dan analisa dampak sosial bagi masyarakat sekitar rusun.

Page 26: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

menilai, pemerintah desa lebih baik meningkatkan program bedah rumah, sebab masihbanyak rumah-rumah warga tidak layak huni.

Sampai saat ini tidak begitu jelas bagi pemerintah desa sendiri dan masyarakat bagaimanakelak mekanisme pengelolaan, biaya sewa, kriteria calon penghuni, bagi hasil antarapemerintah desa dengan kabupaten, yang menurut informasi yang dihimpun menjadipengelola rusun ini. Satu-satunya dokumen resmi terkait pembangunan rusun ini adalahkeluarnya Perdes tentang alih fungsi tanah kas desa menjadi rusun. Pembangunan rusun inimerefleksikan bagaimana aspek kepemimpinan bekerja, di dalam pengawasan lembagarepresentasi formal (BPD) yang minim, dan lemahnya kontrol publik atau inisiatif warga.

Pada akhirnya, mengutip Sutoro Eko (2014:54), tipologi lembaga asli (indigenous institution)dapat dipakai untuk melihat kasus Ngadisari. Pengaruh adat jauh lebih kuat daripadapengaruh pemerintah dan agama karena adatlah yang menjadi pengikat institusi sosial yangada di desa bersama masyarakatnya. Mereka memiliki self governing community yangmemiliki pranata dan kearifan lokal, yang mengutamakan keteraturan dan keseimbangan:social order, ecological order, dan spiritual order. Dalam konteks ini, urusan publik menjadiarena bagi berlangsungnya pranata dan kearifan lokal yang menempatkan keteraturan dankeseimbangan antara manusia (desa dan masyarakatnya) dengan alam dan leluhurnyasebagai nilai dasarnya. Ngadisari sebagai institusi asli juga memiliki tradisi demokrasikomunitarian – yang mengutamakan kebaikan bersama, dengan model pengambilankeputusan secara deliberatif melalui institusi-institusi asli (rembug warga Tengger danSafari Wulan Kapitu, tradisi gotong-royong atau sayan). Institusi asli ini mengedepankanemansipasi dalam merawat harmoni sosial dan kemakmuran ekonomi berkelanjutan tetapitidak terbuka terhadap isu-isu publik kekinian.

Tipologi desa parokial dapat dipakai untuk menelaah Desa Gulon dan Punjulharjo yangmenggunakan politik kekerabatan dan agama sebagai basis ikatan sosial. Di Gulon, sistemkekerabatan menjadi pijakan kompetisi politik dan pembentukan struktur politik desa.Penempatan jabatan strategis di desa didasarkan pada kedekatan seseorang secarakekerabatan dengan elit. Punjulharjo nampak sebagai desa yang masih bercorak parokialkeagamaan dan kekerabatan namun mulai memiliki kesadaran bersama tentang isu-isupublik yang lebih luas, terutama tentang kesejahteraan melalui pengelolaan desa wisata.Desa Ringinrejo lebih tepat dikategorikan sebagai desa dengan watak korporatis yang kuat.Meski UU Desa memperkuat kewenangan desa dengan asas rekognisi dan subsidiaritas,desa ini menempatkan dirinya sebagai kepanjangan tangan institusi di atasnya dalammenjalankan tugas-tugas administratif. Kepemimpinan desa, bahkan, tak ambil bagiandalam upaya penyelesaian konflik agraria yang terjadi di desa.

C. Menuju Kepemimpinan Transformatif

Jika pada bagian sebelumnya kita menemukan warisan lama kepemimpinan desa yangbercorak paternalistik, konservatif-birokratis, dan pola kekerabatan yang mencolok, makastudi di enam desa lainnya menunjukkan situasi yang berbeda. Desa Mekarjaya, Cangkudu,

Page 27: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

Sidorejo, Nglanggeran, Umbulharjo, dan Panggungharjo mengarah pada situasikepemimpinan di desa yang lebih mendorong proses demokratisasi. Meskipun tak selalumenghasilkan praktik yang bisa dikatakan sepenuhnya demokratis, namun kecenderunganuntuk terbuka dan responsif terhadap tuntutan aspirasi dari bawah (open and responsiveleadership) semakin tampak. Hal yang sama juga dapat ditelaah dari praktik transparansidan akuntabilitas kepemimpinan di desa yang mulai berkembang. Bagian ini akanmenjelaskan bagaimana kepemimpinan desa bertransformasi ke arah yang demokratis.

Benih Kepemimpinan Transformatif

Terdapat adagium bahwa kepemimpinan menjadi kunci menghadirkan perubahan. Namundemikian, kepemimpinan semacam apa yang dapat memandu perubahan menujutransformasi sosial demokratis menjadi pertanyaan kunci dalam studi ini. Tentu saja settingdimana benih kepemimpinan transformatif tersebut ditanam, menjadi sangat menentukantumbuh-kembang kepemimpinan transformatif. Dalam konteks tersebut, bagian ini akanmenyajikan narasi tentang embrio atau benih kemunculan kepemimpinan transformatifbeserta ragam atau variasi setting sosial yang melatarinya.

Desa Mekarjaya di Sukabumi memperlihatkan corak kehidupan desa yang ditopang olehsemangat komunitarian melalui tradisi gotong-royong. Tradisi ini telah berlangsung lamadan menjadi bagian penting dalam relasi sosial masyarakat Mekarjaya. Jika dilacak lebihjauh, gotong-royong telah menjadi energi sosial bagi komunitas masyarakat desa, termasukuntuk menghadapi krisis yang berlangsung dalam komunitas. Koentjaraningrat (dalamZakaria 2000) mengklasifikasi budaya gotong-royong ke dalam tiga sistem: (1) sistemmobilisasi tenaga kerja dalam pertanian, (2) sistem bantuan bersama dalam kehidupansosial, dan (3) sistem nilai. (Zakaria, 2000:291-292). Dalam konteks Mekarjaya, gotong-royong telah menjadi sistem nilai sekaligus modus organisasi tradisional yang dipraktekkansecara kolektif dari masa ke masa. Tentu saja ada pergeseran yang terjadi, setidaknya sejakera Orde Baru dimana ruang publik informal dalam kegiatan gotong-royong terdistorsi olehintervensi dan kontrol yang kuat dari elit desa sebagai kepanjangan tangan birokrasi negara.Bagaimana pun, pergeseran setting politik pasca Orde Baru dan tidak lama ini berlakunyaUU Desa memberikan makna positif. Kepemimpinan desa memanfaatkan gotong-royongsebagai ruang publik informal dimana gagasan dan ide terkait urusan publik di desadibicarakan.

Melalui ruang publik informal ini, interaksi antara institusi desa dengan masyarakatnyaberlangsung. Aspirasi-aspirasi publik hadir di tengah-tengah kegiatan gotong-royong warga,seperti usulan pembuatan lumbung pangan desa, pelayanan administrasi kependudukan,dan usulan pemuda terkait penggunaan dana desa. Kehadiran ruang publik informal ini punpada akhirnya menjadi ruang yang deliberatif karena asimetrisme kekuasaan hampir tidakada. Warga merasa lebih leluasa untuk menyampaikan aspirasinya melalui ruang tersebutdibandingkan dengan forum musyawarah yang lebih formal. Meski demikian, perluasanruang publik tersebut perlu dibarengi dengan akomodasi inisiatif-inisiatif warga ke dalamarena deliberasi formal, seperti musyawarah desa. Penting pula untuk melihat sejauh mana

Page 28: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

aspirasi-aspirasi publik yang telah didialogkan tersebut dilembagakan ke dalam kebijakanpublik di desa.

Di samping kepemimpinan desa yang kuat, kasus di sejumlah desa menunjukkan variasi lainkepemimpinan desa yang lemah namun dibarengi dengan kontrol dan inisiatif warga yangkuat. Desa Nglanggeran dan Desa Umbulharjo menyajikan realita tentang kepemimpinandesa yang lemah dan cenderung konservatif-administratif namun ditopang olehkelembagaan representasi yang bekerja dan inisiatif warga yang kuat. Senen, Kepala DesaNglanggeran, terpilih menggantikan kepala desa sebelumnya yang otoriter dan tidaktransparan. Profil Senen, yang bisa dikatakan anti-tesa model kepemimpinan kepala desaterdahulu yang keras, otoriter, dan kurang bersih, membuat warga menjadi lebih aktifmengungkapkan aspirasinya. Senen yang mirip warga kebanyakan (orang biasa, bukan trahelite) jauh lebih terbuka, dekat dengan warga (merakyat), dan dianggap sangat jujur,mampu melahirkan kepercayaan (trust), sehingga menyuburkan partisipasi. Bahkan, wargamulai berani menyampaikan kritik terbuka, sesuatu yang tidak pernah terjadi pada masakepemimpinan sebelumnya yang sangat dominan.

Demikian pula dengan Desa Umbulharjo, kepemimpinan baru lahir sebagai anti-tesakepemimpinan lama. Adalah Suyatmi, kepala desa terpilih berhasil menumbangkanpetahana yang sudah berkuasa selama 20 tahun. Faktor kemenangan Sutaymi karenakehendak masyarakat agar terjadi perubahan kepemimpinan lama yang dinilai tidakpartisipatif, tidak transparan, dan tidak akuntabel dalam tata kelola pembangunan.16

Kemenangan Suyatmi juga karena dukungan keluarga yang bekerja dalam jaringan trahkeluarga besarnya. Meski bukan dari keluarga “balung lurah” (keturunan lurah), Suyatmidan sang suami memiliki keluarga besar di Umbulharjo karena keduanya berasal dari desaini. Dukungan juga mengalir dari kelompok perempuan yang diwadahi dalam PKK. SelainSuyatmi memang sebagai aktivis PKK, Kades sebelumnya gagal mengakomodasi keberadaanPKK sebagai kelompok penggerak pemberdayaan paling aktif di desa. Suyatmi dipilih denganharapan terjadi peningkatan program dan kegiatan kelompok perempuan di desa.

Kepemimpinan Desa Umbulharjo diwarnai oleh problem kapasitas delegatif kepala desa danlemahnya pengambilan keputusan yang efektif. Ini ditandai dengan jarangnya Kepala desamemberikan arahan pada perangkat desa dan keputusan diserahkan pada bawahan.Akibatnya perangkat desa yang terbiasa dengan kepemimpinan otokratik kemudian menilaikepemimpinan kepala desa tidak berjalan efektif. Puncak ketidakefektifan pemerintahanterjadi manakala BPD menagih RPJM Desa yang telah satu tahun berjalan tak kunjungrampung disusun oleh kepala desa terpilih. Situasi tersebut berujung pada konflik KepalaDesa dan BPD. Konflik tersebut dapat diselesaikan dan justru menjadi titik balik bagi Suyatmiuntuk memperbaiki gaya kepemimpinanya. Perubahan di Desa Umbulharjo didorong bukandari sisi kepemimpinan, melainkan dari fungsi representasi dan kontrol BadanPermusyawaratan Desa (BPD) yang aktif serta inisiatif warga yang bekerja.

16 Termasuk isu-isu ketidakberesan dalam pengelolaan sumber daya ekonomi, baik persoalan air bersih,penambangan pasir, maupun pariwisata.

Page 29: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

Sementara di Cangkudu, lahirnya kepemimpinan baru juga lahir dari anti-tesakepemimpinan lama, meski tidak responsif terhadap inisiatif warga. Pemerintah desaterdahulu bisa dikatakan kurang peduli dengan masyarakat. Menurut penuturannya, kepaladesa terdahulu yang dulu cenderung lebih sibuk mengurus bisnis limbah pabrikdibandingkan mengurus warganya, terutama pengabaian pelayanan publik. Sehinggaseringkali kepala desa tidak ada di kantor desa dan perangkatnya lebih sering mencariobyekan di luar atau “ngompreng”. Apalagi kondisi tersebut, diperparah dengan adanyapraktek politik orang kuat lokal yang mewarnai pemerintah desa dibawah kepemimpinanEneng Ida Zuraida yang merupakan anak dari tokoh Jawara lokal di Desa Cangkudu.Sehingga banyak warga yang relatif tidak berani menyuarakan aspirasi atau bersikap kritis,warga lebih memilih untuk bersikap apatis.

Situasi dan kondisi tersebut, membuat sebagian warga Desa Cangkudu menginginkansebuah perubahan yang ditempuh warga adalah melalui pemilihan kepala desa yang jatuhpada tahun 2013. Pada saat pemilihan kepala desa Cangkudu tersebut, munculah salahseorang kandidat yakni Amir Hamzah. Amir Hamzah dalam kampanyenya menjanjikanperubahan wajah pemerintah desa Cangkudu yang akan lebih melayani warga secara primamelalui reformasi birokrasi. Jika dilihat dari latar belakangnya, Amir Hamzah merupakanseorang businesman yang memiliki beberapa perusahaan dan juga seorang konsultankeuangan.17 Berangkat dari latar belakang tersebut, Kepala Desa berupaya menerapkanpendekatan administrasi publik dalam tata kelola pemerintahan. Pemerintah desa sebagaimemposisikan dirinya sebagai penyedia layanan serta menempatkan warga selaku penerimalayanan seperti layaknya klien.

Paska terpilihnya Amir Hamzah sebagai kepala desa, menurut pengakuan beberapa wargaDesa Cangkudu menyatakan bahwa ada sebuah perubahan yang signifikan dalampemerintahan desa Cangkudu dibandingkan dengan situasi dan kondisi pemerintah desaterdahulu. Perubahan yang paling dirasakan adalah adanya perbaikan kualitas pelayananpublik di kantor pemerintah desa, termasuk di dalamnya adanya kepastian dalam halpelayanan baik dari sisi biaya maupun waktu pelayanan.18 Dalam konteks melakukan upayareformasi birokrasi tersebut, Amir Hamzah melakukan berbagai macam terobosan, antaralain; melakukan peningkatan kapasitas perangkat desa, membangun kultur pelayanan sertameningkatkan disiplin dan kinerja para perangkatnya.

Variasi kepemimpinan berikutnya menyajikan corak kepemimpinan yang terbuka danresponsif terhadap isu kelompok rentan di Desa Sidorejo. Kepala Desa setempat, Sutrisna,adalah sosok yang memiliki ketrampilan dalam membangun komunikasi dengan berbagai

17 Ketokohan Amir Hamzah di Desa Cangkudu lebih dikenal sebagai sosok pengusaha dan intelektual.18 Saat ini kantor pemerintah desa berfungsi optimal dalam melakukan pelayanan publik, dengan adanya jamlayanan yang jelas yakni dari jam 08.00 sampai dengan jam 16.00 dan semua urusan pelayanan publik harusdiselesaikan di kantor pemerintah desa bukan di rumah perangkat desa. Serta menerapkan sistem absensidengan menggunakan finger print. Inovasi dan perubahan inilah yang mengantarkan Desa Cangkudu sebagaiDesa Teladan Nasional.

Page 30: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

pihak. Dengan gaya kepemimpinan yang menghilangkan sekat-sekat hirarkis, Sutrisnamampu mengkomunikasikan kebijakan-kebijakan pada berbagai lapisan masyarakat yangada di desa sehingga memudahkan konsolidasi berbagai unsur masyarakat desa.

Dibawah kepemimpinanya, Sidorejo tampak berubah wajah dibandingkan dengan periodekepemimpinan sebelumnya. Misalnya jam pelayanan di kantor desa yang sudah pasti, yaitumulai jam 08.30 sampai jam 13.00. Untuk transparansi anggaran, Sutrisna tidak segan-seganmenghadiri pertemuan-pertemuan warga di tingkat dusun untuk menjelaskan anggaranyang dimiliki desa. Selain itu, Sutrisna dinilai sosok yang memiliki ketegasan dalammenyelesaikan persoalan yang ada di desa maupun ketegasan kepada perangkat desa.Dengan gaya kepemimpinan demikian, beberapa aspek tata kelola pemerintahan sertapelayanan publik, kades yang belum ada satu tahun menjabat tersebut telah melakukanreformasi yang dipandang masyarakat sangat positif.

Sebangun dengan yang terjadi di Sidorejo, salah satu desa di Indonesia yang mengalamiproses perubahan signifikan dalam upaya memperbaiki pelayaan publik adalah DesaPanggungharjo. Proses perubahan diawali sejak terpilihnya Wahyudi Anggoro Hadi, sebagaiKades pada tahun 2012.19 Wahyudi terpilih menjadi Kades, karena dukungan modal sosialyang dimilikinya. Sebagai putra asli desa, tentu ia sangat mengenal ragam dinamika dankarakter warga di desa tempat dia tumbuh dan dibesarkan. Wahyudi juga memiliki latarbelakang yang berasal dari keluarga santri. Pemuda lulusan sarjana apoteker UGM ini,memiliki ragam pergaulan sosial yang melampaui batas-batas jaringan sosialkemasyarakatan. Tak heran, bila ia sangat populer di kalangan komunitas santri, seniman,aktivis sosial, pengusaha dan politisi.

Untuk mewujudkan visi pada saat kampanye Wahyudi mengembangkan polapengembangan desa melalui tiga rute penguatan kapasitas yang saling bersinergi satu samalain. Pertama, kapasitas kepemimpinan. Kedua, kapasitas birokrasi, dan Ketiga, kapasitassosial. Kapasitas kepemimpinan visioner dan tangguh menjadi unsur paling fundamentalkarena sebagai penggerak mesin birokrasi desa dan upaya memperkuat kapasitasemansipasi warga.20 Dalam konteks kapasitas birokrasi, Wahyudi berpendapat selama inibirokrasi desa lamban dan tidak berorientasi pada pelayanan warga karena selamabertahun-tahun birokrasi desa terkondisikan tanpa jenjang karir yang jelas dan kapasitassumber daya manusia (SDM) rendah.

19 Dorongan untuk maju dalam Pilkades, merupakan hasil rembungan bersama komunitas pemuda di PojokBudaya yang concern untuk mendorong adanya perubahan di desanya. Pojok Budaya ini semacam think tankbagi Wahyudi, tempat ide perubahan di desa digodog dan direalisasikan ketika dirinya terpilih sebagai Kades.20 Bagi Wahyudi, kapasitas kepemimpinan melekat unsur kapasitas regulasi (membuat pengaturan sesuaidengan konteks tantangan desa), redistributif (kemampuan membagi habis kewenangan kepada kelembagaandesa lainnya, bukan memusatkan kekuasaan ke dalam dirinya semata), responsif (tanggap terhadappermasalahan yang ada), ekstraktif (memahami potensi masyarakat agar dapat tumbuh kembang secaraalamiah) dan jaringan (membangun jaringan yang dapat bersinergi memajukan desa).

Page 31: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

Bertolak dari kondisi tersebut, Panggungharjo di bawah kepemimpinan Wahyudi melakukanpenguatan birokrasi desa melalui peningkatan penghasilan perangkat desa untukmemotivasi kinerja birokrasi desa dan penguatan kapasitas SDM birokrasi desa. Peningkatanpenghasilan perangkat desa di Panggungharjo dilakukan dengan memberikan penghasilantetap serta berbagai insentif penghasilan.21 Selain tambahan penghasilan, pemerintah desajuga memberikan sangsi pemotongan tunjangan kinerja sebesar Rp. 3.000,-/jam jikaterlambat masuk jam kantor. Untuk mengukur kedisiplinan dan ketepatan sangsi, setiapperangkat desa masuk dan pulang harus melakukan finger print yang terpasang di kantordesa.22

Untuk memperkuat SDM desa, kepala desa mengikutsertakan berbagai macam pelatihandari berbagai pihak bagi perangkat desa sesuai dengan bidang tugasnya. Selain itu,perangkat desa yang masih lulusan SMA mendapatkan beasiswa yang berasal dari APBDesuntuk melanjutkan ke jenjang D3 di sebuah perguruan tinggi yang dikenal sejak lamasebagai “kampus desa”. Berbagai terobosan tersebut, pada gilirannya mampumenghadirkan wajah baru birokrasi desa dalam mengelola kebijakan dan pembangunansecara demokratis, memperbaiki pelayanan publik dan menggerakan partisipasi masyarakatsecara bersama-sama membangun desa.

Menguji Kepemimpinan Transformatif

Benih-benih kepemimpinan transformatif desa yang sedang bertumbuh di berbagai pelosokdesa seiring dengan terbitnya UU No.6/2014, hari ini juga tengah menghadapi ujian. Tidaksemua benih kepemimpinan transformatif pada akhirnya dapat membangun prasyarat bagibekerjanya praktik-praktik demokrasi desa. Bisa jadi benih kepemimpinan transformatifmemunculkan variasi berupa pengkerdilan, kemandegan, atau justru terus bertumbuh danberbuah pemerintahan desa yang responsif dan terbuka, bekerjanya lembaga representasisecara deliberatif, serta masyarakat yang penuh prakarsa dan partisipatoris. Bagian ini akanmenyajikan variasi narasi tentang bagaimana kepemimpinan (menuju) transformatiftersebut berdialektika dengan tantangan kontekstualnya.

Corak kepemimpinan - yang lebih terbuka dan akomodatif - lebih memungkinkan partisipasimasyarakat muncul dan berkembang. Di Nglanggeran kepemimpinan tersebut sedikitbanyak didukung oleh inisiatif kelompok warga Nglanggeran dalam konteks pengembangandesa wisata mendorong pemanfaatan aset desa bagi penghidupan warga. Pembentukankepentingan publik dimungkinkan terjadi oleh pertautan antara responsivitas danketerbukaan kepemimpinan Desa Nglanggeran dan inisiatif warga aktif yang terlembagamelalui kelompok wisata desa. Di samping itu, perluasan ruang publik juga berlangsung

21 Insentif berupa tunjangan baik tunjangan jabatan, tunjangan kinerja, tunjangan anak-istri serta asuransikesehatan. Perangkat desa juga masih mendapatkan tambahan penghasilan dari tanah bengkok.22 Desa Panggungharjo menetapkan jam pelayan publik, mulai dibuka dari pukul 08.00 Wib, dan berakhirsampai dengan pukul 16.00 Wib.

Page 32: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

melalui forum-forum warga (forum selapanan) yang memungkinkan interaksi antar wargaterjadi sekaligus membuka ruang deliberasi.

Situasi serupa juga tampak di Umbulharjo. Semenjak hubungan Kades dan ketua BPD diUmbulharjo sudah mencair dan saling bekerjasama, muncul inisiatif dari warga berupausulan-usulan kepada pemerintah desa. Salah satunya usulan adalah persoalan pengelolaanair bersih yang menjadi isu publik yang penting di Umbulharjo. Isu pengelolaan air diUmbulharjo berlatar belakang konflik antara masyarakat Desa Umbulharjo denganpengelola air minum Kabupaten Sleman, PD. Anindya untuk taman wisata Kaliurang, danbisnis air minum dalam kemasan, yaitu Qannat dan Evita yang disuplai oleh PDAM Sleman.Konflik sudah sampai pada tahap kekerasan antara kedua pihak sebenarnya sudah mulai ditahun 1999, yaitu ketika PDAM Sleman mempunyai proyek penyediaan air bersih denganmengambil air dari Umbul Wadon.

Selain itu pengelolaan air bersih ditingkat desa dikelola Organisasi Pengelola Air Bersih(OPAB) yang dibentuk oleh pemerintah desa yang dalam perjalanannya ditengarai belumberjalan baik oleh masyarakat. Dalam konteks ini, pembentukan kepentingan publikmenemukan arenanya dalam proses pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa)sebagai lembaga yang disiapkan mengganti OPAB dalam mengelola barang publik tersebut(common goods). Sinergi antara pemerintah desa dan fungsi representasi BPD menghasilkankesepakatan untuk mengelola aset desa (air bersih) yang lama menjadi aspirasi publik.

Variasi yang berbeda namun dalam spirit yang sama ditunjukkan di Sidorejo. Gerakan desainklusi di Sidorejo berkembang melalui proses dialogis antara responsivitas pemerintah desadengan inisiatif kelompok warga (Forum Difabel Sidorejo). Keterbukaan kepemimpinan desadan struktur kesempatan politik yang disediakan UU Desa menjadi peluang bagi FDS untukmendorong lahirnya desa inklusi di Sidorejo. Pemerintah desa berupaya hadir untukmendorong emansipasi kelompok difabel dalam pembuatan kebijakan di desa. Kelahirandan aktivitas yang dilakukan FDS, dalam kaca mata Sutrisna adalah suatu inisiatif maju yangbisa membawa perubahan di desa karena para penyadang disabilitas memang belummendapatkan perhatian serius dari pemerintah desa. Untuk mengangkat derajat hidupdisabilitas, Sutrisno tergerak untuk menghadirkan pemerintah desa melalui program-program yang bisa membawa mereka menjadi lebih sejahtera.

Pembentukan kepentingan publik, dengan demikian, diinisiasi oleh gerakan masyarakat sipil(FDS) yang menemukan pertautannya dengan kehendak pemerintah desa untuk melibatkanwarga yang marjinal sekalipun dalam proses pembangunan di desa. Sungguhpun demikian,ada satu hal yang luput. Dalam konteks inklusivitas aspirasi-aspirasi publik, pelibatankelompok marjinal masih sebatas pada satu kategori sosial saja, yakni penyandangdisabilitas. Inklusivitas pun menjadi paradoks manakala maknanya dipersempit dankeanggotaan (membership) dari kelompok ini sekadar pada kelompok difabel. Padahal,perempuan dan petani dalam konteks Sidorejo juga menjadi bagian dari kelompok rentan didesa.

Page 33: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

Pada titik variasi yang lain, Desa Cangkudu memperlihatkan corak kepemimpinan yangkurang responsif terhadap tuntutan-tuntutan dari warga, namun menjalankan akuntabilitasmelalui reformasi birokrasi pemerintahan desa. Kritik terhadap reforma birokrasi diCangkudu terutama ditujukan pada adalah absennya partisipasi publik dimana reformasibirokrasi yang berjalan relatif baru menyentuh aspek administrasi publik. Sebagian wargamerasa, reformasi birokrasi di Cangkudu belum mendorong keterbukaan pemerintah desaterhadap inisiasi maupun usulan warga. Banyak warga merasa tidak pernah dilibatkandilibatkan dalam proses musyarah desa dan kurang mengetahui informasi terkait kebijakandesa termasuk APBDES.

Selain itu dampak reforma birokrasi belum sepenuhnya dirasakan manfaatnya olehsebagian warga. Sebagian warga justru merasa langgam perubahan masih bersifat artifisialdan memunculkan birokratisasi layanan publik yang cenderung kaku. Hasilnya, institusi desayang secara teknokratis dapat diandalkan, namun hanya sebatas pada kapasitasmemperkuat dirinya untuk menjadi handal di level administratif. Di sisi lain, institusi desagagap dalam memainkan perannya untuk memediasi aktor-aktor pemburu rente bisnislimbah pabrik dan isu-isu ekonomi politik berkaitan dengan kehadiran ekonomi industri didesa ini. Di titik ini, nampak adanya geliat organisasi masyarakat sipil di desa yang seolah-olah berdinamika, namun sebenarnya hanya menjadi instrumen penyokong pebisnis limbahpabrik yang saling bersaing.

Terakhir, Desa Panggungharjo memberikan gambaran menarik tentang kepemimpinan desayang responsif dan membuka ruang partisipasi warga di satu sisi dan di sisi lain, digerakkanoleh inisiatif warga yang kuat. Sama halnya dengan Desa Cangkudu yang memiliki karakterurban yang kuat, Desa Panggungharjo memiliki cukup banyak prasyarat mengenai hadirnyainstitusi masyarakat sipil yang menopang inisiatif warga yang kuat. Di antara prasyarattersebut, misalnya tingkat pendidikan, kehadiran kelas menengah yang peduli terhadappembangunan desa, dan organisasi warga non korporatis yang dinamis. Di samping itu, satuhal yang penting adalah latar belakang sosial kepala desa yang lama berinteraksi danmenjadi bagian dari masyarakat sipil di desa dengan kombinasi antara basis kultural santri,aktivis desa, dan basis intelektual sarjana. Perpaduan tersebut menjadikan corakkepemimpinan yang dihadirkan memiliki kapasitas untuk merespons kepentingan warga danmembuka diri bagi perluasan ruang-ruang publik di desa.

Bagaimanapun dari semua desa tersebut, peluang dan struktur kesempatan politik yangdiberikan oleh UU Desa dalam konteks demokratisasi memberikan aksentuasi yang beragamdi masing-masing desa. Ada desa yang mampu memanfaatkan struktur kesempatan politikmelalui UU Desa untuk mendorong politik partisipatoris di desa dalam tata kelolasumberdaya bersama (air bersih dan aset wisata desa) serta mendorong inklusi sosial didesa. Di sisi lain, ada pula desa yang cenderung menutup diri dari perubahan danterkungkung oleh birokratisme dan kapasitas politik yang lemah berhadapan dengan aktorsupra desa.

Page 34: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

D. Simpul Wacana

Ide demokrasi komunitarian sebagai pilar self-governing community berpijak padapentingnya mempromosikan partisipasi warga dalam urusan publik, pemerintahan, danpembangunan di level komunitas. Melampaui garis batas formalitas, demokrasi semacam inimengutamakan pentingnya perluasan ruang publik, aktivasi peran kelompok-kelompoksosial, forum-forum warga, dan jaringan antar kelompok. Tujuannya, tak hanya untukkepentingan self-help kelompok itu sendiri, namun juga sebagai instrumen awarenesswarga, civic engagement, dan partisipasi dalam urusan pemerintahan di level komunitas(IRE, 2002). Dari hasil temuan riset di atas, nampak adanya derajat partisipasi publik yangdipotret dari sejauh mana kepemimpinan di desa membuka peluang bagi demokrasi di araslokal. Dalam konteks itu, pengaruh tipe kepemimpinan ini memberikan warna yang beragamdan tentu saja saling berkelindan dengan dinamika representasi dan inisiatif warga.

Desa dengan tradisi kepemimpinan parokial yang kuat cenderung mendominasi formasikepentingan publik dan menutup berkembangnya isu-isu publik yang lebih inklusif di desa.Ini juga diperparah oleh terbatasnya ruang-ruang publik di desa dan tidak berkembangnyaforum-forum alternatif kewargaan. Namun di sisi lain, arah transformasi kepemimpinanyang akomodatif bagi formasi kepentingan publik sekaligus mendorong perluasan ruang-ruang publik juga menunjukkan optimisme meski seringkali diwarnai oleh corakkepemimpinan yang lemah. Sungguh pun demikian, variabel lain seperti inisiatif warga yangkuat dan bekerjanya institusi representasi politik mampu menutupi kelemahan dari sisikepemimpinan politik. Corak kepemimpinan yang berlangsung di masing-masing desa takberdiri dalam ruang hampa. Ada kepemimpinan desa yang lahir sebagai imbas dari jenuhnyamasyarakat pada monopoli kekuasaan desa oleh trah balung lurah ataupun penggunaaninstrumen kekayaan (resources) semata dalam memenangkan politik elektoral di desa.Meski tak ideal dan cenderung bercorak soft governance, corak kepemimpinan semacam itumemungkinkan ide-ide perubahan dan partisipasi publik yang lebih luas dapat berlangsung.

Page 35: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

Bab 3Memperkuat Representasi Warga

A. Representasi Partisipatoris-DeliberatifKonflik agraria antara perusahaan dan warga Desa Ringinrejo sudah terjadi sejak tahun 90-an. Saat itu lahan milik perusahaan semen PT. Semen Dwima Agung yang tidak digunakan,diolah kembali oleh warga. Sejak mengolah lahan tersebut, taraf penghidupan wargameningkat. Kondisi tersebut mendorong para petani penggarap melakukan klaim atas lahantidur milik anak perusahaan korporasi global Holcim itu. Untuk memperjuangkan klaimlahan perkebunan tersebut, warga membentuk paguyuban petani. Dalam melakukanadvokasi, paguyuban petani juga tidak berjalan sendiri. Mereka membangun jejaringadvokasi dengan organisasi non pemerintah seperti ELSAM dan Konsorsium PembaruanAgraria (KPA). Bersama dengan lembaga non pemerintah tersebut, paguyuban melakukanupaya klaim lahan baik ke Pemda Blitar, Kementerian Kehutanan, bersidang di PengadilanTata Usaha Negara (PTUN), hingga bernegosiasi dengan perusahaan semen Holcim di Swiss.

Cerita di Ringinrejo tersebut memantik pertanyaan kritis, mengapa kehadiran lembaga-lembaga representasi (perwakilan) formal belum dapat memberikan makna berarti bagiperjuangan aspirasi warga di tingkat lokal? Padahal lembaga-lembaga tersebut telahdibekali kewenangan yang kuat, termasuk menjadi saluran perwakilan warga dalammemperjuangkan isu-isu publik sebagai keputusan politik di level desa. Terbitnya UU Desasesungguhnya menyediakan peluang bagi Badan Permusyawaratan Desa (BPD), sebagaiagen representasi formal desa untuk meningkatkan peran strategisnya.1 UU Desasebenarnya lahir dalam semangat reformasi, yakni sebagai koreksi atas sistem korporatiswarisan pemerintahan Orde Baru. UU ini mencoba menciptakan terobosan baru,diantaranya menekankan agar kekuasaan di desa dikelola dengan cara-cara demokratik(Arie Sujito, 2016).2

Kasus tersebut sesungguhnya merefleksikan gambaran tentang tantangan lembagarepresentasi formal desa yaitu BPD paska terbitnya UU Desa. Meski struktur peluang yangdisediakan oleh UU Desa cukup memadai, namun tak serta merta mendorong BPD dapatmenghadirkan ruang-ruang deliberasi di tingkat desa. Tidak mengherankan apabila wargamencari saluran representasi alternatif yang bersifat informal. Munculnya representasi

1 Sebagai parlemen desa, BPD memiliki posisi strategis karena tidak lain sebagai lembaga representasi politikformal, dengan tugas legislasi yakni legislasi (membuat peraturan desa), budgeting (turut menyusun anggarandesa) dan kontrol atas pemerintah desa.2 Dalam Undang-Undang tersebut, substansi demokrasi deliberatif dikenalkan, yang tercermin dari hadirnyaklausul pengaturan tentang BPD dan Musyawarah Desa (Musdes).

Page 36: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

informal ini terjadi karena agenda-agenda publik yang dirumuskan warga belumsepenuhnya mendapat perhatian pemerintah desa maupun BPD sebagai lembagaperwakilan formal. Pada titik inilah representasi informal perlu mendapatkan ruang sebagaialternatif kanal bagi warga dalam mendorong isu-isu publik di level desa. Kondisi inimemunculkan kebutuhan mencangkokkan elemen partisipatoris dari representasi informalke dalam format representasi formal yang bercorak deliberatif. Ringkasnya, tantangantersebut hendak dijawab dengan menghadirkan perspektif partisipatoris-deliberatif dalammenguji praktik-praktik representasi di tingkat desa.

Oleh karena itu, bab ini hendak melihat format representasi semacam apa yang terbentukdari dialektika antara yang formal dan informal. BPD sebagai lembaga representasi formalmaupun ruang-ruang representasi informal yang berciri partisipatoris, hendak diuji melaluipraktik-praktik representasi desa: seberapa jauh keduanya mampu menghadirkan ruang-ruang deliberasi bagi warga. Berpijak pada kerangka kerja kajian ini, pengujian aspekrepresentasi tersebut difokuskan pada tiga arena: pembentukan kepentingan publik,perluasan ruang publik, dan inklusivitas (keterbukaan) terhadap aspirasi-aspirasimenyangkut urusan publik. Dengan menghadirkan kerangka partisipatoris-deliberatif, kitabisa mendapatkan potret bekerjanya praktik-praktik demokrasi lokal ala warga desa secarautuh.

Kasus Desa Ringinrejo, merupakan satu dari sekian ragam problem representasi yangdiangkat dalam bab ini. Berangkat dari narasi di 10 desa, menunjukkan sejumlah variasitemuan penting tentang aspek representasi dalam kajian ini. Sebagian besar desamenunjukkan praktik-praktik representasi formal oleh BPD masih bekerja dalam logikanormatif. Dengan nalar demikian, efektifitas kinerja represetasi tentu saja tidak optimaldalam pembentukan kepentingan publik. Begitu pula, ada desa yang menjalankan praktikrepresentasi formal secara inovatif yang mampu melampaui logika normatif denganmemanfaatkan ruang-ruang informal di desa, sehingga fungsi representasi dapat bekerjamaksimal. Sementara itu, di kutub berseberangan, terdapat pula lembaga-lembagarepresentasi formal yang bekerja sangat minimal, sehingga justru membuka ruang bagimenguatnya kinerja reprsentasi informal. Keseluruhan variasi tersebut, tentunya menjadikekayaan pembelajaran yang disuguhkan dalam bab ini.

B. BPD dan Musyawarah Desa: Rute Formal Deliberasi Demokrasi DesaUU Desa secara normatif mendefinisikan BPD sebagai lembaga yang melaksanakan fungsipemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkanketerwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.3 Dalam perkembangannya,

3 BPD sebagai lembaga representasi di desa secara nomenklatur (Badan Permusyawaratan Desa) memang barudikenal pada tahun 2004 pasca berlakunya UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sebelumberlakunya UU tersebut, lembaga perwakilan desa adalah Badan Perwakilan Desa mengacu pada UU Nomor 22Tahun 1999. Meski nomenklaturnya berubah sebetulnya tugas kedua lembaga tersebut hampir sama, hanya

Page 37: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

lembaga perwakilan desa ini mengalami dinamika tersendiri dalam menjalankan fungsiperwakilan. Temuan dalam riset ini menunjukkan, derajat representasi formal BPD ternyataditentukan oleh: pertama, pola relasi BPD dengan pemerintah desa dan warga. Pola relasiditandai dengan seberapa jauh BPD terlibat (atau dilibatkan) dalam menciptakan ruang-ruang deliberasi. Pola relasi BPD dengan pemerintah desa sangat dipengaruhi oleh settingsosial-budaya setempat dan derajat ketergantungan BPD terhadap pemerintah desa.4

Kedua, kapasitas politik dan teknis-manajerial BPD. Kapasitas politik ditandai dengankemampuan BPD dalam mengelola ragam aspirasi warga yang berkembang terutamamelalui saluran komunikasi formal, dan saluran informal maupun menginisiasi inovasitertentu. Kapasitas politik BPD ini dalam sejumlah kasus juga bertautan erat dengan polarelasi BPD dengan pemerintah desa dimana posisi politik BPD dihadapan pemerintah desa.Sementara kapasitas teknis-manajerial BPD ditandai dengan kapasitasmenginstrumentasikan ragam aspirasi tersebut menjadi kebijakan publik di tingkat desa.Kapasitas ini ditentukan oleh tingkat pemahaman dan pengetahuan anggota BPD.

Pola Relasi Representasi FormalDalam kajian ini, narasi tentang relasi BPD dengan pemerintah desa dan wargamenunjukkan pola variasi yang tinggi. Desa Sidorejo, Cangkudu, dan Ngadisari menunjukkanrelasi BPD dalam posisi inferior dihadapan pemerintah desa. Di Sidorejo misalnya, kelahirandesa inklusi di Sidorejo bukan merupakan aspirasi yang diperjuangkan oleh BPD sebagailembaga perwakilan rakyat desa. Melainkan, di dorong oleh satu gerakan masyarakat sipildalam hal ini komunitas difabel yang secara langsung bernegosiasi melakukan kerjasamadengan pemerintah desa. Dalam kerangka kerja sebagai lembaga perwakilan, BPD Sidorejomasih bekerja dalam nalar normatifnya. Setiap bulan BPD mengadakan rapat-rapat internaluntuk melihat dan menilai kinerja pemerintah desa. Secara rutin pula BPD melakukankegiatan penjaringan aspirasi di masing-masing ‘kring’ atau ‘daerah pemilihan.

Sesungguhnya penjaringan aspirasi tersebut merupakan langkah maju, dimana anggota BPDsetempat pro-aktif turun ke bawah. Hanya saja, pola komunikasi berbasis kewilayahan yangdilakukan BPD pada akhirnya gagal menangkap aspirasi sektoral warga. Kepentingan wilayahkerap kali mengabaikan kepentingan misalnya, kelompok tani, para pengrajin, dan peternakyang sebenarnya juga membutuhkan perhatian. Bagi sebagian warga, hal tersebut justrupersoalan fundamental yang mendesak untuk dikerjakan karena berdampak langsung pada

saja ketika berstatus sebagai “Perwakilan” Badan Perwakilan Desa memiliki wewenang untuk mengusulkanpemberhentian kepala desa kepada bupati. Sedangkan Badan Permusyawaratan Desa tidak memilikikewenangan. Banyak yang berpandangan bahwa nomenklatur “permusyawaratan” telah mengkebiriwewenang BPD karena tidak lagi memiliki hak untuk mengajukan pemberhentian kepala desa. namun, denganUU Desa sebetulnya BPD memiliki peran yang lebih luas dalam menjalankan representasi warga danpengawasan kinerja kepala desa. BPD berhak melakukan pengawasan atas kinerja kepala desa, termasukmempertanyakan kebijakan kepala desa apabila tidak sesuai dengan aspirasi warga.4 Setting berupa lanskap sosial berwatak komunitarian (guyub, gotong-royong kebersamaan), struktur politikbercorak kekerabatan, fenomena orang kuat (strongman), dan sebagainya.

Page 38: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

kesejahteraan warga. Sayangnya, persoalan tersebut belum ditangkap oleh BPD sebagaipersoalan serta potensi yang perlu dikelola. Pada gilirannya muncul kecenderungan BPDhanya mengikuti agenda pemerintah desa yang cenderung mendorong program desainklusi.Di sisi lain, masyarakat desa sendiri belum memfungsikan BPD sebagai lembaga perwakilanyang secara efektif bisa menjadi mitra kerja pemerintah desa. Warga Sidorejo melihatadanya ruang dialog yang semakin terbuka dan langsung antara pemerintah desa denganwarganya sehingga memunculkan kecenderungan BPD “dilewatkan” oleh masyarakat.Melalui komunikasi secara langsung dalam ruang-ruang demokrasi yang tersedia di desa,aspirasi yang ‘sektoral’ biasanya kerap disuarakan. Namun karena dianggap ‘tidak jelas’ –karena tidak mewakili wilayah--, aspirasi yang disampaikan tersebut kerap kali diabaikan.

Situasi serupa juga terdapat di Desa Cangkudu, yang mana posisi BPD dihadapanPemerintah Desa terkesan inferior dimata warga. Kesan tersebut berangkat dari faktabahwa jejak kinerja perwakilan BPD belum dirasakan warga. BPD Cangkudu hanya bekerjadengan nalar normatif (memaknai aturan secara tekstual) tanpa melakukan pemaknaanmendalam atas tugas dan fungsinya. Nalar normatif tersebut tampak dari peran yangdilakukan BPD Cangkudu hanya menyelenggarakan forum-forum formal seperti Musdes danMusrenbangdes, tanpa melibatkan banyak warga. Padahal, warga terbiasa menyampaikanaspirasinya melalui perwakilan RT, RW atau tokoh masyarakat untuk disampaikan dalamforum-forum tersebut. Aspirasi warga tidak secara langsung dapat diserap dalam forum-forum resmi seperti musrenbangdes ataupun musyawarah desa. Situasi tersebut rentanterhadap bias elit manakala keputusan publik diambil dalam forum-forum resmi. Takmengherankan jika warga Cangkudu memiliki persepsi bahwa BPD adalah bagian daripemerintah desa.

Situasi yang lebih ekstrim terjadi di Desa Ngadisari. Representasi formal BPD tak cukup kuatmengimbangi kapasitas pemerintah desa saat dipimpin oleh Supoyo dan kini oleh istrinyayang juga ditopang oleh peran politik Supoyo. Dalam hal ini Supoyo lebih mengandalkanrepresentasi langsung dan cenderung memangkas peran representasi inistitusi ini. Kondisitersebut tergambar dengan baik dengan lahirnya Perdes No. 2 Tahun 2015 tentang TataCara Mutasi Tanah Desa Ngadisari. BPD tak memiliki banyak peran selain menjalankanfungsi pengawasan atas implementasi peraturan tersebut.5 Selain itu secara sosiologis,masyarakat memiliki saluran representasi langsung yang bisa jadi jauh lebih efektif, sepertirembug desa dan Safari Wulan Kapitu. Representasi formal BPD bisa jadi tak relevan bagimasyarakat Ngadisari yang memiliki tradisi demokrasi langsung yang lebih kuat. Dalam

5 BPD bisa jadi hanya sebagai ‘tukang stempel’ atas rancangan peraturan yang diajukan pemerintah desatersebut. Dalam praktek kepemimpinannya, Supoyo yang juga mantan kepala desa, lebih banyak turunlangsung ke masyarakat. Dia juga cenderung memotong peran BPD dengan asumsi bahwa dirinya mampumenyerap aspirasi warganya secara langsung tanpa melalui BPD. Ketimbang mendengarkan aspirasi yangdisampaikan BPD, dia lebih memilih untuk turun langsung ke masyarakat.

Page 39: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

konteks itu, Desa Ngadisari memiliki cara sendiri dalam menjalankan demokrasi desa.Kondisi tersebut membentuk kinerja representasi formal BPD Ngadisari sangat minimaldalam membuka ruang-ruang deliberasi.

Kondisi yang berlawanan ditunjukkan dengan kasus Desa Umbulharjo dan Panggungharjo,dimana BPD dapat membangun kesetaraan peran dengan pemerintah desa. BPD di keduadesa tersebut berhasil membangun engagement (pelibatan) dengan pemerintah desa dalammengelola urusan publik desa. Di Desa Umbulharjo, BPD berhasil memainkan fungsi kontroldalam pemerintahan dan pembangunan di desa. Hal itu ditampakkan dengan kasusketegangan antara BPD dan Kepala Desa, saat BPD menagih RPJMDesa yang tak kunjungrampung disusun kepala desa terpilih. Konflik tersebut tidak berlarut dan justru menjadimomentum menata kembali relasi kelembagaan antara BPD dan Pemerintah Desa. Paskakonflik, hubungan BPD dan Kepala Desa jauh lebih harmonis dan produktif. Hal ini menjadimodal penting bagi Umbulharjo dalam menyelesaikan isu-isu publik yang berkembang dimasyarakat.6 Salah satu isu publik yang paling menonjol di desa setempat adalahpengelolaan air bersih. Oleh karena itu, berdasarkan usulan warga, BPD bersamapemerintah desa menginisiasi kebijakan pembentukan BUMDesa yang diorientasikanmengelola kebutuhan air bersih bagi warga. Untuk keperluan itu maka dilakukan musdesuntuk mendirikan BUMDesa. Musdes tentang pendirian BUMDesa ini merupakan musdespertama yang diselenggarakan oleh BPD.7 Musdes ini menjadi tonggak pentingpelembagaan demokrasi di desa karena merupakan praktek demokrasi pertama di DesaUmbulharjo yang melibatkan partisipasi masyarakat.

Demikian pula di Desa Panggungharjo, relasi BPD dan Pemerintah Desa berjalan secarasinergis. Sinergi antara BPD dan pemerintah desa dibangun dari rekatan emosi dan sosialmasyarakat Desa Panggungharjo. Forum-forum deliberasi desa, mulai di tingkatan RT, Dusundan Musyawarah Warga di tingkat desa menjadi medium mempertemukan gagasan danmenjadi arena membangun konsensus antara warga dengan pemerintah desa dan BPD.Produk dari sinergi BPD dan Pemerintah Desa tercermin dalam APBDes yang berorientasipada dimensi pelayanan dan perlindungan sosial warga desa untuk mencapai visi desamandiri, sebagai desa sehat, desa pintar dan desa budaya. Pada titik ini, BPD Panggungharjotelah memanfaatkan secara maksimal ruang deliberasi yang menjalankan fungsirepresentasi. Bahkan, jejak representasi BPD Panggungharjo dapat dilihat dari munculnyaperaturan desa inisiatif BPD.

Dalam konteks yang sedikit berbeda, relasi antara pemerintah desa dan BPD Punjulharjomemang melibatkan BPD. Namun pelibatan BPD hanya sebatas menjalankan fungsi secara

6 Banyak isu publik yang berkembang di Desa Umbulharjo. Isu-isu publik tersebut meliputi pengelolaan air baikair bersih, penambangan pasir, hunian tetap untuk warga korban erupsi Merapi, desa tanggap bencana, danpengelolaan kegiatan wisata.7 Kegiatan musdes tersebut dihadiri kades, perangkat desa, BPD, dan seluruh kadus, serta perwakilanperempuan, pemuda dan tokoh masyarakat.

Page 40: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

normatif seperti membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama kepaladesa, serta menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa. Apalagi posisi BPDterlihat lemah dengan terbitnya Peraturan Bupati Rembang yang mengatur bahwapemerintah desa tetap bisa melanjutkan program-programnya, sekalipun BPD tidakmenyetujui rancangan program yang diajukan oleh pemerintah desa. Hal ini bermakna BPDtidak berwewenang untuk menyetop program yang sudah dibuat Pemerintah Desa.

Dengan posisi politik demikian, fungsi representasi formal oleh BPD Punjulharjo juga tidakbekerja dengan optimal. BPD Punjulharjo misalnya, tidak menyelenggarakan musdes karenamerasa tidak punya kewenangan untuk mengundang warga atau lembaga desa yang ada.Tugas untuk menyelenggarakan musdes kemudian diberikan kepada pemerintah desa.Meski demikian, BPD menempuh strategi penjaringan aspirasi melalui forum warga sepertipertemuan RT dan RW oleh masing-masing anggota BPD. Akhirnya aktivitas BPD hanyamengadakan pertemuan internal yang rutin digelar setiap bulannya. Pertemuan internalBPD biasanya membahas isu yang muncul dan dianggap penting di masyarakat. Masalahbiasanya digali oleh anggota BPD melalui forum-forum warga. Pola representasi demikian,pada akhirnya memang dapat menjembatani kepentingan warga terhadap pemerintah desayang ditandai dengan menjadikan BPD sebagai saluran aspirasi masyarakat terkaitpengelolaan Karang Jahe Beach.

Namun BPD Punjulharjo kurang berfungsi dalam melakukan pengawasan kinerja kepaladesa. Ketika terjadi kasus keuangan yang melibatkan sekretaris desa, fungsi BPD sebagaipengawasan kinerja kepala desa sulit dilakukan. Laporan keuangan hanya bisa diakses olehBPD pada saat rapat pertanggungjawaban. Mandulnya fungsi BPD Punjulrejo bisa dipahamidengan kuatnya politik kekerabatan di Punjulharjo. Hampir seluruh orang yang menempatijabatan strategis di Desa Punjulharjo masih merupakan teman, kerabat dan tim sukseskepala desa terpilih. Bahkan salah satu anggota BPD adalah tokoh yang dekat dengan kepaladesa sudah sejak awal diproyeksikan dan dipersiapkan untuk menjadi anggota BPD. Dalamproses pemilihan pun kemudian diatur agar dia terpilih dengan mudah dan tidak melaluiperdebatan yang panjang.

Temuan dalam kajian ini juga menunjukkan variasi relasi BPD dengan warga desa yang maumelibatkan BPD meski dalam nalar normatif sebagaimana di Desa Nglanggeran dan DesaMekarjaya. Nalar normatif tersebut dibangun dari setting sosial masyarakat setempat yangmenempatkan nilai-nilai komunitarian (gotong royong, guyub, dan kebersamaan) sebagaidasar dalam menata kehidupan publik. Di Desa Nglanggeran, BPD dinilai kredibel, mewakiliaspirasi warga, dan memiliki kemampuan saat menanggapi isu rencana masuknya investasike desa dalam kerangka pengelolaan situs gunung api purba. Kondisi tersebut ditunjukkandengan sikap BPD yang mendukung aspirasi warga. Sayangnya , BPD dan juga pemerintahdesa dinilai lambat merespon inisiatif warga yang tergabung dalam Kelompok Sadar Wisata

Page 41: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

(Pokdarwis) yang mendesakkan terbitnya peraturan desa tentang perlindungan aset dantanah warga.8

Meski demikian, di mata warga, BPD tetap dipandang sebagai pihak yang harus dirangkuldalam pengembangan situs gunung api purba tersebut. Warga yang dimotori Pokdarwistetap menjadikan BPD salah satu saluran aspirasi warga, selain pemerintah desa dan tokohmasyarakat setempat. Hal itu terlihat manakala Pokdarwis hendak mengosiasikan idemembebaskan situs gunung api purba dari kegiatan pertanian warga. Berkat dialog yangbersifat kekeluargaan yang melibatkan BPD, pemerintah desa dan kelompok warga, jalandamai itu membuahkan kesepakatan.9 Pada titik ini terlihat bahwa aspirasi pengelolaansitus gunung api purba disalurkan melalui BPD atau forum informal desa guna memenuhiderajat inklusifitas (keterbukaan) dan bernilai publik.

Situasi serupa juga ditunjukkan di Desa Mekarjaya yang oleh warga dinilai sebagai lembagadesa terpercaya dan mewakili warga manakala menanggapi usulan pembangunan lapangansepak bola.10 Bagi warga Mekarjaya, BPD dipandang sebagai aktor strategis terkaitkebijakan desa sehingga mereka menggandeng BPD untuk mendukung usulan tersebut.Usulan tersebut diperjuangkan baik melalui lembaga-lembaga formal, seperti BPD danpemerintah desa dan terutama forum-forum informal warga yang saling terhubung satudengan lainnya. Fenomena warga menggandeng BPD dalam kasus lapangan sepak bolamenunjukkan adanya kesadaran warga tentang nilai kepublikan dan pentingnyaketerbukaan untuk melibatkan semua pihak, termasuk lembaga representasi formal sepertiBPD.

Macetnya representasi formal oleh BPD ditunjukkan dalam kasus di Desa Gulon dan DesaRinginrejo. Kemacetan fungsi perwakilan oleh BPD di kedua desa tersebut menunjukkanvariasi pola relasi yang berbeda. Pola relasi BPD Gulon dengan pemerintah desa cenderungmenempatkan BPD sebagai alat jejaring kekuasaan elit desa yang diwarnai dengankentalnya politik kekerabatan. Dalam kasus pembangunan rumah susun (rusun), idetersebut disalurkan secara formal melalui BPD tanpa melalui proses diskusi dengan warga.Ide tersebut tidak melalui pengujian sebagai wacana yang diperbincangkan warga, misalnyaterkait dengan kemanfaatan atau studi kelayakan proyek tersebut. BPD Gulon hanya

8 Usulan tersebut dilatabelakangi kekhawatiran warga tentang lahan-lahan di kawasan situs gunung api purbaakan jatuh ke tangan investor, jika tidak diproteksi yang berakibat mengancam hajat hidup warga Nglanggeran.Kesepakatan warga tersebut sudah berulangkali disampaikan dalam forum-forum yang melibatkan perwakilandari Pemerintah Desa dan BPD, namun belum ditindaklanjuti dengan penerbitan peraturan desa.9 Pihak Pokdarwis sepakat mengganti atau membeli kayu-kayu yang sudah berukuran besar kepada wargayang menanamnya. Mereka pada prinsipnya masih bisa berkebun di kawasan tersebut, tetapi tidak lagi bisamenebang secara sembarangan kayu-kayu yang telah mereka tanam.10 Sudah sejak lama warga masyarakat Desa Mekarjaya mengidamkan lapangan sepak bola. Sampai padatahun 2002 pembangunan lapangan sepak bola belum terwujud. Terlebih tanah desa ( tanah sara ) yangluasnya hanya dua hektar harus dibagi desa Cianaga. Maka keinginan untuk membangun lapangan sepak bolasemakin sulit direalisasikan, karena tanah desa yang diharapkan untuk lapangan sepak bola berkurang. Namunsemangat warga untuk mewujudkan cita cita membangun lapangan sepak bola tetap tinggi.

Page 42: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

menyuarakan ide kepala desa sebagai bagian dari elit berkuasa yang mendominasikehidupan politik di Desa Gulon secara turun temurun. Ide tersebut juga tidak banyakdisosialisasikan BPD kepada publik untuk menjaring respon balik warga terhadap rencanatersebut. Situasi tersebut menggambarkan kualitas representasi BPD yang tidak mewakiliaspirasi warga dimana warga lebih menginginkan pemerintah desa melakukan programbedah rumah.

Sedangkan di Desa Ringinsari, representasi formal oleh BPD benar-benar terlihat mandeg.Dalam kasus klaim lahan perusahaan oleh warga, lembaga formal desa, baik pemerintahdesa dan BPD, sungguh tidak dapat diandalkan sebagai saluran aspirasi warga. Kendatiwarga telah membuat tekanan publik, BPD cenderung menghindari resiko untuk berperandalam penyelesaian konflik tersebut. Padahal penyelesaian konflik lahan tersebut menjadigantungan hidup ratusan warga di Ringinrejo. Situasi ini mendorong warga untuk mencarisaluran representasi alternatif di luar saluran formal dengan membentuk paguyuban. Wargajuga membangun jejaring advokasi dengan lembaga-lembaga non pemerintah untukmelakukan proses negosiasi dengan perusahaan maupun upaya hukum.

Potret Kinerja Representasi Formal: Problem KapasitasKinerja representasi BPD dipengaruhi oleh kapasitas politik maupun teknis-manajerialberupa daya dukung pengetahuan anggotanya. Senada dengan temuan dalam kajian ini,keterbatasan kapasitas ternyata masih menghinggapi sebagian besar BPD sebagai wadahrepresentasi formal. Selain dipengaruhi tingkat pemahaman terhadap UU Desa, lemahnyakapasitas BPD juga dipengaruhi oleh posisi politik BPD yang sangat bergantung padapemerintah desa. Kondisi ini dialami BPD Desa Cangkudu, Mekarjaya, Sidorejo, Ringinrejo,Punjulharjo, Gulon dan Ngadisari. Sementara BPD Desa Nglanggeran dan Desa Umbulharjo,memiliki kapasitas politik yang kuat, namun menghadapi tantangan berupa lemahnya dayadukung kapasitas pengetahuan. Sedangkan kondisi kapasitas ideal BPD, tergambar denganbaik oleh BPD Desa Panggungharjo yang memiliki kapasitas andal baik secara politik maupunteknis.

Di Desa Cangkudu, kapasitas politik BPD dalam mengelola keragaman aspirasi wargamenjadi persoalan bagi berjalannya peran dan fungsi BPD. Kapasitas politik BPD belummampu mengimbangi kapasitas pemerintah desa. Namun demikian kapasitas pengetahuanBPD Cangkudu terhadap peran dan fungsinya telah tumbuh. BPD Cangkudu misalnya telahmengundang perwakilan warga untuk hadir dalam forum-forum formal seperti musrenbangataupun musyawarah desa yang dihadiri perangkat desa, tokoh masyarakat, perwakilanpemuda dan tokoh agama yang diundang secara resmi oleh pihak BPD. Meski demikian,kapasitas tersebut belum sepenuhnya efektif menjadi modal BPD dalam mengawal agenda-agenda publik. Kondisi tersebut berakar dari, pemahaman anggota BPD terhadap fungsinyasebagaimana dimandatkan UU Desa masih bersifat normatif.

Page 43: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

Problem kapasitas BPD di Desa Gulon kental diwarnai ketergantungan posisi inferior BPDterhadap pemerintah desa. Dilihat dari kualitas sumber daya manusia, BPD Gulonsebenarnya memiliki kapasitas yang cukup memadai.11 Anggota BPD juga cukup memahamitugas dan fungsinya. Namun dalam praktiknya, fungsi BPD yang paling bekerja hanyalahmembahas dan menyepakati rancangan peraturan desa. Sedangkan fungsi representasi danpengawasan tidak dapat berjalan secara memadai lagi karena lemahnya kewenangan. Selainaspek lemahnya kewenangan dalam menjalankan tugas representasi, BPD juga menghadapimasalah berupa: Pertama, adalah persoalan anggaran. Minimnya anggaran operasionalyang dialokasikan di dalam APBDes, membuat BPD kini tak lagi mampu melakukanpertemuan-pertemuan secara rutin, apalagi jika harus mengundang pemerintah desamaupun warga.12 Kedua, BPD tidak memiliki penghasilan tetap (siltap), sebagaimanaditerima perangkat desa. Hal ini berdampak BPD sebagai lembaga legislatif desa tidakdiminati masyarakat.13 Tanpa penghasilan tetap yang memadai, BPD cenderung menjadilembaga yang dianggap sebagai “pengabdian” dan mengharapkan komitmen moralanggotanya, di sisi lain masyarakat menuntut dedikasi dan disiplin kerja mereka.Keseluruhan faktor tersebut membuat BPD tidak dapat mengimbangi kapasitas pemerintahdesa. Apalagi BPD Gulon bekerja dalam setting sosial dimana politik kekerabatan di Gulonmenjadikan posisi BPD sebagai alat dari elit yang berkuasa.14

Di Desa Mekarjaya, problem kapasitas BPD berakar dari proses rekrutmen yang tidakmenarik minat warga untuk berkiprah di lembaga perwakilan tersebut. Banyak kandidatyang digadang-gadang untuk menjadi wakil warga, namun banyak pula yang menolak untukdicalonkan menjadi anggota BPD. Sebelas anggota terpilih BPD umumnya merasa“terpaksa”, karena sesungguhnya tidak ada minat menjadi anggota BPD. Namun karenatelah dimusyawarahkan di tingkat dusun, mereka akhirnya bersedia menjadi anggota BPD.Alhasil, Anggota BPD terpilih sebenarnya tidak memenuhi kriteria kelayakan anggota BPD.Dalam kasus pembangunan lapangan sepak bola misalnya, tak satupun anggota BPD yangmenguasai pengetahuan teknis bangunan, sehingga tidak mampu mengawasi teknispembanguan lapangan sepak bola. Demikian kapasitas lainnya seperti menguasai

11 Terdapat lima anggota BPD yang berprofesi menjadi guru. Empat di antaranya berpendidikan sarjana (S-1).Di desa, para guru juga dikenal sebagai tokoh masyarakat dan intelektual yang seringkali dijadikan rujukan olehmasyarakat.12 BPD bisa mengusulkan kenaikan anggaran dalam APBDes, namun mereka mengaku tidak mampumemaksakan hal ini kepada pemerintah desa karena tiadanya formula anggaran yang dapat dijadikanpegangan. Sebagai gambaran, anggaran APBDes Gulon 2015 untuk BPD selama setahun hanya Rp 9.8 jutauntuk keperluan sidang/rapat, perjalanan dinas, dan belanja barang dan jasa.13 Hal ini berbanding terbalik dengan minat mendaftar menjadi perangkat desa (staf dan kepala dusun).Karena kurangnya minat terhadap jabatan BPD, pengisian anggota BPD pun tidak berlangsung melaluistandard seleksi yang ketat dan ideal.14 Dominasi “Balung Gede”, menjadi konteks politik di Gulon yang turut melemahkan kapasitas politik BPD.Ketua BPD Gulon merupakan kerabat dekat kepala desa yang acapkali mengambil keputusan sepihak tanpamembuka diskusi dengan anggota BPD yang lain.

Page 44: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

manajemen keuangan sehingga tidak bisa memberi umpan balik terkait laporan keuangandesa.

Sebagaimana dengan Desa Gulon, BPD Punjulharjo juga menghadapi masalah serupa berupaketergantungan terhadap pemerintah desa. Sebagai ilustrasi BPD Punjulharjo hanyamengadakan rapat-rapat internal tanpa mengundang atau melibatkan unsur lembaga desaserta tidak mengundang masyarakat karena terkendala anggaran. Dalam hal anggaran, BPDPunjulharjo tidak diberi kewenangan untuk mengelola anggaran tersendiri. Biasanya jikaingin membiayai rapat internal, BPD mengajukan anggaran kepada bagian keuangan desadahulu untuk dicairkan. Kondisi ini menandai tingkat ketergantungan BPD yang tinggiterhadap pemerintah desa. Selain problem daya dukung anggaran, kapasitas pengetahuanBPD terhadap tugas dan fungsinya juga terlihat lemah. Hal ini ditunjukkan dengan adanyapemahaman bahwa wewenang untuk menyelenggarakan musdes sepenuhnya menjadiotoritas pemerintah desa.

Selain kapasitas politik yang kurang memadai, lemahnya kapasitas pengetahuan juga dialamioleh BPD Ringinrejo, Ngadisari, dan Mekarjaya. Pemahaman anggota BPD Ringinrejo akanUU Desa masih sangat terbatas, bahkan mereka belum tahu tentang UU Desa besertatanggungjawab baru BPD menurut UU Desa, termasuk fungsi BPD dalam menyelenggarakanmusyawarah desa. Praktis selama dua tahun pelaksanaan UU Desa belum pernahterselenggara musyawarah desa di Desa Ringinrejo. BPD tidak terlalu aktif dan hanyamengagendakan pertemuan sekali dalam satu bulan yang pada praktiknya belum tentu rutinterlaksana. Salah satu sebab minimnya kiprah BPD, karena kesibukan ketua BPD sehinggasulit mengalokasikan waktu untuk pertemuan. Hal serupa juga dialami oleh BPD Ngadisari.Peran BPD yang semakin penting sejak UU Desa tak banyak berubah di Ngadisari. Selainkapasitas politik lemah karena dominasi orang kuat, BPD juga lemah dari sisi kapasitaspengetahuan. Kewenangan BPD untuk menyelenggarakan musyawarah desa misalnya takdiketahui oleh BPD. Menurut Ketua BPD, setiap ada rapat-rapat atau pertemuan desa BPDselalu diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat. BPD belum memahami bahwalembaga representasi ini juga dapat menyelenggarakan musyawarah desa.

Berbeda dengan ketujuh desa yang ada, BPD Nglanggeran dan BPD Umbulharjo memilikikapasitas politik cukup memadai, namun kurang ditopang dengan kapasitas teknis. BPDDesa Nglanggeran misalnya, saat didesak Pokdarwis untuk menerbitkan peraturan desatentang perlindungan aset warga dan desa dalam konteks pengembangan situs gunung apipurba tak dapat memenuhi aspirasi tersebut. Baik pihak desa maupun BPD mengakui bahwamereka masih menghadapi kendala kapasitas berupa keahlian khusus dibidang legaldrafting(merancang peraturan sesuai dengan kaidah-kaidah hukum) peraturan desa. Selamaini, mereka baru dapat membuat peraturan desa rutin seperti seperti perdes tentangRPJMDesa, RKPDesa, dan APBDesa karena bisa meniru rancangan peraturan desa milik desa

Page 45: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

lain. Disamping itu memang, mereka belum banyak mendapatkan pelatihan dan sosialisasidari Supra-Desa ataupun pihak luar perihal regulasi baru terkait implementasi UU Desa.

Sementara, kapasitas politik dalam mengelola aspirasi warga ditunjukkan oleh BPDUmbulharjo. Selain menjalankan fungsi BPD secara substantif, baik fungsi legislasi (membuatperaturan), representasi dan pengawasan, BPD juga melakukan inovasi dalam menjaringaspirasi warga. Dalam melakukan proses penjaringan ide dan aspirasi warga, anggota BPDUmbulharjo memanfaatkan forum-forum informal seperti rapat-rapat RT yang diadakanoleh masing-masing dusun. Bahkan ketua BPD Umbulharjo menyediakan buku aspirasi yangdiedarkan keliling di seluruh dusun. Masyarakat dapat menuliskan keluhan, usulan, dangagasannya terkait desa pada buku tersebut. Demikian pula, setiap keputusan BPDdisampaikan kembali kepada masyarakat melalui forum-forum tersebut. Untuk mendorongtransparansi internal, BPD setempat mengupayakan seluruh anggotanya mengetahuiprogram-program BPD maupun informasi lainnya pada saat rapat-rapat koordinasi yangdiadakan setiap bulannya. Selain itu BPD juga mengikuti rapat koordinasi yangdiselenggarakan oleh pemerintah desa. Pada kesempatan itulah mereka saling berbagiinformasi baik mengenai program maupun permasalahan yang sedang dihadapi olehmasyarakat. Sayangnya, kapasitas politik tersebut kurang ditopang dengan kapasitas teknis.Dalam hal penganggaran desa misalnya, BPD masih sekedar menyetejui rencanapenganggaran yang telah dibuat. BPD juga belum dilibatkan pada perencanaan teknisprogram dan perencanaan peraturan desa. Situasi ini berakar dari lemahnya kapasitas teknisBPD dalam rangka melakukan pengawasan pada aspek-aspek teknis penyelenggaraanpemerintahan dan pembangunan desa.

Gambaran ideal kapasitas representasi BPD ditunjukkan oleh BPD Panggungharjo yangsecara sinergis berkolaborasi dengan pemerintah desa serta warga. Kapasitas representasiBPD Panggungharjo tergambar dengan baik dengan adanya produk-produk peraturan desainisiatif BPD. Peraturan desa inisiatif BPD Panggungharjo ini menandai sensitifitas BPDterhadap isu-isu publik yang berkembang di kalangan warga. Dalam hal ini, BPDPanggungharjo berhasil menangkap dengan baik aspirasi warga dan selanjutnyamengolahnya menjadi agenda kebijakan desa setelah diuji melalui forum-forum deliberasibaik formal dan informal.

Tidak semua anggota BPD, terlebih warga masyarakat desa, memahami UU Desa. Dibeberapa desa dimana kajian ini dilangsungkan, banyak anggota BPD tidak memilikipemahaman mengenai UU Desa, termasuk fungsi dan tanggungjawab BPD sesuai UU Desa.Selain kurang berfungsinya BPD karena kapasitas terbatas, bahkan mereka tidak proaktif,masyarakatpun merasa saluran aspirasi tidak harus ke BPD. Fungsi representasi juga bisadilakukan pemerintah desa, tokoh masyarakat, dan perangkat dusun seperti ketua RT, RW,maupun kepala dusun. Warga juga merujuk pertemuan-pertemuan warga di tingkat RTmaupun dusun yang mereka hadiri. Pemerintah desa pun seringkali mengamini proses ini

Page 46: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

sebagai proses representasi yang terjadi di desa untuk kemudian disampaikan dalampertemuan-pertemuan desa maupun Musrenbang atau Musdes. Namun kembali lagi padapertanyaan inti bagaimana dengan fungsi representasi formal yang dijalankan BPD?Seberapa berkualitas representasi yang dihasilkan, tanpa ada pihak yang melakukanpengawasan? Bagaimana aspirasi warga sepenuhnya mampu dikawal hingga mencapaisirkuit kebijakan? Pada titik ini, peran BPD sebagai aktor representasi formal perlu ditopangdengan kapasitas yang cukup baik secara politik maupun pengetahuan teknis-manajerial.

C. Rute Representasi Informal: Suplemen Demokrasi DeliberatifAspirasi masyarakat yang selama ini disalurkan melalui BPD maupun pemerintah desaacapkali tidak terkawal secara memadai. Tak mengherankan, eksistensi lembaga-lembagarepresentasi formal desa tengah digugat. Bahkan apatisme mulai menghinggapi warga yangdialamatkan pada lembaga formal tersebut. Telah menjadi pemandangan umum,masyarakat mengungkapkan kekecewaan manakala usulan-usulan mereka lenyap dalamdaftar priotitas pembangunan desa. Mereka menilai BPD tidak benar-benar mendengarkanusulan mereka. Aspirasi warga masih belum mampu dapat “disuarakan (voicing) denganbaik oleh agen representasi (anggota BPD) apalagi diperjuangkan. Akibatnya terbentukperasaan umum dikalangan warga bahwa mereka merasa tidak penting membangunhubungan dengan lembaga formal desa karena dinilai tidak menghadirkan manfaat dankebermaknaan.

Macetnya lembaga representasi formal pada akhirnya memaksa warga untukmenyampaikan gagasan dan aspirasinya dalam wadah lain yang tersedia di desa. Pada titikinilah, warga berupaya mencari kanal alternatif untuk memastikan bahwa agenda-agendapublik sungguh mendapatkan ruangnya dalam arena pengambilan kebijakan. Kanal-kanalalternatif ini dapat berupa forum-forum warga (ritual publik, tradisi), kelompok-kelompoksosial dalam masyarakat desa (baik kelompok kultural, keagamaan, sektoral, maupunkelompok berbasis isu seperti kelompok perempuan, penyandang disabilitas, pemuda, dansebagainya), organisasi sosial seperti LSM, hingga figur-figur kuat di desa, --dikenal sebagaitokoh masyarakat,-- yang acapkali menjadi tumpuan warga.

Ragam kanal alternatif inilah yang sesungguhnya memiliki kontribusi besar dalammenghidupkan dan merawat ruang-ruang deliberasi desa. Ditengah tersendatnya ruterepresentasi formal oleh BPD, kanal informal ini justru mampu menembus kemacetanmenuju ruang-ruang deliberasi desa. Karakter informal itulah justru memuat keunggulantersendiri yakni luwes dan mampu membangun intimasi (kehangatan) antara warga denganpemimpinnya sehingga mampu melampaui sekat-sekat sosial yang ada. Melalui mediasitokoh, kelompok sosial,forum warga, hingga organisasi masyarakat, gagasan, aspirasi, kritikdan usulan memiliki peluang untuk lebih didengar oleh pengambil kebijakan. Kanal alternatifini merupakan wujud representasi informal.

Page 47: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

Apalagi, bagi orang desa, tradisi menyampaikan pendapat lebih banyak dilakukan secarainformal. Forum-forum warga yang berakar dari lokalitas tradisi acapkali menjadi arenainformal yang efektif bagi warga dalam mencurahkan gagasan, menyampaikan aspirasi,bahkan menjadi media menyampaikan kritik. Di tingkat desa, representasi informal acapkalibekerja secara kritis mengangkat isu-isu yang lekat dengan tema kehidupan sehari-hariwarga desa seperti kemiskinan, perjuangan agraria, hak kelompok rentan dan kaum marjinalhingga sumber penghidupan alternatif warga. Oleh karena itu, muncul kebutuhan untukmerekognisi (mengakui) keberadaan lembaga-lembaga lokal yang sejatinya memiliki akartradisi yang menyejarah sebagai representasi alternatif guna memperkuat dan menambahdaya peran dan fungsi BPD.

Corak Representasi InformalSejalan dengan pandangan tersebut, temuan umum dalam kajian ini juga menguatkanpendapat tersebut. Kajian ini menemukan representasi informal justru menjadi tumpuanwarga manakala terjadi kemacetan komunikasi antara pemerintah desa dengan warganya.Namun demikian, selain dapat dibaca sebagai peluang, representasi informal jugamenemukan tantangannya sekaligus batas-batasnya. Tantangan tersebut berupa lembagarepresentasi informal berwatak parokial yang belum mampu menembus sekat-sekat sosialhingga lemahnya kapasitas membangun aksi kolaborasi, engagement (pelibatan), danlinkage (tautan) yang kuat dengan seluruh pemangku kepentingan desa. Diantara peluangdan tantangan itulah, variasi corak representasi informal menjadi temuan dalam kajian ini.

Corak representasi informal berwatak parokial misalnya, ditemukan di Gulon. Melaluiforum-forum kelompok keagamaan seperti tahlilan atau yasinan menjadi salah satu ruanguntuk membahas permasalahan warga maupun dusun, serta kegiatan-kegiatan desa.Namun, peran lembaga-lembaga lokal ini dalam fungsi representasi di tingkat desa jugabelum dapat diandalkan dan berjalan secara maksimal. Di Gulon, terdapat berbagaiorganisasi sosial masyarakat seperti Muslimat NU, GP Ansor, PKK, kelompok tani, koperasidan lain sebagainya. Namun, kelompok-kelompok ini berjalan sendiri-sendiri dengan isuatau concern masing-masing, dan belum ada upaya membangun gerakan bersama.Muslimat NU lebih banyak bicara soal “tabungan surga”. PKK lebih banyak mengurus arisandan kegiatan gotong royong bersih-bersih desa. Tidak mengherankan, karena memang PKKlahir di masa Orde Baru, satu-satunya organisasi kaum perempuan lintas agama dan sosialini juga menghindari percakapan politis. Satu-satunya organisasi di desa yang sudah mulaimerespons isu-isu struktural dan politis, semacam transparansi, hanyalah GP Ansor. Namun,hal itu pun masih berlangsung secara sporadis dan temporer.

Di luar forum, masyarakat juga menyampaikan aspirasi mereka langsung kepada tokoh-tokoh masyarakat di dusun maunpun di desa. Di Gulon salah satunya, masyarakatmenyalurkan aspirasinya lewat tokoh agama dan tokoh masyarakat, misalnya tokoh yangtergolong kharismatik adalah KH. Afifuddin (tokoh agama), Soetrisno (tokoh masyarakat),

Page 48: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

dan Nurrohman (mantan anggota DPRD Magelang). Namun, keberadaan tokoh-tokohmasyarakat ini belum mampu menjalankan fungsi representasi alternatif karena sebagiandari mereka terlibat dalam politik partisan di desa, juga karena faktor keengganan tertentutokoh-tokoh tersebut yang tidak ingin mencampuri terlalu jauh domain kerja kepala desaSedikit berbeda dengan Desa Gulon, meski keluar dari sekat-sekat sosial, representasiinformal oleh kelompok keagamaan di Ringinrejo belum mampu mendorong terbukanyaruang deliberasi. Memang dalam pertemuan yasinan, tidak hanya mendiskusikan temakeagamaan tetapi juga membahas berbagai hal tekait desa termasuk agenda dusun maupundesa terdekat. Namun, sayangnya bentuk komunikasi yang terjadi masih lebih banyakberwujud sosialisasi satu arah dari pemerintah desa dibanding ruang berpendapat danmenyampaikan gagasan yang benar-benar deliberatif. Meski demikian, kanal alternatif diRinginrejo justru ditemukan pada forum-forum warga di tingkat RT dan kelompok sektoralyaitu kelompok tani. Pertemuan RT menjadi ruang mendiskusikan kebijakan yang palingmenjangkau masyarakat terbawah di Desa Ringinrejo. Dalam pertemuan RT tersebut wargabebas menyampaikan apa keluhan dan asprasinya terkait pembangunan desa tanpa batasanstatus sosial. Aspirasi yang terkumpul kemudian dibawa ke level desa oleh ketua RT untukselanjutnya diusung ke level desa. Selain itu, kelompok tani di Ringinharjo menjadi kanalinformal yang efektif dalam perjuangan klaim lahan perusahaan yang dipergunakan untuklahan pertanian warga.

Corak perwakilan informal yang berbeda terjadi di Punjulharjo dimana terjadi relasilembaga formal dan lembaga informal desa yang dihubungkan dengan praktik rangkapjabatan oleh pemerintah desa.15 Sumber daya manusia di desa Punjulharjo yang terbatas,membuat perangkat desa merangkap menjadi pengurus dalam beberapa lembagakemasyarakatan informal. Alasan mereka ikut dalam beberapa organisasi, karena aspirasiwarga pada umumnya bisa diakomodasi melalui beberapa kelembagaan desa dimanaaspirasi lebih efektif penyampaiannya jika melalui saluran informal. Dapat dikatakan bahwamedan aksi masyarakat desa Punjulharjo cukup efektif karena banyak saluran yang bisadigunakan untuk menyampaikan aspirasi. Apalagi Kades juga tidak sulit untuk ditemui.Meski demikian lembaga-lembaga informal ini belum sepenuhnya mampu mewadahikelompok-kelompok rentan.

Ada pula desa dengan corak representasi informal yang lekat dengan ciri komunitarianseperti di Desa Ngadisari dan Mekarjaya. Di Desa Ngadisari, komunitarianisme representasiinformal kental dengan pranata adat Tengger. Pemerintah desa memiliki inovasi kulturalyang dikenal sebagai Safari Wulan Kapitu dan Rembug Desa. Safari Wulan Kapitu menjadiajang dalam proses perencanaan desa. Dalam kegiatan ini, kepala desa besertaperangkatnya berkeliling ke 21 RT pada malam hari di bulan ketujuh dalam penanggalan

15 Di Punjulharjo terdapat lembaga kemasyarakatan seperti kelompok gotong royong, LPMD/LPMK, KarangTaruna, kelompok tani/nelayan, kelompok keagamaan, dan organisasi perempuan, BUMDes, BP KJB dan BPSPAMS.

Page 49: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

Tengger.16 Forum tersebut melibatkan hampir semua warga masyarakat, termasuk paraperangkat desa. Telah menjadi tradisi bahwa ritual publik dan ritual domestik menyeraptenaga dan sumberdaya yang besar di desa, sehingga tidak mengherankan melibatkanseluruh warga. Dalam forum ini pula, masyarakat baik laki-laki dan perempuanmenyampaikan usulan-usulan program yang akan dijalankan dan pemerintah desamenyampaikan program-program prioritas desa.

Sedangkan tradisi rembug desa telah dilakukan jauh sebelum UU Desa mengamanatkanadanya musyawarah desa (musdes). Kepala desa (petinggi) memberikan laporanpertanggungjawaban kepada masyarakat desa secara langsung dalam forum rembug desatersebut. Ini telah dilakukan sebelum UU Desa mengatur adanya mekanismepertanggungjawaban ke atas (Bupati/Walikota) dan ke bawah (masyarakat). Rembug desa diakhir tahun tersebut mengundang seluruh kepala keluarga yang berjumlah 500-an orang diBalai Desa Ngadisari. Bagi masyarakat Tengger Ngadisari, partisipasi mereka dalammusyawarah atau rembug desa merupakan bentuk kepatuhan (setuhu) masyarakat kepadapemerintah yang berangkat dari filosofi bekti ning guru papat. Dalam konteks tertentu,kepatuhan ini membentuk prinsip patuh pada aturan main (rule of law) yang menjadi salahsatu nilai demokrasi substantif.17

Sementara di Mekarjaya, representasi informal tercermin dari tradisi aktivitas rutin gotong-royong. Bagi warga Mekarjaya, gotong-royong menjadi medium penyampaian gagasan,aspirasi, hingga kritik warga terhadap pemerintah desa. Gotong-royong, sekaligus menjadiforum deliberasi, dimana isu-isu publik dibincangkan mulai dari pembangunan lapanganbola, pembangunan jalan, pengembangan pertanian organic, rencana menghidupkanlumbung pangan, pelayanan KTP, hingga peraturan desa tentang Gotong Royong. Ceritamunculnya aspirasi warga yang disampaikan di lokasi gotong royong di Mekarjaya, ternyatamembuktikan bahwa gotong royong bisa menjadi forum deliberasi desa. Hanya saja,Mekarjaya belum membuat perangkat yang dapat menghubungkan proses demokrasiinformal di forum gotong royong ke dalam ranah formal seperti dalam proses perencanaanpembangunan, penganggaran, pengelolaan pemerintahan, dan pelayanan publik.

Variasi corak representasi informal berbasis isu ditunjukkan dalam kasus Desa Sidorejo.Dalam hal ini, representasi informal di Sidorejo diwadahi oleh kelompok difabel yang

16 Wulan Kapitu dipilih karena di bulan ini masyarakat Tengger tidak menyelenggarakan ritual publik yangberkaitan dengan siklus kehidupan, seperti pernikahan, khitanan, dan slametan lainnya serta hanya berfokusmenjalankan ibadah puasa mutih (megeng).17 Sebelum adanya UU Desa, praktik rembug desa Tengger ini dilaksanakan pada bulan Desember pada saatpenyampaian laporan pertanggungjawaban kepala desa dan musrenbang lebih dilihat sebagai bentuk formaldari praktik musyawarah ala masyarakat Tengger. Setuhu ini juga nampak dari kepatuhan masyarakatNgadisari dalam membayar pajak secara tepat waktu.

Page 50: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

mengusung isu inklusi. Adalah Forum Difabel Sidorejo (FDS), lembaga yang dibentuk wargakemudian menjadi penggerak untuk mengadvokasi pembentukan desa inklusi di DesaSidorejo. Melalui FDS, kelompok rentan difabel akhirnya berhasil menyalurkan aspirasinyakepada pihak desa. FDS juga memilki memiliki kapasitas dalam membangun pelibatanpemangku kepentingan desa dalam isu inklusi. Selain itu, FDS memiliki kapasitas dalammembangun jejaring hingga ke luar desa, termasuk dengan organisasi non pemerintah yangcorncern pada isu Difabel. Sayangnya spirit inklusi (terbuka) belum mampu membuka kanal-kanal alternatif lain, seperti kelompok rentan lainnya (perempuan, anak-anak) dankelompok sektoral (petani, peternak dan pengrajin). Label desa inklusi di Sidorejo, pada saatbersamaan justru menciptakan jebakan eksklusi (meminggirkan) kelompok-kelompok sosialwarga yang lain.

Di Cangkudu, corak representasi informal diwarnai dengan lemahnya kapasitas lembaga –lembaga informal dalam memerankan dirinya sebagai lembaga representasi sekaligus dalammembangun kolaborasi dengan lembaga-lembaga formal. Kanal representasi informal diCangkudu biasanya melalui perwakilan RT, RW atau tokoh masyarakat untuk disampaikandalam forum-forum formal seperti musrenbang ataupun musyawarah desa. Biasanya forum-forum tersebut dihadiri oleh, perangkat desa, anggota BPD, tokoh masyarakat, tokohpemuda dan tokoh agama yang diundang secara resmi oleh pihak BPD. Namun demikianforum-forum tersebut bergerak dalam nalar normatif yang mendudukan pembahasanagenda desa sebagai rutinitas formal saja (business as usual) tanpa melibatkan partisipasipublik yang lebih dalam. Dalam pandangan warga, muncul semacam krisis kepercayaanterhadap pemerintah desa dan lembaga representasi politik warga seperti BPD serta tokoh.

Ketidakmampuan BPD menyerap aspirasi warga Di Desa Cangkudu mendorong tumbuhnyaLSM ataupun organisasi masyarakat sebagai dampak dari kehadiran industri dan dinamikapolitik lokal. Organisasi lokal tersebut memang berperan dalam pendampingan manakalawarga menghadapi kasus pencemaran limbah industri. Saat menghadapi masalah tersebut,LSM dan warga memilih cara yang paling efektif yakni menggertak pabrik untuk maumengabulkan tuntutan warga yang terkena dampak lingkungan akibat polusi pabrik. Namundemikian, organisasi–organisasi ini juga rentan terjebak kepentingan ekonomi politikorganisasi sendiri, ketimbang membuka ruang-ruang deliberasi warga.18 Situasi tersebutmenggambarkan adanya diskoneksi (keterputusan) representasi antara yang formal daninformal.

Hal itu juga disumbang dengan adanya faktor kepemimpinan kepala desa yang gagalmelakukan pelibatan (engagement) warga dalam agenda-agenda public desa. Meskimengusung spirit good governance (tata kelola pemerintahan yang baik) yangditerjemahkan dalam tema reformasi birokrasi, pemerintah desa tampak abai terhadapspirit partisipatoris yang menjadi elemen pokok dalam good governance. Dari sisi pelayanan

18 Konteks di Cangkudu memperlihatkan bekerjanya politik kaum Jawara.

Page 51: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

administrasi, memang terdapat perubahan yang dirasakan warga. Pemerintah desatampaknya lebih mendudukkan warga hanya sebatas konsumen atau penerima layananyang pasif dan bukan sebagai warga negara aktif (active citizen) dimana warga berhakberpartisipasi dalam agenda-agenda publik. Dengan demikian, reformasi birokrasi diCangkudu hanya melayani dirinya sendiri.

Cerita positif tentang representasi informal datang dari Desa Nglanggeran dan Umbulharjo.Di Nglanggeran, kanal alternatif justru diperankan oleh Pokdarwis yang dimotori kelompokpemuda. Pokdarwis Nglanggeran memiliki kapasitas kolaboratif dengan menggandeng BPDdan pemerintah desa dalam mengembangkan situs gunung api purba sebagai desa wisata.Pokdarwis juga mengembangkan kolaborasi dengan kelompok-kelompok warga lainnya.Serta jejaring dengan lembaga-lembaga di luar desa. Kelahiran Pokdarwis sendiri lahir darisetting sosial-kultural masyarakat yang nyengkuyung (hidup rukun dalam harmoni atauguyub). Keguyuban tersebut salah satunya ditopang oleh adanya forum-forum warga baikyang berbasis kewilayahan maupun sektoral.19 Dalam forum warga yang biasanya jugadigunakan untuk kegiatan arisan dan simpan-pinjam itu, telah mampu memberikan ruangpublik yang kondusif bagi berkembangnya demokrasi lokal. Forum-forum warga mampumemberikan ruang bagi warga untuk menyampaikan dan mendiskusikan segala gagasansecara kekeluargaan. Dari situ pula, inisiatif warga Nglanggeran berkembang dengan baik,sehingga warga Nglanggeran terasah kreativitasnya.

Sedangkan di Umbulharjo, forum-forum informal warga benar-benar hadir sebagaipenopang bagi kinerja perwakilan BPD sebagai representasi formal desa maupunpemerintah desa. Masyarakat memanfaatkan bentuk-bentuk forum informal berbasiskewilayahan seperti rapat RT, rapat dusun, pertemuan yasinan, dan bahkan menyampaikanaspirasinya secara langsung dan informal kepada BPD dan kepala desa dan perangkat desa.Dalam forum-forum itu, musyawarah masih sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat dalammemecahkan masalah atau mengambil keputusan. Di samping itu, BPD sebagai lembagaperwakilan benar-benar menjalankan fungsi representasinya menjadi jembatan antarapemerintah desa dengan warga. Terlepas dari hal itu BPD belum cukup mewakili aspirasiwarga dan kelompok-kelompok warga. Hal ini disebabkan luasnya wilayah desa dankompleksnya permasalahan yang ada di desa sehingga anggota BPD tidak dapat memotretseluruh permasalahan. Dalam hal ini, masih terdapat kanal-kanal alternatif yang belumdisentuh BPD terutama lembaga kemasyarakatan sektoral (petani, peternak sapi,perempuan, dan sebagainya). Pada titik ini corak representasi alternatif di Umbulharjo,memiliki kapasitas kolaboratif dengan lembaga-lembaga formal desa, meski masih berbasiskewilayahan.

19 Forum-forum kewilayanan misalnya, forum tingkat dusun dan forum tingkat RT dengan namanya masing-masing yang biasanya sesuai dengan nama hari penanggalan Jawa (selapanan), serta forum-forum sektoralseperti forum Gabungan kelompok tani (Gapoktan).

Page 52: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

Gambaran ideal ditunjukkan dengan praktik representasi informal di Desa Panggungharjo.Lembaga-lembaga informal warga memiliki kapasitas konsolidasi, pelibatan (engagement)serta kapasitas kolaborasi sekaligus. Lembaga berbasis kewilayahan seperti RT dan dusun diPangungharjo. Hal ini dapat dilihat dari adanya sejumlah 118 RT di seluruh DesaPanggungharjo yang terorganisasi di dalam satu perkumpulan dengan nama Pakarti(perkumpulan ketua RT).20 Di tingkat RT, warga aktif melakukan pertemuan baik yangbersifat bulanan ataupun pada saat menyiapkan momentum tertentu.21 Setiapperencanaan pembangunan yang digelar pemerintah desa, terlebih dahulu wargamelakukan rembug bersama di tingkat RT untuk merumuskan kebutuhan apa yang pentingdiprogramkan. Setelah pembahasan selesai, selanjutnya usulan tersebut disampaikan kedesa melalui dukuh masing-masing. Tidak hanya selesai di dukuh, forum yang lebih besarsebelum pelaksanaan Musyawarah Desa juga digelar oleh Pakarti untuk melakukankonsolidasi.

Sementara Kepala Dukuh terfasilitasi di dalam Paguyuban Kepala Dukuh (Pandu). Antar dualembaga ini, baik Pakarti dan Pandu tidak saling tumpang tindih dan menjalankan fungsikoordinasi yang tertata dengan baik. Dengan adanya dua lembaga ini warga memiliki banyakkanal aspirasi sekaligus informasi atau program dari desa bisa cepat diketahui oleh warga.Selain berbasis kewilayahan, warga juga memiliki kekayaan beragam komunitas kewargaandesa, seperti komunitas seni, budaya, kuliner, obat tradisional, perawatan warisan budaya(heritige), kerajinan dan kriya sejauh ini saling berinteraksi secara inklusif tanpamenciptakan sekat-sekat sosial, sebaliknya mendorong adanya pembauran sosial. Merekasemua memperoleh akses yang sama di memberikan masukan perihal pembangunan desakepada pemerintah desa melalui RT dan Dukuh.

D. SIMPUL WACANAHari ini muncul gejala menguatnya kesadaran masyarakat desa mengenai isu-isu publikmakin menguat. Situasi ini ditunjukkan dengan berbagai pengalaman tentang meningkatnyakesadaran warga desa terhadap masalah-masalah keseharian sebagai masalah publik. Isupendidikan, kesehatan, lingkungan, pemberdayaan ekonomi dan sejenisnya makindibincangkan dalam arena warga. Namun demikian, tidak mudah bagi warga untukmembawa perbincangan sehari-hari tersebut menjadi isu kebijakan di level desa yangdisebabkan oleh tersendatnya jalur representasi formal oleh BPD. Memang, praktik-praktiklokal desa telah menunjukkan betapi inisiasi dan penguatan lembaga representasi mulaitumbuh, paling tidak secara formal paska terbitnya UU Desa. Disadari betul bahwarepresentasi formal oleh lembaga-lembaga formal desa belum sepenuhnya mampu menjadikanal yang handal dalam mengawal aspirasi warga. Kondisi tersebut dibentuk oleh tiga

20 Kepengurusan Pakarti diambil dari masing-masing pedukuhan sebanyak dua orang.21 Seperti pitulasan (memperingati hari Kemerdekaan RI), lomba kesenian, persiapan acara hari besar Islam,pementasan budaya, dan lainnya.

Page 53: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

faktor yakni: pertama, keterbatasan representasi oleh BPD ini sesungguhnya berakar darinalar normatif dan formalistik dalam mengelola keragaman kehendak warganya. Pada titikini, aspirasi warga hanya ditempatkan input (masukan) semata dalam arena pengambilankebijakan, tanpa mampu mendorong terbukanya ruang-ruang deliberasi desa. Padagilirannya, banyak kepentingan warga yang tidak mendapat tempat untuk disuarakan,terdengar samar-samar, bahkan nyaris tak terdengar gaungnya.

Kedua, pada saat yang sama, BPD sebagai lembaga representasi formal juga dihinggapidengan persoalan di dalam dirinya sendiri yakni problem kapasitas kelembagaan terutamasoal kemampuan teknokratik. Disamping itu, problem kapasitas juga disumbang olehlemahnya kesadaran politik para wakil warga itu dalam menjalankan misi penguatanpartisipasi dalam demokrasi, menyangkut pengambilan keputusan strategis. Ketiga, kulturpatronase, corak patriarkhi dan feodalisme dalam kadar tertentu masih menjadi tantanganserius yang harus dijawab dalam menjalankan misi transformasi demokrasi desa. Problemini dengan berbagai wajahnya telah mendistorsi ruang penyampaian kepentingan wargayang semakin inklusif (terbuka) di desa. Alhasil, jejak-jejak keterwakilan BPD semakin samardan tak dapat direkam dengan baik oleh warga.

Sesungguhnya terdapat kanal representasi yang lahir dari inisiasi warga dalam bentukforum-forum warga dan kelompok-kelompok kemasyarakatan. Lembaga yang lahir dantumbuh dari tradisi lokal yang menyejarah itu sesungguhnya menjadi kekayaan desa yangberharga. Kanal Representasi informal ini menyimpan kekuatan luar biasa yakni sifatnyayang luwes, adaptif, serta menyediakan intimasi sehingga melampaui sekat-sekat sosialantara warga dan pemimpinnya. Sayangnya, kekayaan berupa modal sosial itu, belumdidayagunakan secara memadai sebagai kanal alternatif yang mampu memperkuat prosesdeliberasi desa. Hadirnya saluran-saluran informal nampaknya perlu dipertimbangkansebagai alternatif menambal keterbatasan jalur kelembagaan formal dan sekaligus sebagaipenopang bekerjanya demokrasi yang melayani kepentingan warga. Dalam kontekstersebut, di masa mendatang perlu kiranya menghidupkan kembali dan merawat lembaga-lembaga informal itu melalui rekoginisi (pengakuan) terhadap lembaga-lembaga informalyang ada sebagai kekayaan dalam membangun tradisi berdesa.

Page 54: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

Bab 4

Inisiatif Warga Dalam Ruang Demokrasi Desa

A. Inisiatif Warga: Penguatan Delibrasi Demokrasi Desa

Dikenal sebagai kawasan Geo Park yang telah diakui UNESCO, membuat situs Gunung ApiPurba Desa Nglanggeran Kabupaten Gunung Kidul menjadi salah satu destinasi wisata baruterpopuler bagi wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta. Keberhasilan meraih berbagaiprestasi nasional hingga bertaraf internasional yang disematkan di desa wisata tersebut, taklepas dari prakarsa aktif warga Nglanggeran yang dimotori kelompok pemuda desasetempat. Awalnya kelompok pemuda yang tergabung dalam organisasi karang taruna dibeberapa dusun bersepakat untuk mengembangkan eko wisata berbasis masyarakat denganmembentuk Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis). Dalam perkembangannya, Pokdarwisberhasil mengubah warga menjadi lebih peka terhadap persoalan lingkungan hidup,merevitalisasi dan mengembangkan kearifan lokal, serta mengembangkan sumber-sumberpenghidupan melalui fasilitasi pengembangan desa wisata berwawasan lingkungan. Kuncikeberhasilan Pokdarwis Nglanggeran terletak pada kemauan melakukan engagement(pelibatan) berbagai pihak dalam mengembangkan desa wisata. Kapasitas engagement yangdibangun dari kearifan lokal tersebut menjadikan Pokdarwis memiliki daya lentingmenghadapi segala macam tantangan dan persoalan dalam mengembankan usaha ekonomikreatif tersebut.

Cerita sukses dari desa Nglanggeran ini merupakan satu dari ragam narasi tentang dinamikainisiatif warga dalam mengawal pengelolaan desa yang disuguhkan dalam bab ini. Bersamadengan narasi dari sembilan desa lainnya, cerita dari Nglanggeran merupakan ikhtiarmenghadirkan demokrasi substantif pada aras desa yang bertumpu pada prakarsa warga.Keterlibatan warga desa dalam pengelolaan pemerintahan desa, merupakan kata kunci yangseharusnya menjadi peluang sekaligus menyediakan tantangan dalam mendorong tumbuhkembangnya demokrasi subtantif pada aras desa. Kehadiran demokrasi subtantif ditandaidengan adanya demokrasi deliberatif yang mewujud dalam bentuk ruang publik (publicsphere).1 Tanpa keberadaan ruang publik dan partisipasi masyarakat sipil dalam prosesformulasi kebijakan, berarti demokrasi tidak akan memiliki makna bagi masyarakat desa.Ringkasnya, keberadaan ruang publik sangatlah menentukan bagaimana demokrasideliberatif tersebut berjalan (Piliang, 2005:3).

1 Pengertian ruang publik (Public Sphere) mengacu pada pendapat Jurgen Habermas dalam buku The StructuralTransformation of the Public Sphere, yang memaknainya sebagai sebuah ruang bagi otoritas publik dalamsistem demokrasi di mana negara tidak memiliki otoritas terhadap domain atau arena publik. Keberadaanruang publik (public sphere) sebagai suatu arena berbagai kepentingan publik bertemu yang di dalamnyamembentuk otoritas publik (public authority) dan partisipasi masyarakat sipil dalam proses formulasikebijakan.

Page 55: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

Perspektif demokrasi deliberatif sejatinya merupakan“roh” atau “nyawa” dari Undang-Undang Desa yang ditunjukkan dalam Pasal 54 Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentangDesa yang menyatakan dengan jelas tentang musyawarah desa sebagai suatu forumdeliberasi tertinggi untuk membahas dan memutuskan hal-hal bersifat strategis di desa. Jikadikaji lebih dalam, semangat dan nyawa dari undang-undang Desa ini tidaklah sekedarmewujudkan otonomi desa melalui pemberian otoritas kepada pemerintah desa. Desabukan lagi sekedar local state government (pemerintahan lokal ala negara) semata tapimerupakan bentuk pemerintahan komunitas atau hybrid antara self governing communitydan local self government (Zaini, 2015 : 9). Artinya, pemerintah desa tidak semata-mataberperan sebagai pemerintahan lokal tapi juga harus merepresentasikan keterlibatankomunitas warga dalam pengelolaan pemerintahan desa. Model demokrasi deliberatifinilah yang dijadikan basis bagi tumbuh kembangnya demokrasi substantif pada aras desa.Dalam wacana demokrasi, corak semacam ini dimasukkan dalam kategori demokrasikomunitarian yang memiliki akar historis dalam budaya masyarakat desa di Indonesia dalambentuk tradisi musyawarah (IRE, 2003).

Hasil penelitian yang dilakukan IRE (2012), menunjukkan bahwa di desa-desa yangbertumpu pada kekuatan masyarakat sipilnya dalam bentuk inisiatif-inisiatif warga, mampumenjadikan perkembangan demokrasi menjadi lebih bermakna. Seperti yang terjadi diLombok Barat bagaimana inisiatif warga dalam bentuk Community Centre (CC) yang mampumelakukan advokasi terkait perbaikan pelayanan publik di desa dan sekaligus mendorongpemerintah desa untuk memberikan perlindungan terhadap calon TKI. Demikian pula kisahyang terjadi di Kabupaten Gunungkidul, tradisi gugur gunung (gotong royong) yang menjadiforum penting di luar forum formal musyawarah desa dan dalam tradisi tersebut,masyarakat tidak hanya sekadar berkumpul menyelesaikan pekerjaan bersama, namun jugasekaligus membangun interaksi solidaritas dan memupuk modal sosial.

Tumbuhnya inisiatif warga desa dalam arena demokrasi desa ini merupakan pertanda baikbagi berseminya gerakan sosial para aras desa yang akan menjadi “pupuk” dan “nutrisi” bagibertumbuhkembangnya demokrasi yang subtantif. Sebagaimana mengacu pada pendapatHabermas, Offe, McLucci dan Nash dalam Darmawan (2006: 8) yang menyatakan bahwagerakan sosial merupakan sebuah ruang antara (intermediary space) yang menjembatanikepentingan masyarakat sipil dengan negara dan merupakan suatu sumber bagi prosespenguatan demokrasi terutama dalam menghadapi perkembangan masyarakat yangsemakin kompleks.

Meskipun demikian, pada kenyataannya belum semua desa mampu memaknai UU Desatersebut terkait dengan pentingnya membangun demokrasi deliberatif dan sekaligusmenangkap peluang yang diberikan oleh UU Desa tersebut dalam kerangka mendorongtumbuhkembangnya inisiatif dan partisipasi warga dalam proses pembangunan desa. Olehsebab itu, realitas tersebut menjadi suatu hal yang menarik untuk dikaji yang memunculkanpertanyaan: bagaimana praktik-praktik inisiatif warga dan partisipasi aktif warga bekerjadalam konteks arena demokrasi lokal terutama terkait dengan urusan-urusan strategis desa,

Page 56: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

mulai dari proses agenda setting kebijakan, formulasi kebijakan, implementasi hinggaevaluasi kebijakan pada aras desa?

Memotret dan menyelami permasalahan terkait inisiatif warga desa inilah yang akan diulasdalam bab ini. Hasil studi kasus di 10 desa menunjukkan cerita insiatif warga yang dapatdijadikan contoh baik dalam konteks bekerjanya model demokrasi deliberatif. Namun di sisilain, studi ini juga menyuguhkan kisah-kisah tentang minimnya atau betapa pasifnya insiatifwarga dalam ruang demokrasi desa yang cenderung hanya dimaknai sebagai demokrasiyang bersifat formal-prosedural semata. Sebagai sebuah proses penghimpunanpengetahuan terkait inisiatif warga dalam praktik-praktik demokrasi lokal yang tengahbergulir pada aras desa, hasil studi ini dapat menjadi proses pembelajaran bersama danmemberikan secercah harapan bagi tumbuh kembangnya inisiatif warga dalam ruangdemokrasi desa.

B. Dinamika Inisiatif Warga dalam Ruang Demokrasi Desa

Pentingnya inisiatif warga sebagai warga negara aktif (active citizen) dalam mendorongtumbuhnya akuntabilitas dan transparansi pada proses pengelolaan desa merupakan suatukeharusan dan kondisi ideal yang diamanatkan dalam UU Desa. Kondisi ideal tersebutmerupakan suatu peluang namun sekaligus tantangan dalam kerangka membangundemokrasi subtantif pada aras desa. Gambaran ideal terkait bagaimana inisiatif wargamemberikan kontribusi yang signifikan dalam ruang demokrasi desa dideskrisipkan daribeberapa temuan lapangan dalam penelitian ini. Meskipun di sisi lain, hasil studi kasus jugamenunjukkan masih adanya gejala minimnya inisiatif warga desa atau bahkan dapatdikatakan pasif dalam merespon isu-isu publik yang tengah terjadi di desa danmemanfaatkan ruang demokrasi desa untuk memperjuangkan kepentingan mereka.

Kisah-kisah berikut ini akan bertutur tentang bagaimana dinamika warga desa dalammerespon isu-isu publik yang terjadi di desa dan bagaimana warga memanfaatkan ruangdemokrasi desa tersebut dengan berbagai ragam corak atau karakter pemerintahan desayang menjadi lokasi penelitian. Dalam setiap kisah pasti terdapat isu yang menjadi pemicumunculnya inisiatif warga, aktor yang berperan, rangkaian proses yang dilalui, serta responpemerintahan desa terhadap inisiatif tersebut. Inisiatif warga muncul saat ada kepentinganbersama hingga membutuhkan aksi kolektif untuk memenuhinya. Salah satu isu publik yangkrusial yang banyak terjadi di desa wilayah penelitian adalah pelestarian dan pemanfaatansumberdaya alam untuk peningkatan kesejahteraan menjadi isu publik. Sehingga isu iniselalu menjadi perbincangan dan sorotan warga desa. Pada titik inilah kapasitas inisiatifwarga diuji: seberapa jauh prakarsa warga dapat menjangkau semua pemangkukepentingan untuk membangun aksi kolaboratif, atau justru menghasilkan kemandegan danfragmentasi.

P

Page 57: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

Inisiatif Warga Berbuah Aksi Kolaboratif

Keberlanjutan Inisiatif warga pada beragam cerita di bab ini sangat ditentukan olehkapasitas warga untuk melibatkan beragam pemangku kepentingan agar terlibat dalamperjuangan agenda publik yang diusulkan warga. Kapasitas tersebut ditandai dengan adanyahadirnya aksi kolaboratif yang diinisiasi warga. Kondisi tersebut tergambar dengan baikmelalui pengalaman warga Desa Nglanggeran dan Sidorejo. Sedikit berbeda, pengalamanDesa Panggungharjo, Umbulharjo, Punjulharjo, dan Mekar Jaya, inisiatif warga tampakmenguat karena kuatnya dorongan dan berjalan beriringan dengan kemauan pemerintahdesa yang responsif dalam membuka ruang-ruang publik desa. Dorongan tersebut mewujuddalam berbagai inovasi pemerintah desa, sehingga menyediakan habitus yang subur bagiberseminya inisiatif warga.

Sebagaimana telah sedikit dipaparkan sebagai pembuka bab ini, Desa Nglanggeran,Kecamatan Pathuk, Kabupaten Gunungkidul memiliki pengalaman sangat menarik dalamdinamika inisiatif warga untuk pengelolaan sumberdaya alam. Pengembangan aset lokalberupa gunung api purba menjadi desa wisata merupakan isu publik yang cepat menjadiperhatian warga seiring perkembangan Gunung Kidul sebagai destinasi wisata alternatif diDaerah Istimewa Yogyakarta yang digerakkan kaum muda Nglanggeran. Pada tahun 1999dan era sebelumnya, kelompok pemuda desa masih terpecah-pecah dalam wadah karangtaruna di dusun masing-masing. Dalam situasi perekonomian desa yang masih “minus”,sarana dan saluran komunikasi yang terbatas, keadaan tersebut menjadi rentan konflikketika musim kompetisi antar dusun pada musim perayaan 17-an berlangsung.2 Selain itu,kondisi warga yang masih tertekan kemiskinan, mendorong mereka merantau ke luardaerah, bahkan hingga mengadu nasib ke luar negeri sebagai TKI, misalnya di Korea danTaiwan.

Melihat situasi yang tidak produktif tersebut, beberapa aktivis pemuda berinisiatifmenyatukan kelompok pemuda di tiga dusun menjadi satu wadah bersama, gunamemperkenalkan kegiatan-kegiatan kepemudaan bersama yang positif. Ide tersebut, ketikadikomunikasikan kepada Hartono, kepala desa saat itu, dan langsung disetujui. KadesHartono sangat mendukung gagasan itu, dan dia juga punya keinginan untuk mewujudkanlahirnya desa wisata, yang saat itu mulai banyak bermunculan di desa-desa di KabupatenGunung Kidul. Selanjutnya dibentuklah Karang Taruna “Bukit Putra Mandiri” yang mewakiliseluruh organisasi kepemudaan Desa Nglanggeran. Kekompakan pemuda tersebutmeningkatkan kepercayaan pemerintah desa terhadap kegiatan mereka. Karena itu pula,melalui Kades Hartono, Pemerintah Desa tidak ragu mendukung upaya kelompok pemudatersebut, dengan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Kepala Desa Nglanggeran Nomor05/KPTS/1999, tertanggal 12 Mei 1999. SK Kades tersebut mengukuhkan kepercayaan desa

2 Saat itu, sering terjadi pertikaian atar kelompok pemuda dusun, terutama di Dusun Nglanggeran Kulon,Nglanggeran Wetan, dan Gunung Butak, yang dipicu aksi saling ejek saat pertandingan olah-raga antar dusunberlangsung.

Page 58: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

dengan memberikan kewenangan kepada karang taruna untuk mengelola situs gunung apipurba, yang luasnya kurang lebih 48 hektar untuk kepentingan pengembangan desa wisata.

Karang Taruna “Bukit Putra Mandiri” memperluas jangkauan pembahasan pengelolaan situsgunung api purba dengan melibatkan seluruh warga, termasuk para orang tua, denganmemanafaatkan forum Selasa-Kliwonan. Melalui forum ini bisa dibentuk Kelompok SadarWisata (Pokdarwis) pengelola gunung api purba, dengan struktur organisasi terdiri dariunsur pemerintah desa, BPD, tokoh masyarakat, pemuda, perempuan, kelompok tani,kelompok ternak, pedagang, dan juga warga biasa. Keberadaan perwakilan hampir dariseluruh lapisan masyarakat desa ini, memudahkan Pokdarwis dalam berinteraksi baikdengan pemerintahan desa maupun dengan segenap lapisan masyarakat. Interaksiantaraktor ini terjadi dalam upaya pengembangan usaha ekonomi kreatif dalammenyelesaikan problem, terutama konflik, baik yang diselesaikan secara formal maupuninformal kepada pemerintahan desa dan para tokoh masyarakat.

Selain forum Selasa-Kliwonan yang berisi kegiatan arisan dan sharing informasi danpengusulan ide dan pemecahan masalah jika ada masalah organisasi, Pokdarwis jugamengembangkan ruang konsolidasi organisasi dan antarwarga. Forum tersebut antara lain:(1) Forum Malam Rabu (forum sharing mingguan); (2) Forum pengajian Jumat-Kliwonan(forum pengajian dan sharing informasi dan diskusi pemecahan masalah); dan (3) Foruminformal untuk koordinasi yang sifatnya bisa insidental dan sering dilakukan harian. Forumini juga memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dengan menggunakan fasilitasinternet, termasuk group WA dan BBM.

Melalui forum-forum yang dilakukan, Pokdarwis telah berhasil merumuskan keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kepentingan desa wisata Nglanggeran dengan tetapmemperhatikan kepentingan lainnya yang lebih luas. Sebagai contoh, Pokdarwismenetapkan honorarium harian tim lapangan yang besarannya tidak boleh melebihi upahharian buruh batu di Nglanggeran, maksimal sama dengan upah harian tukang batu. Hal inidimaksudkan menjaga keseimbangan distribusi pekerjaan di Desa Nglanggeran, sehinggatidak ada kelangkaan tukang batu, yang memang selalu menjadi kebutuhan masyarakatketika hendak membangun. Selain itu, Pokdarwis juga menjamin distribusi resources yangrelatif seimbang dan proporsional dengan membentuk kelompok homestay dan kelompokdagang yang melibatkan warga secara merata.

Secara internal, Pokdarwis juga melaporkan keuangan organisasi dalam forum pertemuanrutin anggota. Akuntabilitas organisasi juga diupayakan dengan cara mempekerjakan 3orang bendahara. Hal ini dimaksudkan agar pengelolaan uang tidak terkonsentrasi pada satuorang saja, agar supaya risiko penyalahgunaan pengelolaan keuangan bisa dikurangi.Mereka meyakini bahwa dominasi satu atau sedikit orang bisa menimbulkan kerentananorganisasi.

Inisiatif warga Nglanggeran yang mampu mengembangkan situs gunung api purba hinggaterkenal sampai tingkat internasional, bahkan masuk sabagai kawasan geopark yang diakui

Page 59: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

UNESCO, tidak terlepas dari kondisi lingkungan sosial dan politik yang melatarbelakanginya.Warga Nglanggeran dikenal sebagai masyarakat yang guyub dimana harmoni dengan tradisimasih terjaga dengan baik. Keguyuban tersebut ditopang oleh adanya forum-forum wargayang telah membuka ruang publik yang kondusif bagi berkembangnya demokrasi lokal.Keberadaan Kades yang berasal dari “warga kebanyakan”, dekat dengan warga, terbuka,dan berintegritas mampu melahirkan kepercayaan dan pada gilirannya menyuburkanpartisipasi. Karakter kepemimpinan desa yang terbuka, partisipatif dan responsif merupakankondisi yang makin memungkinkan tumbuh dan berkembangnya inisiatif warga.

Kuatnya inisiatif warga yang didukung oleh pemerintah desa terjadi pula di Desa Sidorejo,Kecamatan Lendah, Kabupaten Kulon Progo. Bahkan ada yang khas di desa ini, manakalakaum difabel melakukan gerakan inklusi yang mampu mendorong pemerintah desa untukmengalokasikan anggarannya bagi program pemberdayaan kaum difabel, yaitu programpembangunan aksesibilitas pelayanan publik bagi kaum difabel.3 Gerakan inklusi yangdilakukan kelompok difabel di Desa Sidorejo telah mampu mendorong perubahan relasiyang signifikan antara pemerintah desa dengan kelompok difabel. Aktivitas-aktivitas yangdiselenggarakan oleh Forum Difabel Sidorejo (FDS) juga dinilai mampu mengubah carapandang masyarakat Sidorejo terhadap kaum difabel.4 Perkembangan relasi produktifantara kaum difabel dengan masyarakat desa ini menghasilkan program pembangunanaksesibilitas dan pembinaan ekonomi kepada difabel.

Fenomena di Sidorejo ini merupakan pembelajaran yang menarik mengingat gerakan kaumdifabel di Indonesia sejauh ini masih memiliki sejumlah tantangan fundamental baik kedalam maupun ke luar. Ke dalam, gerakan difabel masih belum memiliki kesamaan carapandang terkait persoalan-persoalan yang mereka hadapi sehingga formulasi gerakan belumterumuskan secara kuat. Meskipun demikian, harus diakui bahwa kesadaran kaum difabelmengalami peningkatan pesat seiring dengan semakin banyaknya organisasi difabel diIndonesia. Sedangkan ke luar, organisasi difabel masih belum memiliki jaringan kuat dengangerakan sosial lainnya. Penerimaan masyarakat pada umumnya terhadap gerakan inipunmasih belum terlihat signifikan karena adanya sejumlah faktor, terutama terkait dengancara pandang masyarakat terhadap difabel (Salim, 2015). Artinya, membangun suatugerakan yang di dalamnya berisi penyandang disabilitas memiliki tantangan berlipat-lipatjika dibandingkan dengan gerakan yang di dalamnya berisi “orang-orang normal”.

Bagi FDS, upaya untuk mengorganisir kaum difabel untuk berhimpun dalam satu wadahgerakan menghadapi sejumlah tantangan yang cukup berat. Secara eksternal merekaberhadapan dengan stigma dari masyarakat yang selama dilekatkan kepada kaum difabel.Berbagai stigma dari masyarakat sampai sekarang ini masih melekat kuat pada kaum

3 Keberhasilan ini yang menjadikan Desa Sidorejo pada tanggal 24-27 Agustus 2016 lalu, menjadi tuan rumahTemu Inklusi Nasional kedua, sebuah gelaran para penyandang disabilitas pada tingkat nasional sekaligusmendeklarasikan Desa Sidorejo kepada publik sebagai Desa Inklusif.4Salah satu bukti adanya perubahan cara pandang masyarakat dalam melihat kaum difabel terlihat nyatadengan terpilihnya Wahyu Adi Nugroho sebagai salah satu Kepala Dukuh Senden. Nugroho adalah salah satuaktivis difabel yang selama ini aktif menggorganisir dan menggerakkan kaum difabel di Sidorejo.

Page 60: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

difabel. Mereka dianggap sebagai manusia cacat, buta, tuli, bisu, tidak bisa berjalan, kerdil,cebol, dan sebagainya. Mereka dianggap tidak normal seperti manusia pada umumnya yangdisikapi masyarakat kita dengan perasaan risih.5 Oleh sebab itu sebagian masyarakat lalumeminggirkan kaum difabel dalam gerak dinamika keseharian yang berlangsung dilingkungannya. Berdekatan dengan kaum difabel dikhawatirkan akan membuat merekayang normal akan tertulari ‘dosa’ yang diidap kaum difabel. Sementara, secara internal parapenyandang disabilitas tidak memiliki kepercayaan diri untuk mengorganisir diri danmelakukan sesuatu secara bersama-sama.

Jika ditelusuri kembali naskah-naskah lama dan realitas hubungan yang terbangun antaraorang difabel dengan kekuasaan, terdapat relasi yang bersifat unik dan eksotik. Berbagaicerita masa lalu yang terekam dalam naskah-naskah sejarah Jawa menunjukkan kaumdifabel atau disebut sebagai abdi polowijan memiliki posisi yang khusus di hadapan raja. Adadiantara mereka yang dianggap sebagai klangenan raja atau abdi dalem kesayangan raja(Janutama, 2015).6 Tidak jarang mereka juga dianggap sebagai manusia yang memiliki dayalinuwih, memiliki kemampuan lebih dibandingkan manusia kebanyakan dalam banyak hal.7

Posisi yang demikian tentu berbeda dengan cara pandang manusia modern. Cara pandangmodernis melihat kesempurnaan adalah yang utama, yang baik adalah yang sempurna.Sementara yang cacat adalah buruk karena dianggap tidak sempurna. Cara pandangmanusia modern inilah yang melingkupi sebagian besar kita dalam memandang difabel.

Bagi aktivis yang selama ini melakukan kerja-kerja advokasi kelompok difabel, mengubahcara pandang masyarakat kebanyakan terhadap kaum difabel adalah tantangan paling beratyang mesti ditaklukkan pertama kali.8 Pengalaman gerakan difabel di Sidorejo menunjukkanmereka bisa eksis dan bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah desa dengan sejumlahtahapan. Pertama, dengan menghimpun diri dan mendirikan organisasi di tingkat desa.Difasilitasi oleh SIGAB, Nugroho dan Sarjiyo berhasil membentuk suatu organisasi di tingkatdesa yang diberi nama Forum Difabel Sidorejo (FDS). Kedua, membangun kapasitas anggotamelalui kegiatan-kegiatan pelatihan dan pembangunan jaringan. Dalam kegiatan-kegiatanyang mereka lakukan; pelatihan maupun pertemuan-pertemuan rutin mereka seringmenggunakan balai desa sebagai tempat kegiatan.9 Ketiga, melakukan pendataan jumlah

5 Bahkan, sebagian masyarakat ada yang memandang difabel sebagai kelompok masyarakat yang diliputi dosa.Cacat dianggap sebagai semacam kutukan yang mesti mereka terima karena kesalahan yang pernah dilakukankeluarganya atau kesalahan-kesalahan yang pernah mereka lakukan di masa lalu.6 Polowijan adalah istilah untuk menyebut bagian masyarakat tradisional yang menyandang cacat atau difabel.7 Kadangkala polowijan diposisikan raja sebagai penasehat spiritual serta memimpin kegiatan-kegiatan lakuspiritual tertentu.8Salah satu tolok ukur yang dipandang sebagai keberhasilan FDS mengubah cara pandang masyarakat terhadapdifabel adalah dengan terpilihnya Wahyu Adi Nugroho atau biasa dipanggil Nugroho sebagai Kepala DukuhSenden. Nugroho adalah salah satu aktivis difabel yang selama ini aktif menggorganisir dan menggerakkankaum difabel di Sidorejo.9Menggunakan balai desa sebagai tempat pertemuan tersebut kelihatannya sederhana namun sebenarnyamemiliki tujuan strategis. Menurut penuturan Sarjiyo, hal itu dilakukan agar para penyandang disabilitas maukeluar rumah. Sekaligus juga sebagai upaya untuk mengubah cara pandang perangkat desa terhadap difabel,dan upaya agar mereka lebih memahami persoalan-persoalan yang dialami oleh kaum difabel. Dalam

Page 61: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

penyandang disabilitas di desa serta permasalahan yang mereka hadapi. Keempat,melakukan pengkajian atas masalah yang mereka hadapi. Hasil kajian yang dilakukan laludisampaikan kepada pemerintah desa, BPD dan unsur-unsur masyarakat yang ada di desa.Dan kelima, membangun kerjasama dengan pemerintahan desa dalam rangka mencarisolusi atas persoalan-persoalan yang dihadapi difabel.

Dari rute pembangunan gerakan dan advokasi yang dilakukan FDS, disadari atau tidak,mereka dipengaruhi oleh pendekatan Social Model of Disability dalam melihat persoalandifabel. Pendekatan ini memiliki cara pandang yang melihat difabel tidak semata-matasebagai kekurangan fisik dan biologis. Lebih dari itu, disabilitas dilihat sebagai penindasan dimana struktur sosial yang ada telah meminggirkan mereka dari dinamika sosial, ekonomi,dan politik yang berlangsung. Dengan asumsi dasar ini maka Social Model of Disabilitymengubah cara pandang permasalahan difabel dari kekurangan fungsional, psikologis, dankognitif yang dimiliki individu kepada struktur masyarakat yang secara sistematis menindasdan mendiskriminasi kaum difabel (Ro’fiah, 2015).10 Pendekatan ini juga meyakinipenanganan persoalan disabilitas adalah melalui politisasi, pemberdayaan, dan penegasanhak-hak kaum difabel sebagai warga negara.

Gerakan yang dilakukan FDS telah mampu mengatasi berbagai hambatan utama yangselama ini menyumbat gerakan sosial, khususnya gerakan difabel. Secara internal, meskipunmereka masih terus berproses, telah muncul kesadaran tentang pentingnya “bergerak” dan“pergerakan”. Transformasi dan penguatan kapasitas digunakan sebagai kata kunci untukmemperkuat organisasi serta memperteguh tujuan gerakan. Paralel dengan kerja-kerja kedalam, mereka juga terus memperkuat jaringan ke luar desa.

Dalam narasi besar teori gerakan sosial, apa yang dilakukan oleh FDS bisa dikategorikansebagai gerakan sosial baru (GSB). Merujuk pada pandangan Singh (2001), tujuan GSBadalah untuk menata kembali hubungan negara dengan masyarakat dan masyarakat denganekonomi. Selain itu, GSB juga melakukan dorongan terciptanya ruang publik yangmemungkinkan masyarakat bisa saling berkontestasi gagasan tentang isu seputardemokratisasi, otonomi, kebebasan individu, kolektivitas, serta identitas (Singh, 2001). GSBjuga mendorong terwujudnya representasi yang lebih substantif ketika struktur politiknegara tidak mampu menyuarakan aspirasi mereka. Dengan demikian, kehadiran GSBmerupakan bentuk perlawanan atas kekosongan representasi substantif yang selama inidibajak oleh kekuatan-kekuatan politik dominan yang berkuasa. Karena itu mereka berusahamenciptakan dan menyerukan struktur yang lebih responsif terhadap kebutuhan-kebutuhanindividu dengan membangun struktur yang terbuka, terdesentralisasi dan non hirarkis.

menyelenggarakan pertemuan-pertemuan, FDS sering difasilitasi oleh SIGAB (Sasana Integrasi dan AdvokasiDifabel). sebuah NGO yang berada di Yogyakarta yang concern melakukan kerja-kerja advokasi difabel.10 Pendekatan dengan cara pandang ini tentu berbeda dengan pendekatan Medical Model of Disability. Dalampendekatan Medical Model of Disability, penanganan terhadap disabilitas dilakukan dengan cara rehabilitasidan metode-metode pengobatan secara medik.

Page 62: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

Serupa dengan pengalaman Nglanggeran dan Sidorejo, Desa Panggungharjo, KecamatanSewon, Kabupaten Bantul menjadi contoh baik interaksi antara warga yang aktif denganpemerintahan yang rensponsif. Di Panggungharjo, inisiatif warga tumbuh subur karenapemerintah desa telah merubah corak tata kelola pemerintahan desa yang sebelumnyatertutup menjadi model pemerintahan desa yang terbuka yang menempatkan transparansidan akuntabilitas sebagai nilai dasar pengelolaan pemerintahan desa. Dampak perubahandari model pemerintahan desa yang terbuka dan responsif memunculkan banyaknya forum-forum warga yang aktif dalam upaya terlibat dalam proses pembangunan desa.

Praktik tata kelola Pemerintah Desa Panggungharjo yang terbuka dan responsif dapatdiamati pada pelaksanaan pelaksanaan Musrenbangdes. Sebagian besar warga yang aktif diperkumpulan di tingkat RT atau Pedukuhan mengetahui perencanaan dan pelaksanaanprogram yang dilakukan Pemerintah Desa Panggungharjo. Warga mengetahui laporaninformasi penyelenggaraan pemerintahan desa melalui perkumpulan di tingkat RT ataupedukuhan.11 Tidak hanya itu, sosialisasi kegiatan dan pertanggungjawaban desa biasanyadisampaikan di forum Pakarti dan Pandu yang biasanya digelar di pelataran Masjid atauMusholla yang bertebaran di setiap pedukuhan. Saat ada perencanaan pembangunan yangdigelar pemerintah desa, warga melakukan musyawarah dari tingkat bawah untukmembahas program apa yang akan diusulkan dan penting dilaksanakan. Usulan tersebutdisampaikan ke desa melalui dukuh masing-masing. Puncaknya pada saat pelaksanaanmusrenbang tingkat desa pada bulan Agustus 2016 lalu di Balai Desa Panggungharjo. DalamMusdes tersebut, peserta yang hadir kurang lebih 100 orang warga berasal dari berbagaimacam representasi latar belakang sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Bahkan Musdesyang membahas perihal RKPDesa (Rencana Kegiatan Pemerintah) Desa PanggungharjoTahun Anggaran 2017 itu, hampir 50% peserta yang hadir adalah kaum perempuan.

Dalam berkebudayaan, masyarakat desa ini dapat dikategorikan masyarakat yang aktif,kreatif, dan menjujung tinggi nilai-nilai budaya tradisional. Keaktifan dan kreatifitasmasyarakat dapat ditilik dari ragam komunitas kewargaan desa, seperti komunitas seni,budaya, kuliner, obat tradisional, perawatan warisan budaya (heritage), kerajinan dan kriyayang sejauh ini saling berinteraksi secara inklusif tanpa menciptakan sekat-sekat sosial. Dansebaliknya justru mendorong adanya pembauran sosial. Mereka semua memperoleh aksesyang sama di memberikan masukan perihal pembangunan desa kepada pemerintah desamelalui RT dan Dukuh. Kemunculan dan beragamnya forum-forum warga aktif yang tidak

11 Forum di tingkat Rukun Tetangga (RT) selalu menjadi basis berkegiatan warga di setiap pedukuhan di DesaPanggungharjo. Di RT 03 Pedukuhan Krapyak Wetan misalnya, terdapat perkumpulan dasawisma untuk ibu-ibudan perkumpulan pengajian atau tahlilan untuk bapak-bapak. Pertemuan kelompok perempuan yangtergabung dalam dasawisma tingkat RT biasanya digelar minggu pertama setiap bulan. Perkumpulan kelompokperempuan tersebut tidak hanya menggelar pengajian, tapi juga menggelar arisan bahkan termasukmembahas dan merespon isu kebersihan lingkungan dengan berinisiatif membentuk lingkar bank sampahwarga. Dalam setiap pertemuan tersebut, ibu-ibu membawa sampah non-organik yang berasal dari rumahtangga masing-masing. Selanjutnya, sampah tersebut disetor ke pengurus BUMDesa Panggung Lestari DesaPanggungharjo.

Page 63: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

hanya berbasis wilayah namun juga sektoral mendorong semakin kuatnya kohesifitas sosialdan mendorong terbangunnya inklusitas sosial di desa. Rekatan-rekatan tersebut digerakkanmelalui komunitas-komunitas yang berkembang di setiap pedukuhan Desa Panggungharjo.Rekatan yang berasal dari inisiatif warga selanjutnya menjadi gayung bersambut bagiPemerintah Desa Panggungharjo dalam merumuskan visi misi pembangunannya. Tiga halyang dianggap penting sebagai perekat mewujudkan pembangunan desa ialah inisiasi desabudaya, menggerakkan remaja untuk mewujudkan desa sehat, dan pengaturan rumah sewaatau kos-kosan.

Salah satu inisiatif warga yang difasilitasi oleh Pemerintah Desa adalah pembentukanPaguyuban Bumi Panggung. Pembentukan Paguyuban Bumi Panggung merupakan langkahstrategis pemerintah desa untuk menyiapkan Desa Panggungharjo sebagai rintisan desabudaya. Bumi Panggung merupakan implementasi dari inisiatif warga untuk berkesenian.Banyaknya komunitas seni dan budaya yang bertebaran di Desa Panggungharjo menjadimomentum untuk mewujudkan desa destinasi wisata seni. Inisiatif kelompok kesenian inikemudian mendapatkan respon dari kepala desa dengan membentuk dan melantikkepengurusan Bumi Panggung. Kepengurusan Paguyuban Bumi Panggung sebagian besardiisi oleh kalangan pemuda. Melalui Bumi Panggung, para pemuda Desa Panggungharjomemiliki arena untuk berkreasi dan berbudaya.12 Bahkan, untuk mewujudkan DesaPanggungharjo menjadi desa budaya, warga bersama pemerintah desa berinisiatifmemasukkan konsep tersebut dalam perubahan Peraturan Desa Nomor 4 Tahun 2013tentang Rencana Pembangunan jangka Menengah Desa Tahun 2013-2017.13

Selain isu terkait desa budaya, hal lain yang cukup menarik dari Desa Panggungharjo adalahadanya inisiatif warga desa tentang isu perlindungan hak anak. Pemerintah desa bersamadengan anak-anak dan para remaja desa berinisiatif membentuk forum anak DesaPanggungharjo yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Lurah Nomor 10 Tahun 2015sebagai suatu bentuk keberpihakan pemerintah desa kepada pemenuhan dan perlindunganhak anak. Narasi–narasi tersebut menandai adanya kemauan kuat Pemerintahan DesaPanggungharjo untuk memberi akses bagi hadirnya inisiatif warga dalam membangun desa.Geliat aktif warga desa ini merupakan suatu bukti bahwa apabila pemerintahan desa dapatmerawat prakarsa warga secara baik akan memunculkan ruang-ruang demokrasi yang lebihbermakna di tingkat desa.

12 Bumi Panggung sebagai wadah paguyuban di Desa Panggungharjo telah melaksanakan pagelaran seni yangdisebut Panggung Literasi Selatan. Panggung Literasi Selatan merupakan inisiatif warga desa untuk mewadahipara pelaku seni dan pertunjukan yang tersebar di segenap pelosok desa, terutama di wilayah Selatan yangkebetulan berdekatan dengan kampus ISI Yogyakarta.13 Khususnya di penjelasan tujuan dan sasaran Pemerintah Desa Panggungharjo mengemban salah satu misipeningkatan kesadaran masyarakat terhadap kelestarian seni budaya dan tradisi lokal.

Page 64: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

Sementara di Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, isupengelolaan sumberdaya air merupakan hal yang sangat krusial bagi sebagian besar wargaDesa Umbulharjo, sebuah desa yang terletak di kaki Gunung Merapi. Inisiatif warga dalampengelolaan air bersih muncul dari sejarah panjang bagaimana warga desa berupayamemenuhi kebutuhan air bersih. Pada awalnya, mereka memenuhi kebutuhan air untukmandi dan mencuci harus bersusah payah mengakses sumber air dari sungai kecil yangbernama kali kuning. Sedangkan air bersih untuk kebutuhan rumah mereka harusmembawanya dengan “ngangsu” dari bawah yakni dari Umbul Temanten.14 Bagi wargayang mampu, mereka memasang selang sendiri untuk membawa air ke rumahnya. Hal initerus berlangsung sampai tahun 1997-1998 saat pemerintah pusat melaksanakan P3DT(Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal) dengan pembangunanprasarana air bersih, salah satunya membuat bak penampungan air.15

Setelah adanya bak penampungan air, mulailah muncul inisiatif warga desa melalui danaswadaya membuat instalasi pipa untuk menyalurkan air dari bak penampungan air hinggake rumahnya. Sayangnya, inisiatif warga ini masih bias kepentingan rumah tangga yangmampu atau yang dekat dengan sumber mata air saja. Akibatnya hanya warga desa yangberada di dekat bak penampungan air dan mampu yang dapat mengakses air. Warga yangjauh dari bak penampung dan tidak memiliki dana sulit untuk mendapatkan air bersih. Halini menunjukkan bahwa inisiatif warga baru muncul setelah adanya stimulus program daripemerintah dan di sisi lain juga menunjukkan masih kurangnya kesadaran sebagian wargadesa untuk berbagi sumber daya air kepada warga desa lainnya yang membutuhkannya.Merespon permasalahan tersebut, pemerintah Desa Umbulharjo pada tahun 1998berinisiatif untuk terlibat dalam pengelolaan air bersih. Pemerintah desa mengundangbeberapa tokoh masyarakat dari beberapa dusun untuk membentuk Organisasi PengelolaAir Bersih (OPAB). Proses pembentukan pengurus OPAB ditentukan melalui musyawarahmufakat. Setelah terbentuknya OPAB, sumberdaya air mulai dapat terdistribusi kepadasemua warga secara merata.

Pengelolaan sumberdaya air merupakan isu publik yang sangat penting di Desa Umbulharjo,sehingga isu tersebut selalu mendapat perhatian dan sorotan warga desa. Warga desa aktifmengartikulasikan suaranya terkait pengelolaan sumberdaya air terutama, jika adapermasalahan yang dirasa memberatkan warga desa. Untuk merespon suara-suara wargaterkait permasalahan pengelolaan sumberdaya air tersebut, pemerintahan Desa Umbulharjomelalui Badan Permusyaratan Desa (BPD) berinisiatif membuat buku aspirasi. Warga DesaUmbulharjo juga terbiasa menyalurkan aspirasinya melalui rapat-rapat Rukun Tetangga (RT)dan bahkan menyampaikannya secara langsung kepada perangkat desa dan kepala desa.

14Ngangsu adalah istilah dalam bahasa jawa yang berarti mencari dan mengambil air dengan cara manual darisuatu tempat. Umbul Temanten adalah salah satu mata air utama di Desa Umbulharjo yang terletak di LerengMerapi.15Program ini bersumber dari Bappenas dan diimplementasikan pada tahun 1997-1998 dalam bentukpenyedian sarana prasana air bersih berupa pipa saluran air dari sumber mata air dan bak-bak penampunganair di setiap dusun

Page 65: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

Berbagai permasalahan yang muncul baik internal maupun eksternal tidak menyurutkanpelayanan OPAB kepada warga desa Umbulharjo. OPAB terus melakukan perbaikanpengelolaan dan peningkatan pelayanan yang lebih baik bagi warga secara keseluruhan.Baru-baru ini OPAB sedang melakukan program pemasangan water meter. Programtersebut dilakukan sebagai jalan keluar dari polemik kecemburuan distribusi air diantarawarga. 16 Pemasangan water meter dipandang sebagai solusi untuk mengukur penggunaanair agar terjadi proses yang adil bagi semua penerima manfaat dalam memanfaatkansumberdaya air. Agar tidak membebani warga desa selaku pengguna, pengurus OPABberinisiatif untuk mencari sumber pendanaan dari program-program pembangungan, mulaidari program Rekompak hingga menggunakan Dana Desa.17 Hal tersebut dilakukan olehpengurus OPAB dikarenakan banyak warga yang menolak untuk dipasang water meterkarena khawatir jika terpasang water meter aliran air tidak akan lancar. Mereka menunggubukti ketika dipasang water meter dan diatur pengelolaannya dengan tarif maka aliran airakan lancar dan teratur. Oleh karena itu, pengurus kemudian membuat pilot project didusun Pentingsari untuk program pemasanganwater meter.18

Praktik baik ini segera disosialisasikan ke seluruh warga desa dan program dilanjutkan didusun Karanggeneng, Gambretan, dan sebagian Balong yang belum terpasang semua.Beberapa dusun sudah menyetujui untuk pemasangan alat pengukur pemakaian airtersebut. Hanya Dusun Gondang yang masih menolak untuk dipasang water meter. Padahal,Gondang merupakan dusun yang banyak berdiri pondok wisata, semacam penginapan-penginapan kecil. Pemakaian air di pondok wisata relatif lebih besar dibandingkan denganpemakaian rumah tangga biasa. Penolakan tidak hanya dari pemilik pondok wisata, tetapimasyarakat lain juga menolak. Penolakan ini lebih disebabkan kurangnya kesadaran parapelaku usaha wisata dan warga untuk berbagi pemanfaatan air dan sarat dengankepentingan ekonomi mereka. Pemerintah desa dan pengurus OPAB masih terusmemberikan sosialisasi kepada warga Gondang terkait water meter ini melalui pertemuan-pertemuan warga.

Selain permasalahan pengelolaan dan pelayanan sumberdaya air oleh OPAB dalam rangkamelayani kebutuhan air bersih bagi warga Desa Umbulharjo, pemanfaatan sumberdaya airtersebut juga menimbulkan permasalahan lain karena sumberdaya air tersebut jugadimanfaatkan oleh pihak pengelola lainnya yakni Perusahaan Air Minum Daerah (PDAM)Tirta Marta yang merupakan perusahaan daerah Kota Yogyakarta dan PDAM Tirta Dharma

16 Sebelum adanya water meter, warga hanya dibebankan iuran tetap Rp. 4.000,- per bulan tanpamempedulikan penggunaan debit air yang digunakan. Namun, seringkali beberapa warga yang berada didaerah bawah tidak bijak dalam menggunakan air. Mereka membiarkan air mengalir hingga meluap padahalada warga lain yang rumahnya berada di atas tidak mendapatkan air karena semua air mengalir ke bawah.17Rekompak (Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat dan Permukiman Berbasis Komunitas) merupakanprogram dari pemerintah pusat yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulan Bencana (BNPB) bersamaDitjen Penataan Bangunan dan Lingkungan Cipta Karya, Kementerian PU paska erupsi Merapi 201018Pentingsari dipilih untuk pilot project karena masyarakatnya yang relatif lebih mudah diajak melakukanperubahan dan mereka membuka diri dengan hal-hal yang baru. Hasilnya, setelah water meter terpasangaliran air bersih di dusun menjadi lebih lancar.

Page 66: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

yang dimiliki oleh pemerintah Kabupaten Sleman. Permasalahan yang cukup krusial adalahbelum adanya peraturan yang jelas diantara para pengelola sumberdaya air tersebut.Bahkan beberapa pihak pengelola tidak pernah memberikan kontribusi bagi hasil yang jelaskepada Desa Umbulharjo. Dana bagi hasil pengelolaan air dari perusahaan maupun desa laintidak dipatok pada biaya tertentu. Hal tersebut dikarenakan belum ada keputusan bersamaterkait pemeliharaan Umbul Wadon. Padahal, dana tersebut sangat dibutuhkan untukpemeliharaan jaringan dan menjaga kelestarian sumber mata air. Saat ini baru PDAM TirtaMarta yang memberikan iuran perawatan kepada desa Umbulharjo sejumlah Rp.7.000.000,-pertahun, dan PDAM Tirta Darma Rp. 2.500.000,-pertahun.

Berbagai permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya air tersebut pada akhirnyamendorong inisiatif warga bersama pemerintah desa serta BPD untuk mengelolasumberdaya air sebagai bagian dari unit usaha BUMDesa.19 Inisiatif ini mampudiartikulasikan hingga berdiri BUMDesa melalui forum musyawarah desa (Musdes) yangmengelola air bersih melalui unit usahanya. Pemerintah desa, BPD, dan BUMDesa sertawarga desa berharap bahwa dengan dikelola oleh BUMDesa maka pengelolaan air ke depandapat lebih profesional tanpa meninggalkan kearifan lokal yaitu gotong royong dan swadayamasyarakat serta tarif yang dapat diterima oleh semua pihak.

Kisah prakarsa warga terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam dan aset desa dapatjuga dilihat dari apa yang terjadi di Desa Punjulharjo, Kecamatan Rembang, KabupatenRembang.20 Isu publik yang mengemuka di Desa Punjulharjo tentang pengelolaan kawasanpantai Karang Jahe Beach (KJB) sebagai kawasan wisata baru di Rembang. Beberapapermasalahan yang terjadi dalam konteks pengelolaan kawasan wisata itu antara lain; kasustukar guling tanah milik desa yang akan dijadikan kawasan wisata dengan tanah milik wargayang berada di lokasi wisata tersebut; transparansi pengelolaan keuangan KJB; sertamasalah penempatan lokasi berdagang bagi warga desa yang ingin berjualan di lokasi wisatatersebut.

Untuk mencari solusi atas permasalahan tukar guling tanah yang belum rampung, sebagianwarga yang terdampak menggunakan saluran formal yakni Musyawarah Desa (Musdes)untuk menyampaikan kepentingan mereka.21 Selain menggunakan saluran formal melaluiMusdes, warga pernah melakukan demonstrasi kepada mantan Kades berkaitan denganmasalah tukar guling yang menurut masyarakat pengurusannya tidak kunjung selesai. Saatitu, puluhan ibu-ibu yang berdemonstrasi mendatangi kediaman mantan lurah untukmenanyakan penyelesaian soal tukar guling. Mereka memperoleh penjelasan: pertama,

19Pilihan terhadap BUMDes sebagai suatu model pengelolaan barang kepentingan untuk umum (public goods)merupakan suatu solusi dalam pengelolaan sumberdaya alam dan asset desa yang relatif berkeadilan dalamhal distribusi barang kebutuhan umum warga. Dengan syarat dikelola secara professional yangmengedepankan prinsip akuntablitas dan transparansi serta tanpa meninggalkan kearifan lokal sertapartisipasi warga desa.20 Dikenal sebagai desa dengan karakter desa pesisir Pantai Utara Jawa yang relatif kental dengan nuansabudaya santri yang cenderung paternalistik dan patriarkhis.21 Sampai penelitian ini selesai diselenggarakan, belum ada solusi atas permasalahan tersebut.

Page 67: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

bahwa belum semua warga yang ikut program tukar guling membayar secara lunas, dankedua, saat demonstrasi tersebut terjadi, aturan tukar guling harus sepengetahuangubernur. Namun sayangnya, demonstrasi warga tersebut masih belum membuahkan hasilberupa kepastian hukum terhadap proses tukar guling pada warga, sekalipun ada wargayang telah membayar lunas.

Selain masalah tukar guling, isu krusial lainnya terkait pengelolaan KJB adalah transparasipengelolaan keuangan KJB yang dinilai warga kurang dapat dipertanggungjawabkanpengelola KJB. Berangkat dari kondisi tersebut, sebagian warga desa berinisiatifmengusulkan perubahan kelembagaan pengelola KJB yang kemudian diubah menjadi BadanPengelola KJB (BP KJB). Dalam badan pengelola tersebut ada unsur BPD, pemerintah desa,PKK, mantan pengurus Karang Taruna dan unsur-unsur lain. Dengan diperluasnya unsur-unsur pemangku kepentingan yang duduk dalam BP KJB, maka kepercayaan warga terhadappengelola KJB meningkat. Kontrol terhadap pengelolaan KJB dilakukan oleh wakil-wakilwarga dalam badan itu. Penyelesaian atas persoalan-persoalan tersebut dalam BP KJB,biasanya ditempuh dengan cara musyawarah.

Selain forum formal, terdapat semacam tradisi-tradisi lokal yang sering dilakukan wargauntuk menyampaikan gagasan, aspirasi dan inisiatif warga terkait pengelolaan KJB, sepertiforum tahlilan di masing-masing RT, forum pengajian di masjid, serta obrolan di warung-warung kopi yang banyak terdapat di Desa Punjulharjo. Pada umumnya setelah diskusidalam forum-forum informal tersebut, ditindaklanjuti dalam forum formal di tingkat desa.Bahkan warga masyarakat juga bisa mendatangi kepala desa secara personal dan pihak BPDserta tokoh agama untuk menyampaikan permasalahan mereka terkait dengan KJB. Perantokoh agama masih relatif kuat dan berpengaruh di Desa Punjulharjo yang merupakanlingkungan masyarakat pesantren.

Saluran-saluran di atas dipandang cukup efektif untuk menyalurkan inisiatif warga. Apalagi,selama ini kepala desa cukup akomodatif menampung keluhan atau aspirasi warga yangrasional. Menurut ketua ibu-ibu PKK Desa Punjulharjo, jika memang usulan itu cukup baikuntuk kepentingan warga masyarakat dan tidak melanggar aturan, biasanya kepala desaakan memperhatikan. Penggunaan ruang-ruang publik untuk menyampaikan aspirasi dandialog sudah cukup terbuka. Warga cukup mampu menyampaikan keinginan dan harapanuntuk disampaikan kepada Kadesnya. Ruang publik sebagai sarana demokrasi di desaPunjulharjo sudah bisa dirasakan warga masyarakat.22

Meskipun demikian, adanya ruang-ruang publik yang dapat menjadi ruang artikulasi bagiinisiatif warga dalam menyampaikan kepentingannya tersebut, tidak dengan sendirinyamenjamin adanya keterbukaan dan kesetaraan dalam ruang demokrasi desa. Hal inidikarenakan masih relatif kentalnya budaya paternalistik dan patriarkhis di DesaPunjulharjo. Buktinya, hampir semua pelaku perubahan di desa Punjulharjo didomininasi

22Ruang Demokrasi deliberatif akan sulit berkembang dalam masyarakat yang masih kuat pengaruh budayapaternalistik (parochial) dan patriarkhis, karena demokrasi deliberatif mensyaratkan adanya kesetaraan antarawarga dalam membangun diskursus publik.

Page 68: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

oleh para tokoh agama dan laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa ruang publik di Punjulharjobelum sepenuhnya ramah terhadap partisipasi kelompok perempuan, termasuk di dalamnyadalam hal pengelolaan kawasan wisata KJB.

Senada dengan pengalaman Punjulharjo, Pengalaman di Desa Mekarjaya, KabupatenSukabumi, menunjukkan keterbatasan saluran komunikasi politik warga melalui jalurdemokrasi formal-prosedural dan keterwakilan di desa, ternyata mampu dipecahkan olehwarga. Warga Desa Mekar Jaya memanfaatkan saluran komunikasi tradisional dalam bentuktradisi “gotong royong” yang masih sangat kuat dalam membahas berbagai permasalahanatau isu-isu publik yang tengah menjadi perbincangan warga desa. Di desa ini, gotongroyong tidak hanya sekedar sebuah aktivitas kerjasama fisik dalam membangun sesuatu,tapi berkembang pula diskusi yang membahas isu-isu publik atau permasalahan umum yangterjadi di desa. Mulai dari pembahasan terkait penggunaan alat berat untuk mempercepatpembangunan lapangan sepak bola desa, diskusi tentang perlu tidaknya perempuan terlibatdalam pembangunan lapangan sepak bola, masalah peraturan desa hingga mendiskusikantentang anggaran desa.

Gotong royong sebagai sebuah modal sosial dimanfaatkan oleh pemerintah desa sebagaimedia dan saluran komunikasi politik antara warga desa dengan pihak pemerintah DesaMekar Jaya. Situasi komunikasi yang terbangun dalam kegiatan gotong royong tersebutrelatif terbuka dan dialogis. Warga desa siapapun dia, tidak peduli tua atau muda, kayaatapun miskin memiliki hak yang sama untuk menyuarakan aspirasinya. Pemerintah desamelalui kepala desa relatif hanya berfungsi sebagai fasilitator, sehingga pola komunikasiyang terjadi bersifat horizontal dengan kedudukan yang setara.23

Hal ini dapat ditunjukkan pada saat waktu istirahat di sela-sela aktivitas gotong royongpembangunan lapangan sepak bola. Ada seorang tokoh perempuan desa yangmengusulkan pada Kades agar perempuan diikutsertakan gotong royong pembanguanlapangan sepak bola. Kepala Desa tidak langsung menjawab, tetapi meminta pendapattokoh masyarakat lainnya yang ternyata kurang sependapat bila perempuan ikut gotongroyong membuat lapangan. Alasannya, disamping lokasi lapangan jauh dari kawasan rumahpenduduk, perempuan tidak banyak memanfaatkan lapangan sepak bola, sehingga kurangadil bila perempuan harus diikutsertakan. Berbeda dengan gotong royong membangunmasjid, musholla, air bersih dan jalan, perempuan selalu diikutkan dalam gotong royongdengan bentuk dan porsi pekerjaan yang disesuaikan dengan kepantasannya. Contoh lainyang terjadi saat gotong royong pada saat seorang pemuda mengajukan protes pada Kadestentang permasalahan kelompok pemuda yang mengajukan usulan dana untuk membuatkolam pemancingan pemuda, tidak bisa disetujui desa di tahun ini. Kepala Desa menjelaskanbahwa dana desa tidak bisa dikeluarkan kalau belum masuk dalam APBDes. Oleh karena ituusulan dari pemuda baru bisa diberikan tahun depan setelah dimasukan dalam RKPDes dan

23

Page 69: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

RAPBDes. Dialog antara pemuda dan Kades tentang dana desa didengar oleh semua wargadesa berpartisipasi dalam gotong royong tersebut.

Relatif tidak ada sekat-sekat sosial yang muncul dalam tradisi gotong royong di Desa MekarJaya tersebut menunjukkan adanya relasi kesetaraan dalam budaya warga desa. Jikadimaknai lebih dalam dapat diartikan bahwa antara nalar warga desa dan nalar pemerintahdesa relatif telah terbangun budaya egaliter yang dapat menjadi semacam embrio bagitumbuh kembangnya demokrasi deliberatif pada aras desa. Selain itu, inisiatif-inisiatif wargayang muncul dalam setiap aktivitas gotong royong tersebut merupakan bentuk nyata dariadanya kesadaran warga aktif untuk terlibat dalam proses pembangunan di Desa MekarJaya.

Tidak sebatas mendiskusikan hal berkaitan dengan aktivitas sehari-hari warga, gotongroyong pun membahas proses pengambilan keputusan publik terkait dengan peraturandesa, salah satunya Perdes tentang gotong royong. Ketua LPMD mempunyai ide yangdisampaikan secara langsung Kepala Desa dan anggota BPD bahwa Perdes gotong royongdianggap sangat penting untuk menjaga dan melestarikan modal sosial Desa Mekarjayayang telah terbukti menjadi kekuatan kemandirian desa. Siapapun kepala desanya, gotongroyong akan menjadi kekuatan utama desa. Jika tidak ada Perdes gotong royong,dikhawatirkan jika di masa yang akan datang Kades tidak suka dengan gotong royong, makakegiatan gotong royong tidak menjadi bagian kebijakan desa untuk kekuatan pembangunan.Pada akhir diskusi dalam forum gotong royong tersebut, disepakati akan diusulkan kepadaBPD untuk menyusun Perdes tersebut melalui forum Musyawarah Desa.

Cerita-cerita tersebut di atas merupakan contoh-contoh munculnya inisiatif warga yangdisampaikan di lokasi gotong royong. Hal ini membuktikan bahwa media gotong royongbisa menjadi forum warga untuk menyampaikan aspirasinya agar terakomodasi dalamprogram desa. Banyak program pembangunan Desa Mekar Jaya yang berawal dari inisiatifwarga yang disampaikan di lokasi gotong royong, seperti pembangunan jalan, pembangunanjembatan, pengembangan pertanian organik, dan lain-lain.

Pembelajaran yang bisa diambil dari Desa Mekarjaya ini adalah adanya fakta sosial bahwagotong royong warga bisa menjadi kekuatan desa untuk membantu warga yang miskintanpa tergantung dengan bantuan dari luar desa. Sudah menjadi tradisi masyarakat DesaMekarjaya dalam hidupnya berbagi dengan warga miskin sekitarnya, walupun kondisidirinya tidak berlebihan. Basis penopang kehidupan keluarga miskin desa ini dari gotongroyong warga di lingkungannya. Mulai dari pernikahan, melahirkan anak, membuat ataumemperbaiki rumah sampai pekerjaan hariannya mendapat dukungan dari warga disekitarnya. Warga Desa Mekar Jaya memiliki pandangan hidup yang menjadi acuan warga :“mandiri walaupun miskin, dan membagi kepada warga miskin walaupun dirinya tidakhidup dalam kecukupan”. Pandangan hidup ini merupakan bentuk keyakinan lokal yangdapat menambah khazahah pengetahuan atas praktik-praktik kehidupan berdemokrasi didesa-desa yang ada di belahan bumi nusantara ini.

Page 70: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

Lemahnya Inisiatif Warga

Selain menorehkan kisah sukses tentang inisiatif warga, ada pula variasi narasi tentanglemahnya prakarsa warga atau inisiatif warga yang kuat namun lemah dalammengkonsolidasikan dukungan sehingga tidak mendapatkan respon dengan memadai daripemangku kepentingan desa. Pengalaman Desa Cangkudu dan Ringinrejo, menggambarkantentang adanya inisiatif warga namun kurang disambut baik oleh pemerintah desa.Sementara pengalaman Ngadisari menunjukkan kuatnya pemerintah desa yang berhimpitdengan institusi adat justru melemahkan inisiatif warga.

Sebagaimana di Desa Panggungharjo, reformasi birokasi juga dilakukan oleh Desa Cangkudu,Kecamatan Balaraja, Kabupaten Tangerang. Desa ini telah berubah karakternya dari wilayahrural menjadi urban karena perkembangan industri yang ditandai banyaknya pendirianpabrik. Pemerintah desa telah melakukan peningkatan pelayanan publik menjadi makincepat dan mudah, sehingga warga desa pun merasakan manfaatnya. Warga Desa Cangkudumengakui apa yang telah dilakukan oleh pemerintah desa sekarang memang jauh lebihbagus, terutama dalam hal pelayanan administrasi di kantor pemerintah desa, dibandingkanpemerintahan desa terdahulu yang dipimpin oleh lurah yang berlatar belakang keluargajawara.24

Tetapi, reformasi teknokratis-adminitratif ini belum membawa dampak yang lebih luasdalam mendorong tumbuh kembangnya inisiatif warga, menciptakan keterbukaan saluranartikulasi warga dalam ruang demokrasi yang ada di desa. Upaya reformasi birokrasi di DesaCangkudu masih terbatas dampaknya pada perubahan kinerja aparat desa dalam melakukanpelayanan publik, terutama dalam hal meningkatkan kualitas dan integritas (kedisiplinandan kepatuhan terhadap sistem) perangkat desa. Perubahan dalam kinerja pemerintah desaini belum mampu membangkitkan gairah warga untuk berpartisipasi aktif dalam setiapproses pengambilan kebijakan di Desa Cangkudu.

Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan warga jika mereka jarang diajak berdialog untukmembahas hal-hal yang penting, seperti permasalahan ketenagakerjaan dan masalah konflikwarga dengan pabrik. Menurut warga, meskipun reformasi birokasi telah menghasilkanpelayanan kepada masyarakat menjadi lebih baik dibandingkan pemerintah desa terdahulu,

24Mengacu pada studi Tihami (1992:2000) dalam Hamid (2004), yang menyatakan bahwa Jawara merupakanindividu yang karena kekayaannya dekat dengan para Kiai atau ulama dan merupakan salah satu elemenkepemimpinan yang sangat berpengaruh di Banten. Dalam konteks sejarah masyarakat Banten, Jawara adalahsosok tentara fisik, yang pada saat era kolonial para Jawara ini bersama para ulama melakukan perlawananterhadap Kolonial Belanda. Secara etimologis, kata Jawara berasal dari bahasa Arab, “Jauharao” yang berarti“Permata” dan kata “Waro’i” yang berarti orang-orang yang bersih. Namun dalam perkembangannya maknaJawara telah mengalami transformasi menjadi makna yang berkonotasi negatif yakni menjadi akronim dariJalma Wani Rampog (orang yang berani merampok). Berdasarkan hasil penelitian dari Abdul Hamid (2006:45-63) terkait Peranan Jawara dalam konteks Penguasaan Politik Lokal di Banten, menunujukkan bahwa Jawaramerupakan entitas politik yang relatif berpengaruh dalam arena percaturan politik di wilayah Banten danbahkan telah mengakar dalam setiap sendi kehidupan politik di Banten.

Page 71: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

tapi pemerintah desa saat ini masih kurang mendengarkan aspirasi warga. Salah seorangtokoh di Desa Cangkudu, mengaku belum pernah diundang dalam proses musyawarah desauntuk membahas permasalahan pengelolaan bisnis limbah yang sering menimbulkan konflikdi desa ini. Pernyataan warga desa dan tokoh masyarakat Cangkudu dibenarkan sekaligusdiklarifikasi BPD. Dalam penyelenggaraan musyawarah desa, BPD berkilah tidak mungkinmengundang semua warga desa. Menurut BPD ketidakterlibatan warga dan tokohmasyarakat dalam Musdes hanya persoalan teknis karena sesungguhnya mereka sudahdiwakili oleh warga lain yang hadir dalam Musdes tersebut.

Pada kenyataannya apa yang dikritisi warga ternyata bukan semata persoalan teknissebagaimana diungkapkan BPD. Warga merasa kurang dilibatkan dalam merumuskan hal-hal strategis di desa yang dibahas dalam Musdes. Akibatnya, keputusan-keputusan strategispemerintahan desa belum diketahui oleh warga desa. Sebagian warga desa tidakmengetahui kebijakan desa dalam bentuk peraturan desa, termasuk tidak tahu besaranAPBDes dan alokasi atau penggunaannya. Prinsip transparansi dan akuntabilitas publikbelum nampak di Desa Cangkudu. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya informasi terkaitPeraturan Desa, APBDes dan juga LPJ Kepala Desa yang dapat diakses langsung oleh wargabaik dalam bentuk offline (papan pengumuman, banner, poster yang terpampang di kantorpemerintah desa) maupun yang dapat diakses secara online dalam bentuk media sosialseperti facebook, twitter, dan website.

Apa yang terjadi di Desa Cangkudu, meskipun ada praktik partisipasi dalam prosesMusrenbangdes dan Musdes, namun belum merefleksikan hakikat atau substansi daripartisipasi yang menekankan pada prinsip kesetaraan dan inklusifitas. Sebagaimanadikatakan oleh Chambers (1996) bahwa dalam praktik partisipasi seringkali terjadi bias.25

Belajar dari pengalaman dari model reformasi birokrasi yang dilakukan Desa Panggungharjodan Desa Cangkudu ini dapat dijadikan sebuah model perbandingan. Inovasi yang dilakukanoleh dua pemerintah desa tersebut dalam melakukan reformasi birokrasi bagi perbaikanpelayanan publik relatif memiliki dampak yang berbeda. Reformasi birokrasi di DesaPanggungharjo memiliki tujuan untuk mendorong pemerintahan desa yang lebih terbukasehingga berdampak munculnya inisiatif-inisiatif warga dan forum-forum warga yang aktifmenyuarakan kepentingan mereka terhadap pembangunan desa. Di sisi lain, reformasibirokrasi yang terjadi di Desa Cangkudu relatif baru menyentuh aspek penataan administrasipemerintahan dan meningkatkan kapasitas birokrasi desa dalam melakukan pelayanankepada warga desa. Reformasi belum menyentuh aspek keterbukaan dan transparansipemerintah desa. Kondisi ini diperparah dengan masih minimnya inisiatif warga untukterlibat dalam proses-proses pengambilan keputusan di desa sehingga ruang demokrasiyang tersedia relatif masih berwatak formal-prosedural.

25 Seperti bias kepentingan elit atau hanya elit yang berpartisipasi, bias aktif atau hanya orang-orang yang aktifyang berpartisipasi dan meninggalkan yang pasif, bias gender dan bias kaum terdidik atau hanya orang-orangyang terdidik yang berpartispasi. Sementara orang yang tidak berpendidikan tidak dilibatkan.

Page 72: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

Pelajaran yang dapat dipetik dari peristiwa tersebut adalah bagaimana sebuah kekuataninisiatif warga dapat membawa suatu perubahan nyata bagi warga desa. Terbentuknyaberagam forum warga aktif dalam merespon isu-isu publik di tingkat desa merupakan suatubentuk nyata dari sebuah gerakan sosial yang tumbuh dari warga dalam ruang demokrasidesa yang berperan aktif sebagai ruang antara (intermediary space) masyarakat sipil di satusisi dengan negara atau pemerintah desa di sisi yang lain. Inisiatif-inisiatif warga aktif inidapat menjadi sumber bagi proses penguatan demokrasi terutama dalam menghadapiperkembangan masyarakat yang semakin kompleks di desa. Di sisi lain, pemerintahan desayang responsif merupakan syarat utama bagi berkembangan pelembagaan demokrasi desayang lebih bermakna.

Berbeda dengan pengalaman Cangkudu yang minim inisiatif, kisah Inisiatif warga dengangerakan yang lebih radikal terjadi dalam kasus claiming lahan di Desa Ringinrejo, KecamatanWates, Kabupaten Blitar. Sayangnya, kuatnya inisiatif warga tidak direspon baik olehpemerintah desa yang cenderung tertutup dan korporatik. Di desa ini, terdapat tanah milikPT. Semen Dwima Agung Para yang tidak dimanfaatkan, sehingga sejak tahun 1990andiolah oleh warga. Alasan warga memanfaatkan lahan tersebut karena memungkinkanmereka yang lahan pribadinya sedikit dapat mengolah lahan yang lebih luas, atau bahkanmemungkinkan mereka yang sebelumnya sama sekali tidak memiliki lahan garapan menjadimemiliki lahan untuk dikerjakan. Bertambahnya aset tanah yang digarap memungkinkanpertambahan jumlah produksi pertanian dan penghasilan mereka yang kemudianmeningkatkan kesejahteraan petani. Bahkan petani yang awalnya hanya menanam tanamanlahan sawah, kebun, dan ladang seperti singkong, jagung, kedelai dan terbatas pada musimpenghujan, kini mulai melakukan variasi menanam tanaman hortikultura seperti cabai,melon, ketimun, semangka yang memiliki harga jual lebih tinggi. Para petani bahkanmembuat sumur bor dengan harapan dapat mengairi ladang sehingga dapat ditanamisepanjang tahun.

Selama puluhan tahun para petani telah memanfaatkan lahan. Selama itu juga merekaberupaya mengajukan klaim atas tanah tersebut, tetapi tentu tidak diijinkan olehperusahaan pemilik lahan. Mereka berorganisasi/berkelompok untuk mengupayakan hakkepemilikan atas lahan yang digarap. Hingga kini kelompok tersebut telah mengalamidinamika mulai dari pergantian kepemimpinan hingga terbelahnya perjuangan ke dalam duakelompok. Saat ini, terdapat dua kelompok masyarakat yang tengah memperjuangkanclaiming atas tanah PT. Semen Dwima Agung di Desa Ringinrejo. Kelompok pertama adalahPaguyuban Petani Gondangtapen yang digawangi oleh Talminto, dan yang kedua adalahkelompok Gito. Sayang, diantara kedua kelompok kurang terjadi komunikasi yang baikmeskipun tanah yang mereka perjuangkan sepenuhnya adalah tanah yang sama, begitupulamasyarakat penggarap yang mereka perjuangkan nasibnya. Ketiadaan komunikasi danpemahaman satu sama lain ini pada akhirnya juga menimbulkan saling prasangka satu samalain dan kebingungan bagi petani penggarap sehingga banyak petani memilih untuk tidakterlibat sama sekali dalam upaya memperoleh tanah perkebunan.

Page 73: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

Persoalan klaim ini semakin menguat ketika tahun 2013 Menteri Kehutanan melalui SuratKeterangan Menteri Kehutanan No.367 menyatakan bahwa lahan perkebunan milik PT.Semen Dwima Agung (seluas 724,23 Ha)merupakan kawasan hutan produksi.26 Masyarakatpengolah lahan merasa bahwa sumber penghidupan mereka terancam apabila pemerintahingin menghutankan kembali lahan yang telah mereka olah. Selain itu, sejumlah area dikawasan perkebunan tersebut tidak hanya telah berubah menjadi lahan bercocok tanamtetapi juga dimanfaatkan untuk pemukiman. Masyarakat tidak tinggal diam menghadapipermasalahan ini. Mereka melakukan berbagai aktivitas untuk mempengaruhi para pihakterkait, termasuk advokasi kepada pembuat kebijakan. Potensi internal kelompokdioptimalkan dan ditingkatkan, sekaligus menambah mitra jaringan yang mendukungperjuangan mereka. Gerakan mereka bersifat self-funded, menanggung bersamapembiayaan yang dibutuhkan untuk advokasi, baik ke Pemda Blitar, ke KementerianLingkungan Hidup dan Kehutanan, sidang di Pengadilan Tata Usaha Negara, hingga temudengar dengan pihak Semen Holcim di Swiss.

Dalam melaksanakan aksi, kelompok masyarakat tidak berjalan sendiri tetapi bekerjasamadengan organisasi non pemerintah yang menekuni isu pertanian seperti SolidaritasMasyarakat (Sitas) Desa, ELSAM dan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA). Kelompokmasyarakat memang sengaja mencari rekan dalam upaya advokasi, hal tersebut dilakukanpasca melihat banyaknya kisah sukses upaya claiming maupun redistribusi tanah wargaBlitar yang dibantu oleh organisasi masyarakat sipil. Sayangnya, dukungan dari berbagaipihak ternyata tidak diikuti oleh dukungan internal desa. Bahkan ketika warga mengajukangugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 367Tahun 2013, pemerintah desa sulit untuk memberikan tandatangan yang menyatakanbahwa 726 warga penggarap sawah yang terdaftar dalam dokumen gugatan merupakanwarga Desa Ringinrejo.

Berbeda dengan Cangkudu dan Riginrejo, kuatnya dukungan pemerintah desa juga terjadi diDesa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo. Hal yang membedakannyadengan Desa Nglanggeran dan Panggungharjo terletak pada inisiatornya. Jika diNglanggeran, warga yang berinisiatif kemudian didukung oleh pemerintah desa. DiPanggungharjo, antara inisiatif warga dan pemerintah desa berjalan beriringan karena Kadesmemiliki latar belakang aktivis organisasi masyarakat sipil tingkat desa. Tetapi di DesaNgadisari, pemerintah desa yang memegang peranan utama. Kuatnya peranan pemerintahdesa karena posisi mereka beririsan dengan pemerintahan adat.

Para tokoh adat di Desa Ngadisari menduduki posisi di pemerintahan desa. Kepala desa saatini merupakan isteri dari Ki Petinggi yang menjadi kepala desa pada periode sebelumnya.Selain punya akar yang kuat dalam pemerintahan adat dan formal, Ki Petinggi jugamemiliki jaringan politik yang membuatnya mampu menghadirkan kebijakan-kebijakan desa

26SK Menteri Kehutanan No.367 tahun 2013 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Produksi yang Berasal dariLahan Kompensasi dalam rangka Pinjam Pakai Kawasan Hutan Atas nama PT. Semen Dwima Agung, yangterletak di Desa Ringinrejo Kecamatan Wates Kabupaten Blitar Jawa Timur

Page 74: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

yang populis dengan dukungan politik dan finansial dari pemerintah Kabupaten Probolinggo.Kebijakan tersebut di antaranya: pembangunan infrastruktur dan akses jalan ke ladang-ladang warga di lereng-lereng gunung, pembuatan infrastruktur penunjang pariwisata,seperti rest area dan kawasan Seruni Point yang dibangun di Dusun Cemoro Lawang, dusunterdekat dengan kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS).27Pembangunaninfrastruktur pertanian dan penataan sektor jasa pariwisata merupakan keberhasilan KiPetinggi selama menjabat. Respon positif warga ini memperlancar isterinya saatmencalonkan diri sebagai kepala desa Ngadisari.

Berhimpitnya peran adat dan peran pemerintahan formal ini di satu sisi membuat watakpemerintahan desa bersifat oligarkhis, tetapi di sisi lain dapat memperlancar rekognisiaturan adat menjadi aturan formal pemerintah desa. Hal ini bisa terjadi karena kuatnyakomitmen pemerintah desa untuk melindungi aset desa, khususnya tanah. Bagi masyarakatadat Tengger, tanah merupakan ibu bumi suci atau ibu pertiwi, mereka menempatkan tanahseperti halnya seorang ibu yang memberikan kebaikan sehingga kedudukannya harus dijagadan dihormati. Arti simbolis ini, bagi beberapa masyarakat agraris menunjukkan kecintaanatau rasa lekat pada tanah yang dihubungkan dengan penghormatan kepada dewi bumi, ibupertiwi yang melahirkan kehidupan kodrati (Dillistone, 2002).

Sebagai bentuk pengakuan terhadap aturan adat, pemerintah Desa Ngadisari mensahkanPeraturan Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura No. 2 Tahun 2015 tanggal 4 Mei 2015tentang “Tata Cara Mutasi Tanah”. Perdes ini pada intinya mengatur bahwa tanah diNgadisari tidak boleh dijual atau disewakan kepada pihak luar tanpa rekomendasi kepaladesa dan ketua adat. Untuk memperkuat Perdes ini, pemerintah desa melakukan advokasike Badan Pertanahan Nasional, sehingga di setiap sertifikat tanah yang diterbitkan untukwarga Ngadisari memiliki stempel berwarna merah yang berisi larangan sebagaimana diaturdalam Perdes No. 2 Tahun 2015.

Belajar dari pengalaman Desa Panggungharjo dan Ngadisari, transformasi identitas sebagaimasyarakat sipil menjadi bagian dari pemerintahan desa, memberi peluang sangat terbukakomunikasi politik antara pemerintah dengan masyarakatnya. Kades Panggungharjo berasaldari aktivis organisasi masyarakat sipil di tingkat desa sehingga kebijakannya pun mampumerepresentasikan kepentingan masyarakat. Kades Ngadisari berasal tokoh adat sehinggamerumuskan kebijakan desa yang merekognisi aturan adat. Perbedaannya, diPanggungharjo baik pemerintah dan masyarakatnya sama-sama aktif, sementara diNgadisari peran utama lebih dimainkan oleh para elit desa. Sementara warga hanyamengikuti apa yang telah diputuskan oleh elit desa yang duduk di pemerintahan desa danpara tokoh adat.

27Bagi masyarakat petani seperti Ngadisari, akses jalan ke ladang merupakan infrastruktur vital yang mampumengurangi biaya tenaga kerja (buruh angkut) dan mendekatkan pasar.

Page 75: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

C. Simpul Wacana

Berdasar pengalaman beberapa desa tersebut, ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik:pertama, gairah dan geliat warga dalam memanfaatkan ruang demokrasi desa dapat dilihatdari munculnya inisiatif warga dalam merespon berbagai isu di desa. Inisiatif warga tersebutakan semakin bermakna jika bisa bertemu dengan dukungan pemerintah yang responsif danterbuka terhadap suara-suara warga dalam merespon isu-isu publik, sehingga menunjukkanberjalannya demokrasi deliberatif pada aras desa. Kedua, semangat UU 6/2014 untukpengelolaan Desa yang semakin demokratis dalam realisasinya tidak sebatas terjadi dalamdemokrasi prosedural melalui Musdes, tetapi banyak forum-forum informal yang telahdimanfaatkan masyarakat desa untuk terlibat aktif dalam penyelenggaraan pemerintahandesa. Inisiatif warga desa harus dikanalisasi dalam ruang-ruang demokrasi deliberatif, baiksecara formal melalui musyawarah desa, maupun secara infromal melalui engagement(interaksi aktif) warga desa dengan pemerintahan desa.

Ketiga, peranan tokoh masyarakat memang diperlukan dalam rangka untuk menyelesaikankonflik tapi jika peran tersebut terlalu dominan apalagi dalam situasi budaya desa yangmasih sangat parochial akan memunculkan dominasi elit desa dalam menjalankankepentingannya atas pengelolaan sumberdaya alam dan aset desa. Keempat, isupengelolaan sumberdaya alam dan aset desa merupakan isu penting dan strategis di desakarena menyangkut hajat hidup orang banyak. Pengalaman berbagai desa menunjukkanbahwa isu ini menjadi media bekerjanya demokrasi deliberatif. Sensitivitas isu seringmengakibatkan sumber, dan untuk penanganannya tidak bisa dibiarkan hanya didasarkanpada inisiatif warga, pemerintah desa harus responsif sebagai pihak yang mempunyaiotoritas untuk menciptakan resolusi konflik yang berkeadilan bagi semua warga desa.

Kelima, lingkungan politik yang kondusif berperan penting dalam memunculkan inisiatifwarga. Di beberapa desa yang didominasi Kades atau elit lainnya, berdampak miskinnyainisiatif warga, Oleh sebab itu sebagai penyeimbang kekuatan atau dominasi elit desa,diperlukan kekuatan masyarakati sipil atau warga aktif yang berpartisipasi aktif dalampengelolaan sumberdaya alam dan asset desa, serta dalam pengelolaan desa secarakeseluruhan.

Page 76: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

Epilog

Arie SujitoSosiolog, Peneliti IRE

Tarik ulur antara harapan dan kegalauan sedang mewarnai dinamik desa hari ini.Pada satu sisi, begitu banyak cerita lokal menganyam prestasi, inovasi dan pola barupembaharuan desa yang mempesona. Mulai dari kisah sukses bidang pendidikan,teknologi informasi, pemberdayaan ekonomi, peduli lingkungan, tata kelolakeuangan, pelayanan publik (Tempo 30.01/2017), dan terobosan lainnya yang layakdiacungi jempol. Itulah penanda gairah kebangkitan desa, menepis mitosketerbelakangan (IRE, 2015). Akan tetapi, pada sisi lain kerap muncul sindiran sinis.Meruaknya berita mengenai maladministrasi, korupsi, degradasi ekologi, konflikkomunalitas yang terus membayangi desa, juga menciptakan kekhawatiran akanterjadinya kerusakan fondasi integrasi sosial komunitas.

Fenomena ini mengingatkan kita mengenai gambaran bagaimana mengawalipenerapan desentralisasi kekuasaan melalui otonomi daerah sebagai babak barupasca politik otoriterisme kala itu yang menandai gelombang awal reformasi.Mengalami fase transisi tentu tidak mudah untuk melangsungkan —meminjamgagasan Berger 1990) sebagai— internalisasi dan pembaharuan nilai-nilai. Dimanapengenalan model demokrasi sebagai sistem mengelola kekuasaan baru bertautdengan struktur sosial lokal mensyaratkan sekian penyesuaian. Kenyataannya,karakter budaya lama masyarakat yang dalam beberapa hal terdapat perbedaanmemerlukan proses dialog dan adaptasi baik tingkat substansi maupun simbolik. Apayang juga dialami di daerah dan desa kurang lebih berkisar soal semacam itu.

Meskipun demikian, secara bertahap perbaikan dan upaya strategis dalam rangkapembenahan terus bermunculan, kian meluas, dan kemudian tereplikasi menjadikebijakan yang terlembaga. Bahkan tidak kurang best practices (pengalaman terbaik)daerah menjadi inspirasi tingkat nasional. Hal itu artinya, proses awal pembaharuandesa sejak diterapkan UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa, yang masih diliputiketerbatasan tentu bisa dimaklumi. Kuncinya, kita mampu memetik pelajaran daripengalaman yang baik itu sebagai inspirasi meningkatkan kualitas perubahan kedepan.

Apa yang diuraikan didalam bab demi bab buku ini, tentu menjadi bahan menarikuntuk mengisi harapan baru itu. Perubahan struktur masyarakat, dinamika politiklokal serta keragaman pola kelola kekuasaan mengisyaratkan potret baru desa, yangkini mulai berubah. Romansa kehidupannya yang dulu identik keterbelakangan,miskin dan tertinggal, secara bertahap makin memancarkan pesona baru yangditandai dengan tumbuhnya berbagai inisiatif desa sebagai penanda kebangkitanlokalitas. Perjalanan awal Desa harus menghadapi kesulitan saat memperagakanpendekatan berdemokrasi. Mulai dari hal mendasar tentang model pembangunan,instrumentalisasi kebijakan serta tuntutan menciptakan pembaharuan. Sebagian apa

Page 77: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

yang dialaminya tidak asing karena sejarah “berdemokrasi” pernah dienyam. Tetapibanyak pula tantangan yang harus disesuaikan sehingga desa gagapmengoperasikannya. Kesemua ini, lagi-lagi perlu dimaklumi karena sejarah lama desatidak dibiasakan dengan demokrasi dan kemandirian.

Jika ditengok sejenak ke belakang misalnya, nampak jelas bagaimana rasanya begitulama desa mengalami marginalisasi (peminggiran), baik urusan ekonomi maupunpolitik. Pengalaman buruk dibawah tekanan corak kekuasaan otoriter Orde Baru dimasa lalu menjadikan desa sebagai objek pembangunan. Sekalipun selaludidendangkan strategi pembangunan berlabel swadaya, penerapan modernisasipertanian, justru desa semakin tereksploitasi. Dari rekaman historis, tidak sulitmengingat bagaimana proyek ambisus green revolution (revolusi hijau) sebagaireformulasi model pembangunan desa saat itu menekankan pertumbuhan ekonomiyang bertumpu pada sektor pertanian.

Perubahan sporadis dengan cita rasa kemajuan desa yang modern, toh padaakhirnya gagal menciptakan pemerataan dan kemandirian. Justru desa mengalamipelumpuhan sistemik. Selain terjadi kesenjangan sosial, kerusakan ekologi, jugamembuat nirdaya masyarakat karena pranata sosial dijinakkan oleh kebijakan politikkorporatik. UU No 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa saat itu menjadi faktoryang menjelaskan kebangkrutan desa dan masyarakat adat (IRE, 2010). Regulasi itumengubah relasi kuasa pengeloaan sumberdaya desa dalam kendali negara.Marginalisasi desa menjadi cerita suram yang mengisi sejarah lokalitas saat itu.

Sejak angin perubahan berhembus sebagai dampak reformasi, semangatmembangkitkan kembali komunitas grass root (akar rumput) ini mulai menguat. Adaharapan menjadikan desa sebagai poros pembangunan lokal penopangpembangunan nasional. Komitmen awal itu, paling tidak tercermin dari nafas UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang di dalamnya mengatur desa.Regulasi tersebut hendak mengembalikan roh desa pada asal-usulnya, yaknikemandirian. Selain sebagai bentuk rekognisi (pengakuan), kebijakan itu memberiruang desa bernegosiasi dalam pembangunan daerah.

Melalui desentralisasi kekuasaan bertajuk otonomi daerah, diharapkan mendorongpembaharuan desa. Jika bobot kekuasaan perencanaan pembangunan diletakkanpada daerah, dimungkinkan inisiatif dari bawah, yakni masyarakat, akanmendapatkan tempat. Disitulah kemudian dikenal model musyawarah perencanaanpembangunan (musrenbang) daerah yang mengombinasi pendekatan politik,teknokrasi dan partisipasi. Harapannya, penyerapan aspirasi lokal benar-benar darigrassroot.

Sayangnya otonomi daerah ternyata hanya menjadi berkah buat elit lokal dan belumsampai di rasakan nyata oleh rakyat desa. Otoritas kelola sumberdaya hanyamempertebal pembagian kue APBD yang dinikmati oleh pemerintah daerah denganwarna patronase politik yang mengitarinya. Distribusi manfaat pembangunan sangatterbatas dan tidak sampai menembus di akar rumput. Kalaupun sampai kemasyarakat, tidak lebih bersifat residual atau hanya mendapat sisa. Senyatanya,

Page 78: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

tidak ada korelasi positif antara tingginya partisipasi warga dengan besaran aksesmasyarakat pada APBD. Keberlangsungan otonomi daerah belum mengatasiketidakberdayaan desa (Tempo.Co, 15/11/2016).

Ketika otonomi daerah gagal membawa misi memberdayakan desa, kunci terpentingmengubah nasib desa sesungguhnya perlu menggeser pendulum kuasa politikpembangunan pada dataran paling bawah, yakni desa itu sendiri. Ketimpangan relasikuasa desa dengan supradesa (Kabupaten dan struktur di atasnya) menjadipenyebab pokok mengapa ketidakberdayaan desa terus berlangsung. Terbitnya UUNo. 6 tahun 2014 tentang Desa, dirasa sebagai salah satu jawaban. Selain memberipesan eksplisit berupa pengakuan (recognition) negara pada desa, regulasi ini jugamemperjelas kedudukan dan kewenangan desa dalam politik pembangunan. Bahkanmeredistribusi sumberdaya secara lebih nyata kepada desa dalam bentuk dana desa.Ini lompatan besar untuk menuju pembaharuan desa.

Jika dulu desa disatu sisi hanya dipompa untuk memperbesar partisipasi warga,sementara disisi lain disumbat oleh kewenangan supradesa, maka pola itu dibalik.Desa memiliki kesempatan dan “kuasa baru” yang dapat dimanfaatkan untukmengubah keadaan dirinya menjadi subjek. Meminjam pemikiran Foucault (1969),partisipasi baru masyarakat, artikulasi gagasan dan pengetahuan yang berproses ituberkesempatan mengambilalih ”kekuasaan baru”, menginterpretasi, kemudianterlibat berpolitik dalam pengertian yang lebih luas. Itulah yang secara eksplisitterjelaskan bahwa, kini Desa memiliki kewenangan untuk menentukan sendiriorientasi pembangunan. Perencanaan pembangunan Desa berisi tentang apa yangmenjadi kepentingan dan prioritas pemerintah dan warga desa itu sendiri.

Dengan demikian secara bertahap juga, ruang negosiasi terbangun. Dalam arenayang lebih luas, representasi sosial tidak lagi dimonopoli oleh, --meminjam bahasaBottomore (1966)--, para elit (rulling class) yang memegang kekuasaan formalekonomi-politik. Representasi sosial lebih menyebar sehingga memungkinkansirkulasi sosial secara lebih terbuka. Akses untuk melibatkan diri dalam proses sosialini sebagai kuasa baru, --yang oleh Foucault (2012)--, disebut sebagai, kekuasaanyang menyebar (decentering). Hal ini memantik pertanyaan kritis: arena apa yangbisa dimanfaatkan bagi masyarakat dan komponen lainnya dalam mengambilkeputusan bersama?

UU Desa mewadahi partisipasi warga melalui musyawarah desa (musdes) sebagaiarena dimana kontestasi dan pertarungan kepentingan dilangsungkan sampaimenghasilkan konsensus. Disitulah, menggambarkan apa yang oleh Habermas (1985)disebut gerbang terbangunnya demokrasi, situasi dimana relasi masyarakat yanglebih terbuka, saling mempengaruhi, mensyaratkan corak relasi egaliter, sehinggakomunikasi terbebas dari dominasi dan hegemoni oleh siapapun.

Tidak berhenti sebatas sebagai arena kontestasi gagasan, musayawarah desa jugabisa menghasilkan konsensus dari pertarungan dan negosiasi kepentingan parapemangku kepentingan desa. Ukurannya adalah, musdes bisa menghasilkan produkdokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes), yang

Page 79: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

kemudian diturunkan menjadi Rencana Kerja Pemerintahan Desa (RKPDes),selanjutnya secara konkrit dianggarkan dalam Rencana Anggaran Pendapatan DanBelanja Desa (RAPBDes). Dengan begitu, Desa pada tingkat tertentu begitu otonommemiliki kewenangan mengambil keputusan strategis, merencanakan,menganggarkan dan mengimplemetasi serta mengawasi pelaksanaan pembangunan.

Hal ini bermakna UU Desa telah mengubah pola relasi politik pembangunan secaranyata. Perubahan hubungan struktural semacam ini memberi peluang desa tidak lagibergantung oleh selera diatasnya (Arie Sujito, 2014). Jika dulu desa hanya menjadilokasi proyek, atau sekadar ajang komodifikasi oleh gugusan elit lokal, maka rantaimanipulasi pembangunan semacam itu dapat diputus. Bahkan, model-modelpembangunan sektoral yang mutilatif (membelah-belah desa secara parsial) sebagaibagian rekayasa teknokratik oleh dinas-dinas SKPD kabupaten/ kota dapat dicegah(Sutoro Eko, 2014). Karena itu, konsolidasi pembangunan dimungkinkan terjadi.Itulah substansi desa menjadi subjek pembangunan, yang menempatkan carapandang dari dalam desa (IRE, 2014).

Sekalipun masih berusia muda, kebijakan ini telah menumbuhkan harapan baru.Tercatat sejumlah inisiatif bermunculan. Banyak contoh desa-desa telah merintisjalan pembaharuan. Prestasi mengelola aset desa, rintisan pembangunan badanusaha milik desa (BUMDes), penataan administrasi dan keuangan, sistem informasidesa, maupun regrouping sosial dan penguatan forum-forum kewargaan menjadibukti awal yang dapat dijadikan sebagai rintisan perbaikan (IRE, 2016).

Desa-desa di Indonesia memang tidak dalam posisi titik berangkat yang sama.Kondisi ini terjadi karena warisan masa lalu dimana pola pembangunan menciptakankesenjangan kapasitas antar desa serta tipologi desa yang tidak mungkin sama satusama lain. Itulah tantangan serius yang dihadapi. Ada desa-desa yang cepat bergerakbegitu cepat dan aktif, responsif atas arus baru yang mendorong terjadinyaakselerasi pembenahan di berbagai hal. Karena itulah, muncul desa unggul denganberbagai indikator. Namun, diseberang lain, keterbatasan SDM, masihbersemayamnya kultur feodalisme, penyakit menahun berupa ketergantungan sertapola kepemimpinan konservatif (kolot, anti perubahan) menjadi masalah yang masihmembelit. Hal ini memuculkan sejumlah kekhawatiran mengenai ketidakmampuandesa dalam memanfaatkan kesempatan mengelola kewenangan ini. Salah-salah bisaterjebak konflik dan korupsi. Kondisi tersebut, tentu harus dimaklumi pada fase awalini, seraya terus berbenah sebagaimana dijelaskan di awal tulisan ini.

Pelajaran Penting

Jika diabstraksi dari tiga tema yang diulas dari buku ini menandaskan catatan pentingyang menarik untuk didiskusikan.

Pertama, berkenaan dengan kepemimpinan desa, memang ada kehendak kuat untukmelakukan pembaharuan corak kekuasaan dari pola lama kepemimpinan yangbersifat feodalistik yang diekspresikan dengan cara-cara otoriter yang sudahdianggap usang. Perwujudan transformasi desa dalam nafas demokrasi

Page 80: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

mengharuskan kepemimpinan yang prorakyat dan egaliter. Pengertian prorakyatadalah, pemimpin yang membangun desa dengan landasan nilai-nilai peduli,komitmen dan amanah atas apa yang dikehendaki rakyatnya. Orientasi semacam iniditandai oleh watak kekuasaan sang pemimpin yang egaliter, memperlakukanwarganya secara adil tidak diskriminatif, bahkan mudah dijangkau oleh masyarakatklas bawah. Artinya kepemimpinan desa diperlukan lebih terbuka, baik untukmenampung masukan, kritik maupun kemudahan masyarakat mengakses informasiatau kebijakan yang menjadi tugas dan domain pemerintahan desa. Dengan begitu,pemimpin akan memiliki legitimasi (pengakuan moral sosial) dari warganya, sehinggaberdampak meningkatnya partisipasi karena masyarakat kian peduli.

Beberapa desa telah mengabarkan berita positif soal lahirnya kepemimpinan modelini, yang dianggap sebagai modalitas penting bagi bekerjanya demokrasi desa.Namun, harus diakui masih banyak desa yang dihinggapi pola pemimpin yangkonservatif, bahkan terjebak pada oportunistik (mencuri kesempatan, aji mumpung)dengan gaya premanisme lokal. Ada pula pemimpin yang lebih berkonsentrasi padahal-hal administratif ketimbang berinovasi untuk membuat terobosan di bidangpemerintahan, pelayanan publik maupun model pembangunan desa. Kondisitersebut menyimpan pesan, bahwa sekalipun patronase elit masih kuat pada Desaasli dan parokial sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya, akan berhadapandengan kecenderungan inisiatif warga yang kuat dimana prakarsa warga menjadikontrol atas dominasi elit. Itulah tesis penting yang perlu untuk dikembangkan jikademokrasi desa akan diperjuangkan di desa.

Demikian pula, setidaknya UU Desa berhasil memaksa lahirnya model kepemimpinannormatif (sesuai gagasan formal yang diemban regulasi), dimana melalui pengaturanasas-asas yang mendorong inklusi dan akuntabilitas sosial memungkinkan bisaterjadi pembaharuan. Namun demikian, problem serius yang perlu diantisipasiadalah potensi dinasti politik masih berpeluang terjadi di desa. Kekuasaan, dalamderajat tertentu masih berpeluang sebagai penyangga kepentingan ekonomi politikpara elit lokal, khususnya potensi mencari rente.

Kedua, fungsi representasi untuk memastikan demokrasi komunitas bekerja,menunjukkan sejumlah kemajuan yang berarti. Peran BPD yang mewakili aspirasidan suara masyarakat desa, makin terdorong aktif sebagai pengontrol pemerintahdesa. Demikian pula fungsi legislasi dan budgeting. Peran semacam ini tergolongbaru, karena ada beberapa desa yang belum sepenuhnya mengaktifkan BPD untukmenggerakan demokrasi desa. Selain hambatan kapasitas SDM, kultur lama yangfeodal juga kerap menjadi kendala BPD dalam meningkatkan kualitasperannya.Tantangan untuk mengubur pola oligarkhi dan representasi simbolik masihharus dijawab dan diupayakan lebih kuat, agar tumbuh cara kerja lembagaperwakilan dengan langgam kolektivitas.

Terdapat fakta menarik di desa pada awal-awal perubahan, sejauh ini mencobamengkombinasikan gaya keterwakilan formal dengan informal. Saat dimana BPDdibayangi kesulitan mengartikulasi dan mengagregasikan kepentingan rakyat desadengan berbagai alasan, sumbatan-sumbatan itu disalurkan melalui jalur

Page 81: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

informalitas yang lebih dianggap mengakar dan dekat dengan “suasana batin” rakyatdesa. Sejauh ini mereka bisa saja memanfaatkan jalur agensi baru atau tokoh lamayang dianggap artikulatif dan bisa berperan sebagai “penyambung lidah rakyat”,maupun pendekatan lain yang “non birokratik”. Suatu model lama yang masihdianggap relevan mengiringi sistem demokrasi prosedural.

Hal lain yang perlu dicatat mengenai BPD ini adalah kesulitan membangun institusiyang inklusif, terutama terhadap kelompok rentan dan marginal. Disitu tercatat pulakomposisi gender belum seimbang, dimana BPD dalam mempengaruhi prosespengambilan keputusan publik yang masih didominasi oleh laki-laki. Hal iniberdampak pada masih lemahnya akses perempuan dan kelompok marjinalterhadap sumber daya ekonomi di Desa.

Ketiga, sejak kran pratisipasi dibuka, maka sejumlah inisiasi warga bermunculan.Temuan pada sejumlah desa sebagaimana diulas pada bab sebelumnya menjelaskanpengelompokan masyarakat sektor pertanian, keagamaan, pariwisata, perempuan,difable, pemuda, maupun lokus-lokus lain yang menggambarkan aktivitas keseharianmasyarakat desa. Makin hidupnya inisiatif dengan bertumpu pada kelompokkomunitas merupakan modalitas berharga dalam menghimpun aspirasi sehinggainisiatif itu dapat diakumulasikan dalam forum-forum yang lebih besar selevelmusdes maupun musrenbangdes.

Tidak bisa dipungkiri bahwa ruang lahirnya komunitas warga yang bergerakmemperjuangkan isu-isu publik dalam arena-arena formal dan informal di Desamakin menguat. Jika dulu masyarakat sangat minimalis dalam mengambil inisiasidalam pembangunan, bahkan cenderung pasif, kini sudah berubah. Sekalipun inisiasiitu masih terbatas atau, akan tetapi jika diolah dengan baik dan terorganisir makabisa menjadi daya ungkit emansipatif. Dengan begitu, akan membantu membangunkerja bersama dan engagement antar pihak di desa.

Dalam jangka panjang, pelibatan masyarakat sipil dengan kombinasi jalur artikulasiini menjadi peluang mendorong inklusi sosial di Desa. Bahkan dalam sejumlah kasusmenunjukkan bahwa inovasi yang digerakkan oleh kelompok civil society terbuktiberkontribusi meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan secara nyata (lihatkesimpulan kunci dari buku ini), termasuk perbaikan pelayanan publik. Ini capaianmenarik sekaligus tantangan.

Menakar Makna Baru

Jika ketiga tema (kepemimpinan, representasi, dan inisiasi warga) itu diperdalamterkait beberapa faktor; (1) pembentukan kepentingan publik; (2) perluasan ruangpublik; (3) inklusivitas aspirasi, menarik untuk dipelajari. Beberapa hal dapat dicatatsebagai berikut.

Pertama, Public interest formation. Isu, masalah, dan kebutuhan dasar masyarakatyang dulu sering tenggelam dan termarginalisasi oleh karena kepentingan elit desadan didomestifikasi karena pengaruh hegemonik golongan berkuasa, kini mulai

Page 82: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

bergeser ke tengah menjadi kepentingan publik dan berhasil menarik perhatianbanyak pihak di desa. Bahkan, menjadi pokok bahasan dalam arena formal desa.Wacana komunitas juga diwarnai dengan tema dan masalah dasar masyarakat. HalIni menjadi temuan menarik sekaligus sebagai kabar baik, dimana terdapatperubahan cara pandang mengenai isu publik.

Pembentukan kepentingan publik semacam ini hanya terjadi pada desa dimanacorak kepemimpinan bersifat relatif terbuka. Gaya kepemimpinan Kepala Desa yangbertanggung jawab, berkomitmen dan peka pada suara dan kebutuhan masyarakat,bertemu dengan kemampuan lembaga representasi (BPD) dalam mengagregasikankepentingan warga, tentu menjadi modal penting untuk memperjuangkankepentingan warga. Sebut saja misalnya urusan air, pelayanan publik, infrastruktur,ruang publik, BUMDes, serta sumberdaya ekonomi sejenis di desa. Corak openleadership (kepemimpinan terbuka) dan peran BPD yang responsif, dalam beberapakasus berhasil mengolah inisiatif aktif para warganya dan biasanya menjadikanaspirasi warga sebagai bahan pertimbangan utama mengambil keputusan strategisdi desa.

Pengalaman pada desa Umbulharjo, Panggungharjo, Punjulharjo, Mekarjaya,Nglanggeran menunjukkan beberapa bukti bagaimana beberapa masalah pokokmasyarakat grass root diangkat sebagai isu bersama yang layak diperjuangkan.Pengalaman beberapa desa ini dapatlah dianggap sebagai lompatan penting, layakdijadikan sebagai modalitas mendorong kesadaran kolektif memperkuat sikap peduliisu publik. Dengan kalimat lain, dapat pula disebut sebagai penanda gerak nadidemokrasi desa yang bermakna untuk masyarakat. Meski demikian, temuan positifini, dalam beberapa tidak bisa dipungkiri ternyata berseberangan dengan desalainnya yakni Sidorejo, Gulon, Ringinrejo, Ngadisari, Cangkudu dimana situasinyajusteru berkebalikan.

Kedua, public space extension. Salah satu problem serius yang dihadapi desa adalahpenyempitan akses masyarakat untuk terlibat dan mempengaruhi didalam prosesmengambil keputusan strategis, yang menyangkut masa depan desanya. Riset inimenemukan hal menarik, bahwa dalam prosesnya sejauh ini menunjukkan rata-ratapara Kepala Desa semakin terdorong untuk seinklusif mungkin disaat merancangpembangunan dan atau agenda lainnya yang dinilai strategis, dengan cara membukakesempatan seluasnya pelibatan masyarakat. Selain disadari bahwa hal demikianmerupakan prinsip tata kelola yang baik dan keharusan dalam membuat kebijakan,disisi lain para perangkat desa mereka juga menyadari keterbatasan diri sehinggaharus membuka akses agar mendapatkan masukan publik.

Begitupun dengan BPD, berhasil memanfaatkan musyawarah desa sebagai arenaformal, ditransformasi menjadi ruang “curhat” dan media kontestasi pengetahuandengan topangan forum-forum informal di komunitas. Makin meluasnya ruangpublik dan berhasil dijangkau oleh hampir semua lapis sosial masyarakat telahmemantik peningkatan inisiatif warga, yang dalam beberapa hal, merupakan caradan mekanisme baru menegosiasikan kepentingan agar berpengaruh pada kebijakan

Page 83: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

desa. Rata-rata desa seperti ini berhasil mendorong perubahan yang bisa dirasakanmasyarakatnya.

Ketiga, inklusivitas. Senafas dengan faktor terbukanya akses publik, desa yangberhasil memeragakan pendekatan semacam itu juga mampu menciptakankebijakan yang cenderung inklusif. Beberapa pengalaman pada 10 desa, hampirsemua desa itu pada aspek kepemimpinan, keterwakilan dan inisiasi telahmenghasilkan produk kebijakan yang mampu mengakomodasi kepentingan publikyang lebih luas. Paling tidak, kombinasi peran pemerintah desa, BPD dan kelompokmasyarakat yang menautkan pendekatan teknokrasi dan partisipasi telahmemungkinkan hadirnya kebijakan anti diskiriminasi pada kelompok-kelompok(pinggiran).

Temuan corak produk kebijakan inklusif ini menepis keraguan bahwa golonganminoritas pinggiran tidak mendapatkan tempat dalam menentukan keputusan desa.Sebab, sejauh ini, memang ada kekhawatiran mengenai potensi politik diskriminatifyang mengancam demokrasi yang diindikasikan dengan penyusunan keputusan yangtidak melibatkan golongan “silent” dan marginal seperti difable, petani, nelayan,buruh, anak-anak, dan perempuan. Temuan lain yang menarik, --bisa jadi anomali--ada sejumlah desa yang menjadi kajian IRE ini, sekalipun produk kebijakan dinilairelatif inklusif, namun tidak melalui proses pembentukan kebijakan yang partisipatif.Katagori semacam ini dimungkinkan dengan peran “elit terbatas” dimana merekaberhasil memasukkan beberapa usulan populis dalam kebijakan yang lebihmendekati kehendak rakyat.

Keempat, capital-driven aglomeration. Urat nadi dalam pencapaian tujuankesejahteraan desa bergantung pada kemampuan gerak ekonomi agar bisamenghasilkan pendapatan bagi desa. Hampir semua desa menyadari kebutuhankerjasama antar desa maupun pihak lain untuk mengakselerasi capaian ekonomidesa, yang diindikasi diantaranya soal orientasi memanfaatkan investasi disatu sisi,dan pada sisi lain pemeliharaan pada kelestarian lingkungan. Debat paradigmatikpembangunan secara artikulatif muncul dimana terjadi tarik ulur antara penumpuandiri pada pertumbuhan ekonomi dalam satu posisi dengan tema keberlanjutanlingkungan pada posisi berbeda.

Jika dikelompokkan dengan beberapa katagori, misalnya mereka yang dapat disebutekstrim dengan menolak kehadiran investasi dari luar dengan berbagai alasanseperti Punjulharjo. Ada pula bersikap kritis pada investasi dengan memberi bobotperhatian pada penyandingan sensitivitas pada perlindungan aset maupun dalamrangka kelestarian lingkungan seperti Cangkudu dan Ngadisari. Namun ada juga yangpermisif atas kepentingan publik dan keberlanjutan ekologi.

Beberapa desa, terkait tema pengembangan ekonomi dengan dorongan investasiternyata kehendak elit pemerintahan desa tidak sepenuhnya berjalan seiring denganmasyarakat. Perseberangan ini terjadi, baik antara Pemdes dengan BPD, bahkanmasyarakatnya. Hal paling sering terjadi adalah kepentingan pemanfaatkansumberdaya agraria seperti air, tanah dan juga sumberdaya strategis lainnya,

Page 84: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

misalnya benturan antara kepentingan petani yang mempertahankan pemanfaatantanah untuk kegiatan pertanian, sementara elit desa mengorientasikan padakegiatan wisata yang rawan pada kerusakan ekologi biotis dan nonbiotis. Kesulitanlain untuk soal pengembangan ekonomi dan daya dukung modal ini terkait puladengan fragmentasi kebijakan, tumpang tindih antara regulasi sektoral dengan UUDesa sebagai sentra orientasi desa. Hal demikian menjadi penyebab seringkali desaragu untuk menentukan kebijakan dengan sejumlah kekhawatiran benturan dengansupradesa.

Merintis jalan baru

Mempertimbangkan kecenderungan pola manajemen kekuasaan serta lanskapdinamik partisipasi sebagaimana pengalaman yang bisa dipetik dari 10 desa, tampakjelas orientasi yang dituju cenderung model deliberative democracy. Sejumlahpendekatan demokrasi partisipatorik setidaknya telah mampu menjadi daya ungkitmendasar bagaimana inisiatif warga berhasil masuk arena strategis seperti musdes,bertaut dengan political will (kehendak baik) pemegang kuasa formal seperti KepalaDesa dan perangkatnya yang kian didorong terbuka dan responsif, diperkuat olehagregasi dan peran artikulasi BPD sesuai dengan tugas dan fungsi yang diembannya.

Arena-arena baru musdes, musrenbangdes, maupun forum-forum sektoralkomunitas telah menjadi habitat subur bagi tumbuh dan terbangunnya sikapinteraksi kekuasaan yang makin cair. Praktik kekuasaan di desa telah menampilkankeunikan yang khas, sebagai situs baru demokrasi lokal yang jika dirumuskan sebagaipola deliberative democracy. Partisipasi dan inisiasi warga berisi kombinasi antaraperan tokoh, kesadaran akan hak-hak dasar, dan modal sosial merupakan kekuatanpenting sebagai faktor penggerak demokrasi desa. Demikian pula gaya pemimpinyang bergeser ke arah “terbuka, berkomitmen, dan tanggap” menjadi peluang politikpembaharuan dalam menyusun kebijakan publik desa yang lebih berpihak padarakyat. Kehadiran BPD juga sangah jauh berubah lebih maju. Kesan lama seolahlembaga representasi ini dulu dikesankan sebagai “kumpulan golongan sakit hati”atau lembaga kaum oligark, kini bergeser menjadi lembaga perwakilan yangmenyuarakan dan memperjuangkan kepentingan rakyat desa.

Pada akhirnya kita perlu menyadari betul bahwa masa depan desa, terutamademokrasi warga sebagai pilar lokalitas sejak implementasi UU Desa sangatdipengaruhi oleh bagaimana kita mampu mendialogkan antara narasi besar berupaparadigma demokrasi dengan realitas empirik atau cerita lokal yang ada saat ini. Kitaperlu memperkuat perimbangan wacana atau pembicaraan praksis, tidak hanyaberkutat pada wacana teknis, pandangan teknokratik administratif, yang dalambeberapa hal terjebak pada birokratisasi dalam membaca gerak desa. Namun harusdilengkapi dengan hal-hal substansi yang mencakup ideologi, metodologi kerjapemberdayaan serta nilai-nilai transformasi desa yang dibutuhkan Desa secarapraksis partisipatoris. Kita memerlukan kerja-kerja konkrit mendorong inisiatif dankreativitas baru untuk memaknai peluang perubahan yang lebih bermakna.

Page 85: PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?repo.apmd.ac.id/801/1/desa situs fix.pdfDi tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi

Disadari pula bahwa kerja pembaharuan desa bukan semestinya berangkat darijebakan perselisihan teknis administratif, yang ujung-ujungnya sekadar “menakut-nakuti desa”. Energi Desa jangan sampai habis untuk membahas hal-hal teknisinstrumental yang begitu asing dengan desa. Jika hal-hal substansi ini berprosesdengan mendalam, hangat dan menyenangkan bagi orang-orang desa, makaoptimisme keberhasilan pembaharuan desa akan dapat dibuktikan capaiannya.

Pekerjaan yang musti dilakukan adalah, bagaimana mengawal perubahan desa iniagar sesuai harapan. Sejumlah kemajuan desa, terobosan dan inovasi yang tumbuhyang bisa dipetik dari 10 desa sebagaimana diulas dalam buku ini, tentu dengancerita positif desa-desa lainnya di Indonesia perlu dipikirkan keberlanjutannya.Demikian pula hambatan yang masih merintangi desa baik bersumber karenafragmentasi regulasi dan kebijakan, maupun keterbatasan kapasitas pada masing-masing komponen desa dalam menerjemahkan kerja praksis, juga perlu didampingi.

Pintu perubahan lokalitas desa makin terbuka. Keberhasilan memanfaatkankesempatan ini berarti menjadi jalan mewujudkan transformasi yang bermakna,menghasilkan desa mandiri, sejahtera dan berwatak demokratis. Pengalamanmembangun dari bawah, desa, meyakinkan betapa situs baru demokrasi lokal inilayak dirawat dan dikembangkan sebagai alternatif pendekatan membangundemokrasi Indonesia.