Top Banner
Project Management Tinggalkan komentarPosted on September 2, 2014 Project Management TERMS OF PAYMENT PROYEK PERCEPATAN 10.000 MW PENDAHULUAN Pemerintah melalui Peraturan Presiden RI no. 71 tahun 2006 telah menugaskan kepada PT PLN (Persero) untuk melakukan percepatan pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang menggunakan batubara di Jawa dan di luar Jawa dengan total kapasitas mencapai 10.000 MW yang tersebar di seluruh Indonesia. Seperti umumnya proyek-proyek konstruksi, proyek 10.000 MW mengikat PLN dan kontraktor dengan satu perjanjian yang dituangkan dalam suatu kontrak yang menjadi dasar utama pelaksanaan pekerjaan. Suatu kontrak umumnya terdiri atas perjanjian kontrak, instruksi kepada peserta tender, diskusi kontrak, kondisi umum kondisi khusus, kebutuhan teknis, danschedules. Karena sifat pekerjaannya yang kompleks, proyek-proyek 10.000 MW mengharuskan kontraktor untuk melakukan penagihan pembayaran sesuai dengan tata cara pembayaran (terms of payment) masing-masing schedule pekerjaan. Di kontrak proyek percepatan
37

Project Management

Jan 16, 2016

Download

Documents

YudhaPrahara
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Project Management

Project Management

Tinggalkan komentarPosted on September 2, 2014 Project Management

TERMS OF PAYMENT

PROYEK PERCEPATAN

10.000 MWPENDAHULUAN

Pemerintah melalui Peraturan Presiden RI no. 71 tahun 2006 telah

menugaskan kepada PT PLN (Persero) untuk melakukan percepatan

pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang menggunakan batubara di

Jawa dan di luar Jawa dengan total kapasitas mencapai 10.000 MW yang

tersebar di seluruh Indonesia.

Seperti umumnya proyek-proyek konstruksi, proyek 10.000 MW mengikat

PLN dan kontraktor dengan satu perjanjian yang dituangkan dalam suatu

kontrak yang menjadi dasar utama pelaksanaan pekerjaan. Suatu kontrak

umumnya terdiri atas perjanjian kontrak, instruksi kepada peserta tender,

diskusi kontrak, kondisi umum kondisi khusus, kebutuhan teknis,

danschedules.

Karena sifat pekerjaannya yang kompleks, proyek-proyek 10.000 MW

mengharuskan kontraktor untuk melakukan penagihan pembayaran

sesuai dengan tata cara pembayaran (terms of payment) masing-masing

schedule pekerjaan. Di kontrak proyek percepatan 10.000 MW, tata cara

pembayaran diuraikan pada kondisi khusus (special condition).

 

PEMBAHASAN

Proyek 10.000 MW utamanya terdiri atas pekerjaan pengadaan peralatan,

pekerjaan konstruksi (termasuk di dalamnya pekerjaan sipil, erection

Page 2: Project Management

peralatan mekanik dan elektrik, dan komisioning), serta pekerjaan lainnya

(others). Masing-masing pekerjaan tersebut memiliki tata cara

pembayaran yang satu sama lain berbeda, berikut ini paparannya.

1. Tata Cara Pembayaran Tagihan Pengadaan Peralatan

Peralatan/material dalam proyek 10.000 MW dapat digolongkan dalam

peralatan yang diproduksi di luar negeri, yang sering disebut peralatan

FOB, dan peralatan/material yang diproduksi di dalam negeri (Ex Works).

Kedua jenis peralatan/material ini memiliki tata cara pembayaran yang

secara umum sama, yaitu pembayaran di awal (down payment),

pembayaran pada saat di pabrikasi (manufacturing), pembayaran pada

saat pengapalan (shipment), pembayaran pada saat peralatan/material

tersebut tiba di lapangan (delivery on site) dan pembayaran retensi.

1.A Pembayaran Awal

Sering disebut juga pembayaran down payment. Dapat dibenarkan jika

kita menyebutnya dengan pembayaran uang muka, walaupun nanti harus

kita bedakan dengan advance payment pembayaran tagihan Civil Works,

Erection dan Komisioning.

Pembayaran ini dibutuhkan oleh kontraktor untuk melakukan purchase

order ataupun mobilisasi peralatan dan pekerja. Besarnya 15% dari nilai

peralatan-peralatan utama di dalam kontrak. Khusus untuk spare parts,

test equipment, dan tools, tidak disediakan pembayaran down payment.

Down payment dibayarkan secara langsung (direct payment), umumnya

via telegraphic transfer. Dokumen yang menjadi syarat utama dalam

penagihan down payment adalah invoice, bank garansi, dan Sertifikat

Pembayaran. Invoice adalah dokumen permohonan tagihan dari

kontraktor. Bank garansi diperlukan untuk menjamin bahwa uang muka

yang akan dibayarkan sepenuhnya digunakan untuk kepentingan proyek.

Sertifikat Pembayaran diterbitkan oleh perwakilan PLN (dalam hal ini PLN

UIP) sebagai tanda bahwa tagihan kontraktor telah diverifikasi baik itu

dari segi progress fisik maupun progress pembayaran.

Page 3: Project Management

1.B. Pembayaran Manufacturing

Setelah dipesan di awal, kemudian peralatan/material dipabrikasi. Tahap

ini merupakan tahap yang pembayarannya memiliki porsi terbesar, yaitu

45% dari nilai kontrak peralatan/material. Pembayaran tahap ini

umumnya tidak lagi dilakukan dengan direct payment, namun sudah

harus menggunakan Letter of Credit (L/C). L/C merupakan instrumen

pembayaran yang digunakan pemilik peralatan untuk membayarkan

tagihan kepada bank luar negeri yang ditunjuk oleh vendor/kontraktor.

Pemilik, dalam hal ini PLN, akan membuka deposit dana sebesar nilai yang

diajukan kontraktor di sebuah bank dalam negeri dan dana tersebut akan

dicairkan kepada bank luar negeri yang ditunjuk vendor/kontraktor jika

persyaratan yang diwajibkan dalam kontrak telah terpenuhi. Pada intinya

L/C memberikan jaminan kepada vendor/kontraktor bahwa peralatan yang

mereka buat akan dibayar oleh PLN nantinya sesuai tahapan pembayaran

yang ada di kontrak kontrak.

Kembali, karena peralatan/barang belum jadi dan belum tiba di lapangan,

maka diperlukan jaminan yang menjamin bahwa pembayaran yang PLN

berikan tidak akan disalahgunakan. Jaminan ini berupa bank garansi

manufacturing yang nilainya sebesar tagihan yang diajukan. Namun,

untuk praktisnya, pada beberapa kontrak, pembayaran tahap

manufacturing ditiadakan, diganti dengan menggabungkan pembayaran

tahap manufacturing dengan tahap pengiriman, yang syaratnya

disamakan dengan pembayaran tahap pengiriman saja (bank garansi

manufacturing tidak dibutuhkan).

Syarat lainnya dari pembayaran manufacturing adalah relatif sama

dengan pembayaran down payment, yaitu invoice dan Sertifikasi

Pembayaran. Harus disertakan juga Manufacturing Progress yang

disahkan oleh PLN. Pengesahan progress manufacturing biasanya

dilakukan pada saat inspeksi/test di pabrikan (Manufacture Inspection dan

Factory Acceptance Test/FAT).

Page 4: Project Management

1.C. Pembayaran Shipment

Setelah selesai dipabrikasi, tahap selanjutnya adalah pengiriman

peralatan. Pembayaran tahap shipment dihargai senilai 15% dari nilai

peralatan. Istilah FOB (Free on Board) muncul dari tata cara pengiriman

barang. FOB dapat diartikan semua biaya yang dapat ditagihkan

kontraktor hingga peralatan terkait tiba di kapal di pelabuhan

keberangkatan (termasuk biaya pembuatan peralatan, ongkos darat dari

pabrik, dan semua biaya lainnya). Berbeda dengan FOB, tata cara CIF

(Cost, Insurance and Frieght) memasukkan semua biaya hingga peralatan

tiba di pelabuhan kedatangan. Itulah sebabnya dalam kebanyakan

kontrak proyek 10.000 MW, ada juga schedule price untuk Marine Freight,

Insurance, dan Inland Transportation. Schedule FOB hanya menyatakan

biaya peralatan mulai dari pabrikasi hingga transportasi ke pelabuhan

keberangkatan.

Pembayaran tagihan shipment dilakukan dengan menggunakan L/C, dan

sesuai dengan namanya, selain invoice dan Sertificate Pembayaran, juga

mengharuskan penyertaan dokumen pengapalan dalam setiap

tagihannya, dokumen tersebut di antaranya sebagai berikut :

Bill of Ladding

Packing List

Marine Insurance Certificate

Certificate of Origin

1.D. Pembayaran Delivery On Site

Setelah peralatan tiba di lapangan, PLN Site melakukan inspeksi bersama

guna menerbitkan Material Receiving Report (MRR) sebagai bukti bahwa

peralatan yang dikirim tersebut lengkap kuantitasnya dan baik

kualitasnya. Dokumen MRR inilah yang menjadi syarat utama penagihan

delivery on site. Porsi pembayaran yang diberikan untuk tahap ini adalah

senilai 15% dari nilai peralatan. Pembayaran tagihan ini dilakukan dengan

L/C untuk porsi valas dan direct payment untuk porsi rupiah.

Page 5: Project Management

1.E. Pembayaran Retensi TOC

Beberapa persen nilai peralatan ditahan pembayarannya hingga proyek

selesai, baik itu penyelesaian masa konstruksi (disebut sebagai masa

penerbitan Taking Over Certificate/TOC) dan penyelesaian masa

pemeliharaan (masa penerbitan Final Acceptance Certificate/FAC).

Lima (5) persen nilai kontrak peralatan (selain spare parts, test

equipment, dan tools) diberikan di tahap pembayaran retensi TOC dengan

persyaratan menyertakan salinan sertifikat TOC. Pengecualian jika taking

over dilakukan untuk sebagian item proyek, maka nilai retensi yang

dibayarkan adalah sebesar 5% dari nilai item yang dilakukan taking over

tersebut. Pembayaran tagihan ini dilakukan dengan L/C untuk porsi valas

dan direct payment untuk porsi rupiah.

1.F Pembayaran Retensi FAC

Masa FAC normalnya berlangsung 1 tahun sejak masa TOC. Pembayaran

tahap ini dilakukan sebesar 100% nilai peralatan dikurangi dengan

pembayaran yang telah dilakukan sebelumnya. Jika pembayaran tahap-

tahap sebelumnya berlangsung normal, maka pembayaran tahap FAC

bernilai sebesar 5% nilai kontrak peralatan.

Sama seperti pembayaran retensi TOC, pembayaran retensi FAC berlaku

untuk sebagian nilai peralatan jika FAC dilakukan untuk sebagian item

peralatan, artinya retensi FAC dibayarkan sebesar 5% dari nilai item yang

dilakukan final acceptancenya. Pembayaran ini menyaratkan penyertaan

salinan sertifikat FAC dalam penagihannya. Pembayaran tagihan ini

dilakukan dengan L/C untuk porsi valas dan direct payment untuk porsi

rupiah.

 

2. Tata Cara Pembayaran Marine Freight, Insurance Portion, dan

Inland Transportation

Page 6: Project Management

Marine Freight merupakan biaya pengangkutan peralatan dari pelabuhan

keberangkatan hingga pelabuhan kedatangan. Insurance (jika ada)

mengover asuransi selama shipping, dan Inland Transportation

merupakan biaya transportasi darat terkait. Pembayaran ketiga tahap ini

harus dilakukan karena tata cara pembayaran peralatan dilakukan secara

FOB (baca point 1.C.).

Seratus (100) % nilai MFI ditagihkan sebanding dengan nilai peralatan

FOB yang saat itu dikapalkan. MFI dibayarkan dengan L/C. Selain Invoice

dan Sertifikat Pembayaran, dibutuhkan juga salinan Bill of Lading dan

Sertifikat Asuransi sebagai kelengkapan tagihan ini. Tagihan ini sudah

dapat ditagihkan sejak peralatan berada di pelabuhan keberangkatan,

tentu saja dengan syarat semua dokumen terkait dilengkapi.

Seratus (100) % nilai IT ditagihkan sebanding dengan nilai peralatan FOB

dan Ex Works yang saat itu diterima di site. Pembayaran dilakukan

dengan L/C untuk porsi valas dan direct payment untuk porsi rupiah.

Tagihan IT FOB dapat ditagihkan bila inspeksi telah dilakukan oleh PLN

Site. Syarat dokumennya sama dengan penagihan MFI. Hampir mirip,

proses penagihan IT Ex Works juga baru dapat dilakukan setelah

dilakukan inspeksi lapangan oleh PLN Site, namun dokumen Bill of Lading

diganti dengan MRR.

 

3. Tata Cara Pembayaran Tagihan Civil Works, Erection dan

Commissioning

Pembayaran ini dilakukan untuk pekerjaan civil works, erection peralatan

mekanik dan elektrik, serta pekerjaan test dan komisioning.

Berbeda dengan pengadaan peralatan, tata cara pembayaran Civil Works,

Erection dan Komisioning hanya memiliki 3 tahap utama, yaitu

pembayaran awal, pembayaran progress, dan pembayaran retensi.

Page 7: Project Management

3.A. Pembayaran Awal

Pada dasarnya, advance payment pada tagihan Civil Works, Erection dan

Komisioning memiliki prinsip sama dengan down payment pada pekerjaan

pengadaan peralatan, keduanya bertujuan membantu kontraktor dalam

hal pembiayaan masa awal proyek.

Yang berbeda adalah bila down payment berlaku sebagai salah satu dari

empat tahap pembayaran pengadaan peralatan itu sendiri, maka advance

payment merupakan bagian dari tahap progress payment. Jadi pada

dasarnya hanya ada dua tahap utama dalam pembayaran Civil Works,

Erection dan Komisioning, yaitu progress payment dan retensi. Lebih

lengkap soal perbedaan down payment dan advance payment diuraikan

dalam tulisan saya lainnya “Uang Muka Proyek Konstruksi Pembangkit”.

Besar advance payment proyek 10.000 MW umumnya 10% nilai kontrak

Civil Works, Erection dan Komisioning porsi valas dan 20% untuk porsi

rupiah. Dan karena berlaku sebagai bagian dari progress payment, nilai

piutang PLN atas advance payment kepada kontraktor ini terus menurun

nilainya seiring peningkatan total progress payment. Setiap kali progress

payment ditagihkan (dan dibayarkan), nilai advance payment yang sudah

diterima kontraktor dan menjadi utang mereka kepada PLN, menurun.

Penurunan nilai ini sebesar 10% dan 20% dari nilai progress payment

(baca point 3.B.) berturut-turut untuk porsi valas dan rupiah.

Mengapa besar penurunannya 10% dan 20% dari progress payment yang

nilainya 90% total kontrak Civil Works, Erection dan Komisioning?

Bukankah nilai advance payment yang diberikan di awal proyek besarnya

10% dan 20% dari total kontrak Civil Works, Erection dan Komisioning?

Ada dua alasan untuk menanggapi hal ini. Yang harus menjadi pegangan

kita adalah advance payment yang dibayarkan di awal proyek mencakup

keseluruhan nilai Civil Works, Erection dan Komisioning, tidak hanya

mencakup progress payment saja. Untuk itu, ada dua cara pengurangan

piutang ini selama masa proyek.

Page 8: Project Management

Pertama, bila selama penagihan progress payment, pengurangan tagihan

kontraktor hanya sebesar 90% x progress x nilai advance payment, maka

pembayaran retensi nantinya juga harus dikurangi dengan 10% x nilai

advance payment. Namun bila pengurangan tagihan dihitung dengan cara

100% x progress x nilai advance payment, maka pembayaran retensi

harus penuh 5% TOC + 5% FAC (kondisi lain dianggap normal). Untuk

mengatasi perbedaan pengurangan nilai advance payment yang mungkin

terjadi, di beberapa kontrak diperintahkan bahwa pengembalian advance

payment harus diselesaikan pada saat Serah Terima Pertama (TOC).

Sama seperti penagihan down payment pekerjaan pengadaan peralatan,

advance payment mensyaratkan adanya bank garansi dalam

penagihannya. Untuk pekerjaan yang berlangsung cukup lama, di mana

periodenya tidak tertutupi oleh masa berlaku bank garansi, maka bank

garansi harus diperpanjang dengan nilai yang sudah berhasil dikurangi

kontraktor lewat progress payment. Nilai bank garansi yang diperpanjang

sama dengan sisa pengurangan advance payment pada saat itu.

3.B Pembayaran Progress

Pembayaran tahap ini ditujukan sebagai pembayaran progress Civil

Works, Erection dan Komisioning yang telah dicapai kontraktor tiap

periodenya. Jika progress pekerjaan kontraktor tidak terlambat, maka

pembayaran tahap ini normalnya dapat dilakukan tiap bulan (monthly

progress payment).  Di proyek 10.000 MW, besar tagihan tahap ini

ditentukan 90% x progress pekerjaan dikurangi dengan nilai penutupan

advance payment. Pembayaran progress payment dilakukan dengan cara

direct payment.

3.C Pembayaran Retensi

Relatif sama dengan pekerjaan pengadaan peralatan, pembayaran

tagihan retensi besarnya 10% dari nilai pekerjaan. Lima (5) persen

dibayarkan saat TOC dan sisanya saat FAC. Khusus untuk FAC, nilai 5%

Page 9: Project Management

tersebut tidak mutlak karena dapat dikurangi dengan nilai pembayaran

yang telah dilakukan sebelumnya yang bertujuan mencegah PLN dari

kelebihan pembayaran total nilai kontrak. Untuk TOC atau FAC yang

dilakukan pada sebagian item pekerjaan, maka nilai pembayaran tagihan

TOC/FAC diberlakukan senilai pekerjaan yang sudah diterbitkan sertifikat

TOC/FACnya tersebut. 

4. Tata Cara Pembayaran Pekerjaan Lainnya

4.A. Pembayaran Pengadaan Spare Parts, Tools, dan Test Equipment

Pembayaran tagihan Spare Parts, Tools, dan Test Equipment FOB

diberlakukan sebesar 90% nilai tiap shipment terkait via L/C atau direct

payment untuk porsi rupiah. Persyaratan yang harus disertakan dalam

tiap tagihan Spare Parts, Tools, dan Test Equipment sama dengan

persyaratan tagihan shipment peralatan FOB. Sisa pembayaran 10% lagi

dilakukan apabila MRR terkait telah diterbitkan oleh PLN Site.  Untuk

Spare Parts, Tools, dan Test Equipment Ex Works, pembayaran 90%

dilakukan apabila peralatan terkait telah tiba on site. Sisanya apabila

laporan inspeksi atas peralatan terkait telah diterbitkan oleh PLN Site.

4.B Pembayaran Training, Inspeksi Sebelum FAC, dan Supervisi Selama

Masa Pemeliharaan

Pembayaran training langsung dilakukan 100% terhadap progress training

yang telah dilakukan. Walaupun kontrak proyek 10.000 MW bersifat

lumpsum, namun ada baiknya untuk tagihan training dilakukan sesuai

dengan biaya yang telah dikeluarkan kontraktor (at cost). Jika kontraktor

berniat menagih penuh nilai kontrak training, maka kontraktor harus

mengadakan training senilai dengan kontrak training tersebut.

Pembayaran atas inspeksi sebelum FAC dilakukan pada saat penerbitan

sertifikat FAC dengan cara direct payment senilai 100% nilai kontrak

pekerjaan inspeksi sebelum Fac tersebut. Jika FAC hanya dilakukan untuk

Page 10: Project Management

sebagian item pekerjaan, maka pembayaran pekerjaan inspeksi sebelum

FAC juga harus sesuai dengan porsi item FAC tersebut.

Pembayaran atas supervisi masa pemeliharaan dilakukan 100% progress

yang telah dicapai.

4.C. Pembayaran Pekerjaan Lainnya

Ada beberapa item yang tidak dipaparkan dalam Terms of Payment

kontrak proyek 10.000 MW, namun ada nilainya dalam kontrak seperti

pekerjaan pengadaan Consumables dan pekerjaan Engineering Design

Review.

Pengadaan Consumables dapat ditagihkan secara at cost asalkan nilainya

tidak melebihi nilai yang ada di kontrak. Tata cara pembayaran dan

syarat-syarat penagihannya dapat disamakan dengan penagihan Spare

Parts, Tools dan Test Equipment.

Pembayaran pekerjaan Engineering Design Review dapat disamakan

dengan tata cara pembayaran dan syarat-syarat pembayaran Training.

 

PUSTAKA

Contract Document 7 Proyek PLTU FTP 1 PT PLN (Persero)

wikipedia.org/wiki/Incoterms

 

 

2 KomentarPosted on Juli 31, 2014 Project Management

Progress Measurement

Method Proyek EPC

Page 11: Project Management

Verifikasi progress suatu proyek konstruksi terkadang dilakukan hanya

dengan melihat progress fisik di lapangan semata. Pengukurannya

bahkan hanya diambil dengan cara melakukan estimasi persentase atas

pekerjaan terkait.

Hal tersebut tidak sepenuhnya salah, namun ada baiknya jika di antara

pemilik proyek, dalam hal ini PLN, dan kontraktor memiliki suatu cara

pengukuran yang telah disepakati bersama. Tujuannya tentu saja untuk

menghindari perbedaan perhitungan progress proyek, yang jika terjadi

dapat berpengaruh bahkan hingga pada kesalahan progress pembayaran.

Progress Measurement Method (PMM) merupakan metode pengukuran

progress yang diajukan kontraktor dan harus disetujui oleh PLN. Tulisan ini

menguraikan salah satu cara penyusunan PMM pada proyek EPC.

Pendahuluan

Salah satu panduan yang harus dipegang teguh pada saat penyusunan

PMM adalah aturan bahwa progress pembayaran tidak boleh melebihi

progress fisik pekerjaan pada saat bersamaan. Persentasenya boleh

sama, namun karena pengajuan pembayaran atas progress fisik terkait

dilaksanakan setelah approval progress fisik tersebut (oleh PLN Site),

maka normalnya progress pembayaran selalu lebih rendah dibanding

progress fisik pada saat bersamaan, dengan catatan pembayaran uang

muka tidak diperhitungkan karena adanya Jaminan Uang Muka.

Untuk memenuhi aturan di atas, maka penyusunan PMM harus

memperhitungkan Tata Cara Pembayaran (Term of Payment) proyek. Tata

cara pembayaran bisa berbeda antara satu proyek dengan proyek

lainnya, dapat dilihat dalam Perjanjian/Agreement masing-masing proyek.

Dengan memahami termin pembayaran, maka penyusun PMM sudah

menyelesaikan 70% pekerjaannya. Ulasan lebih jelas tentang Term of

Payment proyek konstruksi dapat dilihat di tulisan penulis lainnya, “Term

of Payment Proyek Percepatan 10.000 MW Tahap I”.

Page 12: Project Management

Selain tata cara pembayaran, proyek-proyek berbasiskan EPC

(Engineering, Procurement, dan Construction) juga dapat memiliki

pembagian nilai/bobot pekerjaan yang berbeda-beda. Hal ini juga harus

dipertimbangkan saat penyusunan PMM. Namun jangan

mencampuradukan metode pengukuran progress (PMM) dengan

pembobotan pekerjaan (Weight Breakdown Structure/WBS). PMM adalah

metode pengukuran peningkatan progress pekerjaan, sedangakan WBS

hanya pembobotan nilai pekerjaan saja.

Bobot Pekerjaan

Penentuan bobot masing-masing item pekerjaan ditentukan sepenuhnya

antara direksi pekerjaan dan kontraktor. Beberapa item pekerjaan

mungkin dinilai lebih tinggi dibanding yang lain, dapat dilihat dari

kompleksitas, teknologi yang digunakan, maupun nilai pekerjaan tersebut.

Cara penentuan bobot pekerjaan yang paling mudah dan memiliki dasar

yang kuat adalah dengan menggunakan nilai/price kontraktual pekerjaan.

Item pekerjaan yang paling tinggi/mahal nilainya memiliki bobot paling

tinggi, dst.

Namun hal yang patut diperhatikan adalah adanya kemungkinan item

tidak memiliki nilai dalam kontrak namun diharuskan memiliki progress

fisik, seperti yang terjadi pada proyek FTP1 PLN, dimana pekerjaan

Engineering umumnya tidak memiliki nilai kontraktual namun sebagai

proyek EPC, progress fisik Engineering harus tetap diperhitungkan. Dalam

hal ini, direksi pekerjaan dapat menentukan bobot Engineering tersebut,

contohnya 5% dari total bobot pekerjaan. Untuk proyek-proyek yang

dalam schedule price engineering-nya memiliki nilai kontraktual, maka

bobot engineering dapat diambil dari nilai/price tersebut.

PMM Pekerjaan Engineering

Produk dari pekerjaan Engineering adalah drawing/kalkulasi yang telah

diapproved. Di kontrak proyek FTP1, pekerjaan ini umumnya tidak

Page 13: Project Management

memiliki nilai kontraktual. Tidak disebutkan alasannya apa, bisa jadi

karena item ini sudah dibagi rata dalam setiap item pekerjaan lainnya.

Meski tidak memiliki nilai, sebagai pelaksana kontrak berbasiskan EPC,

kontraktor berkewajiban membuat desain terkait peralatan/konstruksi

proyek. Desain (bisa dalm bentuk drawing atau kalkulasi) ini kemudian

diajukan ke PLN. Dibantu oleh konsultan, PLN kemudian melakukan

evaluasi desain untuk kemudian memberikan pengesahan (approving).

Dalam prosesnya, desain yang diajukan kontraktor akan diberikan

approval C, B, A, atau I. Desain yang dinilai C berarti tidak/belum

diapproved, artinya kontraktor harus mengganti/memodifikasi desain

tersebut. Kemungkinan yang lain adalah desain mendapatkan approval B,

disahkan namun dengan catatan minor tertentu. Desain ini sudah dapat

digunakan sebagai dasar pekerjaan procurement (pengadaan peralatan)

dan/atau konstruksi. Approval A berarti desain sudah disetujui

sepenuhnya. Pengesahan dengan status I berarti drawing/kalkulasi terkait

hanya digunakan sebagai “information only”.

Mengacu pada proses di atas, salah satu metode yang dapat digunakan

sebagai PMM adalah sebagai berikut :

Masing-masing drawing/kalkulasi memiliki bobot 100%

Drawing yang sudah diajukan oleh kontraktor, walaupun belum

dilakukan evaluasi, dapat diberikan kenaikan progress 10%.

Jika setelah diajukan dan dilakukan evaluasi ternyata desain tersebut

mendapatkan nilai C, maka tidak diberikan kenaikan progress (0%)

lagi selain 10% progress submittal sebelumnya.

Drawing yang mendapatkan approval B berhak mendapatkan

kenaikan progress yang cukup besar karena pending yang

menyertainya umumnya tidak critical dan sudah dapat digunakan

dalam proses konstruksi dan/atau procurement. Sewajarnya

kenaikan progress dapat diberikan antara 50-60%.

Page 14: Project Management

Drawing dapat langsung diapproved A atau melewati proses approval

B kemudian A. Untuk kemungkinan kedua ini, drawing yang telah

mendapatkan total progress 60-70% dapat diberikan tambahan 30-

40% lagi setelah diapproved A yang artinya drawing/kalkulasi

tersebut telah memenuhi progressnya secara utuh (100%). Artinya

drawing/kalkulasi tersebut sudah bernilai satu.

Untuk drawing/kalkulasi yang diajukan kontraktor berstatus I, maka

drawing tersebut sudah dapat diberikan nilai 100% jika PLN dan

konsultan setuju mengapproved dengan status I.

Semua proses di atas berlaku untuk tiap drawing/kalkulasi. Untuk

penentuan progress keseluruhan pekerjaan Engineering sendiri,

progress yang sudah dicapai keseluruhan drawing/kalkulasi pada

saat itu dibagi dengan total jumlah drawing/kalkulasi

Umumnya belum dapat ditentukan secara pasti berapa jumlah total

drawing/kalkulasi yang akan dibuat hingga proyek selesai. Untuk

keperluan perhitungan, dapat digunakan estimasi jumlah total

drawing/kalkulasi, dan di kemudian hari dapat dilakukan proses

adjustment progress karena semakin hari semakin jelas berapa total

jumlah drawing/kalkulasi yang akan dibuat

Bagaimana dengan As Built Drawing? Karena sesuai aturan proses

procurement dan construction harus didasarkan pada drawing/kalkulasi

yang sudah diapproved A, maka pada dasarnya proses approval As Built

Drawing hanya ada dua, yaitu proses review untuk melihat apakah

pelaksanaan procurement/konstruksi sudah sesuai dengan approval

desain A atau belum, jika sudah sesuai maka As Built Drawing sudah

dapat langsung diapproved. Jika belum sesuai, maka deviasi yang muncul

harus dijustifikasi terlebih dahulu apakah termasuk deviasi minor ataukah

mayor. Justifikasi dilakukan oleh konsultan supervisi konstruksi (bersama

direksi pekerjaan). Jika bersifat minor dan hasil justifikasi menunjukan

bahwa deviasi terkait tidak memiliki implikasi biaya dan tidak

mempengaruhi keseluruhan operasi proyek, maka approval sudah dapat

dilakukan. Jika deviasi dikategorikan mayor, maka proses approval As

Built tetap bisa dilaksanakan, namun implikasi biaya yang muncul (jika

Page 15: Project Management

ada) harus dimasukkan sebagai pending proyek (NCR proyek yang

berimplikasi pada biaya).

Proses review As Built Drawing dapat diberikan progress 70-90% dan

approvalnya 10-30%.

Secara keseluruhan, bobot pekerjaan Engineering dapat dibagi antara 70-

80% desain proyek dan 20-30% as built drawing. Misalnya ditentukan

pekerjaan Engineering memiliki bobot 5% dari total bobot progress EPC,

maka desain proyek bernilai 3-4% dan as built drawing 1-2%.

Contoh perhitungan progress Engineering diuraikan sbb : di awal proyek,

kontraktor mengajukan 3 buah drawing. Setelah dievaluasi, ternyata ada

satu drawing yang diapproved B, satu drawing dinilai C, dan satu drawing

lagi disetujui untuk diberikan status I. Dengan estimasi total

drawing/kalkulasi/dokumen proyek 2000 buah dan As Built Drawing 2200

buah, desain proyek dinilai 4% dan as built drawing 1%, maka progress

Engineering ketika itu adalah :

E = [{10%(Submit) + 0%(Apvd. C) + 50%(Apvd. B) + 40%(Apvd. A) +

100%(Apvd. I)} x 4%/2000] + [{90%(As Built Reviewed) + 10%(As Built

Approved)} x 1%/2200]

= [{10%(3) + 0%(2) + 50%(1) + 40%(0) + 100%(1)} x 4%/2000] +

[{90%(0) + 10%(0)} x 1%/2200]

= 0.0036% dari total 100% progress EPC

PMM Pekerjaan Procurement

Berkebalikan dengan Engineering, pekerjaan Procurement memiliki nilai

kontrak yang jelas dan bahkan terkadang lebih tinggi dibanding pekerjaan

Construction. Untuk proyek PLTU misalnya, nilai procurement yang besar

dirasa wajar karena PLTU didominasi oleh peralatan mekanikal-elektrikal.

Page 16: Project Management

Karena memiliki nilai/price dalam kontrak, maka pengukuran progress

pekerjaan procurement dapat ditentukan dengan menggunakan Term of

Payment sebagai patokan utama, meskipun semuanya kembali pada

persetujuan direksi pekerjaan. Di bawah ini uraian salah satu metode

pengukuran progress procurement :

Pada tata cara pembayarannya, proyek konstruksi yang kompleks

pekerjaan procurementnya umumnya memberikan Down Payment. Uang

ini sewajarnya digunakan kontraktor untuk melakukan Purchase Order

(PO) pada vendor mereka. Di proses ini, progress procurement peralatan

terkait sudah dapat diberikan dengan mengevaluasi evidence PO.

Progress dapat diberikan 10-15%. PLN tetap aman dari sisi progress

pembayaran karena meskipun terlihat lebih besar dibanding aktual fisik

yang tercipta, mengingat peralatan belum jadi, namun pembayaran uang

muka yang dilakukan disertai dengan Jaminan Uang Muka yang harus

diserahkan kontraktor pada PLN.

Selanjutnya adalah proses manufacturing (pabrikasi). Pemantauan

kenaikan progress pabrikasi dapat dilakukan lewat inspeksi/test di pabrik

(Factory Acceptance Test/FAT) atau manufacturing report dari konsultan

QA/QC. Kenaikan progress fisik dapat diberikan sebesar termin

pembayaran progress manufacturing, misalnya 45% nilai peralatan terkait

.

Peralatan/material yang sudah jadi kemudian dikirimkan ke site lewat

shipment dan/atau transportasi darat. Progress dapat dievaluasi dengan

evidence Bill of Lading, COO, COM, Packing List, dsb. Peningkatan progres

dapat diberikan sebesar termin pembayaran shipment/transportasi darat,

misalnya untuk proyek PLTU FTP1, shipment dihargai sebesar 15% nilai

equipment terkait.

Kenaikan progress selanjutnya dapat diberikan ketika barang sudah on

site. Penerbitan MRR merupakan bukti bahwa PLN telah menyetujui

barang terkait sudah tiba dengan lengkap sesuai kontrak dan packing list

Page 17: Project Management

dan kualitasnya sudah baik (tidak ada cacat/rusak secara fisik). Kembali,

persentase kenaikan progres dapat didasarkan dari termin pembayaran.

Progress dapat diberikan naik 15% saat barang telah on site (diperiksa

berdasarkan packing list) dan naik lagi 10% saat MRR telah diterbitkan

oleh PLN Site.

Contoh perhitungan progress Procurement sebagai berikut : Kontraktor

saat ini sedang mengadakan PO Equiment BOP dan baru saja selesai

melaksanakan FAT Generator. Selain itu setengah pengadaan Boiler dan

kelengkapannya sedang dalam sudah siap diberangkatkan dari Port of

Shanghai sedangkan pengadaan yang lain belum dilakukan sama sekali.

Bobot BOP, Generator, dan Boiler dalam pekerjaan Procurement berturut-

turut 10%, 15%, dan 35%, sedangkan bobot pekerjaan Procurement

dalam keseluruhan progress EPC ditentukan 60%. Maka dapat dihitung

progress procurement ketika itu sebagai berikut :

P = [15%(PO) + 45%(Man) + 15%(Ship) + 15%   (On Site) + 10%(MRR)] x

bobot P

Dari data di atas, maka progress Procurementnya adalah :

P = [{15%(10% + 15% + 35%)} + {45%(15% + 35%)} + {15%(35%)}] x

60%

= 22.05% dari total EPC progress

PMM Pekerjaan Construction

Kerap kali pihak eksternal hanya mengukur pencapaian progress proyek

dari tampak konstruksi, yaitu dari fisik pekerjaan sipil dan erection ME. Hal

tersebut tidak sepenuhnya salah, namun terhadap kontrak berbasiskan

EPC, maka bobot pekerjaan konstruksi harus berbagi dengan Engineering

dan Procurement, dan seperti dikatakan sebelumnya, untuk beberapa

proyek, nilai pengadaaan peralatan ME melebihi nilai pekerjaan

konstruksi.

Page 18: Project Management

Pekerjaan konstruksi sendiri dibagi menjadi civil works dan erection and

commissioning ME. Karena berasal dari dua disiplin pekerjaan yang

berbeda, maka PMM yang digunakan juga harus berbeda, berikut

paparannya :

Untuk pekerjaan sipil, metode pengukuran progress dapat dibagi dalam

tiga tahap : persiapan, pembangunan, dan finishing, berturut-turut dapat

diberikan persentase 20, 75, dan 5%. Karena jenis pekerjaan sipil sendiri

juga beragam, maka penentuan pekerjaan apa saja yang masuk tahap

persiapan (lean concrete, bekisting, dsb) dapat ditentukan oleh direksi

pekerjaan di lapangan. Begitu juga halnya dengan tahap pembangunan

(konstruksi) dan finishing.

Sedangkan untuk pekerjaan erection ME, kenaikan progress dapat

diberikan setelah pekerjaan bersangkutan melalui tahap-tahap sbb : 90%

erection, 5% test, dan 5% komisioning. Erection dimulai dari handling

peralatan hingga instalasinya selesai dilakukan. Test diperlukan untuk

pengujian individual peralatan, sementara kemajuan pekerjaan pengujian

sistem/subsistem dituangkan dalam progress komisioning.

Contoh pengukuran progress pekerjaan Construction diuraikan di bawah

ini : Pekerjaan Construction ditentukan memiliki bobot 35% dari total

bobot EPC. Saat ini kontraktor telah selesai membangun pondasi Main

Power Building, meskipun belum finishing. Heavy equipment switchyard

sudah di install semuanya. Selain itu bekisting pondasi Coal Handling

System baru saja selesai dirakit. Bobot pekerjaan sipil CWEC Main Power

Building, Switchyard, dan Coal Handling ditentukan masing-masing 30%,

10%, dan 15% dari total bobot sipil CWEC, begitu juga dengan

bobot erection and commissioning ME. Dengan pembagian bobot 60%

sipil dan 40% erection and commissioning dari total CWEC maka progress

Construction saat ini adalah sbb :

C = ([{20%(prep) + 75%(cons) + 5%(fnsh)} x 60%] + [{90%(erect) + 5%

(test) + 5%(comm)} x 40%]) x 35%

Page 19: Project Management

= ([{20%(30% + 10% + 15%) + 75%(30% + 10%) + 5%(0%)} x 60%] +

[{90%(10%) + 5%(0%) + 5%(0%)} x 40%]) x 35%

= 9.87% dari total progress EPC

Hal Yang Perlu Diperhatikan Terkait PMM Construction

Kadangkala dalam kontrak ada item pekerjaan konstruksi yang masuk ke

dalam schedule price civil works, erection and commissioning (CWEC) dan

masuk juga ke dalam schedule procurement (seringnya Ex Works),

terutama untuk pekerjaan sipil, misalnya saja pekerjaan concreting dan

piling.

Untuk CWEC tidak menjadi masalah karena kita dapat menggunakan

pengukuran progress seperti yang telah dijelaskan dalam PMM Pekerjaan

Konstruksi di atas, namun terasa janggal untuk schedule Ex Works. Dalam

aturannya, item pekerjaan yang ada dalam schedule Ex Works

mengharuskan penggunaaan termin pembayaran Down Payment,

Manufacturing dan Delivery on Site, yang dalam persyaratan

penagihannya wajib menyertakan Manufacturing Report, FAT report, MRR,

dsb. Padahal untuk pekerjaan concreting dan piling bisa dikatakan tidak

pernah dilakukan FAT dan inspeksi kedatangan material seperti yang

dilakukan pada procurement peralatan ME. Seperti dijelaskan pada PMM

Pekerjaan Konstruksi Sipil, concreting dan piling baru bisa diprogress jika

minimal telah dilakukan persiapan (selanjutnya pembangunan dan

finishing) yang pelaksanaanya baru bisa dilakukan setelah material-

material terkait sudah on site. Lagipula sangat tidak wajar misalnya, jika

direksi pekerjaan di lapangan sudah menaikkan progress concreting

ketika semen baru tiba di gudang. Progress akan dinaikkan minimal ketika

semen tersebut sudah digunakan sebagai persiapan pelaksanaan

concreting.

Untuk mengatasi masalah ini, dalam penyusunan PMM sebaiknya dipisah

antara item-item pekerjaan CWEC yang umumnya baru bisa diprogress di

lapangan (seperti pekerjaan civil works) dengan item pekerjaan yang

Page 20: Project Management

sudah bisa diprogress saat procurement (seperti pekerjaan steel structure

dan ME) yang biasanya memiliki jadwal inspeksi ke pabrikan. Untuk item

pekerjaan seperti concreting dan piling yang memiliki price di dua

schedule, CWEC dan Ex Works, pembobotan sebaiknya diletakkan

sepenuhnya di schedule price CWEC, walaupun untuk penagihannya tetap

dapat ditagihkan sesuai Term of Payment CWEC dan Ex Works. Jika

kontraktor tidak dapat menunjukkan evidence Manufacturing Report,

MRR, dsb, maka mau-tidak-mau kontraktor baru bisa mengajukan

penagihan schedule Ex Works tersebut saat konstruksi sipil telah

dilakukan, padahal secara Term of Payment kontraktual mereka sudah

berhak mengajukan penagihan saat semen yang digunakan untuk

pekerjaan concreting tersebut masih diolah dipabrik! Hal ini menjadi

masukan bagi tim pengadaan dan penyusunan kontrak.

Penutup

Persentase progress EPC seringkali terlihat bias jika dibandingkan dengan

kondisi aktual di lapangan. Dari sudut orang awam, tidak mungkin proyek

yang baru menyelesaikan pondasi sipil sudah memiliki progress EPC 70%.

PMM dapat digunakan untuk menjelaskan kepada pihak-pihak yang

mempertanyakan deviasi tersebut.

Tulisan ini dapat digunakan sebagai salah satu sumber penyusunan dan

evaluasi approval PMM, namun semua dikembalikan kepada direksi

pekerjaan dan isi masing-masing kontrak pekerjaan yang mungkin

berbeda satu dengan lainnya. Kritik dan dan saran atas tulisan ini dapat

disampaikan melalui [email protected]. Semoga berkenan dan

terimakasih.

Pustaka

Contract Document Proyek-Proyek FTP 1 dan Skala Kecil PT PLN

(Persero)

Progress Measurement Method Proyek-Proyek FTP 1 dan Skala Kecil

PT PLN (Persero)

Tinggalkan komentarPosted on Juli 31, 2014 Project Management

Page 21: Project Management

Uang Muka Proyek EPCTiba-tiba hari itu saya dikejutkan dengan perbedaan pendapat

antara contract engineer dan kontraktor perihal apakah termin uang

muka salah satu proyek Loan berhak mendapatkan price adjustment atau

tidak. Debat yang juga terjadi di awal proyek ini kembali diakhiri dengan

kesimpulan yang dahulu sudah disepakati: uang muka tidak mendapatkan

price adjustment. Namun, bagi saya, debat tersebut tidak hanya memiliki

satu kesimpulan. Ada hal lain yang lebih dalam: saya jadi lebih paham

mengenai perbedaan mendasar antara dua jenis “uang muka”: advance

payment dan down payment. Tulisan ini menguraikan hal-hal terkait uang

muka proyek pembangkit EPC, dengan mengambil contoh proyek PLTU

FTP dan PLTA Loan milik PLN.

UANG MUKA PROYEK KONSTRUKSI

Termin uang muka diberikan di awal proyek, normalnya setelah kontrak

efektif. Dilihat dari jenis pekerjaan dan tata cara pembayarannya, uang

muka proyek konstruksi PLTU dan PLTA di Indonesia dapat digolongkan

menjadi dua macam: Advance Payment (AP) dan Down Payment (DP). AP

diberikan sebagai uang mula pekerjaan Civil Works, Erection and

Commissioning (CWEC), sedangkan DP merupakan bagian dari termin

pembayaran pekerjaan pengadaan material/peralatan (FOB dan Ex Work).

Pembahasan terkait AP dan DP tertuang dalam Terms of Payment masing-

masing kontrak (Anda juga bisa baca juga tulisan saya “Terms of Payment

Proyek Percepatan 10.000 MW Tahap I”).

Dari 36 kontrak pekerjaan pembangunan PLTU dan PLTA di Indonesia

pada tahun 2007-2012, hampir seluruhnya memberikan AP sebesar 20%

(untuk bagian Rupiah) dan 10% (USD) dari total nilai pekerjaan CWEC, dan

15% untuk pekerjaan FOB dan Ex Work [1]. Ditinjau dari sudut

manajemen keuangan proyek, uang tersebut dibutuhkan oleh kontraktor

untuk menutupi biaya ikatan pekerjaan dengan subkon/subvendor,

kebutuhan mobilisasi, desain dsb [2]. Uang muka juga berfungsi sebagai

Page 22: Project Management

semacam jaminan pembayaran dari PLN, karena tetap saja ada

kekhawatiran dari kontraktor bahwa PLN tidak dapat membayar nantinya.

Berbeda dengan progress payment, termin pembayaran uang muka

dilakukan saat kontraktor belum melakukan prestasi kerja [1]. Sebagai

jaminan, kontraktor diharuskan untuk menyertakan AP/DP Bond minimal

senilai uang muka yang mereka terima.

ADVANCE PAYMENT

Cukup banyak definisi Advance Payment yang dapat kita jadikan

pegangan. FIDIC EPC/Turnkey Projects clause 14.2 mengartikan Advance

Payment sebagai “pinjaman bebas bunga untuk mendukung aliran kas

yang diberikan oleh owner kepada kontraktor untuk keperluan mobilisasi

dan desain.” [1]. Namun saya, sesuai dengan tata cara pembayaran yang

ada pada kontrak PLTU dan PLTA, mengartikannya seperti ini: advance

payment merupakan bagian dari progress pembayaran selain retensi

yang diberikan di awal proyek.

Di luar 10% retensi, pekerjaan CWEC memiliki termin yang umum disebut

sebagai progress payment, dapat ditagihkan kapanpun pekerjaan terkait

telah mencapai progress yang diajukan untuk ditagihkan. Nilai progress

payment ini 90% nilai progress pekerjaan. Lalu dimanakah porsi uang

muka (AP) pekerjaan terkait, bukankah retensi plus progress payment

telah mencapai 100%? Disitulah bagi saya makna “advance” benar-benar

tampak. Benar bahwa nilai AP merupakan 10-20% dari total nilai CWEC,

namun dengan kenyataan bahwa retensi tetap ditahan 10% untuk dibayar

di akhir proyek, maka AP tersebut pada dasarnya digunakan sebagai uang

mula dari 90% pekerjaan, atau dapat saya simpulkan, advance payment

merupakan uang awal dari periodic progress payment, bukan dari

keseluruhan nilai CWEC, walaupun nilainya diambil dari 10-20% total nilai

pekerjaan CWEC.

DEDUKSI ADVANCE PAYMENT

Karena telah diberikan di awal proyek sebagai bagian dari progress

payment, maka AP harus dikembalikan di setiap tagihan progress

payment pekerjaan CWEC hingga nilainya balance.Deduksi merupakan

Page 23: Project Management

bagian integral AP yang diberikan Owner kepada kontraktor [2]. Pada

kontrak proyek PLTU dan PLTA yang saya cuplik, selaras dengan

penagihan progress payment, 90% nilai pekerjaan, maka deduksi advance

payment juga seharusnya seperti itu, 15-20% dikali dengan 90% nilai

pekerjaan. Namun pada cukup banyak kontrak, nilai pemotongan ini

melebihi persentase tersebut. Tagihan progress payment harus dipotong

dengan 30% bahkan 40% dari 90% nilai pekerjaan terkait. Cara seperti ini

baik jika diterapkan pada proyek PLTU karena dengan dipotong lebih

banyak di bagian-bagian awal-ke-tengah masa proyek, kontraktor dapat

lebih leluasa mengatur keuangannya di masa tengah-ke-akhir proyek

karena jika ditinjau dari manajemen biaya dan schedule proyek PLTU,

pada periode tengah-ke-akhir tersebut kontraktor harus menjalani masa

komisioning yang umumnya memiliki nilai tagihan yang lebih sedikit

padahal mereka harus mengeluarkan uang yang lebih banyak (pengujian

yang tidak sebentar, membayar tenaga ahli komisioning, biaya peralatan,

dsb). Dengan dipotong lebih banyak pada masa awal-ke-tengah proyek,

maka diharapkan deduksi AP ini sudah balance di periode tersebut,

sehingga pada periode tengah-ke-akhir kontraktor mendapatkan porsi

90% progress payment tersebut tanpa pemotongan. Sebaliknya, untuk

proyek PLTA sebaiknya digunakan konsep pemotongan progress payment

yang lebih besar di akhir mengingat konstruksi sipil PLTA membutuhkan

biaya yang sangat besar, dan konstruksi tersebut dilakukan di awal

proyek.

Metode lainnya saya namakan metode pemotingan flat, dimana nilai

pemotongan disesuaikan dengan persentase uang muka yang didapat di

awal, berkisar pada 15%-20% nilai pekerjaan. Metode pemotongan ini

akan secara flat memotong progress payment kontraktor dan baru bisa

balance pada peiode akhir proyek, namun nilainya tidak memberatkan

kontraktor pad periode manapun dalam masa pelaksanaan proyek.

Pada dasarnya, metode apapun yang dipakai harus konsisten diterapkan

dalam aktual pelaksanaan pemotongannya. Perubahan metode

pemotongan progress payment yang dilakukan pada masa pelaksanaan

Page 24: Project Management

proyek bukan saja dapat berdampak pada berubahnya aliran kas PLN dan

kontraktor, namun juga dapat menjadi preseden buruk bagi PLN karena

aliran kas adalah salah satu hal yang, seharusnya, dihitung secara cermat

oleh pada bidder untuk maju mengajukan tawaran pada proses

pelelangan dulunya.

DOWN PAYMENT

Sama-sama diberikan di awal proyek, namun konsep DP berbeda jauh

dengan AP. Jika AP adalah bagian dari progress payment yang diberikan

diawal, maka DP adalah termin dari progress payment itu sendiri. DP

digunakan sebagai termin pembayaran pengadaan material/peralatan

yang besarnya 15% dari total nilai materil/peralatan tersebut [1]. Masih

bingung apa bedanya dengan AP pada pekerjaan CWEC? Ada baiknya

Anda perhatikan semesta diagram di bawah ini:

AP merupakan bagian dari total

nilai CWEC, namun dalam pemotongannya, AP hanya menjadi bagian dari

progress payment, tidak termasuk retensi. Sementara DP merupakan

termin yang berdiri sendiri, menjadi 15% bagian dari nilai pekerjaan

FOB/EW, bukan menjadi bagian termin lainnya.

DEDUKSI DOWN PAYMENT

Langsung saja, tidak ada yang namanya deduksi down payment. Dari

diagram di atas, dapat dijelaskan bahwa down payment bukan merupakan

bagian dari progress payment. Penagihan progress payment pekerjaan

FOB/EW sesuai nilai masing-masing termin (Manufacturing, Transportasi,

On Site).

Page 25: Project Management

KONDISI KONTRAKTUAL LAINNYA

Terms of Payment juga mengharuskan PLN membayar uang muka paling

lambat 45-90 hari setelah aplikasi pembayaran disetujui oleh PLN. Dengan

waktu pelaksanaan pekerjaan yang berkisar pada rentang 20 s.d. 33

bulan, waktu 45-90 hari tersebut cukup memberatkan kontraktor

mengingat mereka dituntut segera memulai pekerjaan ketika kontrak

telah efektif. Tidak sedikit kontraktor yang mengajukan perubahan

rentang waktu pembayaran uang muka tersebut.

Masalah lainnya yang menimpa beberapa kontrak pembangunan

pembangkit listrik di Indonesia adalah ketika waktu pembayaran sesuai

tenggat kontraktual tersebut telah jatuh tempo, PLN belum memiliki

sumber dana yang dapat digunakan untuk membayar hak kontraktor

tersebut. Sepertinya sudah menjadi lumrah melihat cukup banyak kontrak

diberikan perpanjangan waktu sebagai akibat dari keterlambatan

pembayaran AP/DP. Pemberian Extension of Time tersebut memang

berhak diterima kontraktor, bahkan seharusnya mereka juga berhak

mendapatkan penggantian biaya bunga pinjaman yang mereka gunakan

untuk menutupi terlebih dahulu biaya pada awal proyek atau price

adjusment akibat berubahnya nilai uang karena telah berjalannya waktu

tanpa aktivitas. Sayangnya dua hal terakhir ini sulit diklaim kontraktor

mengingat sebagian besar kontrak tidak memiliki dasar kontraktual yang

mengatur hal tersebut. Jika sudah begitu, ke depannya PLN akan sangat

sulit mendapatkan kontraktor untuk proyek-proyek kelistrikan yang saya

pikir tidak akan ada hentinya.

PENUTUP

Jadi, Anda sudah tahu apa jawaban debat-tidak-perlu antara konsultan

dan kontraktor yang saya ceritakan di awal? Termin uang muka, pada

proyek yang dibicarakan dalam debat tersebut, baik itu AP maupun DP,

tidak dapat diberikan adjustment nilainya karena sudah diberikan pada

saat (atau disekitar waktu) kontrak efektif, tidak ada perbedaan waktu

yang menjadi dasar utama klaim price adjusment dapat diakomodasi.

Tidak ada juga clause dalam kontrak yang mengatur hal tersebut.

Page 26: Project Management

Walaupun terlihat serupa, sama-sama diberikan di awal, namun konsep

AP dan DP dapat dikatakan sangat berbeda, dimana AP dalam tulisan ini

diartikan sebagai bagian dari tagihan bulanan yang telah diberikan di

awal. DP sendiri dimaksudkan sebagai salah satu bagian/termin tagihan

(pengadaan peralatan/material) yang diberikan di awal. Namun apapun

istilahnya, pada dasarnya termin di awal proyek ini sangat membantu

kontraktor untuk menjalani periode awal proyek. Saya tutup uraian ini

dengan permintaan maaf jika terdapat kesalahan dalam tulisan ini.

Terimakasih.

 PUSTAKA

[1] Contract Document Pembangunan 36 PLTU dan PLTA di Indonesia

(2007-2012)

[2] Conditions of Contract for EPC/Turnkey Projects. First Edition. FIDIC.

1999

Tinggalkan komentarPosted on Juli 31, 2014 Project Management

Evaluasi Price AdjustmentBeberapa proyek pekerjaan konstruksi memiliki klausa Price Adjustment di

dalam kontraknya. Artinya, nilai kontrak yang telah disepakati di awal

dapat berubah sesuai dengan perubahan nilai/harga item-item yang dapat

diadjust nilai/harganya. Karena nilai/harga item-item ini mengikuti inflasi

(semakin lama nilainya semakin naik), maka tidak menutup kemungkinan

kontraktor cenderung memperlambat pekerjaan agar nilai price

adjustment yang dihasilkan semakin besar, walaupun harus dibarengi

dengan risiko dikenakan denda keterlambatan pekerjaan (Liquidated

Damage). Tulisan ini memaparkan beberapa hal yang harus dievaluasi

terkait dengan klaim price adjustment proyek pekerjaan konstruksi

pembangkit.

Di beberapa proyek, klausa Price Adjustment dituangkan dalam Condition

of Particular Application dan General Condition of Contract. Karena sifat

Page 27: Project Management

proyek yang dilaksanakan dalam waktu yang cukup lama, maka price

adjustment memiliki tujuan utama sebagai sarana yang disediakan untuk

kontraktor agar dapat menutupi kerugian akibat kenaikan harga item-item

pekerjaan konstruksi yang mereka laksanakan. Kenaikan ini, misalnya,

dapat dilihat dari naiknya nilai index BPS untuk item-item pekerjaan

konstruksi dari waktu ke waktu.

Formula umum price adjustment adalah sebagai berikut :

P=a+b Bn/Bo+c Cn/Co+d Dn/Do+ …

Dimana P merupakan faktor pengali nilai yang akan diadjust. Koefisien a,

b, c, d adalah konstanta masing-masing item pekerjaan. Bn, Cn, Dn

merupakan index item-item pekerjaan pada saat n dan Bo, Co, dan Do

adalah index pada saat awal pekerjaan. Index awal Bo, Co, dan Do ini

telah ditentukan sebelumnya dan dicantumkan di kontrak, misalnya index

pada saat pembukaan tender dsb.

Karena rumusnya telah ditentukan seperti di atas, sepertinya price

adjustment merupakan hal yang eksak, nilanya sudah dapat diketahui

tanpa perlu adanya evaluasi dari pihak penyedia dana proyek, dalam hal

ini PLN. Tunggu dulu, karena sebenarnya ada beberapa hal yang harus

dievaluasi terkait dengan besar nilai price adjustment, di luar ketelitian

perhitungan matematis menggunakan formula di atas tentunya. Berikut

ini paparannya.

Evaluasi Schedule vs Aktual

Perhatikan formula price adjustment yang telah disebutkan di atas. Dalam

formula ini, index Bn, Cn, Dn merupakan index yang nilainya bergantung

pada waktu. Utamanya dipengaruhi oleh faktor inflasi, semakin lama nilai

index ini cenderung semakin meningkat. Dengan koefisien a, b, c, dan d

yang konstan dan index Bo, Co, dan Do yang telah ditentukan di awal,

maka faktor pengali price adjustment P bergantung secara linear pada

index Bn, Cn, Dn ini. Artinya, semakin lama suatu proyek berlangsung,

semakin besar pula nilai price adjustmentnya.

Page 28: Project Management

Meski begitu, kontraktor tidak dapat semena-mena memanfaatkan hal di

atas. Tidak adil rasanya apabila justru dengan keterlambatannya,

kontraktor justru mendapatkan nilai price adjustment yang lebih besar

dibanding jika mereka bekerja lebih cepat. Untuk menutupi kelemahan

empiris ini, evaluasi yang dapat PLN lakukan adalah dengan

membandingkan waktu aktual pengerjaan item pekerjaan yang akan

diadjust dengan waktu yang telah ditentukan di schedule awal, mana

yang terjadi lebih dahulu maka waktu itulah yang akan dipakai indexnya

untuk digunakan dalam formula price adjustment. Dengan begitu, nilai

price adjutment masih dapat dikontrol sesuai performa kontraktor.

Evaluasi Schedule Extension of Time

Jika ada EOT, maka kontraktor harus mengajukan schedule proyek yang

baru. Untuk membuat besar nilai price adjustment nantinya, tidak

menutup kemungkinan kontraktor membuat schedule item-item

pekerjaan yang dapat diadjust nilainya menjadi semakin panjang. Untuk

itu PLN harus dapat mereview schedule baru ini dengan baik dan teliti.

Evaluasi Item-Item Price Adjustment

Beberapa item pekerjaan yang ada di kontrak terkadang tidak pantas

mendapatkan price adjustment karena hanya dilakukan di awal masa

proyek, seperti pembuatan Performance Bond, Asuransi (di awal proyek),

dan keperluan administrasi proyek lainnya yang hanya dibuat di awal

proyek. Meskipun nilainya kecil, namun hal ini tetap harus dievaluasi.

Evaluasi Advance/Down Payment

Harus diperhatikan juga apakah ada di dalam kontrak klausa yang

menerangkan bahwa apakah nilai kontrak yang telah diberikan sebagai

uang muka dapat diberikan price adjutmentnya atau tidak. Beberapa

proyek yang didanai oleh Loan Asing dalam kontraknya tidak

menyebutkan ketentuan ini, namun dalam guidance Loan tersebut jelas

diuraikan bahwa advance/down payment tidak memiliki price adjustment.

Jika seperti itu, berarti kita telah mengurangi nilai price adjustment

Page 29: Project Management

sebesar 15 s.d 20% (sesuai persentase uang muka proyek konstruksi

pembangkit pada umumnya).

Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian di atas adalah:

1. Price Adjustment merupakan klausa kontrak yang dapat memberikan

rasa adil bagi PLN dan kontraktor dalam pelaksanaan proyek

konstruksi

2. Kontraktor tidak dapat serta-merta memanfaatkan lambatnya kinerja

mereka untuk meraih keuntungan yang lebih besar dari price

adjustment

3. Beberapa hal dapat diterapkan sebagai evaluasi price adjustment.

Evaluasi-evaluasi ini diharapkan dapat mengontrol nilai dan keadilan

dalam price adjustment proyek konstruksi.

Pustaka:

Kontrak proyek pembangunan pembangkit listrik yang didanai loan

asing

Amandemen Kontrak untuk Price Adjustment

Blog di WordPress.com. | The Adaption Theme.