Top Banner
i PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT DAN DOKTER ATAS MENINGGALNYA PASIEN YANG DITELANTARKAN RUMAH SAKIT SKRIPSI Oleh : TEDDY IRAWAN SAPUTRA No. Mahasiswa : 14410604 PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2018
157

PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

Oct 02, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

i

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT DAN DOKTER

ATAS MENINGGALNYA PASIEN YANG DITELANTARKAN RUMAH

SAKIT

SKRIPSI

Oleh :

TEDDY IRAWAN SAPUTRA

No. Mahasiswa : 14410604

PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM

F A K U L T A S H U K U M

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA

2018

Page 2: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

ii

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT DAN DOKTER

ATAS MENINGGALNYA PASIEN YANG DITELANTARKAN RUMAH

SAKIT

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna memperoleh Gelar

Sarjana (Strata-1) pada Fakultas Hukum

Universitas Islam Indonesia

Yogyakarta

Oleh :

TEDDY IRAWAN SAPUTRA

No. Mahasiswa : 14410604

PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM

F A K U L T A S H U K U M

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA

2018

Page 3: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

iii

Page 4: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

iv

Page 5: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

v

Page 6: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

vi

Page 7: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

vii

HALAMAN MOTTO

Sebaik Baiknya Manusia Adalah Yang Paling Bermanfaat Bagi Orang Lain”

(HR.Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni)

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)

negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari

(kenikmatan)duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana

Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di

(muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat

kerusakan.”

(QS Al.Qashash/28: 77)

“Hal jazaa-u-ihsaani ilaa-ihsaan”

(Tidak ada balasan atas kebaikan, kecuali kebaikan pula)

(QS. Ar Rahman 55:60)

Page 8: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

viii

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan teruntuk

Bapak dan Ibu tercinta,

Ketiga kakakku tersayang,

Keluarga besar yang selalu mendukung,

Serta temah-teman,

Yang selalu menemani, mendukung, mengingatkan dan membimbing untuk lebih

baik.

Page 9: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

ix

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warrahmatulahi Wabbarakatuh

Puji syukur dengan mengucap alhamdulillah kehadirat Allah SWT, yang

telah melimpahkan rahmat, karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat

menyusun serta menyelesaikan Tugas Akhir sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Islam

Indonesia Yogyakarta dengan judul “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

RUMAH SAKIT DAN DOKTER ATAS MENINGGALNYA PASIEN

YANG DITELANTARKAN RUMAH SAKIT”. Tidak lupa Shalawat serta

Salam senantiasa penulis curahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.

Penulisan hukum ini secara garis besar memaparkan mengenai

tanggungjawab Rumah Sakit atas tindakannya yang merugikan pasien, di mana

sejauh ini Rumah Sakit terlalu sulit untuk dimintai pertanggungjawaban pidana.

Rumah sakit sebenarnya bisa dimintai pertanggungjawaban pidana dengan

menggunakan ajaran atau doktrin Vicarious Liability atau lebih dikenal dengan

pertanggungjawaban pengganti. Vicarious liability adalah suatu konsep

pertanggungjawaban seseorang atas kesalahan yang dilakukan orang lain, seperti

tindakan yang dilakukan masih berada dalam ruang lingkup pekerjaannya.

Berdasarkan hal tersebut, penulis mengangkat sebuah analisa mengenai

pertanggungjawaban pidana rumah sakit dan pertanggungjawaban dokter atas

meninggalnya pasien yang ditelantarkan oleh rumah sakit.

Page 10: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

x

Penulis dalam menyusun serta menyelesaikan penulisan hukum ini, banyak

mendapat bimbingan keilmuan, pengarahan-pengarahan atau petunjuk, bantuan

maupun dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan

terimakasih yang sebesar-besarnya dan setulus-tulusnya kepada :

1. Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang senantiasa

memberikan perlindungan dan kemudahan dalam hal.

2. Bapak Nandang Sutrisno, S.H., M.Hum., LLM., Ph.D., selaku Rektor

Universitas Islam Indonesia.

3. Bapak Dr. Aunur Rohim Faqih, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Islam Indonesia.

4. Mba Inda Rahadiyan, S.H., M.H, selaku Dosen Pembimbing Akademik

(DPA).

5. Ibu Dr.Aroma Elmina Martha, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing ,

yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, pikiran, ditengah-tengah

kesibukannya dan dengan penuh kesabaran serta ketulusan membimbing

dan mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan skripsi, serta

memberikan pengarahan-pengarahan selama penyusunan penulisan hukum

hingga selesai.

6. Kedua orang tua, Bapak dan Ibu tersayang Tarmizi, A.Md dan Endang

Hartati, BPA yang selama ini banyak sekali memberikan support baik

materiil maupun non-materiil berupa dorongan, nasihat, mendo’akan dan

sebagainya kepada penulis, selama menempuh studi hingga mencapai

keberhasilan dalam menyelesaikan studi Strata 1 ini.

Page 11: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

xi

7. Ketiga kakak yang sangat penulis cintai dan sayangi, Ns.Tita Septi

Handayani, S.Kep., M.Kes., Tesa Gunawan Saputra, S.Kom., dan Tri Ratna

Juita, S.Keb., dan kakak ipar yang penulis sayangi Nadya Rachmani, S.T.,

terimakasih atas kebersamaan, persaudaraan, kasih sayang, serta motivasi

yang diberikan.

8. Kawan-kawan seperjuangan “ANRAU” Ade, Adhet, Ali, Andika, Audi,

Billy, Dandi, Dimas C.K, Ditiya, Essa, Gustirio, Hilmi, Ikram, Imam, Iqok,

Irvan, Irwan, Aldi J.K, Rico, Rey, Rian, Ryo, Sandy, Syahdega, Syarafie,

Thaariq, Yuantoni Fidelico, Zulfadli yang telah bersedia menjadi keluarga

kecil di tempat perantauan.

9. Kawan-kawan yang sudah terlibat langsung dalam pembuatan skripsi ini

Yustika Luthfi Budiaristi, Amalia Karunia Putri, Nova Gamay, Dwi

Ratnasari, Laila Noor Fajrianty, Ayuditha Vidya Anesty, Nisa Ulfa Dhila,

Nanda Desvita, Mega Falencia, Ayu Oci Lestari, Nur Endah Rizkywati,

Insan Pribadi, Moh. Faisol Soleh yang menjadi teman diskusi dan selalu

memberikan nasihat serta motivasi dalam menyelesaikan penulisan Tugas

Akhir ini.

10. Kawan-kawan seperjuangan di Himpunan Mahasiswa Islam FH UII periode

2016/2017 dan Kawan-kawan Kelas G angkatan 2014 yang tidak bisa

disebutkan satu per satu namanya, yang telah memberikan banyak

pengenalan, pengalaman, dan telah menjadi keluarga baru.

11. Keluarga Besar Unit Kegiatan Mahasiswa Sepakbola FH UII periode

2016/2017 & 2017/2018, Ramadhani, Afif, Fatur, Afi, Nadya, Liana,

Page 12: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

xii

Ginong, Alan, Ary, Bagus (Acong), Rovel, Fitra, Myesha (Meca), Talitha,

Bella, Ina yang telah memberikan banyak pelajaran.

12. Teman-teman KKN PW-115, Anggun, Asih, Asri, Bella, Mahbub, Caca,

Reza , Rian, yang telah memberikan banyak pengalaman selama satu bulan

bersama.

13. Semua pihak yang telah membantu kelancaran skripsi ini yang tidak bisa

penulis sebutkan satu per satu.

Semoga Allah SWT senantiasa membalas semua kebaikan dari bantuan

yang diberikan kepada penulis, hingga selesainya Tugas Akhir dan

menjadikannya amal ibadah yang mulia disisi-Nya, Allahuma’amin.

Tak lupa penulis meminta maaf yang sebesar-besarnya apabila waktu

penulisan Tugas Akhir ini terdapat kekurangan maupun kekhilafan yang tentunya

tidak penulis harapkan.

Akhirnya penulis berharap semoga Tugas Akhir yang berupa skripsi ini

bermanfaat dan dapat digunakan sebagai informasi bagi semua pihak yang

membutuhkan serta dapat berhasil guna bagi semua.

Semoga karya sederhana berupa penulisan hukum ini dapat bermanfat bagi

semua pihak dan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu

pengetahuan terutama dibidang ilmu hukum.

Yogyakarta, 13 Maret 2018

Penulis,

(Teddy Irawan Saputra)

NIM. 14410604

Page 13: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

xiii

DAFTAR ISI

Halaman Judul ...................................................................................................... i

Halaman Pengajuan ............................................................................................... ii

Halaman Persetujuan ............................................................................................ iii

Halaman Pengesahan Tugas Akhir ....................................................................... iv

Halaman Orisinalitas ............................................................................................ v

Curriculum Vitae .................................................................................................. vi

Halaman Motto ..................................................................................................... vii

Halaman Persembahan ....................................................................................... viii

Kata Pengantar ................................................................................................... ix

Daftar Isi ............................................................................................................. xiii

Abstrak ........................................................................................................... .. xvi

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .............................................................................. 13

C. Tujuan Penelitian................................................................................ 13

D. Orisinalitas Penelitian ........................................................................ 14

E. Tinjauan Pustaka ................................................................................ 14

F. Definisi Operasional ........................................................................... 22

G. Metode Penelitian ............................................................................... 24

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUBUNGAN RUMAH SAKIT

DAN PASIEN, PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI, dan

PENELANTARAN

Page 14: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

xiv

A. Tinjauan Umum Mengenai Hubungan Rumah Sakit dan Pasien 28

1. Pengertian Rumah Sakit dan Pasien ......................................... 28

2. Hak dan Kewajiban Rumah Sakit ............................................. 30

3. Hak dan Kewajiban Pasien ....................................................... 34

B. Tinjauan Umum Mengenai Pertanggungjawaban Pidana

Korporasi .......................................................................................... 37

1. Konsep Pertanggungjawaban Pidana ........................................ 37

a. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana ......................... 37

b. Syarat-Syarat Pertanggungjawaban Pidana ..................... 40

c. Kemampuan Bertanggung Jawab .................................... 42

2. Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana ............ 48

a. Pengertian Korporasi ....................................................... 48

b. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Korporasi ........ 54

c. Rumah Sakit Sebagai Korporasi Dalam Hukum

Indonesia ......................................................................... 72

d. Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit sebagai

Korporasi ......................................................................... 77

C. Aspek Tindak Pidana Penelantaran dalam Hukum Pidana ........ 80

D. Aspek Pertanggungjawaban Pidana dan Penelantaran Pasien

dalam Perspektif Hukum Pidana Islam ......................................... 84

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit atas Tindakan Penelantaran

Pasien yang dilakukan Rumah Sakit .................................................. 95

2. Tanggungjawab Hukum Pidana Dokter Terhadap Pasien yang

Ditelantarkan oleh Rumah Sakit ...................................................... 117

Page 15: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

xv

BAB IV PENUTUP

A. KESIMPULAN ................................................................................ 134

B. SARAN ............................................................................................ 136

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 138

Page 16: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

xvi

ABSTRAK

Setiap orang berhak mendapatkan layanan kesehatan sesuai dengan

kebutuhannya, lah ini dapat dilihat dalam Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang

Dasar 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan

batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat

serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Dengan artian Indonesia telah

menjamin kesehatan bagi seluruh rakyatnya yang tertera didalam Undang-

Undang Dasar 1945. Pada keadaan gawat darurat (emergency), seluruh fasilitas

kesehatan baik Pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan

penanganan pertama kepeda peserta Jamkesmas. Bagi fasilitas kesehatan yang

bukan jaringan Jamkesmas pelayanan tersebut merupakan bagian dari fungsi

sosial fasilitas kesehatan. Secara umum peristiwa yang terjadi didalam suatu

Rumah Sakit dapat dipertanggungjawabkan kepada Rumah Sakit yang itu sesuai

dengan doktrin Vicarious Liability. Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun

2009 tentang Kesehatan sudah menjelaskan bahwa Rumah Sakit dilarang

menolak pasien yang membutuhkan pertolongan dan tidak mementingkan uang

muka terlebih dahulu. Pimpinan Rumah Sakit yang lebih mementingkan biaya dan

keuntungan bagi Rumah Sakit yang dipimpinya tanpa mementingkan nyawa dan

bahkan menolak pasien yang membutuhkan pelayanan medis dapat dipidanakan.

Dalam kasus penelantaran yang dilakukan oleh Rumah Sakit kepada pasien yang

terkendala masalah administrasi, maka dokter selaku tenaga fungsional di Rumah

Sakit tidak mempunyai tanggungjawab apabila terjadi hal yang tidak diinginkan

kepada pasien. Dokter yang ada di Rumah Sakit hanya berstatus sebagai pegawai

yang digaji oleh Rumah Sakit, jadi apa yang sudah diperintahkan oleh atasan itu

menjadi kerjanya. Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian hukum normatif.

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini terdapat bahan hukum primer,

bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang dikumpulkan melalui studi

pustaka yang didukung dengan hasil wawancara terhadap pihak penyedia

layanan kesehatan, Dokter, dan ahli Hukum Pidana. Analisis yang dilakukan

dengan menggunakan metode kualitatif. Pendekatan yang digunakan adalah

pendekatan yuridis normatif. Hasil dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

apakah Rumah Sakit dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan yang

dilakukan, dan apakah dokter bertanggungajawab atas tindakan yang dilakukan

oleh Rumah Sakit. Rumah Sakit dalam menyediakan pelayanan kesehatan

diwajibkan untuk memberikan bantuan kepada calon pasien atau pasien demi

keselamatan hidupnya terlebih dahulu atau menghindari hal-hal yang tidak

diinginkan, daripada mementingkan biaya Rumah Sakit. Fokus penelitian ini, ada

pada ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku

terkait dengan pertanggungjawaban Rumah Sakit. Rumah Sakit dapat dimintai

pertanggungjawaban sesuai dengan bunyi Pasal 46 Undang-Undang Nomor 44

Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

Kata Kunci : Rumah Sakit, Pertanggungjawaban Pidana, Pasien, dan

Penelantaran

Page 17: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

iii

Page 18: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembahasan tentang Rumah Sakit tidak mungkin dipisahkan dengan

penguraian tentang sejarah penyelenggaraan Rumah Sakit. Rumah sakit

sebagai sebuah institusi atau lembaga, pada mulainya didirikan dengan latar

belakang pelaksanaan tugas keagaaman atau melaksanakan ibadah. Maka

Rumah Sakit melaksanakan tugas pelayanannya semata-mata untuk tujuan

sosial kemanusiaan sesuai dengan perintah agama. Pelayanan Rumah Sakit

bertujuan membantu masyarakat, khususnya masyarakat yang kurang

mampu. Pada era ini dikenal doctrine of charitable community, bahwa

Rumah Sakit merupakan lembaga karitas, yang sarat dengan sifat sosial,

kemanusiaan, dilandasi nilai Ke-Tuhanan, dan tidak untuk mencari

keuntungan.1

Oleh karenannya dari sisi hukum yang dikembangkan adalah

pertanggungjawabannya yang didasarkan pada doctrine of charitable

immunity. Artinya, bahwa pada saat itu Rumah Sakit tidak dapat di gugat

jika melakukan kesalahan yang menimbulkan kerugian pada diri pasien.

Rumah Sakit seolah “kebal hukum”. Alasannya, karena tugas

kemanusiaannya tersebut, maka Rumah Sakit tidak mungkin dibebani

tanggungjawab hukum jika terjadi sesuatu pada diri pasien yang disebabkan

oleh tindakan pelayanan medik yang salah di Rumah Sakit. Dalam

1 Endang Wahyati Yustina, Mengenal Hukum Rumah Sakit, Keni Media, Bandung,

2012,hlm.6-7

Page 19: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

2

pengertian lain, karena bentuk kegiatannya adalah menolong tanpa pamrih

dan kegiatan pelayanan Rumah Sakit semata-mata dilandasi rasa

kemanusiaan dalam rangka menjalankan fungsi sosial, sehingga tidak

mungkin membalasnya dengan menggugat Rumah Sakit atas tugas baiknya

tersebut.2

Pelayanan kesehatan di Rumah Sakit pada saat ini, kenyataannya tidak

sama dengan masa yang lalu. Sesuai dengan perkembangan zaman, pada

saat ini pelayanan kesehatan oleh Rumah Sakit mengalami banyak

perubahan dan perkembangan pula. Menurut Anthony Giddens seperti

dikutip oleh Sudarmono, dikatakan bahwa: “Pelayanan kesehatan di

Indonesia telah bergeser dari Public goods menjadi private goods sehingga

pemenuhan kepuasan pasien semakin lama semakin kompleks dan semua

Rumah Sakit bersaing untuk menarik pasien”.3

Kartono Mohamad, menyatakan bahwa penyelenggaraan Rumah Sakit

pada zaman modern tidak sesederhana seperti dulu lagi. Kebutuhan untuk

mengelola Rumah Sakit dengan prinsip bisnis tidak lagi dapat dielakkan.

Penyelenggaraan Rumah Sakit membutuhkan modal yang cukup besar

terutama dengan makin banyaknya teknologi baru yang harus disediakan

oleh pihak Rumah Sakit. Ditambah lagi dengan adanya perubahan tuntutan

dari masyarakat pemakai jasa Rumah Sakit berupa kenyamanan dan

2 Azrul Azwar, Pengantar Administrasi Kesehatan, dalam Endang Wahyati Yustina,

Mengenal Hukum Rumah Sakit, Keni Media, Bandung, 2012,hlm.7 3 Soedarmono. et.al, Reformasi Perumahsakitan Indonesia, dalam Endang Wahyati

Yustina, Mengenal Hukum Rumah Sakit, Keni Media, Bandung, 2012,hlm.7

Page 20: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

3

kemudahan dalam pelayanan kesehatan. Semuanya itu memerlukan biaya

investasi yang besar dan tentunya diperoleh dari sumber lain.4

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan5 Nomor

159b/Menkes/Per/II/II tahun 1988 tentang Rumah Sakit memberikan

klasifikasi atau jenis-jenis rumah sakit sebagai berikut: berdasarkan pada

pemilik dan penyelenggara. Menurut ketentuan Pasal 3 dari Permenkes

tersebut, membagi jenis rumah sakit menjadi Rumah Sakit pemerintah dan

rumah sakit swasta. Rumah sakit Pemerintah diselenggarakan atau dimiliki

oleh Departemen Kesehatan, Pemerintah Daerah, TNI, Polri, dan Badan

Usaha Milik Negara (BUMN). Sedangkan rumah sakit swasta dimiliki dan

diselenggarakan oleh sebuah yayasan yang sudah disahkan sebagai badan

hukum dan badan lain yang bersifat sosial.6

Pada prinsipnya Rumah Sakit baik milik pemerintah maupun milik

swasta adalah berstatus sebagai badan hukum yang memiliki personalitas

hukum (legal personality) sebagai subyek hukum. Oleh karena itu, rumah

sakit dapat memikul tanggung jawab (aansrakelijkheid, liability) atas segala

tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berkerja

di rumah sakit yang bersangkutan. Dengan kata lain, rumah sakit dimana

tempat dokter bekerja juga turut bertanggung jawab atas perbuatan dokter

atau tenaga kesehatan yang bertentangan dengan profesinya. Dalam hal ini

berlaku doktrin hubungan majikan dan karyawan (Vicarious Liability), yang

4 Lihat Kartono Mohammad, Rumah Sakit dalam Medan Magnetik Komersialisasi, dalam

Endang Wahyati Yustina, Mengenal Hukum Rumah Sakit, Keni Media, Bandung, 2012,hlm.7 5 Peraturan Mentri Kesehatan Nomor 159b Tahun 1988. 6 Syahrul Machmud, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum (Bagi dokter yang

diduga melakukan medikal malpraktek), Karya Putra Darwati, Bandung, 2012,hlm.182

Page 21: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

4

dalam perkembangannya di dunia perumahsakitan mulai diterapkan secara

universal doktrin Hospital Liability7.

Pengertian Rumah Sakit dirumuskan pada Pasal 1 butir 1 Undang-

Undang Rumah Sakit yang berbunyi Rumah Sakit adalah fasilitas pelayanan

kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara

paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat

darurat. Adapun asas dan tujuan dari rumah sakit diatur dalam pasal 2-3,

dalam Pasal 2 menjelaskan bahwa Rumah sakit diselenggarakan

berdasarkan pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan

profesionalisme, manfaat, keadilan, persamaan hak dan antidiskriminasi,

pemerataan, perlindungan, dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi

social. Dalam pasal 3 menjelaskan tentang pengaturan penyelenggaraan

rumah sakit bertujuan sebagai berikut :

a. mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan

kesehatan;

b. Memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien,

masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia

dirumah sakit;

c. Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan

rumah sakit; dan

d. Memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber

daya manusia rumah sakit, dan Rumah Sakit.”

7 Guwandi, Hukum Rumah Sakit dan Corporate Liability, Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia, Jakarta, 2011,hlm.14

Page 22: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

5

Kegawatan medik dapat terjadi pada seseorang maupun kelompok

orang pada setiap saat dan dimana saja. Penderita Gawat darurat adalah

penderita yang disebabkan (penyakit, trauma, kecelakaan, tindakan anestesi)

yang bila tidak segera ditolong akan mengalami cacat, kehilangan organ

tubuh, atau meninggal. Dalam hal ini faktor waktu sangat berperan sangat

penting (time saving is life saving) atau tindakan pada menit-menit pertama

dalam menangani kegawatan medik tersebut dapat berarti besar dan sangat

menentukan hidup dan mati penderita. Keadaan ini membutuhkan

pertolongan segera untuk menyelamatkan jiwa.8

American Hospital Association ( AHA ) merincikan kegawatan medik

menjadi 2 kondisi9 : Kondisi Dianggap Emergensi, yaitu setiap kondisi yang

menurut pendapat pasien, keluarganya atau orang-orang yang membawa

pasien ke rumah sakit memerlukan perhatian medik segara. Kondisi ini

berlangsung sampai dokter memeriksannya dan menemukan keadaan yang

sebaliknya, pasien tidak dalam keadaan terancam jiwanya; Kondisi

Emergensi Sebenarnya, yaitu setiap kondisi yang secara klinik memerlukan

penanganan medik segera kondisi ini baru dapat ditentukan setelah pasien

diperiksa oleh dokter.

Banyak permasalahan yang ditimbulkan akibat dari ketidakjelasan

makna kegawatan medik tersebut, permasalahan pertama yang perlu

dikemukakan adalah yang menyangkut batasan atau definisi dari kegawatan

8 Syahrul Machmud, Op.cit, hlm.259 9 Ngesti Lestari, Masalah Malpraktek Etik Dalam Praktek Dokter, dalam Syahrul

Machmud, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum (Bagi Dokter Yang Diduga Melakukan

Medikal Malpraktek), Karya Putra Darwati, Bandung, 2012, hlm.260

Page 23: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

6

medik itu sendiri. Hal itu penting sebab beberapa sengketa hukum yang

timbul antara health care reciever dan health care provider. Kemudian

permasalahan kedua adalah tentang kewajiban dokter dalam menghadapi

kasus dengan kegawatan medik, baik di tempat kejadian, tempat praktek

dokter atau di emergency room. Dokter harus dapat melakukan

kewajibannya dalam melakukan pertolonganyang sekiranya mendesak

dimanapun ia berada. Pertolongan ini dimaksudkan untuk mengurangi

resiko yang lebih besar dan dapat dilanjutkan pada tindakan selanjutnya

yaitu menyelamatkan jiwa dari korban10.

Dari pengertian American Hospital Assocation ( AHA ) tentang

kegawatan medik yang menghargai penilaian masyarakat tentang kegawatan

medik, maka tidak seorangpun dari mereka yang mengunjungi emergency

room boleh ditolak11.

Menurut Undang-Undang No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan

pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan

pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat12. Dalam hal ini

pelayanan gawat darurat diartikan sebagai bagian dari pelayanan kedokteran

yang dibutuhkan oleh penderita dalam waktu yang segera untuk

menyelamatkan kehidupannya. Unit kesehatan yang menyelenggarakan

pelayanan gawat darurat disebut dengan nama Unit Gawat Darurat.

10 ibid 11 Veronika Komalawati, Hukum dan Etika dalam Praktik Dokter, dalam Syahrul

Machmud, Penegakan Hukum dan perlindungan Hukum (Bagi Dokter yang Diduga Melakukan

Medikal Malpraktek), Karya Putra Darwati, Bandung, 2012,hlm.261 12 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

Page 24: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

7

Tergantung dari kemampuan yang dimiliki, keberadaan Unit Gawat Darurat

(UGD) tersebut dapat beraneka macam, namun yang lazim ditemukan

adalah yang tergabung dalam rumah sakit.13

Akhir-akhir ini masyarakat semakin kritis terhadap kualitas pelayanan

medis yang diberikan oleh pihak Rumah Sakit dan tenaga kesehatan. Seperti

gugatan pasien atau ahli warisnya terhadap dokter dan rumah sakit

menyangkut kesalahan akibat kelalaian maupun kesengajaan yang dilakukan

oleh tenaga kesehatan. Adanya berbagai kasus dalam praktik kedokteran

yang menyebabkan dokter dan rumah sakit terkena gugatan atau sanksi

pidana selama ini mendorong perlunya pengaturan hukum antara dokter,

pasien, dan rumah sakit.

Diilhami dari banyaknya kasus-kasus penelantaran yang dialami oleh

pasien yang terdapat dimedia massa akhir-akhir ini, diantaranya kasus

terbaru yang terjadi pada tahun 2017 Rumah Sakit Mitra Keluarga. Pasien

(Deborah Simanjorang yang terdaftar sebagai Tiara Deborah) berumur

empat bulan, berat badan 3,2 kilogram datang ke IGD Mitra Keluarga

Kalideres pada 3 September 2017 pukul 03.40 WIB dalam keadaan tidak

sadar dan kondisi tubuh tampak membiru. 14

Sesampainya dirumah sakit Bayi Deborah langsung ditangani oleh

seorang dokter yang piket pada saat itu. Dalam pemeriksaan medis, dokter

mendapati masalah pernapasan pada Deborah. Saturasi oksigen Deborah

13 Asmuni, Suarni, Waktu Tunggu Pasien pada Pelayanan Rekam Medis Rawat Jalan di

Rumah Sakit, Bina Cipta, Bandung, 2008,hlm.20 14 http://m.bisnis.com/jakarta/read/20170911/77/688745/kronologi-meninggalnya-bayi-

debora , diakses 07 Oktober 2017 pukul 21.39 WIB

Page 25: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

8

rendah, nafasnya berat dan berdahak. Frekuensi denyut nadi Deborah

terhitung 60 kali per menit dengan suhu badan mencapai 39 derajat celcius.

Melihat kondisi Bayi Deborah seperti itu dokter memutuskan melakukan

tindakan dengan menyedot lendir, memasang selang organ lambung dan

intubasi (Pemasangan selang nafas). Selain itu, dokter juga melakukan

pemompaan oksigen dengan menggunakan tangan melalui selang nafas,

infus, obat suntikan, serta memberikan pengencer dahak (nebulizer).

Kondisi Bayi Deborah dinyatakan membaik setelah tindakan intubasi

selesai dilakukan, walaupun dokter menyatakan kondisi Bayi Deborah

masih dalam keadaan kritis. Dokter menganjurkan kepada orang tua

Deborah agar penanganan Deborah dilakukan di ruang Intensive Care Unit

(ICU). Setelah adanya anjuran dari dokter bahwa anaknya disarankan untuk

ditangani di ruang Intensive Care Unit (ICU) Ibu Deborah langsung

mengurus keperluan administrasi. Namun, mengetahui biaya uang muka

perawatan di ruang Pedriatic Intensive Care Unit (PICU) yang mencapai Rp

19.800.000, Ibu Deborah mengajukan keringanan untuk membayar sebesar

Rp 5.000.000 kepada petugas administrasi. Namun, pihak rumah sakit Mitra

Keluarga menolak permohonan dari Ibu Deborah yang meminta keringanan

biaya uang muka.15 Kemudian, dari hasil pembicaraan dengan dokter, Mitra

Keluarga menawarkan rujukan terhadap Bayi Deborah ke rumah sakit yang

berkerjasama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dengan

maksud agar biaya yang dikeluarkan oleh Ibu Deborah tidak terlalu mahal.

15 https://news.okezone.com/read/2017/09/09/337/1772710/ini-kronologi-kematian-bayi-

debora-versi-rs-mitra-keluarga#lastread , diakses 08 Oktober 2017 pukul 08.05 WIB

Page 26: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

9

Setelah bersusah payah, keluarga akhirnya mendapatkan rumah sakit

rujukan untuk Deborah yaitu Rumah Sakit Koja pada pukul 09.15 WIB.

Dalam prosesnya kemudian dokter rumah sakit tersebut menghubungi

dokter Mitra Keluarga yang menangani Deborah untuk menanyakan kondisi

terakhir Deborah sebelum dipindahkan ke rumah sakit yang dirujuk.

Ditengah komunikasi itu, perawat yang mengawasi Deborah melaporkan

bahwa kondisi Deborah tiba-tiba memburuk. Dokter langsung melakukan

pertolongan kepada Deborah dengan melakukan resusitasi jantung paru

selama 20 menit, dan pada akhirnya Deborah meninggal setelah mendapat

pertolongan oleh dokter.

Kasus serupa juga menimpa Epi (32), korban kecelakaan tunggal di

Jalan Hasanuddin Kota Baubau, Selasa (4 Juni 2017) malam hari. Awal

kejadiannya, Epi mengalami kecelakaan yang sangat hebat di bagian

kepalanya hingga harus dilarikan ke rumah sakit. Oleh keluarga dibawahlah

ke rumah sakit Siloam Buton untuk mendapatkan penanganan. Sesampainya

di rumah sakit korban tidak mendapatkan penangannan apa-apa , hampir

dua jam korban sampai di Rumah Sakit Siloam namun tidak dilayani oleh

pihak rumah sakit karena pihak keluarga tidak membawa duit pada saat itu.

Seorang perawat rumah sakit Siloam meminta uang sekitar Rp 1 juta

kepada keluarga korban untuk membersihkan luka korban, karena pihak

keluarga tidak ada duit pada saat itu maka korban dibawa keluar dari Rumah

Sakit Siloam menuju rumah sakit daerah. Namun rencana untuk

memindahkan korban ke Rumah sakit daerah tidak jadi, korban telah

Page 27: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

10

meninggal karena mengalami pendarahan yang hebat di bagian kepala.

Mengetahui korban telah meninggal dunia karena tidak mendapatkan

penanganan dari rumak sakit pihak keluarga marah dan bermaksud untuk

menuntut Rumah Sakit Siloam dan membawa masalah tersebut ke meja

hijau. Ratusan keluarga pasien menuding Rumah Sakit Siloam

menelantarkan anggota keluarganya, Epi (32), yang menjadi korban

kecelakaan tunggal di Jalan Hasanuddin Kota Baubau, Selasa (4 Juni 2017)

malam hari. Ditempat yang sama, pihak keluarga sempat melakukan

mediasi tertutup dengan pihak Rumah Sakit Siloam. Pada akhirnya

mengetahui pihak keluarga korban telah melakukan mediasi dengan pihak

rumah sakit maka ratusan keluarga korban berangsur meninggalkan rumah

sakit Siloam.

Mendapat tudingan itu, Direktur Rumah Sakit Siloam Buton,

Muhamad Agung Zain membantah bahwa telah adanya dugaan pihaknya

menelantarkan pasien dirumah sakit yang dipimpinnya. Ditambah lagi

bahwa adanya tudingan pihak rumah sakit meminta sejumlah uang sebelum

melakukan tindakan medis. “Tidak pernah, harus membayar sejumlah uang

terlebih dahulu baru pasien kita tangani. Silakan ditangani dulu, saya jamin

tidak ada itu. Kalau ada yang meminta uang muka terlebih dahulu baru

kemudian ditangani maka akan dikenakan sanksi”, kata Agung16.

Kewajiban menerima dan merawat pasien gawat darurat sudah diatur

dalam Peraturan Mentri Kesehatan Nomor 40 Tahun 2012 tentang pedoman

16http://regional.kompas.com/read/2017/07/05/20440171/dituding.telantarkan.pasien.hingga

.meninggal.rs.siloam.diamuk.ratusan.warga, diakses 09 oktober 2017 pukul 11.26 WIB

Page 28: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

11

pelaksanaan program jaminan kesehatan. Dalam Bab IV, poin 3 berbunyi;

“Pada keadaan gawat darurat (emergency), seluruh fasilitas kesehatan baik

jaringan Jamkesmas atau bukan, wajib memberikan pelayanan penanganan

pertama kepeda peserta Jamkesmas. Bagi fasilitas kesehatan yang bukan

jaringan Jamkesmas pelayanan tersebut merupakan bagian dari fungsi sosial

fasilitas kesehatan, selanjutnya fasilitas kesehatan tersebut dapat merujuk ke

fasilitas kesehatan jaringan fasilitas kesehatan jamkesmas untuk penanganan

lebih lanjut”.17

Dapat dilihat dalam pasal 28 H ayat 1 Undang-Undang Dasar 194518

menyatakan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,

bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat

serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Dengan artian Indonesia

telah menjamin kesehatan bagi seluruh rakyatnya yang tertera didalam

Undang-Undang Dasar 1945. Tetapi pada kenyataannya masih jarang

diterapkan oleh masyarakat bahkan instansi seperti rumah sakit, puskesmas

dan lembaga lain yang terkait lainnya, contohnya ada kasus penelantaran

pasien, Deborah simanjorang yang meninggal akibat tidak mempunyai uang

muka untuk dilakukan perawatan di ruang PICU dan kasus penelantaran

yang dialami oleh Epi (32) korban kecelakaan tunggal yang meninggal

dunia akibat tidak mendapatkan pertolongan pertama dari Rumah Sakit

Siloam Buton akibat pendarahan yang hebat dibagian kepala korban.

17 Peraturan Mentri Kesehatan Nomor 40 Tahun 2012 tentang pedoman pelaksanaan

program jaminan kesehatan BAB IV Ketentuan Umum poin 3. 18 lihat, Pasal 28 H ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945.

Page 29: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

12

Pada dasarnya terdapat berbagai aturan yang mengatur mengenai

pertanggungjawaban pihak rumah sakit yang dengan sengaja membiarkan

atau menelantarkan pasien dalam keadaan membutuhkan pertolongan.

Diantaranya diatur di dalam Pasal 304 KUHP, Pasal 32 ayat 1-2 Undang-

Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Jika dianalisis, peraturan

tersebut memiliki korelasi terhadap kasus yang telah dijelaskan diparagraf

sebelumnya, dimana pada kasus meninggalnya Deborah dan Epi terlihat

tidak adanya upaya penerapan pasal 304 KUHP dan pasal 32 ayat 1-2

terhadap korban karena sampai pada saat pasien mengalami keadaan darurat

pihak rumah sakit tidak memberikan keringanan terhadap pasien Deborah

yang pada saat itu hanya memiliki uang Rp 5.000.000 untuk dapat masuk

keruangan PICU untuk di tangani lebih lanjut oleh pihak dokter dan

terhadap Epi korban kecelakaan tunggal yang tidak mempunyai uang Rp

1.000.000 untuk membayar uang muka sebelum mendapatkan pertolongan

pertama.

Berdasarkan penjelasan kasus diatas dengan meninggalnya pasien

akibat pihak rumah sakit tidak mengutamakan keselamatan pasien, sesuai

dengan pasal 32 ayat 1-2 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang

Kesehatan sebagaimana bunyi dari pasal tersebut sudah dijelaskan pada

paragraf sebelumnya, pihak rumah sakit seharusnya memberikan

pertolongan untuk menyelamatkan nyawa pasien terlebih dahulu terlebih

terhadap pasien yang dalam keadaan darurat tanpa memperhatikan kondisi

ekonomi pasien. Kemudian jika di analisis menggunakan pasal tersebut

Page 30: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

13

pihak rumah sakit secara tidak langsung telah melakukan suatu tindak

pidana yang di atur dalam KUHP dan UU tentang Kesehatan. Dalam hal ini

penulis merasa peristiwa tersebut perlu dianalisis, khususnya mengenai

bentuk pertanggungjawaban pihak rumah sakit atas meninggalnya pasien

yang tidak membayarkan uang muka untuk mendapatkan pertolongan lebih

lanjut. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis mengangkat tema

mengenai pertanggungjawaban pihak rumah sakit dengan mengangkat judul

penelitian PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT

DAN DOKTER ATAS MENINGGALNYA PASIEN YANG

DITELANTARKAN RUMAH SAKIT.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis menarik rumusan

permasalahan sebagai berikut :

1. Apakah Rumah Sakit dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas

tindakan menelantarkan pasien yang dilakukan di Rumah Sakit ?

2. Bagaimana tanggungjawab pidana dokter terhadap pasien yang

ditelantarkan oleh Rumah Sakit ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Obyektif dari penelitian yang dilakukan :

a. Untuk mengetahui apakah pihak rumah sakit dapat dimintai

pertanggungjawaban pidana atas tindakan penelantaran pasien

yang dilakukan oleh rumah sakit.

Page 31: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

14

b. Untuk mengetahui bagaimana tanggungjawab dokter terhadap

pasien yang ditelantarkan oleh rumah sakit.

2. Tujuan subyektif dari penelitian yang dilakukan :

Untuk mendapatkan informasi, data-data ataupun keterangan-

keterangan yang akurat guna menyelesaikan tugas akhir sebagai

mahasiswa yang diwujudkan dalam bentuk penulisan hukum.

Penulisan hukum tersebut sebagai syarat wajib untuk memperoleh

gelar Sarjana Hukum di Universitas Islam Indonesia.

D. Orisinalitas Penelitian

Sejauh ini belum ada yang membahas tentang apakah rumah sakit

dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas tindakan penelantaran

pasien yang dilakukan oleh rumah sakit dan bagaimana bentuk

pertanggungjawaban dokter. Adapun beberapa tulisan yang berkaitan

dengan penelitian ini terdapat perbedaan yaitu tentang tindakan yang

dilakukan oleh pihak rumah sakit salah satu contohnya penelitian yang

berjudul pertanggungjawaban pidana rumah sakit dalam kasus malpraktek.

Sedangkan pada penelitian ini akan membahas tentang pertanggungjawaban

pidana rumah sakit atas meninggalnya pasien yang ditelantarkan rumah

sakit.

E. Tinjauan Pustaka

1) Tinjauan Tentang Pelayanan Kesehatan

Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi

masyarakat dengan karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh

Page 32: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

15

perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan

kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap mampu

meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh

masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.19

Dalam Undang-Undang Rumah Sakit pengertian Rumah sakit

secara umum sama yaitu merupakan fasilitas pelayanan kesehatan

yang memberikan upaya pelayanan kesehatan perorangan secara

paripurna, meliputi upaya preventif, promotif, kuratif, dan

rehabilitatif.20 Untuk menjalankan tugasnya, rumah sakit mempunyai

fungsi21:

a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan

kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit;

b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui

pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga

sesuai kebutuhan medis;

c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya

manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam

pemberian pelayanan kesehatan; dan

d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan

teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan

19 Sri Siswati, Etika dan Hukum Kesehatan: Dalam Perspektif Undang-Undang Kesehatan,

Jakarta, Rajawali Pres, 2013, hlm.80. 20 Endang Wahyati Yustina, Op.cit, hlm.9 21 Lihat Pasal 5 Undang-Undang Rumah Sakit

Page 33: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

16

pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu

pengetahuan bidang kesehatan.

Didalam Undang-Undang, Pasien didefinisikan sebagai setiap

orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk

memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara

langsung ataupun tidak langsung oleh rumah sakit.22

Pasien sebagai orang yang mendapatkan pelayanan dari rumah

sakit mempunyai perlindungan hukum, yaitu perlindungan mengenai

hak dan kewajibannya, dan perlindungan dari kelalaian atau kesalahan

yang dilakukan oleh rumah sakit dalam pelayanannya. Adapun

perlindungan pasien yang dimaksud dapat dilihat dalam Undang-

Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.23

2) Tinjauan Tentang Pertanggungjawaban Pidana

Menurut Moeljatno konsep pertanggungjawaban ini bergantung

pada apakah dalam melakuakn perbuatan dia mempunyai unsur

kesalahan (mens rea) atau tidak.24 Sedangkan kesalahan sendiri berarti

keadaan psikis (batin tertentu) yang menunjukkan adanya hubungan

antara keadaan batin dan perbuatan yang dilakukan sehingga

menimbulkan kesalahan.25

Berkaitan dalam asas hukum pidana yaitu Geen straf zondes

schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea, bahwa tidak dipidana

22 Lihat Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Rumah Sakit. 23 Pasal 56-58 Undang-Undang Kesehatan. 24 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 2008, hlm.166 25 Ibid,

Page 34: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

17

jika tidak ada kesalahan, maka pengertian tindak pidana ini terpisah

dengan yang dimaksud pertanggungjawaban tindak pidana. Hubungan

antara batin pelaku dengan akibat yang timbul karena perbuatannya

itu atau ada hubungan lahir yang merupakan hubungan kausal antara

perbuatan pelaku dengan akibat yang dilarang itu, maka hukuman

pidana dapat dijatuhkan kepada si pelaku atas perbuatan pidananya.

Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu

mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi

terhadap pelanggaran atas ‘kesepakatan menolak’ suatu perbuatan

tertentu.26 Sudarto mengatakan bahwa dipidannya seseorang tidaklah

cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan

dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun

perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undang

dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat

penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat

untuk penjatuhan pidana, yaitu orang yang melakukan perbuatan itu

mempunyai kesalahan atau bersalah. Orang tersebut harus

dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut

perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan

kepada orang tersebut.27

26 Ibid, hlm.156

27 Ibid,

Page 35: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

18

3) Tinjauan Tentang Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Korporasi disebut sebagai legal personality. Ini artinya

korporasi dapat memiliki harta kekayaan sendiri sebagaimana manusia

dan dapat menuntut dan dituntut dalam perkara perdata. Pada awalnya

orang banyak menolak untuk mempertanggungjawabkan korporasi

dalam perkara pidana. Alasannya korporasi tidak mempunyai perasaan

seperti manusia sehingga ia tidak mungkin melakukan kesalahan.28

Konsep pertanggungjawaban pidana korporasi sama seperti

konsep pertanggungjawaban pidana secara umum. Dalam hukum

pidana konsep liability atau “pertanggungjawaban” merupakan

konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa

latin ajaran kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin mens

rea ini dilandaskan pada konsepsi bahwa suatu perbuatan tidak

mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat.

Dalam bahasa Inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan an act does

not make a person gulity, unless the mind is legally blameworthy. Di

dalam doktrin itu, terdapat dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat

memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang

terlarang/tindak pidana (actus reus) dan ada sikap batin jahat/tercela

(mens rea).29

28 I Dewa Made Suartha, Hukum Pidana Korporasi Pertanggungjawaban Pidana dalam

Kebijakan Hukum Pidana Indonesia,Setara Pres, Malang, 2015, hlm. 91 29 Hanafi, “Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana”, Jurnal Hukum, Vol. 6 No. 11,

1999, hlm. 27

Page 36: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

19

Ada dua ajaran pokok yang menjadi landasan bagi pembenaran

dibebankannya pertanggungjawaban pidana kepada korporasi menurut

Sutan Remy Sjahdeini, ajaran-ajaran tersebut adalah doctrine of strict

liability dan doctrine of vicarious liability.30

Menurut Barda Nawawi Arief dalam bukunya Perbandingan

Hukum Pidana, masalah pertanggungjawaban korporasi mempunyai

dua dimensi yaitu dimensi konseptual dan dimensi pragmatis. Pada

dimensi konseptual, ketentuan “respondeat superior” menimbulkan

kesulitan bagi mereka yang mengkhawatirkan vicarious liability dan

mengkhawatirkan pengurangan peranan “kesengajaan” dalam hukum

pidana. Pada dimensi pragmatis, ilmu pengetahuan empiris mengenai

tingkah laku korporasi menutupi semua usaha untuk memahami

pengaruh pertanggungjawaban pidana pada korporasi, tetapi

kebanyakan kritik di pandang terlalu keras.31

4) Tinjauan Umum Tentang Teori Pertanggungjawaban Rumah

Sakit Dalam Hukum Pidana

Implikasi hukum pidana hubungan hukum rumah sakit dan

pasien dalam penyelenggara pelayanan kesehatan adalah adanya

perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pihak rumah sakit

yang memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana sebagaimana diatur

dalam ketentuan-ketentuan pidana. Perbuatan pidana rumah sakit

terhadap pasien dapat berupa kesalahan atau kelalaian yang dilakukan

30 Ibid, hlm. 77 31 Barda Nawawi Arief, Sari Kuliah Perbandingan..., Op.cit, hlm. 149

Page 37: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

20

oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya yang menyebabkan

kerusakan pada tubuh korban, dimana kesalahan atau kelalaian

tersebut merupakan suatu kesengajaan. Perbuatan pidana ini akan

melahirkan tanggung jawab pidana berupa denda dan pencabutan ijin

operasional rumah sakit.32

Selain orang perorangan yang dapat dituntut pidana, maka

berdasarkan teori hukum pidana modern, maka corporate atau badan

hukum(dalam hal ini rumah sakit) dapat juga dituntut pidana.

Terhadap korporasi yang dapat diajukan atau dituntut pidana, terdapat

beberapa ajaran atau doktrin atau prinsip atau teori yang dapat

dijadikan landasan untuk membenarkan korporasi dibebani

pertanggungjawaban pidana serta ajaran yang terkait dengan

pertanggungjawaban pidana. Menurut Bambang Purnomo tanggung

jawab kesehatan di dalam rumah sakit menurut doktrin kesehatan,

yaitu33:

a. Personal Liability

b. Strict Liability

c. Vicarius Liability

d. Respondent Liability

e. Corporate Liability

Rumah sakit pada dasarnya juga mempunyai tanggungjawab

yang besar terhadap pemberian pelayanan kesehatan terhadap

32 Syahrul Machmud, Op.cit, hlm.203-204 33 Ibid, hlm.205

Page 38: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

21

masyarakat dalam hal ini pasien. Tanggung jawab publik rumah sakit

sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan diatur dalam ketentuan

Pasal 15 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 200934, tentang pelayanan

publik yaitu mengatur tentang tujuan pelaksanaan pelayanan publik.

Selain pengaturan tanggung jawab rumah sakit dalam Undang-

Undang Nomor 25 Tahun 2009, juga diatur dalam ketentuan Pasal 46

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yang

mengatakan bahwa: “ Rumah sakit bertanggungjawab secara hukum

terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang

dilakukan oleh tenaga kesehatan rumah sakit”. Pasal tersebut juga

sesuai dengan Doctrine of Vicarious Liability35 yaitu tanggung jawab

yang timbul akibat kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya. Maka

suatu korporasi dimungkinkan bertanggungjawab atas perbuatan-

perbuatan yang dilakukan oleh para pegawainya.

5) Tinjauan Umum Tentang Aspek Hukum Pembiaran Medis36

Pembiaran Medis adalah dilakukannya tindakan dan atau

pelayanan medis oleh dokter dan atau rumah sakit yang tidak sesuai

dengan standar prosedur yang berlaku, atau dilakukannya dengan

tidak sungguh-sungguh(asal-asalan), atau tidak dilakukan sama sekali.

Salah satu contoh pembiaran medis sudah dijelaskan pada latar

34 Lihat Pasal 15 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009, tentang pelayanan publik 35 Syahrul Machmud, Op.cit, hlm.207 36 M.Arif Setiawan, Aspek Hukum Pembiaran Medis, Diskusi Panel, Fakultas Hukum

Universitas Islam Indonesia, 19 September 2017

Page 39: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

22

belakang tentang meninggalnya Bayi Deborah yang tidak

mendapatkan pertolongan.

Adapun dampak dari pembiaran medis ada yang berdampak

langsung pada pasien dan ada juga dampak yang lebih lanjut. Dampak

pembiaran medis langsung bagi pasien tidak tercapainya tujuan pasien

untuk dirawat dan dilayani Dokter dan Rumas Sakit yaitu

kesehatannya tidak membaik, bisa lebih buruk, cacat, atau bahkan

kematian. Dampak pembiaran medis lebih lanjut terganggunya

hubungan kepercayaan antara Pasien dengan Dokter atau Rumah Sakit

yang dapat memicu terjadinya sengketa medis. Pasien sebagai pihak

pengguna jasa dan dokter sebagai pihak pemberi jasa, keduannya

mempunyai hubungan hukum yang bersifat khusus/istimewa.

Aspek hukum pembiaran medis dibagi 3, pertama yaitu

administrasi, kedua yaitu perdata yang dalam hal ini diatur dalam

Perbuatan Melawan Hukum (PMH), eks Pasal 1365, 1366 dan atau

1367 KUH Perdata (BW), ketiga yaitu pidana (umum) yang diatur

dalam Pasal 304 KUHP dan (khusus) diatur dalam Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

F. Definisi Operasional

Vicarious Liability adalah pertanggungjawaban menurut hukum

seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain. Orang

Page 40: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

23

tersebut harus mempunyai hubungan yaitu hubungan atasan dan bawahan

seperti perawat dengan dokter, atau hubungan pekerjaan.37

Pelayanan Kesehatan Paripurna adalah pelayanan kesehatan yang

meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitasi.38

Rumah Sakit adalah Institusi pelayanan kesehatan yang

menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang

menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.39

Penderita Gawat darurat adalah penderita yang disebabkan (penyakit,

trauma, kecelakaan, tindakan anestesi) yang bila tidak segera ditolong akan

mengalami cacat, kehilangan organ tubuh, atau meninggal.40

Pembiaran Medis adalah dilakukannya tindakan dan atau pelayanan

medis oleh dokter dan atau rumah sakit yang tidak sesuai dengan standar

prosedur yang berlaku, atau dilakukannya dengan tidak sungguh-

sungguh(asal-asalan), atau tidak dilakukan sama sekali.41

Penelantaran merupakan proses, cara, perbuatan menelantarkan yang

merupakan kata kerja dari telantar yang memiliki arti 1. Terhantar, terletak

tidak terpelihara, 2. Serba tidak kecukupan (tentang kehidupan), 3. Tidak

terpelihara, tidak terawat, tidak terurus, 4. Terbengkalai, tidak

terselesaikan.42 Penelantaran pasien merupakan bentuk perbuatan

menelantarkan (tidak memelihara, tidak merawat, tidak mengurus, tidak

37 Syahrul Machmud, Op.cit, hlm.208 38 Pasal 1 UU Kesehatan 39 Ibid 40 Syahrul Machmud, Op.cit, hlm.259 41 M.Arif Setiawan, Op.cit, diskusi panel .... 42 Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses melalui internet pada website www.kbbi.web.id

pada tanggal 15 Oktober 2017 pukul 21.18 WIB.

Page 41: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

24

menyelesaikan) tindakan medis dan segala upaya-upaya yang seharusnya

dilakukan kepada pasien oleh tenaga medis.

G. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan

analisa dan konstruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan

konsisten43, yang mencakup:

1) Jenis Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini bersifat penelitian hukum normatif

yang didukung oleh data penelitian empiris, artinya penelitian ini

dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder sekunder .

2) Objek Penelitian

Tentang pertanggungjawaban pidana pihak Rumah Sakit karena

telah menelantarkan pasien yang membutuhkan pertolongan pihak

rumah sakit, dimana hal tersebut seharusnya tidak boleh dilakukan

oleh pihak rumah sakit sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana.

3) Bahan Hukum

Bahan yang digunakan untuk membahas skripsi ini, meliputi:

1) Bahan hukum primer yaitu bahan yang mempunyai

kekuatan mengikat secara yuridis dan bersifat autoratif

43 Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia

1986, hlm.42.

Page 42: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

25

artinya mempunyai otoritas.44 Dimana penulis

menggunakan peraturan perundang-undangan yang terkait

diantaranya:

a. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang

Praktek Kedokteran

b. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan

c. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang

Rumah Sakit

d. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang tidak

mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis dan

kedudukannya sebagai pendukung untuk menjelaskan

bahan hukum primer atau semua publikasi tentang hukum

yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.45

Dimana penulis mengunakan literatur-literatur

kepustakaan atau buku-buku yang berkaitan dengan obyek

penelitiian, jurnal, dan juga media internet.

3) Bahan Hukum Tersier yaitu bahan hukum yang

memberikan petunjuk maupun penjelasan atas bahan

hukum primer dan sekunder, antara lain :

a. Kamus Hukum

44 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2008, hlm.142 45 ibid

Page 43: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

26

b. Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI )

4) Teknik Pengumpulan Data

a. Wawancara

Pengumpulan data yang dilakukan dengan cara

mengajukan pertanyaan langsung kepada seorang informan atau

seorang ahli yang berwenang dalam suatu masalah. Dalam

penelitian ini peneliti akan melakukan wawancara dengan pihak-

pihak terkait sebagai berikut : dr.Nuri (Dokter Umum) dan Drg.

Nugroho Wijayanto (Dokter Gigi), dan Dr.Muddzakir, S.H.,M.H

(Ahli Hukum Pidana)

b. Studi Kepustakaan

Studi ini dimaksudkan untuk mengkaji atau memahami

data-data sekunder dengan berpijak pada literatur, peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan

penelitian.

5) Metode Pendekatan

Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan :

a. Pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan dari sudut

pandang peraturan perundang-undangan dan norma hukum.

b. Pendekatan Konseptual, yaitu pendekatan yang mengkaji

mengenai konsep-konsep dan teori-teori dasar dalam suatu

disiplin ilmu. Tujuan pengkajian ini untuk menemukan dan

menganalisis ide-ide yang melahirkan pengertian hukum,

Page 44: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

27

konsep-konsep hukum, teori-teori hukum dan prinsip-prinsip

hukum serta aturan hukum yang berhubungan dengan

pertanggungjawaban pidana rumah sakit.

6) Analisis Bahan Hukum

Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif, yakni

data yang telah diperoleh akan diuraikan dalam bentuk keterangan dan

penjelasan, selanjutnya akan dikaji berdasarkan pendapat para ahli,

teori-teori hukum yang relevan, dan argumentasi dari peneliti sendiri

Page 45: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

28

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI HUBUNGAN RUMAH SAKIT DAN

PASIEN, PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI, dan

PENELANTARAN

A. Tinjauan Umum Mengenai Hubungan Rumah Sakit dan Pasien

1. Pengertian Rumah Sakit dan Pasien

Rumah sakit adalah salah satu jenis sarana pelayanan kesehatan,

yang tugas utamanya melayani kesehatan perorangan disamping tugas

pelayanan lainnya.46 Pengertian Rumah sakit juga dijelaskan

berdasarkan Undang-undang Kesehatan. Dalam Undang-Undang

Kesehatan yang baru, meski secara explisit tidak menyebutkan namun

pengertian Rumah sakit dapat disimpulkan sebagai salah satu bentuk

fasilitas pelayanan kesehatan, seperti dirumuskan pada Pasal 1 butir 7

bahwa: “Fasilitas pelayanan kesehatan suatu alat dan/atau tempat yang

digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik

promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh

Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat”.

Pengertian Rumah Sakit dirumuskan pada Pasal 1 butir 1

Undang-Undang Rumah Sakit bahwa: “Rumah Sakit adalah fasilitas

pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan

perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap,

rawat jalan, dan gawat darurat. Selanjutnya pada Pasal 1 butir 3

46 Endang Wahyati Yustina, Mengenal Hukum Rumah Sakit, Keni Media, Bandung, 2012,

hlm. 8

Page 46: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

29

disebutkan bahwa: “Pelayanan kesehatan paripurna adalah pelayanan

kesehatan yang meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan

rehabilitatif.”

Pengertian rumah sakit menurut Undang-Undang Kesehatan

maupun Undang-Undang Rumah Sakit secara umum sama yakni

merupakan fasilitas pelayanan kesehatan yang memberikan upaya

pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna, meliputi upaya

preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif.47

Sebagai pusat penyelenggara pelayanan publik, maka rumah

sakit sebagai sebuah organisasi dituntut untuk menyelenggarakan jasa

pelayanan medis yang bermutu bagi masyarakat.48 Apabila dokter atau

dokter gigi berpraktek di Rumah Sakit maka tanggung jawab akan

berbeda bila dibandingkan dengan dokter atau dokter gigi yang

berpraktek pribadi, karena rumah sakit sebagai badan hukum atau

korporasi memiliki tanggung jawab atas dokter atau dokter gigi yang

diperkerjakannya.49

Makna badan hukum (rechtpersoon) menurut Andi Hamsah

adalah, merupakan himpunan orang atau suatu organisasi yang

diberikan sifat subjek hukum secara tegas. Untuk mengetahui apakah

sebuah rumah sakit telah berstatus sebagai badan hukum atau belum

dapat dilihat dari akta pendiriannya yang dibuat dengan akta notaris

47 Ibid, hlm. 9 48 Syahrul Machmud, Op.cit, hlm. 161 49 Ibid, hlm. 171

Page 47: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

30

ataupun karena perintah perundang-undangan (khusus untuk rumah

sakit swasta)50

Merujuk pada Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 44

Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yang dimaksud dengan pasien

adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatan

untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara

langsung maupun tidak langsung dirumah sakit.

Hubungan hukum rumah sakit dengan pasien adalah sebuah

hubungan perdata yang menekankan pelaksanaan hak-hak dan

kewajiban-kewajiban masing-masing pihak secara timbal balik.

Rumah sakit berkewajiban untuk memenuhi hak-hak pasien dan

sebaliknya pasien berkewajiban untuk memenuhi hak-hak rumah

sakit. Kegagalan salah satu pihak memenuhi hak-hak pihak lain,

apakah karena wanprestasi atau kelalaian akan berakibat pada gugatan

atau tuntutan perdata yang berupa ganti rugi atas kerugian yang di

alami oleh pasien.51

2. Hak dan Kewajiban Rumah Sakit

Hak Rumah Sakit adalah segala sesuatu yang menjadi

kepentingan rumah sakit yang dilindungi oleh hukum, sedangkan

kewajiban rumah sakit adalah segala sesuatu yang menjadi beban dan

tanggung jawab rumah sakit untuk melaksanakannya demi untuk

50 Ibid, hlm. 172 51 Ibid, hlm. 181

Page 48: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

31

memenuhi apa yang menjadi hak orang lain. Tidak ada hak tanpa

kewajiban dan sebaliknya tidak ada kewajiban tanpa hak.52

Rumah sakit sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan

mempunyai hak dan kewajiban dalam hubungan hukum perjanjian

terapeutik dengan pasien sebagaimana yang diatur dalam Undang-

Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yaitu:53

Hak rumah sakit secara normatif diatur pada Pasal 30 UU

Nomor 44 Tahun 2009, sebagai berikut:

1) Menentukan jumlah, jenis dan kualifikasi sumber daya manusia

sesuai dengan kualifikasi rumah sakit.

2) Menerima imbalan jasa pelayanan serta menentukan renumerasi,

intensif dan penghargaan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

3) Melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka

mengembangkan pelayanan.

4) Menerima bantuan dari pihak lain sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan.

5) Menggugat pihak yang mengakibatkan kerugian.

6) Mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan

pelayanan kesehatan.

7) Mempromosikan layanan kesehatan yang ada di rumah sakit

sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

52 Ibid, hlm. 166 53 Ibid, hlm. 168

Page 49: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

32

8) Mendapatkan intensif pajak bagi rumah sakit publik dan rumah

sakit yang ditetapkan sebagai rumah sakit pendidikan.

Secara normatif kewajiban rumah sakit diatur pada Pasal 29

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009, sebagai berikut:

a. Memberikan informasi yang benar tentang pelayanan rumah

sakit kepada masyarakat.

b. Memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, anti

diskriminasi dan efektif dengan mengutamakan kepentingan

pasien sesuai standar pelayanan rumah sakit

c. Memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai

dengan kemampuan pelayanannya

d. Berperan aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan pada

bencana sesuai dengan kemampuan pelayanannya.

e. Menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak

mampu dan miskin.

f. Melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan

fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat

darurat tanpa uang muka, ambulance gratis, pelayanan korban

bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi

kemanusiaan.

g. Membuat, melaksanakan dan menjaga standar mutu pelayanan

kesehatan di rumah sakit sebagai acuan dalam melayani pasien.

h. Menyelenggarakan rekam medik.

Page 50: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

33

i. Menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak antara

lain sarana ibadah, parker, ruang tunggu, sarana untuk orang

cacat, wanita menyusui, anak-anak, usia lanjut.

j. Melaksanakan sistem rujukan.

k. Menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar

profesi dan etika serta peraturan perundang-undangan.

l. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak

dan kewajiban pasien.

m. Menghormati dan melindungi hak-hak pasien.

n. Melaksanakan etika rumah sakit.

o. Memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan

bencana.

p. Melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan baik

secara regional maupun nasional.

q. Membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktek

kedokteran atau kedokteran gigi dan tenaga kesehatan lainnya.

r. Menyusun dan melaksanakan peraturan internal runah sakit

(Hospital by laws)

s. Melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua

petugas rumah sakit dalam melaksanakan tugas.

t. Memberlakukan seluruh lingkungan rumah sakit sebagai

kawasan tanpa rokok.

Page 51: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

34

Apabila rumah sakit melakukan pelanggaran atas kewajiban

sebagaimana yang telah disebutkan diatas maka rumah sakit dapat

dikenakan sanksi administrasi berupa: teguran, teguran tertulis,

dan/atau denda dan pencabutan ijin rumah sakit.

3. Hak dan Kewajiban Pasien

Pasien maupun keluarga perlu mengetahui hak dan kewajiban

pasien selama di rawat di rumah sakit, misalnya jika pasien ragu-ragu

tentang penyakitnya ia berhak mencari second opinion atau boleh

tanya ke dokter lain. Begitu juga dengan hak-hak pasien yang lain,

pasien juga berhak mendapatkan pelayanan yang terstandarisasi.

Menurut Pasal 32 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009

tentang Rumah Sakit menyebutkan bahwa setiap pasien mempunyai

hak sebagai berikut:

a. Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang

berlaku di Rumah Sakit;

b. Memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien;

c. Memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa

diskriminasi;

d. Memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai standar

profesi dan standar prosedur operasional;

e. Memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingg pasien

terhindar dari kerugian fisik dan materi;

Page 52: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

35

f. Mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang

didapatkan;

g. Memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan

keinginannya dan peraturan yang berlaku di rumah sakit;

h. Meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada

dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di

dalam maupun di luar Rumah Sakit;

i. Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita

termasuk data-data medisnya;

j. Mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara

tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan,

risiko, dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis

terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya

pengobatan;

k. Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan

dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang

dideritanya;

l. Didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;

m. Menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang

dianutnya selama hal itu tidak menggangu pasien lainnya;

n. Memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam

perawatan di Rumah Sakit;

Page 53: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

36

o. Mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit

terhadap dirinya;

p. Menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan

agama dan kepercayaan yang dianutnya;

q. Menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah

Sakit diduga memberikan pelayanan tidak sesuai dengan standar

baik secara perdata ataupun pidana; dan

r. Mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan

standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sementara itu ada kewajiban yang perlu dipenuhi oleh pasien

yang diatur dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004

tentang Praktik Kedokteran, yang meliputi:

a. Memberi informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah

kesehatannya;

b. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter dan dokter gigi;

c. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan

kesehatan;

d. Memberi imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

Page 54: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

37

B. Tinjauan Umum Mengenai Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

1. Konsep Pertanggungjawaban Pidana

a. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing disebut

sebagai “toreken-baarheid”, “criminal responsibility”, criminal

liability, pertanggungjawaban ini dimaksudkan untuk

menentukan apakah seseorang tersebut dapat

dipertanggungjawabkan atas pidananya atau tidak terhadap

tindakan yang dilakukan itu.54

Dengan demikian, membicarakan pertanggungjawaban

pidana mau tidak mau harus didahului dengan penjelasan

tentang perbuatan pidana. Seseorang mendapatkan pidana

tergantung dua hal, pertama harus ada perbuatan yang

bertentangan dengan hukum, kedua ada unsur kesalahan dalam

bentuk kesengajaan dan atau kealpaan sehingga perbuatan

tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Sebab

seseorang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana tanpa

terlebih dahulu ia melakukan perbuatan pidana. Dirasakan tidak

adil jika tiba-tiba seseorang harus bertanggungjawab atas suatu

tindakan, sedangkan ia sendiri tidak melakukan tindakan

tersebut.55

54 S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Alumni Ahaem-

Pateheam, Jakarta, 1996, hlm.245 55 Mahrus Ali, dasar-dasar...Op.cit, hlm.115

Page 55: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

38

Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan

suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk

bereaksi terhadap pelanggaran atas ‘kesepakatan menolak’ suatu

perbuatan tertentu.56 Sudarto mengatakan bahwa dipidannya

seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan

perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat

melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi

rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan,

namun hal tersebut belum memenuhi syarat penjatuhan pidana.

Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat untuk penjatuhan

pidana, yaitu orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai

kesalahan atau bersalah. Orang tersebut harus

dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari

sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat

dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.57

Dalam hukum pidana konsep “pertanggungjawaban”

merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran

kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran kesalahan dikenal dengan

sebutan mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada suatu

perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika

pikiran orang itu jahat. Dalam bahasa Inggris doktrin tersebut

dirumuskan dengan an act does not make a person guilty, unless

56 Ibid, hlm.156 57 Ibid,

Page 56: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

39

the mind is legally blameworthy. Berdasar asas tersebut, ada dua

syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang,

yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang/perbuatan pidana

(actus reus), dan ada sikap batin jahat/tercela (mens rea).58

Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana

Indonesia saat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu

asas disamping asas legalitas dalam Pasal 1 KUHPidana.

Konsep kesalahan geen straf zonder schuld ( tidak ada pidana

tanpa kesalahan ) sebagai dasar untuk meminta

pertanggungjawaban seseorang atau suatu badan hukum dikenai

pula di Indonesia. Pasal 1 KUHP berbunyi:59

1) Tiada satu perbuatan dapat dipidana, kecuali

berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-

undangan pidana yang telah ada sebelumnya.

2) Jika ada perubahan dalam perundang-undangan

sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap

terdakwa diterapkan ketentuan yang paling

menguntungkannya.

Roeslan Saleh menyatakan bahwa pertanggungjawaban

pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif

yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif memenuhi

syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu.60 Maksud

celaan objektif adalah bahwa perbuatan yang dilakukan oleh

58 Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, Op.cit, hlm. 20 59 Erdianto Effendi, Op.cit, hlm. 108 60 Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, Op.cit, hlm. 20

Page 57: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

40

seseorang memang merupakan suatu perbuatan yang dilarang.

Indikatornya adalah perbuatan tersebut melawan hukum baik

dalam arti melawan hukum formil maupun melawan hukum

materil. Sedangkan maksud celaan subjektif menunjuk kepada

orang yang melakukan perbuatan yang dilarang tadi. Sekalipun

perbuatan yang dilarang telah dilakukan oleh seseorang, namun

jika orang tersebut tidak dapat dicela karena pada dirinya tidak

terdapat kesalahan, maka pertanggungjawaban pidana tidak

mungkin ada.61

Sudarto menyatakan bahwa agar seseorang memiliki aspek

pertanggungjawaban pidana, dalam arti dipidananya pembuat,

terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu:62

1. adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh

pembuat;

2. adanya unsur kesalahan berupa kesengajaan atau

kealpaan;

3. adanya pembuat yang mampu bertanggungjawab;

dan

4. tidak ada alasan pemaaf.

b. Syarat-Syarat Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana memiliki syarat-syarat mutlak

yang harus dipenuhi untuk menentukan dapat atau tidaknya

mempertanggungjawabkan perbuatan seseorang yang tidak

61 Ibid, hlm.21 62 Ibid, hlm.22

Page 58: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

41

hanya melakukan tindak pidana tetapi juga melakukan

kesalahan, syarat-syaratnya anatara lain sebagai berikut:

a. Mampu bertanggungjawab

Dikatakan seseorang mampu bertanggungjawab, bilamana

pada umumnya:63

1) Keadaan jiwanya :

a) Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus

atau sementara;

b) Tidak cacat dalam pertumbuhan; dan

c) Tidak terganggu karena terkejut, amarah yang

meluap, pengaruh bawah sadar, dengan

perkataan lain dia dalam keadaan sadar.

2) Kemampuan jiwa :

a) Dapat menginsafi hakekatnya dari

tindakannya;

b) Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan

tersebut, apakah akan dilaksanakan atau tidak;

dan

c) Dapat mengetahui dari ketercelaan atas

tindakan tersebut.

b. Sikap batin dolus/culpa

Berhubungan dengan sikap batin yang dimiliki

seseorang, terdapat dua sikap yang mempengaruhi

seseorang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya

atau tidak yaitu sikap batin yang sengaja atau dolus yang

berarti bahwa sikap batin seseorang yang melakukan

perbuatan pidana mengetahui bahwa perbuatan tersebut

melanggar hukum. Sedangkan sikap batin lalai atau culpa

63 Amir Ilyas, Pertanggungjawaban Pidana Dokter dalam Malpraktek Medis di Rumah

Sakit, Rangka Education dan Republic Institute, Yogyakarta, 2014, hlm.

Page 59: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

42

merupakan sikap batin yang dimiliki seseorang yang

melakukan perbuatan pidana karena kurang hati-hati dan

berakibat membahayakan keselamatan orang lain.

c. Tidak ada alasan pemaaf

Perbuatan pidana yang telah dilakukan seseorang

yang menyebabkan kerugian orang lain dapat

mempertanggungjawabkan perbuatannya apabila tidak ada

alasan pemaaf di dalamnya. Alasan pemaaf yaitu alasan

yang dapat dijadikan sebagai penghapus sifat perbuatan

pidana yang dilakukan pelaku karena perbuatannya dapat

dimaafkan oleh korban atas tindakanya tersebut.

c. Kemampuan Bertanggung Jawab

Elemen pertama dari kesalahan adalah kemampuan

bertanggung jawab atau toerekeningsvatbaarheid. Seseorang

dapat dipidana atas perbuatan pidannya apabila adanya

kemampuan bertanggung jawab bagi si pelaku.

Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai bentuk

pembebenan kepada seseorang (pelaku) kibat perbuatan sesuatu

yang seharusnya dikerjakan dengan kemauan sendiri dan tau

akan akibat-akibat dari berbuat atau tidak berbuat.

Dalam hukum pidana kemampuan bertanggung jawab

seseorang menyangkut dengan keadaan batin orang yang

melakukan tindak pidana, menurut Roeslan Saleh kemampuan

Page 60: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

43

bertanggung jawab adalah mampu menginsyafi sifat melawan

hukumnya suatu perbuatan dan mampu menentukan

kehendaknya.64 Berbeda menurut pendapat Van Hammel bahwa

kemampuan bertanggung jawab adalah suatu keadaan

normalitas psikis dan kematangan atau kedewasaan, sehingga

seseorang memiliki tiga macam kemampuan, yaitu:65

1) Mampu mengerti maksud perbuatannya;

2) Mampu menyadari bahwa perbuatannya tidak dapat

dibenarkan oleh masyarakat; dan

3) Mampu menentukan kehendak dalam melakuakn

perbuatannya.

Dalam KUHPidana tidak ada dijelaskan tentang ketentuan

kemampuan bertanggung jawab, ada hanya ketentuan yang

berhubungan dengan itu ialah Pasal 44 ayat (1) KUHP yang

berbunyi :

“Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat

dipertanggung jawabkan kepadanya, karena jiwanya

terganggu atau karena penyakit”

Menurut pasal tersebut, maka keadaan yang menandakan

seseorang tidak mampu betanggung jawab karena keadaan

tertentu, yaitu jiwanya cacat dalam pertumbuhannya atau

64 Roeslan Saleh, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta,

1983, hlm.75 65 Mahrus Ali, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, Rajawali Pres, Jakarta, 2013, hlm. 96

Page 61: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

44

gangguan karena penyakit dan sebagai akibatnya, ia tidak

mampu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya itu.

Kemampuan bertanggung jawab dalam KUHP tidak

dirumuskan secara positif, melainkan dirumuskan secara negatif.

Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

menyatakan seseorang tidak mampu bertanggungjawab

apabila:66

1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena

jiwanya cacat dalam tubuhnya (gebrekkige

ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit

(ziekelijke storing) tidak dipidana.

2) Jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat

dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena

jiwanya cacat dalam tubuhnya atau tergangu karena

penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya

orang itu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa,

paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.

3) Ketentuan tersebut dalam ayat (2) hanya berlaku

bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan

Pengadilan Negeri.

66 Eddy O.S Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pusaka, Yogyakarta,

2014, hlm.164

Page 62: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

45

Jika hal diatas dikatakan “ditentukan dalam bentuk

negatif”, dalam bentuk positif hal ini adalah bahwa terhukum

telah melakukan suatu perbuatan pidana atas dasar kehendaknya

yang bebas.67

Pada umumnya yang bertanggungjawab atas dilakukannya

tindak pidana adalah orang yang disangka telah melakukan

perbuatan itu, atau dengan kata lain seseorang bertanggung

jawab atas perbuatan-perbuatannya sendiri. Selain itu ada yang

disebut “vicarious responsibility”, dalam hal ini seseorang

bertanggung jawab atas perbuatan orang lain sebagaimana yang

diungkapkan Herman Manheim dalam “problems of Collective

Resposibility”.68 Penulis-penulis berkesimpulan bahwa orang

yang bertanggungjawab atas apa yang telah dilakukannya

haruslah melakukan itu perbuatan itu dengan “kehendak yang

bebas”.69

Didalam praktik Pasal 44 KUHP dilaksanakan pembuktian

sedemikian rupa guna mengetahui kemampuan seseorang dapat

bertanggung jawab atau tidak, yaitu:70

1) kemampuan bertanggung jawab dilihat dari sisi si

pelaku berupa keadaan akal atau jiwa yang cacat

pertumbuhan atau terganggu karena penyakit.

67 Roeslan Saleh, Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, Ghalia Indonesia,

Yogyakarta, 1992, hlm. 20 68 Ibid, hlm. 32 69 Ibid, hlm. 33 70 Eddy O.S Hiariej, Op.cit, hlm. 165

Page 63: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

46

2) penentuan kemampuan bertanggung jawab dalam

konteks yang pertama harus dilakukan oleh seorang

psikiater.

3) ada hubungan kausal antara keadaan jiwa dan

perbuatan yang dilakukan.

4) penilaian terhadap hubungan tersebut merupakan

otoritas hakim yang mengadili perkara.

5) sistem yang dipakai dalam KUHP adalah diskriptif-

normatif karena disatu sisi, menggambarkan

keadaan jiwa oleh seorang ahli (psikiater), namun di

sisi lain secara normatif hakim akan menilai

hubungan antara keadaan jiwa dan perbuatan yang

dilakukan. Keterangan ahli yang secara deskriptif

tersebut hanya merupakan nasihat belaka dan hakim

tidak terikat untuk harus menggunakannya,

walaupun dalam praktik biasanya hakim juga

memperhatikan hal itu.

Dari keterangan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa

untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada:

1) Kemampuan untuk membeda-bedakan antara

perbuatan yang baik dan yang buruk; yang sesuai

dengan hukum dan yang melawan hukum.

Page 64: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

47

2) Kemampuan untuk menentukan kehendaknya

menurut keinsafan tentang baik dan buruknya

perbuatan tadi.71

Apabila terdapat keragu-raguan untuk menentukan apakah

seseorang mampu bertanggung jawab atau kah tidak, terdapat

dua pendapat yang berbeda secara diameteral. Pendapat pertama

dikemukakan oleh Pompe:72 (Pertanggungjawaban bukanlah

unsur perbuatan pidana. Hanya merupakan suatu anggapan.

Dapat dimengerti, bahwa kebanyakan orang berpikir demikian.

Keadaan tersebut, meskipun tidak jelas, dinyatakan sebagai

normal. Tidak dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana

dirumuskan dalam Pasal 37 (Pasal 44 KUHP) adalah suatu dasar

penghapusan pidana. Oleh karena itu (setelah penyidikan), tetap

meragukan mengenai dapat dipertanggungjawabkan, pelaku

tetap dapat dipidana)

Masih menurut Pompe apabila mengalami keragu-raguan

untuk menentukan seseorang mampu bertanggungjawab atau

tidak “berdasarkan karakter hukum pidana dan hukum acara

pidana sebagai hukum publik, jika ada keragu-raguan tentang

sesuatu, penuntut umum dan hakim berusaha menghilangkan

keragu-raguan itu dengan penyelidikan. Setelah penyelidikan

71 Moeljatno, Op.cit, hlm. 178 72 Eddy O.S Hiariej, Op.cit, hlm. 131

Page 65: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

48

yang luas tentang perkara tersebut, masih tidak pasti, terdakwa

harus dinyatakan bersalah”.

Pendapat Pompe tersebut didasarkan pada adagium, in

dubio pro lege fori bahwa jika terdapat keragu-raguan, hakim

tetap menghukum terdakwa. Sebaliknya, ada pendapat yang

dikemukakan oleh Noyon dan Langemeijer yang merujuk pada

asas in dubio pro lege fori “jika terdapat keragu-raguan harus

diambil keputusan yang meringankan bagi terdakwa. Dengan

demikian terdakwa dianggap tidak mampu bertanggung jawab

sehingga tidak dijatuhi pidana”.73

2. Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana

a. Pengertian Korporasi

Korporasi sebagai subjek hukum tidak bisa dilepaskan dari

ruang lingkup hukum perdata, karena korporasi merupakan

terminologi yang erat kaitannya dengan badan hukum

(rechtperson) dan dalam bidang hukum perdata, badan hukum

erat kaitannya dalam terminologi hukum perdata.

Secara harfiah korporasi (corporatie, Belanda),

corporation (Inggris), corporation (Jerman) berasal dari kata

“corporatio” dalam bahasa Latin. Seperti halnya dengan kata-

kata lain yang berakhir dengan “tio”, “corporatio” sebagai kata

benda (substantivum) berasal dari kata kerja “corporare” yang

73 Ibid,

Page 66: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

49

banyak dipakai orang pada zaman abad pertengahan atau

sesudah itu. “Corporare” sendiri berasal dari kata “corpus”

(Indonesia=badan) yang berarti memberikan badan atau

membadankan. Dengan demikian, “corporatio” itu berasal dari

hasil pekerjaan membadankan. Badan yang dijadikan orang,

badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan

terhadap badan manusia yang terjadi menurut alam.74

Muladi dan Dwidja Priyanto menyatakan bahwa korporasi

berasal dari kata corporate, yaitu suatu badan yang mempunyai

sekumpulan anggota dan anggota-anggota tersebut mempunyai

hak dan kewajiban sendiri, yang terpisah dari hak dan kewajiban

tiap-tiap anggota. Korporasi merupakan sebutan yang lazim

digunakan dikalangan ahli hukum pidana untuk menyebut apa

yang biasa dalam hukum lain khususnya dalam bidang hukum

perdata, sebagai badan hukum atau yang dalam bahasa Belanda

disebut recht persoon, dan dalam bahasa Inggris disebut legal

entities atau corporation.

Secara istilah korporasi diartikan sebagai suatu gabungan

orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama

sebagai subjek hukum tersendiri atau suatu personifikasi.

Korporasi adalah badan hukum yang beranggota serta memiliki

74 Mahrus Ali, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, Rajawali Pers, Jakarta, 2013, hlm. 1

Page 67: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

50

hak dan kewajiban sendiri terpisah dari hak dan kewajiban

anggota masing-masing.75

Menurut Subekti dan Tjitrosudibio yang dimaksud dengan

corporatie atau korporasi adalah suatu perseroan yang

merupakan badan hukum. Adapun menurut Yan Pramadya

Puspa menyatakan yang dimaksud dengan korporasi adalah

suatu perseroan yang merupakan badan hukum; korporasi atau

perseroan disini yang dimaksud adalah suatu perkumpulan atau

organisasi yang oleh hukum diperlakukan seperti seorang

manusia (personal) ialah sebagai pengemban (pemilik) hak dan

kewajiban memiliki hak menggugat ataupun digugat di muka

pengadilan. Contoh badan hukum itu adalah PT (Perseroan

Terbatas), N.V. (namloze vennootschap), dan yayasan

(stichting); bahkan negara juga merupakan badan hukum.76

Jadi, korporasi adalah badan hukum yang tidak memiliki

fisik dan oleh karena itu tidak dapat bertindak atau memiliki

kehendak kecuali melalui direktur atau karyawannya. Direktur

atau karyawannya juga merupakan entitias hukum yang berbeda

dengan korporasi, karena semua bentuk pertanggungjawaban

hukum korporasi adalah melalui pertanggungajwaban pengganti.

Berarti korporasi tidak bisa melakukan kejahatan, tapi orang-

orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasilah

75 Ibid, hlm.2 76 Muladi dan Dwidja Priyanto, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana, Jakarta,

2010, hlm. 25

Page 68: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

51

yang bisa melakukan kejahatan.77 Menurut R.Subekti, badan

hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau perkumpulan

yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti

manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau

menggugat di depan hakim.78

Alasan memasukkan korporasi sebagai badan hukum

karena memiliki unsur-unsur:

a) Mempunyai harta sendiri yang terpisah;

b) Ada suatu organisasi yang ditetapkan oleh suatu

tujuan d mana kekayaan terpisah itu diperuntukkan;

dan

c) Ada pengurus yang menguasai dan mengurusnya.

Namun bila pembahasan badan hukum dipersempit

menjadi perseroan terbatas, terdapat ciri-ciri penting yang

melekat pada entitas tersebut, yaitu:79

a) Personalitas hukum (legal personality)

b) Terbatasnya tanggungjawab (limited liability)

c) Adanya saham yang dapat dialihkan (transferable

shares)

d) Pendelegasian manajemen

e) Kepemilikan investor

77 Mahrus Ali, Asas-Asas..., Op.cit, hlm.3 78 Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban..., Op.cit, hlm.28 79 Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas, Total Media, Yogyakarta, 2010, hlm. 4-23

Page 69: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

52

Berdasarkan beberapa pengertian korporasi merupakan

badan hukum yang secara sengaja diciptakan oleh hukum itu

sendiri, dan dengan itu ia mempunyai kepribadian. Korporasi

juga merupakan subjek hukum (natuurlijk persoon) di samping

manusia (rechts person). Dalam hukum perdata, pengertian

korporasi lebih sempit dari pengertian yang sama dalam hukum

pidana, dimana yang pertama hanya membatasi pada

pengertiana korporasi sebagai badan hukum, seperti perseroan

terbatas. Sedangkan yang kedua memperluas makna korporasi

tidak hanya terbatas pada badan hukum tapi juga badan usaha

seperti CV.80

Korporasi dalam hukum pidana sebagai ius

constituendum dapat dijumpai dalam Konsep Rancangan KUHP

Baru Buku I 2004-2005 Pasal 182 yang menyatakan, “Korporasi

adalah kumpulan terorganisasi dan dari orang dan/atau kekayaan

baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”.

Pengertian korporasi dalam konsep Rancangan KUHP mirip

dengan pengertian korporasi di Negara Belanda, sebagimana

terdapat dalam bukunya Van Bemmelen yang berjudul Ons

Strafrecht 1 Het Materiele Strafrecht Algemeen deel

menyatakan, “... Dalam naskah dari bab ini selalu dipakai dalil

umum ‘korporasi’, yang mana termasuk semua badan hukum

80 Mahrus Ali, Asas-Asas..., Op.cit, hlm.7

Page 70: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

53

khusus dan umum (maksudnya badan hukum privat dan badan

hukum publik), perkumpulan, yayasan, pendeknya semua

perseroan yang tidak bersifat alamiah”.81

Rumusan tersebut kita jumpai dalam Pasal 51 W.v.S.

Belanda, yang berbunyi:

1) Tindak pidana dapat dilakukan oleh manusia

alamiah dan badan hukum.

2) Apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh badan

hukum, dapat dilakukan tuntutan pidana, dan jika

dianggap perlu dapat dijatuhkan pidana dan

tindakan-tindakan yang tercantum dalam undang-

undang terhadap:

a. Badan hukum; atau

b. Terhadap mereka yang memerintahkan

melakukan perbuatan itu, demikian pula

terhadap mereka yang bertindak sebagai

pimpinan melakukan tindakan yang dilarang

itu; atau

c. Terhadap yang disebutkan di dalam a dan b

bersama-sama.

81 J.M. Van Bemmelen, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana Material Bagian Umum,

diterjemahkan oleh Hasnan, Binacipta, Bandung, 1986, hlm. 239

Page 71: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

54

3) Bagi pemakaian ayat selebihnya disamakan dengan

badan hukum perseroan tanpa hak badan hukum,

perserikatan dan yayasan.

Korporasi dalam hukum pidana lebih luas pengertiannya

karena korporasi dalam hukum pidana bisa berbentuk badan

hukum atau nonbadan hukum, sedangkan menurut hukum

perdata korporasi mempunyai kedudukan sebagai badan

hukum.82

b. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Pengakuan korporasi sebagai subjek delik dalam hukum

pidana sudah berlangsung sejak 1635 ketika sistem hukum

Inggris mengakui bahwa korporasi dapat bertanggungjawab

secara pidana atas tindak pidana ringan. Sedangkan Amerika

baru mengakui eksistensinya pada tahun 1909 melalui putusan

pengadilan. Setelah itu Belanda, Italia, Prancis, Kanada,

Australia, Swiss, dan beberapa Negara Eropa mengikuti tren

tersebut, termasuk Indonesia mengakui korporasi sebagai pelaku

suatu tindak pidana.83

Dalam KUHP saat ini yang berlaku di Indonesia tidak

dkenal adanya satu ketentuan pun yang menetapkan rechtperson

atau korporasi sebagai subjek hukum pidana. Kal ini

dikarenakan bahwa KUHP Belanda dulu yang diberlakukan di

82 Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.cit, hlm. 33 83 Mahrus Ali, Asas-Asas..., Op.cit, hlm. 98

Page 72: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

55

Indonesia tidak mengenal pengenaan pidana kepada korporasi,

sebab code napoleon yang menjadi pangkal ketentuan KUHP

Belanda tidak menenal subjek hukum pidana korporasi. KUHP

hanya mengenal manusia secara alamiah sebagai subyek hukum

pidana.84

Dalam hukum pidana Indonesia sebenarnya telah terdapat

perkembangan yang menempatkan korporasi sebagai subjek

hukum pidana dikenal dengan berbagai Peraturan Perundang-

Undangan pidana khusus.85 Sejak pertengahan tahun 1950-an

korporasi sudah ditempatkan oleh peraturan diluar KUHP

sebagai subyek hukum pidana, sehingga bisa pula dimintai

pertanggungjawaban pidana. Misalnya, melalui Undang-Undang

No. 7/dtr/1955, tentang pengusutan, penuntutan, dan peradilan

tindak pidana ekonomi. Meskipun sesungguhnya Undang-

Undang No 7/dtr/1955 ini merupakan seduran dari wet

economische delicten tahun 1950 dari Negara Belanda.86

Konsep pertanggungjawaban pidana korporasi sama

seperti konsep pertanggungjawaban pidana secara umum. Dalam

hukum pidana konsep liability atau “pertanggungjawaban”

merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran

kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran kesalahan dikenal dengan

84 Hasbullah F.Sjawie, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Tindak Pidana

Korupsi, Prenada Media Grup, Jakarta, 2015, hlm. 97 85 Andi Hamzah, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, Rineka Cipta, Jakarta, 1991,

hlm.5 86 Hasbullah F.Sjawie, Op.cit, hlm. 99

Page 73: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

56

sebutan mens rea. Doktrin mens rea ini dilandaskan pada

konsepsi bahwa suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang

bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. Dalam bahasa

Inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan an act does not

make a person gulity, unless the mind is legally blameworthy. Di

dalam doktrin itu, terdapat dua syarat yang harus dipenuhi untuk

dapat memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang

terlarang/tindak pidana (actus reus) dan ada sikap batin

jahat/tercela (mens rea).87

Korporasi sebagai badan hukum sudah tentu memiliki

identitas hukum tersendiri. Identitas hukum suatu korporasi atau

perusahaan terpisah dari identitas hukum para pemegang saham,

direksi, maupun organ-organ lainnya. Dalam kaidah hukum

perdata (civil law), jelas ditetapkan bahwa suatu korporasi atau

badan hukum merupakan subjek hukum perdata dapat

melakukan aktivitas jual beli, dapat membuat perjanjian atau

kontrak dengan pihak lain, serta dapat menuntut dan dituntut di

pengadilan dalam hubungan keperdataan. Para pemegang saham

menikmati keuntungan yang diperoleh dari konsep

tanggungjawab terbatas, dan kegiatan korporasi berlangsung

terus-menerus, dalam arti bahwa keberadaannya tidak akan

87 Hanafi, “Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana”, Jurnal Hukum, Vol. 6 No. 11,

1999, hlm. 27

Page 74: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

57

berubah meskipun ada penambahan anggota-anggota baru atau

berhentinya atau meninggalnya anggota-anggota yang ada.

Mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi, dapat

ditemui tiga model pertanggungjawaban antara lain sebagai

berikut:88

1) Pengurus korporasi sebagai pembuat dan

penguruslah yang bertanggungjawab. Dasar

pemikiran ini bahwa badan hukum tidak dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana, karena

penguruslah yang selalu dianggap sebagai pelaku

dari delik tersebut.

2) Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang

bertanggungjawab. Ditegaskan bahwa korporasi

mungkin sebagai pembuat namun untuk

pertanggungjawaban diserahkan kepada pengurus.

Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi adalah

tindak pidana yang dilakukan orang tertentu sebagai

pengurus dari badan hukum. Orang yang memimpin

korporasi tersebutlah yang harus bertanggungjawab,

terlepas pemimpin tersebut mengetahui perbuatan

tersebut atau tidak.

88 Eddy O.S. Hiariej, Op.cit, hlm.205

Page 75: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

58

3) Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang

bertanggungjawab. Dengan melihat perkembangan

korporasi saat ini tidaklah cukup hanya menetapkan

pengurus sebagai subjek delik yang dapat dipidana

tetapi korporasi juga. Terkadang korporasi sebagai

pihak yang diuntungkan atas perbuatan pidana yang

dilakukan tersebut, sehingga pemidanaan terhadap

pengurus tidak dapat menjamin bahwa korporasi

tidak akan melakukan perbuatan pidana lagi.

Korporasi bertanggungjawab yang diwakili oleh pengurus

terhadap perbuatan pidana yang dilakukan oleh pengurus yang

bertindak untuk dan atas nama korporasi serta bagi pengurus

yang bertindak atas nama pribadi tetapi menguntungkan

korporasi. Pengurus bertanggung jawab secara pribadi terhadap

perbuatan pidana yang dilakukan oleh pengurus bertindak atas

nama korporasi tetapi untuk kepentingan pribadi, dan pengurus

bertindak atas nama pribadi pengurus dan dilakukan untuk

kepentingan pribadi para pengurus.89

Ketika korporasi telah dianggap mampu

bertanggungajawab maka akan ada penjatuhan sanksi bagi

korporasi, hukuman pun tersedia dalam bentuk sanksi khusus

bagi korporasi yaitu penjatuhan denda, penyitaan harta kekayaan

89 Bahan Ajar Kuliah Hukum Pidana Kesehatan, Dosen Mudzakkir

Page 76: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

59

korporasi, bahkan menjatuhkan putusan likuidasi terhadap

korporasi. Apabila korporasi tidak bisa membayar kerugian

akibat dari perbuatannya, maka akan di limpahkan kepada

individu untuk mencegah adanya impuinitas.

Mengenai pertanggungjawaban korporasi, Prof. Sutan

Remy Sjahdeini menegaskan bahwa pembebanan

pertanggungjawaban pidana kepada korporasi terdapat empat

kemungkinan sistem yang dapat diberlakukan, antara lain

sebagai berikut:90

1) Pengurus korporasi sebagai pelaku tindak pidana,

sehingga oleh karenanya penguruslah yang harus

memikul pertanggungjawaban pidana;

2) Korporasi sebagai pelaku tindak pidana, tetapi

pengurus yang harus memikul pertanggungjawaban

pidana;

3) Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan

korporasi itu sendiri yang harus memikul

pertanggungjawaban pidana;

4) Pengurus dan korporasi keduannya sebagai pelaku

tindak pidana, dan keduannya pula yang harus

memikul pertanggungjawaban pidana.

90 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafitipers, Jakarta,

2006, hlm. 59

Page 77: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

60

Pertanggungjawaban pidana dipahami sebagai dapat atau

tidaknya seseorang menanggung suatu hukuman atas

perbuatannya yang melanggar ketentuan hukum pidana

berdasarkan ada atau tidaknya kesalahan pada dirinya.

Tanggung jawab pidana mengharuskan adanya kesalahan pada

diri pelaku sehingga pidana dapat dikenakan kepadanya.91

Terhadap perubahan konsepsi pola pemikiran, dari

pemikiran semula yang memiliki pendapat bahwa hanya

manusia yang bisa melakukan tindak pidana oleh karena itu

manusia yang dapat dibebani pertanggungjawaban pidan.

Kemudian terkait konsep perubahan pemikiran tersebut timbul

sebuah pertanyaan “atas dasar teori atau falsafah pembenaran

apa korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana?”

perbedaan pendekatan yang dilakukan bukan saja terjadi

diantara negara-negara yang mneganut Common law system

dengan negara-negara Eropa continental yang menganut civil

law system, tetapi di antara negara-negara yang menganut sistem

yang sama pun ternyata dasar teori atau falsafah pembenarnya

berbeda.92

Ada dua ajaran pokok yang menjadi landasan bagi

pembenaran dibebankannya pertanggungjawaban pidana kepada

korporasi menurut Sutan Remy Sjahdeini, ajaran-ajaran tersebut

91 Ibid, 92 Ibid, hlm. 77

Page 78: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

61

adalah doctrine of strict liability dan doctrine of vicarious

liability.93

Ajaran pokok yang menjadi landasan bagi pembenaran di

bebankannya pertanggungjawaban pidana kepada korporasi

yaitu:

1) Doctrin Of Strict Liability

Korporasi dianggap bertanggungjawab atas

perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pemegang

saham, pengurus, agen, wakil atau pegawainnya. Di

bidang hukum pidana, “strict liability” berarti niat jahat

atau “mens rea” tidak harus dibuktikan dalam kaitan

dengan satu atau lebih unsur yang mencerminkan sifat

melawan hukum atau “actus reus”, meskipun niat,

kecerobohan atau pengetahuan mungkin disyaratkan

dalam kaitan dengan unsur-unsur tindak pidana yang

lain.94

Menurut doktrin atau ajaran strict liability,

pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada

pelaku tindak pidana yang bersangkutan dengan tidak

perlu dibuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau

kelalaian) pada pelakunya.95 Oleh karena itu menurut

93 Ibid, 94 Ibid, 95 Barda Nawawi Arief, Pelengkap Bahan Kuliah Pidana I, FH.UNDIP, Semarang, 1984,

hlm.86

Page 79: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

62

ajaran strict liability pertanggungjawaban pidana bagi

pelakunya tidak dipermasalahkan, maka strict liability

disebut juga absolute liability. Istilah bahasa Indonesia

yang digunakan adalah pertanggungjawaban mutlak.96

Pertanggungjawaban mutlak adalah

pertanggungjawaban tanpa kesalahan, dimana pelaku

sudah dapat dipidana apabila telah melakukan perbuatan

pidana sebagaimana telah dirumuskan dalam undang-

undang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya. Asas ini

diartikan dengan istilah liability without fault.97 Konsep

pertanggungjawaban mutlak merupakan suatu bentuk

pelanggaran atau kejahatan yang didalamnya tidak

mensyaratkan adanya unsur kesalahan (mens rea), tetapi

hanya disyaratkan adanya suatu perbuatan (actus reus).98

Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya,

dalam hukum pidana berlaku asas “actus non facit reum,

nisi mens sit rea” tiada pidana tanpa kesalahan, yaitu di

kenal sebagai doctrine of mens rea, dalam perkembangan

hukum pidana yang terjadi belakangan, diperkenalkan

pula tinfak-tindka pidana yang terjadi belakangan,

pidananya dapat dibebankan kepada pelakunya sekalipun

96 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban..., Op.cit, hlm. 78 97 I Dewa Made Suartha, Hukum Pidana Korporasi Pertanggungjawaban Pidana dalam

Kebijakan Hukum Pidana Indonesia, Setara Press, Malang,Jatim, 2015, hlm. 84 98 Mahrus Ali, Asas-Asas..., Op.cit, hlm. 113

Page 80: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

63

pelakunya tidak memiliki mens rea yang disyaratkan.

Cukuplah apabila dapat yaitu melakukan perbuatan yang

dilarang oleh ketentuan pidana atau tindak-tindak pidana

yang demikian disebut “offences of strict liability” atau

juga yang dikenal dengan offences of absolute

probibition.99

Pelanggaran kewajiban atau kondisi tertentu oleh

korporasi ini dikenal dengan istilah “strict liability

offences”. Contoh dari rumusan Undang-Undang yang

menetapkan sebagai suatu delik bagi korporasi adalah

dalam hal berikut ini:100

a. Korporasi yang menjalankan usahanya tanpa izin;

b. Korporasi pemegang izin yang melanggar syarat-

syarat (kondisi/situasi) yang ditentukan dalam izin

itu;

c. Korporasi yang mengoperasikan kendaraan yang

tidak diasuransikan di jalan umum.

Ajaran pertanggungjawaban mutlak yang tidak

mempersoalkan ada atau tidaknya unsur kesalahan pada

pelakunya seyogyanya dianut dan diberlakukan di

Indonesia tercantum dalam RUU KUHP 2004 pada pasal

35 ayat (2) yaitu:

99 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban..., Op.cit, hlm. 78 100 Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, PT.Rajagrafindo Persada, Jakarta,

1998, hlm. 237

Page 81: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

64

“Bagi tindak pidana tertentu, untuk undang-undang

dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana

semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak

pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan”.

Penjelasan Pasal 35 ayat (2) sebagai berikut:

“ketentuan dalam ayat ini juga merupakan suatu

perkenalan seperti halnya ayat (2). Oleh karena itu, tidak

berlaku juga bagi semua tindak pidana, melainkan hanya

untuk tindak pidananya telah dapat dipidana hanya karena

telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana oleh

perbuatannya. Disini kesalahan pembuat tindak pidana

dalam melakukan perbuatan tersebut tidak lagi

diperhatikan. Asas ini dikenal sebagai asas “strict

liability”.

Dalam tindak pidana yang bersifat strict liability

yang dibutuhkan hanyalah dugaan atau pengetahuan dari

pelaku (terdakwa), dan hal itu sudah cukup menuntut

pertanggungjawaban pidana darinya. Jadi, tidak

dipersoalkan adanya mens rea karena unsur pokok strict

liability adalah actus reus (perbuatan) sehingga yang harus

dibuktikan adalah actus reus (perbuatan) bukan mens rea

Page 82: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

65

(kesalahan).101 Maka dengan teori ini bisa saja korporasi

dapat dimintai pertanggungjawaban pidannya.

2) Doctrin Of Vicarious Liability

Berdasarkan teori ini, maka secara umum dapat

dikatakan bahwa atasan harus bertanggungjawab atas apa

yang dilakukan oleh bawahannya. Vicarious Liability,

lazim disebut dengan pertanggungjawaban pengganti,

diartikan sebagai pertanggungjawaban menurut hukum

seseorang atas perbuatan yang dilakukan oleh orang

lain.102 Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa vicarious

liability adalah suatu konsep pertanggungjawaban

seseorang atas kesalahan yang dilakukan orang lain,

seperti tindakan yang dilakukan yang masih berada dalam

ruang lingkup pekerjaannya (the legal responsibility of

one person for wrongfull acts of another).103

Diantara beberapa ahli yang mengkaji teori ini,

dengan bertolak dari hubungan pekerjaan dalam kaitannya

dengan “vicarious liability”, Peter Gillies membuat

beberapa pemikiran sebagi berikut:104

a. Suatu perusahaan (seperti halnya dengan manusia

sebagai pelaku/pengusaha) dapat bertanggungjawab

101 Mahrus Ali, Asas-Asas..., Op.cit, hlm. 113 102 Ibid, hlm. 118 103 Barda Nawawi Arief, Perbandingan...,Op.cit, hlm.33 104 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, 2003, hlm.236

Page 83: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

66

secara mengganti untuk perbuatan

karyawannya/agennya. Pertanggungjawaban tersebut

hanya timbul untuk delik yang mampu dilakukan

secara vicarious.

b. Dalam hubungannya dengan “employment

principle”, delik-delik ini sebagian besar atau

seluruhnya merupakan “summary offences” yang

berkaitan dengan peraturan perdagangan.

c. Kedudukan majikan atau agen dalam ruang lingkup

pekerjaannya, tidaklah relevan menurut doktrin ini.

Tidaklah penting bahwa majikan, baik sebagai

korporasi maupun secara alami tidak telah

mengarahkan atau memberi petunjuk/perintah pada

karyawannya untuk melakukan pelanggaran

terhadap hukum pidana. (Bahkan, dalam beberapa

kasus, vicarious liability dikenakan terhadap

majikan walaupun karyawan melakukan perbuatan

bertentangan dengan instruksi, berdasarkan alasan

bahwa perbuatan karyawan dipandang sebagai telah

melakukan perbuatan itu dalam ruang lingkup

pekerjaannya). Oleh karena itu, apabila perusahaan

terlibat, pertanggungjawaban muncul sekalipun

Page 84: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

67

perbuatan itu dilakukan tanpa menunjuk pada orang

senior di dalam perusahaan.

Perlu dikemukakan bahwa doktrin ini dapat berlaku

dengan didasarkan pada prinsip pendelegasian wewenang

atau “the delegation principle”. Jadi, niat jahat atau “mens

rea” atau “a guilty mind” dari karyawan dapat

dihubungkan ke atasan apabila ada pendelegasian

kewenangan dan kewajiban yang relevan menurut undang-

undang.

Menurut doktrin vicarious liability, seseorang

dimungkinkan harus bertanggungjawab atas perbuatan

orang lain, apabila teori ini diterapkan pada korporasi,

berarti korporasi dimungkinkan harus bertanggungjawab

atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh

pegawainya, kuasanya atau mandatarisnya, atau siapa pun

yang bertanggungjawab kepada korporasi tersebut.

Doktrin ini, yang semula dikembangkan perbuatan

melawan hukum (tertious liability) dalam hukum perdata

dan telah diambil alih ke dalam hukum pidana, terutama

apabila tindak pidana tersebut adalah jenis tindak pidana

yang merupakan absolute liability offences (strict liability

Page 85: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

68

offences), yaitu tindak pidana yang tidak mensyaratkan

adanya mens rea bagi pemidananya.105

Menurut doktrin ini, majikan (“employer”) adalah

penanggung jawab utama dari perbuatan-perbuatan para

buruh/karyawan yang melakukan perbuatan didalam ruang

lingkup tugas/pekerjaannya.106

3) Teori Identifikasi

Pendapat bahwa dimungkinkan korporasi dapat

dimintai pertanggungjawaban sama dengan orang pribadi

berdasarkan identifikasi (identificasion). Doktrin ini

menyebutkan bahwa untuk dapat membebankan

pertanggungjawaban pidana kepada suatu korporasi, siapa

yang melakukan tindak pidana harus mampu diidentifikasi

oleh penuntut umum. Apabila tindak pidana itu dilakukan

oleh mereka yang merupakan “directing mind” dari

korporasi tersebut, maka pertanggungjawaban pidana ini

baru dapat dibebankan kepada korporasi.107

Misalnya suatu perusahaan dituduh telah melakukan

delik common law, yaitu bermufakat untuk

menggelapkan/menipu (conspiracy to defraund) suatu

delik yang mensyaratkan adanya mens rea dan tidak

105 Ibid 106 Barda Nawawi Arief, Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta,

2002, hlm. 151 107 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban..., Op.cit. hlm.96

Page 86: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

69

dimungkinkan adanya vicarious liability. Dalam hal ini

pengadilan memandang atau menganggap bahwa

perbuatan dan sikap batin dari pejabat tersebut yang

dipandang sebagai perwujudan dari pendirian organisasi

tersebut ialah perbuatan dan sikap batin dari korporasi.

Dalam hal ini korporasi bukannya dipandang

bertanggungjawab atas dasar pertanggungjawaban dari

perbuatan pejabatnya, melainkan korporasi itu seperti

halnya dalam pelanggaran terhadap kewajiban hukum

justru dipandang telah melakukan delik itu secara pribadi.

Pertanggungjawaban korporasi atas dasar kedua

doktrin diatas, disamping adanya doktrin identifikasi dan

collective responsibility,108 dalam perkembangannya

memang kedua doktrin tersebut sangat diperlukan sebab

dengan perkembangan teknologi dengan kecanggihannya

kini tidaklah mudah untuk mendapatkan bukti yang

memadai tentang kesalahan dari pemilik industri dalam

hal ini korporasi.

Teori identifikasi pada dasarnya mengakui bahwa

tindakan dari anggota tertentu dari korporasi selama

tindakan itu berkaitan dengan korporasi, dianggap sebagai

108 Muladi dan Dwidja Priyanto, Pertanggungjawaban..., Op.cit. hlm. 114

Page 87: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

70

tindakan dari korporasi itu sendiri.109 Teori ini juga

berpandangan bahwa agen tertentu sebuah korporasi

dianggap sebagai “directing mind” atau “alter ego”.

Perbuatan dan mens rea pada individu itu kemudian

dikaitkan dengan korporasi. Jika individu diberi

kewenangan untuk bertindak atas nama dan selama

menjalankan bisnis, mens rea pada individu itu

merupakan mens rea korporasi.110

Berdasarkan teori identifikasi atau directing minds

theory, kesalahan dari angota direksi atau organ

perusahaan/korporasi yang tidak menerima perintah dari

tingkatan yang lebih tinggi dalam perusahaan, dapat

dibebankan kepada korporasi. Teori ini diadopsi di Inggris

sejak tahun 1915.111

Menurut Barda Nawawi Arief, menyatakan doktrin-

doktrin pertanggungjawaban seperti yang dikemukakan

diatas khususnya strict liability dan vicarious liability

perlu dipertimbangkan sejauh mana dapat diambil alih.

Oleh karena itu pertimbangan harus dilakukan sangat hati-

hati sekali, terlebih melakukan pelompatan yang drastis

dari konsepsi kesalahan yang diperluas sedemikian rupa

109 Ibid 110 Dwidja Priyino, kebijakan Legislatif Tentang Sistem Pertanggungjawaban Korporasi di

Indonesia, CV.Utomo, Bandung, hlm. 89 111 https://bismar.wordpress.com/ diakses 16 Desember 2017, pukul 14.35 WIB

Page 88: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

71

sampai pada konsepsi ketiada kesalahan sama sekali. Hal

yang terakhir ini yang menyangkut akar yang paling dalam

delik-delik keadilan berdarsarkan pancasila.112

Untuk dapat menerapkan teori identifikasi harus

dapat dibuktikan bahwa tindakan seseorang directing mind

adalah

i. berdasarkan tugas atau instruksi yang ditugaskan

padanya;

ii. bukan merupakan penipuan (fraud) yang dilakukan

terhadap perusahaan;

iii. dimaksudkan untuk dapat mendatangkan

keuntungan bagi perusahaan.

Berdasarkan hal tersebut diatas yaitu bahwa yang

membuktikan adanya kesalahan pada korporasi sulit

sekali, sebab yang mempunyai kesalahan pada umumnya

yang diterima adalah orang. Untuk memudahkan sistem

pertanggungjawaban berdasarkan asas kesalahan untuk

korporasi rupanya perlu dipertimbangkan oleh

pembentukan undang-undang hukum pidana, untuk

menyimpang dari asas kesalahan dengan menganut doktrin

str ict liability dan vicarious liability.113

112 Barda Nawawi Arief, Masalah Pemidanaan...,Op.cit, hlm. 111 113 Muladi dan Dwidja Priyanto, Pertanggungjawaban..., Loc.cit, hlm. 115

Page 89: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

72

c. Rumah Sakit Sebagai Korporasi Dalam Hukum Indonesia

Dalam ilmu hukum dikenal subjek hukum pemegang hak

dan kewajiban yang terdiri dari naturlijke persoon (manusia)

dan recht persoon (badan hukum/korporasi). Rumah sakit dapat

dikatakan sebagai subjek hukum, karena dapat dianggap sebagai

pendukung hak dan kewajiban dalam melaksanakan hubungan

hukum dan bisa juga dianggap sebagai badan hukum, yakni

“korporasi”, yang didalamnya terdapat sarana dan prasarana

serta manusianya sebagai tenaga medik, sehingga dalam

kedudukannya dapat dituntut baik secara hukum perdata,

administrasi, dan khususnya hukum pidana.114

Rumah sakit dapat menjadi subjek hukum pidana yaitu

korporasi yang berbentuk badan hukum (Pasal 7 ayat 3 Undang-

Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit). Rumah

sakit sebagai subjek hukum pidana bersifat khusus (subjek

hukum khusus). Kekhususan subjek hukum Rumah Sakit dalam

hukum pidana, yaitu tidak dapat melakukan tindak pidana yang

bersifat personal dan berlaku untuk tindak pidana fungsional.

Tindak pidana fungsional yaitu kejahatan yang disebabkan

karena korporasi tidak menjalankan fungsi-fungsi tertentu

114 Siska Elvandari, Hukum Penyelesaian Sengketa Medis, Thafamedia, Yogyakarta, 2015,

hlm.236

Page 90: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

73

sebagaimana yang diwajibkan/diharuskan oleh peraturan

perundang-undangan. 115

Korporasi yang berstatus badan hukum, dapat diakui oleh

Undang-Undang sebagai “tubuh”; sedangkan pengurus dan

pengawas korporasi adalah merupakan bagian dari organ

jasmaniah, dan rohania dari korporasi tersebut, yang kemudia

dapat disebut sebagai “tubuh, akal, dan kalbu” dari korporasi

tersebut. Pada masa yang lalu, banyak kalangan ahli hukum

pidana yang menganut asas, bahwa; “korporasi tidak dapat

dipidana” karena korporasi tidak memiliki “fisik, jiwa, dan

perasaan bersalah seperti manusia”, yang merupakan unsur

kesalahan (culpability). Korporasi adalah suatu konstruksi

hukum ciptaan akal budi manusia, seperti halnya manusia

menciptakan suatu “mesin robot” yang seluruh sistemnya hanya

dapat bergerak sesuai dengan keinginan manusia sebagai

pengendalinya.116

Terkait dengan rumah sakit sebagai korporasi, UU No. 44

Tahun 2009 memang tidak secara eksplisit menegaskan.

Sebelumnya definisi rumah sakit diberikan oleh Pasal 1 ayat (1)

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor

1045/Menkes/Per/XI/2006 yang menyebutkan “Rumah sakit

115 Bahan Ajar Kuliah Hukum Pidana Kesehatan, Dosen Mudzakkir 116 Ibid

Page 91: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

74

adalah fasilitas pelayanan kesehatan...”.117 Berbeda dengan

penjelasan dalam Pasal 1 angka 1 UU No.44 Tahun 2009 yang

mendefinisikan Rumah sakit sebagai institusi pelayanan

kesehatan...”.118 Istilah “institusi” atau “institution” dalam

Black’s Law Dictionary diartikan sebagai “An established

organization, esp. One of public character, sush as a facility for

the treatment of mentally disabled person”. Menurut definisi

tersebut setidaknya diperoleh dua ciri utama dari institusi yaitu

sebuah organisasi dan bergerak dibidang publik. Berdasarkan

definisi tersebut Rumah sakit merupakan organisasi yang

bergerak dibidang pelayanan publik, secara khusus kesehatan.

Jika dikaji pada setiap ketentuan hukum UU No. 44 Tahun

2009 tentang Rumah Sakit dapat ditemukan beberapa ciri-ciri

rumah sakit sebagai sebuah korporasi.119

Ciri-ciri

Korporasi

Ciri-ciri Rumah Sakit Ketentuan

Hukum dalam

UU No. 44 Tahun

2009

Kumpulan

terorganisasi

- Pemilik RS :

Komisaris

perusahaan,

pendiri yayasan,

- Penjelasan

Pasal 34

ayat (3)

117 Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor

1045/Menkes/Per/XI/2006 118 Pasal 1 angka 1 UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit 119

http://www.academia.edu/25850293/Pertanggungjawaban_Pidana_Rumah_Sakit_atas_Tindakan_

Tenaga_Kesehatan, diakses 23 Desember 2017, pukul 13.12 WIB

Page 92: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

75

atau Pemerintah

Daerah

- Terdapat struktur

organisasi

pembentukan Unit

Pelaksana Teknis

(khusus bagi RS

Pemerintah)

- Memiliki

Organisasi Rumah

Sakit terdiri atas:

Kepala Rumah

Sakit/Direktur

Rumah Sakit,

Unsur Pelayanan

Medis, unsur

keperawatan,

unsur penunjang

medis, satuan

pemeriksaan

internal serta

Administrasi

Umum dan

keuangan;

- Menyelenggarakan

tata kelola dan tata

klinis yang baik.

- Pasal 7

ayat (2)

- Pasal 33

ayat (2)

- Pasal 36

Orang/kekaya

an

Persyaratan SDM:

memiliki tenaga tetap,

yang terdiri dari:

Tenaga medis dan penunjang medis

Tenaga keperawatan

Tenaga

kefarmasian

Tenaga manajemen

Rumah sakit

Tenaga non kesehatan

Pasal 12 ayat (1)

Berbentuk Rumah Sakit - Pasal 40

ayat (2)

Page 93: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

76

badan

hukum/non

badan hukum

Pemerintahan: bentuk

rumah sakit publik

(umum).

Rumah Sakit Swasta:

harus berbentuk badan

hukum dengan kegiatan

usaha khusus di bidang

perumahsakitan (rumah

sakit privat) berupa

Perseroan Terbatas dan

Yayasan

dan (3)

- Pasal 7

ayat (3)

Tabel perbandingan antara korporasi dan rumah sakit

diatas menunjukkan dengan jelas bahwa rumah sakit merupakan

korporasi yang memiliki spesifikasi pelayanan kesehatan

sebagaimana dimaksud dalam hukum pidana. Boleh dikatakan

pengakuan rumah sakit sebagai korporasi dalam UU No. 44

Tahun 2009 dilakukan secara diam-diam atau implisit.

Pengaturan rumah sakit sebagai korporasi melalui UU No. 44

Tahun 2009 bertujuan untuk memberikan dasar hukum untuk

menuntut rumah sakit apabila melakukan tindak pidana

(kejahatan korporasi).120

120 Ibid

Page 94: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

77

d. Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit sebagai

Korporasi

Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam teori hukum

pidana modern, dapat diajukan atau dituntut pidana terdapat

beberapa ajaran atau doktrin atau prinsip atau teori yang dapat

dijadikan landasan utama untuk membenarkan korporasi,

dimana rumah sakit dibebani pertanggungjawaban pidana, serta

ajaran yang terkait dengan pertanggungjawaban pidana dan

ajaran teori kesalahan, tiada pidana atau tiada

pertanggungjawaban tanpa kesalahan, dan kesalahan melahirkan

kesengajaan(dolus), dan ketidaksengajaan atau lalai (culpa).121

Undang-undang memungkinkan pasien untuk menuntut

pidana ke rumah sakit selaku health care provider. Sejalan

dengan ketentuan Pasal 32 Huruf Q Undang-Undang Nomor 44

Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang menyebutkan, bahwa

setiap pasien mempunyai hak menuntut rumah sakit, apabila

rumah sakit diduga telah memberikan pelayanan yang tidak

sesuai dengan standar-standar yang ada pada pemberian bantuan

pelayanan kesehatan.122 Menurut Bambang Purnomo tanggung

jawab kesehatan di dalam rumah sakit menurut doktrin

kesehatan, yaitu :123

121 Siska Elvandari, Hukum Penyelesaian..., Op.cit, hlm. 238 122 Ibid 123 Syahrul Machmud, Op.cit, hlm. 205

Page 95: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

78

a. Personal Liability, tanggung jawab yang melekat pada

individu.

b. Strict Liability, tanggung jawab tanpa kesalahan.

c. Vicarius Liability, tanggung jawab yang timbul akibat

kesalahan yang dilakukan bawahannya.

d. Respondent Liability, tanggung jawab tanggung renteng.

e. Corporate Liability, tanggung jawab yang berada pada

pemerintah.

Rumah sakit dikatakan bertanggungjawab atas tindakan

yang dilakukan tenaga kesehatannya merupakan pemahaman

yang sangat penting dalam kaitannya dengan kepastian hukum.

Batasan pertanggungjawaban pidana rumah sakit ini dapat

dilihat dalam rumusan Pasal 46 UU No. 44 Tahun 2009 tentang

Rumah Sakit yang menyatakan bahwa “Rumah Sakit

bertanggungjawab secara hukum terhadap semua kerugian yang

ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan

di Rumah Sakit”.

Batasan pertama: “Kelalaian”

Batasan kedua: “pelaku yang adalah tenaga kesehatan”

Batasan ketiga: “di Rumah Sakit”

Ketiga batasan diatas merupakan batasan materil bagi

tindakan tenaga kesehatan untuk menentukan sampai sejauh

mana suatu tindakan menjadi tanggungjawab Rumah sakit.

Page 96: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

79

Mengenai batasan formil tindakan yang dapat dikatakan sebagai

tindakan pidana yang dapat dilakukan tenaga kesehatan di

rumah sakit harus merujuk pada UU No. 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan, UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan

UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.124

Korporasi atau badan hukum rumah sakit dapat dituntut

sebagai pelaku perbuatan pidana berdasarkan ketentuan Pasal 80

ayat (2) dari Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang

Praktik Kedokteran. Pasal tersebut menyatakan bahwa:

“Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dilakukan oleh korporasi, maka pidana yang

dijatuhkan adalah pidana denda sebagaimana

dimaksudkan pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga) atau

dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan izin”.

Sarana pelayanan kesehatan (korporasi)-nya dapat dituntut

atas kesalahan dalam medikal malpraktek yang dilakukan oleh

dokter atau dokter gigi yang bekerja di sarana pelayanan

kesehatannya. Gugatan atau tuntutan yang dapat diajukan

kepada badan hukum rumah sakit adalah atas perbuatan

melawan hukum dari dokter atau dokter gigi, maka rumah sakit

sebagai tempat dokter itu bekerja dapat ditarik pula sebagai

tergugat berdasarkan teori atau doktrin respondeat superior atau

didasarkan pada Pasal 1376 BW.125 Dengan syarat bahwa harus

124

http://www.academia.edu/25850293/Pertanggungjawaban_Pidana_Rumah_Sakit_atas_Tindakan_

Tenaga_Kesehatan, diakses 24 Desember 2017, pukul 11.40 WIB 125 Syahrul Machmud, Op.cit, hlm. 199

Page 97: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

80

ada hubungan kerja antara rumah sakit dengan dokter atau

dokter gigi, dokter atau dokter gigi tersebut mendapat gaji atau

honor secara periodik, majikan (direktur rumah sakit)

mempunyai wewenang untuk memberikan instruksi, rumah sakit

melalui direkturnya berwenang melakukan pengawasan terhadap

dokter atau dokter gigi, perbuatan dokter atau dokter gigi

tersebut merupakan kesalahan atau kelalaian.126

C. Aspek Tindak Pidana Penelantaran dalam Hukum Pidana

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Penelantaran

merupakan proses, cara, perbuatan menelantarkan yang merupakan

kata kerja dari telantar yang memiliki arti 1. Terhantar, terletak tidak

terpelihara, 2. Serba tidak kecukupan (tentang kehidupan), 3. Tidak

terpelihara, tidak terawat, tidak terurus, 4. Terbengkalai, tidak

terselesaikan.127 Penelantaran pasien merupakan bentuk perbuatan

menelantarkan (tidak memelihara, tidak merawat, tidak mengurus,

tidak menyelesaikan) tindakan medis dan segala upaya-upaya yang

seharusnya dilakukan kepada pasien oleh tenaga medis.

Penelantaran pasien dalam aspek pidana malptaktik kedokteran

sebagaimana pengertian dari penalantaran, penelantaran pasien secara

praktik biasanya dikaitkan dengan perbuatan pidana pelanggaran

terhadap orang yang memerlukan pertolongan sebagaimana dimaksud

126 Ibid, 127 Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses melalui internet pada website www.kbbi.web.id

pada tanggal 15 Oktober 2017 pukul 21.18 WIB.

Page 98: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

81

dalam Pasal 304, 531 KUHP dan tindak pidana tidak memberikan

pertolongan pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

R.Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal

Demi Pasal mengatakan yang dimaksud dengan “dalam keadaan

bahaya maut” adalah bahaya maut yang ada seketika itu, mislanya

orang berada dalam rumah kebakaran, tenggelam di air, seorang yang

akan membunuh diri, dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud

“memberikan pertolongan” adalah menolong sendiri dan

“mengadakan pertolongan” adalah misalnya meminta pertolongan

polisi atau dokter. Pasal ini hanya dapat dikenakan apabila dengan

memberi pertolongan itu tidak dikuatirkan bahwa orang itu sendiri

dibahayakan atau orang lain dapat kena bahaya dan orang yang perlu

ditolong itu mati.

Pasal 304 KUHP berbunyi sebagai berikut:

“Barangsiapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan

orang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang

berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi

kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu,...”128

Sedangkan Pasal 531 KUHP adalah sebagai berikut:

“Barang siapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang

sedang menghadapi maut tidak memberi pertolongan yang dapat

diberikan padanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi

128 Lihat Pasal 304 KUHP

Page 99: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

82

dirinya atau orang lain, diancam jika kemudian orang itu

meninggal dunia,...”129

Sebagai sebuah profesi, dokter mempunyai kewajiban hukum

untuk selalu memberikan pertolongan terhadap orang yang menderita

sakit. Apabila ternyata seorang dokter yang mengetahui ada orang

yang sedang menderita sakit namun tidak melakukan pertolongan

berupa perawatan, maka dokter dapat dikenakan pasal diatas. Selain

itu Pasal 51 huruf d Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang

Praktek Kedokteran juga memberikan kewajiban yang sama dengan

pasal dalam KUHP tersebut.130

Pasal 190 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan menyebutkan sebagai berikut:

“Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga

kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas

pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan

pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat

darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau

Pasal 85 ayat (2)...”131

Pasal 304, 531 KUHP dan Pasal 190 Undang-Undang tentang

Kesehatan pada umumnya memuat hal yang sama yakni “tidak

memberikan bantuan kepada orang yang membutuhkan pertolongan”.

Pasal 531 KUHP merupakan pengaturan yang bersifat umum (lex

genaralis)132 atas tindak pidana “membiarkan seseorang yang

129 Lihat Pasal 531 KUHP 130 Syahrul Machmud, Op.cit, hlm. 334 131 Lihat UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan 132 Syahrul Machmud, Op.cit, hlm. 328

Page 100: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

83

seharusnya ditolong”, yang mana dapat mengikat kepada siapa saja,

tidak hanya tenaga medis sedangkan Pasal 190 Undang-Undang

Kesehatan, tindakan pidana dalam pasal ini ditujukan pada dua subjek

hukum yakni: 1) pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan

(Kepala/Direktur Rumah Sakit), dan 2) tenaga kesehatan.133

Dalam dunia kedokteran penelantaran dapat dikategorikan

sebagai tindakan euthanasia. Istilah euthanasia berasal dari bahasa

Yunani, yaitu “EU-THANASIA”. EU artinya baik, dan THANATOS

artinya mati. Secara keseluruhan dapat diartikan sebagai “kematian

yang senang dan wajar”. Dalam pengertian medis, euthanasia

menurut dr. Kartono Muhammad adalah membantu mempercepat

kematian seseorang agar terbebas dari penderitaannya.134

Euthanasia dalam dunia medis dibagi kepada dua bagian yaitu

Euthanasia aktif dan Euthanasia pasif. Euthanasia aktif adalah suatu

peristiwa dimana tenaga kesehatan, secara sengaja melakuakn suatu

tindakan untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien.

Sedangkan euthanasia pasif adalah suatu keadaan dimana tenaga

medis secara sengaja tidak memberikan bantuan medis terhadap

pasien yang dapat memperpanjang hidupnya atau dengan kata lain

menelantarkan pasien.135 Misalnya tidak memberikan bantuan oksigen

bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan ataupun

133 Adami Chazawi, Op.cit, hlm. 148 134 Ahmad Wardi Muslich, Euthanasia Menurut Pandangan Hukum Positif dan Hukum

islam, Rajawali Pers, Cetakan 1, Jakarta, 2014, hlm.12 135 Ibid, hlm. 18

Page 101: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

84

meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna

memperpanjang hidup pasien. Euthanasia pasif ini seringkali secara

terselubung dilakukan oleh kebanyakan Rumah Sakit.136

Dari penjelasan paragraf diatas Rumah Sakit yang tidak

melakukan pertolongan terhadap pasien atau calon pasien dikarenakan

masalah administrasi (uang muka) bisa dikategorikan sebagai tindakan

euthanasia pasif, karena pasien yang tidak dapat membayar uang

muka maka terhadap pasien tersebut tidak dapat dilakukan tindakan

medis.

D. Aspek Pertanggungjawaban Pidana dan Penelantaran Pasien

dalam Perspektif Hukum Pidana Islam

1. Pertanggungjawaban Pidana dalam Islam

Dalam hukum pidana islam, tindak pidana dikenal dengan

istilah jinayah dan jarimah keduanya memiliki pengertian yang

sama. Para ahli hukum islam sering menggunakan kata janayat

untuk menyebut kejahatan. Janayat mengandung pengertian

setiap kelakuan buruk yang dilakukan oleh seseorang.137

Berdasarkan tingkatan berat tidaknya, tindak pidana atau

kejahatan dalam hukum pidana Islam telah dikategorikan

menjadi tiga kelompok, yaitu sebagai berikut :138

136 Syahrul Machmud, Op.cit, hlm. 395 137 Asadulloh Al Faruk, Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam, Ghalia Indonesia,

Jakarta, 2009, hlm. 16 138 M.Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, AMZAH, Cetakan Pertama, Jakarta, 2013,

hlm. 3

Page 102: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

85

1. Tindak pidana hudud, meliputi minum khamr, zina,

homoseksual, menuduh orang baik-baik melakukan zina,

mencuri yang mencapai batas dikenai had potong tangan,

merampok, memberontak, dan murtad. Sanksi bagi tindak

pidana hudud adalah sesuai dengan jenis perbuatannya dan

sanksi tersebut telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Tindak pidana hudud memiliki ciri-ciri sebagai berikut:139

1) Menyangkut kepentingan publik,

2) Hukuman bagi pelakunya ditentukan oleh Allah,

baik secara kualitas maupun kuantitas,

3) Tidak ada tingkatan,

4) Tidak dapat dibatalkan bila hukuman telah

dilaksanakan,

5) Tidak boleh ada keraguan sedikit pun,

6) Jenisnya sudah ditentukan, yaitu meminum khamr,

zina, liwath (homoseksual), menuduh zina, mencuri,

merampok, memberontak, dan murtad.

2. Tindak pidana jinayat, meliputi pembunuhan disengaja,

pembunuhan semi sengaja, pembunuhan tidak sengaja,

penganiayaan, dan melukai organ tubuh. Sanksi yang

diberikan pada tindak pidana jinayat ini sesuai dengan

perbuatannya, dan tujuannya untuk memberikan balasan

139 Asadulloh Al Faruk, Op.cit, hlm. 20

Page 103: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

86

yang setimpal sehingga mampu menghilangkan niat balas

dendam. Jinayat secara garis besar dibedakan menjadi dua

kategori, yaitu sebagai berikut:140

a. Jinayat terhadap jiwa, yaitu pelanggaran terhadap

seseorang dengan menghilangkan nyawa, baik

sengaja maupun tidak sengaja.

b. Jinayat terhadap organ tubuh, yaitu pelanggaran

terhadap seseorang dengan merusak salah satu organ

tubuhnya, atau melukai salah satu badannya, baik

sengaja maupun tidak sengaja.

Tindak pidana jinayat sebagaimana tindak pidana hudud,

merupakan tindak pidana yang secara khusus ditetapkan

jenis dan ketentuan sanksinya. Ciri-ciri khusus tindak

pidana jinayat sebagai berikut :

1) Sasaran dari tindak pidana jinayat adalah jiwa atau

integritas tubuh manusia, baik sengaja atau tidak

sengaja.

2) Jenisnya telah ditentukan, yaitu pembunuhan dalam

segala bentuknya dan penganiayaan dengan segala

tipenya, baik sengaja ataupun tidak sengaja.

3) Tidak diperkenankan adanya keraguan dalam

menjatuhkan sanksi.

140 Ibid, hlm. 45

Page 104: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

87

4) Hukumnya berupa memberikan penderitaan yang

seimbang dari bahaya jiwa atau tubuh terhadap

orang yang melakukan oleh korban atau

keluarganya. Demi menghilangkan efek balas

dendam yang lebih besar.

5) Hukuman telah ditetapkan, yaitu kisas atau diyat.

3. Tindak pidana ta’zir, meliputi semua tindak pidana yang

tidak termasuk dalam tindak pidana hudud dan tindak

pidana jinayat. Dalam tindak pidana ini sanksi yang

penetapannya diberikan kepada khalifah (hakim) yang

didasarkan pada Al-Qur’an dan As Sunnah sehingga

memiliki ukuran yang jelas atau yang telah ditetapkan.

Ciri-ciri tindak pidana Ta’zir, sebagai berikut :141

1) Landasan dan ketentuan hukumnya didasarkan pada

ijmak.

2) Mencakup semua bentuk kejahatan / kemaksiatan

selain hudud dan kisas.

3) Pada umumnya ta’zir terjadi pada kasus-kasus yang

belum ditetapkan ukuran sanksinya oleh syarak,

meskipun jenis sanksinya telah tersedia.

4) Hukuman ditetapkan oleh penguasa atau qadhi

(hakim).

141 Ibid, hlm. 54

Page 105: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

88

5) Didasarkan pada ketentuan umum syariat islam dan

kepentingan masyarakat secara keseluruhan.

Tindak pidana Ta’zir sangat luas dan elastis, sehingga

perbuatan apapun (selain hudud dan jinayat) yang menyebabkan

pelanggaran terhadap agama, atau terhadap penguasa, atau

terhadap masyarakat, atau terhadap perorangan, maka dapat

dikategorikan sebagai kejahatan ita’zir. Apabila ada tindak

pidana maka pasti ada yang bertanggungjawab atas perbuatan

tersebut.

Dalam syari’at Islam pertanggungjawaban pidana

mempunyai arti pembebasan seseorang dengan hasil (akibat)

perbuatan atau (tidak adanya perbuatan) yang dikerjakan dengan

kemauan sendiri, dimana ia mengetahui maksud-maksud dan

akibat-akibat dari perbuatannya itu.142 Pertanggungjawaban

pidana ini ditegakkan atas tiga hal, yaitu:

1) Adanya perbuatan yang diperintahkan/dilarang.

2) Pekerjaan itu dikerjakan atas kemauan sendiri.

3) Siberbuat mengetahui akibat-akibat perbuatan tersebut.

Konsep pertanggungjawaban pidana dalam hukum Islam

diatur dalam Al-Qur’an. Surat Al-Mudtastsir ayat 38 yang

artinya: “Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah

142 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana islam, Bulan Bintang, Jakarta, 2005, hlm. 119

Page 106: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

89

diperbuatnya”.143 Dalam surat ini mengandung pengertian

bahwa setiap jiwa terikat pada apa yang dia kerjakan, dan setiap

orang tidak akan memikul dosa atau kesalahan yang dibuat oleh

orang lain.

Faktor yang menyebabkan adanya pertanggungjawaban

pidana ialah maksiat. Perbuatan maksiat ini mempunyai dua

syarat, yaitu idrok (mengetahui) dan ikhtiyar (kemauan

sendiri).144 Dalam menentukan adanya maksiat, niat seseorang

adalah penting, sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW

yang artinya “semua amal perbuatan manusia itu dihitung

menurut niatnya”. Faktor perbuatan maksiat (melawan hukum)

itu ada 4, antara lain sebagai berikut:145

1) Sengaja biasa,

2) Sengaja direncanakan,

3) Kealpaan,

4) Keadaan lain yang dipersamakan dengan kealpaan.

2. Aspek Penelantaran dalam Islam

Dalam Islam tidak diatur secara pasti tentang

penelantaran, tetapi dalam Islam manusia di wajibkan untuk

saling tolong-menolong terutama tolong menolong dalam

kebaikan. Salah satu contoh menolong orang yang sedang sakit,

143 QS. Al-Mudtastsir (74) ayat 38 144 Marsum, Jinayat Hukum Pidana Islam, Bagian Penerbitan Fakultas Hukum Universitas

Islam Indonesia, Yogyakarta, 1984, hlm. 163 145 Ibid,

Page 107: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

90

yang pada saat dia membutuhkan pertolongan kita sedang

berada didekatnya.

Tolong menolong dalam bahasa Arabnya adalah ta’awun.

Sedangkan menurut istilah, pengertian ta’awun adalah sifat

tolong menolong diantara sesama manusia dalam hal kebaikan

dan takwa. Dalam ajaran Islam, tolong menolong merupakan

kewajiban setiap muslim. Sudah semestinya konsep tolong

menolong ini dikemas sesuai dengan syariat Islam, dalam artian

tolong menolong hanya diperbolehkan dalam kebaikan dan

takwa, dan tidak diperbolehkan tolong menolong dalam hal dosa

atau permusuhan. Allah SWT telah menyebutkan perintah

tolong menolong yang terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 2

yang artinya :

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)

kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam

berbuat dosa dan pelanggaran dan bertakwalah kamu kepada

Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”

(QS.Al.Maidah: 2)

Selain dalam al-qur’an yang menjelaskan tentang

keutamaan tolong menolong sesama manusia, dalam hadist juga

Page 108: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

91

dijelaskan yaitu yang terdapat pada hadist riwayat Bukhari yang

isinya sebagai berikut:146

“Bahwasannya Abdullah bin Umar r.a mengabarkan,

bahwa Rasulullah saw, bersabda: “Muslim yang satu adalah

saudara muslim yang lain; oleh karena itu ia tidak boleh

menganiaya dan mendiamkannya. Barang siapa memperhatikan

kepentingan saudaranya, maka Allah akan memperhatikan

kepentingannya. Barang siapa membantu kesulitan seorang

muslim, maka Allah akan membantu kesulitannya dari beberapa

kesulitannya nanti pada hari kiamat. Dan barang siapa

menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah akan menutupi

(aib)nya pada hari kiamat” (HR Bukhari).

Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita agar saling

tolong menolong sesama manusia. Tolong menolong atau

ta’awun merupakan kebutuhan hidup manusia yang tidak dapat

dipungkiri. Ta’awun (saling tolong menolong) adalah salah satu

cara menjaga ukhuwah islamiah (persaudaraan dalam islam).

Tidak ada arti dan nilainya jika kita menganggap saudara tetapi

kita tidak membantu saudara kita ketika memerlukan bantuan,

dan menolongnya ketika dia ditimpa cobaan, serta belas kasihan

ketika ia dalam keadaan lemah.

146 https://intinebelajar.blogspot.co.id/2016/12/hadits-tentang-tolong-menolong.html

diakses pada tanggal 11 Maret 2018 pukul 19:54 WIB

Page 109: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

92

Tolong menolong sesama manusia tidak hanya sekedar

memperlancar kehidupan kita di dunia tetapi akan melapangkan

salah satu kesusahan di hari kiamat nanti.

“Barangsiapa melapangkan seorang mukmin dari satu

kesusahan dunia, Allah akan melapangkannya dari salah satu

kesusahan di hari kiamat. Barang siapa meringankan

penderitaan seseorang, Allah akan meringankan

penderitaannya di dunia dan akhirat. Barang siapa menutup

(aib) seorang muslim, Allah akan menutup (aib)nya di dunia

dan akhirat, Allah akan menolong seorang hamba selama

hamba itu mau menolong saudaranya.” (HR. Muslim dari Abu

Hurairah).147

Dalam kehidupan bermasyarakat sikap yang harus

ditumbuh kembangkan adalah kesediaan melapangkan

kesusahan, meringankan beban penderitaan, menjaga atau

menutupi aib saudaranya agar tidak diketahui oleh orang

banyak, dan kesediaan menolong sesama. Apabila sikap tersebut

terus di kembangkan dalam kehidupan sehari-hari dengan

ikhlas, insyaallah akan mendapatkan balasan dari Allah, yaitu

akan dilapangkan, diringankan, ditutupi aibnya dan mendapat

pertolongan Allah dari kesusahan-kesusahan di hari kiamat.

147 Ibid

Page 110: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

93

Hubungan antara seorang hamba dengan Rabb-Nya

tertuang dalam perintah “Dan bertakwalah kamu kepada Allah”.

Dalam hubungan ini, seorang hamba harus lebih mengutamakan

ketaatan kepada Rabb-Nya dan menjauhi perbuatan yang

menentangnya.148

Kewajiban pertama (antara seorang hamba dengan

sesama) akan tercapai dengan mencurahkan nasehat, perbuatn

baik dan perhatian terhadap perkara ini. Dan kewajiban kedua

(antara seorang hamba dengan Rabb-Nya), akan terwujud

melalui menjalankan hak tersebut dengan ikhlas, cinta dan

penuh pengabdian kepada-Nya.149

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi

Syaibah Telah menceritakan kepada kami Abu Usamah

dariSyu’bah dari Sa’id bin Abu Burbah dari bapaknya dari

kakeknya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau

bersabda: “Setiap orang mukmin wajib bersedekah.” Lalu

ditanyakanlah kepada beliau, “Bagaimana kalau dia tidak

sanggup?” Beliau menjawab: “Hendaknya ia bekerja untuk

dapat memberi manfaat kepada dirinya sendiri dan supaya ia

dapat bersedekah.” Ditanyakan lagi pada beliau, “Bagaimana

kalau dia tidak sanggup.” Beliau menjawab: “Hendaknya ia

membantu orang yang dalam kesulitan.” Ditanyakan lagi pada

beliau, “Bagaimana kalau dia tidak sanggup.” Beliau

menjawab, “Hendaknya ia menyuruh kepada yang ma’ruf atau

kebaikan.” Orang itu bertanya lagi, “Bagaimana kalau dia

tidak sanggup juga?” beliau menjawab: “Hendaklah ia

mencegah diri dari perbuatan buruk, sebab itu juga merupakan

sedekah.” Dan telah menceritakannya kepada kami Muhammad

bin Al Mutsanna Telah menceritakan kepada kami

Abdurrahman bin Mahdi telah menceritakan kepada kami

Syu’bah dengan isnad ini. (HR.Muslim No.1676) dalam kitab

148 ar-Risâlah at-Tabûkiyyah hlm. 57 149 Ibid, hlm. 57

Page 111: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

94

zakat, dalam bab penjelasannya dijelaskan bahwa nama sedekah

mencakup segala bentuk kema’rufan.150

Dalam hal ini hukum tolong menolong yang dilakukan

dengan ikhlas untuk menolong saudara kita yang lemah.

Merupakan sebuah sedekah dalam islam atau shodaqoh. Artinya,

bahwa Allah SWT memberikan pahala yang menyamai dengan

pahala shodaqoh yang paling afdol terhadap upaya kita dalam

menolong saudara kita yang mengalami kesusahan.

150 Software Lidwa Kitab Hadist 9 Imam

Page 112: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

95

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit atas Tindakan Penelantaran

Pasien yang dilakukan Rumah Sakit

Menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah

Sakit selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang Rumah Sakit dalam Pasal

1 ayat (1), disebutkan bahwa Rumah Sakit adalah institusi pelayanan

kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara

paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat

darurat. Berdasarkan pasal tersebut Rumah Sakit mempunyai peranan yang

sangat penting bagi upaya peningkatan kesehatan masyarakat. Selain itu,

Rumah Sakit sebagai salah satu bentuk pelayanan kesehatan, di dalamnya

terdapat tenaga pr ofesional yang melakukan atau menjalankan kegiatannya.

Adanya tenaga profesional, maka tidak heran jika di dalam Rumah

Sakit banyak melibatkan berbagai kelompok profesi diantaranya dokter atau

tenaga medik, perawat, apoteker, dan lain-lain. Dalam menjalankan

profesinya, semua mempunyai tugas masing-masing untuk meningkatkan

derajat kesehatan masyarakat atau pasien. Rumah Sakit mempunyai hak dan

kewajiban untuk memberikan pelayanan medis yang sesuai dengan Undang-

Undang. Hak dan kewajiban Rumah Sakit diatur dalam Undang-Undang

Rumah Sakit dalam Pasal 29 ayat (1) huruf b mengatur tentang kewajiban

Rumah Sakit bahwa Rumah Sakit tidak boleh membeda-bedakan pasien

dalam pelayanan kesehatan terutama yang berhubungan dengan nasib

Page 113: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

96

manusia dan harus mengutamakan kepentingan pasien dalam

pelaksanaannya ketimbang kepentingan lain seperti uang muka serta harus

sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit.

Sedangkan dalam Undang-Undang Rumah Sakit Pasal 30 huruf b

mengatur tentang hak Rumah Sakit setelah melakukan pelayanan medis

terhadap pasien, Rumah Sakit berhak menerima imbalan atas jasa pelayanan

medis yang telah diberikan kepada pasien. Selain Rumah Sakit yang

berkewajiban untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat

atau pasien, dokter sebagai tenaga medis yang berada dalam lingkungan

Rumah Sakit juga berkewajiban untuk memberikan pelayanan medis

terhadap pasien. Aturan tersebut terdapat dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktisi Kedokteran

selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang Praktisi Kedokteran. Dokter

mempunyai kewajiban memberikan pelayanan medis kepada masyarakat

atau pasien yang membutuhkan pertolongan sesuai dengan standar profesi

dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien yang

ditangani.151

Kewajiban yang dimiliki dokter tidak hanya ditujukan kepada orang-

orang yang memiliki biaya untuk berobat saja melainkan untuk semua orang

termasuk orang yang tidak mampu secara finansial. Dalam hal ini

pemerintah juga sudah menjamin pembiayaan bagi orang-orang yang

kurang mampu (fakir miskin) sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) huruf b

151 Lihat Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktisi Kedokteran

Page 114: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

97

Undang-Undang Rumah Sakit. Di sisi lain, Rumah Sakit sebagai

rechtpersoon juga memiliki kewajiban untuk selalu memberikan pelayanan

medis kepada masyarakat tanpa membeda-bedakan suku, ras, agama dan

kepercayaan bahkan juga tidak boleh menelantarkan pasien atau orang yang

sedang dalam konsisi gawat darurat yang membutuhkan pertolongan

sekalipun. Rumah Sakit juga berkewajiban untuk memberikan pelayanan

medis bagi orang-orang yang tidak mampu atau miskin, dan melaksanakan

fungsi sosial dari Rumah Sakit tersebut dengan memberikan fasilitas

kesehatan kepada pasien yang tidak mampu atau miskin serta pelayanan

gawat darurat tanpa mementingkan uang muka, di mana hal tersebut sesuai

dengan Pasal 29 ayat (1) huruf e dan f Undang-Undang Nomor 44 Tahun

2009 tentang Rumah Sakit.

Penjelasan dari Pasal 29 ayat (1) huruf e dan f merupakan penjabaran

dari Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 bahwa setiap orang berhak untuk

memperoleh hidup sehat serta mendapatkan pelayanan kesehatan. Tidak

hanya mewajibkan pemerintah untuk menjamin kesehatan masyarakat,

tetapi semua pihak yang berkomitmen untuk mengelola Rumah Sakit baik

Rumah Sakit Pemerintah maupun Rumah Sakit Swasta juga mempunyai

komitmen yang sama sehingga itu menjadi kewajiban semua Rumah Sakit.

Berdasarkan landasan hukum yang telah dijelaskan pada paragraf

sebelumnya, berikut terdapat contoh fakta hukum pendukung mengenai

kasus penelantaran pasien yang pernah terjadi di salah satu Rumah Sakit di

Jakarta pada tahun 2017 lalu. Pasien Deborah Simanjorang yang terdaftar

Page 115: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

98

sebagai Tiara Deborah mengalami kondisi kritis dan harus segara

dimasukkan ke ruang Pedriatic Intensive Care Unit (PICU) segera. Kondisi

bayi Deborah dinyatakan membaik setelah tindakan intubasi selesai

dilakukan, walaupun dokter menyatakan kondisi bayi Deborah masih dalam

keadaan kritis. Dokter kemudian menganjurkan kepada orang tua Deborah

agar penanganan Deborah dilakukan di ruang PICU.

Demi mendapatkan fasilitas itu, kedua orang tua bayi Deborah harus

membayar uang muka untuk perawatan di ruang PICU sebesar Rp

19.800.000. Pada saat itu orang tua bayi Deborah hanya mempunyai uang

sejumlah Rp 5.000.000 dan ibunya meminta keringanan kepada petugas

administrasi. Namun, pihak Rumah Sakit menolak permohonan dari orang

tua bayi Deborah dan baru bisa menyediakan fasilitas PICU jika orang tua

bayi Deborah membayar lunas uang sebesar Rp 19.800.000. Mengetahui

bahwa orang tua Deborah tidak sanggup untuk melunasi uang mukanya

maka dokter menyarankan kepada orang tua untuk penanganan selanjutnya

bayi Deborah dipindahkan ke Rumah Sakit yang bekerjasama dengan

BPJS, sedangkan kata dokter Rumah Sakit tempat Deborah sekarang

dirawat tidak bekerjasama dengan BPJS. Akibat lamanya penangan dari

pihak Rumah Sakit untuk memasukkan bayi Deborah ke ruang PICU yang

terkendala masalah uang muka itu akhirnya bayi Deborah meninggal dunia

karena tidak segera mendapatkan pertolongan dari pihak Rumah Sakit.

Padahal pada saat itu kondisi bayi Deborah dalam keadaan gawat darurat

dan membutuhkan segera pertolongan dari Rumah Sakit.

Page 116: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

99

Adanya contoh kasus tersebut, dapat dinyatakan bahwa pihak Rumah

Sakit yang bersangkutan kurang memperhatikan bagaimana memberikan

pelayanan medis yang sesuai dengan peraturan yang berlaku. Jika

dianalisis berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang Kesehatan, tindakan

yang dilakukan oleh pihak Rumah Sakit bertentangan dengan Undang-

Undang tersebut. Berdasarkan Pasal 32 ayat 1 dalam keadaan pasien gawat

darurat yang membutuhkan pertolongan segera dari Rumah Sakit

pemerintah maupun swasta, berkewajiban memberikan pelayanan medis

yang didasarkan pada komitmen tidak membeda-bedakan pasien dari segi

manapun.

Seperti yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya, Rumah Sakit

juga seharusnya tidak perlu meminta uang muka sebelum melakukan

tindakan medis kepada pasien yang sedang dalam keadaan gawat darurat,

hal ini berdasarkan dalam Pasal 32 ayat (2), setiap pasien yang sedang

mengalami kondisi kritis atau dapat dikatakan dalam keadaan darurat yang

sangat membutuhkan pertolongan, Rumah Sakit atau dokter tidak boleh

mementingkan materi dalam memberikan pelayanan kesehatan. Hal tersebut

didasarkan pada tujuan dari Rumah Sakit yaitu bukan berorientasi pada

materi semata melainkan mengutamakan nilai kemanusiaan di mana hal ini

sesuai dalam Pasal 23 ayat (4) Undang-Undang Kesehatan. Di sisi lain,

disebutkan juga setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh

akses atas sumber daya dibidang kesehatan tanpa terkecuali hal tersebut

Page 117: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

100

sesuai yang termuat dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kesehatan ,

yang dalam artian setiap pasien harus mendapatkan fasilitas ataupun

pelayanan medis dari Rumah Sakit ataupun dokter sesuai dengan

permasalahan medis yang dialami demi mencapai sebuah kesehatan

paripurna yang sesuai dengan Pasal 4 Undang-Undang Rumah Sakit,

bahwasanya Rumah Sakit memiliki tugas untuk memberikan pelayanan

kesehatan terhadap para pasien atau perorangan secara paripurna.

Banyaknya kasus mengenai penelantaran pasien yang menyebabkan

kematian oleh pihak Rumah Sakit, pada dasarnya Rumah Sakit sebagai

organisasi penyelenggaraan fasilitas pelayanan publik mempunyai

tanggungjawab atas setiap pelayanan kesehatan yang diselenggarakannya.

Tanggungjawab dalam hal ini didasarkan pada kesadaran manusia atas

tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun tidak disengaja.

Tanggungjawab juga berarti berbuat sesuatu berdasarkan kesadaran akan

kewajiban yang dimiliki oleh tenaga profesional. Adanya kewajiban dari

Rumah Sakit yang tidak terlaksana yang tujuannya memberikan kesehatan

yang baik dan perlindungan yang baik pada pasien, akhirnya menimbulkan

hubungan hukum antara Rumah Sakit dengan pasien sebagai penerima

layanan kesehatan dan membuat Rumah Sakit mampu melakukan hubungan

hukum sendiri dan mampu bertanggung jawab. Alhasil Rumah Sakit bukan

hanya sebatas “persoon” yang terdiri dari beberapa manusia di dalamnya

(sebagai natuurlijk persoon), tetapi Rumah Sakit diberikan kedudukan

hukum yang berstatus sebagai badan hukum atau rechtpersoon.

Page 118: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

101

Rumah Sakit adalah subyek hukum. Berarti, Rumah Sakit dapat

melakukan hubungan hukum dengan subyek hukum lainnya dalam hal ini

masyarakat atau pasien dalam melaksanakan pelayanan kesehatan. Karena

itu Rumah Sakit wajib menanggung segala konsekuensi hukum yang timbul

akibat dari perbuatannya atau perbuatan orang lain yang berada dalam

tanggungjawabnya.152

Pemberian status badan hukum atau rechtpersoon kepada Rumah

Sakit biasanya untuk Rumah Sakit swasta, sedangkan untuk Rumah Sakit

yang diselenggarakan oleh Pemerintah tidak perlu berbentuk badan hukum

karena pemerintah sendiri sudah merupakan badan hukum publik. Untuk

mengetahui apakah Rumah Sakit telah mempunyai status badan hukum atau

belum dapat dilihat dalam Akta Pendiriannya. Akta Pendirian tersebut

dibuat oleh notaris dalam bentuk akta ataupun karena perintah undang-

undang yang secara otomatis mempunyai status badan hukum.

Penolakan Rumah Sakit terhadap pasien yang membutuhkan

pelayanan medis merupakan perbuatan yang dapat memberikan penilaian

buruk terhadap pelayanan kesehatan yang ada di Indonesia. Banyak yang

beranggapan bahwa penolakan ini seperti fenomena gunung es yang hanya

kelihatan permukaannya saja. Perlu diketahui bahwa pelayanan kesehatan

merupakan hak bagi warga negara dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara, tanpa harus melihat kemampuan finansial seorang pasien. Rumah

sakit yang menolak memberikan pelayanan medis tergolong ke dalam

152 Mukmin Zakie, Pertanggungjawaban Rumah Sakit Terhadap Penanganan Pasien

Gawat Darurat Dalam Perspektif Hukum Kesehatan Dan Hukum Administrasi Negara, Diskusi

Panel, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 19 September 2017

Page 119: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

102

perbuatan yang melanggar Undang-Undang, juga tergolong ke dalam

perbuatan pidana. Penolakan pasien oleh rumah sakit bisa dilakukan dengan

berbagai alasan yang dikeluarkan oleh pihak Rumah Sakit, misalnya saja

terdapat pasien yang tidak mampu secara finansial, yang kemudian hal

tersebut dijadikan sebuah alasan oleh Rumah Sakit untuk memberikan

penolakan atas kondisi pasien yang dirasa akan merugikan pihak Rumah

Sakit.

Maka berdasarkan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009

tentang Rumah Sakit, bahwa Rumah Sakit bisa dimintai

pertanggungjawabannya atas semua kerugian yang ditimbulkan atas

kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatannya, yang terjadi di Rumah

Sakit. Hal ini berdasarkan dengan doktrin Vicarious Liability, yaitu

tanggung jawab yang timbul akibat kesalahan yang dilakukan oleh

bawahannya, yang masih mempunyai hubungan kerja seperti layaknya

majikan dan bawahan.

Vicarious Liability biasanya berlaku dalam hukum perdata tentang

perbuatan melawan hukum berdasarkan doctrine of respondeat superior.

Ajaran ini merupakan pengembangan yang terjadi dalam hukum pidana,

karena ajaran ini menyimpang dari asas umum yang berlaku dalam sistem

hukum common law bahwa seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan

atas perbuatan yang dilakukan tanpa sepengetahuannya atau tanpa otoritas.

Maka menurut ajaran ini, pihak lain dapat dipertanggungjawabkan secara

pidana atas perbuatan pihak lain. Dalam common law seorang majikan

Page 120: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

103

(employer) bertanggungjawab secara vikarius (liable vicariously) atas

perbuatan-perbuatan dari bawahannya yang telah menimbulkan kerugian

gangguan publik atau merusak nama baik orang lain.153

Maksud dari teori Vicarious liability jika dikaitkan dengan

permasalahan mengenai penelantaran pasien oleh Rumah Sakit yang

kemudian menyebabkan pasien tersebut meninggal dunia, apabila tenaga

medis (dokter) dan karyawan biasa yang bukan termasuk tenaga kesehatan

dalam suatu korporasi (Rumah Sakit) melakukan tindak pidana dalam

lingkungan pekerjaannya dengan maksud menguntungkan korporasi, maka

tanggungjawab pidananya dapat dibebankan kepada korporasi (Rumah

Sakit) tetapi harus dibuktikan dulu bahwa memang ada hubungan

subordinasi antara majikan dan orang yang melakukan tindak pidana

tersebut.154 Tujuan dari ajaran ini untuk mencegah korporasi (Rumah Sakit)

melepaskan tanggungjawab hukum pidananya.

Didalam suatu Rumah Sakit biasanya disamping pemilik Rumah

Sakit, baik Rumah Sakit milik Departemen Kesehatan maupun Rumah Sakit

yang bukan milik Departemen Kesehatan atau swasta didalamnya ada

lembaga direksi yang melaksanakan kegiatan Rumah Sakit sehari-hari.

Direksi memiliki tugas melaksanakan kebijakan dan pengelolaan Rumah

Sakit sehari-hari tidak bersifat otonom atau dengan perintah sendiri, tetapi

lahir karena adanya pelimpahan wewenang yang diberikan oleh pemilik

153 Syahrul Machmud, Op.cit, hlm. 207 154 Ibid, hlm. 208

Page 121: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

104

Rumah Sakit. Ini berarti direksi bertanggung jawab langsung kepada

pemilik Rumah Sakit.

Direksi terdiri dari orang-orang yang paham akan bidang keahliannya

sedangkan pengurus di dalam Rumah Sakit swasta terdiri dari orang awam

namun mereka inilah yang merupakan pencetus ide pertama dan umumnya

yang memiliki modal. Namun disamping pengurus dan direksi dalam

Rumah Sakit ada medical staff atau staf medis yang anggotanya terdiri dari

para dokter spesialis/superspesialis yang direkrut oleh direksi Rumah Sakit.

Menurut Hermien Hadiati Koeswadji, didalam struktur organisasi

rumah sakit harus mempunyai komite medis yang mempunyai fungsi

mencegah kemungkinan terjadinya kesalahan/kelalaian dalam tindakan

medik tertentu serta mengupayakan penyelesaiannya bila

kesalahan/kelalaian tersebut sudah terlanjur terjadi. Selain mempunyai

fungsi yang sangat penting didalam Rumah Sakit, komite medis juga

mempunyai tugas pokok sebelum adanya kemungkinan terjadi

kesalahan/kelalaian. Tugas pokoknya membantu direktur Rumah Sakit

menyusun standar pelayanan medis dan standar operasional prosedur serta

memantau pelaksanaannya.155

Dalmy Iskandar berpendapat bahwa tidak semua kesalahan yang

terjadi dirumah sakit dapat dilimpahkan atau dimintakan

pertanggungjawaban terhadap Rumah Sakit.156 Secara umum peristiwa yang

terjadi didalam suatu Rumah Sakit dapat dipertanggungjawabkan kepada

155 Ibid, hlm. 228 156 Dalmy Iskandar, Rumah Sakit, Tenaga Kesehatan, dan Pasien, Sinar Grafika, Jakarta,

1998, hlm. 39

Page 122: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

105

Rumah Sakit yang itu sesuai dengan doktrin Corporate Liability, tetapi tidak

dalam hal kesalahan yang dilakukan oleh dokter secara pribadi, pihak

Rumah Sakit tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya.157

Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Mudzakkir, bahwa

Rumah Sakit tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana atas

tindakan dokter yang tidak melakukan suatu tindakan medis kepada pasien

yang telah berada di dalam ruangannya, tindakan apa yang harus

dilakukannya yaitu tindakan yang sesuai dengan kapasitas yang dokter itu

miliki.158 Karena hal tersebut merupakan kelalaian dokter yang membiarkan

seseorang yang membutuhkan pertolongan namun tidak segera ditolong, dan

didalam hukum pidana yang dapat dimintai pertanggungjawabannya atas

kelalaian dokter adalah dokter itu sendiri yang bertanggungjawab karena

logika hukum pidananya yaitu siapa yang berbuat dia yang

bertanggungjawab, bukan direksi Rumah Sakitnya.159

Dalam ajaran hukum pidana, pertanggungjawaban pidana korporasi

dibagi dalam 3 (tiga) bagian yakni : Pertama, Pengurus korporasi sebagai

pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab; Kedua, korporasi

sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab; Ketiga, korporasi sebagai

pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab. Dalam hal pengurus

korporasi (direktur, pimpinan Rumah Sakit dan pemilik) sebagai pembuat

dan penguruslah yang bertanggungjawab, kepada pengurus korporasi

157 Ibid 158 Wawancara dengan Mudzakkir, S.H.,M.H, Ahli Hukum Pidana dan Dosen Fakultas

Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Wawancara Pribadi tanggal 12 Februari 2018. 159 Ibid

Page 123: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

106

dibebankan kewajiban tertentu yang itu merupakan kewajiban dari

korporasi. Apabila ada pengurus yang tidak memenuhi kewajiban diancam

pidana, karena tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi adalah tindak

pidana yang dilakukan seseorang tertentu sebagai pengurus dari badan

hukum tersebut, terlepas dia tau atau tidak tentang dilakukannya perbuatan

tersebut.160

Rumah Sakit dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan yang

dilakukan oleh bawahannya. Bentuk pertanggungjawabannya dapat berupa

pertanggungjawaban Rumah Sakit dalam hukum administrasi,

pertanggungjawaban Rumah Sakit dalam hukum perdata, dan

pertanggungjawaban Rumah Sakit dalam hukum pidana. Maka dengan

demikian Rumah Sakit pemerintah maupun Rumah Sakit swasta dapat

dimintai pertanggungjawaban berdasarkan ajaran vicarious liability. Dengan

syarat harus adanya hubungan kerja antara Rumah Sakit dengan dokter atau

dokter gigi dan mendapat gaji atau honor secara periodik dari majikan

(direktur Rumah Sakit) hal ini berdasarkan doktrin respondent superior

bahwa Rumah Sakit dapat dimintai tanggungjawab hukum.

Dengan munculnya doktrin respondent superior pada pertengahan

abad ke-20 maka munculnya tanggungjawab bagi Rumah Sakit yang

membawa konsekuensi hukum bahwa direktur atau kepala Rumah Sakit

sebagai atasan bertanggungjawab atas perbuatan atau tindakan yang

dilakukan oleh bawahannya apabila mengakibatkan terjadinya kerugian

160 Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban..., Op.cit, hlm.

Page 124: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

107

kepada pasien. Namun tidak berarti semua kegiatan yang dilakukan di

Rumah Sakit dipertanggungjawabkan kepada Rumah Sakit dalam hal ini

pimpinan.

Akan tetapi dalam kenyataannya untuk menentukan siapa yang

bertanggungjawab dalam suatu Rumah Sakit tidaklah mudah. Oleh karena

itu berlaku prinsip manajemen umum, jika dilihat dari sudut manajemen

yang berlaku dalam setiap organisasi (termasuk organisasi Rumah Sakit)

bahwa dalam setiap organisasi apapun harus ada pucuk pimpinan yang

memikul tanggungjawab dan wewenang tertinggi.161

Dalam Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI) pada

penjelasan Pasal 2 sudah ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan

tanggungjawab Rumah Sakit meliputi tanggungjawab umum dan

tanggungjawab khusus. Tanggungjawab umum Rumah Sakit merupakan

kewajiban pimpinan Rumah Sakit menjawab pertanyaan-pertanyaan

mengenai permasalahan-permasalahan peristiwa, kejadian, dan keadaan di

Rumah Sakit. Sedangkan tanggungjawab khusus muncul jika ada anggapan

bahwa Rumah Sakit telah melanggar kaidah-kaidah, baik dalam bidang

hukum, etik, maupun tata tertib atau disiplin.162

Secara yuridis dalam Rumah Sakit yang bertanggungjawab dapat

dikelompokkan dalam:

161 Hasrul Buamona, Jurnal Hukum Novelty, Tanggungjawab Pidana Korporasi Rumah

Sakit, Vol.7 No.1 Februari 2016, hlm. 108 162 Lihat Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI)

Page 125: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

108

1. Manajemen Rumah Sakit sebagai organisasi yang dimiliki badan

hukum (Pemerintah, Yayasan, P.T, Perkumpulan) yang pada instansi

pertama diwakili oleh Kepala RS/Direktur/CEO;

2. Para dokter yang bekerja di Rumah Sakit;

3. Para perawat;

4. Para tenaga kesehatan lainnya dan tenaga administratif.

Pada hakekatnya Rumah Sakit adalah suatu organisasi yang dibentuk

oleh suatu badan hukum (Pemerintah, Yayasan, Perkumpulan, P.T, atau

badan hukum lainnya), maka secara yuridis yang bertanggungjawab adalah

badan hukum itu sendiri dan bukan rumah sakitnya. Namun di dalam

pembahasan untuk mudahnya biasanya “dianggap atau dikatakan” sebagai

tanggungjawab Rumah Sakit.

Maka dari penjelasan diatas secara umum suatu Rumah Sakit

mempunyai 4 (empat) bidang tanggungjawab:163

1) Tanggungjawab terhadap personalia,

Hal ini berdasarkan hubungan “Majikan-Karyawan” (Vicarious

Liability, Respondeat Superior, atau Let the Master Answer).

2) Tanggungjawab profesional terhadap mutu pengobatan/perawatan

(Duty of due care).

Hal ini bearti bahwa tingkat pemberian pelayanan kesehatan,

baik oleh dokter maupun oleh perawat dan tenaga kesehatan lainnya

harus berdasarkan ukuran standar profesi. Dengan demikian maka

163 J.Guwandi, Hospital Law (Emerging doctrines & Jurisprudence), Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, Jakarta, 2002, hlm. 12

Page 126: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

109

secara yuridis Rumah Sakit bertanggungjawab apabila ada pemberian

pelayanan yang tidak lazim atau dibawah standar.

3) Tanggungjawab terhadap sarana dan peralatan.

Di dalam bidang tanggungjawab ini termasuk peralatan dasar

perhotelan, perumasakitan, peralatan medis, gas medik, dll). Yang

dipentingkan adalah bahwa peralatan tersebut selalu harus berada di

dalam keadaan aman, siap pakai pada setiap saat.

4) Tanggungjawab terhadap keamanan bangunan dan perawatannya.

Misalnya bangunan roboh, genteng jatuh sampai mencederai

orang, lantai yang sangat licin sehingga sampai ada pengunjung yang

jatuh dan menderita faktur, pasien anak jatuh dari tingkat atas

mengingat Rumah Sakit sekarang bertingkat tinggi, dan lain-lain. Di

Amerika masalah ini diatur dalam Occupier’s Liability Act, sedangkan

di Indonesia diatur di dalam KUH Perdata pasal 1369.

Buruknya pelayanan kesehatan terhadap pasien di Indonesia akhir-

akhir ini menimbulkan banyak pandangan negatif dari masyarakat terhadap

Rumah Sakit. Salah satunya ialah tuduhan penelantaran ini di lontarkan

kepada Rumah Sakit yang memiliki pelayanan kesehatan yang buruk

ataupun penolakan perawatan medis dengan tidak memberikan pertolongan

terhadap pasien yang dalam keadaan darurat. Sehubungan dengan tindakan

itu perlu diketahui bahwa apa sebetulnya yang dimaksud dengan

penelantaran. Menurut Arif Setiawan tindakan tersebut disebutkan sebagai

pembiaran medis. Pembiaran medis adalah tindakan dan atau pelayanan

Page 127: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

110

medis oleh dokter dan atau Rumah Sakit, pembiaran medis ini dibagi dalam

tiga bentuk:164

a) tindakan tidak sesuai dengan standar prosedur yang berlaku, atau

b) dilakukan dengan tidak sungguh-sungguh (asal-asalan), atau

c) tidak dilakukan sama sekali.

Buruknya pelayanan medis yang diberikan kepada pasien atau

pelayanan medis yang tidak selayaknya dan menyebabkan kerugian bagi

pasien dapat dikategorikan tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam Pasal 304 dan 531 KUHP.

Masih adanya pelayanan medis yang tidak sesuai dengan aturan salah

satunya penolakan pelayanan medis terhadap pasien yang tidak mampu, hal

ini menandakan bahwa pemerintah dalam melakukan pengawasan masih

kurang optimal sehingga masih ada penolakan pemberian perawatan medis

yang dilakukan oleh Rumah Sakit dengan berbagai macam alasan. Dalam

Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Kesehatan telah menyebutkan bahwa:

“Pemerintah bertanggungjawab merencanakan, mengatur,

menyelenggarakan, membina dan mengawasi penyelenggaraan upaya

kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat.”

Didalam hukum pidana ada bentuk-bentuk kesalahan yang dapat

dijadikan tolak ukur seseorang dalam melakukan kesalahan agar bisa

dimintai pertanggungjawabkan. Bentuk kesalahan terdiri dari kesengajaan

(dolus), dan kealpaan (culpa).

164 M.Arif Setiawan, Aspek Hukum Pembiaran Medis, Diskusi Panel, Fakultas Hukum

Universitas Islam Indonesia, 19 September 2017

Page 128: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

111

a) Kesengajaan (dolus), terbagi menjadi beberapa yaitu sebagai berikut:

1) Kesengajaan dengan maksud, yakni dimana akibat dari

perbuatan itu diharapkan timbul, atau agar peristiwa pidana itu

sendiri terjadi;

2) Kesengajaan dengan kesadaran sebagai suatu keharusan atau

kepastian bahwa akibat dari perbuatan itu sendiri akan terjadi,

atau dengan kesadaran sebagai suatu kemungkinan saja.

3) Kesengajaan bersyarat (dolus eventualis). Kesengajaan bersyarat

disini diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan

sengaja dan diketahui akibatnya, yaitu yang mengarah pada

suatu kesadaran bahwa akibat yang dilarang kemungkinan besar

terjadi, menurut Sudarto sebagai mana dikuti oleh Tamba,

bahwa kesengajaan bersyarat atau dolus eventualis ini

disebutnya dengan teori “apa boleh buat” sebab ini keadaan

batin dari sipelaku mengalami dua hal, yaitu:

a. Akibat itu sebenarnya tidak dikehendaki, bahkan ia benci

atau takut akan kemungkinan timbulnya akibat tersebut;

b. Meskipun ia tidak menghendakinya, namun apabila akibat

dan keadaan itu timbul juga, apa boleh buat, keadaan itu

harus diterima. Jadi berarti bahwa ia sadar akan resiko

yang harus diterimanya. Maka disini pun terdapat suatu

pertimbangan yang menimbulkan kesadaran yang bersifat

lebih dari sekedar suatu kemungkinan biasa saja. Sebab

Page 129: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

112

sengaja dalam dolus eventualis, juga mengandung unsur-

unsur mengetahui dan mengkhendaki, walaupun sifatnya

sangat samar sekali atau dapat dikatakan hampir tidak

terlihat sama sekali.

b) Kealpaan (culpa)

Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 359, 360, 361

KUHP. Delik yang secara tidak sengaja telah dilakuakn oleh

pelakunya (sama sekali diluar kehendaknya).

Diatur dalam Pasal 304 KUHP tentang tindak pidana dalam hal

penolakan pelayanan medis disebutkan bahwa:

“Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan

seseorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang

berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi

kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam

dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau

pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Selain Pasal diatas ada juga pasal yang mengatur tentang perbuatan

pidana tentang penolakan pelayanan medis, yang itu diatur dalam Pasal 531

KUHP yang berbunyi:

“Barangsiapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang sedang

menghadapi maut, tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan

padanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya ataupun

orang lain, diancam, jika kemudian orang itu meninggal, dengan

pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling

banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Dalam hal apa Rumah Sakit itu dapat dimintai pertanggungjawaban

pidananya. Pertanggungjawaban Rumah Sakit dari aspek hukum pidana

Page 130: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

113

sangat berkaitan dengan kewajiban hukum Rumah Sakit yang harus

diberikan kepada pasien. Selain Rumah Sakit merupakan penyedia layanan

kesehatan, Rumah Sakit juga bertanggungjawab dalam melaksanakan

kewajibannya yang bertujuan untuk memberi kesehatan yang baik dan

pelayanan yang baik bagi pasien.

Dalam Pasal 304 dan 531 KUHP merupakan perbuatan pasif, dimana

seseorang tidak melakukan perbuatan fisik apapun namun karena sikap

pasifnya itulah mengakibatkan terjadinya tindak pidana yang itu diakibatkan

karena mengabaikan kewajiban hukumnya. Unsur tindak pidana yang

terdapat dalam Pasal 304 disebutkan bahwa, dengan sengaja membiarkan

seseorang dalam keadaan sengsara, sebagai contoh: penolakan perawatan

medis yang dilakukan oleh rumah sakit. Dan unsur tindak pidana yang

terdapat dalam Pasal 531 disebutkan, dengan sengaja tidak memberikan

pertolongan terhadap seseorang yang membutuhkan perawatan medis

diancam pidana.165

Adanya tindakan penolakan yang dilakukan oleh Rumah Sakit

terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat, maka

pertanggungjawaban pidana sepenuhnya berada pada pimpinan fasilitas

kesehatan jika perintah yang di kerjakan oleh tenaga kesehatan atau

karyawan merupakan perintah jabatan. Disebutkan dalam Pasal 190 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, bahwa dalam

keadaan pasien gawat darurat yang bertanggungjawab apabila pasien tidak

165 Cahyo Agi Wibowo, Hari Wahyudi, Sudarto, “Penolakan Pelayanan Medis Oleh Rumah

Sakit Terhadap Pasien Yang Membutuhkan Perawatan Darurat”. Volume 1 No.1, April 2017, 90

Page 131: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

114

diberikan pertolongan serta adanya akibat yang ditimbulkan yaitu kecacatan

atau kematian adalah pimpinan fasilitas (direktur) atau tenaga kesehatan

yang melakukan praktik (dokter).

Lain halnya jika melakukan tindakan tersebut atas nama perintah

pribadi maka staf karyawan juga dapat dipidana. Apabila yang melakukan

penolakan pelayanan medis terhadap pasien hanya seorang karyawan biasa

yang bukan termasuk tenaga kesehatan (dokter) dalam rumah sakit seperti

contoh karyawan administrasi, maka pertanggungjawaban pidananya ada

pada pimpinan fasilitas kesehatan atau tenaga medis, karena semua perintah

yang dilakukan karyawan ataupun bawahan tersebut semua kehendak dari

pimpinan fasilitas kesehatan ataupun tenaga medis jika hal ini atas nama

perintah jabatan yang diatur dalam Undang-Undang.166

Rumah sakit sebagai korporasi atau rechpersoon yang mempunyai

tugas dan kewajiban untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada

masyarakat secara menyeluruh tanpa membedakan suku, ras, agama dan

kepercayaan tidak boleh menelantarkan pasien atau bahkan orang yang

dalam kondisi gawat darurat membutuhkan pertolongan. Rumah sakit tidak

dapat membiarkan pasien yang membutuhkan pertolongan, bahkan Rumah

Sakit harus menolong dan memberikan pelayanan demi nyawa hidup pasien

tanpa mementingkan biaya dan administrasi untuk Rumah Sakit.

Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

sudah menjelaskan bahwa Rumah Sakit dilarang menolak pasien yang

166 Ibid

Page 132: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

115

membutuhkan pertolongan dan tidak mementingkan uang muka terlebih

dahulu. Kejadian yang sering terjadi adalah Rumah Sakit menolak pasien

yang tidak mampu dengan berbagai macam alasan, sehingga pasien menjadi

terlantar dan bahkan tidak jarang pasien yang mendapat perlakuan seperti

itu mengalami kecacatan bahkan mati karena terlambat mendapatkan

penanganan dari rumah Sakit.

Pimpinan Rumah Sakit yang lebih mementingkan biaya dan

keuntungan bagi Rumah Sakit yang dipimpinya tanpa mementingkan nyawa

dan bahkan menolak pasien yang membutuhkan pelayanan medis dapat

dipidanakan. Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H ayat (1)

yang berbunyi setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat

tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta

berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Hal ini ditegaskan juga dalam

kewajiban Rumah Sakit untuk memberikan pertolongan tanpa

mengharuskan pasien melakukan pembayaran uang muka terlebih dahulu.

Dalam Pasal 29 ayat (1) huruf (e) dan (f) Undang-Undang Nomor 44

Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, menyebutkan bahwa setiap Rumah Sakit

mempunyai kewajiban antara lain:

Pasal 29 ayat (1) huruf e “menyediakan sarana dan pelayanan bagi

masyarakat tidak mampu atau miskin”.

Pasal 29 ayat (1) huruf f “melaksanakan fungsi sosial antara lain

dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin,

pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan

korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi

kemanusiaan”.

Page 133: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

116

Dalam Pasal 32 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun

2009 tentang Kesehatan, yaitu:

1) Pasal 32 ayat (1)

Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik

pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan

bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih

dahulu.

2) Pasal 32 ayat (2)

Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik

pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan /atau

meminta uang muka.

Undang-Undang Kesehatan juga mengatur pemidanaan kepada

pimpinan fasilitas kesehatan apabila terbukti melakukan pelanggaran dalam

menjalankan fungsi dan kewajiban Rumah Sakit yang diatur dalam Pasal

190 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,

yang berbunyi:

“Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan

yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan

kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan

pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2)

dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda

paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).”

Selain mengatur tentang pemidanaan terhadap rumah sakit yang

menolak memberikan pelayanan medis kepada pasien gawat darurat, disini

juga mengatur tentang pemberatan pemidanaan apabila penolakan

pelayanan medis oleh rumah sakit itu menimbulkan kematian, maka dapat

Page 134: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

117

dikenakan dengan Pasal 190 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun

2009 tentang Kesehatan, yang berbunyi sebagai berikut:

“Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas

pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana

dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda

paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

2. Tanggungjawab Hukum Pidana Dokter Terhadap Pasien yang

Ditelantarkan oleh Rumah Sakit

Dokter pada hakekatnya merupakan sebuah profesi yang sangat mulia,

yakni dengan memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan.

Dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang dokter, berlakulah adagium

aegroti salus lex suprema yang berarti keselamatan pasien adalah hukum

yang tertinggi.167 Sebelum menjalankan tugasnya di dalam masyarakat dan

untuk menjamin kualitas dan profesionalitas kerja seorang dokter, maka

dokter terlebih dahulu harus disumpah dengan tujuan agar dalam

melaksanakan tugas kedokteran yang di berikan kepadanya tidak

menyimpang dari nilai-nilai, etika, dan tujuan yang telah ditetapkan.

Sumpah Dokter Indonesia adalah sumpah seorang dokter/dokter gigi

sebelum melakukan jabatannya, maka dalam penyampaian sumpah ini di

ucapkan menurut cara agama yang dipeluknya. Sumpah Dokter Indonesia

didasarkan atas Deklarasi Jenewa (1948) dan pertama kali digunakan pada

167 Fauzul Aliwarman, ”Telaah Peran Dan TanggungJawab (Hukum) Dokter Atas

Penyembuhan Pasien”. Liga Hukum. Vol.1 No.2, Juni 2009, 69

Page 135: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

118

tahun 1959 dan diberikan kedudukan hukum dengan Peraturan Pemerintah

No. 26 Tahun 1960.168 Lafaz sumpah kedokteran tersebut berbunyi:

a. Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan

prikemanusiaan.

b. Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi

luhur jabatan kedokteran.

c. Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara terhormat dan

bersusila, sesuai dengan martabat pekerjaan saya sebagai dokter.

d. Saya akan menjalankan tugas saya dengan mengutamakan

kepentingan masyarakat.

e. Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena

pekerjaan saya dan keilmuan saya sebagai dokter.

f. Saya tidak akan mempergunakan pengetahuan kedokteran saya untuk

sesuatu yang bertentangan dengan kemanusiaan, sekalipun diancam.

g. Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan penderita.

h. Saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak

terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kesukuan, perbedaan

kelamin, politik kepartaian, atau kedudukan sosial dalam menunaikan

kewajiban terhadap pasien.

i. Saya akan menghormati setiap hidup insani mulia dari saat

pembuahan.

168 https://id.wikipedia.org/wiki/Sumpah_Dokter_Indonesia, diakses melalui web pada hari

Senin 05 Maret 2018, pada pukul 17:58 WIB

Page 136: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

119

j. Saya akan memberikan kepada guru-guru saya penghormatan dan

pernyataan terima kasih yang selayaknya.

k. Saya akan memperlakukan teman sejawat saya sebagaimana saya

sendiri ingin diperlakukan.

l. Saya akan mentaati dan mengamalkan kode etik kedokteran indonesia.

m. Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan

mempertaruhkan kehormatan diri saya.

Ucapan sumpah dimulai dengan kata-kata “Demi allah” bagi mereka

yang beragama islam, dan sumpah bagi mereka yang beragama lain dari

agama islam pemakaian kata-kata “Demi Allah” disesuaikan dengan

kebiasaan agamanya masing-masing.169 Mengamati isi dari lafaz sumpah

kedokteran yang didahului dengan kalimat taukid (penegasan) secara

langsung, misal wallahi, wabillahi, wathallahi, demi allah saya bersumpah,

ini mengisyaratkan bahwa begitu besar beban tugas dan tanggungjawab

yang harus dijalankan oleh seorang dokter. Dalam ajaran Islam kalimat

sumpah pembuka tersebut mengandung makna paling suci dan apabila

mengingkarinya, maka laknat allah akan datang di akhirat nanti.

Dengan adanya sumpah dokter itu menandakan bahwa dokter harus

senantiasa membaktikan dirinya kepada kemanusiaan, sebagai konsekuensi

dari sumpah tersebut dokter akan dikenai tanggungjawab profesi dalam

segala tindakannya. Menurut Fred Ameln dalam bukunya yang berjudul

Kapita Selekta Hukum Kedokteran menjelaskan tentang tanggungjawab

169 CST. Kansil, Pengantar Hukum Kesehatan Indonesia, PT. Rineka Cipta, Jakarta,

Cetakan Pertama 1991, hlm. 47

Page 137: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

120

dokter dalam menjalankan kewajibannya, dan membagi kedalam tiga (3)

kelompok:

1) Kewajiban yang berkenaan dengan fungsi sosial pemeliharaan

kesehatan (Healt Care).

Adalah seorang dokter harus lebih mengutamakan kepentingan

masyarakat dan tidak mengecilkan arti kepentingan seorang pasien.

Karenanya dalam melakukan kewajiban di sini, seorang dokter harus

memperhitungkan faktor kepentingan yang berhubungan dengan

masyarakat (Doelmatiggebruik). Seperti contoh, seorang dokter dalam

memberikan resep obat harus mempertimbangkan apakah obat

tersebut sangat dibuthkan atau tidak untuk kesembuhan pasien.

2) Kewajiban yang berhubungan dengan hak-hak pasien.

Adalah termasuk kewajiban seorang dokter untuk selalu

memperhatikan dan menghormati semua hak pasiennya. Adapun hak

pasien yang harus dihormati oleh seorang dokter, antara lain sebagai

berikut:

a. Hak atas informasi yang jelas mengenai penyakit yang diderita

pasiennya.

b. Hak untuk memberikan persetujuan atas tindakan medis yang

akan dilakukan terhadapnya (informed consent).

c. Hak atas rahasia kedokteran yang meliputi:

1. Hak atas itikad baik dokter

2. Hak untuk mendapatkan pelayanan medis sebaik-baiknya

Page 138: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

121

3) Kewajiban yang berhubungan dengan standar profesi dan yang timbul

dari standar profesi kedokteran.

Selain adanya tanggungjawab dokter dalam menjalankan

kewajibannya, seorang dokter juga harus dituntut mengutamakan

menjalankan kewajiban di atas hak-hak ataupun kepentingan

pribadinya. Kewajiban tersebut juga diatur dalam Kode Etik

Kedokteran Indonesia (KODEKI) yang di kelompokkan kedalam

empat (4) bagian utama:170

a) Kewajiban Umum

1) Harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan

sumpah dokter.

2) Harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran

yang tertinggi.

3) Tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan

pribadi.

4) Mengutamakan kepentingan pasien.

5) Perbuatan yang dipandang bertentangan dengan etik,

yaitu:

Setiap perbuatan yang memuji diri sendiri.

Secara sendiri-sendiri atau bersama-sama

menerapkan pengetahuan dan keterampilan

kedokteran dalam segala bentuk, tanpa kebebasan

profesi.

Menerima imbalan selain dari pada yang layak

sesuai dengan jasanya kecuali dengan keikhlasan,

sepengetahuan dan atau kehendak pasien.

6) Berhati-hati dengan penemuan teknik atau pengobatan

baru.

7) Memberi keterangan atau pendapat yang dapay dibuktikan

kebenarannya.

8) Memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang

menyeluruh (promotif, preventif, dan rehabilitatif), serta

berusaha menjadi pendidik dan pengabdi bagi masyarakat.

9) Dalam kerjasama dengan pihak lain harus memelihara

saling pengertian.

b) Kewajiban terhadap penderita

170 Lihat Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)

Page 139: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

122

1) Harus senantiasa mengingat akan kewajibannya untuk

melindungi hidup makhluk hidup.

2) Wajib bersikap tulus, ikhlas dan mempergunakan segala

ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan pasien.

3) Memberikan kesempatan kepada pasien agar dapat

berhubungan dengan keluarga.

4) Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang

seorang pasien, bahkan juga setelah pasien tersebut

meninggal.

c) Kewajiban terhadap teman sejawat

1) Memperlakukan teman sejawat sebagaimana

memperlakukan diri sendiri.

2) Tidak dibolehkan mengambil alih penderita dari teman

sejawatnya tanpa persetujuannya.

d) Kewajiban terhadap diri sendiri

1) Harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja

dengan baik.

2) Harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan.

Pada saat ini telah terjadi perubahan paradigma antara hubungan

Pasien dan Dokter yang menyebabkan hubungan antara dokter dengan

pasien menjadi sederajat, sehingga keduanya mempunyai hak yang

dilindungi oleh undang-undang. Perubahan paradigma hubungan Pasien dan

Dokter dapat dilihat pada tabel dibawah ini:171

Paradigma Lama Paradigma Baru

1. Layanan sosial kemanusiaan 1. Layanan/ ‘jual’ jasa di bidang

kesehatan

2. Hubungan sosial kemanusiaan 2. Hubungan kontrak jasa yang

khusus/istimewa

3. Penyerahan wewenang kepada

dokter sepenuhnya

3. Kewenangan di tangan pasien

(hak-hak pasien) sebagai pengguna

171 Mudzakkir, Bahan Ajar Hukum Pidana Kesehatan “Medical Error Tinjauan Dari

Hukum 1”

Page 140: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

123

jasa

4. Pasien subordinasi kewenangan

dokter

4. Dokter dan Pasien sederajat

5. Filosofi: sosial dan kemanusiaan 5. Filosofi bisnis “jasa kesehatan”:

muncul istilah “health consumers”

dan “health producers”

Perubahan paradigma ini mau tidak mau membuat hubungan hukum

antara keduannya sebagai hubungan kontrak yang bersifat khusus/istimewa.

Dalam menjalankan tugasnya sebagai produsen jasa pelayanan

kesehatan, dokter dalam melakukan tindakan medik harus mengikuti standar

profesi kedokteran. Menurut Leenen, seperti yang diterjemahkan oleh Fred

Ameln, mengenai perumusan standar profesi kedokteran adalah berbuat

secara teliti dan seksama menurut ukuran medik, sebagai seorang dokter

yang memiliki kemampuan rata-rata (average) dibanding dengan dokter dari

kategori keahlian medik yang sama, dalam situasi kondisi yang sama

dangan sarana upaya (middelen) yang sebanding/proporsional dengan tujuan

kongkrit tindakan atau perbuatan medik tersebut.

Seorang dokter dalam melakukan tindakan medik yaitu penyelamatan

nyawa terhadap pasien apabila telah memenuhi persyaratan yang diatur

dalam Peraturan perundang-undangan; Kode etik; dan Standar Profesi

Kedokteran atau dengan kata lain telah sesuai dengan standar yang ada,

maka sekalipun tindakan dokter tersebut menimbulkan akibat yang tidak

diinginkan atau kerugian kepada pasien, tindakan dokter tersebut tidak dapat

Page 141: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

124

dikategorikan sebagai tindakan malpraktek medik atau kelalaian medik dan

tidak melanggar hukum.172

Pasien juga selaku pihak yang meminta jasa dokter untuk

menyembuhkan penyakit yang dideritanya memiliki hak-hak yang harus

dihormati oleh para dokter. Oleh sebab itu dokter karena profesinya

mempunyai peran dan tanggungjawab penuh dalam melakukan upaya

penyembuhan terhadap pasiennya. Upaya yang dilakukan oleh seorang

dokter terhadap pasien tidak bisa menjaminkan kesembuhan seratus

persen.173 Jadi seorang dokter tidak boleh menjamin bahwa pasien akan

sembuh karena itu sudah melanggar etika, disiplin dan hukum, yang harus

dilakukan oleh dokter adalah mengupayakan semaksimal mungkin untuk

kesembuhan pasien.

Dokter dalam profesinya dituntut untuk bekerja sesuai standar

pelayanan medik, standar profesi dan standar prosedur operasional maka

hukum akan melindungi dokter apabila ada tuntutan yang diterima dari

pasien atau keluarga pasien.

Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran, standar profesi dan standar prosedur operasional dijelaskan

dalam penjelasan Pasal 50 yang isinya sebagai berikut:174

Yang dimaksud dengan “standar profesi” adalah batas kemampuan

(knowledge, skill and professional attitude) minimal yang harus

dikuasai oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan

172 Ibid, hlm. 13 173 Fauzul Aliwarman, Ilmu Hukum FH-UPNV Jawa Timur:”Telaah Peran Dan

TanggungJawab (Hukum) Dokter Atas Penyembuhan Pasien”. Liga Hukum. Vol.1 No.2, Juni

2009, 72 174 Lihat Penjelasan Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

Page 142: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

125

profesinalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh

organisasi profesi.

Yang dimaksud dengan “standar prosedur operasional” adalah suatu

perangkat instruksi/langkah-langkah yang dilakukan untuk

menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu. Standar prosedur

operasional memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan

konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi

pelayanan yang dibuat oleh sarana pelayanan kesehatan berdasarkan

standar profesi.

Dari penjelasan itu maka semakin menguatkan bahwa dokter yang

melaksanakan praktik kedokteran sesuai dengan standar profesi dan standar

operasional prosedur, berhak memperoleh perlindungan hukum. Standar

profesi tidak dibuat oleh dokter secara pribadi atau berdasarkan kemampuan

dan pengalamannya selama menjadi dokter, tetapi diatur didalam Undang-

undang Praktik Kedokteran menyebutkan bahwa yang berhak membuat

standar profesi adalah organisasi profesi. Organisasi profesi yang berlaku

saat ini adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI), namun dalam hal standar

profesi bidang spesialiasi diserahkan kepada ikatan profesi dibidang

spesialisasi masing-masing.175

Selain standar profesi Undang-Undang Praktik Kedokteran juga

menyebut adanya Standar prosedur operasional. Komalawati menyebut

standar prosedur operasional sebagai prosedur yang diuraikan oleh pemberi

pelayanan kesehatan dan setiap spesialisasi, yang dalam aplikasinya

disesuaikan dengan fasilitas Rumah Sakit dan sumber daya Rumah Sakit

175 Wawancara dengan Drg.Nugroho Wijayanto, Dokter Gigi, pada tanggal 05 Maret 2018

pukul 21.00 WIB

Page 143: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

126

yang ada. Standar prosedur operasional ini juga merupakan acuan bagi

Rumah Sakit karena dapat mengikuti kondisi Rumah Sakit dimana prosedur

tersebut ditetapkan. Dalam pembuatannya juga harus mengacu atau

berpedoman kepada standar profesi yang telah ditetapkan oleh organisasi

profesi.176

Adanya standar profesi dan standar prosedur operasional yang telah

menjadi acuan baku bagi sokter dalam melakukan tindakan medis, tidak

menutup kemungkinan tidak terjadinya konflik antara dokter dan pasien.

Seperti contoh banyaknya kasus penelantaran pasien oleh Rumah Sakit

akhir-akhir ini mau tidak mau menggiring opini publik bahwa dokter di

anggap tidak melakukan pekerjaannya sebagai orang yang diberikan ilmu

lebih oleh Allah Yang Maha Kuasa untuk memberikan pertolongan terhadap

orang yang sakit dengan baik.

Setiap profesi pasti mempunyai tanggungjawab hukum terhadap

profesinya masing-masing, ntah itu profesi advokat, profesi notaris, profesi

dokter, dan lain-lain. Dokter dapat dimintai tanggungjawab apabila dokter

telah berbuat kesalahan atau kelalaian. Seorang tenaga kesehatan baru dapat

dikatakan telah melakukan kesalahan atau kelalaian apabila dalam

melakukan pekerjaannya tidak sesuai dengan standar profesi kedokteran dan

tidak sesuai dengan prosedur tindakan medik. Kesalahan atau kelalaian yang

dilakukan oleh tenaga kesehatan dapat dituntut secara pidana apabila

176 https://budi399.wordpress.com/2010/11/22/standar-profesi/ , diakses melalui web pada

hari Rabu 07 Maret 2018, pada pukul 17:17 WIB

Page 144: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

127

perbuatan yang dilakukan itu memenuhi unsur-unsur pidana dan dapat juga

dimintai ganti rugi secara perdata apabila pasien menderita kerugian.

Penuntutan secara pidana hanya dapat dilakukan dalam hal pasien

mengalami cacat permanen atau meninggal dunia setelah mendapatkan

penangan dari dokter yang menanganinya dalam hal ini di kenal dengan

istilah culpa lata. Dalam proses penuntutannya harus terlebih dahulu

dibuktikan apakah dokter tersebut dalam melakukan tindakan medis telah

sesuai dengan standar prosedur operasional atau tidak, apabila dokter telah

melakukan tindakan medis sesuai dengan standarnya maka dokter tidak bisa

dipersalahkan.177

Dalam penanganan pasien setiap dokter mempunyai tanggungjawab

hukum yang berbeda antara dokter yang satu dengan yang lainnya dalam

melakukan pelayanan medis. Perbedaan itu ada pada tempat dimana

dilakukannya pelayanan medis tersebut. Sebagai contoh, tanggungjawab

hukum seorang dokter praktek swasta yang melakukan pelayanan medis

diluar jam dinas berbeda dengan tanggungjawab hukum seorang dokter

yang melakukan pelayanan medis pada saat jam dinasnya. Apabila

dilakukan di luar jam dinas maka dokter memiliki tanggungjawab hukum

secara mandiri. Sebaliknya apabila dokter melakukan tindakan medis pada

saat jam dinasnya maka pemerintah dalam hal ini sebagai atasannya ikut

bertanggungjawab, begitu juga bagi dokter yang bekerja di rumah sakit

swasta atasannya juga ikut bertanggungjawab.

177 Wawancara dengan dr.Nuri Ulfa, Dokter Umum di Rumah Sakit Manna, Bengkulu

Selatan, pada tanggal 06 Maret 2018 pukul 15:15 WIB

Page 145: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

128

Atasan bertanggungjawab atas perbuatan dokter yang sedang

melakukan tugasnya, baik itu atasan dari Rumah Sakit Pemerintah ataupun

Rumah Sakit Swasta hal itu didasarkan pada dokter tersebut bekerja untuk

dan atas nama Rumah Sakit yang bersangkutan, serta didalam

pelaksanaanya dokter terikat pada peraturan kerja yang ada pada Rumah

Sakit tersebut.

Didalam prakteknya persoalan pertanggungjawaban dokter yang

bekerja di Rumah Sakit tidaklah mudah dan sesederhana yang dikemukakan

penjelasan diatas, sebab sebelum menentukan dokter itu bersalah dan dapat

dimintai pertanggungjawaban atas tindakannya, terlebih dahulu harus ada

audit medik dari pihak Rumah Sakit terlebih dahulu yang menentukannya.

Apabila hasil dari audit medit itu sudah ditemukan dan ternyata adanya

kesalahan yang dilakukan dokter yang tidak sesuai dengan standar profesi

dan standar prosedur operasional maka barulah dokter dapat dimintai

pertanggungjawabannya.

Selain itu, dalam penentuan siapa yang dikenai tanggungjawab atas

perbuatan dokter yang tidak sesuai dengan prosedur tersebut, terlebih

dahulu harus diperhatikan status dari tenaga dokter yang bekerja pada saat

menangani pasien di Rumah Sakit tersebut. Pada nyatanya dokter yang

bekerja pada suatu Rumah Sakit digolongkan kedalam 2 golongan, yaitu:178

178 Swis Niza Yulianty, Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit Dalam Kasus

Malpraktek, Skripsi FH UII, 2005, hlm.

Page 146: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

129

a) Dokter karyawan (employee)

Dokter yang harus datang pada saat jam kerja dan melakukan

pelayanan medis pada jam dinasnya untuk dan atas nama Rumah Sakit

dan dokter tersebut terikat kepada peraturan-peraturan yang terdapat

didalam Rumah Sakit. Pertanggungjawaban hukum terhadap segala

perbuatan dokter karyawan yang ada di Rumah Sakit pada saat

menjalankan pekerjaannya melakukan pelayanan medis untuk dan atas

nama Rumah Sakit dapat dibebankan kepada atasannya, selama

tindakan medis tersebut dilakukan sesuai dengan standarnya.

b) Dokter Tamu (Independent contractor)

Dokter yang bekerja secara mandiri bukan untuk dan atas nama

Rumah Sakit, dan dalam melakukan pekerjaannya di Rumah Sakit

tersebut tidak terikat pada peraturan internal dan jam dinas Rumah

Sakit, ia bergerak secara bebas dan tidak berada di bawah pengawasan

pihak Rumah Sakit. Biasannya dokter tamu ini merupakan dokter ahli

atau spesialis, seperti dokter ahli bedah dan dokter anestesi. Tanggung

jawab hukum dokter tamu dibebankan kepada dokter tamu itu sendiri,

atas perbuatan yang mengakibatkan kerugian terhadap pasien yang

sedang ditanganinya. Karena lazimnya pasien yang ditangani oleh

dokter tamu merupakan pasien pribadi dari dokter tamu tersebut.

Menurut Mudzakkir, Tanggungjawab hukum dokter itu tergantung

pada situasinya dan perbuatan yang dilakukan, apakah dokter tersebut

Page 147: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

130

dikenakan tanggung jawab hukum administrasi, hukum perdata, dan hukum

pidana, maka dari itu harus menunggu keputusan hasil audit medik.179

Dalam menjalankan profesinya dokter pasti mempunyai

tanggungjawab hukum untuk mempertanggungjawabkan semua hasil

tindakan medis yang telah dia lakukan. Tanggungjawab hukum dokter

merupakan suatu keterikatan dokter terhadap ketentuan-ketentuan hukum

dalam menjalankan profesinya. Tanggungjawab hukum ini terbagi menjadi

3 (tiga) macam, yaitu tanggungjawab berdasarkan hukum administrasi,

hukum perdata, dan hukum pidana.

Berdasarkan landasan hukum yang telah dijelaskan pada paragraf

diatas, berikut terdapat contoh kasus yang menjadi pertanyaan bagi penulis

mengenai tanggungjawab dokter terhadap pasien yang ditelantarkan oleh

pihak Rumah Sakit. Dalam kasus meninggalnya bayi Deborah Simanjorang

karena terkendala masalah administrasi dengan pihak Rumah Sakit. Dokter

selaku tenaga fungsional yang bertugas untuk memeriksa pasien tidak

mengetahui persoalan pasien yang masih terkendala masalah administrasi

karena itu merupakan urusan pasien dengan bagian administrasi Rumah

Sakit dan menjadi tanggungjawab Rumah Sakit.180

Dokter hanya mengetahui bahwa ada pasien yang bernama Deborah

datang ke Rumah Sakit dalam keadaan gawat darurat, kemudian dokter

langsung memberikan pertolongan pertama kepada bayi Deborah dengan

179 Wawancara ahli hukum pidana Muddzakir, pada tanggal 12 Februari 2018 pukul 11:14

WIB 180 Wawancara dengan dr.Nuri Ulfa, Dokter Umum di Rumah Sakit Manna, Bengkulu

Selatan, pada tanggal 06 Maret 2018 pukul 15:15 WIB

Page 148: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

131

cara menyedot lendir, memasang selang organ lambung dan intubasi

(Pemasangan selang nafas). Selain itu, dokter juga melakukan pemompaan

oksigen dengan menggunakan tangan melalui selang nafas, infus, obat

suntikan, serta memberikan pengencer dahak (nebulizer).

Setelah dokter melakukan tindakan medis kondisi bayi Deborah

dinyatakan membaik setelah tindakan intubasi selesai dilakukan, walaupun

dokter menyatakan kondisi Bayi Deborah masih dalam keadaan kritis.

Dokter menganjurkan kepada orang tua Deborah agar penanganan Deborah

dilakukan di ruang Pedriatic Intensive Care Unit (PICU).

Atas tindakan dokter yang memberikan pertolongan gawat darurat

kepada bayi Deborah, maka kewajiban sebagai dokter yang diatur dalam

Pasal 51 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran telah dilakukan.

Dalam kasus penelantaran yang dilakukan oleh Rumah Sakit kepada

pasien yang terkendala masalah administrasi, maka dokter selaku tenaga

fungsional di Rumah Sakit tidak mempunyai tanggungjawab apabila terjadi

hal yang tidak diinginkan kepada pasien. Tugas dokter hanya memberikan

tindakan medis kepada pasien yang membutuhkan pertolongan bahkan

dalam kondisi pasien gawat darurat.181 Bahkan dokter ketika ada pasien

yang masuk ke ruang IGD yang membutuhkan pertolongan dokter

secepatnya, tanpa menanyakan latar belakang atau tanpa meminta pasien

atau keluarga pasien untuk mengurus administrasi terlebih dahulu dokter

181 Wawancara dengan dr.Nuri Ulfa, Dokter Umum di Rumah Sakit Manna, Bengkulu

Selatan, pada tanggal 06 Maret 2018 pukul 15:15 WIB

Page 149: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

132

langsung melakukan tindakan karena itu sudah menjadi kewajiban dokter

dan sumpahnya.182

Ketika kondisi pasien sudah dapat dikatakan stabil maka dokter baru

meminta keluarga pasien untuk mengurus administrasi dan memindahkan

pasien ke dalam ruangan untuk diobservasi apabila pasien tersebut harus

melakukan rawat inap, namun apabila kondisi pasien sudah sangat baik

maka dokter juga menyampaikan kepada pihak keluarga bahwa pasien

tersebut tidak harus di rawat dan sudah dizinkan untuk pulang dan

melakukan rawat jalan.183 Kondisi pasien harus dinyatakan stabil dulu baru

bisa dipindahkan ke ruangan karena itu sudah menjadi aturan tindakan

medis kedokteran. Seperti contoh ada orang yang berhenti jantung, ketika

detak jantungnya belum kembali normal dan kondisinya belum stabil dokter

tidak bisa memindahkannya ke ruangan, saat kondisi pasien sudah stabil dan

detak jantungnya sudah kembali normal baru dokter melakukan konsultasi

dengan dokter spesialis untuk di masukkan keruangan selanjutnya dan

mendapatkan tindakaan selanjutnya dari dokter spesialis.184

Pemberian tindakan medis yang cepat oleh dokter itu masih

merupakan tanggungjawab dokter untuk melakukan tindakan penyelamatan

nyawa pasien, lain halnya kalau sudah masalah administrasi dan keuangan

sudah tidak menjadi tanggungjawab dokter lagi itu sudah menjadi urusan

182 Wawancara dengan dr.Nuri Ulfa, Dokter Umum di Rumah Sakit Manna, Bengkulu

Selatan, pada tanggal 06 Maret 2018 pukul 15:15 WIB 183 Wawancara dengan dr.Nuri Ulfa, Dokter Umum di Rumah Sakit Manna, Bengkulu

Selatan, pada tanggal 06 Maret 2018 pukul 15:15 WIB 184 Wawancara dengan dr.Nuri Ulfa, Dokter Umum di Rumah Sakit Manna, Bengkulu

Selatan, pada tanggal 06 Maret 2018 pukul 15:15 WIB

Page 150: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

133

orang struktural. Dokter hanya menjadi pekerja tenaga medis di Rumah

Sakit yang tunduk pada aturan rumah sakit , jadi apa yang di perintahkan

atasan itulah yang menjadi pekerjaannya.

Page 151: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

134

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari semua uraian diatas maka dapat ditarik suatu kesimpulan yaitu:

1) Berdasarkan pembahasan mengenai pertanggungjawaban pidana

Rumah Sakit pada bab sebelumnya, dapat ditarik sebuah kesimpulan

bahwa secara umum peristiwa yang terjadi didalam suatu Rumah

Sakit dapat dipertanggungjawabkan kepada Rumah Sakit yang itu

sesuai dengan doktrin Vicarious Liability. Rumah sakit sebagai

korporasi atau rechpersoon yang mempunyai tugas dan kewajiban

untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat secara

menyeluruh tanpa membedakan suku, ras, agama dan kepercayaan

tidak boleh menelantarkan pasien atau bahkan orang yang dalam

kondisi gawat darurat membutuhkan pertolongan. Rumah sakit tidak

dapat membiarkan pasien yang membutuhkan pertolongan, bahkan

Rumah Sakit harus menolong dan memberikan pelayanan demi nyawa

hidup pasien tanpa mementingkan biaya dan administrasi untuk

Rumah Sakit. Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan sudah menjelaskan bahwa Rumah Sakit dilarang menolak

pasien yang membutuhkan pertolongan dan tidak mementingkan uang

muka terlebih dahulu. Pimpinan Rumah Sakit yang lebih

mementingkan biaya dan keuntungan bagi Rumah Sakit yang

dipimpinya tanpa mementingkan nyawa dan bahkan menolak pasien

Page 152: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

135

yang membutuhkan pelayanan medis dapat dipidanakan sesuai dengan

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 190

ayat (1) dan (2). Rumah sakit sebagai rechpersoon harus mendapatkan

sanki pidana juga berupa Denda, Pencabutan Izin-izin, dan

Pembubaran korporasi.

2) Terkait dengan tanggungjawab hukum dokter terhadap pasien yang

ditelantarkan Rumah Sakit, dalam kasus penelantaran yang dilakukan

oleh Rumah Sakit kepada pasien yang terkendala masalah

administrasi, maka dokter selaku tenaga fungsional di Rumah Sakit

tidak mempunyai tanggungjawab apabila terjadi hal yang tidak

diinginkan kepada pasien. Dokter yang ada di Rumah Sakit hanya

berstatus sebagai pegawai yang digaji oleh Rumah Sakit, jadi apa

yang sudah diperintahkan oleh atasan itu menjadi kerjanya. Secara

etika profesi, dokter tidak ada melanggar etikanya sebagai dokter jika

permasalahannya timbul dari bagian administrasi Rumah Sakit. Tugas

dokter hanya memberikan tindakan medis kepada pasien yang

membutuhkan pertolongan sekalipun dalam kondisi pasien gawat

darurat. Dokter dalam hubungan perjanjian dan sumpah profesinya

mempunyai peran dan tanggungjawab yang tidak main-main dalam

melakukan upaya penyembuhan. Oleh karena itu dokter tidak boleh

menjanjikan kepada pasien bahwa menjamin hasil seratus persen

kesembuhan. Tapi yang dijamin adalah suatu upaya yang sungguh-

Page 153: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

136

sungguh dari seorang dokter secara maksimal sesuai dengan standar

yang berlaku.

B. SARAN

Rumusan Masalah 1 :

1) Pemerintah harus lebih bisa aktif lagi dalam mengantisipasi agar tidak

terjadinya penelantaran yang dilakukan oleh rumah Sakit baik Rumah

Sakit Pemerintah maupun Rumah Sakit Swasta hanya dikarenakan

masalah uang muka.

2) Sebaiknya pemerintah pusat melalui Kementrian Kesehatannnya bisa

bersikap tegas dengan cara membuat aturan baku untuk seluruh

Rumah Sakit terkait dengan Standar Operasional Prosedur (SOP)

Administrasi Rumah Sakit, supaya tidak ada lagi perbedaan antara

Rumah Sakit Pemerintah dan Rumah Sakit Swasta dan jangan sampai

Rumah Sakit hanya mementingkan bisnis semata.

3) Pemerintah harus lebih aktif lagi memeriksa dan mendata setiap

Rumah Sakit yang ada apakah telah terkoneksi asuransi BPJS atau

belum, sehingga tidak ada lagi Rumah Sakit yang tidak melayani atau

tidak menanggung pasien dengan asuransi BPJS.

Rumusan Masalah 2 :

1) Dokter dalam menjalankan tugasnya harus selalu berpedoman kepada

Kode Etik Kedokteran Indonesia.

2) Sebaiknya dibuat rumusan yang pasti mengenai penelantaran medis di

dalam sebuah undang-undang sehingga semua pihak mengerti

Page 154: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

137

batasan-batasan menenai penelantaran medis tersebut agar

menghindari tuntutan yang ditujukan kepada dokter.

Page 155: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

138

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Adami Chazawi, Malpraktik Kedokteran, Sinar Grafika, Jakarta, 2016.

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 2005.

Ahmad Wardi Muslich, Euthanasia Menurut Pandangan Hukum Positif dan

Hukum Islam, Rajawali Pers, Jakarta, 2014.

Alexandra Ide, Etika&Hukum dalam Pelayanan Kesehatan, Grasia Publisher,

Yogyakarta, 2012.

Asmuni & Suarni, Waktu Tunggu Pasien pada Pelayanan Rekam Medis Rawat

Jalan di Rumah Sakit, Bina Cipta, Bandung, 2008.

Asadulloh Al Faruk, Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam, Ghalia

Indonesia, Jakarta, 2009.

Benyamin Lumenta, Pelayanan Medis Citra, Konflik, dan Harapan, Cetakan

Pertama, Kanisius, 1989.

CST. Kansil, Pengantar Hukum Kesehatan Indonesia, PT. Rineka Cipta, Jakarta,

Cetakan Pertama 1991.

Dalmy Iskandar, Rumah Sakit, Tenaga Kesehatan, dan Pasien, Sinar Grafika,

Jakarta, 1998.

Endang Wahyati Yustina, Mengenal Hukum Rumah Sakit, Keni Media, Bandung,

2012.

Hasbi Ash-Shiddiqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Bulan Bintang, Jakarta, 1984.

J. Guwandi, Hukum Rumah Sakit dan Corporate Liability, Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, Jakarta, 2011.

_________, Hospital Law:Emerging doctrines&jurisprudence, Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2002.

M.Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, Amzah, Jakarta, 2013.

M.Arif Setiawan, Aspek Hukum Pembiaran Medis, Diskusi Panel, Fakultas

Hukum Universitas Islam Indonesia, 19 September 2017.

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.

Marsum, Jinayat Hukum Pidana Islam, Bagian Penerbitan Fakultas Hukum

Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1984.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008.

Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Edisi

Revisi, Kencana, Jakarta, 2010.

Mukmin Zakie, Pertanggungjawaban Rumah Sakit terhadap Penanganan Pasien

Gawat Darurat dalam Perspektif Hukum Kesehatan dan Hukum

Administrasi Negara, Diskusi Panel, Fakultas Hukum Universitas Islam

Indonesia, 19 September 2017.

Mudzakkir, Bahan Ajar Hukum Pidana Kesehatan “Medical Error Tinjauan Dari

Hukum 1” Semester VI, 2017.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2008.

Siska Elvandari, Hukum Penyelesaian Sengketa Medis, Thafamedia, Yogyakarta,

2015.

Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Penerbit Universitas

Indonesia 1986.

Page 156: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

139

Sri Siswati, Etika dan Hukum Kesehatan: Dalam Perspektif Undang-Undang

Kesehatan, Jakarta, Rajawali Pres, 2013.

Syahrul Machmud, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum (Bagi dokter

yang diduga melakukan medikal malpraktek), Karya Putra Darwati,

Bandung, 2012.

Jurnal :

Cahyo Agi Wibowo, Hari Wahyudi, dan Sudarto, Penolakan Pelayanan Medis

Oleh Rumah Sakit Terhadap Pasien Yang Membutuhkan Perawatan

Darurat, Volume 1 No.1, April 2017.

Fauzul Aliwarman, Telaah Peran Dan TanggungJawab (Hukum) Dokter Atas

Penyembuhan Pasien, Ilmu Hukum FH-UPNV Jawa Timur, Liga Hukum.

Vol.1 No.2, Juni 2009.

Hasrul Buamona, Tanggungjawab Pidana Korporasi Rumah Sakit, Jurnal Hukum

Novelty, Volume.7 No.1 Februari 2016.

Peraturan Perundang-Undangan :

Pasal 28 H ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Peraturan Mentri Kesehatan Nomor 159b Tahun 1988

Peraturan Mentri Kesehatan Nomor 40 Tahun 2012 tentang pedoman pelaksanaan

program jaminan kesehatan BAB IV Ketentuan Umum poin 3.

Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)

Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI)

Data Elektronik :

http://m.bisnis.com/jakarta/read/20170911/77/688745/kronologi-meninggalnya-

bayi-debora , diakses pada hari Sabtu, 07 Oktober 2017.

https://news.okezone.com/read/2017/09/09/337/1772710/ini-kronologi-kematian-

bayi-debora-versi-rs-mitra-keluarga#lastread , diakses pada hari Minggu, 08

Oktober 2017.

https://www.google.com/amp/amp.kompas.com/nasional/read/2017/09/11/180401

31/kasus-bayi-debora-komisi-ix-cibir-rekomendasi-kemenkes-lunak-

terhadap-rs?espv=1 , diakses pada hari Minggu, 08 Oktober 2017.

http://regional.kompas.com/read/2017/07/05/20440171/dituding.telantarkan.pasie

n.hingga.meninggal.rs.siloam.diamuk.ratusan.warga, diakses pada hari

Senin, 09 Oktober 2017.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses melalui internet pada website

www.kbbi.web.id pada hari Minggu, 15 Oktober 2017.

http://www.academia.edu/25850293/Pertanggungjawaban_Pidana_Rumah_Sakit_

atas_Tindakan_Tenaga_Kesehatan, diakses pada hari Sabtu, 23 Desember

2017.

https://bismar.wordpress.com/ diakses pada hari Sabtu, 16 Desember 2017.

Page 157: PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM F A K U L T A S H U K U M ...

140

https://id.wikipedia.org/wiki/Sumpah_Dokter_Indonesia, diakses melalui web

pada hari Senin 05 Maret 2018.

https://budi399.wordpress.com/2010/11/22/standar-profesi/ , diakses melalui web

pada hari Rabu 07 Maret 2018.

https://tafsirq.com/21-al-anbiya/ayat-11 diakses pada hari Senin, 05 maret 2018.

https://intinebelajar.blogspot.co.id/2016/12/hadits-tentang-tolong-menolong.html

diakses pada hari Minggu, 11 Maret 2018.

Sumber Lain

ABD.Mannan, Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Pertanggungjawaban

Pidana Korporasi Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi (Studi Pasal 20 UU.No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi), Skripsi Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta, 2009.

Wawancara dengan Drg.Nugroho Wijayanto, Dokter Gigi, pada tanggal 05 Maret

2018.

Wawancara dengan dr.Nuri Ulfa, Dokter Umum di Rumah Sakit Manna,

Bengkulu Selatan, pada tanggal 06 Maret 2018.

Wawancara dengan Ahli Hukum Pidana Muddzakir, pada tanggal 12 Februari

2018.