Top Banner
KOHERENSI PARADIGMA NEW PUBLIC SERVICE dengan Kebijakan Kewarganegaraan Sebagai Pendidikan Umum di Perguruan Tinggi Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si. 9 789799 330956 ISBN 978-979-9330-95-6 dengan Kebijakan Kewarganegaraan KOHERENSI PARADIGMA New Public Service sebagai Pendidikan Umum di Perguruan Tinggi
67

Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

Oct 25, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

KOHERENSI PARADIGMANEW PUBLIC SERVICE

denganKebijakan Kewarganegaraan

SebagaiPendidikan Umum

di Perguruan Tinggi

Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si.

9 789799 330956

ISBN 979933095-5ISBN 978-979-9330-95-6

dengan Kebijakan Kewarganegaraan

KOHERENSI PARADIGMANew Public Service

sebagai Pendidikan Umum

di Perguruan Tinggi

Page 2: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

iKata Pengantar

KOHERENSI PARADIGMA NEW PUBLIC SERVICEDENGAN KEBIJAKAN

KEWARGANEGARAAN SEBAGAI PENDIDIKAN UMUM

DI PERGURUAN TINGGI

Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si.

CV. Maulana Media Grafika

Page 3: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

ii Kata Pengantar

Koherensi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan sebagai Pendidikan Umumdi Perguruan TinggiPenulis : Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si.

Copy Right © 2021 pada PenulisHak cipta dilindungi Undang-Undang, tidak diperkenankan memperbanyak isi buku ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari PenulisAnggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI)ISBN : 978-979-9330-95-6Lay Out : Angga HaryantoDesain Cover : Tim Kreatif Maulana Media GrafikaSumber Gambar Cover : www.google.image.comDiterbitkan Oleh : CV. Maulana Media Grafika Jalan Yupiter VII 53 C Bandung (022) 7564428 E-mail: [email protected]

Undang-undang No. 12 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000.00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Ro. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

Page 4: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

iKata Pengantar

KATA PENGANTAR

Substansi tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan landasan teori (basic theoretical fondations) tentang Koherensi Paradigma New Public Service (NPS) dengan Kebijakan Kewarganegaraan (PKn). Namun karena tulisan dari para pakar yang membahas secara spesifik mengenai koherensi yang menyangkut kedua variabel tersebut belum berhasil penulis temukan, maka tulisan ini lebih bersifat penjelajahan akademik, dalam ruang dan kapasitas akademik yang terbatas. Kondisi ini menimbulkan 2 (dua) konsekwensi, yaitu pertama; dipandang perlu menyajikan landasan-landasan teori dari 2 (dua) substansi yang dibahas yaitu 1) Paradigma New Public Service (NPS) dan 2) PKn sebagai Domain Kebijakan Publik. Konsekwensi kedua ialah bahwa tulisan ini lebih bersifat komprehensif dan meluas (breadth) ketimbang mendalam (depth), karena penulis memandang perlu menyajikan landasan teori yang relatif memadai. Implikasinya pandangan-pandangan para ahli terkait 2 (dua) variabel tersebut banyak dirujuk sedemikian rupa sehingga mendekati aslinya. Dengan kata lain dalam tulisan ini penulis tidak banyak menggunakan teknik pengutipan paraprase sebagaimana dituntut dalam model penulisan artikel untuk dimuat dalam jurnal ilmiah.

Secara garis besar substansi makalah ini terdiri atas 4 (empat) bagian, yaitu 1) Gagasan inti kebijakan publik, 2) Landasan teoritik Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi sebagai domain kebijakan publik, 3) Gagasan inti Paradigma NPS (diawali uraian tentang gagasan inti Old Public Administration (OPA) dan New Public Management (NPM)), dan 4) Koherensi Paradigma NPS dengan Kebijakan Pendidikan Kewarganegaraan.

Page 5: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

ii Kata Pengantar

Tulisan ini pernah dipresentasikan dalam Seminar Akademik yang diselenggarakan oleh Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia. Sejak itu tulisan ini belum pernah dipublikasikan. Perlu diutarakan pula bahwa konten yang dimuat dalam buku ini, sejak disampaikan dalam seminar tersebut, belum dilakukan revisi atau perubahan.

Penulis menyadari atas berbagai keterbatasan yang ada khususnya terkait keterbatasan kapasitas akademik penulis. Tentu hal tersebut berimplikasi kepada kualitas substansi dan penulisan tulisan ini. Oleh karena itu penulis terbuka untuk memperoleh input yang konstruktif untuk penyempurnaan tulisan ini. Namun sampai tahap ini, apapun adanya terkait kualitas tulisan ini, penulis tetap bersyukur dan disertai harapan, semoga buku ini memenuhi fungsi sebagaimana mestinya. Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi kontribusi akademik sehingga tulisan ini dapat diselesaikan.

Semoga Allah Tuhan yang Maha Welas-Asih membalas kebaikan Bapak/Ibu/Saudara semua, dengan pahala yang berlipat ganda, aamiin ya Robbal’aalamiin.

Bandung, 8 Februari 2020 Penulis

Page 6: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

iiiDaftar Isi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR iDAFTAR ISI iii

BAB 1 PENDAHULUAN 1BAB 2 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SEBAGAI DOMAIN KEBIJAKAN PUBLIKA. Kebijakan Publik dan Ruang Lingkupnya 8B. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Domain Kebijakan Publik 12C. Simulasi Analisis Implementasi Kebijakan Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Teori Implementasi Kebijakan Publik 18D. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Pendidikan Umum dan Karakter 22BAB 3 KOHERENSI PARADIGMA NEW PUBLIC SEVICE (NPS) DENGAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI PERGURUAN TINGGIA. Gagasan Inti Paradigma Old Public Administration (OPA) dan Paradigma New Public Management (NPM) 27B. Paradigma New Public Service (NPS) 31C. Koherensi Paradigma New Public Service (NPS) dengan Kebijakan Pendidikan Kewarganegaraan 39BAB 4 PENUTUP 47DAFTAR PUSTAKA 50INDEX 55DAFTAR RIWAYAT HIDUP 59

Page 7: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

iv Daftar Isi

Page 8: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

1Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

PendahuluanBab 1

P ada era reformasi ini sering kita dengar pernyataan dari elemen masyarakat tertentu bahwa demokrasi kita sudah kebablasan. Di lain pihak pada era orde lama dan orde

baru dinilai sebagai era otoriter atau kurang demokratis. Berbicara fenomena tersebut adalah menyangkut 2 (dua) hal, yaitu pertama terkait hubungan negara dengan warga negara, dan yang kedua, dan ini yang merupakan akarnya, adalah terkait Paradigma Administrasi Publik apa yang diimplementasikan pada masing- masing era tersebut.

Secara filosofis, membahas tentang hubungan negara dengan warga negara berarti berbicara peran dan tanggung jawab warga negara dalam suatu negara. Isu ini sangat menarik dan belum pernah selesai dibahas termasuk di kalangan para pemikir Barat. Hal ini sejalan dengan pandangan Pocock (1995) dalam Denhardt & Denhardt (2007) bahwa sejarah kewarganegaraan dalam pemikiran politik Barat dapat dilihat sebagai “dialog yang belum selesai (unfinished dialogue)” antara yang ideal dengan yang nyata. Teori klasik kewarganegaraan akan merujuk kepada pemikiran klasik dari Yunani dan Romawi.

Pemikiran Yunani mengenai teori kewarganegaraan menurut Pocock (1995) dalam Denhardt & Denhardt (2007) adalah merujuk kepada pemikiran Aristoteles (384-322 SM). Dalam pandangan Aristoteles, manusia adalah makhluk yang aktif, sosial, dan bermoral yang peduli dengan tujuan hidup (…humans are active, social, and moral beings, concerned with the purpose of life…). Mereka berusaha untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi dan harus terlibat dalam penentuan nasib sendiri. Untuk

Page 9: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

2 Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

itu warga negara bergabung satu sama lain dalam membuat keputusan dengan semangat saling menghormati otoritas orang lain, dan semua sepakat menaati keputusan tersebut. Menurut Aristoteles warga negara adalah makhluk politik atau the citizen as a political being (Pocock, 1995, dalam Denhardt & Denhardt, 2007: 46).

Pandangan alternatif yang ditelusuri Pocock dalam Denhardt & Denhardt (2007: 46), adalah merujuk ke ahli hukum Romawi yang bernama Gaius (110- 180 M). Dalam pandangannya warga negara adalah makhluk hukum, the citizen as a legal being, yang ada di dunia orang-orang, tindakan-tindakan, dan alat-alat. Konsep alat-alat adalah yang membedakan pandangan Aristoteles dengan Gaius. Dalam pandangan Aristoteles, warga negara tidak bertindak berdasarkan alat-alat seperti tanah dan perdagangan, melainkan warga negara adalah orang-orang yang bertindak atas nama seseorang, sehingga hidup aktif adalah kehidupan yang heroik moral. Bagi Gaius, orang terutama bertindak berdasarkan alat-alat, sebagian besar tindakan mereka terfokus pada mengambil atau mempertahankan kepemilikan barang. Bagi Gaius, kewarganegaraan menjadi status hukum, seseorang mungkin terkait hak tertentu, terutama kepemilikan, tapi bukan hak moral dan politik. Lebih lanjut Gaius menjelaskan bahwa warga negara tegasnya menurut pandangan Gaius dalam Denhardt & Denhardt (2007: 47): citizenship then become a legal status, one associated perhaps with certain rights, especially property rights, but not moral or political one, tunduk kepada 2 hal, yaitu kepada hukum dan penguasa (pemerintah).

Untuk makin mempermudah pemahaman kita terhadap kedua pemikiran klasik tersebut maka dapat dilihat gambar sebagai berikut:

Page 10: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

3Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

Gambar 1Kontinum Teori Dasar Kewarganegaraan

Ke arah mana pendulum dalam kontinum tersebut akan digerakkan? Jawabannya adalah tergantung Paradigma Administrasi Publik apa yang akan diimplementasikan dalam sistem politik yang berlaku. Kuncinya ada pada kebijakan yang diambil oleh Pemerintah yang memiliki fungsi esensial yaitu serving, empowering, developing, dan regulating. Apakah regulasi yang dibuat akan berfokus kepada terbentuknya karakter warga negara yang taat hukum dan loyal kepada pemerintah yang sah. Atau sebaliknya, kebijakannya akan diarahkan kepada penguatan karakter warga negara yang aktif dan bertanggung jawab dalam sistem politik yang dihadirkan. Dalam perspektif lain, problem statement-nya apakah ruang (partisipasi) publik akan dipersempit untuk meningkatkan kepatuhan/ketaatan kepada hukum dan loyal kepada kebijakan pemerintah. Atau sebaliknya, pemerintahan (dalam arti luas) akan membuat kebijakan (regulasi) yang memperluas ruang publik (public sphere) yang mengkondisikan terbuka luasnya partisipasi politik masyarakat?

Page 11: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

4 Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

Deskripsi tentang koherensi paradigma Administrasi Publik dengan kualitas ruang publik (public sphere) tersebut akan lebih mudah dipahami dengan memperhatikan tabel berikut ini:

Tabel 1Koherensi Paradigma Administrasi Publik

Dengan Keluasan Ruang Publik (Public Sphere)

NO.PARADIGMA

ADMINISTRASI PUBLIK

KELUASAN RUANG PUBLIK

(PUBLIC SPHERE)

EMPHASIS (TITIK BERAT)

1. Old Public Administration Sempit

Orientasi ketaatan kepada hukum dan kepatuhan kepada Pemerintah.

2. New Public Management Luas

Orientasi Ekonomi Pasar. Individu berorientasi maximization of private benefit(Gunsteren, 1998: 17).

3. New Public Service Luas

Orientasi kesamaankewarganegaraan dalam partisipasi politik.

Pada negara-negara sosialis-komunis, ruang publik menjadi sangat sempit, prioritasnya adalah orientasi kepatuhan terhadap hukum dan pemerintah. Kondisi ini pernah didisain melalui kebijakan Pemerintah RI pada Era Orde Lama dan Orde Baru. Pada kedua orde ini, Paradigma Administrasi Publik yang dianut adalah Paradigma Old Public Administration. Sebaliknya, pada

Page 12: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

5Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

negara-negara liberal ruang publik (public sphere) terbuka luas, sehingga warga negara memiliki kesempatan luas untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik. Dalam konteks negara kita, ruang publik yang luas ini, didisain dan diaplikasikan dalam Era Reformasi. Pada era reformasi ini, negara kita tengah mengimplementasikan Paradigma New Public Management (NPM) pada bagian awal reformasi, dan pada akhir-akhir ini sudah mengarah kepada implementasi Paradigma New Public Service (NPS).

Kearah mana pendidikan karakter kewarganegaraan akan diorientasikan dan dididik? Hal ini tentu merupakan salah satu tugas Administrasi Publik sebagaimana pendapat Dimock (1936: 133) dalam Dendhardt & Dendhardt (2007: 8) bahwa: “Successful administration ….. it plans, it contrives, it philosophizes, it educates, it build for the community as a whole.” Pemerintah memiliki otoritas merencanakan, menyusun, berfilsafat, mendidik, dan membangun untuk masyarakat secara keseluruhan. Sudah barang tentu termasuk merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan publik bidang pendidikan kewarganegaraan. Sejalan dengan ini Gunsteren (1998: 25) menyatakan bahwa: “The task of reproducing citizens is at issue in every government action.” Dengan demikian tugas mereproduksi atau mendidik warga negara adalah tugas pemerintah. Negara dan masyarakat mendambakan warga negara mudanya siap untuk menjadi warga negara yang baik dan berpartisipasi dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan (Suryadi dan Tilaar, 1994). Di sisi lain Fattah (2012: 132) menyatakan bahwa negara yang memiliki monopoli harus hadir untuk menetapkan cara atau justifikasi kegiatan melalui kekuatan negara untuk menjawab tantangan tersebut. Dalam implementasinya tentu dapat dilaksanakan secara langsung melalui fungsi “activist (derives) function” atau secara tidak

Page 13: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

6 Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

langsung yaitu melalui masyarakat (private sector/business) dalam konteks “intermediate function”.

Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu dari makalah ini, bahwa pada era reformasi ini paradigma administrasi publik yang diimplementasikan oleh negara ini, adalah dalam periode transisi/peralihandari Paradigma New Public Management masuk ke dalam paradigma New Public Service. Implikasinya apakah terdapat koherensi antara paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan sebagai Pendidikan Umum di Perguruan Tinggi? Masalah ini sangat “crucial” karena hal tersebut akan menentukan terhadap keberhasilan pembangunan nasional di masa depan. Hasil pendidikan kewarganegaraan atau meminjam istilah Gunsteren (1998) reproducing citizens, harus berkesesuaian dengan paradigma administrasi publik yang dianut dan diimplementasikan. Sebab individu sebagai citizen akan mempengaruhi kualitas masyarakat, dan kualitas masyarakat akan mempengaruhi kualitas tata kelola pemerintahan atau good governance, dan sebaliknya, kualitas pemerintahan cenderung mempengaruhi kualitas masyarakat dan pada gilirannya mempengaruhi karakter individu. Jadi relasi tersebut bersifat resiprokal. Hal ini sejalan dengan teori kewarganegaraan dari Gunsteren (1998) yang melahirkan teori kewarganegaraan ke-4, yaitu Neo Republikan. Gunsteren (1998) menyebut bahwa teori Neo Republikan tersebut adalah hasil dari fabrication, synthesis, or bricolage dari 3 (tiga) teori sebelumnya, yaitu 1) The Liberal- Individualist Citizenship, 2) The Communitarian Citizenship, dan 3) The Republican Citizenship. Dengan demikian Gunsteren (1998) mengakui adanya koneksi antara individualitas, komunitas, dan republik (kualitas pemerintahan dalam arti luas). Lebih dari itu tidak disangsikan lagi bahwa hubungan antara teori Kewarganegaraan dengan Administrasi Publik amat dekat. Teori Cooper dalam

Page 14: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

7Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

bukunya An Ethic of Citizenship for Public Administration (1991) menyatakan bahwa: “...the connection (baca: coherence) between citizenship and administration was extremely close (Denhardt & Denhardt, 2007:55). Selanjutnya Cooper berargumentasi untuk membuktikan kekuatan relasi tersebut yaitu dengan cara mengemukakan contoh 2 (dua) sekolah Administrasi Publik tertua yaitu Syracuse and the University of Southern California dimulai sebagai Schools of Citizenship. Implikasinya mereproduksi warga negara, harus sesuai dengan paradigma administrasi publik yang diimplementasikan, agar hasilnya fungsional bagi masyarakat dan negara. Hal ini sejalan dengan asumsi bahwa efektivitas reproducing citizens akan dipengaruhi oleh derajat koherensi antara Paradigma Administrasi Publik yang diimplementasikan dengan Kebijakan Kewarganegaraan yang diformulasikan, diadopsi, dan diimplementasikan.

Page 15: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

8 Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

A. Kebijakan Publik dan Ruang Lingkupnyaegara sebagai suatu organisasi publik selain mempunyai tujuan (goals) yang harus direalisasikan, juga mempunyai pelbagai permasalahan yang harus diatasi, dikurangi,

atau dicegah (Tachjan, 2006:13). Masalah tersebut pada umumnya merupakan masalah publik yang bersifat sektoral, mulai dari masalah vital sampai dengan masalah trivial, atau bahkan mulai dari masalah dengan tingkat kesulitan yang sederhana (well- structured), yang agak sederhana (moderately-structured), maupun yang rumit (ill-structured) (Mitroff & Sagasti dalam Dunn, 2000:221). Dalam rangka memecahkan permasalahan tersebut, perlu dirumuskan suatu kebijakan publik (public policy) yang pada umumnya tidak terlepas dari pertimbangan – who gets what, when, and how – seperti yang diungkapkan Harrold D. Lasswell (dalam Keban, 2008:66) di tahun 1930-an, yang mewarnai keputusan atau output dalam proses kebijakan.

Dalam proses perumusan kebijakan, Pemerintah memiliki peran yang fundamental dalam menentukan arah kebijakan yang tepat untuk mengatasi isu-isu yang berkembang di masyarakat maupun di birokrasi. Sebagaimana dikemukakan oleh Thomas R. Dye (1984:1), “Public policy is whatever governments choose to do or not to do”. Definisi singkat tersebut pada hakikatnya memiliki makna yang luas, yakni bahwa kebijakan publik itu merupakan perwujudan sikap atau tindakan pemerintah untuk memilih apa yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan dalam menyikapi permasalahan yang dihadapi. Disebut sebagai tindakan pemerintah tidak hanya dipersepsi bahwa segala sesuatu harus

Pendidikan KewarganegaraanSebagai Domain Kebijakan Publik

Bab 2

N

Page 16: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

9Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

dikerjakan secara langsung oleh pemerintah, melainkan dalam implementasinya, pemerintah dapat melalui 2 (dua) mekanisme sebagai derives (activist) function dan pola intermediate function. Tentu, sikap atau tindakan tersebut harus merupakan tindakan terpola (patterns of actions) yang mengarah pada tujuan tertentu, yang disepakati, dan bukan sekedar keputusan acak (at random decision) untuk melakukan sesuatu (Wahab, 2016:8). Hal penting lainnya bahwa sikap dan tindakan yang dirumuskan harus responsif terhadap masalah, kebutuhan, dan aspirasi riil yang bersumber dari masyarakat (Keban, 2008:57). Peran pemerintah dalam menentukan arah kebijakan publik dapat ditinjau melalui tahapan proses kebijakan seperti tabel di bawah ini:

Tabel 2The Policy Process: A Framework for Analysis

Functional Activities Categorized in Government

With a Potential Product

Perception/Definition (What is the problem to which this proposal is directed?)

Aggregation(How many people think it is an important problem?)

Organization(How well organized are these people?)

Representation(How is access to decision makers maintained?)

Agenda Setting(How is agenda status achieved?)

Problems to government

Problem DemandAccess

Priorities

Page 17: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

10 Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

Formulation(What is the proposed solu-tion? Who developed it and how?)

Legitimation(Who supports it and how is majority support main-tained?)

Budgeting(How much money is provided? Is it perceived as sufficient?)

Action in government

Proposal ProgramBudget (resources)

Implementation(Who administers it and how do they maintain support?)

Government to problems

Varies (service,payments, facilities,controls)

Evaluation(Who judges its achievements and by what methods?)

Adjustment/Termination(What adjustments have been made and how did they come about?)

Program to government

Varies (justification,recommendation,change, solution)

Sumber: Jones, Charles O. (1984, hlm.29).

Terkait hubungan Administrasi Publik dengan Kebijakan Publik, Denhardt & Denhardt (2007:6-7) mengutip pendapat Luther Gulick dan Appleby. Luther Gulick (1933), pendiri American Society for Public Administration, mengatakan “... that policy and administration could not be separated.” Pendapat Appleby (1949), Dekan Maxwell School of Citizenship and Public Affairs di Syracuse University, menegaskan bahwa: “Public Administration is policy making.” Dengan demikian maka ilmu Administrasi Publik tidak dapat dipisahkan dengan ilmu Kebijakan Publik, atau menurut Keban (2008) Kebijakan

Page 18: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

11Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

Publik adalah salah satu dimensi penting dari 6 (enam) dimensi penting ilmu Administrasi Publik.

Kebijakan publik memiliki ruang lingkup yang sangat luas. Melalui kebijakan publik, kita dapat memahami permasalahan apa yang sedang dihadapi dan sikap atau tindakan apa yang perlu dilakukan atau tidak perlu dilakukan pemerintah dalam menanggapi pelbagai masalah, kebutuhan, dan aspirasi masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat Thomas R. Dye (1984:5) yang menyatakan bahwa: “What can we learn about public policy? First of all, we can describe public policy – we can learn what government is doing (and not doing) in welfare, defense, education, civil rights, health, energy, taxation, and so on.” Dalam argumen tersebut, Dye secara jelas mengemukakan bahwa ruang lingkup kebijakan publik mencakup pelbagai bidang seperti kesejahteraan, pertahanan, pendidikan, hak-hak sipil, kesehatan, perpajakan, dan masih banyak lagi.

Selain Dye, Miftah Thoha (2008:108) juga mengemukakan pendapat bahwa public policy dapat menangani aneka ragam bidang cakupan substantif yang lebih luas, seperti misalnya: Pertahanan, keamanan, energi, lingkungan, masalah-masalah luar negeri, pendidikan, kesejahteraan, kepolisian, lalu lintas jalan raya, perpajakan, perumahan, kesehatan, keluarga berencana, pembangunan pedesaan, inflasi dan resesi dan banyak hal lagi. Luasnya ruang lingkup tersebut menjadikan kebijakan publik amat menentukan nasib suatu bangsa; dan baik buruknya kondisi suatu bangsa akan dipengaruhi oleh baik buruknya kebijakan publik. Kejatuhan dan keberhasilan suatu negara-bangsa semakin ditentukan oleh “kehebatan” kebijakan publiknya, bukan oleh sumber daya alam, posisi strategis, dan bahkan politiknya (Nugroho, 2014:3). Dengan demikian maka kebijakan publik seyogyanya menjadi “concern” seluruh warga negara melalui

Page 19: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

12 Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

berbagai bidang kehidupan termasuk melalui bidang pendidikan kewarganegaraan.

B. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Domain Kebijakan PublikSalah satu ruang lingkup kebijakan publik adalah kebijakan

bidang pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan yang diatur dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, secara tegas memberikan atribusi kepada Pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu Sistem Pendidikan Nasional. Dalam rangka menjalankan ketentuan dimaksud, maka Sistem Pendidikan Nasional diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 sebagai landasan yuridis penyelenggaraan pendidikan di Indonesia dan sebagai pedoman Pemerintah dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan publik bidang pendidikan.

Formulasi dan implementasi kebijakan publik di bidang pendidikan secara konstitusional merupakan salah satu wujud konkrit pemenuhan Hak Asasi Manusia yang menjamin setiap orang berhak mendapatkan pendidikan. Bahkan, Pemerintah memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang- kurangnya 20 (dua puluh) persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk memenuhi penyelenggaraan pendidikan nasional. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah menaruh perhatian besar dalam penyelenggaraan pendidikan.

Kebijakan publik di bidang pendidikan merupakan salah satu sarana bagi Pemerintah dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam konteks kebijakan publik, para pembuat kebijakan (policy makers

Page 20: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

13Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

atau policy framers) diharapkan mampu mengidentifikasi, mengantisipasi –atau setidak-tidaknya menanggulangi– setiap dinamika permasalahan di bidang pendidikan yang akan dihadapi oleh generasi penerus bangsa secara nasional maupun global, dengan cara menentukan sikap atau tindakan apa yang perlu dilakukan atau tidak perlu dilakukan. Di sisi lain, kebijakan yang dibentuk harus terarah agar pendidikan mampu menumbuhkan semangat kebangsaan, cinta tanah air, kesadaran pada sejarah bangsa, sikap demokratis, jiwa patriotik, daya saing, disiplin, kesetiakawanan sosial, aktif dalam membangun kehidupan yang damai, sikap menghargai jasa para pahlawan, dan orientasi ke masa depan dalam kepribadian para generasi penerus bangsa. Nilai, perilaku, dan kepribadian seperti tersebut di atas dapat terwujud melalui Pendidikan Kewarganegaraan.

Lahirnya Pendidikan Kewarganegaraan tidak terlepas dari pemikiran para founding father Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menyadari bahwa usaha pembelaan negara diperlukan dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang selama ini diperjuangkan dan guna mencegah segala Ancaman, Tantangan, Hambatan dan Gangguan (ATHG) terhadap kelangsungan hidup bangsa. Atas dasar pertimbangan tersebut, usaha pembelaan negara kemudian diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, yang dengan tegas menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara”. Khusus bela negara dalam konteks pertahanan dan keamanan negara diatur dalam Pasal 30 ayat (1) sampai dengan ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.

Secara historis, “embrio” Pendidikan Kewarganegaraan dilahirkan oleh rezim Old Public Administration yang bersifat

Page 21: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

14 Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

sentralistik dan militeristik. Hal ini dibuktikan dengan dibentuknya Mata Kuliah Kewiraan dalam Kurikulum Pendidikan Tinggi berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) dan Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Nomor:022/U/1973 – Nomor: KEP/B/43/XIII/1973 tanggal 8 Desember 1973 tentang Penyelenggaraan Mata Kuliah Kewiraan. Mata Kuliah Kewiraan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik dalam mengembangkan kecintaan, kesetiaan, keberanian untuk berkorban membela bangsa dan tanah air Indonesia (Lemhannas, 1997:4).

Mata Kuliah Kewiraan kemudian dijadikan sebagai Pendidikan Pendahuluan Bela Negara Tahap Lanjutan pada tingkat pendidikan tinggi dan tidak terpisahkan dalam Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini diatur dalam Pasal 18 dan Pasal 19 ayat (2) Undang- Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembar Negara 1982 No.51, Tambahan Lembar Negara 3234). Pada perkembangan selanjutnya, Mata Kuliah Kewiraan diubah namanya menjadi Pendidikan Kewiraan dan dimasukkan ke dalam kelompok Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) pada semua perguruan tinggi di Indonesia, berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Pertahanan Keamanan Nomor:061/U/1985 dan Nomor:KEP/002/ II/1985 tanggal 1 Februari 1985 tentang Kerjasama dan Pembinaan Pendidikan Kewiraan di Lingkungan Pendidikan Tinggi. Pada akhirnya perkembangan, Pendidikan Kewiraan dan Pendidikan Pendahuluan Bela Negara diselenggarakan melalui Pendidikan Kewarganegaraan berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang saat ini telah diganti dan disempurnakan dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Page 22: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

15Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

Secara yuridis, Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu pendidikan umum yang wajib diberikan di semua jenjang pendidikan. Dalam konteks pendidikan tinggi, berdasarkan Pasal 35 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, ditentukan bahwa Kurikulum Pendidikan Tinggi wajib memuat Mata Kuliah: Agama, Pancasila, Kewarganegaraan, dan Bahasa Indonesia. Penanaman karakter melalui pendidikan kewarganegaraan sejak tingkat pendidikan dasar sampai perguruan tinggi bukan hal yang ganjil dan dipaksakan, melainkan merupakan prakondisi untuk dapat menciptakan lulusan pendidikan yang memahami dengan benar hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan generasi bangsa Indonesia yang dijamin dan dilindungi Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam perspektif kebijakan publik, Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi bertujuan untuk mewujudkan warga negara yang baik (good citizenship), yang mampu berpartisipasi dalam formulasi, implementasi, dan evaluasi kebijakan publik guna mencapai kesejahteraan dan keamanan bangsa (Nurdin, 2016:12). Cogan dan Derricott (1998:4), dalam tulisannya yang berjudul Citizenship Education for the 21st Century: Setting the Context menyatakan bahwa: “A good citizen, by contrast, not only lives decently in his or her private life, but is also committed to participation in public life.” Sejalan dengan pendapat Cogan dan Derricott, Miftah Thoha (2008:158) juga berpendapat bahwa pendidikan bagi warga negara dipahami sebagai bagian dari proses “learning”, dan dapat diketahui melalui keterlibatan warga di dalam realisasi tercapainya tujuan pemerintahan yang baik.

Page 23: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

16 Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

Dengan demikian, menurut pandangan tersebut, salah satu karakter baik warga negara abad 21, adalah berpartisipasi dalam urusan publik. Dalam perspektif lainnya, seseorang tidak cukup dikategorikan sebagai warga negara yang baik apabila orang tersebut hanya memaksimalkan pencapaian keuntungan pribadinya atau menurut Gunsteren (1998:17) “maximization of private benefit, walaupun hal itu dilakukan atau diperoleh tanpa merugikan kepentingan orang lain atau tanpa melanggar hukum positif. Terkait dengan kualitas kewarganegaraan tersebut maka dapat dinilai bahwa a good citizen lebih berkualitas dibandingkan dengan a good person. Hal ini sejalan dengan Cogan dan Derricott (1998:4), bahwa: “...that distinguishes between a good person and a good citizen.”

Melalui Pendidikan Kewarganegaraan, warga negara diharapkan mampu memahami, menganalisis, dan menjawab permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, bangsa dan negaranya secara berkesinambungan dan konsisten dengan cita- cita dan tujuan nasional seperti yang digariskan dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam konteks pembangunan karakter bangsa (nation and character building), Pendidikan Kewarganegaraan dalam arti luas memiliki kedudukan, fungsi, dan peran yang sangat penting. Pendidikan Kewarganegaraan pada dasarnya merupakan salah satu wahana pendidikan karakter yang dikembangkan secara sistematis dan sistemik secara nasional. Dalam konteks itu, Pendidikan Kewarganegaraan tidak dapat dipisahkan dari kerangka kebijakan nasional pembangunan karakter bangsa (Nurdin, 2016:17).

Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi bertujuan mendidik generasi muda elit masyarakat sebagai penerus tongkat estafet pemimpin masa depan bangsa pada berbagai bidang. Melalui Pendidikan Kewarganegaraan diharapkan

Page 24: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

17Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

menghasilkan calon-calon pemimpin masyarakat yang memiliki kecakapan, rasa kebangsaan, cinta tanah air, dan demokratis-partisipatif. Dalam konteks comparative studies, Pendidikan Kewarganegaraan di Singapura bertujuan untuk menyiapkan generasi muda agar memiliki informasi yang baik, bertanggung jawab, dan dapat berpartisipasi (Sim & Print, 2015:66). Sedangkan di Inggris, Pendidikan Kewarganeragaan bertujuan untuk fokus mengenai identitas nasional Inggris dan kohesi kelompok dengan negara (Andrews & Mycock, 2007:83). Sejalan dengan itu, pada gilirannya kualitas masyarakat yang partisipatif akan mempengaruhi kualitas pemerintahan. Hal ini sejalan dengan pandangan John Stuart Mill bahwa: “...envisioned citizen participation as a vital and necessary component of democratic government.” Sebagaimana yang dikatakan Mill tersebut, “good government ... depends ... (on) the qualities of human beings composing the society over which the government is exercised (Denhardt & Denhardt, 2007:47).

Selain Pendidikan Kewarganegaraan, terdapat relevansi antara Pendidikan Moral dan Kebijakan Publik. Dalam hal pendidikan moral dan etika, sekurang-kurangnya ada 5 (lima) sasaran yang harus dicapai, yakni: merangsang gambaran moral, memahami persoalan-persoalan etis, mengembangkan keterampilan analitis, menanamkan rasa tanggung jawab moral, dan menolerir ketidaksepakatan (Kumorotomo, 2008:425-426). Kelima sasaran di atas diharapkan akan dapat mengembangkan sikap-sikap mental yang baik dan memahami kualitas moral yang harus ditegakkan oleh para peserta didik yang akan menjadi pemimpin di masa depan. Dengan demikian, calon-calon penerus bangsa harus dibiasakan melakukan penilaian-penilaian etis karena mereka tidak hanya akan menjadi pembuat kebijakan (policy makers atau policy framers) tetapi juga menjadi pelaksana

Page 25: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

18 Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

program (program implementor) yang akan menentukan karakter pembangunan nasional Indonesia di masa mendatang.

C. Simulasi Analisis Implementasi Kebijakan Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Teori Implementasi Kebijakan PublikImplementasi kebijakan merupakan salah satu tahapan penting

yang harus dilalui dalam proses analisis kebijakan publik. Suatu kebijakan dengan tujuan yang telah berhasil diformulasikan tanpa diikuti dengan proses implementasi adalah angan-angan belaka. Tanpa proses implementasi, sebuah kebijakan yang dirumuskan dalam dokumen tertulis secara lengkap dan sistematik tidak akan berarti apa-apa. Sebaliknya, implementasi kebijakan tanpa didasari oleh formulasi tujuan yang jelas adalah ketidakteraturan (Nurdin, 2017:19).

Terdapat banyak teori Analisis Implementasi Kebijakan Publik dari para ahli. Namun sebagai simulasi, dalam hal ini akan digunakan teori dari Grindle. Dalam karyanya berjudul Policy Content and Context in Implementation, Merilee S. Grindle (1980) mengembangkan sebuah kerangka pemikiran mengenai proses implementasi kebijakan yang keberhasilannya diukur dan dipengaruhi oleh dua elemen, yaitu: isi kebijakan (the content of policy) dan konteks kebijakan (the context of policy). Berikut tabel simulasi yang berbasis teori Implementasi Grindle (1980), yaitu sebagai berikut:

Page 26: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

19Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

Tabel 3Variabel-Variabel yang Mempengaruhi Implementasi

Kebijakan Pendidikan Kewarganegaraan

Variabel Sub Variabel Dimensi IndikatorImplementasi Kebijakan bidang Pendidikan Kewarganegaraan

Materi Muatan Kebijakan (Content of Policy)

1. Kepentingan yang terpengaruhi (interest affected)

1. Mahasiswa atau peserta didik

2. Dosen3. Tenaga

kependidikan

2. Ragam manfaat(type of benefits)

Memahami substansi seputar Filsafat Pancasila, Identitas Nasional, Politik dan Strategi, Demokrasi Indonesia, Hak Asasi Manusia dan Rule of Law, Hak dan Kewajiban Warga Negara,

Geopolitik Indonesia, danGeostrategi Indonesia

3. Perubahan yang diharapkan (extended of change envisioned)

1. Rasa kebangsaan dan cinta tanah air

2. Demokratis berkeadaban

3. Sadar hukum (berdisiplin)

4. Partisipatif dalampembangunan

Page 27: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

20 Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

4. Tempat pembuatan keputusan (site of decision making)

1. Kemenristekdikti menentukan kebijakan dasar

2. Rektorat dan Dekanat menentukan kebijakanoperasional

5. Para pelaksana program (program implementors)

1. Pimpinan Departemen/ Program Studi

2. Dosen PKn3. Pihak-pihak yang

terkait dengan kegiatanpembelajaran

6. Sumber daya yang dilibatkan (resources committed)

1. Sumber Daya Aktor

a. Kualitas danKuantitas para implementor

b. Komitmenc. Pemahaman

mengenai kebijakan

d. Komunikasi dan koordinasi implementor

1. Sumber Daya Finansiala. APBNb. APBDc. Sumber lain

yang sah dan tidak mengikat

2. Sarana danPrasarana

Page 28: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

21Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

Konteks Kebijakan (Context of Policy)

1. Kekuasaan, kepentingan, dan strategi para aktor yang terlibat (power, interests, and strategies of actors involved)

1. Kemampuan untuk melaksanakan program

2. Dukungan pemer-intah

3. Dukungan sivitas akademika

4. Dukungan ma-syarakat

5. Tekanan kelompokkepentingan

2. Karakteristik institusi dan rezim yang berkuasa (institution and regime characteristics)

1. Prosedur pelaksanaan program

2. Karakteristik implementor

3. Mekanisme pembuatan kebijakan Bidangpendidikan kewarganegaraan

4. Pengaruh rezim penguasa

3. Kepatuhan dan daya tanggap (compliance and responsiveness)

1. Konsistensi implementasi

2. Responsivitas implementor terhadap kebutuhan sasaran

3. Responsivitas terhadap tekanan kelompok kepentingan

4. Kemampuan mengendalikan arah implementasikebijakan

Page 29: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

22 Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

Berdasarkan tabel di atas, implementasi kebijakan publik bidang Pendidikan Kewarganegaraan secara nasional di seluruh Indonesia dipengaruhi oleh the content of policy dan the context of policy. Dengan demikian, para perumus kebijakan (policy makers atau policy framers) perlu menyadari bahwa Pendidikan Kewarganegaraan merupakan bidang yang tidak bisa dipisahkan dari kebijakan publik. Sehingga pada akhirnya, diharapkan kebijakan publik bidang pendidikan kewarganegaraan mengarah kepada pencapaian kompetensi peserta didik yang memiliki wawasan kesadaran bernegara untuk bela negara dan memiliki pola pikir, pola sikap, dan perilaku sebagai pola tindak yang cinta tanah air berdasarkan Pancasila. Semua itu diperlukan demi terbinanya warga negara yang demokratis dan demi tetap tegaknya NKRI serta kesejahteraan bangsa Indonesia.

D. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Pendidikan Umum dan KarakterNewton (2000) menyatakan bahwa “Discussions of general

education have became a permanent fixture in American higher education…”. Seraya mengutip Rudolp (1997), Newton menyatakan bahwa terdapat gerakan untuk mengembalikan kesatuan dan koherensi (to restore unity and coherence) dalam bentuk penyadaran kurikulum inti atau program pendidikan umum. Lebih lanjut Newton menyatakan bahwa terdapat 4 (empat) masalah kontemporer yang dihadapi pembaharu pendidikan umum, yaitu:

· Unity versus fragmentation (knowledge)· Breadth versus depth (student learning)· Generalist versus specialist (faculty competence)· Western culture versus cultural diversity (content)

Page 30: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

23Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

Mengenai masalah unity versus fragmentation, hal ini terkait dengan hakikat universitas: 1) Universitas sebagai kumpulan departemen yang memiliki focus dan metode disiplin ilmu yang berbeda akan dalam kesatuan misi yang luas, 2) Memandang kesatuan dan koherensi dalam mengejar ilmu pengetahuan lebih penting daripada tugas departemen. Oleh karena itu universitas harus didasarkan pada asumsi-asumsi koheren yang diterima secara luas (based on a coherent set of widely accepted assumptions).

Terkait dengan model Pendidikan Umum di Perguruan Tinggi di Amerika, Newton (2000) mengemukakan bahwa: The decentralized character of American higher education has meant and will continue to mean that there will be almost as many different general education programs as there are colleges-each responding to its own idiosyncratic history, organizational culture, and special mission. Jadi karena karakter pendidikan tinggi di Amerika terdesentralisasi maka program pendidikan umum berbeda pada setiap perguruan tinggi. Model pendidikan umum di suatu perguruan tinggi akan dipengaruhi oleh keistimewaan sejarah, budaya organisasi, dan misi khusus masing-masing perguruan tinggi yang bersangkutan. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Awbrey (2005:1) bahwa “General education is embedded in the culture of the institution”. Maknanya, Pendidikan Umum itu pada hakekatnya tertanam pada budaya institusi. Sehingga tidak ada salahnya jika Fosen (2006:12) berargumen bahwa Pendidikan Umum yang diajarkan seringkali dikontrol oleh universitas (...a general education course owned and often tightly controlled by the university).

Newton (2000) mengemukakan 3 (tiga) model pendidikan umum di perguruan tinggi, yaitu 1) The Great Books Model, 2) The Scholarly Discipline Model, 3) The Effective Citizen Model. Selanjutnya, Newton (2000) mengajukan pertanyaan sebagai

Page 31: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

24 Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

berikut: The primary question is what kind of general education is required to live well and participate fully in the world of the 21st century. Jadi Newton mengajukan pertanyaan inti yaitu bentuk pendidikan umum bagaimanakah yang diperlukan untuk hidup dengan baik dan berpartisipasi penuh dalam dunia abad 21 ini. Kata kunci dari pertanyaan tersebut adalah pendidikan umum model apa yang membekali mahasiswa untuk berpartisipasi sebagai warga negara dalam abad 21 ini. Pada bagian selanjutnya Newton (2000) mengemukakan bahwa: Courses are designed to communicate relevant information, to spell out its implications for life in modern society, and to develop the skills and values required for effective citizenship. Implikasinya Pendidikan Umum dengan model effective citizen model, adalah mata kuliah yang dirancang untuk mengkomunikasikan informasi yang relevan bagi kehidupan masyarakat modern, dan untuk mengembangkan nilai dan keterampilan yang dibutuhkan sebagai warga negara yang efektif. Model ini memungkinkan Pendidikan Umum dirancang untuk menghasilkan warga negara yang mampu beradaptasi dan berpartisipasi penuh secara bijak dalam dunia yang mengglobal ini. Ini berarti dengan model ini, Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Pendidikan Umum akan berkoherensi dengan paradigma New Public Service (NPS), terutama dalam hal concern membina warga negara demokratis (democratic citizenship).

Dalam perspektif yang berbeda, pada era persaingan global ini, pembekalan kompetisi teknis saja bagi para mahasiswa oleh perguruan tinggi dinilai tidak cukup. Perlu adanya perhatian khusus terhadap pengembangan pengetahuan, kemampuan, dan sikap mereka secara bersamaan melalui pendidikan umum agar dapat bersaing dan berpartisipasi secara profesional. Aloi, Gardner dan Lusher (2003:237) menyatakan bahwa “General education outcomes, as well as technical skills and knowledge

Page 32: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

25Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

developed through concentrated study in a major discipline, must be developed in every college or university graduate”.

Menurut Bialik, et al (2015), pendidikan karakter abad 21 adalah tentang perolehan dan penguatan kebajikan (virtues), nilai, dan kemampuan untuk membuat pilihan bijak bagi kehidupan yang menyeluruh dan masyarakat yang berkembang. Selanjutnya Bialik et all (2015: 2) menyatakan bahwa: These are the broad aims of character education: 1) to build a foundation for lifelong learning, 2) to support successful relationships at home, in the community, and in the workplace, and 3) to develop the personal values and virtues for sustainable participation in globalized world. Dengan demikian, tujuan umum dari pendidikan karakter adalah memberikan landasan untuk pembelajaran sepanjang hayat, mendukung hubungan sosial yang baik, serta mengembangkan nilai-nilai dan kebajikan pribadi untuk partisipasi berkelanjutan dalam dunia yang terglobalisasi.

Tujuan Pendidikan Umum dan Karakter sebagaimana diuraikan di atas memang diperlukan untuk membina warga negara Demokratis dalam dunia yang mengglobal ini. Untuk melengkapi kriteria pencapaian tujuan pendidikan umum dan karakter tersebut ada baiknya diperhatikan 5 (lima) kriteria kewarganegaraan (the five attributes of citizenship) sebagaimana dirumuskan oleh Cogan dan Derricott (1998:2-3), yaitu: 1) rasa persamaan (sense of identity), 2) kesadaran hak-hak tertentu (the enjoyment of certain rights), 3) pemenuhan kewajiban yang sesuai (the fulfilment of corresponding obligations), 4) tingkat kepentingan dan keterlibatan dalam urusan publik (a degree of interest and involvement in public affairs), dan 5) penerimaan nilai- nilai sosial dasar (an acceptance of basic societal values). Sejalan dengan itu, khususnya terkait kriteria penerimaan nilai- nilai dasar maka Pendidikan Umum dan Karakter di Indonesia

Page 33: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

26 Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

harus berlandaskan pula kepada norma-norma dasar yang merupakan konsensus bangsa. Hal ini sejalan dengan pandangan Dahl (1956) dalam Gunsteren (1998: 18) bahwa: “… Claimed that consensus on basic norms is necessary in order to make a democracy work. Such consensus need to be reproduced through education.” Tidak ayal lagi bahwa norma dasar bagi Pendidikan Umum dan Karakter di Indonesia, khususnya Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan, adalah Pancasila. Dengan kata lain Pancasila harus menjadi core values bagi Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Pendidikan Umum pada setiap perguruan tinggi di Indonesia.

Page 34: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

27Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

A. Gagasan Inti Paradigma Old Public Administration (OPA) dan Paradigma New Public Management (NPM)

enhardt & Denhardt (2007: 5-12) menjelaskan secara luas perkembangan Old Public Administration yang berawal dari saran Woodrow Wilson (1987/1887,200)

agar pemerintahan mempunyai struktur organisasi hierarki dan melaksanakan kegiatan mewujudkan tujuan secara efisien. Selain pemikiran Wilson, dibahas pula pemikiran para tokoh lainnya, seperti Dimock (1936:120), Waldo (1952:7), Simon (1957), dan sebagainya.

Adapun gagasan inti atau arus utama Old PublicAdministration menurut Denhardt & Denhard adalah (2007: 11-12) terdiri atas:1. The focus of government is on the direct delivery of services

through existing or through newly authorized of government. Focus pemerintah adalah pemberian langsung jasa layanan melalui instansi pemerintah yang berwenang.

2. Public policy and administration are concerned with designing and implementing policies focused on a single, politically defined objective. Public Policy dan Administration berkaitan dengan merencanakan dan melaksanakan kebijakan- kebijakan untuk mencapai tujuan politik.

3. Public administrators play a limited role in policymaking and governance; rather they are charged with the implementation of public policies. Para Administrator public memainkan peran lebih kecil dalam proses pembuatan kebijakan-kebijakan pemerintah dibandingkan dengan kegiatan melaksanakan kebijakan public.

Koherensi Paradigma New Public Service (NPS)dengan Kebijakan Pendidikan Kewarganegaraan

di Perguruan Tinggi

Bab3

D

Page 35: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

28 Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

4. The delivery of services should be carried out by administrators accountable to elected officials and given limited discretion in their work. Pemberian pelayanan harus dilakukan oleh para administrator yang bertanggung jawab kepada pejabat politik dan diberikan diskresi terbatas untuk melaksanakan tugasnya.

5. Administrators are responsible to democratically elected political leaders. Para Administrator bertanggung jawab kepada pemimpin politik yang terpilih secara demokratis.

6. Public programs are best administered through hierarchical organizations, with managers largely exercising control from the top of the organization. Program-program kegiatan diadministrasikan dengan baik melalui garis hierarki organisasi dan dikontrol oleh para pejabat dari hierarki atas organisasi

7. The primary values of public organizations are efficiency and rationality. Nilai-nilai utama dari organisasi public adalah efisiensi dan rasionalitas.

8. Public organizations operate most efficiently as closed systems; thus cirizen involvement is limited. Organisasi public beroperasi sangat efisien dan tertutup, karena itu keterlibatan warga Negara terbatas.

9. The role of the public administrator is largely defined as planing, organizing, staffing, directing, coordinating, reporting, and budgeting. Peran dari Administrator public dirumuskan secara luas seperti planning, organizing, staffing, directing, coordinating, reporty, and budgeting.Mengomentarigagasaninti OldPublicAdministrationtersebut,

Thoha menyatakan bahwa ide konsep The Public Administration bisa berlangsung dalam semua sektor pemerintahan, mulai dari sektor pertahanan, kesejahteraan rakyat, pendidikan, transportasi,

Page 36: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

29Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

kesehatan masyarakat dan lain-lain (Thoha, 2008:74). Kita mengalami implementasi paradigma ini seutuhnya yaitu terutama pada era Orde Baru.

Para tokoh paradigma NPM diantaranya adalah Osborne and Gaebler (1992), Osborne dan Plastrik (1997), Kettl (2000), Kettl dan Milward (1996), Lynn (1996), serta Pollitt dan Bouckaert (2000).

Untuk menyegarkan kembali pemahaman kita tentang gagasan inti Paradigma NPM, berikut ini dipaparkan secara singkat gagasan inti Osborne dan Gaebler (1993), dalam bukunya Reinventing Government, How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector, yaitu:

1. Catalytic Government: Steering Rather than Rowing. Pemerintahan Katalis, mengarahkan ketimbang mengayuh

2. Community-Owned Government: Empowering rather than Serving. Pemerintah milik masyarakat; memberi wewenang ketimbang melayani.

3. Competitive Government: Injecting Competition into Service Delivery. Pemerintah yang kompetitif; menyuntikkan persaingan ke dalam pemberian pelayanan.

4. Mission-Driven Government: Transforming Rule-Driven Organizations. Pemerintahan yang digerakkan oleh misi; mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan.

5. Result-Oriented Government: Funding Outcomes, Not Inputs. Pemerintah yang berorientasi hasil; membiayai hasil, bukan masukan.

6. Customer-Driven Government: Meeting the Nedds of the Customer, Not the Bureaucracy. Pemerintah berorientasi pelanggan; bukan birokrasi.

Page 37: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

30 Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

7. Enterprising Government: Earning Rather Than Spending. Pemerintahan wirausaha; menghasilkan ketimbang membelanjakan.

8. Anticipatory government: Prevention Rather than Cure. Pemerintahan yang antisipatif; mencegah dari pada mengobati.

9. Decentralized Government: From Hierarchy to Participation and Teamwork. Pemerintahan desentralisasi; dari hierarki menuju partisipasi dan tim kerja.

10. Market-Oriented Government: Leveraging Change Through the Market. Pemerintahan berorientasi pasar: mendongkrak perubahan melalui pasar.

Paradigma NPM ini hadir terutama untuk mengatasi keterpurukan ekonomi dari suatu negara atau kota dan dari perilaku birokrasi yang amat tidak efisien. Osborne dan Gaebler (1993: 25- 26) memaparkan setting keterpurukan ekonomi pada suatu kota di AS pada tahun 1975, yaitu St Paul, Minnesota. Digambarkan bahwa kota tersebut miskin, tertutup salju, dan nampak hampir mati. George Latimer Walikota yang terpilih tahun 1975, menyadari tidak akan mendapatkan uang pajak yang dibutuhkan untuk pembangunan kotanya. Kemudian dia mengkombinasikan sumber daya kota termasuk sumber daya swasta. Latimer akhirnya mampu meningkatkan pendapatan dan kontribusi pemerintah dalam pembangunan kotanya. Jadi Latimer merupakan salah satu contoh Pemerintahan yang berhasil mengimplementasikan Paradigma NPM.

Di Indonesia, pada awal era reformasi bertiup kencang, arus untuk mengimplementasikan Paradigma NPM ini dalam berbagai sektor pembangunan termasuk sektor pendidikan. Salah satu jejak implementasi Paradigma NPM dalam sub sektor Pendidikan Tinggi adalah bertransformasinya Perguruan Tinggi Negeri

Page 38: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

31Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BH MN).

Meskipun jelas ada perbedaan antara Paradigma OPA dengan NPM, namun landasan teoritisnya sangat mirip, yaitu berkomitmen terhadap teori pilihan rasional. Sejalan dengan itu, Denhardt & Denhardt (2007:26) menyatakan: “...the basic theoritical foundation of these two “mainstream” versions of public administration and public policy are in fact very much alike”. Jadi koherensi antara OPA dengan NPM terutama terletak pada kesesuaian landasan teoretik mainstream-nya yaitu teori pilihan rasional.

B. Paradigma New Public Service (NPS)Hakikat New Public Service (NPS) adalah serangkaian ide-

ide tentang peran administrasi publik dalam sistem pemerintahan, yang menempatkan pelayanan publik, tata kelola pemerintahan yang demokratis, dan keterlibatan warga negara sebagai pusat. Hal tersebut dinyatakan oleh Denhardt & Denhardt (2007:24) bahwa: “ … what we will term the New Public Service, a set of ideas about the role of public administration in the governance system that places public service, democratic governance, and civic engagement at the center” Implikasinya, sistem tata kelola pemerintahan dalam paradigma NPS harus bertumpu kepada 3 (tiga) konsep esensial tersebut, yaitu 1) Peran pemerintah adalah memberikan pelayanan kepada publik, 2) Tata kelola pemerintahan dijalankan secara demokratis, dan 3) Partisipasi warga negara dalam tata kelola pemerintahan. Dengan kata lain 3 prinsip tersebut harus dipandang paling penting dalam tata kelola pemerintahan yang sesuai dengan paradigma NPS.

Jadi yang paling penting dan paling berharga dalam paradigma NPS, adalah bahwa pemerintah melayani warga negara untuk

Page 39: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

32 Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

memajukan kepentingan bersama. Inilah jiwa Administrasi Publik berdasarkan paradigma NPS. Implikasinya apa yang sebenarnya penting dalam NPS, bukanlah seberapa efisiensi kita telah melakukan pekerjaan kita, tapi bagaimana kita telah berkontribusi pada kehidupan yang lebih baik untuk semua orang (Denhardt & Denhardt, 2007:4). Dengan kata lain NPS tidak memandang efisiensi sebagai prinsip utama sebagaimana dianut dalam paradigma OPA dan NPM.

Terkait dengan konsep tata kelola pemerintahan, United Nation Development Program (UNDP) pada tahun 1997 dalam Graham dan Amos (2003:3) mengemukakan bahwa tata kelola pemerintahan yang baik atau Good Governance harus bertumpu kepada 5 (lima) prinsip dimana prinsip nomor 1, 3, 4, dan 5 terdiri atas 2 indikator sedangkan prinsip nomor 2 hanya 1 indikator. Prinsip Good Governance tersebut adalah: 1) Legitimacy and voice (participation, consensus orientation), 2) Direction (stratetegic vision), 3) Performance (responsiveness, effectiveness and efficiency), 4) Accountability (accountability, transparency), 5) Fairness (equity, rule of law). Indikator yang paling berkoherensi dengan 3 konsep esensial paradigma NPS adalah pertama, Participation; all men and women should have a voice in decision-making, kedua Responiveness; institutions and processes try to serve all stakeholders, ketiga Transparancy; transparency is built on the free flow of information, dan terakhir Equity; all men and women have ooprtunities to improve or maintain their well-being.

Indikator good governance tersebut bukan resep komplit bahwa suatu tata kelola pemerintahan akan baik dan efektif. Pandangan ini sejalan dengan pendapat Gambhir Bhatta (2006) dalam Nugroho (2014:26), bahwa Governance is the relationship between governments and citizens that enable public polices and programs to be formulated, implemented, and evaluated”.

Page 40: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

33Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

Selanjutnya Nugroho menambahkan bahwa agenda hari ini dari good governance adalah tentang kebijakan publik, tepatnya excelent public policy. Dengan demikian tidak cukup jika hanya bertumpu kepada prinsip-prinsip good governance sebagaimana dikemukakan oleh UNDP tersebut. Dalam hal ini paradigma NPS harus diterjemahkan dalam kebijakan publik yang partisipatif dan berkontribusi secara bermakna terhadap peningkatan kualitas kehidupan publik.

Dasar pemikiran yang melandasi paradigma NPS terdiri atas: 1) Theories of democratic citizenship, 2) Models of community and civil society, 3) Organizational humanism and the new public administration, and 4) Postmodern public administration (Denhardt & Denhardt, 2007: 27).

Gagasan inti dari 4 (empat) akar pemikiran tersebut akan diuraikan secara singkat sebagai berikut:

1. Democratic CitizenshipKewarganegaraan berkaitan dengan kapasitas individu untuk

mempengaruhi sistem politik. Ini menyiratkan keterlibatan aktif warga Negara dalam kehidupan politik. Prinsip ini lebih menekankan kepada manusia sebagai human and political being ketimbang individu sebagai legal being.

Semangat publik (public spirit) perlu dipelihara dengan terus memperhatikan keadilan (justice), partisipasi publik (public participation), dan musyawarah (deliberation).

Dalam konteks ini Denhardt & Denhardt (2007:32) mengutip King dan Stivers (1998) yang menegaskan bahwa administrator harus melihat warga Negara sebagai warga Negara (bukan hanya pemilih, klien, atau customers) harus berbagi kewenangan dan mengurangi control, dan harus percaya kepada keberkahan kolaborasi.

Page 41: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

34 Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

2. Model-model Komunitas dan Masyarakat SipilKeberadaan komunitas yang sehat merupakan instrumen

resolusi konflik. Secara kolektif komunitas-komunitas merupakan masyarakat sipil, dimana orang perlu memikirkan kepentingan pribadi dalam konteks urusan masyarakat. Masyarakat sipil adalah salah satu tempat dimana warga Negara dapat terlibat satu sama lain dalam dialog dan musyawarah, yang sekaligus merupakan bagian dari membangun komunitas dan demokrasi. Pemerintah memegang peranan penting dalam membangun komunitas dan masyarakat sipil. Pemerintah dapat memainkan penting dalam menciptakan, memfasilitasi, dan mendukung hubungan antara warga Negara dengan komunitas. Pemimpin politik menjangkau warga Negara dengan cara yang substansial, baik melalui teknologi informasi modern maupun dengan yang konvensional (Denhardt & Denhardt, 2007:32 – 35).

3. Humanisme Organisasi dan New Public Administration (NPA)Humanisme organisasi adalah gerakan dari para sarjana

untuk membangun organisasi yang lebih humanistik. Mereka mengeksplorasi alternatif dari organisasi birokrasi model hierarkis, pendekatan top-down, dan depersonalisasi anggota organisasi. Mereka menyerukan model organisasi yang memiliki keterbukaan, kepercayaan, dan komunikasi yang jujur (Denhardt & Denhardt, 2007:35-39). Sejalan dengan itu, Bagimi (2005) dalam Thoha (2008:155-156) mengemukakan istilah Human Governance sebagai budaya baru untuk administrasi publik. Human Governance merupakan suatu model kultural yang menata hubungan antara dan individu sebagai warga negara yang mempunyai kebebasan memilih, kemerdekaan berbeda suara, harga diri, dan hak diperlakukan sama oleh pemerintah atau negara.

Page 42: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

35Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

4. PostmodernismePendekatan positivistik berpendapat bahwa ilmu sosial dapat

dipahami dengan menggunakan pendekatan yang sama yang digunakan dalam ilmu alam. Dalam pandangan ini, fakta-fakta kehidupan sosial atau organisasi dapat dipisahkan dari nilai-nilai.

Kritik terhadap pandangan ini adalah bahwa pendekatan positivistik tidak menghasilkan pemahaman yang mendalam dan lengkap atas makna dan nilai-nilai dalam kehidupan manusia. Sebagai alternatifnya maka para ahli Administrasi Publik beralih ke pendekatan interpretatif yang difokuskan pada pemahaman makna, bukan hanya pada fakta. Berdasarkan pandangan ini maka pemerintah harus semakin didasarkan pada wacana yang tulus dan terbuka antara semua pihak, termasuk warga negara dan para administrator (Denhardt & Denhardt, 2007:29-42).

Berdasarkan akar pemikiran NPS sebagaimana diuraikan di atas, Denhardt & Denhardt (2007:42-43) menemukan 7 (tujuh) prinsip New Public Service (NPS), yaitu:

1. Serve Citizens, Not Customers.2. Seek the Public Interest.3. Value Citizenship over Entrepreneurship.4. Think Strategically Act Democratically..5. Recognize that Accountability Isn’t Simple.6. Serve Rather than steer.7. Value People, Not Just Productivity.

Paradigma NPS temuan Denhardt & Denhardt (2007) yang terdiri atas 7 (tujuh) prinsip tersebut, diuraikan dalam 7 bab bukunya dari halaman 45 sampai dengan halaman 168. Untuk memudahkan pemahaman dari 7 (tujuh) prinsip tersebut dapat diklasifikasikan menjadi 18 (delapan belas) butir. Prinsip pertama

Page 43: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

36 Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

menjadi 4 (empat) butir, prinsip nomor 2 (dua) sampai dengan nomor 5 (lima) masing-masing 2 (dua) butir, dan prinsip ke-6 dan ke-7 masing-masing 3 (tiga) butir.

Uraian singkat mengenai Prinsip atau dimensi dan indikator Paradigma NPS tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Serve Citizens, Not CustomersDitegaskan oleh Denhardt & Denhardt (2007) bahwa citizens

berbeda dengan customers. Warga negara (citizens) adalah pembawa/pemilik dari hak (rights) dan kewajiban (duties) sedangkan pelanggan (customers) berbeda dengan warga negara, pelanggan akan berusaha untuk mengoptimalkan manfaat bagi dirinya (optimize their own individual benefits).

Prinsip atau dimensi melayani warga negara ini dapat dikelompokan menjadi 4 (empat) indikator yaitu:

a. Warga negara harus menunjukkan kepedulian mereka terhadap komunitas yang lebih besar.

b. Warga negara berkomitmen kepada kepentingan umum yang bersifat jangka panjang.

c. Warga negara bersedia memikul tanggung-jawab pribadi atas apa yang terjadi di lingkungan masyarakat

d. Pemerintah harus tanggap terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakat.

2. Seek the Public InterestPrinsip atau dimensi ini dapat disimpulkan menjadi 2 (dua)

indikator yaitu:

a. Pejabat publik harus memberikan k o n t r i b u s i untuk membangun semangat kolektivitas dengan pengertian bersama tentang kepentingan publik.

Page 44: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

37Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

b. Penyelenggara pelayanan publik dipandang sebagai pemeran utama dalam sebuah sistem pemerintahan yang termasuk di dalamnya para warga negara, kelompok-kelompok, para wakil rakyat terpilih, dan juga institusi lainnya.

3. Value Citizenship over EntrepreneurshipPrinsip atau dimensi ini dapat disimpulkan menjadi 2 (dua) indi-kator yaitu:a. Kepentingan umum lebih diutamakan oleh pelayan publik,

dan warga negara berkomitmen memberi kontribusi kepada masyarakat.

b. Keterlibatan warga negara menjadi titik pusat perhatian dari pemerintahan yang demokratis.

4. Think Strategically Act DemocraticallyPrinsip atau dimensi ini dapat disimpulkan menjadi 2 (dua)

indikator yaitu:

a. Kebijakan dan program pemenuhan kebutuhan masyarakat dapat lebih efektif dicapai dan secara bertanggung jawab melalui upaya kolektif dan proses kolaboratif.

b. Peran pelayan publik salah satunya memfasilitasi dan mendorong keterlibatan serta membantu membangun kapasitas warga negara. Dicontohkan misalnya untuk mengurangi biaya di lembaga kepolisian, dirancang program pengamanan lingkungan berbasis masyarakat. Program tersebut secara tidak langsung adalah membangun ikatan masyarakat dan meningkatkan hubungan antara pelayan publik dengan warga negara.

5. Recognize that Accountability Isn’t SimplePrinsip atau dimensi ini dapat disimpulkan menjadi 2 (dua)

indikator yaitu:

Page 45: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

38 Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

a. Pelayan publik harus memperhatikan nilai-nilai masyarakat, norma- norma politik, standar-standar profesional dan preferensi masyarakat.

b. Pelayan publik harus bertanggung jawab kepada masyarakat, patuh terhadap hukum dan konstitusi.

6. Serve Rather than steerPrinsip atau dimensi ini dapat disimpulkan menjadi 3 (tiga)

indikator yaitu:

a. Dalam NPS kepemimpinan didasarkan pada nilai-nilai dan disalurkan melalui organisasi dan dengan masyarakat.

b. Penyelenggara pelayanan publik harus mengetahui dan mengelola sumber daya yang dimiliki serta menyadari sumber dukungan lainnya, dan dengan melibatkan masyarakat dalam setiap prosesnya.

c. Penyelenggara pelayanan publik juga harus membagi kekuasaan dan memimpin dengan semangat, komitmen, dan penuh integritas dengan cara menghormati serta memberdayakan warga negara.

7. Value People, Not Just ProductivityPrinsip atau dimensi ini dapat disimpulkan menjadi 3 (tiga)

indikator yaitu:

a. Para karyawan harus diberi kesempatan untuk berpartisipasi dengan tugas mereka, dengan pikiran mereka, dan dengan perasaan mereka.

b. Para manajer harus mendorong para pekerjanya menjadi “diri mereka sendiri”.

c. Para manajer dan para karyawan seharusnya saling berbagi perasaan, nilai, dan etika dalam lingkungan pekerjaan mereka.Mengutip Plas (1996) menyatakan, “...states that

Page 46: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

39Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

organizational culture must evolve and find a ‘place for the heart again’ in the workplace” (disarikan dari Denhardt & Denhardt, 2007: 45-168). Prinsip ke-7 tersebut sejalan dengan konsep “Human Governance” yaitu suatu budaya untuk memanusiakan kembali administrasi publik (Bagini, 2005 dalam Thoha, 2008:155-161). Prinsip ini berbeda dengan paradigma OPA yang dikenal dengan birokrasi mekanistik, dimana hubungan antar pegawai dan antara staf dan atasan bersifat “impersonal” sebuah istilah yang diintrodusir oleh Max Weber. Istilah impersonal ini dalam terminologi manajemen/administrasi kontemporer dikenal dengan istilah “Professional Distance”.

C. Koherensi Paradigma New Public Service (NPS) dengan Kebijakan Pendidikan KewarganegaraanDalam bagian ini akan dikaji koherensi antara New Public

Service dengan Kebijakan Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi yang masih berlaku. Kajian ini menggunakan teori Koherensi yang menganalisis kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu kita ketahui, terima, dan kita akui sebagai benar (Anshari, 1981; Kattsoff, 2004). Prinsip-prinsip dalam paradigma NPS akan diverifikasi konsistensinya dengan konten kebijakan PKn perguruan tinggi. Implikasinya harus memilih kebijakan apa yang akan diverifikasi koherensinya dengan prinsip (esensi) paradigma NPS yang merupakan temuan dari Denhardt & Denhardt (2007).

Dalam hal ini, yang akan diverikasi koherensinya dengan paradigma NPS adalah SK Dirjen Dikti Nomor 43/DIKTI/ Kep/2006, tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok MKPK di Perguruan Tinggi fokus kepada Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Meskipun SK ini masih dapat didiskusikan koherensinya dengan Pasal 35 ayat 2 Undang-undang RI Nomor

Page 47: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

40 Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

12 Tahun 2012. Sudah barang tentu tidak dimaksudkan steril dari kebijakan dasar dan konteks kebijakan yang terkait. Lebih dari itu kajian akan lebih difokuskan kepada variabel isi atau materi muatan kebijakan (Content of policy) misalnya hanya pada dimensi 1) Ragam manfaat (type of benefits), 2) Perubahan yang diharapkan (extended of change envisioned, 3) tempat pembuatan keputusan (site of decision making), dan 4) pelaksanaan berbasis Program (program implementors) teori Grindle (1980).

Dengan demikian maka pada variabel prinsip NPS dan variabel kebijakan PKn tidak semua level atau nilai dibahas. Lebih dari itu nilai atau level yang dibahas hanya bersifat kategori-kategori identifikasi. Meskipun demikian ini masih dapat dipertanggungjawabkan karena batas bawahnya adalah sebagaimana dikemukakan oleh Cozby (2005) bahwa sebuah variabel harus memiliki dua atau lebih level/nilai.

Untuk menjembatani pemikiran abstrak mengenai koherensi antara paradigma NPS dengan kebijakan PKn tersebut dapat dilihat gambar model berikut ini:

Gambar 2Model Koherensi NPS – Kebijakan Publik (PKn)

Page 48: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

41Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

Kepentingan publik adalah hasil dialog tentang nilai-nilai bersama dari pada agregasi kepentingan individu. Oleh karena itu pelayanan publik tidak hanya menanggapi tuntutan customers, melainkan lebih fokus pada membangun hubungan kepercayaan dan kolaborasi dengan dan diantara warga negara. Mengikuti pemikiran Aristoteles, Jean Jacques Rousseau mendefinisikan warga negara sebagai orang yang bertindak sesuai dengan kebajikan masyarakat. Definisi kewarganegaraan ini termasuk kategori high definition of citizenship. Sedangkan Thomas Hobbes mengasumsikan distribusi wewenang hierarkis, dengan kekuatan terbesar dipegang oleh pimpinan puncak dan sedikit kewenangan pada masyarakat. Pandangan ini lebih berkonotasi politik kekuasaan sehingga masuk kategori definisi kewarganegaraan rendah atau low definition of citizenship (Denhardt & Denhardt, 2007).

Terkait dengan definisi kewarganegaraan tersebut maka dapat digambarkan sebagai berikut:

Untuk memastikan bahwa pembahasan tentang koherensi tersebut feasible dilakukan dalam waktu yang terbatas ini maka koherensi yang akan dianalisis adalah 2 (dua) kategori NPS yaitu: 1) Serve Citizens, Not Customers dan 2) Recognize that Accountability Isn’t Simple dengan 2 (dua) dimensi dari konten kebijakan publik, yaitu type of benefits dan extended change envisioned.

Page 49: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

42 Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

1. Koherensi melayani warga negara, bukan pelanggan (Serve citizens, not customers)Kepedulian, komitmen, dan kesediaan memikul tanggung

jawab atas masalah masyarakat merupakan salah satu substansi dari Filsafat Pancasila, Demokrasi, dan materi kewajiban warga negara. Hal ini sejalan dengan Branson, dkk (1996:6) bahwa kewarganegaraan mengandung makna partisipasi. Sedangkan responsivitas pemerintah terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakat substansi atau konten dari politik strategi nasional dan Rule of Law. Adapun perubahan yang diharapkan dari konten kebijakan ini adalah meningkatnya kepedulian, komitmen, dan kesediaan memikul tanggung jawab terhadap masalah di masyarakat. Dari output PKn juga diharapkan mahasiswa sebagai calon pemimpin bangsa, menjadi lebih sensitif terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Hal ini sejalan dengan Maserumule & Vil-Nkomo (2015:455), “The new public service, serving, not steering, comes to mind as one of the powerful rejoinders to the logic of the NPM. Its thesis is that “government shouldn’t be run like a business; it should be run like a democracy”. This is a very important contribution to the theory of a state.” Implikasinya bahwa pemerintah memperlakukan dan melayani rakyatnya sebagai warga negara bukan sebagai pelanggan.

Data menunjukkan bahwa implementasi kebijakan PKn di universitas, berdasarkan penelitian terhadap 10 Universitas di Kota Bandung, mempengaruhi rasa nasionalisme dan patriotisme dalam kategori rendah (Nurdin, 2017). Asumsinya adalah pada aspek kepedulian, komitmen, dan kesediaan memikul tanggung jawab atas masalah yang ada di masyarakat pun derajatnya diasumsikan mempengaruhi dalam kategori rendah. Demikian pula halnya dengan daya sensitivitas terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Mengapa hal ini terjadi? Penyebabnya paling tidak berasal dari 2 (dua) hal, yaitu:

Page 50: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

43Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

a. Pembelajaran PKn di perguruan tinggi cenderung disampaikan secara teoritis, kurang memberikan pengalaman praktis seperti metode project citizens. Hal ini sejalan dengan pandangan Nurdin (2015) yang menyatakan bahwa tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan PKn sebagai media pengembangan karakter nasional terletak pada komitmen dan kualitas dari mereka yang mengimplementasikannya dan dalam metode pembelajaran yang diaplikasikan. Oleh karena itu dosen PKn sebagai program implementor harus didorong untuk mengunakan metode mengajar yang lebih demokratis daripada metode yang indoktrinatif (Maftuh, 2008:140).

b. Kurang memberikan pemahaman dan kemampuan teknis bagaimana menyuarakan public interest secara baik dan benar bertumpu kepada etika publik. Hal ini memang jauh dari harapan karena disposisi program implementors dalam hal ini dosen PKn, “kurang menaruh minat” terhadap konten kebijakan publik.Pemahaman dan kemampuan teknis kebijakan publik itu

sulit tercapai karena ditinjau dari segi ragam manfaat, materi PKn sama sekali tidak membekali knowledge dan skill dalam konteks formulasi, implementasi, dan evaluasi kebijakan publik. Dengan kata lain, pembelajaran (materi) PKn di perguruan tinggi, dipandang kurang menunjang kesiapan mahasiswa untuk memiliki kesadaran dan kecakapan dalam berpartisipasi pada kebijakan publik (Nurdin, 2016). Hal ini menuntut adanya evaluasi terhadap kebijakan PKn di perguruan tinggi. Terkait dengan hal ini Perry (2005) mengatakan bahwa dalam menghadapi penurunan modal sosial dan pendidikan kewarganegaraan, perguruan tinggi dan universitas hendaknya menilai kembali peran mereka dalam mempersiapkan warga negara masa depan untuk keterlibatan kehidupan sipil dan politik. Ia mengatakan “In the face of perceived declines in social capital and civic education, colleges

Page 51: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

44 Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

and universities are reassessing their roles in preparing future citizens for engagement in civic and political life.” Maknanya, perguruan tinggi dan universitas perlu mengevaluasi peran mereka guna mempersiapkan warga negara masa depan agar dapat berpartisipasi aktif dalam kehidupan sipil dan politik.

Dengan demikian secara kualitatif konten kebijakan PKn ditinjau dari segi perubahan yang diharapkan (extended change envisioned) dan dari segi ragam manfaat (type of benefits) dipandang kurang berkoherensi dengan prinsip melayani warga negara, bukan pelanggan. Kesimpulan yang senada dikemukakan oleh Nurdin (2016) yang menyatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi kurang memberikan kesadaran dan kecakapan untuk berpartisipasi dalam kebijakan publik karena materi terlalu teoretis dan tidak memuat materi kebijakan publik.

2. Akuntabilitas bukanlah hal yang sederhana (Recognize that Accountability Isn’t Simple)Prinsip NPS ini merupakan satu-satunya prinsip dari 7 (tujuh)

prinsip NPS yang merepresentasikan secara eksplisit warga negara dalam posisi sebagai legal being. Lebih dari itu, prinsip ini lebih berkonotasi untuk pelayan publik (public servants) bukan terfokus kepada mahasiswa. Namun bukankah individu, komunitas, masyarakat, instansi pemerintah (termasuk para pegawainya), dalam posisi relasi resiprokal. Di sisi lain bukankah para mahasiswa tersebut adalah row input bagi para pelayan publik di masa depan. Setidak-tidaknya mahasiswa harus mempunyai wawasan tentang karakter atau standar perilaku penyelenggara pelayanan publik disamping memahami standar pelayanan publik yang baik, sehingga dapat menilai, mengontrol, atau memberikan masukan konstruktif bagi terbangunnya good governance.

Page 52: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

45Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

Pelayan publik harus memperhatikan nilai-nilai masyarakat, norma-norma politik, standar-standar profesional, dan preferensi masyarakat. Ditinjau dari segi perubahan yang diharapkan adalah meningkatnya jiwa/semangat dan keterampilan kewarganegaraan demokratis yang berkeadaban. Dilihat dari segi ragam manfaat (type of benefits) atau content dari mata kuliah PKn yang berkoherensi dengan prinsip ini adalah materi identitas nasional, demokrasi, HAM, geopolitik, dan geostrategi. Dengan demikian cukup banyak materi yang berkoherensi dengan indikator ini. Namun materi teknis terkait standar profesional memang tidak eksplisit menjadi materi PKn.

Adapun mengenai indikator yang kedua, yaitu pelayan publik harus bertanggung jawab kepada masyarakat dan patuh terhadap hukum dan konstitusi cukup banyak berkoherensi dengan ragam manfaat yang merupakan konten PKn. Materi-materi yang berkoherensi dengan indikator taat hukum ini adalah filsafat Pancasila, politik dan strategi nasional, rule of law, dan kewajiban warga negara Indonesia.

Sedangkan perubahan yang diinginkan dari implementasi kebijakan PKn ini adalah manusia sadar hukum (berdisiplin), rasa kebangsaan dan patriotisme tinggi. Secara teoritis perubahan yang diharapkan ini berkoherensi pula dengan teori kewarganegaraan sebagaimana dikemukakan oleh Gunsteren (1998) bahwa “a citizen is both ruler and ruled. In order to fulfill this double function of ruling and being ruled, citizen must have a minimum of autonomy, judgement, and loyalty.” Jadi warga negara sebagai penguasa dan dikuasai, harus memiliki otonomi, judgement, dan loyalitas termasuk sadar hukum serta memiliki rasa kebangsaan dan patriotisme yang tinggi. Hal ini seyogyanyatermanifestasikan dalam Praksis kehidupan di masyarakat. Indikatornya adalah masyarakat (mahasiswa) mau dan mampu berpartisipasi sebagai

Page 53: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

46 Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

warga negara yang demokratis (democratic citizenship), mampu memilih kepentingan jangka panjang bagi bangsanya, dan merasa bertanggung jawab atas masalah yang terjadi dalam masyarakat.

Terkait dengan Paradigma NPS ini, Robinson (2015:10) berpendapat bahwa “NPS approach is perhaps the most coherent of these approaches. It starts with the premise that the focus of public management should be citizens, community and civil society. In this conception the primary role of public servants is to help citizens articulate and meet their shared interests rather than to control or steer society.” Dengan demikian Robinson berkesimpulan bahwa NPS dipandang berkoherensi dengan pemikiran bahwa fokus pengelolaan publik harus kepada warga negara, komunitas, dan masyarakat sipil.

Penulis berpandangan bahwa Paradigma NPS memberikan atmosfir baru dalam relasi antara warga negara, komunitas, masyarakat dan negara yang pada tahap tertentu bersifat konstruktif. Namun, apabila Paradigma NPS diimplementasikan secara utuh di Indonesia maka dapat menimbulkan melemahnya sendi-sendi dasar kebangsaan dan kenegaraan. Sebab Paradigma NPS diasumsikan hanya akan berkoherensi dan berkorespondensi apabila diimplementasikan pada negara yang tingkat kedewasaan masyarakatnya (political literacy) sudah cukup matang, bangsanya homogen, wilayahnya bersifat kontinental, dan secara ekonomi sudah tergolong negara yang makmur. Lebih dari itu, Paradigma NPS itu juga mengandung tantangan bagi demokrasi, sebagaimana dinyatakan oleh Perry (2005): “I argue that the new public service poses significant challenges for our democracy.” Lebih dari itu menurut Perry (2005), Paradigma NPS dapat menimbulkan “...break down bonds among citizens and public servants...” Dengan demikian pandangan Perry tersebut sejalan dengan pandangan penulis sebagaimana yang telah diuraikan di atas.

Page 54: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

47Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

1. Hasil analisis terhadap koherensi prinsip serve citizens, not customers dilihat dari segi type of benefits dan extended change envisioned dapat dikategorikan berkoherensi sedang karena dalam hal ini konten kebijakan PKn kurang memberikan pemahaman dan pengalaman fraksis bagaimana memformulasikan preferensi masyarakat dan proses pengusulannya kepada instansi berwenang untuk diadopsi menjadi kebijakan publik.

2. Hasil analisis terhadap koherensi prinsip recognize that accountability isn’t simple dilihat dari segi type of benefits dan extended change envisioned dapat dikategorikan berkoherensi tinggi karena dalam hal ini konten kebijakan PKn banyak memberikan wawasan rasa kebangsaan, cinta tanah air, dan sadar hukum. Dengan kata lain kebijakan PKn dalam konteks prinsip ini emphasis- nya lebih berorientasi kepada warga negara sebagai a legal being.

3. Kebijakan PKn kurang memberikan peluang berkembangnya keterampilan kewarganegaraan untuk berpartisipasi dalam formulasi, implementasi, dan evaluasi kebijakan publik. Hal mana merupakan kompetensi kewarganegaraan yang penting dalam upaya pemenuhan kepentingan umum berbasis nilai- nilai bersama. Sebaliknya materi PKn lebih berkoherensi dengan posisi warga negara sebagai a legal being yaitu dimuati pesan taat hukum dan konstitusi serta loyal kepada pemerintah.

4. Content PKn hanya bertujuan kepada filsafat yang dengan pendekatan kognitif. Tentu hal itu tidak cukup, sehingga output PKn kurang fungsional dalam masyarakat demokrasi

PenutupBab 4

Page 55: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

48 Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

partisipatif. Terkait hal ini, Nurdin (2017) menyatakan bahwa temuan dari implementasi kebijakan PKn di perguruan tinggi mempengaruhi rasa nasionalisme dan patriotisme dalam kategori rendah. Sejalan dengan kondisi tersebut, penulis sependapat dengan pandangan Perry (2005) yang menawarkan 4 (empat) proposal untuk merekonsiliasikan demokrasi dengan NPS yaitu salah satunya adalah perlunya “renewing civic education”. Sebab apabila pembaharuan pendidikan kewarganegaraan tersebut tidak segera dilakukan maka manfaatnya akan kurang optimal pada masyarakat kontemporer yang dalam pandangan Gunsteren (1998) disebut “the unknown society”. Implikasinya spirit individualisme yang menggejala pada masyarakat (unknown society) tersebut, jika pemahaman terhadap ideologi negara Pancasila kurang kuat maka dapat saja terjadi “perang semua lawan semua” sebagaimana dinyatakan oleh Gunsteren (1998) yaitu “the war of all against all”. Hal ini merupakan penguatan alasan bahwa Paradigma NPS belum bisa sepenuhnya diaplikasikan dalam sistem pemerintahan kita karena Paradigma NPS tidak dibangun dari setting bangsa yang heterogen dalam wilayah negara kepulauan yang amat luas seperti Indonesia. Belajar dari Gunsteren (1998) yang melakukan “fabrication, synthesis, or bricolage” dari 3 (tiga) teori kewarganegaraan yaitu 1) The Liberal-Individualist Citizenship, 2) The Communitarian Citizenship, dan 3) The Republican Citizenship, menjadi teori yang ke-4 yaitu Neo Republican Citizenship, maka Paradigma Administrasi Publik pun menurut hemat penulis perlu dilakukan bricolage dari Old Public Administration, New Public Management, dan New Public Service, menjadi paradigma yang ke-4, misalnya Paradigma Human Public Administration. Tentu hal ini merupakan tantangan bagi para akademisi Ilmu

Page 56: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

49Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

Administrasi Publik/Ilmu Kebijakan Publik untuk melakukan berbagai penelitian dan kajian guna menemukan Paradigma Administrasi Publik generasi ke-4.

5. PKn dalam era demokrasi partisipatif tanpa content pemahaman kebijakan publik maka bagaikan “Kapal berlayar di samudera tanpa kompas, bukannya sampai ke tujuan, melainkan akan menjauh dari pelabuhan harapan.” Oleh karena itu perlu ada evaluasi terhadap kebijakan PKn di perguruan tinggi, khususnya terkait dengan type of benefits bahwa konten kurikulum perguruan tinggi hendaknya memuat materi kebijakan publik. Implikasinya perlu dibangun spirit bahwa civic education is public policy education. Implikasinya PKn harus memuat secara cukup (sufficient) terkait pemahaman dan teknis formulasi kebijakan publik yang bertujuan kepada kepentingan umum. Oleh karena SK Dirjen Dikti tentang Panduan PKn harus direvisi, dan harus memuat konten kebijakan publik.

Page 57: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

50 Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

DAFTAR PUSTAKA

Aloi, S. L., Gardner, W. S. & Lusher, A. L., 2003. A Framewor For Assessing General Education Outcomes Within The Majors. The Journal of General Education, 52(4), pp. 237-252.

Andrews, R. & Mycock, A., 2007. Citizenship Education in the UK: Divergence Within a Multi-National State. Citizenship Teaching and Learning, 3(1), pp. 73-88.

Anshari, E. S., 1981. Ilmu, Filsafat & Agama: Pendahuluan Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi. 3rd ed. Surabaya: PT. Bina Ilmu.

Awbrey, S. M., 2005. General Education Reform as Organizational Change: Integrating Cultural and Structural Change. The Journal of General Education, 54(1), pp. 1-21.

Bialik, M., Bogan, M., Fadel, C. & Horthathoea, M., 2015. Character Education for the 21st Century: What Should Student Learn?. Boston; Massachusetts: Center for Curriculum Redesign.

Branson, M. S. & dkk, 1999. Belajar Civic Education dari Amerika: terjemahan oleh Syafrudin, M. Yasir Alimi, M.Nur Khoiron. Yogyakarta: LKiS.

Cogan, J. J. & Derricott, R., 1998. Citizenship Education for the 21st Century: Setting the Context. In: R. Derricott, ed. Citizenship For The 21st Century: An International Perspective on Education. New York: Routledge Taylor & Francis Group, pp. 1-22.

Cozby, P. C., 2005. Methods in Behavioral Research. 9th ed. New York: McGraw Hill Companies.

Page 58: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

51Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

Denhardt, J. V. & Denhardt, R. B., 2007. The New Public Service: Expanded Edition, Serving, Not Stering. New York; London: M.E. Sharpe.

Dunn, W. N., 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. 2nd ed. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Dye, T. R., 1984. Understanding Public Policy. 5th ed. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Fattah, N., 2012. Analisis Kebijakan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Fosen, C., 2006. University Courses, Not Department Courses: Composition and General Education. Composition Studies, 34(1), pp. 11-33.

Graham, J. & Amos, B., 2003. Principles for Good Governance in the 21st Century. Ottawa: Institut On Governance.

Grindle, M. S., 1980. Policy Content and Context in Implementation. In: M. S. Grindle, ed. Politics adn Policy Implementation in the Third World. New Jersey: Princetown University Press.

Gunsteren, V., 1998. A Theory of Citizenship: Organizing Plurality in Contemporary Democracies. United Kingdom: Westview Press.

Jones, C. O., 1984. An Introduction to the Study of Public Policy. 3rd ed. California: Brooks/Cole Publishing Company.

Kattsoff, L. O., 2004. Pengantar Filsafat. 9th ed. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Keban, Y. T., 2008. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik - Konsep, Teori dan Isu. 2nd ed. Yogyakarta: Gava Media.

Kumorotomo, W., 2008. Etika Administrasi Negara. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Page 59: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

52 Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

Lemhannas, 1997. Kewiraan Untuk Mahasiswa. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.

Maftuh, B., 2008. Internalisasi Nilai-Nilai Pancasila dan Nasionalisme melalui Pendidikan Kewarganegaraan. Jurnal Educationist, 2(2), pp. 134-144.

Maserumule, M. H. & Vil-Nkomo, S., 2015. Science of Public Administration: Critiquing the Past, Recognising the Present and Imagining the Future. Journal of Public Administration, 50(3), pp. 439-465.

Newton, R. R., 2000. Tensions and Models in General Education Planning. The Journal of General Education, 49(3).

Nugroho, R., 2014. Public Policy. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo (Gramedia).

Nugroho, R., 2014. Public Policy: Teori, Manajemen, Dinamika, Analisis, Konvergensi, dan Kimia Kebijakan. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Nurdin, Encep Syarief, 2015. The Policies on Civic Education in Developing National Character in Indonesia. International Education Studies, 8(8), pp. 199-209.

Nurdin, Encep Syarief, 2016. Analisis Konten Dimensi Implementasi Kebijakan Publik pada Konten Kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi. Sosio Humanika, Volume 9 (1) Mei 2016, pp. 11-30.

Nurdin, Encep Syarief, 2016. Civic Education Policies: Their Effect on University Students’ Spirit of Nationalism and Patriotism. Sage Journals, 16(1), p. 69.

Nurdin, Encep Syarief, 2017. Teori-Teori Analisis Implementasi Kebijakan Publik. Bandung: Maulana Media Grafika.

Page 60: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

53Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

Nurdin, Encep Syarief & Kartika, T., 2015. The Role of Education for International Understanding and Peace (A Humanistic Approach). The Proceeding of The Commemorative Academic Conference for the 60th Anniversary of the 1955 Asian- African Conference in Bandung, 4-6 June, pp. 105-112.

Osborne, D. & Gaebler, T., 1993. Reinventing Government - How the Entrepreneurial Spirit Is Transforming the Public Sector. New York: PLUME.

Perry, J. L., 2005. Democracy and the New Public Service, Indiana: Center for Service and Learning Indiana University.

Robinson, M., 2015. From Old Public Administration to the New Public Service: Implications for Public Sector Reform in Developing Countries, Singapore: UNDP Global Centre for Public Service Excellence (GCPSE).

Sim, J. B.-Y. & Print, M., 2015. Citizenship Education and Social Studies in Singapore: A National Agenda. International Journal of Citizenship and Teacher Education, 1(1), pp. 58- 73.

Sumarsono, S. et al., 2005. Pendidikan Kewarganegaraan. 4th ed. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.

Surat Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Nomor:022/U/1973 – Nomor:KEP/B/43/XIII/1973 tanggal 8 Desember 1973 tentang Penyelenggaraan Mata Kuliah Kewiraan.

Surat Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Pertahanan Keamanan Nomor:061/U/1985 dan Nomor:KEP/002/II/1985 tanggal 1 Februari 1985 tentang Kerjasama dan Pembinaan Pendidikan Kewiraan di Lingkungan Pendidikan Tinggi.

Page 61: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

54 Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 43/DIKTI/Kep/2006, tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok MKPK di Perguruan Tinggi.

Suryadi, A. & Tilaar, H., 1994. Analisis Kebijakan Pendidikan: Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Tachjan, 2006. Implementasi Kebijakan Publik. Bandung: Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI).

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Nasional

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Thoha, M., 2008. Ilmu Administrasi Publik Kontemporer. 1st ed. Jakarta: Kencana.

Wahab, S. A., 2016. Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Penyusunan Model-Model Implementasi Kebijakan Publik. Jakarta: Bumi Aksara.

Page 62: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

55Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

IndexAactivist (derives) function 5adaptasi 24A good citizen 15a good person 16agregasi 41asumsi 7, 23at random decision 9atribusi 12

Bbasic theoritical foundation

31birokrasi 8, 29, 30, 34, 39Breadth 22bricolage 6, 48

CCitizens 35, 36, 41comparative studies 17Content 18, 19, 40, 47, 51content of policy 18, 22core values 26customers 33, 36, 41, 42, 47

Ddeliberation 33democratic citizenship 24,

33, 46

depersonalisasi 34desentralisasi 30diskresi 28duties 36

EEffective Citizen Model 23excelent public policy 33extended of change envisioned

19, 40

Ffabrication 6, 48faculty competence 22founding father 13

Ggood citizenship 15Good Governance 32, 51

Hhierarki 27, 28, 30high definition of citizenship

41homogen 46human and political being 33Human Governance 34, 39Humanisme 34humanistik 34

Page 63: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

56 Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

Iill-structured 8impersonal 39implementasi 5, 12, 15, 18,

21, 22, 29, 30, 42, 43, 45, 47, 48, 56

implementor 18, 20, 21, 43indikator 32, 36, 37, 38, 45individualisme 48indoktrinatif 43inflasi 11intermediate function 6, 9interpretatif 35

Jjustice 33justifikasi 5

Kknowledge 22, 24, 43kognitif 47koherensi 4, 6, 7, 22, 23, 31,

39, 40, 41, 47kolektif 34, 37konsensus 26konstitusional 12konstruktif 44, 46kontemporer 22, 39, 48kontinental 46Kontinum 3konvensional 34kualitatif 44

Llegal being 2, 33, 44, 47low definition of citizenship

41

Mmaximization of private

benefit 4, 16mekanistik 39metode project citizens 43militeristik 14moderately-structured 8

Nnasionalisme 42, 48nation and character building

16New Public Management

(NPM) 5, 27New Public Service (NPS)

5, 24, 27, 31, 35, 39

OOld Public Administration

(OPA) 27output 8, 42, 47

PParadigma 1, 3, 4, 5, 6, 7,

27, 29, 30, 31, 35, 36, 39, 46, 48, 49

patriotisme 42, 45, 48

Page 64: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

57Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

patterns of actions 9pendulum 3perspektif 3, 15, 16, 24, 55policy framers 13, 17, 22policy makers 12, 17, 22political literacy 46positivistik 35Praksis 45preferensi 38, 45, 47problem statement 3Professional Distance 39program implementor 18, 43public interest 43public participation 33public policy 8, 11, 31, 33,

49public servants 44, 46public sphere 3, 4, 5public spirit 33

Rrasionalitas 28relasi 6, 7, 44, 46relevansi 17renewing civic education 48reproducing citizens 5, 6, 7resesi 11resiprokal 6, 44Responsivitas 21row input 44rule of law 32, 45

Ssektoral 8sensitivitas 42sentralistik 14site of decision making 20, 40skill 43student learning 22substansi 19, 42substansial 34synthesis 6, 48

Tteoritis 43, 45the citizen as a legal being 2The Communitarian Citizenship 6, 48the content of policy 18, 22the context of policy 18, 22The Effective Citizen Model

23The Great Books Model 23The Liberal-Individualist Citizenship 48The Republican Citizenship

6, 48The Scholarly Discipline

Model 23the unknown society 48top-down 34trivial 8

Page 65: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

58 Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

Uunfinished dialogue 1Unity versus fragmentation

22unknown society 48

Vvirtues 25

Wwell- structured 8

Page 66: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

59Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

DAFTAR RIWAYAT HIDUPRiwayat pendidikan Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs.,

M.Pd., M.Si., adalah SDN Sukaharja III Rajadesa Ciamis, SMPN Rancah Ciamis ,dan SMAN Banjar Ciamis. Kemudian melanjutkan studi Jenjang S-1 pada Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan di IKIP Bandung (ketika masuk menjadi Mahasiswa Baru pada tahun 1980 Jurusan tersebut bernama Civics Hukum, kemudian nama Jurusan tersebut berubah nama menjadi PKn dan Hukum, kemudian berubah lagi namanya menjadi PMPKn, dan sekarang Jurusan tersebut bernama Departemen PKn). Selanjutnya, yang bersangkutan menempuh pendidikan Jenjang S-2 yang pertama ditempuhnya adalah pada Jurusan Pendidikan Umum/Nilai pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Dalam rangka memperluas perspektif keilmuannya, Encep Syarief Nurdin menempuh pendidikan Jenjang S-2 yang kedua, yaitu pada Program Magister Prodi Ilmu Administrasi Publik Sekolah Pascasarjana Universitas Padjadjaran. Kemudian Pendidikan Jenjang S-3-nya pun ditempuhnya pada Prodi yang sama yaitu pada Program Doktor Prodi Ilmu Administrasi Publik SPs Universitas Padjadjaran. Selain pendidikan formal, ia juga mengikuti berbagai kursus dan pelatihan antara lain pelatihan di Lembaga Ketahanan Nasional (LEMHANNAS) di Jakarta, dan pelatihan pada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Departemen Pendidikan Nasional RI (Kementerian Ristek dan Dikti).

Sekarang ini Sdr Encep Syarief Nurdin mendapat tugas tambahan sebagai Ketua Program Doktor dan Magister pada Prodi Pendidikan Umum dan Karakter SPs UPI. Selain menjadi Ketua Program Studi, saat ini ia juga menjabat sebagai Sekretaris Dewan Pakar Pusat Kajian Nasional Pancasila dan Wawasan Kebangsaan Universitas Pendidikan Indonesia. Sdr Encep Syarief

Page 67: Prof. Dr. Encep Syarief Nurdin, Drs., M. Pd., M. Si ...

60 Koheresi Paradigma New Public Service dengan Kebijakan Kewarganegaraan

Nurdin sebelumnya, (dengan izin Rektor), pernah memangku Jabatan selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Pariwisata YAPARI Bandung sebanyak dua periode, yaitu Periode 2007- 2011, dan Periode 2011-2016. Di kampus tersebut sekarang Sdr Encep Syarief Nurdin memangku Jabatan selaku Ketua Yayasan YAPARI- AKTRIPA, suatu Yayasan yang merupakan Badan Hukum Penyelenggara STIEPAR YAPARI Bandung dan SMK YAPARI-AKTRIPA Bandung.

Terkait dengan asosiasi profesi, Sdr. Encep Syarief Nurdin menjabat sebagai Wakil Sekretaris Pengurus Pusat Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara (AsIAN). Selain itu yang bersangkutan juga menjadi Anggota Indonesian Association for Public Administration (IAPA). Lebih dari itu Encep Syarief Nurdin, sekarang ia memangku Jabatan selaku Ketua Umum Asosiasi Dosen dan Pendidik Karakter Seluruh Indonesia (ADDIKSI).

Dalam konteks pengabdian profesional kepada masyarakat, Encep Syarief Nurdin pernah berpartisipasi dalam formulasi dan/atau implementasi suatu kebijakan publik dalam suatu unit organisasi pada beberapa kementerian, antara lain pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Ristek- Dikti), pada Kementerian Kesehatan, pada Kementerian Keuangan, serta pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Republik Indonesia.