Produktivitas Sekunder Hewan Bentik Ekosistem Pantai Studi kasus: Produksi Sekunder Nebalia daytoni di Pantai San Diego, California Selatan, USA oleh: Nuralim Pasisingi C251120031 PROGRAM STUDI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERAIRAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
23
Embed
Produktivitas Sekunder Hewan Bentik Ekosistem Pantai · PDF fileberubah terutama karena perubahan kedalaman perairan atau geomorfologi pantai setempat (Satria 2007)
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Produktivitas Sekunder Hewan Bentik Ekosistem Pantai Studi kasus:
Produksi Sekunder Nebalia daytoni di Pantai San Diego, California Selatan, USA
oleh:
Nuralim Pasisingi
C251120031
PROGRAM STUDI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERAIRAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Perubahan yang terjadi dalam suatu ekosistem perairan disebabkan oleh
faktor yang berasal dari dalam maupun luar lingkungan. Ekosistem perairan
pantai meliputi wilayah yang menjadi batas antara daratan dan lautan yang terdiri
dari komponen biotik dan komponen abiotik. Komponen biotik pantai terdiri dari
tumbuhan dan hewan yang hidup di daerah pantai, sedangkan komponen abiotik
pantai terdiri dari gelombang, arus, angin, pasir maupun batuan.
Produktivitas sekunder merupakan pembentukan biomassa heterotrophik
selama kurun waktu tertentu. Pengukuran produksi sekunder merupakan
perhitungan yang menjadi dasar penggambaran dinamika suatu ekosistem.
Peningkatan produksi suatu lingkungan umumnya akan meningkatkan
ketersediaan makanan. Hal ini akan berdampak pada biomassa yang juga akan
semakin meningkat. Ekosistem yang berbeda dengan kondisi lingkungan yang
berbeda tentunya akan menggambarkan produktivitas sekunder yang berbeda
pula. Laju produktivitas akan tinggi bilamana faktor-faktor lingkungan cocok dan
optimal. Konsumen akan memanfaatkan energi yang diperoleh dari produsen
kemudian mengubahnya menjadi jaringan tubuh. Namun tidak semua energi
tersebut mampu diubah menjadi jaringan, karena salah satunya akan sangat
bergantung pada kemampuan biota atau kosumen tersebut dalam mengolah dan
mengasimilasi makanannya.
Pertumbuhan vegetasi di hampir semua perairan laut sangat dibatasi oleh
faktor ketersediaan cahaya dan ketidakstabilan substrat dasar perairan. Hal ini
yang menyebabkan keberlangsungan interaksi dalam jaring-jaring makanan dasar
atau di daerah afotik akan lebih banyak bergantung pada detritus vegetasi dan
hewan air dibandingkan dengan vegetasi yang hidup.
Studi literatur secara umum mengenai produktivitas sekunder kali ini akan
difokuskan pada ekosistem pantai dengan biota bentik. Adapun secara khusus
akan mengangkat studi kasus mengenai produksi sekunder di perairan Pantai San
Diego, California Selatan, USA.
Studi ini menguji produksi anggota dominan infauna berpasir dominan
yaitu Nebalia (Leptostraca). Meskipun sudah ditemukan lebih dari 200 tahun
silam, leptostraca masih sangat jarang diteliti. Secara umum, leptostraca hidup di
perairan laut dangkal (<100 meter) dengan substrat dasar pasir berlumpur yang
juga berasosiasi dengan habitat lamun dan algae (Rainer and Unsworth 1991;
Haney and Martin 2004; Moreira et al. 2012). Beberapa spesies amphipoda yang
ditemukan di beberapa lokasi dijadikan pembanding kareana paling banyak dikaji
dan memiliki ukuran rata-rata yang hampir menyerupai leptostraca.
1.2. Tujuan
Studi ini dilakukan untuk membuktikan hipotesis bahwa invertebrata
infauna menjadi lebih produktif seiring dengan peningkatan ketersediaan bahan
organik di habitat hidupnya.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Produktivitas sekunder
Carlisle Daren M. & Clements William H. (2003) menyatakan bahwa
produksi sekunder merupakan fungsi pengukuran dinamika populasi, termasuk di
dalamnya proses yang terjadi pada level individu, populasi maupun ekosistem.
Produksi sekunder adalah ukuran komposit sebuah kepadatan populasi biota,
biomassa dan pertumbuhan selama kurun waktu tertentu (Rose Lori Valentine,
Rypel Andrew L, Layman Craig A 2011). Hewan-hewan herbivora yang
mendapat bahan-bahan organik dengan memakan fitoplankton merupakan
produsen kedua di dalam sistem rantai makanan. Hewan-hewan karnivora yang
memangsa binatang herbivora adalah produsen ketida begitu seterusnya rentetan-
rentetan karnivora-karnovora yang memangsa karnivora yang lain, merupakan
tingkat ke empat, kelima dan sampai pada tingkat yang lebih tinggi (sehingga
dinamakan trofik level) dalam sistem rantai makanan. Perpindahan ikatan organik
dari satuu trofik level ke trofik level berikutnya merupakan suatu proses yang
relatif tidak efisien. Di laut bebas dan banyak tempatdi daratan efisien
perpindahannya dari satu tingkat ke tingkat berikutnya dipercaya hanya sebesar
kira-kira 10%. Itu berarti bahwa dari 100 unit bahan organik yang diproduksi oleh
produsen pertama hanya 10 unit yang dapat dimanfaatkan oleh produsen kedua, 1
unit oleh produsen ketiga dan demikian seterusnya yang terjadi di sepanjang
rantai makanan ini.
Sifat khas rantai makanan mempunyai pengaruh yang penting dalam
menentukan jumlah produksi ikan di beberapa area. Sebagai contoh produksi ikan
di beberapa area dimana terjadi upwelling menunjukkan hasil yang melimpah jika
dibandingkan dengan bagian laut yang lain. Pertama, hal ini disebabkan karena
hasil produksi primer yang tinggi oleh banyaknya fitoplankton. Kedua, di daerah
upwelling perpindahan bahan dari satu trofik level ke trofik level berikutnya
dalam rantai makanan terjadi lebih efisien jika dibandingkan dengan tempat-
tempat yang lain. Pertimbangan yang lain adalah jumlah trofik level yang ada di
dalam rantai makanan. Banyak tempat dimana terjadi upwelling hanya
mempunyai dua atau tiga trofik level antara ikan dengan fitoplankton jika
dibandingkan dengan daerah lautan lain yang kadang-kadang sampai enam
tingkatan. Makin pendek rantai makanan akan menghasilkan produksi ikan yang
makin tinggi. Hal ini disebabkan karena mereka dapat menghindari kehilangan
bahan-bahan organik yang seharusnya dipergunakan untuk menambah setiap
kenaikan trofik level pada sistem rantai makanan yang lebih besar. Akibatnya
makin besar jumlah bahan-bahan produksi yang dihasilkan oleh produsen utama
yang menjadi terikat ke dalam jaringan tubuh ikan. Berikut adalah gambar
mengenai perpindahan energi pada daerah-daerah yang memunyai trofik level
berbeda dalam sistem rantai makanan.
Gambar 1. Diagram perpindahan jumlah energi pada trofik level berbeda dalam
sistem rantai makanan
(Meadows dan Campbell 1978 in Hutabarat S dan Evans S.M. 2008)
2.2. Karakteristik umum perairan pantai
Daerah yang terletak di antara daratan dan lautan yang masih dipengaruhi
oleh pasang dikenal sebagai pantai laut. Pada beberapa tempat, lereng pantainya
mempunyai bentuk landai dan di sini terdapat jarak yang besar antara tanda-tanda
air pasang tertinggi dan air pasang terendah. Sedangkan di tempat-tempat lain
PRIMARY PRODUCTION (Phytoplankton)
Nutrient in seawater Energy from sunlight
SECONDARY PRODUCTION (Herbivorous zooplankton)
TERTIARY PRODUCTION (Carnivorous zooplankton,
Fish predators )
PRODUCTION AT HIGHER LEVEL
dimana lereng pantainya berbentuk curam, tanda-tanda air pasangnya akan
kelihatan saling berdekatan. Bahan-bahan dasar pembentuk pantai pun mungkin
juga berbeda-beda. Ada pantai yang terdiri dari batu-batuan, lumpur, tanah liat,
pasir dan kerikil atau campuran antara dua atau lebih dari tipe-tipe ini secara
bersamaan. Daerah pantai yang terdiri dari pasir atau kerikil bersih mempunyai
pengecualian, karena daerah pasang surutnya dapat mendukung sejumlah
besardan berjenis-jenis organisme, walaupun tipe pantai yang berbeda cenderung
untuk mempunyai sifat populasi sendiri. Sebagai contoh, pantai yang terdiri dari
batu-batuan merupakan tempat yang sangat baik bagi hewan-hewan atau tumbuh-
tumbuhan yang dapat menempelkan diri pada lapisan ini. Golongan ini termasuk
banyak jenis gatropoda-moluska dan tumbuhan yang berukuran besar.
Penempelan biasanya tidak mungkin dilakukan pada pasir atau lumpur pantai
sehingga di daerah ini cenderung untuk didominasi oleh jenis hewan infauna.
(Hutabarat S dan Evans S.M. 2008). Perairan pantai San Diego, California
termasuk ke dalam kategori ini. Perairan dengan substrat berpasir cenderung
mengandung bahan organik yang rendah dan macrobenthic yang mendominasi
adalah filter feeder (Gillet David James 2010).
Daerah pantai kaya akan berjenis-jenis organisme, walaupun demikian
kehidupan di sana menciptakan problema-problema. Misalnya organisme
intertidal harus dapat menyesuaikan diri dalam keadaan bahaya sehubungan
dengan kuatnya sinar matahari pada waktu air surut. Dalam hal yang paling serius
adalah risiko kemungkinan besarnya kehilangan cairan tubuh karena semua
organisme yang hidup di daerah pantai mempunyai permukaan tubuh yang basah
dan mempunyai sifat cepat kehilangan air akibat penguapan. Daerah ini juga
berbahaya karena kuatnya intensitas penyinaran matahari akan menyebabkan suhu
perairan menjadi terlalu tinggi (Hutabarat S dan Evans S.M. 2008).
2.2.1. Suhu
Suhu merupakan suatu besaran fisika yang menyatakan banyaknya bahang
(heat) yang terkandung dalam suatu benda. Secara alamiah sumber utama bahang
permukaan bumi adalah sinar matahari (Effendi 2003). Suhu di laut adalah salah
satu faktor yang sangat penting bagi kehidupan organisme di lautan, karena suhu
mempengaruhi aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan organisme
tersebut. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika banyak dijumpai bermacam-
macam jenis hewan yang terdapat di berbagai tempat di dunia.
Robinson et. al (1983) in Tambiolo Maria L & Downing John A (1994)
menyebutkan bahwa produksi benthos laut sangat tergntung pada suhu. Produksi
akan menjadi tinggi ketika suhu tinggi, karena laju fisiologi menjadi optimum
pada kondisi ektotermal hangat.
Baik lautan maupun daratan keduanya dipanasi oleh sinar matahari melalui
suatu proses insolation. Akan tetapi pengaruh pemanasan ini tidaklah sama untuk
daerah-daerah yang terletak pada lintang yang berbeda. Daerah tropikl lebih
banyak menerima panas daripada daerah kutub, yang pada dasarnya disebabkan
oleh tiga faktor: Pertama, sinar matahari yang merambat melalui atmosfer akan
banyak kehilangan panas sebelum sampai di daerah kutub, bila dibandingkan
dengan daerah ekuator. Kedua, oleh karena besarnya perbedaan sudut datang sinar
matahari ketika mencapai permukaan bumi. Pada daerah kutub sinar matahari
yang sampai di permukaan bumi akan tersebar pada daerah yan lebih luas
daripada daerah ekuator. Ketiga, di daerah kutub lebih banyak panas yang
diterima oleh permukaan bumi yang dipantulkan kembali ke atmosfer. Hal ini
disebabkan oleh sudut relatif ketika sinar matahari mencapai permukaan bumi.
Keadaan ini yang membuat insolation di daerah subtropik lebih besar daripada di
daerah tropik. Alasan yang menyebabkan mengapa keanehan ini terjadi,
kemungkinan karena adanya faktor awan yang menutupi.Awan ini yang
menyebabkan insolation berkurang karena menyerap dan menyebarkan sinar-sinar
yang datang. Daerah tropik adalah daerah yang mempunyai nilai kelembaban
udara yang tinggi sehingga menyebabkan daerah ini mempunyai lapisan awan
yang lebih tebal daripada daerah subtropik. Sejak sinar matahari kebanyakan
diserap oleh lapisan permukaan laut, maka lapisan ini cemderung relatif panas
sampai pada kedalaman 200 meter. Pada lapisan kedalaman antara 200 sampai
1000 meter, suhu turun secara mendadak yang membentuk sebuah kurva dengan
lereng yang tajam dan dikenal dengan thermokline (Hutabarat S dan Evans S.M.
2008).
2.2.2. Gelombang
Gelombang selalu menimbulkan sebuah ayunan air yang bergerak tanpa
henti pada lapisan permukaan laut dan jarang dalam keadaan sama sekali diam.
Angin yang bertiup di atas permukaan laut merupakan pembngkit utama
gelombang. Bentuk gelombang yang dihasilkancenderung tidak tertentu.
Umumnya makin kencang angin bertiup makin besar gelombang yang terbentuk.
Bentuk gelombang akan berubah dan akhirnya pecah ketika sampai di pantai. Hal
ini disebabkan oleh karena gerakan melingkar dari partikel-partikel yang terletak
di bagian paling bawah gelombang dipengaruhi oleh gesekan dari dasar laut di
perairan dangkal. Bekas jalan kecil yang ditinggalkan oleh mereka kemudian
berubah menjadi berbentuk elips. Hal ini mengakibatkan perubahan yang besar
terhadap sifat gelombang. Gelombang sekarang bergerak ke dapan dan tinggi
gelombang naik mencapai 80% kedalaman perairan. Bentuk ini kemudian menjadi
tidak stabil dan akhirnya pecah yang sering disertai dengan gerakan maju ke
depan yang berkekuatan sangat besar. Bila sebuah gelombang pecah, airnya akan
dilemparkan jauh ke depan sampai mencapai daerah pantai. Beberapa di antaranya
akan kembali lagi ke laut mengalir sebahai arus yang ada di bawah permukaan
(Hutabarat S dan Evans S.M. 2008).
2.2.3. Angin, Arus dan Upwelling
Hutabarat S dan Evans S.M. (2008) mengemukakan bahwa angin adalah
salah satu faktor yang paling bervariasi dalam membangkitkan arus. Arus
merupakan gerakan air horizontal yang sangat luas yang terjadi pada seluruh
lautan di dunia. Angin dapat juga menyebabkan timbulnya arus air vertikal yang
dikenal sebagai upwelling dan sinking pada beberapa daerah pantai. Hal ini terjadi
dalam keadaan dimana arah angin sejajar dengan garis pantai. Proses upwelling
adalah suatu proses dimana massa air didorong ke arah atas dari kedalaman
sekitar 100 sampai 200 meter yang terjadi di sepanjang pantai Barat di banyak
benua. Adapaun sinking merupakan suatu proses yang mengangkut gerakan air
yang tenggelam ke arah bawah di perairan pantai. Hal ini terjadi sebagai suatu
hasi yang merupakan kebalikan dari proses upwelling. Angin bertiup sejajar
dengan garis pantai tetapi dalam hal ini arah rata-rata aliran arus yang dirpoduksi
mereka ke arah daratan dan aliran massa air diarahkan ke bawah ketika mencapai
garis pantai.
2.2.4. Pasang Surut
Pasang surut atau yang biasa disebut pasut merupakan proses naik
turunnya permukaan laut dengan pola yang hampir teratur yang dibangkitkan oleh
gaya tarik bulan dan matahari (harian). Besarnya kisaran pasang surut selalu
berubah mengikuti perubahan posisi bulan dan matahari terhadap Bumi yang juga
berubah secara hampir teratur (Satria 2007).
Perairan yang mengalami satu kali pasang dan satu kali surut per hari
dikatakan memiliki tipe pasang surut tunggal. Perairan yang memiliki dua kali
pasang dan dua kali surut per hari dikatakan memiliki pasang surut ganda. Tipe
pasang surut lainnya merupakan peralihan antara tipe tunggal dan ganda, dan
dikenal sebagai sebagai pasang surut campuran. Tipe pasang surut ini dapat
berubah terutama karena perubahan kedalaman perairan atau geomorfologi pantai
setempat (Satria 2007).
Karakteristik pasang surut di perairan Teluk Palabuhan Ratu sama dengan
karakteristik gelombang yang merupakan perambatan dari pengaruh pasang surut
yang terjadi di Samudra Indonesia. Pasang surutnya bersifat campuran dominasi
semidiurnal, yaitu tinggi pasang surut pertama tidak sama dengan tinggi pasang
surut kedua. Hal tersebut dikarenakan perairan teluk berhubungan langsung
dengan perairan laut lepas Samudera Hindia (Munawir 2006).
2.3. Organisme bentik perairan pantai
Organsime yang hidup di dasar lautan dikenal dengan benthos. Termasuk
di dalamnya seluruh hewan-hewan dan tumbuhan yang hidup pada daerah-daerah
yang masih dipengarhui oleh air pasang (daerah littoral), daerah sublittoral dan
yang tinggal di laut yang sangat dalam (daerah bathyl dan abyssal). Bermacam-
macam jenis hewan invertebrata banyak dijumpai di dalam benthos. Mereka
mempunyai kisaran ukuran yang sangat luas yaitu dari yang berukuran sebesar
protozoa sampai kepada yang berukuran sebesar crustacea dan moluska. Ukuran
ini yang kadang-kadang dipakai sebagai dasar untuk mengklasifikasikan mereka
menjadi golongan microfauna, meiofauna dan macrofauna.
Microfauna adalah istilah yang dipakai untuk menerangkan hewan-hewan
yang mempunyai ukuran lebih kecil dari 0,1 mm. Meiofauna adalah golongan
hewan-hewan yang mempunyai ukuran 0,1 mm sampai 1,0 mm. Cacing-cacing
berukuran kecil dan beberapa crustacea masuk ke dalam golongan ini.
Macrofauna meliputi hewan-hewan yang mempunyai ukuran lebih besar dari 0,1
mm. Ini termasuk echinodermata, crustacea, annelida, moluska. Cara lain untuk
mengklasifikasikan hewan bentik adalah dengan melihat hubungan mereka
terhadap tempat hidupnya. Semua hewan yang hidup di atas permukaan dasar
lautan dikenal dengan epifauna dan yang hidupnya dengan cara menggali lubang
pada dasar lautan dikenal dengan infauna (Hutabarat S dan Evans S.M. 2008).
Nebalia yang menjadi biota spesifik dalam kajian ini tergolong ke dalam infauna.
Hewan-hewan herbivora bentik semata-mata hanya bersandar pada bahan
tumbuh-tumbuhan mati atau mengalami pembusukan dari sumber lain sebagai
bahan makanan. Bahan-bahan ini tersedia dalam bentuk detritus yang
mengandung partikel-partikel kecil atau bahan-bahan organik. Sejumlah besar
bahan-bahan ini dibentuk dari sisa-sisa tumbuh-tumbuhan atau hewan bentik yang
hancur yang semasa hidupnya tinggal di daerah dangkal di perairan pantai.
Kemudian sebagian dari jumlah ini dibawa arus ke daerah lepas pantai. Sisa-sisa
tubuh organisme pelagik juga menambah jumlah detritus yaitu ketika mereka mati
dan tenggelam ke dasar. Sumber lain detritus adalah kotoran hewan yang hidup di
daerah pelagik. Sebagai contoh, beberapa golongan copepoda tidak mencernakan
makanan mereka secara sempurna dan akibatnya 30% fitoplankton yang dimakan
mereka akan keluar lagi sebagai potongan kotoran yang tidak tercerna, ini kaya
mengandung bahan-bahan organik. Hewan bentik dalam memanfaatkan sisa
kotoran mengalami suatau masalah khusus, tetapi mereka mampu mengatasi hal
tersebut dengan dua cara. Pertama, suspension feeder yaitu dengan cara
menyaring partikel-partikel detritus yang masih melayang-layang di air. Kedua,
deposit feeders yang mengumpulkan detritus yang telah menetap di atas dasar
perairan. Detritus yang dapat sampai ke dasar lautan pada laut-laut yang sangat
dalam hanya berjumlah relatif kecil. Karena bahan-bahan organik yang tersedia di
daerah ini menjadi kurang, maka hewan-hewan yang dapat hidup di sini pun
menjadi kurang (Hutabarat S dan Evans S.M. 2008). Dinamika produksi spesies
bentik sangat kompleks dan informasi yang tersedia juga sangat minim (Morgan
et. al 1980 in Raburu Phil, Mavuti Kenneth M, Harper David M & L Clark Frank.
(2002).
2.4. Karakteristik Nebalia
Klasifikasi Nebalia menurut Leach (1814) in Todd Haney (2004) adalah
sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Subphylum : Crustacea
Class : Malacostraca
Order : Leptostraca
Family : Nebaliidae
Genus : Nebalia
Gambar 2. Nebalia sp. (http://www.websters-online-dictionary.org)
Leptostraca umumnya bentik, bermata majemuk, memiliki rostrum dengan
benuk karapas lebar menutupi kepala, thoracopoda. Sejak spesies pertama Nebalia
dideskripsikan, Cancer bipes Fabricus 1780, yang kemudian dikenal dengan
Nebalia bipes, identifikasi 29 spesies lainnya kemudian mulai diidentifikasi (Lee