KARYA TULIS PRODUKSI BIODIESEL DARI BIJI MALAPARI (Pongamia pinnata (L.) Pierre) Oleh Ni Luh Arpiwi, S.Si, M.Sc., Ph.D. NIDN: 0013087108 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MIPA UNIVERSITAS UDAYANA 2015
KARYA TULIS
PRODUKSI BIODIESEL DARI BIJI
MALAPARI (Pongamia pinnata (L.) Pierre)
Oleh
Ni Luh Arpiwi, S.Si, M.Sc., Ph.D.
NIDN: 0013087108
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MIPA
UNIVERSITAS UDAYANA
2015
ii
RINGKASAN
Menurunnya pasokan bahan bakar fosil di Indonesia khususnya dan di dunia umumnya
mendorong pencarian sumber – sumber energi alternatif terbarukan, ramah lingkungan dan
berkelanjutan. Salah satu sumber energi terbarukan yang masuk dalam kategori di atas adalah
biodiesel. Pongamia pinnata atau dikenal dengan nama daerah malapari adalah tanaman non-
pangan penghasil minyak yang berpotensi sebagai bahan baku biodiesel karena kandungan
minyaknya tinggi dan mampu tumbuh di lahan kritis.
Ada beberapa kendala yang memerlukan solusi mendesak untuk merealisasikan
produksi biodiesel dari biji Malapari. Pertama, kandungan minyak sangat beragam mulai dari
27 – 40% berat kering. Dalam usaha budidaya diperlukan tanaman dengan kandungan
minyak tinggi sehingga perlu seleksi induk untuk perbanyakan vegetatif guna penyediaan
bibit unggul. Kedua, rendemen minyak sangat tegantung dari pelarut yang digunakan dan
lamanya ekstraksi. Kombinasi kedua faktor tersebut perlu diteliti sehingga ditemukan jenis
pelarut yang efektif dan efisien. Ketiga, pada proses transesterifikasi diperlukan jenis katalis
yang tepat untuk menghasilkan konversi maksimal sehingga perlu penelitian mengenai jenis
katalis.
Sampel buah Malapari diambil dari dua lokasi di Bali yaitu pantai Lovina, Desa
Kalibukbuk, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng dan desa Karangsari, Kecamatan Nusa
Penida, Kabupaten Klungkung. Minyak diekstrak dari biji menggunakan tiga macam pelarut,
yaitu: heksan, petroleum eter dan etanol. Lamanya ekstraksi adalah 30, 60, dan 120 menit.
Dalam transesterifikasi digunakan dua macam katalis, yaitu KOH dan abu sekam padi (ASP)
untuk mendapatkan katalis dengan tingkat konversi yang lebih tinggi. Komposisi metil ester
asam lemak penyususn biodiesel dianalisis dengan Gas Chromatography Mass
Spectrophotometry (GC-MS). Karakterisasi biodiesel dilakukan terhadap beberapa parameter
uji, meliputi: masa jenis, viskositas, angka setana, kadar air, angka asam, angka iodium dan
angka penyabunan.
Kombinasi jenis pelarut dengan waktu ekstraksi memberikan pengaruh berbeda nyata
(P<0.05) terhadap rendemen minyak. Kombinasi pelarut heksan dengan waktu ekstraksi
selama 30 menit menghasilkan rendemen minyak tertinggi yaitu sebanyak 31,6% berat kering.
Pohon Malapari dengan kandungan minyak ≥30% dipilih sebagai tetua untuk perbanyakan
generatif di tahun ke dua. Ditemukan sebanyak delapan pohon dengan kandungan minyak
≥30% dan semuanya tumbuh di pantai Lovina. Tidak ada korelasi yang signifikan antara
iii
kandungan minyak dengan dimensi biji. Pada reaksi transesterifikasi untuk pembuatan
biodiesel, katalis KOH memberikan tingkat konversi lebih tinggi dibandingkan dengan katalis
ASP yaitu masing – masing sebesar 90% dan 37%. Analisis dengan GC-MS mengindikasikan
ada 10 macam metil ester asam lemak yang menyusun biodiesel yaitu: palmitat, stearat, oleat,
elaidat, linoleat, linolenat, arakhidat, 11-eikosanoat, behenat dan lignoserat. Kualitas biodiesel
dari minyak Malapari telah memenuhi standar mutu SNI 2006 untuk beberapa parameter uji,
meliputi: masa jenis, viskositas, angka setana, kadar air, angka asam dan angka iodium.
Malapari merupakan sumber bahan baku potensial untuk biodiesel karena kandungan
minyaknya yang tinggi dan kualitas biodiesel yang dihasilkan telah sesuai dengan spesisiksi
SNI 2006 untuk beberapa parameter uji. Pada penelitian ini telah ditemukan delapan pohon
dengan kandungan minyak ≥ 30% yang merupakan pohon unggul untuk dijadikan tetua dalam
perbanyakan vegetatif di tahun kedua. Hal ini sangat penting untuk budidaya Malapari dalam
rangka menunjang industri bahan bakar nabati nasional sehingga dapat mengurangi
ketergantungan akan bahan bakar fosil.
iv
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan
rahmatNya laporan tahunan penelitian hibah bersaing yang berjudul “Produksi Biodiesel dari
Biji Malapari (Pongamia pinnata (L.) Pierre)” dapat diselesaikan dengan baik dan tepat
waktu. Laporan ini tidaklah sempurna, maka dari itu penulis sangat mengharapkan saran,
masukan dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan laporan ini.
Penulis menghaturkan ucapan terimakasih yang amat mendalam kepada Direktorat
Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan yang membiayai penelitian ini. Terimaksih juga
penulis haturkan kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas
Udayana yang memfasilitasi urusan administrasi penelitian ini.
Banyak pihak yang membantu penelitian ini baik melalui bantuan teknis di
laboratorium, di lapangan, konsultasi analisis statistik, dukungan para dosen senior, rekan
sejawat, maupun mahasiswa yang tak dapat disebutkan satu per satu. Ucapan terimakasih
kepada mereka semua, semoga Yang Maha Kuasa memberi rahmatNya.
Semoga laporan ini bermanfaat bagi para pembaca.
Denpasar 14 Desember 2015
Penulis
v
DAFTAR ISI
halaman
HALAMAN SAMPUL i
RINGKASAN ii
PRAKATA iv
DAFTAR ISI v
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR viii
BAB 1. PENDAHULUAN 1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1. Deskripsi Malapari 3
2.2. Ekstraksi minyak, jenis pelarut dan waktu ekstraksi 3
2.3. Biodiesel dari Malapari 4
2.4. Katalis 5
BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 6
BAB 4. METODE PENELITIAN 7
4.1. Survey lapangan 7
4.2. Pengambilan sampel, pengukuran dimensi buah dan biji Malapari 7
4.3. Ekstraksi minyak dan seleksi pohon terbaik 7
4.4. Korelasi ukuran buah, biji dengan kandungan minyak 8
4.5. Produksi biodiesel 8
4.6. Analisis komposisi metil ester asam lemak biodiesel 9
4.7. Karakterisasi biodiesel 9
4.8. Rancangan Percobaan dan Analisis Data 12
BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 13
5.1. Hasil survey lapangan 13
5.2. Pengambilan sampel, pengukuran dimensi buah dan biji Malapari 14
5.3. Ekstraksi minyak dan seleksi pohon terbaik 17
5.4. Korelasi ukuran buah dan biji dengan kandungan minyak 19
5.5. Produksi biodiesel 20
5.6. Komposisi metil ester asam lemak 20
5.7. Karakteristik biodiesel dari minyak Malapari 22
vi
BAB7. KESIMPULAN DAN SARAN 25
DAFTAR PUSTAKA 26
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Ukuran buah Malapari (panjang, lebar, tebal dan berat) yang
diambil dari pantai Lovina dan Nusa Penida.
15
Tabel 2 Ukuran biji Malapari (panjang, lebar, tebal dan berat) dan
kandungan minyak yang diambil dari pantai Lovina dan Nusa
Penida
16
Tabel 3 Univariate analysis of variance menggunakan tiga macam
pelarut (heksan, petroleum eter dan etanol) dan 3 waktu
ekstraksi (30, 60 dan 120 menit)
17
Tabel 4 Rendemen minyak (%) yang dihasilkan dari penggunaan tiga
pelarut (heksan, petroleum eter, etanol) yang dikombinasikan
dengan waktu ekstraksi (30, 60 dan 120 menit)
18
Tabel 5 a) One sample test kandungan minyak seluruh sampel, b)
independent sample test kandungan minyak pada dua lokasi
19
Tabel 6 Korelasi ukuran buah dan biji dengan kandungan minyak 20
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Morfologi Malapari. a) tanaman berbentuk pohon dengan
ketinggian 8-10 meter. b) Bunga majemuk berbentuk tandan
semu. c) Petala berbentuk vexillum (atas), sepasang alae
(tengah) dan sepasang carina (bawah). d) Buah dan biji.
3
Gambar 2 a) Ekstraksi minyak dengan alat soklet, b) destilasi untuk
memisahkan heksan dari minyak.
8
Gambar 3 Pembuatan biodiesel pada suhu 60oC selama 90 menit 9
Gambar 4 Pohon – pohon Malapari yang tumbuh di pantai Lovina,
Kabupaten Buleleng, Bali
13
viii
Gambar 5 Pohon Malapari yang tumbuh di Nusa Penida, Kabupaten
Klungkung, Bali. a) pohon yang tumbuh di pantai, b) pohon
yang tumbuh di pinggir jalan
13
Gambar 6 a) Buah Malapari masih sangat muda, b) buah sudah mulai
membesar, c) buah sudah dewasa tetapi belum masak
fisiologis
14
Gambar 7 Kromatogram biodiesel hasil analisis dengn GC-MS 21
1
BAB 1. PENDAHULUAN
Produksi minyak dunia mencapai puncaknya pada tahun 2006 yang kemudian terus
mengalami penurunan. Penyusutan persediaan bahan bakar fosil yang diiringi dengan
peningkatan permintaan menyebabkan meningkatnya harga bahan bakar minyak.
Pembakaran bahan bakar fosil menghasilkan emisi gas rumah kaca yang berdampak pada
pemanasan global. Hal ini menyebabkan terdorongnya pencarian sumber – sumber energi
alternatif terbarukan yang ramah lingkungan di seluruh dunia. Biodiesel adalah salah satu
bentuk energi terbarukan yang bisa menggantikan solar baik dalam bentuk murni ataupun
campuran dengan solar. Selain itu biodiesel dapat diuraikan oleh lingkungan dan
menghasilkan lebih sedikit emisi sehingga mengurangi dampak pemanasan global
(International Energy Agency, 2011).
Pongamia pinnata (L.) Pierre sinonim dengan beberapa nama ilmiah, yaitu
Millettia pinnata (L.) Panigrahi, P. pinnata Merr, P. glabra Vent, Millettia novo
guineensis Kane & Hat dan Derris indica (Lam) Bennet (Scott et al., 2008). Spesies
tersebut juga memiliki berbagai nama daerah misalnya : Malapari (Simeuleu), Mabai
(Bangka), Ki Pahang Laut (Jawa Barat), Bangkongan, Kepik (Jawa), Kranji (Madura),
Marauwen (Minahasa), Hate hira (Ternate), Butis, Sikam (Timor) dan Kuanji (Bali)
(Soerawidjaja, 2005) . Malapari adalah tanaman menahun berbentuk pohon dari familia
Leguminosae yang memiliki kemampuan menambat nitrogen dari udara bebas (Arpiwi, et
al., 2013b). Penambatan nitrogen gratis ini mengurangi kebutuhan penambahan pupuk N
dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman tersebut sehingga menghemat biaya.
Secara ekologis M. pinnata mampu hidup pada hampir semua jenis tanah meliputi
tanah berpasir, tanah berbatu dan tanah liat sehingga lebih memudahkan pemanfaatan
lahan kritis tersebut. Malapari juga bisa hidup di lahan bergaram dan tergenang seperti
daerah pantai, tepi sungai dan estuari. Distribusinya mulai dari pantai sampai pada
ketinggian 1200 meter di atas permukaan laut, curah hujan tahunan 500 – 2500 mm,
temperature diatas 0oC sampai 38
oC (Sangwan et al., 2010). Usaha budidaya tanaman ini
tidak akan berkompetisi dengan lahan pertanian yang subur sehingga tidak akan
menganggu produktivitas tanaman pertanian.
Beberapa hasil penelitian di India menunjukkan bahwa kandungan minyak
Malapari sangat beragam antara pohon satu dengan yang lainnya baik dalam lokasi yang
sama maupun dalam lokasi yang berbeda dengan kisaran 10 – 47% berat kering (Divakara
et al., 2010; Kaushik et al.,2007; Mukta et al., 2009). Tingginya keragaman kandungan
minyak tersebut sangat erat kaitannya dengan faktor genetik, lingkungan dan interaksi
2
keduanya. Seleksi tanaman dengan kandungan minyak tinggi merupakan langkah
pemuliaan untuk perbanyakan secara vegetatif dalam upaya penyediaan bibit unggul untuk
usaha budidaya.
Dalam proses ekstraksi minyak dari biji, banyaknya rendemen ditentukan pula oleh
pelarut yang digunakan dan lamanya waktu ekstraksi. Setelah minyak berhasil diekstrak
dilakukan proses transesterifikasi untuk menghasilkan biodiesel. Jenis katalis menentukan
persentase konversi sehingga penelitian mengenai jenis katalis merupakan salah satu
prioritas penting. Komposisi metil ester asam lemak penyusun biodiesel perlu dianalisis
karena hal tersebut mempengaruhi kualitas biodiesel. Selanjutnya karakterisasi biodiesel
perlu dilakukan untuk menguji kualitas biodiesel yang dihasilkan.
3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Deskripsi Malapari
Malapari adalah tanaman perdu atau pohon dari familia Leguminosae yang
memiliki percabangan tersebar, tumbuh dengan cepat dengan tinggi tanaman antara 15
sampai 25 meter (Gambar 1a). Batang berwarna abu-abu, melekah tegak lurus samar-
samar, dengan diameter batang bisa mencapai 80 cm (Mardjono, 2008).
Bunganya majemuk berbentuk tandan semu di ketiak daun berwarna putih, merah
muda dan ungu, biseksual, zigomorf (Gambar 1b). Petala berbentuk tidak sama yang
terdiri dari sebuah bendera (vexillum), sepasang sayap (alae) dan sepasang lunas (carina)
yang melindungi putik dan benang sari (Gambar 1c). Buah berbentuk lonjong, menyerong
hingga menjorong, berdinding tebal, di dalamnya terdapat 1-2 biji berwarna coklat
berbentuk elip (Gambar 1d) (Raju and Rao, 2006).
Gambar 1) Morfologi Malapari. a) tanaman berbentuk pohon b) Bunga majemuk
berbentuk tandan semu. c) Petala berbentuk vexillum (atas), sepasang alae (tengah) dan
sepasang carina (bawah). d) Buah dan biji.
2.2. Ekstraksi minyak, jenis pelarut dan waktu ekstraksi
Ektraksi minyak dapat dilakukan dengan beberapa metode, misalnya sokletasi,
perkolasi dingin dan pengepresan mekanik. Diantara ketiga metode ini, sokletasi
merupakan metode yang paling umum dipakai untuk skala laboratorium dengan hasil
terbaik. Sokletasi dilakukan untuk mengestrak komponen tertentu dari material padat
(misalnya biji tumbuhan) dengan menggunakan pelarut. Caranya adalah material yang
akan diekstrak ditampung ke dalam timbel yang terbuat dari kertas saring tebal kemudian
dimasukkan ke dalam ruang soklet. Pada ujung bawah soklet dipasang labu didih yang
4
berisi pelarut dan ujung atasnya disambungkan dengan pipa pendingin (kondenser) yang
berisi air masuk dan keluar. Soklet kemudian dipanaskan dengan mantel pemanas yang
menguapkan pelarut. Uap bergerak ke lengan destilasi yang kemudian tertampung di ruang
soklet yang merendam timbel. Kondenser berfungsi untuk mengembunkan uap pelarut
supaya menetes ke ruang soklet sehingga minyak terekstrak oleh pelarut hangat. Ketika
ruang soklet telah penuh maka pelarut dialirkan ke labu didih melalui lengan sifon
sehingga ruang soklet menjadi kosong (Bobade and Khyade, 2012). Proses ini disebut
sirkulasi dan diperlukan beberapa kali sirkulasi untuk mengekstrak semua minyak dari
bahan.
Ada beberapa jenis pelarut yang digunakan untuk ekstraksi minyak dari biji,
misalnya heksan, petroleum eter, etanol, etil asetat dan isopropanol (Kesari et al., 2010;
Wildan dkk., 2014). Waktu yang digunakan untuk ekstraksi juga beragam, misalnya 8 jam
(Kaushik et al., 2007) dan 1 jam (Sunil et al., 2009). Perbedaan waktu ekstraksi pada
kedua penelitian tersebut disebabkan oleh kondisi yang berbeda misalnya bobot sampel
yang digunakan, volume pelarut dan suhu ekstraksi. Selama ini belum ada penelitian
tentang kombinasi jenis pelarut dengan waktu ekstraksi untuk menghasilkan rendemen
minyak tertinggi.
2.3. Biodiesel dari Malapari
Biodiesel adalah fatty acid methyl ester (FAME) yang diperoleh melalui proses
transesterifikasi trigliserida bersama alkohol dengan bantuan katalis menghasilkan produk
sampingan berupa gliserol (Sharma and Singh, 2008). Biodiesel tidak mengandung
senyawa sulfur sehingga penggunaannya sebagai bahan bakar tidak menimbulkan hujan
asam. Bentuk energi terbarukan yang ramah lingkungan ini juga mudah diuraikan di alam
sehingga tidak mencemari lingkungan. Mesin dengan bahan bakar biodiesel menghasilkan
lebih sedikit emisi hidrokarbon, karbon monoksida dan NOx dibandingkan dengan solar
sehingga mengurangi efek rumah kaca (Agarwal and Rajamanoharan, 2009).
Malapari merupakan sumber bahan baku biodiesel potensial untuk dikembangkan
karena beberapa karakteristik pertumbuhan dan kandungan minyak dalam bijinya. Spesies
tersebut bisa tumbuh hampir di semua jenis habitat termasuk lahan kritis yang tergenang,
bergaram dan kurang subur. Tanaman tersebut juga mampu menambatkan nitrogen dari
udara bebas melaui simbiosis dengan rhizbobia terutama dari genus Bradyrhizobium
(Arpiwi et al. 2013b). Ini sangat menguntungkan secara ekonomis karena menghemat
biaya pupuk. Keuntungan secara ekologis adalah berkurangnya polusi tanah dan polusi air
akibat penggunaan pupuk kimia nitrogen (Andrews et al., Sprent and Sprent 1990).
5
Kemampuannya tumbuh di lahan dengan kandungan garam 200 mM dan di lahan
yang tergenang menyebabkan Malapari cocok digunakan untuk rehabilitasi lahan. Jadi
pengembangannya sebagai bahan baku biodiesel tidak akan berkompetisi dengan tanaman
– tanaman pertanian di lahan subur (Arpiwi et al. 2013a). Hal ini bisa menghindarkan
masalah ketahanan pangan karena pengambilalihan lahan pertanian untuk penanaman
tanaman biodiesel. Lahan kritis bisa dimanfaatkan dan ditingkatkan kesuburannya secara
alami sehingga berubah menjadi lahan produktif. Selain itu Malapari tahan terhadap
kekeringan sehingga tidak banyak memerlukan air untuk irigasi (Gui et al., 2008).
2.4. Katalis
Katalis sangat diperlukan dalam reaksi transesterifikasi karena katalis berfungsi
untuk mempercepat laju reaksi dengan menurunkan energi aktivasi tanpa menggeser letak
keseimbangan reaksi. Katalis tidak terlibat langsung dalam suatu reaksi, sehingga jumlah
katalis yang diperlukan dalam tahap awal reaksi akan sama dengan jumlah katalis pada
akhir reaksi. Tanpa katalis reaksi berjalan sangat lambat karena proses reaksi baru akan
dimulai setelah tercapai pada suhu proses relatif tinggi yaitu 250oC (Kirk and Othmer,
1980).
Ada dua macam katalis, yaitu katalis homogen dan heterogen. Katalis homogen
adalah adalah katalis yang mempunyai fasa sama antara reaktan dan produk. Dalam
transesterifikasi, katalis homogen yang sering digunakan adalah katalis basa (alkali)
seperti kalium hidroksida (KOH) dan natrium hidroksida (NaOH). Keuntungan dari katalis
homogen adalah tidak dibutuhkannya suhu dan tekanan yang tinggi dalam reaksi. Namun,
kelemahan katalis homogen adalah bersifat korosif, berbahaya bagi kesehatan bila terpapar
langsung, sulit dipisahkan dari produk dan tidak dapat diregenerasi (Srivastava and Prasad,
2000).
Katalis heterogen merupakan katalis yang mempunyai fasa yang tidak sama antara
reaktan dan produk. Jenis katalis heterogen yang dapat digunakan pada reaksi
transesterifikasi adalah CaO, MgO, K2O atau K2CO3. Keuntungan menggunakan katalis
ini adalah mempunyai aktivitas yang tinggi, kondisi reaksi yang ringan, masa hidup katalis
yang panjang, biaya katalis ekonomis, tidak korosif, ramah lingkungan, menghasilkan
sedikit masalah pembuangan, tidak mengotori produk, sangat mudah dipisahakan dari
larutan produksi sehingga dapat digunakan kembali (Srivastava and Prasad, 2000).
Abu sekam padi merupakan katalis basa heterogen alami yang berasal dari limbah
penggilingan padi. Jumlah sekam pada sekitar 20-22% dari bobot padi dan sekitar 15%
dari bobot sekam tersebut adalah abu yang dihasilkan setiap sekam padi dibakar (Harsono,
6
2002). Saat ini abu sekam padi belum dimanfaatkan secara optimal padahal
ketersediaannya sangat melimpah. Kandungan bahan – bahan kimia pada abu sekam padi
antara lain SiO2, Al2O3, Fe2O3, CaO, MgO, K2O dan Na2O (Folleto et al., 2006).
Kandungan situs – situs aktif basa pada abu sekam padi berpotensi digunakan sebagai
katalis.
BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT
3.1. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai pada tahun pertama adalah
1. Menemukan kombinasi jenis pelarut (heksan, petroleum eter, etanol) dan lamanya
ekstraksi (30, 60,120 menit) yang paling efektif dan efisien untuk ekstraksi minyak dari
biji Malapari
2. Seleksi pohon Malapari dari tegakan alami yang menghasilkan minyak terbanyak yang
nantinya dipakai sebagai tetua dalam perbanyakan vegetatif.
3. Menguji dua macam katalis yaitu KOH dan abu sekam padi untuk transesterifikasi
minyak menjadi biodiesel untuk mendapatkan persentase koversi lebih tinggi.
4. Menganalisis komposisi metil ester biodiesel.
5. Karakterisasi biodiesel.
3.2. Manfaat
Manfaat penelitian ini adalah mendukung pengembangan sumber energi terbarukan
khususnya biodiesel dari tanaman non-pangan. Seleksi jenis unggul yang memiliki
kandungan minyak tinggi dari tegakan alami akan mendorong pemuliaan M. pinnata.
Selanjutnya pemuliaan jenis unggul dan budidaya Malapari di sepanjang pantai akan
membantu rehabilitasi pantai dan akan menambah penghasilan masyarakat sekitar pantai
dari produksi biji dan minyak.
7
BAB 4. METODE PENELITIAN
4.1. Survey lapangan
Survey lapangan ke pantai Lovina, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Bali
dilakukan pada bulan Februari, Maret dan April 2015. Survey lapangan ke Nusa Penida
Kabupaten Klungkung dilakukan pada bulan Maret 2015. Tujuan survey adalah untuk
mengetahui tahap perkembangan buah dan kondisi pohon Malapari
4.2. Pengambilan sampel, pengukuran dimensi buah dan biji Malapari
Buah Malapari yang telah masak panen dipetik dari pohonnya di dua lokasi di Bali
meliputi: pantai Lovina, Desa Kalibukbuk, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng dan
Desa Karangsari, Kecamatan Nusa Penida Kabupaten Klungkung, Bali. Tiap - tiap lokasi
diambil dua puluh sampel @ 2 kg kemudian buah dimasukkan dalam kantong plastik dan
diberi label. Pohon yang disampel juga diberi label sehingga dapat diketahui asal pohon
tiap -tiap sampel. Buah dikeringkan di bawah sinar matahari selama satu minggu.
Dimensi buah yang meliputi panjang, lebar, tebal dan berat diukur dengan caliper
dan berat diukur dengan neraca analitik. Buah dikupas untuk mendapatkan biji. Biji
dikeringkan lebih lanjut di dalam dalam oven dengan suhu 60oC selama 4 hari kemudian
ditimbang beberapa kali agar mencapai berat konstan. Dimensi biji juga diukur dengan
cara yang sama seperti pengukuran buah. Jumlah sampel yang diukur adalah 10 untuk tiap
– tiap pohon.
4.3. Ekstraksi minyak dan seleksi pohon terbaik
Biji kering dihaluskan dengan menggunakan blender kemudian diayak supaya
homogen. Sebanyak 10 gram bubuk halus dikemas dalam thimble kemudian diletakkan
dalam alat soxhlet. Ujung alat soklet dihubungkan dengan labu didih yang diisi 170 ml
salah satu pelarut (heksan, petroleum eter atau etanol). Alat soxhlet dihubungkan dengan
pipa kondenser yang dialiri air masuk dan keluar, kemudian dipanaskan dengan mantel
pemanas pada suhu 60oC (Gambar 2a). Lamanya ekstraksi adalah 30, 60 dan 120 menit
masing masing diulang 3 kali. Setelah waktu ekstraksi tercapai diperoleh minyak
bercampur pelarut. Campuran tersebut dipisahkan dengan cara destilasi (Gambar 2b)
sehingga pelarut diperoleh kembali dan bisa digunakan untuk ekstraksi berikutnya.
Banyaknya minyak yang dihasilkan (rendemen) dihitung dalam satuan persen (%) berat
kering.
8
Gambar 2a) Ekstraksi minyak dengan alat soklet, b) destilasi untuk memisahkan heksan
dari minyak.
Seleksi pohon Malapari terbaik dilakukan berdasarkan kandungan minyak serta
ukuran buah dan biji. Tanaman terpilih akan dijadikan tetua untuk perbanyakan vegetatif
di tahun ke dua dalam rangka budidaya Malapari.
4.4. Korelasi ukuran buah, biji dengan kandungan minyak
Ukuran buah dan biji yang meliputi: panjang, lebar, tebal dan berat dikorelasikan
dengan kandungan minyak dengan menggunakan korelasi bivariate.
4.5. Produksi biodiesel
Produksi biodiesel diawali dengan penyiapan katalis abu sekam padi (ASP). Sekam
padi yang diambil dari limbah penggilingan padi di Desa Batubulan, Gianyar dibersihkan
dari tanah, kerikil dan kotoran lainnya, kemudian dicuci dengan air dan dibilas dengan
akuades lalu dikeringkan pada suhu 110 - 120oC dalam oven. Sekam padi bersih dan
kering tersebut dibakar dalam nyala api hingga diperoleh arang sekam yang berwarna
hitam. Arang tersebut diabukan (dikalsinasi) dalam tanur pada suhu 700oC selama 4 jam.
Abu sekam berwarna putih yang diperoleh, selanjutnya digerus dan diayak sehingga
diperoleh abu yang lolos pada ayakan 250 μm.
Biodiesel dibuat dengan reaksi transesterifikasi menggunakan ASP dan KOH
sebagai katalis dengan rasio molar metanol : minyak adalah 6:1 dengan konsentrasi katalis
1% dari berat minyak. Metoksida dibuat dengan mencampurkan KOH dengan metanol,
yang ditampung dalam labu leher dua. Metoksida dalam labu leher dua dipanaskan dengan
hot plate stirrer pada suhu 60oC selama 15 menit. Minyak M. pinnata ditambahkan ke
9
dalam labu sambil terus dipanaskan, diaduk dan di reflux selama 90 menit (gambar 3).
Campuran tersebut dimasukan dalam corong pisah pada suhu kamar dan setelah 8 jam
terbentuk dua lapisan, yaitu lapisan atas berupa metil ester (biodiesel) dan lapisan bawah
adalah gliserol. Kedua lapisan dipisahkan dan biodiesel yang terbentuk didestilasi pada
suhu 65oC untuk menghilangkan sisa metanol.
Gambar 3. Pembuatan biodiesel pada suhu 60oC selama 90 menit
4.6. Analisis komposisi metil ester asam lemak biodiesel
Komposisi metil ester asam lemak penyusun biodiesel dianalisis dengan
menggunakan Gas Chromatography Mass Spectrophotometry (GC-MS) menurut metode
oleh Mukta et al. (2009). Kolom yang digunakan adalah BPX 70 dengan ukuran panjang
50 m, diameter 0.22 mm dan ketebalan film 0.25 µm. Helium digunakan sebagai gas
pembawa.Temperatur awal oven adalah 200oC selama 15 menit kemudian ditingkatkan
5oC secara bertahap sampai mencapai 220
oC
4.7. Karakterisasi biodiesel
Karakterisasi biodiesel meliputi kadar air, densitas, viskositas, bilangan
penyabunan, bilangan setana dan bilangan iodium. Metode yang digunakan untuk
karakterisasi mengacu pada Aziz dkk., (2012).
Kadar air diuukur dengn cara mengeringkan cawan porselen dalam oven selama 15
menit kemudian dimasukkan ke dalam desikator. Sampel minyak sebanyak 5 gram (W1)
dimasukkan ke dalam cawan porselin tersebut dan ditimbang (W2), kemudian dipanaskan
10
pada suhu 110oC selama 4 jam. Cawan didinginkan dalam desikator dan ditimbang (W3).
Kadar air dihitung dengan rumus:
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟 =𝑊2 − 𝑊3
𝑊1𝑥 100%
Keterangan:
W1 = Berat sampel (g)
𝑊2 = Berat cawan + sampel minyak sebelum dipanaskan (g)
𝑊3 = Berat cawan + sampel minyak setelah dipanaskan (g)
Densitas diukur dengan piknometer dengan prosedur sebagai berikut. Piknometer
dibersihkan dengan HCl kemudian dibilas dengan akuades sebanyak 3 kali. Piknometer
dikeringkan di dalam oven selama 5 menit, dimasukkan ke dalam desikator selama 10
menit, kemudian ditimbang untuk mendapatkan massa konstan (W1). Sampel biodiesel
dimasukkan ke dalam piknometer, bagian luarnya dikeringkan dengan tisu kemudian
ditimbang hingga diperoleh massa konstan (W2). Densitas dihitung dengan rumus:
𝜌 =𝑊2 − 𝑊1
v
𝜌 = Densitas (gram/ml)
W1 = Massa piknometer kosong (g)
W2 = Massa piknometer + sampel (g)
V = Volume piknometer (ml)
Viskositas diukur dengan menggunakan viskometer Ostwald. Sebanyak 5 ml
sampel diambil dengan pipet volume dan dimasukkan ke dalam viskometer Ostwald
kemudian salah satu ujungnya ditiup sampai sampel mencapai tanda batas atas. Waktu
yang diperlukan untuk mencapai batas atas diukur dengan stopwatch. Proses yang sama
dilakukan dengan menggunakan aquades. Viskositas dihitung dengan rumus:
𝜂𝑠 =𝜌𝑠 ∗ 𝑡𝑠
𝑝𝑎 ∗ 𝑡𝑎∗ 𝜂𝑎
𝜂𝑠 = viskositas biodiesel (cSt)
𝜂𝑎 = viskositas aquades (cSt)
𝜌𝑎 = Kerapatan aquades (gram/mL)
𝜌𝑠 = Kerapatan biodiesel (gram/mL
𝑡𝑎 = Waktu aquades untuk melewati tanda batas (detik)
𝑡𝑠 = Waktu biodiesel untuk melewati tanda batas (detik)
11
Prosedur pengukuran bilangan penyabunan (Saponification Value) adalah sebagai
berikut. Minyak sebanyak 2 gram ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu didih
kemudian ditambahkan 25 ml potassium hiroksida 0.5 M. Campuran tersebut dipanaskan
dengan waterbath pada titik didih air selama satu jam sambil dikocok secara berkala. Pada
saat campuran masih panas ditambahkan 3 tetes indikator PP, kemudian dititrasi dengan
HCl 0,1 N. Volume HCl yang digunakan untuk titrasi (S) dicatat. Titrasi juga dilakukan
dengan prosedur yang sama tanpa sampel (B). Bilangan penyabunan dihitung dengan
rumus
𝑆𝑉 =56,1 (𝐵 − 𝑆) ∗ 𝑁 𝐻𝐶𝑙
𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑔)
SV = Saponification Value / Angka penyabunan
B = Volume HCl sampel (ml)
S = Volume HCl blangko (ml)
Angka iodium ditentukan dengan cara menimbang 0,25 gram minyak ke dalam
labu didih 250ml, kemudian ditambahkan kloroform 10 ml dan larutan Hanus 30 ml. Labu
ditutup dengan parafilm kemudian dibiarkan pada suhu ruang sambil digoyang selama 30
menit. Ditambahkan 10 ml potassium iodin 15% dan dikocok kemudian ditambahkan 100
ml air destilasi. Campuran dititrasi dengan sodium tiosulfat 0,1 N sampai terbentuk warna
kuning kemudian ditambahkan 2-3 tetes larutan pati sehingga terbentuk warna biru. Titrasi
dilanjutkan sehingga warna biru menghilang. Presedur yang sama dilakukan untuk
blangko. Angka iodium dihitung dengan rumus
𝐼𝑉 =(𝐵 − 𝑆) ∗ 𝑁𝑎2𝑆2𝑂3 ∗ 0,127 𝑔/𝑚𝑒𝑞
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑔)∗ 100
IV = Iodine Value / Angka iodiun
B = Volume Na2S2O3 blangko
S = Volume Na2S2O3 sampel
Angka setana dihitung dengan rumus
CN = 46,3 + (5458/SV – 0,225 * IV)
CN = Cetane Number / Angka setana
SV = Saponification Value / Angka penyabunan
IV = Iodine Value / Angka iodium
12
4.8. Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Rancangan percobaan untuk ekstraksi minyak menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) Faktorial, dimana jenis pelarut (heksan, petroleum eter, etanol)
dikombinasikan dengan lamanya ekstraksi (30, 60, 120 menit) dengan 3 kali ulangan. Data
kombinasi pelarut dengan waktu ekstraksi dianalisis dengan general linear model untuk
mengetahui ada tidaknya interaksi. Dimensi buah dan biji dianalisis dengan T-test pada
taraf 5%. Kandungan minyak untuk tiap – tiap pohon sampel dianalisis dengan one
sample T-test sedangkan kandungan minyak di dua populasi yang berbeda dianalisis
dengan independent sample T-test. Analisis data menggunakan software SPSS versi 22.
13
BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil survey lapangan
Pohon – pohon Malapari di pantai Lovina tumbuh di sepanjang pantai berdekatan
dengan art shop (Gambar 4), sedangkan di Nusa Penida tumbuh di sepanjang pantai dan di
pinggir jalan dekat pantai dengan jarak berjauhan satu sama lain (Gambar 5). Pada bulan
Februari 2015 buah mulai terbentuk dengan ukuran kecil dan masih sangat muda (Gambar
6a), pada bulan Maret buah mulai membesar (Gambar 6b) dan pada awal bulan April
sebagian besar buah sudah mencapai ukuran maksimal tetapi masih berwarna hijau
(Gambar 6c) yang menandakan buah belum masak panen.
Gambar 4) Pohon – pohon Malapari yang tumbuh di pantai Lovina, Kabupaten Buleleng,
Bali
Gambar 5) Pohon Malapari yang tumbuh di Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Bali. a)
pohon yang tumbuh di pantai, b) pohon yang tumbuh di pinggir jalan
14
Gambar 6 a) Buah Malapari masih sangat muda, b) buah sudah mulai membesar, c) buah
sudah dewasa tetapi belum masak panen
5.2. Pengambilan sampel, pengukuran dimensi buah dan biji Malapari
Pada awal bulan Mei 2015 buah Malapari mulai masak panen yang ditandai
dengan ukuran buah besar maksimal dan berwarna coklat. Sebanyak 30 sampel (@ 2 kg
terkumpul, yaitu 20 sampel dari pantai Lovina dan 10 sampel dari pantai Nusa Penida.
Jumlah pohon Malapari di Nusa Penida sangat sedikit, letaknya tersebar dan hanya 10
pohon yang berbuah dan jumlah buah dalam satu pohon sangat sedikit.
Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan T-test bahwa ukuran buah
yang meliputi panjang, lebar, tebal dan berat berbeda sangat nyata (P<0,01) dari ke 30
sampel. Demikian pula dengan ukuran biji berbeda sangat nyata (P<0,01) pada seluruh
sampel. Ukuran buah disajikan pada tabel 1.
Seperti yang terlihat pada tabel 1, rata – rata panjang buah adalah 48,28 mm, nilai
tertinggi adalah 67.1 mm dan terendah 29,3 mm dan kedua sampel berasal dari pantai
Lovina. Rata – rata lebar buah adalah 14,30 mm, dengan nilai tertinggi 17,2 mm (sampel
dari pantai Lovina) dan terendah 12,2 mm (sampel dari Nusa Penida). Rerata tebal buah
adalah 8.67 mm dengan nilai tertinggi 11,8 mm, terendah 6,0 mm dan keduanya adalah
sampel dari pantai Lovina. Rerata berat buah adalah 2,37 gram, nilai tertinggi 3,68 gram,
terendah 1,83 gram dan kedua sampel berasal dari pantai Lovina.
15
Tabel 1. Ukuran buah Malapari (panjang, lebar, tebal dan berat) yang diambil dari pantai
Lovina dan Nusa Penida
Lokasi Ukuran buah (mm) Berat
Pohon panjang Lebar Tebal buah (g)
Pantai Lovina 1 50.5 13.4 8.4 2.162
Pantai Lovina 2 63.1 16.2 10.2 3.316
Pantai Lovina 3 39.4 15.5 9.6 2.153
Pantai Lovina 4 36.4 14.9 6 2.186
Pantai Lovina 5 37.5 13.9 7.2 1.833
Pantai Lovina 6 42.3 16.9 6.7 2.893
Pantai Lovina 7 29.3 13.2 6.7 1.897
Pantai Lovina 8 63.6 16.3 10.2 3.316
Pantai Lovina 9 41.7 15.2 10 2.153
Pantai Lovina 10 39.3 13.3 7.5 1.833
Pantai Lovina 11 50.9 14 8.9 2.162
Pantai Lovina 12 67.1 15.9 11.1 3.679
Pantai Lovina 13 51.5 13.9 9.1 2.205
Pantai Lovina 14 52.1 14 9.1 2.218
Pantai Lovina 15 63.2 16.3 11.7 3.467
Pantai Lovina 16 42.6 15 8 1.833
Pantai Lovina 17 53.1 13.1 8.4 2.201
Pantai Lovina 18 42.4 12.8 7.4 1.834
Pantai Lovina 19 50.5 13.4 8.4 2.162
Pantai Lovina 20 65.6 17.2 11.8 3.534
Nusa Penida 21 62.1 15.8 11.2 3.462
Nusa Penida 22 50.4 12.3 7.8 2.114
Nusa Penida 23 38.7 14 7.9 2.056
Nusa Penida 24 39 12.7 8.4 1.943
Nusa Penida 25 51.2 12.8 7.8 2.091
Nusa Penida 26 49.6 12.2 8.1 2.06
Nusa Penida 27 38.5 14.3 8.1 1.94
Nusa Penida 28 38.5 14.4 8.7 2.027
Nusa Penida 29 49 12.7 7.2 2.139
Nusa Penida 30 49.2 13.4 8.4 2.162
Rata - rata 48.28 14.30 8.67 2.37 Standar deviasi 9.99 1.43 1.49 0.59
Ukuran biji dan kandungan minyak disajikan pada tabel 2. Ukuran biji sangat
bervariasi diantara ke 30 sampel. Rata – rata panjang biji adalah 17,25 mm, nilai tertinggi
19,6 mm (sampel dari pantai Lovina) dan terendah 12,8 mm (sampel dari Nusa Penida).
Rerata lebar biji adalah 9,30 mm, tertinggi 11,9 mm, terendah 7,4 mm dan kedua sampel
berasal dari pantai Lovina. Rata- rata tebal biji adalah 5,74 mm, tertinggi 6,80 mm,
16
terendah 4,70 mm dan kedua sampel berasal dari pantai Lovina. Rerata berat biji adalah
1,20 gram, tertinggi 1,62 gram, terendah 1,02 gram dan kedua sampel berasal dari pantai
Lovina.
Tabel 2. Ukuran biji Malapari (panjang, lebar, tebal berat) dan kandungan minyak yang
diambil dari pantai Lovina dan Nusa Penida
Lokasi Ukuran biji (mm) Berat Kandungan minyak
Pohon panjang Lebar Tebal buah (g) (%)
Pantai Lovina 1 19.30 9.10 5.70 1.26 31
Pantai Lovina 2 16.30 9.10 5.40 1.13 32
Pantai Lovina 3 15.00 9.70 5.90 1.17 28
Pantai Lovina 4 18.90 10.60 4.70 1.31 29.5
Pantai Lovina 5 16.60 8.20 5.60 1.02 27.5
Pantai Lovina 6 18.90 11.90 5.40 1.62 29
Pantai Lovina 7 18.60 9.30 6.00 1.17 28
Pantai Lovina 8 16.30 9.10 5.40 1.20 30
Pantai Lovina 9 15.00 9.70 5.30 1.23 30
Pantai Lovina 10 16.70 8.80 6.00 1.10 32
Pantai Lovina 11 19.20 9.70 5.70 1.26 28
Pantai Lovina 12 16.70 9.60 5.90 1.27 29
Pantai Lovina 13 18.30 9.50 5.70 1.26 31
Pantai Lovina 14 18.30 9.50 5.70 1.26 30
Pantai Lovina 15 16.30 9.80 6.30 1.38 27
Pantai Lovina 16 16.50 8.60 6.00 1.11 28
Pantai Lovina 17 19.60 9.80 5.70 1.30 29
Pantai Lovina 18 16.60 7.40 5.80 1.08 26
Pantai Lovina 19 19.30 9.10 5.70 1.26 30
Pantai Lovina 20 17.80 10.00 6.80 1.33 29
Nusa Penida 21 15.44 10.20 6.30 1.22 28
Nusa Penida 22 18.10 8.80 4.90 1.13 28
Nusa Penida 23 13.90 9.40 6.00 1.10 27
Nusa Penida 24 18.10 8.60 6.10 1.05 28
Nusa Penida 25 17.90 8.40 5.40 1.14 29
Nusa Penida 26 16.60 9.00 5.40 1.16 27.5
Nusa Penida 27 16.90 9.00 6.70 1.16 28.5
Nusa Penida 28 12.80 9.10 5.60 1.10 29
Nusa Penida 29 18.20 8.90 5.40 1.18 27.8
Nusa Penida 30 19.30 9.10 5.70 1.16 28
Rata - rata 17.25 9.30 5.74 1.20 28.83
Standar deviasi 1.70 0.80 0.45 0.12 1.44
.
Keragaman ukuran buah, biji dan kandungan minyak pada seluruh sampel juga
dilaporkan oleh penelitian di India (Divakara et al., 2010). Di Indonesia data dimensi
17
buah, biji, dan kandungan minyak Malapari tidak ditemukan sehingga tidak bisa dibuat
perbandingan dengan hasil penelitian ini. Keragaman morfologi buah, biji dan kandungan
minyak mengindikasikan keragaman genetik (Divakara et al., 2010). Keragaman genetik
yang tinggi merupakan salah satu persyaratan suatu populasi tanaman yang akan
digunakan dalam program pemuliaan untuk perbaikan jenis (Kesari et al., 2008). Untuk
memastikan keragaman genetik Malapari yang tumbuh di Pantai Lovina dan Nusa Penida
perlu dilakukan penelitian menggunakan marka molekuler.
5.3. Ekstraksi minyak dan seleksi pohon terbaik
Ada 3 jenis pelarut yang diuji untuk ekstraksi minyak, yaitu heksan, petroleum eter
dan etanol yang dikombinasikan dengan waktu ekstraksi (30, 60 dan 120 menit). Hasil uji
statistik dengan menggunakan general linear model menunjukkan adanya interaksi antara
jenis pelarut dengan waktu ekstraksi (P<0,05) seperti yang terlihat pada tabel 3. Rendemen
minyak yang dihasilkan dari penggunaan 3 jenis pelarut yang dikombinasikan dengan 3
waktu ektraksi disajikan pada tabel 4.
Tabel 3. Univariate analysis of variance menggunakan tiga macam pelarut (heksan,
petroleum eter dan etanol) dan 3 waktu ekstraksi (30, 60 dan 120 menit)
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Y
Source
Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 594.741a 8 74.343 20.482 .000
Intercept 11697.926 1 11697.926 3222.898 .000
Pelarut 299.185 2 149.593 41.214 .000
Waktu 243.852 2 121.926 33.592 .000
Pelarut * Waktu 51.704 4 12.926 3.561 .026
Error 65.333 18 3.630
Total 12358.000 27
Corrected Total 660.074 26
a. R Squared = .901 (Adjusted R Squared = .857)
18
Tabel 4. Rendemen minyak (%) yang dihasilkan dari penggunaan tiga pelarut (heksan,
petroleum eter, etanol) yang dikombinasikan dengan waktu ekstraksi (30, 60 dan 120
menit)
Pelarut Waktu Rendemen
(%) Standar deviasi
(SD) N
Heksan 30 31,6 1,52 3
60 23,0 1,73 3
120 20,7 1,15 3
Petroleum eter 30 23,0 2,64 3
60 21,0 1,73 3
120 17,0 2,00 3
Etanol 30 19,3 1,15 3
60 17,3 3,21 3
120 14.00 0,57 3
Total 30 24,66 5,72 3
60 20,44 3,20 3
120 17,33 3,0 3
Jenis pelarut heksan menghasilkan rendemen tertinggi jika dibandingkan dengan
jenis pelarut yang lain. Rendemen tertinggi sebanyak 31,6 % dihasilkan dari kombinasi
jenis pelarut heksan dengan waktu eskstraksi 30 menit. Peningkatan waktu ekstraki
menjadi 60 menit dengan pelarut yang sama menurunkan rendemen menjadi 23,0%.
Demikian pula dengan peningkatan waktu menjadi 120 menit menurunkan rendemen
menjadi 20,7%.
Penggunaan petroleum eter sebagai pelarut dalam ekstraksi minyak yang
dikombinasi dengan waktu ekstraksi selama 30 menit menghasilkan rendemen sebanyak
23,0%. Rendemen semakin menurun dengan peningkatan waktu eksraksi, dimana 60 menit
menghasilkan rendemen 21% dan 120 menit menghasilkan rendemen 17%.
Etanol adalah jenis pelarut yang menghasilkan rendemen terendah. Kombinasi
pelarut ini dengan waktu ekstraksi 30 menit menghasilkan rendemen 19,3%, 60 menit
menghasilkan 17,3% dan 120 menit menghasilkan 17,33%.
Kandungan minyak (tabel 5a) berbeda sangat nyata (P<0.01) antar pohon satu
dengan pohon lainnya. Kandungan minyak pada dua lokasi yang berbeda (Tabel 5b) juga
berbeda nyata (P<0,05). Rata – rata kandungan minyak seluruh sampel (tabel 2) adalah
28.83% dengan kandungan kandungan tertinggi sebesar 32% dan terendah 26% yang
keduanya berasal dari pantai Lovina. Terdapat delapan pohon dengan kandungan minyak
≥ 30% di pantai Lovina yang dipilih sebagai tetua untuk perbanyakan vegetatif di tahun
kedua. Pohon – pohon tersebut yaitu pohon nomor 1, 2, 8, 9, 10, 13, 14 dan 19. Jika
19
dibandingkan kedua lokasi, maka kandungan minyak sampel dari pantai Lovina lebih
tinggi dari pada Nusa Penida.
Penggunaan heksan, petroleum eter dan etanol didasarkan pada perbedaan polaritas
ketiga pelarut tersebut. Kesesuain polaritas antara pelarut dan bahan yang dilarutkan
mempengaruhi kemampuan pelarut dalam menarik bahan yang dilarutkan. Heksan adalah
pelarut non-polar dan minyak adalah bahan non-polar juga sehingga penggunaan heksan
menghasilkan rendemen tertinggi dibandingkan dengan kedua pelarut lain. Hal yang sama
juga dilaporkan oleh Wildan dkk (2014) yang mengesktrak minyak dari limbah padat biji
karet menggunakan tiga macam pelarut, yaitu heksan, etil asetat dan etanol, dimana heksan
menghasilkan rendemen terbanyak.
Tabel 5a) One sample T-test kandungan minyak seluruh sampel, b) independent sample T-
test kandungan minyak pada dua lokasi
5.4. Korelasi ukuran buah dan biji dengan kandungan minyak
Ukuran buah dan biji yang meliputi panjang, lebar, tebal dan berat tidak memiliki
korelasi yang signifikan dengan kandungan minyak (Tabel 6). Ada beberapa parameter
buah yang berkorelasi positif satu sama lain, yaitu panjang buah dengan lebar buah,
panjang buah dengan berat buah, lebar buah dengan tebal buah, panjang buah dengan berat
buah, tebal buah dengan berat buah. Parameter biji yang berkorelasi positif satu sama lain
adalah lebar biji dengan berat biji. Beberapa parameter buah juga ada yang berkorelasi
positif dengan biji, diantaranya: lebar buah dengan lebar biji, lebar buah dengan berat biji,
tebal buah dengan tebal biji, berat buah dengan lebar biji.
20
Tabel 6. Korelasi ukuran buah dan biji dengan kandungan minyak
Pbu Lbu Tbu Bbu Pbi Lbi Tbi Bbi Kand. minyak
Pbu 1
Lbu 0,35 1
Tbu 0,83** 0,46* 1
Bbu 0,78** 0,58** 0,73** 1
Pbi -0,01 -0,33 -0,33 -0,11 1
Lbi 0,18 0,40* 0,15 0,43* 0,30 1
Tbi 0,32 -0,08 0,46** 0,34 -0,11 -0,09 1
Bbi 0,10 0,62** 0,11 0,30 0,11 0,40* -0,12 1
Kand. minyak 0,45 0,13 -0,01 0,02 0,08 0,06 -0,26 0,09 1
Keterangan
Pbu = panjang buah Tbu = tebal buah Pbi = panjang biji Tbi = tebal biji Lbu = lebar buah Bbu = berat buah Lbi = lebar biji Bbi = berat biji *Korelasi signifikan pada taraf 5% **Korelasi signifikan pada taraf 1%
5.5. Produksi biodiesel
Produksi biodiesel menggunakan reaksi transesterifikasi untuk mengkonversi
minyak menjadi fatty acid metil ester (FAME) menggunakan dua macam katalis, yaitu
ASP dan KOH. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa penggunaan kedua katalis tersebut
menghasilkan persentase konversi yang berbeda nyata (P<0,05). Katalis ASP
menghasilkan konversi 37% sedangkan katalis KOH 90%. Rendahnya konversi minyak
menjadi biodiesel oleh katalis ASP mungkin karena sifat fisikokimia situs aktif basa pada
katalis tersebut tidak cukup kuat untuk memacu transeterifikasi. Hal ini masih memerlukan
pembuktian melalui penelitian lebih lanjut tentang sifat – sifat fisikokimia ASP, misalnya:
porositas, konsentrasi situs aktif, luas permukaan dan kebasaan permukaan.
5.6. Komposisi metil ester asam lemak
Hasil analisis GC-MS menunjukkan bahwa biodiesel dari minyak Malapari terdiri
dari 10 jenis senyawa berupa metil ester asam lemak yang ditunjukkan oleh puncak –
puncak spektra pada kromatogram dengan waktu retensi yang berbeda – beda (Gambar 7).
21
Gambar 7. Kromatogram biodiesel hasil analisis GC-MS
Komposisi metil ester asam lemak penyusun biodiesel yang dihitung berdasarkan
persen area disajikan pada tabel 7. Komponen utama biodiesel dari minyak Malapari
adalah metil ester oleat (55,10%), diikuti oleh metil ester linoleat (14.48%) metil ester
palmitat (9,44%), metil ester strearat (6,86%) dan metil ester lainnya masing masing
dibawah 5%. Menurut Pinzi et al. (2009) kandungan metil ester oleat yang tingi pada
biodiesel mengindikasikan kualitas yang baik. Penelitian di India oleh Bala et al. (2011)
juga melaporkan 10 macam asam lemak pada minyak Malapari dimana asam oleat
merupakan asam lemak terbanyak (52%) penyusun minyak tersebut. Keunggulan metil
ester oleat sebagai komponen utama biodiesel adalah tahan terhadap oksidasi dan
wujudnya cair pada suhu rendah sehingga bisa digunakan di negara – negara yang
mengalami musim dingin (Knothe, 2005; Moser, 2009).
Tabel 7. Komposisi metil ester asam lemak biodiesel dari minyak Malapari
Puncak Senyawa Waktu retensi Luas area % area
1 Metil ester palmitat 7.387 10717.7 9.44
2 Metil ester strearat 9.807 7784.4 6.86
3 Metil ester oleat 10.596 62553.4 55.10
4 Metil ester elaidat 10.681 963.1 0.85
5 Metil ester linoleat 11.817 16443 14.48
6 Metil ester linolenat 13.613 3645.6 3.21
7 Metil ester arakhidat 13.941 1930.9 1.70
8 Metil ester 11-eicosanoat 15.106 1592.5 1.40
9 Metil ester behenat 19.446 5525.3 4.87
10 Metil ester lignoserat 25.45 2363.6 2.08
22
5.7. Karakteristik biodiesel dari minyak Malapari
Biodiesel yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki karakteristik yang disajikan
pada tabel 8. Semua parameter uji yang meliputi : masa jenis, viskositas, angka setana,
kadar air, angka asam dan angka iodium memenuhi standar mutu biodiesel SNI 2006. Di
negara – negara lain juga dilaporkan bahwa kualitas biodiesel dari minyak M. pinnata
memenuhi standar mutu biodiesel ASTM (American Standard Testing Materials),
misalnya di India (Mukta et al., 2009; Karmee and Chadha 2005) dan di Pakistan (Ahmad
et al., 2009). Hasil – hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa kualitas biodiesel dari
minyak Malapari telah memenuhi standar mutu.
Tabel 8. Karakteristik biodiesel dari minyak Malapari dan biodiesel menurut SNI 2006
No Parameter uji Satuan Metil ester M. pinnata
SNI-2006
1 Massa jenis kg/m3 879 850 - 890
2 Viskositas mm2/s (cSt) 3,9 2,3 - 6,0
3 Angka setana
64,4 minimal 51
4 Kadar air %-volume 0,01 maksimal 0,05
5 Angka asam mg-KOH/g 0,05 maksimal 0,6
6 Angka iodium %-massa (g-I2/100g) 38,1 maksimal 115
Masa jenis menggambarkan adanya zat – zat pengotor pada biodiesel, misalnya
sisa katalis dan metnol, gliserol, sabun, air dan asam – asam lemak yang tidak terkonversi
menjadi metil ester (Setiawati dkk., 2012). Pada penelitian ini didapatkan nilai masa jenis
sebesar 879 kg/m3 sedangkan nilai yang disyaratkan pada SNI 2006 adalah 550-890 kg/m
3
mengindikasikan bahwa masa jenis biodiesel dari minyak Malapari telah memenuhi
standar.
Viskositas mengindikasikan kecepatan alir bahan bakar melalui injektor yang
mempengaruhi derajat atomisasi bahan bakar dalam ruang bakar. Semakin tinggi
viskositas atau semakin kental bahan bakar maka akan menyulitkan aliran, pemompaan
dan penyalaan. Sebaliknya semakin rendah viskositas menimbulkan kebocoran (Canaki
2007). Pada penelitian ini diperoleh viskositas sebesar 3,9 mm2/s dan nilai ini sudah
berada pada kirasaran SNI yaitu 2,3 - 6,0 mm2/s.
Angka setana/Cetane Number (CN) mengindikasikan kualitas penyalaan bahan
bakar untuk menyala secara spontan di ruang bakar. Semakin tinggi CN semakin pendek
waktu penundaan antra injeksi bahan bakar dengan penyalaan dan kualitas penyalaan
semakin baik (Moser 2009). Pada penelitian ini didapatkan CN sebesar 64,4 dan batas
23
minimal CN menurut SNI 2006 adalah 51, jadi biodiesel dari minyak M. pinnata memiliki
kualitas penyalaan yang baik.
Kadar air maksimal dalam biodiesel menurut SNI 2006 adalah 0,05% dan biodiesel
dari minyak Malapari dalam penelitian mengandung air sebesar 0,01% yang artinya telah
memenuhi standar. Menurut Setiawati dkk (2012) kadar air yang tinggi pada biodiesel
dapat menyebabkan korosi jika bereaksi dengan sulfur, dapat menurunkan panas
pembakaran dan menimbulkan busa.
Angka asam mengindikasikan banyaknya asam lemak bebas yang ada pada
biodiesel. Biodiesel dengan angka asam tinggi bersifat korosif dan dpat menimbulkan
jelaga atau kerak pada injektor mesin diesel. Pada penelitian ini didapatkan angka asam
sebesar 0,05 mg KOH/g sedangkan batas maksimum menurut SNI 2006 0,6 mg KOH/g
yang artinya telah sesuai persyaratan mutu.
Angka iodium menunjukkan banyaknya ikatan rangkap dua pada asam lemak
penyusun biodiesel. Adanya asam lemak tidak jenuh pada biodiesel meningkatkan
performan mesin pada suhu rendah (Pinzi el al., 2009). Pada penelitian ini diperoleh angka
iodium sebesar 38,1% yang telah memenuhi persyaratan SNI 2006 yaitu maksimum 115%.
BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Jenis pelarut heksan yang dikombinasikan dengan waktu ekstraksi 30 menit adalah
kombinasi yang paling efektif dan efisien untuk ekstraksi minyak dari biji
Malapari.
2. Terdapat 8 pohon Malapari di Pantai Lovina dengan kandungan minyak ≥ 30%
dipilih sebagai tetua untuk perbanyak vegetatif.
3. Katalis KOH menghasilkan konversi minyak menjadi biodiesel sebanyak 90% dan
nilai ini lebih tinggi dari pada katalis abu sekam padi sebanyak 37%.
4. Komposisi asam lemak biodiesel dari minyak Malapari terdiri dari metil palmitat,
stearat, oleat, linoleat, linolenat, arakhidat, 11-eikosanoat, behenat dan lignoserat
5. Karakteristik biodiesel dari minyak Malapari telah memenuhi SNI 2006 untuk
parameter uji berikut : masa jenis, viskositas, angka setana, kadar air, angka asam
dan angka iodium.
24
Saran
Malapari memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai bahan baku biodiesel
karena kandungan minyaknya yang mencapai 32% dari tegakan alami di Pantai Lovina.
Karakteristik biodiesel yang dihasilkan sesuai dengan SNI 2006 yang mengindikasikan
mutu biodiesel yang baik. Perlu dilakukan perbanyakan Malapari dari tetua yang
menghasilkan minyak tertinggi dalam rangka menunjang program budidaya spesies
tersebut. Penelitian tentang karakterisasi sifat fisikokimia katalis abu sekam padi juga
perlu dilakukan untuk mengoptimalkan persentase konversi dan meningkatkan nilai
ekonomi limbah sekam padi.
DAFTAR PUSTAKA
Agarwal, A.K., K. Rajamanoharan. 2009. Experimental Investigations of Performance and
Emissions of Karanja Oil and Its Blends in a Single Cylinder Agricultural Diesel
Engine. Applied Energy 86: 106-112
Andrews M., P.J. Lea, J.A., Raven, R.A. Azevedo. 2009. Nitrogen Use Efficiency. 3.
Nitrogen fixation: genes and cost. Annal Applied Biology 155: 1-13
Arpiwi, N.L., G. Yan, E.L. Barbour, J.A. Plummer. 2013a. Genetic Diversity, Seed Traits
and Salinity Tolerance of Millettia pinnata (L.) Panigrahi, a Biodiesel Tree.
Genetic Resources & Crop Evolution 60:677–692
Arpiwi, N.L., G. Yan, E.L. Barbour, J.A. Plummer, E. Watkin. 2013b. Phenotypic and
Genotypic Characterisation of Root Nodule Bacteria Nodulating Millettia pinnata
(L.) Panigrahi, a Biodiesel Tree. Plant & Soil 367: 363-377
Aziz, I., S. Nurbayti, A.R. Hakim. 2012. Uji Karakteristik Biodiesel yang dihasilkan dari
Minyak Goreng Bekas Menggunakan Katalis Zeolit Alam (H-Zeolit) dan KOH.
Valensi 2: 541-547
Bobade, S.N., V.B. Khyade. 2012. Detail Study on the Properties of Pongamia pinnata
(Karanja) for the Production of Biodiesel. Research Journal of Chemical Sciences
2: 16-20
Divakara, B.N., A.S. Alur, S. Tripati. 2010 Genetic Variability and Relationship of Pod
and Seed Traits in Pongamia pinnata (L.) Pierre., a Potential Agroforestry Tree.
International Journal of Plant Production 4: 129-141
Folleto, E.L., G. Ederson, H.O. Leonardo, J. Sergio. 2006 Conversion of Rice Hull Ash
Into Sodium Silicate. Material Research 9: 335-338
Gui, M.M., K.Y. Lee, S. Bhatia. 2008. Feasibility of Edible Oil vs. Non-Edible Oil vs.
Waste Edible Oil as Biodiesel Feedstock. Energy 33: 1646-1653
25
Harsono, H. 2002. Pembuatan Silika Amorf Dari Limbah Sekam Padi. Jurnal Ilmu Dasar
3: 98-103
International Energy Agency. 2011. Renewable energy policy considerations for deploying
renewables. OECD/IEA, Paris
Kaushik, N., S. Kumar, K. Kumar, R.S. Beniwal, N. Kaushik, S. Roy. 2007 Genetic
Variability and Association Studies in Pod and Seed Traits of Pongamia pinnata
(L.) Pierre in Harayana, India. Genetenic Resources & Crop Evolution 54: 1827-
1832
Kesari, V., A. Krishnamachari, L. Rangan. 2008. Systematic Characterization and Seed
Oil Analysis in Candidate Plus Tree of Biodiesel Plant, Pongamia pinnata. Annal
Applied Biology 152: 397-404
Kesari, V., A. Das, L. Rangan. 2010. Physico-Chemical Characterization and
Antimicrobial Activity from Seed Oil of Pongamia pinnata, a Potential Biofuel
Crop. Biomass And Bioenergy 34: 108-115
Kirk, R.E., D.F. Othmer. 1980. Encyclopedia of Chemical Technology, 3rd ed., vol. 9,
John Wiley and Sons, New York.
Knothe, G. 2005. Dependence of Biodiesel Fuel Properties on the Structure of Fatty Acid
Alkyl Esters. Fuel Process Technology 86:1059-1070
Mardjono, R. 2008. Mengenal Ki Pahang (Pongamia pinnata) Sebagai Bahan Bakar
Alternatif Masa Depan. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri
14: 1-3
Moser, B.R. 2009. Biodiesel Production, Properties, and Feedstocks. In Vitro Cell Dev
Biol Plant 45: 229-266
Mukta N., I.Y.L.N., Murthy, P. Sripal. 2009. Variability Assessment in Pongamia pinnata
(L.) Pierre germplasm for Biodiesel Traits. Industrial Crops & Products 29: 536-
540
Pinzi, S., I.L. Garcia, F.J. Lopez-Gimenez, M.D.L. de Castro, G. Dorado, M.P. Dorado.
2009. The Ideal Vegetable Oil-Based Biodiesel Composition: a Review of Social,
Economical and Technical Implications. Energ Fuel 23: 2325-2341
Raju, A.J.S., S.P. Rao. 2006. Explosive Pollen Release and Pollination as a Function of
Nectar Feeding Activity of Certain Bees in a Biodiesel Plant, Pongamia pinnata
(L.) Pierre (Fabaceae). Current Science 90: 960-967
Sangwan, S., Rao. DV, Sharma, R.A. 2010. A Review on Pongamia pinnata (L.) Pierre a
great versatile leguminous plant. Nature and Science 8: 130-139
Scott, P.T., L. Pregelj, N. Chen, J.S. Hadler, M.A. Djordjevic, P.M. Gresshoff. 2008.
Pongamia pinnata: an Untapped Resource for the Biofuels Industry of the Future.
Bioenergy Research 1:2-11
26
Setiawati, E. dan F. Edwar. 2012. Teknologi Pengolahan Biodiesel dari Minyak Goreng
Bekas dengan Teknik Mikrofiltrasi dan Transeterifikasi sebagai Alternatif Bahan
Bakar Mesin Diesel. Jurnal Riset Industri 6: 177-127
Sharma,Y.C., B. Singh. 2008. Development of Biodiesel from Karanja, a Tree Found in
Rural India. Fuel 87: 1740-1742
Soerawidjaja. 2005. “Membangun Industri Biodiesel Di Indonesia”. Forum Biodiesel
Indonesia Sharma, Y.C., B. Singh. 2008. Development of Biodiesel from Karanja,
a Tree Found in Rural India. Fuel 87: 1740-1742
Sprent, J.L., P. Sprent. 1990. Nitrogen Fixing Organism. Pure and Applied Aspects.
Chapman & Hall, London, United Kingdom
Srivastava, A., R. Prasad. 2000. Triglycerides-Based Diesel Fuels. Renewable &
Sustainable Energy Revew 4: 111-133
Sunil, N., V. Kumar, N. Sivaraj, C. Lavanya, R.B.N. Prasad, B.V.S.K. Rao, K.S.
Varaprasad. 2009. Variability and Divergence in Pongamia pinnata (L.) Pierre
Germplasm – a Candidate Tree for Biodiesel. GCB Bioenergy 1: 382-391
Wildan, A., I. Hartati, Widayat. 2014. Proses Ekstraksi Minyak dari Limbah Padat Biji
Karet Berbantu Gelombang Mikro. Momentum 10: 1-5