Top Banner

of 98

Problematika Pengamalan Ibadah Anak - Stain Salatiga

Jan 06, 2016

Download

Documents

pernikahan beda agama
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • PROBLEMATIKA PENGAMALAN IBADAH ANAK

    PADA KELUARGA BEDA AGAMA

    (Studi Kasus pada Masyarakat Ngentak RT 10 RW V

    Kelurahan Kutowinangun Kecamatan Tingkir

    Kota Salatiga Tahun 2011)

    SKRIPSI

    Diajukan untuk Memperoleh Gelar

    Sarjana Pendidikan Islam

    Oleh :

    OKTAFIANI

    NIM : 111 07 095

    JURUSAN TARBIYAH

    PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

    SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI (STAIN)

    SALATIGA

    2011

  • MOTTO

    Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka

    apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan) kerjakanlah

    dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya

    kepada Tuhanmulah kamu berharap

    (Q.s. Al Insyiroh : 6 8)

    Apabila engkau telah bercita-cita (yang tetap) maka

    bertawakkallah kepada Allah, sesungguhnya Allah mengasihi

    orang-orang yang tawakal

    (Q.s Al Imron : 159)

    Manusia hanya akan memperoleh apa yang telah

    diusahakannya, dan sesungguhnya usahanya itu kelak akan

    diprlihatkan padanya kemudian akan diberikan balasan

    dengan balasan yang paling sempurna

    (An Najm : 39 41)

  • PERSEMBAHAN

    1. Kepada Bapak dan Ibu tercinta yang telah tiada terima kasih selama hidup kaliyan telah

    mendidikku dan merawatku dengan penuh kasih sayang dan kesabaran yang tak ternilai

    harganya.

    2. Untuk kakak-kakakku tersayang (Mas Slamet, Mbak Nur, Mas Kolis, Mas Masykur,

    Mas Niam, Mbak Rika, Mbak Lita, Mbak Isna) terima kasih banyak selama ini telah

    setia mendukung, mendampingi serta menasehatiku untuk menjadi seseorang yang

    senantiasa bersyukur walau dalam keterbatasan.

    3. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga, dimana tempat yang telah penulis pilih

    untuk menuntut ilmu. Semoga ilmu yang penulis terima dapat bermanfaat bagi orang

    lain dan khususnya bagi diri sendiri.

    4. Bapak Achmad Maimun M.Ag. yang telah bersedia memberikan pengarahan bimbingan

    penulis hingga selesainya pembuatan skripsi ini..

    5. Keluarga Besar TPA AL-HIKMAH NGENTAK SALATIGA yang telah memberikan

    pengalaman dalam mengamalkan ilmu yang diperoleh di bangku kuliah secara nyata di

    lapangan.

    6. Sahabat-sahabatku tersayang (mbak Tias, mas Enggar, mbak Nia, Nafiah, Fita, Emma,

    Risma, Rosa) dsb yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu disini, terima kasih

    kaliyan selalu setia mendampingiku dalam suka maupun duka.

    7. Sahabat-sahabat seperjuangan KKN Dusun Sidodadi Tegalrejo Magelang, (Kumi, Ana,

    Mujrikah, Mb Mul, Hariri, Pak Teguh) memorikan selalu saat-saat kebersamaan kita.

  • KATA PENGANTAR

    Puji Syukur senantiasa penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang

    telah melimpahkan Rahmat, taufik dan hidayah-Nya , sehingga penulis mampu

    menyelesaikan skripsi ini dengan lancar.

    Sholawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi

    Agung Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya,dan para pengikutnya

    semoga kita kelak mendapatkan syafaatnya.,amin.

    Sebagai insan yang dhoif, penulis sadar bahwa skripsi ini bukanlah tugas

    yang ringan, yang tidak akan terselesaikan tanpa bantuan pihak yang

    berkompeten, yang penulis tidak mampu menyebutkan satu persatu. Oleh karena

    itu dengan rasa hormat, penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan,

    bimbingan, motivasi dan iktikad baik kepada :

    1. Dr. Imam Sutomo, M.Ag , selaku Ketua STAIN Salatiga

    2. Dra. Siti Asdiqoh, M.Si , selaku Ketua Jurusan Tarbiyah PAI.

    3. Bapak Achmad Maimun M.Ag., selaku pembimbing yang telah

    mencurahkan pikiran dan tenaganya , hingga akhirnya penulis dapat

    menyelesaikan skripsi ini.

    4. Kakak-kakaku tersayang yang telah memberikan bekal baik materiil

    maupun spiritual.

    5. Bapak Jaka Siswanta, M.Pd. selaku pembimbing akademik

    6. H. Agus Waluyo, M.Ag, selaku Pembantu Ketua Bidang Kemahasiswaan.

    7. Mukti Ali,M.Hum, selaku Kepala Unit Kemahasiswaan.

    8. Keluarga Bapak Eko Pujiastowo dan Keluarga Bapak Ngadiyo yang telah

    bersedia meluangkan waktunya membantu penulis dalam pengambilan

    data skripsi ini

  • ABSTRAK

    Oktafiani NIM : (111 07 095). Problematika Pengamalan Ibadah Anak pada

    Keluarga Beda Agama (Studi Kasus pada Masyarakat Ngentak RT 10 RW V

    Kelurahan Kutowinangun, Kecamatan Tingkir Kota Salatiga, 2011. Skripsi.

    Jurusan Tarbiyah. Program Studi Pendidikan Agama Islam. Sekolah Tinggi

    Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing Achmad Maimun, M.Ag.

    Kata Kunci : Problematika Pengamalan Ibadah Anak dan Keluarga Beda

    Agama.

    Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui: Problematika

    Pengamalan Ibadah Anak Pada Keluarga Beda Agama. pertanyaan yang ingin

    dijawab melalui penelitian ini adalah 1. Bagaimana Pengamalan ibadah anak pada

    keluarga beda agama 2. Apa problem yang muncul pada pengamalan ibadah anak

    dalam lingkungan keluarga beda agama 3. Apa solusi yang ditempuh untuk

    menyelesaikan problem pengamalan ibadah anak dalam lingkungan keluarga beda

    agama.

    Penelitian ini merupakan jenis penelitian Kualitatif, dan untuk

    mendapatkan data, maka digunakan metode observasi, wawancara, dan

    dokumentasi. Data yang terkumpul kemudian disusun dan dianalisis dengan

    menggunakan reduksi data, penyusunan data dan mengambil kesimpulan.

    Setelah dianalisis disimpulkan bahwa cara pengamalan ibadah anak yang

    tinggal di lingkungan keluarga beda agama di dukuh Ngentak adalah dengan

    menjalankan sholat lima waktu, puasa ramadhan, membayar zakat, dan ibadah-

    ibadah umum lainnya sedangkan anak yang beragama non islam mereka

    menjalankan ibadah ke gereja setiap hari Minggu. Problem pengamalan ibadah

    anak yang tinggal di lingkungan beda agama di dukuh Ngentak antara lain yaitu:

    anak kurang mampu mendalami ajaran agama yang mereka yakini, anak kurang

    menjiwai ketika beribadah di rumah, rendahnya semangat atau motivasi beribadah

    anak. solusi yang di tempuh untuk mengatasi problem-problem tersebut adalah:

    bersosialisasi dengan masyarakat luar, aktif mengikuti kajian-kajian keagamaan,

    banyak membaca buku-buku keagamaan.

    Berdasarkan hasil penelitian ini, diharapkan akan menjadi bahan informasi

    dan masukan, bagi keluarga yang melakukan perkawinan beda agama, anak-anak

    khususnya yang tinggal di dalam lingkungan keluarga beda agama dan bagi

    penulis yang dapat bermanfaat untuk penulisan skripsi ini.

  • DAFTAR ISI

    Halaman Judul i

    Nota Pembimbing.. ii

    Lembar Pengesahan... iii

    Pernyataan Keaslian Tulisan iv

    Motto. v

    Persembahan. vi

    Kata Pengantar . vii

    Abstrak.. ix

    Daftar Isi... x

    BAB I: PENDAHULUAN .. 1

    A. Latar Belakang Masalah .. 1

    B. Definisi Operasional 5

    C. Rumusan Masalah 7

    D. Tujuan Penelitian . 7

    E. Kegunaan Penelitian 7

    F. Metode Penelitian 8

    G. Sistematika Penulisan Skripsi.. 15

    BAB II: KAJIAN PUSTAKA 17

    A. Ibadah . 17

    1. Pengertian dan Dasar Hukum .. 18

    2. Ruang Lingkup Ibadah . 20

    3. Urgensi Ibadah.. 22

  • B. Keluarga Beda Agama 23

    1. Pengertian Perkawinan Beda Agama ... 23

    2. Perkawinan Antara Orang Yang Berlainan Agama Menurut Hukum

    Islam . 24

    a. Perkawinan antara perempuan Muslim dengan Laki-laki non

    muslim .. 24

    b. Perkawinan antara Laki-laki Muslim dengan Perempuan

    Musyrik . 27

    c. Perkawinan Antara Laki-Laki Muslim Dengan Perempuan Ahli

    Kitab .. 29

    3. Problem-Problem Perkawinan Beda Agama . 32

    4. Problem Pengamalan Ibadah Anak Pada Keluarga Beda Agama .. 36

    BAB III : PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN .. 40

    A. Data Umum .. 40

    B. Data Khusus . 42

    1. Bentuk Pendidikan Agama Anak . 42

    2. Aktifitas Ibadah Anak dari Keluarga yang Kawin Beda Agama .. 43

    3. Problem Pengamalan Ibadah Anak Dalam Lingkungan Keluarga Beda

    Agama 45

    4. Cara Mengatasi Problem Pengamalan Ibadah Anak Dalam Lingkungan

    Keluarga Beda Agaam .. 47

    BAB IV : PEMBAHASAN . 49

    A. Bentuk Pendidikan Agama Anak . 49

  • B. Aktifitas Ibadah Anak Yang Tinggal Dalam Lingkungan Keluarga Yang

    Kawin Beda Agama ................................................................ 50

    C. Problem Pengamalan Ibadah Anak dalam Lingkungan Keluarga Beda

    Agama . 51

    D. Cara Mengatasi Problem Pengamalan Iadah Anak Dalam Lingkngan

    Keluarga Beda Agama 53

    BAB V : PENUTUP .. 55

    A. Kesimpulan . 55

    B. Saran-saran . 56

    DAFTAR PUSTAKA .

    LAMPIRAN-LAMPIRAN .. 60

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Anak merupakan buah hati, tumpuan dan harapan dari keluarga. Anak

    adalah amanat dari Allah yang diberikan kepada orang tua, maka islam

    menugaskan kepada umatnya (orang tua) agar memberikan pendidikan

    terhadap anaknya, terutama dalam hal ini pendidikan agama.

    Di dalam keluarga orang tua mempunyai peranan yang sangat penting

    dalam penanaman nilai-nilai keagamaan kepada anak-anaknya, khususnya

    dalam hal beribadah. Anak merupakan buah perkawinan yang sangat

    membutuhkan orang tua untuk memberikan pendidikan agama, dalam proses

    pendidikan banyak masalah yang akan dilontarkan anak pada orang tua,

    misalnya anak menanyakan tentang siapa Tuhan itu, dimana surga dan neraka

    itu, siapa yang membuat alam ini dan sebagainya. Untuk menjawab persoalan

    ini maka sangat diperlukan adanya persamaan persepsi, prinsip, pemikiran

    dari orang tua untuk memberikan dan membawanya agar anak menyadari dan

    melaksanakan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang agama

    serta mengerjakan hal-hal yang baik dan beramal sholeh ( Kusuma, 1990:24 ).

    Dalam lingkungan keluarga yang semua anggotanya beragama islam,

    mungkin masalah-masalah tersebut mudah untuk diatasi, akan tetapi dalam

    lingkungan keluarga yang berbeda-beda agama tentu hal tersebut akan

    menimbulkan problem tersendiri yang perlu untuk dipecahkan. Anak yang

  • tinggal dalam lingkungan keluarga beda agama tentu sering mengalami

    problem dalam menjalankan aktifitas ibadahnya, karena tidak adanya

    persamaan aqidah antar anggota keluarga. Sehingga hal ini dapat

    mempengaruhi kesadaran dan motivasi anak alam mengamalkan ibadahnya.

    Sebagaimana kasus yang terjadi pada masyarakat Ngentak RT 10 RW

    V Salatiga, dimana di daerah tersebut terdapat dua keluarga yang melakukan

    perkawinan beda agama. Berdasarkan informasi yang penulis dapatkan dari

    beberapa anak yang tinggal di lingkungan keluarga beda agama tersebut dan

    keterangan dari masyarakat sekitar, ternyata perkawinan beda agama cukup

    memberi dampak negatif terhadap ketekunan beribadah anak-anak. Hal ini

    diakui oleh salah seorang anak yang tinggal di keluarga yang berbeda agama,

    dia merasa tidak semangat dalam menjalankan aktivitas ibadahnya karena

    dalam keluarganya tidak ada kekompakan dalam hal beribadah. Pengakuan

    lain juga di utarakan oleh anak dari keluarga kedua yang merasa tidak

    khusyuk dalam menjalankan ibadah khususnya shalat karena suasana rumah

    yang tidak mendukung akibat adanya perbedaan keyakinan antar anggota

    keluarga. Bapaknya seorang aktivis masjid sedangkan ibunya seorang aktivis

    gereja. Dari sini dia merasakan suasana rumah yang kurang religius sehingga

    dia kurang menjiwai setiap ibadah yang dikerjakan.

    Terdapat banyak ayat Al-quran yang mengaitkan perintah ibadah

    kepada Tuhan dengan tujuan memperoleh takwa. Takwa dalam ajaran islam

    merupakan satu-satunya ukuran nilai kemuliaan manusia dihadapan Allah.

  • Bagi manusia ibadah merupakan kodrat pembawaan jiwa manusia

    yang rindu kepada kemuliaan. Kemuliaan manusia di hadapan Allah diukur

    dengan kuat lemahnya takwa kepada Allah, sedangkan takwa dapat diperoleh

    dan diperkuat dengan melaksanakan ibadah. Takwa merupakan bekal hidup

    kejiwaan yang mutlak bagi manusia untuk memperoleh kebahagiaan dan

    kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat kelak.

    Berkaitan dengan hal tersebut, Tono dkk. (2002:16-17) menyatakan

    sebagai berikut.

    Jiwa yang bertakwa akan senantiasa menyesuaikan hidupnya

    sebagai makhluk Tuhan, sebagai diri pribadi, sebagai anggota masyarakat,

    dan sebagai yang hidup di tengah-tengah alamnya, dengan berpedoman

    yang diberikan Allah.

    Urgensi ibadah juga merupakan tujuan seluruh yang wujud di alam

    ini. Allah berfiman dalam surat Adz-Dzariyat ayat 56

    Artinya: Dan tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.(Q.S.Adz-Dzariyat : 56).

    Dalam surat Al-isra: 44 Allah berfirman:

    Artinya:Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah, tiada sesuatupun yang

    terkecuali, semuanya bertasbih dengan memuji-Nya

    tetapi kamu sekalian tidak tahu tasbih mereka,

  • sesungguhnya Dia Maha Penyantun lagi Maha

    Pengampun.(Q.S. Al-isra : 44).

    Karena amat pentingnya kedudukan ibadah dalam agama pada

    umumnya, agama wahyu pada khususnya, masalah ibadah dalam

    pengertiannya yang khusus merupakan hal yang mutlak dan tidak dapat

    diubah oleh manusia. Hanya Tuhan yang dituju dan hanya Tuhan pula

    yang mengajarkan bagaimana cara melaksanakannya. Manusia hanya taat

    kepada ajaran yang datang dari Tuhan, tidak membuat cara sendiri, tidak

    boleh mengurangi, menambah atau mengubah. (Basyir, 2002:9-10).

    Dalam mendidik anak-anak, ibadah menjadi persoalan yang sangat

    penting untuk diajarkan karena ibadah merupakan wujud penghambaan

    kepada Allah. Ibadah kepada Allah adalah hak Allah yang wajib

    ditunaikan. Oleh karena itu, belajar dan mengajarkan ibadah adalah

    kewajiban yang harus ditunaikan pula.

    Ibadah yang harus lebih dahulu dipahami adalah ibadah khusus yang

    ditegaskan macamnya dan ditentukan pula cara melaksanakannya. Apabila

    pelaksanaannya tidak seperti ketentuan yang diberikan, maka tidak akan

    diterima. Empat macam ibadah utama yang menjadi sendi Islam setelah

    dua kalimat syahadat, yaitu: shalat, zakat, puasa dan haji merupakan

    ibadah yang paling banyak diajarkan kepada anak kita, bahkan dikalangan

    orang tua juga. Namun cara mengajarkannya sering membuka peluang

    untuk membahas hal yang lebih bersifat formalitas, jarang yang melandasi

  • juga dengan aspek kejiwaan. Bahkan dalam praktik, masalah ibadah

    diajarkan sedemikian rumit sehingga untuk mempelajarinya memerlukan

    waktu bertahun-tahun. Itupun tidak dirasakan puas karena masalahnya

    telah menjadi bercabang dan beranting sedemikian banyaknya sehingga

    hal yang mestinya tidak perlu, telah menjadi pembicaraan amat panjang

    lebar.

    Maka, agar ibadah itu dapat dipahami dengan baik, tetapi juga dihayati

    oleh orang yang melaksanakannya, kepada anak-anak hendaklah diajarkan

    hal yang memang diperlukan, sesuai dengan tujuan ibadah untuk

    memperoleh ridho Allah dan membuahkan hasil yang positif dalam hidup

    di dunia, serta dapat mengantarkan kepada kebahagiaan hidup di akherat

    kelak, tidak melibatkannya dalam masalah yang akan menghabiskan

    waktu dan tidak menjiwai ( Basyir, 2003:123-124).

    Berangkat dari uraian di atas, penulis tertarik untuk mengadakan

    penelitian dengan judul: Problematika Pengamalan Ibadah Anak Pada

    Keluarga Beda Agama (Studi Kasus Pada Masyarakat Ngentak RT 10 RW

    V Kelurahan Kutowinangun Kecamatan Tingkir Kota Salatiga Tahun

    2011)

    B. Definisi Operasional

    Untuk memberikan batasan-batasan yang jelas dalam skripsi ini,

    penulis perlu menegaskan istilah-istilah dalam judul di atas.

    1. Problem

  • Problem mempunyai arti persoalan atau permasalahan (Pusat

    Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1994:38). Sedangkan

    problematika mempunyai pengertian sebagai hal-hal yang menimbulkan

    masalah yang belum bisa dipecahkan (permasalahan) (Depdikbud,

    2007:896).

    2. Pengamalan Ibadah Anak

    Pengamalan adalah cara menerapkan sesuatu hal. Sedangkan

    ibadah dari segi bahasa berarti taat, tunduk, merendah diri, dan

    menghambakan diri (Basyir, 2003:11). Ibnu Taimiyah memberikan

    pengertian ibadah menurut istilah syara dengan tunduk dan cinta, yaitu

    tunduk mutlak kepada Allah disertai cinta sepenuhnya kepada-Nya.

    Dengan demikian unsur pertama ibadah adalah taat dan tunduk kepada

    Allah, yaitu merasa berkewajiban melaksanakan peraturan Allah yang

    dibawakan oleh para Rasul-Nya, baik yang berupa perintah maupun

    larangan, ketentuan halal maupun haram. Sedangkan anak yang dimaksud

    disini bukanlah anak menurut tingkatan umur, akan tetapi anak dalam arti

    anak dari orang tua.

    3. Keluarga Beda Agama

    Keluarga adalah seisi rumah yang terdiri dari ayah, ibu dan anak.

    Sedangkan beda agama yang dimaksud disini adalah satu keluarga yang

    anggotanya terdiri lebih dari satu macam agama karena adanya

  • perkawinan beda agama, yaitu perkawinan orang Islam (pria/wanita)

    dengan orang bukan Islam (pria/wanita) (Zuhdi, 1996:4).

    C. Rumusan Masalah

    1. Bagaimana pengamalan ibadah anak dalam lingkungan keluarga beda

    agama?

    2. Apa problem yang muncul pada pengamalan ibadah anak dalam

    lingkungan keluarga beda agama?

    3. Apa solusi yang ditempuh untuk menyelesaikan problem pengamalan

    ibadah anak dalam lingkungan keluarga beda agama?

    D. Tujuan Penelitian

    1. Untuk mengetahui bagaimana pengamalan ibadah anak dalam

    lingkungan keluarga beda agama.

    2. Untuk mengetahui apa problem yang muncul pada pengamalan ibadah

    anak dalam lingkungan keluarga beda agama.

    3. Untuk mengetahui apa solusi yang ditempuh untuk menyelesaikan

    problem pengamalan ibadah anak dalam lingkungan keluarga beda

    agama.

    E. Kegunaan Penelitian

  • Hasil penelitian ini diharapakan memiliki manfaat sebagai berikut :

    1. Manfaat Teoritis

    Penelitian ini sebagai bagian usaha untuk menambah khasanah ilmu

    pengetahuan pada umumnya dan jurusan tarbiyah pada khususunya.

    2. Manfaat Praktis

    a. Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi acuan bagi masyarakat

    untuk lebih memperhatikan pentingnya pendidikan agama

    khususnya dalam hal beribadah kepada anak-anaknya.

    b. Dapat dijadikan dasar bagi anak-anak dalam mengatasi problem-

    problem beribadah, khususnya bagi anak yang tinggal dalam

    lingkungan keluarga beda agama.

    c. Dapat memberikan motivasi kepada orang tua untuk senantiasa

    memberikan pengajaran dan contoh pengamalan ibadah yang baik

    dan benar kepada anak-anaknya sesuai keyakinan yang dianutnya

    agar mampu mengantarkan mereka pada kebahagiaan hidup di

    dunia dan di akhirat.

    F. Metode Penelitian

    Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

  • 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

    Pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah penelitian

    kualitatif. Penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami dunia makna

    yang disimbolkan dalam perilaku masyarakat menurut perspektif

    masyarakat itu sendiri (Tobroni,2003:9). Adapun jenis penelitian ini

    adalah penelitian deskriptif, penelitian deskriptif merupakan penelitian

    yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu

    gejala yang ada yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat

    penelitian dilakukan (Arikunto, 2005:234).

    2. Instrumen Penelitian

    Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau dengan bantuan

    orang lain merupakan alat pengumpul data utama. Hal itu dilakukan

    karena, jika memanfaatkan alat yang bukan manusia dan mempersiapkan

    dirinya terlebih dahulu sebagai yang lazim digunakan dalam penelitian

    klasik, maka sangat tidak mungkin untuk mengadakan penyesuaian

    terhadap kenyataan-kenyataan yang ada di lapangan. Selain itu hanya

    manusia sebagai alat sajalah yang dapat berhubungan dengan responden

    atau objek lainnya, dan hanya manusialah yang mampu memahami kaitan-

    kaitan kenyataan di lapangan. Hanya manusia sebagai instrumen pulalah

    yang dapat menilai apakah kehadirannya menjadi faktor pengganggu

    sehingga apabila terjadi hal yang demikian ia pasti dapat menyadarinya

    serta dapat mengatasinya ( Moleong, 2009:9).

  • 3. Lokasi Penelitian

    Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Dukuh Ngentak, RT

    10 RW V Kelurahan Kutowinangun, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga.

    Dengan unit analisisnya adalah masyarakat. Selain letaknya yang strategis,

    alasan lain pemilihan tempat penelitian adalah berkaitan dengan upaya

    meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan

    agama khususnya dalam hal beribadah bagi anak-anak yang tinggal dalam

    lingkungan keluarga beda agama. Di daerah ini terdapat beberapa keluarga

    yang beda agama dalam satu rumah. Menurut pengakuan dari anak-

    anaknya, adanya perbedaan keyakinan dalam satu rumah itu

    menyebabkannya merasa bingung dalam menentukan keyakinan yang

    harus dianutnya, apakah ikut agama yang dianut ayahnya atau yang dianut

    ibunya.

    4. Sumber Data

    Adapun sumber data yang digunakan pada penelitian ini ada dua

    macam, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder.

    a. Sumber data primer

    Sumber data primer adalah sumber data yang dikumpulkan

    langsung dari tangan pertama, yaitu kata-kata dan tindakan subyek

    serta gambaran dan pemahaman dari subyek yang diteliti sebagai

    dasar utama melakukan interpretasi data. Data tersebut diperoleh

    secara langsung dari orang-orang yang dipandang mengetahui

  • masalah yang akan dikaji dan bersedia memberi data yang

    diperlukan. Pada penelitian ini yang menjadi sumber data primer

    adalah anak-anak yang berasal dari keluarga beda agama. Dalam

    hal ini yang menjadi informan kunci adalah ketua RW V Ngentak.

    Dari informasi informan kunci tersebut akan dilakukan

    penelusuran lebih lanjut kepada pihak-pihak terkait.

    b. Sumber data sekunder

    Sumber data sekunder adalah data yang mengandung dan

    melengkapi sumber-sumber data primer. Adapun sumber data

    sekunder dalam penelitian ini adalah ketua RT, ketua remaja

    masjid dan tokoh masyarakat lainnya.

    5. Teknik Pengumpulan Data

    Untuk memperoleh data yang relevan dengan fokus penelitian,

    maka teknik pengumpulan data yang akan dipakai meliputi :

    a) Metode Wawancara

    Wawancara adalah percakapan langsung dan tatap muka (face to

    face) dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak,

    yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang

    diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu

    (Tobroni, 2003:172).

  • Wawancara ini dilakukan untuk mendapatkan data tentang problem

    yang dihadapi anak yang tinggal dalam lingkungan keluarga beda agama

    dalam mengamalkan ibadahnya.

    b) Metode Observasi Nonpartisipan

    Observasi nonpartisipan tidak banyak menuntut peranan tingkah

    laku atau keterlibatan peneliti terhadap kegiatan atau fenomena dari subjek

    yang diteliti. Perhatian peneliti terfokus pada bagaimana mengamati,

    merekam, memotret, mempelajari, dan mencatat tingkah laku atau

    fenomena yang diteliti (Tobroni, 2003:170-171). Dalam hal ini peneliti

    mengunjungi keluarga yang berbeda agama.

    c) Metode Dokumentasi

    Dokumentasi berasal dari kata dokumen yang artinya barang-

    barang tertentu, majalah, dokumen, dan peralatan untuk memperoleh data.

    Untuk mengumpulkan informasi-informasi yang diperlukan pada

    penelitian ini, penulis mengumpulkan dokumen-dokumen. Dokumentasi

    yang penulis gunakan adalah foto dan rekaman hasil wawancara. Foto

    digunakan untuk mengetahui kondisi yang sebenarnya dari narasumber.

    Sedangkan rekaman wawancara digunakan untuk menelaah lebih detail

    informasi-informasi yang disampaikan oleh narasumber.

    6. Teknik Analisis Data

  • Analisis data disebut juga pengolahan data dan penafsiran data.

    Analisis data adalah rangkaian kegiatan penelaahan, pengelompokan,

    sistematisasi, penafsiran dan verifikasi data agar sebuah fenomena

    memiliki nilai sosial, akademis dan ilmiah. Untuk menganalisis data,

    penulis menggunakan metode analisis data secara induktif, yaitu suatu

    metode berfikir yang bertolak dari fenomena yang khusus, konkrit

    kemudian menarik kesimpulan yang bersifat umum.

    Analisis data secara induktif ini digunakan karena beberapa alasan,

    yaitu:

    a. Proses induktif lebih dapat menemukan kenyataan-kenyataan

    jamak sebagai yang terdapat dalam data.

    b. Lebih dapat membuat hubungan peneliti-responden menjadi

    eksplisit, dapat dikenal dan akuntabel.

    c. Analisis demikian lebih dapat menguraikan latar secara penuh

    dan dapat membuat keputusan-keputusan tentang dapat

    tidaknya pengalihan pada suatu latar lainnya

    d. Lebih dapat menemukan pengaruh bersama yang mempertajam

    hubungan-hubungan

    e. Dapat memperhitungkan nilai-nilai secara eksplisit sebagai

    bagian dari struktur analitik (Moleong, 2009:10).

    7. Pengecekan Keabsahan Data

  • Untuk mengetahui apakah data yang telah dikumpulkan dalam

    penelitian memiliki tingkat kebenaran atau tidak, maka perlu dilakukan

    pengecekan data yang disebut dengan validitas data. Untuk menjamin

    validitas data, peneliti menggunakan teknik triangulasi. Triangulasi adalah

    teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain

    di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding

    terhadap data itu. Dalam penelitian ini peneliti memanfaatkan teknik

    triangulasi dengan sumber dan triangulasi dengan metode.

    Triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek

    kembali derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu

    dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif (Patton 1987:331). Hal itu

    dapat dicapai dengan jalan: 1) membandingkan data hasil pengamatan

    dengan data hasil wawancara; 2) membandingkan apa yang dikatakan

    orang di depan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi; 3)

    membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian

    dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu; 4) membandingkan

    keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan

    pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan

    menengah atau tinggi; 5) membandingkan hasil wawancara dengan isi

    suatu dokumen yang berkaitan. Pada triangulasi dengan metode, menurut

    Patton(1987:329), terdapat dua strategi, yaitu: 1) pengecekan derajat

    kepercayaaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan

  • data dan 2) pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan

    metode yang sama. (Moleong, 2002:178).

    G. Sistematika Penulisan

    Untuk mempermudah pembahasan dan memahami isi skripsi ini, maka

    peneliti menulis skripsi ini secara sistematis. Skripsi ini terdiri dari 5 bab,

    yaitu:

    BAB I : PENDAHULUAN, yang meliputi: Latar Belakang Masalah, Definisi

    Operasional, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian,

    Metode Penelitian, Sistematika Penulisan Skripsi.

    BAB II: KAJIAN PUSTAKA, yang meliputi :Pengamalan Ibadah Anak,

    meliputi: Pengertian dan Dasar Hukum Ibadah, Ruang Lingkup Ibadah,

    Urgensi Ibadah, Keluarga Beda Agama, meliputi: Pengertian Keluarga Beda

    Agama, Perkawinan Antar orang yang Berlainan Agama Menurut Hukum

    Islam, Problem-Problem Perkawinan Beda Agama, Problem Pengamalan

    Ibadah Anak pada Keluarga Beda Agama.

    BAB III: PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN, yang

    menjabarkan tentang: Keadaan Penduduk, Kondisi Sosial Ekonomi, Kondisi

    Sosial Keagamaan, Data Hasil Wawancara, meliputi: Data Tentang Keadaan

    Keluarga yang Kawin Beda Agama, Data Tentang Problem Pengamalan

  • Ibadah Anak yang Tinggal dalam Lingkungan Keluarga Beda Agama di

    Ngentak RT 10 RW V, Kel. Kutowinangun, Kec. Tingkir Kota Salatiga.

    BAB IV: PEMBAHASAN, yang berisi tentang: Bentuk Pendidikan Agama

    Anak, Aktivitas Ibadah Anak Dari Keluarga Yang Melakukan Perkawinan

    Beda Agama, Problem Pengamalan Ibadah Anak Dalam Lingkungan Keluarga

    Beda Agama, Cara Mengatasi Problem Pengamalan Ibadah Anak Dalam

    Lingkungan Keluarga Beda Agama.

    BAB V: PENUTUP, yang merupakan bab terakhir dan kesimpulan dari hasil

    penelitian dengan melihat permasalahan serta saran.

  • BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    A. Ibadah

    Semua risalah menyerukan penyembahan terhadap Allah, Yang

    Mencipta dan Memelihara (rabb) semesta alam. Menurut penuturan Al-

    Quran, para nabi yang terdahulu diutus kepada kaumnya masing-masing

    membawa dakwah tauhid.

    Allah SWT memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW melakukan

    ibadah selama hidupnya dan tidak boleh berhenti sebelum mati. Ibadah itu

    penting karena sesungguhnya untuk itulah manusia diciptakan Tuhan, sesuai

    dengan penegasan-Nya dalam Quran surat Azdariyat ayat 56:

    Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya

    mereka menyembah-Ku.

    Apabila manusia diciptakan hanya untuk menyembah dan beribadah

    kepada Allah, maka setiap orang perlu mengetahui pengertian dan hakikat

  • ibadah agar ia dapat melaksanakannya dengan benar. Selain itu ia juga perlu

    mengetahui urgensi dan hikmah yang terkandung pada tiap-tiap ibadah yang

    dilakukannya ( Nasution, 1987:1-2).

    1. Pengertian dan Dasar Hukum

    1.1. Pengertian Ibadah

    Kata ibadah menurut bahasa berarti taat, tunduk, merendahkan diri

    dan menghambakan diri (Basyir, 2001:11). Adapun kata ibadah menurut

    istilah berarti penghambaan diri yang sepenuh-penuhnya untuk mencapai

    keridhaan Allah dan mengharap pahala-Nya di akhirat (Ash-Shiddiqy,

    1954:4).

    Menurut Al-Azhari, kata ibadah tidak dapat disebutkan kecuali

    untuk kepatuhan kepada Allah. Ini sesuai dengan pengertian yang

    dikemukakan oleh Al-Syawkani, bahwa ibadah itu adalah kepatuhan dan

    perendahan diri yang paling maksimal.

    Dalam istilah syara pengertian ibadah dijelaskan oleh para ulama

    sebagai berikut:

    1. Al-Jurjani mengatakan:

  • Ibadah ialah perbuatan yang dilakukan oleh mukallaf, tidak

    menurut hawa nafsunya, untuk memuliakan Tuhannya.

    2. Menurut Ibn Katsir:

    Ibadah adalah himpunan cinta, ketundukan, dan rasa takut yang

    sempurna (Nasution, 1987:2-3).

    Dalam hal ini Ibnu Taimiyah merumuskan bahwa ibadah menurut

    syara itu tunduk dan cinta artinya tunduk mutlak kepada Allah yang

    disertai cinta sepenuhnya kepada-Nya. Oleh karena itu, unsur-unsur ibadah

    adalah:

    a. Taat dan tunduk kepada Allah

    Artinya merasa berkewajiban melaksanakan segala perintah dan

    meninggalkan segala larangan Allah yang dibawakan oleh para rasul-

    Nya. Oleh karena itu, belum termasuk beribadah apabila seseorang

    tidak mau tunduk kepada perintah-perintah-Nya, tidak mau taat kepada

    aturan-aturan-Nya, meskipun ia mengakui adanya Allah yang

    menciptakan langit dan bumi serta yang memberi rezeki kepada-Nya.

    b. Cinta kepada Allah

    Bahwa rasa wajib taat dan tunduk itu timbul dari hati yang cinta

    kepada Allah, yakni ketundukan jiwa dari hati yang penuh kecintaan

    kepada Allah dan merasakan kebesaran-Nya, karena memiliki

  • keyakinan bahwa Allah yang menciptakan alam semesta dan segala

    isinya (Tono dkk, 2002:3-4).

    1.2. Dasar Hukum Ibadah

    Allah menetapkan perintah ibadah sebenarnya merupakan suatu

    keutamaan yang besar kepada makhluknya, karena apabila direnungkan,

    hakikat perintah beribadah itu berupa peringatan agar kita menunaikan

    kewajiban terhadap Allah yang telah melimpahkan karunia-Nya. Dasar

    hukum ibadah itu antara lain firman Allah dalam surat Al-Baqarah :21

    Artinya:Wahai para manusia beribadahlah kamu kepada Tuhanmu, yang telah menjadikan kamu dan telah menjadikan orang-orang

    sebelum kamu, agar supaya bertaqwa (Tono dkk, 2002: 2-5).

    2. Ruang Lingkup Ibadah

    Al-quran mengajarkan bahwa jin dan manusia diciptakan Allah

    agar mereka beribadah kepada-Nya. Ajaran tersebut memberi pegertian

    bahwa ibadah bukan hanya berupa shalat, zakat, puasa, dan haji seperti

    yang banyak dipahami banyak orang, karena ibadah mempunyai

    pengertian yang lebih luas.

  • Ibadah dalam pengertian yang umum adalah menjalani kehidupan

    untuk memperoleh keridhaan Allah dengan menaati syariat-Nya. Apabila

    dikerjakan dengan tujuan memperoleh keridhaan Allah, segala perbuatan

    merupakan ibadah dalam arti yang umum. Menunaikan hak individu

    sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya seperti makan, minum,

    menuntut ilmu adalah ibadah. Menunaikan kewajiban-kewajiban

    kemasyarakatan sesuai dengan perintah Allah adalah ibadah. Mengolah

    sumber daya alam yang hasilnya dimanfaatkan untuk memenuhi

    kebutuhan hidup manusia adalah ibadah. Bekerja mencari nafkah untuk

    mencukupkan kebutuhan hidup diri pribadi dan orang-orang yang menjadi

    tanggungannya adalah ibadah.

    Islam tidak membenarkan orang yang menghabiskan waktunya

    hanya untuk melakukan ibadah khusus dan mengabaikan segi-segi ibadah

    umum. Nabi pernah melihat seorang sahabat melakukan ibadah khusus

    dalam seluruh waktunya. Lalu Nabi bertanya: siapa orang itu? Yang

    mendengar pertanyaan Nabi menjawab: ia adalah ahli ibadah di kalangan

    para sahabat. Nabi bertanya lagi: siapa yang menanggung makannya

    sehari-hari? Mereka menjawab: para sahabat jugalah yang menanggung

    makannya. Nabi kemudian bersabda:kamu semua lebih baik

    daripadanya.

    Ruang lingkup ibadah pada dasarnya digolongkan menjadi dua,

    yaitu:

  • a. Ibadah Umum

    Artinya ibadah yang mencakup segala aspek kehidupan dalam

    rangka mencari keridhaan Allah. Unsur terpenting agar dalam

    melaksanakan segala aktifitas kehidupan di dunia ini agar benar-benar

    bernilai ibadah adalah niat yang ikhlas untuk memenuhi tuntutan agama

    dengan menempuh jalan yang halal dan menjauhi jalan yang haram.

    b. Ibadah Khusus

    Artinya ibadah yang macam dan cara pelaksanaannya ditentukan

    dalam syara(ditentukan oleh Allah dan Nabi Muhammad SAW). Ibadah

    khusus ini bersifat tetap dan mutlak, manusia tinggal melaksanakan sesuai

    dengan peraturan dan tuntunan yang ada, tidak boleh mengubah,

    menambah dan mengurangi, seperti tuntunan bersuci (wudhu), shalat,

    puasa ramadhan, ketentuan nisab zakat (Tono dkk, 2002:6-7).

    3. Urgensi Ibadah

    Bagi manusia ibadah merupakan kodrat pembawaan jiwa manusia

    yang rindu kepada kemuliaan. Kemuliaan manusia dihadapan Allah diukur

    dengan kuat lemahnya takwa kepada Allah, sedangkan takwa dapat

    diperoleh dan diperkuat dengan melaksanakan ibadah. Takwa merupakan

    bekal hidup kejiwaan yang mutlak bagi manusia untuk memperoleh

    kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat kelak.

  • Jiwa yang bertakwa akan senantiasa menyesuaikan hidupnya

    sebagai makhluk Tuhan, sebagai diri pribadi, sebagai anggota masyarakat,

    dan sebagai yang hidup di tengah-tengah alamnya, dengan berpedoman

    yang diberikan Allah. Urgensi ibadah juga merupakan tujuan seluruh yang

    wujud di alam ini. Allah berfirman dalam surat Al-isra :44

    Artinya: Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya

    bertasbih kepada Allah, tiada sesuatupun yang terkecuali,

    semuanya bertasbih dengan memuji-Nya tetapi kamu sekalian

    tidak tahu tasbih mereka, sesungguhnya Dia Maha Penyantun

    lagi Maha Pengampun (Tono, 2002:16-17).

    Setiap ibadah sebagaimana yang berlaku pada setiap yang

    diperintahkan Allah mengandung maksud tersendiri dan di dalam

    pelaksanaannya terdapat hikmah (Syarifuddin, 2003:19). Dasar-dasar

    hikmah yang telah ditetapkan Allah ini dapat dipelajari bahwa Allah

    mewajibkan iman untuk membersihkan hati dari syirik, mewajibkan shalat

    untuk mensucikan diri dari takabur, mewajibkan zakat untuk menjadi

    sebab pemerataan rezeki. Mewajibkan puasa untuk menguji keikhlasan

    manusia, mewajibkan haji untuk mendekatkan umat islam antara yang

    satu dengan yang lainnya, mewajibkan amar maruf untuk kemaslahatan

    manusia (orang banyak), mewajibkan nahi mungkar untuk menghardik

  • orang-orang yang kurang akal, mewajibkan silaturahim untuk menambah

    bilangan persaudaraan (Ash-Shiddqy, 1954:14-15).

    B. Keluarga Beda Agama

    1. Pengertian Perkawinan Beda Agama

    Perkawinan beda agama pada dasarnya berarti perkawinan yang

    dilangsungkan antar pasangan yang berbeda agama satu sama

    lain.Perkawinan bernuansa keragaman ini banyak terjadi dan kita jumpai

    di dalam kehidupan bermasyarakat. Mungkin contoh yang banyak

    terekspos ke masyarakat luas hanyalah pernikahan atau perkawinan dari

    pasangan para selebriti kita. Ambillah beberapa contoh dari pasangan

    suami istri, Nurul Arifin-Mayong, Ira Wibowo-Katon Bagaskara, Dewi

    Yull-Rae Sahetapy (yang akhirnya Rae menjadi Muslim, tetapi kini telah

    bercerai dengan Dewi), Nia Zulkarnaen-Ari Sihasaleh. Perkawinan yang

    dilakukan oleh mereka tidak lagi didasarkan pada satu akidah agama,

    melainkan hanya pada cinta. Seolah cinta semata yang menjadi dasar suatu

    pernikahan. Masalah agama dalam beberapa argumen pasangan-pasangan

    seperti itu kira-kira dapat dirumuskan begini, "Agama tidak boleh dibawa-

    bawa, oleh karena agama adalah urusan pribadi seseorang. Yang

    terpenting kita saling mencintai apa tidak?. Berdasarkan hukum

    munakahat yang diajarkan Islam kepada para penganutnya ialah

    perkawinan (pernikahan) yang dibenarkan oleh Allah SWT adalah suatu

    perkawinan yang didasarkan pada satu akidah, di samping cinta dan

  • ketulusan hati dari keduanya. Dengan landasan dan naungan keterpaduan

    itu, kehidupan suami-istri akan tenteram, penuh rasa cinta dan kasih

    sayang. Keluarga mereka akan bahagia dan kelak memperoleh keturunan

    yang sejahtera lahir batin (http://raja1987.blogspot.com/2008/08/kajian-

    perkawinan-beda-agama-menurut.html).

    Jadi yang dimaksud dengan perkawinan antar orang yang berlainan

    agama ialah perkawinan orang islam (pria atau wanita) dengan orang

    bukan Islam (pria atau wanita) (Zuhdi, 1996:4).

    2. Perkawinan Antara Orang yang Berlainan Agama Menurut

    Hukum Islam

    Mengenai masalah perkawinan beda agama ini islam membedakan

    hukumnya menjadi tiga macam (Zuhdi, 1996:4).

    a. Perkawinan antara Perempuan Muslim dengan Laki-Laki Non

    Muslim

    Semua ulama telah sepakat bahwa perempuan muslimah tidak

    diperbolehkan (haram) kawin dengan laki-laki non muslim, baik Ahli

    Kitab maupun musyrik (Suhadi, 2006:36). Baik calon suaminya itu

    termasuk pemeluk agama yang mempunyai kitab suci, seperti Kristen

    dan Yahudi ataupun pemeluk agama yang mempunyai kitab serupa

    kitab suci, seperti Budhisme dan Hinduisme, maupun pemeluk agama

    dan kepercayaan yang tidak punya kitab suci dan juga kitab yang

  • serupa kitab suci. Termasuk pula di sini penganut Animisme, Ateisme,

    Politeisme dan sebagainya (Zuhdi, 1996:6).

    Pertimbangan daripada ketentuan ini adalah di tangan suamilah

    kekuasaan terhadap istrinya, dan bagi istri wajib taat kepada

    perintahnya yang baik. Dalam pengertian seperti inilah maksud

    daripada kekuasaan suami terhadap istri. Akan tetapi bagi orang kafir

    tidak ada kekuasaan terhadap laki-laki atau perempuan Muslim. Selain

    itu seorang suami kafir tidak mau tahu akan agama istrinya yang

    Muslim bahkan ia mendustakan kitab sucinya dan mengingkari ajaran

    Nabinya. Disamping itu dalam rumah yang terdapat perbedaan paham

    begitu jauh dan keyakinan begitu prinsip, maka rumah tangganya tidak

    akan dapat tegak dengan baik dan berjalan langgeng.

    Akan tetapi hal ini bebeda jika laki-laki Muslim kawin dengan

    perempuan ahli kitab, sebab ia mau tahu agama istrinya, dan

    menganggap bahwa percaya kepada kitab suci dan Nabi-nabi agama

    istrinya sebagai bagian daripada rukun iman, dimana keimanan

    islamnya ini tidak akan sempurna kalau tidak mempercayai Kitab dan

    para Nabi Ahli Kitab (Sabiq, 1980:164).

    Adapun dalil yang menjadi dasar hukum untuk larangan kawin

    antara wanita Muslimah dengan pria non-Muslim, ialah:

    1. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 221:

  • Artinya:Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita yang mukmin sebelum mereka

    beriman. Sesungguhnya budak yang beriman lebih baik

    daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.

    2. Ijma para ulama tentang larangan perkawinan antara wanita

    Muslimah dengan pria non-Muslim

    Hikmah dilarangnya perkawinan antara seorang wanita

    Islam dengan pria Kristen atau Yahudi karena dikhawatirkan

    wanita Islam itu kehilangan kebebasan beragama dalam

    menjalankan ajaran-ajaran agamanya, kemudian terseret kepada

    agama suaminya. Demikian pula anak-anak yang lahir dari hasil

    perkawinannya dikhawatirkan pula mereka akan mengikuti agama

    bapaknya, karena bapak sebagai kepala keluarga terhadap anak-

    anak melebihi ibunya (Zuhdi, 1996:6-7).

    Adapun dalam hadist Nabi telah diriwayatkan tentang

    bolehnya laki-laki muslim mengawini wanita-wanita ahli kitab.

    Tetapi sebaliknya laki-laki ahli kitab tidak dibolehkan mengawini

    wanita-wanita muslimat. Dan jika demikian maka wanita tersebut

    telah menjadi murtad yaitu keluar dari agama Islam. Dengan

    demikian Allah tidak akan menerima ibadat dan bacaan Qurannya,

  • dan wanita tersebut (jika mati) tidak boleh dishalati sebagaimana

    kaum muslimin. Kecuali jika wanita tersebut telah keluar dari

    kekafirannya, yaitu jika telah masuk Islam kembali. Maka yang

    demikian keadannya diperlakukan seperti terhadap orang-orang

    Islam yang lain (Bahreisj, 1992:297).

    b. Perkawinan antara Laki-Laki Muslim dengan Perempuan

    Musyrik

    Para ulama sepakat bahwa laki-laki muslim tidak halal kawin

    dengan perempuan penyembah berhala, perempuan zindiq,

    perempuan keluar dari Islam, menyembah sapi, perempuan

    beragama politeisme (Sabiq, 1980:152). Hal ini berdasarkan firman

    Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 221:

    Artinya:Janganlah kamu mengawini wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang

    beriman lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia

    menarik hatimu" (Zuhdi, 1996:4).

    Satu hal yang membedakan antara perempuan musyrik dengan

    perempuan Ahli Kitab adalah bahwa perempuan musyrik tidak

    memiliki agama yang melarang berkhianat, mewajibkan berbuat

    amanah, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Apa

    yang dikerjakan dan pergaulannya dipengaruhi ajaran-ajaran

  • kemusyrikan, yakni khurafat dan spekulasi (teologis) atau lamunan dan

    bayangan yang dibisikkan setan. Inilah yang bisa menyebabkan ia

    menghianati suaminya dan merusak akidah anak-anaknya.

    Sementara antara perempuan Ahli Kitab dan laki-laki mukmin

    tidak terdapat distansi yang jauh. Perempuan Ahli Kitab mengimani

    Allah dan menyembah-Nya, beriman kepada para nabi, hari akhirat

    beserta pembalasannya, dan menganut agama yang mewajibkan

    berbuat baik dan mengharamkan kemungkaran. Distansi yang esensial

    hanyalah mengenai keimanan terhadap kenabian Muhammad. Padahal

    orang yang beriman kepada kenabian universal tidak akan mempunyai

    halangan mengimani nabi penutup, yakni Muhammad kecuali

    kebodohannya. Sehingga perempuan (Ahli Kitab) yang bergaul dengan

    suami yang menganut agama dan syariat yang baik maka sangat

    terbuka peluang baginya ntuk mengikuti agama suaminya. Dan, apa

    yang dikuatkan oleh Allah berupa ayat-ayat Al-quran yang jelas

    niscaya akan mengantarkan kepada kesempurnaan, keimanan, dan

    keislaman (Suhadi, 2006:38-39).

    c. Perkawinan antara Laki-laki Muslim dengan Perempuan Ahli

    Kitab

    Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa seorang pria muslim boleh

    kawin dengan wanita Ahlul Kitab (Yahudi atau Kristen), berdasarkan

    firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 5

  • ......

    Artinya:Dan dihalalkan mengawini wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan

    wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-

    orang yang diberi kitab suci sebelum kamu (Zuhdi, 1996:5).

    Secara redaksional dan dhahirnya ayat laki-laki muslim

    diperbolehkan mengawini wanita Ahlul Kitab, namun Syaltut dalam

    fatwanya menyatakan sebagai berikut:

    Jika Allah telah melarang kepada wanita muslimah kawin dengan laki-

    laki Ahlul Kitab, karena menjaga (kehawatiran) pengaruh kekuasaan

    dan dominasi suaminya terhadapnya, maka Islam juga memandang,

    bahwa sesungguhnya jika seorang muslim itu telah bergeser dari

    posisinya yang semestinya dalam keluarga (sebagai pemimpin), dan

    menyerahkan urusannya kepada istrinya yang non Islam itu, sehingga

    ia hanya membebek saja, sudah seharusnya ia dilarang mengawini

    wanita Ahlul Kitab itu.

    Fatwa Syaltut ini bersifat kondisional dan kasuistis, yang berarti

    manakala kondisi seorang pria itu tidak memnuhi criteria negative

    sebagaimana yang diungkapkannya, maka tidak mengapa seorang laki-

    laki muslim mengawini wanita Ahlul Kitab. Hal ini dapat dipahami

    dari pernyataannya sebagai berikut:

    Bagi suami muslim yang memiliki kemampuan membina anak-anaknya dan keluarganya secara Islami, maka diperbolehkan baginya,

    mengawini wanita Ahlul Kitab. Dengan harapan perkawinannya itu

    akan dapat mendekatkan hati istrinya terhadap nila-nilai Islam yang

    selanjutnya akan timbul simpatinya terhadap Islam, karena keutamaan

    dan kebaikan-kebaikan ajarannya (Salam Arief, 2003:126-127)

    Ibnu Umar berpendapat bahwa hukum perkawinan laki-laki

    Muslim dengan perempuan ahlul kitab adalah haram. Sama haramnya

  • dengan perempuan musyrik. Alasannya karena perempuan ahlul kitab

    juga berlaku syirik dengan menuhankan Isa. Alasan lain karena ayat

    yang membolehkan perkawinan ini Q.S. Al-Maidah/5:5 dianulir

    (naskh) dengan Q.S. Al-Baqarah/2:221.

    (http://raja1987.blogspot.com/2008/08/kajian-perkawinan-beda-

    agama-menurut.html).

    Syaltut dalam fatwanya melarang perkawinan campuran antara

    laki-laki muslim dengan wanita Ahlul Kitab. Hal ini disebabkan karena

    ia sangat khawatir anak keturunan dari keluarga yang dibina dalam

    perkawinan itu akan berpaling dari ajaran Islam. Jika hal itu dibiarkan,

    maka tidak mustahil generasi yang akan datang dari kalangan keluarga

    yang semula muslim , akan berpindah menjadi generasi yang tidak

    tahu ajaran Islam dan bahkan berpindah agama menjadi orang non

    Islam.

    Fatwa yang melarang perkawinan antara laki-laki Muslim dengan

    wanita Ahlul Kitab dikemukakan pula oleh Majlis Ulama Indonesia

    (MUI). Fatwa tersebut memuat dua pernyataan mengenai masalah:

    pertama, bahwa seorang wanita Islam tidak diperbolehkan (haram)

    untuk dinikahkan dengan seorang pria bukan Islam, dan kedua, bahwa

    seorang pria Muslim tidak di izinkan menikahi seorang wanita bukan

    Islam.

  • Kalau dikaji mengenai keluarnya fatwa Syaltut maupun fatwa yang

    dikeluarkan Majlis Ulama Indonesia mengenai larangan mengawini

    wanita Ahlul Kitab, keduanya sam-sama memiliki kemiripan, yaitu

    banyaknya kecenderungan perkawinan antar agama. Tercatat di Kantor

    Catatan Sipil Jakarta sampai dengan buln Juli 1986 telah terjadi

    perkawinan antar agma yang melibatkan 112 pria muslim dan 127

    wanita muslimah dan menjadi sorotan publik.

    Menurut pengamatan Syaltut laki-laki muslim yang menikah

    dengan wanita Ahlul Kitab itu, mereka merasa memiliki kebanggaan

    dan merasa memiliki stratifikasi sosial yang lebih di banding yang lain.

    Dengan demikian, larangan Syaltut mengawini wanita Ahlul Kitab

    bagi laki-laki muslim itu mengandung maslahah dan menghindari

    mafsadah (kerusakan). Adapun metode ijtihad yang digunakan Syaltut

    dalam fatwanya melarang laki-laki muslim mengawini wanita Ahlul

    Kitab adalah sad al- zariah. Syaltut melarang perkawinan muslim

    dengan wanita Ahlul Kitab, karena perkawinan itu mengandung

    mafsadah (kerusakan) itu pasti akan terjadi, oleh karenanya

    perkawinan itu harus dicegah. Jalan untuk mencegah datangnya

    mafsadah ialah melarang perkawinan itu walaupun nas sendiri tidak

    melarangnya (Arief, 2003: 128-132).

    3. Problem-Problem Perkawinan Beda Agama

    Berdasarkan ketentuan mengenai sahnya suatu perkawinan yang

    ditentukan dalam UU No. 1 Tahun 1974, maka problem yang dapat timbul

  • apabila dilangsungkannya suatu perkawinan beda agama antara lain:

    a. Keabsahan perkawinan

    Mengenai sahnya perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan

    kepercayaanya yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) UUP. Hal ini berarti UU

    Perkawinan menyerahkan keputusannya sesuai dengan ajaran dari agama

    masing-masing. Namun, permasalahannya apakah agama yang dianut oleh

    masing-masing pihak tersebut membolehkan untuk dilakukannya

    perkawinan beda agama. Misalnya, dalam ajaran islam wanita tidak boleh

    menikah dengan laki-laki yang tidak beragama Islam (Al-Baqarah

    (2):221). Selain itu juga dalam ajaran Kristen perkawinan beda agama

    dilarang.

    b. Pencatatan perkawinan

    Apabila perkawinan beda agama tersebut dilakukan oleh orang

    yang beragama Islam dan Kristen, maka terjadi permasalahan mengenai

    pencatatan perkawinan. Apakah di Kantor Urusan Agama atau di Kantor

    Catatan Sipil oleh karena ketentuan pencatatan perkawinan untuk agama

    Islam dan di luar agama Islam berbeda. Apabila ternyata pencatatan

    perkawinan beda agama akan dilakukan di Kantor Catatan Sipil, maka

    akan dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu apakah perkawinan beda

    agama yang dilangsungkan tersebut memenuhi ketentuan dalam pasal 2

    UUP tentang syarat sahnya suatu perkawinan. Apabila pegawai pencatat

    perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan

  • menurut UUP maka ia dapat menolak untuk melakukan pencatatan

    perkawinan (pasal 21 ayat (1) UUP)

    c. Status anak

    Apabila pencatatan perkawinan pasangan beda agama tersebut

    ditolak, maka hal itu juga akan memiliki akibat hukum terhadap status

    anak yang terlahir dalam perkawinan. Menurut ketentuan pasal 42 UUP,

    anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat

    perkawinan yang sah. Oleh karena tidak dilakukannya pencatatan

    perkawinan, maka menurut hukum anak tersebut bukanlah anak yang sah

    dan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya

    (pasal 2 ayat (2) jo. pasal 43 ayat (1) UUP)

    (http://www.bphntv.net/index.php?option=com_content&view=article&i

    d=312:masalah-perkawinan-beda-agama&catid=28:konsultasi-

    hukum&Itemid=128, 20 Juni 2011).

    Selain problem-problem di atas, penulis juga menemukan dari

    sumber lain yaitu:

    1. Perkawinan beda agama lebih mengundang persoalan-persoalan

    yang yang dapat mengguncangkan kestabilan kehidupan rumah

    tangga yang berakhir pada hancurnya sendi-sendi kehidupan

    perkawinan atau pemutusan perkawinan.

    2. Kemungkinan terjadi erosi iman

  • Pasangan kawin beda agama biasanya bukannya semakin

    bertambah keimanan mereka terhadap agamanya, tapi sebaliknya

    semakin melemahkan iman mereka. Dan demi toleransi dan

    kerukunan masing-masing mereka melepaskan prinsip-prinsip

    aqidah agamanya sendiri dan tanpa disadari telah terjadi erosi

    iman.

    3. Terjadi pola hidup sekuler

    Dengan terjadinya erosi iman yang dialami oleh pasangan

    suami istri tersebut akan berlanjut dengan mengakibatkan pasangan

    tersebut melakukan perilaku sekuler, yang berakibat pasangan

    tidak mengamalkan ajaran agama yang dianutnya, karena

    menganggap bahwa agama adalah urusan dengan Tuhan, tidak ada

    hubungannya dengan manusia, sehingga ajaran agama tidak

    tersosialisasikan atau teramalkan dalam kehidupan sehari-hari.

    4. Terjadinya konflik yang berlarut-larut tanpa adanya penyelesaian

    Perkawinan berbeda agama menimbulkan terjadinya konflik-

    konflik yang berlarut-larut tanpa adanya suatu penyelesaian baik

    itu karena salah satu pasangan tidak mau cerai, Karena salah satu

    pasangan tidak mau cerai, karena ingin mempertahankan keutuhan

    keluarganya, sehingga hancurlah sendi-sendi kehidupan rumah

    tangga ini.

    5. Kemungkinan salah satu pasangan akan terkucil dalam kelompok

    masyarakat agama

    Setiap agama menghendaki pemeluknya melakukan

    perkawinan yang seagama atau seiman. Karena setelah memasuki

    dunia keluarga/berumah tangga diharapkan dalam kehidupan

    sehari-hari ajaran agama yang dianutnya turut mewarnai dan

  • berperan dalam membentuk keluarga yang sakinah, mawadah,

    warahmah, sesuai dengan tujuan pokok perkawinan tersebut.

    Perkawinan beda agama tidak akan pernah memuaskan kedua

    pihak. Kedua agama tidak merelakan terjadinya perkawinan beda

    agama. Maka apabila perkawinan tersebut terjadi, kedua pihak

    akan terkucilkan di komunitas agama kedua belah pihak, terutama

    sekali pihak masing-masing keluarga. Karena dalam masyarakat

    kita perkawinan bukan hanya antara dua individu, melainkan

    perkawinan yang melibatkan keluarga kedua belah pihak, bahkan

    komunitas agama yang ikut terlibat.

    6. Memungkinkan terjadinya derita mental dari salah satu pasangan

    kawin beda agama.

    Sering terjadi demi agar perkawinan dapat dilangsungkan

    dan mengikuti tata cara islam sewaktu menikah, salah satu

    pasangan berpindah agama, namun dalam perjalanan, suami

    berbalik kembali memeluk agama yang semula dianutnya. Hal ini

    dapat menimbulkan derita mental bagi si istri untuk bisa diterima

    dalam lingkungan keluarganya karena ia telah kawin dengan suami

    yang berbeda agama. bahkan ini bisa berakibat pemutusan

    hubungan perkawinan (Mustafidah, 2008:33-35).

    4. Problem Pengamalan Ibadah Anak Pada Keluarga Beda

    Agama

  • Problem akibat perbedaan keyakinan dalam perkawinan

    cukup memberi dampak negatif terhadap anak. Di antara kasus

    yang terjadi adalah memudarnya rumah tangga yang telah dibina

    belasan tahun, semakin hari serasa semakin kering, akibat

    perbedaan agama. Misalkan saja, ketika seorang suami (yang

    beragama Islam) pergi umrah atau haji, adalah suatu kebahagiaan

    jika istri dan anak-anaknya bisa ikut bersamanya. Tetapi alangkah

    sedihnya ketika istri dan anak-anaknya lebih memilih pergi ke

    gereja. Salah satu kebahagiaan seorang ayah muslim adalah

    menjadi imam salat berjamaah bersama anak istri.

    Begitupun ketika Ramadhan tiba,suasana ibadah puasa

    menjadi perekat batin kehidupan keluarga. Tetapi keinginan itu

    sulit terpenuhi ketika pasangannya berbeda agama. Di satu sisi

    istrinya, yang kebetulan beragama Kristen misalnya, pasti akan

    merasakan hal yang sama,betapa indahnya melakukan kebaktikan

    di gereja bersanding dengan suami. Namun itu hanya keinginan

    belaka.

    Ada seorang ibu yang merasa beruntung karena anak-

    anaknya ikut agama ibunya. Kondisi ini membuat ayahnya merasa

    kesepian ketika ingin berbagi pengetahuan dan pengalaman

    beragama. Di zaman yang semakin plural ini pernikahan beda

    agama kelihatannya semakin bertambah. Terlepas dari persoalan

    teologis dan keyakinan agama, perlu diingat bahwa tujuan berumah

  • tangga itu untuk meraih kebahagiaan. Untuk itu kecocokan dan

    saling pengertian sangat penting terpelihara dan tumbuh. Karakter

    suami dan istri masing-masing berbeda, itu suatu keniscayaan.

    Misalnya saja perbedaan usia, perbedaan kelas sosial, perbedaan

    pendidikan, semuanya itu hal yang wajar selama keduanya saling

    menerima dan saling melengkapi.

    Namun, untuk kehidupan keluarga di Indonesia, perbedaan

    agama menjadi krusial karena peristiwa akad nikah tidak saja

    mempertemukan suami-istri, melainkan juga keluarga besarnya.

    Jadi perlu dipikirkan matang-matang ketika perbedaan itu

    mengenai keyakinan agama.Problem itu semakin terasa terutama

    ketika sebuah pasangan beda agama telah memiliki anak.

    Orang tua biasanya berebut pengaruh agar anaknya mengikuti

    agama yang diyakininya. Kalau ayahnya Islam, dia ingin anaknya

    menjadi muslim. Kalau ibunya Kristen dia ingin anaknya memeluk

    Kristen.Anak yang mestinya menjadi perekat orang tua sebagai

    suami-isteri, kadang kala menjadi sumber perselisihan. Orang tua

    saling berebut menanamkan pengaruh masing-masing.

    Agama ibarat pakaian yang digunakan seumur hidup. Spirit,

    keyakinan, dan tradisi agama senantiasa melekat pada setiap

    individu yang beragama, termasuk dalam kehidupan rumah tangga.

    Di sana terdapat ritual-ritual keagamaan yang idealnya dijaga dan

  • dilaksanakan secara kolektif dalam kehidupan rumah tangga.

    Contohnya pelaksanaan salat berjamaah dalam keluarga muslim,

    atau ritual berpuasa. Semua ini akan terasa indah dan nyaman

    ketika dilakukan secara kompak oleh seluruh keluarga.

    Setelah salat berjamaah, seorang ayah yang bertindak sebagai

    imam lalu menyampaikan kultum dan dialog, tukar-menukar

    pengalaman untuk memaknai hidup. Jika kedua orang tua

    mempunyai agama yang berbeda, lantas mana yang seharusnya

    pantas di ikuti anak dalam beribadah, padahal kedua-duanya sama-

    sama berjasa dalam mendidik dan membesarkannya.

    Suasana yang begitu indah dan religius itu sulit diwujudkan

    ketika pasangan hidupnya berbeda agama. Kenikmatan berkeluarga

    ada yang hilang. Secara psikologis pernikahan beda agama

    menyimpan masalah yang bisa menggerogoti kebahagiaan. Ini

    tidak berarti pernikahan satu agama akan terbebas dari masalah.

    Namun perbedaan agama bagi kehidupan rumah tangga di

    Indonesia selalu dipandang serius. Ada suatu kompetisi antara ayah

    dan ibu untuk memengaruhi anak-anak sehingga anak jadi

    bingung. Namun ada juga yang malah menjadi lebih dewasa dan

    kritis.

    Pasangan yang berbeda agama masing-masing akan berharap

    dan yakin suatu saat pasangannya akan berpindah agama. Ketika

    semakin menapaki usia lanjut, kebahagiaan yang dicari tidak lagi

    materi, melainkan bersifat psikologis-spiritual yang sumbernya

    dari keharmonisan keluarga yang diikat oleh iman dan tradisi

    keagamaan. Ketika itu tidak ada, maka rasa sepi semakin terasa.

  • Bayangkan, bagi seorang muslim, ketika usia semakin lanjut, tak

    ada yang diharapkan kecuali untaian doa dari anaknya. Dan mereka

    yakin doa yang dikabulkan adalah yang datang dari keluarga yang

    seiman. Dampak psikologis orang tua yang berbeda agama juga

    akan sangat dirasakan oleh anak-anaknya.

    Mereka bingung siapa yang harus diikuti keyakinannya.

    Terlebih fase anak yang tengah memasuki masa pembentukan dan

    perkembangan kepribadian di mana nilai-nilai agama sangat

    berperan. Kalau agama malah menjadi sumber konflik, tentulah

    kurang bagus bagi anak

    (http://www.bantu-nikah.com/2010/10/nikah-beda-

    agama.html#axzz1PbGBL5jl, 20 Juni 2011).

    BAB III

    PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

    A. Data Umum

    Dalam melakukan penelitian, penulis berhasil mendapatkan informan dua

    keluarga yang melakukan perkawinan beda agama, keluarga pertama berstatus

    sebagai orang biasa, artinya bukan berasal dari status sosial pejabat atau pegawai

    negeri, sedangkan keluarga kedua berstatus sebagai pegawai di Universitas 17

    Agustus Semarang pada bagian Puskom/PDE (Pusat Data Elektronik).

    Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel berikut ini:

  • Tabel 1

    NO Keluarga Jenis Pekerjaan Penghasilan Rata-rata/@

    1 I Wiraswasta Rp 700.000,-

    2 II Pegawai Rp 2.000.000,-

    Sumber:hasil wawancara dengan orang tua yang kawin beda agama pada tanggal

    18 Juli 2011

    Dari data tersebut diketahui bahwa tingkat ekonomi dari jenis pekerjaan

    keluarga yang kawin beda agama yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah:

    1. Keluarga swasta berekonomi menengah kebawah

    2. Keluarga pegawai berekonomi menengah keatas

    Jumlah keluarga yang kawin beda agama yang penulis jadikan responden

    dalam penelitian ini adalah dua keluarga, karena kedua keluarga tersebut penulis

    jadikan objek penelitian, maka kiranya penulis perlu cantumkan nama, pasangan,

    usia dan anak kandung mereka.

    Hal itu dapat dilihat dari tabel II dan III sebagai berikut:

    Tabel 2

    Daftar Keluarga Kawin Beda Agama

    NO SUAMI ISTRI USIA

    1 Ngadio (I) Tuti Patmiyati (K) 60/46 tahun

    2 Eko Pudjiastowo SH (I) Andewi Epi Trayati (K) 51/49 tahun

    Sumber: hasil wawancara dengan orang tua yang kawin beda agama Pada tanggal 18 Juli 2011

    Keterangan:

    I = Islam

    K = Kristen

  • Tabel 3

    Daftar Nama, Usia dan Keberagamaan Anak

    NO KELUARGA NAMA ANAK USIA AGAMA

    1s I

    Ita Setyoningsih 26 tahun Kristen

    Anita Setyorini 19 tahun Kristen

    2

    II

    Aditya Muhammad Pudi Budianto 30 tahun Islam

    Ajeng Ratmadita Puti 26 tahun Kristen

    Aldino Zevanya Pandita 23 tahun Islam

    Nadya Martania 12 tahun Kristen

    Nadin Kirena Ratih 5 tahun Kristen

    Sumber: hasil wawancara dengan anak yang tinggal di lingkungan kawin beda agama pada tanggal

    29 Juli 2011

    B. Data Khusus

    1. Bentuk Pendidikan Agama Anak

    Bentuk pendidikan agama yang diberikan orang tua kepada

    anaknya adalah dengan menyuruh anaknya tersebut berangkat ke gereja.

    Hal ini berdasarkan penuturan seorang Ibu dari keluarga I :

    Dia saya suruh berangkat ke gereja setiap Minggu pagi, karena anak saya kelihatannya lebih senang dengan agama saya, bapaknya juga

    tidak terlalu mempersoalkan agamanya, jadi terserah mau ikut agama saya

    atau bapaknya (wawancara dengan Ibu Tuti Patmiyati, 18 Juli 2011).

    Dari penuturan ini, ternyata bentuk dari pendidikan agama yang

    diberikan orang tua baru sebatas menyuruh anaknya ke gereja, di samping

    pendidikan formal yang diberikan yaitu memusukkan anaknya ke sekolah

    umum.

  • Perlu diketahui bersama bahwa gereja yang ada di daerah tersebut

    sifatnya sudah maju, dilihat dari segi bangunannya yang megah dan bagus

    serta banyaknya jamaah yang memadati gereja tersebut setiap ada

    kebaktian (observasi, 19 Juli 2011).

    Lain lagi dengan penuturan seorang suami dari keluarga II yang

    seorang aktivis masjid, bahwa dia dalam mendidik agama anak-anaknya

    sangat berkeinginan agar anaknya mengikuti agama yang dianutnya yaitu

    Islam, akan tetapi hal ini bertentangan dengan keinginan istrinya yang

    kebetulan seorang aktivis gereja yang juga ingin anak-anaknya mengikuti

    agama yang dianutnya, yaitu Kristen. Dengan adanya hal tersebut

    munculah konflik pertengkaran diantara suami istri, yang masing-masing

    mempunyai keinginan agar anak-anaknya ikut agamanya. Pertengkaran ini

    sering terjadi manakala istrinya mengajak anaknya pergi ke gereja atau

    ketika suaminya mengajari anaknya dasar-dasar ajaran islam. Hal ini

    sempat mengakibatkan anaknya bingung untuk memilih agama yang akan

    dianutnya. Tetapi lama kelamaan sang suami mengalah dengan tidak

    memaksakan anak-anaknya harus ikut ke agama yang dianutnya.

    Sebagaimana yang diutrakan oleh Bapak Eko sebagai berikut:

    Anak-anak bebas memilih agama yang di inginkannya yang penting mereka beragama karena agama merupakan pedoman hidup. Jika

    dia muslim maka dia harus aktif menjalankan ibadahnya sebagai seorang

    muslim dan jika dia kristen maka juga harus rajin beribadah ke gereja. (wawancara dengan Bapak Eko Pudjiastowo, 29 Juli 2011).

    2. Aktivitas Ibadah Anak dari Keluarga yang Kawin Beda Agama

  • Mengenai aktivitas ibadah yang dilakukan oleh keluarga yang

    kawin beda agama, ternyata diantara mereka saling memberikan

    kebebasan dalam melakukan ibadah, masing-masing berusaha untuk saling

    menghormati pihak yang lain dalam melaksanakan ibadah agamanya. Hal

    ini berdasarkan penuturan seorang suami dari keluarga I yang istrinya

    beragama Kristen yang membolehkannya untuk shalat berjamaah di

    masjid serta aktif mengikuti pengajian-pengajian yang diselenggarakan di

    masjid lingkungan rumahnya, dan lain sebagainya. Demikian pula sang

    suami yang juga memberikan kebebasan kepada istri dan anak-anaknya

    yang kebetulan ikut agama ibunya untuk beribadah ke gereja setiap hari

    Minggu (wawancara dengan Bapak Ngadio, 18 Juli 2011).

    Dari wawancara dengan keluarga kedua, penulis memperoleh

    informasi yang tidak jauh berbeda dengan keluarga pertama dimana antar

    anggota keluarga tersebut saling menghormati dan memberikan toleransi

    dalam hal beribadah. Sang ibu yang seorang aktivis gereja senantiasa

    memberikan kebebasan kepada suaminya yang seorang aktifis masjid dan

    menjadi pengurus masjid di lingkungan sekitar rumahnya.

    Mengenai aktivitas ibadah anak-anak mereka, orang tua masing-

    masing memberikan kebebasan tetapi tetap ada kontrol agar mereka tetap

    rajin beribadah sesuai dengan agama yang mereka yakini. Sebagaimana

    penuturan dari seorang suami dari keluarga I :

  • Setiap minggu anak saya kadang-kadang saya ingatkan untuk kebaktian ke gereja, karena kalau tidak begitu kadang dia malas ke gereja (wawancara dengan Bapak Ngadio, 18 Juli 2011).

    Tidak jauh berbeda dengan keluarga I, anak-anak dari keluarga II

    juga diberi kebebasan dalam menjalankan aktivitas ibadahnya, anak-anak

    yang beragama muslim melaksanakan sholat dan kadang-kadang ikut

    berjamaah di masjid dengan bapaknya, setiap Jumat juga selalu

    beribadah sholat jumat di masjid lingkungan setempat. Ketika puasa

    ramadhan sang suami beserta anak-anaknya yang muslim juga kompak

    menjalankan ibadah puasa bersama dan tarawih berjamaah di masjid

    walaupun terkadang anaknya absen tidak shalat di masjid. Sang istri pun

    selalu menyiapkan makanan untuk berbuka puasa dan ikut bangun untuk

    meyiapkan makan sahur. Menjelang hari raya Idul Fitri sang suami dan

    anak-anaknya membayar zakat di masjid. Sedangkan anak-anak yang ikut

    agama ibunya mereka juga aktif beribadah ke gereja, bahkan salah satu

    dari anak mereka yang nomer dua bernama Ajeng Ratmadita Puti menjadi

    pengurus di salah satu gereja yang dia jadikan tempat ibadah.

    Jadi dapat penulis simpulkan bahwa meskipun diantara anggota

    keluarga mereka terdapat perbedaan keyakinan tapi mereka tetap saling

    bertoleransi dalam menjalankan ibadah mereka masing-masing.

    3. Problem Pengamalan Ibadah Anak Dalam Lingkungan Keluarga

    Beda Agama

  • Berdasarkan hasil wawancara yang telah penulis laksanakan,

    penulis memperoleh beberapa data tentang problem-problem yang dialami

    anak dalam mengamalkan aktivitas ibadah mereka, diantara problem

    tersebut adalah:

    a. Kurang Mendalami Ajaran Agama Yang Dianut

    Berdasarkan informasi yang penulis peroleh dari anak-anak yang

    tinggal di lingkungan keluarga beda agama ternyata adanya perbedaan

    keyakinan diantara anggota keluarga menyebabkan mereka kurang

    dapat mendalami ajaran agama yang mereka yakini secara lebih

    mendalam. Anak cenderung cuek dengan agamanya, dalam artian

    dalam menjalankan aktivitas ibadahnya sekedar untuk menggugurkan

    kewajiban semata dan hanya mengikuti perintah orang tuanya saja,

    tanpa didasari dengan pemahaman yang sebenarnya tentang

    pentingnya beribadah kepada Tuhannya. Hal ini berdasarkan

    pengakuan anak dari keluarga II yang menyatakan bahwa dia

    beribadah salah satu alasannya karena ajakan sang bapak dan hanya

    sekedar menuruti perintah Bapaknya saja (wawancara dengan aldino,

    29 Juli 2011).

    b. Kurang Menjiwai Ketika Melaksanakan Ibadah Di Rumah

    Menurut pengakuan salah satu anak dari keluarga II, dia merasa

    kurang menjiwai atau kurang khusyuk ketika dia melaksanakan ibadah

    khususnya ketika shalat dan berpuasa. Dia berharap dapat

    melaksanakan sholat berjamaah dirumah bersama semua anggota

  • keluarga yang lain, merasakan nikmatnya berbuka puasa dan sahur

    bersama-sama, tarawih bersama tetapi itu semua tidak dapat terwujud

    karena adanya perbedaan keyakinan diantara anggota keluarganya,

    sehingga menyebabkan dia kurang dapat merasakan indahnya hidup

    dalam suasana keluarga yang seiman (wawancara dengan aldino, 19

    Juli 2011).

    c. Rendahnya semangat atau motivasi beribadah anak

    Dalam beribadah tentu perlu didasari dengan adanya motivasi baik

    itu yang tumbuh dari dirinya sendiri maupun semangat yang

    dipengaruhi dari luar dirinya, kedua-duanya tentu saling

    mempengaruhi. Jika salah satu faktor tidak mendukung tentu akan

    berpengaruh. Salah satu dari faktor-faktor yang mempengaruhi

    motivasi beribadah anak adalah adanya dukungan dari orang tua atau

    anggota keluarga yang lain, jika orang tua tidak begitu memperdulikan

    ketekunan ibadah anaknya atau hanya kadang-kadang dalam

    mengingatkan dan mengajak anaknya beribadah maka hal ini dapat

    melemahkan semangat anak dalam beribadah, karena anak butuh

    dorongan atau semangat khususnya dari orang tua sebagai pendidik

    yang utama. Sebagaimana pengakuan salah satu anak keluarga I yang

    menyatakan:

    Saya kadang tidak semangat ke gereja karena terkadang sudah kecapekan bekerja seharian, Ibu kadang juga nggak ngajak atau pas

    Ibu tidak ke gereja saya juga jadi tambah malas berangkat (wawancara dengan Anita Setyorini, 18 Juli 2011).

  • 4. Cara Mengatasi Problem Pengamalan Ibadah anak Dalam

    Lingkungan Keluarga Beda Agama

    a. Bersosialisasi dengan lingkungan luar

    Hal ini dirasakan sangat penting karena dengan bergaul dan

    bersosialisasi dengan orang lain anak dapat berbagi pengalaman dalam

    hal beribadah. Dengan saling bertukar cerita atau curhat, berbagi ilmu

    dengan teman dapat menumbuhkan inspirasi dan semangat baru untuk

    dirinya, yang tadinya tidak tahu menjadi tahu jadi dapat lebih

    mendalami agama sehingga mampu mengamalkan ibadahnya secara

    lebih sempurna.

    b. Aktif mengikuti kajian-kajian keagamaan di masjid, sekolah atau

    majlis-majlis keagamaan yang lain.

    Untuk menumbuhkan semangat dalam beribadah perlu juga

    dibarengi dengan ikut serta aktif mengikuti kajian-kajian keagamaan di

    masjid, sekolah atau aktif mengikuti kebaktian di gereja sehingga

    dapat memperkaya pengetahuan ilmu keagamaan yang dimiliki anak.

    seperti halnya yang dilakukan oleh salah satu anak dari keluarga II

    yang aktif menjadi pengurus di salah satu gereja tempat ia beribadah.

    c. Rajin membaca buku-buku keagamaan yang dapat menambah

    pengetahuan dan menumbuhkan semangat beribadah.

  • Selain aktif bersosialisasi dengan lingkungan luar dan aktif

    mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan di luar rumah, penting juga

    menambah khasanah ilmu pengetahuan agama anak dengan rajin

    membaca buku-buku yang berkaitan dengan hal tersebut. Hal ini juga

    yang dilakukan oleh salah seorang anak dari kelurga ke II yang rajin

    membaca buku-buku keagamaan untuk menambah pengetahuannya

    dan semangat ibadahnya.

    BAB IV

    PEMBAHASAN

    A. Bentuk Pendidikan Agama Anak

    Dari hasil wawancara dengan para orang tua yang melakukan

    perkawinan beda agama, bentuk-bentuk pendidikan agama yang diberikan

    orang tua kepada anak-anak mereka antara lain:

  • 1. Menyuruh dan mengajak anaknya untuk beribadah (sholat berjamaah,

    mengaji atau mengikuti kajian keagamaan) di masjid lingkungan sekitar

    rumahnya

    2. Sekali waktu diberikan pendidikan tambahan di rumah ( misalnya diberi

    pengetahuan tentang ibadah ghairu mahdhah/ibadah-ibadah yang bersifat

    umum).

    3. Bagi yang beragama non muslim, bentuk pendidikan agama yang

    diberikan adalah dengan mengajak anaknya ke gereja.

    Dari hal ini menggambarkan betapa pentingnya mengajarkan

    pendidikan agama kepada anak-anak, karena mereka tinggal dalam lingkungan

    keluarga yang tidak mempunyai satu keyakinan yang sama, maka orang tua

    harus ekstra dalam menanamkan nilai-nilai keagamaan kepada anak-anak

    mereka agar mereka mempunyai satu prinsip yang jelas yang harus mereka

    pegang, jangan sampai anak malah jadi tidak beragama karena bingung untuk

    memilih keyakinan yang dianut bapak atau ibunya.

    B. Aktivitas Ibadah Anak Yang Tinggal di Lingkungan Keluarga Beda

    Agama

    Berdasarkan informasi yang penulis dapat pada saat melakukan

    wawancara dengan anak yang tinggal di lingkungan keluarga yang beda

    agama tersebut di atas, aktivitas ibadah yang mereka jalankan antara lain:

  • 1. Melaksanakan sholat lima waktu

    Dalam melaksanakan sholat lima waktu anak biasanya melakukannya di

    rumah tapi terkadang berjamaah di masjid dengan orang tuanya.

    2. Puasa Ramadhan

    Ketika bulan puasa anak yang beragama muslim juga menunaikannya

    bersama anggota keluarga muslim yang lain,juga melaksanakan shalat

    tarawih di masjid lingkungan setempat walau kadang kala karena alasan

    malas tidak pergi untuk berjamaah tarawih di masjid.

    3. Membayar Zakat Fitrah di Bulan Ramadhan

    Dalam hal pembayaran zakat anak sudah mampu untuk membayar sendiri

    karena kebetulan objek yang penulis teliti di sini mereka sudah bekerja

    sehingga zakat sudah tidak menjadi tanggung jawab orang tua mereka

    lagi.

    4. Melaksanakan sholat Jumat di masjid setiap hari Jumat, bagi anggota

    keluarga muslim yang laki-laki.

    5. Bagi yang beragama non muslim mereka pergi kebaktian setiap hari

    Minggu di Gereja.

    6. Mengenai ibadah ghairu mahdhah atau ibadah umum biasanya mereka

    melaksanakan kerja bakti dengan warga setempat setiap dua minggu atau

    sebulan sekali.

    Dari informasi yang penulis dapatkan di atas dapat di simpulkan

    bahwa aktivitas ibadah anak yang tinggal di lingkungan keluarga beda agama

  • sudah dapat mereka jalankan dengan cukup baik walaupun tidak maximal

    mengingat mereka tinggal dalam lingkungan yang tidak mempunyai satu

    prinsip yang sama dalam keluarganya, sehingga hal ini mempengaruhi

    semangat dan kesadaran mereka dalam menjalankan kewajiban ibadahnya.

    C. Problem Pengamalan Ibadah Anak Dalam Lingkungan Keluarga Beda

    Agama

    Dari hasil penelitian yang telah penulis laksanakan, diperoleh data

    bahwa terdapat beberapa problem pengamalan ibadah anak yang tinggal di

    lingkungan keluarga beda agama, diantara problem-problem tersebut antar

    lain :

    1. Kurang mendalami ajaran agama yang dianut

    Berdasarkan data di awal, terlihat ketika masing-masing orang tua

    berusaha mendidik anaknya dengan agamanya masing-masing

    menimbulkan problem bagi anak, yaitu mereka kurang menjiwai

    ajaran agama yang mereka anut, karena orang tuanya yang berbeda

    keyakinan menyebabkan anak tidak terlalu peduli dengan agamanya,

    khususnya dalam hal ibadah, anak hanya sekedar mengikuti perintah

    orang tuanya dan menggugurkan kewajiban semata tapi tidak tahu nilai

  • ibadah yang dia jalankan. Sehingga kesadaran untuk mendalami dan

    mengamalkan ajaran agama yang diyakininya pun tidak dia utamakan.

    2. Kurang menjiwai ketika melaksanakan ibadah di rumah

    Ini juga menjadi problem yang dialami anak ketika orang tuanya

    berbeda keyakinan, mereka kurang mampu menjiwai ketika

    menjalankan ibadah di rumah, hal ini dialami oleh salah seorang anak

    dari keluarga ke II yang tidak bisa khusyu ketika beribadah sholat di

    rumah karena suasana rumah yang dipenuhi dengan ornamen-ornamen

    berupa gambar atau patung dari keyakinan yang berbeda darinya,

    sehingga aktivitas keagamaan yang dia lakukan tidak dapat di

    jalankan dengan khusyu dan maximal karena dalam satu rumah tidak

    mempunyai satu prinsip yang sama, sehingga tidak ada kekompakan

    dalam hal beribadah di rumah.

    3. Rendahnya semangat atau motivasi beribadah anak

    Merupakan hal yang sangat penting juga untuk menumbuhkan

    semangat dalam beribadah, jika tidak ada hal yang mendorong atau

    memotivasi seorang anak untuk rajin beribadah maka anak akan

    selamanya malas melaksanakan kewajibannya sebagai seorang hamba

    Tuhan. Peranan orang tua sangat penting untuk memberi semangat,

    bimbingan, dan teladan yang baik dalam hal beribadah agar anak-

  • anaknya menjadi manusia yang beragama dan mau menjalankan ajaran

    agamanya.

    D. Cara Mengatasi Problem Pengamalan Ibadah Anak Dalam Lingkungan

    Keluarga Beda Agama

    Berdasarkan hasil wawancara dengan anak-anak yang tinggal di

    lingkungan keluarga beda agama, penulis dapatkan informasi tentang

    bagaimana cara mengatasi problem pengamalan ibadah yang mereka hadapi,

    antara lain:

    1. Bergaul dengan teman-teman di ligkungan luar rumah agar dapat saling

    berbagi ilmu dan bertukar pengalaman tentang agama khususnya dalam

    hal beribadah.

    Ini mereka lakukan karena menurut mereka dengan bersosialisasi

    dengan teman-teman maka wawasan tentang keagamaan mereka akan

    bertambah sehingga dapat memacu semangat dalam mendalami dan

    mengamalkan ajaran agama yang mereka yakini.

    2. Aktif mengikuti kajian-kajian keagamaan di masjid, sekolah atau majlis-

    majlis keagamaan yang lain.

    Dalam beribadah tentu perlu adanya masukan rohani dari luar

    seperti mengikuti pengajian-pengajian di masjid atau majlis doa,

    sehingga ini dapat menjadi charger ketika anak mengalami kemerosotan

    iman.

  • 3. Rajin membaca buku-buku keagamaan yang dapat menambah

    pengetahuan dan menumbuhkan semangat beribadah.

    Selain kedua hal tersebut di atas, maka untuk memperkaya

    pengetahuan keagamaan khususnya tentang pentingnya ibadah anak-

    anak yang tinggal di lingkungan keluarga beda agama perlu diperdalam

    dengan rajin membaca buku-buku keagamaan agar pengetahuan anak

    tentang agama tidak dangkal, tetapi mampu berfikir secara luas dan

    terbuka.

    BAB V

    PENUTUP

    A. Kesimpulan

  • Dari hasil penelitian tentang Problematika Pengamalan Ibadah Anak

    Pada Keluarga Beda Agama (Studi Kasus Pada Masyarakat Ngentak RT 10

    RW V Kelurahan Kutowinangun Kecamatan Tingkir Kota Salatiga Tahun

    2011), maka dapat penulis simpulkan sebagai berikut :

    1. Cara Pengamalan Ibadah Anak Yang Tinggal Di Lingkungan Keluarga

    Beda Agama adalah:

    a. Bagi anak yang beragama Islam mereka melaksanakan ibadah

    khusus yaitu: sholat, puasa ramadhan, zakat dan ibadah-ibadah sunah

    yang lain seperti shalat tarawih dsb. Di samping itu juga

    melaksanakan ibadah umum seperti mengikuti kajian-kajian

    keislaman di masjid serta bersosialisasi dengan masyarakat luar

    dalam kegiatan kerja bakti.

    b. Bagi anak yang beragama non islam ( Kristen) mereka melaksanakan

    kebaktian di gereja setiap hari Minggu.

    2. Perkawinan antar agama yang terjadi di Dukuh Ngentak RT 10 RW V

    Kelurahan Kutowinangun Kecamatan Tingkir Salatiga, menimbulkan

    beberapa problem dalam pengamalan ibadah anak-anak mereka,

    diantaranya :

    d. Anak kurang mendalami ajaran agama yang mereka yakini

    e. Anak kurang menjiwai ketika melaksanakan ibadah di rumah karena

    tidak adanya kesamaan prinsip dalam satu keluarga.

    f. Rendahnya semangat atau motivasi beribadah anak

  • 3. Untuk mengatasi problem-problem tersebut di atas maka solusi yang

    ditempuh anak untuk menyelesaikannya adalah dengan:

    a. Bergaul dengan teman-teman di lingkungan luar rumah agar dapat

    saling berbagi ilmu dan bertukar pengalaman tentang agama

    khususnya dalam hal beribadah.

    b. Aktif mengikuti kajian-kajian keagamaan di masjid, sekolah atau

    majlis-majlis keagamaan yang lain.

    c. Rajin membaca buku-buku keagamaan yang dapat menambah

    pengetahuan dan menumbuhkan semangat beribadah.

    B. Saran-Saran

    Berdasarkan kesimpulan yang penulis paparkan di atas, dimana

    sedemikian kompleksnya problem yang ditimbulkan dari perkawinan antar agama

    di Dukuh Ngentak RT 10 RW V Kelurahan Kutowinangun Kecamatan Tingkir

    terutama problem dalam pengamalan ibadah anak, maka saran-saran yang dapat

    penulis sampaikan adalah :

    1. Penulis sarankan supaya mendidik agama anak dengan pendidikan agama

    sejak dini, kalaupun ini mendapat tantangan dari suami atau istri anda,

    maka anda rajinlah beribadah dan jangan sampai karena demi

    perdamaian anda mengendorkan ibadah anda, supaya anak tertarik dan

    mau mengambil keputusan untuk belajar dan menganut agama islam.

    2. Bagi mereka yang sudah mempunyai suami atau istri yang bukan islam,

    bawalah dia masuk islam, dan kalau dia tidak mau, sadarilah bahwa setiap

  • pilihan sudah pasti membawa resiko tetapi resiko karena berpihak pada

    Allah, sudah ada jaminan tertentu dari Allah. Karena Allah sudah

    menjanjikan bahwa bagi siapa yang bersungguh-sungguh dengan Allah,

    Dia akan menunjukkan jalan keluar untuk mengatasi resiko dari sikap

    yang diambilnya. Dalam islam, pintu taubat senantiasa terbuka, tetapi

    hanya satu kali. Lebih dari satu kali tidak akan diterima.

    3. Untuk menghindari atau meminimalisir konflik yang berdampak pada

    anak maka penulis sarankan agar kedua orang tuanya harus: menciptakan

    suasana keluarga yang harmonis, berkomunikasi dengan anak sesuai

    dengan taraf berfikir anak, memberikan keteladanan yang baik,

    memberikan gambaran-gambaran tentang masing-masing agama, serta

    memberikan kebebasan pada anak untuk berfikir dan memilih.

    DAFTAR PUSTAKA

    Arief, Salam.2003.Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta dan

    Realita. Jogjakarta:LESFI

    Arikunto, Suharsimi. 2005. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.

    Jakarta : Rineka Cipta

    Ash Shiddieqi, Hasbi. 1994. Kuliah Ibadah: Ibadah Ditinjau Dari Segi Hukum

    Dan Hikmah. Jakarta: PT Bulan Bintang

    Bahreisj, Husein. 1992. Himpunan Fatwa. Surabaya: Al-Ikhlas

  • Basyir Ahmad Azhar. 2003. Falsafah Ibadah Dalam Islam. Yogyakarta: UII Press

    Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:

    Balai Pustaka

    Kusuma. Hilman Hadi. 1990. Hukum SI Perka Indonesia. Bandung: Mandar Maju

    Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja

    Rosdakarya

    -------------------. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja

    Rosdakarya

    Mustafidah, Aeni. 2008. Problematika Pendidikan Agama Anak Dalam Keluarga

    Perkawinan Beda Agama di Kelurahan Kalicacing Kecamatan

    Sidomukti Kota Salatiga 2008. Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga : Jurusan

    Tarbiyah STAIN Salatiga

    Nasution, Lahmuddin. 1997. Fiqh 1. Padang: Angkasa Raya

    Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1994. Kamus Besar Bahasa

    Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

    Sabiq, Sayyid. 1980. Fiqh Sunah 6. Bandung: PT Al-Maarif

    Suhadi. 2006. Kawin Lintas Agama. Yogyakarta: LKis Yogyakarta

    Syarifudin, Amir. 2003. Garis-Garis Besar Fiqh. Kencana

    Shihab, M Quraish. 1999. Wawasan Al-Quran: Tafsir MaudhuI Atas Berbagai

    Permasalahan Umat. Bandung: Mizan

    Tono dkk. 2002. Ibadah dan Akhlaq Dalam Islam. Yogyakarta: UII Press

    Tobroni, Suprayogo Imam. 2003. Metodologi Penelitian Sosial Agama. Bandung:

    PT Remaja Rosdakarya

    Zuhdi, Masjfuk. 1996. Masail Fiqhiyah. Jakarta: PT Toko Gunung Agung

    8. http://www.bphntv.net/index.php?option=com_content&view=article&id=312:masalah-perkawinan-beda-agama&catid=28:konsultasi-hukum&Itemid=128

    9. http://raja1987.blogspot.com/2008/08/kajian-perkawinan-beda-agama-

    menurut.html

    10. http://www.bantu-nikah.com/2010/10/nikah-beda-

    agama.html#axzz1PbGBL5jl

  • PEDOMAN WAWANCARA UNTUK ORANG TUA YANG MELAKUKAN

    PERKAWINAN BEDA AGAMA

    1. Bagaimana pengamalan agama anak-anak mereka?

    2. Bagaimana pendidikan agama anak-anak mereka?

    3. Apakah anak-anak diberi kebebasan untuk memilih agama atau mengikuti

    pengarahan ayah/ibunya?

  • 4. Apa problem atau kendala yang dihadapi oleh orang tua dalam mendidik

    agama anak dan bagaimana mengatasinya?

    PEDOMAN WAWANCARA UNTUK ANAK YANG TINGGAL DI

    LINGKUNGAN KELUARGA YANG BEDA AGAMA

    1. Apakah dalam memilih agama, anak mengikuti orang tua atau atas pilihan

    dan keyakinannya sendiri?

    2. Bagaimana kebebasan orang tua dalam memberi kesempatan anak untuk

    beribadah?

  • 3. Bagaimana cara anak beribadah dalam lingkungan keluarga beda agama?

    4. Apakah masalah atau hambatan yang dihadapi anak dalam melaksanakan

    ibadah di lingkungan keluarga beda agama?

    5. Bagaimana mengatasi masalah atau hambatan yang dialami anak dalam

    menjalankan ibadahnya?

    6. Alasan mengapa memilih diantara agama yang dianut oleh orang tua nya?

    Catatan Wawancara

    Hari/tanggal : Minggu, 17 Juli 2011

    Tempat : rumah Bapak RT 04

    Waktu : 17.00 WIB

  • Informan : Bapak RT 04

    Fokus : meminta