PROBLEMATIKA PENGAMALAN IBADAH ANAK
PADA KELUARGA BEDA AGAMA
(Studi Kasus pada Masyarakat Ngentak RT 10 RW V
Kelurahan Kutowinangun Kecamatan Tingkir
Kota Salatiga Tahun 2011)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan Islam
Oleh :
OKTAFIANI
NIM : 111 07 095
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI (STAIN)
SALATIGA
2011
MOTTO
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka
apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan) kerjakanlah
dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya
kepada Tuhanmulah kamu berharap
(Q.s. Al Insyiroh : 6 8)
Apabila engkau telah bercita-cita (yang tetap) maka
bertawakkallah kepada Allah, sesungguhnya Allah mengasihi
orang-orang yang tawakal
(Q.s Al Imron : 159)
Manusia hanya akan memperoleh apa yang telah
diusahakannya, dan sesungguhnya usahanya itu kelak akan
diprlihatkan padanya kemudian akan diberikan balasan
dengan balasan yang paling sempurna
(An Najm : 39 41)
PERSEMBAHAN
1. Kepada Bapak dan Ibu tercinta yang telah tiada terima kasih selama hidup kaliyan telah
mendidikku dan merawatku dengan penuh kasih sayang dan kesabaran yang tak ternilai
harganya.
2. Untuk kakak-kakakku tersayang (Mas Slamet, Mbak Nur, Mas Kolis, Mas Masykur,
Mas Niam, Mbak Rika, Mbak Lita, Mbak Isna) terima kasih banyak selama ini telah
setia mendukung, mendampingi serta menasehatiku untuk menjadi seseorang yang
senantiasa bersyukur walau dalam keterbatasan.
3. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga, dimana tempat yang telah penulis pilih
untuk menuntut ilmu. Semoga ilmu yang penulis terima dapat bermanfaat bagi orang
lain dan khususnya bagi diri sendiri.
4. Bapak Achmad Maimun M.Ag. yang telah bersedia memberikan pengarahan bimbingan
penulis hingga selesainya pembuatan skripsi ini..
5. Keluarga Besar TPA AL-HIKMAH NGENTAK SALATIGA yang telah memberikan
pengalaman dalam mengamalkan ilmu yang diperoleh di bangku kuliah secara nyata di
lapangan.
6. Sahabat-sahabatku tersayang (mbak Tias, mas Enggar, mbak Nia, Nafiah, Fita, Emma,
Risma, Rosa) dsb yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu disini, terima kasih
kaliyan selalu setia mendampingiku dalam suka maupun duka.
7. Sahabat-sahabat seperjuangan KKN Dusun Sidodadi Tegalrejo Magelang, (Kumi, Ana,
Mujrikah, Mb Mul, Hariri, Pak Teguh) memorikan selalu saat-saat kebersamaan kita.
KATA PENGANTAR
Puji Syukur senantiasa penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan Rahmat, taufik dan hidayah-Nya , sehingga penulis mampu
menyelesaikan skripsi ini dengan lancar.
Sholawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi
Agung Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya,dan para pengikutnya
semoga kita kelak mendapatkan syafaatnya.,amin.
Sebagai insan yang dhoif, penulis sadar bahwa skripsi ini bukanlah tugas
yang ringan, yang tidak akan terselesaikan tanpa bantuan pihak yang
berkompeten, yang penulis tidak mampu menyebutkan satu persatu. Oleh karena
itu dengan rasa hormat, penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan,
bimbingan, motivasi dan iktikad baik kepada :
1. Dr. Imam Sutomo, M.Ag , selaku Ketua STAIN Salatiga
2. Dra. Siti Asdiqoh, M.Si , selaku Ketua Jurusan Tarbiyah PAI.
3. Bapak Achmad Maimun M.Ag., selaku pembimbing yang telah
mencurahkan pikiran dan tenaganya , hingga akhirnya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
4. Kakak-kakaku tersayang yang telah memberikan bekal baik materiil
maupun spiritual.
5. Bapak Jaka Siswanta, M.Pd. selaku pembimbing akademik
6. H. Agus Waluyo, M.Ag, selaku Pembantu Ketua Bidang Kemahasiswaan.
7. Mukti Ali,M.Hum, selaku Kepala Unit Kemahasiswaan.
8. Keluarga Bapak Eko Pujiastowo dan Keluarga Bapak Ngadiyo yang telah
bersedia meluangkan waktunya membantu penulis dalam pengambilan
data skripsi ini
ABSTRAK
Oktafiani NIM : (111 07 095). Problematika Pengamalan Ibadah Anak pada
Keluarga Beda Agama (Studi Kasus pada Masyarakat Ngentak RT 10 RW V
Kelurahan Kutowinangun, Kecamatan Tingkir Kota Salatiga, 2011. Skripsi.
Jurusan Tarbiyah. Program Studi Pendidikan Agama Islam. Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing Achmad Maimun, M.Ag.
Kata Kunci : Problematika Pengamalan Ibadah Anak dan Keluarga Beda
Agama.
Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui: Problematika
Pengamalan Ibadah Anak Pada Keluarga Beda Agama. pertanyaan yang ingin
dijawab melalui penelitian ini adalah 1. Bagaimana Pengamalan ibadah anak pada
keluarga beda agama 2. Apa problem yang muncul pada pengamalan ibadah anak
dalam lingkungan keluarga beda agama 3. Apa solusi yang ditempuh untuk
menyelesaikan problem pengamalan ibadah anak dalam lingkungan keluarga beda
agama.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian Kualitatif, dan untuk
mendapatkan data, maka digunakan metode observasi, wawancara, dan
dokumentasi. Data yang terkumpul kemudian disusun dan dianalisis dengan
menggunakan reduksi data, penyusunan data dan mengambil kesimpulan.
Setelah dianalisis disimpulkan bahwa cara pengamalan ibadah anak yang
tinggal di lingkungan keluarga beda agama di dukuh Ngentak adalah dengan
menjalankan sholat lima waktu, puasa ramadhan, membayar zakat, dan ibadah-
ibadah umum lainnya sedangkan anak yang beragama non islam mereka
menjalankan ibadah ke gereja setiap hari Minggu. Problem pengamalan ibadah
anak yang tinggal di lingkungan beda agama di dukuh Ngentak antara lain yaitu:
anak kurang mampu mendalami ajaran agama yang mereka yakini, anak kurang
menjiwai ketika beribadah di rumah, rendahnya semangat atau motivasi beribadah
anak. solusi yang di tempuh untuk mengatasi problem-problem tersebut adalah:
bersosialisasi dengan masyarakat luar, aktif mengikuti kajian-kajian keagamaan,
banyak membaca buku-buku keagamaan.
Berdasarkan hasil penelitian ini, diharapkan akan menjadi bahan informasi
dan masukan, bagi keluarga yang melakukan perkawinan beda agama, anak-anak
khususnya yang tinggal di dalam lingkungan keluarga beda agama dan bagi
penulis yang dapat bermanfaat untuk penulisan skripsi ini.
DAFTAR ISI
Halaman Judul i
Nota Pembimbing.. ii
Lembar Pengesahan... iii
Pernyataan Keaslian Tulisan iv
Motto. v
Persembahan. vi
Kata Pengantar . vii
Abstrak.. ix
Daftar Isi... x
BAB I: PENDAHULUAN .. 1
A. Latar Belakang Masalah .. 1
B. Definisi Operasional 5
C. Rumusan Masalah 7
D. Tujuan Penelitian . 7
E. Kegunaan Penelitian 7
F. Metode Penelitian 8
G. Sistematika Penulisan Skripsi.. 15
BAB II: KAJIAN PUSTAKA 17
A. Ibadah . 17
1. Pengertian dan Dasar Hukum .. 18
2. Ruang Lingkup Ibadah . 20
3. Urgensi Ibadah.. 22
B. Keluarga Beda Agama 23
1. Pengertian Perkawinan Beda Agama ... 23
2. Perkawinan Antara Orang Yang Berlainan Agama Menurut Hukum
Islam . 24
a. Perkawinan antara perempuan Muslim dengan Laki-laki non
muslim .. 24
b. Perkawinan antara Laki-laki Muslim dengan Perempuan
Musyrik . 27
c. Perkawinan Antara Laki-Laki Muslim Dengan Perempuan Ahli
Kitab .. 29
3. Problem-Problem Perkawinan Beda Agama . 32
4. Problem Pengamalan Ibadah Anak Pada Keluarga Beda Agama .. 36
BAB III : PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN .. 40
A. Data Umum .. 40
B. Data Khusus . 42
1. Bentuk Pendidikan Agama Anak . 42
2. Aktifitas Ibadah Anak dari Keluarga yang Kawin Beda Agama .. 43
3. Problem Pengamalan Ibadah Anak Dalam Lingkungan Keluarga Beda
Agama 45
4. Cara Mengatasi Problem Pengamalan Ibadah Anak Dalam Lingkungan
Keluarga Beda Agaam .. 47
BAB IV : PEMBAHASAN . 49
A. Bentuk Pendidikan Agama Anak . 49
B. Aktifitas Ibadah Anak Yang Tinggal Dalam Lingkungan Keluarga Yang
Kawin Beda Agama ................................................................ 50
C. Problem Pengamalan Ibadah Anak dalam Lingkungan Keluarga Beda
Agama . 51
D. Cara Mengatasi Problem Pengamalan Iadah Anak Dalam Lingkngan
Keluarga Beda Agama 53
BAB V : PENUTUP .. 55
A. Kesimpulan . 55
B. Saran-saran . 56
DAFTAR PUSTAKA .
LAMPIRAN-LAMPIRAN .. 60
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anak merupakan buah hati, tumpuan dan harapan dari keluarga. Anak
adalah amanat dari Allah yang diberikan kepada orang tua, maka islam
menugaskan kepada umatnya (orang tua) agar memberikan pendidikan
terhadap anaknya, terutama dalam hal ini pendidikan agama.
Di dalam keluarga orang tua mempunyai peranan yang sangat penting
dalam penanaman nilai-nilai keagamaan kepada anak-anaknya, khususnya
dalam hal beribadah. Anak merupakan buah perkawinan yang sangat
membutuhkan orang tua untuk memberikan pendidikan agama, dalam proses
pendidikan banyak masalah yang akan dilontarkan anak pada orang tua,
misalnya anak menanyakan tentang siapa Tuhan itu, dimana surga dan neraka
itu, siapa yang membuat alam ini dan sebagainya. Untuk menjawab persoalan
ini maka sangat diperlukan adanya persamaan persepsi, prinsip, pemikiran
dari orang tua untuk memberikan dan membawanya agar anak menyadari dan
melaksanakan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang agama
serta mengerjakan hal-hal yang baik dan beramal sholeh ( Kusuma, 1990:24 ).
Dalam lingkungan keluarga yang semua anggotanya beragama islam,
mungkin masalah-masalah tersebut mudah untuk diatasi, akan tetapi dalam
lingkungan keluarga yang berbeda-beda agama tentu hal tersebut akan
menimbulkan problem tersendiri yang perlu untuk dipecahkan. Anak yang
tinggal dalam lingkungan keluarga beda agama tentu sering mengalami
problem dalam menjalankan aktifitas ibadahnya, karena tidak adanya
persamaan aqidah antar anggota keluarga. Sehingga hal ini dapat
mempengaruhi kesadaran dan motivasi anak alam mengamalkan ibadahnya.
Sebagaimana kasus yang terjadi pada masyarakat Ngentak RT 10 RW
V Salatiga, dimana di daerah tersebut terdapat dua keluarga yang melakukan
perkawinan beda agama. Berdasarkan informasi yang penulis dapatkan dari
beberapa anak yang tinggal di lingkungan keluarga beda agama tersebut dan
keterangan dari masyarakat sekitar, ternyata perkawinan beda agama cukup
memberi dampak negatif terhadap ketekunan beribadah anak-anak. Hal ini
diakui oleh salah seorang anak yang tinggal di keluarga yang berbeda agama,
dia merasa tidak semangat dalam menjalankan aktivitas ibadahnya karena
dalam keluarganya tidak ada kekompakan dalam hal beribadah. Pengakuan
lain juga di utarakan oleh anak dari keluarga kedua yang merasa tidak
khusyuk dalam menjalankan ibadah khususnya shalat karena suasana rumah
yang tidak mendukung akibat adanya perbedaan keyakinan antar anggota
keluarga. Bapaknya seorang aktivis masjid sedangkan ibunya seorang aktivis
gereja. Dari sini dia merasakan suasana rumah yang kurang religius sehingga
dia kurang menjiwai setiap ibadah yang dikerjakan.
Terdapat banyak ayat Al-quran yang mengaitkan perintah ibadah
kepada Tuhan dengan tujuan memperoleh takwa. Takwa dalam ajaran islam
merupakan satu-satunya ukuran nilai kemuliaan manusia dihadapan Allah.
Bagi manusia ibadah merupakan kodrat pembawaan jiwa manusia
yang rindu kepada kemuliaan. Kemuliaan manusia di hadapan Allah diukur
dengan kuat lemahnya takwa kepada Allah, sedangkan takwa dapat diperoleh
dan diperkuat dengan melaksanakan ibadah. Takwa merupakan bekal hidup
kejiwaan yang mutlak bagi manusia untuk memperoleh kebahagiaan dan
kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat kelak.
Berkaitan dengan hal tersebut, Tono dkk. (2002:16-17) menyatakan
sebagai berikut.
Jiwa yang bertakwa akan senantiasa menyesuaikan hidupnya
sebagai makhluk Tuhan, sebagai diri pribadi, sebagai anggota masyarakat,
dan sebagai yang hidup di tengah-tengah alamnya, dengan berpedoman
yang diberikan Allah.
Urgensi ibadah juga merupakan tujuan seluruh yang wujud di alam
ini. Allah berfiman dalam surat Adz-Dzariyat ayat 56
Artinya: Dan tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.(Q.S.Adz-Dzariyat : 56).
Dalam surat Al-isra: 44 Allah berfirman:
Artinya:Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah, tiada sesuatupun yang
terkecuali, semuanya bertasbih dengan memuji-Nya
tetapi kamu sekalian tidak tahu tasbih mereka,
sesungguhnya Dia Maha Penyantun lagi Maha
Pengampun.(Q.S. Al-isra : 44).
Karena amat pentingnya kedudukan ibadah dalam agama pada
umumnya, agama wahyu pada khususnya, masalah ibadah dalam
pengertiannya yang khusus merupakan hal yang mutlak dan tidak dapat
diubah oleh manusia. Hanya Tuhan yang dituju dan hanya Tuhan pula
yang mengajarkan bagaimana cara melaksanakannya. Manusia hanya taat
kepada ajaran yang datang dari Tuhan, tidak membuat cara sendiri, tidak
boleh mengurangi, menambah atau mengubah. (Basyir, 2002:9-10).
Dalam mendidik anak-anak, ibadah menjadi persoalan yang sangat
penting untuk diajarkan karena ibadah merupakan wujud penghambaan
kepada Allah. Ibadah kepada Allah adalah hak Allah yang wajib
ditunaikan. Oleh karena itu, belajar dan mengajarkan ibadah adalah
kewajiban yang harus ditunaikan pula.
Ibadah yang harus lebih dahulu dipahami adalah ibadah khusus yang
ditegaskan macamnya dan ditentukan pula cara melaksanakannya. Apabila
pelaksanaannya tidak seperti ketentuan yang diberikan, maka tidak akan
diterima. Empat macam ibadah utama yang menjadi sendi Islam setelah
dua kalimat syahadat, yaitu: shalat, zakat, puasa dan haji merupakan
ibadah yang paling banyak diajarkan kepada anak kita, bahkan dikalangan
orang tua juga. Namun cara mengajarkannya sering membuka peluang
untuk membahas hal yang lebih bersifat formalitas, jarang yang melandasi
juga dengan aspek kejiwaan. Bahkan dalam praktik, masalah ibadah
diajarkan sedemikian rumit sehingga untuk mempelajarinya memerlukan
waktu bertahun-tahun. Itupun tidak dirasakan puas karena masalahnya
telah menjadi bercabang dan beranting sedemikian banyaknya sehingga
hal yang mestinya tidak perlu, telah menjadi pembicaraan amat panjang
lebar.
Maka, agar ibadah itu dapat dipahami dengan baik, tetapi juga dihayati
oleh orang yang melaksanakannya, kepada anak-anak hendaklah diajarkan
hal yang memang diperlukan, sesuai dengan tujuan ibadah untuk
memperoleh ridho Allah dan membuahkan hasil yang positif dalam hidup
di dunia, serta dapat mengantarkan kepada kebahagiaan hidup di akherat
kelak, tidak melibatkannya dalam masalah yang akan menghabiskan
waktu dan tidak menjiwai ( Basyir, 2003:123-124).
Berangkat dari uraian di atas, penulis tertarik untuk mengadakan
penelitian dengan judul: Problematika Pengamalan Ibadah Anak Pada
Keluarga Beda Agama (Studi Kasus Pada Masyarakat Ngentak RT 10 RW
V Kelurahan Kutowinangun Kecamatan Tingkir Kota Salatiga Tahun
2011)
B. Definisi Operasional
Untuk memberikan batasan-batasan yang jelas dalam skripsi ini,
penulis perlu menegaskan istilah-istilah dalam judul di atas.
1. Problem
Problem mempunyai arti persoalan atau permasalahan (Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1994:38). Sedangkan
problematika mempunyai pengertian sebagai hal-hal yang menimbulkan
masalah yang belum bisa dipecahkan (permasalahan) (Depdikbud,
2007:896).
2. Pengamalan Ibadah Anak
Pengamalan adalah cara menerapkan sesuatu hal. Sedangkan
ibadah dari segi bahasa berarti taat, tunduk, merendah diri, dan
menghambakan diri (Basyir, 2003:11). Ibnu Taimiyah memberikan
pengertian ibadah menurut istilah syara dengan tunduk dan cinta, yaitu
tunduk mutlak kepada Allah disertai cinta sepenuhnya kepada-Nya.
Dengan demikian unsur pertama ibadah adalah taat dan tunduk kepada
Allah, yaitu merasa berkewajiban melaksanakan peraturan Allah yang
dibawakan oleh para Rasul-Nya, baik yang berupa perintah maupun
larangan, ketentuan halal maupun haram. Sedangkan anak yang dimaksud
disini bukanlah anak menurut tingkatan umur, akan tetapi anak dalam arti
anak dari orang tua.
3. Keluarga Beda Agama
Keluarga adalah seisi rumah yang terdiri dari ayah, ibu dan anak.
Sedangkan beda agama yang dimaksud disini adalah satu keluarga yang
anggotanya terdiri lebih dari satu macam agama karena adanya
perkawinan beda agama, yaitu perkawinan orang Islam (pria/wanita)
dengan orang bukan Islam (pria/wanita) (Zuhdi, 1996:4).
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengamalan ibadah anak dalam lingkungan keluarga beda
agama?
2. Apa problem yang muncul pada pengamalan ibadah anak dalam
lingkungan keluarga beda agama?
3. Apa solusi yang ditempuh untuk menyelesaikan problem pengamalan
ibadah anak dalam lingkungan keluarga beda agama?
D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimana pengamalan ibadah anak dalam
lingkungan keluarga beda agama.
2. Untuk mengetahui apa problem yang muncul pada pengamalan ibadah
anak dalam lingkungan keluarga beda agama.
3. Untuk mengetahui apa solusi yang ditempuh untuk menyelesaikan
problem pengamalan ibadah anak dalam lingkungan keluarga beda
agama.
E. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapakan memiliki manfaat sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini sebagai bagian usaha untuk menambah khasanah ilmu
pengetahuan pada umumnya dan jurusan tarbiyah pada khususunya.
2. Manfaat Praktis
a. Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi acuan bagi masyarakat
untuk lebih memperhatikan pentingnya pendidikan agama
khususnya dalam hal beribadah kepada anak-anaknya.
b. Dapat dijadikan dasar bagi anak-anak dalam mengatasi problem-
problem beribadah, khususnya bagi anak yang tinggal dalam
lingkungan keluarga beda agama.
c. Dapat memberikan motivasi kepada orang tua untuk senantiasa
memberikan pengajaran dan contoh pengamalan ibadah yang baik
dan benar kepada anak-anaknya sesuai keyakinan yang dianutnya
agar mampu mengantarkan mereka pada kebahagiaan hidup di
dunia dan di akhirat.
F. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah penelitian
kualitatif. Penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami dunia makna
yang disimbolkan dalam perilaku masyarakat menurut perspektif
masyarakat itu sendiri (Tobroni,2003:9). Adapun jenis penelitian ini
adalah penelitian deskriptif, penelitian deskriptif merupakan penelitian
yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu
gejala yang ada yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat
penelitian dilakukan (Arikunto, 2005:234).
2. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau dengan bantuan
orang lain merupakan alat pengumpul data utama. Hal itu dilakukan
karena, jika memanfaatkan alat yang bukan manusia dan mempersiapkan
dirinya terlebih dahulu sebagai yang lazim digunakan dalam penelitian
klasik, maka sangat tidak mungkin untuk mengadakan penyesuaian
terhadap kenyataan-kenyataan yang ada di lapangan. Selain itu hanya
manusia sebagai alat sajalah yang dapat berhubungan dengan responden
atau objek lainnya, dan hanya manusialah yang mampu memahami kaitan-
kaitan kenyataan di lapangan. Hanya manusia sebagai instrumen pulalah
yang dapat menilai apakah kehadirannya menjadi faktor pengganggu
sehingga apabila terjadi hal yang demikian ia pasti dapat menyadarinya
serta dapat mengatasinya ( Moleong, 2009:9).
3. Lokasi Penelitian
Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Dukuh Ngentak, RT
10 RW V Kelurahan Kutowinangun, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga.
Dengan unit analisisnya adalah masyarakat. Selain letaknya yang strategis,
alasan lain pemilihan tempat penelitian adalah berkaitan dengan upaya
meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan
agama khususnya dalam hal beribadah bagi anak-anak yang tinggal dalam
lingkungan keluarga beda agama. Di daerah ini terdapat beberapa keluarga
yang beda agama dalam satu rumah. Menurut pengakuan dari anak-
anaknya, adanya perbedaan keyakinan dalam satu rumah itu
menyebabkannya merasa bingung dalam menentukan keyakinan yang
harus dianutnya, apakah ikut agama yang dianut ayahnya atau yang dianut
ibunya.
4. Sumber Data
Adapun sumber data yang digunakan pada penelitian ini ada dua
macam, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder.
a. Sumber data primer
Sumber data primer adalah sumber data yang dikumpulkan
langsung dari tangan pertama, yaitu kata-kata dan tindakan subyek
serta gambaran dan pemahaman dari subyek yang diteliti sebagai
dasar utama melakukan interpretasi data. Data tersebut diperoleh
secara langsung dari orang-orang yang dipandang mengetahui
masalah yang akan dikaji dan bersedia memberi data yang
diperlukan. Pada penelitian ini yang menjadi sumber data primer
adalah anak-anak yang berasal dari keluarga beda agama. Dalam
hal ini yang menjadi informan kunci adalah ketua RW V Ngentak.
Dari informasi informan kunci tersebut akan dilakukan
penelusuran lebih lanjut kepada pihak-pihak terkait.
b. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder adalah data yang mengandung dan
melengkapi sumber-sumber data primer. Adapun sumber data
sekunder dalam penelitian ini adalah ketua RT, ketua remaja
masjid dan tokoh masyarakat lainnya.
5. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang relevan dengan fokus penelitian,
maka teknik pengumpulan data yang akan dipakai meliputi :
a) Metode Wawancara
Wawancara adalah percakapan langsung dan tatap muka (face to
face) dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak,
yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang
diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu
(Tobroni, 2003:172).
Wawancara ini dilakukan untuk mendapatkan data tentang problem
yang dihadapi anak yang tinggal dalam lingkungan keluarga beda agama
dalam mengamalkan ibadahnya.
b) Metode Observasi Nonpartisipan
Observasi nonpartisipan tidak banyak menuntut peranan tingkah
laku atau keterlibatan peneliti terhadap kegiatan atau fenomena dari subjek
yang diteliti. Perhatian peneliti terfokus pada bagaimana mengamati,
merekam, memotret, mempelajari, dan mencatat tingkah laku atau
fenomena yang diteliti (Tobroni, 2003:170-171). Dalam hal ini peneliti
mengunjungi keluarga yang berbeda agama.
c) Metode Dokumentasi
Dokumentasi berasal dari kata dokumen yang artinya barang-
barang tertentu, majalah, dokumen, dan peralatan untuk memperoleh data.
Untuk mengumpulkan informasi-informasi yang diperlukan pada
penelitian ini, penulis mengumpulkan dokumen-dokumen. Dokumentasi
yang penulis gunakan adalah foto dan rekaman hasil wawancara. Foto
digunakan untuk mengetahui kondisi yang sebenarnya dari narasumber.
Sedangkan rekaman wawancara digunakan untuk menelaah lebih detail
informasi-informasi yang disampaikan oleh narasumber.
6. Teknik Analisis Data
Analisis data disebut juga pengolahan data dan penafsiran data.
Analisis data adalah rangkaian kegiatan penelaahan, pengelompokan,
sistematisasi, penafsiran dan verifikasi data agar sebuah fenomena
memiliki nilai sosial, akademis dan ilmiah. Untuk menganalisis data,
penulis menggunakan metode analisis data secara induktif, yaitu suatu
metode berfikir yang bertolak dari fenomena yang khusus, konkrit
kemudian menarik kesimpulan yang bersifat umum.
Analisis data secara induktif ini digunakan karena beberapa alasan,
yaitu:
a. Proses induktif lebih dapat menemukan kenyataan-kenyataan
jamak sebagai yang terdapat dalam data.
b. Lebih dapat membuat hubungan peneliti-responden menjadi
eksplisit, dapat dikenal dan akuntabel.
c. Analisis demikian lebih dapat menguraikan latar secara penuh
dan dapat membuat keputusan-keputusan tentang dapat
tidaknya pengalihan pada suatu latar lainnya
d. Lebih dapat menemukan pengaruh bersama yang mempertajam
hubungan-hubungan
e. Dapat memperhitungkan nilai-nilai secara eksplisit sebagai
bagian dari struktur analitik (Moleong, 2009:10).
7. Pengecekan Keabsahan Data
Untuk mengetahui apakah data yang telah dikumpulkan dalam
penelitian memiliki tingkat kebenaran atau tidak, maka perlu dilakukan
pengecekan data yang disebut dengan validitas data. Untuk menjamin
validitas data, peneliti menggunakan teknik triangulasi. Triangulasi adalah
teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain
di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding
terhadap data itu. Dalam penelitian ini peneliti memanfaatkan teknik
triangulasi dengan sumber dan triangulasi dengan metode.
Triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek
kembali derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu
dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif (Patton 1987:331). Hal itu
dapat dicapai dengan jalan: 1) membandingkan data hasil pengamatan
dengan data hasil wawancara; 2) membandingkan apa yang dikatakan
orang di depan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi; 3)
membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian
dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu; 4) membandingkan
keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan
pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan
menengah atau tinggi; 5) membandingkan hasil wawancara dengan isi
suatu dokumen yang berkaitan. Pada triangulasi dengan metode, menurut
Patton(1987:329), terdapat dua strategi, yaitu: 1) pengecekan derajat
kepercayaaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan
data dan 2) pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan
metode yang sama. (Moleong, 2002:178).
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembahasan dan memahami isi skripsi ini, maka
peneliti menulis skripsi ini secara sistematis. Skripsi ini terdiri dari 5 bab,
yaitu:
BAB I : PENDAHULUAN, yang meliputi: Latar Belakang Masalah, Definisi
Operasional, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian,
Metode Penelitian, Sistematika Penulisan Skripsi.
BAB II: KAJIAN PUSTAKA, yang meliputi :Pengamalan Ibadah Anak,
meliputi: Pengertian dan Dasar Hukum Ibadah, Ruang Lingkup Ibadah,
Urgensi Ibadah, Keluarga Beda Agama, meliputi: Pengertian Keluarga Beda
Agama, Perkawinan Antar orang yang Berlainan Agama Menurut Hukum
Islam, Problem-Problem Perkawinan Beda Agama, Problem Pengamalan
Ibadah Anak pada Keluarga Beda Agama.
BAB III: PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN, yang
menjabarkan tentang: Keadaan Penduduk, Kondisi Sosial Ekonomi, Kondisi
Sosial Keagamaan, Data Hasil Wawancara, meliputi: Data Tentang Keadaan
Keluarga yang Kawin Beda Agama, Data Tentang Problem Pengamalan
Ibadah Anak yang Tinggal dalam Lingkungan Keluarga Beda Agama di
Ngentak RT 10 RW V, Kel. Kutowinangun, Kec. Tingkir Kota Salatiga.
BAB IV: PEMBAHASAN, yang berisi tentang: Bentuk Pendidikan Agama
Anak, Aktivitas Ibadah Anak Dari Keluarga Yang Melakukan Perkawinan
Beda Agama, Problem Pengamalan Ibadah Anak Dalam Lingkungan Keluarga
Beda Agama, Cara Mengatasi Problem Pengamalan Ibadah Anak Dalam
Lingkungan Keluarga Beda Agama.
BAB V: PENUTUP, yang merupakan bab terakhir dan kesimpulan dari hasil
penelitian dengan melihat permasalahan serta saran.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Ibadah
Semua risalah menyerukan penyembahan terhadap Allah, Yang
Mencipta dan Memelihara (rabb) semesta alam. Menurut penuturan Al-
Quran, para nabi yang terdahulu diutus kepada kaumnya masing-masing
membawa dakwah tauhid.
Allah SWT memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW melakukan
ibadah selama hidupnya dan tidak boleh berhenti sebelum mati. Ibadah itu
penting karena sesungguhnya untuk itulah manusia diciptakan Tuhan, sesuai
dengan penegasan-Nya dalam Quran surat Azdariyat ayat 56:
Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembah-Ku.
Apabila manusia diciptakan hanya untuk menyembah dan beribadah
kepada Allah, maka setiap orang perlu mengetahui pengertian dan hakikat
ibadah agar ia dapat melaksanakannya dengan benar. Selain itu ia juga perlu
mengetahui urgensi dan hikmah yang terkandung pada tiap-tiap ibadah yang
dilakukannya ( Nasution, 1987:1-2).
1. Pengertian dan Dasar Hukum
1.1. Pengertian Ibadah
Kata ibadah menurut bahasa berarti taat, tunduk, merendahkan diri
dan menghambakan diri (Basyir, 2001:11). Adapun kata ibadah menurut
istilah berarti penghambaan diri yang sepenuh-penuhnya untuk mencapai
keridhaan Allah dan mengharap pahala-Nya di akhirat (Ash-Shiddiqy,
1954:4).
Menurut Al-Azhari, kata ibadah tidak dapat disebutkan kecuali
untuk kepatuhan kepada Allah. Ini sesuai dengan pengertian yang
dikemukakan oleh Al-Syawkani, bahwa ibadah itu adalah kepatuhan dan
perendahan diri yang paling maksimal.
Dalam istilah syara pengertian ibadah dijelaskan oleh para ulama
sebagai berikut:
1. Al-Jurjani mengatakan:
Ibadah ialah perbuatan yang dilakukan oleh mukallaf, tidak
menurut hawa nafsunya, untuk memuliakan Tuhannya.
2. Menurut Ibn Katsir:
Ibadah adalah himpunan cinta, ketundukan, dan rasa takut yang
sempurna (Nasution, 1987:2-3).
Dalam hal ini Ibnu Taimiyah merumuskan bahwa ibadah menurut
syara itu tunduk dan cinta artinya tunduk mutlak kepada Allah yang
disertai cinta sepenuhnya kepada-Nya. Oleh karena itu, unsur-unsur ibadah
adalah:
a. Taat dan tunduk kepada Allah
Artinya merasa berkewajiban melaksanakan segala perintah dan
meninggalkan segala larangan Allah yang dibawakan oleh para rasul-
Nya. Oleh karena itu, belum termasuk beribadah apabila seseorang
tidak mau tunduk kepada perintah-perintah-Nya, tidak mau taat kepada
aturan-aturan-Nya, meskipun ia mengakui adanya Allah yang
menciptakan langit dan bumi serta yang memberi rezeki kepada-Nya.
b. Cinta kepada Allah
Bahwa rasa wajib taat dan tunduk itu timbul dari hati yang cinta
kepada Allah, yakni ketundukan jiwa dari hati yang penuh kecintaan
kepada Allah dan merasakan kebesaran-Nya, karena memiliki
keyakinan bahwa Allah yang menciptakan alam semesta dan segala
isinya (Tono dkk, 2002:3-4).
1.2. Dasar Hukum Ibadah
Allah menetapkan perintah ibadah sebenarnya merupakan suatu
keutamaan yang besar kepada makhluknya, karena apabila direnungkan,
hakikat perintah beribadah itu berupa peringatan agar kita menunaikan
kewajiban terhadap Allah yang telah melimpahkan karunia-Nya. Dasar
hukum ibadah itu antara lain firman Allah dalam surat Al-Baqarah :21
Artinya:Wahai para manusia beribadahlah kamu kepada Tuhanmu, yang telah menjadikan kamu dan telah menjadikan orang-orang
sebelum kamu, agar supaya bertaqwa (Tono dkk, 2002: 2-5).
2. Ruang Lingkup Ibadah
Al-quran mengajarkan bahwa jin dan manusia diciptakan Allah
agar mereka beribadah kepada-Nya. Ajaran tersebut memberi pegertian
bahwa ibadah bukan hanya berupa shalat, zakat, puasa, dan haji seperti
yang banyak dipahami banyak orang, karena ibadah mempunyai
pengertian yang lebih luas.
Ibadah dalam pengertian yang umum adalah menjalani kehidupan
untuk memperoleh keridhaan Allah dengan menaati syariat-Nya. Apabila
dikerjakan dengan tujuan memperoleh keridhaan Allah, segala perbuatan
merupakan ibadah dalam arti yang umum. Menunaikan hak individu
sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya seperti makan, minum,
menuntut ilmu adalah ibadah. Menunaikan kewajiban-kewajiban
kemasyarakatan sesuai dengan perintah Allah adalah ibadah. Mengolah
sumber daya alam yang hasilnya dimanfaatkan untuk memenuhi
kebutuhan hidup manusia adalah ibadah. Bekerja mencari nafkah untuk
mencukupkan kebutuhan hidup diri pribadi dan orang-orang yang menjadi
tanggungannya adalah ibadah.
Islam tidak membenarkan orang yang menghabiskan waktunya
hanya untuk melakukan ibadah khusus dan mengabaikan segi-segi ibadah
umum. Nabi pernah melihat seorang sahabat melakukan ibadah khusus
dalam seluruh waktunya. Lalu Nabi bertanya: siapa orang itu? Yang
mendengar pertanyaan Nabi menjawab: ia adalah ahli ibadah di kalangan
para sahabat. Nabi bertanya lagi: siapa yang menanggung makannya
sehari-hari? Mereka menjawab: para sahabat jugalah yang menanggung
makannya. Nabi kemudian bersabda:kamu semua lebih baik
daripadanya.
Ruang lingkup ibadah pada dasarnya digolongkan menjadi dua,
yaitu:
a. Ibadah Umum
Artinya ibadah yang mencakup segala aspek kehidupan dalam
rangka mencari keridhaan Allah. Unsur terpenting agar dalam
melaksanakan segala aktifitas kehidupan di dunia ini agar benar-benar
bernilai ibadah adalah niat yang ikhlas untuk memenuhi tuntutan agama
dengan menempuh jalan yang halal dan menjauhi jalan yang haram.
b. Ibadah Khusus
Artinya ibadah yang macam dan cara pelaksanaannya ditentukan
dalam syara(ditentukan oleh Allah dan Nabi Muhammad SAW). Ibadah
khusus ini bersifat tetap dan mutlak, manusia tinggal melaksanakan sesuai
dengan peraturan dan tuntunan yang ada, tidak boleh mengubah,
menambah dan mengurangi, seperti tuntunan bersuci (wudhu), shalat,
puasa ramadhan, ketentuan nisab zakat (Tono dkk, 2002:6-7).
3. Urgensi Ibadah
Bagi manusia ibadah merupakan kodrat pembawaan jiwa manusia
yang rindu kepada kemuliaan. Kemuliaan manusia dihadapan Allah diukur
dengan kuat lemahnya takwa kepada Allah, sedangkan takwa dapat
diperoleh dan diperkuat dengan melaksanakan ibadah. Takwa merupakan
bekal hidup kejiwaan yang mutlak bagi manusia untuk memperoleh
kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat kelak.
Jiwa yang bertakwa akan senantiasa menyesuaikan hidupnya
sebagai makhluk Tuhan, sebagai diri pribadi, sebagai anggota masyarakat,
dan sebagai yang hidup di tengah-tengah alamnya, dengan berpedoman
yang diberikan Allah. Urgensi ibadah juga merupakan tujuan seluruh yang
wujud di alam ini. Allah berfirman dalam surat Al-isra :44
Artinya: Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya
bertasbih kepada Allah, tiada sesuatupun yang terkecuali,
semuanya bertasbih dengan memuji-Nya tetapi kamu sekalian
tidak tahu tasbih mereka, sesungguhnya Dia Maha Penyantun
lagi Maha Pengampun (Tono, 2002:16-17).
Setiap ibadah sebagaimana yang berlaku pada setiap yang
diperintahkan Allah mengandung maksud tersendiri dan di dalam
pelaksanaannya terdapat hikmah (Syarifuddin, 2003:19). Dasar-dasar
hikmah yang telah ditetapkan Allah ini dapat dipelajari bahwa Allah
mewajibkan iman untuk membersihkan hati dari syirik, mewajibkan shalat
untuk mensucikan diri dari takabur, mewajibkan zakat untuk menjadi
sebab pemerataan rezeki. Mewajibkan puasa untuk menguji keikhlasan
manusia, mewajibkan haji untuk mendekatkan umat islam antara yang
satu dengan yang lainnya, mewajibkan amar maruf untuk kemaslahatan
manusia (orang banyak), mewajibkan nahi mungkar untuk menghardik
orang-orang yang kurang akal, mewajibkan silaturahim untuk menambah
bilangan persaudaraan (Ash-Shiddqy, 1954:14-15).
B. Keluarga Beda Agama
1. Pengertian Perkawinan Beda Agama
Perkawinan beda agama pada dasarnya berarti perkawinan yang
dilangsungkan antar pasangan yang berbeda agama satu sama
lain.Perkawinan bernuansa keragaman ini banyak terjadi dan kita jumpai
di dalam kehidupan bermasyarakat. Mungkin contoh yang banyak
terekspos ke masyarakat luas hanyalah pernikahan atau perkawinan dari
pasangan para selebriti kita. Ambillah beberapa contoh dari pasangan
suami istri, Nurul Arifin-Mayong, Ira Wibowo-Katon Bagaskara, Dewi
Yull-Rae Sahetapy (yang akhirnya Rae menjadi Muslim, tetapi kini telah
bercerai dengan Dewi), Nia Zulkarnaen-Ari Sihasaleh. Perkawinan yang
dilakukan oleh mereka tidak lagi didasarkan pada satu akidah agama,
melainkan hanya pada cinta. Seolah cinta semata yang menjadi dasar suatu
pernikahan. Masalah agama dalam beberapa argumen pasangan-pasangan
seperti itu kira-kira dapat dirumuskan begini, "Agama tidak boleh dibawa-
bawa, oleh karena agama adalah urusan pribadi seseorang. Yang
terpenting kita saling mencintai apa tidak?. Berdasarkan hukum
munakahat yang diajarkan Islam kepada para penganutnya ialah
perkawinan (pernikahan) yang dibenarkan oleh Allah SWT adalah suatu
perkawinan yang didasarkan pada satu akidah, di samping cinta dan
ketulusan hati dari keduanya. Dengan landasan dan naungan keterpaduan
itu, kehidupan suami-istri akan tenteram, penuh rasa cinta dan kasih
sayang. Keluarga mereka akan bahagia dan kelak memperoleh keturunan
yang sejahtera lahir batin (http://raja1987.blogspot.com/2008/08/kajian-
perkawinan-beda-agama-menurut.html).
Jadi yang dimaksud dengan perkawinan antar orang yang berlainan
agama ialah perkawinan orang islam (pria atau wanita) dengan orang
bukan Islam (pria atau wanita) (Zuhdi, 1996:4).
2. Perkawinan Antara Orang yang Berlainan Agama Menurut
Hukum Islam
Mengenai masalah perkawinan beda agama ini islam membedakan
hukumnya menjadi tiga macam (Zuhdi, 1996:4).
a. Perkawinan antara Perempuan Muslim dengan Laki-Laki Non
Muslim
Semua ulama telah sepakat bahwa perempuan muslimah tidak
diperbolehkan (haram) kawin dengan laki-laki non muslim, baik Ahli
Kitab maupun musyrik (Suhadi, 2006:36). Baik calon suaminya itu
termasuk pemeluk agama yang mempunyai kitab suci, seperti Kristen
dan Yahudi ataupun pemeluk agama yang mempunyai kitab serupa
kitab suci, seperti Budhisme dan Hinduisme, maupun pemeluk agama
dan kepercayaan yang tidak punya kitab suci dan juga kitab yang
serupa kitab suci. Termasuk pula di sini penganut Animisme, Ateisme,
Politeisme dan sebagainya (Zuhdi, 1996:6).
Pertimbangan daripada ketentuan ini adalah di tangan suamilah
kekuasaan terhadap istrinya, dan bagi istri wajib taat kepada
perintahnya yang baik. Dalam pengertian seperti inilah maksud
daripada kekuasaan suami terhadap istri. Akan tetapi bagi orang kafir
tidak ada kekuasaan terhadap laki-laki atau perempuan Muslim. Selain
itu seorang suami kafir tidak mau tahu akan agama istrinya yang
Muslim bahkan ia mendustakan kitab sucinya dan mengingkari ajaran
Nabinya. Disamping itu dalam rumah yang terdapat perbedaan paham
begitu jauh dan keyakinan begitu prinsip, maka rumah tangganya tidak
akan dapat tegak dengan baik dan berjalan langgeng.
Akan tetapi hal ini bebeda jika laki-laki Muslim kawin dengan
perempuan ahli kitab, sebab ia mau tahu agama istrinya, dan
menganggap bahwa percaya kepada kitab suci dan Nabi-nabi agama
istrinya sebagai bagian daripada rukun iman, dimana keimanan
islamnya ini tidak akan sempurna kalau tidak mempercayai Kitab dan
para Nabi Ahli Kitab (Sabiq, 1980:164).
Adapun dalil yang menjadi dasar hukum untuk larangan kawin
antara wanita Muslimah dengan pria non-Muslim, ialah:
1. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 221:
Artinya:Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita yang mukmin sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang beriman lebih baik
daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
2. Ijma para ulama tentang larangan perkawinan antara wanita
Muslimah dengan pria non-Muslim
Hikmah dilarangnya perkawinan antara seorang wanita
Islam dengan pria Kristen atau Yahudi karena dikhawatirkan
wanita Islam itu kehilangan kebebasan beragama dalam
menjalankan ajaran-ajaran agamanya, kemudian terseret kepada
agama suaminya. Demikian pula anak-anak yang lahir dari hasil
perkawinannya dikhawatirkan pula mereka akan mengikuti agama
bapaknya, karena bapak sebagai kepala keluarga terhadap anak-
anak melebihi ibunya (Zuhdi, 1996:6-7).
Adapun dalam hadist Nabi telah diriwayatkan tentang
bolehnya laki-laki muslim mengawini wanita-wanita ahli kitab.
Tetapi sebaliknya laki-laki ahli kitab tidak dibolehkan mengawini
wanita-wanita muslimat. Dan jika demikian maka wanita tersebut
telah menjadi murtad yaitu keluar dari agama Islam. Dengan
demikian Allah tidak akan menerima ibadat dan bacaan Qurannya,
dan wanita tersebut (jika mati) tidak boleh dishalati sebagaimana
kaum muslimin. Kecuali jika wanita tersebut telah keluar dari
kekafirannya, yaitu jika telah masuk Islam kembali. Maka yang
demikian keadannya diperlakukan seperti terhadap orang-orang
Islam yang lain (Bahreisj, 1992:297).
b. Perkawinan antara Laki-Laki Muslim dengan Perempuan
Musyrik
Para ulama sepakat bahwa laki-laki muslim tidak halal kawin
dengan perempuan penyembah berhala, perempuan zindiq,
perempuan keluar dari Islam, menyembah sapi, perempuan
beragama politeisme (Sabiq, 1980:152). Hal ini berdasarkan firman
Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 221:
Artinya:Janganlah kamu mengawini wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang
beriman lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia
menarik hatimu" (Zuhdi, 1996:4).
Satu hal yang membedakan antara perempuan musyrik dengan
perempuan Ahli Kitab adalah bahwa perempuan musyrik tidak
memiliki agama yang melarang berkhianat, mewajibkan berbuat
amanah, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Apa
yang dikerjakan dan pergaulannya dipengaruhi ajaran-ajaran
kemusyrikan, yakni khurafat dan spekulasi (teologis) atau lamunan dan
bayangan yang dibisikkan setan. Inilah yang bisa menyebabkan ia
menghianati suaminya dan merusak akidah anak-anaknya.
Sementara antara perempuan Ahli Kitab dan laki-laki mukmin
tidak terdapat distansi yang jauh. Perempuan Ahli Kitab mengimani
Allah dan menyembah-Nya, beriman kepada para nabi, hari akhirat
beserta pembalasannya, dan menganut agama yang mewajibkan
berbuat baik dan mengharamkan kemungkaran. Distansi yang esensial
hanyalah mengenai keimanan terhadap kenabian Muhammad. Padahal
orang yang beriman kepada kenabian universal tidak akan mempunyai
halangan mengimani nabi penutup, yakni Muhammad kecuali
kebodohannya. Sehingga perempuan (Ahli Kitab) yang bergaul dengan
suami yang menganut agama dan syariat yang baik maka sangat
terbuka peluang baginya ntuk mengikuti agama suaminya. Dan, apa
yang dikuatkan oleh Allah berupa ayat-ayat Al-quran yang jelas
niscaya akan mengantarkan kepada kesempurnaan, keimanan, dan
keislaman (Suhadi, 2006:38-39).
c. Perkawinan antara Laki-laki Muslim dengan Perempuan Ahli
Kitab
Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa seorang pria muslim boleh
kawin dengan wanita Ahlul Kitab (Yahudi atau Kristen), berdasarkan
firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 5
......
Artinya:Dan dihalalkan mengawini wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-
orang yang diberi kitab suci sebelum kamu (Zuhdi, 1996:5).
Secara redaksional dan dhahirnya ayat laki-laki muslim
diperbolehkan mengawini wanita Ahlul Kitab, namun Syaltut dalam
fatwanya menyatakan sebagai berikut:
Jika Allah telah melarang kepada wanita muslimah kawin dengan laki-
laki Ahlul Kitab, karena menjaga (kehawatiran) pengaruh kekuasaan
dan dominasi suaminya terhadapnya, maka Islam juga memandang,
bahwa sesungguhnya jika seorang muslim itu telah bergeser dari
posisinya yang semestinya dalam keluarga (sebagai pemimpin), dan
menyerahkan urusannya kepada istrinya yang non Islam itu, sehingga
ia hanya membebek saja, sudah seharusnya ia dilarang mengawini
wanita Ahlul Kitab itu.
Fatwa Syaltut ini bersifat kondisional dan kasuistis, yang berarti
manakala kondisi seorang pria itu tidak memnuhi criteria negative
sebagaimana yang diungkapkannya, maka tidak mengapa seorang laki-
laki muslim mengawini wanita Ahlul Kitab. Hal ini dapat dipahami
dari pernyataannya sebagai berikut:
Bagi suami muslim yang memiliki kemampuan membina anak-anaknya dan keluarganya secara Islami, maka diperbolehkan baginya,
mengawini wanita Ahlul Kitab. Dengan harapan perkawinannya itu
akan dapat mendekatkan hati istrinya terhadap nila-nilai Islam yang
selanjutnya akan timbul simpatinya terhadap Islam, karena keutamaan
dan kebaikan-kebaikan ajarannya (Salam Arief, 2003:126-127)
Ibnu Umar berpendapat bahwa hukum perkawinan laki-laki
Muslim dengan perempuan ahlul kitab adalah haram. Sama haramnya
dengan perempuan musyrik. Alasannya karena perempuan ahlul kitab
juga berlaku syirik dengan menuhankan Isa. Alasan lain karena ayat
yang membolehkan perkawinan ini Q.S. Al-Maidah/5:5 dianulir
(naskh) dengan Q.S. Al-Baqarah/2:221.
(http://raja1987.blogspot.com/2008/08/kajian-perkawinan-beda-
agama-menurut.html).
Syaltut dalam fatwanya melarang perkawinan campuran antara
laki-laki muslim dengan wanita Ahlul Kitab. Hal ini disebabkan karena
ia sangat khawatir anak keturunan dari keluarga yang dibina dalam
perkawinan itu akan berpaling dari ajaran Islam. Jika hal itu dibiarkan,
maka tidak mustahil generasi yang akan datang dari kalangan keluarga
yang semula muslim , akan berpindah menjadi generasi yang tidak
tahu ajaran Islam dan bahkan berpindah agama menjadi orang non
Islam.
Fatwa yang melarang perkawinan antara laki-laki Muslim dengan
wanita Ahlul Kitab dikemukakan pula oleh Majlis Ulama Indonesia
(MUI). Fatwa tersebut memuat dua pernyataan mengenai masalah:
pertama, bahwa seorang wanita Islam tidak diperbolehkan (haram)
untuk dinikahkan dengan seorang pria bukan Islam, dan kedua, bahwa
seorang pria Muslim tidak di izinkan menikahi seorang wanita bukan
Islam.
Kalau dikaji mengenai keluarnya fatwa Syaltut maupun fatwa yang
dikeluarkan Majlis Ulama Indonesia mengenai larangan mengawini
wanita Ahlul Kitab, keduanya sam-sama memiliki kemiripan, yaitu
banyaknya kecenderungan perkawinan antar agama. Tercatat di Kantor
Catatan Sipil Jakarta sampai dengan buln Juli 1986 telah terjadi
perkawinan antar agma yang melibatkan 112 pria muslim dan 127
wanita muslimah dan menjadi sorotan publik.
Menurut pengamatan Syaltut laki-laki muslim yang menikah
dengan wanita Ahlul Kitab itu, mereka merasa memiliki kebanggaan
dan merasa memiliki stratifikasi sosial yang lebih di banding yang lain.
Dengan demikian, larangan Syaltut mengawini wanita Ahlul Kitab
bagi laki-laki muslim itu mengandung maslahah dan menghindari
mafsadah (kerusakan). Adapun metode ijtihad yang digunakan Syaltut
dalam fatwanya melarang laki-laki muslim mengawini wanita Ahlul
Kitab adalah sad al- zariah. Syaltut melarang perkawinan muslim
dengan wanita Ahlul Kitab, karena perkawinan itu mengandung
mafsadah (kerusakan) itu pasti akan terjadi, oleh karenanya
perkawinan itu harus dicegah. Jalan untuk mencegah datangnya
mafsadah ialah melarang perkawinan itu walaupun nas sendiri tidak
melarangnya (Arief, 2003: 128-132).
3. Problem-Problem Perkawinan Beda Agama
Berdasarkan ketentuan mengenai sahnya suatu perkawinan yang
ditentukan dalam UU No. 1 Tahun 1974, maka problem yang dapat timbul
apabila dilangsungkannya suatu perkawinan beda agama antara lain:
a. Keabsahan perkawinan
Mengenai sahnya perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan
kepercayaanya yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) UUP. Hal ini berarti UU
Perkawinan menyerahkan keputusannya sesuai dengan ajaran dari agama
masing-masing. Namun, permasalahannya apakah agama yang dianut oleh
masing-masing pihak tersebut membolehkan untuk dilakukannya
perkawinan beda agama. Misalnya, dalam ajaran islam wanita tidak boleh
menikah dengan laki-laki yang tidak beragama Islam (Al-Baqarah
(2):221). Selain itu juga dalam ajaran Kristen perkawinan beda agama
dilarang.
b. Pencatatan perkawinan
Apabila perkawinan beda agama tersebut dilakukan oleh orang
yang beragama Islam dan Kristen, maka terjadi permasalahan mengenai
pencatatan perkawinan. Apakah di Kantor Urusan Agama atau di Kantor
Catatan Sipil oleh karena ketentuan pencatatan perkawinan untuk agama
Islam dan di luar agama Islam berbeda. Apabila ternyata pencatatan
perkawinan beda agama akan dilakukan di Kantor Catatan Sipil, maka
akan dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu apakah perkawinan beda
agama yang dilangsungkan tersebut memenuhi ketentuan dalam pasal 2
UUP tentang syarat sahnya suatu perkawinan. Apabila pegawai pencatat
perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan
menurut UUP maka ia dapat menolak untuk melakukan pencatatan
perkawinan (pasal 21 ayat (1) UUP)
c. Status anak
Apabila pencatatan perkawinan pasangan beda agama tersebut
ditolak, maka hal itu juga akan memiliki akibat hukum terhadap status
anak yang terlahir dalam perkawinan. Menurut ketentuan pasal 42 UUP,
anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah. Oleh karena tidak dilakukannya pencatatan
perkawinan, maka menurut hukum anak tersebut bukanlah anak yang sah
dan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya
(pasal 2 ayat (2) jo. pasal 43 ayat (1) UUP)
(http://www.bphntv.net/index.php?option=com_content&view=article&i
d=312:masalah-perkawinan-beda-agama&catid=28:konsultasi-
hukum&Itemid=128, 20 Juni 2011).
Selain problem-problem di atas, penulis juga menemukan dari
sumber lain yaitu:
1. Perkawinan beda agama lebih mengundang persoalan-persoalan
yang yang dapat mengguncangkan kestabilan kehidupan rumah
tangga yang berakhir pada hancurnya sendi-sendi kehidupan
perkawinan atau pemutusan perkawinan.
2. Kemungkinan terjadi erosi iman
Pasangan kawin beda agama biasanya bukannya semakin
bertambah keimanan mereka terhadap agamanya, tapi sebaliknya
semakin melemahkan iman mereka. Dan demi toleransi dan
kerukunan masing-masing mereka melepaskan prinsip-prinsip
aqidah agamanya sendiri dan tanpa disadari telah terjadi erosi
iman.
3. Terjadi pola hidup sekuler
Dengan terjadinya erosi iman yang dialami oleh pasangan
suami istri tersebut akan berlanjut dengan mengakibatkan pasangan
tersebut melakukan perilaku sekuler, yang berakibat pasangan
tidak mengamalkan ajaran agama yang dianutnya, karena
menganggap bahwa agama adalah urusan dengan Tuhan, tidak ada
hubungannya dengan manusia, sehingga ajaran agama tidak
tersosialisasikan atau teramalkan dalam kehidupan sehari-hari.
4. Terjadinya konflik yang berlarut-larut tanpa adanya penyelesaian
Perkawinan berbeda agama menimbulkan terjadinya konflik-
konflik yang berlarut-larut tanpa adanya suatu penyelesaian baik
itu karena salah satu pasangan tidak mau cerai, Karena salah satu
pasangan tidak mau cerai, karena ingin mempertahankan keutuhan
keluarganya, sehingga hancurlah sendi-sendi kehidupan rumah
tangga ini.
5. Kemungkinan salah satu pasangan akan terkucil dalam kelompok
masyarakat agama
Setiap agama menghendaki pemeluknya melakukan
perkawinan yang seagama atau seiman. Karena setelah memasuki
dunia keluarga/berumah tangga diharapkan dalam kehidupan
sehari-hari ajaran agama yang dianutnya turut mewarnai dan
berperan dalam membentuk keluarga yang sakinah, mawadah,
warahmah, sesuai dengan tujuan pokok perkawinan tersebut.
Perkawinan beda agama tidak akan pernah memuaskan kedua
pihak. Kedua agama tidak merelakan terjadinya perkawinan beda
agama. Maka apabila perkawinan tersebut terjadi, kedua pihak
akan terkucilkan di komunitas agama kedua belah pihak, terutama
sekali pihak masing-masing keluarga. Karena dalam masyarakat
kita perkawinan bukan hanya antara dua individu, melainkan
perkawinan yang melibatkan keluarga kedua belah pihak, bahkan
komunitas agama yang ikut terlibat.
6. Memungkinkan terjadinya derita mental dari salah satu pasangan
kawin beda agama.
Sering terjadi demi agar perkawinan dapat dilangsungkan
dan mengikuti tata cara islam sewaktu menikah, salah satu
pasangan berpindah agama, namun dalam perjalanan, suami
berbalik kembali memeluk agama yang semula dianutnya. Hal ini
dapat menimbulkan derita mental bagi si istri untuk bisa diterima
dalam lingkungan keluarganya karena ia telah kawin dengan suami
yang berbeda agama. bahkan ini bisa berakibat pemutusan
hubungan perkawinan (Mustafidah, 2008:33-35).
4. Problem Pengamalan Ibadah Anak Pada Keluarga Beda
Agama
Problem akibat perbedaan keyakinan dalam perkawinan
cukup memberi dampak negatif terhadap anak. Di antara kasus
yang terjadi adalah memudarnya rumah tangga yang telah dibina
belasan tahun, semakin hari serasa semakin kering, akibat
perbedaan agama. Misalkan saja, ketika seorang suami (yang
beragama Islam) pergi umrah atau haji, adalah suatu kebahagiaan
jika istri dan anak-anaknya bisa ikut bersamanya. Tetapi alangkah
sedihnya ketika istri dan anak-anaknya lebih memilih pergi ke
gereja. Salah satu kebahagiaan seorang ayah muslim adalah
menjadi imam salat berjamaah bersama anak istri.
Begitupun ketika Ramadhan tiba,suasana ibadah puasa
menjadi perekat batin kehidupan keluarga. Tetapi keinginan itu
sulit terpenuhi ketika pasangannya berbeda agama. Di satu sisi
istrinya, yang kebetulan beragama Kristen misalnya, pasti akan
merasakan hal yang sama,betapa indahnya melakukan kebaktikan
di gereja bersanding dengan suami. Namun itu hanya keinginan
belaka.
Ada seorang ibu yang merasa beruntung karena anak-
anaknya ikut agama ibunya. Kondisi ini membuat ayahnya merasa
kesepian ketika ingin berbagi pengetahuan dan pengalaman
beragama. Di zaman yang semakin plural ini pernikahan beda
agama kelihatannya semakin bertambah. Terlepas dari persoalan
teologis dan keyakinan agama, perlu diingat bahwa tujuan berumah
tangga itu untuk meraih kebahagiaan. Untuk itu kecocokan dan
saling pengertian sangat penting terpelihara dan tumbuh. Karakter
suami dan istri masing-masing berbeda, itu suatu keniscayaan.
Misalnya saja perbedaan usia, perbedaan kelas sosial, perbedaan
pendidikan, semuanya itu hal yang wajar selama keduanya saling
menerima dan saling melengkapi.
Namun, untuk kehidupan keluarga di Indonesia, perbedaan
agama menjadi krusial karena peristiwa akad nikah tidak saja
mempertemukan suami-istri, melainkan juga keluarga besarnya.
Jadi perlu dipikirkan matang-matang ketika perbedaan itu
mengenai keyakinan agama.Problem itu semakin terasa terutama
ketika sebuah pasangan beda agama telah memiliki anak.
Orang tua biasanya berebut pengaruh agar anaknya mengikuti
agama yang diyakininya. Kalau ayahnya Islam, dia ingin anaknya
menjadi muslim. Kalau ibunya Kristen dia ingin anaknya memeluk
Kristen.Anak yang mestinya menjadi perekat orang tua sebagai
suami-isteri, kadang kala menjadi sumber perselisihan. Orang tua
saling berebut menanamkan pengaruh masing-masing.
Agama ibarat pakaian yang digunakan seumur hidup. Spirit,
keyakinan, dan tradisi agama senantiasa melekat pada setiap
individu yang beragama, termasuk dalam kehidupan rumah tangga.
Di sana terdapat ritual-ritual keagamaan yang idealnya dijaga dan
dilaksanakan secara kolektif dalam kehidupan rumah tangga.
Contohnya pelaksanaan salat berjamaah dalam keluarga muslim,
atau ritual berpuasa. Semua ini akan terasa indah dan nyaman
ketika dilakukan secara kompak oleh seluruh keluarga.
Setelah salat berjamaah, seorang ayah yang bertindak sebagai
imam lalu menyampaikan kultum dan dialog, tukar-menukar
pengalaman untuk memaknai hidup. Jika kedua orang tua
mempunyai agama yang berbeda, lantas mana yang seharusnya
pantas di ikuti anak dalam beribadah, padahal kedua-duanya sama-
sama berjasa dalam mendidik dan membesarkannya.
Suasana yang begitu indah dan religius itu sulit diwujudkan
ketika pasangan hidupnya berbeda agama. Kenikmatan berkeluarga
ada yang hilang. Secara psikologis pernikahan beda agama
menyimpan masalah yang bisa menggerogoti kebahagiaan. Ini
tidak berarti pernikahan satu agama akan terbebas dari masalah.
Namun perbedaan agama bagi kehidupan rumah tangga di
Indonesia selalu dipandang serius. Ada suatu kompetisi antara ayah
dan ibu untuk memengaruhi anak-anak sehingga anak jadi
bingung. Namun ada juga yang malah menjadi lebih dewasa dan
kritis.
Pasangan yang berbeda agama masing-masing akan berharap
dan yakin suatu saat pasangannya akan berpindah agama. Ketika
semakin menapaki usia lanjut, kebahagiaan yang dicari tidak lagi
materi, melainkan bersifat psikologis-spiritual yang sumbernya
dari keharmonisan keluarga yang diikat oleh iman dan tradisi
keagamaan. Ketika itu tidak ada, maka rasa sepi semakin terasa.
Bayangkan, bagi seorang muslim, ketika usia semakin lanjut, tak
ada yang diharapkan kecuali untaian doa dari anaknya. Dan mereka
yakin doa yang dikabulkan adalah yang datang dari keluarga yang
seiman. Dampak psikologis orang tua yang berbeda agama juga
akan sangat dirasakan oleh anak-anaknya.
Mereka bingung siapa yang harus diikuti keyakinannya.
Terlebih fase anak yang tengah memasuki masa pembentukan dan
perkembangan kepribadian di mana nilai-nilai agama sangat
berperan. Kalau agama malah menjadi sumber konflik, tentulah
kurang bagus bagi anak
(http://www.bantu-nikah.com/2010/10/nikah-beda-
agama.html#axzz1PbGBL5jl, 20 Juni 2011).
BAB III
PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Data Umum
Dalam melakukan penelitian, penulis berhasil mendapatkan informan dua
keluarga yang melakukan perkawinan beda agama, keluarga pertama berstatus
sebagai orang biasa, artinya bukan berasal dari status sosial pejabat atau pegawai
negeri, sedangkan keluarga kedua berstatus sebagai pegawai di Universitas 17
Agustus Semarang pada bagian Puskom/PDE (Pusat Data Elektronik).
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel berikut ini:
Tabel 1
NO Keluarga Jenis Pekerjaan Penghasilan Rata-rata/@
1 I Wiraswasta Rp 700.000,-
2 II Pegawai Rp 2.000.000,-
Sumber:hasil wawancara dengan orang tua yang kawin beda agama pada tanggal
18 Juli 2011
Dari data tersebut diketahui bahwa tingkat ekonomi dari jenis pekerjaan
keluarga yang kawin beda agama yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah:
1. Keluarga swasta berekonomi menengah kebawah
2. Keluarga pegawai berekonomi menengah keatas
Jumlah keluarga yang kawin beda agama yang penulis jadikan responden
dalam penelitian ini adalah dua keluarga, karena kedua keluarga tersebut penulis
jadikan objek penelitian, maka kiranya penulis perlu cantumkan nama, pasangan,
usia dan anak kandung mereka.
Hal itu dapat dilihat dari tabel II dan III sebagai berikut:
Tabel 2
Daftar Keluarga Kawin Beda Agama
NO SUAMI ISTRI USIA
1 Ngadio (I) Tuti Patmiyati (K) 60/46 tahun
2 Eko Pudjiastowo SH (I) Andewi Epi Trayati (K) 51/49 tahun
Sumber: hasil wawancara dengan orang tua yang kawin beda agama Pada tanggal 18 Juli 2011
Keterangan:
I = Islam
K = Kristen
Tabel 3
Daftar Nama, Usia dan Keberagamaan Anak
NO KELUARGA NAMA ANAK USIA AGAMA
1s I
Ita Setyoningsih 26 tahun Kristen
Anita Setyorini 19 tahun Kristen
2
II
Aditya Muhammad Pudi Budianto 30 tahun Islam
Ajeng Ratmadita Puti 26 tahun Kristen
Aldino Zevanya Pandita 23 tahun Islam
Nadya Martania 12 tahun Kristen
Nadin Kirena Ratih 5 tahun Kristen
Sumber: hasil wawancara dengan anak yang tinggal di lingkungan kawin beda agama pada tanggal
29 Juli 2011
B. Data Khusus
1. Bentuk Pendidikan Agama Anak
Bentuk pendidikan agama yang diberikan orang tua kepada
anaknya adalah dengan menyuruh anaknya tersebut berangkat ke gereja.
Hal ini berdasarkan penuturan seorang Ibu dari keluarga I :
Dia saya suruh berangkat ke gereja setiap Minggu pagi, karena anak saya kelihatannya lebih senang dengan agama saya, bapaknya juga
tidak terlalu mempersoalkan agamanya, jadi terserah mau ikut agama saya
atau bapaknya (wawancara dengan Ibu Tuti Patmiyati, 18 Juli 2011).
Dari penuturan ini, ternyata bentuk dari pendidikan agama yang
diberikan orang tua baru sebatas menyuruh anaknya ke gereja, di samping
pendidikan formal yang diberikan yaitu memusukkan anaknya ke sekolah
umum.
Perlu diketahui bersama bahwa gereja yang ada di daerah tersebut
sifatnya sudah maju, dilihat dari segi bangunannya yang megah dan bagus
serta banyaknya jamaah yang memadati gereja tersebut setiap ada
kebaktian (observasi, 19 Juli 2011).
Lain lagi dengan penuturan seorang suami dari keluarga II yang
seorang aktivis masjid, bahwa dia dalam mendidik agama anak-anaknya
sangat berkeinginan agar anaknya mengikuti agama yang dianutnya yaitu
Islam, akan tetapi hal ini bertentangan dengan keinginan istrinya yang
kebetulan seorang aktivis gereja yang juga ingin anak-anaknya mengikuti
agama yang dianutnya, yaitu Kristen. Dengan adanya hal tersebut
munculah konflik pertengkaran diantara suami istri, yang masing-masing
mempunyai keinginan agar anak-anaknya ikut agamanya. Pertengkaran ini
sering terjadi manakala istrinya mengajak anaknya pergi ke gereja atau
ketika suaminya mengajari anaknya dasar-dasar ajaran islam. Hal ini
sempat mengakibatkan anaknya bingung untuk memilih agama yang akan
dianutnya. Tetapi lama kelamaan sang suami mengalah dengan tidak
memaksakan anak-anaknya harus ikut ke agama yang dianutnya.
Sebagaimana yang diutrakan oleh Bapak Eko sebagai berikut:
Anak-anak bebas memilih agama yang di inginkannya yang penting mereka beragama karena agama merupakan pedoman hidup. Jika
dia muslim maka dia harus aktif menjalankan ibadahnya sebagai seorang
muslim dan jika dia kristen maka juga harus rajin beribadah ke gereja. (wawancara dengan Bapak Eko Pudjiastowo, 29 Juli 2011).
2. Aktivitas Ibadah Anak dari Keluarga yang Kawin Beda Agama
Mengenai aktivitas ibadah yang dilakukan oleh keluarga yang
kawin beda agama, ternyata diantara mereka saling memberikan
kebebasan dalam melakukan ibadah, masing-masing berusaha untuk saling
menghormati pihak yang lain dalam melaksanakan ibadah agamanya. Hal
ini berdasarkan penuturan seorang suami dari keluarga I yang istrinya
beragama Kristen yang membolehkannya untuk shalat berjamaah di
masjid serta aktif mengikuti pengajian-pengajian yang diselenggarakan di
masjid lingkungan rumahnya, dan lain sebagainya. Demikian pula sang
suami yang juga memberikan kebebasan kepada istri dan anak-anaknya
yang kebetulan ikut agama ibunya untuk beribadah ke gereja setiap hari
Minggu (wawancara dengan Bapak Ngadio, 18 Juli 2011).
Dari wawancara dengan keluarga kedua, penulis memperoleh
informasi yang tidak jauh berbeda dengan keluarga pertama dimana antar
anggota keluarga tersebut saling menghormati dan memberikan toleransi
dalam hal beribadah. Sang ibu yang seorang aktivis gereja senantiasa
memberikan kebebasan kepada suaminya yang seorang aktifis masjid dan
menjadi pengurus masjid di lingkungan sekitar rumahnya.
Mengenai aktivitas ibadah anak-anak mereka, orang tua masing-
masing memberikan kebebasan tetapi tetap ada kontrol agar mereka tetap
rajin beribadah sesuai dengan agama yang mereka yakini. Sebagaimana
penuturan dari seorang suami dari keluarga I :
Setiap minggu anak saya kadang-kadang saya ingatkan untuk kebaktian ke gereja, karena kalau tidak begitu kadang dia malas ke gereja (wawancara dengan Bapak Ngadio, 18 Juli 2011).
Tidak jauh berbeda dengan keluarga I, anak-anak dari keluarga II
juga diberi kebebasan dalam menjalankan aktivitas ibadahnya, anak-anak
yang beragama muslim melaksanakan sholat dan kadang-kadang ikut
berjamaah di masjid dengan bapaknya, setiap Jumat juga selalu
beribadah sholat jumat di masjid lingkungan setempat. Ketika puasa
ramadhan sang suami beserta anak-anaknya yang muslim juga kompak
menjalankan ibadah puasa bersama dan tarawih berjamaah di masjid
walaupun terkadang anaknya absen tidak shalat di masjid. Sang istri pun
selalu menyiapkan makanan untuk berbuka puasa dan ikut bangun untuk
meyiapkan makan sahur. Menjelang hari raya Idul Fitri sang suami dan
anak-anaknya membayar zakat di masjid. Sedangkan anak-anak yang ikut
agama ibunya mereka juga aktif beribadah ke gereja, bahkan salah satu
dari anak mereka yang nomer dua bernama Ajeng Ratmadita Puti menjadi
pengurus di salah satu gereja yang dia jadikan tempat ibadah.
Jadi dapat penulis simpulkan bahwa meskipun diantara anggota
keluarga mereka terdapat perbedaan keyakinan tapi mereka tetap saling
bertoleransi dalam menjalankan ibadah mereka masing-masing.
3. Problem Pengamalan Ibadah Anak Dalam Lingkungan Keluarga
Beda Agama
Berdasarkan hasil wawancara yang telah penulis laksanakan,
penulis memperoleh beberapa data tentang problem-problem yang dialami
anak dalam mengamalkan aktivitas ibadah mereka, diantara problem
tersebut adalah:
a. Kurang Mendalami Ajaran Agama Yang Dianut
Berdasarkan informasi yang penulis peroleh dari anak-anak yang
tinggal di lingkungan keluarga beda agama ternyata adanya perbedaan
keyakinan diantara anggota keluarga menyebabkan mereka kurang
dapat mendalami ajaran agama yang mereka yakini secara lebih
mendalam. Anak cenderung cuek dengan agamanya, dalam artian
dalam menjalankan aktivitas ibadahnya sekedar untuk menggugurkan
kewajiban semata dan hanya mengikuti perintah orang tuanya saja,
tanpa didasari dengan pemahaman yang sebenarnya tentang
pentingnya beribadah kepada Tuhannya. Hal ini berdasarkan
pengakuan anak dari keluarga II yang menyatakan bahwa dia
beribadah salah satu alasannya karena ajakan sang bapak dan hanya
sekedar menuruti perintah Bapaknya saja (wawancara dengan aldino,
29 Juli 2011).
b. Kurang Menjiwai Ketika Melaksanakan Ibadah Di Rumah
Menurut pengakuan salah satu anak dari keluarga II, dia merasa
kurang menjiwai atau kurang khusyuk ketika dia melaksanakan ibadah
khususnya ketika shalat dan berpuasa. Dia berharap dapat
melaksanakan sholat berjamaah dirumah bersama semua anggota
keluarga yang lain, merasakan nikmatnya berbuka puasa dan sahur
bersama-sama, tarawih bersama tetapi itu semua tidak dapat terwujud
karena adanya perbedaan keyakinan diantara anggota keluarganya,
sehingga menyebabkan dia kurang dapat merasakan indahnya hidup
dalam suasana keluarga yang seiman (wawancara dengan aldino, 19
Juli 2011).
c. Rendahnya semangat atau motivasi beribadah anak
Dalam beribadah tentu perlu didasari dengan adanya motivasi baik
itu yang tumbuh dari dirinya sendiri maupun semangat yang
dipengaruhi dari luar dirinya, kedua-duanya tentu saling
mempengaruhi. Jika salah satu faktor tidak mendukung tentu akan
berpengaruh. Salah satu dari faktor-faktor yang mempengaruhi
motivasi beribadah anak adalah adanya dukungan dari orang tua atau
anggota keluarga yang lain, jika orang tua tidak begitu memperdulikan
ketekunan ibadah anaknya atau hanya kadang-kadang dalam
mengingatkan dan mengajak anaknya beribadah maka hal ini dapat
melemahkan semangat anak dalam beribadah, karena anak butuh
dorongan atau semangat khususnya dari orang tua sebagai pendidik
yang utama. Sebagaimana pengakuan salah satu anak keluarga I yang
menyatakan:
Saya kadang tidak semangat ke gereja karena terkadang sudah kecapekan bekerja seharian, Ibu kadang juga nggak ngajak atau pas
Ibu tidak ke gereja saya juga jadi tambah malas berangkat (wawancara dengan Anita Setyorini, 18 Juli 2011).
4. Cara Mengatasi Problem Pengamalan Ibadah anak Dalam
Lingkungan Keluarga Beda Agama
a. Bersosialisasi dengan lingkungan luar
Hal ini dirasakan sangat penting karena dengan bergaul dan
bersosialisasi dengan orang lain anak dapat berbagi pengalaman dalam
hal beribadah. Dengan saling bertukar cerita atau curhat, berbagi ilmu
dengan teman dapat menumbuhkan inspirasi dan semangat baru untuk
dirinya, yang tadinya tidak tahu menjadi tahu jadi dapat lebih
mendalami agama sehingga mampu mengamalkan ibadahnya secara
lebih sempurna.
b. Aktif mengikuti kajian-kajian keagamaan di masjid, sekolah atau
majlis-majlis keagamaan yang lain.
Untuk menumbuhkan semangat dalam beribadah perlu juga
dibarengi dengan ikut serta aktif mengikuti kajian-kajian keagamaan di
masjid, sekolah atau aktif mengikuti kebaktian di gereja sehingga
dapat memperkaya pengetahuan ilmu keagamaan yang dimiliki anak.
seperti halnya yang dilakukan oleh salah satu anak dari keluarga II
yang aktif menjadi pengurus di salah satu gereja tempat ia beribadah.
c. Rajin membaca buku-buku keagamaan yang dapat menambah
pengetahuan dan menumbuhkan semangat beribadah.
Selain aktif bersosialisasi dengan lingkungan luar dan aktif
mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan di luar rumah, penting juga
menambah khasanah ilmu pengetahuan agama anak dengan rajin
membaca buku-buku yang berkaitan dengan hal tersebut. Hal ini juga
yang dilakukan oleh salah seorang anak dari kelurga ke II yang rajin
membaca buku-buku keagamaan untuk menambah pengetahuannya
dan semangat ibadahnya.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Bentuk Pendidikan Agama Anak
Dari hasil wawancara dengan para orang tua yang melakukan
perkawinan beda agama, bentuk-bentuk pendidikan agama yang diberikan
orang tua kepada anak-anak mereka antara lain:
1. Menyuruh dan mengajak anaknya untuk beribadah (sholat berjamaah,
mengaji atau mengikuti kajian keagamaan) di masjid lingkungan sekitar
rumahnya
2. Sekali waktu diberikan pendidikan tambahan di rumah ( misalnya diberi
pengetahuan tentang ibadah ghairu mahdhah/ibadah-ibadah yang bersifat
umum).
3. Bagi yang beragama non muslim, bentuk pendidikan agama yang
diberikan adalah dengan mengajak anaknya ke gereja.
Dari hal ini menggambarkan betapa pentingnya mengajarkan
pendidikan agama kepada anak-anak, karena mereka tinggal dalam lingkungan
keluarga yang tidak mempunyai satu keyakinan yang sama, maka orang tua
harus ekstra dalam menanamkan nilai-nilai keagamaan kepada anak-anak
mereka agar mereka mempunyai satu prinsip yang jelas yang harus mereka
pegang, jangan sampai anak malah jadi tidak beragama karena bingung untuk
memilih keyakinan yang dianut bapak atau ibunya.
B. Aktivitas Ibadah Anak Yang Tinggal di Lingkungan Keluarga Beda
Agama
Berdasarkan informasi yang penulis dapat pada saat melakukan
wawancara dengan anak yang tinggal di lingkungan keluarga yang beda
agama tersebut di atas, aktivitas ibadah yang mereka jalankan antara lain:
1. Melaksanakan sholat lima waktu
Dalam melaksanakan sholat lima waktu anak biasanya melakukannya di
rumah tapi terkadang berjamaah di masjid dengan orang tuanya.
2. Puasa Ramadhan
Ketika bulan puasa anak yang beragama muslim juga menunaikannya
bersama anggota keluarga muslim yang lain,juga melaksanakan shalat
tarawih di masjid lingkungan setempat walau kadang kala karena alasan
malas tidak pergi untuk berjamaah tarawih di masjid.
3. Membayar Zakat Fitrah di Bulan Ramadhan
Dalam hal pembayaran zakat anak sudah mampu untuk membayar sendiri
karena kebetulan objek yang penulis teliti di sini mereka sudah bekerja
sehingga zakat sudah tidak menjadi tanggung jawab orang tua mereka
lagi.
4. Melaksanakan sholat Jumat di masjid setiap hari Jumat, bagi anggota
keluarga muslim yang laki-laki.
5. Bagi yang beragama non muslim mereka pergi kebaktian setiap hari
Minggu di Gereja.
6. Mengenai ibadah ghairu mahdhah atau ibadah umum biasanya mereka
melaksanakan kerja bakti dengan warga setempat setiap dua minggu atau
sebulan sekali.
Dari informasi yang penulis dapatkan di atas dapat di simpulkan
bahwa aktivitas ibadah anak yang tinggal di lingkungan keluarga beda agama
sudah dapat mereka jalankan dengan cukup baik walaupun tidak maximal
mengingat mereka tinggal dalam lingkungan yang tidak mempunyai satu
prinsip yang sama dalam keluarganya, sehingga hal ini mempengaruhi
semangat dan kesadaran mereka dalam menjalankan kewajiban ibadahnya.
C. Problem Pengamalan Ibadah Anak Dalam Lingkungan Keluarga Beda
Agama
Dari hasil penelitian yang telah penulis laksanakan, diperoleh data
bahwa terdapat beberapa problem pengamalan ibadah anak yang tinggal di
lingkungan keluarga beda agama, diantara problem-problem tersebut antar
lain :
1. Kurang mendalami ajaran agama yang dianut
Berdasarkan data di awal, terlihat ketika masing-masing orang tua
berusaha mendidik anaknya dengan agamanya masing-masing
menimbulkan problem bagi anak, yaitu mereka kurang menjiwai
ajaran agama yang mereka anut, karena orang tuanya yang berbeda
keyakinan menyebabkan anak tidak terlalu peduli dengan agamanya,
khususnya dalam hal ibadah, anak hanya sekedar mengikuti perintah
orang tuanya dan menggugurkan kewajiban semata tapi tidak tahu nilai
ibadah yang dia jalankan. Sehingga kesadaran untuk mendalami dan
mengamalkan ajaran agama yang diyakininya pun tidak dia utamakan.
2. Kurang menjiwai ketika melaksanakan ibadah di rumah
Ini juga menjadi problem yang dialami anak ketika orang tuanya
berbeda keyakinan, mereka kurang mampu menjiwai ketika
menjalankan ibadah di rumah, hal ini dialami oleh salah seorang anak
dari keluarga ke II yang tidak bisa khusyu ketika beribadah sholat di
rumah karena suasana rumah yang dipenuhi dengan ornamen-ornamen
berupa gambar atau patung dari keyakinan yang berbeda darinya,
sehingga aktivitas keagamaan yang dia lakukan tidak dapat di
jalankan dengan khusyu dan maximal karena dalam satu rumah tidak
mempunyai satu prinsip yang sama, sehingga tidak ada kekompakan
dalam hal beribadah di rumah.
3. Rendahnya semangat atau motivasi beribadah anak
Merupakan hal yang sangat penting juga untuk menumbuhkan
semangat dalam beribadah, jika tidak ada hal yang mendorong atau
memotivasi seorang anak untuk rajin beribadah maka anak akan
selamanya malas melaksanakan kewajibannya sebagai seorang hamba
Tuhan. Peranan orang tua sangat penting untuk memberi semangat,
bimbingan, dan teladan yang baik dalam hal beribadah agar anak-
anaknya menjadi manusia yang beragama dan mau menjalankan ajaran
agamanya.
D. Cara Mengatasi Problem Pengamalan Ibadah Anak Dalam Lingkungan
Keluarga Beda Agama
Berdasarkan hasil wawancara dengan anak-anak yang tinggal di
lingkungan keluarga beda agama, penulis dapatkan informasi tentang
bagaimana cara mengatasi problem pengamalan ibadah yang mereka hadapi,
antara lain:
1. Bergaul dengan teman-teman di ligkungan luar rumah agar dapat saling
berbagi ilmu dan bertukar pengalaman tentang agama khususnya dalam
hal beribadah.
Ini mereka lakukan karena menurut mereka dengan bersosialisasi
dengan teman-teman maka wawasan tentang keagamaan mereka akan
bertambah sehingga dapat memacu semangat dalam mendalami dan
mengamalkan ajaran agama yang mereka yakini.
2. Aktif mengikuti kajian-kajian keagamaan di masjid, sekolah atau majlis-
majlis keagamaan yang lain.
Dalam beribadah tentu perlu adanya masukan rohani dari luar
seperti mengikuti pengajian-pengajian di masjid atau majlis doa,
sehingga ini dapat menjadi charger ketika anak mengalami kemerosotan
iman.
3. Rajin membaca buku-buku keagamaan yang dapat menambah
pengetahuan dan menumbuhkan semangat beribadah.
Selain kedua hal tersebut di atas, maka untuk memperkaya
pengetahuan keagamaan khususnya tentang pentingnya ibadah anak-
anak yang tinggal di lingkungan keluarga beda agama perlu diperdalam
dengan rajin membaca buku-buku keagamaan agar pengetahuan anak
tentang agama tidak dangkal, tetapi mampu berfikir secara luas dan
terbuka.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian tentang Problematika Pengamalan Ibadah Anak
Pada Keluarga Beda Agama (Studi Kasus Pada Masyarakat Ngentak RT 10
RW V Kelurahan Kutowinangun Kecamatan Tingkir Kota Salatiga Tahun
2011), maka dapat penulis simpulkan sebagai berikut :
1. Cara Pengamalan Ibadah Anak Yang Tinggal Di Lingkungan Keluarga
Beda Agama adalah:
a. Bagi anak yang beragama Islam mereka melaksanakan ibadah
khusus yaitu: sholat, puasa ramadhan, zakat dan ibadah-ibadah sunah
yang lain seperti shalat tarawih dsb. Di samping itu juga
melaksanakan ibadah umum seperti mengikuti kajian-kajian
keislaman di masjid serta bersosialisasi dengan masyarakat luar
dalam kegiatan kerja bakti.
b. Bagi anak yang beragama non islam ( Kristen) mereka melaksanakan
kebaktian di gereja setiap hari Minggu.
2. Perkawinan antar agama yang terjadi di Dukuh Ngentak RT 10 RW V
Kelurahan Kutowinangun Kecamatan Tingkir Salatiga, menimbulkan
beberapa problem dalam pengamalan ibadah anak-anak mereka,
diantaranya :
d. Anak kurang mendalami ajaran agama yang mereka yakini
e. Anak kurang menjiwai ketika melaksanakan ibadah di rumah karena
tidak adanya kesamaan prinsip dalam satu keluarga.
f. Rendahnya semangat atau motivasi beribadah anak
3. Untuk mengatasi problem-problem tersebut di atas maka solusi yang
ditempuh anak untuk menyelesaikannya adalah dengan:
a. Bergaul dengan teman-teman di lingkungan luar rumah agar dapat
saling berbagi ilmu dan bertukar pengalaman tentang agama
khususnya dalam hal beribadah.
b. Aktif mengikuti kajian-kajian keagamaan di masjid, sekolah atau
majlis-majlis keagamaan yang lain.
c. Rajin membaca buku-buku keagamaan yang dapat menambah
pengetahuan dan menumbuhkan semangat beribadah.
B. Saran-Saran
Berdasarkan kesimpulan yang penulis paparkan di atas, dimana
sedemikian kompleksnya problem yang ditimbulkan dari perkawinan antar agama
di Dukuh Ngentak RT 10 RW V Kelurahan Kutowinangun Kecamatan Tingkir
terutama problem dalam pengamalan ibadah anak, maka saran-saran yang dapat
penulis sampaikan adalah :
1. Penulis sarankan supaya mendidik agama anak dengan pendidikan agama
sejak dini, kalaupun ini mendapat tantangan dari suami atau istri anda,
maka anda rajinlah beribadah dan jangan sampai karena demi
perdamaian anda mengendorkan ibadah anda, supaya anak tertarik dan
mau mengambil keputusan untuk belajar dan menganut agama islam.
2. Bagi mereka yang sudah mempunyai suami atau istri yang bukan islam,
bawalah dia masuk islam, dan kalau dia tidak mau, sadarilah bahwa setiap
pilihan sudah pasti membawa resiko tetapi resiko karena berpihak pada
Allah, sudah ada jaminan tertentu dari Allah. Karena Allah sudah
menjanjikan bahwa bagi siapa yang bersungguh-sungguh dengan Allah,
Dia akan menunjukkan jalan keluar untuk mengatasi resiko dari sikap
yang diambilnya. Dalam islam, pintu taubat senantiasa terbuka, tetapi
hanya satu kali. Lebih dari satu kali tidak akan diterima.
3. Untuk menghindari atau meminimalisir konflik yang berdampak pada
anak maka penulis sarankan agar kedua orang tuanya harus: menciptakan
suasana keluarga yang harmonis, berkomunikasi dengan anak sesuai
dengan taraf berfikir anak, memberikan keteladanan yang baik,
memberikan gambaran-gambaran tentang masing-masing agama, serta
memberikan kebebasan pada anak untuk berfikir dan memilih.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Salam.2003.Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam Antara Fakta dan
Realita. Jogjakarta:LESFI
Arikunto, Suharsimi. 2005. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta : Rineka Cipta
Ash Shiddieqi, Hasbi. 1994. Kuliah Ibadah: Ibadah Ditinjau Dari Segi Hukum
Dan Hikmah. Jakarta: PT Bulan Bintang
Bahreisj, Husein. 1992. Himpunan Fatwa. Surabaya: Al-Ikhlas
Basyir Ahmad Azhar. 2003. Falsafah Ibadah Dalam Islam. Yogyakarta: UII Press
Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka
Kusuma. Hilman Hadi. 1990. Hukum SI Perka Indonesia. Bandung: Mandar Maju
Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
-------------------. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Mustafidah, Aeni. 2008. Problematika Pendidikan Agama Anak Dalam Keluarga
Perkawinan Beda Agama di Kelurahan Kalicacing Kecamatan
Sidomukti Kota Salatiga 2008. Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga : Jurusan
Tarbiyah STAIN Salatiga
Nasution, Lahmuddin. 1997. Fiqh 1. Padang: Angkasa Raya
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1994. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Sabiq, Sayyid. 1980. Fiqh Sunah 6. Bandung: PT Al-Maarif
Suhadi. 2006. Kawin Lintas Agama. Yogyakarta: LKis Yogyakarta
Syarifudin, Amir. 2003. Garis-Garis Besar Fiqh. Kencana
Shihab, M Quraish. 1999. Wawasan Al-Quran: Tafsir MaudhuI Atas Berbagai
Permasalahan Umat. Bandung: Mizan
Tono dkk. 2002. Ibadah dan Akhlaq Dalam Islam. Yogyakarta: UII Press
Tobroni, Suprayogo Imam. 2003. Metodologi Penelitian Sosial Agama. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya
Zuhdi, Masjfuk. 1996. Masail Fiqhiyah. Jakarta: PT Toko Gunung Agung
8. http://www.bphntv.net/index.php?option=com_content&view=article&id=312:masalah-perkawinan-beda-agama&catid=28:konsultasi-hukum&Itemid=128
9. http://raja1987.blogspot.com/2008/08/kajian-perkawinan-beda-agama-
menurut.html
10. http://www.bantu-nikah.com/2010/10/nikah-beda-
agama.html#axzz1PbGBL5jl
PEDOMAN WAWANCARA UNTUK ORANG TUA YANG MELAKUKAN
PERKAWINAN BEDA AGAMA
1. Bagaimana pengamalan agama anak-anak mereka?
2. Bagaimana pendidikan agama anak-anak mereka?
3. Apakah anak-anak diberi kebebasan untuk memilih agama atau mengikuti
pengarahan ayah/ibunya?
4. Apa problem atau kendala yang dihadapi oleh orang tua dalam mendidik
agama anak dan bagaimana mengatasinya?
PEDOMAN WAWANCARA UNTUK ANAK YANG TINGGAL DI
LINGKUNGAN KELUARGA YANG BEDA AGAMA
1. Apakah dalam memilih agama, anak mengikuti orang tua atau atas pilihan
dan keyakinannya sendiri?
2. Bagaimana kebebasan orang tua dalam memberi kesempatan anak untuk
beribadah?
3. Bagaimana cara anak beribadah dalam lingkungan keluarga beda agama?
4. Apakah masalah atau hambatan yang dihadapi anak dalam melaksanakan
ibadah di lingkungan keluarga beda agama?
5. Bagaimana mengatasi masalah atau hambatan yang dialami anak dalam
menjalankan ibadahnya?
6. Alasan mengapa memilih diantara agama yang dianut oleh orang tua nya?
Catatan Wawancara
Hari/tanggal : Minggu, 17 Juli 2011
Tempat : rumah Bapak RT 04
Waktu : 17.00 WIB
Informan : Bapak RT 04
Fokus : meminta