BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Insidensi kanker di seluruh dunia pada tahun 2004 mencapai 11,4 juta orang. Insidensi tertinggi didapatkan di Western Pacific. Asia Tenggara menduduki peringkat ke empat setelah Amerika yaitu dengan jumlah 1,7 juta orang. Di samping insidensi yang cukup tinggi, kanker juga merupakan penyakit yang belum memiliki terapi definitif. Saat ini penatalaksanaan kanker bertumpu pada upaya kemoterapi, radioterapi dan atau operasi reseksi. Efek dari kemoterapi dan radioterapi dapat menyebabkan rasa yang sangat tidak nyaman kepada pasien yang menjalaninya (Ali, 2006). Tumor otak merupakan neoplasma, baik yang jinak maupun ganas, yang berasal dari inflamasi dalam jangka waktu yang lama, yang tumbuh di dalam otak, selaput otak atau tengkorak. Gambaran diagnosis yang menyebabkan tumor otak dapat ditegakkan dari petunjuk epidemiologi, pemeriksaan fisik, pemeriksaan khusus, manifestasi klinik maupun pengetahuan tentang patologi. Neoplasma intrakranial dapat timbul dari berbagai struktur atau tipe sel di dalam kubah kranial, meliputi cerebrum, selaput otak, kelenjar pituitari, tengkorak dan bahkan residual jaringan embrionik. Tumor otak memiliki rentang usia yang dapat diibaratkan seperti sebuah piramida dengan puncaknya yang kecil pada populasi anak dan jumlahnya meningkat dimulai pada rentang usia 20 tahun dan mencapai 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Insidensi kanker di seluruh dunia pada tahun 2004 mencapai 11,4 juta orang. Insidensi
tertinggi didapatkan di Western Pacific. Asia Tenggara menduduki peringkat ke empat
setelah Amerika yaitu dengan jumlah 1,7 juta orang. Di samping insidensi yang cukup tinggi,
kanker juga merupakan penyakit yang belum memiliki terapi definitif. Saat ini
penatalaksanaan kanker bertumpu pada upaya kemoterapi, radioterapi dan atau operasi
reseksi. Efek dari kemoterapi dan radioterapi dapat menyebabkan rasa yang sangat tidak
nyaman kepada pasien yang menjalaninya (Ali, 2006).
Tumor otak merupakan neoplasma, baik yang jinak maupun ganas, yang berasal dari
inflamasi dalam jangka waktu yang lama, yang tumbuh di dalam otak, selaput otak atau
tengkorak. Gambaran diagnosis yang menyebabkan tumor otak dapat ditegakkan dari
petunjuk epidemiologi, pemeriksaan fisik, pemeriksaan khusus, manifestasi klinik maupun
pengetahuan tentang patologi.
Neoplasma intrakranial dapat timbul dari berbagai struktur atau tipe sel di dalam kubah
kranial, meliputi cerebrum, selaput otak, kelenjar pituitari, tengkorak dan bahkan residual
jaringan embrionik. Tumor otak memiliki rentang usia yang dapat diibaratkan seperti sebuah
piramida dengan puncaknya yang kecil pada populasi anak dan jumlahnya meningkat dimulai
pada rentang usia 20 tahun dan mencapai jumlah maksimum 20 kasus per 100.000 populasi
antara usia 75 hingga 84 tahun. Pengobatan yang dapat dilakukan untuk penderita dapat
berupa Supportive Therapy maupun Definitive Theraphy (Ovedoff, 2002).
Pada pasien-pasien bedah syaraf, penatalaksanaan anestesi memerlukan pemahaman
mendalam mengenai Central Nervous System / CNS (Sistem Saraf Pusat). Selain itu untuk
pemberian anestesi pada operasi intrakranial dan operasi di luar otak tetapi pasien memiliki
kelainan serebral, kita harus mengerti mengenai anatomi, fisiologi, dan farmakologi dari
CNS. Penggunaan anestesi dapat memberikan kerugian dan manfaatnya tersendiri dalam
hubungannya dengan neurofisiologi. Tulisan ini akan membahas mengenai konsep fisiologi
yang penting dari anestesi dan efek penggunaan anestesi pada fisiologi serebral.
1
B. Tujuan penulisan
1. Meninjau kasus managemen pra kraniotomi dan pembiusan untuk kraniotomi pada
kasus tumor intrakranial
2. Mengetahui pembiusan untuk kraniotomi pada kasus tumor intrakranial
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ANESTESI UNTUK OPERASI TUMOR INTRAKRANIAL
Anestesi untuk bedah saraf memerlukan pengetahuan tentang prinsip dasar dan
neurofisiologi dan pengaruh obat anestesi pada dinamika intrakranial
(neurofarmakologi). Kebanyakan prosedur bedah saraf intrakranial adalah karena adanya
lesi massa, sekitar 80% terletak di supratentorial (Rao, 2005). Prosedur supra tentorial
termasuk operasi untuk tumor, hematom, trauma dan vaskuler. Walaupun gambaran
patofisiologis berbeda untuk setiap lesi yang berbeda, tetapi pertimbangan anestesinya
sama. Tumor otak primer, sebagian besar (60%) adalah glioma, meningioma dan
adenoma hipofise. Glial tumor (40%) berasal dari astrocyt (astrocytoma dan
glioblastoma multiforme) dan oligodendrocyt (oligodendroglioma). Astrosit anaplastik
dan glioblastoma merusak BBB (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).
Aliran darah ke tumor bervariasi, tetapi, autoregulasi umumnya hilang dan
adanya hipertensi menyebabkan meningkatnya aliran darah ke tumor. Adanya edema
yang luas sekeliling tumor akan menambah efek massa. Daerah ini juga mungkin
menderita iskemia akibat kompresi, aliran darah peri-tumor 28% lebih rendah dari
jaringan hemisfer yang kontra lateral. Reseksi meningioma total akan menyebabkan
rendahnya rekurent daripada reseksi parsial, maka prosedur bedah untuk meningioma
lebih rumit dan lebih lama daripada debulking untuk tumor Glia.
Prosedur bedah untuk supratentorial sering melalui frontal atau pteriontal.
Pendekatan pterional dilakukan melalui lobus temporal dan memerlukan pemutaran
kepala pasien ke posisi yang berlawanan. Pada pendekatan frontal, termasuk bi-frontal
kraniotomi untuk lesi-bilateral atau lesi di garis tengah. Karena sinus sagitalis berjalan
transversal, maka ada risiko perdarahan dan emboli udara pada pendekatan bi-frontal.
Tumor dalam SSP menimbulkan gejala karena efek penekanan pada struktur saraf
sehingga terjadi gejala neurologis spesifik atau kenaikan ICP yang tidak spesifik, atau
adanya kejang-kejang. Kejang dan defisit neurologis lokal bisa disebabkan karena efek
penekanan lokal oleh tumor. Tumor pada kelenjar hipofise menimbulkan efek hormonal.
Beberapa tumor harus dieksisi, yang lainnya hanya paliatif dengan dekompresi,
pemasangan VP-Shunt atau radioterapi. Edema hebat sekeliling tumor sering terjadi pada
tumor malignan. Meningioma yang besar tetapi jinak sering khas dengan tingginya
3
shunting aliran darah dalam tumor. Dalam jaringan tumor autoregulasi hilang, juga hal
ini terjadi di jaringan sekeliling tumor. Bila ada penekanan dan efek tekanan yang nyata
oleh tumor, dan selanjutnya terjadi kenaikan ICP bisa terjadi hemiasi tentorial. Karena
itu pertimbangan prinsip untuk anestesi tumor cerebri adalah pengendalian ICP.
Kebanyakan tumor supratentorial bersifat jinak, dan astrositoma yang kurang
agresif dapat diangkat secara lengkap. Kesulitan bisa terjadi dengan beberapa tumor,
misalnya meningioma yang berdekatan dengan struktur penting atau tumor basis.
Kebanyakan malignan glioma berhubungan rapat dengan jaringan otak normal dan hanya
partial debulking yang mungkin dilakukan tanpa menyebabkan kerusakan neurologis.
Jika lesi terdapat pada lobus temporal atau frontal, pengangkatan tumor yang lengkap
dapat dilakukan dengan lobektomi.
Meningioma suatu tantangan bagi anestetist dan dokter bedah saraf karena jinak
dan bisa sembuh, tetapi komplikasi operasi dapat mengerikan. Meningioma bisa
mencapai ukuran besar sebelum menimbulkan gejala klinis serta sangat vaskuler yang
bisa menyebabkan kehilangan darah yang banyak saat dilakukan pembedahan. Beberapa
konveksitas meningioma menekan ke dalam vauet tulang tengkorak. Anestetist harus
mempersiapkan terhadap kemungkinan adanya perdarahan banyak ketika tulang
diangkat. Bahaya ini juga terdapat operasi ulangan (redo Craniotomy) untuk meningioma
recurent. Dalam keadaan-keadaan ini, juga pada tumor yang berasal dari pembuluh darah
harus dipasang monitor CVP (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).
Tumor yang lebih besar dan vaskuler, teknik hipotensi akan mengurangi jumlah
perdarahan. Kadang-kadang pasien menunjukkan adanya edema otak setelah tumor
diresekst semuanya. Dalam keadaan ini monitor ICP harus dipasang dan pasien harus
diventilasi pasca bedah untuk menjamin bahwa edema otak yang telah ada tidak
diperburuk oleh hipoksia atau hiperkapnia, serta karena adanya risiko episode apnoe
yang tiba-tiba. Adanya ICP monitor akan menyebabkan kita waspada terhadap adanya
hematoma pasca bedah. Pada keadaan ada kenaikan ICP, tujuan prinsip adalah
menghindari hiperkarbia dan hipotensi atau hipertensi. Bila pembengkakan otak terjadi
setelah operasi tumor, steroid harus diteraskan post-operatif. Di beberapa senter
memberikan tambahan bolus dexamethason 12-16 mg perioperatif, diikuti dengan
penambahan dosis untuk beberapa hari pertama pasca bedah. Daerah yang iskemik atau
trauma pada tempat operasi seperti halnya darah dalam ventrikel, akan merupakan
predisposisi terjadinya konvulsi, karena itu berikan anti konvulsi. Jadi sasaran
anestesilogist adalah :
4
a. Memahami tipe, berat penyakitnya dan lokasi tumor
b. Pasen tidak bergerak, relaksasi otak, pengendalian tanda vital
c. Menjamin CPP yang adekuat
d. Cepat bangun sehingga bisa memberikan keadaan untuk pemeriksaan neurologis
e. Terapi dan cegah hipertensi, batuk dan gangguan nafas yang membahayakan pada
periode paska bedah
1. Evaluasi Pra Bedah
Evaluasi pra bedah untuk operasi supratentorial sama seperti tindakan anestesi
lainnya dengan riwayat medis lengkap yang menekankan terhadap fungsi jantung dan
paru. Pada prosedur bedah saraf; seperti halnya prosedur bedah lain, kebanyakan
morbiditas dan mortalitas anestesi perioperatif adalah akibat disfungsi paru atau
jantung (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).
a. Anamnesis
Pasien bedah saraf membutuhkan pertanyaan khusus tentang penyakit SSP.
Gejala kenaikan ICP harus ditanyakan (sakit kepala, mual, muntah, penurunan
kesadaran, gangguan penglihatan). Adanya kejang dan defisit neurologis lokal akibat
efek penekanan lokal dari tumor. Perdarahan otak atau Cerebro Vascular Accident
sebelumnya dicatat sebagai residu defisit neurologis. Telaahlah dengan hati-hati hasil
operasi intrakranial atau prosedur diagnostik sebelumnya, dan pertimbangan
kemungkinan pneumocephalus residu atau interaksi anestetik lain.
Telaahlah kembali obat-obatan yang lalu dengan lebih menekankan perhatian
kita pada obat-obat yang mempunyai efek pada periode perioperatif. Terapi obat-
obatan pada pasien bedah syaraf dapat menyebabkan penurunan volume intravaskuler.
Mannitol dan diuretik lain yang digunakan pra bedah untuk mengurangi edema
serebral, dapat menimbulkan hipoyplemia dan gangguan keseimbangan elektrolit
yang bisa menyebabkan terjadinya hipotensi berat dan aritmia pada saat induksi
anestesi. Kortikosteroid, yang juga digunakan untuk menurunkan edema serebral,
akan meningkalkan kadar glukosa darah dengan stimulasi glukoneogenesis dan
menyebabkan penekanan adrenal secara langsung yang dapat menyebabkan terjadinya
hipotensi dan insufisiensi kardiovaskuler dengan adanya stres bedah. Obat anti
hipertensi dapat merubah volume intravaskuler. Tricyclic anti depresant dan levodopa
telah nyata dapat memicu terjadinya hipertensi intraoperatif dan cardiac disritmia
Benzodiazepin, phenothiazine dan butirophenon dapat berperanan terjadinya hipotensi
perioperatif (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).
5
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pra bedah ditujukan pada jalan nafas, paru, sistim
kardiovaskuler dan SSP. Pada pasien-pasien dengan penyakit sertaan,
pemeriksaan ditujukan terhadap kemungkinan adanya hipovolemia. Pasien-pasien
bedah saraf sering somnolent dan intake oral yang tidak adekuat yang dapat
menimbulkan keadaan hipovolemia. Juga bisa terjadi peningkatan diuresis akibat
diabetes insipidus, atau pemberian diuretik. Hipovolemia ringan atau sedang
umumnya dapat ditolerir dengan baik, tetapi hipovolemia yang nyata harus
dikoreksi sebelum induksi anestesi.
Pemeriksaan neurologis harus dilakukan, tingkat kesadaran dan setiap
defisit sensoris/motoris harus dicatat. Pemeriksaan neurologis harus diulang di
kamar operasi sesaat sebelum dilakukan induksi. Pemeriksaan tanda-tanda
kenaikan ICP, seperti adanya sakit kepala, mual, muntah, midriasis unilateral,
pupil edema, palsi occulomotor atau abdusen. Bila ICP meningkat lebih jauh,
kesadaran pasien memburuk dan diikuti dengan disfungsi respirasi dan jantung.
Adanya pernafasan Cheyne-Stokes atau bradikardi disertai hipertensi merupakan
tanda penekanan batang otak (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin, termasuk jumlah sel darah, kimia serum
dan koagulasi harus dilakukan. Hiperventilasi dan diuresis, akan menurunkan
kadar K-serum, jadi pemberian K harus dipertimbangkan. Bila kadar glukosa
serum > 200 mg% diperlukan terapi insulin untuk menurunkan kadar glukosa ke
nilai normal yang berguna untuk proteksi otak dan tekanan osmotik. Osmolariti
serum harus diukur pada pasien dalam terapi ICP. Pasien dengan cedera kepala
sering EKG-nya abnormal, maka pemantauan EKG pra bedah harus dilakukan,
untuk melihat perubahan selama operasi dan anestesia. Pemeriksaan radiologis pra
bedah untuk informasi tentang ukuran tumor atau perdarahan serta lokasinya,
edema serebral, dan mid-line shift. Mid-line shift 0,5 cm pada MRI atau CT-Scan
atau gangguan dari jaringan otak pada sisterna basalis menunjukkan adanya
kenaikan ICP (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).
d. Pengelolaan Obat
Sekali diagnosis dibuat dan direncanakan untuk tindakan pembedahan,
tujuan prinsip pemberian obat adalah untuk mengendalikan ICP dan terapi
epilepsi. Steroid efektif untuk mengurangi edema peritumor dan meningkatkan
6
kompliance otak pada pasien tumor ganas dan meningioma. Dosis umum
dexamethasone adalah 4 mg 3x sehari bersama-sama dengan hidrogen reseptor
antagonist. Epilepsi diterapi dengan phenitoin 100 mg 3x sehari. Normal range
therapetik adalah 40-100 µMol/l (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).
e. Premedikasi
Sedasi pra bedah merupakan kontra indikasi pada pasien dengan
penurunan kesadaran. Bila premedikasi diperlukan, dapat diberikan benzodiazepin
(diazepam, lorazepam atau midazolam). Piazepam 5-10 mg atau lorazepam 1-2
mg dapat diberikan 1-2 jam pra bedah per oral. Diazepam dan lorazepam
mempunyai waktu paruh yang cukup panjang dan bisa memperlambat bangun
paska bedah, karena itu mungkin lebih baik dengan midazolam i.v., i.m. atau oral.
Narkotik harus dihindari karena meningkatkan risiko muntah dan hipoventilasi,
yang keduanya dapat meningkatkan ICP (Tatang, Wargahadibrata, dan Eri, 1997).
2. Monitoring
Monitoring rutin untuk operasi supratentorial adalah EKG, tekanan darah non-