PRESENTASI KASUS RADIODIAGNOSTIK PADA CHOLELITHIASIS Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik Ilmu Radiologi di RSUD Salatiga Disusun Oleh: Paulina Maysarah 20090310029 Diajukan Kepada: dr.Ita Rima Rahmawati, Sp.Rad
PRESENTASI KASUS
RADIODIAGNOSTIK PADA CHOLELITHIASIS
Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik Ilmu
Radiologi di RSUD Salatiga
Disusun Oleh:
Paulina Maysarah
20090310029
Diajukan Kepada:
dr.Ita Rima Rahmawati, Sp.Rad
KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
RSUD SALATIGA
2015
HALAMAN PENGESAHAN
Telah diajukan dan disahkan, presentasi kasus dengan judul
RADIODIAGNOSTIK PADA CHOLELITHIASIS
Disusun Oleh :
Paulina Maysarah
2009 031 0029
Stase Ilmu Radiologi
RSUD Kota Salatiga
Telah dipresentasikan
Hari / Tanggal :
Mengesahkan
Dosen Pendidik Klinis
dr.Ita Rima Rahmawati, Sp.Rad
BAB I
KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
Umur : 56 tahun
Alamat : Griya Asri Noborejo no 25
Pekerjaan : PNS
No. CM : 12-13-226840
Tgl. Masuk : 19 April 2015
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : nyeri ulu hati
RPS : Pasien datang ke UGD RSUD Salatiga dengan keluhan nyeri ulu
hati sejak 3 hari yang lalu SMRS. Nyeri terasa menembus hingga punggung, nyeri
hilang timbul. Pasien juga merasa mual dan muntah, perut terasa sebah, dan penuh
tiap kali makan. Keluhan bertambah tiap kali pasien memakan
gorengan/daging/makanan berlemak. Pasien merasa lemas dan mudah lelah. BAK
tidak ada keluhan, BAB berwarna pucat. Pasien juga mengeluhkan badan terasa panas
dingin sejak muncul nyeri perut.
a. RPD : Riwayat Penyakit Dahulu
- Gejala yang sama sebelumnya (-) HT (-) DM (-)
- Riwayat mondok (+)
- Riwayat operasi (-)
b. Riwayat Penyakit Keluarga
- Gejala yang sama pada anggota keluarga (-)
- DM (-) HT (-)
III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan General :
Kesan/keadaan Umum : Cukup, Compos Mentis.
Vital Sign : Tekanan darah : 150/80 mmHg
Nadi : 95 x/m
Suhu : 37,5 C
Respirasi : 24 x/m
Pemeriksaan Internus:
Kepala : conjunctiva anemis -/- sklera ikterik -/-
Leher : dalam batas normal, limfonodi tidak teraba besar
Thorax : dalam batas normal
Abdomen : I = distensi (-) scar (-) jejas (-)
A = peristaltik (+) normal
P = supel agak keras, nyeri tekan (+) pada ulu hati, Murphy’s sign
(+), lien tidak teraba, hepatomegali (-)
P = timpani (+)
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2, edema (-)
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil pemeriksaan darah rutin tanggal 19 April 2015 Hasil Nilai Rujukan
Angka Leukosit (AL) 7,90 x 10 3 L 4,5 – 11 x 10 3 L
Angka Eritrosit (AE) 4,84 x 10 6 L 4 – 5 x 10 6 L
Hemoglobin (HB) 14,4 g/dl 12 – 16 g/dl
Hematokrit (HT) 45,1 % 38 – 47 %
Angka Trombosit (AT) 197 x 10 3 L 150 – 450 x 10 3 L
Hasil pemeriksaan kimia klinik tanggal 1 9 April 2015
Hasil Nilai Rujukan
Glukosa Darah Sewaktu 111 mg/dl 80 – 144 mg/dl
Ureum 25 mg/dl 10 – 50 mg/dl
Creatinin 0,5 mg/dl 0,6 – 1.1 mg/dl
SGOT 265 mg/dl < 31 U/L
SGPT 596 mg/dl < 32 U/L
Radiologi - USG tanggal 20 April 2015
HEPAR : ukuran dan echostruktur dalam batas normal, permukaan
licin, sudut kiri hepar lancip, Sistema vascular dan biliaris
intra dan ekstrahepatal tak tampak melebar, tak tampak lesi
hipo maupun hiperechoic intraparenkimal
VESICA FELEA : ukuran dalam batas normal, tampak gambaran lesi
hiperechoic dengan diameter 20.29 mm, intravesikal dengan
akustik shadow, VF tampak collaps.
LIEN : ukuran dan echostruktur normal, hilus lienalis tak melebar,
tak tampak nodul intraparenkimal
PANKREAS : ukuran dan echostruktur normal, ductus pankreaticus tak
tampak melebar, tak tampak lesi intraparenkimal
KEDUA REN : ukuran dalam batas normal, batas korteks dan medulla
tegas, tak ampak pelebaran PCS, tak tampak massa maupun
batu
VU : ukuran dalam batas normal, terisi cairan optimal, dinding
tak menebal, tak tampak batu maupun massa intravesikal
UTERUS : ukuran dalam batas normal, tak tampak lesi intrauterine
KESAN :
Gambaran Cholelithiasis dengan diameter batu 20.29 mm
Hepar, Lien, Pankreas, kedua Ren VU dan Uterus tak tampak kelainan
secara sonographic
Tak tampak gambaran massa maupun cholestasis intrahepatal
V. ASSESMENT
- Cholelithiasis
VI. PENATALAKSANAAN
- Infus Asering 20 tpm
- Injeksi Ranitidin 2 x I A
- Curcuma 3 x 200 mg
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI DAN EPIDEMIOLOGI
Kolelitiasis adalah salah satu dari penyakit gastrointestinal yang paling sering
di jumpai di Praktek klinik. Penelitian dengan ultrasonografi menunjukkan bahwa 60-
80% pasien batu empedu adalah asimtomatik. Secara umum dapat dikatakan bahwa
pasien – pasien yang simtomatik akan kambuh dan memperlihatkan gejala - gejala
pada sebanyak 1-2% per tahun. Manifestasi klinik dari batu empedu dapat berupa
nyeri episodik (kolik bilier), inflamasi akut di kandung empedu (kolesistitis akut) atau
saluran empedu (kolangitis akut), komplikasi - komplikasi akibat migrasi batu
empedu ke dalam koledokus seperti pankreatitis, obstruksi saluran empedu yang
dapat mengganggu fungsi hati yakni ikterus obstruktif sampai sirosis bilier.
Dikenal dengan istilah batu empedu, gallstones, biliary calculus. Kolelitiasis
merupakan suatu keadaan dimana terdapatnya batu empedu di dalam kandung
empedu (vesica fellea) yang memiliki ukuran, bentuk dan komposisi yang bervariasi.
Istilah kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu.
Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu
material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu.
B. ANATOMI
Kandung empedu
berbentuk seperti pir, panjangnya
sekitar 7 - 10 cm. Kapasitasnya
sekitar 30-50 cc dan dalam
keadaan terobstruksi dapat
menggembung sampai 300 cc.
Organ ini terletak dalam suatu
fosa yang menegaskan batas
anatomi antara lobus hati kanan
dan kiri. Bagian ekstrahepatik
dari kandung ampedu ditutupi oleh peritoneum. Kandung empedu mempunyai fundus,
korpus, infundibulum dan kolum.
a. Fundus bentuknya bulat, ujung buntu dari kandung empedu yang sedikit
memanjang di atas tepi hati, dan sebagian besar tersusun atas otot polos
dan jaringan elastik, merupakan tempat penampungan empedu.
b. Korpus merupakan bagian terbesar dari kandung empedu, dan ujungnya
akan membentuk leher (neck) dari kandung empedu.
c. Leher ini bentuknya dapat konveks, dan membentuk infundibulum atau
kantong Hartmann. Kantong Hartmann adalah bulbus divertikulum kecil
yang terletak pada permukaan inferior dari kandung kemih, yang secara
klinis bermakna karena proksimitasnya dari duodenum dan karena batu
dapat terimpaksi ke dalamnya.
Duktus sistikus menghubungkan kandung empedu ke duktus koledokus. Katup
spiral dari Heister terletak di dalam duktus sistikus, mereka terlibat dalam keluar
masuknya empedu dari kandung empedu.
Pasokan darah ke kandung empedu adalah melalui arteri sistika; yang akan
terbagi menjadi anterior dan posterior, secara khas merupakan cabang dari arteri hepatika
kanan, tetapi asal dari arteri sistika bervariasi. Arteri sistika muncul dari segitiga Calot
(dibentuk oleh duktus sistikus, common hepatic duct dan ujung hepar). Drainase vena
dari kandung empedu bervariasi, biasanya ke dalam cabang kanan dari vena porta.
Aliran limfe masuk secara langsung ke dalam hati dan juga ke nodus-nodus di
sepanjang permukaan vena porta.. Persarafannya berasal dari vagus dan cabang simpatik
yang melewati celiac plexus (preganglionik T8-9). Impuls dari liver, kandung empedu,
dan bile ducts melewari aferen simpatetik melalui splanknik nerve dan menyebabkan
nyeri kolik. Saraf muncul dari aksis seliak dan terletak di sepanjang arteri hepatica.
Sensasi nyeri diperantarai oleh serat viseral, simpatis. Rangsangan motoris untuk
kontraksi kandung empedu dibawa melalui cabang vagus dan ganglion seliaka.
Duktus Biliaris
Duktus biliaris ekstrahepatal terdiri atas duktus hepatikus kiri dan kanan, common
hepatic duct, duktus sistikus, dan common bile duct atau duktus koledokus. Duktus
hepatika kanan dan kiri keluar dari hati dan bergabung dengan hilum membentuk duktus
hepatik komunis, umumnya anterior tehadap bifurkasio vena porta dan proksimal dekat
dengan arteri hepatica kanan. Bagian ekstrahepatik dari duktus kiri cenderung lebih
panjang. Duktus hepatikus komunis membangun batas kiri dari segitiga Calot dan
berlanjut dengan duktus koledokus. Pembagian terjadi pada tingkat duktus sistikus.
Duktus koledokus panjangnya sekitar 8 cm dan terletak antara ligamentum
hepatoduodenalis, ke kanan dari arteri hepatica dan anterior terhadap vena porta. Segmen
distal dari duktus koledokus terletak di dalam substansi pankreas. Duktus koledokus
mengosongkan isinya ke dalam duodenum sampai ampula Vateri, orifisiumnya
dikelilingi oleh muskulus dari sfingter Oddi. Secara khas, ada saluran bersama dari
duktus pankreatikus dan duktus koledokus distal.
C. PATOFISIOLOGI
Batu kandung empedu terbentuk karena substansi tertentu pada empedu
terdapat dalam kadar yang mencapai batas kelarutannya. Saat empedu terkonsentrasi
di dalam kandung empedu dapat kemudian tersaturasi dengan substansi-subatansi
tersebut, yang kemudian mengendap menjadi Kristal - kristal mikroskopik - kristal.
Kristal-kristal tersebut terjebak dalam mukosa kandung empedu, memproduksi
lumpur kandung empedu. Semakin lama, kristal akan berkembang, saling menempel
dan menyatu menjadi batu makroskopik. Dua substansi utama yang terlibat dalam
pembentukan batu kandung empedu yaitu kolesterol dan bilirubin kalsium.
Batu Kolesterol
Lebih dari 80% batu kandung empedu di Amerika Serikat terdiri atas
kolesterol sebagai komponen utama. Sel-sel hati mensekresi kolesterol ke dalam
kandung empedu bersama dengan fosfolipid (lesitin) dalam bentuk gelembung
bermembran yang bulat dan kecil, yang disebut vesikel unilamelar. Sel hati juga
mensekresi garam empedu, yang merupakan detergen kuat yang diperlukan dalam
mencerna dan menyerap lemak dari makanan.
Faktor utama yang menentukan apakah batu kolesterol akan terbentuk, yaitu
(1) banyaknya kolesterol yang disekresi oleh sel-sel hati,berhubungan dengan lesitin
dan garam empedu, dan (2) tingkat konsentrasi dan lamanya empedu berada dalam
kandung empedu.
Batu Kalsium, Bilirubin dan Pigmen
Bilirubin, merupakan pigmen kuning turunan dari pemecahan heme, secara
aktif disekresikan ke dalam empedu oleh sel-sel hati. Sebagian besar bilirubin pada
empedu merupakan bentuk terkonjugasi, yang mana lebih stabil dan larut dalam air,
sebagian kecil merupakan bilirubin tak terkonjugasi. Bilirubin tak terkonjugasi seperti
asam lemak, fosfat, karbonat, dan anion lainnya, cenderung membentuk endapan
yang tak larut dengan kalsium.
Pada situasi dimana terjadi perombakan heme yang tinggi, seperti pada
hemolisis kronis atau sirosis, bilirubin tak terkonjugasi mungkin berada pada
konsentrasi di atas normal. Bilirubin kalsium dapat mengkristal dan dapat terbentuk
batu. Semakin lama, berbagai macam oksidasi dapat membuat bilirubin mengendap
menjadi berwarna hitam legam, disebut dengan batu pigmen hitam, merupakan 10-
20% kejadian batu kandung empedu di Amerika Serikat.
Bilirubin normalnya steril, namun pada keadaan yang tidak biasa (seperti
striktur bilier), dapat dikolonisasi oleh bakteri. Bakteri akan menghidrolisa bilirubin
terkonjugasi dan mennyebabkan peningkatan bilirubin tak terkonjugasi yang dapat
memicu pengendapan kristal bilirubin kalsium.
Bakteri juga juga menghidrolisa lesitin untuk melepaskan asam lemak, yang
dapat mengikat kalsium dan mengendap. Hasilnya akhirnya memiliki konsistensi
seperti tanah liat dan disebut dengan batu pigmen coklat. Tidak seperti batu pigmen
hitam atau kolesterol yang terbentuk di dalam kandung empedu, batu pigmen coklat
seringkali terbentuk di saluran empedu. Batu jenis ini banyak ditemukan di beberapa
bagian di Asia Tenggara, dan tidak banyak ditemukan di Amerika Serikat.
Batu Campuran
Batu kolesterol dapat dikolonisasi oleh bakteri dan dapat menyebabkan
inflamasi mukosa kandung empedu. Enzim lisis dari bakteri dan leukosit dapat
menghidrolisa bilirubin terkonjugasi dan asam lemak. Sebagai akibatnya, semakin
lama, batu kolesterol dapat mengakumulasi bagian penting dari bilirubin kalsium dan
garam empedu lain menghasilkan batu campuran.
D. ETIOLOGI
Batu empedu biasanya terbentuk di dalam kantong empedu atau di Saluran
empedu dan saluran hati. Batu ini dapat memicu radang dan infeksi pada kantong empedu
dan di saluran lain apabila batu keluar dari kantong empedu dan menimbulkan
penyumbatan di saluran lain. "Batu empedu erukuran kecil lebih berbahaya daripada
yang besar. Batu kecil berpeluang berpindah tempat atau berkelana ke tempat lain”. Batu
empedu di dalam saluran empedu bisa mengakibatkan infeksi hebat saluran empedu
(kolangitis), infeksi pankreas (pankreatitis) atau infeksi hati. Jika saluran empedu
tersumbat, maka bakteri kan tumbuh dan dengan segera menimbulkan infeksi di dalam
saluran. Bakteri bisa menyebar melalui aliran darah dan menyebabkan infeksi dibagian
tubuh lainnya.
Komponen utama dari batu empedu adalah kolesterol, sebagian kecil lainnya
terbentuk dari garam kalsium. Cairan empedu mengandung sejumlah besar kolesterol
yang biasanya tetap berbentuk cairan. Jika cairan empedu menjadi jenuh karena
kolesterol,maka kolesterol bisa menjadi tidak larut dan membentuk endapan diluar
empedu. Batu empedu juga bisa disebabkan oleh tumpukan pigmen bilirubin dan garam
kalsium yang membentuk partikel seperti kristal padat. Karena itu, cirinya berbeda. Batu
empedu dari tumpukan kolesterol berwarna kekuningan dan tampak mengilap seperti
minyak, sedangkan dari tumpukan pigmen bilirubin berwarna hitam tetapi keras atau
berwarna coklat tua, tetapi rapuh. Batu empedu dapat menyebabkan berbagai masalah
apabila masuk ke saluran pencernaan atau usus halus. Terkadang batu juga muncul pada
luran empedu. Apabila batu ini terdapat pada kandung empedu bisa terjadi peradangan
kolestitis akut. Itu karena adanya pecahan batu di dalam saluran empedu yang
menimbulkan rasa sakit berlebihan.
E. FAKTOR RESIKO
Batu kolesterol, batu pigmen hitam dan batu pigmen coklat memiliki pathogenesis
yang berbeda dan factor resiko yang berbeda pula.
Batu kolesterol
Batu kolesterol berhubungan dengan jenis kelamin wanita, keturunan Eropa atau
Amerika, dan meningkatnya usia. Berberapa factor resikonya meliputi obesitas,
kehamilan, gallbladder stasis, obat-obatan, dan riwayat keluarga.
Batu pigmen hitam dan coklat
Batu pigmen hitam terjadi lebih sering pada individu dengan tingkat perombakan
heme yang tinggi. Penyakit yang berhubungan dengan batu jenis ini termasuk anemia
sickle cell, sferositosis herediter, dan beta-talasemia. Pada pasien sirosis, hipertensi portal
dapat juga terjadi splenomegali. Sekitar setengah dari pasien sirosis memiliki batu
pigmen. Pembentukan batu pigmen coklat berhubungan dengan stasis intraduktal dan
kolonisasi bacteria kronis pada empedu.
F. MANIFESTASI KLINIS
Batu empedu biasanya menimbulkan gejala-gejala sebagai akibat dari inflamasi
atau obstruksi karena migrasi ke dalam duktus sistikus atau duktus koledokus. Gejala
yang paling spesifik dan karakteristik adalah kolik bilier. Nyeri viseral ini bersifat nyeri
yang hebat, menetap atau berupa tekanan di epigastrium atau di abdomen kuadran kanan
atas yang sering menjalar ke daerah inter-skapular, skapula kanan atau bahu. Kolik bilier
dimulai tiba-tiba dan menetap dengan intensitas berat selama 1-4 jam dan menghilang
pelahan-lahan atau dengan cepat. Episode kolik ini sering disertai dengan mual dan
muntah-muntah dan pada sebagian pasien diikuti dengan kenaikan bilirubin serum
bilamana batu migrasi ke uktus koledokus. Adanya demam atau menggigil yang
menyertai kolik bilier biasanya Menunjukkan komplikasi seperti kolesistitis, kolangitis
atau pankreatitis. Kolik bilier dapat dicetuskan sesudah makan banyak yang berlemak.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium dan Ultrasonografi atau CT Scan abdomen
menunjukkan bahwa bilamana kolik hanya disebabkan oleh batu kandung empedu yang
tersangkut di duktus sistikus tanpa proses peradangan di kandung empedu (tanpa
kolesistitis akut) dan tanpa adanya batu empedu di duktus koledokus maka tidak akan
didapatkan kelainan laboratorium yakni lekositosis (-), gangguan fungsi hati (-).
Bilamana sudah terdapat kolesistitis akut akan ditemukan lekositosis serta pasien demam.
Pada ultrasonografi (USG) atau CT Scan abdomen didapatkan batu di dalam kandung
empedu dan tandatanda radang akut dari kandung empedu berupa dinding yang menebal
dan udematus. Bilamana kolik disebabkan oleh batu yang migrasi ke duktus koledokus
dan belum terdapat komplikasi infeksi di saluran empedu maka laboratorium akan
menunjukkan gangguan fungsi hati berupa gama glutamil transferase (GGT) atau
fosfatase alkali yang meninggi, transaminase serum; bilirubin total juga meningkat. Pada
sebagian kecil pasien bilirubin total masih mungkin dalam batas normal atau sedikit
meninggi.(6) Ultrasonografi/CT Scan abdomen akan menemukan pelebaran saluran
empedu dan kadang-kadang tampak batu di dalamnya.(5) Bilamana telah didapatkan
kolangitis maka akan ditemukan lekositosis serta gambaran seperti di atas. Bilamana
terdapat pankreatitis bilier, amilase/lipase serum akan meningkat sekali, di samping
adanya lekositosis dan gangguan fungsi hati.
ULTRASONOGRAFI (USG)
Ultrasonografi (USG) adalah sebuah teknik pencitraan diagnostik memanfaatkan
gelombang suara ultrasonik yang digunakan untuk menggambarkan lesi atau kelainan
struktur subkutan tubuh, meliputi tendon, otot, sendi, pembuluh darah, dan organ-organ
dalam. Pada awalnya penemuan alat USG diawali dengan penemuan gelombang
ultrasonik. Kemudian pada tahun 1920-an, prinsip kerja gelombang ultrasonik mulai
diterapkan dalam bidang kedokteran. Penggunaan gelombang ultrasonik dalam bidang
kedokteran ini pertamakali diaplikasikan untuk kepentingan terapi bukan untuk
mendiagnosis suatu penyakit. Baru pada awal tahun 1940, gelombang ultrasonik dinilai
memungkinkan untuk digunakan sebagai sarana diagnosis penyakit. Hal tersebut
disimpulkan berkat hasil eksperimen Karl Theodore Dussik, seorang dokter ahli saraf dari
Universitas Vienna, Austria. Bersama dengan saudaranya, Freiderich, seorang ahli fisika,
berhasil menemukan lokasi sebuah tumor otak dan pembuluh darah pada otak besar
dengan mengukur transmisi pantulan gelombang ultrasonik melalui tulang tengkorak.
Dengan menggunakan transducer (kombinasi alat pengirim dan penerima data), hasil
pemindaian masih berupa gambar dua dimensi terdiri dari barisan titik-titik berintensitas
rendah. Kemudian pada tahun 1945 George Ludwig, ahli fisika Amerika,
menyempurnakan alat temuan Dussik tersebut (Hermawan, 2009).
a. Manfaat USG
USG saat ini telah digunakan secara luas dalam bidang kedokteran serta
bermanfaat dalam mempelajari bermacam sistem dalam tubuh mencakup
Tabel 3. Manfaat USG
b. Mekanisme Kerja USG
Teknologi transducer digital sekitar tahun 1990-an memungkinkan sinyal
gelombang ultrasonik yang diterima menghasilkan tampilan gambar suatu jaringan tubuh
dengan lebih jelas. Penemuan komputer pada pertengahan 1990 sangat membantu
teknologi ini. Gelombang ultrasonik akan melalui proses sebagai berikut, pertama,
gelombang akan diterima transducer. Kemudian gelombang tersebut diproses sedemikian
rupa dalam komputer sehingga bentuk tampilan gambar akan terlihat pada layar monitor.
Transducer yang digunakan terdiri dari transducer penghasil gambar dua dimensi atau
tiga dimensi. Seperti inilah hingga USG berkembang sedemikian rupa hingga saat ini
(Hermawan, 2009).
Secara garis besar, mekanisme kerja USG mencakup komponen alat yang disebut
transducer yang berperan mengubah sinyal elektrik menjadi gelombang suara frekuensi
tinggi, yang dikirim kedalam jaringan tubuh. Struktur jaringan didalam tubuh akan
menghamburkan, memantulkan, maupun menyerap gelombang suara tersebut dalam
tingkat yang berbeda, yang kemudian dipantulkan kembali (echo) pada transducer, yang
merubah gelombang suara menjadi sinyal elektrik. Komputer merubah pola sinyalelektrik
menjadi gambar, yang ditampilkan di monitor dan dapat direkam berupa film, video tape,
dan atau dicetak. Adapun skema cara kerja dari USG yang memanfaatkan gelombang
ultrasonik adalah sebagai berikut (Jacobson, 2008):
a. Transducer
Transducer adalah komponen USG yang ditempelkan pada bagian tubuh yang akan
diperiksa, seperti dinding perut atau dinding poros usus besar pada pemeriksaanprostat.
Di dalam transducer terdapat kristal yang digunakan untuk menangkap pantulan
gelombang yang disalurkan oleh transducer. Gelombang yang diterima masih dalam
bentuk gelombang akustik (gelombang pantulan) yang harus diubah menjadi gelombang
elektrik sehingga dapat dibaca oleh komputer serta diterjemahkan dalam bentuk
gambar.
b. Monitor
Monitor yang digunakan dalam USG
c. Mesin USG
Mesin USG merupakan bagian dari USG yang berfungsi untuk mengolah data
yang diterima dalam bentuk gelombang. Mesin USG merupakan Central Procesing Unit
(CPU) USG sehingga di dalamnya terdapat komponen seperti CPU pada komputer
sehingga memungkinkan USG merubah gelombang menjadi tampilan gambar.
Dalam pembacaan hasil USG, digunakan istilah hipoechoic, hiperechoic, dan
anechoic atau echofree. Hipoechoic adalah gambaran berwarna hitam, yang umumnya
merupakan gambaran dari suatu cairan. Hiperechoic adalah gambaran berwarna putih,
yang umumnya merupakan gambaran suatu batu. Sedangkan gambaran organ-organ
tubuh biasanya didapatkan warna abu-abu (peralihan warna hitam dan putih). Anechoic
atau echofree adalah gambaran hitam sama sekali (tanpa putih), yang didapatkan apabila
gelombang echo mengenai udara atau tulang (Jacobson, 2008).
c. Persiapan
- Penderita obstipasi sebaiknya semalam sebelumnya diberikan laksansia.
- Pemeriksaan alat-alat dirongga perut bagian atas sebaiknya dilakukan dalam
keadaan puasa.
- Pemeriksaan kandung empedu dianjurkan puasa sekurang-kurangnya 6 jam
sebelum pemeriksaan agar diperoleh dilatasi pasif yang maksimal.
- Pemeriksaan daerah pelvis dan kandungan, buli-buli harus penuh.
d. Teknik pemeriksaan
Tiga irisan yang digunakan untuk penilaian hati ialah longitudinal, transversal,
dan subcostal.
Posisi penderita biasanya berbaring atau decubitus(left lateral decubitus) sambil
menahan nafas pada inspirasi dalam. Jarak tiap-tiap irisan umumnya sekitar 1-2 cm
sampai seluruh jaringan hati terlihat.
Vena cava inferior maupun ligamentum dapat digunakan sebagai patokan dalam
memeriksa masing-masing lobus kanan dan lobus kiri.
e. Penyulit
- USG tidak mampu menembus bagian tertentu badan
- Gelombang suara yang mengenai tulang akan dipantulkan
- Pada perbatasan rongga-rongga yang mengandung gas akan dipantulkan
- Pada pemeriksaan abdomen hasil kurang memuaskan karena gas dalam usus
- Penderita gemuk agak sulit
H. DIAGNOSIS
Batu empedu dicurigai pada pasien dengan kolik bilier. Ultrasonografi abdomen
merupakan pilihan dalam mendeteksi batu kandung empedu, sensitivitas dan
spesifitasnya mencapai 95%. CT, MRI dan kolesistografi oral merupakan alternative.
USG merupakan prosedur yang paling sensitive, spesifik, non-invasif dan tidak
mahal untuk mendeteksi batu empedu. Selain itu juga simpel, cepat dan aman pada
kehamilan, dan tidak membuat pasien terpapar radiasi berbahaya maupun kontras
intravena. Sensitivitas bervariasi tergantung pada kemampuan operator, namun pada
umunya sangat sensitive dan spesifik utnuk batu empedu yang berukuran lebih besar dai
2 mm.
Batu empedu tampak sebagai focus ekogenik pada kandung empedu, dapat
bergerak bebas ddengan perubahan posisi dan menampilkan bayangan akustik.
Kolesistitis dengan batu berukuran kecil pada leher kandung empedu. Banyangan akustik terlihat dibawah batu
empedu.
Bila kandung empedu dipenuhi oleh batu empedu, batu mungkin saja tak terlihat
pada USG, namun garis ekogenik double ( satu dari dinding kandung empedu, satu dari
batu) dengan bayangan akustik mungkin dapat terlihat.
USG endoskopik
USG endoskopik juga akurat dan merupakan teknik yang relative non-invasif
untuk mengidentifikasi batu pada saluran empedu distal (distal common bile duct).
Sensitivitas dan spesitifitas deteksi batu ini sekitar 85-100%.
USG laparoskopik
USG laparoskopik merupakan metode primer untuk mencitrakan saluran empedu
selama kolesistektomi laparoskopik.
I. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan batu empedu tergantung pada derajat penyakit. Bila batu empedu
menimbulkan gejala, interfensi bedah definitive dengan kolesistektomi biasanya
didindikasikan, meskipun, pada beberapa kasus, dipertimbangakn menggunakan pelarut
batu secara medis.
Tatalaksana medis untuk batu empedu meliputi terapi garam empedu oral
(ursodeoxycholic acid), contact dissolution, dan extracorporeal shockwave lithotripsy
(ESWL).
Manajemen medis lebih efektif pada pasien dengan fungsi kandung empedu yang
amsih baik, memiliki batu berukuran kecil (<1 cm) dengan kandungan tinggi kolesterol.
Penatalaksanaan Batu Empedu Asimtomatik
Asam ursodeoxycholic (ursodiol) adalah agen pelarut batu empedu. Pada
manusia, penggunaan asam ursodeoxycholic dapat menurunkan saturasi kolesterol pada
empedu, dengan cara menurunkan sekresi kolesterol hati dan menurunkan efek deterjen
dari garam empedu pada kandung empedu. Desaturasi empedu dapat emncegah
terbentuknya batu.
Pada pasien yang didiagnosis dengan batu empedu kolesterol, pengobatan dengan
asam ursodeoxycholic pada dosis 8-10 mg/kg/hari dapat melarutkan batu empedu secara
bertahap.
Penatalaksanaan pada batu empedu simtomatik
Kolesistektomi
Pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi) secara umum diindikasikan pada
pasien yang bergejala dan mengalami komplikasi dari batu empedu.
Saat ini, kolesistektomi laparoskopik sudah umum dilakukan pada pasien rawat
jalan. Dengan mengurangi pasien rawat inap dan kehilangan waktu dalam bekerja,
pendekatan laparoskopik juga dapat mengurangi biaya kolesistektomi.
Pada pasien yang batu empedunya jatuh ke dalam cavum peritoneal, rekomendasi
terkini ialah follow up dengan pemeriksaan USG selama 12 bulan. Komplikasi seperti
pembentukan abses di sekeliling batu dapat terjadi selama rentang waktu tersebut.
Komplikasi yang paling menakutkan dan morbid adalah kerusakan pada saluran
empedu (common bile duct).
Kolesistostomi
Pada pasien dengan empyema kandung empedu dan sepsis, kolesistektomi dapat
menjadi berbahaya. Pada kondisi ini ahli bedah dapat melakukan kolesistostomi, yaitu
suatu prosedur minimal yang menempatkan tabung drainase pada kandung empedu. Bila
pasien telah stabil, kolesistektomi elektif dapat dilakukan.
BAB III
PEMBAHASAN
Berdasarkan anamnesis didapatkan keluhan yang dominan pada daerah perut, yaitu
nyeri perut pada region epigastrium, nyeri hilang timbul, dan menembus punggung.
Karakteristik nyeri seperti ini mengarah pada kemungkinan adanya batu empedu baik itu di
dalam kandung empedu ataupun pada salurannya. Pasien juga mengeluhkan rasa tidak
nyaman pada perut seperti mual, rasa penuh, sebah yang dapat merupakan manifestasi klinis
dari batu empedu. Manifestasi lain seperti BAB yang berwarna pucat juga dialami oleh
pasien, sebagai bentuk dari kegagalan ekskresi pigmen empedu yang mungkin terdapat pada
penyakit yang menyerang hati maupun empedu.
Pada pemeriksaan fisik, pemeriksaan abdomen didapatkan nyeri tekan pada daerah
ulu hati dan kanan atas dengan tanda Murphy positif yang mengindikasikan kemungkinan
yang mengarah pada gangguan di traktus biliaris. Pada pemeriksaan penunjang laborat
menunjukkan adanya peningkatan enzim-enzim hati, hasil tersebut mengindikasikan adanya
keterlibatan hati, traktus bilier dan lien dan mungkin organ pencernaan lain. Pada
pemeriksaan penunjang radiologic tampak adanya batu pada kandung empedu. Dari seluruh
prosedur diagnostic yang telah dilakukan dapat didiagnosis sebagai batu kandung empedu
atau Cholelithiasis
BAB IV
KESIMPULAN
1. Cholelithiasis adalah terdapatnya batu pada kandung empedu. Batu kandung empedu
terbentuk karena substansi tertentu pada empedu terdapat dalam kadar yang mencapai
batas kelarutannya. Dua substansi utama yang terlibat dalam pembentukan batu
kandung empedu yaitu kolesterol dan bilirubin kalsium.
2. Manifestasi klinik dari batu empedu dapat berupa nyeri episodik (kolik bilier),
inflamasi akut di kandung empedu (kolesistitis akut) atau saluran empedu kolangitis
akut).
3. Ultrasonografi abdomen merupakan pilihan dalam mendeteksi batu kandung empedu,
sensitivitas dan spesifitasnya mencapai 95%. CT, MRI dan kolesistografi oral
merupakan alternative.
4. Batu empedu tampak sebagai focus ekogenik pada kandung empedu, dapat bergerak
bebas dengan perubahan posisi dan menampilkan bayangan akustik.
5. Penatalaksanaan batu empedu tergantung pada derajat penyakit. Bila batu empedu
menimbulkan gejala, interfensi bedah definitive dengan kolesistektomi biasanya
didindikasikan, meskipun, pada beberapa kasus, dipertimbangakan menggunakan
pelarut batu secara medis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sylvia & Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Volume 1. Edisi 6. Jakarta: EGC.
2. Sjamsulidajat & de Jong. 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC.
3. Rasad, Sjahriar. 2009. Radiologi Diagnostik. Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
4. Palmer et al. 1995. Petunjuk Membaca Foto Untuk Dokter Umum. Jakarta: EGC.
5. http://emedicine.medscape.com/article/185856-overview#aw2aab6b7
6. http://www.mayoclinic.com/health/urine-color/ds01026/dsection=causes