Top Banner
BAB I LAPORAN KASUS A. Identitas Pasien Nama Pasien : An. D Jenis Kelamin : Laki-laki Umur : 8 tahun Pekerjaan : Pelajar Alamat : Sindurjan RT 01/02 Purworejo Tanggal Masuk RS : 28 November 2012 Ruang : Poli THT RSUD Panembahan Senopati Bantul B. Anamnesa Keluhan Utama : Telinga kanan nyeri 1. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang dengan keluhan telinga kanan nyeri. Nyeri dirasakan sudah sejak kemarin (1 hari). Anak mengatakan juga disertai demam. Pendengaran dirasakan anak tidak menurun dan merasakan penuh 1
43

Presus OMA

Feb 15, 2015

Download

Documents

baskorosanjaya

jhuh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Presus OMA

BAB I

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

Nama Pasien                    : An. D

Jenis Kelamin                     : Laki-laki

Umur                                  : 8 tahun

Pekerjaan                            : Pelajar

Alamat                                : Sindurjan RT 01/02 Purworejo

Tanggal Masuk RS : 28 November 2012

Ruang                                 : Poli THT RSUD Panembahan Senopati Bantul

 

B. Anamnesa

Keluhan Utama        : Telinga kanan nyeri  

1. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang dengan keluhan telinga kanan nyeri. Nyeri dirasakan sudah

sejak kemarin (1 hari). Anak mengatakan juga disertai demam. Pendengaran

dirasakan anak tidak menurun dan merasakan penuh pada telinga. Tidak ada

riwayat trauma sebelumnya. Tidak ada keluar cairan dari telinga.

2. Riwayat Penyakit Dahulu

Anak belum pernah merasakan gejala yang sama. Riwayat sering

membersihkan teling sendiri (+), Asthma (-), Alergi (-), Riwayat anak sering

batuk dan bersin (-)

1

Page 2: Presus OMA

3. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama.

4. Review Sistem

Kepala & Leher : nyeri telinga (+), disfagia (-)

Respiratorius : sesak (-), batuk (-)

Cardiovascular : nyeri dada (-), sesak (-)

Gastrointestinal : Abdominal pain (-), mual (-), muntah (-)

Urogenital : BAK (+)

C. Pemeriksaan Fisik

1. Kesan umum            : Baik.

Kesadaran                : Komposmentis.

2. Tanda utama

Tekanan darah          : 100/60  mmHg

Nadi                          : 84 x/m, isi dan tegangan : reguler

Suhu                          : 36,5 ° C

Pernapasan                : 20 x/m            Tipe : Thorakal

3. Status Generalis

a. Kulit : Ikterik (-), sianosis (-), hiperpigmentasi (-), pucat (-).

b. Pemeriksaan Kepala

- Bentuk kepala          : Mesosefal

- Rambut                    : Warna hitam, distribusi merata.

- Nyeri tekan : (-)

2

Page 3: Presus OMA

c. Pemeriksaan Mata

- Palpebra                    : Edema (-/-), Ptosis (-/-)

- Konjunctiva              : Anemis (-/-)

- Sklera                        : Ikterik (-/-)

- Pupil                          : Reflek cahaya (+/+), isokor

d. Pemeriksaan Dada : Normochest, simetris, deformitas (-), ketinggalan gerak

(-).

e. Pemeriksaan Ekstremitas                            

Ekstremitas Superior Inferior

Kanan Kiri Kanan Kiri

Pitting Edema - - - -

Sensibilitas + + + +

Refleks Fisiologis + + + +

Refleks Patologis - - - -

    

Status Lokalis THT

Telinga

Telinga Kanan Telinga Kiri

Normal, tragus pain (+)

ringan, heliks sign (-),

tidak mikrotia

Aurikula Normal, tragus pain (-),

heliks sign (-), tidak

mikrotia

Tenang, sedikit sempit,

tampak hiperemis, tidak

Canalis Aucusticus Tenang, tidak hiperemis,

tidak ada secret, tidak ada

3

Page 4: Presus OMA

ada secret, ada serumen Eksterna serumen

Intak, bulging (+)

minimal, refleks cahaya

(+), hiperemi (+),

perforasi (-)

Membran Tympani Intak, refleks cahaya (+),

warna putih mengkilap

(+) Riene (+)

Lateralisasi (-) Weber Lateralisasi (-)

Sama dengan pemeriksa Schwabach Sama dengan pemeriksa

Hidung

Cavum nasi : tidak ada massa, tidak ada benda asing / tidak ada massa , tidak ada

benda asing

Mukosa : Tidak hiperemis

Konkha : edema -/-, hipertropi -/-

Meatus inferior : sekret -/-, polip -/-

Septum nasi : lurus

Pasase udara : +/+

Massa : -/-

Nasofaring/ Orofaring

Mukosa : tenang, granul (-), post nasal drip (-)

Tonsil : T1 – T1, kripte melebar -/-, debritus -/-

Gigi : karies (-)

Leher

Pembesaran KGB submental -/-, submandibula -/

BAB II

4

Page 5: Presus OMA

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Otitis Media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa telinga

tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Otitis media

berdasarkan gejalanya dibagi atas otitis media supuratif dan otitis media non

supuratif, di mana masing-masing memiliki bentuk yang akut dan kronis. Selain

itu, juga terdapat jenis otitis media spesifik, seperti otitis media tuberkulosa, otitis

media sifilitika. Otitis media yang lain adalah otitis media adhesiva (Djaafar,

2007).

Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala

dan tanda-tanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik lokal atau

sistemik dapat terjadi secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam,

gelisah, mual, muntah, diare, serta otore, apabila telah terjadi perforasi membran

timpani. Pada pemeriksaan otoskopik juga dijumpai efusi telinga tengah

(Buchman, 2003). Terjadinya efusi telinga tengah atau inflamasi telinga tengah

ditandai dengan membengkak pada membran timpani atau bulging, mobilitas

yang terhad pada membran timpani, terdapat cairan di belakang membran timpani,

dan otore (Kerschner, 2007).

Klasifikasi

Gambar 1. Skema Pembagian Otitis Media

5

Page 6: Presus OMA

Gambar 2. Skema Pembagian Otitis Media Berdasarkan Gejala

Etiologi

1. Bakteri

6

Page 7: Presus OMA

Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering. Menurut

penelitian, 65-75% kasus OMA dapat ditentukan jenis bakteri piogeniknya

melalui isolasi bakteri terhadap kultur cairan atau efusi telinga tengah. Kasus lain

tergolong sebagai non- patogenik karena tidak ditemukan mikroorganisme

penyebabnya. Tiga jenis bakteri penyebab otitis media tersering adalah

Streptococcus pneumoniae (40%), diikuti oleh Haemophilus influenzae (25-30%)

dan Moraxella catarhalis (10-15%). Kira-kira 5% kasus dijumpai patogen-

patogen yang lain seperti Streptococcus pyogenes (group A beta- hemolytic),

Staphylococcus aureus, dan organisme gram negatif. Staphylococcus aureus dan

organisme gram negatif banyak ditemukan pada anak dan neonatus yang

menjalani rawat inap di rumah sakit. Haemophilus influenzae sering dijumpai

pada anak balita. Jenis mikroorganisme yang dijumpai pada orang dewasa juga

sama dengan yang dijumpai pada anak-anak (Kerschner, 2007).

2. Virus

Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai tersendiri

atau bersamaan dengan bakteri patogenik yang lain. Virus yang paling sering

dijumpai pada anak-anak, yaitu respiratory syncytial virus (RSV), influenza virus,

atau adenovirus (sebanyak 30-40%). Kira-kira 10-15% dijumpai parainfluenza

virus, rhinovirus atau enterovirus. Virus akan membawa dampak buruk terhadap

fungsi tuba Eustachius, menganggu fungsi imun lokal, meningkatkan adhesi

bakteri, menurunkan efisiensi obat antimikroba dengan menganggu mekanisme

farmakokinetiknya (Kerschner, 2007). Dengan menggunakan teknik polymerase

chain reaction (PCR) dan virus specific enzyme-linked immunoabsorbent assay

(ELISA), virus-virus dapat diisolasi dari cairan telinga tengah pada anak yang

menderita OMA pada 75% kasus (Buchman, 2003).

Faktor Risiko

Faktor risiko terjadinya otitis media adalah umur, jenis kelamin, ras, faktor

genetik, status sosioekonomi serta lingkungan, asupan air susu ibu (ASI) atau susu

7

Page 8: Presus OMA

formula, lingkungan merokok, kontak dengan anak lain, abnormalitas

kraniofasialis kongenital, status imunologi, infeksi bakteri atau virus di saluran

pernapasan atas, disfungsi tuba Eustachius, inmatur tuba Eustachius dan lain-lain

(Kerschner, 2007).

Faktor umur juga berperan dalam terjadinya OMA. Peningkatan insidens

OMA pada bayi dan anak-anak kemungkinan disebabkan oleh struktur dan fungsi

tidak matang atau imatur tuba Eustachius. Selain itu, sistem pertahanan tubuh atau

status imunologi anak juga masih rendah. Insidens terjadinya otitis media pada

anak laki-laki lebih tinggi dibanding dengan anak perempuan. Anak-anak pada ras

Native American, Inuit, dan Indigenous Australian menunjukkan prevalensi yang

lebih tinggi dibanding dengan ras lain. Faktor genetik juga berpengaruh. Status

sosioekonomi juga berpengaruh, seperti kemiskinan, kepadatan penduduk,

fasilitas higiene yang terbatas, status nutrisi rendah, dan pelayanan pengobatan

terbatas, sehingga mendorong terjadinya OMA pada anak- anak. ASI dapat

membantu dalam pertahanan tubuh. Oleh karena itu, anak-anak yang kurangnya

asupan ASI banyak menderita OMA. Lingkungan merokok menyebabkan anak-

anak mengalami OMA yang lebih signifikan dibanding dengan anak-anak lain.

Dengan adanya riwayat kontak yang sering dengan anak-anak lain seperti

di pusat penitipan anak-anak, insidens OMA juga meningkat. Anak dengan

adanya abnormalitas kraniofasialis kongenital mudah terkena OMA karena fungsi

tuba Eustachius turut terganggu, anak mudah menderita penyakit telinga tengah.

Otitis media merupakan komplikasi yang sering terjadi akibat infeksi saluran

napas atas, baik bakteri atau virus (Kerschner, 2007).

Gejala Klinis

Gejala klinis OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien.

Pada anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam

telinga, di samping suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk pilek

sebelumnya. Pada anak yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa

8

Page 9: Presus OMA

nyeri, terdapat gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa

kurang mendengar. Pada bayi dan anak kecil, gejala khas OMA adalah suhu tubuh

tinggi dapat mencapai 39,5°C (pada stadium supurasi), anak gelisah dan sukar

tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare, kejang-kejang dan kadang-kadang

anak memegang telinga yang sakit. Bila terjadi ruptur membran timpani, maka

sekret mengalir ke liang telinga, suhu tubuh turun dan anak tidur tenang (Djaafar,

2007).

Penilaian klinik OMA digunakan untuk menentukan berat atau ringannya

suatu penyakit. Penilaian berdasarkan pada pengukuran temperatur, keluhan orang

tua pasien tentang anak yang gelisah dan menarik telinga atau tugging, serta

membran timpani yang kemerahan dan membengkak atau bulging. Menurut

Dagan (2003) dalam Titisari (2005), skor OMA adalah seperti berikut:

Tabel 1. Skor OMA

Skor Suhu Gelisah Tarik

telinga

Kemerahan

Pada

Membran

Timpani

Bengkak

Pada

Membran

Timpani

0 < 38,0 Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

1 38,0 – 38,5 Ringan Ringan Ringan Ringan

2 38,6 – 39,0 Sedang Sedang Sedang Sedang

3 > 39,0 Berat Berat Berat Berat,

termasuk

otore

Penilaian derajat OMA dibuat berdasarkan skor. Bila didapatkan angka 0

hingga 3, berarti OMA ringan dan bila melebihi 3, berarti OMA berat.

9

Page 10: Presus OMA

Pembagian OMA lainnya yaitu OMA berat apabila terdapat otalgia berat

atau sedang, suhu lebih atau sama dengan 39°C oral atau 39,5°C rektal. OMA

ringan bila nyeri telinga tidak hebat dan demam kurang dari 39°C oral atau 39,5°C

rektal (Titisari, 2005).

Fisiologi, Patologi dan Patogenesis

Tuba Eustachius

Fungsi abnormal tuba Eustachius merupakan faktor yang penting pada

otitis media. Tuba Eustachius adalah saluran yang menghubungkan rongga telinga

tengah dengan nasofaring, yang terdiri atas tulang rawan pada dua pertiga ke arah

nasofaring dan sepertiganya terdiri atas tulang (Djaafar, 2007).

Tuba Eustachius biasanya dalam keadaan steril serta tertutup dan baru

terbuka apabila udara diperlukan masuk ke telinga tengah atau pada saat

mengunyah, menelan dan menguap. Pembukaan tuba dibantu oleh kontraksi

muskulus tensor veli palatini apabila terjadi perbedaan tekanan telinga tengah dan

tekanan udara luar antara 20 sampai dengan 40 mmHg. Tuba Eustachius

mempunyai tiga fungsi penting, yaitu ventilasi, proteksi, dan drainase sekret.

Ventilasi berguna untuk menjaga agar tekanan udara dalam telinga tengah

selalu sama dengan tekanan udara luar. Proteksi, yaitu melindung telinga tengah

dari tekanan suara, dan menghalangi masuknya sekret atau cairan dari nasofaring

ke telinga tengah. Drainase bertujuan untuk mengalirkan hasil sekret cairan

telinga tengah ke nasofaring (Djaafar, 2007; Kerschner, 2007).

Patogenesis OMA

Pathogenesis OMA pada sebagian besar anak-anak dimulai oleh infeksi saluran

pernapasan atas (ISPA) atau alergi, sehingga terjadi kongesti dan edema pada

mukosa saluran napas atas, termasuk nasofaring dan tuba Eustachius. Tuba

10

Page 11: Presus OMA

Eustachius menjadi sempit, sehingga terjadi sumbatan tekanan negatif pada

telinga tengah. Bila keadaan demikian berlangsung lama akan menyebabkan

refluks dan aspirasi virus atau bakteri dari nasofaring ke dalam telinga tengah

melalui tuba Eustachius.

Mukosa telinga tengah bergantung pada tuba Eustachius untuk mengatur

proses ventilasi yang berkelanjutan dari nasofaring. Jika terjadi gangguan akibat

obstruksi tuba, akan mengaktivasi proses inflamasi kompleks dan terjadi efusi

cairan ke dalam telinga tengah. Ini merupakan faktor pencetus terjadinya OMA

dan otitis media dengan efusi. Bila tuba Eustachius tersumbat, drainase telinga

tengah terganggu, mengalami infeksi serta terjadi akumulasi sekret di telinga

tengah, kemudian terjadi proliferasi mikroba patogen pada sekret.

Akibat dari infeksi virus saluran pernapasan atas, sitokin dan mediator-

mediator inflamasi yang dilepaskan akan menyebabkan disfungsi tuba Eustachius.

Virus respiratori juga dapat meningkatkan kolonisasi dan adhesi bakteri, sehingga

menganggu pertahanan imum pasien terhadap infeksi bakteri. Jika sekret dan pus

bertambah banyak dari proses inflamasi lokal, perndengaran dapat terganggu

karena membran timpani dan tulang- tulang pendengaran tidak dapat bergerak

bebas terhadap getaran. Akumulasi cairan yang terlalu banyak akhirnya dapat

merobek membran timpani akibat tekanannya yang meninggi (Kerschner, 2007).

Obstruksi tuba Eustachius dapat terjadi secara intraluminal dan

ekstraluminal. Faktor intraluminal adalah seperti akibat ISPA, dimana proses

inflamasi terjadi, lalu timbul edema pada mukosa tuba serta akumulasi sekret di

telinga tengah. Selain itu, sebagian besar pasien dengan otitis media dihubungkan

dengan riwayat fungsi abnormal dari tuba Eustachius, sehingga mekanisme

pembukaan tuba terganggu. Faktor ekstraluminal seperti tumor, dan hipertrofi

adenoid (Kerschner, 2007).

11

Page 12: Presus OMA

Penyebab-penyebab Anak Mudah Terserang OMA

Dipercayai bahwa anak lebih mudah terserang OMA dibanding dengan

orang dewasa. Ini karena pada anak dan bayi, tuba lebih pendek, lebih lebar dan

kedudukannya lebih horizontal dari tuba orang dewasa, sehingga infeksi saluran

pernapasan atas lebih mudah menyebar ke telinga tengah. Panjang tuba orang

dewasa 37,5 mm dan pada anak di bawah umur 9 bulan adalah 17,5 mm (Djaafar,

2007). Ini meningkatkan peluang terjadinya refluks dari nasofaring menganggu

drainase melalui tuba Eustachius.

Insidens terjadinya otitis media pada anak yang berumur lebih tua

berkurang, karena tuba telah berkembang sempurna dan diameter tuba Eustschius

meningkat, sehingga jarang terjadi obstruksi dan disfungsi tuba. Selain itu, sistem

pertahanan tubuh anak masih rendah sehingga mudah terkena ISPA lalu terinfeksi

di telinga tengah. Adenoid merupakan salah satu organ di tenggorokan bagian atas

yang berperan dalam kekebalan tubuh. Pada anak, adenoid relatif lebih besar

dibanding orang dewasa.

Posisi adenoid yang berdekatan dengan muara tuba Eustachius sehingga

adenoid yang besar dapat mengganggu terbukanya tuba Eustachius. Selain itu,

adenoid dapat terinfeksi akibat ISPA kemudian menyebar ke telinga tengah

melalui tuba Eustachius (Kerschner, 2007).

Gambar 3. Perbedaan Antara Tuba Eustachius pada Anak-anak dan Orang

Dewasa

12

Page 13: Presus OMA

Stadium OMA

OMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi menjadi lima stadium,

bergantung pada perubahan pada mukosa telinga tengah, yaitu stadium oklusi tuba

Eustachius, stadium hiperemis atau stadium pre-supurasi, stadium supurasi,

stadium perforasi dan stadium resolusi (Djaafar, 2007).

Gambar 4. Membran Timpani Normal

1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius

Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai

oleh retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan intratimpani

negatif di dalam telinga tengah, dengan adanya absorpsi udara. Retraksi

membran timpani terjadi dan posisi malleus menjadi lebih horizontal,

refleks cahaya juga berkurang. Edema yang terjadi pada tuba Eustachius

juga menyebabkannya tersumbat. Selain retraksi, membran timpani

kadang- kadang tetap normal dan tidak ada kelainan, atau hanya berwarna

keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi tetapi tidak dapat dideteksi.

Stadium ini sulit dibedakan dengan tanda dari otitis media serosa yang

disebabkan oleh virus dan alergi. Tidak terjadi demam pada stadium ini

13

Page 14: Presus OMA

(Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).

2. Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi

Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di membran

timpani, yang ditandai oleh membran timpani mengalami hiperemis,

edema mukosa dan adanya sekret eksudat serosa yang sulit terlihat.

Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba yang berpanjangan sehingga

terjadinya invasi oleh mikroorganisme piogenik. Proses inflamasi berlaku

di telinga tengah dan membran timpani menjadi kongesti. Stadium ini

merupakan tanda infeksi bakteri yang menyebabkan pasien mengeluhkan

otalgia, telinga rasa penuh dan demam. Pendengaran mungkin masih

normal atau terjadi gangguan ringan, tergantung dari cepatnya proses

hiperemis. Hal ini terjadi karena terdapat tekanan udara yang meningkat di

kavum timpani. Gejala-gejala berkisar antara dua belas jam sampai dengan

satu hari (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).

Gambar 5. Membran Timpani Hiperemis

3. Stadium Supurasi

Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat

purulen atau bernanah di telinga tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selain

itu edema pada mukosa telinga tengah menjadi makin hebat dan sel epitel

superfisial terhancur. Terbentuknya eksudat yang purulen di kavum

timpani menyebabkan membran timpani menonjol atau bulging ke arah

liang telinga luar.

14

Page 15: Presus OMA

Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan suhu

meningkat serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Pasien selalu

gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak. Dapat disertai dengan gangguan

pendengaran konduktif. Pada bayi demam tinggi dapat disertai muntah dan

kejang.

Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan baik

akan menimbulkan iskemia membran timpani, akibat timbulnya nekrosis

mukosa dan submukosa membran timpani. Terjadi penumpukan nanah

yang terus berlangsung di kavum timpani dan akibat tromboflebitis vena-

vena kecil, sehingga tekanan kapiler membran timpani meningkat, lalu

menimbulkan nekrosis. Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna

kekuningan atau yellow spot.

Keadaan stadium supurasi dapat ditangani dengan melakukan

miringotomi. Bedah kecil ini kita lakukan dengan menjalankan insisi pada

membran timpani sehingga nanah akan keluar dari telinga tengah menuju

liang telinga luar. Luka insisi pada membran timpani akan menutup

kembali, sedangkan apabila terjadi ruptur, lubang tempat perforasi lebih

sulit menutup kembali. Membran timpani mungkin tidak menutup kembali

jikanya tidak utuh lagi (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).

Gambar 6. Membran Timpani Bulging dengan Pus Purulen

15

Page 16: Presus OMA

4. Stadium Perforasi

Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga

sekret berupa nanah yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga

tengah ke liang telinga luar. Kadang-kadang pengeluaran sekret bersifat

pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering disebabkan oleh terlambatnya

pemberian antibiotik dan tingginya virulensi kuman. Setelah nanah keluar,

anak berubah menjadi lebih tenang, suhu tubuh menurun dan dapat tertidur

nyenyak.

Jika mebran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau

nanah tetap berlangsung melebihi tiga minggu, maka keadaan ini disebut

otitis media supuratif subakut. Jika kedua keadaan tersebut tetap

berlangsung selama lebih satu setengah sampai dengan dua bulan, maka

keadaan itu disebut otitis media supuratif kronik (Djaafar, 2007; Dhingra,

2007).

Gambar 7. Membran Timpani Peforasi

16

Page 17: Presus OMA

5. Stadium Resolusi

Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali dengan

berkurangnya dan berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh

membran timpani berangsur normal hingga perforasi membran timpani

menutup kembali dan sekret purulen akan berkurang dan akhirnya kering.

Pendengaran kembali normal. Stadium ini berlangsung walaupun tanpa

pengobatan, jika membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan

virulensi kuman rendah.

Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka akan berlanjut

menjadi otitis media supuratif kronik. Kegagalan stadium ini berupa

perforasi membran timpani menetap, dengan sekret yang keluar secara

terus-menerus atau hilang timbul.

Otitis media supuratif akut dapat menimbulkan gejala sisa berupa

otitis media serosa. Otitis media serosa terjadi jika sekret menetap di

kavum timpani tanpa mengalami perforasi membran timpani (Djaafar,

2007; Dhingra, 2007).

Diagnosis

Kriteria Diagnosis OMA

Menurut Kerschner (2007), kriteria diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal

berikut, yaitu:

1. Penyakitnya muncul secara mendadak dan bersifat akut.

2. Ditemukan adanya tanda efusi. Efusi merupakan pengumpulan cairan di

telinga tengah. Efusi dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda

berikut, seperti menggembungnya membran timpani atau bulging, terbatas

atau tidak ada gerakan pada membran timpani, terdapat bayangan cairan di

belakang membran timpani, dan terdapat cairan yang keluar dari telinga.

3. Terdapat tanda atau gejala peradangan telinga tengah, yang dibuktikan

17

Page 18: Presus OMA

dengan adanya salah satu di antara tanda berikut, seperti kemerahan atau

erythema pada membran timpani, nyeri telinga atau otalgia yang

mengganggu tidur dan aktivitas normal.

Menurut Rubin et al. (2008), keparahan OMA dibagi kepada dua kategori,

yaitu ringan-sedang, dan berat. Kriteria diagnosis ringan-sedang adalah terdapat

cairan di telinga tengah, mobilitas membran timpani yang menurun, terdapat

bayangan cairan di belakang membran timpani, membengkak pada membran

timpani, dan otore yang purulen. Selain itu, juga terdapat tanda dan gejala

inflamasi pada telinga tengah, seperti demam, otalgia, gangguan pendengaran,

tinitus, vertigo dan kemerahan pada membran timpani. Tahap berat meliputi

semua kriteria tersebut, dengan tambahan ditandai dengan demam melebihi

39,0°C, dan disertai dengan otalgia yang bersifat sedang sampai berat.

Perbedaan OMA dan Otitis Media dengan Efusi

OMA dapat dibedakan dari otitis media dengan efusi yang dapat

menyerupai OMA. Efusi telinga tengah (middle ear effusion) merupakan tanda

yang ada pada OMA dan otitis media dengan efusi. Efusi telinga tengah dapat

menimbulkan gangguan pendengaran dengan 0-50 decibels hearing loss.

Table 2. Perbedaan Gejala dan Tanda Antara OMA dan Otitis Media dengan Efusi

Gejala dan tanda Otitis Media Akut Otitis Media

dengan Efusi

Nyeri telinga (otalgia), menarik

telinga (tugging)

+ -

Inflamasi akut, demam + -

Efusi telinga tengah + +

18

Page 19: Presus OMA

Membran timpani membengkak

(bulging), rasa penuh di telinga

+/- -

Gerakan membran timpani

berkurang atau tidak ada

+ +

Warna membran timpani

abnormal seperti menjadi putih,

kuning, dan biru

+ +

Gangguan pendengaran + +

Otore purulen akut + -

Kemerahan membrane timpani,

erythema

+ -

Penatalaksanaa

Pengobatan

Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan

pada stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan

pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik. Tujuan

pengobatan pada otitis media adalah untuk menghindari komplikasi intrakrania

dan ekstrakrania yang mungkin terjadi, mengobati gejala, memperbaiki fungsi

tuba Eustachius, menghindari perforasi membran timpani, dan memperbaiki

sistem imum lokal dan sistemik (Titisari, 2005).

19

Page 20: Presus OMA

Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka kembali

tuba Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Diberikan obat

tetes hidung HCl efedrin 0,5 % dalam larutan fisiologik untuk anak kurang dari 12

tahun atau HCl efedrin 1 % dalam larutan fisiologis untuk anak yang berumur atas

12 tahun pada orang dewasa. Sumber infeksi harus diobati dengan pemberian

antibiotik (Djaafar, 2007).

Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan

analgesik. Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin atau eritromisin.

Jika terjadi resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau

sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar

konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis

terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan.

Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi tehadap

penisilin, diberikan eritromisin. Pada anak, diberikan ampisilin 50-100

mg/kgBB/hari yang terbagi da lam empat dosis, amoksisilin atau eritromisin

masing-masing 50 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3 dosis (Djaafar, 2007).

Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien harus dirujuk

untuk melakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga gejala

cepat hilang dan tidak terjadi ruptur (Djaafar, 2007).

Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar, kadang secara

berdenyut atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga (ear toilet) H2O2 3% selama 3

sampai dengan 5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya

sekret akan hilang dan perforasi akan menutup kembali dalam 7 sampai dengan 10

hari (Djaafar, 2007).

Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali, sekret

tidak ada lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya sekret

mengalir di liang telinga luar melalui perforasi di membran timpani. Antibiotik

dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila keadaan ini berterusan, mungkin telah

terjadi mastoiditis (Djaafar, 2007).

20

Page 21: Presus OMA

Sekitar 80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa pemberian antibiotik.

Observasi dapat dilakukan. Antibiotik dianjurkan jika gejala tidak membaik dalam

dua sampai tiga hari, atau ada perburukan gejala. Ternyata pemberian antibiotik

yang segera dan dosis sesuai dapat terhindar dari tejadinya komplikasi supuratif

seterusnya. Masalah yang muncul adalah risiko terbentuknya bakteri yang resisten

terhadap antibiotik meningkat. Menurut American Academy of Pediatrics (2004)

dalam Kerschner (2007), mengkategorikan OMA yang dapat diobservasi dan yang

harus segera diterapi dengan antibiotik sebagai berikut.

Table 3. Kriteria Terapi Antibiotik dan Observasi pada Anak dengan OMA

Usia Diagnosis Pasti (certain) Diagnosis meragukan

(uncertain)

Kurang dari 6 bulan Antibiotik Antibiotik

6 bulan sampai 2 tahun Antibiotik Antibiotik jika gejala

berat, observasi jika

gejala ringan

2 tahun ke atas Antibiotik jika gejala

berat, observasi jika

gejala ringan

Observasi

Diagnosis pasti OMA harus memiliki tiga kriteria, yaitu bersifat akut,

terdapat efusi telinga tengah, dan terdapat tanda serta gejala inflamasi telinga

tengah. Gejala ringan adalah nyeri telinga ringan dan demam kurang dari 39°C

dalam 24 jam terakhir. Sedangkan gejala berat adalah nyeri telinga sedang-berat

atau demam 39°C. Pilihan observasi selama 48-72 jam hanya dapat dilakukan

pada anak usia enam bulan sampai dengan dua tahun, dengan gejala ringan saat

pemeriksaan, atau diagnosis meragukan pada anak di atas dua tahun. Follow-up

dilaksanakan dan pemberian analgesia seperti asetaminofen dan ibuprofen tetap

21

Page 22: Presus OMA

diberikan pada masa observasi (Kerschner, 2007).

Menurut American Academic of Pediatric (2004), amoksisilin merupakan

first-line terapi dengan pemberian 80mg/kgBB/hari sebagai terapi antibiotik awal

selama lima hari. Amoksisilin efektif terhadap Streptococcus penumoniae. Jika

pasien alergi ringan terhadap amoksisilin, dapat diberikan sefalosporin seperti

cefdinir. Second-line terapi seperti amoksisilin-klavulanat efektif terhadap

Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis, termasuk Streptococcus

penumoniae (Kerschner, 2007). Pneumococcal 7- valent conjugate vaccine dapat

dianjurkan untuk menurunkan prevalensi otitis media (American Academic of

Pediatric, 2004).

Pembedahan

Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani OMA rekuren,

seperti miringotomi dengan insersi tuba timpanosintesis, dan adenoidektomi

(Buchman, 2003).

1. Miringotomi

Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran

timpani, supaya terjadi drainase sekret dari telinga tengah ke liang telinga

luar. Syaratnya adalah harus dilakukan secara dapat dilihat langsung, anak

harus tenang sehingga membran timpani dapat dilihat dengan baik. Lokasi

miringotomi ialah di kuadran posterior-inferior. Bila terapi yang diberikan

sudah adekuat, miringotomi tidak perlu dilakukan, kecuali jika terdapat

pus di telinga tengah (Djaafar, 2007). Indikasi miringostomi pada anak

dengan OMA adalah nyeri berat, demam, komplikasi OMA seperti paresis

nervus fasialis, mastoiditis, labirinitis, dan infeksi sistem saraf pusat.

Miringotomi merupakan terapi third-line pada pasien yang

mengalami kegagalan terhadap dua kali terapi antibiotik pada satu episode

OMA. Salah satu tindakan miringotomi atau timpanosintesis dijalankan

terhadap anak OMA yang respon kurang memuaskan terhadap terapi

second-line, untuk menidentifikasi mikroorganisme melalui kultur

22

Page 23: Presus OMA

(Kerschner, 2007).

2. Timpanosintesis

Menurut Bluestone (1996) dalam Titisari (2005), timpanosintesis

merupakan pungsi pada membran timpani, dengan analgesia lokal supaya

mendapatkan sekret untuk tujuan pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis

adalah terapi antibiotik tidak memuaskan, terdapat komplikasi supuratif,

pada bayi baru lahir atau pasien yang sistem imun tubuh rendah. Menurut

Buchman (2003), pipa timpanostomi dapat menurun morbiditas OMA

seperti otalgia, efusi telinga tengah, gangguan pendengaran secara

signifikan dibanding dengan plasebo dalam tiga penelitian prospertif,

randomized trial yang telah dijalankan.

3. AdenoidektomiAdenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi

otitis media dengan efusi dan OMA rekuren, pada anak yang pernah

menjalankan miringotomi dan insersi tuba timpanosintesis, tetapi hasil

masih tidak memuaskan. Pada anak kecil dengan OMA rekuren yang tidak

pernah didahului dengan insersi tuba, tidak dianjurkan adenoidektomi,

kecuali jika terjadi obstruksi jalan napas dan rinosinusitis rekuren

(Kerschner, 2007).

Komplikasi

Sebelum adanya antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi, mulai

dari abses subperiosteal sampai abses otak dan meningitis. Sekarang semua jenis

komplikasi tersebut biasanya didapat pada otitis media supuratif kronik. Mengikut

Shambough (2003) dalam Djaafar (2005), komplikasi OMA terbagi kepada

komplikasi intratemporal (perforasi membran timpani, mastoiditis akut , paresis

nervus fasialis, labirinitis, petrositis), ekstratemporal (abses subperiosteal), dan

intracranial (abses otak, tromboflebitis).

23

Page 24: Presus OMA

Pencegahan

Terdapat beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya OMA. Mencegah

ISPA pada bayi dan anak-anak, menangani ISPA dengan pengobatan adekuat,

menganjurkan pemberian ASI minimal enam bulan, menghindarkan pajanan

terhadap lingkungan merokok, dan lain-lain (Kerschner, 2007).

BAB III

24

Page 25: Presus OMA

PEMBAHASAN

Pasien an. D usian 8 tahun datang dengan keluhan telinga kanan nyeri.

Nyeri dirasakan sudah 1 hari. Anak mengatakan juga disertai demam.

Pendengaran dirasakan anak tidak menurun. Tidak ada riwayat trauma

sebelumnya. Secara garis besar gejala otalgia pada anak sangat mungkin

merupakan gejala klinis OMA. Gejala bergantung pada stadium penyakit serta

umur pasien. Pada anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa

nyeri di dalam telinga, di samping suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat

riwayat batuk pilek sebelumnya. Pada anak yang lebih besar atau pada orang

dewasa, selain rasa nyeri, terdapat gangguan pendengaran berupa rasa penuh di

telinga atau rasa kurang mendengar. Pada bayi dan anak kecil, gejala khas OMA

adalah suhu tubuh tinggi dapat mencapai 39,5°C (pada stadium supurasi), anak

gelisah dan sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare, kejang-kejang

dan kadang-kadang anak memegang telinga yang sakit.

Pada pemeriksaan telinga didapatkan aurikula telinga kanan normal, tragus

pain (+), heliks sign (-), tidak mikrotia. Pada kanalis austikus eksternus telinga

kanan tenang, tampak hiperemis, tidak ada secret, ada serumen. Pada pemeriksaan

membran tympani telinga kanan intak, bulging (+) minimal, refleks cahaya (+),

hiperemi (+), perforasi (-). Telinga kiri semua dalam batas normal. Dalam

pemeriksaan ini anak masuk ke dalam stadium OMA hiperemis. Pada stadium ini,

terjadi pelebaran pembuluh darah di membran timpani, yang ditandai oleh

membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya sekret

eksudat serosa yang sulit terlihat. Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba yang

berpanjangan sehingga terjadinya invasi oleh mikroorganisme piogenik. Proses

inflamasi berlaku di telinga tengah dan membran timpani menjadi kongesti.

Stadium ini merupakan tanda infeksi bakteri yang menyebabkan pasien

mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh dan demam. Pendengaran mungkin

masih normal atau terjadi gangguan ringan, tergantung dari cepatnya proses

hiperemis. Hal ini terjadi karena terdapat tekanan udara yang meningkat di kavum

timpani.

25

Page 26: Presus OMA

Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan

analgesik. Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin atau eritromisin.

Jika terjadi resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau

sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar

konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis

terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan.

Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi tehadap

penisilin, diberikan eritromisin. Pada anak, diberikan ampisilin 50-100

mg/kgBB/hari yang terbagi dalam empat dosis, amoksisilin atau eritromisin

masing-masing 50 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3 dosis. Diberikan obat tetes

hidung (dekongestan), dan obat antipiretik paracetamol 3x500 mg atau

seperlunya.

BAB IV

26

Page 27: Presus OMA

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan klinis pasien pada kasus ini

mengalami OMA stadium hiperemis. Pada stadium ini, terjadi pelebaran

pembuluh darah di membran timpani, yang ditandai oleh membran timpani

mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya sekret eksudat serosa yang sulit

terlihat. Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba yang berpanjangan sehingga

terjadinya invasi oleh mikroorganisme piogenik. Proses inflamasi berlaku di

telinga tengah dan membran timpani menjadi kongesti. Stadium ini merupakan

tanda infeksi bakteri yang menyebabkan pasien mengeluhkan otalgia, telinga rasa

penuh dan demam. Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes

hidung dan analgesik.

DAFTAR PUSTAKA

27

Page 28: Presus OMA

1. Alho, O., Laara, E., Oja, H., 1996. Public Health Impact of Various Risk

Factors for Acute Otitis Media in Northern Finland. Am. J. Epidemiol 143

(11).

2. American Academy of Pediatrics and America Academy of Family

Physicians, 2004. Diagnosis and Management of Acute Otitis Media.

Pediatrics 113(5):1451-1465.

3. Berman, S., 1995. Otitis Media in Children. N Engl J Med 332 (23): 1560-

1565.

4. Bluestone, C.D., Klein, J.O., 1996. Otitis Media, Atelektasis, and

Eustachian Tube Dysfunction. In Bluestone, Stool, Kenna eds. Pediatric

Otolaryngology. 3rd ed. London: WB Saunders, Philadelphia, 388-582.

5. Buchman, C.A., Levine, J.D., Balkany, T.J., 2003. Infection of the Ear. In:

Lee, K.J., ed. Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery. 8th ed.

USA: McGraw-Hill Companies, Inc., 462-511.

6. Commisso, R., Romero-Orellano, F., Montanaro, P.B., Romero-Moroni,

F., Romero-Diaz, R., 2000. Acute Otitis Media: Bacteriology and

Bacterial Resistance in 205 Pediatric Patients. Int. J. Pediatr.

Otorhinolaryngol. 56: 23-31.

7. Djaafar, Z.A., Helmi, Restuti, R.D., 2007. Kelainan Telinga Tengah.

Dalam: Soepardi, E.A., ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, 64-86.

8. Hassan, R., 1985. Usaha Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA). Dalam:

Hassan, R., ed. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian Ilmu

Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 49-58.

9. Hassan, R., 1985. Usaha Kesejahteraan Sekolah. Dalam: Hassan, R., ed.

Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 59-62.

10. Homoe, P., Christensen, R.B., Bretlau, P., 1999. Acute Otitis Media and

28

Page 29: Presus OMA

Sociomedical Risk factors Amongst Unselected Children in Greenland.

Int. J. Pediatr. Otorhinolaryngol. 49: 37-52.

11. Kerschner, J.E., 2007. Otitis Media. In: Kliegman, R.M., ed. Nelson

Textbook of Pediatrics. 18th ed. USA: Saunders Elsevier, 2632-2646.

12. Klein, J.O., 2009. Acute Otitis Media in Children: Epidermiology,

Pathogenesis, Clinical Manifestations, and Complications. Up to Date.

13. Madiyono, B., Moeslichan, S.M., Sastroasmoro, S., Budiman, I.,

Purwanto, S.H., 2008. Perkiraan Besar Sampel. Dalam: Sastroasmoro, S.,

ed. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi ke-3. Jakarta: Sagung

Seto, 302-331.

14. Mora, R., Barbieri, M., Passali, G.C., Sovatzis, A., Mora, F., Cordone,

M.P., 2002. A Preventive Measure for Otitis Media in Children with

Upper Respiratory Tract Infections. Int. J. Pediatr. Otorhinolaryngol. 63:

111-118.

15. Onion, D.K., Taylor, C., 1977. The Epidermiology of Recurrent Otitis

Media. Am. J. Public Health 67 (5).

16. Revai, K., Dobbs, L.A., Nair, S., Patel, J.A., Grady, J.J., Chonmaitree, T.,

2007. Incidence of Acute Otitis Media and Sinusitis Complicating Upper

Respiratory Tract Infection: The Effect of Age. Pediatrics 119 (6).

17. Rubin, M.A., Gonzales, R., Sande, M.A., 2008. Pharyngitis, Sinusitis,

Otitis, and Other Upper Respiratory Tract Infections. In: Fauci, A.S., ed.

Harrysons’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. USA: McGraw-Hill

Companies, Inc., 205-214.

18. Teele, D.W., Klein, J.O., Rosner, B,. The Greater Boston Otitis Media

Study Group. Epidemiology of Otitis Media During the First Seven Years

of Life in Children in Greater Boston: A Prospective, Cohort Study. J.

Infect. Dis. 160 (1): 83-94.

19. Titisari, H., 2005. Prevalensi dan Sensitivitas Haemophilus Influenzae

pada Otitis Media Akut di PSCM dan RSAB Harapan Kita. Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

20. Vernacchio, L., Lesko, S.M., Vezina, R.M., Corwin, M.J., Hunt, C.E.,

29

Page 30: Presus OMA

Hoffman, H.J., Mitchell, A.A., 2004. Racial/Ethnic Disparities in the

Diagnosis of Otitis Media in Infancy. Int. J. Pediatr. Otorhinolaryngol.

68: 795-804.

21. Zakzuok, S.M., Jamal, T.S., Daghistani, K.J., 2002. Epidermiology of

Acute Otitis Media Among Saudi Children. Int. J. Pediatr.

Otorhinolaryngol. 62: 219-222.

30