BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DERMATITIS ATOPIK
1. DEFINISI
Dermatitis atopik adalah keadaan peradangan kulit kronis dan
residif, disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa
bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE
dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga atau penderita
(dermatitis atopi, rhinitis alergika, asma bronkhiale, dan
konjungtivitis alergika).1
Kata atopi pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923), yaitu
istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang
mempunyai kepekaan dalam keluarganya. Misalnya : asma bronchial,
rhinitis alergika, dermatitis atopi, dan konjungtivitis
alergika1.
2. SINONIM
Banyak istilah dermatitis atopik lain yang digunakan, misalnya :
ekzema konstitusional, fleksural eczema, disseminated
neurodermatitis, prurigo basiler1.
3. EPIDEMIOLOGI
Oleh karena definisi secara klinis tidak ada yang tepat maka
untuk menginterpretasikan hasil penelitian epidemiologi harus
berhati-hati. Berbagai penelitian menyatakan bahwa prevalensi D.A
makin meningkat sehingga merupakan masalah kesehatan besar. Di
Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Australia dan Negara industri lain,
prevalensi D.A pada anak mencapai 10-20%, sedangkan pada kira-kira
1-3 %. Di negara agraris, misalnya Cina,Eropa Timur, Asia Tengah,
prevalensi D.A jauh lebih rendah. Wanita lebih banyak menderita D.A
daripada pria dengan rasio 1,3:1. Berbagai faktor lingkungan
berpengaruh terhadap prevalensi D.A misalnya jumlah keluarga
kecil,pendidikan ibu makin tinggi, penghasilan meningkat, migrasi
dari desa ke kota, dan meningkatnya penggunakan antibiotik,
berpotensi menaikan jumlah penderita D.A.
Sedangkan rumah yang berpenghuni banyak, meningkatnya jumlah
keluarga, urutan lahir makin belakang, sering mengalami infeksi
sewaktu kecil, akan melindungi kemungkinan timbul D.A pada kemudian
hari. 1
D.A cenderung diturunkan. Lebih dari seperempat anak dari
seorang ibu yang menderita atopi akan mengalami D.A pada masa
kehidupan tiga bula pertama. Bila salah satu orang tua menderita
atopi, lebih dari seperuh jumlah anak akna mengalami gejala alergi
sampai usia dua tahun, dan meningkat sampai 79% bila kedua orang
tua menderita atopi. Resiko mewarisi D.A lebih tinggi bila ibu yang
menderita D.A dibandingkan dengan ayah. Tetapi, bila D.A yang
dialami berlanjut hingga masa dewasa, ,maka resiko untuk mewariskan
untuk anaknya sama saja yaitukira-kira 50%1.
4. ETIOPATOGENESIS
Respons Imun Pada Kulit
Sitokin TH2 dan TH1 berperan dalam patogenesis peradangan kulit
D.A. Jumlah TH2 lebih banyak pada penderita atopi, sebaliknya TH1
menurun. Pada kulit 'normal' (tidak ada kelainan kulitnya)
penderita D.A. bila dibandingkan dengan kulit normal orang yang
bukan penderita D.A., ditemukan lebih banyak sel-sel yang
mengekspresikan mRNA IL-4 dan IL-13, tetapi bukan IL-5, IL-12, atau
IFN-y. Pada lesi akut dan kronis bila dibandingkan dengan kulit
normal atau kulit yang tidak ada lesinya penderita D.A.,
menunjukkan jumlah yang lebih besar sel-sel yang mengekspresikan
mRNA IL-4, IL-5, dan IL-13. Tetapi pada lesi akut tidak banyak
mengandung sel yang mengekspresikan mRA IFN-y atau IL-12. Lesi
kronis D.A. mengandung sangat sedikit sel yang mengekspresikan mRNA
IL-4 dan IL-13, tetapi jumlah sel yang mengekpresikan mRNA IL-5,
GM-CSF,IL-12, dan IFN-y, meningkat bila dibandingkan dengan yang
akut. Peningkatan IL-12 pada lesi kronis D.A. berperan dalam
perkembangan TH1. 1
Sel T yang teraktivasi di kulit juga akan menginduksi apoptosis
keratinosit, sehingga terjadi spongiosis. Proses ini diperantarai
oleh IFN-y yang dilepaskan sel T teraktivasi dan meningkatkan Fas
dalam keratinosit.
Berbagai kemokin ditemukan pada lesi kulit D.A. yang dapat
menarik sel-sel, misalnya eosinofil, limfosit T, dan monosit, masuk
ke dalam kulit.
Pada D.A. kronis, ekspresi IL-5 akan mempertahankan eosinofil
hidup lebih lama dan menggiatkan fungsinya, sedangkan peningkatan
ekspresi GM-SCF mempertahankan hidup dan fungsi monosit, sel
Langerhans, dan eosinofil. Produksi TNF-a dan IFN-y pada D.A.
memicu kronisitas dan keparahan dermatitis. Stimulasi TNF-a dan
IFN-y pada keritinosit epidermal akan meningkatkan jumlah RANTES
(regulated on activation, normal T cell expressed and secreted).
Garukan kronis dapat menginduksi terlepasnya TNF-a dan sitokin
proinflamasi yang lain dari epidermis, sehingga mempercepat
timbulnya peradangan di kulit D.A. 1
IL-4 meningkatkan perkembangan TH2, sedangkan IL-12 yang
diproduksi oleh makrofag, sel berdendrit,atau eosinofil,
menginduksi TH1. Subunit reseptor IL-12RP2 diekpresi pada TH1 tidak
pada TH2. Sedangkan ekspresi IL-12RP2 dihambat oleh IL-4, tetapi
sebaliknya diinduksi oleh IL-12, IFN-a, dan IFN-y. IL-4 juga
menghambat produksi IFN-y dan menekan deferensiasi sel TH1. Sel mas
dan basofil juga merupakan sumber sitokin tipe TH2, sehingga
ekspresi IL-4 oleh sel T, sel mas/basofilpada D.A. akan merangsang
perkembangan sel TH2.
Sel mononuklear penderita D.A. meningkatkan aktivitas enzim
cyclic-adenosine monophosphate (CAMP) phosphodiesterase (PDE), yang
akan meningkatkan sintesis IgE oleh sel B dan produksi IL-4 oleh
sel T. Produksi IgE dan IL-4 secara in vitro dapat diturunkan oleh
penghambat PDE (PDEinhibitor). Sekresi IL-10 dan PGE2 dari monosit
juga meningkat; kedua produk ini menghambat IFN-y yang dihasilkan
oleh sel T.
Sel Langerhans (SL) pada kulit penderita D.A. adalah abnormal,
dapat secara langsung menstimulasi sel TH tanpa adanya antigen;
secara selektif dapat mengaktivasi sel TH menjadi fenotip TH2. SL
yang mengandung IgE meningkat;sel ini mampu mempresentasikan
alergen tungau debu rumah (D. pteronyssinus) kepada sel T. SL yang
mengandung IgE setelah menangkap allergen akan mengaktifkan sel TH2
memori di kulit atopi, juga bermigrasi ke kelenjar getah bening
setempat untuk menstimulasi sel T nai've sehingga jumlah sel TH2
bertambah banyak.
SL pada kulit normal mempunyai tiga macam reseptor untuk IgE,
yaitu FceRII, FceRII (CD23), dan IgE-binding protein. Reseptor
FceRI mempunyai afinitas kuat untuk mengikat IgE. IgE terikat pada
SL melalui reseptor spesifik FceRI pada permukaan SL. Pada orang
normal dan penderita alergi saluran napas kadar ekpresi FceRI di
permukaan SLnya rendah, sedangkan di lesi ekzematosa D.A. tinggi.
Ada korelasi antara ekspresi permukaan FceRI dan kadar IgE dalam
serum. Selain pada SL, reseptor IgE dengan afinitas tinggi (FceRI)
juga ditemukan pada permukaan sel mas dan monosit.
Kadar seramid pada kulit penderita D.A. berkurang sehingga
kehilangan air (transepidermal water loss=TEWL) melalui epidermis
dipermudah. Hal ini mempercepat absorbsi antigen ke dalam kulit.
Sebagaimana diketahui bahwa sensitisasi epikutan terhadap alergen
menimbulkan respons TH2 yang lebih tinggi daripada melalui sistemik
atau jalan udara, maka kulit yang terganggu fungsi sawarnya
merupakan tempat yang sensitif. 1
Respons Sistemik
Jumlah IFN-y yang dihasilkan oleh sel mononuklear darah tepi
penderita D.A. menurun, sedangkan konsentrasi IgE dalam serum
meningkat. IFN-y menghambat sintesis IgE, proliferasi sel TH2 dan
ekspresi reseptor IL-4 pada sel T. Sel T spesifik untuk alergen di
darah tepi meningkat dan memproduksi IL-4, IL-5, IL-13 dan sedikit
IFN-y. IL-4 dan IL-13 merupakan sitokin yang menginduksi
transkripsi pada ekson C sehingga terjadi pembentukan IgE. IL-4 dan
IL-13 juga menginduksi ekspresi molekul adesi permukaan pembuluh
darah, misalnya VCAM-1 (vascular cell adhesion molecular-1),
infiltrasi eosinofil, dan menurunkan fungsi sel TH1.
Sel monosit di darah tepi penderita D.A. diaktivasi, mempunyai
insidens apoptosis spontan rendah, tidak responsif terhadap induksi
apoptosis IL-4. Hambatan apoptosis ini disebabkan oleh meningkatnya
produksi GM-CSF oleh monosit yang beredar pada D.A.
Berbagai Faktor Pemicu
Dermatitis atopik dibagi menjadi 2 tipe: (1) bentuk murni -
tidak disertai keterlibatan saluran pernafasan, dan (2) bentuk
campuran - disertai gejala pada saluran pernafasan dan terdapatnya
sensitisasi IgE polivalen terhadap alergen hirup dan alergen
makanan.
Bentuk murni dibagi atas 2 tipe, yaitu (a) tipe intrinsik tidak
tedeteksi adanya sensitasi IgE spesifik dan tidak terdapatya
peningkatan IgE total serum, dan (b) tipe ekstrinsik terdapat bukti
sensitisasi terhadap alergen hirup dan alergen makanan pada uji
kulit atau pada serum.
Dermatitis atopik merupakan sindrom multifaktorial; berbagai
faktor berkaitan dengan fenotip penyakit sehingga perlu dicermati
berbagai fakto risiko, yaitu:
1. Genetik: diketahui bahwa kecenderungan mendapat penyakit
atopi diturunkan secara autosomal dominan; 75% anak akan mengalami
alergi bila kedua orang tua mempunyai riwayat alergi.
2. Sosioekonomi: lebih banyak ditemukam pada status sosial yang
lebih tinggi dibandingkan dengan status sosial yang lebih rendah.
Hal tersebut dapat diterangkan dengan teori higiene.
3. Laktasi: makin lama mendapat air susu ibu makin kecil
kemungkinan untuk mendapat dermatitis atopik
4. Polusi lingkungan, antara lain daerah industri dengan
peningkatan polusi udara, pemakaian pemanas ruangan sehingga
terjadi peningkatan suhu dan penurunan kelembaban udara, water
hardeness, asap roklok, penggunaan pendingin ruangan yang
berpengaruh pula pada kelemban, penggunanan shampo dan sabun yang
berlebihan, dan detergen yang tidak dibilas dengan sempurna. 1
5. GAMBARAN KLINIS
Kulit penderita D.A. umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid di
epidermis berkurang, dan kehilangan air lewat epidermis meningkat.
Jari tangan teraba dingin. Penderita D.A. cenderung tipe astenik,
dengan inteligensia di atas rata-rata, sering merasa cemas, egois,
frustrasi, agresif, atau merasa tertekan.
Gejala utama D.A. Jalah (pruritus), dapat hilang timbul
sepanjang hari, tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari.
Akibatnya penderita akan menggaruk sehingga timbul bermacam-macam
kelainan di kulit berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi,
ekskoriasi, eksudasi, dan krusta.
D.A. dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu: D.A. infantil
(terjadi pada usia 2 bulan sampai 2 tahun; D.A. anak (2 sampai 10
tahun); dan D.A. pada remaja dan dewasa1.
D.A. infantil (usia 2 bulan sampai 2 tahun)
D.A. paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan, biasanya
setelah usia 2 bulan. Lesi mulai di muka (dahi, pipi) berupa
eritema, papulo-vesikel yang halus, karena gatal digosok, pecah,
eksudatif, dan akhirnya terbentuk krusta. Lesi kemudian meluas ke
tempat lain yaitu ke skalp, leher, pergelangan tangan, lengan dan
tungkai. Bila anak mulai merangkak, lesi ditemukan di lutut.
Biasanya anak mulai menggaruk setelah berumur 2 bulan. Rasa gatal
yang timbul sangat mengganggu sehingga anak gelisah, susah tidur,
dan sering menangis. Pada umumnya lesi D.A. infantil eksudatif,
banyak eksudat, erosi, krusta dan dapat mengalami infeksi. Lesi
dapat meluas generalisata bahkan, walaupun jarang, dapat terjadi
eritroderma. Lambat laun lesi menjadi kronis dan residif.
Sekitar usia 18 bulan mulai tampak likenifikasi. Pada sebagian
besar penderita sembuh setelah usia 2 tahun, mungkin juga
sebelumnya, sebagian lagi berlanjut menjadi bentuk anak. Pada saat
itu penderita tidak lagi mengalami eksaserbasi, bila makan makanan
yang sebelumnya menyebabkan kambuh penyakitnya.
Larangan makan atau minuman yang mengandung susu sapi pada bayi
masih ada silang pendapat. Ada yang melaporkan bahwa kelainan
secara dramatis membaik setelah makanan tersebut dihentikan,
sebaliknya ada pula yang mendapatkan tidak ada perbedaan1.
D.A. pada anak (usia 2 sampai 10 tahun)
Dapat merupakan kelanjutan bentuk infantil, atau timbul sendiri
(de novo). Lesi lebih kering, tidak begitu eksudatif, lebih banyak
papul, likenifikasi, dan sedikit skuama. Letak kelainan kulit di
lipat siku, lipat lutut, pergelangan tangan bagian fleksor, kelopak
mata, leher, jarang di muka. Rasa gatal menyebabkan penderita
sering menggaruk; dapat terjadi erosi, likenifikasi, mungkin juga
mengalami infeksi sekunder. Akibat garukan, kulit menebal dan
perubahan lainnya yang menyebabkan gatal, sehingga terjadi
lingkaran setan siklus gatal-garuk. Rangsangan menggaruk sering di
luar kendali. Penderita sensitif terhadap, wol, bulu kucing dan
anjing, juga bulu ayam, burung dan sejenisnya.1.
D.A. pada remaja dan dewasa
Lesi kulit D.A. pada bentuk ini dapat berupa plak
papular-eritematosa dan berskuama, atau plak likenifikasi yang
gatal. Pada D.A. remaja lokalisasi lesi di lipat siku, lipat lutut,
dan samping leher, dahi, dan sekitar mata. Pada D.A. dewasa,
distribusi lesi kurang karakteristik, sering mengenai tangan dan
pergelangan tangan, dapat pula ditemukan setempat, misalnya di
bibir (kering, pecah, bersisik), vulva, puting susu, atau skalp.
Kadang erupsi meluas, dan paling parah di lipatan, mengalami
likenifikasi. Lesi kering, agak menimbul, papul datar dan cenderung
bergabung menjadi plak likenifikasi dengan sedikit skuama, dan
sering tejadi eksoriasi dan eksudasi karena garukan. Lambat laun
terjadi hiperpigmentasi.
Lesi sangat gatal, terutama pada malam hari waktu beristirahat.
Pada orang dewasa sering mengeluh bahwa penyakitnya kambuh bila
mengalami stres. Mungkin karena stres dapat menurunkan ambang
rangsang gatal. Penderita atopik memang sulit mengeluarkan
keringat, sehingga rasa gatal timbul bila mengadakan latihan fisik.
Pada umumnya D.A. remaja atau dewasa berlangsung lama, kemudian
cenderung menurun dan membaik (sembuh) setelah usia 30 tahun,
jarang sampai usia pertengahan; hanya sebagian kecil terus
berlangsung sampai tua. Kulit penderita D.A. yang telah sembuh
mudah gatal dan cepat meradang bila terpajan oleh bahan iritan
eksogen.
Penderita atopik berisiko tinggi menderita dermatitis tangan,
kira-kira 70% suatu saat dapat mengalaminya. D.A. pada tangan dapat
mengenai punggung maupun telapak tangan, sulit dibedakan dengan
dermatitis kontak. D.A. di tangan biasa timbul pada wanita muda
setelah melahirkan anak pertama, ketika sering terpajan sabun dan
air sebagai pemicunya.
Berbagai kelainan dapat menyertai DA, misalnya: hipedinearis
palmaris, xerosis kutis, iktiosis, pomfoliks, pitiriasis alba,
keratosis pilaris, lipatan Dennie Morgan, penipisan alis bagian
luar (tanda Hertoghe), keilitis, katarak subkapsular anterior,
lidah geografik, liken spinulosus, dan keratokonus (bentuk kornea
yang abnormal). Selain itu penderita D.A. cenderung mudah mengalami
kontak urtikaria, reaksi anafilaksis terhadap obat, gigitan atau
sengatan serangga1.
6. DIAGNOSIS
Diagnosis D.A. didasarkan kriteria yang disusun oleh Hanifin dan
Rajka yang diperbaiki oleh kelompok kerja dari Inggris yang
dikoordinasi oleh Williams (1994)1.
Kriteria mayor
Pruritus
Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak
Dermatitis di fleksura pada dewasa
Dermatitis kronis atau residif
Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya
Kriteria minor
Xerosis
Infeksi kulit (khususnya oleh S.aureus dan virus herpes
simpleks)
Dermatitis nonspesifik pada tangan atau kaki
lktiosis/hipediniar palmads/keratosis pilaris
Pitiriasis alba
Dermatitis di papila mame
White dermographism dan delayed blanch response
Keilitis
Lipatan infra orbital Dennie-Morgan
Konjungtivitis berulang
Keratokonus
Katarak subkapsular anterior
Orbita menjadi gelap
Muka pucat atau eritem
Gatal bila berkeringat
Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak
Aksentuasi perifolikular
Hipersensitif terhadap makanan
Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau
emosi
Tes kulit alergi tipe dadakan positif
Kadar IgE di dalam serum meningkat
Awitan pada usia dini1.
Diagnosis D.A. harus mempunyai tiga kriteria mayor dan tiga
kriteria minor. Untuk bayi, kriteria diagnosis dimodifikasi
yaitu:
Tiga kriteria mayor berupa:
riwayat atopi pada keluarga,
dermatitis di muka atau ekstensor,
pruritus,
ditambah tiga kriteria minor
xerosis/iktiosis/hiperliniaris palmaris, aksentuasi
perifolikular,
fisura belakang telinga,
skuama di skalp kronis1.
Kriteria major dan minor yang diusulkan oleh Hanifin dan Rajka
didasarkan pengalaman klinis. Kriteria ini cocok untuk diagnosis
penelitian berbasis rumah sakit (hospital based) dan eksperimental,
tetapi tidak dapat dipakai pada penelitian berbasis populasi,
karena kriteria minor umumnya ditemukan pula pada kelompok kontrol,
di samping juga belum divalidasi terhadap diagnosis dokter atau
diuji untuk pengulangan (repeatability). Oleh karena itu kelompok
kerja Inggris (UK working party) yang dikoordinasi oleh William
memperbaiki dan meyederhanakan kriteria Hanifin dan Rajka menjadi
satu set kriteria untuk pedoman diagnosis D.A. yang dapat diulang
dan divalidasi. Pedoman ini sahih untuk orang dewasa, anak,
berbagai ras, dan sudah divalidasi dalam populasi, sehingga dapat
membantu dokter Puskesmas membuat diagnosis1.
Pedoman diagnosis D.A. yang diusulkan oleh kelompok tersebut
yaitu:
Harus mempunyai kondisi kulit gatal (itchy skin) atau dari
laporan orang tuanya bahwa anaknya suka menggaruk atau
menggosok.
Ditambah 3 atau lebih kriteria berikut:
1. Riwayat terkenanya lipatan kulit, misalnya lipat siku,
belakang lutut, bagian depan pergelangan kaki atau sekeliling leher
(termasuk pipi anak usia di bawah 10 tahun).
2. Riwayat asma bronkial atau hay fever pada penderita (atau
riwayat penyakit atopi pada keluarga tingkat pertama dari anak di
bawah 4 tahun).
3. Riwayat kulit kedng secara umum pada tahun terakhir.
4. Adanya dermatitis yang tampak di lipatan (atau dermatitis
pada pipi/dahi dan anggota badan bagian luar anak di bawah 4
tahun).
5. Awitan di bawah usia 2 tahun (tidak digunakan bila anak di
bawah 4 tahun).
Gambar 1. Tempat Predileksi Dermatitis Atopik
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Tidak ada hasil laboratorium yang spesifik yang dapat
dipergunakan untuk menegakkan diagnosis dermatitis atopik.
2. Dermatografisme putih
Penggoresan pada kulit normal akan menimbulkan tiga respon yakni
berturut-turut akan terlihat: Garis merah ditempat penggoresan
selama 15 detik, warna merah disekitarnya selama beberapa detik,
edema timbul setelah beberapa menit. Penggoresan pada penderita
yang atopi akan bereaksi belainan. Garis merah tidak disusul warna
kemerahan, tetapi kepucatan selama 2 detik sampai 5 menit,
sedangkan edema tidak timbul.3
3. Percobaan asetil kolin
Suntikan secara intra kutan solusio asetilkolin 1/5000 akan
menyebabkan hyperemia pada orang normal. Pada orang dengan
dermatitis atopi akan timbul vasokonstriksi terlihat kepucatan
selama satu jam3.
4. Percobaan histamin
Jika histamin fosfat disuntikkan pada lesi penderita dermatitis
atopi eritema akan berkurang dibandingkan orang lain sebagai
kontrol. Kalau obat tersebut disuntikkan parenteral, tampak eritema
bertambah pada kulit orang normal3.
7. DIAGNOSIS BANDING
Penyakit
Gambaran klinis
Seboroik dermatitis
Berminyak, squama, riwayat keluarga tidak ada
Psoriasis
Plak pada daerah ekstensor, skalp, gluteus, pitted nail
Neurodermatitis
Gatal, soliter, riwayat keluarga tidak ada
Contact dermatitis
Riwayat kontak, ruam di tempat kontak, riwayat keluarga tidak
ada
Skabies
Papul, sela jari, positif ditemukan tungau
Sistemik
Riwayat, pemeriksaan fisik. Pemeriksaan banyak sesuai dengan
penyakit
Dermatitis herpetiforme
Vesikel berkelompok di daerah lipatan
Dermatofita
Plak dengan sentral healing, KOH negatif
Immmunodefisiensi disorder.
Riwayat infeksi berulang4
8. PENATALAKSANAAN
Kulit penderita D.A. cenderung lebih rentan terhadap bahan
iritan, oleh karena itu penting untuk mengidentifikasi kemudian
menyingkirkan faktor yang memperberat dan memicu siklus
gatal-garuk, misalnya sabun dan deterjen; kontak dengan bahan
kimia, pakaian kasar, pajanan terhadap panas atau dingin yang
ekstrim. Bila memakai sabun hendaknya yang berdaya larut minimal
terhadap lemak dan mempunyai pH netral. Pakaian baru sebaiknya
dicuci terlebih dahulu sebelum dipakai untuk membersihkan
formaldehid atau bahan kimia tambahan. Mencuci pakaian dengan
deterjen harus dibilas dengan baik, sebab sisa deterjen dapat
bersifat iritan. Kalau selesai berenang harus segera mandi untuk
membilas klorin yang biasanya digunakan pada kolam renang. Stres
psikik juga dapat menyebabkan eksaserbasi DA. Usahakan tidak
memakai pakaian yang bersifat iritan (misalnya wol, atau sintetik),
bahan katun lebih baik. Kulit anak/bayi dijaga tetap tertutup
pakaian untuk menghindari pajanan iritan atau trauma garukan. Mandi
dengan pembersih yang mengandung pelembab; hindari pembersih
antibakterial karena berisiko menginduksi resistensi1.
PENGOBATAN TOPIKAL
Hidrasi kulit. Kulit penderita D.A. kering dan fungsi sawarnya
berkurang, mudah retak sehingga mempermudah masuknya mikroorganisme
patogen, bahan iritan dan alergen. Pada kulit yang demikian perlu
diberikan pelembab, misalnya krim hidrofilik urea 10%; dapat pula
ditambahkan hidrokortison 1% di dalamnya. Bila memakai pelembab
yang mengandung asam laktat, konsentrasinya jangan lebih dari 5%,
karena dapat mengiritasi bila dermatitisnya masih aktif. Setelah
mandi kulit dilap, kemudian memakai emolien agar kulit tetap
lembab. Emolien dipakai beberapa kali sehari, karena lama kerja
maksimum 6 jam.
Kortikosteroid topikal. Pengobatan D.A. dengan kortikosteroid
topikal adalah yang paling sering digunakan sebagai anti-inflamasi
lesi kulit. Namun demikian harus waspada karena dapat terjadi efek
samping yang tidak diinginkan.
Pada bayi digunakan salap steroid berpotensi rendah, misalnya
hidrokortison 1 %-2.5%. Pada anak dan dewasa dipakai steroid
berpotensi menengah, misalnya triamsinolon, kecuali pada muka
digunakan steroid berpotensi lebih rendah. Kortikosteroid
berpotensi rendah juga dipakai di daerah genitalia dan
intertriginosa, jangan digunakan yang berpotensi kuat, misalnya
fluorinated glucocorticoid. Bila aktivitas penyakit telah
terkontrol, dipakai secara intermiten, umumnya 2 kali seminggu,
untuk menjaga agar tidak cepat kambuh; sebaiknya dengan
kortikosteroid yang potensinya paling rendah.
Pada lesi akut yang basah dikompres dahulu sebelum digunakan
steroid, misalnya dengan larutan Burowi, atau dengan larutan
permanganas kalikus 1:50001.
Imunomodulator topikal
Takrolimus. Takrolimus (FK-506), suatu penghambat calcineurin,
dapat diberikan dalam bentuk salap 0,03% untuk anak usia 2-15
tahun; untuk dewasa 0,03% dan 0,1%. Takrolimus menghambat aktivasi
sel yang terlibat dalam D.A. yaitu: sel Langerhans, sel T, sel mas,
dan keratinosit. Pada pengobatan jangka panjang dengan salep
takrolimus, koloni S. aureus menurun. Tidak ditemukan efek samping
kecuali rasa seperti terbakar setempat. Tidak menyebabkan atrofi
kulit seperti pada pemakaian kortikosteroid; dapat digunakan di
muka dan kelopak mata.
Pimekrolimus. Dikenal juga dengan ASM 81, suatu senyawa
askomisin yaitu imunomodulator golongan makrolaktam, yang pertama
ditemukan dari hasil fermentasi Streptomyces hygroscopicus var.
ascomyceticus. Cara kerja sangat mirip siklosporin dan takrolimus
yang dihasilkan dari Streptomyces tsuku-baensis, walaupun ketiganya
berbeda dalam struktur kimianya, yaitu bekerja sebagai pro-drug,
yang baru menjadi aktif bila terikat pada reseptor sitosolik
imunofilin. Reseptor imunofilin untuk askomisin ialah
makrofilin-12. Ikatan askomisin pada makrofilin-12 dalam sitoplasma
sel T, akan menghambat calcineurin (suatu molekul yang dibutuhkan
untuk inisiasi transkripsi gen sitokin), sehingga produksi sitokin
TH1 ( IFN-y dan IL-2) dan TH2 ( IL-4 dan IL-10) dihambat. Askomisin
juga menghambat aktivasi sel mas. Askomisin menghasilkan efek
imunomodulator lebih selektif dalam menghambat fase elisitasi
dermatitis kontak alergik, tetapi respons imun primer tidak
terganggu bila diberikan secara sistemik, tidak seperti takrolimus
dan siklosporin.
Derivat askomisin yang digunakan ialah krim SDZ ASM 981
konsentrasi 1%, mempunyai efektivitas sama dengan krim
klobetasol-17- propionat 0.05% (steroid superpoten), tidak
menyebabkan atrofi kulit (setidaknya selama 4 minggu), aman pada
anak dan dapat dipakai pada kulit sensitif misalnya pada muka dan
lipatan. Cara pemakaian dioleskan 2 kali sehari.
Pimekrolimus dan takrolimus tidak dianjurkan pada anak usia
kurang dari 2 tahun. Penderita yang diobati dengan pimekrolimus dan
takrolimus dinasehati untuk memakai pelindung matahari karena ada
dugaan bahwa kedua obat tersebut berpotensi menimbulkan kanker
kulit.
Preparat ter. Preparat ter mempunyai efek antipruritus dan
anti-inflamasi pada kulit. Dipakai pada lesi kronis, jangan pada
lesi akut. Sediaan dalam bentuk salap hidrofilik, misainya yang
mengandung likuor karbonis detergen 5% sampai 10 %, atau crude coal
tar 1 % sampai 5%.
Antihistamin. Pengobatan D.A. dengan antihistamin topikal tidak
dianjurkan karena berpotensi kuat menimbulkan sensitisasi pada
kulit. Dilaporkan bahwa aplikasi topikal krim doksepin 5% dalam
jangka pendek (satu minggu), dapat mengurangi gatal tanpa terjadi
sensitisasi. Tetapi perlu diperhatikan, bila dipakai pada area yang
luas akan menimbulkan efek samping sedatif1.
PENGOBATAN SISTEMIK
Kortikosteroid. Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk
mengendalikan eksaserbasi akut, dalam jangka pendek, dan dosis
rendah, diberikan berselang-seling (alternate), atau diturunkan
bertahap (tapering), kemudian segera diganti dengan kortikosteroid
topikal. Pemakaian jangka panjang menimbulkan berbagai efek
samping, dan bila dihentikan, lesi yang lebih berat akan muncul
kembali.
Antihistamin. Antihistamin digunakan untuk membantu mengurangi
rasa gatal yang hebat, terutama malam hari, sehingga mengganggu
tidur. Oleh karena itu antihistamin yang dipakai ialah yang
mempunyai efek sedatif, misalnya hidroksisin atau difenhidramin.
Pada kasus yang lebih sulit dapat diberikan doksepin hidroklorid
yang mempunyai efek antidepresan dan memblokade reseptor histamih
H1 dan H2, dengan dosis 10 sampai 75 mg secara oral malam hari pada
orang dewasa.
Anti-infeksi. Pada D.A. ditemukan peningkatan koloni S. aureus.
Untuk yang belum resisten dapat diberikan eritromisin, asitromisin
atau, klaritromisin, sedang untuk yang sudah resisten diberikan
dikloksasilin, oksasilin, atau generasi pertama sefalosporin.
Bila dicurigai terinfeksi oleh virus herpes simpleks
kortikosteroid dihentikan sementara dan diberikan per oral
asiklovir 400 mg 3 kali per hari selama 10 hari, atau 200 mg 4 kali
per hari selama 10 hari.
Interferon. IFN-y diketahui menekan respons IgE dan menurunkan
fungsi dan proliferasi sel TH2. Pengobatan dengan IFN-y rekombinan
menghasilkan perbaikan klinis, karena dapat menurunkan jumlah
eosinofil total dalam sirkulasi.
Siklosporin. D.A. yang sulit diatasi dengan pengobatan
konvensional dapat diberikan pengobatan dengan siklosporin dalam
jangka pendek. Dosis jangka pendek yang dianjurkan per oral: 5
mg/kg berat badan. Siklosporin adalah obat imunosupresif kuat yang
terutama bekerja pada sel T akan terikat dengan cyclophilin (suatu
protein intraselular) menjadi satu kompleks yang akan menghambat
calcineurin sehingga transkripsi sitokin ditekan. Tetapi, bila
pengobatan dengan siklosporin dihentikan umumnya penyakitnya akan
segera kambuh lagi. Efek samping yang mungkin timbal yaitu
peningkatan kreatinin dalam serum, atau bahkan terjadi penurunan
fungsi ginjal dan hipertensi1.
TERAPI SINAR (phototherapy)
Untuk D.A. yang berat dan luas dapat digunakan PUVA
(photochemotherapy) seperti yang dipakai pada psoriasis. Terapi
UVB, atau Goeckerman dengan UVB dan ter juga efektif. Kombinasi UVB
dan UVA lebih baik daripada hanya UVB. UVA bekerja pada sel
Langerhans dan eosinofil, sedangkan UVB mempunyai efek
imunosupresif dengan cara memblokade fungsi sel Langerhans, dan
mengubah produksi sitokin keratinosit1.
9. KOMPLIKASI
Infeksi sekunder.
10. PROGNOSIS
Sulit meramalkan prognosis D.A. pada seseorang. Prognosis lebih
buruk bila kedua orang tuanya menderita DA. Ada kecenderungan
perbaikan spontan pada masa anak, dan sering ada yang kambuh pada
masa remaja. Sebagian kasus menetap pada usia di atas 30 tahun.
Penyembuhan spontan D.A. yang diderita sejak bayi pernah dilaporkan
terjadi setelah umur 5 tahun sebesar 40-60%, terutama kalau
penyakitnya ringan. Sebelumnya juga ada yang melaporkan bahwa 84%
D.A. anak berlangsung sampai masa remaja. Ada pula laporan, D.A.
pada anak yang diikuti sejak bayi hingga remaja, 20% menghilang,
dan 65 % berkurang gejalanya. Lebih dari separo D.A. remaja yang
telah diobati kambuh kembali setelah dewasa.
Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang balk D.A.
yaitu:
DA luas pada anak
menderita rinitis alergik dan asma bronkial
riwayat D.A. pada orang tua atau saudara kandung
awitan (onset) D.A. pada usia muda
anak tunggal
kadar igE serum sangat tinggi.
Diperkirakan 30 hingga 50 persen D.A. infantil akan berkembang
menjadi asma bronkial atau hay fever. Penderita atopi mempunyai
risiko menderita dermatitis kontak iritan akibat kerja di
tangan1.
B. TINEA
1. DEFINISI
Tinea adalah dermatofitosis pada kulit. Kelainan ini dapat
bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang
berlangsung seumur hidup. Dermatofita adalah jamur yang menyebabkan
dermatofitosis. Golongan jamur ini mempunyai sifat mencernakan
keratin. Dermatofita termasuk kleas Fungi imperfecti, yang terbagi
dalam 3 genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton.
Ketiga genus ini mempunyai sifat keratofilik. Berdasarkan lokasi
lesinya, dermatofitosis dibagi menjadi:
a. Tinea kapitis, dermatofitosis pada kulit dan rambut
kepala.
b. Tinea barbe, dermatofitosis pada dagu dan jenggot.
c. Tinea kruris, dermatofitosis pada daerah genitokrural,
sekitar anus, bokong, dan kadang-kadang sampai perut bagian
bawah.
d. Tinea pedis et manum, dermatofitosis pada kaki dan
tangan.
e. Tinea unguium, dermatofitosis pada kuku jari tangan dan
kaki.
f. Tinea korporis, dermatofitosis pada bagian lain yang tidak
termasuk bentuk kelima tinea di atas.
Selain 6 bentuk tinea diatas masih dikenal istilah yang
mempunyai arti khusus yang dapat dianggap sebagai sinonim tinea
korporis, yaitu:
a. Tinea imbrikata: dermatofitosis dengan susunan skuama yang
konsentris dan disebabkan Trichophyton concentricum
b. Tinea favosa atau favus: dermatofitosis yang terutama
disebabkan oleh Trichophyton schoenleini yang secara klinis
berbentuk skutula dan berbau seperti tikus (mousy odor)
c. Tinea fasialis, tinea aksilaris yang juga menunjukkan daerah
kelainan
d. Tinea sirsinata, arkuata yang merupakan penamaan deskriptif
morfologis.
Tinea Kruris adalah dermatofitosis pada sela paha, perineum dan
sekitar anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan
dapat merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup. Lesi kulit
dapat terbatas pada daerah genito-krural saja atau bahkan meluas ke
daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah atau
bagian tubuh yang lain. Efflorosensi pada tinea kruris terdiri dari
bermacam-macam bentuk yang primer dan sekunder (polimorfi). Tinea
kruris mempunyai nama lain eczema marginatum, jockey itch, ringworm
of the groin.
2. ETIOLOGI
Penyebab utama dari tinea Trichopyhton rubrum (90%) dan
Epidermophython fluccosum, Trichophyton mentagrophytes (4%),
Trichopyhton tonsurans (6%).3,4
3. EPIDEMIOLOGI
Tinea kruris dapat ditemui diseluruh dunia dan paling banyak di
daerah tropis. Tinea kruris menular melalui kontak langsung atau
kontak dengan baju, handuk, celana penderita (fomites). Jamur ini
sering terjadi pada orang yang kurang memperhatikan kebersihan diri
atau lingkungan sekitar yang kotor dan lembab. Angka kejadian lebih
sering pada orang dewasa, laki-laki 3 kali lebih sering daripada
perempuan. 2
4. PATOFISIOLOGI
Cara penularan jamur dapat secara langsung maupun tidak
langsung. Penularan langsung dapat secara fomitis, epitel, rambut
yang mengandung jamur baik dari manusia, binatang, atau tanah.
Penularan tidak langsung dapat melalui tanaman, kayu yang
dihinggapi jamur, pakaian debu. Agen penyebab juga dapat ditularkan
melalui kontaminasi dengan pakaian, handuk atau sprei penderita
atau autoinokulasi dari tinea pedis, tinea inguium, dan tinea
manum. Jamur ini menghasilkan keratinase yang mencerna keratin,
sehingga dapat memudahkan invasi ke stratum korneum. Infeksi
dimulai dengan kolonisasi hifa atau cabang-cabangnya didalam
jaringan keratin yang mati. Hifa ini menghasilkan enzim keratolitik
yang berdifusi ke jaringan epidermis dan menimbulkan reaksi
peradangan. Pertumbuhannya dengan pola radial di stratum korneum
menyebabkan timbulnya lesi kulit dengan batas yang jelas dan
meninggi (ringworm). Reaksi kulit semula berbentuk papula yang
berkembang menjadi suatu reaksi peradangan.4
5. MANIFESTASI KLINIS
a. Makula eritematus dengan central healing.
b. Gatal .
c. Daerah bersisik.
d. Pada infeksi akut, bercak-bercak mungkin basah dan
eksudatif.
e. Pada infeksi kronis makula hiperpigmentasi dengan skuama
diatasnya dan disertai likenifikasi.
f. Area sentral biasanya hiperpigmentasi dan terdiri atas papula
eritematus yang tersebar dan sedikit skuama.
g. Penis dan skrotum jarang atau tidak terkena (pada tinea
kruris).
h. Perubahan sekunder dari ekskoriasi, likenifikasi, dan
impetiginasi mungkin muncul karena garukan.
i. Infeksi kronis bisa oleh karena pemakaian kortikosteroid
topikal sehingga tampak kulit eritematus, sedikit berskuama, dan
mungkin terdapat pustula folikuler.3,4
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan mikologik untuk membantu penegakan diagnosis terdiri
atas pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pada
pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur diperlukan bahan
klinis berupa kerokan kulit yang sebelumnya dibersihkan dengan
alkohol 70%.
a. Pemeriksaan dengan sediaan basah
b. Pemeriksaan kultur dengan Sabouraud agar
c. Punch biops
d. Penggunaan lampu wood bisa digunakan untuk menyingkirkan
adanya eritrasma dimana akan tampak floresensi merah bata.
7. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
dengan melihat gambaran klinis dan lokasi terjadinya lesi serta
pemeriksaan penunjang seperti yang telah disebutkan dengan
menggunakan mikroskop pada sediaan yang ditetesi KOH 10-20%,
sediaan biakan pada medium Saboraud, punch biopsi, atau penggunaan
lampu wood.4
8. PENATALAKSANAAN
Non-medikamentosa
Edukasi kepada pasien di rumah :
1. Anjurkan agar menjaga daerah lesi tetap kering
2. Bila gatal, jangan digaruk karena garukan dapat menyebabkan
infeksi.
3. Jaga kebersihan kulit dan kaki bila berkeringat keringkan
dengan handuk dan mengganti pakaian yang lembab
4. Gunakan pakaian yang terbuat dari bahan yang dapat menyerap
keringat seperti katun, tidak ketat dan ganti setiap hari.
5. Untuk menghindari penularan penyakit, jangan menggunakan
handuk bersama dengan anggota keluarga yang lain.
Medikamentosa
1. Topikal
a. Golongan Azol
Klotrimazol
Merupakan obat pilihan pertama yang digunakan dalam pengobatan
tinea kruris karena bersifat broad spektrum antijamur yang
mekanismenya menghambat pertumbuhan ragi dengan mengubah
permeabilitas membran sel sehingga sel-sel jamur mati. Pengobatan
dengan clotrimazole ini bisa dievaluasi setelah 4 minggu jika tanpa
ada perbaikan klinis. Penggunaan pada anak-anak sama seperti
dewasa. Obat ini tersedia dalam bentuk krim 1%, solutio, lotio.
Diberikan 2 kali sehari selama 4 minggu.
Mikonazol nitrat
Mekanisme kerjanya dengan selaput dinding sel jamur yang rusak
akan menghambat biosintesis dari ergosterol sehingga permeabilitas
membran sel jamur meningkat menyebabkan sel jamur mati. Tersedia
dalam bentuk cream 2%, solution, lotio, bedak. Diberikan 2 kali
sehari selama 2 minggu. Penggunaan pada anak sama dengan
dewasa.
Ketokonazol
Mekanisme kerja ketokonazole sebagai turunan imidazole yang
bersifat broad spektrum akan menghambat sintesis ergosterol
sehingga komponen sel jamur meningkat menyebabkan sel jamur mati.
Pengobatan dengan ketokonazole dapat dilakukan selama 2-4 minggu.
3,4,8
2. Sistemik
Pengobatan secara sistemik dapat digunakan untuk untuk lesi yang
luas atau gagal dengan pengobatan topikal, berikut adalah obat
sistemik yang digunakan dalam pengobatan tinea kruris:
a. Ketokonazol
Sebagai turunan imidazol, ketokonazol merupakan obat jamur oral
yang berspektrum luas. Kerja obat ini fungistatik. Pemberian
200mg/hari selama 2-4 minggu.
c.Griseofulfin
Termasuk obat fungistatik, bekerja dengan menghambat mitosis sel
jamur dengan mengikat mikrotubuler dalam sel. Obat ini lebih
sedikit tingkat keefektifannya dibanding itrakonazole. Pemberian
dosis pada dewasa 500 mg microsize (330-375 mg ultramicrosize) PO
selama 2-4minggu, untuk anak 10-25 mg/kg/hari po atau 20 mg
microsize /kg/hari.
9. PROGNOSIS
Prognosis penyakit ini baik dengan diagnosis dan terapi yang
tepat asalkan kelembapan dan kebersihan kulit selalu dijaga.
Kekambuhan masih dapat terjadi apabila kulit masih dalam keadaan
lembab dan basah.