PRESENTASI KASUS ERITRODERMA Disusun Oleh : Aulia Rahmawati G1A212015 Pembimbing : dr. Ismiralda Oke, Sp.KK FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PRESENTASI KASUS
ERITRODERMA
Disusun Oleh :
Aulia Rahmawati G1A212015
Pembimbing :
dr. Ismiralda Oke, Sp.KK
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMINRSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2013
HALAMAN PENGESAHAN
ERITRODERMA
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Tugas Mengikuti
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
Disusun oleh :
Aulia Rahmawati G1A212015
Telah dipresentasikan
Pada Tanggal : Oktober 2013
Menyetujui
dr. Ismiralda Oke, Sp.KK
I. PENDAHULUAN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. R
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 53 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan Terakhir : SMP
Status Pernikahan : Sudah Menikah
Alamat : Kemangkon RT/RW 001/004
Agama : Islam
No. CM : 288624
II. ANAMNESIS
Diambil dari autoanamnesis pada tanggal 25 September 2013, pukul 09.00
WIB
Keluhan Utama : Gatal di seluruh tubuh
Keluhan Tambahan : Seluruh tubuh terasa panas dan nyeri, disertai
kulitnya yang kemerahan, pecah-pecah, berkerak,
mengelupas dan terasa perih, sulit istirahat dan
tidur. Selain itu pasien juga mengeluhkan badan
terasa lemas, pusing, serta nafsu makan berkurang.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien dikonsulkan dari bagian Paru-paru ke bagian Imu Penyakit
Kulit dan Kelamin RSUD Prof Dr. Margono Soekarjo Purwokerto dengan
keluhan gatal diseluruh tubuh. Pasien mengeluh gatal di seluruh tubuh
kurang lebih sejak 1 tahun yang lalu. Awalnya gatal hanya disekitar lengan
kemudian meluas sampai seluruh tubuh namun gatal masih bisa ditahan
dan belum mengganggu aktivitas. Sejak 2 bulan sebelum masuk rumah
sakit gatal semakin bertambah setiap harinya sehingga pasien tidak tahan
dan menggaruk-garuk daerah yang gatal sampai tidak bisa tidur dengan
nyenyak. Gatal dirasakan terus menerus sepanjang hari, bertambah gatal
terutama saat stres, kelelahan dan berkeringat. Keluhan sedikit berkurang
setelah minum obat dan diolesi salep yang dibelinya di apotek.
Pasien juga mengeluh seluruh tubuh terasa panas dan nyeri, disertai
kulitnya yang kemerahan, pecah-pecah, berkerak, mengelupas dan terasa
perih. Akibat keluhannya ini pasien mengaku sulit istirahat dan tidur.
Selain itu pasien juga mengeluhkan badan terasa lemas, pusing, serta nafsu
makan berkurang.
Keluhan serupa sudah muncul pertama kali sekitar 1 tahun yang
lalu. Pasien mengaku belum pernah berobat ke dokter kulit, pasien rutin
kontrol ke bagian penyakit dalam untuk mengobati masalah ginjalnya.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien mengaku pernah mengalami keluhan yang sama sejak 1 tahun yang
lalu, terus menerus sepanjang hari dan semakin memberat.
Riwayat tekanan darah tinggi (hipertensi) disangkal.
Penyakit paru-paru disangkal.
Riwayat kencing manis (diabetes mellitus) disangkal.
Riwayat penyakit jantung disangkal.
Riwayat penyakit ginjal diakui sejak 2 tahun yang lalu.
Riwayat alergi makanan dan obat disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat keluhan yang sama disangkal.
Riwayat tekanan darah tinggi (hipertensi) disangkal.
Penyakit paru-paru disangkal.
Riwayat kencing manis (diabetes mellitus) disangkal.
Riwayat penyakit jantung disangkal.
Riwayat penyakit ginjal disangkal.
Riwayat alergi makanan dan obat disangkal.
Riwayat Pengobatan
Pasien menggunakan obat dan salep yang dibelinya di apotek akan tetapi
pasien tidak mengetahui nama dan jenis obat seta salep yang dibelinya.
Selain itu pasien juga mengkonsumsi obat-obatan untuk mengatasi
masalah ginjal serta parunya.
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal bertiga bersama suami dan anaknya. Dua orang anak pasien
sudah menikah dan tinggal terpisah dari keluarga. Pasien menggunakan
Jamkesmas untuk membayar biaya pengobatannya.
III. STATUS GENERALIS
Keadaaan umum : Sedang
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan gizi : Baik, BB: 50 kg, TB: 158 cm
Vital Sign : Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Pernafasan : 24 x/menit
Suhu : 36.6 °C
Kepala
Simetris, mesochepal, rambut hitam-putih, distribusi tidak merata, dan
mudah dicabut, pada kulit kepala tampak eritem disertai makula
hiperpigmentasi generalisata yang ditutupi skuama halus.
Mata
Pupil bulat isokor diameter 3mm/3mm, terdapat reflek cahaya pada
kedua mata, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik.
Hidung
Pada pemeriksaan hidung tidak tampak discharge, nafas cuping hidung,
deviasi septum, maupun deformitas.
Mulut/ Gigi
Bibir tidak sianosis, lidah tidak kotor dan tremor, faring tidak
hiperemis, tonsil T1-T1.
Telinga
Telinga tampak simetris dan tidak tampak discharge.
Leher
Tidak ada pembesaran limfonodi regio servikal.
Thoraks
Cor dan pulmo dalam batas normal.
Abdomen
Agak cembung, BU (+) normal, timpani, supel
Ekstremitas
Akral hangat, edema , sianosis
IV. STATUS DERMATOLOGIKUS
Lokasi : Generalisata
Inspeksi : krusta hampir pada seluruh tubuh, plakat eritematosa
generalisata, yang ditutupi skuama halus disertai makula
hiperpigmentasi.
Palpasi : Hangat
Regio facialis :
Plakat eritematosa generalisata berbatas tegas, yang ditutupi skuama
halus.
Gambar 1. Efloresensi di bagian wajah dan tangan
Gambar 2. Efloresensi di bagian abdomen.
Gambar 3. Efloresensi di bagian ekstrimitas inferior
V. RESUME
a. Perempuan, usia 53 tahun.
b. Keluhan utama : gatal di seluruh tubuh sejak 1 tahun yang lalu
c. Dirasakan terus menerus dan dirasa sangat mengganggu, bertambah
gatal terutama saat stres, kelelahan dan berkeringat, sedikit berkurang
setelah minum obat dan diolesi salep yang dibelinya di apotek.
d. Keluhan tambahan: Seluruh tubuh terasa panas dan nyeri, disertai
kulitnya yang kemerahan, pecah-pecah, berkerak, mengelupas dan
terasa perih, sulit istirahat dan tidur. Selain itu pasien juga
mengeluhkan badan terasa lemas, pusing, serta nafsu makan
berkurang.
e. Riwayat penyakit ginjal diakui, terkontrol.
f. Riwayat konsumsi obat ginjal.
g. Status dermatologis : krusta hampir pada seluruh tubuh, plakat
eritematosa generalisata, yang ditutupi skuama halus disertai makula
hiperpigmentasi.
VI. DIAGNOSA KERJA
Eritroderma
VII. DIAGNOSIS BANDING ETIOLOGI
1. Penyakit sistemik (insufisiensi ginjal)
2. Alergi obat
3. Perluasan penyakit kulit
VIII. PENATALAKSANAAN
1. Non Farmakologi
a. Edukasi tentang eritroderma, pencetus, perjalanannya yang kronik
residif, dan pengobatannya.
b. Anjuran untuk tidak menggaruk atau mengelupas kulit.
c. Menghindari faktor pencetus seperti stress fisik/psikis, infeksi,
paparan sinar matahari.
d. Menjelaskan pasien agar teratur dalam mengonsumsi obat dan
pemakaian obat salep.
e. Menjelaskan prognosis penyakit.
f. Pemantauan efek samping obat.
2. Farmakologi (Pro Rawat Inap, rawat bersama Sp.PD untuk
insufisiensi ginjal)
- IVFD RL 20 tpm
- Injeksi Methylprednisolon 62.5 mg- 0- 0 iv
- Injeksi Ranitidin 2x50 mg iv
- Per oral Loratadin 2x10 mg tablet
- Topikal : inerson + asam salisilat 3%+ LCD 5%+vaselin (2 x oles)
IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
Quo ad cosmeticum : dubia ad malam
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Eritroderma adalah kelainan kulit yang ditandai adanya eritema universalis
(90-100%) dan biasanya disertai skuama. Pada definisi tersebut yang mutlak harus
ada adalah eritema, sedangkan skuama tidak selalu terdapat, pada mulanya tidak
disertai skuama, baru kemudian pada stadium penyembuhan timbul skuama dan
hiperpigmentasi. Dermatitis eksfoliativa dianggap sebagai sinonim dengan
eritroderma meskipun sebenarnya mempunyai pengertian yang agak berbeda.
Pada dermatitis eksfoliativa skuamanya berlapis-lapis. Eritroderma dijelaskan
sebagai dilatasi yang menyebar dari pembuluh darah kutaneus. Apabila proses
inflamasi disetai dengan eritroderma secara substansial akan meningkatkan
proliferasi sel epidermal dan mengurangi waktu transit sel melalui epidermis yang
menimbulkan sisik bertanda (Djuanda, 2007).
B. Etiologi dan klasifikasi
Eritroderma dapat disebabkan oleh akibat alergi obat secara sistemik,
perluasan penyakit kulit, penyakit sistemik termasuk keganasan. Penyakit kulit
dapat menimbulkan eritroderma diantaranya adalah psoriasis 23%, dermatitis
spongiotik 20%, alergi obat 15%, CTCL atau syndrome sezary 5%.
1) Eritroderma yang disebabkan oleh alergi obat biasanya secara sistemik.
Keadaan ini banyak ditemukan pada dewasa muda (Djuanda, 2007). Obat
yang dapat menyebabkan eritroderma adalah arsenik organik, emas, merkuri
(jarang), penisilin, barbiturat. Pada beberapa masyarakat, eritroderma mungkin
lebih tinggi karena pengobatan sendiri dan pengobatan secara tradisional
(Kurniawan, 2007). Waktu mulainya obat ke dalam tubuh hingga timbul
penyakit bervariasi dapat segera sampai dua minggu. Bila ada obat lebih dari
satu yang masuk kedalam badan yang disangka sebagai penyebabnya adalah
obat yang paling sering menyebabkan alergi (Virendra N. Sehgal, 2004).
2) Eritroderma yang disebabkan oleh perluasan penyakit kulit
Eritroderma et causa psoriasis, merupakan eritroderma yang paling
banyak ditemukan dan dapat disebabkan oleh penyakit psoriasis maupun akibat
pengobatan psoriasis yang terlalu kuat misalnya pengobatan topical dengan ter
dengan konsentrasi yang terlalu tinggi (Virendra N. Sehgal, 2004).
Dermatitis seboroik pada bayi juga dapat menyebabkan eritroderma yang
juga dikenal penyakit Leiner. Etiologinya belum diketahui pasti. Usia penderita
berkisar 4-20 minggu. Ptyriasis rubra pilaris yang berlangsung selama beberapa
minggu dapat pula menjadi eritroderma. Selain itu yang dapat menyebabkan
eritroderma adalah pemfigus foliaseus, dermatitis atopik dan liken planus
(Djuanda, 2007).
3) Eritroderma akibat penyakit sistemik termasuk keganasan
Berbagai penyakit atau kelainan alat dalam termasuk infeksi fokal dapat
memberi kelainan kulit berupa eritroderma. Jadi setiap kasus eritroderma yang
tidak termasuk akibat alergi obat dan akibat perluasan penyakit kulit harus
dicari penyebabnya, yang berarti perlu pemeriksaan menyeluruh (termasuk
pemeriksaan laboratorium dan sinar X toraks), untuk melihat adanya infeksi
penyakit pada alat dalam dan infeksi fokal. Ada kalanya terdapat leukositosis
namun tidak ditemukan penyebabnya, jadi terdapat infeksi bakterial yang
tersembunyi (occult infection) yang perlu diobati (Djuanda, 2007).
Tabel 1. Proses yang Berkaitan dengan timbulnya Eritroderma
Penyakit Kulit Penyakit Sistemik Obat-obatan
Dermatitis atopik
Dermatitis kontak
Dematofitosis
Penyakit Leiner
Liken Planus
Mikosis fungoides
Pemfigus foliaceus
Pitriasis rubra
Psoriasis
Sindrom reiter
Dermatitis seboroik
Dermatitis statis
Mikosis fungoides
Penyakit hodgin
Limfoma
Leukemia akut dan
kronis
Multiple mieloma
Karsinoma Paru
Karsinoma rektum
Karsinoma tuba falopii
Dermatitis
Papuloskuamosa pada
AIDS
Sulfonamid
Antimalaria
Penisilin
Sefalosporin
Arsen
Merkuri
Barbiturat
Aspirin
Kodein
4) Eritroderma yang tidak diketahui penyebabnya
Eritroderma yang tidak diketahui penyebabnya ini yakni sekitar 5-10%
dari semua kasus eritroderma. Sebagian para penderita eritroderma yang mula-
mula tidak diketahui penyebabnya ini kemudian berkembang menjadi sindrom
Sezary (Okoduwa, et al., 2009).
Tabel 2. Penyebab Eritroderma pada dewasa.
C. Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya eritroderma belum diketahui dengan jelas, yang
jelas dapat diketahui adalah akibat suatu agent dalam tubuh, maka tubuh bereaksi
berupa pelebaran pembuluh darah kapiler (eritema) yang universal. Kemungkinan
berbagai sitokin yang berperan (Harahap, 2000).
Eritema berarti terjadi pelebaran pembuluh darah yang menyebabkan
aliran darah kekulit meningkat sehingga kehilangan panas bertambah. Akibatnya
penderita merasa dingin dan menggigil. Pada eritroderma kronis dapat terjadi
gagal jantung. Juga dapat terjadi hipotermia akibat peningkatan perfusi kulit.
Penguapan cairan yang makin meningkat dapat menyebabkan dehidrasi. Bila suhu
badan meningkat, kehilangan panas juga meningkat sehingga pengaturan suhu
terganggu. Kehilangan panas menyebabkan hipermetabolisme kompensator dan
peningkatan laju metabolisme basal. Kehilangan cairan oleh transpirasi meningkat
sebanding dengan laju metabolisme basal (Djuanda, 2007).
Kehilangan skuama dapat mencapai 9 gram/m² permukaan kulit atau lebih
sehari sehingga menyebabkan kehilangan protein. Hipoproteinemia dengan
berkurangnya albumin dan peningkatan relatif globulin terutama globulin
merupakan kelainan khas. Edema sering terjadi, kemungkinan disebabkan oleh
pergeseran cairan ke ruang ekstravaskuler.
Eritroderma akut dan kronis dapat mengganggu mitosis rambut dan kuku
berupa kerontokan rambut difus dan kehilangan kuku. Pada eritroderma yang
telah berlangsung berbulan-bulan dapat terjadi perburukan keadaan umum yang
progresif (Harahap, 2000).
D. Gejala klinis
Gambaran klinis eritroderma beraneka ragam dan bervariasi tiap individu.
Kelainan yang paling pertama muncul adalah eritema, yang disebabkan oleh
pembuluh darah, yang umumnya terjadi pada area genitalia, ekstrimitas, atau
kepala. Eritem ini akan meluas sehingga dalam beberapa hari atau minggu seluruh
permukaan kulit akan terkena, yang akan menunjukkan gambaran yang disebut
“red man syndrome” (Fitzpatrick et all., 1996).
Skuama muncul setelah eritema, biasanya setelah 2-6 hari. Skuama adalah
lapisan stratum korneum yang terlepas dari kulit. Skuama berkonsistensi mulai
dari halus sampai kasar. Ukuran skuama bervariasi; pada proses akut akan
berukiran besar, sedangkan pada proses kronik akan berukuran kecil. Warna
skuama yang bervariasi, mulai dari putih hingga kekuningan. Deskuamasi yang
difus dimulai dari daerah lipatan, kemudian menyeluruh. Dapat juga mengenai
membran mukosa, terutama yang disebabkan oleh obat. Bila kulit kepala sudah
terkena, dapat terjadi alopesia, perubahan kuku, dan kuku dapat lepas. Pada
eritroderma, skuama tidak selalu terdapat, misalnya eritroderma karena alergi obat
sistemik, pada mulanya tidak disertai skuama, skuama timbul pada stadium
penyembuhan timbul (Fitzpatrick et all., 1996).
Kulit kepala dapat terlibat, yang akan meluas ke folikel rambut dan kuku.
Kurang lebih 25% dari pasien mengalami alopesia, dan pada banyak kasus, kuku
akan mengalami kerapuhan sebelum lepas seluruhnya. Telapak tangan da kaki
biasaya ikut terlibat, namun jarang mengenai membran mukosa. Sering terjadi
pula bercak hiper dan hipopigmentasi. Pada eritroderma kronis, eritema tidak
begitu jelas karena bercampur dengan hiperpigmentasi (Fitzpatrick et all., 1996).
Epidermis berukuran tipis pada awal proses penyakit dan akan terlihat dan
terasa tebal pada stadium lanjut. Kulit akan terasa kering dengan krusta yang
berwarna kekuningan yang disebabkan serum yang mengering dan kemungkinan
karena infeksi sekunder. Pada beberapa kasus, manifestasi klinis yang muncul
pada eritroderma yang akut menyerupai nekrolisis epidermal toksik, walaupun
secara patofisiologi sangat berbeda (Djuanda, 2007).
Eritroderma akibat alergi obat biasanya secara sistemik sebelum muncul
gejala klinis perlu dikaji ulang untuk menkonfirmasi penyebab terjadinya
eritroderma akibat obat.Pada umumnya alergi ini timbul secara akut dalam waktu
10 hari. Dapat pula bervariasi mulai dari waktu masuknya obat ke dalam tubuh
hingga timbul penyakit dapat segera sampai sampai 2 minggu. Gambaran
klinisnya berupa eritema universal. Pada stadium akut tidak terdapat skuama, pada
stadium penyembuhan baru timbul skuama (Djuanda, 2007).
Eritroderma akibat penyakit kulit, penyakit sistemik dan obat-obatan
sering dijumpai kelainan-kelainan yang mendasarinya yang membantu dalam
menegakkan diagnosis. Sering ditemukan plak psoriasis yang masih tersisa, papul
atau lesi oral likenplanus; gambaran pulau yang khas dari ptiriasis rubra; dan lesi
papuler pada drug eruption (Fitzpatrick et all., 1996). Riwayat psoriasis yang
bersifat kronik dan residif dapat menjadi salah satu penyebab terjadi eritroderma.
Kelainan kulit berupa skuama yang berlapis-lapis dan kasar di atas kulit yang
eritematosa, sirkumskripta Harahap, 2000). Umumnya didapati eritema yang tidak
merata. Pada tempat predileksi psoriasis dapat ditemukan kelainan yang lebih
eritematosa dan agak meninggi dari pada disekitarnya dan skuama ditempat itu
lebih tebal. Kuku juga perlu dilihat, dicari apakah ada pitting nail berupa lekukan
miliar, tanda ini hanya menyokong dan tidak patognomonis untuk psoriasis. Jika
ragu-ragu, pada tempat yang meninggi tersebut dilakukan biosi untuk
pemeriksaan histopatologik. Kadang-kadang biopsi sekali tidak cukup dan harus
dilakukan beberapa kali (Umar, 2011). Penyakit Leiner atau eritroderma
deskuamativum ini biasanya terjadi pada penderita usia penderita antara 4 minggu
sampai 20 minggu. Keadaan umum penderita baik, biasanya tanpa keluhan.
Kelainan kulit berupa eritema universal disertai skuama yang kasar (Djuanda,
2007).
Eritroderma akibat penyakit sistemik termasuk keganasan, berbagai
penyakit atau kelainan alat dalam dapat menyebabkan kelainan kulit berupa
eritroderma. Jadi setiap kasus eritroderma yang tidak termasuk golongan I dan II
harus dicari penyebabnya, yang berarti harus diperiksa secara menyeluruh, apakah
ada penyakit pada alat dalam dan harus dicari pula apakah ada infeksi dalam dan
infeksi fokal. Termasuk di dalam golongan ini ialah sindrome Sezary (Harahap,
2000).
Sindrome sezary termasuk penyakit limfoma, ada yang berpendapat
merupakan stadium dini mikosis fungoides. Penyebabnya belum diketahui, diduga
berhubungan dengan infeksi virus HTLV-V dan dimasukkan kedalam CTCL
(Cutaneous T-Cell Lymphoma) (Okoduwa, et al., 2009). Yang diserang adalah
orang dewasa, mulainya penyakit pada pria rata-rata berumur 64 tahun, sedangkan
pada wanita 53 tahun. Sindrom ini ditandai dengan eritema berwarna merah
membara yang universal disertai skuama dan rasa sangat gatal. Selain itu terdapat
pula infiltrasi pada kulit dan edema. Pada sepertiga hingga setengah para
penderita didapati splenomegali, limfadenopati superfisial, alopesia,
hiperpigmentasi, hiperkeratosis palmaris dan plantaris, serta kuku yang distrofik
(Okoduwa, et al., 2009).
E. Diagnosis
Diagnosis agak sulit ditegakkan, harus melihat dari tanda dan gejala yang
sudah ada sebelumnya misalnya, warna hitam-kemerahan di psoriasis dan di
pilaris rubra pityriasis; perubahan kuku khas psoriasis; likenifikasi, erosi, dan
ekskoriasi di dermatitis atopik dan eksema; menyebar, relatif hiperkeratosis tanpa
skuama, dan pityriasis rubra; ditandai bercak kulit dalam eritroderma di pilaris
rubra pityriasis; hiperkeratotik skala besar kulit kepala, biasanya tanpa rambut
rontok di psoriasis dan dengan rambut rontok di CTCL dan pityriasis rubra,
ektropion mungkin terjadi. Dengan beberapa biopsi biasanya dapat menegakkan
diagnosis (Djuanda, 2007).
F. Diagnosa Banding
Ada beberapa diagnosis banding pada eritorderma (lihat tabel 3.)
Perbedaan Psoriasis Dermatitis Seboroik Pitiriasis Rosea Dermatofitosis Sifilis stadium II
Penyebab Tidak diketahui, diduga
autoimun
Peningkatan aktivitas
kelenjar sebasea
Tidak diketahui Golongan jamur
dermatofita
Treponema pallidum
Predisposisi Pria lebih banyak,
biasanya dewasa
Lebih sering pada pria
dewasa
Pria = wanita, semua
usia
Pria = wanita, semua
usia
Pria = wanita, dewasa,
bayi baru lahir
Predileksi Kulit kepala, perbatasan
daerah tersebut dengan
muka, ekstrimitas bagian
ekstensor terutama siku
dan lutut, kuku dan
daerah lumbosakral
Bagian tubuh yang
banyak mengandung
kelenjar sebasea: kulit
kepala, belakang
telinga, alis mata,
cuping hidung, ketiak,
dada, antarskapula,
suprapubis
Dapat tersebar di
seluruh tubuh
terutama yang tertutup
pakaian
Dapat tersebar di
bagian tubuh
manapun
Genitalia eksterna,
sekitar anus, ketiak,
sudut mulut, inferior
mammae, dapat
mengenai perut,
punggung, tangan
Efloresensi Makula eritematosa
berbatas tegas, miliar-
numular, ditutupi oleh
skuama yang tebal, kasar,
Makula eritematosaa
yang ditutupi papula
miliar difus, skuama
halus putih
Eritema bentuk
lonjong, lentikular-
numular, ditutupi
skuama halus, sumbu
Makula eritematosaa
dengan tepi aktif
disertai papul atau
vesikel, penyembuhan
Bercak-bercak
eritema dengan
skuama berwarna
berlapis-lapis, berwarna
putih mengkilat,
fenomena tetesan lilin,
Auspitz, Koebner
berminyak. Kadang
erosi dengan krusta
kekuningan
panjang lesi seesuai
dengan garis lipatan
kulit, khas: lesi inisial
(herald patch=
medallion) soliter,
bentuk oval, anular,
diameter, jarang > 1
herald patch
sentral, berbatas tegas,
skuama halus, jika
berlangsung kronik
dijumpai likenifikasi
atau hiperpigmentasi
merah tembaga
Manifestasi
lain
Kadang gatal Gatal Gatal, dapat didahului
gejala prodromal
ringan (malaise, nyeri
kepala, sakit
tenggorokan)
Gatal terutama jika
berkeringat
Sering disertai demam
malam hari (dolores
nocturnal),
pembesaran kelenjar
getah bening
Tabel 3. Diagnosis banding eritroderma.
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan darah didapatkan albumin serum yang rendah dan peningkatan
gammaglobulins, ketidakseimbangan elektrolit, protein fase akut meningkat, leukositosis,
maupun anemia ringan (Umar, 2011).
2. Histopatologi
Pada kebanyakan pasien dengan eritroderma histopatologi dapat membantu
mengidentifikasi penyebab eritroderma pada sampai dengan 50% kasus, biopsi kulit dapat
menunjukkan gambaran yang bervariasi, tergantung berat dan durasi proses inflamasi.
Pada tahap akut, spongiosis dan parakeratosis menonjol, terjadi edema. Pada stadium
kronis, akantosis dan perpanjangan rete ridge lebih dominan (Djuanda, 2007).
Eritroderma akibat limfoma, yang infiltrasi bisa menjadi semakin pleomorfik, dan
mungkin akhirnya memperoleh fitur diagnostik spesifik, seperti bandlikelimfoid infiltrat
di dermis-epidermis, dengan sel cerebriform mononuklear atipikal dan Pautrier's
microabscesses.Pasien dengan sindrom Sezary sering menunjukkan beberapa fitur dari
dermatitis kronis, dan eritroderma jinak mungkin kadang-kadang menunjukkan beberapa
gambaran tidak jelas pada limfoma (Djuanda, 2007).
Pemeriksaan immunofenotipe infiltrat limfoid juga mungkin sulit menyelesaikan
permasalahan karena pemeriksaan ini umumnya memperlihatkan gambaran sel T
mmatang pada eritroderma jinak maupun ganas.Pada psoriasis papilomatosis dan
gambaran clubbing lapisan papilerdapat terlihat, dan pada pemfigus foliaseus, akantosis
superficial juga ditemukan.Pada eritroderma ikhtisioform dan ptiriasis rubra pilaris,
biopsi diulang dari tempat-tempat yang dipilih dengan cermat dapat memperlihatkan
gambaran khasnya (Djuanda, 2007).
G. Pengobatan
Umumnya pengobatan eritroderma dengan kortikosteroid. Pada golongan I, yang
disebabkan oleh alergi obat secara sistemik, dosis prednison 3 x 10 mg- 4 x 10 mg.
Penyembuhan terjadi cepat, umumnya dalam beberapa hari – beberapa minggu. Pada
golongan II akibat perluasan penyakit kulit juga diberikan kortikosteroid. Dosis mula
prednison 4 x 10 mg- 4 x 15 mg sehari. Jika setelah beberapa hari tidak tampak perbaikan
dosis dapat dinaikkan.Setelah tampak perbaikan, dosis diturunkan perlahan-lahan. Jika
eritroderma terjadi akibat pengobatan dengan ter pada psoriasis, maka obat tersebut harus
dihentikan.Eritroderma karena psoriasis dapat pula diobati dengan etretinat. Lama
penyembuhan golongan II ini bervariasi beberapa minggu hingga beberapa bulan, jadi tidak
secepat seperti golongan I (Djuanda, 2007).
Pengobatan penyakit Leiner dengan kortokosteroid memberi hasil yang baik. Dosis
prednison 3 x 1-2 mg sehari.Pada sindrome Sezary pengobatannya terdiri atas kortikosteroid
dan sitostatik, biasanya digunakan klorambusil dengan dosis 2- 6 mg sehari. Pada eritroderma
yang lama diberikan pula diet tinggi protein, karena terlepasnya skuama mengakibatkan
kehilangan protein.Kelainan kulit perlu pula diolesi emolien untuk mengurangi radiasi akibat
vasodilatasi oleh eritema, misalnya dengan salep lanolin 10% (Umar, 2011).
H. Komplikasi
1. limfadenopati
2. Hepatomegali
3. Splenomegali
4. Hipotermi
5. Dehidrasi
6. Gagal Jantung
7. Ketidakseimbangan nitrogen (edema, hipoalbuminemia, hilangnya masa otot)
8. Gagal ginjal
9. Kakeksia
10. Alopesia
11. Palmoplantar keratoderma
12. Kelainan pada kuku dan ektropion 2
Gambar 4. Komplikasi Eritroderma.
J. Prognosis
Prognosis eritroderma tergantung pada proses penyakit yang mendasarinya. Kasus
karena penyebab obat dapat membaik setelah obat penggunaan obat dihentikan dan diberikan
terapi yang sesuai. Prognosis kasus akibat gangguan sistemik yang mendasarinya seperti
limfoma akan tergantung pada kondisi keberhasilan pengobatan. Eritroderma disebabkan oleh
dermatosa akhirnya dapat diatasi dengan pengobatan, tetapi mungkin timbul
kekambuhan.Kasus idiopatik adalah kasus yang tidak terduga, dapat bertahan dalam waktu
yang lama, sering kali disertai dengan kondisi yang lemah (Djuanda, 2007).
Eritroderma yang termasuk golongan I, yakni karena alergi obat secara sistemik,
prognosisnya baik. Penyembuhan golongan ini ialah yang tercepat dibandingkan golongan
yang lain. Pada eritroderma yang belum diketahui sebabnya, pengobatan dengan
kortikosteroid hanya mengurangi gejalanya, penderita akan mengalami ketergantungan
kortikosteroid (Imtikhananik, 1992).
Sindrome Sezary prognosisnya buruk, penderita pria umumya akan meninggal setelah
5 tahun, sedangkan penderita wanita setelah 10 tahun. Kematian disebabkan oleh infeksi atau
penyakit berkembang menjadi mikosis fungoides (Imtikhananik, 1992).
III. PEMBAHASAN
Diagnosis eritroderma dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
status dermatologis. Berdasarkan anamnesis yang didapatkan, pasien datang untuk kontrol
dengan keluhan gatal di seluruh tubuh kurang lebih sejak 1 tahun yang lalu. Pasien juga
merasakan panas dan nyeri di seluruh tubuh, serta kulitnya berkerak, kemerahan, pecah-
pecah, berminyak, mengelupas dan terasa perih. Keluhan serupa sudah muncul sejak 1 tahun
yang lalu. Pasien menggunakan obat dan salep yang dibelinya di apotek akan tetapi pasien
tidak mengetahui nama dan jenis obat seta salep yang dibelinya. Selain itu pasien juga
mengkonsumsi obat-obatan untuk mengatasi masalah ginjal serta parunya.
Dari data anamnesis di atas dapat diketahui bahwa perjalanan penyakit yang dialami
pasien ini adalah kronik residif dan semakin memberat. Keluhan yang disampaikan saat
anamnesis merupakan keluhan yang bisa jadi adalah perkembangan dari penyakit sistemik
(insufisiensi ginjal) yang sebelumnya diderita pasien atau pengaruh terapi jangka panjang.
Dari pemeriksaan fisik status dermatologis ditemukan adanya krusta hampir pada
seluruh tubuh, plakat eritematosa generalisata, yang ditutupi skuama halus disertai makula
hiperpigmentasi. Efloresensi ini ditemukan dari kepala sampai ujung kaki.
Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik mengarahkan diagnosis pada penyakit
dermatosis eritroskuamosa. Dermatosis eritroskuamosa ialah penyakit kulit yang terutama
ditandai dengan adanya eritema dan skuama yang terdiri dari psoriasis, parapsoriasis, pitriasis
rosea, eritroderma, dermatitis seboroik, lupus eritematosis, dan dermatofitosis. Dari seluruh
jenis dermatosis eritrokuamosis, eritroderma lah yang dapat dijadikan diagnosis kerja.
Pada eritroderma, gejala dimulai dengan makula eritematosa meluas sampai seluruh
tubuh disertai dengan sensasi gatal dan panas di sekujur tubuh. Bercak eritem tersebut
biasanya mencapai keseluruhan permukaan tubuh dalam 12 – 48 jam tanpa disertai skuama.
Selanjutnya diikuti dengan timbulnya deskuamasi dalam 2 – 6 hari, seringkali dimulai di
daerah-daerah lipatan kulit. Seluruh kulit tampak kemerahan, mengkilat dan mengelupas serta
teraba panas pada palpasi. Pada eritroderma yang disebabkan oleh erupsi obat biasanya
timbul dalam waktu singkat. Penderita merasa kulitnya gatal atau kadang-kadang terasa panas
seperti terbakar. Setelah eritroderma berlangsung beberapa minggu, rambut kepala dan tubuh
bisa rontok, juga kuku jadi menebal dan kasar, pada kasus ini, pasien mengalami kerontokan
rambut yang berarti (Djuanda, 2007).
Tujuan penatalaksanaan eritroderma adalah untuk mempertahankan keseimbangan
cairan serta elektrolit dan mencegah infeksi tetapi bersifat individual serta suportif dan harus
segera dimulai begitu diagnosisnya ditegakan. Pasien harus dirawat di rumah sakit dan tirah
baring. Suhu kamar yang nyaman harus dipertahankan karena pasien tidak memiliki kontrol
termolegulasi yang normal sebagai akibat dari fluktuasi suhu karena vasodilatasi dan
kehilangan cairan lewat evaporasi. Keseimbangan cairan dan elektrolit harus dipertahankan
karena terjadinya kehilangan air dan protein yang cukup besar dari permukaan kulit.
Pada eritroderma yang lama diberikan pula diet tinggi protein, karena terlepasnya
skuama mengakibatkan kehilangan protein. Kelainan kulit perlu pula diolesi emolien untuk
mengurangi radiasi akibat vasodilatasi oleh eritema, misalnya dengan salep lanolin 10%
(Djuanda, 2007). Pada pasien ini diberikan methylprednisolon, loratadin, dan ranitidine.
Sedangkan obat topikal yang diberikan adalah inerson + asam salisilat 3%+ LCD 5%
+vaselin.
a. Kortikosteroid sistemik dan topikal: inj. Methylprednisolon 1x62.5 mg (iv) + inerson
2xoles
Kortikosteroid diberikan pada psoriasis karena memiliki efek antiinflamasi dan
antiproliferatif. Efek antiinflamasi kortikosteroid merupakan akibat inhibisi pembentukan
prostaglandin dan derivat jalur asam arakidonat lain. Kortikosteroid dapat menghambat
pelepasan fosfolipase A2, suatu enzim yang berperan melepaskan asam arakidonat dari
membran sel sehingga menghambat jalur asam arakidonat. Efek antiproliferatif
glukokortikoid topikal diperankan oleh adanya inhibisi sintesis DNA dan mitosis
(Lokanata, 2006).
b. H2 Reseptor Blocker : inj. Ranitidin 2x50 mg (iv)
Ranitidin merupakan suatu histamine antagonis rseptor H2 yang bekerja dengan cara
menghambat kerja histamine secara kompetitif pada reseptor H2 dan mengurangi sekresi
asam lambung. Ranitidin diberikan pada pasien ini karena terapi lainnya memiliki efek
samping mual-muntah (terutama kortikosteroid, antibiotik dan antidepresan) sehingga
sekresi asam lambung perlu diturunkan (Ganiswara, 2005).
c. Antihistamin peroral : loratadin 10 mg tablet 2x1 tablet
Loratadin adalah golongan antihistamin-1 (AH1) nonsedatif yang tidak atau sangat
sedikit menembus sawar darah otak sehingga pada kebanyakan pasien biasanya tidak
menimbulkan kantuk. Antihistamin dapat meredakan rasa gatal sehingga mengurangi
risiko terjadinya fenomena Koebner (Ganiswara, 2005).
d. Obat topikal : inerson + asam salisilat 3%+ LCD 5%+vaselin (2 x oles)
Asam salisilat merupakan zat keratolitik yang mempunyai efek mengurangi
proliferasi epitel dan menormalisasi keratolinisasi yang terganggu. Pada konsentrasi 3%
bersifat keratolitik dan dipakai untuk kondisi dermatosis yang hiperkeratotik. Liquor
Carbonic Detergens (LCD) 5% merupakan salah satu jenis ter yang berfungsi sebagai anti
pruritus dan meningkatkan keratinisasi normal. Vaselin digunkan sebagai bahan dasar
salep (basis salep) (Ganiswara, 2005).
Meskipun eritroderma tidak menyebabkan kematian, tetapi bersifat kronis dan residif.
Penyakit eritroderma merupakan kondisi seumur hidup dan obat-obat yang diberikan
hanya mengontrol gejala yang timbul saja. Pengobatan dengan kortikosteroid hanya akan
mengurangi gejalanya dan pasien akan mengalami ketergantungan kortikosteroid
(corticosteroid dependence). Penyakit ini akan terus cenderung berulang. Eritroderma
mungkin juga bisa menurunkan kualitas hidup seseorang. Timbulnya plak-plak
eritroderma disekujur tubuh pasien akan mempengaruhi kosmetika penampilan. Penderita
ini mungkin akan terlihat malu dan tidak nyaman dengan penampilannya. Biaya
pengobatan juga perlu dipertimbangkan (Shimizu, 2007; Virendra, 2004).
IV. KESIMPULAN
1. Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pada Ny. R (53 tahun) mengarahkan menuju
diagnosis kerja eritroderma.
2. Eritroderma adalah kelainan kulit yang ditandai adanya eritema universalis (90-100%) dan
biasanya disertai skuama.
3. Berdasarkan etiologi, eritroderma dapat disebabkan oleh alergi obat, perluasan penyakit
kulit, keganasan dan idiopatik.
4. Gambaran klinik eritroderma berupa eritema dan skuama yang bersifat generalisata.
5. Dasar patofisiologi eritroderma yakni pelebaran pembuuh darah kapiler.
6. Dasar diagnosis dapat meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
(darah rutin, kimia klinik, elektrolit, protein, maupun histopatologi).
7. Diagnosis banding eritroderma meliputi psoriasis, pitiriasis rosea, dermatitis seboroik,
dermatofitosis.
8. Terapi eritroderma meliputi terapi nonfarmakologis (edukasi pasien, hindari pencetus,
teratur minum obat) dan terapi farmakologis (balance cairan, kortikosteroid
sistemik/topikal, sitostatika, dan pengobatan suportif serta simtomatis).
9. Komplikasi fatal dari eritroderma ialaj gagal jantung, gagal ginjal dan kematian mendadak
akibat hipotermia sentral.
10. Eritroderma yang disebabkan alergi obat memiliki prognosis yang lebih baik
dibandingkan eritroderma akibat penyakit kulit sebelumnya, keganasan maupun idiopatik.
DAFTAR PUSTAKA
Djuanda, A. 2007. Dermatosis Eritroskuamosa. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FKUI. 198-200.
Freederg IM. Exfoliative dermatitis. Fitzpatrick et all. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 4 th ed. Newyork:Mcgraw-Hill.1996 Chapter-41p;527-531.
Ganiswara, Sulistya G. 2005. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: FKUI.
Imtikhananik. 1992. Dermatitis Exfoliativa. Cermin Dunia Kedokteran. Volume 74. 16-19.
Kurniawan, Dedy. Wahyudhy, Harry Utama. 2007. Erupsi alergi obat. Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Lokanata, Maya Devita. 2006. Preparat Glukokortikoid Topikal. Dalam : Pemakaian Glukokortikoid pada Pengobatan. Jakarta: EGC. 55-59.
Shimizu H. Shimizu’s textbook of dermatology. 1sted. Hokkaido:NakayamaShoten Publishers; 2007.p; 122-25, 98-101
Siregar, Robert. 2005. Eritroderma. Dalam : Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran : EGC. Jakarta. 94-95.
Virendra N. Sehgal, Govind Srivastava,Kabir Sardana. 2004. Erythroderma or exfoliative dermatitis: a synopsis. International Journal of Dermatology. 39-47.