Top Banner
PRESENTASI KASUS ______________________________________________________________________ _______________ GENERAL ANESTESI PADA LAPAROSKOPI APPENDICTOMI Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat dalam Mengikuti Kepaniteraan Klinik Bagian Anestesiologi Di Rumah Sakit Panembahan Senopati Bantul Diajukan Kepada: dr.K.Trubus, Sp. An. Disusun Oleh: Ragil Tribakti Hutomo (20050310103) FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA BAGIAN ANESTESIOLOGI RS PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL 1
24

PRESUS ANESTESI Ragil

Jun 28, 2015

Download

Documents

abiok
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: PRESUS ANESTESI  Ragil

PRESENTASI KASUS

_____________________________________________________________________________________

GENERAL ANESTESI PADA LAPAROSKOPI APPENDICTOMI

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat dalam Mengikuti Kepaniteraan Klinik Bagian Anestesiologi

Di Rumah Sakit Panembahan Senopati Bantul

Diajukan Kepada:

dr.K.Trubus, Sp. An.

Disusun Oleh:

Ragil Tribakti Hutomo

(20050310103)

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

BAGIAN ANESTESIOLOGI RS PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL

2010

1

Page 2: PRESUS ANESTESI  Ragil

LEMBAR PENGESAHAN

“GENERAL ANESTESI PADA LAPAROSKOPI APPENDICTOMI”

Telah dipresentasikan dan disetujui di RSD Panembahan Senopati Bantul

Pada tanggal Desember 2010

Mengetahui

Pembimbing dan Penguji

dr.K.Trubus, Sp. An.

2

Page 3: PRESUS ANESTESI  Ragil

KATA PENGANTAR

Assalamualauikum, Wr. Wb.

Alhamdulillah, dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT atas hidayah,

rahmat dan anugerahnya, penulis dapat menyelesaikan tugas pembuatan presentasi kasus

berjudul “GENERAL ANESTESI PADA LAPAROSKOPI APPENDICTOMI”, untuk memenuhi sebagian

syarat mengikuti kepaniteraan klinik di bagian Anastesiologi RSD Kabupaten Bantul.

Penulisan kasus ini dapat terwujud atas bantuan berbagai pihak. Maka pada kesempatan

ini penulis ingin mengucapkan terimah kasih kepada :

1. Dr. K. Trubus Sp.An selaku dosen pembimbing dan penguji

2. Perawat di RSD Kabupaten Bantul

3. Adik-adik perawat yang tidak bisa kami sebutkan semua.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan presus ini, untuk itu

penulis mengharapkan kritik dan saran semoga presus ini dapat menambah pengetahuan bagi

penulis khususnya dan para koas di RSD panembahan Senopati Bantul

Wassalammualaikum Wr.Wb.

Bantul, Des 2010

Penulis

RagilTribhakti Hutomo (20050310103)

3

Page 4: PRESUS ANESTESI  Ragil

BAB I

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. AY.

Umur : 23 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Alamat : Kragilan – Banguntapan

Agama : Islam

Bangsa : Jawa

B. ANAMNESIS

Keluhan utama: nyeri perut bagian kanan (terutama kanan bawah).

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang dengan keluhan nyeri perut yang dirasakan sejak kemarin pagi. Pada awalnya

rasa nyeri dirasakan di ulu hati lalu pindah ke daerah sekitar pusar lalu bertambah nyeri

terutama di perut kanan bawah. Pasien merasakan mual, tidak muntah dan nafsu makan

menurun. Pasien mengeluh demam sejak 1 hari yang lalu. BAB terakhir kemarin siang

sebanyak dua kali, tidak diare. Pasien tidak mengeluhkan gangguan BAK, BAK lancar, tidak ada

rasa nyeri pada saat BAK, warnanya kuning seperti biasa, tidak disertai darah. Pasien tidak

mengeluh adanya perubahan pada pola Bab, tidak ada perubahan pada besarnya kotorannya,

pasien juga merasakan puas setelah buang air besar, tidak ada rasa penuh. Riwayat nyeri

serupa sebelumnya (-). Pasien telah dipuasakan.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Pasien belum pernah menjalani operasi. Riwayat alergi obat disangkal. Riwayat asma, maag,

hipertensi, diabetes mellitus dan gangguan ginjal disangkal.

4

Page 5: PRESUS ANESTESI  Ragil

Riwayat Penyakit Keluarga:

Riwayat penyakit jantung, ginjal disangkal. Riwayat asma, hipertensi, diabetes mellitus

disangkal.

Riwayat kebiasaan hidup:

Riwayat merokok dan kebiasaan minum alkohol disangkal. Pasien tidak menggunakan protesa

gigi.

Anamnesis Sistem:

- Sistem saraf pusat : nyeri kepala (-)

- Sistem kardiovaskular : nyeri dada (-) berdebar (-) sesak napas (-)

- Sistem respirasi : sesak napas (-), batuk (-) pilek (-)

- Sistem gastrointestinal : mual (+) muntah (-) BAB (-), nyei perut kanan bawah (+)

- Sistem urogenital : tidak ada gangguan BAK

- Sistem muskuloskeletal : gerakan bebas

- Sistem integumentum : sianosis(-), ikterik (-)

-

C. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : baik, kesan gizi cukup

Kesadaran : compos mentis, GCS: E4M6V5

Vital Sign: TD : 110/70 mmHg

N : 92 kali/menit

RR : 18 kali/menit

S : 36,6 °C

Berat badan : 63 kg

Tinggi badan : 162 cm

1. Kepala

Bentuk kepala : mesosefal, simetris, deformitas (-), tanda trauma (-)

Rambut : hitam, distribusi rata, tidak mudah dicabut

Nyeri tekan : (-)

Mata : konjungtiva anemi (-/-), sklera ikterik (-/-), radang (-/-)

Hidung : simetris, deformitas (-), sekret (-), darah (-)

5

Page 6: PRESUS ANESTESI  Ragil

Mulut : tidak ada gangguan dalam membuka rahang, tampak arkus faring,

uvula dan palatum molle, darah (-), susunan gigi baik

Telinga : nyeri tekan tragus (-), darah (-)

2. Leher

Leher pendek (-), kaku (-)

Trakea : deviasi (-)

Kelenjar tiroid : tidak membesar

Kelenjar limfe : tidak membesar

3. Dada

a. Jantung

Inspeksi : iktus kordis tidak tampak kuat angkat

Palpasi : Iktus kordis teraba di SIC IV linea midclavicula sinistra, tidak kuat

angkat

Perkusi : batas jantung dalam batas normal

Auskultasi : S1-S2 reguler, bising (-)

b. Pulmo

Inspeksi : dinding dada intak, tanda trauma (-), deformitas (-),gerakan

pernapasan simetris tipe torakoabdominal

Palpasi : vocal fremitus kanan = kiri

Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru

Auskultasi : vesikuler (+) normal, suara tambahan (-)

4. Abdomen

Inspeksi : kulit abdomen intak, jejas (-), sikatrik (-)

Auskultasi : peristaltik (+) normal

Palpasi : nyeri tekan (+)Mc Burney, nyeri tekan lepas (-), tidak teraba massa (-),

hepar dan lien tidak teraba. Psoas Sign (-), Obturator Sign (-) Rovsing Sign(-), Blumberg Sign

(-).

Perkusi : timpani, pekak beralih (-)

5. Anogenital

Tidak dilakukan pemeriksaan anogenital

6

Page 7: PRESUS ANESTESI  Ragil

6. Ekstremitas

a. Superior :

tanda trauma (-/-), deformitas (-/-), keterbatasan gerak (-/-), hangat (+/+) pucat (-/-)

b. Inferior :

Dextra : tanda trauma (-), deformitas (-), keterbatasan gerak (-), hangat (+),

pucat (-)

Sinistra : tanda trauma (-), deformitas (-), keterbatasan gerak (-), hangat (+),

pucat (-)

Alvarado Score

Abdominal Pain : 2

AL>10.000 : 2

Vomit :-

Anoreksia :1

Rebound Tend :1

Abd Migrate Pain :1

Suhu > 38,1 :1

N.Segmen >75 : 1

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Hematologi (tanggal 2 April 2010 dari RSUD Wirosaban)

Hb : 14,9 gr/dL

AL : 13,8 x103/μL

AT : 265

N.Segmen : 80

Tanggal 3 April 2010 di RSU PKU Muhammadiyah

Hb : 15,1 gr/dL

AL : 10,2 x103/μL

AT : 221

HCT : 45,9

7

Page 8: PRESUS ANESTESI  Ragil

CT : 13’

BT : 3’30”

Gol. Darah : B

GDS : 111 mg/dL

HBsAg : negatif

E. DIAGNOSIS KERJA

- Appendicitis Acute

- Status ASA I dengan general anestesi

F. TATALAKSANA

Laparoscopi Appendictomi

1. Preoperatif

Pasien menjalani program puasa selama kurang lebih 6 jam sebelum operasi dimulai.

Keadaan pasien tenang, kooperatif, nadi 88 x/menit, RR 18 x/menit, suhu afebris.

2. Premedikasi

Petidin 100mg IM

Midazolam 5 mg IV

3. Induksi (09.45 WIB)

Propofol 100mg iv

Succinylcholine 50 mg iv

4. Intraoperatif (durasi operasi 90 menit)

Selama operasi berlangsung pasien diobservasi tekanan darah, nadi dan pernapasannya.

Pasien diberi anestesi inhalasi berupa halotane 0,5 %, N2O dan O2. Nadi rata-rata 96 x/menit,

operasi berlangsung selama 90 menit.

Pukul 09.50 : injeksi Attracurium 10mg iv

Injeksi ketorolac 30 mg iv

Injeksi terfacef(seftriakson) 2 gram iv

Pukul 10.20 : injeksi Attracurium 10mg iv

Pukul 10.50 : injeksi Attracurium 10mg iv

Pukul 11.05 : drip Ketorolac dalam RL 500 cc ( analgesic post operatif)

8

Page 9: PRESUS ANESTESI  Ragil

5. Recovery

Setelah operasi selesai pasien dipindahkan ke recovery room dan diobservasi berdasarkan

Aldrete Score. Jika Aldrete Score ≥ 8 dan tanpa ada nilai 0 atau Aldrete Score > 9, maka

pasien dapat dipindahkan ke bangsal.

11.15 WIB : Monitor tekanan darah: 114/68 mmHg, nadi 83 kali/menit, saturasi oksigen

99%, observasi dengan Aldrete Score: 9

Kesadaran : sadar, orientasi baik (2)

Pernapasan : napas dalam, teratur (2)

Sirkulasi : baik (2)

Warna : merah muda, SaO2 > 92% (2)

Aktivitas : 4 ekstremitas dapat digerakkan (1)

Program post operasi :

- Awasi vital sign dan kesadaran

- Posisi tidur terlentang tanpa bantal sampai sadar

- Sadar penuh boleh minum secara bertahap

- Lain-lain sesuai dokter bedah

- Emergensi lapor dokter anestesi.

G. KESIMPULAN

- Diagnosis pre-operatif: Appendicities acute

- Diagnosis post-operatif: Appendicities acute

- Status fisik: ASA I

- Jenis operasi: Laparoscopi appendictomi

- Jenis anesthesia: General Anestesi

- Tehnik anesthesia : GETA, induksi iv, intubasi apneu, ET no 7,5, cuff (+), mayo (+), fiksasi (+),

CRCS (Control Respirasi Close system).

9

Page 10: PRESUS ANESTESI  Ragil

BAB II

PEMBAHASAN

Pada kasus di atas, akan dilakukan tindakan laparoskopi appendiktomi dengan general anestesi

dan teknik GETA. Dipilihnya jenis anestesi ini dikarenakan pada laparoskopi dengan menggunakan gas

(Insuflasi CO2), jika menggunakan tehnik Regional Anestesi akan menimbulkan rasa tidak nyaman pada

pasien karena iritasi peritoneal langsung yang menimbulkan rasa sakit selama laparoskopi, karena CO2

membentuk asam karbonat saat kontak dengan permukaan peritoneum sehingga menyebabkan rasa

sakit pada pundak. Selain itu selama prosedur laparoskopi pasien biasanya diposisikan tredelenburg

atau reverse tredelenburg, jika menggunakan RA, perubahan posisi ini akan menimbulkan rasa tidak

nyaman pada pasien.1

Pada tindakan laparoskopi diperlukan relaksasi otot (agar organ abdomen tidak keluar dan terjadi

relaksasi) sehingga diperlukan muscle relaxant muscle relaxant ini bekerja pada otot lurik

terjadi kelumpuhan otot pernafasan, otot interostalis, abdominalis, dan relaksasi otot-otot ekstremitas

pasien tidak dapat bernafas spontan, karena otot pernafasan lumpuh perlu control nafas perlu

tehnik anestesi yang menjamin zat anestesi inhalasi serta N2O dan O2 masuk ke trakhea 100% GETA.

Pada kasus di atas, saat premedikasi digunakan petidin dan midazolam. Petidin merupakan

golongan narkotika, dengan sifat analgetik kuat, tujuan diberikan petidin ini untuk mengurangi rasa

nyeri saat pembedahan. Petidin mempunyai durasi yang lebih pendek dari morfin, dan memiliki efek

minimal pada pernafasan. Midazolam merupakan obat penenang (transquilaizer) yang memiliki sifat

antiansietas, sedatif, amnesik, antikonvulsan dan relaksan otot skelet. Dosis midazolam yaitu 0,025-0,1

mg/kgBB (5mg/5cc). Dengan awitan aksi iv 30 detik, efek puncak 3-5 menit dan lama aksi 15-80 menit.2

Induksi diberikan Propofol dan succinylcholine. Propofol merupakan suatu obat hipnotik

intravena diisopropilfenol yang menimbulkan induksi anestesi yang cepat dengan aktivitas eksitasi

minimal (contohnya mioklonus). Propofol diberikan dengan dosis 2-2,5 mg/kgBB (200mg/20cc) dengan

awitan aksi 40 detik, dengan efek puncak 1 menit dan lama aksi 5-10 menit. Succinylcholine merupakan

suatu relaksan otot skelet depolarisasi beraksi ultrapendek. Succinylcholine tidak mempunyai efek

terhadap kesadaran, ambang nyeri atau serebrasi dan tidak mempunyai efek langsung terhadap otot

polos. Dosis iv 0,7-1 mg/kgBB (200mg/10ml) dengan awitan aksi 30-60 detik, efek puncak 60 detik dan

lama aksi 4-6 menit.2

10

Page 11: PRESUS ANESTESI  Ragil

Saat durante operasi diberikan atracurium dan ketorolac. Atrakurium merupakan relaksan otot

skelet nondepolarisasi (long acting), diberikan sebagai obat relaksasi otot dengan mula kerja yang cepat.

Relaksasi otot ini dimaksudkan untuk :

Membuat relaksasi otot selama berlangsungnya operasi.

Menghilangkan spasme laring dan refleks jalan napas atas selama operasi.

Memudahkan pernapasan terkendali selama anestesi.

Dosis rumatan 0,1-0,2 mg/kgBB intravena. Awitan aksi <3 menit, efek puncak 3-5 menit dan lama

aksi 20-3 menit. Sehingga setelah 30 menit diberikan injeksi atracurium, sebagai rumatan.

Ketorolac merupakan obat antiinflamasi non steroid(NSAID) memperlihatkan aktivitas analgesik,

antiinflamasi dan antipiretik. Ketorolac menghambat sintesis prostaglansin dan dapat di anggap

sebagai analgesik yang bekerja secara perifer. Digunakan sebagai analgesik selama laparoskopi

berlangsung.2

Maintenance

a) N2O dan O2

N2O (gas gelak, laughling gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida) diperoleh dengan

memanaskan ammonium nitrat sampai 240°C.

NH4 NO3 → 2H2O + N2O (reaksi dalam suhu 240°C)

N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar,

dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai O2 minimal

25 %.Gas ini bersifat anestesik lemah, tetapi analgesinya kuat. Pada anestesi inhalasi jarang

digunakan sendirian, tetapi dikombinasi dengan salah satu anestesi lain seperti halotan dan

sebaagainya.3

Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 yaitu 60% :

40%, 70% : 30%. Dosis untuk mendapatkan efek analgesic digunakan dengan perbandingan

20% : 80%, untuk induksi 80% : 20%, dan pemeliharaan 70% : 30%. N2O sangat berbahaya bila

digunakan pada pasien pneumothorak, pneumomediastinum, obstruksi, emboli udara dan

timpanoplasti. 3

11

Page 12: PRESUS ANESTESI  Ragil

b)Halothane

Halothane mempunyai sifat hipnotik kuat, relaksasi cukup, namun analgetik kurang baik.

Halothane mempunyai keunggulan tidak merangsang saluran nafas, salvias tidak banyak,

bronkodilator serta waktu pemulihan cepat. Halothane mempunyai MAC 0,87%.1

Pada kasus ini, respirasi dikontrol dengan menggunakan ventilator. Dan menggunaan system close,

ini berarti halothane + O2 + N2O yang dihirup pasien, lalu di ekspirasi menjadi CO2 dan diikat oleh

sodalime( CaCO3) menghasilkan H2O+O2+panas. Lalu bersama halothane + O2 + N2O, O2 yang

dihasilkan dari reaksi CO2 dan sodalime kembali dihirup oleh pasien lagi.1

Setelah operasi selesai, diberikan Ketorolac per drip sebagai obat analgetik untuk menghilangkan

rasa sakit pasca operasi.2

DAFTAR PUSTAKA

1. Yao, F.S.F, Artusio, Anesthesiology, Problem Oriented Patient Management. Lippincott Williams

and Wilkins, USA. 2001

2. Omoigui, sota. 1997. Buku saku obat-obatan anestesia. Jakarta:EGC

3. Morgan GE, Mikhail MS, J.Murray M., Clinical Anesthesiology 4th edition. McGraw Hill. New York.

2006.

12

Page 13: PRESUS ANESTESI  Ragil

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

Laparoskopi adalah sebuah prosedur pembedahan minimally invasive dengan memasukkan gas

CO2 ke dalam rongga peritoneum untuk membuat ruang antara dinding depan perut dan organ viscera,

sehingga memberikan akses endoskopi ke dalam rongga peritoneum tersebut.1

Prosedur praoperasi laparoskopi hampir sama dengan operasi konvensional. Pasien harus puasa

empat hingga enam jam sebelumnya, dibuat banyak buang air besar agar ususnya mengempis. Sebelum

puasa pasien laparoskopi diberikan makanan cair atau bubur, makanan yang mudah diserap, tapi rendah

sisa, untuk mengurangi jumlah kotoran di saluran cerna.1

Penggunaan gas CO2 pada laparoskopi adalah gas pilihan untuk insuflasi karena tidak mudah

terbakar, tidak membantu pembakaran, mudah berdifusi melewati membrane, mudah keluar dari paru-

paru, mudah larut dalam darah dan risiko embolisasi CO2 kecil. Level CO2 dalam darah mudah diukur,

dan pengeluarannya dapat ditambah dengan memperbanyak ventilasi. Selama persediaan O2 cukup,

konsentrasi CO2 darah dapat ditolelir. Kerugian utamanya adalah fakta bahwa CO2 lembam. Hal ini

menyebabkan . CO2 tidak terlalu larut pada darah bila terjadi kekurangan sel darah merah, oleh karena

itu CO2 bisa tersisa di intraperitoneum dalam bentuk gas setelah laparoskopi, sehingga menyebabkan

sakit pada bahu. Hiperkarbia dan respiratory acidosis terjadi saat kapasitas CO2 dalam darah melampaui

batas. Selain itu, CO2 dapat menimbulkan efek lokal maupun sistemik, sehingga dapat terjadi hipertensi,

takikardi, vasodilatasi pembuluh darah serebral, peningkatan CO, hiperkarbi, dan respiratory acidosis.2

Dibandingkan dengan bedah terbuka, laparoskopi lebih menguntungkan karena insisi yang kecil

dan nyeri pasca operasi yang lebih ringan. Fungsi paru pasca operasi tidak terganggu dan sedikit

kemungkinan terjadi atelektasis setelah prosedur laparoskopi. Setelah operasi fungsi pencernaan pasien

pulih lebih cepat, masa rawat inap rumah sakit pendek, serta lebih cepat kembali beraktivitas.

Keuntungan ini bervariasi tergantung pasien dan tipe prosedur.3

Komplikasi selama prosedur laparoskopi dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung

karena kebutuhan insuflasi CO2 untuk membuat ruang operasi. CO2 masuk kedalam pembuluh darah

secara cepat. Gas yang tidak larut terakumulasi didalam jantung kanan menyebabkan hipotensi dan

cardiac arrest. Emboli CO2 yang masif bisa dideteksi dengan murmur precordial, transesofugeal

echocardiografi, dan end tidal CO2 monitoring (CO2 meningkat secara sementara kemudian turun

kembali). Pengobatan dilakukan dengan menghentikan insuflasi CO2, hiperventilasi dengan 100% O2 dan

13

Page 14: PRESUS ANESTESI  Ragil

resusitasi cairan, merubah posisi pasien right side up dan memasang kateter vena central untuk aspirasi

gas.3

Jika gas yang ditujukan untuk membuat pneumoperitoneum keluar atau prosedur laparoskopi

meliputi insuflasi ekstra peritoneal (prosedur untuk adrenalectomy atau perbaikan hernia) emfisema

subkutan bisa terjadi, volume tidal CO2 akhir (end tidal CO2) meningkat mencapai level tinggi dan

terdapat krepitus yang biasanya dapat sembuh tanpa intervensi. Hal serius lain adalah pneumothorak,

jika gas masuk ke dalam rongga thorax melalui luka atau insisi yang dibuat sewaktu pembedahan atau

dari jaringan cervikal subkutan. Intervensi tidak selalu harus, karena pneumothorax biasanya pulih jika

insuflasi dihentikan.3

Respon Fisiologi Selama Bedah Laparoskopi

Goncangan hemodinamik dan ventilasi dapat terjadi pada pasien yang menjalani prosedur

laparoskopi. Penyebab utama perubahan fisiologis pada prosedur laparoskopi ini adalah insuflasi CO2.

Insuflasi CO2 ke dalam rongga peritoneum menyebabkan terjadinya pneumoperitoneum yang

bermanfaat untuk visualisasi selama prosedur laparoskopi. Insuflasi CO2 ini juga meningkatkan tekanan

intraabdomen dan meningkatkan resistensi pembuluh darah sehingga curah jantung menjadi turun

sementara tekanan darah meningkat. Posisi pasien bisa merubah respon ini. Pada saat posisi

tredelenburg penurunan preload dan peningkatan afterload tidak terlalu mencolok dibandingkan posisi

anti tredelenburg.3

Selama prosedur Laparoskopi, efek respirasi yang disebabkan oleh insuflasi CO2 memegang

peranan utama. Setelah insiflasi CO2 terjadi hiperkapnia selama beberapa menit dimana kenaikan CO2

biasanya mencapai 30%, namun keadaan ini akan menjadi stabil kembali selama satu jam sewaktu

operasi. Hiperkapnia ini dapat menimbulkan stimulasi simpatis dan berpotensi untuk terjadi disritmia

dan respiratori asidosis. Hal ini dapat dikoreksi dengan meningkatkan ventilasi. Pengaruh tambahan dari

pneumoperitoneum adalah efek mekanik dari peningkatan tekanan intra abdomen yang menyebabkan

penurunan pulmonary compliance dan kapasitas residu fungsional serta peningkatan dead space.3

Manajemen Anestesi pada Laparoskopi

Pemilihan jenis anestesi memperhatikan beberapa faktor, antara lain : umur, jenis kelamin,

status fisik, jenis operasi, ketrampilan operator dan peralatan yang dipakai, ketrampilan/kemampuan

pelaksana anestesi dan sarananya, status rumah sakit, dan permintaan pasien. Saat ini sekitar 70-75 %

operasi pada rumah sakit, dilakukan di bawah anestesi umum (general anesthesia). Operasi sekitar

14

Page 15: PRESUS ANESTESI  Ragil

kepala, leher, dada, dan abdomen sangat baik dilakukan dengan anestesi umum inhalasi dengan

pemasangan pipa endotrakheal, sejak diketahui bahwa dengan metode ini jalan nafas dapat dikontrol

dengan baik sepanjang waktu.4

Anestesi regional tidak digunakan rutin pada prosedur laparoskopi, karena iritasi yang mengenai

diafragma dari insuflasi CO2. bisa menyebabkan sakit pada pundak, ditambah lagi waktu penyembuhan

untuk pengembalian fungsi yang lengkap bisa lama. Dengan lidocaine dosis rendah dan teknik spinal

opioid, salah satu studi menemukan bahwa nyeri pasca operasi setelah laparoskopi ginekologi lebih

sedikit dibandingkan dengan general anestesi dengan desflurane.4

Evaluasi Preoperasi

Secara umum sebelum memulai anestesi, dilakukan terlebih dulu anamnesis dan pemeriksaan

fisik. Karena perubahan tekanan hemodinamik dan respirasi terjadi pada pasien selama prosedur

laparoskopi, evaluasi sebelum operasi difokuskan untuk mengidentifikasi pasien dengan penyakit paru

berat dan gangguan fungsi jantung.3

Manajemen Intraoperatif.

Pasien biasanya menjalani prosedur laparoskopi dengan anestesi umum dengan menggunakan

monitor standar. Pengukuran tekanan darah noninvasive dan kapnografi penting untuk mengikuti efek

hemodinamik dan pneumoperitoneum pada respirasi dan perubahan posisi. Dalam situasi tertentu,

monitor pengukuran tekanan arteri sebaiknya dilakukan. Indikasi tindakan monitor tekanan arteri secara

invasif antara lain: penyakit paru berat, end tidal CO2. arteri yang sangat tinggi, dan fungsi ventrikel yang

menurun. Sama halnya dengan monitor pengukuran tekanan vena sentral, pemasangan kateter arteri

paru atau transesofageal echocardiografi bisa berguna untuk pasien dengan gangguan fungsi jantung

atau hipertensi paru.4

Akses untuk memasukkan obat secara intravena harus memadai pada prosedur laparoskopi,

seperti pada keadaan kehilangan darah. Akses untuk memasukkan obat secara intravena yang adekuat

adalah kunci dari resusitasi cairan yang tepat untuk keadaan pendarahan yang tidak terkontrol atau

emboli gas. Akses ke vena sentral harus dipertimbangkan pada pasien dengan gangguan vena perifer.4

Untuk mencegah aspirasi paru dan menjaga jalan nafas, perlu pemasangan pipa endotrakeal.

Pemasangan sebuah pipa orogastrik atau nasogastrik setelah jalan nafas dikuasai dapat mengurangi

tekanan udara lambung, menurunkan resiko kerusakan gaster, dan memperbaiki visualisasi selama

operasi. Pada saat tekanan intraabdomen meningkat karena pneumoperitoneum, pipa endotracheal

15

Page 16: PRESUS ANESTESI  Ragil

dapat digunakan untuk memberikan tekanan ventilasi yang positif untuk mencegah hipoksemia dan

untuk mengekskresikan kelebihan CO2 yang diabsorbsi. Pneumoperitoneum dapat menyebabkan

perubahan posisi pipa endotrakeal pada pasien dengan trakea yang pendek, dimana ketika carina

bergerak ke atas pipa endotrakeal bisa masuk ke salah satu bronkus, sehingga memasang pipa

endotrakeal sebaiknya pada pertengahan trakea dan disarankan untuk lebih sering mengecek posisi pipa

endotrakeal pada pasien.4

Obat anestesi yang digunakan biasanya berupa volatile agent, opioid intravena, dan obat

pelumpuh otot. Ada studi yang mengatakan bahwa N2O sebaiknya dihindari selama prosedur

laparoskopi karena ini akan meningkatkan pelebaran usus dan resiko mual pasca operasi. Penggunaan

klinis N2O ini masih menjadi perdebatkan.4

Selama prosedur laparoskopi, pasien biasanya diposisikan Trendelenburg atau Reverse

Trendelenburg. Trauma saraf pada pasien sebaiknya dihindari dengan mengamankan dan membantali

seluruh ekstremitas. Tekanan pernafasan bisa meningkat dengan perubahan posisi dan ventilasi,

biasanya butuh penyesuaian.4

Dua tujuan utama selama pemeliharaan pasien selama bedah laparoskopi dengan anestesi

umum adalah menjaga agar tetap normokapnia dan mencegah ketidakseimbangan hemodinamik.

Hiperkapnia biasanya berawal beberapa menit setelah insuflasi CO2.. Untuk menormalkan kembali CO2

ini, ventilasi ditingkatkan biasanya dengan meningkatkan RR (respiratory rate) dengan volume tidal yang

tetap. Jika hiperkapnia memburuk, misalnya pada kasus sulit prosedur bedah diubah menjadi prosedur

bedah terbuka. 4

Perubahan hemodinamik harus diantisipasi dan dimanajemen selama prosedur laparoskopi. Jika

tekanan darah meningkat maka pemberian kadar obat anestesi inhalasi dapat ditingkatkan dan dapat

ditambahkan dengan pemberian obat seperti nitropusside (nitropusside menyebabkan reflek tackikardi,

berpotensi untuk menimbulkan keracunan sianida), esmolol, atau calcium channel blocker. Pengobatan

dengan alpha agonist seperti clonidine atau dexmedetomidine adalah strategy lain (alpha agonist dapat

menyebabkan penurunan MAC untuk anestesi inhalasi, berpotensi menjadi bradikardi). Walaupun

pasien yang sehat dapat mentoleransi perubahan hemodinamik, namun pasien dengan fungsi jantung

yang buruk bisa dipengaruhi menjadi lebih buruk. Hal ini dapat dicegah dengan penggunaan monitor

secara invasif (arterial line, central line, transesofageal ochocardiografi) selama prosedur berlangsung.4

Manajemen Pasca Operasi

16

Page 17: PRESUS ANESTESI  Ragil

Pada ruang pemulihan pasca anestesi, hiperkapnia bisa tetap terjadi selama 45 menit setelah

prosedur selesai.1 Insiden mual muntah pasca operasi laparoskopi dilaporkan cukup tinggi yaitu

mencapai 42%.7 Mual muntah pasca operasi setelah prosedur laparoskopi dipengaruhi oleh tipe dari

prosedur, sisa dari pneumoperitoneum, dan karakteristik pasien. Beberapa obat baik itu tunggal

maupun dalam kombinasi untuk mencegah dan mengobati komplikasi ini meliputi metoclopramide,

ondansentron, dan dexamethasone. Untuk menurunkan insiden mual dan muntah pasca operasi dapat

dilakukan dengan meminimalkan dosis opioid dan mempertimbangkan pemberian propofol untuk

anestesi. Karena banyak prosedur laparoskopi direncanakan pada pasien rawat jalan, evaluasi pada saat

pasien akan pulang juga diperlukan.4

Penggunaan analgetik setelah prosedur laparoskopi umumnya lebih sedikit dibandingkan

dengan sesudah bedah terbuka. Modalitas penggunaan analgesik harus menghilangkan nyeri yang bisa

terjadi karena insisi, visceral, atau akibat gas residu dan pneumoperitoneum. Manajemen nyeri diawali

sebelum atau selama prosedure pembedahan. Pemberian opioid intravena (fentanyl, morfine) dalam

kombinasi dengan NSAID intravena membantu agar pasien nyaman pada akhir dari prosedur. Infiltrasi

dari anestesi lokal, seperti bupivacaine pada port sites kulit dan peritoneum memblock nyeri somatik

dan visceral.4

Analgesik pasca operasi dilanjutkan dengan pemberian opioid intravena secara intermiten atau

medikasi nyeri peroral. Pada beberapa pasien bisa dilakukan dengan pemasangan sebuah kateter

epidural untuk manajemen nyeri pasca operasi.3

DAFTAR PUSTAKA

17

Page 18: PRESUS ANESTESI  Ragil

2. Anonynim, Laparoskopi Cikal Bakal Bedah Masa Depan available:

http://www.kompas.com/LaparoskopiCikalBakalBedahMasaDepan.asp (Accessed: 2008,

January 22)

3. Yao, F.S.F, Artusio, Anesthesiology, Problem Oriented Patient Management. Lippincott

Williams and Wilkins, USA. 2001

4. Cole, D.J., Schlunt, M., Adult Perioperative Anesthesia: The Requisites in Anesthesiology.

Mosby. 2004

5. Morgan GE, Mikhail MS, J.Murray M., Clinical Anesthesiology 4th edition. McGraw Hill.

New York. 2006.

18