Top Banner
Office : 7/1 Ahmed E1 Zumr St. Block 21 Tenth District Nasr City Cairo Egypt * Kairo - Mesir * P Media Silaturahmi, Informasi dan Analisa RESTâSI RESTâSI RESTâSI RESTâSI P P Psikologi Masyarakat Indonesia sebagai Objek Politik Edisi 98, Juli 2014 Teras Sensitivitas Masyarakat Politik; Masisir Kajian Skeptisme Dalam Politik; Tinjauan Ulang Kritis(isme) di Masyarakat Lensa KSW K S W ; Pemimpin dan Regenerasinya
28

PRESTãSI 98

Jul 20, 2016

Download

Documents

KarimAl-Muzakky

Majalah Prestasi adalah majalah yang diterbitkan oleh Kelompok Studi Walisongo (KSW), yaitu kelompok mahasiswa di Mesir yang berasal dari daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: PRESTãSI 98

Of

fic

e :

7/

1 A

hm

ed

E1

Zu

mr

St

. B

lo

ck

21

Te

nt

h D

ist

ric

t N

as

r C

ity

Ca

iro

Eg

yp

t

* Kairo - Mesir * PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTâSIRESTâSIRESTâSIRESTâSIPPP

Psikologi Masyarakat Indonesia sebagai Objek Politik

E d i s i 9 8 , J u l i 2 0 1 4

TerasSensitivitas Masyarakat Politik;

Masisir

KajianSkeptisme Dalam Politik;

Tinjauan Ulang Kritis(isme) di Masyarakat

Lensa KSWKSW; Pemimpin dan Regenerasinya

Page 2: PRESTãSI 98

Edisi 98, Juli 201402 PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTâSIRESTâSIRESTâSIRESTâSIPPP* Kairo - Mesir *

Dari Redaksi

Pelindung: Ketua KSW | Dewan Redaksi: Ronny G. Brahmanto, Landy T. Abdurrahman, Muhammad Fardan Satrio Wibowo, Uly Ni'matil Izzah, Nashifuddin Luthfi | Pimpinan

Umum: Choiriya Dina Safina | Pimppinan Redaksi: Muhammad Fadhilah Rizqi | Pimppinan Usaha: Sopandi | Sekretaris Redaksi: Wais Al-Qorny | Redaktur Pelaksa: Muhammad Miftakhuddin Wibowo, Zulfah Nur Alimah, Zuhal Qobili, Rizqi Fitrianto | Reporter: Muhammad Nurul Mahdi, Iis Isti'anah, Fathimah Imam Syuhodo | Distributor: Azhar Hanif, Mahfud Washim | Layouter: Alaik Fashalli, al-Muzakky | Karikaturis: Rijal Rizkillah | Editor: Muhammad Ulul Albab Mushaffa, Annisa Fadlilah, Abdul Wahid Satunggal

Redaksi menerima tulisan dan artikel yang sesuai dengan visi-

misi buletin. Saran dan kritik kirim

ke facebook kami: Prestãsi KSW.

Dari Redaksi 02

Editorial 03

Teras 04

Analisa Nusantara 06

Timur Tengah 08

Opini 10

Kajian 12

Lensa KSW 15

Wawancara 17

Resensi 19

Oase 21

Sastra 23

Serba-Serbi 25

Catatan Pojok 27

Daftar IsiAssalamu'alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.

Alhamdulillah. Kami berdoa pada Tuhan agar rasa

syukur ini tidak menguap bersama panas, dan

menjaga hati nurani tetap dingin; tenteram.

Ketenteraman ini sebagaimana terungkap atas

lahirnya Buletin PRESTâSI Edisi Ke-98 dari rahim

retorika, begitu banyak pertanyaan bermunculan akan

berbagai permasalahan, namun PRESTâSI tidak

menjawabnya melainkan membiarkannya tetap jadi

pertanyaan sehingga kebanyakan orang akan tetap

dengan cerdasnya berpikir sebanyak-banyaknya.

Realita akhir-akhir ini kita sering kali menemui opini-

opini sentimen di prolog pesta demokrasi masyarakat

Indonesia yang dewasa dan masih separuh dewasa

bahkan 'sok' dewasa ini, penilaian-penilaian dangkal,

sindiran-sindiran sensitif, informasi-informasi tak

berdasar pada satu kelompok tertentu yang tidak

disenangi (tidak didukung) pada beranda facebook,

beranda flat, bahkan beranda emosi. Tapi ini

merupakan fenomena, sikap-sikap yang terbentuk

dari suasana politik, khususnya para pemuda

tumpuan bangsa yang masih "labil" dan cenderung

latah. Para penggerak organisasi muda, kalangan yang

penuh semangat berdinamika. Kru Redaksi Buletin

P R E S TâS I mencoba untuk menganal isa dan

mengkritisi fenomena ini, apakah ini sesuatu yang luar

biasa atau biasa saja dengan kecenderungan persuasif

serta tidak menggurui dalam tema besar “Psikologi

Masyarakat Indonesia sebagai Objek Politik”. Dan

tentunya kami juga mengharap timbal balik. Kami

sekedar memberi ruang, gambaran; bukannya arahan.

Agar Masisir senantiasa kritis dan mau dikritisi, setiap

siapa saja, yang pada birokrasi tidak bermanja.

Selamat membaca!

PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTâSIRESTâSIRESTâSIRESTâSIPPP

RESTâSIRESTâSIRESTâSIRESTâSIPPPPMedia Silaturahmi, Informasi dan Analisa

Page 3: PRESTãSI 98

Edisi 98, Juli 2014

Terhitung dari masa pecahnya reformasi,

Indonesia memutuskan dirinya menjadi negara

bersistem demokrasi, semenjak itulah

Indonesia mulai menginjak ranah kebebasan

berekspresi. Sikap tersebut merupakan salah

satu prinsip demokrasi dengan memberi

kebebasan mutlak kepada rakyat dalam

mengutarakan pendapat tanpa batasan

apapun. K e b e b a s a n b e r e k s p r e s i m e m a n g

mencerminkan banyak hal positif yang erat

kaitannya dengan hak rakyat. Namun dalam

beberapa keadaan, sikap tersebut tak ayal

justru akan menjadi “pericuh” demokrasi.

Perhelatan pemilihan

umum yang merupakan

puncak pesta demokrasi

bisa dikatakan salah satu

contoh dari keadaan

tersebut.Seperti yang terjadi pada

proses pemilu 2014 ini,

yang trend dengan isu-isu

p r o p a g a n d a , b l a c k

campaign, kampanye saling menjatuhkan dan

lain sebagainya. Propaganda dijadikan alat

komunikasi paling sakti untuk membentuk

opini publik. Bentuk sikap bebas berekspresi

yang jauh dari norma kebebasan berekspresi

itu sendiri. Atau apakah ini yang dimaksud

demokrasi?Isu sara untuk mendulang suara memang

sudah biasa. Semua objek, mulai dari prestasi,

track record, agama hingga hal-hal yang

bersifat pribadi, semua bisa dijadikan objek

saling serang oleh pihak-pihak bersangkutan.

Namun yang menjadi pertanyaan adalah,

mengapa hal-hal seperti itu lah yang justru laku

dijual di pasar demokrasi Indonesia? Ada perasaan semacam sentimen yang lahir

dari lubuk objek demokrasi kita dalam

menyikapi pemilu akhir-akhir ini. Hal itulah

yang sebenarnya menjadi fokus utama

pembahasan Prestasi edisi kali ini. Bagaimana

dengan jelas dapat kita saksikan, simpatisan A

menyindir pihak B, simpatisan B mencerca

pihak A, dan sebaliknya. Sebuah sikap yang

muncul bukan hanya dari tim sukses pihak

tertentu yang sedang meraup suara,

melainkan dari masyarakat awam bahkan dari

para mahasiswa yang seharusnya bersikap

lebih netral dan sopan, karena posisinya

s e b a ga i a ka d e m i s i . Ka re n a nya p e r l u

ditanyakan, dari manakah sebetulnya

fenomena sikap sentimen ini lahir? adakah

s e b a t a s b u a h

propaganda pihak-pihak

tertentu belaka? Atau

m e m a n g k o n d i s i

kebatinan masyarakat

yang secara langsung

memunculkan s ikap-

sikap semacam itu?Suasana polit ik yang

semakin riuh karena ulah

para aktornya, tentu mempengaruhi sikap

masyarakat sebagai objek politik itu sendiri.

Namun tepatkah j ika dijadikan alasan

munculnya fenomena sentimen politik? Atau

jika ya, cukupkah hal tersebut menjadi satu-

satunya alasan?Hal lain yang mungkin timbul dari adanya sikap

sentimen ini, adalah pengaruhnya terhadap

keberlangsungan pemilu itu sendiri, akankah

terlaksana pemilu yang ideal dan sehat dari

masyarakat yang sedang sensi?

B u l e t i n P re sta s i m e m a n d a n g s e m u a

permasalahan ini sebagai gejala psikologi

masyarakat demokrasi yang harus dipahami

dan diberikan solusi. Maka dalam edisinya yang

ke 89, secara luas Prestasi akan mengupas

terkait permasalahan tersebut.

03PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP* Kairo - Mesir *

EditorialOleh: Isti’anah

Demokrasi Sentimental(?)

Page 4: PRESTãSI 98

Edisi 98, Juli 201404 PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP* Kairo - Mesir *

Pesta demokrasi kali ini, memiliki dua figur jagoan, Prabowo-Hattarajasa dan Jokowi-Jusuf Kalla, sebagai pemenang yang akan beradu dalam mendapatkan kursi kepresidenan untuk lima tahun mendatang. Akibat yang tak terelakkan adalah pecahnya masyarakat ke dalam tiga kubu; Pro no. 1 (Prabowo-Hatta), pro no. 2 (Jokowi-J K), dan kubu yang mengibarkan bendera netral. Sudah menjadi fenomena universal, jika ada dua tokoh beradu, maka pergesekan menjadi hal mustahil untuk dihindarkan. Pergesekan ini lah yang tengah menjadi fenomena di Indonesia.Pergesekan antara dua kubu ini sangat kentara, sebagaimana tersorot jelas oleh media-media; baik media cetak ataupun media elektronik. Media televisi misalnya, yang menyajikan berita liputan tentang perseteruan antara pendukung dua kubu (Pro no. 1 dan pro no. 2), baik sekedar adu mulut dengan ilustrasi Ruhut Sitompul dan Nurhayati Assegaf, ataupun bentrokan fisik seperti yang terjadi di daerah Yogyakarta 17 Juni lalu. Media cetak akhir-akhir ini pun, gencar memunculkan berita-berita yang beraroma tendensius. Tak jarang kita temui banyak berita-berita yang kontradiktif dan propagandis. Kondisi politik ini, tanpa disadari, mempengaruhi psikologi masyarakat; masyarakat menjadi lebih mudah tersinggung atau dengan kata lain "sensi". Keadaan semacam ini dialami oleh seluruh warga Indonesia, termasuk mereka yang berdomisili di Mesir, yang mayoritas adalah mahasiswa, Masisir.Akhir-akhir ini, sikap sensitivitas tak jarang menimbulkan keadaan yang –katakanlah- serba salah di kalangan Masisir. Ketika berpakaian baju putih dan berpeci hitam dianggap pendukung Prabowo. Ketika mengenakan baju kotak-kotak dianggap pro Jokowi, begitu juga ketika berfoto dengan gaya dua jari. "Jangan bergaya seperti itu! Bergaya dengan tiga jari saja, itu lebih netral", tegur

seorang kawan. Ketika mengucapkan angka satu dengan sedikit stressing, respon otomatis adalah "Kau dukung Prabowo?". Dan beberapa potret lainnya yang menggambarkan nuansa sensitivitas.Fenomena yang pada hakikatnya wajar dan sangat manusiawi ini, menjadi janggal ketika berpulang pada dua hal. Pertama, jika kedua tokoh mempunyai misi yang sama yaitu m e m b a w a n e g e r i I n d o n e s i a ke p a d a kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan, sebagaimana yang dikampanyekan oleh kedua pihak, maka menjadi tidak lazim, ketika melihat salah satu kubu sebagai musuh yang harus diserang dengan berbagai cara, yang tak jarang mengantarkan pada laku-laku buta, yang tentu saja, jauh dari nilai kesantunan; menguak-nguak aib, tuduhan SARA hingga hujaman fitnah.Kedua, status akademik Masisir yang mayoritas mengecap pendidikan di universitas al-Azhar, bahkan hampir seluruhnya mengambil jurusan agama yang sarat akan nilai-nilai pesan moralis. Terlebih, dengan karakter al-Azhar yang moderat; selalu berusaha menanamkan jiwa saling mengerti dan menyikapi perbedaan dengan toleran kepada setiap anak didiknya. Serang menyerang status sebagaimana terjadi di jejaring facebook, yang dalam beberapa kasus sampai menggunakan dalih ayat al-Quran atau kaidah ushul fikih, harusnya tidak menghiasi dunia maya Masisir. Setidaknya, terdapat tiga faktor sentral yang memunculkan sikap-sikap sensitivitas di kalangan Masisir. Pertama, kelatahan, sekedar ikut-ikutan media. Media, dalam hal ini, mempunyai peranan yang cukup signifikan. Tugasnya yang sebagai mediator kontrol, telah melebur dalam kepentingan-kepentingan subjektif. Dalam koridor demokrasi, media muncul dengan wajah baru; medium p ro p a ga n d a ya n g m e n a m b a h d i l e m a masyarakat bahkan terkadang hanya membuat

Sensitivitas Masyarakat Politik;

Masisir

TerasOleh: Zulfah NA

Page 5: PRESTãSI 98

Edisi 98, Juli 2014 05PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP* Kairo - Mesir *

gaduh. Watak baru yang menurut Muhammad Sami, presiden partai Karamah Mesir adalah wajar, karena begitulah watak demokrasi.Kedua, politik aliansi. Aturan main dari politik aliansi ini adalah mencari kawan politik sebanyak mungkin. Merupakan formula umum, jika semakin banyak kawan pendukung, semakin besar pula potensi seseorang untuk menang. Karenanya, kita melihat Partai Gerindra, Partai Amanah Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sosial (PKS), Partai Golkar, Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Demokrat berdir i mendukung di belakang pihak Prabowo-Hatta. Sedangkan di pihak Jokowi-JK, Partai PDI Perjuangan, Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) –yang kabarnya terpecah-, Partai Hanura dan PKPI. Secara tidak langsung, p o l i t i k a l i a n s i i n i m e n g g e r u s o b j e k t i v i t a s M a s i s i r d a n s e l u r u h m a s y a r a k a t Indonesia secara umum. Di mana warga setiap Partai terlihat –begitu saja- mendukung pihak yang meminta Partainya berkoalisi. Ketiga, pendidikan. Masyarakat yang mudah termakan media dan menjadikannya sebagai referensi tanpa ada upaya mengklarifikasi validitas informasi terlebih dahulu, perlu dipertanyakan akademisnya. Salah satu ciri dari masyarakat akademis adalah mereka akan berhenti sejenak, menyimak berita yang diterima kemudian mengklarifikasinya dengan cara kontemplasi. Yang perlu digaris bawahi dalam istilah masyarakat akademis di sini adalah mereka yang tidak hanya terdidik intelektualitasnya, namun juga menyangkut pendidikan mental dan moralnya. Pasalnya, karakter berkepala dingin dan lapang dada dapat terbangun, ketika mental dan moral mendapat asupan pendidikan yang intens dan sehat sejak dini.

Agaknya, anggapan bahwa berbeda adalah salah dan berbeda adalah r ival , juga memperunyam keadaan 'sensitivitas' ini. Baiknya kita menyimak pernyataan J. M. Bochenski, filsuf abad ke-20, "Berfikir adalah perkembangan ide dan konsep". Secara implisit, adagium ini bermakna bahwa p e r b e d a a n a d a l a h t a n d a b e r f i k i r ; m e m p e r t i m b a n g k a n , m e n g a n a l i s i s , membuktikan sesuatu dan menarik suatu kesimpulan. Hal ini berarti, perbedaan yang tengah terjadi merupakan pertanda baik, bahwa Masisir dengan kapasitasnya sebagai agent of change dan masyarakat politik, masih b e r d i n a m i k a d a n b e r j a l a n m e n u j u progresivitas. Ditilik dari kacamata lain, pergesekan dan

s e n s i t i v i ta s d i ka l a n ga n M a s i s i r merupakan hal positif, yang

menunjukkan bahwa k e p e d u l i a n d a n

g e r e g e t M a s i s i r t e r h a d a p pergulatan politik t a n a h a i r .

B a g a i m a n a p u n kemenangan rezim

salah satu pihak yang akan menentukan nasib

bangsa lima tahun mendatang. Karenanya, pemimpin berkualitas dan berkapabilitas yang harus diperjuangkan. Kiranya, setiap individu Masisir telah atau - paling tidak- tengah menimbang tokoh yang dianggapnya ideal dengan tolok ukur yang mustahil tuk disamaratakan satu dengan lainnya, bahkan walaupun jika dipaksakan.

Kenyataan bahwa tolok ukur idealis dan kebenaran sudah mulai kabur dan buram, menjadikan setiap individu atau komunal meyakini bahwa ia tengah melintasi jalur yang benar. Kata "salah" menjadi isu paling sensitif. Mungkin "berprasangka baik" menjadi satu-satunya alternatif untuk meminimalisir pergesekan-pergesekan; berprasangka baik kepada calon pemimpin, kaum elit politisi, media dan tentu saja, berprasangka baik kepada Masisir!

Page 6: PRESTãSI 98

Edisi 98, Juli 201406 PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP* Kairo - Mesir *

Pemilihan presiden (Pilpres) tahun ini memperlihatkan gairah tensi dengan-amat serius oleh sebagian mereka yang merasa diri mereka “mengerti” atas agama, dalam wujudnya yang liar namun pasti: “Tiada rotan akar pun jadi, tidak ada validitas data, oh bisa dimanipulasi”. Dalam posisi ini, beruntunnya serangan yang digencarkan dari kedua pihak –terkait derasnya dominasi isu miring- sudah sampai pada tataran ketidak-wajaran, yakni jargon “selamatkan masa depan bangsa”, sebagaimana hitam tak bisa menjadi putih, ketika latar belakang “kebangsaan” kembali dinyanyikan ulang maka rona “abu-abu” yang akan nampak. Dalam arti yang lebih samar, lebih arkais dan sangat primitif bahwa adanya kepentingan politik yang tak lain adalah: pencarian simpatisan dan mengajak untuk memberikan dukungan suara.Menjadi suatu yang tidak aneh, jika detik ini banyak pengkaji, analis dan media-m e d i a s o s i a l s e b a ga i i n st r u m e n komentator yang secara frontal dan terbuka mem-blow up situasi di balik faktor “abu-abu” ke permukaan. Dimana m e n j a m u r n y a u l a s a n p e r s y a n g mewartakan kepentingan politik terkait pencalonan Prabowo Subianto versus Joko Widodo sebagai presiden Indonesia. Sebab jika kita tilik ulang saat ini, dalam masa-masa pencalonan pres iden banyaknya pengangkatan wacana-wacana yang lebih cenderung beraroma “nyleneh”. Dan bahkan, disajikan secara “profesional” diawali dari adanya p e r s e t e r u a n i n t e r n a l ke l u a r g a , pengucilan SARA, friksi antar-golongan sampai konspirasi penculikan). Seolah-olah ini menjadi bahan obrolan yang s a n ga t e n a k u n t u k d i b i c a ra ka n , ketimbang mengulas secara kritis wacana kepentingan politik yang disanggul oleh kedua calon, dengan menjadikan wacana

ini sebagai keadaan yang “anteng” dan jauh dari masalah ketika membanjirnya ratusan pesoalan sos ia l -ekonomi masyarakat yang sekarang ini kondisinya amat memprihatinkan.Representasi yang melulu terkonsentrasi terhadap berita miring hari-hari ini, pada g i l i r a n n y a , a k a n m e m b a w a permasalahan-permasalahan tersendiri yang penting untuk dicermati. Secara kasatmata, (bagi sebagian orang) intensitas wacana yang berbau provokatif dalam suasana Pilpres merupakan hal yang lumrah dan sudah menjadi buah bibir masyarakat pada umumnya, bahkan berasumsi bahwa, “bukan Pi lpres namanya jika suasananya adem ayem tentrem”. Sialnya, suasana Pilpres kali ini benar-benar keluar dari jalur kewajaran, menggegerkan dan mengherankan, selain karena isi beritanya, juga karena aktor-aktor yang berperan –dengan berbagai kepentingan- di dalamnya adalah mereka (kelompok) orang yang “mengerti agama”, dengan status sosialnya –biasa- disebut sebagai kyai, ulama, ustadz ataupun tokoh mayarakat, yang sebagian dari mereka ini tidak jarang untuk menunjukan sikap “sentimentil” terhadap lawan politiknya. Sehingga banyak dari kalangan masyarakat yang mencibir dan belum atau tidak bisa memahami tindakan mereka. Di sini, kita bisa memaklumi perlakuan masyarakat terhadap aksi sebagian tokoh agama ini, dengan melakukan pencibiran dan penunjukan sikap antipati –ditandai dengan mulai hilangnya rasa simpati dan pudarnya sifat kepercayaan- sebagai bentuk penolakan atas cara-cara mereka dalam memenangkan calon pilihannya dalam kontes pemilihan presiden. Sikap afirmatif yang dilakukan sebagian kyai ini m e m b u at m a sya ra kat g u s a r d a n membuka suara, apalagi mereka yang

Kyai; Di Balik Layar Pemilu Presiden

AnalisaNusantara

Oleh: Wais al-Qorny

Page 7: PRESTãSI 98

Edisi 98, Juli 2014 07PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP* Kairo - Mesir *

mengerti akan proses-kinerja hukum. Sebagian orang gundah, melihat kian hari makin gawat saja para sosok-sosok yang lebih 'mengerti' atas agama ini, dengan membuat berbagai isu-isu negatif, demi terpilihnya calon yang di elu-elukan, sehingga kaum awam yang menjadi korban: terlumpuhnya pandangan “sehat” mereka terhadap berita yang belum jelas akurasinya. Sebagian orang lagi menilai bahwa, terdapatnya ulasan-ulasan miring yang didudukkan terhadap tokoh agama, disebabkan karena faktor yang lebih struktural dan determinan; yaitu ladang-ladang kekuasaan dimana para tokoh agama ini “bermain”, ladang kekuasaan inilah tempat dimana para “eksekutor” membagikan jatah jabatan dan kekuasaan.Berbagai ekspresi kegelisahan tadi, seakan memberikan potret bahwa tokoh agama adalah sosok mahluk sosial yang “bobrok”, sangat bernafsu akan kekuasan dan jabatan, tanpa disandingi dengan karakter kesalehannya. Padahal, riil dilapangannya tidak semua seperti itu, tidak sedikit kyai-kyai yang masih berada di jalur ke-kyai-annya, dengan masih bersandar pada t it ik kesyariatan, kesalafan, kesufian dan corak-corak lain yang implementas inya mengawal kepentingan umat. Mungkin komitmen keumatan inilah, yang penerapannya berbeda-beda antara kyai satu dengan k y a i y a n g l a i n . A d a k y a i y a n g kecendrungannya lebih kepada aspek internal, kyai ini, lebih fokus mengontrol santrinya tanpa terikat oleh struktur kepengurusan salah satu partai. Sebagian lagi , ada kyai yang memil ih jalur eksternal. Model ini, sang kyai mengurusi s a n t r i - s a n t r i s e ka l i g u s m e m i l i k i keterlibatan secara langsung di salah satu partai. Sehingga di sini, fungsi kekuasan kyai sangatlah penting dalam perubahan umat, agar umat tetap mandiri dalam segala hal. Tidak salah dengan mengatakan, bahwa

peran kekuasaan kyai di sini sangatlah penting bagi perubahan dinamika umat. Namun, justru karena kekuasaan inilah tak jarang para kyai -dengan sangat leluasa- menyalah-gunakan “otoritas” dan “pengaruh”nya untuk meluluskan kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok dalam menggaet massa untuk memberikan suara. Tanpa disadari, mereka (kyai) pelan-pelan turut-serta dalam agenda “pembodohan” terhadap umat. Jika dalam penyampaian mereka selalu menyudutkan satu kelompok dengan meninggikan kelompok yang lain, tanpa adanya anjuran untuk berpikir secara jernih dalam memilih. Dalam hal ini, mungkin ada benarnya apa yang dinasehatkan KH. Idris Marzuki, bahwa kyai itu jangan hanya menjadi dolanan (mainan) dan harus “cerdas” ketika menghadapi para politikus yang hanya memperdaya umat, dengan meminjam kekuasaan yang dimiliki oleh kyai.Mengamati nasehat KH. Idris barusan, secara dialektika, sepertinya memang banyak para kyai yang beranggapan bahwa dengan adanya kebebasan beraspirasi dan didukung dengan faktor d e m o g ra f i s ( y a n g p e n d u d u k n y a didominasi oleh kaum mayoritas; muslim), mereka berkeyakinan akan dapat melahirkan kepentingan dan a s p i ra s i m e re ka , s e h i n g ga a ka n terwujudnya hasil yang mereka harapkan. Karena dengan banyaknya kaum muslim; baik dari kaum santri sampai kalangan abangan, yang secara basis idiologi a d a nya ke s a m a a n a nta ra s o s i a l -keagamaan, ekonomi-politik, dapat dipastikan para kaum mayoritas tadi akan menggerakan dukungan dan loyalitasnya kepada lembaga yang memiliki kesamaan kultur, dalam hal ini adalah kyai. Sayangnya, jika model linear seperti ini yang digunakan, seolah adanya kelatahan “diakronis”, dengan berharap kepada kaum mayoritas, maka hal ini terbukti keliru. (Bersambung ke halaman 25)

Page 8: PRESTãSI 98

Kehendak Atas Kuasa vs. Revolusi

ISebagai bagian dari masyarakat dunia, mungkin kita sedikit lupa atas peristiwa yang sempat menggemparkan dunia. Selain lupa di masa kesekarangan, padahal waktu itu, fenomena itu hampir semua pihak mendadak terkaget-kaget. Peristiwa yang menjadi titik awal bermulanya revolus i d i negara-negaraTimur-tengah atau lebih dikenal dengan The Arab Spring. Yaitu, revolusi yang bermula peristiwa bakar diri oleh seorang pedagang kaki lima di Tunisia sebagai respon spontan dari kekejaman rezim Zine El Abidine Ben Ali kala itu. Seorang pedagang kaki lima di wilayah Sidi Bouzid Sidi, 300 kilometer sebelah selatan ibu kota Tunisia, bernama Mohammad Bouazizi yang selama tujuh tahun menekuni pekerjaan sebagai pedagang sayur dan bergantung hidup pada hasil penjualannya itu. Sekonyong-konyong gerombolan aparat menyita gerobak sayurnya dengan alasan bahwa Bouazizi berjualan secara ilegal alias tanpa izin. Setelah mencoba mengadu dan tidak mendapatkan respon yang semestinya, akhirnya Bouazizi memutuskan membakar dirinya. Aksi bakar diri ini sebagai wujud keputusasaaan sekaligus respon spontan atas kesewenang-wenangan atas rezim yang berkuasa. Dampak mendadak dari peristiwa ini tak hanya membakar amarah kerabat dan masyarakat sekitar lokasi kejadian, tapi juga seluruh warga Negara Tunisia. Pertanda awal atas kediktatoran Ben Ali akan runtuh. Wujud nyata dari peluapan amarah, warga Tunisia menggelar demo besar-besaran. Semerta, peristiwa pada bulan Desember 2010 ini kemudian dikenal dengan Jasmine Revolution. Jasmine Revolution menuntut pemberhentian diktator yang berkuasa tak kurang dari 23 tahun. Dan berhasil. Sebulan selepas demo yang kian membludak itu, pada tanggal 14 Januari 2011 (kekuasaan) Ben Ali jatuh. Kedigdayaannya lenyap, serta dia serta segenap keluarga melarikan diri. Sekaligus

menjadi hari bersejarah nasional yang dirayakan seluruh warga Tunisia pada setiap tahunnya. Keberhasilan revolusi yang diraih oleh Tunisia berhasil menularkan semangat revolusi berbagai negara di bagian Afrika Utara pada khususnya dan Timur-tengah pada umumnya. Sebut saja Negara Mesir, Libya, Aljazair, Suriah, Yaman, serta bebagai negara yang tak sampai menumbangkan rezim setempat. Semisal, Arab Saudi, Qatar dan Kuwait.Mesir adalah 'mimesis' nyata dari Tunisia. Mesir mengawali revolusinya dengan cara yang sama, yaitu menggelar protes atau demo besar-besaran berpusat di Lapangan Tahrir, semerta di hampir semua provinsi di Mesir. Demonstran meneriakkan ash-sha`b yurid isqat an-nizam (rakyat ingin menumbangkan rezim ini) setiap hari tanpa henti. Demonstrasi tanpa henti selama berhari-hari. Semakin bertambah hari, kian 'menyemut' para demonstran berdatangan-bergabung, semerta bundaran Tahrir, Kairo-Mesir, jadi tempat pusat para demonstran berkumpul dan berorasi. Akhirnya, usaha ini menuai hasil; Tepat hari ke-18, terhitung sejak 25 januari 2011, pada 11 Februari 2011 Presiden Hosni Mubarok mengakhiri jabatannya selama 30 tahun sejak menjabat pada tahun 1981. Kemudian dilanjutkan pada peristiwa revolusi di negara L i b y a . S e t e l a h c u k u p m e n y a k s i k a n keberhasilan yang diraih oleh Tunisia dan Mesir atas tumbangnya penguasa otoriternya, maka saatnya warga Libya turut serta melaksanakan aksi protes atas pemerintahan yang berkuasa selama 42 tahun, Muammar Khadafi. Berawal dari aksi demontrasi di Benghazi, kota kedua terbesar di Libya kemudian meluas ke berbagai penjuru Libya pada 15 Februari 2011. Aksi yang menuntut turunnya Muammar Khadafi dari tahta kekuasaanya berjalan cukup lama, 6 (enam) bulan. Dengan perjuangan warga Libya yang tanpa henti, ditambah penguasa Muammar Khadafi yang masih bersikukuh

Edisi 98, Juli 201408 PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP* Kairo - Mesir *

Timur TengahOleh: Choiriya Safina

Page 9: PRESTãSI 98

ingin berkuasa dan memimpin rakyat Libya, akhirnya dalam kurun waktu 6 bulan tepatnya 20 Oktober 2011, Muammar Khadaf i dikabarkan tewas akibat tembakan di bagian kepalanya. Serta, jasadnya terlantar di depan 'ruko' selama berhari-hari sampai membusuk.IISelain dari ketiga Negara ini, masih ada beberapa Negara di bagian Timur-tengah diantaranya Aljazair, Yaman, Maroko, dan Suriah yang juga berjuang menumbangkan pemimpin otoriternya. Bahkan pergolakan politik di Suriah belum selesai sampai sekarang. Dari beruntunan aksi protes ini, menunjukkan bahwa masyarakat Timur-tengah sama-sama memendam amarah dan kesenjangan dar i seg i manapun atas kepemerintahan yang berjalan. Dan endapan-endapan itu, meluap dan perlu dimuntahkan tatkala ada peristiwa yang pantas untuk dijadikan titik awal pemberontakan hadir. Aksi bakar diri di Tunisia misalnya, jika saat itu Bouazizi tidak nekat membakar dirinya karena alasan jengah atas rezim berkuasa, mungkin saja Tunisia masih berada pada kepemimpinan otoriter. Dan Negara-negara lain, juga belum tentu berani meluapkan amarah atas kesenjangan yang mengendap dalam diri mereka. Kesenjangan sosial jadi prioritas teriakan para demonstran, dan sudah tersimpan rapi selama beberapa dekade. Selain mempunyai kesamaan budaya, berbagai negara ini, mereka juga merasa mempunyai kesamaan nasib. Sama-sama berada dalam rezim diktator, taraf ekonomi rendah, politik nepotisme, tingginya tingkat pengangguran, tidak adanya kebebasan pers dan pendidikan dan sama-sama mengalami beberapa kesenjangan sosial. Beberapa pergolakan p o l i t i k , ko n f l i k e ko n o m i - s o s i a l d a n kemanusiaan-lah yang menghantarkan pada keharusan revolusi. Dalam data World Bank menyebutkan bahwa tidak ada catatan ekonomi positif pada negara-negara yang mengalami The Arab Spring, baik pra revolusi, ketika berlangsung, maupun pasca revolusi. Semuanya menunjukkan 'rapor

merah'. Pengangguran pekerja produkif semakin meningkat setiap tahunnya. Kekayaan negara sendiri dari penghasilan minyak oleh mayoritas negara timur tengah, terutama Libya, hanya dirasakan oleh kelas menengah ke atas saja, atau kaum elit setempat. Kekayaan kaum elit semakin bertambah tapi di waktu yang sama, kemiskinan, kesengsaraan dan pengangguran merajalela. Sehingga tidak ada pemerataan kesejahteraan ekonomi kepada rakyat luas. Hal ini sebanding dengan keterangan Samir Ali, pakar pembangunan Mesir:“pendekatan ekonomi dan sosial yang berjalan di negaranya antara tahun 1970 dan 2013 sebagai pola 'pembangunan compang-camping'. Pembangunan compang-camping untuk kinerja ekonomi yang dipaksakan oleh monopoli (pusat imperialis) pada negara-negara di bawah kontrolnya tanpa ada pembagian hasil pembangunan kepada masyarakat luas.” (Al Masry al Yaum, Rabu 9 Juli 2014)Selain itu, menurut Mohamed Nejib Hachana, mantan duta besar Tunisia untuk Amerika Serikat, ketika diwawancara Tempo, Minggu 5 Juni 2011, mengemukakan: “revolusi yang terjadi di Tunisia bukan disebabkan alasan ekonomi dan sosial, tapi menurutnya, karena alasan kebebasan dan demokrasi di dalam kehidupan berpolitik.” Dari kutipan yang dikemukakan Nej ib Hachana i tu, k i ta mengambil pelajaran: revolusi terjadi karena sudah tiba waktunya untuk memperhatikan kebebasan berdemokrasi dan untuk kehidupan yang lebih baik. Pada saat yang bersamaan, pemimpin Tunisia tak mampu merespon gelombang keingingan ini dengan baik dan perlakuan yang benar.Serupa dengan hal ini, Libya yang lebih dikenal sebagai negara yang cenderung menutup diri, ternyata ada kebijakan bahwa tidak adanya pengajaran bahasa asing untuk semua pelajar. Motif dari sistem pendidikan semodel ini tidak lain adalah agar masyarakat jelata tidak mendapatkan kesempatan untuk lebih pintar,(Bersambung ke halaman 25)

Edisi 98, Juli 2014 09PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP* Kairo - Mesir *

Page 10: PRESTãSI 98

Edisi 98, Juli 201410 PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP* Kairo - Mesir *

Lingkungan dan adaptasi menjadi bagian penting dalam pembentukan sebuah karakter seseorang. Bahkan para behaviorist percaya bahwa lingkungan sebagai faktor utama yang membentuk perilaku kita. Lingkungan seringkali “memaksa” kita untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Kita juga melakukan berbagai macam adaptasi untuk dapat bertahan dalam lingkungan tertentu. Hal ini menyebabkan munculnya perilaku yang berbeda-beda dari tiap lingkungan yang berbeda-beda pula. Beberapa ps iko log meyakin i adanya hubungan antara suhu udara dengan kecenderungan perilaku seseorang. Suhu udara yang panas dipercaya sebagai faktor pendorong muculnya agresivitas, dan juga sebaliknya. Reformasi 1998 di Indonesia misalnya terjadi pada bulan Mei dimana udara sedang berada dalam suhu yang tinggi sehingga menciptakan kecenderungan untuk meluapkan emosi. Pendekatan ini juga berlaku sebaliknya. Dalam konser-konser atau demonstrasi misalnya, kita sering melihat polisi menyemprotkan air kepada kerumunan massa. Tujuannya adalah mendinginkan suhu udara dengan harapan dapat meredam perilaku agresivitas massa. Saat ini masyarakat Indonesia sedang dalam masa-masa kampanye menjelang pemilihan presiden pada 9 juli 2014 mendatang, tak jauh beda dengan yang terjadi di masisir. Nampak sekali kita saksikan sejak beberapa minggu yang lalu setelah pemilihan umum legislatif usai, sensitifitas masisir kebanyakan semakin tinggi. Menjadi semakin gemar mencari informasi tentang capres baik yang di dukung m a u p u n l a w a n d a n k e m u d i a n membagikannya di wall akun Facebook miliknya. Dan ketika melihat status maupun mendengar komentar buruk terhadap capres yang dijunjungnya, dengan agresif segera membantah dan mendatangkan hujah,

bahkan kadang dengan membabi buta tanpa m e m p e r h a t i ka n s u m b e r nya a p a ka h terpercaya atau tidak.Suasana pol it ik membuat agresif itas masyarakat terkhusus masisir menjadi lebih tinggi. Selain cuaca Mesir yang sedang berada di musim panas ini, dua faktor yaitu faktor hereditas (genetika) dan faktor lingkungan (environment) bisa menjadi faktor utama agresifitas masisir.1. Faktor GenetikaPada masa konsepsi, seluruh bawaan hereditas indiv idu d ibentuk dar i 23 kromosom dari ibu dan 23 kromosom dari ayah. Dalam 46 kromosom tersebut terdapat beribu-ribu gen yang mengandung sifat fisik dan psikis individu atau yang menentukan potensi-potensi hereditasnya. Dalam hal ini, t idak ada seorang pun yang mampu menambah atau mengurangi potensi hereditas tersebut.Lebih lanjut dapat dikemukakan, bahwa fungsi hereditas dalam kaitannya dengan psikologi manusia adalah (1) sebagai sumber bahan mentah kepribadian seperti fisik, intelegensi, dan temperamen (2) membatasi p e r k e m b a n g a n k e p r i b a d i a n d a n mempengaruhi keunikan kepribadian.Sehingga ketika individu mempunyai orang tua yang bertemperamen mudah tersinggung atau gampang marah kemudian sifat tersebut ternyata diwariskan, maka karena suasana politik yang mengharuskan mendukung salah satu dia akan cenderung fanatik terhadap yang didukungnya. Sehingga terwujudlah agresifitas yang meninggi seperti yang sekarang sedang terjadi.2. Faktor LingkunganFaktor lingkungan yang mempengaruhi ke p r i b a d i a n d i a n t a ra n y a ke l u a r g a , kebudayaan, dan sekolah.a. KeluargaKeluarga dipandang sebagai penentu utama

Radiasi Lingkungan Terhadap Mental Masyarakat dalam Berpolitik

OpiniOleh: Zuhal Qobili

Page 11: PRESTãSI 98

Edisi 98, Juli 2014 11PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP* Kairo - Mesir *

dalam pembentukan kepribadian anak. Alasannya adalah (1) keluarga merupakan kelompok sosial pertama yang menjadi pusat i d e n t i f i k a s i a n a k , ( 2 ) a n a k b a ny a k menghabiskan waktunya di lingkungan keluarga, dan (3) para anggota keluarga m e r u p a ka n s i g n i f i c a n t p e o p l e b a g i pembentukan kepribadian anak.Sehingga ketika pola asuh orang tua cenderung bergaya keras, menekan dan sangat mengatur, kepribadian sang anak akan mengikuti didikan tersebut. Kemudian karena politik mengharuskan memilih, sensitifitas individu tadi pun menjadi meningkat karena orang yang mempunyai sifat kaku dan keras cenderung memiliki sifat fanatic terhadap apa yang dipilihnya.b. Budayakehidupan berbudaya mengatur kehidupan kita dari mulai lahir sampai mati, baik disadari maupun tidak. Kebudayaan mempengaruhi kita untuk mengikuti pola-pola perilaku tertentu yang telah dibuat orang lain untuk kita. Sehingga ketika seseorang pernah hidup dalam lingkungan dengan budaya fanatik dan ternyata mengontaminasi dirinya, maka suasana politik yang mengharuskan memilih dapat memicu sensitifitasnya menjadi lebih kuat.c. SekolahLingkungan sekolah dapat mempengaruhi kepribadian siswa. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi diantaranya iklim emosional kelas dan sikap serta perilaku guru. Maka ketika iklim emosional kelas dan sikap serta perilaku guru sebagaimana yang telah dipaparkan di atas dan merasuk ke dalam diri individu, suasana politik akan mudah meningkatkan sensitifitasnya selama masa pesta politik belum selesai.Kembal i mel ihat apa yang terjadi di lingkungan masisir, tak kalah ramai dengan perang antar kubu pendukung capres Prabowo-Hatta dan kubu Jokowi-JK yang terjadi di Indonesia. Lingkungan keluarga masisir yang heterogen di masisir ini memang niscaya menimbulkan dampak yang kompleks pula. Benar memang, masisir sebagai seorang

mahasiswa sudah menjadi nalurinya untuk tidak apatis terhadap perkembangan politik negara. Mengikuti pasang surut pesta demokrasi sudah menjadi hal yang wajar bagi seorang mahasiswa. Walaupun demikian, sikap yang hendaknya tercermin adalah sikap kritis yang tak menutup mata. Menutup mata akan kebenaran dan begitu saja terbawa oleh arus media yang saat ini mulai menurun tingkat objektivitasnya. Hanya membaca media yang sesuai dengan apa yang ia dukung, yaitu yang saat ini dikuasi oleh politikus-politikus demi kepentingan pribadi mereka. Hal ini lah yang tidak bisa diacuhkan dari masisir sebagai mahasiwa.Menjadi agent of change adalah salah satu budaya yang dibawa dan diemban oleh mahasiswa tak terkecuali mahasiswa di luar negeri, masisir. Menjadi agen perubahan khususnya perubahan bangsa yang lebih maju, menjadi prioritas mahasiswa terhadap Indonesia, dalam bidang apapun itu, termasuk dalam dunia perpolitikan. Salah satu aksi yang bisa dilakukan dalam masa pesta demokrasi ini adalah menjadi contoh bagaimana seyogyanya seorang negarawan bersikap dan menentukan pilihan. B a ga i m a n a s e h a r u s nya m a sya ra ka t menentukan pilihan terhadap capres masa depan secara cerdas. Tidak hanya itu, bagaimana sikap kompetisi yang sehat sebagai pendukung seorang capres yang ia yakini lebih baik dengan tetap menghargai pilihan orang lain. Dari kaca mata lingkungan sekolah, yaitu Al Azhar, sudah tidak diragukan lagi ketenaran universitas islam tertua ini dalam hal kemoderatannya. Dengan harap agar anak didiknya pun bisa berada dalam sikap penengah terhadap berbagai macam perbedaan. Berada di tengah bukan berarti terombang-ambing tanpa sikap yang jelas, tetapi tetap berada dalam keseimbangan yang positif dalam menyikapi pendapat yang berbeda, yang dalam hal ini bisa kita aplikasikan dalam menyikapi penentuan pilihan capres tanpa fanatisme yang melewati batas. (Bersambung ke halaman 26)

Page 12: PRESTãSI 98

Edisi 98, Juli 2014

Menerawang Kembali Politik di IndonesiaPemilu untuk pertama kali di gelar pada tahun 1955. Dalam perjalanan bangsa yang masih b e r u m u r 1 0 t a h u n , s e j a k p e r t a m a kemerdekaanya secara de facto diraih, Indonesia telah berusaha untuk menjadi Negara demokrasi mandiri dengan adanya pemilu. Selanjutnya, orde yang berkuasa mengatur kembali ketertiban politik dengan menjadikan demokrasi Indonesia dengan 3 warna, lalu orde lama tumbang, alam demokrasi bergeliat. Pemilu yang harusnya hingar-bingar di mana setiap manusia yang menjadi warga negara sah dianggap sama rata menentukan hak pilih mereka, kerap terasa hanya sepanas kopi tubruk di warung kopi saja. Sedangkan insan Indonesia terus dituntut mendewasakan diri berbangsa dan bernegara selaras dengan bertambahnya usia Indonesia.Pada prinsipnya, membangun sebuah komunitas (negara) adalah kebutuhan sosial manusia untuk mengatur kehidupanya, itu s e b a b n y a t u j u a n a k h i r n y a a d a l a h mensejahterakan rakyat yang ada dalam komunitas tersebut, kemudian politik muncul sebagai kompas arah suatu negara dalam pelaksanaanya. Dalam hal arah kiblat politik Indonesia sempat beberapa kali ganti alur untuk mencari corak; presidensial, demokrasi terpimpin hingga sekarang reformasi.Sekali lagi, sayangnya pengalaman bernegara bangsa ini terlihat masih kaku ketika kenduri lima tahunan masih diwarnai kegaduhan yang tidak penting, dari media verbal atau non-verbal ber is ikan menghujat , sa l ing menjatuhkan lawanya kampanye hitam (black campaign). Lalu, bagaimana mungkin bangsa yang sadar berbeda-beda ini bisa hiruk pikuk

karena suhu politik. Bukanya toh kita bangsa yang besar dan sangat membanggakan Bhineka Tunggal Ika?Tujuan BerpolitikAnggapan sebab-akibat yang jika berkuasa maka bisa berbuat banyak, mungkin masih banyak dalam mind-stream tujuan berpolitik, sehingga dianggap wajar jika berpolitik terkesan ramai-ramai berebut berkuasa. Memang politik adalah alat legalisasi konstitusional dalam proses jalan menuju tujuan kepentingan bersama.Seakan kita sudah lupa manifesto sebuah legalisasi politik, sebut saja Ghandi yang m e n a n g m e m b a w a I n d i a k e a r a h kemerdekaanya toh dia tetap sederhana dengan kain putihnya meskipun dia sejatinya masih gerah dengan anti violence yang ia gaungkan kepada rakyat India. Ghandi memang bukan berpolitik untuk memimpin tapi ia mengubah khalayak India menuju perubahan bangsanya lebih baik. Begitu juga tokok seperti Tan Malaka yang meskipun kerap di identikan kiri tidak lain tujuanya sama dengan Soekarno, menjadikan Indonesia yang mandiri.Sistem demokrasi mengharuskan partai politik lahir untuk meng-cover kebutuhan politis dalam menjalankan instrumen demokrasi, tapi partai yang dipercayai membentuk kader-kader yang dewasa berpolitik sering kita akui dengan rasa kecut kegagalannya. Kader partai yang ditimang dengan pendidikan politik yang cukup dari sekian parpol di Indonesia kerap kali mengabaikan esensi demokrasi. Bukannya menjadi duta politik yang dewasa malah menjadi kader partai yang militan hidup-mati untuk partai induknya.

12 PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP* Kairo - Mesir *

KajianOleh: Jafar Shodiq

Skeptisme Dalam Politik; Tinjauan Ulang Kritis(isme) di Masyarakat

Page 13: PRESTãSI 98

Edisi 98, Juli 2014 13PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP* Kairo - Mesir *

Kita memang menghargai usaha parpol dalam mencetak para kadernya, tapi bukan berarti fanatik buta kepada partai dan sendiko dawuh apa saja kata ketua partai. Alih-alih harapan Indonesia semakin dewasa berpolitik malah menjadi Indonesia yang terkotak-kotak partai dan koalisi, lantas kapan perpolitikan carut marut semacam ini bisa membangun negara?Relasi Politik dalam Bingkai Koalisi-OposisiPemilu Indonesia yang sekian kalinya kerap timbul pertanyaan, si A koalisinya dengan partai apa? Harus difahami bersama bahwa koalisi sebagai kerjasama politik untuk saling bahu membahu gotong royong mewujudkan tujuan arah yang lebih baik. Terkadang harus diakui, gotong royong politik itu hanya d i a n g g a p s e b a g a i p e m b a g i a n j a t a h kekuasaan untuk anggota koalisi. Dengan artian, tu juan po l i t i s ( jangka pendek, baca; pembagian jatah kekuasaan) tercapai, maka sudah d iang gap beres. Padahal koal is i muncul (seharusnya /red) karena kesadaran penuh bahwa memenuhi hajat h i d u p b e r s a m a y a n g beraneka ragam bukanlah hal yang mudah. Jadi, elemen yang ada dalam koalisi seharusnya hadir untuk mengulurkan tangan dan membantu kesulitan kinerja pemerintah yang berkuasa.Sedangkan tanggung jawab pihak oposisi, tidak hanya cukup sebagai lawan dari koalisi; menjegal langkah setiap gotong royong kinerja. Akan tetapi mampu memunculkan isu dalam masyarakat untuk melawan koalisi jika terjadi 'perilaku' di luar batas kewajaran tanggungjawab (pemerintahan). Maka menjadi kebenaran bersama jika oposisi diartikan sebagai pengendali rombongan koalisi dan harus selalu siaga untuk menjaga arah gerak koalisasi agar stabil dan tetap lurus.

Maka pemaknaan di atas, dalam prakteknya, keduanya bagaikan dua arah mata angin yang bertolak belakang. Akan tetapi , j ika p e m e r i n t a h d e n g a n k o a l i s i n y a mencanangkan gagasan yang melenceng dari visi-misi kepemerintahan maka bersiap-siaplah untuk ditolak oleh partai oposisi. Berangkat dari s ini , pemerintah dan koalisinya, perlu menyiapkan kesiapan mental jika ditolak oleh oposisi dan berusaha bekerja lebih baik di masa kepemerintahannya. Jika tidak demikian, kapan dua kubu bertentangan ini bisa saling berdamai (?)Sifat Kritis Sebagai Sistem Kontrol Seringkali, pada masa kampanye, para politikus memberikan janji manis melalui orasi politiknya, bahwa negara Indoensia kaya

raya gemah r ipah loh j inawi ; memakmurkan e k o n o m i r a k y a t , member ikan lapangan p e k e r j a a n d a n ke s e j a h t e ra a n s o s i a l . Sehingga membuat rakyat t e r b u a i d a n l u p a memikirkan kebenaran janji para politikus sebenarnya. Maka tak jarang, sering ditemui, pesta pilah-pilih politik untuk mengeruk k e u n t u n g a n s e s u a i

keinginan berkuasa dan menjarah harta benda terjadi kapan saja dan di mana saja. Dengan membungkam rakyat dari bersikap kritis terhadap keadaan, kontrol kinerja kepemerintahan sering diabaikan, akhirnya rakyat lupa bahwa pusat kekuasaan demokras i dar i rakyat menjad i dar i pemerintah dan koalisi saja. Tapi dengan bantuan beberapa pihak, khususnya pihak pelaksana pemilu (KPU), DPR, MPR, KPK, usaha untuk menjaga ketertiban perpolitikan di Negara Indonesia telah dilakukan. Dengan menghadirkan larangan semena-semena berkuasa yang diamandemen dalam undang-u n d a n g , m i n i m a l t e l a h m e m b a n t u keberlangsungan praktek perpolitikan yang

Page 14: PRESTãSI 98

Edisi 98, Juli 201414 PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP* Kairo - Mesir *

etis. Oleh karena itu, agar cita-cita kritis dari golongan rakyat bawah, KPK, MPR dan DPR mampu diterapkan dalam membangun bangsa, maka saat ini, menjaga sikap kritis dalam setiap pribadi adalah wajib, karena itu adalah bagian dari masyarakat modern dalam membangun negaranya. Di sini, izinkan saya untuk mengutip perkataan Soekarno, bapak proklamasi dan lambang kebesaran bangsa, dalam orasinya pernah menyampaikan pidato dengan nada berapi-api, yaitu: "jika bangsa Indonesia adalah bangsa yang harus selalu siap digembleng, harus siap untuk selalu jatuh kemudian bangkit lagi, jatuh lagi bangkit lagi hingga menjadi bangsa yang memang siap akan tidak jatuh lagi". Berangkat dari petikan orasi politik sang proklamator, bisa dijadikan pijakan logika untuk memahami kemakluman perpolitikan yang terseok-seok di dalam Negara Indonesia saat ini. Karena mereka belum siap untuk jatuh bangun dan membangun kembali dari keterpurukan. Jika demikian adanya, kapan Negara ini menginginkan bangkit lagi seperti awalnya?Bila dilihat dari sudut pandang psikologis, keadaan jiwa masyarakat sudah bosan dengan keadaan yang rindu akan kebaruan dan titik cahaya terang akan harkat hidup yang lebih mapan, tidak hanya itu-itu aja. Sehingga tidak lagi bermimpi pada janji, pada sosok pemimpin bijaksana, tapi juga ada perubahan mendasar dari setiap watak manusia di dalam hidup bernegara dan berbangsa, sehingga menciptakan bangsa maju secara sosial, peradaban, ekonomi dan pendidikan.Sehingga watak kemajuan ini, tidak keluar dari dasar empat hal saat berjalan menuju tujuan profetis berdirinya republik Indonesia, pertama tentang untuk melindungi segenap warga negara dan seluruh tumpah darah Indones ia , kedua untuk memajukan ke s e j a hte ra a n ra k yat , ket i ga u nt u k mencerdaskan rakyat dan terakhir ikut melaksanaakan partisipasi dalam ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi dan keadilan sosial.Dari keempat aspek dasar berdirinya republik Indonesia dan pengembangannnya, secara psikologis sosial, kerinduan yang dipendam oleh masyarakat tersebut bisa terselesaikan dengan baik dan tidak menciptakan realita yang bertolak belakang dengan cita-cita bangsa, pendidikan yang masih semrawut, kesejahteraan yang masih belum merata si kaya dan si miskin, serta carut-marut publik yang menambah kepenatan dan rindu akan negeri dongeng itu, akan tetapi mampu membangun sumber daya manusia yang maju dan sumber daya alam yang produktif.Sekarang, setelah pesta 5 tahunan, hari pemil ihan persiden, apakah Negara Indonesia masih akan menjadi negeri dongeng atau membuat Indonesia lebih b a i k ? U n t u k m e n j a w a b i n i , p i h a k masyarakatlah yang akan menentukan masa depan bangsa dengan bersinergi bersama keputusan persiden dan mengotrol aturan dan kebijkan-kebijakannya untuk Negara Indonesia. Mari gunakan kesempatan kita untuk membangun bangsa yang besar bernama Indonesia.[]

Page 15: PRESTãSI 98

Edisi 98, Juli 2014 15PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP* Kairo - Mesir *

Tentang kaderisasi kepemimpinan di KSW, mari menengok perjalanan KSW beberapa tahun yang lalu. Sedikit akan saya tuliskan mulai dari periode 2008/2009. Pada 2008/2009 terdapat beberapa anggota KSW yang mendaftar dan menjadi calon ketua KSW waktu itu. Kurang lebih ada empat calon (Ahmad Mu'arif, Saiful Amar, Suyatno Ja'far Shodiq, Zainul Anshori) yang waktu itu hanya calon ketua tanpa wakil seperti saat ini. Di antara empat calon tersebut, Sdr. Saiful Amar yang terpilih menjadi suksesor ketua KSW periode sebelumnya, Sdr. Hartono Muntohar. Di periode selanjutnya, tahun 2009/2010 pun terdapat tiga calon ketua KSW (Mbah Yatno-Suyatno Jakfar Shodiq-, Saiful Karyadi, dan Eko Sutrisno). Dan yang terpilih menjadi ketua KSW adalah Suyatno Ja'far Shodiq.Pada saat-saat transisi kepengurusan KSW tahun 2010, di akhir periode Suyatno Jakfar Sodiq, terjadi sebuah perubahan aturan yang berlaku hingga sekarang, yaitu ditetapkannya aturan tentang pasangan calon ketua dan wakil ketua KSW. Entah pertimbangan apa saja yang menjadi dasar ditetapkannya aturan itu, yang jelas adanya keharusan ketua dan waki l yang t inggal bersama-sama di s e k re ta r i a t K S W s a n ga t m e m b a n t u untukmenyelesaikan masalah dan tugas-tugas KSW. Dengan adanya pembagian kerja yang baik antara ketua dan wakil, hasil yang didapatkan tentu lebih maksimal. Karena memang tugas KSW terbilang banyak dan tidak jarang harus diselesaikan dalam waktu yang bersamaan. Mungkin ini salah satu yang menjadi dasar alasan adanya aturan pasangan calon ketua dan wakil ketua. S e t e l a h M P A p e r i o d e 2 0 0 9 / 2 0 1 0 menetapkan aturan sepasang calon ketua dan wakil ketua KSW, pada periode 2010/2011 ternyata hanya ada sepasang calon yang siap maju menggantikan ketua KSW sebelumnya, Sdr. Suyatno jakfar sodiq. Mereka adalah Sdr. Abdullah Munif sebagai calon ketua dan

Fatchul Machasin sebagai calon wakil ketua KSW. Yang akhirnya mereka terpilih dan menjabat selama satu periode. Kemudian pada periode selanjutnya, tahun 2011/2012 terdapat dua pasang calon ketua dan wakil ketua. Yaitu Sdr. Nur Fadlan sebagai calon ketua dan Sdr. Husni Hidayat sebagai wakilnya. Dan yang kedua Sdr. Fatchul Machasin sebagai calon ketua dan Sdr. Mahrus Ismail sebagai wakilnya. Dan pasangan yang disebut terakhir itu yang terpilih sebagai ketua dan wakil periode 2011/2012.Pada dua periode selanjutnya, KSW hanya memiliki masing-masing sepasang calon ketua dan wakil ketua. Pada periode 2012/2013 Sdr. M. Yusuf Nur Hasan sebagai calon ketua dan Sdr. Nanang Fahlevi sebagai wa k i l nya . Ke m u a d i a n p a d a p e r i o d e 2013/2014 Sdr. Rosyad Sudrajad sebagai calon ketua dan Sdr. Ulinuha Saifullah sebagai wakilnya. Diantara mereka yang maju sebagai calon ketua dan wakil dua periode terakhir ini, semuanya terpilih menjadi ketua dan wakil KSW diperiodenya masing-masing. Setelah kita sama-sama melihat perjalanan pemerintahan KSW dari tahun ke tahun. Dapat kita baca bahwa tahun-tahun yang lalu khususnya sebelum 2010, KSW memiliki kader-kader pemimpin yang lebih ramai. Itu ditunjukkan dengan mereka yang ikut berkontribusi mencalonkan diri atau diusung menjadi calon ketua dalam pemilihan ketua KSW. Tidak kurang dari tiga calon yang maju di masing-masing tahun pada waktu itu. Berbeda dengan masa setelah tahun 2010 sampai sekarang. Hanya periode 2011/2012 yang memiliki dua pasang calon ketua dan wakil. Sedangkan sisanya hanya ada sepasang calon ketua dan wakilnya. Lalu apa yang terjadi, mengapa hanya ada sepasang? Apakah karena aturan berpasangan? Atau ada faktor lain? Kalaupun aturan berpasangan antara ketua

KSW; Pemimpin dan Regenerasinya

Lensa KSWOleh: F. Machasin, Lc*

Page 16: PRESTãSI 98

Edisi 98, Juli 201416 PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP* Kairo - Mesir *

dan wakil menjadi salah satu faktor penyebab minimnya minat anggota atau warga untuk maju memimpin KSW, menurut saya bukalah faktor utama. Justru dengan adanya berpasangan ini akan menambah rasa percaya diri bagi para kader yang ingin maju pada pemilihan ketua dan wakil KSW. Salah satu faktor lain dalam hal ini adalah masalah mental dan keberanian untuk maju sebagai calon ketua dan wakilnya. Mental dan keberanian erat kaitannya dengan sebuah tantangan. Tantangan yang akan dihadapai oleh seorang ketua dan wakilnya di KSW dapat kita lihat pada tugas-tugas dan tanggung jawab yang ada di pundak ketua dan wakil KSW. Warga lebih suka diayomi oleh KSW. Ini menjadi salah satu tugas pengurus KSW, dalam hal ini ketua dan wakilnya. Sikap yang lebih suka diayomi ini akan menarik pengurus KSW untuk lebih giat dalam bersosialisasi kepada warganya. Harus sigap dan semangat untuk terus menunjukkan pengabdiannya terhadap warga KSW. Pengaruh kegiatan dan agenda-agenda KSW diharapkan lebih masuk kepada setiap warga sebagai bentuk pengayoman KSW terhadap warganya. Dan kita warga KSW sebagai pemilik organisasi kekeluargaan tercinta ini seharusnya juga turut berkontribusi dengan melangkahkan kaki membantu pengurus KSW untuk mewujudkan cita-cita bersama. Tidak hanya berdiam diri melihat tanpa aksi.Memahami potensi warga juga salah satu tugas yang lain. Banyak potensi di berbagai bidang. Selain potensi warga secara umum, KSW saat ini memiliki potensi yang perlu kita pertahankan. Diantaranya di bidang olahraga, semisal tim sepak bola dan tim Voli yang sudah berkali-kali mengharumkan nama KSW misalnya. Dalam bidang kesenian yang memiliki grup Gayeng band. Bahkan saat ini sudah muncul harapan baru dari generasi baru KSW yang bergitu giat menunjukkan semangat potensi seninya. Dan yang terpenting dalam bidang pendidikan selain KSW memiliki Buletin Prestasi dan Sekolah M e n u l i s Wa l i s o n g o s e b a ga i w a d a h

pendidikan menulis, Walisongo Study Club adalah salah satu potensi terbaru yang sangat penting kedudukannya sebagai kegiatan pendidikan yang akan menjadi karakter KSW, Kelompok Studi Walisongo. Ini adalah tantangan. Tantangan bagi pengurus KSW untuk merawat dan memajukannya. Selain itu tidak kalah pentingnya agar selalu menjaga komunikasi dengan semua pelaku kegiatan program-program yang saya sebutkan di atas. Agar selalu dapat bekerja sama menuju arah yang sama-sama dicita-citakan. Tantangan lainnya adalah bahwa pengurus KSW dalam hal ini ketua dan wakil selalu menjadi inisiator. Dialah yang akan bergerak lebih dahulu dibanding anggotanya. Bergerak lebih dulu untuk merubah keadaan apapun agar terlihat lebih baik. Dan tentu masih banyak lagi tugas dan tanggung jawab sebagai pemimpin di KSW yang tidal dapat saya sebutkandi sini. Beberapa tantangan ini yang saya kira membuat mental menjadi “aras-arasen” untuk terjun menjadi pemimpin KSW. Karena tidak ada pilihan lain kecuali bekerja secara total di KSW. Atau bisa kita artikan juga bahwa apa yang terjadi di tubuh ksw selama beberapa tahun belakang ini bisa jadi adalah sebuah titik positif yang dimiliki oleh warga KSW. Mengapa? Sekarang , d i saat banyak p e m i m p i n ya n g m e n u n j u k ka n s i ka p ambisiusnya. Di saat banyak orang yang bernafsu untuk menjadi publik figur. Di masa banyak orang yang ingin memiliki kekuasaan dan menguasai rakyat. Dengan alasan ingin memakmurkan, mensejahterakan rakyat dan lain sebagainya. Di saat mereka berlomba-lomba menjadi seorang pemimpin hingga dengan berbagai macam cara, politik uang, politik transaksional demi sebuah jabatan. Namun apa yang rakyat dapatkan tidak seindah apa yang para pemimpin janjikan. Dan KSW, memiliki anggota dan kader-kader yang tidak ingin menonjolkan dirinya sendiri. Mereka saling mendahulukan orang lain ketimbang dirinya sendiri. Ya, bisa dikatakan itu adalah sifat yang baik. Dalam kata lain adalah tawadlu'.(Bersambung ke hal 26)

Page 17: PRESTãSI 98

Edisi 98, Juli 2014 17PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP* Kairo - Mesir *

Kampanye pemilihan presiden tahun 2014 ini terlihat berbeda dari pelaksanaan pemilu sebelumnya. Terlihat persaingan ketat antara dua kubu yang diwarnai dengan perseteruan kedua timses. Banyak propaganda yang dihadirkan ke dalam masyarakat melalui media-media besar di Indonesia oleh setiap timses. Sehingga memunculkan kebimbangan bagi warga netral atau bagi warga muda yang baru melibatkan diri ke dunia perpolitikan negara. Bagaimana mereka menetukan pilihannya? Apakah mereka hanya terseret atas propaganda yang dihadirkan? Berikut adalah wawancara oleh kru Prestasi dengan bapak Musthafa Abd. Rahman, salah seorang wartawan harian kompas yang berdomisili di Kairo.

Menurut pandangan Bapak, apa peran masyarakat sipil dalam percaturan politik Indonesia?

Peran masyarakat sipil sangat strategis dalam kehidupan demokrasi di sebuah negara. Hal ini juga berlaku di Indonesia yang proses kehidupan demokrasinya mulai terlihat matang.

Masyarakat sipil serta merta menjadi salah s at u p i l a r u ta m a d e m o k ra s i . Ta n p a masyarakat sipil yang kuat, tidak bisa terbangun kehidupan demokrasi. Dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi , masyarakat s ipi l menjadi penyeimbang kekuatan negara. Disini, masyarakat sipil bersama media massa dan

parlemen berperan sebagai pengontrol jalannya pemerintahan.

Di Indonesia yang proses demokrasinya bergulir mulai tahun 1998, masyarakat sipilnya mampu menunjukkan perannya yang kuat. Siapa pun penguasa di Indonesia selama ini, ketika mengambil keputusan selalu mempertimbangkan opini publik yang berkembang. Salah satu sumber opini publik itu adalah masyarakat sipil.

Sebagai kalangan media, seberapa jauh menurut Bapak media mengedepankan informasi dan netral i tas ket imbang mengambil keuntungan dengan berpihak pada salah satu peserta pemilihan?

Sayang sekali, beberapa media massa utama, terutama dari industri televisi berita seperti Metro TV dan TV One, sudah tidak bisa dikatakan netral. Hal itu maklum saja, karena pemilik Metro TV, Surya Paloh, adalah ketua umum partai Nasdem yang kini masuk dalam koalisi Jokowi-JK.

Adapun pemilik TV One, Aburizal Bakri, adalah ketua umum partai Golkar yang kini masuk dalam koalisi Prabowo-Hatta.

Sejumlah media lain juga secara samar-samar terlibat mendukung salah satu peserta pemilihan.

Ini memang bisa dikatakan perkembangan negatif dalam kehidupan pers di Indonesia. Hal itu terjadi lantaran industri media di Indonesia kini dikuasai oleh para pengusaha besar yang terakhir ini banyak terjun kedua

Wawancaradengan

Musthafa Abd. Rahman

WawancaraOleh: Kru Prestâsi

Page 18: PRESTãSI 98

Edisi 98, Juli 201418 PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP* Kairo - Mesir *

politik. Sebut saja seperti Surya Paloh (Media group), Aburizal Bakri (TV One dan Viva News), Dahlan Iskan (Jawa Pos), Hary Tanoesudibyo (MNC TV, RCTI).

Yang menarik, antusias masyarakat muda yang baru berkesempatan memilih tahun ini sangat tinggi. Apakah sebab pertama kali d a n m e ra s a exc i t e d a t a u m e m a n g persaingan antar dua kubu sangat ketat?

Antusias masyarakat muda adalah sebuah keniscayaan dalam semua sektor kehidupan, termasuk terkait urusan pemilu. Banyak faktor yang melahirkan antusias para kaum muda itu, diantaranya usia yang muda, masih ada idealisme yang tinggi dari mereka, memanfaatkan s i tuas i pemi lu untuk menunjukkan eksistensi, dan barangkali juga akibat persaingan yang ketat.

Menurut beberapa sumber (masisir), tidak seperti 5 tahun lalu, baik yang pertama kali memilih ataupun yang sudah pernah, terjadi pada mereka fenomena sensitifitas yang meningkat antar pendukung masing-masing kubu. Saling melempar pendapat dan penilaian yang agak “dalam” dan sentimen secara frontal di jejaring sosial ataupun diskusi tatap muka. Apakah menurut Bapak juga demikian? Mengapa?

Fenomena itu sebuah keniscayaan dalam pertarungan pilpres yang hanya melibatkan dua kubu yang sama-sama kuat dan sulit dipredeksi siapa pemenangnya. Situasi Masisir tak jauh beda dengan situasi di Indonesia yang sudah terseret cukup jauh kedalam pertarungan sengit itu, dan bahkan sering tidak sehat. Pemandangan itu bisa dilihat di jejaring sosial.

Bagaimana pandangan Bapak terhadap beberapa timses yang variatif asal-muasal dan juga “kasta”-nya itu mewajibkan orang-orang di dekatnya untuk ikut mensukseskan pilihannya? Apakah landasan sikap ini?

Variatifnya asal muasal timses, itu cermin dari kemajemukan masyarakat Indonesia. Fenomena itu harus kita lihat dari kacamata yang positif. Tidak ada satu pun sebuah lembaga, organisasi dan gerakan di Indonesia yang tidak mencerminkan kemajemukan itu. Masisir sendiri itu kan terdiri dari berbagai suku dan berasal dari berbagai pulau di Indonesia. Komposisi Masisir itu wajah Indonesia mini.

Tugas Timses seperti orang jualan yang harus meyakinkan calon pembeli dengan berbagai cara agar mau beli jualannya. Kadang terjadi cara yang tidak ilegant dari timses seperti pemaksaan atau politik uang.

Bagaimana perbandingan antara masyarakat Mesir dan Indonesia dalam menyikapi dan menghadapi pemilihan presiden tahun ini menurut kacamata sosial Bapak?

Mesir dan Indonesia beda jauh. Proses demokrasi di Indonesia jauh lebih maju dari Mesir. Mesir masih dalam proses awal peralihan menuju era demokrasi, dan bahkan terlihat masih terseok-seok proses demokrasi di Mesir. Hal itu berdampak pada sikap kurang antusias sebagian masyarakat Mesir terhadap pemilu presiden pada akhir Mei lalu.

Sebaliknya masyarakat Indonesia terlihat sangat bersemangat mengikut pemilu, karena pemilu di Indonesia sangat terbuka dan semua warga merasa terpanggil untuk menyalurkan aspirasinya. Hal itu akibat proses demokrasi yang cukup sukses di Indonesia.*

Biodata:

Nama : Musthafa Abd. Rahman

Tgl/tempat lahir : 7 Agustus 1965 di Pamekasan – Madura

Pendidikan : S3 (Phd) bidang kajian politik Islam dari Universitas Beirut – Lebenon tahun 2008

Pekerjaan : Wartawan harian Kompas

Page 19: PRESTãSI 98

Edisi 98, Juli 2014 19PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP* Kairo - Mesir *

Referensi film yang disaj ikan selama ini, kebanyaka

n mempunyai tujuan untuk mengajarkan kebenaran yang harus selalu dijunjung tinggi dan diperjuangkan. Hal itu digambarkan d e n ga n p e ra n - p e ra n p ro ta g o n i s nya memenangkan “konflik” dalam film, baik secara fisik maupun ideologi. Game of Thrones merupakan film seri dengan setting-an kolosa l masa kera jaan. Dan juga merupakan film fantasi karena tidak hanya bercerita tentang manusia, tapi juga mahluk-mahluk supranatural dan juga mahluk-mahluk mitologi seperti naga, raksasa dan lain-lain. Film seri Game of Thrones ini mengangkat tema kemanusiaan dalam ceritanya. Bukan kemanusiaan dalam wilayah k isah-kisah inspirat i f yang humanis , melainkan sifat manusiawi yang tidak naif. Yang dipenuhi hasrat akan kekuasaan, permainan politik yang licik, hingga kepolosan sifat manusia yang jarang ditunjukkan dalam film-film pada umumnya, yang jauh dari ekspektasi penonton pada umumnya.Film seri yang diadaptasi dari novel A Song of Ice and Fire karya George R. R. Martin ini memiliki pandangan berbeda terhadap bagaimana mendukung kebenaran dalam sebuah alur cerita. Petyr Baelish (Aidan Gillen), salah satu anggota dewan kerajaan pusat King's Landing sebagai Master of Coin atau semacam bendahara kerajaan, pernah

berkata pada Ratu Cersei (Lena Headey); “Knowledge is power (Pengetahuan adalah kekuatan).” Namun kemudian dengan perintah Ratu, pengawal-pengawal yang ada d i m a s i n g - m a s i n g s u d u t nya s e g e ra memegangi Lord Baelish dan menghunus pedang ke tenggorokannya, kemudian Cersei berkata; “Power is power (Kekuatan tetaplah kekuatan).” Kekuasaanya digambarkan mengalahkan pemikiran Baelish yang biasanya akan dimenangkan dalam sebuah cerita, setidaknya pada season satu ini. Dan penggambaran itu diterapkan pada tiap klimaks yang dipercikkan di tiap sudut episode, setiap tokoh akan melakukan kesalahan yang natural, meyakini kebenaran dengan naif, teguh pada prinsip idealismenya, namun yang menang tetaplah yang berkuasa dan punya pasukan lebih banyak. Yang lemah (walau benar) lalu kalah harus tunduk untuk bertahan hidup.Menurut George R. R. Martin, pencipta dunia Game of Thrones, film seri ini bergenre epic fantasy. Novelnya yang terbit pertama kali pada tahun 1996 diadaptasi menjadi film seri oleh dua penulis skenario handal Amerika serta produser David Benioff dan D.B Weiss pada tahun 2011 yang kemudian ditayangkan di channel HBO Entertainment. Hingga saat ini, mereka berdua telah mengadaptasi 5 novel George (A Song of Ice and Fire Series; A Game of Thrones, A Clash of Kings, A Storm of Swords, A Feast for Crows dan A Dance with Dragons) menjadi 4 season film seri yang masing-masing terdiri dari 10 episode. Di awal

Game Of Thrones; Ketika Tahta adalah Permainan

Judul� : Game of Thrones (Season I)Creator� : David Benioff dan D.B Weiss Pemain� : Sean Bean, Mark Addy, Lena Headey, Peter Dinklage, Kit Harington, Michelle Fairley

Durasi� : 60 Menit/episode

“When you play the game of thrones, you win or you die.” -

Cersei Lannister (Game of Thrones).

ResensiOleh: Fadhilah Rizqi

Page 20: PRESTãSI 98

Edisi 98, Juli 201420 PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP* Kairo - Mesir *

episode satu,penonton akan dimanjakan dengan pemandangan serba putih, hutan yang dipenuhi salju. Kemudian merasakan sensasi fantasy-nya, dengan kemunculan mahluk misterius yang membunuh tokoh-tokoh di prolog episode satu. Asumsi yang muncul adalah bahwa Game of Thrones merupakan film horror dengan teror dari mahluk supranatural. Namun kemudian George berkomentar mengenai hal ini; “This is not about monsters, this is about humans.”Mengapa tentang manusia? Sebab dalam satu season pertama, ancaman monster yang disebut-sebut sebagai White Walkers hampir tidak pernah muncul lagi kecuali sekali di episode 8 (The Pointy End) dan masih meninggalkan tanda tanya. Dan pada akhirnya tetap hanya tersisa sebagai sejarah yang kebangkitannya tidak dipercayai oleh orang-orang di selatan The Wall. Sama halnya dengan keberadaan naga yang hanya cerita-cerita keperkasaan orang-orang dulu, khususnya keluarga legenda Targaryen yang bisa mengendalikan naga. Hingga akhirnya m u n c u l ke m b a l i s e te l a h 3 0 0 ta h u n menghilang di akhir episode 10 season 1 dengan terbuktinya Daenerys Targaryen (Emilia Clarke) sebagai The Last Dragon dalam keturunan terakhir House of Targaryen. Dan juga, film seri ini memang menceritakan manusia, menggambarkan keputusan-keputusan manusiawi, sifat-sifat manusiawi yang sangat mungkin terjadi pada diri manusia secara objektif tanpa ada istilah mendadak populer, mendadak pahlawan atau mendadak yang lain. Cerita Game of Thrones meliputi dua benua fiktif; Westeros di barat dan Essos di timur yang dibatasi oleh laut Narrow Sea, serta daerah Beyond The Wall yang senantiasa diselimuti oleh salju di utara perbatasan utara Westeros, di balik The Wall. The Wall adalah dinding es setinggi 800 kaki yang dibangun untuk melindungi Westeros dari ancaman mahluk supranatural, White Walkers yang bisa membentuk tentara dari mayat hidup yang tak bisa mati kecuali dibakar. Episode

satu dengan judul Winter is Coming , merupakan frasa khas masyarakat Winterfell yang cuacanya selalu dingin dan menjadi yang pertama terkena salju saat musim dingin panjang datang. Penonton akan dibawa penasaran oleh cerita suasana musim dingin yang mencekam dan berkepanjangan sebagaimana digambarkan oleh keluarga House of Stark sebagai penjaga daerah utara yang dipimpin oleh Eddard Ned Stark (Sean Bean), Lord of Winterfel l . Kemudian hubungan mereka dengan penguasa kerajaan utama di King's Landing, yang dirajai oleh Robert Baratheon (Mark Addy), pemimpin pergerakan konspirasi kudeta Aerys Targaryen dari Iron Throne bersama Ned Stark, sahabatnya, dan bantuan keluarga Lannister.Sangat menarik saat penonton dibuat bingung untuk menentukan siapa peran protagonis siapa peran antagonis, siapa lawan siapa kawan, mana peran utama mana peran pendukung, setiap peran punya kunci untuk plot cerita yang dibangun sedemikan rumit. Perang dingin antar peran begitu terasa sejak awal episode, ini bukan lagi tentang bagaimana kebenaran dijunjung, tapi bagaimana sebuah keputusan akan sebuah tindakan bisa memberi umur lebih panjang sekedar satu atau dua hari. Belum lagi cerita tentang gerakan pemberontakan dari utara yang dipimpin Robb Stark (Richard Madden), putra sulung Ned. Yang setelah kematian Ned berubah menjadi gerakan kemerdekaan akan wilayah utara dari persatuan Tujuh Kerajaan yang berpusat di King's Landing. Kekayaan karakter dalam film seri ini begitu proporsional dan tidak terasa sia-sia sama sekali, setiap peran selalu punya kunci untuk misteri plot yang hingga sekarang pada penghujung season empat banyak yang belum terpecahkan. Seperti karakter politik misterius Lord Varys (Conleth Hill), Master of Whisperers, Divisi Mata-Mata di Dewan Kerajaan, yang keinginannya selalu tidak dapat ditebak. Sama halnya dengan Lord Baelish. Kemudian yang menarik, entah malah kekurangan, setting-an waktu di film

Page 21: PRESTãSI 98

Edisi 98, Juli 2014 21PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP* Kairo - Mesir *

seri ini tidak begitu jelas, dari satu episode ke e p i s o d e b e r i ku t nya p e n o nto n a ka n merasakan kejanggalan waktu, tidak ada pemberitahuan beberapa waktu kemudian. Juga tidak ada flashback dalam film seri ini sama sekali, semua masa lalu diceritakan dalam kisah-kisah, buku-buku pelajaran untuk anak-anak bangsawan, menjadi p e n g e t a h u a n u m u m y a n g s e r i n g diperbincangkan oleh para tokoh, namun tidak divisualisasikan. Menurut penulis ini sangat menarik, penonton akan terus menerus penasaran dengan gambaran tokoh-t o ko h m a s a l a l u ya n g d i b i c a ra ka n , kelegendaannya, kengeriannya. Orang-orang akan sangat ingin tahu seperti apa si Raja yang gila, Aerys Targaryen, Tangan Kanan Raja Jon Arryn, bagaimana para Targaryen dengan naga-naganya menaklukan Westeros, bagaimana Robert Baratheon dan Ned Stark merebut Iron Throne, bagaimana Jaime menebas The Mad King hingga dijuluki King Slayer, dan misteri-misteri masa lalu lainnya.

Game of Thrones, mengangkat banyak

fenomena kehidupan di zaman kerajaan,

mulai dari perbedaan kasta, perjodohan

sederajat, perbudakan, pelacuran dan lain-

lain. Gambaran jelas akan kekerasan dan

nudity di film seri ini, mungkin akan jadi

sedikit pertimbangan untuk menonton atau

tidak. Hal ini juga banyak menuai kritik, semua

isu penyimpangan seks juga diangkat di GOT

seperti incest (hubungan intim sedarah),

pedofilia, kekerasan seksual, homoseksual,

dan lesbian. Namun, saat melihatnya

penonton yang cerdas akan menyadari

sebuah fenomena realitas yang mungkin

terjadi pada masa itu, bukannya berpikir yang

tidak-tidak. Komentar George R. R. Martin

tentang hal ini bahwa kekerasan seksual

(pemerkosaan) adalah hal yang wajar di masa

peperangan. Dan juga mengacu pada sebuah

gagasan yang ia angkat dalam tema novelnya

“the true horrors of human history derive not

from orcs and Dark Lords, but from

ourselves." Game of Thrones memberi

gambaran akan kepolosan manusia, psikologi

dasar prilaku manusia, bahwa kita bisa belajar

akan s ikap-s ikap manus ia kemudian

m e n e n t u k a n s i k a p t e r b i j a k u n t u k

menghadapinya.

Pada suatu siang yang terik. Saat para punggawa Prestâsi sedang berkumpul membahas ulang rubrikasi, saya sempatkan usul untuk menambah satu rubrik lagi. Kenapa? karena selama ini yang saya alami, rubrik-rubrik yang ada begitu kental dengan nuansa intelektual dan kajian. Memang ada rubrik sastra dan catatan pojok tapi sepert inya keduanya pun tak jarang menyuguhkan tema berat.Entah bagaimana akhirnya rubrik baru itu kita namai Oase. Awal tujuan saya adalah agar

Prestâsi lebih renyah di mata pembaca. Lebih ringan, agar tidak melulu berisi tema-tema yang mengrenyitkan kening. Sebagaimana oase yang di Siwa, Oase Prestâsipun berharap bisa menjadi tempat singgah pembaca dari halaman-halaman yang menyita banyak energi.Tapi saat ditanya bagaimana standarisasi rubrik Oase itu? Saya kesulitan menjawab. Memang yang ada dalam benak, hanya sebuah rubrik tempat istirahat dari sebuah perjalanan panjang. Tapi kalaupun harus ada

OaseOleh: Abdul Wahid S.

Bagaimana seharusnya sebuah Oase?

Page 22: PRESTãSI 98

Edisi 98, Juli 201422 PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP* Kairo - Mesir *

standarisasi rubrik maka mungkin akan bisa dijelaskan sebagai berikut:Pertama, Oase adalah jenis tulisan ringan bisa dalam bentuk feature, catatan perjalanan, atau diary.Kedua, isi tulisan adalah memotret hal-hal yang menurut penulis dianggap menarik, sekalipun menurut orang lain tidak menarik atau kurang menarik.Ketiga, meski cara menyampaikannya ringan oase harus tetap memberi pendidikan kepada pembaca. Semacam khotbah edukatif lewat tulisan.Begitulah kira-kira standar yang harus diperhatikan para penulis Oase. Mungkin ada tambahan lain dari pembaca silakan dikirim lewat surat pembaca.Adapun judul tulisan ini yang terkesan tendensius sebetulnya tidak serius-serius amat. Kata “seharusnya” bisa diartikan “tidak seharusnya”. Karena memang judul katanya harus memikat mata ya saya ambil judul yang tendensius penuh kesombongan. Siapalah saya sehingga harus mendefenisikan oase yang seharusnya?Ketika fenomena pilpres mau tidak mau dianggap membosankan. Kita harus sadar bahwa yang membuat bosan bukanlah pilpres, tapi media. Media baik yang online maupun cetak, yang nasional maupun lokal, sejak beberapa bulan yang lalu sudah secara masif menjadikan berita sebagai budak penguasa. Berita-berita yang disiarkan dibungkus rapi diarahkan ke satu titik. Terus menerus. Jujur saja seperti membunuh mata

pelan-pelan. Bayangkan jika judul berita seperti ini “Di KPK, Jokowi Makan Nasi Kotak Pakai Tangan.” (Kompas 26 Juni) padahal masyarakat Indonesia selama berabad-abad makan pakai tangan. Itu satu contoh konten kenapa fenomena pilpres menjadi sangat meresahkan. Khususnya buat saya mungkin j u g a p a ra p e n g a n g g u ra n l a i n y a n g mengidamkan ketentraman dunia. Entah bagi yang punya kepentingan, lain lagi ceritanya.Seanda inya media mau l egowo dan memberitakan yang menarik dan mendidik saja, dan mengatur ritme agar tetap seimbang, mungkin fenomena ini tidak begitu bermasalah. Apalagi media yang sudah sampai tahap fitnah memfitnah. Bagi sebagian orang yang terbiasa dengan fitnah dan adu jotos mungkin sangat menarik. Tapi bagi orang-orang yang waras fitnah-fitnah media tidak ada gunanya.Media bukan sekedar corong pemberitaan. Media tidak boleh bias. Media harus mendidik pembaca –ini yang sedang lumpuh di media kita--. Di zaman serba digital ini kalau sekedar share informasi anak SD pun bisa. Tapi mengolahnya dan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai kebajikan dibutuhkan orang-orang yang tahan godaan akan popularitas dan harta.Sayangnya semakin jarang orang-orang yang berprinsip, tapi semoga Prestãsi beserta ruang lingkup sempitnya, tetap bertahan pada prinsipnya. Meskipun sangat jauh disebut media profesional akan tetapi eksistensi Prestãsi telah menjadi semacam nilai luhur yang dimiliki KSW. Prestasi akan teguh pada prinsipnya; mengetengahkan wacana sosial sekaligus berupaya sebisa mungkin mengkritiknya. Tema-tema sosial yang begitu kompleks akan sangat panas jika disajikan dengan yang ilmiah-ilmiah. Itulah kenapa kita butuh rubrik Oase?Pada akhirnya tulisan inipun entah layak atau tidak disebut Oase, kita serahkan saja pada Pimred. Semoga pengisi selanjutnya bisa mewakili aspirasi Oase sejatinya.[]

Page 23: PRESTãSI 98

Edisi 98, Juli 2014

I

Suram. Lampu remang-remang di bus, kehabisan baterai telepon genggam, dan irama dengkuran mimpi indah. Perjalanan panjang menembus dinginnya jalanan menuju kawasan Saint Catherine. Lalu dari bawah lampu remang, dia (gadis pemilik senyum misterius) menutup lembaran catatan kecilnya. Menghela nafas sembari melontar senyum pada kaca jendela bus yang mulai mengembun. Lalu melempar tatapannya yang khas menuju jalanan, seolah mengucap doa. Semoga, bukan doa beranjak tidur yang ia lantunkan. Dan kaca-kaca jendela semakin mengembun, mungkin karena senyumnya.

Dan setumpuk kata-kata di tangan ini sudah enggan dieja, meski indah, mencerca remangnya lampu. Tapi mungkin lebih tepatnya, iri dengan pandangan pada senyum gadis itu. Yang dalam keremangan tetap mencari kata dari tinta, meski entah untuk apa. Ah, seandainya saja kata-kata itu untukku. Terlebih senyumnya. Tapi sungguh, ini hanya impian, bukan harapan.

Kilat lampu dari mobil berkecepatan tinggi melintas, dan tatapan mata gadis itu turut mengikuti tiap garis lampu mobil itu. Masih dengan tatapan khasnya. Lalu dengan sederhananya, tatapannya bertemu dengan tatapanku, ah, lagi, senyum itu, senyum itu. Senyum miliknya. Seyumnya mengatakan sesuatu; misteri. “Belum tidur?” tanya gadis itu. “Ah, bagaimana bisa tidur, menyiakan remang lampu yang berpadu dengan seyum misteriusmu”, sejenak ungkapan untuknya terlintas. “Belum” hanya itu kataku untuknya. Dia memang gadis misterius!

II

Dingin. Sorot lampu bus menyibak tumpukan salju tipis di tengah jalan menuju pos pendakian Gunung Sinai. Gadis itu terlihat mulai sibuk dengan berbagai perangkatnya untuk turut menghampiri dinginnya angin bersalju. “Wah, dingin banget ya!” Ungkap seorang kawan di depan tempat duduknya. “Jangan keluhkan dingin, keluhkan kita yang tidak bisa menikmati dingin” Jawab gadis itu tanpa diminta. “Ya, dinginnya angin bersalju di sini juga akan menyingkir karena seyummu” sambungku. Ah, untung saja hanya

gumam. Sayang jika gadis itu sudah mendengar dari sekarang. Tidak akan ada angin bersalju yang indah di puncak gunung nanti.

Langkah-langkah kedinginan menyisir jalur pendakian. Dan tepat di depan Gereja Saint Catherine lampu senter gadis itu menyorot bangunan kuno yang kokoh itu. Lalu langkah gadis itu berhenti sejenak, mendecak kagum sembari tersenyum, entah apa artinya. Dan di sepanjang perjalanan di antara kaki-kaki kedinginan, justru kaki gadis itu yang melelehkan dan menyibak salju sepanjang langkah. Angin-angin salju pun menambah kecepatan langkah gadis itu. Riang, tanpa melawan dingin; menikmati. Lalu senyumnya kembali merekah saat mendengar keluh yang tak membawa peluh. “Sudah, jangan lawan angin dingin bersalju ini, coba ucapkan salam pada gunung ini dan lihat bintang-bintang di langit” Sahut gadis itu mencoba menghibur keluh kaki-kaki yang kedinginan. Dan benar, langit yang berbintang, angin bersalju, jalanan menanjak, dan suara tegas gadis itu memang memberi pilihan lain selain dingin; menghangat.

Dan menjelang puncak, tangga-tangga batu berselimut salju tebal menghentikan langkahnya sejenak. “Puncaknya masih jauh nggak?” tanya seorang gadis berjilbab di sebelahnya. Lalu dia hanya tersenyum sembari melangkahkan kaki dengan tegas di tangga pertama, dan seterusnya. “Jauh-dekat puncaknya itu tergantung kita memilih dingin atau melangkah” jawabnya sembari tersenyum dan memalingkan tatapnya. Dan lagi, tatapan kami bertemu. Dan dengan sederhananya (lagi), langkah dingin kaki ini justru mengambil batu terjal untuk dilangkah. Menyusul senyum dan tatapan gadis itu yang mulai menanjak. Semoga dengan itu, rasa kaku di wajah karena angin bersalju luntur, atau paling tidak, ada pilihan untuk menghangat. Terlebih, horizon sudah mulai tampak.

Biru, oranye, kuning, hitam dan putih. Harmoni sunrise di puncak Gunung Sinai. Dan di antara musholla dan gereja di Puncak ini, gadis itu terpaku memandang tiap detik menampaknya matahari yang segar. “Indah ya?” Kataku mencoba membuka sapa. Dan kali ini kata-kata benar terucap, tak digumam, tak diangan. “Ya, biru, kuning, putih, musholla, dan gereja di puncak ini

23PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP* Kairo - Mesir *

Putih itu Salju(Sebuah Hadiah dari Dinginnya Gunung Sinai)

SastraOleh: Landy T. A.

Page 24: PRESTãSI 98

Edisi 98, Juli 201424 PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP* Kairo - Mesir *

memang benar-benar harmoni yang indah.” Jawab gadis itu. “Lihat saja, orang-orang Korea bersenandung doa di atas gua penantian Musa itu. Di dalam musholla orang-orang Indonesia berhimpit ria menghangatkan pagi dengan mantra subuh. Dan di samping gereja, sekumpulan orang Italia bersahut menyanyi pujian. D a n m e r e k a b e r j a j a r d i s i n i b u k a n u n t u k memperdebatkan kebenaran. Cukup meyakini yang mereka tahu.” Sambung gadis itu. Ah, tak pernah kudengar dia mengeja kata yang sebegitu panjangnya. Terlebih dengan himpitan angin yang masih bersalju ini. Lalu, tentang makna kata-kata itu, ternyata lebih membuat kaku lidah dan wajah dari pada angin bersalju ini. Terlebih ada senyumnya, ada tatapannya, ada suaranya; tegas dan lugas.

“Ya, gunung ini memang milik 3 agama” Timpalku dengan singkat. “Benar, 3 agama, seolah tanpa perlu berdebat dan menghujat. Cukup berdamai dan menikmati kebenaran masing-masing. Dan semoga kita termasuk orang yang tahu apa yang kita yakini, bukan hanya meyakini apa yang kita tahu.” Sahut gadis itu dengan tetap menatap hamparan salju yang diterpa sinar matahari. Ah, tiap ejaan kata yang begitu jelas itu menambah harmoni ujung pagi bersalju ini. Dan harus terakui, gadis di sampingku ini benar-benar manusia. Tuhan memang Maha Bijak.

Dan sepanjang jalanan curam menuruni gunung. Gadis itu berjalan sembari bermain salju, menikmati tiap dingin dan lembutnya butir salju yang tak pernah ditemui di Negara tropis. Tak terlihat gurat lelah dari senyumnya, justru kerudung dan jaketnya lah yang mungkin kelelahan. Dan semoga ini bukan sekedar pujian untuk gadis pemilik senyum misterius itu. Mengayun langkah sembari terus bercerita tentang keindahan. Tentang kedamaian atas keindahan.

III

Irama mesin bus kembali memaksa akrab. Menidurkan tiap kaki lelah bekas dingin angin bersalju di sepanjang pendakian gunung Sinai. Terlebih ditutup dengan memanjatkan doa dan mantra di depan pekuburan Nabi Harun dan Nabi Sholeh as. Dan menjelang menutup matanya, gadis itu kembali mengeja kata di atas catatan kecilnya. Menghela nafas, tersenyum, lalu menulis lagi. Melempar tatapnya ke arah gunung-gunung batu, lalu menulis lagi. Dari caranya mengeja kata lewat tinta pun misterius! Ah, dia memang gadis

misterius.

Penghujung sore. Hamparan laut dan pantai menjadi pemanis pandang di arah sebelah kiri bus. Lalu tanpa diperintah, hampir serentak tiap lensa kamera mencoba mengabadikan tiap jengkal masa perginya sinar matahari di hari ini. Tapi tidak dengan gadis itu. Dengan pena dan catatan kecilnya yang terdiam, gadis itu terus menatap senja. Kemudian mengeja kata di catatan kecilnya dengan begitu riang. Seolah kata menyambut gembira saat dieja di catatan kecilnya.

Aku mencoba menawarkan untuk mengabadikan senja ini bersama senyumnya, tentu saja, melalui lensa kamera. Tapi kemudian dia menjawab “ambil saja foto matahari senja itu”. “Kenapa?” tanyaku, mencoba mempertanyakan. “Aku tidak ingin merusak keindahan senja itu” jawabnya. “Lagipula, caraku menikmati senja dari dalam bus ini cukup dengan menulisnya. Agar dikenang bahwa aku pernah menikmati senja yang indah meski dari dalam bus.” Sambungnya tanpa diminta. “Tapi kamera ini juga bisa mengabadikan kenangan” Timpalku mencoba menyambung obrolan. “Ya, tapi tidak setiap orang bisa membaca potongan-potongan gambar, tapi hampir tiap orang bisa mengeja kata. Dan aku lebih suka menjadi manusia yang mencintai keindahan karena Tuhan dan KetuhananNya. Yang tidak hanya melihat keindahan, tapi juga bisa menuliskan dan mengakui; Tuhan itu Maha Indah.” Jawab gadis itu. Kata-katanya membuat terpaku. Dan tentang misteri gadis itu sedikit terungkap; gadis itu benar-benar manusia! Lalu, sembari menyadari misteri gadis itu, aku sudah kehi langan ka ta untuk sekedar menyahut . Membiarkan senja tenggelam di laut lepas, membiarkan pemandangan laut berganti dengan deretan rumah, dan membiarkan gadis itu larut kembali dengan catatan kecilnya.

***

Ah, semoga saja di lain waktu, bersebelahan lalu bercerita tentang keindahan dan bercengkrama dengan kedamaian bersama gadis misterius itu benar-benar terwujud. Terlebih kawasan Gunung Sinai adalah kawasan yang dikeramatkan. Semoga benar-benar keramat. Agar akan ada kisah, ada kenangan, tentang seorang gadis, pemilik senyum dan tatapan misterius. Atau, aku lebih suka menyebutnya; Si gadis misterius.

*Seorang Pinggiran

Page 25: PRESTãSI 98

Edisi 98, Juli 2014

(Sambungan halaman 07, Kyai; Di Balik Layar Pemilu Presiden)Sebab, jika kita melihat sejarah pemilu di tahun 2004 ketika di atas panggung ditaruh dua lakon, antara SBY-JK dengan Megawati - Hasyim Muzadi, para kyai beranggapan kemenangan akan berbuah kepada Hasyim Muzadi, namun, realitasnya pandangan linear seperti ini terbukti salah.Namun pemandangan seperti ini, pada akhirnya, mendatangkan dilemanya sendiri, satu sisi kyai menjadi sosok yang heroik, menjadi jembatan dalam perselisihan, namun di lain sisi, kyai justru menjadi bumerang terhadap perdamaian itu sendiri. Seorang kyai adalah sosok yang berpengaruh, perwujudan dari problem-problem sosial, melalui moderatisme, kyai dapat menyelesaikan masalah tanpa masalah, dengan otoritasnya kyai menjadi penggerak perubahan sekaligus menjadi pengendali terhadap konflik dan pertikaian yang terjadi. Tapi, sekarang ini banyak kyai yang menyalah-gunakan kekuasaannya dalam bentuk “otoritas” dan “pengaruh”. Tidak jarang kyai menggunakan pengaruh dan otoritasnya sebagai pencari simpatisan dan pendongkrak suara. Terlepas dari itu semua, bagaimanapun, adanya “ketidak-sesuian” pemilu masa lalu mengingatkan kita kembali bahwa, kyai bukanlah sosok makhluk sosial yang harus dikultuskan dalam segala hal, termasuk dalam suasana politis saat ini. Namun yang harus menjadi catatan penting adalah: kyai dapat menjadi pengontrol umat dan menjadi penyangga terhadap perubahan sosial yang menyeluruh tanpa adanya tendensi “sentimentil” terhadap yang lain.[]

(Sambungan halaman 09, Kehendak Atas Kuasa vs. Revolusi)lebih berkembang, dapat menempuh sekolah tinggi di universitas ternama di berbagai belahan dunia. Apalagi untuk menjadi presiden, memimpin Libya menggantikan Muammar Khadafi atau keturunannya. Serta Libya yang dipimpin oleh Khadafi kala itu, tidak membenarkan adanya intervensi asing di negaranya. Semua media swasta maupun milik pemerintah dipantau ketat oleh pihak pemerintah. Menjadi seolah semua fasilitas, kondisi, dan otoritas 'disabet-babad habis' di bawah kendali pemerintah.Sentralisasi kepemerintahan dan otoritarian kepemimpinan menjadikan seorang pemimpin berkuasa selama puluhan tahun. Padahal, mereka itu, awalnya menjanjikan kemajuan bagi bangsa dan negara. Lalu melaksanakan pembangunan di berbagai bidang, menjadi berbelok –karena terlena oleh tahta dan kekuasaan—ke ranah K-K-N (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Beberapa pemimpin selain Khadafi, menjalin hubungan kerja-sama dengan pihak asing mengatasnamakan negara untuk kepentingan pribadi. Karena hasil baiknya tidak dirasakan oleh masyarakat, melainkan hasil buruk-lah yang senantiasa mereka rasakan. Kekayaan seorang pemimpin yang berkuasa semakin bertambah, berjaya dan keluarga serta para pengikut di belakangnya turut hidup sejahtera, terpenuhi dari hasil kekayaan negara yang dirampas. Kekayaannya tidak sebanding dengan minimnya pembangunan di bidang infrastruktur. Lihat saja, di Mesir, kita sebagai pelajar di Mesir merasakan pada tahun kepemimpinan Hosni Mubarok, masih banyak ditemukan berbagai kerusakan jalan. Jalan yang kurang layak untuk kawasan sekelas ibu kota, dan saluran air yang masih kurang sempurna mengalirkan air hujan sehingga menjadikan banjir dan menghambat lalu lintas yang ada.IIIDari berbagai ulasan di atas, dapat ditarik konklusi: suatu rezim terlalu lama memerintah di era kesekarangan ini menciptakan kecenderungan (psikis) pemimpin diktator-otoriter dan (kondisi) rakyat yang tercekik. Kehendak berkuasa oleh para pemimpin otoriter itu, justru menjadi kehendak penghancuran pada negara di berbagai lini dan bagian. Secara perlahan akan disadari. Baik oleh seorang pemimpin maupun masyarakat luas, bahwa negaranya tidak berkembang. Stagnan alias berhenti di tempat. Penilaian negara tidak berkembang dan kepemimpinan dianggap tidak berhasil senantiasa bermunculan. Standar minimal adalah karena tak mampu mensejahterakan bangsa, memberikan fasilitas yang layak, mampu mencetak kader bangsa berkualitas, mampu mengaplikasikan aspirasi rakyat dan mampu mengangkat martabat negara di mata dunia adalah sebagian poin-poin keberhasilan seorang pemimpin negara. Walaupun di satu sisi keuntungan materi dan finansial pemimpin terpenuhi, tapi di sisi lain konstruksi kondisi masyarakatnya tak menentu, maka justru kegagalan-lah yang teraih.Dalam On the Sociology Of Islam, Ali Shariati menyebutkan bahwa faktor fundamental dalam

25PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP* Kairo - Mesir *

Serba-Serbi

Page 26: PRESTãSI 98

Edisi 98, Juli 201426 PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP* Kairo - Mesir *

perubahan sosial dan pengembangan adalah masyarakat, tanpa ada hak istimewa ras dan kelas atau perbedaan karakteristik. Masyarakat memiliki cakupan arti lebih umum, mencangkup semua ras, kelas dan kakteristik individu masyarakat. Maka langkah revolusi menjadi langkah tepat untuk meraih kebebasan demokratis –dari politik represif— yang selama ini terpinggirkan bahkan terlupakan. Selama revolusi itu dilaksanakan serentak dan atas keinginan bersama dalam artian warga negara dalam jumlah mayoritas. Walupun keadaan ekonomi masih saja belum membaik, namun dengan diraihnya kebebasan dari keberhasilan revolusi, mampu memberi keleluasaan kegiatan berwirausaha. Sehingga dapat memberikan kontribusi bagi negara, yaitu ikut meminimalisir pengangguran yang semakin meningkat. Dengan demikian, berbagai bentuk perubahan dari sistem awal dan pembangunan-pembangunan yang direncanakan dapat dijalankan selaras dengan kebutuhan dan keinginan warga negara. Dalam al Quran disebutkan, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum sebelum mereka mengubah diri mereka sendiri”(ar Ra'd:11). Semerta, kala terjadi kebertemuan antara kesuntukan sosial-ekonomi masyarakat dengan kesemena-menaan pemimpin, revolusi bukan lagi sekedar pilihan logis. Tapi revolusi adalah keharusan. Salam Revolusi! [safina_enbe]

(Sambungan Halaman 11, Radiasi Lingkungan Terhadap ...)Fanatik buta bukanlah sikap yang bijak untuk dilestarikan, karena ia dapat menggelapkan hati sehingga membuat penilaian tidak objektif. Padahal pilpres merupakan ajang pemilihan untuk menentukan orang nomor satu yang akan menahkodai kapal Negara. Sehingga pemilihan dengan secermat mungkin adalah sikap terbaik, dan hal itu dengan tidak fanatic buta, menghargai serta mengklarifikasi pendapat orang lain. Semoga presiden Indonesia yang terpilih nanti adalah sesuai dengan yang diharapkan dan mampu memajukan Indonesia menjadi lebih baik.

(Sambungan halaman 16, KSW; Pemimpin dan Regenerasinya)Namun, di saat komunitas masyarakat kita sedang mebutuhkan seorang pemimpin, apalagi bangsa kita yang sudah terlanjur akrab dengan demokrasi yang identik dengan persaingan politik yang ramai, akan bertanya-tanya ketika dalam komunitas kita sepi dari persaingan dalam memajukan sebuah organisasi. Maka itu, persaingan untuk betul-betul memperjuangkan kebakan sangat ditunggu-tunggu dan diharapkan betul oleh anggota KSW. Saat ini menurut pandangan saya, banyak potensi maupun kader di KSW yang saya kira mampu untuk memimpin KSW. Cukup banyak rekan-rekan yang sudah mengawal perjalanan KSW selama beberapa tahun sehingga paham apa yang ada di dalam kepengurusan KSW. Akankah mereka masih ingin mendahulukan orang lain daripada diri sendiri dan kemudian bursa pencalonan ketua KSW tahun ini kembali sepi? Entahlah. Jelasnya, yang harus kita lakukan untuk setidaknya membantu menambah mental mereka yang pantas maju di KSW adalah mendukung dan mendorong mereka. Beberapa waktu lalu, pengurus KSW sengaja mengundang hampir semua komunitas, almamamter yang ada di lingkungan KSW yang bertujuan untuk mensosialisasikan RPA dan mendorong bagi setiap komunitas dan almamamter yang ada di lingkungan KSW untuk mengusung calonnya masing masing dalam adara reorganisasi KSW. Itu adalah langkah yang sangat tepat dan perlu kita tindak lanjuti. Bagi setiap kepala almamamter maupun komunitas yang ada di lingkungan KSW diharapkan benar-benar memberi perhatian khusus dalam hal ini untuk mendorong kadernya maju menjadi suksesor ketua KSW periode ini. Dukungan dari setiap komunitas maupun almamater memberi arti penting bagi seorang yang hendak maju dalam pecalonan ketua dan wakil KSW. Atau dapat juga melakukan komunikasi dengan komunitas atau almamater lain jika tidak menemukan calon yang diinginkan dan mencari kader lain di luar komunitas maupun almamater. Mudah mudahan kita dapat keluar dari keadaan ini dan kembali bisa menunjukkan bahwa KSW memiliki kader-kader yang berani maju dan tampil berkontribusi memajukan KSW. Saya yakin keadaan ini pasti akan berubah entah esok hari atau lusa nanti. Seperti banyak orang yang mengatakan bahwa sejarah akan kembali terulang. Ada saat-saat ketika kita berada di atas kejayaan dan ada masa saat kita harus berada di bawah.*Ketua KSW Periode 2011-2012

Page 27: PRESTãSI 98

Edisi 98, Juli 2014

HujanSaya sering memikirkan adanya korelasi antara influenza yang akhir-akhir ini membuat hidung saya berkontraksi secara periodik setiap kali bersin, dengan hujan yang tiap hari turun; tanpa ampun. Bagi seseorang yang terbiasa tanpa hujan hampir sepanjang tahun, mungkin perlu adaptasi dalam beberapa hari atau Minggu hingga tubuh bisa merespon dinginnya sebagai kawan lama, bukannya kawan baru. Namun saya sebelumnya terbiasa dengan hujan, sekitar dua tahun lalu. Kemudian menemukan fenomena hujan turun sekali setahun, saat masuk puncak musim dingin akhir Desember (biasanya) hujan turun. Orang-orang Mesir tampak terbiasa, Masisir juga begitu. Sebagian tampak mengangkat tangannya untuk merasakan tetes hujan dengan gerakan slow motion, serasa berada di adegan-adegan film ber-genre drama meratapi kesedihannya di bawah guyuran hujan; mungkin pertama kali baginya.Kenyataannya, yang sudah bertahun-tahun di Mesir pun tak kehabisan hasrat untuk membicarakannya, mengakui merindukannya, membaginya di jejaring sosial. Hujan di Mesir akan selalu jadi topik hangat di tiap obrolan, meski sudah bertahun-tahun mengalaminya. Anugerah ini tak lekang oleh waktu, berkah yang sedikit mengobati kerinduan pada tanah air. Lalu ada fenomena lain seperti itu, orang-orang mendadak dramat is mengikut i perkembangan masa kampanye dua calon presiden negeri kita yang baru, bahkan mungkin yang sebelumnya apatis. Seperti mendapat hujan di negeri serba padang pasir, antusiasme untuk berpartisipasi dalam adu pendapat yang tak jelas arah, adu informasi yang tak jelas asal, mendukung pilihan masing-masing. Kesejahteraan ratusan juta jiwa warga Indonesia jadi taruhannya. Semuanya serba mendadak ramai, yang mendukung nomor satu, yang mendukung nomor dua, yang mendukung nomor tiga yang bahkan tidak ada, yang masih tidak mendukung, yang tidak berkeinginan untuk memberitahu siapa

pilihannya, bahkan sampai yang merasa bijak dengan mendamaikan kedua belah pihak. Di mata saya, semuanya tidak jauh berbeda, bahkan saya sendiri. Bagi saya media berhasil mengadu domba-domba yang dahaga ini, memberi gambaran oase di kejauhan; dan ia hanya fatamorgana, tentu saja. Media memberi alasan bagi orang-orang ini untuk menghabiskan banyak waktu sejenak membenci orang lain yang bahkan tak dikenal. Mereka seperti lama tidak kedapatan hujan, kemudian ramai merangkai kata saat hujan turun setengah hari dalam setahun, merekam air tergenang di jalanan, atau yang hanya ramai di hatinya saja. Sama saja.KepindingSaya belum lama ini membaca sebuah artikel di Kompasiana, bahwa kepinding sudah lama tidak ada di bumi Indonesia sejak tahun 1960-an. Seingat saya, saya mengenal kepinding dengan baik sejak tinggal di Mesir, tidak sebelumnya. Kepinding tampak transparan saat mencari makan, lalu jadi begitu cokelat dan gendut setelah menghisap darah manusia. Dan lambat, hingga mudah ditangkap lalu -dengan agak kasar- dimusnahkan. Agak terlalu kasar mungkin untuk seekor kepinding, lain ceritanya untuk penghisap darah dan keringat rakyat. Biasanya kita mengenal koruptor setelah ia gendut dan tertangkap, saya tidak tahu tentunya dengan mudah atau tidak, dengan kasar atau tidak. Sebelumnya ia tak terlihat seperti kepinding, mengobral janji di sembarang tempat. Akhir-akhir ini mereka menjualnya di ruang emosi manusia. Semoga hasil akhirnya tidak terlalu buruk.Sebenarnya tidak ada kaitannya antara hujan dan kepinding, kecuali dua-duanya menarik saat kita adalah Masisir yang mengalami kedua fenomenanya. Yang pasti, juga tidak ada kaitan intensif antara koar-koar kita dengan koar-koar para calon pemimpin negeri ini, agar tidak berlebih menghadapi situasi ini. Sebagai manusia yang bertujuan pada kesalehan, saya dan juga Masisir, serta yang berjiwa Indonesia agar tidak mengimani apa-apa selain Tuhan.[]

27PMedia Silaturahmi, Informasi dan AnalisaRESTãSIRESTãSIRESTãSIRESTãSIPPP* Kairo - Mesir *

Hujan, Kepinding

Catatan pojokOleh: Pimred

Page 28: PRESTãSI 98