Top Banner

of 45

Preskas 2 Mixed Infection -Winda

Mar 09, 2016

Download

Documents

Demam Berdarah + Demam Tifoid
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

LAPORAN PRESENTASI KASUS KOASS INTERNA(Periode 12 Agustus 19 Desember 2015)

Mix Infection (DBD dan Demam Tifoid)

Disusun oleh :Winda Diah Nugraheni1102011293Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Pasar Rebo

Pembimbing :Dr. Nugroho Budi Santoso, Sp.PD

SMF ILMU PENYAKIT DALAMRSUD PASAR REBO JAKARTAFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS YARSI2015STATUS PASIENBAGIAN ILMU PENYAKIT DALAMRSUD PASAR REBO

IDENTITASNama : Tn.T.PUsia: 18 tahun Pekerjaan : Pengajar PramukaPendidikan Terakhir: SMAAgama: IslamAlamat : Jl.Masjid, Kel. Ciracas, Jakarta TimurNo RM : 2014-589511Tanggal Masuk: 24 Oktober 2015Tanggal Pemeriksaan: 29 Oktober 2015

ANAMNESISAutoanamnesis dan aloanamnesis1. Keluhan Utama: Demam naik turun sejak 5 hari SMRS, demam dirasakan meningkat menjelang sore ke malam hari2. Keluhan Tambahan: Mual dan muntah sejak 5 hari SMRS.3. Riwayat Penyakit Sekarang:Pasien datang ke IGD RSUD Pasar Rebo dengan keluhan demam naik turun sejak 5 hari SMRS, demam dirasakan meningkat menjelang sore ke malam hari. Keluhan disertai dengan mual dan muntah, muntah isi air sebanyak 2 kali, tidak berwarna hitam ataupun merah. Pasien juga mengeluh pusing dan semua badan terasa nyeri dan pegal, terutama di bagian punggung dan pinggang. Pasien mengatakan BAB agak cair sejak 4 hari SMRS, tidak terdapat lendir ataupun darah, dan tidak berwarna hitam. Tiga hari SMRS terdapat mimisan dan nyeri di daerah kedua mata. BAK dalam batas normal, tidak keruh ataupun berwarna seperti teh. Nafsu makan pasien berkurang, tapi pasien masih mau minum. Keluhan gusi berdarah, timbul bintik-bintik merah pada ekstremitas, timbul ruam kulit, nyeri saat berjalan kaki, nyeri saat BAK, dan mata atau kulit menguning disangkal. Riwayat bepergian jauh dan riwayat transfusi disangkal.4. Riwayat Penyakit Dahulu:Riwayat Demam Berdarah Dengue: (+) usia 3 tahunRiwayat Demam Tifoid : (+) usia 5 tahunRiwayat Asma: disangkalRiwayat Alergi Obat : disangkal5. Riwayat Penyakit Keluarga: Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan yang sama.Riwayat Hipertensi: Ayah pasienRiwayat Penyakit Jantung : disangkalRiwayat DM : disangkalRiwayat Asma: disangkalRiwayat Alergi Obat: disangkal

6. Riwayat Kebiasaan dan Lingkungan SekitarPasien mengatakan kalau makan tidak teratur, lebih sering makan masakan di rumah daripada makanan di luar rumah. Pasien tidak merokok dan tidak mengonsumsi alkohol. Pasien mengatakan tidak ada yang mengeluhkan hal yang sama di lingkungan sekitar. Keluarga pasien rajin menguras bak mandi setiap 3 hari sekali dan tidak terdapat tempat penampungan air disekitar rumah. Pasien juga mengatakan tidak bepergian jauh sebelum sakit.

PEMERIKSAAN FISIS (tanggal 29-10-2015)1. Pemeriksaan Umum:1. Kesan Umum: Tampak Sakit Sedang2. Kesadaran: Compos mentis3. Tanda Utama: Frekuensi nadi: 96 x/menit, reguler, isi cukup.Frekuensi napas: 20 x/ menitSuhu axilla : 38,80 CelsiusTekanan darah: 110/70mmHg

1. Pemeriksaan Khusus1. Kepala Bentuk: Normochepal Posisi: Simetris 2. Mata Exophthalmus: Tidak ada Enopthalmus: Tidak ada Edema kelopak : Tidak ada Konjungtiva anemis: -/-Sklera ikterik: -/-3. HidungBentuk normal, nafas cuping hidung (-), sekret (-), septum deviasi (-)4. MulutBibir kering pecah-pecah : (-)Sianosis : (-)5. Tenggorokaan Faring : Dalam batas normal Lidah : Lidah tidak kotor berwarna putih, tidak deviasi Uvula : Letak ditengah, tidak deviasi Tonsil : T1-T1, tenang6. Telinga Pendengaran: Baik Darah & cairan:Tidak ditemukan 7. Leher Trakea : Tidak deviasi Kelenjar tiroid : Tidak ada pembesaran Kelenjar limfe : Tidak ada pembesaran

8. Paru-paru KananKiri

Depan :

InspeksiPergerakan simetrisPergerakan simetris

PalpasiFremitus normalFremitus normal

PerkusiSonorSonor

AuskultasiVesikular, ronki (-), mengi (-)Vesikular, ronki (-), mengi (-)

KananKiri

Belakang :

InspeksiPergerakan simetrisPergerakan simetris

PalpasiFremitus normalFremitus normal

PerkusiSonorSonor

AuskultasiVesikular, ronki basah halus (-), mengi (-)Vesikular, ronki basah halus (-), mengi (-)

9. Jantung Inspeksi: Iktus cordis tidak terlihat Palpas: Iktus cordis teraba Perkusi: Batas jantung kanan di ICS 4 linea sternalis dextra Batas jantung kiri di ICS 4 linea midclavikula sinistra Batas pinggang jantung di ICS 2 linea parasternalis sinistra Auskultasi: Bunyi jantung I-II normal, regular, gallop (-) murmur (-)

10. Abdomen Inspeksi: Bentuk abdomen datar, gerakan peristaltik usus tidak terlihat, tidak tampak adanya sikatriks maupun venektasiAuskultasi: Bising usus (+) NormalPerkusi: Timpani pada seluruh kuadran abdomenPalpasi: Nyeri tekan (+) daerah umbilikus, hepar dan lien tidak teraba membesar

11. Ekstremitas Akral hangat pada ekstremitas atas dan bawah kanan kiri Tidak terdapat edema pada ekstremitas atas dan bawah kanan dan kiriGerakan dan kekuatan otot pada ekstremitas atas dan bawah kanan-kiri normal

IV. DATA LABORATORIUMPemeriksaan24-10-1525-10-1526-10-1527-10-15Nilai rujukan

Hb15,213,512,612,513,2 17,3

Ht443,7363640 52

Leukosit5.0403.5603.8704.2603.800 10.600

Eritrosit5,65,04,84,74,4 5,9

Trombosit96.00097.000106.000114.000150 440

SGOT68135 147

SGPT513,5 5,0

27-10-1528-10-1529-10-1530-10-15 Nilai Rujukan

Hb12,312,712,712,713,2-17,3

Ht3538373640-52

Leukosit4.2605.7405.8605.7803.800-10.600

Eritrosit4,74,94,84,74,4-5,9

Trombosit114.000107.000139.000178.000150-440

IgM Anti-dengueNegatif

IgG Anti-denguePositif

Dengue NS1 AgNegatif

S. Paratyphi AHNegatif

S. Paratyphi AONegatif

S. Paratyphi BHNegatif

S.Paratyphi BONegatif

S.Paratyphi CHNegatif

S.Paratyphi CONegatif

S. typhi H(+) 1/320

S. typhi O(+) 1/320

V. RINGKASAN DATA DASARSeorang laki-laki usia 18 tahun datang dengan keluhan demam naik turun sejak 5 hari SMRS, demam dirasakan meningkat menjelang sore ke malam hari. Keluhan disertai dengan mual dan muntah, muntah isi air sebanyak 2 kali, tidak berwarna hitam ataupun merah. Pasien juga mengeluh pusing dan semua badan terasa nyeri dan pegal, terutama di bagian punggung dan pinggang. Pasien mengatakan BAB agak cair sejak 4 hari SMRS, tidak terdapat lendir ataupun darah, dan tidak berwarna hitam. Tiga hari SMRS terdapat mimisan dan nyeri di daerah kedua mata. BAK dalam batas normal, tidak keruh ataupun berwarna seperti teh. Nafsu makan pasien berkurang, tapi pasien masih mau minum.Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu axilla meningkat (38,8C) dan nyeri tekan (+) daerah umbilikus. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan adanya anemia ringan, hematokrit menurun, leukopenia, dan trombositopenia. Pemeriksaan serologis didapatkan hasil IgG anti-dengue (+), uji widal S.typhi O (+) 1/320 dan S.typhi H (+) 1/320.

DIAGNOSIS KERJADHF grade IIDemam Tifoid

DIAGNOSIS BANDINGDemam ChikungunyaCampak VIII. RENCANA PENGELOLAAN1. Rencana Pemeriksaan Darah Perifer LengkapNS1IgM dan IgG anti-dengueUji WidalKultur Darah

1. Tatalaksana1. Non medikamentosaBed restMakan makanan yang lunak dan tidak mengiritasi saluran cerna2. MedikamentosaDehaf 3x1Diatab 3x2Ranitidine 2x1Domperidone 3x1Cefixime 2x1Ceftriaxone 1x2 grB. Rencana PemantauanCek DPL/24 jamC. Rencana Edukasi1. Menjelaskan kepada keluarga pasien untuk menghindari makanan yang dapat mengiritasi saluran cerna (makanan pedas dan asam) dan tidak membeli makanan atau minuman dari luar2. Menjelaskan kepada pasien supaya tidak beraktivitas terlalu berat3. Menjelaskan kepada pasien untuk selalu mencuci tangan dan menjaga higiene4. Apabila pasien belum mendapat vaksinasi, maka segera diberikan vaksin demam tifoidIX. PROGNOSISQuo ad vitam: dubia ad bonamQuo ad functionam: dubia ad bonamQuo ad sanationam: dubia ad bonam

TINJAUAN PUSTAKA

I. Demam Berdarah Dengue1. DefinisiDemam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopeni dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi ( peningkatan hematokrit ) atau penumpukan cairan dirongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan / syok.

2. EpidemiologiDemam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 199.000 penduduk (1989 hingga 1995) dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999.Penularan infeksi virus dengue melalui vektor nyamuk Aedes terutama A. Aegypti dan A. Albopictus). Peningkatan kasus tiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisis air jenih (bak mandi, kaleng bekas, dan tempat penampungan air lainnya). Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue yaitu: 1) Vektor : Perkembangbiakan vector, kebiasaan menggigit, kepadatan vector di lingkungan, transportasi vector dari satu tempat ke tempat lain. 2) Pejamu: Dengan terdapatnya penderita yang terjangkit virus dengue dilingkungan/keluarga, mobilisasi/peningkatan sarana transformasi dan paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin. 3) Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk.

Gambar 1. Penyebaran global Demam Berdarah Dengue.

3. EtiologiDengue Hemorrhagic Fever (DHF) disebabkan oleh virus dengue. Jenis virus golongan arbovirus (Artropod-Borne Viruses) yang artinya virus yang ditularkan melalui gigitan artropoda yaitu nyamuk misalnya nyamuk Aedes aegypty betina. Virus dengue termasuk kedalam genus Flavivirus, famili flaviviridae dan mempunyai empat serotype yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dapat terinfeksi oleh ke-3 atau 4 serotipe tersebut. Serotipe DEN-3 adalah yang paling banyak ditemukan dan diketahui menimbulkan manifestasi klinis yang berat. Nyamuk Aedes dapat mengandung virus dengue ketika menghisap darah orang dengan viremia, kemudian berkembang selama 8 10 hari (extrinsic incubation period) kemudian dapat ditularkan kembali ketika menggigit manusia yang lain. Nyamuk akan menjadi infektif sepanjang hidupnya ketika virus dengue sudah berkembang biak dalam tubuh nyamuk.Cara penularannya infeksi virus dengue ini ada tiga factor yang memegang peranan, yaitu manusia,virus, dan vector perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation priod) sebelum dapat menularkan kembali kepada manusia saat gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya ( transovarian transmission ), namun peranannya dalam penularan virus tidak penting. Sekali virus dapat masuk dan berkembang biak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4-6 hari (intrinsic incubation priod) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang viremia, yaitu 2 hari sebelum demam sampai 5 hari setelah demam timbul.

4. PatogenesisPatogenesis terjadinya demam berdarah hingga saat ini masih diperdebatkan. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan DSS adalah Hipotesis immune enhancement dan hipotesis infeksi sekunder (teori secondary hetelogous dengue infection). Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme Imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue.Respon imun yang diketahui berperan dalam pathogenesis DBD adalah:a) Respon humoral berupa pembentukan antibody yang berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibody. Sel target virus ini adalah sel monosit terutama dan sel makrofag sebagai tempat replikasi. Antibody terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pad monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement (ADE)b) Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin. Sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5,IL-6,dan IL-10.c) Monosit dan makrofag berferan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibody. Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofagd) Aktifasi komplemen oleh kompleks imun yang menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 yang akan menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskuler ke ruang ekstravaskuler.

Gambar 2. Imunopatogenesis demam berdarah dengue

Dua teori yang paling banyak dianut sampai dengan saat ini mengenai patogenesis DBD adalah secondary heterologous infection hypothesis dan sequential infectious hypothesis yang menyatakan bahwa seseorang setelah terinfeksi virus dengue pertama kali, mendapatkan infeksi kedua dengan virus serotipe lain dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5 tahun5. Hipotesis ini menerangkan bahwa pasien yang mengalami infeksi kedua kalinya dengan serotipe berbeda akan menimbulkan manifestasi klinis yang lebih berat (immune inhancement). Antibodi heterolog yang telah ada akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan membentuk kompleks antigen antibodi yang berikatan dengan Fc reseptor membran sel makrofag. Antibodi heterolog virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag. Hipotesis mengenai antibodi dependent enhancement (ADE), proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dalam sel mononuklear, menyebabkan sekresi mediator vasoaktif yang menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok4,5.Akibat infeksi sekunder oleh virus dengue yang berlainan, respons antibodi akan mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Kemudian, replikasi virus terjadi juga dalam limfosit. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen-antibodi virusyang akan mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan anafilatoksin menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan perembesan plasma dari intravaskular ke ekstravaskular. Perembesan plasma ini ditandai peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites).Gambar 3. Hipotesis secondary heterologous infection

5. Manifestasi KlinisInfeksi dengue merupakan penyakit yang bersifat sistemik dan dinamis. Infeksi dengue mempunyai spektrum klinis yang luas meliputi manifestasi klinisyang berat dan tidak berat. Setelah massa inkubasi, infeksi dengue dibagi menjaditiga fase yaitu: (1) fase demam, (2) fase kritis dan (3) fase penyembuhan.

1. Fase DemamPasien biasanya demam tinggi secara tiba-tiba. Fase demam akut ini biasanya terjadi selama 2-7 hari dan sering disertai dengan muka kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh badan, myalgia, arthtalgia dannyeri kepala. Beberapa pasien mengalami nyeri tenggorokan, penurunan nafsu makan, mual dan muntah. Cukup sulit untuk membedakan dengan infeksi virus lainnya. Tes tourniquet positif pada fase ini memperbesarkecurigaan infeksi dengue. Manifestasi perdarahan ringan seperti petekiedan perdarahan mukosa dapat terjadi. Perdarahan vagina yang masif dan perdarahan gastrointestinal dapat terjadi pada fase ini namun jarang terjadi. Dapat pula terjadi pembesaran hepar.2. Fase KritisPada hari ke 3-7, ketika suhu menurun pada 37,5-38oC, peningkatan permeabilitas kapiler yang secara peralel terhadap kenaikan hematokrit dapat terjadi. Hal ini menandakan dimulainya fase kritis. Biasanya kebocoran plasma secara klinik terjadi selama 24-48 jam. Leukopeni yangprogresif diikuti dengan penurunan angka trombosit biasanya mendahului terjadinya kebocoran plasma. Dalam keadaan seperti ini pasien yang tidak mengalami peningkatan permeabilitas kapiler keadaan umumnya akan membaik, sedangkan pasien yang mengalami peningkatan permeabilitaskapiler justru akan memburuk keadaannya karena kebocoran plasma.Derajat kebocoran plasma bervariasi mulai dari kebocoran plasma minimalsampai terjadi efusi pleura dan ascites. Peningkatan kadar hematokrit darinilai awal dapat digunakan untuk melihat keparahan dari kebocoran plasma. Bila terjadi kebocoran plasma plasma yang berat dapat terjadisyok hipovolemik. Bila syok terjadi berkepanjangan maka organ tubuh akan mengalami hipoperfusi sehingga dapat menyebabkan kegagalanorgan, acidosis metabolik dan disseminated intravascular coagulation. Selain syok dapat pula terjadi gangguan organ berat yang lain misalnya hepatitis berat, encephalitis atau myocarditis serta perdarahan berat.3. Fase PenyembuhanBila pasien dapat bertahan pada masa kritis maka akan terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskular secara bertahap selama 48-72 jam. Keadaan umum akan membaik, nafsu makan kembali baik, gejala gastrointestinal mereda,hemodinamik stabil.

Gambar 4. Manifestasi klinis infeksi virus dengue

Gambar 5. Manifestasi Mayor dan Patofisiologi Demam Berdarah DengueGambar 6. Perjalanan Penyakit Demam Berdarah Dengue

6. DiagnosisAnamnesis8:1. Demam sebagai tanda utama terjadi mendadak tinggi selama 2 7 hari disertai lesu, tidak mau makan dan muntah, nyeri kepala nyeri otot dan nyeri perut.2. Diare kadang ditemukan3. Perdarahan paling sering dijumpai yaitu perdarahan kulit dan mimisan

Pemeriksaan Fisis8:1. Gejala klinis diawali demam mendadak tinggi, facial flush, muntah nyeri kepala, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri tenggorokan dengan faring hiperemis, nyeri dibawah lengkung costa kanan. Gejala lebih mencolok pada DD daripada DBD2. Hepatomegali dan kelainan fungsi hati lebih sering ditemukan pada DBD3. Perbedaan antara DD dan DBD adalah pada DBD terjadi peningkatan permeabilitas apiler sehingga menyebabkan perembesan plasma, hipovolemia dan syok. Perembesan plasma menyebabkan eksttravasasi cairan ke dalam rongga pleuro dan rongga peritoneal selama 24 48 jam.4. Fase kritis sekitar hari ke -3 dan ke-5 perjalanan penyakit. Pada saat ini suhu turun, dan merupakan tanda awal syok5. Perdarahan dapat berupa ptekia, epistaksis, melena atau hematuria

Tanda tanda syok:1. Anak gelisah sampai terjadi penurunan kesadaran, sianosis2. Nafas cepat, nadi teraba lembut kadang-kadang tak teraba3. Tekanan darah turun, tekanan nadi 20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.iii. Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia, hiponatremia.

Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu2,6,7:1. Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan adalah uji torniquet. 2. Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdaran lain. 3. Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi,sianosis di sekitar mulut kulit dingin dan lembab, tampak gelisah. 4. Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.

DD/DBDDerajatGejalaLaborarorium

DDDemam disertai 2 atau lebih tanda: sakit kepala, nyeri retro-orbital, mialgia, atralgia- Leukopenia-Trombositopenia, tidak ditemukan bukti kebocoran plasma

DBDIGejala diatas ditambah uji bendung positif-Trobositopenia (20%)

DBDIIGeja diatas ditambah perdarahan spontan-Trobositopenia (20%)

DBDIIIGejala diatas ditambhan kegagalan sirkulasi (kulit dingin dan lembab serta gelisah)-Trobositopenia (20%)

DBDIVSyok berat disertai dengan tekanan darah dan nadi tidak teratur-Trobositopenia (20%)

II.1.8. Pemeriksaan Penunjang1. LaboratoriumPemeriksaan darah yang dilakukan untuk screening infeksi dengue adalah pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, angka trombosit dan apusan darah tepiuntuk melihat adanya limfositosis relatif disertai dengan limfosit plasma biru.Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue ataupun deteksiantigen virus RNA dengue. Namun karena prosedur yang rumit maka tes serologis yang mendeteksi antibodi spesifik terhadap dengue berupa antibodi total, IgM atau IgG lebih banyak digunakan.Parameter laboratorium yang dimonitor antara lain:a. Leukosit; dapat normal atau menurun. Mulai hari ke 3 dapat ditemui limfositosis relatif disertai adanya limfosit plasma biru.b. Trombosit; umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke-3-8.c. Hematokrit; kebocoran plasma dibuktikan dengan adanya peningkatan hematokrit >20% dari nilai awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam.d. Hemostasis; dilakukan pemeriksaan PTT, APTT, fibrinogen, D-Dimer pada keadaan yang dicurigai adanya perdarahan atau kelainan pembekuan darah.e. Protein/albumin; dapat ditemukan hipoalbuminuria apabila terjadi kebocoran plasma.f. SGOT/SGPT; dapat ditemukan peningkatan.g. Urea/kreatinin; bila didapatkan gangguan fungsi ginjal.h. Elektrolit; sebagai parameter pemberian cairan.i. Golongan darah; bila dibutuhkan tranfusi darah atau komponen darah.j. Imunoserologi; IgM dideteksi mulai pada hari ke 3-5, meningkat pada minggu ke 3 dan hilang setelah 60-90 hari. IgG pada infeksi primer mulai dideteksi pada hari ke 14 sedangkan pada infeksi sekunder mulai dideteksi pada hari ke 2.

2. RadiologisPada foto dada bisa didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan. Pemeriksaan foto rontgen sebaiknya dalam posisi dekubitus lateral kanan (RLD) Ascites dan efusi pleura dapat dideteksi dengan pemeriksaan USG.

3. Tes DiagnostikDiagnosis infeksi dengue yang tepat dan efisien merupakan elemen yang penting dalam penatalaksanaan infeksi dengue. Metode diagnosis laboratorium untuk mengkonfirmasi infeksi dengue dapat dilakukan dengan mendeteksi adanya virus, asam nukleat virus,antigen, maupun antibodi. Setelah onset penyakit, virus dapat dideteksi pada serum, plasma, sel darah, dan jaringan lain selama 4-5 hari. Selama fase awal penyakit, isolasi virus, deteksi asam nukleat atau antigen dapat dilakukan untuk mendiagnosis infeksi dengue. Pada akhir fase akut infeksi, metode serologi merupakan pilihan utama.Respon antibodi terhadap adanya infeksi sangat bervariasi antar individu. Antibodi IgM merupakan imunoglobulin yang paling awal muncul. Antibodi ini dapat dideteksi pada 50% pasien 3-5 hari setelah onset penyakit, meningkat menjadi 80% pada hari ke 5 dan menjadi 99% pada hari ke 10. Puncak IgM adalah 2 minggu setelah onset penyakit kemudian menurun sampai pada kadar yang tidak terdeteksi setelah 2-3 bulan. Anti dengue srum IgG secara umum dapat dideteksi pada kadar kecil pada kahir minggu pertama kemudian meningkat perlahan. Serum IgG dapat dideteksi setelah beberapa bulan bahkan seumur hidup.Pada infeksi sekunder, titer antibodi akan meningkat lebih cepat. Imunoglobulin yang dominan adalah IgG yang terdeteksi dalam kadar yang tinggi bahkan dalam fase akut.

Gambar 7. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis DBD.

Diagnosis BandingPerlu dipertimbangkan bilamana terdapat kesesuaian klinis dengan demam tipoid, influenza, idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP), chikungunya dan leptospirosis.

7. TatalaksanaPada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris.Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang masif perlu selalu diwaspadai. Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi: Tirah baring (pada trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandungan gizi yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluaran cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia. Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagaian atas (lambung/duodenum). Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan DBD dewasa mengikuti 5 protokol,mengacu pada protokol WHO. Protokol ini terbagi dalam 5 kategori, sebagai berikut6: 1. Tatalaksana penderita tersangka Demam Berdarah Dengue (gambar 8). 2. Tatalaksana kasus tersangka Demam Berdarah Dengue (gambar 9).3. Tatalaksana kasus Demam Berdarah Dengue (gambar 10). 4. Tatalaksana kasus sindroma syok dengue (gambar 11).

Protokol penangan DBD dibagi dalam 4 bagan:

Bagan 1. Tatalaksana kasus tersangka DBD

Bagan 2. Tatalaksana kasus DBD derajat I dan derajat II

Bagan 3. Tatalaksana kasus DBD derajat II dengan peningkatan hemokonsentrasi > 20%

Bagan 4. Tatalaksana kasus DBD derajat III dan IV

II. Demam Tifoid

1. DefinisiDemam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever. Demam tifoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.

2. EpidemiologiSampai saat ini demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, serta berkaitan dengan sanitasi yang buruk terutama negara-negara berkembang. Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah, di daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insidens di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan. Berdasarkan laporan Ditjen Pelayanan Medis Depkes RI pada tahun 2008, demam tifoid menempati urutan kedua dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia dengan jumlah kasus 81.116 dengan proporsi 3,15%, urutan pertama ditempati oleh diare dan urutan ketiga ditempati oleh DBD.

3. EtiologiDemam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B (S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S. Hirschfeldii). Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik. Patogenesis Salmonella typhi hanya dapat menyebabkan gejala demam tifoid pada manusia. Salmonella typhi termasuk bakteri famili Enterobacteriaceae dari genus Salmonella. Kuman berspora, motile, berflagela,berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal 37C (15C-41C), bersifat fakultatif anaerob, dan hidup subur pada media yang mengandung empedu. Kuman ini mati pada pemanasan suhu 54,4C selama satu jam, dan 60C selama 15 menit, serta tahan pada pembekuan dalam jangka lama. Salmonella memunyai karakteristik fermentasi terhadap glukosa dan manosa, namun tidak terhadap laktosa dan sukrosa.

4. PatogenesisPatogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2) bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus limfatikus mesenterica, dan organ- organ extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal. Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2) banyak yang mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang biak dalam peyer patch dalam usus. Untuk diketahui, jumlah kuman yang masuk dan dapat menyebabkan infeksi minimal berjumlah 105 dan jumlah bisa saja meningkat bila keadaan lokal pada lambung yang menurun seperti aklorhidria, post gastrektomi, penggunaan obat- obatan seperti antasida, H2-bloker, dan Proton Pump Inhibitor. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan sel epitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening mesenterika.Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik.Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermitten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya.Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologis.

Bagan 1. Patofisiologi Demam Tifoid

5. Manifestasi KlinisMasa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimptomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.Pada minggu pertama gejala klinis yang ditemukan serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi, diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan epistaksis meningkat. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lajam dan terutama pada sore hingga malam hari.Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relatif (peningkatan suhu 1C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis.

6. Diagnosis1. Pemeriksaan RutinPada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom normositer, yang diduga karena efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus. Tidak selalu ditemukan leukopenia, diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah. Sering hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis, terutama bila disertai komplikasi lain. Trombosit jumlahnya menurun, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif, aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan penyakitnya. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus. Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan mieloid sistem normal, jumlah megakariosit dalam batas normal.2. Uji SerologisA. Uji WidalUji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di labroratorium. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu;1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)2. Aglutinin H (flagel kuman)3. Aglutinin Vi (simpai kuman).Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O. Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi.Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin 1/40 dengan memakai uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif.Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang berhubungan dengan penderita dan faktor teknis. Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu 1. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid.2. Gangguan pembentukan antibodi.3. Saat pengambilan darah.4. Daerah endemik atau non endemik.5. Riwayat vaksinasi.6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.

Faktor teknik, yaitu1. Akibat aglutinin silang.2. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.3. Teknik pemeriksaan antar laboratorium.Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah: Negatif PalsuPemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya (ini kejadian paling sering di negara kita, demam > kasih antibiotika > nggak sembuh dalam 5 hari > tes Widal) menghalangi respon antibodi.Padahal sebenarnya bisa positif jika dilakukan kultur darah.

Positif PalsuBeberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S. paratyphi A, B, C) memiliki antigen O dan H juga, sehingga menimbulkan reaksi silang dengan jenis bakteri lainnya, dan bisa menimbulkan hasil positif palsu (false positive). Padahal sebenarnya yang positif kuman non S. typhi (bukan tifoid).

B. Uji TUBEXTes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%.15 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%.9 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.6Ada 4 interpretasi hasil : Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian. Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid

Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat sebagai berikut: Immunodominan yang kuat Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi (antigen Vi dan H kurang imunogenik) dan merupakan mitogen yang sangat kuat terhadap sel B. Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T sehingga respon antibodi dapat terdeteksi lebih cepat. Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat dan cepat melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor yang lain. Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang jarang ditemukan baik di alam maupun diantara mikroorganisme

Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX : Mendeteksi infeksi akut Salmonella Muncul pada hari ke 3 demam Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit Hasil dapat diperoleh lebih cepat

C. Metode enzyme immunoassay (EIA) DOTUji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.

D. Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%.18 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.

E. Pemeriksaan DipstikUji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap. 4,20Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%.20 Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96%.21 Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam tifoid.22 Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.

3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kumanDiagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah.Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang.5,6Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat.Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.

Diagnosis BandingPada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara klinis dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis, bronkitis dan bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme intraseluler seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam tifoid yang berat, sepsis, leukimia, limfoma dan penyakit hodgkin dapat sebagai dignosis banding.

7. TatalaksanaSampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu:1. Istirahat dan perawatanTirah baring dengan perawatan sepenuhnya ditempat seperti makan, minum, mandi, buang air kecil, dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta higiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.

2. Diet dan terapi panjangMakanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama. Penderita demam tifoid dapat diberi bubur saring, kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi. Hal ini disebabkan ada pendapat bahwa usus harus diistirahatkan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus.

3. Pemberian antimikrobaKloramfenikol. Obat pilihan utama untuk mengobati demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4x500 mg per hari dapat diberikan secara per oral atau intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas demam. Tiamfenikol. Dosis dan efektivitas tiamfenikol hampir sama dengan kloramfenikol, akan tetapi kemungkinan efek samping terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4 x 500mg, demam rata-rata menurun pada hari ke-5 sampai ke-6.Kortimoksazol. Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa adalah 2 x 2 tabet (1 tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg trimetoprim) diberikan selama 2 minggu.Ampisilin dan amoksisilin. Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah dibandingkan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu.Sefalosporin Generasi Ketiga. Hingga saat ini sefalosposrin generasi ketigs yang terbukti efektif untuk demam tifoid adalah seftriakson, dosis yang dianjurkan antara 3-4 gram dalam dekstrosa 100cc diberikan selama 30 menit perinfus sekali sehari diberikan selama 3 hingga 5 hari.Golongan Florokuinolon. Golongan ini beberapa jenis bahan sediaan dan aturan pemberiannya: Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari Pefloksasin dois 400 mg/hari selama 7 hari Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hariAzitromisin. Azitromisin secara signifikan mengurangi kegagalan klinis dan durasi rawat inap, dosis yang dianjurkan 2x500 mg. Azitromisin mampu menghasilkan konsentrasi dalam jaringan yang tinggi walaupun konsentrasi dalam darah cenderung rendah, sehingga antibiotik ini menjadi ideal untuk digunakan dalam pengobatan infeksi oleh S.typhi yang merupakan kuman intraseluler.

Kombinasi Obat AntimikrobaHanya pada keadaan tertentu saja antara lain toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik, yang pernah terbukti ditemukan 2 macam organisme dalam kurtur darah selain kuman Salmonella.Kortikosteroid. Hanya dindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid yang mengalami syok septik dengan dosis 3x5mg.

8. KomplikasiKomplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :41. Komplikasi pada usus halusa) Perdarahan ususBila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri perut dengan tanda tanda renjatan.b) Perforasi ususTimbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara dirongga peritoneum yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak.c) PeritonitisBiasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus. Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang, dan nyeri tekan.2. Komplikasi diluar usus halusa) Bronkitis dan bronkopneumoniaPada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan disebabkan oleh bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi sekunder dan dapat timbul pada awal sakit atau fase akut lanjut. Komplikasi lain yang terjadi adalah abses paru, efusi, dan empiema. b) KolesistitisPada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi minggu kedua dengan gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi kolesistitis maka penderita cenderung untuk menjadi seorang karier.c) Typhoid ensefalopatiMerupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa kesadaran menurun, kejang kejang, muntah, demam tinggi, pemeriksaan otak dalam batas normal. Bila disertai kejang kejang maka biasanya prognosisnya jelek dan bila sembuh sering diikuti oleh gejala sesuai dengan lokasi yang terkena.d) MeningitisMenigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering didapatkan pada neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan gejala klinis tidak jelas sehingga diagnosis sering terlambat. Ternyata peyebabnya adalah Salmonella havana dan Salmonella oranemburg.e) MiokarditisKomplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinis tidak khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun keatas serta sering terjadi pada minggu kedua dan ketiga. Gambaran EKG dapat bervariasi antara lain : sinus takikardi, depresi segmen ST, perubahan gelombangan I, AV blok tingkat I, aritmia, supraventrikular takikardi.f) Infeksi saluran kemihSebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis maupun pilonefritis dapat juga merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sidrom nefrotik mempunyai prognosis yang buruk. g) Karier kronikTifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit demam tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di sekretnya. Karier temporer- ekskresi S.typhi pada feces selama tiga bulan. Hal ini tampak pada 10% pasien konvalesen. Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3 minggu setelah demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama seperti semula. Faktor predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan, pada kelompok usia dewasa, dan cholelithiasis. Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal, seperti schistosomiasis, mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama.

9. PencegahanBerikut beberapa petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid:2 Cuci tangan. Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk mengendalikan demam tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan anda dengan air (diutamakan air mengalir) dan sabun terutama sebelum makan atau mempersiapkan makanan atau setelah menggunakan toilet. Bawalah pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak tersedia air. Hindari minum air yang tidak dimasak. Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada daerah endemik tifoid. Untuk itu, minumlah air dalam botol atau kaleng. Seka seluruh bagian luar botol atau kaleng sebelum anda membukanya. Minum tanpa menambahkan es di dalamnya. Gunakan air minum kemasan untuk menyikat gigi dan usahakan tidak menelan air di pancuran kamar mandi. Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah. Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih banyak daripada yang telah dimasak, namun untuk menyantapnya, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut. Untuk menghindari makanan mentah yang tercemar, cucilah buah dan sayuran tersebut dengan air yang mengalir. Perhatikan apakah buah dan sayuran tersebut masih segar atau tidak. Buah dan sayuran mentah yang tidak segar sebaiknya tidak disajikan. Apabila tidak mungkin mendapatkan air untuk mencuci, pilihlah buah yang dapat dikupas. Pilih makanan yang masih panas. Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu ruang. Yang terbaik adalah makanan yang masih panas. Pemanasan sampai suhu 57C beberapa menit dan secara merata dapat membunuh kuman Salmonella typhi. Walaupun tidak ada jaminan makanan yang disajikan di restoran itu aman, hindari membeli makanan dari penjual di jalanan yang lebih mungkin terkontaminasi. Jika anda adalah pasien demam tifoid atau baru saja sembuh dari demam tifoid, berikut beberapa tips agar anda tidak menginfeksi orang lain: Sering cuci tangan. Ini adalah cara penting yang dapat anda lakukan untuk menghindari penyebaran infeksi ke orang lain. Gunakan air (diutamakan air mengalir) dan sabun, kemudian gosoklah tangan selama minimal 30 detik, terutama sebelum makan dan setelah menggunakan toilet. Bersihkan alat rumah tangga secara teratur. Bersihkan toilet, pegangan pintu, telepon, dan keran air setidaknya sekali sehari. Hindari memegang makanan. Hindari menyiapkan makanan untuk orang lain sampai dokter berkata bahwa anda tidak menularkan lagi. Jika anda bekerja di industri makanan atau fasilitas kesehatan, anda tidak boleh kembali bekerja sampai hasil tes memperlihatkan anda tidak lagi menyebarkan bakteri Salmonella. Gunakan barang pribadi yang terpisah. Sediakan handuk, seprai, dan peralatan lainnya untuk anda sendiri dan cuci dengan menggunakan air dan sabun.

Pencegahan dengan menggunakan vaksinasiDi banyak negara berkembang, tujuan kesehatan masyarakat dengan mencegah dan mengendalikan demam tifoid dengan air minum yang aman, perbaikan sanitasi, dan perawatan medis yang cukup, mungkin sulit untuk dicapai. Untuk alasan itu, beberapa ahli percaya bahwa vaksinasi terhadap populasi berisiko tinggi merupakan cara terbaik untuk mengendalikan demam tifoid.1,2Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yakni: Vaksin oral Ty 21a (kuman yang dilemahkan)Vaksin yang mengandung Salmonella typhi galur Ty 21a. Diberikan per oral tiga kali dengan interval pemberian selang sehari. Vaksin ini dikontraindikasikan pada wanita hamil, menyusui, penderita imunokompromais, sedang demam, sedang minum antibiotik, dan anak kecil 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun. Lama proteksi dilaporkan 6 tahun. Vaksin parenteral sel utuh (TAB vaccine)Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan yang mengandung kurang lebih 1 milyar kuman setiap mililiternya. Dosis untuk dewasa 0,5 mL; anak 6-12 tahun 0,25 mL; dan anak 1-5 tahun 0,1 mL yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Cara pemberian melalui suntikan subkutan. Efek samping yang dilaporkan adalah demam, nyeri kepala, lesu, dan bengkak dengan nyeri pada tempat suntikan. Vaksin ini di kontraindikasikan pada keadaan demam, hamil, dan riwayat demam pada pemberian pertama. Vaksin ini sudah tidak beredar lagi, mengingat efek samping yang ditimbulkan dan lama perlindungan yang pendek. Vaksin polisakarida Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri Salmonella. Mempunyai daya proteksi 60-70 persen pada orang dewasa dan anak di atas 5 tahun selama 3 tahun. Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5 mL yang berisi 25 mikrogram antigen Vi dalam buffer fenol isotonik. Vaksin diberikan secara intramuskular dan diperlukan pengulangan (booster) setiap 3 tahun. Vaksin ini dikontraindikasikan pada keadaan hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam, dan anak kecil 2 tahun.

10. PrognosisPrognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas 10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser. Typhi 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi karier pada anak anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo A.W., Setryohadi B., Alwi I., Simadibrata M.K., Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2009.2. Rejeki S, Adinegoro S (DBD) Demam Berdarah Dengue, Tatalaksana Demam Berdarah Dengue Di Indonesia. Jakarta. 2004.3. Mansjoer A,Triyanti K, Savitri R,Wardhani W,Setiowulan W, Kapita selekta FKUI, Jakarta. Hal. 428-4334. Depkes. 2009. Buletin Jendela Epidemiologi. Vol.2. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.5. Suhendro, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.6. World Health Organization: Comprehensive Guideline for Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorragic Fever. 2011.7. World Health Organization: Dengue Guideline For Diagnosis, Treatment, Prevention and Control. 2009.8. World Health Organization: Background Document: The Diagnosis, Treatment, and Prevention of Typhoid Fever. 2009.