I. PENDAHULUAN Cedera kepala merupakan penyebab kematian tertinggi pada kelompok umur di bawah 45 tahun (produktif) dan penyebab kematian pada lebih dari 70 % kasus. Keadaan cacat menetap setelah trauma sebagian besar disebabkan oleh cidera kepala dengan kerusakan susunan saraf pusat. Pada kasus-kasus cedera kepala yang datang ke rumah sakit, sebagian berlanjut menjadi hematom (perdarahan). Frekuensi perdarahan ini terdapat pada 75 % kasus yang datang sadar dan berakhir dengan kematian (Asep, 2004). Subdural hematom adalah salah satu perdarahan intrakranial yang sering terjadi karena fraktur cranium. Otak ditutupi oleh tulang cranium yang kaku dan keras. Otak sendiri memiliki pembungkus yang disebut dura. Pembungkus tersebut terdiri atas tiga lapisan yaitu duramater, arakhnoid, dan piamater. Selaput tersebut berfungsi untuk melindungi otak, menutupi sinus-sinus vena, dan membentuk periosteum tabula interna.. Ketika seorang mendapat benturan yang hebat di kepala kemungkinan akan terbentuk suatu lubang, pergerakan dari otak mungkin akan menyebabkan pengikisan atau robekan dari pembuluh darah (Heller et al., 2012). 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
I. PENDAHULUAN
Cedera kepala merupakan penyebab kematian tertinggi pada
kelompok umur di bawah 45 tahun (produktif) dan penyebab kematian pada
lebih dari 70 % kasus. Keadaan cacat menetap setelah trauma sebagian besar
disebabkan oleh cidera kepala dengan kerusakan susunan saraf pusat. Pada
kasus-kasus cedera kepala yang datang ke rumah sakit, sebagian berlanjut
menjadi hematom (perdarahan). Frekuensi perdarahan ini terdapat pada 75
% kasus yang datang sadar dan berakhir dengan kematian (Asep, 2004).
Subdural hematom adalah salah satu perdarahan intrakranial yang
sering terjadi karena fraktur cranium. Otak ditutupi oleh tulang cranium
yang kaku dan keras. Otak sendiri memiliki pembungkus yang disebut dura.
Pembungkus tersebut terdiri atas tiga lapisan yaitu duramater, arakhnoid,
dan piamater. Selaput tersebut berfungsi untuk melindungi otak, menutupi
sinus-sinus vena, dan membentuk periosteum tabula interna.. Ketika
seorang mendapat benturan yang hebat di kepala kemungkinan akan
terbentuk suatu lubang, pergerakan dari otak mungkin akan menyebabkan
pengikisan atau robekan dari pembuluh darah (Heller et al., 2012).
Subdural hematoma adalah perdarahan di ruang duramater dan
arakhnoid yang dikarenakan oleh robeknya vena di ruang arakhnoid.
Trauma pada kepala merupakan keadaan gawat darurat sehingga perlu
segera ditangani. Trauma ini disebabkan gaya mekanik yang langsung
menghantam kepala dan dapat berakibat menjadi fraktur tulang tengkorak,
kontusio serebri, laserasi serebri, dan perdarahan intrakranial seperti
subdural hematom, epidural hematom, atau intraserebral hematoma (De
Jong et al., 2010).
1
II. LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
1. Nama : Tn. Herli
2. Usia : 42 tahun
3. No. CM : 00100733
4. Jenis Kelamin : Laki-laki
5. Pekerjaan : Buruh Petani
6. Alamat : Binangun 12/11 Pataruman
7. Tanggal Masuk : Sabtu, 12 Maret 2016
B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Penurunan kesadaran
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSMS Margono Soekarjo dengan
penurunan kesadaran satu jam setelah kecelakaan sepeda motor. Pasien
pasca kecelakaan sepeda motor dengan sepeda motor jam 01.00 (12
Maret 2016) di daerah Binangun, tanpa menggunakan helm, dan ditubruk
dari belakang hingga jatuh ke samping kanan. Pasien mual (+) dan
muntah (+) pasca kecelakaan, pusing (+), keluar cairan dari telinga kanan
(+). Pasien tidak memiliki riwayat kejang, mulut pelo, kelumpuhan,
maupun pengeluaran cairan dari hidung sebelum dan setelah kecelakaan.
Alloanamnesis pada keluarga pasien didapatkan bahwa pasien
tidak memiliki riwayat jatuh ataupun kecelakaan sebelumnya. Riwayat
penyakit jantung, tumor, asma, darah tinggi, diabetes, dan alergi juga
disangkal. Keluarga pasien juga tidak memiliki riwayat penyakit jantung,
tumor, asma, darah tinggi, diabetes, dan alergi.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Penyakit Jantung : disangkal
2. Penyakit Diabetes Melitus : disangkal
3. Penyakit Hipertensi : disangkal
2
4. Riwayat Trauma kepala : disangkal
5. Riwayat Tumor : disangkal
6. Riwayat Asma dan Alergi : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Penyakit Jantung : disangkal
b. Penyakit Diabetes Melitus : disangkal
c. Penyakit Hipertensi : disangkal
d. Riwayat Trauma kepala : disangkal
e. Riwayat Tumor : disangkal
f. Riwayat Asma dan Alergi : disangkal
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien sehari – hari bekerja sebagai seorang buruh tani. Pasien
dirujuk ke Rumah Sakit Margono Soekarjo dengan tidak menggunakan
jaminan kesehatan (umum).
C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum : Apatis
2. Kesadaran : GCS E2M4V2 (8)
3. Vital Sign
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 70 x/menit
Pernapasan : 23 x/menit
Suhu : 37,3o C
4. Status Antropometri
Berat Badan : 55 kg
Tinggi Badan : 160 cm
5. Pemeriksaan kepala
Kepala : mesocephal, simetris, jejas (-)
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, reflek cahaya +/+, pupil
mikrogram, dan mangan 25-50 mg. Beberapa vitamin juga
direkomendasikan, antara lain vitamin A, E, C, ribofl avin, dan
vitamin K yang diberikan berdasarkan indikasi. (Soertidewi, 2012).
26
Pada pasien dengan kesadaran menurun, pipa nasogastrik dipasang
setelah terdengar bising usus. Mula-mula isi perut dihisap keluar
untuk mencegah regurgitasi sekaligus untuk melihat apakah ada
perdarahan lambung. Bila pemberian nutrisi peroral sudah baik dan
cukup, infus dapat dilepas untuk mengurangi risiko flebitis
(Soertidewi, 2012).
f. Neurorestorasi
Posisi baring diubah setiap 8 jam, dilakukan tapotase toraks, dan
ekstremitas digerakkan pasif untuk mencegah dekubitus dan
pneumonia ortostatik (Soertidewi, 2012).
g. Penanganan Komplikasi
1) Kejang, kejang yang terjadi dalam minggu pertama setelah
trauma disebut early seizure, dan yang terjadi setelahnya disebut
late seizure. Early seizure terjadi pada kondisi risiko tinggi, yaitu
ada fraktur impresi, hematoma intrakranial, lesi didaerah
temporal, kontusio di daerah korteks; diberi profi laksis fenitoin
dengan dosis 3x100 mg/hari selama 7-10 hari (Soertidewi, 2012).
2) Infeksi, profi laksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi
infeksi, seperti pada fraktur tulang terbuka, luka luar, fraktur basis
kranii. Pemberian profilaksis antibiotik ini masih kontroversial.
Bila ada kecurigaan infeksi meningeal, diberikan antibiotik
dengan dosis meningitis (Soertidewi, 2012).
3) Demam, setiap kenaikan suhu harus dicari dan diatasi
penyebabnya. Boleh diberikan tambahan antipiretik dengan dosis
sesuai berat badan (Soertidewi, 2012).
4) Gastrointestinal, pada pasien cedera kranio-serebral terutama
yang berat sering ditemukan gastritis erosi dan lesi
gastroduodenal lain, 10-14% di antaranya akan berdarah.
Kelainan tukak stres ini merupakan kelainan mukosa akut saluran
cerna bagian atas karena berbagai kelainan patologik atau stresor
yang dapat disebabkan oleh cedera kranioserebal. Umumnya
tukak stres terjadi karena hiperasiditas. Keadaan ini dicegah
27
dengan pemberian antasida 3x1 tablet peroral atau H2 receptor
blockers (simetidin, ranitidin, atau famotidin) dengan dosis 3x1
ampul IV selama 5 hari (Soertidewi, 2012).
2. Tindakan non operatif
Pada kasus perdarahan yang kecil (volume kurang dari 30cc) dilakukan
tindakan konservatif. Terapi non-operatif ditujukan untuk (Soertidewi,
2012):
a. Mengontrol fisiologi dan substrat sel otak serta mencegah
kemungkinan terjadinya tekanan tinggi intracranial
b. Mencegah dan mengobati edema otak (cara hiperosmolar, diuretik)
c. Minimalisasi kerusakan sekunder
d. Mengobati simptom akibat trauma otak Mencegah dan mengobati
komplikasi trauma otak, misal kejang, infeksi (antikonvulsan dan
antibiotik)
3. Tindakan operatif
Apabila ditemukan gejala – gejala progresif, maka diperlukan tindakan
operasi untuk melakukan pengeluaran hematoma. Tujuannya untuk :
a. Evakuasi seluruh hematoma
b. Merawat sumber perdarahan
c. Reseksi parenkim otak yang nonviable
Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burrhole craniotomy, twist
drill craniotomy, dan subdural drain. Pada subdural hematoma kronik sering
dilakukan burrhole craiotomy karena sudah terbntuk membran yang
membatasi hematoma dan teknik ini menunjukkan komplikasi yang minimal.
Indikasi operasi (Satyanegara, 2014) :
a. Tebal > 1cm atau midline shift>0,5 cm tanpa mempertimbangkan GCS
b. Tebal <1 cm dan MLS <0,5 cm dengan :
Penurunan GCS≥ 2 poin dan/atau
Pupil anisokor atau dilatasi atau
c. TIK > 20 mmHg
28
IV. PEMBAHASAN
Penegakkan diagnosis pasien atas nama Tn. Herli usia 42 tahun dengan
penurunan kesadaran diperoleh dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Diagnosis akhir diperoleh setelah melalui tahapan
lengkap anamnesis (alloanamnesis), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
tambahan seperti pemeriksaan CT ( gold standar) menunjukkan bahwa pasien
mengalami penurunan kesadaran dikarenakan Subdural Hematoma (perdarahan di
ruang subdura) oleh karena cidera kepala sedang.
Hasil pemeriksaan menunjukkan pasien mengalami penurunan kesadaran
setelah kecelakaan dengan GCS E2M4V2 (8) menunjukkan adanya cidera kepala
dengan tingkat sedang sesuai dengan kriteria cedera berdasarkan hasil
pemeriksaan GCS. Gejala mual dan muntah ditemukan postif menunjukkan
adanya iritasi pada trigger zone ataupun disebabkan peningkatan TIK karena
edem otak, namun belum dapat disimpulkan peningkatan tekanan intrakranial
yang masif karena gejala lain seperi kejang, nistagmus, dan penurunan GCS
drastis tidak muncul. Pengeluaran cairan dari telinga perlu dicurigai adanya tanda
kerusakan pada basis cranium. Gejala dan tanda defisit neurologis seperti pelo,
kelumpuhan atau kelemahan ekstrimitas, kejang, dan pupil anisokor belum
ditemukan, namun disini perlu diwaspadai adanya kejang karena lokasi jatuh yang
berada di samping (temporal). Usia pasien yang masih produktif dan tidak adanya
riwayat jatuh sebelumnya dapat menyingkirkan diagnosis Subdural hematoma
kronis (pada pemeriksaan penunjang akan ditunjukkan dengan hasil CT-Scan).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan hemodinamika dalam keadaan stabil,
hanya saja suhu sub ferbris. Pemeriksaan kepala , mata, hidung, mulut didapatkan
tidak terdapat kelainan, pupil isokor, tidak ada strabismus, dan reflek cahaya
masih positif menunjukkan tidak ada defisit neurologis di batang otak, ataupun
yang berkaitan dengan N II, III, IV, VI. Pada pemeriksaan leher juga tidak
didapatkan krepitasi namun tetep perlu dipasang collar neck sampai benar-benar
terbukti dengan pemeriksaan foto servikal tidak didapatkan cedera servikal.
Pemeriksaan thorax dan abdomen dalam batas normal, tidak ditemukannya jejas,
nyeri tekan ataupun krepitasi yang menandakan cedera pada bagian tersebut.
29
Begitupula dengan ekstrimitas, tidak didapatkan kelemahan gerak motorik atauun
keterbatasan gerak yang bisa disebabkan defisit neurologis ataupun fraktur pada
ekstrimitas.
Pemeriksaan penunjang yang diajukan adalah pemeriksaan laboratorium,
foto rontgen servical, dan CT Scan. Pemeriksaan laboratorium meliputi
pemeriksaan darah lengkap, PT APTT, kimia darah,dan elektrolit. Pemeriksaan
darah lengkap untuk memantau jumlah darah serta faktor pembekuan darah
karena terdapat perdarahan pada pasien ini. Pemeriksaan kimia darah dan
elektrolit untuk memantau fungsi biokimia tubuh yang dapat mengakibatkan
kelainan sistemik lainnya apabila abnormal dalam jumlah tertentu, seperti edema
(kekurangan protein), hiperglikemi (GDS meningkat), dan kejang (karena
kekurangan elektrolit). Pada pasien ini leukosit, PT, APTT meningkat yang
menunjukkan adanya suatu peradangan dan perdarahan yang mungkin berasal sari
bagian kepala. Penelitian di RSCM menunjukkan bahwa leukositosis dapat
dipakai sebagai salah satu indikator pembeda antara kontusio (CKS) dan komosio
(CKR). Leukosit >17.000 merujuk pada CT scan otak abnormal, sedangkan angka
leukositosis >14.000 menunjukkan kontusio (Andrews, 2000).
Pemeriksaan CT-Scan digunakan sebagai Gold Diagnosis perdarahan
pada cedera kepala dimana pada pasien ini terdapat gambaran hiperdens
mengikuti arah duramater di cranium (gambaran bulan sabit) sebanyak 9,40 cc
( kurang dari 20 cc perdarahan). Program terapi craniotomi evakuasi SDH tidak
dilakukan karena perdarahan dapat diserap sendiri karena memenuhi kriteria
penatalaksanaan konservatif yaitu kriteria perdarahan < 20 cc, pada pasien ini
tidak terdapat midline shift, tidak terdapat perdarahan intraventrikel, pupil isokor,
reflek cahaya positif, ventrikel masih terlihat walaupun terdapat edem cerebri
sehingga menyebabkan lesi desak ruang namun tidak terdapat tanda peningkatan
TIK yang progresif dan bermakna untuk dilakukan operasi, penurunan GCS >2
tidak terjadi sehingga pasien hanya dilakukan dengan tindakan konservatif dan
pemantauan intensif di HCU. Pada Foto cervical tidak didapatkan kelainan untuk
menyingkirkan adanya trauma cervical.
Terapi medikamentosa yang diberikan yaitu infus Nacl 0,9 % sebagai
pengganti cairan tubuh terutama elektrolit Na, manitol untuk mengurangi edem
30
cerebri secara hiperosmolar, ceftriaxon dan ranitidin untuk mengurangi resiko
infeksi dan gastrointestinal, ketorolac sebagai antinyeri, fenitoin sebagai anti
kejang profilaksis karena lesi berada di temporal dan pada pasien SDH sebanyak
20 % pasien terjadi late epilepsi (Satyanegara, 2014) .Terapi non-medika mentosa
yaitu berupa ABCD. Pemasangan goedel dan suction perlu dilakukan untuk
membersihkan jalan nafas. Oksigen 10 lpm dengan NRM untuk perfusi adekuat
di otak, pemasangan collar neck untuk mencegah adanya trauma servikal lebih
parah, namun pada pasien ini collar neck sudah dapat dilepas karena hasil Ro
servical baik tidak terdapat fraktur atau stenosis canal servikal. Head up 30 untuk
menurunkan TIK. Pasang NGT supaya diit cair lebih mudah dan tidak terjadi
aspirasi pada paien. Pasang kateter untuk memantau cairan tubuh pasien dengan
urin output. Prognosis pasien mengalami perbaikan dari hari ke hari ditunjukkan
dengan GCS dan juga vital sign serta pemeriksaan fisik. Pasien datang dengan
GCS 8 dan pulang dengan GCS 15.
31
DAFTAR PUSTAKA
Andrews PJD. 2000. Traumatic brain injury. In: Neurological Emergencies. Hughes R (ed.). 3rd ed. New York: BMJ books.
Asep, Usmanto. 2004. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Prognosis SDH. Skripsi. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Dipenogoro
Davey, Patrick. 2003. At a Glance Medicine. Jakarta : Erlangga.
Liu, W., Nicolaas A.B., Rob J.M. 2014. Chronic subdural hematoma: a systematic review and meta-analysis of surgical procedures.Groningen : Journal of Neurosurgery. Volume 121 : 665-673.
Plaha, P., Malhotra., Heuer., Peter, W. 2008. Management of Chronic Subdural Haematoma. Plymouth : ACNR. Volume 8 Number 5.
Satyanegara, dkk. 2014. Ilmu Bedah Saraf Edisi V. Jakarta : Gramedia.
Soertidewi, L. 2012. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranioserebral. Cermin Dunia Kedokteran: 39 (2) : 327 – 331
Sjamsuhidajat, R. 2004. Subdural Hematoma dalam Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Kedua. Jakarta : EGC.
Snell, R. S., 2006. Anatomi Klinik. Edisi 6. Jakarta:EGC.
Scalon, Valerie C. 2007.Essential of Anatomy and Physiology 5th edition. Philadelphia : F.A. Davis Company